Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Bagian 2
dibuat melayang-layang dibuai sejuta keindahan. Hal
itu telah membuat Soka Pura merasa sulit menghentikan cumbuannya, sulit menahan gairahnya dan sulit
menghindari kehadiran asmara yang ada.
"Dia memang masih polos dan lugu dalam bercinta. Tapi nalurinya sangat peka terhadap apa yang
kuharapkan," pikir Soka. "Keluguannya ini membuat semangat bercumbu ku justru
meluap-luap, dan kebahagiaan yang ku rasakan benar-benar telah membuatku terkesan sekali. Ooh... haruskah kuteruskan
cumbuan ini hingga pada puncak keindahan yang sebenarnya"!"
Jantung pemuda itu berdetak sangat cepat pada saat benak menimbang-nimbang tindakan selanjutnya. Sampai si gadis menggigit pundak Soka dengan
lembut seperti menahan luapan sesuatu yang ingin
meledak dalam hatinya, Soka Pura masih belum punya
keputusan untuk langkah berikutnya.
"Bagaimana ini"! Bagaimana kalau sudah begini"! Terus saja atau berhenti sampai di sini"! Aduh, celaka! Sepertinya naluri ku sulit diajak untuk berhenti sampai di sini"!
Bagaimana kalau sudah begini"! Sial!
Sial!" * * * 5 SEBELUM fajar menyingsing, perkampungan
Suku Kano diserang oleh orang-orang Suku Ampar.
Penyerangan itu dipimpin oleh si Macan Seribu sendiri; Kepala Suku Ampar.
Rupanya si Macan Seribu ingin menuntut balas
atas kematian adiknya: si Bajak Rempo. Sasaran mereka adalah membunuh Nilawesti dan seorang pemuda
tampan berpakaian serba putih. Si pelapor tidak tahu
bahwa pemuda berpakaian serba putih itu bernama
Soka Pura. Suku Ampar lakukan penyerangan besarbesaran. Jumlah mereka yang menyeberangi sungai
cukup banyak. Benteng pertahanan Suku Kano sempat dirobohkan. Tentu saja tindakan itu tidak membuat Soka Pura diam saja. Ia segera tampil sebagai
benteng hidup bagi masyarakat Suku Kano.
Dengan menggunakan Pedang Tangan Malaikat
yang berbentuk kristal itu, Pendekar Kembar bungsu
berhasil memukul mundur orang-orang Suku Ampar.
Bahkan Soka lakukan pengejaran sampai ke seberang
sungai. Hanya Soka seorang yang melakukan pengejaran sampai ke seberang Sungai Berang. Para 'pra Jurit'
Suku Kano tak ada yang berani menyeberang.
Pengejaran itu dilakukan oleh Soka karena ia
mendapat kabar dari salah seorang 'prajurit' Suku Kano, bahwa Nilawesti berhasil dibawa lari oleh anak
buah Macan Seribu. Tentu saja hati Soka Pura menjadi
berang dan mengincar si Macan Seribu.
Pada waktu itu, Macan Seribu segera larikan
diri karena ia merasa tak sanggup hadapi kesaktian
Pedang Tangan Malaikat-nya si pemuda tampan itu. Di
samping itu, banyak anak buahnya yang tumbang di
tangan Soka Pura, sehingga Macan Seribu merasa kalah ilmu dan lebih baik melarikan diri untuk menyusun kekuatan baru.
Nilawesti sendiri sebenarnya tidak diculik oleh
si Macan Seribu. Yang dibawa lari oleh salah satu
orangnya si Macan Seribu adalah Indardari. Gadis itu
juga seorang 'prajurit' perempuan dari Suku Kano yang kebetulan pada malam itu
kenakan jubah biru hampir
mirip dengan jubahnya Nilawesti.
Tetapi Indardari segera dapat loloskan diri secara tak sengaja, karena orang yang membawa lari dirinya jatuh ke sungai saat menyeberangi sungai tersebut. Indardari pun ikut jatuh ke sungai, lalu segera
menyelam dan bersembunyi di dalam relung mirip gua
yang ada di kedalaman sungai tersebut.
Ketika para penyerang itu telah angkat kaki
semua dari tanah perkampungan Suku Kano, barulah
mereka sadar bahwa Nilawesti masih ada di tempat.
Gadis itu lakukan perlawanan di sisi barat bersama
beberapa orang lainnya. Indardari sendiri segera pulang ke perkampungannya ketika matahari mulai terbit
separo bagian. "Celaka! Jika begitu Soka Pura lakukan pengejaran yang sia-sia!" geram Nilawesti dengan cemas. Ia segera temui pamannya.
"Paman, aku harus menyusul Soka Pura. Ia
pasti lakukan pengejaran sampai ke perkampungan
Suku Ampar, karena ia menyangka diriku dibawa lari
oleh si Macan Seribu!"
"Jangan ada yang menginjakkan kaki ke tanah
perkampungan mereka!" ujar si Uban Karang. "Ingat pesan leluhur kita, jika kita
injakkan kaki di tanah
perkampungan Suku Ampar, maka kita akan menderita kekalahan dan Suku Kano akan habis binasa."
"Tapi Soka Pura sendirian ke sana, Paman!"
rengek Nilawesti dengan semakin cemas.
"Aku akan mengutus beberapa orang untuk
mengawasi dari luar batas wilayah perkampungan Suku Ampar! Tapi jangan kau yang ke sana! Kau harus
bisa menjaga dirimu sendiri agar tetap hidup sebagai
pemegang tampuk pimpinan Suku Kano ini, Nila!"
Mengingat dirinya adalah calon Kepala Suku
Ampar yang asli jika ia telah menikah nanti, maka Nilawesti pun terpaksa menahan diri untuk tidak pergi
dari samping pamannya. Tiga orang segera dikirim untuk membayang-bayangi Soka Pura. Tapi mereka tetap
tak diizinkan injakkan kaki di tanah perkampungan
Suku Ampar. Sementara itu, pengejaran yang dilakukan Soka
Pura adalah benar-benar pengejaran yang sia-sia. Keadaan yang masih gelap membuat Soka Pura salah
arah, tak mengetahui ke mana larinya si Macan Seribu. Akibatnya ketika cahaya pagi kian terang, Soka
Pura clingak-clinguk di atas sebuah bukit yang tak seberapa tinggi.
"Ke mana orang-orang Suku Ampar itu"! Gawat
kalau begini! Agaknya aku telah salah arah. Sejak tadi tidak kulihat gerakan
manusia yang melintas di sekitar tempat ini. Tak kulihat pula atap-atap rumah
yang mestinya sudah bisa kulihat dari tempat ini, sebab
tempat ini sudah jauh dari Sungai Berang. Sial! Lewat jalan mana kalau mau
kembali ke perkampungan Su-ku Kano"!"
Akhirnya pemuda itu mempunyai ide untuk
menelusuri tepian sungai. Ia yakin dengan cara begitu maka ia akan sampai ke
perkampungan Suku Kano
yang ada di tepi sungai. Soka Pura tak tahu bahwa
yang disusuri dengan langkahnya itu adalah anak
sungai yang menuju ke arah lain. Soka memang tidak
tahu bahwa Sungai Berang sebelum mencapai muaranya pecah menuju ke arah timur. Akibatnya, Soka
Pura tersesat semakin jauh dari perkampungan Suku
Kano maupun perkampungan Suku Ampar.
Langkah Soka pun segera dihentikan begitu ia
melihat sekelebat bayangan melintas di depannya.
Bayangan itu bergerak cepat dan tak jelas sosoknya.
Soka Pura hanya melihat kelebatan bayangan berwarna biru yang segera menghilang di balik kerimbunan
semak ilalang. "Itu dia si Nilawesti!" sentak hati Soka, sehingga ia pun segera memburu
bayangan biru tersebut. Wees,
wees...! Tapi sebelum Soka Pura berhasil menyusul
bayangan biru tersebut, tiba-tiba dari arah lain muncul juga sekelebat bayangan hitam. Agaknya bayangan
hitam itu sedang memburu si bayangan biru, karena ia
mengarah ke balik semak ilalang juga. Soka Pura
mempercepat langkahnya, menggunakan jurus' Jalur
Badai' agar lebih dulu menyusul si bayangan biru tersebut. Dengan satu lompatan bersalto dari gugusan
tanah cadas. Soka Pura berhasil mencegat langkah si
bayangan biru. Wuuuk, jleeg...! Maka si bayangan biru itu pun hentikan langkah
seketika dengan wajah terpe-ranjat kaget. Wajah tegang itu bermata bundar lebar
dan nafasnya terengah-engah.
"Ooh..."! Kau..."!"
Ternyata si pemilik bayangan biru Itu adalah
seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun. Tapi gadis itu bukan
Nilawesti. Gadis yang mengenakan jubah buntung warna biru dengan kutang
dan kain bawahnya berwarna merah itu mempunyai
rambut panjang diikat ke belakang. Tubuhnya sekal
dan berdada lebih montok dari Nilawesti.
Gadis itu sangat mengenal Soka Pura. Demikian pula halnya dengan Soka. Bahkan gadis itu tahu
bahwa pemuda yang tiba-tiba menghadangnya itu adalah Soka Pura, bukan Raka Pura. Ia hafal betul dengan letak pedang kristal yang
ada dl pinggang kanan, yang merupakan ciri-ciri Soka, sebab Soka adalah pendekar
bertangan kidal. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pura, yang selalu selipkan pedangnya di pinggang kiri,
sehingga sewaktu-waktu dapat dicabut dengan menggunakan tangan kanan.
"Soka, oh... beruntung kau ada di sini!" ujar si gadis dengan nada tegang. Ia
bergegas dekati Soka Pu-ra, sementara Soka masih memandang dengan heran
sebab tak menyangka akan jumpa dengan gadis tersebut di tempat sejauh itu.
"Mengapa kau sampai ada di tempat in!, Dewi
Binal"!" tanya Soka kepada si gadis yang tak lain adalah Dewi Binal, cucunya
Tabib Kubur dari Bukit
Gamping. Tentu saja si gadis tak segan-segan meraih
lengan Soka dan memeluknya, karena Dewi Binal merasa pernah memadu kasih dengan Soka Pura, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan Cabul").
"Soka, aku dikejar-kejar oleh...."
Belum selesai Dewi Binal bicara, sosok bayangan hitam yang mengejarnya sudah muncul dl depan
mereka bersamaan dengan melesatnya seberkas sinar
merah ke arah Dewi Binal. Claap...!
Soka Pura cepat ambil tindakan secara refleks.
Tangannya menyentak ke depan dalam keadaan tangan tengkurap berbentuk cakar. Sinar putih seperti pisau runcing keluar dari
tangannya. Claaap...!
Jurus 'Cakar Matahari' melesat menghantam
sinar merah tersebut. Hantaman itu timbulkan ledakan yang cukup dahsyat.
Blegaaarrr...! Tanah di sekitar tempat itu menjadi bergetar,
juga pohon-pohon merontokkan daunnya karena ikut
digetarkan oleh gelombang ledakan tersebut. Si jubah
hitam sempat terpelanting ke belakang saat terkena gelombang ledakan yang
menyentak kuat itu. Sedangkan
Soka Pura sendiri hanya terdorong mundur selangkah,
hampir membuat Dewi Binal terpelanting jika tidak segera berpegangan pada lengan kekar si Pendekar Kembar bungsu itu.
"Hati-hati, Soka...! Ilmunya cukup berbahaya!"
bisik Dewi Binal yang secara tidak langsung mengakui
kalah ilmu dengan perempuan tua berjubah hitam itu.
Soka Pura tak komentari bisikan Dewi Binal. Ia
justru memandang perempuan tua berjubah hitam
dengan dahi berkerut dan mulut sedikit ternganga
bengong. Perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun
dan berambut abu-abu dengan kalung tasbih putih
sebesar kelereng itu juga menatap Soka Pura dengan
tercengang. Kejap berikutnya ia melangkah lebih dekat sambil menggeram penuh
kejengkelan. "Dasar tikus jelek!" maki si perempuan jubah hitam itu. "Kenapa kau jadi ada di
sini, Soka Pura"!
Rupanya pemuda bengal sepertimu juga mengenal gadis keparat itu, hah"!"
Soka Pura segera kendorkan ketegangan, berikan senyum seulas dengan tenang.
"Tak kusangka kau yang menjadi lawan si Dewi
Binal ini, Nyai Gantari," ujar Soka Pura yang sudah
kenal betul dengan Nyai Gantari alias si Tupai Siluman itu. Soka dan Raka pernah
menyelamatkan Nyai Gantari dan cucunya yang mungil: Bunga Dewi, dari kejaran maut orang-orang kadipaten. Nyai Gantari bersama kedua cucunya: Bunga Dewi dan Panji Doyok, adalah penghuni perkampungan Tanah Keramat yang seluruh penduduknya bekerja sebagai pencuri, perampok, penodong, dan pe-pe lainnya, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").
Karenanya, Nyai Gantari menjadi agak sungkan
ketika buronannya dilindungi oleh Soka Pura. Lebihlebih ia tahu betul bahwa Soka Pura dan kakak kembarnya adalah anak muda yang berilmu tinggi dan
sempat menjadi idola baik oleh cucu-cucunya maupun
oleh dirinya sendiri. Tak heran jika Nyai Gantari tidak lanjutkan serangannya,
kecuali hanya mengecam tindakan Soka yang melindungi musuhnya itu.
"Nyai Gantari, perlu kau ketahui, bahwa Dewi
Binal ini adalah sahabat dekat ku. Mungkin lebih dekat dari yang terdekat denganku," ujar Soka sedikit menaburkan rayuan. "Jadi
jika Dewi Binal terluka, aku akan merasakan sakitnya, Nyai. Jika Dewi Binal
tewas, aku akan merasakan capeknya menguburkan mayat-nya!" "Yang benar kalau
ngomong, ah!" sentak Dewi Binal dalam bisikan sambil mencubit belakang lengan
Soka. Yang dicubit hanya cengar-cengir antara sakit
dan geli. "Soka Pura!" ujar sang Nyai tegas. 'Kalau bukan karena kau yang menjadi
pelindungnya, akan kuhabisi
nyawa sahabatmu itu saat ini juga!"
"Persoalannya apa, Nyai" Mungkin aku bisa
menghajarnya sendiri jika Dewi Binal memang di pihak
yang salah!"
"Dia ingin membunuh Srigita, alias si Bunga
Dewi, cucuku itu!"
Dewi Binal menyahut, "Karena cucumu telah
mencuri Permata Manik Jingga dari Candi Apung!
Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Permata itu milik leluhur ku yang dipercayakan penjagaannya oleh Pendeta Tambang Dewa...."
"Siapa Pendeta Tambang Dewa itu?" potong So-ka dalam bisikan.
"Kakak mendiang nenek ku!" Jawab Dewi Binal dengan cepat, lalu bicara lagi
kepada si Tupai Siluman.
"Cucumu, si Bunga Dewi, ngotot ketika kusuruh serahkan Permata Manik Jingga itu. Ia justru menyerangku, sehingga aku perlu menghajarnya daripada
aku yang dihajarnya!"
"Keparat! Kau pikir aku tak bisa menghajarmu
dengan mengirimmu ke neraka, hah"! Terimalah ini...."
"Tahan, Nyai!" seru Soka secepatnya karena Nyai Gantari tampak ingin lepaskan
pukulan mautnya
lagi. Seruan Soka Pura masih didengar dan dihargai
oleh Nyai Gantari sehingga sang nenek terpaksa
urungkan niatnya. Ia hanya menggeram kembali penuh dengan kedongkolan yang terpaksa hanya bisa dipendam dalam hati.
"Hmmrrh...! Kalau bukan memandang hubungan baik kita, sudah kubuat arang gadismu itu, Soka!"
"Sabar, Nyai. Orang sabar itu awet muda, Nyai,"
ujar Soka mulai konyol agar suasana tegang menjadi
berkurang. "Aku sendiri memang pernah dengar rencana
Bunga Dewi yang ingin mencuri Permata Manik Jingga,
Nyai. Bahkan kakakku; Raka Pura, juga mendengar
kabar tentang rencana pencurian permata di Candi
Apung. Menurutku, sebaiknya kembalikan saja permata tersebut, Nyai. Sebab...."
"Kalau cucuku berhasil mencuri permata itu,
sekarang aku sudah kaya dan jubahku tidak selusuh
ini, tahu"!" bentak Nyai Gantari dengan berang. Si Tupai Siluman maju selangkah
lagi, pandangan matanya
di arahkan kepada Dewi Binal.
"Cucuku tidak membawa permata itu. Dia justru ditipu oleh teman kerja samanya! Kalau kau ingin temukan permata itu,
carilah orang yang bernama Batara Jabrik! Karena permata itu justru dibawa lari
oleh Batara Jabrik dengan menyiasati si Bunga Dewi lebih
dulu!" Dewi Binal menyahut, "Jangan libatkan orang lain yang...."
"Apa yang dikatakannya memang benar, Dewi!"
sambar Soka lebih cepat. Dewi Binal segera berpaling
menatap pemuda tampan itu.
"Aku percaya dengan kata-kata Nyai Gantari.
Masuk akal sekali jika permata itu ada di tangan Bata-ra Jabrik!"
"Semudah itukah kau mempercayai mulut
orang Tanah Keramat"!"
"Aku dan Raka mendengar sendiri, bahwa Bunga Dewi pergi ke Candi Apung untuk mencuri Permata
Manik Jingga bersama si Batara Jabrik!"
Kemudian, Soka menceritakan pertemuannya
dengan Bulan Berkabut yang secara tak sengaja menjelaskan tentang rencana tersebut di depan Soka dan
Raka. Pada waktu itu, Soka dan kakak kembarnya sedang mencari Bunga Dewi yang diduga diculik oleh
orangnya si Jagat Lancang dari Perguruan Tengkorak
Sungsang, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara").
Akhirnya persoalan itu diselesaikan oleh Soka
Pura secara damai. Kemarahan Nyai Gantari atas tindakan Dewi Binal yang hampir merenggut nyawa sang
cucu, berhasil diredamkan oleh kata-kata lembut dan
menghibur. "Aku justru mau bikin perhitungan sendiri dengan si Batara Jabrik!" ujar sang Nyai seperti orang menggerutu.
"Kau boleh bikin perhitungan sendiri dengan si
Batara Jabrik, tapi jangan coba-coba berusaha merampas permata itu dari tangannya!" ujar Dewi Binal bernada mengancam. Nyai
Gantari hanya memandang
tajam dengan mendengus kesal.
"Jaga dirimu, Gadis Bonyok! Jangan sampai
kau jumpa denganku tanpa Soka Pura. Kau akan kehilangan nyawa pada saat itu juga!"
Setelah lontarkan ancaman juga, Nyai Gantari
segera pergi dengan lakukan lompatan cepat ke arah
semak-semak. Dalam sekejap saja nenek berjubah hitam itu sudah lenyap dari pandangan mata Soka Pura.
Pemuda itu hembuskan napas lega.
Namun napas kelegaan belum sempat terhembus sampai tuntas. Ia terpaksa tahan napas seketika
karena Dewi Binal segera memeluk dan menciuminya
dengan suara bisikan manja.
"Cup, cup, cup...."
"Hhhmmh.... Aku rindu padamu! Aku kangen
sekali, Soka...!"
"Aku juga hmmm...," Soka tak bisa lanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba
bibirnya disambar oleh bibir Dewi Binal, kemudian bibir itu dilumat oleh si
gadis dengan luapan api kerinduan yang mengganas.
Soka Pura sempat geragapan sesaat. Semula ia ingin
sentakkan tubuh Dewi Binal agar menjauh. Tapi Soka
segera sadar bahwa mereka sudah lama tak saling
jumpa, sehingga kerinduan di hati Dewi Binal yang
naksir berat padanya itu meledak saat itu juga. Soka
Pura terpaksa memberi balasan alakadarnya dengan
memagut-magut bibir Dewi Binal. Si gadis berselera
tinggi itu mengerang panjang ketika pagutan mulut
Soka merayap ke leher, lalu turun ke bawah lagi, dan
tangan Dewi Binal pun meremas apa yang ada di bawah Soka. "Sssh, aah.... Soka, aku... aku rindu sekali.
Uuuhk...!"
Dewi Binal mulai merengek bergairah. Tapi Soka Pura segera hentikan serangan balasan tersebut.
Saat itu, Soka kurang berselera karena di benaknya
masih menyimpan masalah yang membingungkan sekaligus sering membuatnya berpikir tegang. Dewi Binal merengek manja, minta
diteruskan, tapi Soka Pura tetap menghindar dengan pelan-pelan.
"Tunda dulu hasrat mu, Dewi. Bukankah kau
sedang hadapi masalah yang harus segera kau selesaikan"!" Dewi Binal terpaksa menunda hasratnya walau ia mengeluh kecewa.
"Bisakah kau membantuku mencari Batara Jabrik"!" "Sebenarnya bisa saja. Tapi karena aku sendiri sedang hadapi masalah
besar, jadi kali ini agaknya aku tak bisa membantumu, Dewi."
Dewi Binal hembuskan napas, sekali lagi ia
tampak kecewa mendengar ucapan Soka Pura.
"Sayang sekali...," ujarnya seperti orang menggumam. "Padahal permata itu harus
segera kuda- patkan. Jika tidak, maka selain permata itu akan dijual oleh pencurinya, permata itu sangat berbahaya ji-ka sampai jatuh ke tangan
orang sesat."
"Apa keistimewaan dari permata itu, Dewi?"
"Permata Manik Jingga ada di tongkat pendek
berlapis emas. Tongkat itu adalah pusaka milik mendiang Ratu Kaliswara, yang menjadi cikal bakal dari leluhur ku. Pusaka itu
bernama pusaka 'Suryapati'. Jika batu Permata Manik Jingga yang ada di ujung
tongkat itu ditembus sinar matahari, maka bias sinarnya dapat meleburkan gunung,
menghancurkan karang, juga bi-sa membuat besi baja menjadi bubur panas!"
"Dahsyat sekali pusaka itu"!" gumam Soka Pu-ra.
"Itulah sebabnya aku diutus kakek Tabib Kubur untuk membantu kesulitan mantan kakak Iparnya: Pendeta Tambang Dewa, untuk dapatkan kembali
Permata Manik Jingga."
"Sayang sekali...," gumam Soka Pura dengan
wajah sedikit murung. "Aku sendiri harus selesaikan masalah ku secepatnya. Jika
tidak, bisa-bisa aku menjadi... menjadi... ah, tak tahulah aku ini mau jadi apa
jika masalah ku tidak kuselesaikan secepatnya."
Setelah diam sesaat, Dewi Binal ajukan tanya
sambil masih menggelendot di pundak Soka.
"Apa sebenarnya masalah mu itu, Soka"!"
"Berkaitan dengan orang-orang Suku Kano
yang sedang bermusuhan dengan Suku Ampar!" jawab Soka pelan. Dewi Binal tampak
lebih serius lagi memandang Soka. Ia tidak bergelendotan lagi, melainkan
menatap dengan dahi berkerut, tampak sedikit terperanjat. "Suku Kano..."!" gumam si gadis cantik berhidung mancung itu.
"Apakah kau pernah dengar nama Suku Kano
atau Suku Ampar?"
"Bukan pernah lagi. Kakekku; Tabib Kubur,
adalah keturunan dari Suku Datu."
"Suku Datu..." Apa hubungannya dengan persoalanku"!"
"Suku Datu punya tingkatan lebih tua dan lebih tinggi dari Suku Kano dan Suku Ampar. Jika orang
keturunan Suku Datu bertemu dengan orang keturunan Suku Kano atau Suku Ampar, maka mereka akan
bersujud di depan orang keturunan Suku Datu. Dapat
kau bayangkan seberapa tingkat ketinggian derajat
Suku Datu itu pada mereka."
Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Suku Datu adalah nenek moyang dari leluhur
kedua suku itu," lanjut Dewi Binal. "Mereka tak akan berani melawan Suku Datu,
juga tak berani menentang keputusan maupun perintah orang Suku Datu.
Sebab jika menentang atau melawan Suku Datu, maka
menurut kepercayaan ketiga suku itu, mereka akan
binasa semua dalam waktu singkat. Entah karena
bencana alam, entah karena peperangan, atau karena
wabah penyakit. Sebab itulah, Suku Kano dan Suku
Ampar tunduk kepada Suku Datu!"
"Hebat! Diam-diam kakekmu punya gigi juga di
depan kedua suku itu, ya"!"
"Kakek keturunan terakhir dari Suku Datu
murni. Aku keturunan campuran dari Suku Datu, karena kakek menikah dengan mendiang nenek ku yang
bukan dari Suku Datu. Jadi jika kau ada masalah
dengan kedua suku itu, sebaiknya bicaralah kepada
kakekku agar kakek yang turun tangan menyelesaikannya. Sebab, jika kau bertarung melawan kedua suku itu, maka Suku Datu akan turun tangan juga mewakili kedua suku tersebut. Perlu kau ketahui, orangorang Suku Datu selalu siap mati untuk membela kedua suku tersebut. Mereka ibarat adik dari Suku Datu." Soka Pura diam merenung, merasa mulai dapat
jalan keluar untuk atasi persoalannya. Tapi ia belum
yakin, apakah si Tabib Kubur mampu selesaikan persoalan yang menyangkut masalah perkawinan gadis
Suku Kano" Sebab agaknya penolakan perkawinan itu
merupakan penghinaan bagi Suku Kano.
"Jangan-jangan Tabib Kubur juga merasa terhina kehormatannya jika mendengar penolakan perkawinanku dengan Nilawesti?" pikir Soka Pura, karena dalam hati kecilnya ia
belum mantap betul untuk me-nikahi Nilawesti. Ia masih ingin bebas berkelana
tanpa ikatan batin yang terlalu kuat, seperti ikatan tali perkawinan.
"Kita menghadap kakek saja!" ujar Dewi Binal.
"Biar kakek yang selesaikan persoalanmu. Tapi kalau boleh ku tahu, persoalan apa
yang terjadi antara dirimu dengan Suku Kano?"
"Aku... aku mau dikawinkan dengan Nilawesti,
dan...." "Hahhh..."!" Dewi Binal terpekik dengan mata mendelik. Wajahnya menjadi
semburat merah. Tak jelas, apakah gadis itu marah atau cemburu atau ketakutan. Yang pasti, gadis itu segera melangkah mundur
pelan-pelan dengan mata terbuka lebar-lebar.
"Heh, kenapa sikapmu jadi begitu, Dewi"! Ada
apa"! Kau pikir aku dusta padamu"!"
"Nilawesti adalah calon kepala suku. Jika ia
sudah menikah, maka ia akan menjadi kepala suku
dan suaminya akan menjadi raja di antara masyarakat
Suku Kano. Aku... aku sangsi, apakah kakekku mau
membantumu jika persoalan itu menyangkut masalah
perkawinan dan kehormatan suku."
"Celaka kalau kakekmu tak bisa membantuku."
"Ap... apakah kau telah menyentuh tubuh Nilawesti, sekalipun hanya menggenggam tangannya?"
"Su... sudah," jawab Soka. "Bahkan lebih dari sekadar menggandeng," lanjut hati
Soka. Dewi Binal makin berwajah tegang, membuat
Soka pun akhirnya berdebar-debar juga.
* * * 6 BATIN sepasang anak kembar memang selalu
berkaitan. Mereka mempunyai 'sambung rasa' yang tidak dimiliki kakak-beradik yang tidak lahir kembar.
Tak heran jika Raka Pura, si Pendekar Kembar sulung
merasa gelisah dan resah selama dalam perjalanannya.
Raka Pura pun merasakan rindu kepada adik
kembarnya. Setelah sekian hari ia berada di padepokan Perguruan Tapak Syiwa, dalam rangka menebar
rindu menuai kasih bersama Kirana, Raka Pura pun
ingin berjumpa dengan adik kembarnya. Maka ia segera pamit kepada Kirana dan gurunya: si Mulut Guntur,
untuk pergi ke Lembah Semangit, temui Soka dl pondoknya Resi Bayakumba.
Pada mulanya, Kirana yang cantik berlesung
pipit dan bergigi gingsul itu merengek ingin ikut Raka.
Tapi mengingat perjalanan cukup jauh dan harus ditempuh dengan langkah 'Jalur Badai' agar tak sampai
memakan waktu perjalanan berhari-hari, Raka tidak
izinkan gadis yang sedang menjadi bunga hatinya itu
ikut ke Lembah Semangit. Kirana ngotot dan sempat
sewot. Tapi Raka Pura membujuknya dengan sabar,
sehingga rencana pamit tertunda sampai dua hari.
Akhirnya dengan bantuan si Mulut Guntur dalam membujuk Kirana, Raka pun berhasil tinggalkan
padepokan di kaki Gunung Mercapada itu tanpa pendamping siapa pun. Tentu saja hal itu bisa dilakukan
setelah Raka bersumpah dan berjanji berkali-kali di
depan Kirana, bahwa la akan kembali lagi ke padepokan tersebut untuk temui si gadis yang naksir berat
kepadanya itu. Perjalanan menuju Lembah Semangit sempat
berjalan mulus, lancar-lancar saja. Tetapi ketika Raka
Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pura sudah lakukan perjalanan setengah hari, tibatiba langkahnya harus dihentikan karena ia merasa
ada yang mengikuti dari belakang. Setiap kali ia menengok ke belakang, suara langkah kaki yang samarsamar itu terhenti seketika dan tak tampak bayangan
seseorang yang menguntitnya.
Sekali dua kali ha; itu dibiarkan oleh Raka Pura. Tapi makin lama ia menjadi semakin risi karena
merasa dikuntit seseorang. Bahkan ia yakin ada orang
yang bermaksud tak beres padanya dan ingin mencuri
kelengangannya.
Pada saat ia melewati gugusan batu-batu hitam
yang cukup besar dan tingginya mencapai tiga tombak,
Pendekar Kembar sulung segera menyelinap di selasela bebatuan besar itu. Sleep...! Di sana ia menunggu si penguntit lewat. Rasa
ingin tahu siapa orang yang
menguntitnya membuat Raka Pura terpaksa menahan
rasa gatal-gatal panas, karena kakinya dikerumuni
semut merah. "Kurang ajar! Dasar semut-semut ganjen!
Aduh... ada yang merayap masuk celana segala! lih,
iih...!" Raka Pura dibuat sibuk oleh semut-semut merah yang gigitannya cukup
panas itu. Akibatnya ketika si penguntit berkelebat di depan tempat
persembunyiannya, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa
orangnya. "Sepertinya tadi ada bayangan yang berkelebat
di jalanan depan situ! Pasti dia orang yang mengikuti-ku sejak tadi. Ah, sial!
Gara-gara semut-semut ini aku jadi tak perhatikan orang tersebut!" gerutu Raka
Pura dalam hati.
Pemuda yang serupa betul dengan Soka Pura
itu segera sentakkan kakinya ke bumi dan tubuh pun
melesat naik dengan cepat. Wuuut...! Jleeg...! ia hinggap di atas salah satu
batu tertinggi dari kelompok bebatuan itu. Dari sana ia dapat memandang ke arah jalan yang akan dilaluinya.
"Ooh..."! Itu dia orang yang mengikutiku!" ujarnya dalam hati sambil memandang
seseorang yang sedang menyelinap di balik pepohonan. Orang tersebut
memandang sekelilingnya dengan clingak-clinguk seperti maling kesiangan. Rupanya ia mencari buronannya yang dianggap lenyap tak berbekas. Ia tak tahu
bahwa orang yang diikutinya sekarang sedang memperhatikan tingkah polahnya dari atas gugusan batubatu besar. Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, berkumis lebat, bermata lebar, mempunyai codet di pipi kirinya. Wajah angker yang mengenakan pakaian kotakkotak seperti papan catur itu sebenarnya sudah tidak
asing lagi bagi Raka Pura. Orang itu tak lain adalah
Bomapati, yang pernah bertarung dengannya ketika ia
menyelamatkan Kirana, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Tumbal Asmara Buta"). Namun kali ini Bomapati tidak bersenjata
bola besi berduri yang
punya rantai bisa panjang-pendek itu, tapi menyelipkan sebilah kapak di pinggang kanannya.
"Rupanya ia ingin balas dendam padaku, karena pernah kulukai ketika ia ingin membunuh Kirana,"
gumam hati Raka Pura dengan tetap tenang. Hatinya
pun mulai mempertimbangkan langkah selanjutnya.
"Haruskah kuhadapi, atau kutinggal pergi saja?" Setelah beberapa kejap mempertimbangkan,
Raka Pura akhirnya putuskan niatnya untuk bikin kapok si Bomapati biar tak berani simpan dendam lagi
padanya. Dengan gerakan jurus 'Jalur Badai', tahutahu Pendekar Kembar sulung sudah berdiri di belakang Bomapati. Wuuuzz...! Jleeg...!
Angin gerakan Raka Pura dirasakan oleh orang
Perguruan Cakar Hantu itu. Ia segera berpaling ke belakang, matanya yang lebar pun cepat terbelalak tegang karena terkejut mengetahui Raka Pura sudah ada
di belakangnya.
"Haah..."!" mulut Bomapati ternganga lebar seperti liang tikus wirok.
Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Kedua
tangannya bersidekap di dada, kakinya sedikit merenggang tegak.
"Rupanya kau tak lupa caranya kaget yang
baik, Bomapati," sindir Raka Pura dengan mata menatap lurus namun berkesan
tenang. Bomapati tampak
menggeragap dan salah tingkah.
"Sejak kapan kau menjadi seorang penguntit"!
Percuma saja tubuhmu besar, wajahmu seangker kuburan keramat, tapi jiwamu licik dan tak berani berhadapan dengan lawan secara jantan!"
"Hhhmmmrr...! Keparat kau! Heeah...!"
Bomapati hantamkan tangan kanannya ke wajah Raka yang berjarak kurang dari dua langkah itu.
Wuuut...! Genggaman tangannya yang besar berhasil
ditangkap dengan tangan kanan Raka. Plek...! Tubuh
Raka cepat berputar dan sedikit merendah. Sikunya
langsung menyodok ke belakang. Buuhk...!
"Heehg...!!" Bomapati tak dapat hindari gerakan cepat Pendekar Kembar sulung.
Ulu hatinya menjadi
sasaran sodokan siku Raka yang cukup kuat itu. Nafas
bagai menggumpal di dada dan perutnya segera menjadi mual. Tubuh besar itu sempat terdorong mundur tiga
langkah. Hal itu menandakan sodokan siku Raka Pura
mengandung kekuatan tenaga dalam yang tergolong
besar. Bomapati tak menyangka akan menerima sodokan seperti itu. Mulutnya ingin melontarkan makian,
tapi tak bisa bersuara karena sibuk menarik
napas untuk tahan rasa sakit di ulu hatinya itu.
"Setan! Perutku seperti disodok pakai sebatang
besi baja. Uuhf...! Sakitnya bukan main. Sodokan jurus apa itu tadi?" ujar Bomapati dalam hatinya.
Raka Pura undur diri dua langkah. Sikapnya
kembali tenang, berdiri dengan kaki sedikit merenggang, tapi kedua tangannya tidak bersidekap di dada
lagi. "Rupanya kau ingin membalas kekalahanmu
tempo hari, Bomapati"! Hmmm... sebaiknya perlu kau
ingat, setiap lawan yang datang padaku untuk ketiga
kalinya, berarti ia sudah ikhlas menyerahkan nyawanya padaku. Jadi kuharap kau tidak datang lagi padaku untuk ketiga kalinya." ......
Bomapati semakin menggeram dengan gigi
menggeletuk. Tahu-tahu ia melompat menyerang Raka
Pura sambil cabut kapaknya. Wees...! Kapak diayunkan ke arah kepala Pendekar Kembar sulung.
Wuuut...! Namun Pendekar Kembar sulung lebih cepat
gulingkan badan ke tanah. dan kakinya menendang
tulang kering Bomapati. Duuhk...!
"Aaow...!" Bomapati terlonjak mundur. Wajah angkernya semakin menyeramkan karena
menyeringai dengan gigi meringis menahan sakit. Tulang kering kakinya seperti dihantam dengan sebatang besi. Rasarasanya tulang kering itu remuk di dalam.
"Bangsat kauuu...! Auuuh...! Bangsat sekali
kau..." makinya sambil terbungkuk memegangi kakinya yang menjadi memar membiru.
Pendekar Kembar sulung cepat bangkit dan kakinya menendang kepala Bomapati dengan keras.
Plook...! "Aooow...!" Bomapati makin memekik sambil tubuhnya terlempar dan jatuh
terbanting secara men-genaskan. Bruuuk...! Hampir saja pelipisnya terkena
kapaknya sendiri.
Tendangan bertenaga dalam yang tepat kenai
rahang kiri itu membuat rahang tersebut seperti pecah. Mulut Bomapati tak bisa terkatup untuk sesaat.
Darah keluar dari mulut karena gigi gerahamnya ada
yang copot satu. Untung tidak tertelan, sehingga ia tak perlu lakukan operasi
usus buntu. Raka Pura berdiri dengan gagah. Dadanya yang
bidang tampak membusung kencang. Kedua tangannya menggenggam dengan otot bertonjolan. Tapi sikapnya masih tenang dan kalem.
"Kalau kau masih belum jera, terimalah Jurus
Tapak Sunyi'-ku ini, Bomapati! Hieeeaah...!"
"Ukup, ukup, ukup...!" Bomapati mengangkat
tangannya. Maksudnya mau bilang 'cukup', tapi karena rahangnya sakit maka yang terucap hanya kata
'ukup'. Raka memahami maksud tersebut, maka ia
pun tak jadi lepaskan jurus 'Tapak Sunyi'-nya yang bi-sa membuat kepala Bomapati
hancur selembut tepung.
Padahal Raka sendiri hanya menggertak lelaki berkulit tebal itu dan ternyata
gertakannya membuat lawan
benar-benar ketakutan. Bomapati bergegas bangkit
dan mundur beberapa langkah sambil terpincangpincang. "Aku hanya diuruh..."
"Apa itu diuruh"!"
Bomapati menggerak-gerakkan rahangnya, melemaskan mulut agar bisa bicara normal kembali. Ia
meludah beberapa kali, karena darah yang keluar dari
gigi yang tanggal cukup banyak. Setelah itu ia bisa bicara dengan jelas kembali.
"Aku hanya disuruh seseorang untuk membunuh mu dengan upah tinggi."
Raka Pura terkesip dalam tatapannya yang tajam. "Siapa yang menyuruhmu"!"
"Nilawesti! Tentunya kau kenal dengan gadis
itu." Raka Pura kerutkan dahi tajam-tajam. "Nilawesti..."!" gumamnya lirih,
merasa asing dengan nama tersebut.
"Kau jangan membual di depanku, Bomapati!"
hardik Raka sambil melangkah dekati lawan. Bomapati
mundur ketakutan.
"Sumpah! Sumpah, aku hanya disuruh dia.
Bukan maksudku ingin balas kekalahan ku tempo hari, tapi sekadar ingin dapatkan upah tinggi dari Nilawesti!" "Aku tidak kenal
Nilawesti!"
"Kau yang membual di depanku jika begitu!"
sergah Bomapati ngotot. "Tak perlu berlagak bodoh di depanku! Kau pasti kenai
dengan Nilawesti, keponakannya Uban Karang itu."
"Orang mana dia"!" tanya Raka setelah pertimbangkan bahwa ngototnya Bomapati itu
tampak benar- benar ingin buktikan bahwa dirinya adalah orang upahan dari Nilawesti. Tentu saja Raka Pura bingung
mendengar nama yang masih asing baginya.
"Orang mana mereka"! Jawab...!" bentak Raka Pura sambil mendekat ingin lepaskan
pukulannya untuk menggertak Bomapati.
Bomapati mundur hingga merapat dengan sebatang pohon besar.
"Dia orang Suku Kano! Aku... aku tak tahu apa
alasannya, yang jelas dia memberi ku upah tinggi agar aku membunuhmu. Ia
memberikan ciri-ciri mu, termasuk menyebutkan pedang kristal itu. Maka aku ingat
denganmu dan kucari kau untuk kutunggu kelengahanmu. Karenanya aku tak berani langsung menyerangmu, karena aku tahu kau punya ilmu lebih tinggi
dariku. Aku terpaksa harus menguntit mu beberapa
saat, sampai kulihat ada kesempatan balk untuk
membunuhmu! Tapi.., tapi ternyata kau adalah orang
yang sukar dibunuh dan... dan aku akan tinggalkan
pekerjaan ini!"
"Tunjukkan di mana Nilawesti berada!"
"Di perkampungan Suku Kano, di tepi Sungai
Berang!" "Bawa aku ke sana!" desak Raka Pura yang penasaran ingin melihat tampang si
perempuan yang bernama Nilawesti itu. Tapi agaknya Bomapati keberatan dan tak berani memenuhi permintaan Raka Pura.
Namun ia juga takut dicederai lagi oleh pemuda tampan berambut sepundak itu.
"Se... sebetulnya kau mudah mencapai ke sana.
Kau lihat bukit di seberang sana itu...?" Bomapati menunjuk satu arah. Raka Pura
memandang dengan mata mengecil. "Bukit yang sebelah mana" itu ada tiga bukit!"
Blaassss...! Raka Pura segera berpaling ke arah semula.
Ternyata Bomapati sudah minggat dengan kecepatan
tinggi. "Berhenti kau, Pengecut!" seru Raka Pura, namun Bomapati tetap larikan
diri dan segera lenyap di balik kerimbunan hutan.
"Kampret! Mudah sekali ia mengecoh ku"!" geram Pendekar Kembar sulung.
Sebenarnya bisa saja ia
mengejar Bomapati dengan menggunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya. Tapi perhatian Raka Pura segera tertarik
pada suara jeritan di arah lain. Pekikan itu terdengar memanjang dan menggema,
sepertinya jeritan kematian. Raka Pura bukan mengejar Bomapati tapi justru
berlari menuju ke arah datangnya jeritan panjang itu.
Wuuz, wuuuz, wuuz...!
Langkah cepatnya dihentikan sebelum ia menyeberangi padang rumput yang tak seberapa luas.
Matanya menatap ke arah seorang yang tergeletak di
tanah dalam keadaan berlumur darah.
"Oh, rupanya orang itu yang tadi menjerit panjang"!" ujar Raka membatin, lalu bergegas hampiri orang tersebut.
Ternyata orang berpakaian hitam dengan daun
telinga lebar dan tinggi mulut agak monyong itu sudah tidak bernyawa lagi. Lukalukanya cukup parah dan
mengerikan. Raka dapat kenali luka tersebut sebagai
luka senjata tajam sejenis pedang atau golok. Tapi di tangan orang yang sudah
tak bernyawa itu terdapat
parang yang masih bersih. Berarti orang itu belum
sempat lukai lawannya, namun sang lawan lebih dulu
membunuhnya. Raka Pura tak tahu bahwa orang yang baru saja tewas itu adalah orang Suku Ampar yang dikenal
sebagai Manusia Kelelawar. Orang itu bertemu dengan
tiga orang Suku Kano, yang segera menyerangnya bersama-sama hingga tewas. Ketiga orang itu pun segera
pergi tinggalkan lawannya. Raka Pura tak tahu ke ma
Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na perginya ketiga orang tersebut.
Kini benak Raka diliputi tanda tanya besar tentang nama Nilawesti dan nama Suku Kano. Merasa tak
mengenal nama itu, tapi terancam nyawanya, Raka
Pura bermaksud mencari tahu di mana Nilawesti berada. Ia ingin bertemu dengan si pemilik nama itu untuk tanyakan alasan orang
tersebut mengupah Bomapati
untuk membunuhnya.
"Kucing kurap betul orang yang bernama Nilawesti itu! Tak pernah jumpa, tak pernah kenal, tak
pernah berselisih, tahu-tahu menyuruh orang untuk
membunuhku! Hmm...! Siapa sebenarnya si pemilik
nama Nilawesti itu"! Atau... atau mungkin Bomapati
mengelabui ku agar aku tak mencederainya lebih parah lagi"!"
* * * 7 KEPERGIAN Soka Pura dari perkampungan
Suku Kano menimbulkan kecemasan semakin kuat di
hati Nilawesti. Repotnya lagi, tiga orang yang ditugaskan membayang-bayangi Soka saat mengejar si
Macan Seribu ternyata pulang dengan tangan kosong.
Artinya, mereka mengaku tidak melihat Soka Pura,
baik di perbatasan tanah Suku Ampar maupun di beberapa tempat lainnya.
Berbagai dugaan timbul di hati Nilawesti dan
pamannya. Dari beberapa dugaan hanya ada dua dugaan yang sangat mempengaruhi jiwa gadis Suku Kano
dan pamannya itu.
"Mungkin dia dibunuh oleh Macan Seribu dengan siasat licik, mungkin juga dia melarikan diri kare-na tak mau dikawinkan
denganku"!"
Sehari semalam Soka Pura tak kembali. Akhirnya sang kepala suku segera perintahkan orangorangnya untuk mencari Soka Pura di luar batas tanah
Suku Ampar, serta di beberapa tempat lainnya. Uban
Karang menjadi ikut resah karena keponakannya berwajah murung dan selalu mengungkapkan kecemasannya. "Jika tak berhasil bertemu dengan orangnya, bawa pulang jejaknya!"
perintah Uban Karang kepada tim pencari Soka Pura. Mereka terdiri dari beberapa
kelompok yang menyebar ke berbagai arah.
"Jika ia bermaksud lari dari perkawinan hukum
adat, tangkap dan paksa dia. Hadapkan segera pada
ku!" "Tapi pelan-pelan saja menangkapnya. Jangan kasar-kasar," timpal Nilawesti
yang merasa tak rela ji-ka Soka diperlakukan dengan kasar.
Sebenarnya Nilawesti ingin lakukan pencarian
sendiri. Tapi sang paman melarang, mengingat bahaya
yang sewaktu-waktu dapat muncul dan merenggut
nyawanya. Jika hal itu terjadi, maka lenyap sudah keberadaan Suku Kano.
Salah satu kelompok yang dipimpin oleh Rurusada akhirnya menemukan Soka Pura yang sedang
berdiri di tepi Sungai Berang. Pemuda itu tampak ragu-ragu untuk lakukan penyeberangan. Anehnya, pemuda itu menjadi tegang dan memandang curiga kepada Rurusada dan ketujuh orangnya. Tentu saja begitu, karena pemuda tersebut sebenarnya bukan Soka
Pura, melainkan Raka Pura, kakak kembarnya.
"Siapa kalian"!" tegur Raka Pura dengan tangan mulai menggenggam. "Apa maksud
kalian mendatangi ku di sini"! Apakah kalian orang-orang Suku Kano"!"
"Benar! Kami utusan dari Suku Kano. Seharusnya kau tak perlu menanyakannya lagi!" kata Rurusada.
"O, Jadi kau orang-orangnya perempuan yang
bernama Nilawesti itu"!"
"Benar!" jawab Rurusada, kemudian ia segera berbisik kepada temannya. "Mengapa
ia merasa asing kepada kita"!"
"Mungkin dia punya maksud tersendiri, seperti
yang dikhawatirkan sang ketua. Barangkali dengan cara begini dia mudah melarikan diri dari perkawinannya." "Kalau begitu, bersiaplah! Jaga dia agar Jangan sampai lolos!" perintah
Rurusada, lalu memberi isyarat
kepada ketujuh temannya. Mereka pun segera lakukan
pengepungan. Kecurigaan Raka semakin buruk. Ia pun
bersiap hadapi delapan orang yang dianggap ingin
membunuhnya atas perintah Nilawesti.
"Kami diutus membawamu pulang ke perkampungan!" ujar Rurusada.
"Katakan kepada Nilawesti, aku tak kenal kepadanya! Tak perlu bikin persoalan denganku!" tegas Raka Pura. Pernyataan itu
semakin membuat Rurusada dan orang-orangnya menduga bahwa Soka Pura ingin ingkar dari kenyataan dan lari dari perkawinan.
"Kami diberi izin untuk memaksamu!"
"O, baik! Kalau kalian bisa memaksaku, silakan! Kau pikir aku akan gentar berhadapan dengan
kalian?" hardik Raka Pura. Maka suasana permusuhan semakin tercipta dengan jelas.
Rurusada memberi isyarat kepada orangnya
yang bernama Tandon. Orang tersebut segera melesat
pergi menerabas kerimbunan semak ilalang. Bruusk...!
Raka Pura tak mengerti maksudnya. Ia hanya menyangka, Tandon akan memanggil bala bantuan untuk
menangkapnya. Namun sebelum Raka Pura temukan cara untuk atasi bantuan yang diperkirakan akan datang lebih banyak lagi itu, tiba-tiba
dua orang menyerangnya dari arah samping kanan-kiri. Wuuut...! Keduanya melayang
dengan kaki siap menerjang kepala Raka.
Pendekar Kembar sulung memutar tubuh hingga bergeser dari tempat berdirinya. Kaki menendang
cepat ke arah salah satu orang, kemudian tubuh berputar cepat lagi bersama lompatan yang melayangkan
kakinya. Bet, bet...! Buhk...!
"Aahk...!"
"Oow...!"
Kedua orang itu terpental berbeda arah dan saling jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Salah satu dari mereka membentur pohon dan kepalanya
beradu dengan batang pohon cukup keras. Praak...!
Rupanya mereka sudah menyiapkan cara sendiri untuk hadapi Soka Pura jika sampai terjadi tindak kekerasan seperti itu.
Tandon ditugaskan untuk bersembunyi, bukan mencari bantuan. Sementara itu,
yang lain menyerang Soka, membuat sibuk pemuda
tampan berilmu tinggi itu. Dan rencana tersebut benar-benar mereka lakukan dalam menghadapi Raka
Pura yang mereka sangka sebagai Soka Pura.
Tandon menyiapkan sebatang bambu kecil
ukuran tiga jengkal. Bambu sumpit itu diisi dengan jarum beracun. Racun tersebut
dapat lumpuhkan seluruh urat dan lemahkan tenaga si korban. Namun dalam beberapa waktu kemudian, segalanya kembali lagi
tanpa harus diberi obat penawar racun.
Maka ketika Raka Pura sibuk hadapi serangan
dari Rurusada dan yang lainnya. diam-diam Tandon
sudah siapkan bambu sumpit alias tulup. Bambu itu
sudah menempel di mulutnya. jarum beracun sudah
ada di dalam bambu kecil.
Raka Pura hindari tendangan kaki beruntun
dari Rurusada. Pada saat itulah, ia memunggungi tempat persembunyian Tandon. Lalu, nafas Tandon pun
menyentak melalui mulut.
"Fuuih...!"
Slaap...! Juubs...!
Jarum beracun menancap di tengkuk kepala
Raka Pura. Pendekar Kembar sulung masih sibuk hindari serangan lawan dari tiga arah. Sesekali ia masih bisa balas menyerang dan
membuat lawannya terjungkal atau jatuh terpelanting. Ketika jarum itu kenai
tengkuknya, Raka Pura hanya rasakan seperti digigit
semut. Sangkanya, semut-semut yang merayapi kakinya saat bersembunyi dari incaran Bomapati itu masih ada yang tersisa dan merayap di tengkuk, lalu
membalas dendam padanya. Raka Pura tak hiraukan
gigitan kecil itu. Hanya saja, beberapa saat kemudian pandangan matanya mulai
buram. Tubuhnya terasa
lemas. Pernafasannya tersendat-sendat.
"Aneh. Padahal aku tidak terkena pukulan mereka, tapi mengapa pandangan mataku jadi buram dan
badanku jadi lemas begini"!" pikir Raka Pura sambil masih mencoba bertahan untuk
siap siaga hadapi serangan lawan berikutnya. Namun ternyata lawanlawannya justru mundur dan diam di kejauhan.
Penglihatan yang semakin memburam telah
membuat Raka Pura tak tahu di mana lawan-lawannya
berada. Ketika ia melangkah, langkahnya menjadi limbung. Kepala pun menjadi pusing, seperti gangsing diputar. Akhirnya, Pendekar Kembar sulung itu jatuh
terkulai lemas, namun ia masih sadar terhadap apa
yang terjadi berikutnya. Hanya saja, ia tidak mampu
lakukan apa pun, seperti saat terkena totokan si Kecubung Manis dulu.
"Dia sudah tak berdaya, Rurusada!" ujar Tandon setelah mencabut jarum yang
menancap di tengkuk Raka. Pada saat itu Raka pun mendengar suara
Rurusada bicara kepada Tandon.
"Bidikan mu ternyata masih bisa diandalkan,
Tandon. Kalau saja ia tadi menghindar ke samping,
maka jarum beracun itu akan kenai leherku atau
mungkin justru akan kenai mataku!"
Tandon tertawa bangga, yang lain pun tertawa
lega, walau ada yang harus menahan rasa sakit akibat
terkena pukulan dan tendangan Raka Pura. Mereka
segera menggotong Raka Pura menyeberang sungai,
menuju ke perkampungan mereka. Saat itu, Raka
hanya bisa membatin sendiri.
"Kurang ajar! Rupanya si Tandon bukan cari
bantuan tapi cari kesempatan untuk melepaskan jarum beracunnya! Celaka aku kalau begini! Bisa-bisa
riwayatku habis pada hari ini juga di depan perempuan bernama Nilawesti itu! Benar-benar keparat perempuan itu!"
Kemarahan Raka menggumpal di dalam hati,
membuat dada terasa ingin meledak. Hati Raka merencanakan pertarungan tanpa ampun dengan perempuan yang bernama Nilawesti itu.
Tapi ketika ia tahu siapa pemilik nama Nilawesti itu, hati Raka hanya bisa tertegun bengong dan tak mampu berucap kata apa
pun. ia dibaringkan di Kamar Pelamin, dan seraut wajah cantik milik gadis berusia muda berada di sampingnya, merawatnya dengan keharuan dan kelembutan yang sama sekali bagaikan mimpi bagi si Pendekar Kembar sulung. Terlebih setelah Raka melihat gadis itu sunggingkan senyum tipis, walau masih diwarnai rasa haru, maka seluruh kemarahan dan rencana pertarungan tanpa ampun itu lenyap seketika. Hati Raka mengalami debardebar keindahan yang menenteramkan jiwanya, membuat ia bagai diliputi sejuta rasa bahagia. Raka sendiri terheran-heran terhadap
perasaannya saat itu.
Hampir setengah hari Raka tak berdaya. Ketika
ia mulai sadar dan mampu bergerak, Nilawesti mengangkat kepalanya dan memberinya minum dengan
hati-hati. Raka mulai bisa duduk dan pandangan matanya semakin jelas. Wajah cantik berhidung bangir itu dipandanginya dengan
lidah kelu sesaat. Bahkan nafasnya sempat terhenti sekejap ketika Nilawesti mencium pipinya dengan lembut.
"Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi," ujar Nilawesti seperti bicara pada
diri sendiri. Raka Pura masih belum bisa berkomentar apa-apa karena ia masih
bingung dengan sikap manis Nilawesti.
"Benarkah kau ingin lari dariku?"
Raka Pura paksakan diri untuk menjawab. Suaranya masih sedikit parau.
"Karena kau ingin membunuhku. Kau mengupah seseorang untuk membunuhku, sedangkan aku
tak tahu apa kesalahanku."
"Oh, kau salah duga! Mereka bukan ingin
membunuhmu, tapi menyelamatkan dirimu dari bahaya Suku Ampar dan mengawalmu pulang kemari,
Kasihku!" Tentu saja Raka Pura menjadi semakin bingung, terlebih setelah la dipanggil dengan sebutan
'kasihku'. Sedangkan yang dimaksud Raka sebagai
orang upah an yang ingin membunuhnya adalah Bomapati, tapi Nilawesti menyangka orang upahan yang
dimaksud Raka adalah Rurusada dan kawankawannya. "Sama sekali tak ada niat di hatiku untuk
membunuhmu, Kasihku. Aku dan paman Uban Karang
sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, karenanya
kami kerahkan orang-orang kami untuk mencarimu."
"Be... benarkah kau tidak ingin membunuhku"!" "Sebagai calon kepala suku, aku bersumpah, tidak ada niat sedikit pun
untuk membunuhmu! Aku
dan paman Uban Karang hanya inginkan kau kembali
sebelum esok malam. Karena esok malam adalah malam bulan purnama dan...."
"Mengapa kau mengharapkan aku ada di sini
sebelum esok malam"!"
Nilawesti tersenyum manis, sedikit berkesan
malu-malu. Sambil rapikan pakaian Raka dengan sikap mesra, Nilawesti pun berkata lirih tak berani menatap Raka Pura.
"Apakah kau lupa, esok malam adalah malam
perkawinan kita!"
"Hahhh..."! Perkawinan..."!!" Raka Pura terbelalak kaget, seperti disambar petir
lubang hidungnya.
Jantungnya berdetak-detak dan mulutnya ternganga
dengan lidah kelu kembali.
"Modar aku kalau begini! Katanya aku mau dibunuh, sekarang begitu ketemu orang yang bernama
Nilawesti, aku justru akan dikawinkan dengannya!
Edan! Lakon apa yang kujalani di muka bumi ini sebe
Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
narnya"!" ujar hati Raka dalam kebengongannya.
"Apakah kau tadi tidak melihat rumah-rumah
sudah diberi pajangan dengan pelita hias yang warnawarni"! Itu tandanya mereka sedang menyambut datangnya malam perkawinan kita, Soka!" ujar Nilawesti dengan mengusap-usap lengan
Raka. "Oooo... begitu"!" ujar Raka Pura dalam hatinya. "Rupanya aku disangka sebagai Soka"! Dan rupanya si kunyuk edan itu ingin
menikah dengan gadis
ini"! Benar-benar brengsek adikku itu! Mau kawin tidak bilang-bilang, malah kabur-kaburan begini. Akhirnya aku yang ketempuhan!" geram hati Raka penuh
gerutu. Kini ia tahu persoalan yang sebenarnya.
"Tapi...," ujarnya kepada Nilawesti. "Mengapa kau mengupah Bomapati untuk
membunuhku, Nilawesti"!" Gadis itu terkejut. "Bomapati"! Maksudmu orang dari
Perguruan Cakar Hantu itu"!"
Raka Pura membenarkan dengan anggukkan
kepala. Ia sempat ceritakan sedikit tentang pertemuannya dengan Bomapati dan mengutip pengakuan
Bomapati. "Fitnah! itu jelas-jelas fitnah! Pasti rekayasanya si Macan Seribu. Bomapati
adalah sahabat dekatnya si
Macan Seribu. Mungkin Kepala Suku Ampar menyewa
Bomapati untuk menyebarkan fitnah kepadamu agar
kau membunuhku sebelum aku kau duga ingin membunuhmu! Keparat betul si Macan Seribu. Dia memang
sangat licik dan sangat memuakkan sikapnya!" gadis itu pun menggeram penuh
kedongkolan. Macan Seribu memang pergunakan siasat seperti itu. Setelah mencoba menghadapi Soka, si Macan
Seribu merasa kalah ilmu dan harus pergunakan siasat untuk menewaskan Nilawesti. Hampir saja siasat
itu berhasil menewaskan Nilawesti. Karena jika sampai terjadi pertarungan antara
Raka dengan Nilawesti, tentu saja gadis itu akan tumbang dalam sekejap.
Raka Pura masih diliputi ketegangan yang tak
membuatnya panik. Ketegangan yang dirasakan sungguh aneh. Separo hatinya menjadi tegang karena melihat kesibukan orang-orang Suku Kano menyiapkan
malam perkawinan Nilawesti dengannya, separo hatinya lagi tetap tenang merasakan keindahan yang
berdesir-desir menenteramkan jiwa. Mungkin akibat
dari melihat senyum Nilawesti itu, maka ketenteraman
jiwa dirasakan oleh Raka Pura walau sebenarnya ia ingin memberontak keras terhadap rencana mereka.
Di depan Uban Karang dan Nilawesti yang didampingi beberapa orang kepercayaan sang kepala suku, termasuk Rurusada juga, akhirnya Raka Pura bicarakan tentang siapa dirinya. Ia bicara dengan tegas dan tanpa ragu-ragu lagi.
"Sebenarnya aku bukan Soka Pura. Aku adalah
Raka Pura, kakak kembar Soka Pura!"
Mereka tertegun memandangi Raka. Mulut mereka terkatup bagai tak bisa bicara lagi.
"Kami memang mempunyai persamaan wajah,
pakaian, tubuh, dan seluruh yang ada pada kami memang serupa persis. Perbedaan kami hanya ada pada
pedang ini!" sambil Raka tunjukkan pedang di pinggang kiri.
"Bentuk pedang kami memang serupa juga, tapi
Soka selalu selipkan pedang di pinggang kanannya,
sedangkan aku selipkan pedang di pinggang kiri. Soka
akan mencabut pedang dengan tangan kiri, sebab adik
ku itu memang kidal. Hanya itu bedanya antara aku
dan Soka."
Mereka saling pandang. Wajah mereka pun sama-sama menegang. Untuk beberapa saat mereka saling membisu, hingga suasana menjadi hening sesaat.
Tiba-tiba Nilawesti berkata dengan suara menyentak. "Tidak! Kau mendustai ku, Soka! Kau hanya ingin hindari perkawinan denganku!"
"Aku berkata yang sejujurnya, Nilawesti! Aku
bukan Soka Pura, melainkan Raka Pura! Kami adalah
Pendekar Kembar dari Gunung Merana."
"Hahh...?" semua mata melebar semakin tegang. Mereka sangat terkejut mendengar nama Pendekar Kembar dari Gunung Merana. Mereka tahu tentang
keberadaan Pendekar Kembar di rimba persilatan. Tapi
hati kecil mereka mulai sangsi dan menganggap Raka
hanya bersandiwara.
"Aku tidak percaya!" ujar Uban Karang. "ini suatu penolakan halus atas rencana
perkawinanmu dengan Nilawesti! ini sudah merupakan penghinaan besar
yang harus diselesaikan dengan pertarungan!"
"Paman, kuharap jangan ada korban di antara
kita. Aku benar-benar Raka Pura, bukan Soka! Seandainya aku memang Soka Pura, maka... terus terang
saja, aku akan menjadi orang sangat bodoh di dunia
ini jika menolak dikawinkan dengan Nilawesti!"
"Tidak bisa! Pengakuanmu sebagai Pendekar
Kembar hanya siasat untuk membatalkan perkawinan
ini! Kau telah menyentuh kulit tubuh Nilawesti, yang
menurut hukum adat sudah dianggap zina dan harus
dikawinkan!"
"Aku tidak menyentuhnya! Nilawesti yang menyentuhnya waktu aku sadar dari pengaruh jarum beracun itu!"
"Tapi kau telah memeluk Nilawesti dan...."
"Itu Soka! Bukan aku!" bantah Raka dengan
cepat. Mereka saling bungkam sebentar. Nafas si
Uban Karang mulai memburu, pertanda hatinya telah
terbakar oleh kemarahan. Nilawesti sendiri semakin
murung dalam kebisuannya. Ia tak mau memandang
pamannya maupun Raka.
"Ketentuan hukum adat Suku Kano adalah menyelesaikan persoalan seperti ini dengan pertarungan.
Jika kau bisa tumbangkan diriku dalam pertarungan
nanti, sehingga aku yang sementara ini menjabat sebagai kepala suku bisa tewas, maka kau bebas dari
tuntutan perkawinan dengan Nilawesti! Sekarang juga
kita lakukan pertarungan di depan rakyat Suku Kano!"
Uban Karang mendahului keluar dari ruang
pertemuan itu. Ia menunggu Raka Pura di halaman
depan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Suku
Kano. Raka Pura membujuk Nilawesti agar pertarungan itu bisa dibatalkan. Tapi Nilawesti justru berkata dengan ketus.
"Kau telah menghina martabat suku kami. Kau
harus menebusnya dengan pertarungan melawan kepala suku!"
"Konyol!" sentak Raka Pura ketika ditinggal keluar oleh Nilawesti. Ia menjadi
bingung sendiri dan akhirnya bergegas keluar dari ruangan tersebut. Ternyata
Rurusada sudah menyebarkan kabar tersebut dengan
cepat kepada para penghuni perkampungan, sehingga
mereka berkumpul membentuk lingkaran lebar dan
Uban Karang ada di tengah-tengah. Kepala suku itu
sudah mencabut pedang milik Nilawesti dan siap hadapi pertarungan melawan Pendekar Kembar sulung.
"Kacau sekali kalau begini! Sial! Ini gara-gara si kambing kudis Soka! Mengapa
ia harus lari kalau
hanya dikawinkan dengan gadis secantik Nilawesti"!
Ah, benar-benar brengsek adikku itu! Kalau begini caranya, mau tak mau aku harus lakukan pertarungan
dan harus bisa menewaskan si kepala suku. Padahal...
padahal aku tidak menyukai keputusan ini. Aku tidak
ingin ada korban di antara aku dan mereka. Tapi daripada aku yang dibunuh, lebih baik aku yang membunuh!" Raka Pura sendiri merasa keberatan jika harus beristri. Ia tidak mau
terikat oleh tali perkawinan. Lebih-lebih ia kurang galak terhadap cinta seorang
wani-ta, sehingga kecantikan Nilawesti hanya menimbulkan
rasa kagum dan senang saja, namun tak bisa timbulkan rasa cinta di hatinya. Wajah Kirana lebih kuat
membayang di pelupuk mata Raka, walau wajah cantik
bergigi gingsul itu sering lenyap dari ingatannya jika sedang melihat senyum
Nilawesti. Dengan malas-malasan, Raka Pura akhirnya
melangkah ke tengah arena pertarungan. Ia masih
berpikir mencari cara hindari pertarungan tersebut,
karenanya ia sengaja memperlambat langkahnya untuk maju ke tengah arena.
Namun si Uban Karang tak sabar, ia segera melesat dengan cepat menerjang Raka Pura bersama pedangnya yang segera ditebaskan. Wuuut...! Weess...!
Raka Pura tersentak. kemudian cepat menghindar dengan lompatan jurus 'Jalur Badai'-nya.
Wuuuzz...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat lain
di belakang Uban Karang dalam jarak sekitar delapan
langkah. "Paman, aku tak inginkan pertarungan ini!" se-ru Raka Pura. "Kita bukan musuh,
Paman!" "Kau hina martabat Suku Kano dengan penolakan mu! Perkawinan itu bisa dibatalkan kalau kau bisa membunuh Kepala Suku Kano! Heeat...!"
Weess...! Uban Karang menerjang kembali, tapi
Raka Pura menghindari dengan cepat. Setiap Uban Karang menyerang, Raka Pura hanya bisa lakukan penghindaran dan tak mau lepaskan balasan, karena ia tetap tak ingin ada korban di antara mereka. Akibatnya, pertarungan itu seperti
kucing-kucingan, lompat sana
lompat sini, kejar sana kejar sini.
Wees, wuuz...! Wees, wuuuz...! Weess, wuuuz...!
"Hentikaaaan...!!" seru sebuah suara yang terdengar cukup lantang dan
mengagetkan. Bersamaan
dengan itu, sekelebat bayangan putih melesat bagaikan badai berhembus. Tahu-tahu bayangan itu sudah
tampakkan wujudnya di tengah arena, di pertengahan
Jarak antara Raka dan Uban Karang.
"Ooh..."! Tabib Kubur..."!" mereka terkejut, juga segenap masyarakat Suku Kano
yang berkeliling membentuk arena pertarungan itu. Mereka segera tundukkan wajah sambil berlutut secara serentak. Mereka
tampak memberi hormat dengan rasa takut kepada si
Tabib Kubur, kakek Dewi Binal. Hanya Raka Pura yang
masih berdiri bengong pandangi mereka setelah menatap kehadiran si Tabib Kubur yang sudah dikenalnya
itu. Kakek berjubah putih dengan rambut putih
pendek dan jenggot pendek putih itu berdiri tegak dengan pegangi tongkat
hitamnya. Matanya memandang
penuh wibawa kepada mereka. Suaranya masih terdengar lantang walau usianya sudah mencapai sekitar
tujuh puluh lima tahun.
"Berdiri semua! Hormat kalian sudah kuterima!" Maka mereka pun berdiri, namun masih dengan sikap menghormat, sedikit membungkuk badan
dan tak banyak yang berani tegakkan wajah. Sikap
mereka menunjukkan bahwa Suku Kano sangat hormat dan takut kepada Tabib Kubur yang dikenal sebagai keturunan terakhir dari Suku Datu, yaitu suku
yang lebih tinggi derajatnya dari suku mereka.
"Uban Karang! Aku datang untuk memberi tahu
padamu, batalkan rencana perkawinan si Nilawesti
dengan Soka Pura!"
Uban Karang tegakkan wajah. "Ini suatu penghinaan, Kakang Tabib!"
"Bukan penghinaan, tapi bencana besar bagi
Suku Kano jika perkawinan itu tetap berlangsung!"
"Soka Pura telah membunuh orang kedua dari
musuh kami. Soka Pura telah menyentuh tubuh Nilawesti, juga menyelamatkan nyawa calon kepala suku
kami. Ia harus menikah dengan Nilawesti sesuai ketentuan dalam hukum adat!"
"Ingat kau pada ketentuan terakhir dalam hukum adat perihal perkawinan?"
Uban Karang yang hafal dengan undangundang hukum adat segera sebutkan ketentuan terakhir dalam hukum adat tersebut perihal perkawinan
suku. "Suku Datu, Suku Kano, dan Suku Ampar tidak boleh lakukan perkawinan silang dengan keturunan kembar!"
"Kau tahu apa akibatnya jika kita lakukan perkawinan silang dengan orang kembar yang bukan dari
keturunan tiga suku itu"!" uji si Tabib Kubur.
"Ya, aku tahu akibatnya, Kakang Tabib. Ketiga
suku kita akan mengalami bencana dalam waktu empat puluh hari setelah perkawinan itu berlangsung. Ki-ta semua akan binasa,
sesuai kutukan leluhur kita di
masa lalu."
"Apakah kau ingin kita binasa, Uban Karang"!"
"Aku tak tahu maksudmu, Kakang Tabib!"
"Soka Pura adalah anak kembar!" tegas Tabib Kubur yang mencengangkan mereka.
"Dan yang kau
hadapi ini adalah Raka Pura, kakak kembar dari Soka
Pura!" sambil Tabib Kubur menuding Raka yang ada di samping kanannya, empat
langkah dari tempatnya
berdiri. "Mereka adalah Pendekar Kembar dari Gunung Merana, murid si Dewa
Kencan, anak angkat dari Pa-wang Badai!"
Uban Karang masih berusaha membela diri.
"Jika Kakang bisa buktikan hal itu, maka kami akan memilih lebih baik
membatalkan perkawinan Nilawesti
dengan Soka Pura!"
"Kau ingin bukti"! Baik. Lihat ke arah pintu
gerbang, siapa yang datang kemari itu!"
Semua mata tertuju ke pintu gerbang yang sudah dibangun kembali dari reruntuhannya akibat serangan Suku Ampar dua hari yang lalu. Mata mereka
tak berkedip memandang dua orang melangkah mendekati arena pertarungan. Dua orang itu adalah Soka
Pura yang didampingi oleh Dewi Binal.
"Ooh.... Paman, ternyata mereka memang Pendekar Kembar!" ujar Nilawesti dengan suara berbisik tegang. Soka Pura segera
berdiri di samping kakaknya
sambil cengar-cengir. Sang kakak cemberut dan menggerutu tak jelas. Semua mata masih tetap tak berkedip pandangi dua pemuda kembar
Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sukar dibedakan
itu. Nilawesti pun menatap tak berkedip, namun lamalama air matanya meleleh di pipi. Hatinya dirundung
duka yang memilu, karena kenyataan yang dihadapi
sungguh mengecewakan hati. Soka Pura ternyata adalah anak kembar yang tak boleh menikah dengan gadis
Suku Kano maupun Suku Ampar dan Suku Datu.
"Paman... aku tak kuat, Paman...," rintih Nilawesti, akhirnya gadis itu jatuh
pingsan dan segera ditangkap oleh pamannya. Suasana pun menjadi heboh,
masing-masing orang mencemaskan Nilawesti yang segera dibawa masuk ke rumah sang kepala suku.
Soka Pura nyengir di depan kakaknya. "Tak ku
sangka kau nyelonong kemari juga, Raka"! Heh, heh,
heh...!" "Dasar monyong!" sambil Raka Pura mendorong kepala adiknya dengan satu
sentakan tangan. Sang
adik hanya tertawa cekikikan.
"Lain kali kalau belum siap kawin jangan bikin
ulah macam buaya darat!" kecam Raka.
"Aku tak tahu hukum adat yang berlaku di sini!
Aku hanya terjebak dalam perkawinan aneh ini! Aku
tak tahu kalau gadis Suku Kano itu tak boleh disentuh." "Kau memang mata keranjang dan bertangan usil" "Tanganku tidak usil! Aku
hanya...."
"Kau pengecut! Tak berani hadapi tantangan
seperti ini!"
"Tantangan yang lain berani kuhadapi, tapi tantangan mesra seperti ini, bikin aku pikir-pikir seratus kali!" "Kalau tak berani
hadapi tantangan mesra seperti ini, jangan bikin ulah konyol, Goblok!"
"Aku tidak konyol! Kau jangan salahkan aku.
Sebab aku tidak sengaja konyol...," dan mereka pun ri-but sendiri, saling
berdebat dengan seru di luar rumah kepala suku.
Ketika Nilawesti sudah siuman, Tabib Kubur
perintahkan pada Pendekar Kembar, terutama Soka
Pura, untuk meminta maaf kepada gadis itu. Mereka
mau meminta maaf demi perdamaian bersama.
"Sekalipun kau urung menjadi suamiku, kuharap kau tetap sering hadir menengok ku di sini, Soka,"
ujar Nilawesti yang sudah bisa kendalikan emosi jiwanya. "Tentu saja aku akan sering kemari, Nila!"
Tabib Kubur segera bicara, "Sebagai orang yang
batal menikah dengan gadis Suku Kano, kau harus
menebusnya, Soka!"
"Tebusan apa yang harus kuberikan kepada
Suku Kano, Kek"!"
"Kau harus menjadi benteng Suku Kano dari
serangan lawan, dan menjadi perisai pribadi bagi Nilawesti sendiri!"
"Aku bersedia!" sahut Raka.
"Hei, yang harus menebusnya aku, bukan kau!"
sentak Soka Pura kepada kakaknya. Yang lain pun akhirnya tertawa juga melihat kekonyolan Pendekar
Kembar. "Kalian memang harus menebusnya bersamasama, karena kalian adalah anak kembar yang gagal
menikah dengan Nilawesti!" ujar Tabib Kubur dan
Uban Karang manggut-manggut dalam senyumannya.
"Kami bersedia menjadi benteng Suku Kano
dan perisai Nilawesti!" ujar Soka mewakili Pendekar Kembar.
Keputusan itu menyebar sampai di telinga
orang-orang Suku Kano, bahwa Suku Kano dilindungi
oleh Pendekar Kembar: Raka Pura dan Soka Pura. Maka sejak itu, Macan Seribu dan orang-orang Suku Ampar tak ada yang berani mengusik orang-orang Suku
Kano, karena mereka tahu kekuatan Suku Kano menjadi besar setelah dalam perlindungan Pendekar Kembar. SELESAI Segera terbit!!!
GEGER PANTAI RANGSANG
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978 - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Pendekar Seribu Diri 5 Pedang Langit Dan Golok Naga Yi Tian Tu Long Ji Ie Thian To Liong Kie Karya Chin Yung Pedang Ular Mas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama