Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Bagian 1
Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
SEPASANG WALET MERAH Oleh D. Affandy
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Sepasang Walet Merah
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Tanpa menghiraukan udara pagi yang terasa
begitu dingin menggigit sampai ke sum-sum tulang.
Perempuan itu terus berenang menelusuri Sungai
Banyu Urip yang jernih, namun memiliki kedalaman
tidak lebih dari empat tombak. Sesekali tubuhnya yang berkulit halus mulus
tampak melonjak-lonjak bagai
sosok makhluk yang sudah sampai pada puncak birahi. Lalu tubuhnya kemudian lemas lunglai, mengembang di atas permukaan air sekejap, selanjutnya tubuh itu tenggelam perlahan.
Lenyap tak lebih dari sepema-kan sirih lamanya. Air di dalam Sungai Banyu Urip
tampak kembali tenang bagai tak pernah ada siapa
pun hadir di dalamnya. Tinggallah tebing batu cadas
nan bisu yang menjadi pagar dalam derasnya air Sungai Banyu Urip yang banyak menyimpan seribu satu
macam misteri. Lalu saat mana perempuan berkulit putih mulus dan tanpa mengenakan sehelai pakaian itu kembali
muncul ke permukaan air. Maka perubahan pun langsung terjadi Air Sungai Banyu Urip yang semula nampak tenang, bening nan sejuk tampak bergolak. Bahkan rasa dingin yang ditimbulkannya, mendadak saja
berubah hangat dan seiring dengan perubahan itu,
warna air di dalamnya berubah pula menjadi merah.
Darah! Tubuh perempuan itu mengejang dengan geletar-geletar kecil di sekujur permukaan kulitnya. Seiring dengan perubahanperubahan secara mengejutkan
tersebut, maka gejolak air dari bawah dasarnya mulai
menimbulkan riak-riak gelombang yang akhirnya menimbulkan satu gerakan yang tak ubahnya bagai pasang surut air laut. Detik selanjutnya seluruh permukaan air tempat di mana perempuan berambut panjang dan berwajah lumayan, tampak berputar-putar
membentuk satu pusaran air yang sangat kencang sekali. Kini kembali tubuh telanjang tersebut timbul
tenggelam dipermainkan pusaran air yang mengelilingi
tubuhnya. Tapi dari mimik wajahnya yang oval mengisyaratkan, tiada rasa ketakutan membayang di sana.
Sebaliknya sepasang bibirnya yang ranum itu menyunggingkan seulas senyum renyah. Terkadang terdengar pula suara mendesis dan erangan-erangan kecil
secara samar-samar. Ada sesuatu yang terasa menggelitik di bagian perut dan bagian-bagian lainnya.
"Bleep...!" Satu sentakan keras ke arah dasar sungai, membuat tubuhnya lenyap
seiring dengan kecepatan putaran arus yang sangat kuat dan bahkan
sampai menimbulkan suara berdengung-dengung bagai bunyi sempritan. Setelah lenyapnya tubuh perempuan itu bersama dengan putaran arus sungai yang
terjadi secara tiba-tiba. Maka detik selanjutnya bagai tak pernah terjadi apaapa, air sungai itu kembali
menjadi tenang seperti belum sediakala. Bahkan warna
merah yang ditimbulkannya akibat gelembunggelembung udara dari bawah dasarnya secara perlahan
berangsur-angsur lenyap sama sekali. Apakah yang
terjadi dengan perempuan itu"
Setelah mengikuti putaran arus yang sangat
kencang itu, maka tubuhnya terus meluncur pada sebuah terowongan yang terdapat di dasar sungai yang
memiliki kedalaman tak kurang delapan tombak.
Anehnya ketika tubuh tiada berpakaian itu terus mengikuti putaran arus yang membawanya ke sebuah terowongan di bawahnya. Dia masih dapat mengingat
bahwa memasuki terowongan itu semakin ke dalamnya, ternyata terasa semakin bertambah luas. Dan dalam keadaan seperti itu, masih teringat akan dia tentang pesan-pesan Eyang Girinda enam purnama sebelum dia menjejakkan kakinya di pinggiran Sungai
Banyu Urip. "Dewi Ratih! Sebagai gurumu di padepokan Bukit Berkabung ini, Eyang tidak dapat menghalanghalangi tentang semua rencana hidupmu di masa yang
akan datang. Kalau pun engkau tetap juga bersikeras
untuk mendapatkan Batu Permata Walet Merah milik
Eyang Buyut mu yang telah dia buang ke dalam sungai
Banyu Urip lebih kurang seratus tahun yang lalu. Maka aku tak bisa mencegahnya, tapi perlu kau ketahui.
Bahwa Eyang Buyut mu Resi Mamba, membuang Batu
Permata Walet Merah ke dalam sungai Banyu Urip,
sudah barang tentu ada sesuatu yang melatar belakanginya. Setidak-tidaknya ada rahasia yang mungkin
hanya dia sendiri yang mengetahuinya!"
Saat itu perempuan yang bernama Dewi Ratih
tersebut dan merupakan murid ke tiga di padepokan
Bukit Berkabung hanya menyahut.
"Eyang Girinda! Eyang Buyut Resi Mamba sengaja membuang Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan dahsyat itu ke dalam Sungai Banyu
Urip, menurut kesimpulanku adalah untuk menguji
siapa di antara keturunannya yang tabah dan memiliki
kemampuan dalam mendapatkan kembali Permata
Walet Merah. Dan menurut kesimpulanku pula, andai
di antara keturunannya ada yang mampu mendapatkannya. Mungkin dialah yang punya hak untuk dapat mempelajari dan mewarisi kitab Dewa Berkabung
yang terkunci di bukit Siluman...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, saat itu Eyang
Girinda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai orang tua sekaligus merupakan generasi ketujuh
dalam padepokan Bukit Berkabung. Sudah barang tentu dia lebih banyak mengetahui apa dan bagaimana
keinginan almarhum ayahnya Resi Mamba. Sungguhpun bagi dirinya pribadi, bahwa Resi Mamba ayahnya,
memiliki kepribadian yang misterius. Akan tetapi keti-ka kecil, dulu dia pun
masih dapat mengingat betapa
Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan
yang dahsyat itu dapat menghancurkan dan membunuh banyak orang ketika batu itu pernah terjatuh ke
tangan orang-orang sesat. Sebab Batu Walet Merah itu
memiliki pamor tinggi dan banyak diincar oleh orangorang rimba persilatan bukanlah karena harganya. Melainkan karena batu tersebut mengandung 'kekuatan'
sakti yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai
senjata yang sangat ampuh. Sedangkan keberadaan kitab Dewa Berkabung yang terkunci di dalam sebuah
gua di Bukit Siluman, keberadaannya pun masih sangat diragukan oleh Eyang Girinda.
Kini apabila dia teringat tentang masa depan
padepokan Bukit Berkabung yang hanya memiliki murid-murid keluarga berjumlah tak lebih dari tiga puluh orang. Dan murid ahli
waris tiga orang, rasa-rasanya
Eyang Girinda tidak dapat melihat bahwa padepokan
Bukit Berkabung akan mampu mencapai jaman keemasan seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat
mana ayah kandungnya Resi Mamba memegang pucuk
pimpinan di padepokan itu. Ketiga orang murid yang
masih keturunan langsung dari anak-anaknya, ternyata memiliki watak dan perangai yang berbeda-beda.
Murid pertama yang bernama Dewi Ratna Juwita,
sungguh pun merupakan murid yang memiliki kepandaian sangat tinggi namun mempunyai watak yang telengas dan suka mengembara ke mana-mana. Disamping itu, Eyang Girinda juga terpaksa harus mengusirnya karena ternyata Dewi Ratna Juwita menyimpan
hubungan cinta dengan Bagas Salaya, yang sebenarnya masih merupakan adik tirinya sendiri. Kini harapan satu-satunya sebagai ahli waris yang dapat melanjutkan kepemimpinan padepokan Bukit Berkabung sepenuhnya terletak di pundak Dewi Ratih. Sebagai murid ketiga sebenarnya gadis itu memiliki pendirian yang kokoh dan berpikiran
cerdas. Sayangnya murid sekaligus merupakan cucu ketiga Eyang Girinda ini merupakan seorang murid yang sangat pemalas dan tak
pernah giat dalam berlatih ilmu silat.
Sehingga dia selalu ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan dua orang saudaranya yang lain.
Sekarang setelah dua tahun ditinggalkan oleh kakak
tuanya Dewi Ratna Juwita, menyusul kemudian Bagas
Salaya, yang pergi dari padepokan karena kekasihnya
yang diusir oleh kakeknya. Tampak-tampaknya gadis
itu mulai menyadari betapa kehadirannya di padepokan Bukit Berkabung benar-benar sangat dibutuhkan
untuk menggantikan Eyang Girinda yang sudah sangat
lanjut usia. Mau tak mau Dewi Ratih harus berlatih keras
hampir sepanjang hari. Satu-satunya kitab dari lima
kitab warisan leluhur yang diberi nama 'Dewa Berkabung' tingkatan ketujuh telah berhasil di kuasainya
dengan baik hanya dalam waktu lebih kurang tujuh
purnama. Lebih dari itu tanpa dia sadari, Dewi Ratih
yang sangat dikenal sebagai seorang pemalas dalam
padepokan itu, sekarang telah memiliki tenaga dalam
serta ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna. Selain itu setelah berhasil menguasai kitab kelima dari seluruh
kitab 'Dewa Berkabung'. ini berarti, puncak kepandaian yang dimilikinya sekarang
ini telah melebihi kepandaian yang dimiliki oleh dua
orang saudaranya yang lain. Hal ini sudah tentu pula
di luar sepengetahuan dua orang saudaranya yang telah pergi meninggalkan padepokan. Mungkin satu saja
rasa penasarannya yang tidak dapat dicegah oleh
Eyang Girinda, yaitu rasa keingintahuannya tentang
Batu Permata Walet Merah yang dibuang ke Sungai
Banyu Urip oleh eyang buyutnya Resi Mamba. Dan itulah satu-satunya keinginan yang pada akhirnya telah
membawa langkahnya sampai di Sungai Banyu Urip.
Demikianlah dalam keadaan mengikuti putaran
arus di dalam terowongan di dasar sungai, perempuan
itu masih teringat tentang pesan-pesan gurunya.
"Dewi Ratih, cucuku! Kalau pun engkau berhasil mendapatkan Batu Permata Walet Merah di dalam
sungai Banyu Urip, eyang merasa sangat kuatir kalau
nantinya batu yang berkekuatan dahsyat itu akan menimbulkan bala bencana di rimba persilatan. Engkau
harus ingat waktu dulu eyang buyut mu sampai memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah tersebut, hal itu semata-mata, eyang buyut mu telah merasakan betapa semasa hidupnya kehadiran Batu Permata Walet Merah telah banyak menimbulkan pertumpahan darah...!"
"Tapi eyang.... Batu Walet Merah adalah milik
leluhur kita yang syah, dan mungkin kemunduran padepokan ini ada kaitannya dengan batu yang dibuang
eyang buyut Resi Mamba...!" Sergah Dewi Ratih saat itu. Dan pada dasarnya di
dalam lubuk hati, Eyang Girinda membenarkan ucapan cucunya. Namun manakala dia teringat tentang nasib yang dialami oleh orang tua ketiga cucu-cucunya,
yaitu Kartapati dan Lasmi
Kenaka yang tiada pernah kembali setelah berusaha
mendapatkan Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.
Tak urung rasa was-was menghantui dirinya.
"Hal itu memang tak dapat kubantu! Tapi perlu
kau ingat kedua orang tuamu sampai tewas dan bahkan tak diketahui mayatnya, juga karena ingin mendapatkan Batu Walet Merah itu. Pula kemunduran padepokan ini tidak berarti apa-apa, andai dengan keadaan seperti itu, padepokan kita menjadi aman dari
gangguan tokoh-tokoh silat golongan mana pun. Bukankah menurut eyang justru hal itu malah lebih baik
lagi...?" Ucap Eyang Girinda seolah mengajukan sebuah pertanyaan. Dewi Ratih
sebagai gadis yang berpikiran cerdik dan berpandangan luas, sungguhpun pada hakekatnya sebagai seorang gadis pemalas berat.
Namun sejak saat itu mulai memiliki satu gagasan
bahwa padepokan Bukit Berkabung harus mampu
mengulang masa jayanya kembali. Dan bagi Dewi Ratih, latar belakang kemunduran padepokan Bukit Berkabung telah diketahuinya. Yaitu setelah dibuangnya
Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.
"Eyang! Bukannya aku mau membantah apa
yang telah eyang katakan! Tetapi walau apapun yang
bakal terjadi, aku ingin padepokan ini bisa mengulangi jaman keemasan seperti
saat dulu eyang buyut Resi
Mamba menjadi pimpinan di sini...!" sela Dewi Ratih nampaknya sudah tak ingin
cita-citanya dihalang-halangi.
"Ratih... Ratih... sama seperti ayah dan ibumu,
kau pun memiliki pendirian yang keras...!" Ratih tampak terdiam, dia dapat
merasakan apa yang ada di dalam hati eyangnya. Sebagai orang yang sangat diharapkan di padepokan Bukit Berkabung itu, sudah tentu Eyang Girinda selalu mengkhawatirkan tentang keselamatannya. Andai saja dia sampai menemui nasib
seperti orang tuanya di Sungai Banyu Urip. Pupuslah
sudah harapan orang tua bertubuh ceking dan tinggi
ini. Walau bagaimana pun dia tak pernah mengharapkan Dewi Ratna Juwita yang telengas dan suka
mengembara itu, apalagi dia sempat menjalin hubungan cinta dengan saudara tiri-nya sendiri, yaitu Bagas Salaya. Sebaliknya Bagas
Salaya pun tak dapat diha-rapkan sebagai keturunan pengganti, karena pemuda
itu lebih cenderung bersahabat dengan tokoh-tokoh
Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
persilatan golongan sesat. Tapi ketika Dewi Ratih teringat akan Bukit Siluman yang menyimpan sebuah
misteri yang tak pernah terungkap oleh Eyang Girinda, maka dalam pikirannya
muncul satu pertanyaan yang
tak kalah pentingnya dengan kepergian dirinya ke
Sungai Banyu Urip. Selanjutnya setelah menarik nafas
dalam-dalam dan membuang praduga yang bukanbukan lalu dia pun bertanya:
"Eyang! Menurutmu, apakah Bukit Siluman
yang ruangan gua di dalamnya selalu terkunci itu tidak menyimpan sesuatu yang mungkin sangat penting
artinya dalam padepokan Bukit Berkabung...?" Sela si gadis dengan tatapan penuh
selidik. Namun lewat sorot mata laki-laki renta ini, Ratih tiada melihat bahwa
Eyang Girinda tiada menyimpan sesuatu yang sangat
rahasia. Malah sebaliknya sembari menatap cucunya,
Eyang Girinda berucap pelan.
"Bagiku dan sepanjang yang kuketahui di dalam gua Bukit Siluman tak terdapat sesuatu apa pun
terkecuali tempat itu memang sangat di keramatkan
bagi para keturunan padepokan Bukit Berkabung. Karena seperti diketahui gua Siluman merupakan tempat
bersemayamnya leluhur-leluhur kita yang telah tiada.
Sayangnya kunci untuk membuka pintu di dalam gua
itu juga kini telah hilang entah ke mana...!" kata Eyang Girinda seperti
menyesalkan. Apa yang dikatakan oleh
laki-laki renta pada bagian yang paling akhir tersebut sudah cukup membuat kejut
di hati Ratih. Sebagai
orang cerdik namun pemalas, dia dapat menduga. Kalaulah memang benar kunci itu hilang begitu saja, gadis ini tak ambil pusing. Namun andai sampai terjatuh ke tangan orang sesat yang
ingin mengetahui lebih banyak tentang rahasia di dalam gua itu.
2 Dewi Ratih tak dapat membayangkan akibatnya, sejauh itu dia tak punya keinginan untuk mengatakan kekhawatirannya tentang hilangnya kunci perak
tersebut, mungkin suatu saat dia dapat mencari tahu
benar tidaknya kunci itu hilang secara wajar.
"Baiklah eyang...! Mengenai rahasia Bukit Siluman aku tak akan mempertanyakannya lagi pada
eyang, tapi walau bagaimana pun aku tetap memutuskan untuk pergi ke Sungai Banyu Urip...!" katanya begitu tegas dan pasti.
Saat itu, walaupun merasa sangat berat hati untuk melepaskan Dewi Ratih, namun
akhirnya Eyang Girinda memberi ijin juga.
Kini kita kembali pada Ratih yang sedang berada di dalam sebuah lorong di dasar sungai yang terus
mengikuti putaran arus. Tubuh telanjang itu terus meluncur cepat ke arah bagian dalam terowongan pusaran air yang di kanan kirinya ditumbuhi dengan ganggang dan lumut yang sangat licin. Selanjutnya tak kurang dari sekedipan mata lamanya, sampailah Dewi
Ratih di dalam ruangan paling mendasar di dalam terowongan yang sangat panjang tersebut.
"Splaaak! Gabruuuk...!" Bagai ada sebuah kekuatan gaib bertenaga sangat besar,
tubuh Ratih terlempar dari dasar terowongan untuk selanjutnya tercampak di atas sebuah daratan batu cadas berlumut.
Yang membuat heran gadis itu adalah karena begitu
tubuhnya menyentuh permukaan tebing batu cadas
yang terdapat di dasar pusaran air ini. Secara mendadak tempat itu menjadi terang benderang.
"Aneh! Terowongan dan pusaran air yang begitu
deras telah mencampakkan diriku pada sebuah ruangan yang mungkin tak pernah terpikirkan keberadaannya oleh siapa pun. Namun... eee... sepertinya cahaya yang menerangi ruangan
dinding batu itu berasal
dari ruangan lain yang terdapat di sebelah depan sana" Mungkinkah semua itu karena pengaruh tapaku
yang telah berlangsung selama empat puluh hari itu"
Ataukah karena Sang Hyang Widi telah pula merestui
semua usahaku untuk mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit Berkabung" Tapi kalau pun semua itu benar adanya, pasti ada sesuatu terdapat di
dalam ruangan itu. Apapun yang bakal terjadi, aku harus sampai ke ruangan itu...!" batin Ratih. Selanjutnya tanpa membuang-buang
waktu lagi. Tubuh dalam
keadaan telanjang itu, mulai merangkak menuju ruangan lain yang berada di depannya. Usahanya untuk
dapat sampai ke dalam ruangan yang menimbulkan
cahaya terang benderang itu bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah. Sebab selain ruangan menuju tempat tersebut sangat sempit namun juga sangat
licin luar biasa. Berulang kali dia harus jatuh bangun untuk dapat sampai di
sana. Hanya dengan mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh saja, akhirnya dia sampai juga di depan pintu terowongan yang menyerupai lorong gua tersebut. Namun akhirnya dia harus terperangah saat mana gadis telanjang itu merasakan ada hawa panas terasa mendera
tubuhnya. Kejadian yang sangat tiba-tiba ini membuat
Ratih tersentak ke belakang. Tubuh si gadis terbanting dalam keadaan terlentang,
namun secepatnya tangan
dan kakinya berkelebat mencari keseimbangan. Karena
lantai dasar gua batu itu sangat licin, barulah setelah bersusah payah dia dapat
kembali dalam posisinya.
Apabila kedua matanya kembali memandang
pada ruangan yang menimbulkan cahaya terang benderang yang terdapat dua tombak di depannya. Maka
sadarlah dia bahwa cahaya terang yang sangat menyilaukan itu tersumber dari sebuah benda yang terletak
di atas tempat yang sangat mirip dengan sebuah altar
kecil. "Hmm. Mungkin benda yang mengeluarkan cahaya itulah Batu Permata Walet
Merah milik Eyang
Buyut Resi Mamba! Tapi sangat mustahil sekali andai
batu itu dicampakkan sedemikian rupa, kini bisa terletak di atas sebuah altar"
Mungkinkah ada tangan lain
yang telah meletakkannya di tempat itu" Emm... aku
merasa tiba-tiba saja bulu kudukku merinding, dan
mengapa secara mendadak pula batu itu bergerakgerak...!" batin gadis itu, secara reflek Ratih beringsut mundur. Bersamaan
dengan sirnanya cahaya yang ditimbulkan oleh batu yang terletak di atas altar
tersebut. Maka muncul pula cahaya lain yang memancarkan cahaya berwarna biru, cahaya itu tampak memancar dari lantai batu licin yang terdapat tidak begitu jauh dari altar tadi.
Semakin lama, cahaya berwarna
biru tersebut semakin bertambah membesar, semakin
tinggi, hingga pada akhirnya membentuk sesosok tubuh seorang kakek berbadan tegak dengan mengenakan pakaian berwarna biru pula.
Dewi Ratih tersentak kaget, wajahnya yang kemerahan berubah pucat pasi. Terlebih-lebih bila melihat tatapan mata kakek berambut dan berjenggot serba putih, yang sejak kehadirannya terus memperhatikan Ratih mulai dari ujung rambut hingga sampai ke
ujung kaki. Bukan karena apa si gadis bertingkah seperti itu. Hal ini tak lain sebagai seorang gadis dia menyadari, saat itu dia
tengah berhadapan dengan insan
berlainan jenis, apalagi dia menyadari kala itu tubuhnya tiada terbungkus
selembar kain apapun. Sudah
tentu dengan sangat leluasa kakek yang belum di kenalnya ini dapat memperhatikan dengan jelas lekuk
lengkung tubuhnya yang halus mulus itu. Merasa malu sendiri, Ratih menutupi tempat-tempat tertentu di
bagian tubuhnya dengan kedua belah tangannya. Akan
tetapi nampaknya si kakek yang kedatangannya bersama dengan cahaya biru tersebut dapat menangkap
apa yang menjadikan gadis itu menjadi gelisah. Detik kemudian menggemalah tawa.
"Ha... ha... ha...! Dewi Ratih, di dalam darahmu mengalir pula darahku, jadi
untuk apa kau harus ma-lu pada dirimu sendiri" Pula aku telah berada di alam
yang sangat berbeda dengan dunia mu...!" sejenak lamanya si kakek yang
berselimutkan kabut itu hentikan
kata-katanya. Sebaliknya bagi si gadis yang memiliki
pikiran cerdik ini kata-kata laki-laki tua itu sudah cukup baginya untuk
mengerti siapa sesungguhnya
orang itu. Maka tanpa canggung-canggung lagi dia pun
bersujud memberi hormat. Sebaliknya si kakek tanpa
menghiraukan apa yang dilakukan oleh Ratih terus saja melanjutkan ucapannya; "Tapamu yang empat puluh hari itu, telah membangkitkan aku dari tidurku
yang panjang. Bersyukurlah engkau bahwa sampai
saat ini dirimu masih tetap perawan. Jika tidak maka
engkau akan menemui nasib sebagaimana yang dialami oleh kedua orang tuamu. Ketahuilah Sungai Banyu
Urip tak pernah menerima tapa atau tubuh siapa pun
jika orang itu ternyata sudah tidak utuh lagi, walau
dengan bentuk apa pun...!" kata kakek berambut putih itu pelan namun tegas.
Kenyataan itu membuat wajah
Ratih semakin bertambah memucat. Namun akhirnya
dia memberanikan diri untuk mengajukan beberapa
pertanyaan pada kakek itu.
"Jadi... jadi benarlah adanya bahwa yang sedang berdiri di hadapanku ini Eyang Buyut Resi Mamba...?" Laki-laki berbadan kekar itu tidak menjawab, sebaliknya sepasang matanya
yang dihiasi sederetan
alis yang sudah memutih membelalak. Untuk beberapa
saat lamanya kakek berselimutkan kabut itu menatap
pada Ratih. Namun gadis itu tiada perduli dengan tatapan mata laki-laki itu, gadis itu kembali mengulangi pertanyaannya; "Benarkah
engkau ini Eyang Buyut
Resi Mamba?"
"Hmm, tak kusangka selain sangat dikenal sebagai seorang pemalas, kiranya kau juga merupakan
orang yang tolol. Bagaimana mungkin Girinda menaruh harapan yang begitu besar padamu jika ternyata
hanya sebegitu saja pengetahuanmu...!"
"Aku hanya memerlukan sebuah keyakinan,
Eyang Buyut...!"
"Dan kau selalu berkeyakinan pada usahamu
untuk dapat mengulangi masa kejayaan padepokan
Bukit Berkabung sebagaimana ketika ku pimpin dulu?" sambut laki-laki tua ini yang tak lain merupakan badan halus Eyang Buyut
Resi Mamba adanya.
"Itulah yang selalu kuharapkan Eyang
Buyut...!"
"Ha... ha... ha...! Mengandalkan kepandaian
'Dewa Berkabung' tingkatan kelima kau hendak mendirikan puing-puing padepokan Bukit Berkabung...?"
sela Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kukira dengan adanya Batu Permata Walet
Merah, semua impian ku untuk mewujudkan citacitaku dapat terpenuhi...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, tampaklah
Eyang Buyut Resi Mamba perlu mengacungi jempol.
Tapi apabila dia teringat bahwa betapa Batu Permata
Walet Merah pada akhirnya hanya akan mendatangkan bencana di rimba persilatan, mendadak wajahnya
berubah muram. "Cucuku...! Ketika dulu aku masih ada, Batu
Permata Walet Merah memang merupakan senjata pamungkas yang tiada tandingnya. Bahkan sangat jarang
orang yang bisa selamat dalam adu kekuatan denganku. Sayangnya Batu Walet Merah bukan milikku seorang. Masih ada pasangannya, karena pada hakekatnya batu itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Karena aku laki-laki, maka
yang kupegang batu yang jantannya, sedangkan yang satunya lagi dipegang oleh
nenek buyut mu. Sayangnya dia hidup di pihak golongan hitam, sehingga walau aku telah membujuknya
untuk kembali ke jalan yang benar dia tak pernah
mau...!" "Kalau begitu masih ada orang lain yang memiliki batu seperti yang
eyang buyut miliki...?" sergah Dewi Ratih tampak harap-harap cemas. Namun
hatinya menjadi lega saat kemudian Resi Mamba gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Setidak-tidaknya sampai saat ini masih amanaman saja. Karena sebenarnya sejak nenek buyut mu
tewas dalam pertarungan denganku, hanya aku seoranglah yang mengetahui di mana Batu Permata Walet
Merah yang satunya lagi berada. Tapi karena kini ada
kau sebagai keturunan sesepuh padepokan Bukit Berkabung, dan kuanggap benar maka kau punya hak
untuk mengetahui di mana sebenarnya ku sembunyikan pasangan Batu Walet Merah yang satunya lagi...!"
"Dimanakah, Eyang Buyut...?"
"Batu Walet Merah yang betinanya eyang buyut
sembunyikan di dalam Gua Bukit Siluman!" Bukan
main kejut hati Ratih mendengar pengakuan Resi
Mamba, sama sekali dia tiada menyangka kalau Bukit
Siluman yang sangat dikeramatkan oleh semua keturunan padepokan Bukit Berkabung, kiranya merupakan tempat penyimpanan sebuah benda yang memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat.
"Eyang Buyut! Bukankah menurut Eyang Girinda, Bukit Siluman merupakan kubur bagi seluruh
leluhur kita, bahkan tak seorang pun pernah diijinkan berkeliaran di tempat
itu...?" sela Ratih,
"Ha... ha... ha...! Betul, tapi tak dapat disangkal peraturan itu akulah yang
membuatnya. Pesanku setelah kau keluar dari tempat ini, sering-seringlah kau
lihat keamanan Bukit Siluman. Dan jangan kau lupakan pula, bahwa kau harus mencari dan berhati-hati
dengan beberapa gelintir tokoh sesat yang memiliki julukan, Gajah Mungkur, Nyai
Plasik, dan juga gerombolan sinar Kayangan...!"
"Maksud eyang buyut, apakah mereka itu merupakan musuh besar dari padepokan Bukit Berkabung...?" tanya Ratih berapi-api. Sedangkan badan halus Resi Mamba hanya
mengangguk kecil.
"Bukan sebagai musuh saja. Namun karena
mereka inilah maka nenek buyut mu sampai tersesat
sedemikian jauh, hingga pada akhirnya dia menjadi
manusia pembangkang yang paling keji di padepokan
Bukit Berkabung...!"
"Apakah Eyang Girinda juga tahu tentang seja
Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rah ini?" "Sedikit banyaknya Girinda pasti tahu, dan itu
tak perlu kau persoalkan secara panjang lebar. Nah
kukira keteranganku sudah cukup, sekarang kau ambillah Batu Walet Merah yang berbentuk cincin itu, ingat dengan adanya batu
cincin di tanganmu padepokan Bukit Berkabung yang selama ini sunyi bagai tak
berpenghuni, dalam waktu yang akan datang pasti
akan berdatangan para musuh yang tidak kau harapkan. Dan musuh yang lebih berbahaya adalah mereka yang berasal dari dalam padepokan itu sendiri."
Kata laki-laki berselimut kabut itu lugas.
Kembali Ratih menjatuhkan diri, berlutut
memberi hormat Resi Mamba. Detik kemudian begitu
dia kembali pada sikapnya, dilihatnya Resi Mamba telah bergeser sejauh tiga langkah dari pendopo kecil
tempat di mana terletak Batu Walet Merah. Dewi Ratih
mengetahui bahwa itu adalah sebuah isyarat baginya
untuk mengambil benda tersebut. Tidak seperti ketika
pertama kali tadi dia mencoba meraih benda di atas
pendopo di depannya. Kali ini semuanya berjalan lancar, bahkan kini dia tidak lagi berjalan merangkak. Dia sudah mampu berdiri, dan
langit-langit gua di sekitarnya seolah semakin bertambah meninggi. Secara pelan
namun cukup pasti, tubuh telanjang itu pun melangkah menghampiri Batu Walet Merah. Tapi setelah berada dia depan batu yang berbentuk badan burung
walet tersebut, tiba-tiba dia menjadi ragu. Dalam keheningan itu mendadak terdengar seruan Eyang Buyut
Resi Mamba; "Cepatlah ambal! Kemudian sarungkan ke salah sebuah jemarimu...!" Dewi Ratih tanpa berpaling pada badan halus kakek
buyutnya, dengan tangan
gemetaran segera mengambil batu cincin yang berbentuk seekor burung Walet Merah itu. Anehnya sesaat
setelah melingkarkan cincin permata tadi, tubuh Ratih mendadak serasa panas,
lutut menggeletar. Bahkan
dia merasakan ada sesuatu yang terasa menyentaknyentak di bawah perutnya. Gadis itu merintih setengah mengerang, selanjutnya tubuhnya menggeliatgeliat bagai orang yang sedang dilanda birahi. Namun
begitu Eyang Buyut Resi Mamba acungkan jari telunjuknya mengarah pada bagian dada Ratih. Maka selarik sinar berwarna salju mendera tubuh gadis itu. Satu erangan panjang membuat
gadis itu kembali pada sikapnya. Dia tersipu malu melihat keadaannya sendiri.
Kemudian entah dari mana datangnya, mendadak di
tangan Resi Mamba telah terdapat seperangkat pakaian berwarna merah biru lengkap dengan ikat kepalanya yang berwarna biru pula. Dalam satu gerakan
yang sangat mirip dengan lambaian tangan, detik selanjutnya pakaian itu pun telah menutupi sebagian
tubuh Ratih. "Kenakanlah pakaian itu sekarang juga!" perintahnya. "Setelah kau pakai pakaian
tersebut, selanjutnya pejamkan matamu. Jangan banyak tanya, karena
kau segera tiba di alam terbuka dan harus cepat kembali memberi kabar pada Eyangmu Girinda...." lanjutnya pula.
Maka tanpa berani membantah, Dewi Ratih cepat-cepat mengenakan pakaian pemberian Resi Mamba. Usai mengenakan pakaian tersebut dia merasakan
tubuhnya menjadi hangat bahkan segala bentuk rasa
yang bersifat rangsangan yang ditimbulkan oleh cincin Batu Permata Walet Merah
yang tadinya sangat me-nyiksa, kini telah lenyap sama sekali. Setelah selesai
mengikat kepalanya dengan sebuah selendang berwarna biru yang juga merupakan
pemberian Resi Mamba,
maka saat selanjutnya dia pejamkan matanya. Ratih
tak tahu apa yang dilakukan oleh Resi Mamba, tapi dia merasakan tubuhnya seperti
melayang menembus lorong panjang menuju keluar dari pusaran arus yang
terdapat di dasar terowongan itu. Sementara itu, sepeninggalnya Ratih, maka
sosok tubuh Resi Mamba, sedikit demi sedikit tampak memudar seiring dengan
semakin membesarnya cahaya biru dan kabut tebal
yang menyertainya.
"Weees!" Satu tiupan angin kencang yang datangnya dari arah sebelah kiri, membuat cahaya berselimut kabut itu turut lenyap bersama hembusan angin
kencang itu. *** 3 Menjelang tengah hari di sepanjang jalan setapak yang diapit oleh dua hutan tua Maliau dan Teruak.
Tak terlihat seorang pun berani lalu lalang di sana. Tidak juga penduduk Desa
Singkalang yang biasanya keluar masuk hutan untuk maksud-maksud berburu,
maupun mencari hasil hutan lainnya. Begitulah kenyataannya, setahun belakangan setelah hutan Maliau
dan Teruak di jadikan markas besar oleh gerombolan
sinar kayangan. Tidak terkecuali penduduk desa,
orang asing pun yang coba-coba berani datang atau
melintas secara tidak sengaja akan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari gerombolan Sinar
Kayangan yang saat ini telah berkuasa penuh pada
dua daerah itu.
Namun suasana sepi mencekam di sekitar hutan itu tidak sedikit pun mengurangi hasrat bagi pemuda berkuncir ini untuk tetap melanjutkan perjalanannya. Dia tak perduli, walau sejak menginjakkan
kakinya di ujung sebelah Barat hutan tersebut ada
berpasang-pasang mata terus memperhatikan kehadirannya dengan sorot curiga. Sebaliknya dia malah berlari-lari sembari menyenandungkan bait-bait lagu
orang-orang berkelana. Sesekali suaranya terdengar
merdu mendayu-dayu, di lain saat begitu sedih. Atau
bahkan tinggi melengking, sehingga memaksa para
pengintainya menutupi kedua telinga. Lewat sepemakan sirih, pemuda berpakaian merah dan selalu kumal
ini menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia menoleh
pada jalan yang telah dilaluinya di saat lain sepasang matanya yang sangat tajam
memandang jalan setapak
yang menghampar di hadapannya. Masih terlalu jauh
untuk melalui jalan itu. Seharusnya dia sudah mengerahkan Ajian Sepi Angin, tapi itu tidak dilakukannya.
Para pengintai yang terus mengikuti dirinya di kanan
kiri jalan itu membuat dia menjadi sangat curiga.
"Wuus! Jleeegk...!" Laksana kilat, tubuhnya mendadak lenyap dari jalanan itu,
selanjutnya tubuh
si pemuda telah duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon damar yang berukuran sangat besar lagi tinggi. Gerakan yang sangat cepat dan sulit diikuti oleh kasat mata
ini, membuat para pengintainya
jadi kelabakan karena kehilangan jejak. Mereka saling berbisik sesamanya.
Sebaliknya, di atas cabang pohon
pemuda tampan yang sudah tak asing lagi bagi kita ini hanya cengar-cengir
sembari leletkan lidah.
"Dia bukan manusia sembarangan! Baiknya kita beri laporan pada majikan besar bahwa orang lain
telah memasuki wilayah kekuasaan kita...!" sentak salah seorang dari mereka yang
bersembunyi di balik sebuah gerumbulan semak belukar.
"Siapa adanya orang itu belum juga jelas, mengapa harus tergesa-gesa beri laporan" Salah-salah beri keterangan kepala kita
menggelinding Tongos...!" bantah yang disebelahnya karena memang bergigi merongos. "Goblok banget sih kau! Ketahuan secara tibatiba gembel berperiuk itu lenyap dari depan hidung ki-ta. Masihkah kau membantah
bahwa orang itu tidak
berkepandaian tinggi...!" laki-laki berpakaian hitam yang di panggil tongos
balas menyelak.
"Gaplok! Gaplok...!"
"Gusrak...!" Dua kali tamparan ringan dari sebuah tangan berotot di sampingnya
membuat dua orang yang terlibat berbantahan itu tersungkur ke depan. Terdengar suara bergerosakan menubruk semaksemak di depannya. Namun tanpa mengeluarkan suara keluhan atau sejenisnya, kedua orang bersenjata
kelewang itu pun cepat bangkit berdiri dengan wajah
pucat. "Sekali lagi, kudengar kalian saling berbantahan! Kutampar mulut kalian!"
ucap si gemuk berewokan yang melakukan tamparan tadi.
"Tongos tuh, yang mulain, Bang.... Bukan
aku...!" kilah yang seorangnya berusaha membela diri.
"Kampret kau Min! Aku tadi cuma memberi
usul, tapi siapa suruh kau ikut-ikutan!" sergah yang bernama Tongos juga tak mau
kalah. "Marimin.... Tongos...!" bentak si laki-laki berpakaian hitam berbadan gemuk
dengan kedua mata
bagai hendak melompat keluar.
"Saya bang...!" sahut orang itu hampir serentak.
"Sekali lagi kalian berani membantah, kugantung nanti kalian berdua...!" bentak si gemuk yang lebih dikenal dengan julukan
si 'Tanduk Maut'. Pada hakekatnya ancaman itu bukanlah ancaman kosong, sebab dalam lingkungan gerombolan 'Sinar Kayangan'
siapa pun orangnya pasti mengenal bagaimana kejinya
watak si Tanduk Maut dalam menjatuhkan hukuman
terhadap para bawahannya, terlebih-lebih pada orang
lain. Kata-kata si 'Tanduk Maut' yang bernada mengancam ini membuat orang-orang tadi tak berani berkutik. Selanjutnya si Tanduk Maut memberi isyarat
pada orang-orangnya yang berjumlah enam orang menyebar. Di sisi jalan sebelah kiri yang dipimpin oleh seorang laki-laki lain
berbadan tinggi ceking. Juga
memberi perintah yang sama pada delapan orang lakilaki lainnya. Orang-orang itu pun mulai bergerak menyebar, menyibak setiap gerombolan semak-semak
yang terdapat hampir di sepanjang jalan itu. Pemuda
tampan yang tak lain merupakan Buang Sengketa
adanya, dengan sikap acuh mulai mengeluarkan unekuneknya: "Tak percuma Sang Hyang Widi menjadikan
dunia dari dua sisi dan dua rupa. Ada gelap ada malam, ada susah ada senang, ada laki-laki ada juga perempuan. Laki-laki ditakdirkan sebagai sosok yang
perkasa, bertindak dengan perantaraan akal. Sedangkan wanita adalah sebaliknya berbuat menurut perasaan. Perasaan adalah kasih sayang. Sungguh pun sebagai kaum yang lemah, tapi dia mampu membuat
dunia jadi porak poranda. Tapi celakalah apabila laki-laki berbalik rupa sebagai
manusia. Sebab dia bisa berubah menjadi seperti tikus-tikus comberan yang ada
di bawah sana."
Ucapan Buang yang ditujukkan pada orangorang yang berada di bawahnya dan disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sudah
barang tentu membuat orang-orang yang berada di
bawahnya menjadi kelabakan. Selain telinga mereka
terasa sakit. Tapi sumber suara bergema akibat dipantulkan oleh pohon-pohon besar di sekitarnya membuat
mereka merasa sulit untuk melacak keberadaan Pendekar Hina Kelana. Kemudian bagai dikomando serentak mereka turun ke jalan dan berkumpul sembari
memandang berkeliling meneliti sekitar tempat itu.
Sejauh itu mereka masih belum dapat melihat
di mana sesungguhnya posisi pemuda yang sejak tadi
mereka kuntit. Menyadari menghadapi mangsa yang
mungkin saja memiliki kekuatan yang tangguh. Sejak
awal-awal lagi mereka ini sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Wah... wah... wah...! Dasar tikus-tikus bego,
menguntit seekor macan pengelana saja bisa kehilangan jajak. Apa gunanya majikanmu memberi makan
setiap hari...?" disertai tawa mengekeh, pemuda di atas pohon ini, mencemooh.
Ucapan Buang yang sedikit pelan membuat anggota gerombolan Sinar Kayangan dapat mengetahui di mana sesungguhnya posisi pemuda
gembel yang mendadak saja sirna dari penglihatan mereka. Yang mula-mula mengetahui posisi Pendekar Hina Kelana, adalah laki-laki yang bernama Tongos tadi.
Demi menarik simpati si Tanduk Maut yang telah memarahinya tadi, maka begitu melihat dia langsung berteriak "Bang... lihat... cacing gembel itu lagi non-gkrong di atas pohon...!"
berkata begitu dia menunjuk pada sebuah pohon damar yang menjulang tinggi tak
jauh di sebelah kanannya. Secara serentak keempat
belas laki-laki berpakaian serba hitam itu memperhatikan ke arah tempat di mana pendekar itu berada.
Yang menjadi beringas setelah melihat keberadaan si
pemuda adalah laki-laki gemuk yang berjuluk si 'Tanduk Maut' dengan si laki-laki kurus kering yang memiliki julukan 'Cacing Kalung'. Sebagai orang yang sudah sangat berpengalaman
banyak di rimba persilatan serta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Baru
kali inilah adalah sejarahnya mereka kena dikerjai. Yang
membuat mereka cepat naik darah adalah justru orang
yang telah berhasil memperdayainya sesungguhnya
hanyalah seorang pemuda gembel yang mungkin juga
hanya memiliki kepandaian beberapa tingkat di bawah
mereka. Tak pelak lagi, begitu telah mengetahui posisi pemuda berpakaian merah
itu, si Tanduk Maut pun
langsung membentak dengan sorot mata mengancam.
"Monyet gembel manusia rendah yang di atas
pohon. Cepat kau turun, jika tidak dengan sangat terpaksa aku akan robohkan pohon itu...!" perintah laki-laki berewokan ini terlihat
semakin bertambah geram
saja. "Ah... ha... ha...! Aku mau manjat, jalan atau berlari-lari, apa
perdulimu" Toh aku merasa tak pernah mengganggu siapa pun di sini...!" sergah Buang Sengketa seenaknya. Bahkan
setelah kata-katanya itu
dia malah rebahkan tubuhnya di pohon damar yang
berukuran sangat besar itu. Semakin bertambah menjadi-jadilah amarah si 'Tanduk Maut' begitu pun halnya dengan si 'Cacing Kalung'.
"Kakang Tanduk Maut... agaknya dia tak mengerti bahwa Hutan Maliau dan Teruak berada di dalam
kekuasaan Gerombolan Sinar Kayangan. Untuk apa
Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
basa basi, suruh saja gembel itu serahkan barang bawaannya. Setelah itu usir dia...!" kata si Cacing Kalung. Melihat caranya
memberi saran pada si gemuk
hitam, tahulah si pemuda bahwa dalam hal kedudukan kiranya si Cacing Kalung masih merupakan bawahan si Tanduk Maut. Tapi dalam pada itu, si laki-laki gemuk berewokan tampak
geleng-gelengkan kepalanya
ditujukan pada Buang Sengketa dia berteriak.
"Bangsat rendah, bukan saja kau harus menyerahkan periuk yang kau bawa. Tapi engkau juga harus
meninggalkan kedua kaki dan tanganmu...!"
"Enak saja kau bicara, aku merasa tak pernah
berbuat salah pada kalian. Kini secara tiba-tiba saja kau menghendaki barangbarang yang paling berharga
dalam hidupku...?" tukasnya sembari menepuk-nepuk periuknya sehingga menimbulkan
suara bising dan
membuat kacau pendengaran mereka yang ada di bawahnya. "Sialan! Tak kusangka orang itu memiliki berbagai kepandaian yang aneh. Agaknya dia bukanlah
pemuda sembarangan seperti yang kuduga...!" membatin si Tinggi ceking.
"Kunyuk di atas pohon... turun secara baikbaik, atau aku harus memaksamu?" bentak si Tanduk Maut dengan disertai satu
erangan jengkel.
"Hmm, biasanya aku memang lebih suka melakukan sesuatu menuruti keinginan sendiri, tapi karena tingkah kalian tak ubahnya bagai garong-garong picisan. Maka aku jadi ingin melihat sejauh mana kehebatan kutu kupret yang telah begitu berani memberi
perintah kepadaku itu...!" masih dengan tersenyum-senyum Buang secara sengaja
memanas-manasi anggota gerombolan Sinar Kayangan.
"Bedebah! Hiaaaat.... Wuuuus...!"
"Bruaaaak...!" Tanpa banyak cincong si Tanduk Maut kirimkan satu pukulan jarak
jauh dengan sasaran pohon yang ada di depannya. Begitu pukulan berhawa panas dan sangat dikenal dengan nama 'Pukulan
Gajah Geledek' dilepas dengan mengandalkan setengah
dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi menderulah selarik sinar
berwarna jingga mengarah
pada sasarannya. Detik selanjutnya saat mana pukulan itu menghantam sasarannya. Tak dapat dicegah lagi pohon damar yang berukuran sangat besar itu berderak patah, menimbulkan suara berkerotakan. Lalu
ambruk ke bumi.
"Hebat... hebat... kiranya si Tanduk goblok, bukanlah nama kosong. Pohon roboh daun-daunnya
layu. Ihh... pukulan beracun yang sangat keji, tapi karena aku pun tak punya
persoalan dengan kalian.
Baiknya sekarang aku minggat saja...!"
"Wees...!" Sekali berkelebat, maka tubuh Pendekar Hina Kelana telah pula lenyap
dari pandangan mereka. Dia memang tak perduli dengan teriakanteriakan para pengejarnya. Sebaliknya pemuda itu malah mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya
'Ajian Sepi Angin'. Waktu selanjutnya tubuh pemuda
itu melesat laksana terbang. Tinggallah para gerombolan Sinar Kayangan yang terus berkutat mencari jejak
Pendekar Hina Kelana.
4 Di sepanjang lembah di Bukit Kapur yang masih merupakan gugus Bukit Siluman, dilihat sepintas
lalu merupakan sebuah daerah yang memberi kesan
angker bagi mereka yang secara kebetulan hadir di sana. Kenyataannya daerah itu memang tak pernah dijarah oleh siapa pun terkecuali sanak keluarga Leluhur
padepokan Bukit Berkabung dan para kerabatnya.
Dan itu pun hanya terjadi dalam waktu setahun sekali.
Selama bertahun-tahun, bahkan sejak meninggalnya
sesepuh padepokan Bukit Berkabung yaitu 'Eyang
Buyut Resi Mamba', Bukit Siluman merupakan daerah
yang sangat disucikan sekaligus merupakan daerah
terlarang bagi mereka yang bukan merupakan keturunan padepokan Bukit Berkabung.
Pagi itu menjelang matahari terbit dan semasih
mengguratkan bayang-bayang merah. Udara di sekitar
perbukitan dan lembah yang terdapat di lerengnya,
tampak berselimut kabut. Embun pun masih menetes
dari ujung-ujung ranting yang meranggas karena pengaruh kemarau yang sangat panjang. Menelusuri sepanjang perbukitan yang menghubungkan pada bukit
induk dan merupakan sebuah kubur bagi para leluhur
padepokan Bukit Berkabung. Tak terlihat lalu lalang
mahkluk hidup di sana, hanya bukit-bukit berbatu
kapur berderet memanjang dan tak ubahnya bagai untaian salju putih abadi. Pemandangan seperti itulah
yang terlihat, sejauh-jauh mata memandang. Namun
saat itu apabila deretan bukit kapur itu terus ditelusuri hingga sampai pada
sebuah bukit yang paling tinggi dan berukuran sebesar anak gunung, maka akan
terlihatlah sebuah pintu gua yang senantiasa terkunci.
Dan dekat pintu yang terkunci itu seorang pemuda
dengan pakaian biru terang nampak bersimpuh di depannya. Wajah pemuda itu tampak sedikit pucat, pakaian kotor karena debu-debu kapur. Sementara sorot
matanya membayangkan rasa letih dan keputusasaan.
Di tangan pemuda itu tampak pula tergenggam sebilah
pedang pendek namun tajam di kedua sisinya. Tapi sejak tercabut dari sarungnya dua hari lalu, pedang di
tangan pemuda berbadan pendek itu sudah hilang ketajamannya. Bahkan tampak rompal di sana sini, padahal pedang itu sebenarnya merupakan pedang mustika yang terbuat dari baja pilihan. Maka apabila pemuda itu kembali memandangi kedua sisi mata pedangnya yang sudah tak karuan ujudnya dia pun
menggerutu kesal.
"Gembok pintu batu ini entah terbuat dari apa,
sungguh sangat keterlaluan kalau pedangku yang selama ini mampu menggempur batu kali, namun tak
mampu memutus sebuah gembok yang hanya sebesar
tinju bocah bayi. Dua hari dua malam aku telah menguras tenaga. Badan letih pedang berantakan, tapi
gembok terkutuk ini tidak juga bergeming dari posisinya. Apa dayaku kini, Eyang Girinda telah mengusirku, sedangkan Kakak Dewi Ratna Juwita tidak pernah
kutemukan. Oh... padahal seperti apa yang dia rasakan, aku pun selalu memendam rindu padanya. Aku
tak perduli dia saudara tiriku. Aku tak tahu Sang
Hyang Widi memberi ijin atau tidak, yang penting aku
harus mengawini dia...!" batinnya tanpa mempertim-bangkan apakah rencananya
mengawini kakak tirinya
itu dilaknat oleh Sang Hyang Pencipta atau tidak.
Sementara itu tidak jauh dari tempat si pemuda
merebahkan diri dalam usahanya untuk mengusir rasa
lelah. Tampak sesosok bayangan sedang berlari-lari
cepat menuju ke arahnya. Dari gerakannya yang sangat sebat dan ringan, tak dapat disangkal kalau sosok tubuh yang semakin
bertambah jelas itu memiliki kepandaian dan ilmu lari cepat yang mengagumkan.
Se- saat kemudian setelah semakin mendekat ternyata si
pemilik ilmu lari cepat itu tak lain adalah seorang gadis yang memiliki wajah
rupawan. Tubuhnya tinggi
semampai, dengan rambut panjang dibiarkan tergerai
dia mengenakan pakaian hijau lumut. Dan apabila melihat pedang tipis menggelantung di pinggangnya, memang tak dapat di sangkal kalau dia merupakan seorang gadis persilatan yang memiliki kepandaian cukup
tinggi. Setelah berlompatan di atas batu-batu kapur
sejenak lamanya dia menghentikan langkah, sepasang
matanya yang merembab basah, bekerjab-kerjab memandang pada suasana sekelilingnya. Sama sekali si
gadis tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Lalu
dia pun kembali berlari-lari ke arah bukit yang memili-ki sebuah pintu di
depannya. Dan gadis itu pun hampir terlonjak begitu melihat pemuda yang sangat dikenalnya telah berada di mulut gua berpintu batu pualam tersebut. "Adik Bagas Salaya...!" serunya setengah me-mekik kegirangan. Pemuda yang dalam
keadaan ter- lentang itu mendadak telengkan kepalanya. Seraya melonjak bangun dari tempatnya.
"Kak Dewi...!" ucap si pemuda yang ternyata Bagas Salaya, adik tiri dan
sekaligus kekasihnya. Kedua insan berlainan jenis ini saling menghambur dan
saling berpelukan erat satu sama lain.
"Kak Dewi... aku merindukanmu, Kak...!" desah Bagas Salaya di sela-sela pagutan
mesra. "Aku pun selalu memikirkanmu, Dik... tapi... mengapa kau sampai
berada di Bukit Siluman ini...?" tanya Dewi Ratna Juwita sesaat setelah
melepaskan pelukannya. Sejenak
Bagas Salaya menatap tajam pada saudara tirinya
yang memiliki wajah rupawan itu. Kemudian dia melangkah, lalu duduk di atas sebongkah batu. Dewi
Ratna Juwita mengikut di sebelahnya.
"Aku telah diusir oleh Eyang Girinda...!" ucapnya sendu.
Dewi Ratna Juwita menggeser punggungnya
hingga kian merapat pada posisi pemuda yang sangat
dicintainya itu.
"Telah diusir oleh Eyang" Apa salahmu...?" selidik Dewi Ratna Juwita tersentak
kaget. "Karena sejak engkau pergi aku selalu memikirkanmu, dan eyang nampaknya benar-benar mengutuki hubungan cinta kita...!" selak Bagas Salaya, merasa sedih hatinya. Namun
Dewi Ratna Juwita tidak
menginginkan saudara yang sangat di cintainya bersedih hati. Cepat-cepat dia merengkuh tubuh pemuda itu
ke dalam pelukannya. Dua insan tersesat itu pun
kembali terlibat ciuman.
"Kita harus membuktikan pada dunia bahwa
tanpa bantuan siapa pun kita mampu berdiri sendiri.
Ya... kita akan menjadi Sepasang Walet Merah yang
sangat tangguh!" bisik si gadis dengan napas terengah-engah karena dilanda
gelora nafsu. Dengan halus Bagas Salaya mendorongkan tubuh Dewi Ratna Juwita,
dia masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan
oleh gadis pujaannya itu. Maka dengan cepat dia pun
bertanya: "Apa maksudmu Kak Dewi?" tanpa menjawab
Dewi Ratna Juwita mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Kemudian si gadis memperlihatkan sebuah
benda yang ternyata sebuah kunci yang terbuat dari
perak. "Kunci perak ini! Dengan kunci di tanganku, aku berharap dapat membuka
pintu batu yang terletak
di depan itu. Aku punya bukti bahwa di dalam goa
tempat penyimpanan mayat para leluhur kita terdapat
sebuah Batu Walet Merah yang menurut sejarahnya
menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat...!"
"Eh... kalau begitu kita memiliki tujuan yang
sama... kakak tahu selama dua hari dua malam aku
telah berusaha untuk membuka gembok pintu itu namun tak pernah membawa hasil. Lihatlah pedangku
itu, rompal di sana sini...!" desah Bagas Salaya, seraya menunjuk ke arah pedang
miliknya yang menggeletak
di bawah pintu dinding batu.
"Dengan pedang itu kau berusaha membuka
gembok tersebut...?" tanya si gadis setelah memperhatikan pedang milik
kekasihnya sejenak lamanya.
"Hi... hi... hi...! Kau ini selain nakal dan konyol kiranya juga manusia yang
bego. Mana mungkin pe-dangmu mampu membentur gembok kecil mungil itu,
karena gembok itu yang membuatnya Eyang Resi
Mamba sendiri, paling tidak dia telah menyalurkan
hawa sakti ke dalamnya. Tapi dengan kunci yang ku
curi dari tangan Eyang Girinda, mudah-mudahan kita
bisa mendapatkan Batu Walet Merah...!"
Terbelalak mata Bagas Salaya demi mendengar
pengakuan kekasihnya, sama sekali dia tiada menyangka pada saat Eyang Girinda meributkan tentang
hilangnya kunci perak pembuka Gua Siluman, gadis
pujaannya itulah yang telah mencurinya. Mengagumkan! Pujinya. "Kau benar-benar seorang pencuri yang lihai,
Kak Dewi! Tapi...!" tiba-tiba Bagas Salaya menjadi ra-gu-ragu. Keraguan si
pemuda untuk mengatakan sesuatu, ini membuat Dewi Ratna Juwita jadi penasaran.
"Adik Bagas, kau berkata apa! Katakan saja,
aku tak mau di antara kita masih ada saling menyimpan rahasia...!" tukasnya dengan wajah berseru merah.
Bagas Salaya tampak menarik napas panjang, baginya
kalau pun memang benar di dalam gua yang tempat
penyimpanan mayat para leluhur mereka tersimpan
pula Batu Permata Walet Merah salah sebuah di antara yang sepasang itu. Berarti berita tentang Batu Walet Merah yang terdapat di
Sungai Banyu Urip benar
adanya. Tanpa mendapatkan kedua-duanya, itu masih
berarti bahwa mereka pada satu saat kelak akan mendapat satu rintangan yang sangat besar untuk dapat
mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit
Berkabung sebagaimana saat Eyang Buyut Resi Mamba menjadi pimpinan dulu. Pada hakekatnya sungguh
pun Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya memiliki tujuan yang sama seperti apa yang dicita-citakan oleh
adik bungsunya, yaitu Dewi Ratih. Namun hasrat yang
terkandung dalam jiwa Dewi Ratna Juwita adalah juga
mencakup sekaligus merangkul kaum persilatan golongan hitam. "Cepat katakan Adik Bagas...!" ucapan si gadis yang mendadak saja berubah ketus
ini membuat Bagas Salaya tersentak dari lamunannya. Maka tanpa
merasa sungkan-sungkan lagi dia pun berkata; "Kakak Dewi! Aku menjadi bimbang
dengan apa yang akan ki-ta lakukan. Sebab seperti kita ketahui Batu Walet Merah itu pada hakekatnya ada sepasang. Kalaulah memang benar di sini ada salah satu di antaranya, maka
seperti yang pernah dikatakan oleh Eyang Girinda dulu, Eyang Buyut Resi Mamba telah membuang yang sa
Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tunya lagi di Sungai Banyu Urip. Kita bisa mengalami
kesulitan yang sangat besar andai nanti Eyang Girinda mengutus Adik Dewi Ratih
untuk mendapatkan batu
yang terbuang itu, bukankah ini merupakan hambatan
yang sangat berarti bagi kita...?" ujar Bagas Salaya, sebagai tanggapannya
sebaliknya Dewi Ratna Juwita
malah tersenyum-senyum penuh arti.
5 Kita tinggalkan dulu Dewi Ratna Juwita dan
Bagas Salaya yang sedang mempersoalkan Batu Walet
Merah dan rencana mereka untuk memasuki gua Bukit Siluman yang terkunci. Pada saat yang sama di padepokan Bukit Berkabung, Eyang Girinda sedang kedatangan dua orang utusan yang masih belum dikenalnya. Demikianlah setelah menerima laporan dari
salah seorang muridnya yang bernama Bayu Puput,
maka Eyang Girinda memberi perintah pada muridnya
untuk menyuruh tamunya menghadap padanya. Bayu
Puput keluar sebentar, kemudian memperkenankan
dua orang tamu berkerudung yang masih tetap berdiri
di halaman padepokan, untuk menemui sesepuh padepokan Bukit Berkabung yang sudah menanti mereka
di ruangan depan. Beberapa saat setelah mereka saling berhadap-hadapan, maka
Eyang Girinda mulai me-nyapa tamunya dengan ramah, walau hati dan perasaannya sesungguhnya menaruh perasaan curiga terhadap diri dua orang berkerudung yang mengaku sebagai utusan itu.
"Ah... sudah hampir sepuluh tahun padepokan
Bukit Berkabung tak pernah menerima tamu terlebihlebih utusan. Namun hari ini anda berdua telah datang ke mari, ada gerangan
apakah dan siapa pula yang telah mengutus anda...?" tanya Eyang Girinda langsung
menuju pada titik persoalan. Salah seorang yang mengaku sebagai utusan itu
menjura beberapa kali, kemudian setelah menoleh pada kawannya yang selalu bersikap acuh. Dia pun buka suara
"Hik... hik... hik...! Masak kau tak bisa mengenali siapa adanya kami ini, Girinda...!" setengah menggeram si orang berkerudung
itu, hingga membuat
Eyang Girinda tersentak dari tempat duduknya yang
hanya terbuat dari anyaman rotan. Dari nada tawanya,
Eyang Girinda dapat mengenal suara orang yang mengenakan kerudung merah ini. Laki-laki tua itu kemudian berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya
pemilik suara yang rasa-rasanya pernah dia kenal. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu! Tiba-tiba saja Eyang Girinda melompat ke
depan begitu mengenali
siapa adanya dua orang yang mengaku sebagai utusan
ini. "Ka... kau... Nyai Plasik yang pernah mengobrak-abrik padepokan ini, kemudian lari terbirit-birit setelah ayahku Resi Mamba
menghadapimu dengan
cincin Permata Walet Merah...!" Dalam keterkejutannya itu, Eyang Girinda masih
sempat mengingat sebuah
kenangan lama yang bagi si orang berkerudung merah
merupakan kata-kata yang sangat menyakitkan.
"Girinda manusia pengecut! Setelah Resi Mamba bapak moyangmu mampus, dan tanpa Batu Walet
Merah yang menghebohkan itu, mampu berbuat apakah kau terhadap Nyai Plasik dedengkot dari kuburan
iblis..,?" maki si kerudung merah yang ternyata memang Nyai Plasik adanya.
"Ah... apakah bangsat berkerudung yang ada di
sampingmu itu si Gajah Mungkur bekas suamimu...?"
sela Eyang Girinda tanpa menghiraukan ucapan Nyai
Plasik. Selanjutnya setelah meneliti orang yang duduk di samping perempuan muka
setan itu Eyang Girinda
melanjutkan. "He... he... he...! Bukan... dia bukan Gajah Mungkur. Gajah Mungkur
tidak kurus cacingan
seperti dia. Manusia iblis itu gemuk macam gentong,
sedangkan dia... hoa... ha... ha...! Mungkin juga gen-dakmu yang baru...!" ejek
Eyang Girinda sembari menyeringai lebar. Geram bukan main orang yang berada
di samping Nyai Plasik, kejengkelannya yang sejak tadi
ditahan-tahannya sekarang dilampiaskannya lewat satu pukulan beracun yang sudah barang tentu tidak asing lagi bagi Eyang Girinda. Maka begitu tangannya
yang kuning pucat dan hanya sebesar tangan bayi
yang baru berumur dua bulan itu menjulur, serangkum gelombang yang menimbulkan hawa dingin luar
biasa langsung menyambar pada sasarannya. Masih
untung Eyang Girinda yang sudah banyak mengenal
tipu-tipu kaum persilatan golongan sesat ini dengan
cepat dapat membaca gelagat lawan yang bermaksud
untuk mencelakakannya. Lalu kesempatan yang hanya
sesaat itu dipergunakan oleh Eyang Girinda untuk
membuang tubuhnya di samping kiri.
"Braaak...!" luput dari sasarannya, pukulan maut yang dikenal sebagai Badai
Kematian, terus meluncur dan langsung melabrak tiang penyangga ruangan pendopo. Bagian bawah tiang itu hancur berkeping-keping dilanda pukulan yang telah dilepaskan oleh lawannya.
Suara keras yang ditimbulkan oleh pukulan itu
sudah barang tentu membuat murid-murid padepokan
Bukit Berkabung menjadi terkejut sekali, begitu mereka memandang ke bagian dalam dan melihat gurunya
sedang menghadapi keroyokan dua orang yang mengaku sebagai utusan tadi. Maka detik kemudian dengan
pedang terhunus mereka langsung menyerbu ke bagian ruangan dalam.
"Mundur kalian semua...!" teriak Eyang Girin-da. Dalam keadaan bertarung seperti
itu, Eyang Girinda masih sempat berseru memberi peringatan pada
murid-muridnya. Belasan murid-murid padepokan
Bukit Berkabung, tampaknya tiada berani membantah
perintah gurunya. Mereka mundur namun tetap membuat satu lingkaran untuk menjaga setiap kemungkinan yang tiada dikehendaki.
"Bangsat, Girinda! Mengapa tidak kau biarkan
saja murid-muridmu berhadapan dengan aku dan muridku...!" hardik Nyai Plasik berusaha menutupi keke-cewaannya.
"Hhh. Terhadap manusia setan seperti kalian,
kukira tubuh rongsokanku ini sudah cukup untuk
membantai tubuh rusak seperti kalian...!" bentak Eyang Girinda.
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi,
tubuh Eyang Girinda tampak melesat melalui pintu
jendela samping. Dua perempuan berkerudung merah
itu pun memburunya.
"Jliigk...!" Tiga kali berturut-turut suara menjejakkan kaki di atas permukaan
tanah terdengar, dan
murid-murid padepokan Bukit Berkabung mengikutinya dari pintu depan. Selagi dua orang berkerudung
itu sedang saling bersitatap dengan musuh bebuyutannya, maka belasan murid padepokan telah mengurung mereka kembali.
"Hik... masihkah kau berharap adanya dewa
penolong yang dapat menunda kematianmu, Girinda!"
ejek Nyai Plasik dengan sesungging senyum menyeramkan. Namun sejauh itu Eyang Girinda yang berbadan tinggi semampai ini masih kelihatan tenangtenang saja. "Kematian bagiku bukanlah sebuah persoalan
yang memusingkan dan tak perlu ditakuti, besok atau
lusa sama saja!"
"Sombong! Kau kira kau bisa menang dalam
menghadapi kami?" gertak Nyai Plasik semakin mendi-dih darah tuanya. Sebaliknya
manusia berkerudung
merah yang ada disampingnya hanya diam saja. Dan
dari caranya melontarkan pukulan tadi Eyang Girinda
pun sudah dapat mengetahui bahwa ternyata murid
Nyai Plasik jenis manusia yang tiada dapat berkatakata. "Jangan banyak ngebacot, cabut senjatamu
atau kau akan menyesal untuk selama-lamanya...." teriak Eyang Girinda.
Selanjutnya mengawali serangan
pertama, laki-laki berambut kecoklatan itu menggebrak Nyai Plasik dengan jurus tangan kosong 'Menyisir Bidadari Menggapai Bulan'
Maka dalam waktu sekedip
mata saja tubuh Eyang Girinda telah pula berkelebat
lenyap. Dari gerakannya yang sangat sebat itu menimbulkan angin kencang bersiuran. Baik tendangan kaki
maupun jotosan-jotosan yang telah teraliri tenaga dalam selalu menimbulkan angin pukulan yang sangat
hebat. Tak dapat di sangkal lagi, jubah merah yang
menutupi segenap wajah dan tubuh Nyai Plasik nampak berkibar-kibar, sehingga memperlihatkan sebagian
wajahnya yang rusak mengerikan. Sebaliknya Nyai
Plasik pun tidak tinggal diam, dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak yang
sama hebatnya. Menjelang pertarungan berlangsung
lima belas jurus dia masih mampu menghindari setiap
sergapan maupun pukulan tangan dan tendangan kaki
yang datangnya bertubi-tubi itu.
Di lain pihak, murid Nyai Plasik yang bernama
Puteri Gagu tampak merasa yakin kalau gurunya pasti
mampu mengatasi lawannya. Maka selanjutnya tanpa
membuang-buang waktu lagi dia pun berbalik dan
menyerang barisan murid-murid padepokan Bukit
Berkabung yang memang sudah bersiap siaga dengan
segala kemungkinan. Dalam waktu sekejap berkobarlah pertempuran yang menentukan hidup atau matinya pribadi masing-masing. Ternyata murid-murid
padepokan Bukit Berkabung yang jumlahnya tak lebih
dari dua puluh orang itu merupakan murid-murid
yang berkepandaian tinggi. Dengan senjata pedang
yang mempunyai ketajaman di kedua sisinya mereka
terus merangsak dan mencecar Puteri Gagu dengan jurus pedang 'Dewa Gemblung Menabuh Gendang', karuan saja walau murid tunggal Nyai Plasik itu memiliki kepandaian tinggi, tapi
menghadap dua puluh orang
lawan yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tiga tingkat di bawahnya, sudah
barang tentu lama kela-maan menjadi terdesak juga.
Yang paling kesal melihat kenyataan ini adalah
Nyai Plasik. Sebab semula dia hanya menduga bahwa
murid-murid padepokan Bukit Berkabung tak mungkin memiliki kepandaian yang cukup berarti. Sehingga
dia memperhitungkan dengan hanya dihadapi murid
tunggalnya yang juga memiliki kepandaian yang telah
diturunkannya maka orang-orang itu dengan mudah
dapat dikalahkan oleh muridnya. Semua memang di
luar perhitungannya, tapi dia pun melihat sampai sejauh itu Puteri masih belum mempergunakan pukulan
'Mayat Iblis'. Itu makanya dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatan muridnya.
Sementara itu, Nyai Plasik dan Eyang Girinda
yang sedang terlibat pertempuran tampak mulai saling
melancarkan jurus-jurus mautnya. Kedua musuh bebuyutan ini saling terjang mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dan juga kemampuan menghindar yang
sangat luar biasa cepatnya.
"Caaat... Hiaaaa...!" satu bentakan keras mengawali jurus tangan kosong 'Siluman
Tanpa Nama'. Tangan kanan Eyang Girinda terpentang kokoh membentuk cakar, sedangkan tangan kirinya menyilang di
depan dada. Sebelah kaki kanannya juga terangkat setinggi
lutut. Nyai Plasik kiranya juga menyadari bahwa jurus silat tangan kosong yang
di gelar oleh Girinda merupakan sebuah jurus yang sangat berbahaya. Tak ayal
lagi perempuan renta muka rusak itu pun segera pula
mengimbanginya dengan jurus 'Iblis Mencabut Maesan', maka bertarunglah kedua dedengkot rimba persilatan itu dengan hebatnya.
"Heiiik...!" Dengan posisi badan setengah berputar, Eyang Girinda pukulkan
tangan kanannya yang
membentuk cakar, sementara kaki tangannya menendang ke arah bagian perut lawannya. Nyai Plasik nampaknya juga tak mau bertindak tanggung-tanggung,
dengan mengandalkan tiga perempat tenaga dalam
yang disalurkan melalui tangannya, maka dia pun bergegas menampik.
"Craak! Dees...!"
"Wuaaah...!" Tubuh Nyai Plasik terbanting roboh, satu cakaran memang berhasil
dia elakkan, namun tendangan kaki kanan Eyang Girinda yang begitu
telak masuk di luar perhitungannya. Sambil memegangi perutnya yang terasa mual bagai di aduk-aduk, Nyai Plasik cepat bangkit
kembali. Namun begitu dia siap
dalam posisi yang goyah, mendadak darah meleleh
membasahi pinggiran bibirnya. Perempuan renta berwajah rusak ini cepat-cepat seka darah yang mengalir
itu sembari mengeluarkan satu erangan marah. Sementara itu di pihak Eyang Girinda sebenarnya bukan
tak mengalami satu akibat apapun. Dari beradunya
kedua tangan tadi dia merasakan tangannya terasa
ngilu, dan mulai berdenyut-denyut sakit. Bahkan dadanya pun terasa sesak luar biasa. Apapun akibat
yang dialami oleh kakek renta itu, namun tak separah
apa yang diderita oleh Nyai Plasik yang menjadi lawan besarnya.
"Girinda manusia kropos!" bentaknya secara ti-ba-tiba. "Kalau hari ini aku tak
sanggup mencabut nyawa anjingmu, biarlah aku berhenti saja sebagai
manusia...!" Eyang Girinda keluarkan tawa bergelak,
sama sekali dia tak merasa gentar sedikit pun menghadapi si buruk rupa dari Kuburan Iblis itu. Maka
dengan sikap menantang dia berucap;
"Siapa bilang kau manusia, sejak kau dilahirkan semua kalangan persilatan tau kalau kau sesungguhnya merupakan nenek moyangnya para iblis! Majulah aku tak pernah gentar menghadapimu...!" Mendengar kata-kata yang bernada
mengancam ini, sedikitpun
Nyai Plasik tiada bergeming. Kedua bola matanya yang
kecoklat-coklatan itu kini telah berubah memerah
pandangan matanya mencorong lurus terasa menghunjam ulu hati lawannya. Sementara kedua tangannya yang menyilang kedepan dada sudah mulai nampak berubah kehitam-hitaman. Kabut tebal yang ber
Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
warna hitam pula mulai mengepul meninggalkan
ujung-ujung jemarinya. Menggeletar tubuh perempuan
reot itu bagai terserang demam malaria. Bagai disertakan kekuatan yang tiada
terlihat, tubuh Eyang Girinda melompat mundur empat langkah. Dia masih ingat
ketika dulu ayahnya, Resi Mamba hanya mampu mengatasi pukulan 'Jemari Iblis' ini dengan mempergunakan
Batu Walet Merah. Sedangkan kini dia tiada memiliki
batu tersebut. Mempergunakan kitab kelima pukulan
'Dewa Berkabung' hanya itulah yang dapat diharapkannya. Selanjutnya mendahului bergeraknya tubuh Nyai Plasik dengan pukulan andalannya 'Jari Iblis', maka detik selanjutnya sembari berusaha menghindar, Eyang Girinda lepaskan pukulan 'Dewa Berkabung' yang sangat diandalkannya.
*** 6 Merasa didahului oleh lawannya, Nyai Plasik
sembari keluarkan suara menggembor cepat pula lepaskan pukulan beracun 'Jari Iblis'.
"Weees! Wees...!" Dua pukulan sakti saling bergerak menyongsong. Tak pelak
pukulan 'Jari Iblis' yang dilancarkan oleh Nyai Plasik dan pukulan 'Dewa
Berkabung' yang dilepas oleh Eyang Girinda. Kedua pukulan sakti itu saling menimbulkan gelombang angin
yang sangat kencang. Bahkan murid-murid Eyang Girinda yang tampak mulai terdesak menghadapi serangan Puteri Gagu beberapa orang diantaranya sampai
terseret-seret dihentak sapuan angin yang menyebarkan bau busuk menusuk hidung.
"Blaar! Blaar!" Beradunya dua pukulan sakti itu menimbulkan getaran yang sangat
hebat. Beberapa
murid padepokan Bukit Berkabung terpelanting roboh
dengan jiwa melayang. Sebaliknya gurunya sendiri,
Eyang Girinda terjengkang tujuh tombak. Tapi kakek
renta ini meskipun harus bersusah payah merangkak,
tampak berusaha bangkit kembali. Dia sudah tiada
memperdulikan keselamatan dirinya, walau darah kental berwarna kehitam-hitaman terus menggelogok tanpa henti. Sebaliknya di pihak Nyai Plasik sendiri,
sungguh pun hanya terpelanting tiga tombak, namun
dari bibirnya mengucur darah segar. Melihat keadaan
mereka berdua, nyatalah yang paling banyak menanggung akibatnya adalah sesepuh padepokan Bukit Berkabung. Dia sendiri dapat merasakan racun akibat
pukulan mulai menjalar ke mana-mana.
Sebenarnya kejadian itu bukannya luput dari
perhatian murid-murid Eyang Girinda, namun mereka
juga tidak dapat berbuat banyak untuk memberi pertolongan pada gurunya. Sebab mereka sendiri kini tampak tengah berjuang mati-matian menghadapi gempuran serangan Puteri Gagu yang mengandalkan pukulan tak kalah hebatnya dengan pukulan yang menghantam tubuh Eyang Girinda. Satu demi satu muridmurid padepokan Bukit Berkabung mulai berguguran.
Puteri Gagu yang sudah kalap itu sudah tidak memperhitungkan lagi berapa banyak korban yang gugur di
tangannya. Malah kini dia semakin gencar menghujani
lawan-lawannya dengan pukulan yang sangat mematikan. Di pihak Nyai Plasik, tampaknya pun sudah tak
sabaran lagi untuk mengakhiri pertarungannya dengan
Eyang Girinda. Sudah dua kali laki-laki berambut coklat itu dihajar pukulan beracun 'Jari Iblis', keadaannya sudah sangat payah
sekali. Agaknya pukulan berikut
yang sudah siap dilancarkan oleh Nyai Plasik segera
mengakhiri hidupnya andai saja dalam keadaan yang
sangat kritis itu tidak muncul sosok bayangan merah
yang datang begitu cepat menyambar tubuh Eyang Girinda yang sedang mengalami luka dalam sangat parah. "Blaaaam...!" Pukulan yang dilancarkan oleh Nyai Plasik hanya mengenai tempat yang kosong. Debu
mengepul ke udara sebagai akibat yang ditimbulkan
oleh pukulan itu. Sementara bayangan merah tadi setelah meletakkan tubuh Eyang Girinda di tempat yang
aman kembali berkelebat menghampiri Nyai Plasik
yang sedang terbengong-bengong.
"Jliigk...!" Dengan mulus si bayangan merah, rambut berkuncir dengan periuk yang
selalu menyertainya kemana pergi menjejakkan kakinya di atas sebongkah batu berukuran besar. Kehadiran pemuda
yang tidak dikenal oleh perempuan muka rusak ini
langsung dia sambut dengan caci maki. Sebaliknya
yang mendapat makian malah tertawa mengekeh.
"Ah... sebuah pertarungan yang sangat tidak bijaksana! Sudah tau musuh tiada berdaya, tapi kau
malah bermaksud menghabisinya...!" tegurnya masih dengan tersenyum-senyum. Nyai
Plasik yang sudah
kehilangan kesempatan untuk membunuh musuh bebuyutannya menjadi sangat marah sekali. Sementara
itu pertarungan antara Puteri Gagu sudah tampak mulai terhenti. Murid-murid padepokan Bukit Berkabung
hanya bersisa tak lebih lima orang saja. Sebaliknya Puteri Gagu sendiri kini
telah bergabung dengan gurunya untuk melakukan keroyokan pada pemuda penyandang
priuk yang sangat menyebalkan itu.
"Bocah, siapakah kau ini" Begitu berani mencampuri urusan dedengkot Kuburan Iblis...!" membentak Nyai Plasik setelah
memandang tajam pada si pemuda beberapa saat lamanya.
"He... he... he...! Aku cuma pengelana kok. Namaku kukira tak penting bagimu pula iblis jelek seper-timu tak perlu tahu lebih
banyak siapa aku ini!" jawab Buang Sengketa mencemooh. Maka habislah sudah
kesabaran yang dimiliki oleh Nyai Plasik. Kemudian
tanpa berkata-kata lagi Nyai Plasik dan muridnya
langsung menyerang pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara ini dengan pukulan-pukulan beracun yang
sangat ganas. Kini pemuda itulah yang menjadi pelampiasan kemarahan Nyai Plasik. Buang sadar betapa
tiada guna mempergunakan Jurus Kesabaran 'Koreng
Seribu' apalagi dia sendiri sempat melihat betapa telengasnya manusia muka rusak itu. Di sisi lainnya,
sungguh pun dia menyadari tubuhnya kebal terhadap
berbagai jenis racun. Namun dia tidak akan membiarkan begitu saja dirinya menjadi sasaran pukulanpukulan dahsyat yang mulai dilancarkan oleh kedua
lawannya. Itulah sebabnya ketika Puteri Gagu mulai
melepaskan pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan Nyai
Plasik juga mempersiapkan pukulan 'Jari Iblis' maka si pemuda dengan mengerahkan
tiga perempat tenaga
dalamnya segera pula melepaskan pukulan 'Empat
Anasir Kehidupan' yang sudah tidak asing lagi. Tak
ayal selarik gelombang angin pukulan yang memancarkan sinar Ultra Violet dan menimbulkan hawa panas luar biasa melesat sedemikian cepatnya menyongsong pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan pukulan
'Jari Iblis' dua pukulan yang menimbulkan hawa dingin dan menebarkan bau racun bertemu dengan sebuah pukulan yang menyebarkan udara panas.
"Blaaar...!" Dua letupan keras yang menimbulkan getaran yang sangat hebat
terdengar. Tubuh pendekar dari Negeri Bunian itu terpelanting roboh. Dari hidung dan bibirnya
mengalir darah kental, dia merasakan tulang belulangnya bagai remuk. Sementara
ke- palanya berdenyut-denyut sakit. Baik Nyai Plasik
maupun Puteri Gagu yang hanya tergetar saja tubuhnya akibat benturan tenaga sakti tadi, kini telah siap kembali dengan pukulan
susulan. "Hiaaaat Caaaaait...!"
"Wuss.... Weeer...!" Menghadapi dua ancaman maut sekaligus, Buang sudah
bermaksud berkelit
menghindar namun dia sendiri akhirnya terperangah
ketika menyadari tubuhnya terasa sangat sulit untuk
digerakkan. Tiada pilihan lain, sungguh pun dia menyadari dirinya sedang menderita luka dalam yang tidak ringan, namun akhirnya dengan nekad si pemuda
mengadu jiwa dengan lawannya.
"Hhhh...!" Sedikit saja dia mengerahkan tenaga dalamnya, maka kedua tangannya
terangkat ke atas
dan menyilang di atas kepala. Melihat tingkah si pemuda seperti orang yang sedang memasrahkan nasib,
kejab kemudian sebenarnya Nyai Plasik hampir saja
melonjak kegirangan. Tapi rasa senang itu akhirnya
harus dia bayar dengan rasa kecut yang luar biasa.
Bagaimana tidak, begitu pula yang dia lepaskan dan
pukulan yang dilepaskan oleh muridnya menghantam
lawannya. Dia dapat merasakan pukulan yang mereka
lepaskan rasa-rasanya seperti menghantam bayangbayang, kini bahkan mereka mulai merasakan seperti
dua kekuatan raksasa yang membetot tubuh mereka
menuju ke arah Buang Sengketa. Bahkan Nyai Plasik
mulai merasakan ada sesuatu yang mengalir deras lewat tangannya. Masih dalam keheranan Nyai Plasik
maupun Puteri Gagu muridnya terus berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk memunahkan pengaruh daya tarik yang sangat kuat itu. Tapi mereka nampaknya mulai menyadari semakin kuat mereka mengerahkan tenaga dalamnya maka semakin deras pula tenaganya yang tersedot keluar.
Memang tidak dapat di sangkal, justru semua
itu terjadi karena Buang yang tadinya dalam keadaan
kepepet itu sudah tak punya pilihan lain terkecuali
membuka jurus Koreng Seribu yang mempunyai sifat
membetot tenaga sakti lawannya. Namun lama kelamaan Nyai Plasik yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan itu menyadari apa sesungguhnya
yang sedang terjadi. Dia pun akhirnya mengeluarkan
seruan kaget; "Ilmu setan...!" desisnya. Apabila dia melirik ke arah muridnya
yang sudah mulai menggigil dan pucat wajahnya. Maka dia pun berteriak: "Puteri!
Tarik balik tenaga dalammu...!" perintahnya sembari memberi aba-aba dengan
mempergunakan jari tangan kirinya. Dengan isyarat gurunya. Puteri Gagu segera
menarik balik tenaga dalamnya, begitu pula halnya
dengan Nyai Plasik.
Begitu mereka terbebas dari siksaan 'Jurus Koreng Seribu' yang hampir menguras setengah dari tenaga dalam yang mereka miliki, maka tubuh kedua
orang itu tampak terhuyung-huyung. Sebaliknya
Buang Sengketa yang memperoleh tenaga tambahan
dari lawan-lawannya, sekarang sudah berdiri tegak
dengan seringai senyum menggidikkan.
"Ilmu iblis...!" maki Nyai Plasik dengan nafas terengah-engah. Hal yang
sebenarnya, Nyai Plasik mulai
keder juga, sebab baru kali inilah dia mendapati seorang pemuda aneh memiliki ilmu kepandaian yang tiada duanya. Menyedot tenaga dalam lawan! Dedengkot
Pendekar Kelana 5 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Pendekar Mata Keranjang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama