Ceritasilat Novel Online

Rahasia Sendang Bangkai 1

Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai Bagian 1


RAHASIA SENDANG BANGKAI Oleh Barata Cetakan Pertama
Penerbit Wirautama, Jakarta
Dilarang Mengcopy, Memproduksi Dalam Bentuk Apapun
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Barata
Serial Pendekar Cambuk Naga
Dalam Episode :
Rahasia Sendang Bangkai
128 Hal : 12 x 18 Cm
1 BUMI bagai bergemuruh bising. Suara kasak-kusuk menjalar dari mulut ke mulut.
Orang-orang yang berada di kedai tak henti-hentinya saling bisik, mereka
diliputi perasaan cemas dan tegang.
Hampir semua mulut bicara dalam gumam, di sela gerutu, dan dirayapi kegemetaran.
Bumi bagaikan berisi berjuta-juta lebah yang menggaung.
Katmi, anak pemilik kedai yang ada di seberang Dalem Kadipaten Nilakencana itu
duduk termenung di pojokan. Wajahnya kelihatan murang dan was-was. Ada salah
seorang lelaki mendekatinya. Lelaki itu baru saja datang dari mengangkut sayuran
memakai gerobak sapi tunggal. Lelaki itu belum mengetahui, mengapa semua orang
dalam ketegangan.
"Katmi...." sapanya. "Ada apa sebenarnya kok semua orang kelihatan gelisah
begitu" Ada apa sih?"
"Apa kau belum dengar, Kang?" jawab Katmi lirih.
"Tentang apa?"
"Tentang... tentang Dewi Cambuk Naga." Lelaki yang menyampirkan bajunya di
pundak dan masih berkeringat itu menggumam sejenak. "Yang ku tahu, Pendekar
Cambuk Naga akan menikah dengan Pendekar Pusar Bumi. Kalau aku tidak salah
dengar... hari ini, ya" Hari ini perkawinan itu akan berlangsung. Betul?"
"Ya. Tapi... Dalem Kadipaten sekarang sedang geger."
"Lho, geger soal apa itu?"
"Pengantin diculik."
Lelaki itu terbelalak kaget.
"Pengantin diculik" Maksudmu, Pendekar Cambuk Naga ada yang membawa kabur,
begitu"!"
"Bukan pengantin putrinya yang diculik, tapi... justru Pendekar Pusar Bumi yang
diculik dan dibawa kabur."
"Edan...!" lelaki itu semakin terkejut dan menegang.
"Benar. Memang edan. Bayangkan
saja, perkawinan akan berlangsung hari ini, eh... tadi malam ada penculikan yang
amat edan. Umumnya pengantin putri diculik oleh bekas kekasihnya, atau siapa
saja lah. Tapi, kali ini justru pengantin pria yang diculik. Padahal Pendekar
Pusar Bumi itu bukan laki-laki sembarangan. Ilmu dan kesaktiannya sempat
menjadikan tokoh-tokoh
persilatan gemetar. Siapa yang tidak mengenal pedang Wisa Kobranya yang mampu
memotong benda apapun, termasuk besi"
Siapa yang tidak mengenal kegesitan jurus-jurusnya dan keampuhan ilmu Wiwaha
Moksa-nya itu" Tapi mengapa pendekar setangguh dia masih ada yang mampu
menculiknya" Siapa gerangan orang yang berhasil memperdaya dan membawa lari
pendekar tangguh yang memang gagah dan menawan itu?"
Ludiro sangat gelisah. Semalam ia tak sempat mencegah Putri Ayu Sekar Pamikat
alias Pendekar Cambuk Naga, yang melesat cepat meloncati pagar bumi Dalem
Kadipaten begitu ia mengetahui sesosok bayangan membawa kabur calon suaminya
Ludiro ingin menyusul Sekar Pamikat, namun Adipati Reksoguno menahannya.
"Jangan gegabah," kata Adipati Reksoguno mengingatkan Ludiro. "Ingat, orang yang
mampu melumpuhkan Lanangseta dan membawanya lari, jelas bukan orang sembarangan,
Ludiro. Aku yakin, ada jebakan yang sudah diatur di luar Dalem Kadipaten ini,
yang bisa mencelakakan para pengejar."
Tubuh sedikit bungkuk dengan
ketuaan seorang bangsawan terlihat menyimpan keprihaT tinan yang pilu pada diri
Adipati Reksoguno. Ludiro hanya berani membantah beberapa kali,
selebihnya ia tak berani lagi. Karena Adipati Reksoguno mengatakan, "Jika kau
tidak memahami kata-kataku, silakan pergi. Dan kau akan gagal menyelamatkan
Sekar Pamikat, maupun Pendekar Pusar Bumi itu. Ingat, saranku bergeraklah dengan
keberhasilan, jangan bertin-dak dengan kesia-siaan."
Semalaman Ludiro tidak bisa tidur.
Ia mondar-mandir di sekitar taman Kadipaten, bahkan berulangkali
mengelilingi Dalem Kadipaten, meneliti dan memeriksa apa saja yang ditemuinya.
Pikirannya tak jauh dari Nawang Puri.
"Pasti dia yang telah menculik Lanangseta!" gumam
Ludiro dalam kegeraman yang meluap-luap.
Siang itu, seorang penghulu datang.
Dialah sesepuh Kadipaten Nilakencana yang ditunjuk untuk meresmikan setiap
perkawinan warga Kadipaten Nilakencana Tapi agaknya kali ini penghulu Badra
tidak mengetahui hilangnya pengantin pria, sehingga ketika Adipati Reksoguno
menjelaskannya, ia sangat terkejut.
"Semalaman saya tidur dengan nyenyak sekali sehingga tidak sempat mendengar
kabar tersebut. Maafkan saya Kanjeng Adipati," ucapnya dengan suara tua yang
serak. Ia hanya mengenakan jubab, abu-abu yang sangat sederhana, duduk di lantai
sambil memegangi tasbih warna merah. Dari rona wajahnya ia kelihatan menyesal
dan ikut bersedih.
"Badra," kata Adipati Reksoguno yang sudah sama tuanya dengan penghulu Badra,
"Kali ini aku mendapat penghinaan dari pihak luar. Aku baru saja mengangkat
anak, Sekar Pamikat, lalu ingin
mengawinkannya, tapi gagal. Diganggu oleh setan tak tahu sopan!"
Penghulu Badra hanya menunduk,
penuh hormat dan rasa segan. Adipati Reksoguno menggeram menahan kemarahan.
"Apakah kau bisa membantuku, Badra?"
"Sepantasnya tugas itu Kanjeng limpahkan kepada saya, mengingat saya adalah
sesepuh Kadipaten yang pernah menjabat sebagai penasehat Kanjeng sendiri. Tetapi
apalah daya saya yang sudah tua renta ini. Mungkin tak ada kesanggupan untuk
menang bertanding melawan penculik jahanam itu. Akan tetapi, Kanjeng... izinkan
saya memeriksa seluruh Dalem Kadipaten ini, barangkali ada sesuatu yang bisa saya
lakukan...."
"Pasti itu jawabanmu. Aku tahu, Badra. Dan aku tak pernah melarangmu untuk
berbuat baik di Dalem Kadipaten ini, bukan?"
Penghulu Badra didampingi Ludiro
memeriksa setiap sudut Dalem Kadipaten.
Matanya yang menyipit karena kelopak matanya sudah keriput membuat Ludiro
sangsi, apakah penghulu Badra mampu menangkap benda kecil yang patut
dicurigai. "Di mana kamar pengantin pria?"
tanyanya kepada Ludiro.
"Mari, saya tunjukkan. Tapi...
kuncinya dibawa oleh pelayan kamar."
Ketika itu pelayan kamar lewat di seberang sana, Ludiro segera
memanggilnya penghulu Badra menatap pelayan kamar beberapa saat, kemudian
menggeleng samar-samar, seakan
mengatakan: "Bukan dia orang yang patut dicurigai."
Pintu kamar pengantin pria dibuka.
Keadaan di dalam kamar masih rapi. Tidak ada tanda-tanda bekas pertarungan,
tidak ada gelagat yang mencurigakan. Mata sipit penghulu Badra memandang setiap
inci ruangan itu. Kasur masih rapi, selimut sutra tebal masih terlipat, meja
marmer dan seperangkat tempat minum masih utuh. Lantai bersih, tak ada sebutir
debu pun. Ludiro berkata pelan, "Sudah saya periksa berulangkali, tapi tak ada benda apa
pun yang patut dicurigai."
Penghulu Badra yang mengkok
mangut-manggut. Tangannya masih
mempermainkan kalung tasbih dari
biji-bijian berwarna merah. Mungkin itu biji atau buah saga. Entahlah, Ludiro
tidak mengetah uinya.
Mendadak penghulu Badra menggumam, dan manggut-manggut lebih jelas lagi.
"Aku tahu siapa penculiknya,"
katanya pelan, tapi sempat membuat Ludiro berkerut dahi.
"Siapa?"
"Seorang perempuan yang berjuluk: Peri Sendang Bangkai."
"Peri Sendang Bangkai?" gumam Ludiro. "Dari mana Ki Badra tahu kalau dia yang
membawa lari Lanangseta?"
Penghulu Badra tersenyum tipis,
sangat ti-pis. Matanya masih menatap kian kemari, memandang dinding-dinging dan
langit-langit atas. Ludiro ikut memandang demikian, namun ia tidak menemukan
apa-apa dalam pandangannya.
"Tak ada benda yang kulihat mencurigakan. Apakah Ki Badra
menemukannya?"
Penghulu Badra menggeleng.
"Lantas, dari mana Ki Badra bisa memastikan bahwa Peri Sendang Bangkai yang
menculik pengantin pria?"
"Bau..." katanya pendek, pelan dan seakan acuh tak acuh.
Ludiro mengerutkan dahi lebih
dalam. "Bau" Bau bagaimana maksud Ki Badra?"
"Kamar ini berbau. Ada aroma khusus yang menyengat hidungku, yaitu aroma wangi
bau kembang Nirmala. Hanya Peri Sendang Bangkai yang mengenakan
wewangian kembang Nirmala. Yaaah...
masih membekas di kamar ini. Pasti dia telah masuk ke mari dan mengerjakan
sesuatu lalu membawa lari pengantin pria."
"Di mana tinggalnya" Maksudku, kira-kira ke mana ia membawa Pendekar Pusar Bumi
itu?" Penghulu Badra melangkah ke luar
dari kamar. Ia bicara bagai ditujukan kepada dirinya sendiri.
"Di Sebelah Selatan Kadipaten ini, ada pegunungan yang bernama Gunung Carakan.
Di seberang gunung itu ada tanah tinggi yang dinamakan Bukit Badai. Nah, di kaki
Bukit Badai itulah terdapat Sendang Bangkai. Penguasa Sendang itu adalah seorang
perempuan yang bernama Areswara, bergelar Peri Sendang Bangkai.
Dia pula yang menjadi pimpinan
parangadis siluman Sendang Bangkai.
Ilmunya tidak bisa dianggap Ringan.
Hanya bisa dikalahkan dengan...
uukh...!" Tiba-tiba penghulu Badra mengejang, matanya mendelik. Ludiro kaget dan
kebingungan. Segera mata Ludiro
memandang liar ke sekeliling. Sekelebat bayangan turun dari pohon di pertamanan,
meloncat dan menghilang ke luar pagar Dalem Kadipaten.
"Ki Badra.."!" Ludiro mengutamakan keselamatan penghulu Badra. Tetapi orang tua
itu hanya berdiri kaku. Matanya mendelik dan mulutnya ternganga.
Lama-lama terjadilah suatu ketegangan yang lebih memuncak. Ludiro mundur, dan
beberapa pegawai Kadipaten berhenti di tempat. Mereka tak berani mendekati Ki
Badra yang kaku, tak bergerak. Tubuh tua itu lama-lama membiru. Asap tipis bagai
meresap ke luar dari pori-pori kulitnya.
Birunya tubuh menjadi legam. Kini bahkan berubah hitam. Hitam sekali. Lalu,
tubuh tua itu rubuh bagai kayu arang.
"Ki Badra.."!" pekik Ludiro dalam kebingungan. Mereka yang menyaksikan hal itu
dari jarak beberapa langkah menjadi merinding dan ketakutan. Ludiro sempat
berseru. "Lapor kepada Kanjeng Adipati...!
Aku akan mengejar orang yang telah menyerangnya tadi!"
"Jangan! Bahaya! Ini pukulan Inti Petir.! Bisa dilancarkan dari jarak beberapa
ratus tombak jauhnya!"
Tapi Ludiro tidak peduli dengan
ocehan mereka. Ia melompat ke luar dari pagar Dalem Kadipaten. Matanya jalang
dan liar memandang orang yang telah melancarkan pukulan sadis ke tubuh penghulu
Badra tadi. Namun ia tak melihat ke mana arah larinya. Hanya saja, i.da beberapa
semak yang bergoyang daunnya.
Pasti ke arah semak itulah orang tersebut melesat pergi. Tak ada waktu lagi bagi
Ludiro untuk berpikir lebih jauh. Ia segera melesat ke arah tersebut dengan
berseru, "Tunggu jawabanku, Iblis laknaaat...!!"
Ludiro menerjang semak dedaunan,
duri dan ranting kering. Semakin cepat ia berlari, semakin banyak tergores
tubuhnya oleh duri semak belukar. Oh, sudah jauh dari Dalem Kadipaten. Tetapi
bayangan orang yang dikejarnya hanya terlihat samar-samar jauhnya. Ludiro terus
berusaha mengejar orang itu.
Matanya masih bisa melihat bahwa orang itu mengenakan kerudung kepala yang
langsung menjadi satu dengan jubahnya.
Warnanya hitam, mirip pakaian malaikat pencabut nyawa.
"Bangsat itu pasti ada hubungannya dengan penculikan semalam," pikir Ludiro
sambil berlari semakin cepat. "Jika tak salah dugaanku, pasti dia anak buah
Areswara atau Peri Sendang Bangkai.
Pasti dia bertugas menutup mulut
penghulu Badra yang hendak membo-corkan rahasia Sendang Bangkai. Kalau begitu...
kalau begitu berarti dia tahu bahwa penghulu Badra mengerti betul tentang
Sendang Bangkai, dengan lain perkataan, berarti penghulu Badra pernah ada
hubungan dengan orang-orang Sendang Bangkai... Jadi, siapa sebenarnya penghulu
Badra itu?"
Orang yang dikejar masih terlihat samar-samar. Namun mendadak Ludiro berhenti
seketika. Di depannya telah berdiri dua orang perempuan berparas cantik.
Keduanya hanya mengenakan penutup dada dari bahan semacam kain bludru dan hiasan
rantai-rantai emas.
Sementara celananya sendiri hanya berupa celana dalam yang dirajut rapat dengan
rumbai-rumbai dari logam kuning emas.
Masing-masing perempuan itu bertubuh lencir, sebaya, berambut sebatas
punggung yang diikatkan ke belakang.
Mereka memegang pedang di tangan
masing-masing. Sepasang rantai perak yang menyilang dari penutup dada ke celana
melewati pusarnya sungguh membuat mereka tampak sangat seksi dan
menggairahkan. Ludiro masih terbengong melompong saat kedua perempuan itu tersenyum sinis dan
melangkah mendekatinya. Buru-buru Ludiro mengambil sikap, memasang
kuda-kuda dengan menarik kaki kanannya ke belakang setelah itu perempuan
berkata: "Jangan teruskan perjalananmu!"
Ludiro segera tanggap, bahwa kedua perempuan itu adalah komplotan orang yang
telah membunuh penghulu Badra dengan pukulan jarak jauh yang
mengerikan itu. Geram dan kemarahan Ludiro semakin bertambah. Ia membentak
dengan lantang dan berani:
"Minggat kau, Siluman miskin...!!"
Kedua perempuan itu menertawakan
Ludiro. "Karena pakaian kita cuma seperti ini, lantas dia mengatakan kita
Siluman miskin, hii... hi... hi...."
Temannya menyahut, "Dia tidak tahu selera birahi...." Orang itu juga tertawa
mengikik geli. Ludiro merasa terhina, mukanya menjadi merah.
Dengan gerakan yang gesit, Ludiro langsung menyerang, meluncurkan kaki kanannya
dalam satu gerakan melayang ke arah salah seorang perempuan tersebut.
Perempuan itu hanya berkelit ke samping, dan tubuh Ludiro lolos, bagai menerjang
angin tanpa arti. Perempuan itu
menertawakan Ludiro.
"Jangan galak-galak, Bung!"
Nafas Ludiro terengah-engah karena memendam kemarahan. Salah seorang yang tadi
tidak diserang berkata kepada Ludiro, "Hei, orang galak dan ganas seperti kamu
justru mudah bertekuk lutut di hadapan kami, mengerti"!"
Yang satunya menyahut, "Sebab itu, kalau mau mengalahkan kami, rayulah dengan
lembut. Berilah kami seteguk kehahgatan, maka kami yang akan bertekuk lutut di
hadapanmu".


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang tadi menyahut, "Dan juga yang akan membunuh kamu dengan tanpa ampun sedikit
pun. Hi, hi, hiii...."
Ludiro pasang kewaspadaan dan siap siaga, kendati ia pun berkata sinis,
"Kalian salah duga. Nafsuku bukan nafsu menggumuli kalian, tapi nafsu membunuh
kalian. Tahu"!"
Perempuan yang tadi diserang maju selangkah, ia memeluk pedangnya sendiri dengan
kedua kaki berdiri terentang.
Senyumnya bagai seringai iblis, dan tatapan matanya itu bagai suatu kekuatan
gaib yang mampumelumerkan tulang. Ia berkata dalam nada angkuh:
"Aku tidak melihat kau membawa pedang. Lantas dengan apa kau akan membunuh kami.
Dengan pedang tumpulmu yang kau sembunyikan di sela paha itu, hii... hi...
hi..." Ludiro semakin terengah-engah,
menyipitkan mata, memandang benci.
Tetapi sebelum ia bicara, perempuan yang satunya sudah ikut maju, berjajar
dengan temannya. Pedangnya yang panjang dipakai sebagai tongkat, tertuju ke
tanah sementara gagangnya ia pakai sebagai tumpuan tangan kanan. Ia berdiri
dengan salah satu kaki ditekuk, bagai sedang bergaya memikat di depan Ludiro.
Sambil membuka kedua buah pahanya yang mulus, perempuan itu berkata centil:
"Kalau pedang itu yang ingin kau gunakan menusuk kami, ohoii... mana bisa kami
melawanmu" Alangkah tololnya menghindari pedang tumpulmu, bukan?"
Kini sadarlah Ludiro, ia dipancing untuk marah, namun juga dipancing untuk
tergiur. Tidak, Ludiro tidak mau jatuh dalam rayuan maupun meledakkan amarah
dari pancingan itu. Ia harus bisa tenang untuk mempelajari gerakan-gerakan yang
mungkin akan datang secara tiba-tiba.
Ludiro sengaja bersikap tenang dan membiaskan senyum tawarnya, lalu berkata
dengan tolak pinggang.
"Rupanya kalian memang menyukai pedang tumpulku, ya?"
"O, tentu. Tentu...!" jawab mereka nyaris serempak dan sangat bersemangat.
"Baiklah. Tapi satu persatu
memakainya, niih...!"
Gerakan kilat yang hampir tak
terlihat mata telah terjadi. Tangan Ludiro melemparkan senjata andalannya,
berupa Mata Pisau yang beracun. Benda kecil itu melayang cepat ke arah salah
seorang perempuan. Perempuan yang merenggangkan kedua kakinya itu
terbeliak kaget seraya memegangi
lehernya. Mata pisau atau senjata rahasia Ludiro menancap seluruhnyake
tenggorokan perempuan tersebut. Sudah tentu perempuan itu hendak memekik, namun
suaranya tertahan senjata rahasia Ludiro sehingga hanya dapat
menggerok-gerok bagai kambing
disembelih. Tubuhnya limbung dan jatuh ketanah, mengejang ngejang.
"Biadaaab...!!" teriak temannya.
Orang itu segera menyerang Ludiro dengan kemarahan yang meluap. Pedang diayunkan
menebas leher Ludiro dengan suatu gerakan yang lincah sekali.
"Kau harus menebusnya dengan lehermu, jahanam...!"
Ludiro mengelak ke samping, namun dalam keadaan tubuh miring itu ia sempat
melancarkan tendangannya. Tendangan kaki kanannya itu membentur perut perempuan
tersebut. Buk...! Yang ditendang menahan
nafas hingga terdengar suara:
"Ngeekh...!"
Tapi anehnya, karena tendangan itu justru tubuh Ludiro jadi terpental dan jatuh
tak berposisi. Kesempatan itu digunakan musuhnya untuk menusukkan pedang dengan
gerakan menukik dari atas,
"Yiaaaaatt...!"
"Jugg...!!" Terdengar suara pedang menembus barang empuk.
Untung bukan tubuh Ludiro yang
menjadi sasaran pedang musuh, melainkan sebatang pohon yang membusuk. Dalam
kesempatan itu, Ludiro segera
melancarkan jurus Tendangan Dewa Mimpi, bergulung sambil menyerang dengan suatu
tendangan kaki kanan yang di luar dugaan lawan. Tendangan itu mengenai belahan
kedua paha perempuan tersebut, sehingga perempuan itu sempat terpekik antara
malu dan terkejut sakit. Tubuh perempuan itu terpental ke belakang, namun tidak
jatuh, melainkan kembali berdiri sigap dengan pedang siap diayunkan. Kali ini
Ludiro tidak menyerang lagi dengan tendangan sehingga pedang lawannya tak
berhasil mengenai kakinya. Ludiro bergegas berdiri, kemudian bersalto ke
belakang, sekedar menjaga jarak dengan lawannya.
"Bagaimana...?" ucap Ludiro sambil mengatur nafas.
Perempuan itu memandang penuh
kebencian. Ludiro berbalik ganti
mengejek perempuan itu:
"Pedang tumpulku belum berfungsi kau sudah kelihatan capek, apalagi kalau sampai
kugunakan, he, he, he..."
Tanpa menunggu ejekan berikutnya, perempuan itu berteriak nyaring dan menyerang
Ludiro dengan pedang terjulur ke depan. Ludiro tidak mundur setapak pun. Ia
memiringkan badan, sehingga pedang lawannya terasa mendesing di samping
telinganya. Pada kesempatan itu, Ludiro memegang tangan perempuan itu dengan
kuat-kuat. "Hupp...! Hiaayaa...!"
Satu hentakan suara bersamaan
dengan pukulan tangan kiri Ludiro ke tulang rusuk musuhnya. Perempuan itu
menyeringai kesakitan. Ludiro belum mau melepaskan pegangan tangannya. Masih
kuat ia menggenggam pergelangan tangan yang memegang pedang. Lalu dengan
hentakan yang sangat kuat, Ludiro membalikkan badan dan menyodok perut lawannya
dengan sikut tangan kiri.
"Aaahkk..!"
Perempuan itu terpekik. Ia segera memindahkan pedangnya ke tangan kiri.
Dan ia mulai menusukkan pedangnya ke tubuh Ludiro yang amat dekat itu. Tetapi
dengan gerakan bersalto ke belakang, Ludiro dapat menghindari tusukan pedang
tersebut. Dua kali Ludiro bersalto ke belakang, sehingga dalam jarak yang cukup
itu, ia merendahkan tubuh,
berlutut dengan salah satu kaki dan,
"wesss...!" Ia melemparkan senjata rahasianya ke arah perempuan itu.
"Tring...!" Senjata Ludiro dapat ditangkis dengan kibasan pedang
musuhnya. Sekali lagi Ludiro melemparkan Mata Pisau beracun
"Wess...!"
"Tring...!" Perempuan itu menangkisnya dengan pedang bersaman dengan gerakan
tubuh yang melengkung ke samping dan salah satu kakinya ditekuk.
Sebelum Ludiro melancarkan senjata rahasianya lagi, perempuan itu telah lebih
dulu melejit ke udara.
"Hiaaaat...!!"
Ia bersalto ke arah Ludiro dengan pedang ditebaskan bertubi-tubi. Ludiro
menghindar, namun rambutnya sempat terpotong beberapa bagian oleh pedang itu.
Ludiro tergeragap.
"Sekarang saatnya pembalasanku
tiba, manusia busuk...!"
Perempuan itu berdiri tegap,
pedangnya dikibaskan ke arah depannya berkalikah kendati ia tahu jarak Ludiro
tak terjangkau. namun tiba-tiba, pedang itu meluncur sendiri dengan cepat.
Berputar bagai tak dapat dilihat
gerakannya. Ludiro kelabakan,
menghindar ke kiri-kekanan, melompat ke atas, berguling... dan pedang itu masih
mengejarnya. Gerakan Ludiro sudah seperti celeng mabok, tak karuan menghindari
gerakan pedang yang memburunya.
Sampai akhirnya kepala Ludiro terbentur batang pohon.
"Prak...!" Pedang itu meluncur ke arahnya dengan cepat.
"Jubb...!" Pedang menancap pada batang pohon yang keras. Ludiro lega, namun
lengannya berdarah karena tergores pedang setan itu. Ia baru saja hendak
melemparkan senjata rahasianya,
tahu-tahu kaki perempuan itu menendang dagunya sekuat tenaga. Ludiro memekik dan
terdongak, lalu rebah ke belakang.
"Rasakan bagianmu ini, monyet jelek...!"
Sekali lagi perempuan itu menendang dengan satu hentakan yang cukup kuat.
Tendangan itu bersarang di punggung Ludiro, membuat Ludiro kesakitan,
punggungnya bagai patah.
Dalam keadaan kritis itu, ia sempat berkonsentrasi dan segera berguling sambil
melancarkan Tendangan Dewa Mimpi.
Bergulingnya tubuh Ludiro membuat perempuan itu sedikit kebingungan, namun
segera mendelik karena kaki Ludiro menghentakan kemaluannya. Ia buru-buru
meloncat ke belakang.
Ludiro tak sempat memburu, karena punggungnya terasa sakit sekali dan dagunya
bagai pecah karena tendangan tadi. Ia berusaha berdiri dengan
merambat, berpegangan batang pohon. Pada saat itu, pandangan matanya yang
berkunang-kunang sempat melihat
perempuan itu sempoyongan. Ia berusaha mengangkat temannya yang telah mati
dengan leher ditembus senjata rahasia Ludiro. Ia memanggul jenazah temannya dan
segera melarikan diri.
"Tunggu...!!" teriak Ludiro yang tak mampu melengking.
Perempuan itu terus melesat, namun sempat meninggalkan suara nyaring.
"Kita akan bertemu lagi, monyet! Aku akan memburumu! Ingat kata-kata ini hanya
aku yang berhak membunuhmu!"
"Berhenti kalauu kau memang..."
Ludiro tak sanggup bicara lagi.
Kepalanya begitu pusing, dan luka di lengannya itu menjadi terasa sangat perih.
Ia mencoba mehhat luka di lengannya, ooh... ternyata luka itu cepat sekali
menjadi busuk. Bukan darah merah segar lagi yang mengucur, melainkan darah
hitam, kental dan berbau busuk.
Ludiro bersandar pada batang pohon, tak mampu berdiri. Nafasnya
terengah-engah, badannya terasa sakit.
Ia melirik ke batang pohon, ternyata di sana masih ada sebilah pedang yang
menancap. Pedang itulah yang menggores lengannya dan menjadi busuk, bahkan...
astaga! Sekarang bukan hanya bagian luka saja yang membusuk, melainkan di
sekeliling luka pun menjadi busuk.
Mengoreng bagai borok yang amat ganas.
Ludiro sempat kebingungan dan
tegang. Jelas pedang itu mempunyai racun yang amat ganas. Bukan hanya membuat
luka menjadi busuk dalam tempo singkat, melainkan tulang-tulangnya pun terasa
patah semua. Ludiro nyaris tak dapat bergerak Ia mencoba dan mencobanya lagi,
tapi kakinya benar-benar mati. Bahkan jari-jari tangannya tak dapat
disentil-sentilkan, apalagi dipakai memegang sesuatu. Hanya leher saja yang
masih bisa bergerak, dan itu pun lamban serta dengan susah payah.
Ketika ia mehrik kembali luka di
lengannya, matanya tak mampu membelalak lebar melihat borok itu semakin merayap,
membesar dan menjijikkan. Oh, apa yang harus ia lakukan dalam keadaan seperti
ini. Ia sendirian. Tempat itu sepi. Ia tak mampu menggerakkan bibirnya untuk
berseru meminta pertolongan. Sedangkan borok itu...oh, makin lebar dan semakin
menjadi busuk. Sekar ang hampir memakan separoh lengannya. Haruskah ia mati di
situ diserang borok busuk"
*** 2 KEREMANGAN sore mulai membias.
Langit warna merah saga. Sejauh itu Ludiro masih bersandar pada sebuah pohon
yang menjulang tinggi. Ia bagai menunggu ajal tiba, karena borok itu semakin
membusuk di seluruh tangannya. Telapak tangannya sendiri mulai lembek dan
sebentar lagi pasti akan membusuk seperti lainnya.
Dalam kesendirian menunggu busuknya semua anggota badan itu, Ludiro tak dapat
berbuat apa-apa kecuali meratap dalam hati. Ia tahu, tempat yang begitu liar ini
tak akan dilalui oleh siapa pun, kecuali dedemit-dedemit hutan. Ia merasa tidak
punya harapan lagi. Jangankan harapan untuk hidup, harapan untuk bisa berteriak
pun tidak ada sama sekali.
Sekarang yang bisa ia gerakan hanya bola matanya. Tulang leher mulai kaku
seperti anggota tubuh lainnya. Bola matanya itu yang sesekali melirik pedang
bergagang kuningan yang menancap pada batang pohon di seberangnya. Ia hanya bisa
mengumpat dalam hati
"gara-gara pedang itu, tubuhnya menjadi tersiksa menunggu pembusukan yang
sempurna. Oh, racun apa gerangan yang membersit dalam lapisan pedang itu
sebenarnya?" pikirnya sejak tadi.
Di luar dugaan, Ludiro merasakan ada sesuatu yang menyentuh boroknya. Mulanya ia
menganggap hanya semilir angin, namun setelah dirasakan berkali-kali, ia mulai
sadar memang ada sesuatu yang menyentuh tangannya yang busuk itu. Ingin rasanya
ia berpaling melihat sesuatu yang menyentuh bagian pangkal lengannya, namun ia
tak mampu. Lehernya masih kaku dan gerak matanya tak dapat menjangkau untuk
memandang ujung pundaknya. Hanya saja, Ludiro tahu, sesuatu yang
menyentuh itu adalah tetesan benda cair.
Tetesan itu berasal dari atas. Oh, mungkin hujan atau embun.
Ludiro membiarkan benda itu menetes terus, membiarkan lengannya yang busuk
menjadi basah sampai beberapa lama.
Bahkan Ludiro m-maksakan diri untuk dapat terpejam tidur, walaupun hal itu
sangat sukar ia lakukan.
Tanpa disadari, ternyata lehernya mulai dapat digerakkan sedikit demi sedikit.
Kekakuan berkurang, dan Ludiro dapat memandang benda yang menetes di ujung
lengannya itu. "Oh, darah...?" ia berkata dalam hati. Ia menggumam lirih. Pelan sekali.
Untuk mendongak ia masih tak mampu. Sebab itu ia membiarkan darah yang menetes
dari atas pohon itu membasahi boroknya terus.
Ludiro merasakan ada perubahan pada lukanya yang membusuk. Setiap tetesan darah
membuat rasa perihnya berkurang.
Dan semakin banyak darah yang mengalir ke bawah, membasahi lengannya, semakin
berkurang pula aroma bau busuk yang tadi memualkan perut itu.
Sampai akhirnya, lengan yang
membusuk itu telah basah seluruhnya oleh darah segar. Darah yang menetes dari
atas pohon tempatnya bersandar. Lalu, suatu perubahan dirasakan kembali, kini
leher Ludiro bisa dipakai untuk mendongak Ia memandang ke atas mencari sumber
tetesan darah yang cukup aneh itu.
Oh, ternyata ada seseorang di atas sana. Orang itu tersangkut pada sebuah dahan
besar dalam keadaan terluka.
Ludiro mengernyitkan alis, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya.
Kian lama kian nyata, orang itu adalah seorang perempuan berkain sutra warna
merah muda. Dari perhiasan yang
dikenakan, jelas perempuan itu bukan dari keluarga rakyat jelata. Wajahnya tak
dapat terlihat, karena tertutup beberapa rimbun daun. Namun kakinya yang lencir
indah bagai batang bambu suling itu terlihat mengenakan binggel, gelang kaki
berwarna emas. Tipis, tapi sungguh indah dan terlihat nyata dalam keadaan
terpadu dengan warna kulitnya yang kuning.
"Eh... bisa bergerak..."!" Ludiro bicara sendiri, merasa aneh ketika tak sadar
ia mampu menarik kakinya. Kini perhatiannya kembali pada dirinya sendiri. Oh,
ternyata ia sudah mulai bisa bergerak. Rasa ngjlu pada tulangnya hilang. Ia
seperti memperoleh
kekuatannya yang sejak tadi tak ada pada dirinya. Dan ia memandangi lengannya
yang membusuk, ooh..." ternyata lengan itu kembali normal. Luka mengering dan
menutup kembali. Kebusukan sirna,kini berganti lumuran darah yang menetes dari
atas pohon. Sengaja Ludiro tidak membersihkan darah itu. Ia bangkit dan mencoba untuk
berdiri. Ternyata bisa. Ia berdiri tegak, lalu merenggangkan kaki, memasang
kuda-kuda, merendahkan badan sedikit, meloncat-loncat pendek, oh... sungguh ia
merasa kembali seperti sedia kala. Ia mengencangkan otot-otot tangan dan kaki,
menggerakkan dalam beberapa jurus, dan nyatanya memang betul-betul mampu
bergerak dengan mantap.
"Siapa perempuan yang di atas pohon itu?" katanya dalam hati. "Siapa pun dia,
namun secara tak langsung ia telah menyelamatkan jiwaku. Darahnya yang telah
menetes pada lukaku dan membuat suatu kesembuhan yang sukar dipercaya.
Hem, sudah sepatutnya aku mengucapkan terima kasih kepadanya... tapi apakah dia
masih hidup?"
Tanpa menunggu pertimbangan lebih pan-ang lagi, Ludiro memanjat pohon itu.
Sebenar-nya ia bisa saja menggunakan ilmu peringan tubuh, tapi ia tak ingin
melakukan dengan cara begitu. Ia lebih senang dapat menaiki pohon itu dengan
susah payah. Terpeleset jatuh pun tak jadi soal, justru itu ia semakin senang,
sebab dengan demikian ia telah menolong perempuan itu dengan proses yang cukup


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sulit, paling tidak dengan suatu
pengorbanan waktu dan tenaga.
"Syukurlah... ia belum mati..."
ucap Ludiro lirih. Ia segera mengangkat tubuh perempuan itu dengan sangat hatihati. Ia berusaha jangan sampai tubuh itu terjatuh dari atas pohon yang cukup
tinggi. Kendati ia sendiri juga besar kemungkinannya untuk tergelincir jatuh,
namun yang paling utama baginya adalah menyelamatkan tubuh perempuan itu agar
jangan sampai terjatuh dari
ketinggian yang dapat membuat batok kepala hancur seketika.
Berhasil diturunkan dari atas
pohon, perempuan itu segera dibaringkan di rerumputan yang aman dan tak
mengandung duri. Sejenak Ludiro
mengagumi wajah cantik perempuan itu yang memiliki sepasang bulu mata lentik dan
tahi lalat di samping bibirnya yang mungil. Benar-benar
bagai seorang bidadari dalam tidurnya yang lelap.
Ludiro berdecak kagum. Dalam hati ia berkata, "Hanya Putri Ayu Sekar Pamikat
yang mampu menyaingi kecantikan gadis ini..." Ludiro gelisah memandanginya
terlalu lama. Ia tak tahan, sebab itu segera ia membuang rasa kagumnya dan
khayalan keindahannya tentang putri tersebut.
"Edan...!" pekik Ludiro dengan mata terbelalak. Ia tak mampu berkedip saat
memeriksa luka perempuan itu yang tadi meneteskan darah. Ia hampir tak percaya
pada penglihatannya sendiri, bahwa luka di ketiak perempuan itu adalah luka
karena terkena senjata rahasia.
Bentuknya berupa mata pisau yang kecil, tipis dan beracun.
"Ini senjataku..."!" ucapnya sendiri dalam kebingungan. Wajah Ludiro menjadi
tegang, matanya memandang sekeliling sebentar, kemudian
memperhatikan perempuan itu lagi
Benar-benar tak habis pikir bagi Ludiro, bagaimana mungkin ada orang yang mampu
menyerang perempuan itu dengan
menggunakan senjata rahasia miliknya"
Mungkinkah penyerangnya sama persis dengan penyerang gelap yang menewaskan Raden
Praja di Lembah Bukit Tanah Iblis, tempo hari itu" (dalam kisah Racun Puri
Iblis). Jadi selama ini memang adakah orang yang selalu menjadi penyerang gelap
dengan menggunakan senjata rahasia serupa dengan miliknya"
Ludiro geleng-geleng kepala. Ia
memeriksa di sekitar luka itu. Oh, memerah, bahkan legam. Ia hapal, itulah racun
yang akan menyerang jantung si penderita akibat terkena senjata
rahasianya. Jadi, sejauh itukah orang dapat meniru senjata rahasianya, sampai ke
kadar racunnya segala"
Kebingungan dan penyesalan
dibuangnya jauh-jauh. Yang penting ia harus segera menyelamatkan perempuan muda
itu. Ia telah berhutang budi secara tak langsung. Dan memang hanya dialah yang
tahu bagaimana mengatasi racun senjata rahasianya itu. Mungkin memang ada
seseorang yang tahu, yaitu pemalsu senjata rahasianya. Tetapi orang itu tidak
ada. Jadi saat sekarang hanya dialah yang dapat menyelamatkan jiwa perempuan
cantik itu. Ludiro segera menempelkan telapak tangannya ke sekitar ketiak yang terluka Kedua
telapak tangan itu menekan bagian tulang rusuk, dan pangkal lengan. Hal ini
dilakukan setelah ia memiringkan
perempuan tersebut. Lalu dengan suatu konsentrasi yang tinggi, pemusatan hawa
murni dalam ilmu Seraptaji, telapak tangan itu mulai bergetar. Semakin lama
tubuh perempuan itu semakin jelas bergetar. Kemudian ada asap biru
mengepul ke luar dari lobang luka yang masih menyimpan senjata Mata Pisau
Beracun itu. Asap biru kian mengepul, lalu tiba-tiba logam tipis kecdl itu
meluncur sendiri ke luar dari dalam luka.
Darah hitam meleleh dan membasahi gaun sutra berlengan panjang.
"Air..." Ludiro menggumam dengan clingak-clinguk mencari kemungkinan ada air di
sekitarnya. Tapi, iatakmenemukan sesuatu yang dapat dipakai untuk minum.
Tak ada genangan air, tak ada sungai, tak ada apa pun kecuali kelebatan hutan
belukar. "Aku harus mengambil air untuk dia.
Pasti tenggorokannya telah kering karena racun tadi."
Berjalan kehling sekitar situ, tak menemukan sumber air. Akhirnya Ludiro nekad
pergi mencari air di tempat lain.
Sebelumnya ia telah menulis pesan untuk perempuan itu apabila sewaktu-waktu
siuman. Pesan ditulis pada batang pohon, dikerat dengan menggunakan pisau
rahasianya. Tulisan itu berbunyi: JANGAN PERGI. AKU AKAN DATANG DENGAN
AIR UNTUK MU. Gerakan Ludiro yang terburu-buru
cukup gesit. Ia melompat bagai seekor bajing di sela semak belukar. Memang kulit
lengannya tergores duri, tapi tak pernah dihiraukannya. Yang terpikir dalam
benaknya ialah gadis itu. Ya, siapa dia sebenarnya" Ada perlu apa berada di
hutan belukar seperti itu" Lantas, bagaimana dengan Sekar Pamikat sendiri"
Di mana dia sekarang" Tahukah dia bahwa yang menculik calon suaminya adalah Peri
Sendang Bangkai" Ah, cukup rumit juga otak Ludiro saat itu. Tetapi akhirnya ia
berhasil menemukan sebuah telaga di dalam hutan itu. Telaga berair keruh, tapi
masih lumayan ketimbang air
comberan, pikirnya. Dan ia segera mengambil buah berenuk kering,
menggunakan buah berenuk untuk mengambil air telaga itu.
Pada saat Ludiro hendak membawa
pergi air itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Seorang lelaki brewok berikat
kepala batik menghadangnya dengan
garang. Lelaki itu bertubuh besar, mirip seorang raksasa. Tingginya mencapai
satu setengah tombak kurang sedikit. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Kumisnya
tebal melintang dengan golok pendek di pinggang. Sebatang akar bahar berukuran
sebesar jempol kaki membelit di lengan kanannya. Dadanya yang berbulu itu
mengenakan kalung dari kain hitam berbentuk segi empat. Ia memandang Ludiro
dengan mata semburat merah, mengerikan. Suaranya begitu berat dan besar ketika
ia berkata dalam nada geram,
"Kau memasuki wilayahku, setan! Dan kau telah mengambil barang milikku itu tanpa
permisi!" Ludiro menghela nafas. Belum
apa-apa ia sudah merasa sesak napas melihat perawakan lelaki brewok itu.
"Aku membutuhkan air untuk menolong seseorang."
"Tapi kau tidak minta izin kepadaku dulu, setan!" Lelaki brewok itu mendekat.
"ini wilayahku. Ini telagaku!
Kalau kau mengambil sesuatu dari wilayah telaga ini, kau harus izin dulu
kepadaku."
Agaknya orang ini cukup kasar dan ganas. Ludiro berpikir dengan cepat untuk
mengatasi kegarangan orang itu.
"Sebenarnya aku ingin meminta izin kepadamu, sobat," Ludiro bicara sambil
tersenyum. "Tapi, aku tidak bisa menemukan di mana kamu berada. Jadi, yahh...
kuambil saja."
"Kenapa tidak kau sebut saja namaku: Gopo!"
"Aku... aku tidak tahu," Ludiro mengangkat kedua pundaknya seraya menyunggingkan
senyum. "Dasar maling!" bentak Gopo yang sempat membuat Ludiro terlonjak kaget.
Suaranya bagai mempunyai tenaga hentakan yang cukup kuat. "Karena kemalinganmu
itu, kau harus menerima hukuman ini, setan!"
"Wuss...!" Gopo menendang dengan sebelah kaki, bagai seseorang yang tengah
menendang bola. Ludiro tak sempat menghindar karena tendangan itu sangat cepat
dan di luar dugaan. Ludiro
terjengkang ke belakang, nyaris jatuh masuk ke telaga. Lalu dengan cepat Gopo
memburu dan melangkahkan kaki, kemudian menghentak dengan mantap.
"Jleegg...!" Gopo bagai sedang menginjak seekor semut. Telapak kakinya yang
besar jatuh tepat di samping telinga Ludiro. Tanah bergetar karenanya. Ludiro
berguling ke kiri, dan berguling lagi karena kaki Gopo memburu untuk menginjak
kepala Ludiro. Entah berapa gulingan Ludiro
menyatu dengan tanah basah di tepian telaga yang mirip sebidang kolam ikan itu.
"Mampus kau, maling cikik! Hihh...!
Hiih...!" Gopo kelihatan tak memberi kesempatan kepada Ludiro.
Dalam keadaan tegang itu, Ludiro
sempat memanfaatkan jurus Tendangan Dewa Mimpinya. Berguling sambil melancarkan
tendangan ke arah alat vital musuhnya.
"Heaaat...! Hahh...!"
"Uhh...!" Gopo menyeringai kesakitan dan mundur beberapa langkah.
Namun sebentar kemudian Gopo telah kembali tegap, bahkan lebih garang lagi.
Sedangkan Ludiro buru-buru mengambil sikap berdiri dengan kedua kaki renggang
sedikit ditekuk. Paling tidak itu sebuah awal untuk meloncat dan menyerang.
Ludiro sempat gemetar melihat lawannya sungguh tak berbeda dengan seorang
raksasa. Apalagi tubuh Ludiro pendek, hanya sebatas ulu hati Gopo, hal itu
membuat Lidoro bertanya dalam hati:
"Mampukah ia mengalahkan manusia raksasa ini?"
Sebuah pukulan dilancarkan oleh
Ludiro ke perut Gopo. Lelaki tinggi besar itu tidak menangkis atau menghindar.
Pukulan itu dibiarkan membentur
perutnya. "Buuk...!" Ludiro bagai memukul bedug. Dan pada saat itu, tangan Gopo meraih
tangan Ludiro dengan cepat.
"Kena kau, maling!" geramnya dengan mata melotot merah.
"Aaahk...!" Ludiro memekik tertahan, pergelangan tangan kanannya terasa sakit
karena bagai dicepit dengan besi baja yang amat kuat.
"Uuh... aah...!" Ludiro tak sempat bilang apa-apa.
"Remuk tanganmu, Maling! Remuk sekarang juga! Hihh...!" Genggaman Gopo semakin
kuat dan sangattmenyakitkan.
Dalam kesempatan itu, tangan kiri Ludiro menegang, lalu kepalan tinjunya
melayang ke pinggang Gopo. Lelaki itu tidak berkelit dan tidak merasa sakit
sedikit pun. Tetapi ketika lutut Ludiro menyodok keras alat vitalnya, Gopo
menjerit. Tubuhnya terbungkuk ke depan sementara pantatnya mundur ke belakang.
Kesempatan itu digunakan Ludiro untuk menghantam kepala Gopo kuat-kuat.
"Rasakan permainanku yang ini, heaaahh...!!"
"Plok...! Plook...!"
Gopo masih memegangi tangan Ludiro.
Kali ini ia justru menyerusuk ke leher Ludiro, lalu tangan yang satunya
merangkul pinggang Ludiro.
"Haaahh...!!"
Gopo menyentakkan rangkulannya,
merapatkan tubuh Ludiro dengan perutnya yang gendut dan keras itu. Ludiro
menjadi sukar bernafas, ia bagai digencet di antara dua buah gunung.
"Ngeekk...!" suaranya begitu menyedihkan. Mulut Ludiro cengap-cengap dengan mata
mendelik. Ia berusaha meronta, namun hanya kelojotan saja yang bisa dilakukan.
Kedua kakinya terangkat dan tangannya kaku.
"Pencuri... harus mati, hiihh...!!"
Gopo semakin mengencangkan pelukannya.
Kini bahkan dengan kedua tangannya ia menghimpit tubuh Ludiro. Otot-otot
tangannya tersumbul dari dalam lapisan kulitnya yang tebal. Begitu kuat jepitan
itu, sehingga Ludiro mau minta ampun saja sukar sekali. Mulutnya menganga
kuat-kuat, menahan sakit dan mencari pernapasan.
Sambil menggeram Gopo sempat
berkata, "Setiap pencuri di wilayahku tak ada yang pernah hidup, tahu"!
Hehh...!" Kalau saja lebih lama sedikit, maka habislah riwayat Ludiro dalam jepitan
manusia raksasa itu. Untung ia segera mendengar suara lecutan cambuk.
"Ctar...! ctar..!" Dan pelukan Gopo merenggang seketika. Gopo terlepas, jatuh
lemas bagai cucian baju yang belum dijemur. Gopo menjerit kesakitan sambil
berusaha meraba punggungnya. Ia berbalik sambil oleng ke kiri dan kanan.
Pendekar Cambuk Naga berdiri dengan sikap menantang tak jauh dari Gopo. Bukan
hanya mata Gopo saja yang membelalak lebar, tapi mata Ludiro pun demikian juga.
Setelah berhasil menghirup nafas dengan cepat, Ludiro pun berseru:
"Putri..."!"
Ucapan Ludiro tak berlanjut. Gopo lebih dulu berseru dengan geram,
"Setan Betina...!! Berani kau melukai tubuhku, hah"! Rasakan
pembalasanku ini, heaaaahh...!!"
Pendekar Cambuk Naga tak mau
membuang-buang waktu dan tenaga, ia mengibaskan cambuknya yang terbuat dari
serat-serat sutra, namun mempunyai kekuatan yang luar biasa, terlebih jika
dialiri tenaga dalamnya.
"Tarr...! Tarr...!"
Dua kali cambuk melecut, keduanya mengenai kaki Gopo. Lelaki itu menjerit keras,
dan air telaga pun bergoyang karena getaran suara. Gopo jatuh ke tanah sambil
kesakitan. Untung Sekar Pamikat atau Pendekar Cambuk Naga tidak
bersungguh-sungguh dalam menyerang Gopo, sehingga kedua kaki lelaki brewok itu
tidak putus terpotong seperti kaki Darmala dulu (dalam kisah Racun Puri Iblis).
Lelaki itu hanya merasa tulang kakinya seperti remuk dan menjadi lumpuh. Untuk
sementara ia memang tak dapat berdiri. Dan Sekar Pamikat sengaja mendekatinya
dengan senyum kemenangan.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga.
Tapi untuk apa. Kudengar pembicaraan kalian tadi, semua ini hanya kesalah
pahaman. Jadi, kumaafkan kau yang telah berani menyakiti pengawalku...."
Kemudian Sekar Pamikat memandang
Ludiro yang masih berusaha meluruskan tulang-tulangnya. Sekar Pamikat sempat
tertawa masam, dan Ludiro semakin cemberut.
"Gara-gara Putri pergi, saya jadi begini," gerutunya.
"Maaf, aku harus menyelamatkan calon suamiku," Sekar Pamikat mulai murung.
"Lalu, bagaimana" Di mana Pendekar Pusar Bumi sekarang?"
Sekar Pamikat berjalan mencari
tempat duduk. Ada batu besar di suatu tempat, tak jauh dari kepala Gopo. Di batu
itu ia duduk dalam rona
kesedihannya. Ludiro mendekat dan mendesak ingin mengetahui nasib
Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu.
"Apakah Putri Ayu telah berhasil merebut
nya kembali dari tangan
penculik?"
Sekar Pamikat menggeleng. "Aku gagal. Kehilangan jejak. Tak tahu ke mana aku
harus memburunya."
Ludiro menghempaskan nafas
sebentar. Katanya pelan,
"Saya tahu di mana Lanang berada."
Sekar Pamikat yang lesu menjadi
bersemangat. Telinganya bagai tercocok tombak Ia memandang tajam kepada Ludiro
dengan perasaan tak sabar.
"Kemana" Cepat katakan! Katakan, Paman....!"
Ludiro tersenyum tipis, "Akan saya katakan setelah saya menolong seseorang yang
telah menyelamatkan nyawa saya..."
Kemudian Ludiro menceritakan
tentang penghulu Badra dan pengejarannya terhadap pembunuh penghulu Badra.
Bahkan sampai bertarungannya dengan dua
perempuan keji yang mengakibatkan luka pada lengannya itu pun diceritakan.
"Dan sekarang saya perlu air untuk gadis yang secara tak langsung telah
menyelamatkan saya dari kebusukan itu."
Sekar Pamikat menggumam sejenak, memasukkan cambuknya pada tempatnya yang berada
di punggung. Lalu ia berdiri, dan berkata,
"Ambil air itu secukupnya, lalu kita pergi ke sana. Ayo, gadis itu pasti sudah
menunggumu lama...."
"Hei, bagaimana dengan kakiku..."!"
seru Gopo sambil menahan sakit. Tapi ia hanya mendapat jawaban dari Sekar:
"Lihat saja, bagaimana nanti. Itu hanya peringatan bagi orang yang sok
berkuasa....!"
Ludiro dan Sekar Pamikat segera
melesat meninggalkan
telaga berair keruh. Mereka menuju ke tempat perempuan yang ditolong Ludiro tadi.
Tetapi, alangkah terkejutnya mereka setelah mengetahui tempat itu telah kosong.
Gadis yang terluka tidak ada, dan pedang yang menancap di pohon... oh, pedang
itu masih ada. Hanya gadis itu yang hilang. Ke mana dia" Mampukah ia sadar
sendiri tanpa air"


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 3 BERULANGKALI Ludiro menggerutu tak jelas. Matanya masih bergerak-gerak nanar
mencari di mana perempuan berbaju sutra merah muda yang terkena senjata
rahasianya tadi" Sementara Ludiro mencari perempuan cantik itu, Sekar Pamikat
meneliti pedang yang menancap pada batang pohon. Sepintas tadi Ludiro telah
menceritakan tentang racun pada pedang itu. Dan Sekar Pamikat merasa kagum di
dalam hatinya terhadap
keampuhan pedang itu.
"Bagaimana, Paman?" Sekar Pamikat mengalihkan perhatiannya sendiri.
"Mungkin sejenis kuntilanak
perempuan tadi. Masa
bisa hilang sendiri. Ia tak mungkin dapat berjalan sebelum meminum air. Tenggorokannya akan
tersekat bisa racun dari senjata saya itu, Putri."
"Tapi betul, bukan kamu yang
melukainya, Paman?"
"Sumpah! Saya bertarung dengan dua gadis lain. Saya rasa tidak ada
hubungannya dengan kedua gadis genit itu. Tapi... entah siapa yang telah
menyerangnya dengan senjata rahasia seperti senjata saya itu. Kurasa ada orang
yang memalsukan senjata yang menjadi ciri khas saya, Putri."
Sekar Pamikat ikut melangkah,
menyusup di antara semak, mencari tanda-tanda kepergian dan tak berhasil.
Ia sempat berseru kepada Ludiro yang berada di tempat lain:
"Paman...! Ingat pembunuhan
terhadap Raden Praja" Itu juga
melibatkan senjata rahasiamu, dan ternyata pembunuhnya adalah Nawang Puri,
bukan?" (dalam kisah Racun Puri Iblis).
Ludiro bergegas menghampiri Sekar Pamikat dengan wajah sedikit tegang.
"Jangan-jangan... Nawang Puri juga yang melukai perempuan berbaju sutra merah
muda itu, ya?"
Pendekar Gambuk Naga menggeleng.
Tapi bukan berarti Nawang Puri
memalsukan senjata milikmu. Menurut pengakuan Lanangseta, Nawang Puri hanya
memanfaatkan senjatamu yang menancap pada salah seorang musuh kita ketika kita
berada di Bukit Tanah Iblis itu Senjata itu diambil kemudian dipakai membunuh
Raden Praja."
"Aaah... memang serba kacau!"
gerutu Ludiro dengan kesal. Ia kembali mencari perempuan itu, perempuan yang
telah terluka ketiaknya dan tak sadarkan diri, yang sekarang menghilang sebelum
Ludiro sempat membawakan air untuk menghilangkan busa racun di tenggorokan
perempuan tersebut.
Ludiro berdiri di depan tulisan yang dibuatnya sebagai pesan, tuhsan itu masih
terbaca jelas dalam ukiran batang poHon. Ketika Sekar Pamikat ikut
mendekat lalu membacanya, Ludiro sempat berkata bagai ditujukan pada dirinya
sendiri: "Mungkin perempuan itu tidak bisa membaca tulisan ini. Uhh... dasar perempuan
tolol!" Tiba-tiba ada suara menyahut dari atas pohon lain,
"Aku bisa membacanya...!"
Ludiro dan Sekar Pamikat terkejut mendengar suara perempuan. Segera mereka
berpaling, mendongak ke atas pohon di seberang mereka. Ternyata dari rimbunan
daun yang lebat merapat itu muncullah seraut wajah can-tik, bertahi lalat di
ujung bibir bawah.
"Aneh..." gumam Ludiro. "Dia malah sudah bisa memanjat pohon setinggi itu"!"
Perempuan berbaju sutra warna merah muda, dengan lengan baju yang panjang
longgar itu, segera meluncur turun dari atas pohon. Ketika ia meluncur turun,
Ludiro merasa sedang menyaksikan seekor kupu-kupu terbang melayang dengan
indahnya. Bajunya yang tipis longgar itu bagai kibasan sayap kupu-kupu
menghampiri madu bunga melati. Dari posisi turunnya yang begitu lembut menyentuh
tanah dan berdiri tegak, Sekar Pamikat mengetahui bahwa perempuan muda dan
cantik itu jelas bukan sekedar perempuan bangsawan biasa, namun tentu saja
mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Ilmu peringan tubuhnya cukup sempurna.
Hemm... siapa dia sebenarnya?"
kata Sekar Pamikat di dalam hati.
"Maaf, aku merepotkanmu," kata perempuan itu kepada Ludiro. Lelaki pendek
bertubuh gempal itu masih
bungkam. Setelah Sekar Pamikat menyodorkan sikutnya ke pinggang Ludiro secara diam-diam,
Ludiro baru berkata dengan gagap:
"Kau... bagaimana" Maksudku, bagaimana kau bisa sadar dari pingsanmu dan naik ke
atas pohon, sedangkan...."
Perempuan muda itu tersenyum malu.
Gayanya cukup manja ketika ia berkata,
"Seekor ular telah menggigit lenganku."
Ia memperlihatkan lengannya yang berkuht kuning mulus. Di situ memang ada bekas
gigitan ular. Lalu ia menyambung kata:
"Ular itu kecil dan bisanya tidak terlalu membahayakan. Lalu aku sadarkan diri
karena gigitan itu. Kupikir-pikir, rupanya racun ular itu berhasil
menawarkan racun senjata rahasiamu yang melukai ketiakku...."
"Senjata rahasiaku"!"
"Iya!" seraya perempuan itu melongok dengan dengan mata membelalak genit-genit
manja. "Aku tidak merasa menyerangmu!"
bantah Ludiro. "Memang!" Ia merajuk sebentar. Lalu mendekat dan menuding Ludiro dengan
menempelkan jari telunjuknya ke dada Ludiro yang terben gong melompong. "Kau
memang tidak menyerangku. Tapi senjatamu yang kau lemparkan kepada gadis genit
lawanmu itu, telah ditangkisnya dengan pedang. Salah satu senjata ada yang
meluncur ke arahku tanpa sempat
kuhindari, lalu..." Ia mencemberutkan wajah. "Ia melukaiku. Sakit. Dan... dan
aku tak sadarkan diri."
Ludiro memandang Sekar Pamikat,
yang pandang hanya tersenyum geli sambil menutup mulutnya. Ludiro kembali
memandang gadis itu yang bergaya manja dan senang cemberut.
"Maaf, tapi itu di luar kesadaranku.
Dan tanpa kau sadari juga, kau telah menyelamatkan nyawaku sehingga aku perlu
membawamu turun dari atas pohon untuk mengobatimu."
"Apa" Menyelamatkan nyawamu?"
ketusnya. "Ah, aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya menonton pertarungan kalian.
Lalu aku pingsan, jatuh dari pohon dan dipagut seekor ular. Itu saja."
Ludiro menjelaskan secara singkat bagaimana saat dia menderita luka akibat
goresan pedang yang sampai sekarang masih menancap di batang pohon itu.
Perempuan manja itu terkejut saat dikatakan bahwa darahnya telah
menyembuhkan racun yang akan membusukkan badan Ludiro.
"Ah, aku tidak menyediakan darah untuk nyawamu!" katanya dengan ketus.
"Aku tidak pernah menyelamatkan kamu, dan kamupun tidak pernah menyelamatkan
aku!" "Ini sungguh-sungguh .terjadi di saat kau tidak sadarkan diri, Nona!"
"Mustahil!" bantahnya dengan bergaya ketus. "Darahku darah Panglima sedangkan
darahmu darah rakyat jelata, mana bisa darahku
menyatu dengan darahmu." "Tapi nyatanya tetesan darahmu telah membuat borok di badanku sembuh!"
bentak Ludiro. "Kebetulan saja borokmu sudah bosan di tubuhmu!" balasnya sambil mempermainkan
sehelai ilalang. "Atau, karena darahku tercemar oleh racun senjatamu, maka
ketika menetes mengenai borokmu, racun senjatamu itu yang menawarkan racun borok
dari lukamu."
Ludiro kembali memandang Sekar
Pamikat. Dewi Cambuk Naga tampak tenang, senyum tipis membias samar-samar, dan
matanya tak lepas memperhatikan
gerak-gerik perempuan manja yang suka bicara ketus itu.
"Apakah mungkin begitu, ya?" Ludiro bingung sendiri. "Tapi bagaimanapun juga,
aku berterimakasih kepadamu, Nona."
"Ah, nggak perlu!" jawabnya masih ketus. "Kau tidak perlu berterimakasih
kepadaku dan akupun tidak perlu
berterimakasih padamu. Kita tak pernah saling menolong, kan"!"
Mulut Ludiro ternganga, ingin
mengucapkan sesuatu, tapi bingung.
Akhirnya Sekar Pamikat menengahi dengan berkata:
"Jangan bodoh, Paman. Ia ahli bicara. Yang dia maksud, jangan lagi ada istilah
hutang budi atau balas budi.
Semuanya terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang merasa berhutang dan
dihutangi. Sudahlah, tak perlu diperpanjang."
Perempuan manja berlagak ketus itu menyahut, "Hanya orang pandai yang bisa
memahami bahasaku."
Ia bersandar pada pohon dengan
sebelah tangannya. Ia memperhatikan pedang beracun yang masih menancap di pohon
itu. Mungkin ia ingin mengatakan sesuatu tentang pedang itu, namun Sekar Pamikat
telah lebih dulu berkata:
"Namaku Sekar Pamikat, dan orang yang merasa tertolong oleh darahmu ini bernama
Ludiro. Ia pengawalku. Tapi, sebenarnya dari tadi kami berdua masih belum bisa
mengerti, siapa namamu dan bagaimana jika kami ingin memanggilmu"
Rasa-rasanya enak sekali jika kita bersahabat, bukan?"
Perempuan cantik bertubuh langsung namun tidak kurus itu berpaling
memandang Sekar Pamikat. Ia berkata ketus.
"Persahabatan" Ya, indah memang kedengarannya. Tapi sebetulnya tidak seindah
emas dalam intan. Persahabatan itu kan Cuma suatu istilah Yang penting bukan
persahabatannya, namun sentuhan dari hati ke hati yang punya segunung pengertian
dan saling mengasihi. Sebab kadangkala persahabatan hanya terjadi pada masa
senang, pada masa gembira, berlimpah susu, madu dan emas. Tetapi dalam kegelapan
yang amat menderitakan satu pihak, persahabatan itu sudah tidak terdengar lagi.
Yang ada hanya kata
'masa-bodo' dan sejenisnya. Jadi, jangan katakan kita akan bersahabat, tapi
katakanlah: kita akan saling melihat.
Aku melihat hidupmu dan kamu melihat hidupku. Apa yang kau lakukan dalam
penglihatanmu itu terserah nuranimu, demikian juga apa yang kulakukan dalam
penglihatanku terserah moralku."
Sekar Pamikat tersenyum kendati
dalam hatinya mengatakan, "Cerewet juga kau!" Tapi sebenarnya Sekar Pamikat juga
mengagumi falsafah yang dianut perempuan itu.
"Baiklah, kita saling melihat. Tapi kami perlu mengetahui namamu. Paling tidak
sebagai pemacu daya ingat kami tentang dirimu yang akan kami lihat bersama."
Setelah diam sejenak, melirik
Ludiro sebentar, kemudian perempuan itu berkata:
"Namaku...: Andini Putri Panglima kerajaan Sebrang." Lalu ia tersenyum, senyum
manis yang mengandung ajakan bersahabat. Sekar Pamikat menyambutnya dan Ludiro
ikut menjawab dengan senyum tipis, kaku, karena masih terpukau dan bingung
dengan kepribadian Andini
"Boleh aku mengetahui tujuanmu di hutan ini, Andini?" tanya Sekar Pamikat.
"Aku sedang dalam perjalanan memburu kekasihku yang diculik perempuan jalang."
Sekar Pamikat terperanjat sebentar, menatap Andini lekat-lekat. Ada sembilu yang
mengiris hati, dan Sekar Pamikat menahan rasa perih yang menyedihkan itu.
"Kau menyindir aku, Andini...."
"O, tidak," jawabnya cepat. "Aku sungguh-sungguh kehilangan kekasihku.
Diculik orang. Gila, kan"! Dan aku menemukan jejak di sini. Jejak penculik
kekasihku."
"Siapa" Maksudku jejak apa?" tukas Ludiro.
"Pedang itu...!" Andini menunjuk pedang yang masih menancap di batang pohon.
"Pedang itu sama persis dengan sebilah pedang yang kutemukan di taman
keputrenku. Di sana kutemukan pedang milik anggota komplotan penculik
kekasihku yang tertinggal dan ternyata setelah sejak tadi kuperhatikan, cocok.
Sama persis dengan pedang itu. Jadi, agaknya aku sudah mulai dekat dengan
kekasihku."
"Tidak," sanggah Ludiro. "Kita masih jauh dari sarang mereka."
"Darimana kau tahu"!" Sekar Pamikat menyerobot kata.
"Penculik Lanangseta bisa
kusimpulkan sama dengan penculik kekasih Andini itu. Menurut keterangan yang
saya peroleh dari Penghulu Badra, penculiknya adalah Peri Sendang Bangkai.
Penghulu Badra dibunuh juga oleh orang Sendang Bangkai, dan aku mengejar, tapi
temannya menghadangku dua orang." Ludiro berpaling kepada Andini, "Yang tadi
bertarung melawanku itu..." Andini mengangguk-angguk dan Ludiro
melanjutkan percakapannya dengan Sekar Pamikat.
"Jadi kalau kita ingin mengetahui nasib para korban penculikan, sebaiknya kita
datang ke Sendang Bangkai. Aku tahu tempat itu dari penghulu Badra."
"Kalau begitu, secepatnya kita bergerak ke sana!" kata Sekar Pamikat tak sabar
diri. "Tunggu," sergah Andini. "Jadi, kau benar-benar senasib denganku, Sekar
Pamikat?" "Ya. Calon suamiku diculik oleh mereka dan aku harus merebutnya
kembali!" "O..." Sebenarnya siapa kamu ini?"
"Pendekar Cambuk Naga, putri Patih Sambangbumi dari Kepatihan Anjar Puspa,"
jawab Ludiro dengan cepat, mewakili Sekar Pamikat Dan ternyata jawaban itu
membuat Andini terperanjat kaget.
"Jadi... kau" Kau yang dikenal dengan Cambuk Naga itu?"
Sekar Pamikat tersenyum tenang.
Masih bernada penuh persahabatan, dan bukan nada angkuh membanggakan diri. Dia
hanya berkata, "Kau mengenal nama itu juga rupanya?"
"Tentu. Suara lecutan cambuk nagamu sampai terdengar di kerajaan Sebrang."
Andini tertawa senang. "Kalau begitu, ayo kita berangkat mencari kekasih kita
masing-masing...."
Langkah Pendekar Cambuk Naga begitu tegap, tegar dan mengagumkan. Sebagai
seorang perempuan cantik, berambut panjang yang sebagian digelung dengan ikat
kain emas, dengan baju model jubah berwarna biru muda dari kain halus, ia benarbenar menampakkan sosok
kemolekannya. Badannya yang padat, berisi dengan buah dada yang menonjol
menggiurkan setiap lelaki, ia
menampakkan betul sosok pendekar putri yang tangguh. Pedang Jalak Pati terselip
di pinggang berangkin hitam bludru, dan cambuk bergagang hitam nangkring di
pundak, sungguh merupakan pemandangan yang cukup mengagumkan bagi seorang putri
pendekar. Sebenarnya kecantikan Sekar Pamikat mempunyai nilai yang sama dengan Andini,
putri Panglima Sebrang itu. Hanya saja Andini lebih kelihatan lembut sebagai
seorang putri cantik. Baju longgar berwarna merah muda dengan celana potongan
pangsi berenda emas di
tepiannya, memang menampakkan dia sebagai putri bangsawan, setidaknya sebagai
seorang putri ningrat. Kesan keperkasaannya tidak nampak sama sekali, sebab ia
sama dengan Ludiro, tanpa membawa senjata yang bisa terlihat mata mari usia.
Andini polos, tanpa pedang maupun barang apapun. Tapi Sekar Pamikat yakin, bahwa
Andini mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi.
Ludiro, sebagai pengawal setia
Sekar Pamikat sejak dari kepatihan Anjar Puspa, selalu berjalan di belakang
mereka. Kini rasanya ia mempunyai dua orang yang harus dikawal. Ia tetap
mengenakan baju buntung dan celana sebatas tulang keringnya. Memang tak terlihat
senjata pada dirinya, namun di balik baju buntungnya yang tebal, di sela-sela
sabuk kulitnya yang lebar dan tebal itu, terselip beratus-ratus pisau kecil yang
menjadi andalannya bila bertempur. Dengan tubuh pendek dan kulit hitam kekar, ia
melangkah penuh waspada.
"Putri...!" tiba-tiba ia memanggil Sekar Pamikat. Kedua perempuan sama cantiknya
itu berhenti, berpaling kepada Ludiro.
"Saya mendengar suara orang
mengaduh," katanya.
Sejenak, Sekar Pamikat
menggelengkan kepala, mendengarkan suara yang dimaksud Ludiro. Lalu ia berkata:
"Ya. Aku juga mendengarnya. Rupanya kita tidak jauh dari telaga berair- keruh
itu. Dan suara itu... jelas suara Gopo yang masih kesakitan karena cambukan pada


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya" Tanpa bicara apapun. lagi, Sekar
Pamikat merubah arah. Ia membelok, menuju jalan ke telaga keruh. Kini Ludiro
berjalan persis di samping Andini.
Sesekali Ludiro melirik rambut Andini yang panjang sebatas pinggang, namun
bagian kepalanya ditekuk ke atas, dan diberi jepit dari logam kuningan. Emas.
Ya, memang indah, dan sangat menarik kecantikan Andini itu. Tapi Ludiro segera
membuang khayalannya untuk yang kedua kali. Kalau saja ia tumbuh sebagai ksatria
gagah, seperti Lanangseta, ia akan berani melamar Andini. Sayang, kondisinya
tidak seperti khayalannya, sebab itu ia membuang jauh-jauh khayalan itu. Ia
hanya berkata kepada Andini,
"Sudah berapa lama kekasihmu diculik?"
"Lebih dari setengah purnama...."
Diam-diam Ludiro berpikir,
"Setengah purnama" Apa maksudnya" Satu purnama kalau tidak salah... 30 hari.
Jadi setengah purnama... 15 hari. Ooh...
sudah lima belas hari?"
"Gantengkah dia?" bisik Ludiro.
"Tentu lebih ganteng darimu," jawab Andini.
"Seorang pangerankah dia?"
"Hanya seorang pendekar gagah perkasa. Bertubuh tinggi, berotot tegap, berwajah
bersih, halus, hidungnya bangir dan bibirnya bersih, tidak sehitam bibirmu."
Ludiro hanya tersenyum kecut.
Lalu Andini melanjutkan kata-katanya, sambil berjalan di belakang Sekar Pamikat
dalam jarak dekat. Dan pembicaraan itu pun didengar pula oleh Sekar Pamikat,
sehingga sesekali ia tersenyum diam-diam jika mendengar Ludiro diejek oleh katakata Andini. "Kekasihku itu,
mungkin orang paling tampan di seluruh pelosok bumi."
"Kenapa kau bisa bilang begitu?"
"Karena aku belum pernah melihat lelaki lain yang lebih tampan dari dia.
Dia sangat pandai memainkan jurus pedangnya. Ia selalu mengenakan ikat kepala
dari kulit macan tutul untuk mengikat rambutnya yang panjang, lembut bagai
benang-benang sutra Cina. Ia selalu menyandang sebilah pedang
dan...." Sekar Pamikat berhenti melangkah.
Ia mulai ada keganjilan yang
mencurigakan dari pembicaraan Andini. Ia bergumam dalam hati: "Ikat kepala kulit
macan tutul..." Pedang di
punggungnya..." Kok seperti...
seperti...?"
"Ada apa berhenti?" tegur Andini.
Sekar Pamikat menggeragap. "Ah, anu... tidak."
"Nah..." Andini menggoda dalam senyum ceria. "Kau pasti terkesima dengan
kekasihku, bukan" Kau pasti dapat menghayalkannya betapa gantengnya dia, bukan?"
Andini terus menggoda dengan
kelincahan dan kemanjaannya. Sementara itu Sekar Pamikat semakin grogi, dan
Ludiro sendiri sempat terbengong, bertanya-tanya dalam hati tentang siapa
sebenarnya kekasih Andini itu"
"Apakah... apakah kekasihmu itu berhidung bangir dan bermata tajam?"
tanya Sekar Pamikat
"Ya. Ya, betul sekali khayalanmu itu. Dia bermata tajam tapi meneduhkan.
Sungguh mata itu begitu teduh bila menatapku dan aku sangat damai jika bersama
tatapannya."
"Hemm... siapa..." Sekar Pamikat ragu. Ludiro segera tanggap dengan maksud putri
asuhannya itu. Ia yang bertanya kepada Andini:
"Siapa namanya" Boleh kami
mengetahuinya?"
Andini berkerut dahi. Heran.
"Kalian semakin curiga agaknya. Ada apa?" "Kami hanya ingin... hanya ingin tahu
namanya saja..." kata Putri Ayu Sekar Pamikat. Ludiro menambahkan untuk
menghilang kan kecurigaan Andini, "Ya.
Kami ingin tahu namanya, sebab...
ciri-ciri pemuda seperti yang kau sebutkan itu, sepertinya pernah kami kenal dan
pernah menolong kami. Jika benar dia adalah orang yang kami maksud, berarti kami
ada kesempatan untuk membalas budi baiknya. Kami berhutang budi kepada orang
yang kau sebutkan ciri-cirinya."
Andini bahkan berhenti melangkah
dan diam beberapa saat. Ia terbayang wajah kekasihnya yang menyekap kerinduan di
hati. Ia terbayang saat berpelukan di sisi taman dalam keremangan cahaya
purnama. Lalu, Ludiro membuyarkan lamunan itu dan bertanya lagi,
"Siapa namanya?"
"Apakah ia berjuluk seorang
pendekar juga?" pancing Sekar Pamikat yang mulai berdebar-debar sejak tadi.
"Ya. Dia punya julukan pendekar
karena kehebatannya bermain pedang."
"Pendekar siapa?" Ludiro ikut penasaran.
Andini menatap Ludiro dan Sekar
Pamikat berganti-gantian. Sepertinya ia menyimpan keraguan dan keheranan
terhadap pertanyaan itu. Tapi akhirnya ia menjawab juga dengan suara lembutnya:
"Ia berjuluk Pendekar Maha
Pedang...."
Secara bersamaan Sekar Pamikat dan Ludiro menghempaskan nafas. Dalam hati Sekar
Pamikat berbisik, "Bukan...! Bukan dia!"
Tetapi Ludiro masih mendesak
pertanyaan ketika mereka melangkah lagi,
"Nama aslinya siapa?"
Sekar Pamikat tertarik menguping
lagi. Andini menjawab dengan polos:
"Ekayana... Ia anak seorang resi di sebuah pegunungan."
Sepi. Mereka melangkah menuju
telaga. Kecamuk di dalam benak mereka tertunda sebentar karena suara orang
merintih kesakitan masih terdengar, bahkan kian dekat dan semakin jelas.
Kemudian ketika mereka sampai di balik semak belukar, terlihatlah sebuah telaga
berair keruh. Dan di salah satu
tepiannya, tergeletak seorang lelaki bertubuh besar, kekar dan brewokan.
Andini sempat terperanjat mehhat Gopo.
Ia berseru, "Itu raksasa...!"
"Bukan," jawab Ludiro. "Dia manusia biasa yang punya kelebihan bertubuh besar.
Itu saja!"
Sekar Pamikat mendekati Gopo lebih dulu, setelah itu baru Andini dan Ludiro.
Gopo merintih, sampai mengeluarkan air mata. Ia menahan-nahan kakinya yang sama
sekali tak dapat digerakkan karena sakitnya. Dan begitu melihat kehadiran Sekar
Pamikat, Gopo segera meratap:
"Tolong...! Tolonglah kakiku, aku sudah tak tahan lagi... oh, kasihanilah aku.
Aku tidak punya saudara dan
keluargaku habis terbantai. Aku
sendirian, hanya berdua dengan kakiku ini. Haruskah aku kehilangan kakiku
ini....?" Kata Sekar Pamikat, "Baik Tapi ingat, jangan sekali-kali berlagak semasa menjadi
penguasa! Tidak semua orang bisa kau rendahkan lewat
anggapanmu. Mengerti....?"
"Ya, ya... Mengerti... Aduuuh..."
Sekar Pamikat mengambil cambuknya.
Gopo terbelalak kaget ketika diketahui ia akan dicambuk lagi. "Wahduh...
kira-kira sajalah... Masa kaki sudah hancur mau kau cambuk lagi"! Sadis amat
kau.,.! Kejam...!" Gopo menangis ketakutan.
Tapi Sekar Pamikat tidak peduli. Ia tak tahu bahwa Gopo sangat ketakutan jika
melihat cambuk sejak saat itu. Trauma.
Dan ketika Sekar Pamikat melecutkan cambuknya dua kali dalam hentakan terhenti,
Gopo menjerit. Sangat
ketakutan. Kakinya mengejang-ngejang sambil kelojotan.
Gopo tak tahu, begitulah cara Sekar Pamikat menyembuhkan kaki yang tercambuk
oleh cambuknya. Hanya dengan cambuk itulah kaki tersebut dapat kembali normal.
Sebenarnya tidak sakit.
Berbunyi: "tarr...!" saja tidak. Tapi karena Gopo sudah terlanjur trauma dengan
cambuk, maka sekalipun hanya tersentuh cambuk ia menjadi ketakutan dan menjeritjerit. Tetapi tiba-tiba ia berhenti
menangis meraung-raung. Ia terbengong sambil masih mewek tanpa suara. Ia
menggerak-gerakkan kakinya yang semula sangat sakit dan sukar digerakkan.
Ternyata rasa sakit itu. hilang
seketika. Kaki itu dapat
digerak-gerakkan kembali dengan normal, sepertinya tidak pernah terjadi suatu
kecelakaan yang meremukkan tulang-tulangnya. "Aneh. Aneh sekali," pikir Gopo.
Lalu ia mulai tersenyum. Ia mencoba berdiri, oh... bisa. Lancar. Biasa-biasa
saja. "Kakiku..." Kakiku sembuh..."
Oii... bisa loncat malah..." Gopo kegirangan.
Sementara itu, Andini berbisik
kepada Ludiro, "Cukup aneh cara penyembuhannya. Tapi kuakui memang hebat si
Cambuk Naga itu. Ia dapat menyalurkan tenaga murni lewat lecutan cambuknya dan
membuat penyembuhan yang sangat ajaib."
Ludiro berbisik, "Setahuku dia punya ilmu cukup tinggi. Entah kalau menurut
setahumu...."
Sekar Pamikat tidak banyak bicara, ia berjalan meninggalkan Gopo seraya berkata
kepada Ludiro, "Paman.... kita harus segera ke Sendang Bangkai
sebelum...."
"Tunggu, tunggu...!" Gopo memotong dengan cepat. "Kalian hendak pergi ke mana
tadi" Ke Sendang Bangkai"! Oh, apakah... apakah kalian orang-orang Sendang
Bangkai?" Ludiro yang menjawab, "Kami punya urusan dengan orang-orang Sendang Bangkai.
Mungkin juga urusan berdarah!"
"O, oh... kalian mau bikin
perhitungan dengan orang-orang Sendang Bangkai"! Wah, kebetulan! Jangan
tinggalkan aku. Jangan tinggalkan Gopo!
Tolonglah, ajak serta aku!"
"Apa urusanmu?" tanya Sekar Pamikat.
"Keluargaku habis terbantai oleh mereka pada saat aku tidak ada di rumah.
Mereka yang membuat aku sebatang kara!
Aku harus menuntut balas kepada
mereka....!"
Setelah dipertimbangkan sejenak,
mereka setuju mengajak serta Gopo. Tak ada masalah. yang ada hanya kegelisahan
di hati Sekar Pamikat: mengapa ciri-ciri kekasih Andini sama persis dengan
kekasihnya yang juga diculik Peri Sendang Bangkai"
* * * 4 SENJA sudah berangsur pudar. Kali ini, sesosok bayangan mulai menembus malam
yang muda. Kemudian disusul tiga sosok bayangan lainnya mengikuti dari belakang.
Empat sosok itu masih berusaha merayapi hutan gunung Carakan. Mereka adalah
Putri Ayu Sekar Pamikat dengan ketiga sahabatnya. Sudah tiga malam mereka
merambah bumi, menuju Sendang Bangkai, dan pada malam ini Sekar Pamikat
memerintahkan orang-orangnya untuk berhenti. Berhenti untuk ketiga kalinya.
Sebetulnya Sekar Pamikat masih ingin melanjutkan perjalanan malam. Ia tak sabar
lagi, ingin segera sampai ke Sendang Bangkai. Namun, Andini yang manja
berulangkali merengek.
"Kakiku capek... Pegal semua.
Uhh...!" Mulanya Sekar Pamikat tidak menghiraukan rengekan gadis manja itu, tapi
setelah Andini berhenti dan
berkata: "Jalanlah terus. Aku mau istirahat di sini saja."
"Kau akan tertinggal, Andini," kata Ludiro. "Biar. Aku capek sekali. Aku tak mau
memaksakan diri untuk menuruti penderitaan."
"Termasuk tak mau merebut kekasihmu lagi?" ujar Ludiro.
"Uuh...!" Andini hanya mendesah kesal. Sekar Pamikat mengulum senyum.
Akhirnya ia sendiri berkata:
"Baiklah, kita beristirahat dulu di sini." Lalu ia memerintahkan Gopo,
"Pasang kayu bakar untuk penghangat, Gopo!"
"Baik," jawab Gopo yang tak kelihatan capek, hanya kelihatan kesal hatinya
terhadap Andini. Ia mendesis di depan Andini, "Uhh... bocah kolokan!"
Andini sendiri tak peduli atas celaan Gopo. Ia hanya melirik sebentar dengan
sewot, lalu buang muka, menampakkan kemanjaannya.
Nyala api unggun berbinar-binar.
Menghangatkan tubuh, menghalau udara dingin pegunungan yang mencekam. Ludiro
berada dalam satu kelompok dengan Gopo dan Andini, sementara Dewi Cambuk Naga
memisahkan diri. Memandang keremangan petang sambil menyelidik suasana
sekitar. Lalu ia sengaja duduk bersandar pada batang kayu yang tumbang. Ia
memandang Andini yang tengah
tertawa-tawa bersama Gopo dan Ludiro sambil menghabiskan panggang ayam hutan.
"Cantik. Memang cantik dia," pikir Sekar Pamikat menatap Andini dari kejauhan.
Benak dan hati saling
berkecamuk Kata-kata Andini terngiang dalam telinganya saat gadis bertahi lalat
di ujung bibir bawahnya itu menceritakan
ciri-ciri kekasihnya.
Sekar Pamikat sempat menyimpan
kegelisahan beberapa hari ini. Hatinya selalu
merasa was-was, dan
bertanya-tanya:
"Mungkinkah hanya sebuah persamaan saja" Rambut panjang yang halus bagai serat
sutra, itu adalah rambut
Lanangseta. Pedang dipunggung dengan ikat kepala dari kulit macan tutul, itu
milik Lanangseta. Tinggi, tegap dan wajah halus bersih, itu juga milik
Lanangseta. Apakah dia juga yang menjadi kekasih Andini" Ah, tapi mengapa
namanya lain" Namanya Ekayana, gelarnya Pendekar Maha Pedang. Bukan bernama
Lanangseta dengan gelar Pendekar Pusar Bumi." Sekar Pamikat mendesah. Lalu
hatinya bergumam lagi, "Ah, apa sih artinya nama bagi seorang lelaki" Bisa saja
ia memalsu seribu nama dalam sehari kalau toh itu memungkinkan ia dapat menggaet
sejuta perempuan. Ya, apa jadinya jika ternyata kekasih Andini adalah Lanangseta
juga" Apa yang harus kulakukan untuk mereka"
Membunuh Andini, atau membunuh
Lanangseta" Atau... membunuh diri sendiri" Oh, tidak! Itu tidak mungkin.
Juga tidak mungkin sama Lanangseta diculik pada malam pengantin, sedangkan
Ekayana diculik lima belas hari lebih dulu. Tak mungkin sama. Tapi... tapi bisa
saja Lanangseta lolos dari penculik dan lari ke Kadipaten Nilakencana, lalu
bertemu denganku dan... dan... ah!"
Sekar Pamikat bagai mengibaskan
lamunannya sendiri. Rasa perih di hati akibat lamunannya terasa menjalar di
seluruh daging, bahkan sempat membuat tulangnya ngilu. Ia tak mau membayangkan
hal itu. Ia takut menghadapinya. Sebab ia tak akan mampu menerima kenyataan,
bahwa kekasihnya mendua hati. Ia sungguh tak mampu, dan tak mau.
Lanangseta memang tampan. Gagah.
Bukan hal yang mustahil jika banyak gadis mengincarnya. Bukan hal yang aneh jika
banyak perempuan yang ingin memilikinya.
Lanangseta memang menggairahkan.
Senyumnya yang lembut mempunyai daya tarik tersendiri, bahkan mampu membuat
perempuan tergugah birahinya jika melihatnya terlalu detil. Tetapi
bagaimana dengan kekasih Andini" Apakah dia juga demikian" Apakah dia juga
diculik oleh orang yang ingin
memihkinya" Jangan-jangan lain korban lain penculiknya.
Tiba-tiba sebatang pisau bergagang kayu cendana melayang. Melesat tepat dari
arah rimbunan pohon, dan tertuju pada dada Sekar Pamikat. Reflek Sekar Pamikat
cukup kuat. Ia melentik bagai belalang ke samping kanan dengan cepat mencabut
pedang Jalak Patinya.
"Sreet....!"


Pendekar Cambuk Naga 2 Rahasia Sendang Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pisau bergagang kayu cendana
menancap di batang pohon, tempat Sekar Pamikat tadi berada. Mata Sekar Pamikat
membelalak dan bergerak liar mencari menyerang gelapnya.
"Ada apa..."!" Ludiro bergegas bangkit mengetahui Sekar Pamikat
mencabut pedang. Ia segera mendekati putri asuhannya. Ia pun bersiap,
memasang kewaspadaan ketika Sekar Pamikat mengatakan:
"Seseorang telah menyerangku,"
seraya Sekar Pamikat menunjukkan pisau yang menancap di batang pohon.
Ludiro bergegas masuk ke rimbunan belukar. Andini dan Gopo ikut tegang.
Mata mereka membelalak, mengawasi sekeliling. Mereka berpencar dan saling
berhati-hati. Lain sekali lagi sebuah pisau
bergagang kayu cendana melesat dari kegelapan.
"Awas...!" seru Sekar Pamikat. Kali ini pisau itu meluncur ke arah Gopo.
Tubuh besar yang mirip raksasa itu memang sedikit lam ban bergerak. Namun untung
hanya merobek baju hitamnya dan pisau itu pun tembus ke semak-semak
"Gila!" bentak Gopo dengan keras.
Daun-daun bergoyang. Mereka semakin tegang kecuali Gopo. Mereka mengira di balik
getaran daun-daun itu akan muncul sesosok tubuh manusia lain, namun ternyata
tidak. Daun itu bergoyang karena tergetar oleh suara Gopo yang keras dan
mempunyai suatu hembusan tersendiri.
"Kita pindah saja, yuk...?" rengek Andini seperti anak kecil. Gopo sangat
dongkol mendengar rengekan itu. "Di sini tidak aman. Ayolah, kita pindah ke
tempat yang aman!"
Dengan geram Gopo berkata, "Tutup mulutmu, Setan
cengeng! Pasang
kewaspadaan supaya matamu tidak ditancap pisau sialan itu!"
Andini merajuk, sewot. "Kamu kasar sekali, Gopo..."
"Persetan...!"hardik Gopo.
Bertepatan dengan itu, sebatang
tombak melesat dari arah kegelapan lain.
Melesat cepat, nyaris tak terlihat mata.
Tertuju kepada Andini yang tengah cemberut kepada Gopo. Andini di luar dugaan
duduk dalam keadaan cemberut.
Pada saat ia duduk itulah tombak melayang ke atas kepalanya, dan menancap batang
pohon lainnya. "Oh...! Ada tombak!"
Jengkel sekali hati Gopo melihat kemanjaan Andini, bukannya memandang ke arah
sekeliling, berjaga-jaga, tapi malahan mendekati tombak itu dan
mengamatinya beberapa saat. Sekar Pamikat sempat berseru.
"Andini... berlindunglah...!"
Tapi Andini bagai tidak mau
mendengar anjuran Sekar Pamikat. Ludiro ingin menarik Andini dari tempatnya
berdiri, tapi tiba-tiba sebuah pisau melesat lagi menghampiri Ludiro.
Hembusan angin terasa bagai meniup tengkuk kepala Ludiro. Secepat kilat Ludiro
loncat ke depan lalu bersalto miring, serong ke kanan. Ia berdiri tegap kembali
persis di tepian bara api yang masih menyala-nyala itu. Sedangkan pisau itu
melesat terus hampir mengenai Sekar Pamikat. Untung dengan cekatan Sekar Pamikat
mengibaskan pedangnya.
"Trang...!" Pisau itu dibuang dengan tangkisan pedang yang cukup cepat.
Gopo menarik tangan Andini yang
masih mengamati tombak yang menancap di pohon, seakan ia masih heran dengan
tombak itu. Gopo berkata kasar,
"Setan...! Kau cari mampus ya?"
"Ada tombak...!" Andini menuding.
"Iya. Aku tahu itu tombak. Aku tidak bilang kalau itu pisang raja! Tapi ini
berbahaya. Jangan berdiri saja di sini, berlindunglah! Tolol! Bodoh! Goblok!
Bodoh..!" Pada saat itu desing besi meluncur cepat ke arah mereka. Ludiro sempat
berteriak, "Awass...!" Gopo segera berguling ke tanah.
Sebatang tombak itu melesat ke arah Andini. Dengan gerakan yang tak diduga,
Andini menghentakkan kaki sehingga meloncat ke atas. Tombak menancap pada pohon,
tepat di bawah kaki Andini. Dan dengan gayanya yang menjengkelkan hati Gopo,
kaki Andini menapak pada batang tombak itu. Ia berdiri di atas batang tombak dan
berseru kepada Gopo.
"Gopo...! Tolong, turunkan aku...!"
"Brengsek!" teriak Gopo, dan Andini terjatuh akibat getaran suara Gopo. Ia
meringis, pantatnya sakit.
Sekar Pamikat dan Ludiro tahu, itu hanya permainan Andini saja. Tetapi Gopo
tidak mengetahui, bahwa Andini
sebenarnya bukan sekedar gadis manja tanpa isi. Buktinya, jika Andini tanpa isi,
tak mungkin ia dapat menghindari lemparan tombak yang begitu cepat, dan bahkan
bisa berdiri di atas batang tombak yang menancap di pohon itu. Agaknya Gopo
belum menyadari hal itu.
Gopo hanya segera berseru kepada
Ludiro, "Kita telah dikepung!"
Sekar Pamikat mengangguk sambil
berjaga-jaga. Terangnya api unggun membuat silau pemandangan. Mereka tak dapat
menembus pandaiigan di balik semak belukar. Namun insting mereka
mengatakan, bahwa ada banyak pasang mata yang sedang mengawasi mereka.
"Tutup telinga kalian...!" seru Gopo.
"Apa" Tutup telinga?" Andini bernada membantah. "Memangnya gunung ini akan
meletus?" "Tutup telinga, tolol?"
"Tuh... kamu kasar lagi sih..."
Andini bersungut-sungut.
Gemas sekali hati Gopo. Ia ingin
menggamparnya. Tapi tiba-tiba, dari rimbunan semak berbagai arah, muncul tubuhtubuh kekar dan kasar. Wajah-wajah bengis menampakkan diri, mengurung mereka.
Sekar Pamikat merapat pada Ludiro, demikian juga Gopo dan Andini.
Gadis manja ini sempat berkata polos,
"Iih... banyak orang di sini...."
"Diam!" geram Gopo.
Kelompok tak dikenal itu semakin banyak Jumlahnya mencapai puluhan orang.
Mereka bergerak membuat suatu lingkaran mengepung Sekar Pamikat dan kawan-kawan.
Lingkaran semakin dipersempit dan kian rapat. Rasa-rasanya tak ada celah untuk
dapat lolos. Jangankan manusia, lobang jarum pun susah lolos dari lingkaran itu.
Salah seorang dari kelompok bengis itu maju, agaknya dialah pimpinan mereka.
Tanpa baju, berikat kepala kulit ular, bercelana dari kain tebal tenunan,
mengenakan kalung berlontin tengkorak bayi. Rambutnya panjang tak teratur. Ia
memegang tongkat setinggi tubuhnya. Di ujung tongkatnya itu berhias tengkorak
manusia dewasa.
Laki-laki yang sedikit gemuk dan
buncit perutnya itu terkekeh-kekeh memandang Andini. "Nona manis...."
ucapnya menggoda. Tapi Andini menjawab polos:
"Apa?" Gopo mencolek agar Andini diam. Tapi malahan sebaliknya. Andini bertanya,
"Kalian siapa, kok mengepung kami?"
"Aku Sumo Barong, Nona cantik...."
"Barong apa?" tanya Andini. Lalu lelaki itu tertawa terbahak- bahak kepada
teman-temannya.
"Gadis ini cantik, lucu, tapi menggairahkan."
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 15 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Jembel 12

Cari Blog Ini