Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran Bagian 2
paling depan. Mereka memang sedang menunggu-nunggu kesempatan itu. Sekaranglah saatnya menunjukkan kemarahan mereka.
Tapi sesampainya di pinggir kali mereka semua bengong melompong bercampur ngeri. Mereka tidak melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah.
"Kunto apa yang terjadi?" tanya Ki Sangga Wa-na sesampainya pada kerumunan itu.
"Entahlah... Aku menemukannya tergeletak di sini." jawab Kunto ketakutan. Ki
Sangga Wana maju ke tengah mendekati sesosok mayat. Mengerikan sekali. Tubuh Mardun nampak biru dan di atas kepalanya berlubang sebesar telapak tangan.
"Kita terlalu lengah. Mardun korban yang kedelapan. Cepat menyebar...! Siluman
itu pasti masih ada di sekitar sini!" Ki Sangga Wana memberi perintah.
"Kita berpencar. Awas jangan terpisah dengan
yang lain...." Mereka menyebar.
"Kalau ketemu langsung saja cincang!" teriak mereka ramai. Beberapa orang tetap
tinggal bersama Ki Sangga Wana membereskan mayat Mardun. Dwi
Langsih ketakutan. Ia memegangi ujung baju Kunto.
Melihat itu Ki Sangga Wana mengelus-elus rambut
kemudian menggendongnya.
"Kau tidak perlu takut, Langsih. Penduduk
kampung sedang mencari siluman itu. Malam ini pasti tertangkap." bujuk Sangga
Wana. Dwi Langsih diam.
Kunto ikut menggotong mayat Mardun. Mereka membawanya ke perkampungan.
"Mungkin nenekmu sudah cemas menunggu...
Kau sendiri tidak apa-apa, bukan" Dwi Langsih menggeleng. Ia tetap dalam
gendongan Ki Sangga Wana
yang melangkah cepat menuju keramaian.
Keadaan desa jadi gaduh. Orang-orang yang
tengah pulas tertidur mendadak bangun dan keluar
dari gubuknya masing-masing. Mereka semua ketakutan. Istri Mardun langsung pingsan setelah mendengar kabar dari para penjaga
malam. "Langsih...! Langsih...!" Ni Klesung Langit melangkah menggapai-gapai kedua
tangannya. Semua
orang tidak perduli. Tapi saat Ki Sangga Wana melihatnya, ia langsung melangkah
menemuinya. "Langsih tidak apa-apa, Ni... Ia bersama ku."
kata Ki Sangga Wana menurunkan Dwi Langsih. Bocah
itu meluruk lari memeluk nenek buta Ni Klesung Rangit.
"Neeeeek...!"
"Kepala kampung tak tahu diuntung! Kau hampir saja mencelakakan cucuku!" hardik Ni Klesung Rangit. Mendengar perkataan
yang demikian, Ki Sangga Wana naik pitam.
"Justru kau yang sengaja mencelakakan cucu
mu sendiri, Ni Klesung Rangit. Kau membiarkan cucumu keluar malam sendirian. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu padanya" Apakah kau juga akan
menyalahkan aku?" Ki Sangga Wana membentak.
Bibir Ni Klesung Rangit bergetar menampakkan
kemarahan yang luar biasa. Kedua matanya yang buta tertutup rapat oleh kelopak
mata, seperti melotot hendak keluar dari rongganya.
* * * 7 Setelah menggeram Ni Klesung Rangit menarik
lengan Dwi Langsih.
"Kembali ke gubuk, Langsih! Jangan mencampuri urusan para pahlawan yang sok jago. Chis!" Ni
Klesung membuang ludah di hadapan Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu berusaha acuh meskipun ia
merasa terhina. Penduduk kampung memaklumi akan
perangai Ni Klesung Rangit. Mereka hanya memperhatikan sampai nenek dan cucu itu masuk ke dalam gubuknya. Setelah itu pun mereka sibuk kembali menca-ri-cari sosok yang
mencurigakan. Semua penduduk keluar dari gubuknya. Mereka berkumpul dalam satu lapangan yang cukup besar.
Semuanya bergidik setelah melihat mayat Mardun. Mereka menimbulkan suara yang
sangat ribut dan membisingkan. Apalagi semua keluarga Mardun yang tidak rela akan kematiannya.
"Kalian tenang! Tenang!" Ki Sangga Wana berusaha menenangkan mereka, namun para
penduduk kampung makin kalang kabut.
"Kalau kalian begini terus bagaimana kita bisa mendapatkan siluman itu" Diam!
Kalian bisa tenang
atau tidak!"
Bagaimana pun bentakan kepala kampung tak
digubrisnya. Para penduduk makin takut dan semakin ribut. Penjaga-penjaga malam
berkeliling bersiap-siap dengan senjata. Lampu-lampu obor dinyalakan membuat
kampung itu menjadi terang seketika. Sampai
saat itu mereka belum menemukan apa-apa. Tapi
mendadak saja mereka kaget semua.
"Rowok Tunggel kau tidak perlu mengikutiku!
Pergi! Pergi! Kau sudah menyembelih kudaku...!" Tiba-tiba saja terdengar seorang
berteriak-teriak. Orang-orang kampung terlolong melihat seseorang berlari
kencang. Di belakangnya seorang lelaki telanjang dada mengejarnya.
"Aku tidak mau! Kalian siluman jahat!" teriak lelaki yang berlari di depan.
Mereka tidak lain dari Umbara Komang dan Rowok Tunggel. Mereka berdua
tidak menyadari kalau saat itu sudah memasuki perkampungan orang. Umbara Komang sendiri tersentak
kaget disambar petir saat melihat orang-orang yang berkerumun di hadapannya.
Apalagi orang-orang itu
mengacung-acungkan senjata mereka.
"Mati aku! Rupanya aku terkepung." Umbara Komang menghentikan larinya. Rowok
Tunggel masih jauh tertinggal. Melihat begitu banyak orang mengacungkan senjata, Umbara Komang
berlari ke arah lain.
Tapi justru tindakannya itu membuat orang-orang
kampung jadi curiga. Maka...
"Kepung mereka! Dan tangkap mereka hiduphidup!" perintah kepala kampung. Lalu semua orang yang ada di situ langsung
menyerbu Umbara Komang.
Begitu juga dengan Rowok Tunggel. Ia tidak mengerti, tahu-tahu saja puluhan
orang bersenjata mengha-dangnya. Mereka memang tidak langsung menyerang,
tapi cukup membuat Rowok Tunggel jadi panik. Makanya begitu orang-orang itu mendekat, Rowok Tunggel melancarkan hantaman-hantaman kepada orang
yang menghalangi langkahnya.
Ki Sangga Wana sang kepala kampung sampai
turun tangan. Dia sengaja tidak mengeluarkan keris.
Karena dengan tangan kosong pun ia bisa menahan
serangan-serangan Rowok Tunggel yang selalu menjatuhkan orang-orang kampung.
Sebenarnya dalam hal ini Rowok Tunggel membela diri dari kepungan puluhan orang. Tapi Ki Sangga Wana telah mengira orang
asing itu bermaksud kurang baik dan bersangkutan dengan kematian Mardun dan
korban-korban sebelumnya.
Untuk itulah Ki Sangga Wana mengerahkan seluruh tenaganya menghalangi setiap gerakan-gerakan Rowok Tunggel. Menghadapi
orang yang cukup memiliki ilmu, Rowok Tunggel sulit menyingkirkan orangorang yang datang menghadang. Sampai mereka saling berhadapan, lelaki telanjang
dada itu seperti kewalahan. Hantaman-hantaman Ki Sangga Wana hampir
mengenai bagian kepala dan dadanya. Rowok Tunggel
berusaha menghindarinya walaupun sekeras apa hantaman itu. Laki-laki telanjang dada itu harus melompat ke sana ke mari
menghindari babatan-babatan senjata yang membabi buta mengarah ke tubuhnya.
Manakala serangan-serangan Ki Sangga Wana begitu gencar
mengikuti ke mana Rowok Tunggel bergerak.
Gerakan Ki Sangga Wana sangat cepat, begitu
juga dengan Rowok Tunggel yang sudah menyadari
adanya seseorang yang mengikuti. Tapi ia tidak perduli. Ia lebih ngeri
menghadapi orang-orang yang bersenjata. Saat itulah ia tidak sempat lagi
menghindari pukulan Ki Sangga Wana yang menghantam membuatnya
jatuh. Sudah tentu semua orang kampung yang melihat lelaki itu jatuh langsung mengepung. Senjatasenjata mereka siap merencah. Tapi sebelum senjata-senjata itu menghujani, Rowok
Tunggel salto ke belakang. Nafasnya tersengal-sengal masih menahan sakit akibat
hantaman Ki Sangga Wana tadi.
"Tunggu! Aku menyerah! Aku menyerah!" Rowok Tunggel mundur-mundur, tapi ia masih
sanggup menepiskan beberapa senjata yang mencecar ke arahnya. "Kalian ini siapa" Kenapa kalian tiba-tiba saja menyerang?" Rowok Tunggel
melompat mundur.
"Jangan banyak bicara! Ringkus saja manusia
busuk itu!" Orang-orang kampung semakin gencar menyerang. Ki Sangga Wana
melepaskan jurus-jurus
maut mematahkan pertahanan Rowok Tunggel.
"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak kepala kampung penuh semangat.
Sementara itu orang-orang yang mengepung
Umbara Komang berpentalan satu demi satu. Bersamaan dengan itu pula teriakan Umbara Komang menggelegar. Nampak jelas sekali gerakan-gerakan kedua lengan Umbara Komang yang
menghantam jatuh lawan-lawannya. Orang-orang yang telah jatuh itu tak dapat
bangkit lagi, karena mereka semuanya mengalami patah tulang.
Senjata-senjata mereka tidak berarti sama sekali. Umbara Komang dapat dengan mudah menghindar dan membalas serangan.
"Kebetulan! Kebetulan sekali aku dapat menemukan gudang siluman! Hua ha ha ha... Aku paling
gatel melihat siluman-siluman tengik macam begini.
Heaaaaa!" Umbara Komang memutar sebelah lengannya maka empat orang sekaligus
bergulingan sambil
menjerit karena tulang kaki mereka terkilir.
"Biar langit runtuh! Biar bumi bergoncang!...
Aku tidak takut!" Umbara Komang teriak-teriak. Suaranya berbareng dengan
teriakan orang-orang yang jatuh bergulingan. Dan ia cukup puas akan tindakannya. Tawanya terkekeh-kekeh.
"Rasain! Biar kalian pada pedok! Pada pencot!
Hih! Hih!" Lelaki senewen itu memandangi orang-orang itu dengan sapuan kakinya
yang memutar berkali-kali.
Kontan semua lawannya meringis sambil berjingkatjingkat. Sebentar saja para pengeroyoknya itu berkurang banyak, dan mereka jadi
ragu-ragu untuk maju
lagi. Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi
amukan Umbara Komang. Laki-laki senewen itu selalu dapat membalas di saat mereka
melancarkan serangan. Sampai saat itu pun senjata-senjata mereka yang tajam
berkilat tidak mampu menyentuhnya. Gerakan
Umbara Komang yang nampak asal asalan itu justru
membawa maut bagi orang yang coba-coba mendekat.
Semuanya dibuat tunggang langgang.
Di lain pihak, Rowok Tunggel nampak berlarilari menghindari kejaran Ki Sangga Wana dan kepungan orang-orang kampung. "Wuaaa... Rowok Tunggel.
Gara-gara kau, aku jadi ikut-ikut sial!" kata Umbara Komang yang melihat lelaki
telanjang dada itu berlari ke arahnya.
"Sekarang kau seorang pemimpin. Bagaimana
pun kau tidak bisa meninggalkan kami di Pedalaman
Lereng Ungaran!" jawab Rowok Tunggel. Tidak henti-hentinya ia menoleh ke
belakang. Ki Sangga Wana mulai mencabut kerisnya.
"Jangan banyak omong! Awas di belakang mu
biang siluman akan menikam." bentak Umbara Komang, ia cepat menarik tubuh Rowok
Tunggel. Keris Ki Sangga Wana berkelebat nyaris merobek pinggang.
"Hati-hati, Komang. Orang yang satu ini luar
biasa!" * * * Ah! Peduli amat!" jawab Umbara Komang. Tusukan-tusukan keris dihadapinya. Tubuhnya yang lentur bergerak ke sana ke mari
seakan mengejek. Sudah tentu membuat Ki Sangga Wana makin kalap. Orang-orang
kampung yang bermaksud datang membantu
kepala kampung itu dihadapi oleh Rowok Tunggel.
Tanpa Ki Sangga Wana, lelaki telanjang dada itu dapat menghalau para pengeroyok.
Ia masih belum mengerti kenapa orang-orang kampung bertindak membabi buta
macam itu. Tapi bagi Rowok Tunggel yang berpikiran panjang, ia sengaja betul-betul tidak menyakiti orangorang itu. Setiap hantamannya membuat mereka terguling atau mundur. Kalau Rowok Tunggel mau, ia bi-sa merebut senjata mereka dan
menghabisi mereka sa-tu persatu.
Bagi Umbara Komang lain lagi. Laki-laki senewen itu tidak pandang bulu. Siapapun yang datang
melancarkan serangan padanya, ia tidak segan-segan membalas dengan hantaman yang
paling dahsyat. Untuk itulah Ki Sangga Wana harus kewalahan menghadapinya. Tapi bagi seorang kepala kampung pantang
untuk menyerah atau mundur. Ia semakin gigih melancarkan babatan-babatan serta tusukan keris. Umbara Komang yang sendiri tadi melayani hanya memutar-mutar kedua lengan dengan sesekali berlompat.
Dan mendadak sekali tubuh Ki Sangga Wana terhuyung ke belakang. Dadanya terasa sakit dan ia tidak tahu kapan hantaman itu
datang. Yang lebih menge-jutkan lagi, keris milik Ki Sangga Wana telah berpindah
tangan pada Umbara Komang. "Hak hak hak
hak...! Kau pikir senjata butut ini mampu melumpuhkan kesaktianku" Jangan mimpi,
Biang Siluman! Kalau bukan angin raksasa dan badai pasir tidak ada
yang bisa mengalahkan ku! Kau baru jadi biang siluman sudah sok main keroyok.
Nih! Kukembalikan senjata taik kucingmu!" Umbara Komang melemparkan keris itu ke hadapan Ki Sangga
Wana yang masih heran. Keris itu menancap tepat di atas permukaan tanah. "Ayo
ambil! Aku tidak butuh pusaka butut! Hak hak hak hak...!" tawa Umbara Komang
menggelak-gelak. Perutnya sampai tergoyang-goyang.
Ki Sangga Wana hanya memandangi laki-laki
bertingkah aneh itu. Ia seperti tidak percaya ketika melihat Umbara Komang
berlalu dengan acuh. Kenapa
orang ini tidak menghisap darahnya" Atau melubangi kepala Ki Sangga Wana"
"Hai, Siluman senewen! Kau pikir bisa pergi begitu saja" Tinggalkan dulu nyawamu
di sini!" bentak Ki Sangga Wana. Ia mengejar dengan langkah yang sangat cepat
menyusul Umbara Komang berjalan tenang.
"Mampus!" Ki Sangga Wana menerjang dengan tusukan keris. Tanpa menoleh Umbara
Komang sudah mencium adanya serangan gelap dari arah belakang.
Maka ia segera bergeser ke samping. Ki Sangga
Wana mengarahkan kerisnya ke tempat kosong. Bersamaan dengan gerakan itu Umbara Komang melancarkan hantamannya... "Bug!" Ki Sangga Wana yang hampir jatuh tambah ngusruk
mencium tanah.
Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Umbara Komang mengekeh. Bibirnya mencibir
monyong dengan kedua mata yang terbelalak. Kepala
kampung itu meringis berusaha bangkit.
"Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang!
Sekali lagi kau menyebutku siluman, lidahmu akan ku tarik ke luar! Jangan
plintat plintut begitu! Aku lagi serius!" Lelaki senewen itu tolak pinggang
berjalan mengelilingi Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu balas menatap dengan
geram. Lalu dengan teriakan lantang ia julurkan ujung kerisnya yang setajam mata
pedang. Sinar keemasan membersit ke arah lelaki yang berjalan mengelilinginya. Tapi
secepat kilat pula Umbara Komang dapat menangkap pergelangan tangan Ki Sangga
Wana. Bahkan melintirnya... "Aaaaarght!" Keris berwarna keperakan terlepas.
Mendadak saja Umbara Komang melepaskan
cengkramannya. Bibirnya yang rada monyong menganga lebar. Ki Sangga Want yang nampak meringis
sempat tersentak kaget. Cepat-cepat ia meraih kerisnya yang tergeletak di tanah.
Mengapa tidak" Dari
arah lain puluhan orang bertelanjang dada berlarian memasuki desa itu. Mereka
bersenjatakan panah dan
golok terhunus sepanjang lengan.
"Rowok Tunggel...! Umbara Komang...! Kami datang!" teriak orang-orang itu.
Melihat Rowok Tunggel terkepung macam itu,
tentunya orang-orang telanjang dada tidak tinggal di-am. Sebagian dari orangorang yang bersenjata parang maju mengempur. Yang lain menyebarkan anak-anak
panah. "Jangan...! Jangan serang mereka!" teriak Rowok Tunggel. Ia menerobos
kepungan orang-orang
kampung. Tapi teriakan itu tidak didengar sama sekali.
Keadaan makin riuh. Teriakan Rowok Tunggel tenggelam dalam kegaduhan malam itu. Rowok Tunggel cukup mengerti kemarahan orang-orang suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Tapi dengan cara seperti itu tentunya akan banyak memakan korban.
Manakala anak-anak
panah melesat deras seperti air hujan meluruk ke arah para penduduk kampung yang
mulai sadar akan kedatangan puluhan tamu tak di undang.
Di balik dentingan senjata beradu dan desiran
angin, batang-batang anak panah. Sosok tubuh melayang berjumpalitan di udara. Kedua lengannya sigap menangkapi batang-batang
anak panah. Sosok itu begitu cekatan dan cukup berani menentang derasnya
hujan panah. Rowok Tunggel
yang melihatnya langsung mengikuti cara itu.
Tubuhnya segera melesat dan harus melompat-lompat
menyambar tiap-tiap batang anak panah. Melihat kemunculan Rowok Tunggel, mereka mengurangi serangan anak panah. Mereka tidak ingin lelaki telanjang dada itu kena sasaran.
* * * 8 Dua lelaki masih berjumpalitan, kedua lengan
mereka sigap menyambar lesatan-letatan anak panah.
Saat itu pun mereka saling pandang. Diam-diam Rowok Tunggel menatap kagum terhadap seorang pemuda yang mengenakan baju bulu binatang. Dan begitu
keduanya hinggap di tanah. Pasukan telanjang dada
menghentikan serangan panahnya.
Orang-orang itu mendekati Rowok Tunggel.
Penduduk kampung tidak ada yang berani mendekat.
Kecuali Ki Sangga Wana. Rupanya ia masih mengenali pemuda yang baru datang itu.
Ia segera melompat meninggalkan Umbara Komang. Lelaki senewen itu tidak mau
kalah cepat. Tubuhnya yang lentur berjumpalitan mendahului langkah-langkah Ki
Sangga Wana. Dan
tahu-tahu saja mendarat di hadapan pemuda yang
mengenakan baju bulu binatang.
"Dewa!" Suara Umbara Komang keras menyapa.
Orang yang disebut dewa tidak lain Wintara adanya.
Pendekar Kelana Sakti itu seakan tidak percaya melihat Umbara Komang kini
berdiri di hadapannya.
"Ha ha ha ha... Dunia betul-betul sempit. Dalam keadaan seperti ini pun kita bisa ketemu lagi...."
Umbara Komang langsung memeluk Wintara.
"Aku pikir kau sudah terkubur hidup-hidup
oleh badai pasir!" tawa Wintara menggelegak. Mereka berpelukan. Ki Sangga Wana
maupun orang-orang
kampung keheranan.
"Tidak salah! Tidak salah apa yang kau katakan, Dewa! Kalau saja Rowok Tunggel tidak keburu
menyelamatkan aku, mungkin sudah jadi setan gentayangan." Suara Umbara Komang lepas.
"Mana mungkin kau bisa jadi setan gentayangan! Kalau jadi setan gila, aku baru yakin... Ha ha ha ha ha...!" "Ha ha ha ha
ha...!" "Anak muda." teguran Rowok Tunggel menghentikan tawa mereka. "Untung kau cepat datang.
Orang-orangku dan penduduk desa ini nyaris berperang. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi di sini. Tiba-tiba
saja mereka menghadang dan menyerang kami...." tutur Rowok Tunggel.
"Bagaimana kami tidak menyerang. Kalian berdua datang di tengah malam begini, gasak gerusuk se-lagi kampung ini tengah
terjadi sesuatu. Coba saja lihat, semua penduduk masih merasa ketakutan." Ki
Sangga Wana membela diri.
"Apalagi yang terjadi di sini, Ki?" tanya Wintara.
"Malam ini telah jatuh seorang korban." jawab kepala kampung itu cepat.
"Korban yang sama seperti Kang Birun?" Wintara meyakinkan. Ki Sangga Wana
mengangguk. Bersamaan dengan itu pula mayat Mardun diusung ke tempat terang. Penduduk kampung ikut mengiringi. Rowok Tunggel mengeryitkan alis
memandang iring-iringan
itu. Umbara Komang dan Wintara ikut melihat. Bagi
Wintara sudah tidak heran lagi melihat korban kehabisan darah dengan kepala
bolong sebesar telapak tangan. Tapi,
"Astaga...! Tunggu dulu!" Rowok Tunggel menahan iring-iringan itu. Maka orangorang yang mengusung mayat Mardun berhenti penuh ketakutan. Apalagi saat Rowok Tunggel mendekat. Kedua matanya tidak berkedip. Malah membelalak.
"Sudah berapa orang yang tewas seperti ini?"
tanya Rowok Tunggel dengan suara gemetar. Ia tidak berani menyentuh mayat itu.
"Untuk malam ini genap delapan orang! Siluman penghisap darah itu memang selalu mengambil
korban di sini. Itu yang membuat kami kalut." Ki Sangga Wana yang menjawab.
"Ini bukan perbuatan siluman atau sebangsa
setan lainnya." Rowok Tunggel yakin sekali. Wintara dan Ki Sangga Wana menatap
tajam. Mereka menunggu ucapan Rowok Tunggel.
"Kalau kalian percaya, ini perbuatan seseorang yang tengah menggenapi ilmunya.
Dengan darah dan
isi kepala baru bisa sempurna. Delapan nyawa belum cukup menyempurnakan 'Ilmu
Gelugut Manik'...." tutur Rowok Tunggel.
"Harus berapa nyawa lagi yang perlu di ambil
dari desa ini!" Ki Sangga Wana geram setelah mendengar penjelasan laki-laki
berewok telanjang dada.
"Orang itu masih membutuhkan empat nyawa
lagi." Mendengar ucapan Rowok Tunggel, orang-orang kampung merinding dan semakin
ciut. Bagai- mana pun ucapan itu menghantui setiap orang. Sampai saat ini siluman tersebut belum juga ditemui, datang dan perginya selalu
meninggalkan korban. Siapa yang bisa mengatasinya.
Sementara itu Ni Klesung dan Dwi Langsih
mendengar kegaduhan itu dari dalam gubuknya. Mereka memang belum bisa memejamkan mata sejak kegaduhan itu "Nek, Paman Wintara datang lagi ke sini. Pastilah siluman itu akan tertangkap."
Dwi Langsih yang sudah mengenali suara Wintara yakin akan kedatangan Pendekar
Kelana Sakti. Wajahnya berseri.
"Hus! Anak kecil tahu apa! Tidur sana!" bentak Ni Klesung Rangit. Gadis kecil
itu mengkerut langsung beranjak ke sudut ruangan.
"Sampai kapan pun mereka tidak akan sanggup
menangkap siluman itu!"
Di luar keadaan semakin ramai. Apalagi ditambah dengan puluhan orang-orang bersenjata panah.
Membuat tempat itu penuh sesak. Penduduk kampung
yang terluka di seret ke pinggir. Untunglah tidak sampai korban nyawa.
"Terus terang 'Ilmu Gelugut Manik' salah satu ilmu kesempurnaan tingkat tinggi
yang dimiliki Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Tapi sampai saat ini belum ada orang
yang sanggup menguasainya." kata Rowok Tunggel.
"Nampaknya kau tahu persis siapa pelaku
pembunuhan ini, Sobat. Apa yang membuat kau begitu yakin?" Ki Sangga Wana
penasaran. "Karena aku dan orang-orang itu para penghuni Lereng Ungaran. Boleh dibilang
penduduk asli Suku
Pedalaman Bangsa Bajor." Rowok Tunggel menjawab mantap.
"Kalau begitu...." Ki Sangga Wana menerjang lagi. Kerisnya siap menikam. Tapi
cepat Wintara menahan. "Sabar, Ki... Kita tidak boleh asal tuduh. Semua yang
diucapkannya hanyalah penjelasan." Wintara berdiri di tengah-tengah. Umbara
Komang nyengir. La-lu...
"Rowok Tunggel bukan siluman! Tapi dia seorang dukun yang hebat. Ilmu yang dikuasainya hanya bisa menyembuhkan orang-orang
sekarat." "Benar! Dan sekarang yang memimpin kami
adalah Umbara Komang. Untuk itulah aku mengejarnya, karena dia lari dari sumpah Suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Orang yang telah disumpah menjadi
pemimpin tak boleh mengelak."
"Kau dengar, Ki... Aku rasa sekarang sudah jelas persoalannya." Wintara menepuki
punggung Ki Sangga Wana. Amarahnya belum juga reda.
"Orang-orang kampung yang terluka biarlah
kami yang akan mengobati. Kalau hanya patah tulang atau terkilir, kami bisa
mengatasi."
"Kumpulkan saja mereka yang terluka. Mudahmudahan saja sobat kita ini bisa menyembuhkannya."
tutur Wintara. Ki Sangga Wana menatap penduduk
kampung yang penuh ketakutan itu. Lalu setelah ia
memberi aba-aba. Beberapa orang yang nampak segar
bugar membantu mengumpulkan teman-temannya
yang terluka. Banyak juga yang terluka dan mengerang-ngerang menahan sakit.
Rowok Tunggel sendiri memilih orang-orangnya
dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Enam orang yang
betul-betul dianggapnya bisa mengobati luka patah
atau sejenisnya. Keenam orang itu menunjukkan sikap yang bersahabat. Penduduk
kampung tidak takut lagi.
Mereka menuruti apapun perintah keenam orang pilihan Rowok Tunggel.
"Yang lain boleh kembali ke gubuk, tidak akan terjadi apa-apa lagi di sini...."
perintah Rowok Tunggel.
"Karena pembunuh itu hanya memerlukan satu nyawa setiap malamnya."
"Turuti saja perintahnya. Rowok Tunggel selalu berkata benar." sumbar Umbara
Komang. Kata-kata itu ditujukan pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung
itu hanya diam. Keputusannya ada pada tiap-tiap penduduk desa. Nyatanya mereka
tidak ada yang mau
menuruti, mungkin dikarenakan masih ketakutan.
Rowok Tunggel tak bisa berbuat banyak. Wintara mendekati kepala kampung...
"Untuk sementara biarkan saja orang-orang pedalaman tinggal di sini. Aku rasa ada baiknya. Desa ini butuh pertolongan orang
banyak." "Mereka akan tinggal di mana" Jumlah mereka
begitu banyak. Mana mungkin bisa menampung orang
sebanyak ini." jawab Ki Sangga Wana.
"Kami sudah terbiasa hidup di alam terbuka.
Kalau tidak keberatan, biarkan saja kami berkeliaran di sini...." Rowok Tunggel
menimpali. Entah karena apa tiba-tiba saja ia ingin menetap di desa itu. Mungkin
karena salah seorang yang menyempurnakan 'Ilmu Gelugut Manik' selalu mengambil
korban di situ. Yang ia ketahui "Ilmu Gelugut Manik' hanyalah ilmu yang berasal
dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Sejenis ilmu sesat. Dia sendiri tidak mau
menguasai ilmu itu. Dulu memang banyak para tetua suku Bajor yang menguasai ilmu
itu. Tapi menurut sepengetahuannya 'Ilmu
Gelugut Manik' sudah punah beberapa puluh tahun
yang lalu, karena seluruh tetua itu sadar akan ilmu yang tidak dibenarkan. Maka
mereka pun bunuh diri.
Yang pada sekarang tinggal generasi Rowok Tunggel.
"Untuk mereka boleh tinggal berkeliaran di
luar. Tapi aku tidak." Tiba-tiba saja Umbara Komang menyela.
"Kenapa... Bukankah sekarang kau ketua Suku
Pedalaman Bangsa Bajor" Kau harus memimpin mereka." jawab Wintara.
"Aduh, Dewa... Aku paling tidak tahan kantuk
dan lapar. Bagaimana aku bisa bertahan hidup di luar sepanjang hari." Umbara
Komang hampir menangis.
"Pendekar macam apa kau ini. Terhadap badai
angin dan pasir kau tahan. Masa hanya begadang beberapa malam saja kau tidak sanggup. Jangan khawatir Umbara Komang, aku akan menemanimu... Juga
bapak kepala kampung akan bersama-sama kita
menghadapi siluman itu." Wintara memberi semangat.
"Benar, Umbara Komang... Kau sebagai ketua
kami semestinya bertindak, jangan sampai 'Ilmu Gelugut Manik' tercipta. Kalau
sampai orang itu menguasai ilmu itu, maka kita semua tidak akan lagi dapat mengatasinya." ujar Rowok Tunggel.
"Terserah kalian saja! Pokoknya aku tidak mau sampai kelaparan." jawab Umbara
Komang. Wintara tersenyum. Ia merangkulnya berjalan menghadap Ki
Sangga Wana. "Namanya Umbara Komang. Maafkan saja kalau bicaranya rada ngaco. Kadang-kadang otaknya ra-da miring." Wintara
memperkenalkan sahabat lamanya itu pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu tidak
ragu-ragu lagi.
"Lalu kau sendiri siapa, Anak muda. Ilmu yang kau miliki sangat luar biasa!"
tanya Rowok Tunggel.
Saat itu suasana desa sudah tenang kembali. Yang
terdengar hanya kasak kusuk beberapa penduduk
kampung dan erangan orang-orang yang terluka.
"Aku hanya seorang pengelana. Namaku Wintara. Anda Rowok Tunggel, bukan" Ilmu peringan tubuhmu pun sangat hebat."
"Sekarang kalian menjadi tamu-tamu kami ini.
Adalah wajar kalau kami bermaksud menjamu kalian."
kata Ki Sangga Wana.
"Itu bisa menyusul. Yang penting kita urus du-lu mayat itu." sela Wintara.
Penduduk kampung memang sudah mengurusi
jenasah Mardun. Meskipun tidak dibungkus dengan
kafan, kain sarung pun bisa digunakan. Mayat itu di letakkan di tempat yang
lebih terang. Terdengar pula beberapa orang membacakan doa. Para penduduk Su-ku
Pedalaman Bangsa Bajor hanya terdiam memandangi adat itu.
Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biar saja orang-orang itu yang mengurus, toh kita menguburkannya besok. Lagi
pula tanah pemakaman jauh dari sini. Bukankah katamu tadi siluman itu tidak
bakal datang lagi" Sebaiknya kalian datang ke rumah ku. Mungkin ada satu rencana
yang akan dibicarakan." Ki Sangga Wana mengundang. Ketiga orang itu tidak bisa menolak, mereka
pun mengikuti langkah-langkah kepala kampung.
Rumah gedung itu terletak tidak jauh dari situ.
Meskipun dengan beberapa lampu gembreng, bangunan berwarna serba putih itu nampak terang. Setelah Ki Sangga Wana mengetuk
pintu berkali-kali, maka perempuan setengah tua keluar membukakan. Perempuan itu tidak lain istri Ki Sangga Wana. Ia terheran-heran melihat suaminya
pulang dengan tiga orang ber-pakaian sangat lusuh. Terlebih-lebih saat melihat
Rowok Tunggel yang wajahnya hampir tertutup oleh berewok. Terhadap lelaki yang tidak mengenakan baju, istri Ki Sangga Wana
merinding. Ruangan tamu cukup besar, isinya pun dilengkapi dengan perabotan yang bagus-bagus. Mungkin
hanya Ki Sangga Wana orang terkaya di desa itu. Makanya ia terpilih menjadi
kepala kampung.
Lapat-lapat tercium bau kemenyan. Umbara
Komang yang sedari tadi mencium bau itu mengendusendus hidung. Wintara sedari tadi pun sudah merasa.
Hanya Rowok Tunggel yang nampak tenang-tenang saja. Rupanya bau kemenyan itu berasal dari salah
satu yang diterangi dengan sebuah lampu pelita.
Asapnya masih mengepul keluar. Bara api di pendupaan masih marong. Ki Sangga Wana memasuki ruangan itu. Ketiga orang yang dibawanya mengikuti masuk ke dalam ruangan. Maka mereka melihat setumpukan sesajen yang mengampar di sekitar pendupaan.
Mendadak saja Ki Sangga Wana menendangi sesajen
berupa macam-macam makanan. Pendupaan itu sampai pecah belah berantakan. Wintara tetap tidak mengerti. Tapi ia cepat menahan
amukan Ki Sangga Wana.
"Penangkal-penangkal ini tidak ada gunanya
sama sekali. Aku bodoh mengotori tempat ini dengan segala macam barang
penangkal!" gerutu Ki Sangga Wana.
* * * 9 Selesai mengubur jenasah Mardun, penduduk
kampung kembali ke desa. Orang-orang yang terluka
semalam juga ikut. Rasa sakit pada luka-luka mereka hilang seketika. Malah
mereka mulai mengikat tali per-sahabatan dengan para anggota Suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Akrab sekali kelihatannya. Satu sama lain saling menceritakan
pengalaman. Ternyata orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor amatlah menyenangkan. Selain ramah, mereka juga ringan tangan. Kebanyakan dari mereka giat membantu meringankan
beban para penduduk desa. Ki Sangga Wana tidak menyangka sebelumnya. Ada juga yang coba-coba menggoda para gadis desa. Lucu juga! Tapi wajar kalau hal itu terjadi di kalangan
anak muda. Ki Sangga Wana dan keluarganya tidak perlu
repot menyambut Wintara dan kawan-kawannya. Anak
perawannya yang dua orang sibuk membuat hidangan.
Dan ketika mereka keluar membawakan hidangan,
Umbara Komang menyambar lebih dahulu.
Rumah-rumah penduduk nampak ramai. Semuanya berada di luar duduk-duduk di atas balai di depan gubuk mereka. Hanya ada
satu gubuk yang
nampak sepi dan pintunya masih terkunci. Pandangan Rowok Tunggel mengarah ke
situ. Dan sejak tadi ia diam saja. "Saudara Rowok Tunggel ada apa?" tegur Ki Sangga Wana yang mulai merasa
kevakuman Rowok
Tunggel. "Apakah gubuk itu tidak ada penghuninya, Ki.
Sejak tadi kuperhatikan tidak ada orang yang keluar masuk dari situ." jawab
Rowok Tunggel tanpa menoleh.
"Oh... Ada! Seorang nenek buta dan cucunya.
Sebenarnya mereka orang baik-baik. Mungkin karena
usianya yang sudah tua dan pikun, hal itu membuat
penduduk kampung menjadi kurang suka." Ki Sangga Wana menjelaskan.
"Semua orang tua renta pasti pikun. Kau pun
akan seperti itu kelak." sahut istrinya yang duduk di sebelah Ki Sangga Wana.
"Menurutku Ni Klesung Rangit tidak pikun. Tapi ia terlalu berhati-hati. Hanya kita selalu salah taf-sir." Wintara menimpali.
Tapi mendengar ucapan Wintara, Rowok Tunggel bagai disambar petir.
"Siapa katamu, Ni Klesung Rangit...?" Rowok Tunggel mengulangi ucapan Wintara.
"Ya! Ni Klesung Rangit!" Mendadak saja Rowok Tunggel bangkit. Matanya membinar
seolah-olah telah menemukan sesuatu yang sangat berharga. Umbara Komang sampai kaget. "Kalau betul ia Ni Klesung Rangit, pastilah bersama seorang anak kecil." Rowok
Tunggel masih merasa kurang yakin.
"Dia memang bersama seorang cucu perempuan bernama Dwi Langsih." Istri Ki Sangga Wana ikut menjelaskan. Maka entah
karena apa ia keluar dari teras rumah besar itu. Wintara tidak sempat menahan.
Kecepatan lari Rowok Tunggel bagaikan angin menuju ke arah gubuk kecil kediaman
Ni Klesung Rangit.
"Ibuuuu...! Langsih...!" Rowok Tunggel langsung
membuka pintu gubuk itu sampai berderak. Deritnya
terdengar nyaring. Tindakan itu menjadi perhatian seluruh orang-orang yang
berada di desa itu. Wintara dan Umbara Komang menghampiri Rowok Tunggel
yang berdiri diam terpaku. Orang-orang kampung maupun para Suku Pedalaman Bangsa Bajor
berdatangan ke tempat itu.
"Ibu... Anakku... Di mana kalian...?" suara Rowok Tunggel parau.
Kedua matanya berputar mengawasi tiap-tiap
sudut ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk itu. Kecuali perabotan yang
berserakan di tanah.
"Be-benarkah mereka tinggal di sini...?" tanya Rowok Tunggel setelah Ki Sangga
Wana datang ke tempat itu. Ki Sangga Wana tidak langsung menjawab sebab ia menatap langsung ke
atas melihat atap jerami yang jebol. Tapi tak lama...
"Semalam ia masih tinggal di sini, bahkan kami sempat bentrok. Mustahil kalau
kepergiannya tidak diketahui oleh siapa pun."
"Atapnya jebol! Mungkin seseorang telah membawanya pergi." kata Wintara setelah memperhatikan tempat itu. Rowok Tunggel
melihat ke atas. Atap itu memang ternganga lebar.
"Benarkah Ni Klesung Rangit dan Dwi Langsih
keluargamu dari Suku Pedalaman bangsa Bajor" Kalau benar bagaimana mungkin bisa
berada di sini?" Wintara jadi penasaran. Rowok Tunggel berbalik menghadap
Wintara. "Dunia kita sempit, Wintara. Tidak mungkin
ada orang lain yang memiliki ibu dan anak bernama Ni Klesung Rangit dan Dwi
Langsih. Tidak mungkin ada
kesamaan. Aku yakin mereka bagian dari hidupku."
"Kenapa kalian sampai terpisah?"
"Pertanyaan itu memang menyakitkan. Dan aku
tidak bisa melupakannya. Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu. Di mana kami
selalu berkumpul hidup di pedalaman. Ni Klesung Rangit adalah orang tertua Suku
Pedalaman Bangsa Bajor. Ia memimpin suku
kami sebagaimana layaknya para tetua terdahulu. Il-mu pengobatan yang
dimilikinya sangat luar biasa.
Sampai-sampai aku pun diwarisinya. Tapi setelah aku betul-betul menguasai ilmu
pengobatan, Ni Klesung
Rangit pergi mengunjungi makam para tetua Bangsa
Bajor. Ia membawa anakku Dwi Langsih yang baru berumur tiga tahun. Mulai hari itu mereka tidak kembali.
Kami semua mengira mereka telah menjadi mangsa
binatang buas. Namun kami tidak menemukan tandatanda apapun sewaktu mencari mereka. Istriku sampai meninggal karena memikirkan
Langsih." Rowok Tunggel selesai menceritakan perihal Ni Klesung Rangit.
Semua orang terdiam. Ada banyak pertanyaan di benak Wintara dan Ki Sangga Wana. Tapi mereka tidak
mengutarakannya pada Rowok Tunggel dalam keadaan
demikian. * * * Matahari tepat mencorot di atas kepala. Jauh
dari keramaian desa, tepatnya di perbukitan yang
mengelilingi desa. Dua sosok tubuh nampak duduk di bawah rindangnya pepohonan.
Sejak tadi Dwi Langsih sudah mengucurkan keringat. Ni Klesung Rangit pun
nampak demikian. Kulitnya yang kurus keriput sampai legam mengkilat terkena
sinar matahari. Bibir mereka mengering.
"Nek,... Kenapa kita harus meninggalkan desa, bukankah di sana ada Paman
Wintara" Lagipula perut Langsih sudah keroncongan."
"Bocah cerewet! Tidak bisakah kau diam saja!
Nanti aku carikan makanan!" bentak Ni Klesung Rangit. Seperti biasa bila nenek
membentak, Dwi Langsih langsung mengkerut takut.
"Siapa yang meninggalkan desa" Nanti pun kita akan kembali lagi ke sana. Orangorang keparat itu yang membuat kita harus menyingkir sementara. Wintara itu sama
keparatnya dengan mereka." gerutu Ni Klesung Rangit.
Dwi Langsih cemberut. Paman Wintara orang
baik. Mengapa nenek bilang Paman Wintara keparat"
Dalam hati Langsih mendongkol.
Keduanya menatap desa itu dari kejauhan.
Sayup-sayup terdengar keramaian di sana. Nampak
pula orang-orang yang berjalan simpang siur di sekitar desa. Gelak anak-anak
desa menghalau kerbau, juga
gurau para gadis yang menertawakan para pemuda
Suku Pedalaman Bangsa Bajor.
Sumpah serapah Ni Klesung Rangit tidak hentihentinya mengutuk. Matanya yang buta seakan menatap tajam ke arah keramaian itu. Dwi Langsih sesekali melirik. Melihat Ni
Klesung Rangit diam bagai patung, ia makin ngeri. Ia tidak lagi berani tanya ini
itu. Sebab takut kena bentak bagaikan sengatan lebah.
Mereka masih tetap di situ sampai matahari
mulai terbenam. Dwi Langsih nampak begitu kelelahan seharian penuh hanya berdiam
di situ. Rambut kusut Ni Klesung Rangit berderai-derai tertiup angin. Saat itu
pun ia menyeringai mengeluarkan geram yang amat
menakutkan. Berbareng dengan geraman itu, Ni Klesung Rangit bangkit. Dia langsung menyeret tubuh
Dwi Langsih menyandarkannya pada batang pohon di
mana mereka berteduh. Jari-jari tangannya yang keriput menjambak rambut gadis
kecil itu. "Diam di sini! Aku akan menemui orang-orang
keparat itu. Mengerti! Setelah aku kembali pasti membawa makanan untuk mu."
Suara Ni Klesung Rangit menakutkan. Dia menarik angkin yang melilit di
pinggangnya. Dengan angkin itu Ni Klesung Rangit mengikat
tubuh Dwi Langsih pada batang pohon. Dwi Langsih
berontak. Tapi tenaga nenek buta itu kuat bagai lengan-lengan raksasa yang
mencengkram. "Aku tidak mau diikat begini, Nek... Aku tidak mau!" Gadis kecil itu terus
meronta-ronta, tapi...
"Plaaak!" Ni Klesung Rangit menampar.
"Kalau tidak diikat begini, kau pasti bakal kabur! Dengar, Langsih! Kau harus
patuh padaku. Dan
jangan coba-coba berteriak selama aku belum kembali!" "Aku patuh... Aku akan patuh, Nek. Tapi jangan diikat begini...."
"Diam!"
* * * Meskipun hari telah gelap desa itu masih tetap
nampak ramai. Selain lampu-lampu obor yang menerangi tiap-tiap gubuk mereka membuat juga beberapa api unggun di tengah-tengah
pelataran desa. Beberapa ternak terpaksa dikorbankan untuk makan malam
orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ki Sangga Wana yang mengeluarkan biaya
semua itu. Dan ia
mempunyai banyak ternak.
Tidak jauh dari keramaian itu, tepatnya di depan bekas gubuk Ni Klesung Rangit, Rowok Tunggel
bersama Ki Sangga Wana sibuk membuat cairan hitam
yang berasal dari kerak dapur. Wintara pun berada di situ. Ia hanya
memperhatikan cara kerja Rowok Tunggel. Umbara Komang sibuk menghadapi hidangan
yang disuguhkan oleh kedua anak perawan Ki Sangga
Wana. Kedua gadis itu selalu tertawa cekikikan karena tingkah laki-laki senewen
itu memang cukup menggelitik perut.
Istri Ki Sangga Wana beserta perempuanperempuan lain ikut membantu menumbuki kerakkerak dapur sampai halus. Bubuk-bubuk hitam diserahkan pada Rowok Tunggel yang langsung mencampurnya dengan darah binatang. Cairan hitam semakin kental menggumpal dalam satu
tempat yang besar.
"Cukup! Cukup banyak! Bawalah cairan itu pada orang-orang kampung. Suruh mereka mencoreng
muka dengan ini. Jangan sampai di antara mereka ada yang tidak mencoreng muka.
Bayi pun harus menggu-nakannya." pesan Rowok Tunggel sambil menyerahkan cairan
berwarna hitam ke tangan Ki Sangga Wana.
Melihat Ki Sangga Wana menerima sesuatu dari
Rowok Tunggel, Umbara Komang langsung berjingkat.
Kedua tangannya langsung masuk ke dalam cairan
kental itu. "Ini bukan makanan, Umbara Komang. Sudah
terlanjur. Corengkan saja di muka mu." kata Ki Sangga Wana. Wintara hanya
tersenyum. Ia menggeleng-geleng kepala. "Apa ini" Baunya busuk sekali." Umbara
Komang melihat kedua telapak tangannya hitam. Ki
Sangga Wana tidak perduli ia terus melangkah membawa cairan kental berwarna hitam ke arah para penduduk yang telah berkumpul.
"Itu kerak dapur yang dicampur dengan darah
binatang." jawab Wintara.
"Hiiiy...!" Umbara Komang mendelik. Ia langsung menyeka cairan yang melekat di
kedua tangan pada bajunya. Sementara itu Ki Sangga Wana berjalan berkeliling memerintahkan penduduk kampung agar mencoreng muka mereka dengan cairan hitam itu. Semua
orang-orang itu menurut. Berbagai macam mereka
mencoreng muka. Dari anak-anak, bayi, laki, perempuan, nenek-nenek sampai aki-aki. Meskipun cara itu agak aneh tapi mereka tidak
ada satupun yang menolak.
Begitu juga dengan orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor, mereka ikut mencoreng muka den
Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan cairan itu.
"Lucu! Mereka takut terhadap siluman, malah
mereka sendiri menyamar seperti siluman." Umbara Komang nyengir menertawakan
orang-orang kampung.
Tapi tiba-tiba saja ia melompat kaget, ketika dua orang anak Ki Sangga Wana
mendekatinya. mereka sengaja
menakut-nakuti saat muka mereka telah di corengi
cairan hitam. Umbara Komang sampai jatuh terduduk.
Maka meledaklah tawa orang-orang yang berada di gubuk itu.
"Kalian nampak seperti para penghuni neraka."
Lelaki senewen menggerutu. Wajah kedua gadis itu
pun merah padam.
Langit makin gelap manakala angin bertiup
kencang. Api unggun menari-nari menimbulkan suara
letupan. Suasana mencekam sunyi. Saat ketegangan
mulai merambat pada tiap-tiap jantung manusia. Para penduduk kampung sengaja
berdiam di luar, mereka
berkumpul di pelataran itu. Semua orang sudah membayangkan bakal ada satu peristiwa lagi pada malam itu. Yakin akan kedatangan
siluman yang mengambil
korban di desanya, untuk itu mereka tidak memejamkan mata. Anak-anak kecil memeluki ibunya dengan penuh ketakutan. Beberapa bayi tengah menyusui sambil sesenggukan seakan-akan bahaya yang akan menjemput. Tangis mereka kadang terdengar di kesunyian.
"Usahakan bayi-bayi itu agar tenang, Ki... Sua-ra tangis mereka akan
mempengaruhi. Dan juga untuk orang-orang kampung jangan banyak bicara." bisik
Rowok Tunggel di sebelah Ki Sangga Wana. Kepala
kampung itu langsung bangkit dan mendekati para perempuan yang tengah menyusui
bayinya. Ia mengatakan apa yang diperintahkan Rowok Tunggel. Wintara
dan Umbara Komang diam bersandar pada bilik gubuk. Matanya terus mengawasi tiap-tiap pelosok.
* * * 10 Puluhan pasang mata mendadak kaget saat
melihat sosok tubuh kurus terbungkuk memasuki mulut desa. Sosok buta itu cukup dikenal di mata penduduk kampung. Dan hampir
semua orang menyebutkan
namanya ketika sosok itu mulai nampak jelas. 'Ni Klesung Rangit'... Suara mereka
tidak keluar seakan tersangkut dalam tenggorokan. Sedangkan nenek buta itu terus
melangkah memasuki desa.
Rowok Tunggel tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Bibirnya bergetar menatap kehadiran Ni Klesung Rangit di tengah
malam begini. Perasaan yang dialami Rowok Tunggel sama halnya dengan
orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Mereka
masih kenal betul dengan sosok Ni Klesung Rangit,
meskipun sekarang nampak lebih renta dan buta. Mereka pun menjadi tegang saat Rowok Tunggel melangkah mendekati sosok nenek buta.
"Bu... Aku tahu ibu menetap di sini, kenapa
kau harus pergi meninggalkan aku lagi" Mana Dwi
Langsih...?" Ternyata Ni Klesung Rangit benar adanya orang tua Rowok Tunggel.
Nenek buta menyeringai.
"Rowok Tunggel! Kau memang anakku. tapi
jangan harap aku merasa bahagia dengan pertemuan
ini. Pergilah jauh-jauh dari sini..." jawab Ni Klesung Rangit. "Apa yang akan
ibu lakukan, justru aku mencari ibu dan anakku agar kita bisa berkumpul lagi
seperti dulu."
"Aku sudah menganggap diriku sudah mati,
Rowok Tunggel. Kau sudah tidak punya ibu lagi." Ni Klesung Rangit terus
melangkah. "Kenapa ibu bilang begitu" Mana Dwi Langsih?"
Pertemuan yang amat mengecewakan ini menjadi perhatian banyak orang. Rowok Tunggel tidak menyangka akan mendapat
perlakuan seperti itu. Wintara dan Ki Sangga Wana menatap iba. Mereka tidak bisa
mencampuri urusan keluarga kecil itu.
"Dwi Langsih akan tetap menemaniku! Kau tidak akan mendapatkannya, Rowok
Tunggel! Karena...." Bersamaan dengan itu, Ni Klesung Rangit memutar sebelah
tangannya... "Bug!"
Cukup telak menghantam tubuh Rowok Tunggel. Lelaki telanjang dadu itu terhuyung ke belakang. "Kau pun akan ku kirim ke akherat
bersama mereka!" Nenek bu-ta itu meneruskan ucapannya. Nenek buta maju lagi
menyerang, tentu saja Rowok Tunggel tidak berani
membalas. Melihat itu, orang-orang Suku Pedalaman
Bangsa Bajor tidak tinggal diam. Mereka maju serempak menghalangi seranganserangan Ni Klesung Rangit yang di arahkan pada Rowok Tunggel yang setengah
mati menghindarinya.
Tapi malah berakibat fatal. Ni Klesung Rangit
mengamuk. Gerakannya yang berkelebat bagai angin
menjatuhkan orang-orang itu satu persatu. Sekali hantam ada yang batok kepalanya
pecah atau perut mere-ka terbeset cakaran yang runcing bagai mata pisau.
Usaha mereka hanya mengantarkan nyawa dengan
percuma. "Ni Klesung Rangit, kami ini orang-orangmu...
Jangan bertindak seperti ini!" teriak dari salah seorang. Ni Klesung Rangit
menjawab sengit...
"Aku akan memberi muka terhadap kalian kalau kalian segera pergi meninggalkan desa ini. Aku tidak ingin niatku setengahsetengah, sudah kepalang tanggung! Aku hampir menguasai 'Ilmu Gelugut Manik'!"
Selesai berucap begitu Ni Klesung melancarkan tendangan sekuatnya... "Breeees!"
Kaki yang kurus bagai tiang galah menembus sampai ke tulang belakang.
Darah menyembur. Penduduk kampung yang melihatnya memekik penuh ngeri.
Tentu saja Wintara dan Ki Sangga Wana tidak
bisa membiarkan korban semakin berjatuhan. Keduanya melesat berjumpalitan di udara menyelamatkan
orang-orang yang nyaris tewas di tangan Ni Klesung Rangit. Saat itu pun Umbara
Komang menyusul menunjukkan kebolehannya. Sekali menghentakkan kedua kakinya ia sudah menghadapi nenek buta yang
tengah mengamuk.
Wintara sendiri tidak tahu kapan datangnya
Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah melancarkan serangan. Ni Klesung Rangit yang buta itu bagai memiliki seribu pasang mata.
Setiap serangan Umbara Komang, dapat dihindarinya.
"Semuanya mundur...! Mundur...!" teriak Ki Sangga Wana. Mendengar komando itu,
kontan orang-orang kampung maupun para penduduk Suku Bangsa
Bajor berlari menyelamatkan diri. Rowok Tunggel sudah bangkit. Bagaimana pun ia tidak tega me lihat
ibunya yang renta itu dikeroyok oleh Wintara dan kawan-kawan.
Umbara Komang sudah tidak dapat menahan
amarahnya lagi. Maka ia bertindak cepat melancarkan serangan, tapi sebelum
hantaman itu mengena, Rowok Tunggel menggagalkannya. Wintara cukup mengerti.
Makanya ia pun segera menghalangi Umbara Komang
saat ia berniat membalas serangan Rowok Tunggel.
Dalam keadaan seperti itu Ni Klesung Rangit tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melancarkan serangan pada Ki Sangga Wana yang berdiri sendiri dengan keris perak terhunus.
Kepala kampung gelagapan, tahu-tahu saja sebuah hantaman melanda bagian kepala.
Lelaki itu sampai jatuh kelojotan. Pandangannya berkunang-kunang seperti mau
pecah. Wintara cepat
memutar tubuhnya, ia cepat menangkis hantaman Ni
Klesung Rangit yang hampir memecahkan batok kepala Ki Sangga Wana.
"Jangan kira aku tidak tahu siapa diri mu,
Pendekar Kelana Sakti. Aku tidak gentar dengan nama besarmu! Heaaat!" bentak Ni
Klesung Rangit. Tubuh bungkuk kurus itu melompat menerjang. Wintara yang sudah
bersiap-siap menyambut dengan pukulan kedua
telapak tangan... "Blaaaar!" Keduanya terlempar pada arah yang berlawanan. Ni
Klesung Rangit bergulingan, Wintara pun bergulingan tapi ia cepat salto ke depan
bersiap menyerang lagi.
Umbara Komang yang selalu ganas ikut menerjang. Ni Klesung Rangit memang belum sempat bangkit. Namun Rowok Tunggel cepat datang menghalangi
langkah-langkah mereka. Lengannya berputar-putar
menepis hantaman Wintara dan Umbara Komang.
"Tahan, Sobat!" teriak Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Komang menghentikan
serangan. Tapi apa yang mereka lihat, Ni Klesung Rangit menghantam Rowok Tunggel dari arah
belakang... "Blaaaar!" Rowok Tunggel ambruk ke tanah dengan menyemburkan darah
dari mulutnya. Ia cepat berbalik menatap nanar ke arah nenek buta.
Saat itu pun Ni Klesung Rangit melancarkan
serangan lagi dengan tidak tanggung-tanggung. Winta-ra maupun Umbara Komang
tidak sempat menarik tubuh Rowok Tunggel yang menerima hantaman keras di
dadanya. Ketiganya sampai terpelanting bergulingan.
"Sudah kubilang Rowok Tunggel! Kau pun akan
mampus bareng dengan pendekar-pendekar busuk
itu." kata Ni Klesung Rangit dengan suara parau menyeramkan.
Bersamaan itu lengan kurusnya menepis keris
perak yang dilemparkan Ki Sangga Wana.
"Keparat! Yang kuperlukan memang menghisap
habis darahmu, Ki Sangga Wana!"
Lesatan tubuh kurus bungkuk itu sungguh cepat. Kedua lengannya siap menghantam. Untunglah Ki Sangga Wana cepat menjatuhkan
diri dan berguling ke samping... "Deeeerrr!" Dua hantaman itu hanya mengenai
tanah. Namun akibatnya sangat dahsyat sekali, kedua telapak tangan itu sampai
melesak ke tanah.
Rowok Tunggel tak dapat bangkit lagi. Beberapa
tulang rusuknya patah. Umbara Komang membawanya
agak jauh dari situ. sementara Wintara datang menghadapi Ni Klesung Rangit. Ia
berusaha melindungi Ki Sangga Wana yang terancam bahaya. Tendangan serta
pukulannya sengaja ia arahkan mengenai lenganlengan kurus Ni Klesung Rangit.
Sudah tentu nenek buta itu merasa di permainkan. Maka setelah ia menghadapi beberapa hantaman keras dari Wintara, ia segera menghimpun tenaga baru. Dengan suara teriakan yang menggelegar
kedua telapak tangannya maju mendorong ke depan.
Di luar dugaan, Wintara hanya diam menghadapi hantaman itu dengan dadanya. "Blaaar!" Terdengar pekikan nyaring, tapi
bukan pekikan berasal dari mulut Wintara. Ni Klesung Rangit mundur terhuyung.
Dirasakan tulang-tulang lengannya menghantam batu
karang. Wintara sendiri hanya berdiri tegak dengan da-da yang mengepul. Tubuh
itu tetap diam tak bergeming. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah kental. Benturan hantaman itu begitu
dahsyat, mengundang Umbara Komang maju menyerang. Terjangan Umbara
Komang kali ini lebih hebat. Ketika tubuhnya melesat, kedua lengannya berputar
menimbulkan suara yang
bergemuruh bagai kitiran angin. Ni Klesung Rangit
yang baru saja berdiri tegak, tersentak kaget mendapat beberapa hantaman yang
bersarang di punggung serta perut. Tak urung lagi tubuh renta itu jatuh
kelojotan di tanah sambil menyembur darah.
"Komang...! Jangan bunuh dia! Dia ibuku...!"
Rowok Tunggel teriak-teriak. Umbara Komang memang
menghentikan serangannya, ia hanya berdiri menatap Ni Klesung Rangit yang
berusaha bangkit. Wintara sudah merasa pulih dari rasa sakitnya. Keduanya merasa
serba salah. Para penduduk desa pun sudah tidak sa-baran ingin melihat bagaimana
para pendekar sakti itu menamatkan sosok renta yang ternyata selama ini bikin
rusuh desanya. Darah membanjir di mulut Ni Klesung Rangit. Seluruh tubuhnya
nampak bergetar keti-ka ia bangkit berdiri. Kesepuluh jarinya meregang ka-ku.
Wajahnya begitu menyeramkan saat ia menyeringai bagai setan. Mendadak saja kedua kelopak matanya membelalak lebar. Kedua bola matanya merah
seperti darah. Bersamaan dengan itupun kulit keriputnya bergelora bagai air mendidih. Berubah menjadi
hitam sehitam arang. mengeluarkan suara lebih parau mirip suara binatang.
"Ki Sangga Wana...! Perintahkan semua orang
jangan mengeluarkan suara! Dan juga coreng hitam di wajah mereka jangan sampai
hilang...!" Rowok Tunggel berteriak lagi. Kali ini ia menyeret tubuhnya sendiri
ke arah kerumunan orang-orang kampung. Semua yang
dikatakan Rowok Tunggel benar. Ni Klesung Rangit
yang sudah membuka matanya tidak dapat melihat
mereka. Mungkin pengaruh kerak dapur yang dicoreng ke muka membuat mereka tidak
nampak dalam penglihatan Ni Klesung Rangit. Ia hanya dapat melihat beberapa
sosok orang yang tadi menyerangnya.
"Jangan ada yang mengeluarkan suara kalau
ingin selamat. Ni Klesung Rangit sudah tidak dapat di-kendalikan. Sekarang ia
betul-betul memerlukan darah dan isi kepala!" Rowok Tunggel memperingati para
penduduk dengan suara lantang.
Ni Klesung Rangit yang sudah tidak karuan rupanya itu memang tidak dapat melihat kerumunan
orang-orang yang dilanda ketakutan. Tapi ia bisa mendengar suara-suara teriakan
ngeri yang riuh di sekitar pelataran desa. Wintara maupun Umbara Komang cepat
berlari melindungi orang-orang itu.
"Rowok Tunggel keparat! Anak tak berbudi! Rupanya kau telah memecahkan rahasia 'Ilmu Gelugut
Manik' hebat! Aku tidak segan-segan lagi untuk mem-bunuhmu!" Ni Klesung Rangit
melangkah perlahan. Setiap langkahnya hampir tidak menyentuh tanah. Matanya yang semerah darah menatap dua pendekar
yang siap melindungi penduduk desa maupun orangorang Suku Pedalaman bangsa Bajor.
"Aku hanya perlu satu nyawa setiap malamnya.
Tapi untuk malam ini terpaksa sekali aku harus mem-bantai kalian semua. Terutama
pendekar-pendekar
keparat seperti kalian yang mesti dibikin mampus lebih dulu!" Ucapan itu terarah
pada Wintara dan Umbara Komang.
"Siluman keriput! Kalau penyakit jengek mu belum sembuh jangan banyak mulut!"
hardik Umbara Komang. Ki Sangga Wana melangkah dengan geram,
tapi Wintara cepat menahannya.
"Hak hak hak hak hak...!" Ni Klesung Rangit mengekeh. Selesai tertawa tubuh
hitam itu melesat
menyambar ketiga orang yang berdiri paling depan.
Siapa lagi kalau bukan Wintara, Umbara Komang dan
Ki Sangga Wana. Ketiganya hampir jatuh bergulingan.
Namun bagi Wintara dan Umbara Komang sangatlah
mudah untuk bangkit kembali, keduanya langsung
bergerak menghalangi serangan Ni Klesung Rangit
yang mengarah pada Ki Sangga Wana. Terasa sekali
hantaman mereka beradu.
Wintara yang sudah kepalang maju melancarkan pukulan berkali-kali. Begitu juga dengan Umbara Komang beberapa tendangannya
mendesak pertahanan Ni Klesung Rangit.
Menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi
sangatlah sulit bagi Ni Klesung Rangit. Hantamanhantaman mereka yang selalu bergantian datang ham
Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pir sukar untuk dihindari. Sosok hitam itu terpaksa sekali berjumpalitan di
udara. Dengan begitu serangan-serangan Wintara dan Umbara Komang dapat dielakkan. Sesekali pula Ni Klesung Rangit melepaskan hantaman dahsyat ke arah
mereka. Saat mereka menangkis maka timbullah suara yang membledar nyaring. Umbara Komang berjingkat-jingkat menahan sakit di lengannya. Tubuh Wintara
sampai melintir.
Wintara kertakan gigi saat menyambut serangan Ni Klesung Rangit. Tendangannya mendesak mengenai perut. Juga hantamannya yang cepat dapat bersarang di mukanya. Mendapat hantaman-hantaman
yang begitu dahsyat, Ni Klesung Rangit mundur beberapa langkah. Umbara Komang
menerjang tidak memberi kesempatan. Tapi mendadak pula Ni Klesung Rangit mengangkat sebelah
tangannya. Dari tiap-tiap
ujung jarinya mengeluarkan sejenis serat yang langsung membelit di tubuh Umbara
Komang. Tingkat akhir 'Ilmu Gelugut Manik' yang hampir
sempurna. Umbara Komang berusaha berontak dari
belitan serat-serat yang alot bagai kawat. Sementara Ni Klesung Rangit makin
terkekeh. Wintara pun tidak luput dari serangan serat-serat itu. Tapi saat
serat-serat berdatangan membelit tubuh, Wintara menghentakkan
kedua telapak tangan disertai dengan hentakan nafas panjang... "Hraaaaa!" Seratserat itu seperti berbalik menyerang tuannya. Ni Klesung Rangit sendiri
kelabakan menghadapi serat-serat yang alot bagai kawat. Untung saja ia cepat
menggeser tubuhnya ke samping.
* * * 11 Dan Ni Klesung Rangit dapat mengetahui saat
Ki Sangga Wana datang menyerang dari arah lain, ma-ka ia pun mengangkat
lengannya lagi. Seperti apa yang dialami Umbara Komang, tubuh Ki Sangga Wana
terbelit serat-serat. 'Gelugut Manik' yang kian lama kian mengkerut melilit
tubuh. Umbara Komang menghempaskan seluruh tenaganya. Teriakannya menggelegar lantang, maka seluruh serat-serat yang melilit di tubuhnya putus terpotong-potong. Di tubuh
Umbara Komang membekas seperti sayatan-sayatan pisau yang mengeluarkan darah.
Malang bagi Ki Sangga Wana. Ia tidak bisa melepaskan diri dari belitan yang semakin mengkerut
membelit. Umbara Komang sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan belitan-belitan yang alot laksana kawat. Juga beberapa penduduk
kampung berdatangan
ikut membantu melepaskan belitan itu. Malang tak
dapat dibuang! Ki Sangga Wana harus menerima nasibnya. Belian-belitan serat Gelugut Manik mencerai beraikan tubuh Ki Sangga
Wana menjadi belasan potong. Pekik kengerian pun menggelegar. Apalagi dari
keluarga Ki Sangga Wana. Semuanya meluruk mendekati potongan-potongan tubuh
tanpa jijik. Saat itu Wintara sibuk mengatasi serat-serat 'Gelugut Manik'
yang terus berdatangan menyerang. Berkali-kali pula Wintara mengerahkan tenaga
dalam mengenyahkan
serat-serat yang datang tiada henti. Membuat serat-serat itu berserabutan
memenuhi pelataran desa.
"Pendekar ingusan! Ilmu apa yang kau miliki
itu, hah!" Suara Ni Klesung Rangit seperti kehabisan tenaga. Ia merasakan hawa
dingin yang menerpa seluruh kulit hitamnya. Melumerkan semua serat-serat
yang muncul dari kelima ujung jari.
Belum Wintara menjawab, mendadak Umbara
Komang menerjang. Menghadapi tenaga dalam Wintara
saja ia sudah gedubukan, apalagi mendapat serangan Umbara Komang yang datangnya
secara tiba-tiba ini.
Ni Klesung Rangit memekik dengan tubuh yang terbanting keras ke tanah.
Laki-laki senewen penuh luka bekas lilitan serat itu terus mencecar tubuh Ni Klesung Rangit yang masih bergulingan. Tendangan
maupun hantaman
membuat sosok hitam mencelat ke sana ke mari. Darah pun hamburan dari mulut Ni Klesung Rangit, setiap hantaman Umbara Komang mengena telak. Dan
pada hantaman yang dilancarkan Wintara, tubuh Ni
Klesung Rangit mencelat tidak kepalang tanggung.
Meskipun dalam keadaan parah, sosok hitam
itu masih bisa mengimbangi tubuh. lentingan tubuhnya berjumpalitan gesit di udara. Diam-diam Ni Klesung Rangit pergi menjauh.
"Hak hak hak hak... Malam ini kalian ku beri
ampun! Darah kalian tak kubutuhkan karena aku masih punya darah simpanan yang lebih segar dari darah kalian...!" Suara itu makin
hilang ditelan keramaian malam. Sekejap saja tubuh Ni Klesung Rangit melesat
pergi entah ke mana.
"Kejar dia, Wintara! Cepat kejar! Dwi Langsih ada padanya! Dia pasti membunuhnya
untuk dijadikan korban malam ini! Cepat! Selamatkan Langsih anakku!" teriak
Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Komang saling pandang. Mereka baru sadar kalau
Ni Klesung Rangit membutuhkan satu nyawa dalam satu
malam. Ia perlu darah dan isi kepala seseorang. Sekarang Dwi Langsih berada di
tangannya. Pastilah Ni Klesung Rangit akan membunuh gadis kecil yang masih
suci itu. Tersadar dari mimpi buruk, Wintara dan Umbara Komang segera berlari
menyusul sosok hitam Ni Klesung Rangit.
"Cepat, Wintara. Sebelum Ni Klesung Rangit
menguasai penuh 'Ilmu Gelugut Manik' kalian harus
cepat bertindak!" Rowok Tunggel terus berteriak. Suaranya masih dapat didengar
meskipun dua pendekar
sakti itu telah menjauh hilang di kegelapan malam.
Keduanya sama-sama mempertajam penglihatan. Sebab dalam keadaan gelap begitu sukarlah untuk menentukan ke mana arah kepergian Ni Klesung Rangit.
"Larinya begitu cepat padahal ia sudah terluka.
Pastilah ia mengikuti ke mana arah angin berhembus,"
ujar Wintara. "Siluman licik! Pantas bau badannya tidak tercium oleh ku!" sahut Umbara Komang.
Keduanya membelok berlari searah dengan arus angin. Wintara paling depan. Umbara Komang
berusaha mengimbangi
dengan kecepatan larinya. Mereka melintasi
hutan yang menuju ke arah bukit. Batangbatang pohon berderet. Dari situ pula nampak titik putih bergerak-gerak semakin
jauh. "Itu dia! Rambutnya kelihatan...!" Rambut Ni Klesung Rangit memang seputih
kapas. Mereka dapat
melihat meskipun dalam keadaan gelap seperti itu.
"Awasi terus dan jangan sampai kita kehilangan jejak!" Wintara mempercepat
larinya. Sosok mereka berdua berkelebat dan sukar diikuti oleh pandangan mata.
* * * Dalam keadaan terikat begitu Dwi Langsih tidak dapat memejamkan matanya. Udara malam yang
sangat dingin membuat dirinya gemetaran. Tenggorokannya telah kering dan dirasakannya keluh. Pandangannya mulai kabur dengan
seluruh rambut yang kusut. Sedangkan tali ikatan yang membelit di tubuhnya tetap kuat. Batang pohon
tempat ia bersandar terikat terasa dingin.
Dwi Langsih tidak mengeluarkan suara saat sosok hitam melompat ke hadapannya.
Pandangannya yang kabur mengabaikan sosok
kurus hitam dengan rambut bergerak-gerak kaku laksana kapas. Dua titik merah menyala mewarnai kedua rongga mata sosok hitam itu.
Dan terasa perih saat sosok hitam mencengkram kedua lengan gadis berusia
lima tahun. Dwi Langsih memekik menahan sakit.
"Cucuku... Malam ini aku tidak mendapat korban. Pendekar-pendekar sialan itu menghalangi. Dan memang benar apa kata mu itu.
Mereka memang hebat! Maafkan aku Langsih. Sebenarnya aku sayang pa-da mu...."
Suara Ni Klesung Rangit parau menyeramkan. Dwi Langsih semakin gemetar menatap
sosok yang amat menakutkan.
"Kau bukan nenek ku... Kau bukan Ni Klesung
Rangit...."
"Apapun yang kau katakan, aku memerlukan
korban satu nyawa sekarang. Berkorbanlah demi nenekmu ini, Langsih... Demi kesempurnaan 'Ilmu Gelugut Manik'..." Mulut Ni
Klesung Rangit menganga lebar dan mengarah tepat pada ubun-ubun gadis kecil yang
terikat tanpa daya. Kedua mata yang nyala memerah
itu makin membesar saat gigi-gigi runcing menyentuh batok kepala Dwi Langsih...
"Aaaaarght!" Langsih menjerit sekuatnya. Dan saat itu pun mendadak saja tubuh Ni
Klesung Rangit seperti membentur benda yang amat keras...
"Breeesss" Sosok hitam itu bergulingan ke samping. Saat ia bangkit, Ni Klesung
dapat melihat dua sosok bertubuh kekar. Sosok Wintara dan Umbara Komang.
"Sudah jelas 'Ilmu Gelugut Manik' adalah ilmu yang sesat, kenapa kau begitu tega
mengorbankan cu-cumu sendiri... Tidak ku sangka hatimu sungguh bejat, Ni...!"
"Keparat kau selalu mencampuri urusan
orang!" Ni Klesung menghardik.
"Siapa yang akan tinggal diam kalau melihat
seorang bocah tewas di tangan seorang nenek peyot
macam kau. Ha ha ha ha...." sahut Umbara Komang.
"Manusia gila, kukira sudah mampus oleh jerat
'Gelugut Manik' ku."
"Chis! Segala serat macam benang jahit tidak
mampu menewaskan aku. Tulang-tulangku cukup
kuat untuk dicerai beraikan."
"Pendekar ingusan! Jangan coba-coba melepaskan bocah itu!" Ni Klesung Rangit melangkah maju saat Wintara mencoba
melepaskan ikatan angkin yang melilit di tubuh Dwi Langsih. Umbara Komang
melompat menghalangi langkah sosok hitam.
"He he he he, rupa kita sama-sama buruk. Tapi sayang nasibmu lebih buruk dari
ku." Umbara Komang mengejek. Bersamaan dengan itu tangannya melayang.
Cepat Ni Klesung Rangit menepis. Namun serangan
Umbara Komang tidak berhenti sampai di situ.
Wintara tidak sempat membuka ikutan Dwi
Langsih, karena Ni Klesung Rangit cepat lari ke arahnya. Serangan-serangan
Umbara Komang tidak diperdulikan, membuat lelaki senewen itu bertambah gusar.
Dan ia dapat menyerang dengan leluasa saat Ni Klesung Rangit menghadapi Wintara. "Beg!" Sosok hitam itu hampir ngusruk ke tanah.
Bahkan ia setengah mati menghindari serangan-serangan Wintara yang bergulunggulung. Umbara Komang sendiri tersentak kaget, karena tahu-tahu saja Ni Klesung Rangit membalas serangan. Dua kali berturut-turut
cakaran sosok hitam itu mengenai wajah Umbara Komang. Kalau saja Wintara
tidak cepat membantu, mungkin sobat gilanya itu sudah terkena tendangan Ni
Klesung Rangit.
Menghadapi gerakan-gerakan Ni Klesung Rangit
yang begitu cepat, Wintara maupun Umbara Komang
hampir kehabisan akal. Mereka tidak menyangka kalau 'Ilmu Gelugut Manik' amatlah dahsyat. Padahal Ni Klesung Rangit menguasai
ilmu itu baru separuhnya.
Nyatanya sekarang mereka malah berbalik repot
menghadapi amukan Ni Klesung Rangit. Kini kedua telapak tangan Ni Klesung Rangit
mulai berputar. Untuk itu kedua pendekar ini perlu hati-hati. Karena setiap
gerakannya dari kesepuluh ujung jari Ni Klesung Rangit bertebaran serat-serat
yang sudah kita ketahui ke-dahsyatannya.
Bagi kedua pendekar yang cukup awas ini, mereka hanya melompat ke atas menghindari terjangan
serat-serat 'Gelugut Manik'. Mereka berjumpalitan ke sana ke mari. Manakala
serat-serat itu makin berhamburan menyerang. Suara tawa Ni Klesung Rangit mengekeh menyaksikan mereka setengah mati meloloskan
diri dari serat 'Gelugut Manik'.
Kembali Wintara mengeluarkan tenaga hawa
dingin. Kedua telapak tangannya mengepak-ngepak ke depan menyambut sambaransambaran jerat 'Gelugut
Manik'. Serat-serat itu bagai terkena angin topan. Serat, 'Gelugut Manik'
berpentalan dibarengi dengan tenaga pukulan yang bergemuruh.
"Pendekar ingusan sialan! Kita akan mati bareng!" jerit Ni Klesung Rangit. Dari hidung dan telin-ganya mengalir darah.
Wintara tidak dapat mendengar apa yang di ucapkan Ni Klesung Rangit. Sebab dia
sendiri hampir kehabisan tenaga. Keringat dingin mulai mengucur membasahi
seluruh tubuhnya. Makin
lama pukulan hawa dingin yang dikerahkannya makin
mengendur. Saat itu pun Umbara Komang datang menyerang. Sekali lompat ia sudah berada di hadapan Ni
Klesung Rangit. Mengetahui adanya Umbara Komang
datang menyerang, Ni Klesung Rangit langsung berbalik menghadapi Umbara Komang.
Namun hantaman Umbara Komang yang sangat keras menghantam dada
tidak sempat dihindari. Saat itu pun kesepuluh jari hitam Ni Klesung Rangit
cepat mengeluarkan serat yang
datang langsung melilit di tubuh Umbara Komang.
Dengan geram Wintara datang menerjang. Hantaman-hantamannya sengaja diarahkan pada lenganlengan Ni Klesung Rangit. Namun sosok hitam itu seakan tidak merasakan hantamanhantaman Wintara,
Sementara Umbara Komang kalang kabut merontaronta dari lilitan serat 'Gelugut Manik'. Makin keras Wintara mengarahkan
hantamannya. Ni Klesung Rangit menyemburkan darah untuk kesekian kalinya. Namun ia masih saja mengeluarkan serat-serat itu sebagai senjata andalannya.
Lilitan di tubuh Umbara Komang makin tebal. Dirasakan pula oleh Umbara Komang lilitan itu semakin mengkerut bagai mengirisngiris tubuhnya. Wintara sudah berupaya melepaskan segala macam pukulan untuk
menghentikan serangan
Ni Klesung Rangit. Usahanya itu hanya sia-sia belaka.
Di luar dugaan, Umbara Komang melesat ke
atas. Ia tidak perduli tubuhnya terlilit serat 'Gelugut Manik' yang makin
kencang. Meskipun ia tidak dapat melancarkan serangan, Umbara Komang berlari
mengelilingi Ni Klesung Rangit. Membuat sosok hitam Ni Klesung Rangit ikut
terbelit oleh senjatanya sendiri.
Seluruh tubuh Umbara Komang mengeluarkan
darah dari setiap belitan serat. Sekalipun ia mengerahkan tenaganya. Belitan
serat 'Gelugut Manik' tidak dapat dilepaskannya. Terasa sekali serat yang alot
bagai kawat itu menggerogoti daging yang melekat di tubuh Umbara Komang.
Ni Klesung Rangit sendiri menjerit-jerit berontak dari belitan senjatanya. Ia tidak dapat menghentikan serat 'Gelugut Manik'
yang terus menerus keluar dari kesepuluh jarinya. Apalagi Wintara melancarkan
hantaman dengan bertubi-tubi.
"Dewa toloooong... Aaaaarght!" jeritan Umbara Komang, tubuhnya telah memerah
bercampur darah.
"Kerahkan seluruh tenaga dalam mu Umbara!"
Wintara menghimpun pukulan hawa dinginnya. Umbara Komang kelojotan menahan sakit yang tak terkira.
"Hraaaa...!" Wintara menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan mengarah
pada Umbara Komang... "Bledaaar!" Sosok Umbara Komang mencelat jauh. Bersamaan dengan itu
Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seluruh belitan serat han-cur bagaikan ribuan batang jarum yang berhamburan.
Tubuh Umbara Komang jatuh diam bersimbah darah.
Wintara cepat menghampiri tubuh itu. Sosok Umbara
Komang tetap diam tak bergeming.
"Wuaaaaa...!" Terdengar jeritan panjang dari mulut Ni Klesung Rangit. Tubuhnya
telah penuh dengan serat 'Gelugut Manik'. Wintara menatap ngeri saat serat-serat
itu mengkerut melumatkan tubuh Ni Klesung Rangit. Jeritannya berhenti tatkala
tubuh hitam menjadi potongan-potongan daging segar.
* * * Istri Ki Sangga Wana maupun kedua anak perawannya menangisi sosok yang terpisah-pisah. Malam itu Ki Sangga Wana mengalami
kematian yang sangat
mengerikan. Potongan-potongan tubuhnya telah terkumpul menjadi satu dalam bungkusan selembar kain.
Tak ada seorang pun yang berani melihat tubuh hancur Ki Sangga Wana.
Rowok Tunggel masih bersandar menahan sakit
pada tulang rusuknya. Orang-orang Suku Pedalaman
Bangsa Bajor banyak mengerubungi. Beberapa orang
nampak tengah mengobati luka-luka Rowok Tunggel.
Sedangkan penduduk kampung hanya terdiam membisu menatap pada keluarga Ki Sangga Wana.
Api unggun masih menyala menerangi pelataran desa. Suasana itu tidak lebih seperti medan perang. Beberapa mayat
bergelimpangan di sekitar pelataran. Kebanyakan mayat-mayat itu dari penduduk
Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Penduduk kampung
itu sendiri hanya satu dua orang yang menjadi korban.
Bagi Suku Pedalaman Bangsa Bajor, kematian
adalah hal yang biasa. Mereka lebih mementingkan
orang-orang yang terluka. Namun bagi penduduk
kampung, mereka harus meraung-raung menangisi
mayat para keluarganya. Rowok Tunggel memaklumi
akan hal itu. Ia seperti menyesali peristiwa yang melanda desa. Apalagi yang
menjadi topik persoalan adalah ibunya. Ni Klesung Rangit... Entah perasaan apa
yang ada di dalam Rowok Tunggel. Namun nyatanya
para penduduk kampung desa itu malah ikut merawat
luka-lukanya. Dan Rowok Tunggel tak dapat menolak uluran tangan mereka.
Saat itu di mulut desa telah muncul orang yang
sangat dinanti-nantikan. Wintara dengan lunglai me-mapah tubuh Umbara Komang
yang telah berlumuran
darah. Di sampingnya seorang gadis kecil ikut melangkah memegangi ujung baju
bulu Wintara. Mereka melangkah menuju kerumunan di pelataran. Langkahlangkah Wintara yang cukup menggetarkan itu menjadi perhatian penduduk kampung. Orang-orang itu berserabutan mendekati Wintara.
Mereka mengiringi bagai menyambut seorang pahlawan perang. Rowok Tunggel
berjingkat bangkit ikut berlari menyusul para penduduk yang datang mengerubungi
Wintara. "Itu ayahmu, Langsih. Sudah dua tahun ia merindukan kamu." Orang-orang kampung memberi jalan pada Rowok Tunggel yang
menerobos kerumunan. Dia
langsung memeluk Dwi Langsih erat-erat. Gadis kecil itu diam tak mengerti.
"Maafkan aku, Rowok Tunggel... Aku tak dapat
menyelamatkan ibumu. Ia termakan oleh ilmunya sendiri." kata Wintara menatap Rowok Tunggel penuh ha-ru.
"Tak ada yang perlu ku maafkan, Pendekar hebat... Ni Klesung Rangit memang harus mengorbankan dirinya sendiri. Hanya itu
jalan satu-satunya." jawab Rowok Tunggel. Pelukannya makin erat merengkuh
Dwi Langsih. "Bagaimana keadaan sobat Umbara Komang"
Nampaknya ia begitu parah." tanya Rowok Tunggel.
Wintara tidak menjawab. Kedua matanya menatap ke
bawah pada Umbara Komang yang diam dalam papahan Wintara. Tapi Wintara mendadak kaget. Ia melihat sebelah mata Umbara Komang
mendelik... "Apakah kita sudah sampai di desa?"
Suara Umbara Komang lancar. "Sompret! Kau
mengerjai aku!" Wintara melepaskan papahannya.
Umbara Komang jatuh berdegum di tanah. "Ha ha ha ha ha...!" Ia malah tertawa
ngakak. TAMAT E-Book by Abu Keisel Kampung Setan 6 Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Manusia Srigala 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama