Ceritasilat Novel Online

Utusan Orang Orang Sesat 2

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat Bagian 2


terbuat dari batu pualam merah darah. Si Tinggi Kurus
Muka Badak nampak sedang mempersiapkan berbagai jenis bunga-bunga di
samping memotong kemenyan lonjoran sebesar
batang kelapa. Si Tinggi Besar Muka Tengkorak
lain lagi. Sedari tadi dedengkot rimba persilatan golongan hitam ini kelihatan
sibuk memandikan
tubuh Ni Sukmini.
Karena masih dalam keadaan tertotok, tubuh
Ni Sukmini yang putih mulus itu dari dalam
keadaan setengah telanjang tidak mampu untuk
di gerak-gerakan. Bahkan untuk berkata-kata dia pun tidak mampu. Hanya linangan
air mata saja yang menggambarkan kepedihan dan rasa takutnya. Meskipun dia tahu bahwa si Tinggi
Besar Muka Tengkorak keihatannya tidak memiiki
nafsu untuk kaum perempuan dan walaupun dia
tahu si Muka Tengkorak bertampang dingin ini tak mempunyai niat kurang ajar
padanya Akan tetapi
cara ia memandikan Ni Sukmini yang tak ubahnya
bagai memandikan bayi merah. Membuat bekas
pengantin baru itu meremang sekujur tubuhnya.
Apalagi terkadang dengan tangannya yang kokoh
si iblii muka Tengkorak menggosok-gosok bagian
tertentu yan sangat sensitif. Kalau saja Sukmini bisa membebaskan diri dari
totok tentu dia akan mencakar dan mencaci maki wajah yang sangat
buruk itu. Atau bahkan memenggal tangannya
yang bergentayangan ke mana-mana.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja Ni
Sukmini teringat pada Bayu Anaksa suaminya dan
juga teringat akan nasib ayahnya tewas di tangan iblis-iblis ini secara
mengenaskan. Akan tetapi apabila ia terkenang pada nasibnya sendiri,
semuanya akan lebih buruk lagi bila di banding
dengan nasib yang dialami oleh suami maupun
ayahnya. Waktu terus berputar tanpa bosan,
malam nanti tentu akan terjadi bulan purnama
penuh, satu saat yang telah lama di nantinantikan oleh ketiga manusia iblis ini. Sebab
malam nanti adalah merupakan malam puncak
kesempurnaan ilmu mereka. Satu lagi ilmu sesat
paling tinggi yang akan di turunkan oleh tetua
mereka yaitu, "SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH"
Alat-alat persembahan sudah hampir usai di
sediakan, Tubuh mulus Ni Sukmini yang setengah
telanjang, telah diletakkan di tengah-tengah altar.
Di sekeliling tubuh wanita malang itu diletakkan pula berbagai rangkaian bunga
aneka warna. Tidak jauh di sudut altar, tumpukan bara merah
menyala telah siap untuk membakar berpuluhpuluh batangan kemenyan. Sebuah tempayan
yang berukuran sedang telah pula siap menampung darah Segar Ni Sukmini. Kini hanya
tinggal menunggu waktu. Saat-saat di mana
bulan purnama penuh tiba, Ke tiga manusia iblis itu menanti dengan penuh harap.
Lain lagi halnya dengan Ni Sukmini yang sudah nampak pasrah.
Menunggu saat-saat paling mengerikan tiba.
Begitulah keadaan mereka masing-masing.
Dan apabila malam bertambah larut dan apabila
langit gelap sudah tersibak, diangkasa raya sana bulan purnama penuh terlihat
terang benderang.
Tiada kata yang terucap dari mulut ketiga laki-laki itu. Akan tetapi dengan
pasti mereka mulai
melangkah men-dekati altar. Beberapa saat
kemudian mereka telah tegak berdiri mengelilingi tubuh Ni Sukmini. Mulut si
Tinggi Besar Muka
Tengkorak nampak berkomat-kamit, sesungging
senyum menjijikkan menghias di wajahnya yang
mengerikan itu.
DELAPAN Ni Sukmini hanya
mampu memandangi
manusia iblis ini dengan rasa takut yang tiada
terperikan. Selesai si Tinggi Besar membacakan
mantera-mantera yang tiada di mengerti akan
maksudnya oleh Ni Sukmini. Manusia Muka
Tengkorak itu memberi isyarat pada si Cebol
Muka Harimau. Si Cebol Muka Harimau segera
mendekati dupa yang berisikan bara api yang
menyala-menyala,
Di pungutnya sepotong kemenyan sebesar
batang kelapa. Lalu di angkatnya keatas bara api! Dengan sekali remet
kemenyan tadi lebur menjadi serpihan-serpihan
kecil, lalu serpihannya dia taburkan di atas bara api. Bau yang menyengat hidung
sebentar saja telah memenuhi ruangan gua.
Mulut si Cebol terus berkomat kamit membacakan mantera, tak lama kemudian terjadilah sesuatu yang sangat luar biasa. Tidak begitu jauh di bawah mereka,
terdengar suara
bergemuruh yang sangat dahsyat.
Telaga kawah yang tadinya nampak tenang
kini mulai menggelegak dan bergejolak. Air di
dalam telaga kawah itu mulai mendidih dan
semakin lama semakin bergolak naik kepermukaan. Si Cebol Muka Harimau menyeringai puas. Pada saat yang bersamaan di
tengah altar, Si Tinggi Besar Muka Tengkorak dan Si Tinggi Kurus Muka Badak
segera melaksanakan
tugasnya. Keduanya segera mendekati tubuh Ni
Sukmini yang setengah telanjang. Lalu Si Tinggi Besar Muka Tengkorak mengangkat
tubuh Ni Sukmini tinggi-tinggi, sementara Si Tinggi Kurus Muka Badak menyediakan tempayan
kosong untuk menampung darah Ni Sukmini yang saat itu
kelihatan menggigil.
"Jangan takut bocah! Arwahmu pasti bisa
tenang bersama sepasang siluman junjungan
kami....!" Si
Tinggi Besar Muka
Tengkorak menggerang. Ni Sukmini meskipun dalam keadaan ketakutan yang sangat luar biasa tiada
mampu berbuat banyak. Bahkan berteriak pun dia
tak kuasa karena urat lehernya masih dalam
keadaan tertotok. Begitu Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak selesai dengan ucapannya, secepat
kilat ujung-ujung jemarinya yang berkuku panjang itu berlebat.
"Crasss....!" Sebelum Ni Sukmini
dapat menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi
dengannya, darah telah memancarkan dari lehernya yang terputus. Si Tinggi Kurus Muka
Badak segera manampung curahan darah itu
dengan tempayan yang telah disediakan. Kemudian tubuh tanpa kepala itu tampak mengejang selanjutnya terkulai di tangan si
Tinggi Besar Muka Tengkorak. Lalu manusia iblis itu segera melemparkan tubuh
berikut kepala yang terputus ke dalam telaga kawah. Telaga
Kawah yang memang sudah mengelegak itu,
begitu menerima tubuh Ni Sukmini semakin
bergejolak. Tubuh Ni Sukmini sebentar saja telah lenyap di telan air telaga yang
baunya sangat menjijikkan. Didih air telaga semakin menjadijadi. Tatkala Si Tinggi Kurus Muka Badak mulai
mencurahkan darah bercampur ramuan berbagai
bunga itu ke dalam telaga. Bagai sebuah letusan gunung berapi, suara menggelegar
terdengar. Bumi seakan runtuh, bahkan dinding gua tempat
pertapaan mereka bergetar hebat. Air telaga
segera membubung keatas. Bersamaan dengan
itu muncullah sosok siluman naga putih yang
sangat mengerikan.
Dari dalam telaga, "SEPASANG SILUMAN
NAGA PUTIH ITU", melesat ke
udara dan beberapa saat kemudian ia menjejakkan kakinya
di tengah Altar. Si Tiga mausia iblis itu langsung ngdeprok menghaturkan sembah.
Sepasang naga putih yang setengah badannya dalam ujud
manusia, tertawa tergelak-gelak.
Kemudian dengan tatapan bengis dia pun berkata: "Huahaha.... hahaha.... Ngik
Terimakasih....
kalian telah mampu membuat kami terjaga dari
tidur kami yang panjang. Kami telah berjanji
untuk membuat kalian dapat merajai dunia
persilatan. Persembah yang kalian berikan pada
kami, telah kami terima dengan senang hati.
Untuk itu kam berkenan mengabulkan permohonan kalian.
"Terima kasih, tetua....!" Ketiga manusia iblis itu serentak menghaturkan
sembah. Lagi-lagi
Sepasang Siluman Naga Putih itu tergelak-gelak.
"Bersiap-siaplah
kalian bertiga untuk menerima ilmu warisan dari kami...!" Usai berkata begitu, tangan sepasang
siluman yang bagaikan
cakar itu terpentang ke depan. Dari mulutnya
terdengar suara mendesis dan suara raungan dua
ekor naga. Tiga manusia iblis sudah nampak
bersiap-siap. Begitu suara raungan itu usai.
Sepasang siluman itu menggerakkan ke empat
tangannya ke depan. Selarik sinar berbau anyir
melesat kearah tiga manusia iblis. Sinar warna
biru

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehitam-hitaman
itu kemudian seperti bernyawa bergerak mengurung dan mengitari
ketiga manusia iblis. Mereka segera saja merasakan panas yang sangat luar biasa merasuki tubuh mereka. Darah seakan menggelegak, dan begitu sinar sakti itu berputar dan sampai di atas kepala
mereka, perlahan-lahan sinar itu bagai di sedot merasuki ubun-ubun mereka.
Begitu sinar itu lenyap ketiga orang itu
merasakan tubuhnya seperti di rasuki kekuatan
aneh yang meledak-ledak. Mengetahui ketiga
orang asuhannya nampak kebingungan, sepasang
siluman naga putih berseru lantang.
"Tak usah heran dengan keadaan yang
tengah terjadi. Kalian ketahuilah bahwa ilmu sakti yang kami turunkan pada
kalian ini adalah,
"DARAH NAGA BERGELORA". Dengan ilmu yang sangat hebat ini, dalam waktu singkat
kalian dapat malang melintang di rimba persilatan tanpa penghalang. Dalam waktu singkat
pula kalian sudah dapat menjadi raja dari segala raja kaum
persilatan. Tak seorangpun yang mampu menghalangi kalian. Sebab di dunia ini hanya ada satu orang yang dapat
menandingi kesaktian,
"DARAH NAGA BERGELORA", tapi itu ratusan tahun yang lalu, Yaitu Si Bangkotan
Koreng Seribu! Tapi kalian tak perlu takut, sebab manusia jahanam
itu kini telah mampus....!"
Kata Sepasang Siluman naga putih dengan penuh
kebencian. "Nah...kami tak dapat berlama-lama disini.
Kami kira dengan apa yang telah kami berikan
pada kalian itu sudah cukup untuk memenuhi
ambisi kalian selanjutnya....!"
"Terima kasih tetua....!" Ucap si tiga manusia iblis serentak. Mereka
menghaturkan sembah tiga kali. Namun begitu mereka mengangkat wajahnya
Sepasang Siluman Naga Putih telah lenyap dari
pandangan mereka. Secara berbareng mereka
menoleh ke telaga kawah. Suara bergemuruh
kembali terdengar, air telaga nampak menyusut
kembali. Beberapa saat kemudian goa itu kembali sepi menyeramkan.
* * * * * Sudah hampir sepekan saudara seperguruan
ini melakukan perjalanan, namun Bukit Penantian yang mereka tuju masih belum
juga kelihatan.
Menurut perkiraan Aki Sumendep, menjelang
tengah hari nanti jika tidak ada halangan tentu mereka
sudah sampai di Padepokan Bukit Penantian. Demikianlah, tanpa mengenal lelah
kedua orang ini nampak terus berkelebat di
antara kayu-kayu hutan yang tinggi menjulang ke angkasa
raya. Tepat seperti apa
yang di perkirakan oleh Aki Sumendep, menjelang tengah
hari puncak bukit penantian telah kelihatan dari kejauhan. Akan tetapi alangkah
terkejutnya dua
orang saudara seperguruan itu begitu melihat
asap dan lidah api nampak membubung tinggi
keudara. Aki Sumendep dan Dewi Bantaran saling
berpandangan. "Apa yang sedang terjadi, kakang....!" Tanya Dewi Bantaran curiga. Beberapa saat
lamanya Aki Sumendep terdiam, lalu bayangan yang tidak-tidak bermuculan di
benaknya. "Api itu kelihatannya berasal dari lereng bukit penantian....!"
Aki Sumendep setengah bergumam. "Kakang, jangan-jangan padepokan bukit
penantian terbakar....!" Jerit Dewi Bantaran Histeri.
"Cepat kita kesana....!" Tanpa membuang waktu, keduanya bagai kesetanan melesat.
Hanya dalam waktu sepemakan sirih keduanya telah
sampai di depan Padepokan bukit Penantian.
Tepat seperti dugaan Dewi Bantaran, Padepokan
itu memang sedang terbakar hebat. Api berkobar
di mana-mana, Mayat-mayat tampak bergelimpangan. Keadaan mengerikan memang
sedang terjadi di sekitar padepokan itu. Segalanya berlalu cepat, ketika Aki Sumendep
teringat akan sesuatu, laki-laki setengah tua itu berteriak-teriak.
"Adi Dewi..... kakang Narada..... kakang
Narada harus kita selamatkan!" Tanpa menunggu jawaban adik seperguruannya Aki
Sumendep berari-lari mengitari Padepokan yang di lalap api.
Begitu juga Dewi Bantaran tidak tinggal diam. Dia mencari-cari di sekitar
padepokan. Begitu mereka berulang kali mengitari tempat itu, namun tidak ada
tanda-tanda bahwa Resi Narada berada di
antara mayat-mayat itu.
Sedang mereka dalam keadaan bingung
seperti itu, mendadak terdengar suara lolong dan berkelebat nya sesosok tubuh
yang terbakar mencelat keluar dari kobaran api yang semakin
menggila. Begitu keluar dari kobaran api tersebut, tubuh yang terbakar itu
langsung bergulingan di atas tanah berpasir. Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran segera memburunya, Begitu mereka
sampai di depan orang yang terbakar itu. Maka
tahulah mereka bahwa orang yang dalam keadaan sekarat itu tak lain dan tak bukan Resi Narada adanya. Dengan sekali
kebut padamlah api yang membakar tubuh Resi Narada. Aki Sumendep segera membalikkan tubuh Resi Narada
yang sudah setengah matang dan nafasnya hanya
tinggal satu-satu. Dengan cepat pula dia bertanya pada Resi Narada.
"Kakang Narada.... siapa yang telah melakukan perbuatan keji ini....?" Tanya Aki Sumendep lirih. Agaknya Aki Narada walau kini
sudah tidak dapat lagi melihat karena luka bakar yang dideritanya masih dapat
mengenali suara
Aki Sumendep. Meskipun dengan sura parau dan
hampir tak terdengar, ia bicara patah-patah dan tersendat.
"Manusia.... ma.... nusia....iblis itu. Berhati...
hat....i lah kalian....!" Belum lagi Resi Narada selesai berkata-kata, nyawa
sudah terputus.
Melihat keadaan Resi Narada yang tewas secara
menggenaskan, Aki Sumendep nampak mengepal
tangannya Dia merasa sangat geram, amarahnya
meledak-ledak sampai keubun-ubun.
"Keparat setan-setan itu! Aku. Aki Sumendep tidak akan tinggal diam dan akan
kubalas sakit hati ini. Iblis....hati-hatilah kalian....!" Geramnya.
"Kakang semuanya sudah terlambat! Kita
selalu dan selalu keduluan....!" Dewi Bantaran raenyesali. Mendengar keluh kesah
adik seperguruannya, maka semakin mendidihlah darah
Aki Sumendep. Amarah menjadi-jadi. Begitu
tangannya bergerak sebuah pohon besar menjadi
sasaran kemarahannya. Satu pukulan dasyat
yang dimilikinya terlepas tanpa kontrol, akibatnya pohon tadi berderak patah,
lalu. * * * * * SEMBILAN Tanpa dapat di cegah lagi pohon itu ambruk
kebumi. Dewi Bantaran merasa kurang senang
dengan tindakan saudara seperguruannya ini.
Untuk itu dia coba memprotes: "Kakang! Mengapa kakang bersikap seperti itu! Kalau
kakang marah ya, marah....jangan membabi buta
seperti anak kecil.....!" Di tegur seperti itu oleh adiknya, Aki Sumendep nampak
terdiam, agaknya
dia merasa bersalah.
"Sudahlah kakang....masih
banyak yang harus kita kerjakan. Mayat-mayat itu sangat
membutuhkan kita. Alangkah baiknya kalau kita
segera mengubur mereka! Lihatlah sebentar lagi
senja telah tiba....!" Ujar Dewi Bantaran. Namun Aki Sumendep bagai tak
mendengar kata-kata
adiknya, dia masih saja menekuri mayat Resi
Narada. Sepasang matanya menatap hampa pada
sosok tubuh yang hangus terbakar itu. Agaknya
kejadian itu terasa sangat memukul hati Aki
Sumendep. "Kakang apa yang kau renungi lagi, ayolah....!" Ulang Dewi Bantaran. Aki Sumendep tetap terdiam! Dalam keadaan
seperti itu, tentu saja Dewi Bantaran tidak berani mengusik. Dia
cukup tahu bagaimana adat saudara seperguruannya ini. Untuk itu tanpa berbasa basi lagi
Dewi Bantaran segera melaksanakan tugasnya seorang diri.
Kuburan massal kini harus dia buat lagi.
Bahkan kini seorang diri! Demi untuk mengejar
waktu agar jangan pekerjaan menguburkan
mayat-mayat itu sampai kemalaman. Dewi Bantaran segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Setelah satu lubang
massal tergali, Dewi Bantaran dengan cekatan
pula mengumpulkan mayat-mayat murid Padepokan Bukit Penantian yang bergeletakan di
mana-mana. Sementara Aki Sumendep bagai
orang linglung masih kelihatan menekuri mayat
Resi Narada, orang yang paling dia hormati
selama ini. Tanpa menghiraukan saudara

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seprguruan yang masih tenggelam dalam kesedihan Dewi Bantaran segera
mengubur mayat-mayat yang sudah terkumpul dalam satu
lubang yang sangat besar. Sebentar saja pekerjaan itu telah selesai. Nafas gadis berumur dua puluhan itu nampak ngosngosan. Tapi dia
sudah tidak perduli, dia masih harus menggali
satu lubang. Yaitu untuk menguburkan jenazah
Resi Narada. Kini dia kembali menggali dari terus menggali, hingga kemudian
pekerjaan itu di
rasakannya sudah cukup.
Gadis itu segera menghampiri Aki Sumendep
yang masih tetap dalam keadaan semula. Lalu
digamitnya pundak saudara seperguruannya itu,
lalu dengan sangat berhati-hati : "Kakang....kita harus segera mengubur jenazah
Resi Narada! Sebentar lagi malam tiba, perjalanan kita pun
masih panjang! Kalau kakang selemah ini,
bagaimana bisa meneruskan pesan guru! Terlebih-lebih untuk menghadapi mereka kakang....!"
Dewi Bantaran menjadi sedih. Sementara itu, Aki Sumendep masih tidak
bergeming, Dewi Bantaran semakin bertambah
sedih. "Kakang.... kalau kakang tidak mau dengar
kata-kataku lagi lebih baik aku pergi saja....!"
Bagai arca Aki Sumendep tetap dengan keadaannya. Mengetahui saudara seperguruanya
tetap seperti semula, maka tahulah Dewi Bantaran, bahwa Aki Sumendep terpukul semangatnya. Tiada
cara lain untuk dapat
memulihkan keadaan saudara seperguruannya ini
terkecuali dengan sebuah kekuatan pemberian
mendiang gurunya, yaitu sebuah ilmu, "PEMBANGKIT
SEMANGAT".
Dewi Bantaran menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan
satu kali lengkingan yang sangat keras dia pun
membentak. "Kakaaaaannnngggg.....!"
Bukan main akibat dari ilmu pembangkit semangat itu. Suara Dewi
Bantaran yang melengking tinggi itu menggema di seantaro penjuru. Daun-daun yang
masih hijau berguguran, bahkan andai suara
lengkingan itu di perdengarkan pada Orang yang
sedang bunting, pasti melahirkan saat itu juga.
Demikianlah demi mendengar suara lengkingan
adik seperguruannya. Aki Sumendep tersentak,
lalu bagai orang yang baru terjaga dari tidurnya dia menatap heran pada keadaan
sekelilingnya. "Apa yang telah terjadi denganku, adi....!?"
Tanya Aki Sumendep setengah pikun.
"Tak ada apa-apa... kakang cuma tertidur
sebentar....!" Dewi Bantaran berkata lunak.
"Eh.... mayat Resi Narada! Mengapa kita
belum menguburkannya....?"
Tanyanya memprotes. "Aku baru saja hendak memulainya.....!"
Jelas Dewi Bantaran.
"Kalau begitu mari cepat kita kerjakan!
Sebentar lagi tentu akan segera malam....!" Kata-kata
Aki Sumendep yang terasa sangat menggelitik hati Dewi Bantaran ini sudah barang tentu membuatnya tak mampu untuk
menahan tawa. "Hihihi....kakang lucu! Itu makanya jangan tidur melulu! Kuburan untuk Resi
Narada telah selesai ku gali, yang lainnya pun sudah ku
kuburkan. Hanya tinggal Resi Narada saja yang
belum....!"
"Kalau begitu ini bagianku....!" Berkata begitu Aki Sumendep segera saja
membopong tubuh Resi Narada yang sudah setengah matang.
Akhirnya dengan di bantu oleh Dewi Bantaran, hanya dalam waktu yang tidak begitu lama Aki Sumendep telah menyelesaikan
tugasnya. Kedua orang itu beberapa saat lamanya nampak
menekur dekat gundukan tanah merah, mereka
tenggelam dalam kekusyukan doa, tatkala segalanya telah selesai. Saat itu malam telah tiba.
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran tidak dapat
meneruskan perjalanannya, di samping mereka
memang sangat lelah setelah melakukan perjalanan berhari-hari tiada henti-hentinya. Kiranya
mereka memang butuh waktu untuk
istirahat. Demikianlah secara bergantian mereka memejamkan mata. Di tempat itu
malam yang begitu dingin mereka lewatkan, tiada kata-kata
yang terucap, ketika pagi menjelang kedua
saudara seperguruan itu kembali meneruskan
perjalanan yaitu mengubungi sebuah Padepokan
yang cuma tinggal satu-satunya
Pada saat itu di sebuah tempat lain pada saat
yang sama nampak seorang pemuda dengan
berpakaian warna
merah menyala kelihatan sangat tergesa-gesa melompat dan menjejakan
kakinya di atas sebuah pohon. Siapakah adanya
pemuda yang berpakaian merah menyala dengan
sebuah periuk yang selalu tergantung di pundaknya ini" Dia tak lain adalah Buang
Sengketa si pendekar negeri
bunian. Tapi mengapa pula dia yang semula berniat membuat
urusan di puncak Sorik Merapi, kini malah sampai di tempat itu" Singkatnya
begini! Ketika Buang Sengketa mulai melakukan
perjalanan untuk mencapai Sorik Merapi, sesungguhnya hatinya diliputi keragu-raguan.
Entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa sangat
kasihan pada dua orang seperguruan itu. Sebab
menurut perhitungannya sesungguhnya Aki Sumendep maupun Dewi Bantaran meskipun dua
tokoh persilatan yang tidak perlu diragukan akan kemampuannya tetapi jelas tidak
mungkin untuk menghadapi si Tiga Manusia iblis dari puncak
Sorik Merapi. Yang menurut desas desus yang dia dengar sepanjang perjalanan yang
mereka lalui, kini tiga manusia-manusia iblis itu sudah memiliki kesaktian
maupun kepandaian yang sangat sempurna. Yang pasti berada beberapa tingkat di atas kepandaian yang dimiliki
oleh dua orang seprguruan itu. Pada saat itu Buang berfikir,
walau memang pada dasarnya bahwa dia tidak
pernah meragukan kemampuannya sendiri, akan
tetapi menurut hematnya alangkah lebih baik lagi jika dia ikut bergabung dengan
kedua orang itu
dan juga beberapa tokoh dari beberapa padepokan yang ada dengan begitu dia berarti
tidak usah susah payah lagi untuk menemukan
tempat di mana iblis-iblis itu berada. Begitulah dipertengahan perjalanan pemuda
ini memutar langkah. Kemudian tanpa tujuan yang pasti,
karena sesungguhnya dia tak tahu ke arah mana
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran pergi. Pemuda
melangkah kearah matahari terbit. Beberapa hari kemudian ketika pemuda itu
melintas di sebuah
daerah dia melihat api menjulang tinggi. Semula ia hanya menyangka bahwa kobaran
api itu hanyalah merupakan kebakaran biasa, akan
tetapi begitu dia mengampiri tempat kejadian,
tahulah dia bahwa di tempat itu telah terjadi
pembantaian yang sangat mengerikan. Mayatmayat bergeleletakan di mana-mana. Buang
merasa tak seorangpun di antara mereka yang
selamat. Begitu pemuda itu melihat rombongan kuda
berlalu menjauh dari tempat kejadian. Sadarlah
pemuda itu bahwa yang bertanggung jawab
dalam peristiwa mengerikan itu mungkin saja
orang-orang berkuda yang baru saja meninggalkan tempat itu. Maka tanpa

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuang-buang waktu lagi Pemuda ini segera
mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu lari
cepat yang dia miliki ternyata cukup berarti
banyak dalam melakukan usahanya ini. Maka
sebentar saja orang-orang berkuda itu talah
terlapaui, tak heran karena
Si Tua Renta Berkoreng pernah mengajarkan ajian, "SAPU
ANGIN" pada pemuda itu.
Pemuda itu kini kelihatan duduk ongkangongkang di atas pohon randu yang sedang
berbuah lebat. Dari kejauhan terdengar derap
langakah kuda, semakin lama semakin jelas.
Hanya beberapa saat kemudian mucullah rombongan berkuda ini. Jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang. Si pemuda demi
melihat jumlah mereka nampak tersenyum sinis. Nafsu amarah
yang meledak-ledak memenuhi rongga dada
Buang Sengketa. Tak lama setelah rombongan
berkuda itu mendekat, Buang Sengketa meraih
beberapa buah Randu, sekali tangannya yang
kokoh itu ber-kelebat, Bagai meteor buah Randu
itu melesat. Rombongan berkuda yang tidak mengetahui adanya serangan kilat ini berpelantingan roboh untuk kemudian tidak
bangun-bangun lagi.
Kejadian yang begitu tiba-tiba ini tentu saja
sangat mengejutkan kawan-kawan mereka yang
lainnya. "Hemmm....tikus dari mana yang berani
sekali jual lagak di depan utusan tiga datuk
iblis....?" Geram salah seorang dari mereka, lalu kiblatkan tangannya ke arah
Buang Sengketa.
Buang yang menyadari bahwa si Gemuk Pendek
berwajah hitam legam yang di sekujur tubuhnya
di tumbuhi bulu-bulu mirip seekor Gorilla, menyambitkan senjata rahasia dengan tengan dia
memapasi. Lalu hanya dengan sekali tiupan saja
menderulah angin kencang dari mulut nya,
Senjata rahasia yang dikirimkan oleh si gemuk
pendek pun runtuh dan berpentalan ke manamana, bahkan beberapa buah di antaranya
berbalik dan menyerang si empunya. Si Gemuk
Pendek sambil mencaci maki kembali kiblatan tangannya. Senjata rahasia yang berupa batang hio beracun miliknya itupun runtuh
ke bumi. * * * * * SEPULUH Buang Sengketa terkekeh begitu melihat si
Gemuk Pendek semakin bertambah marah. Kemudian dengan gerakan yang sangat ringan,
tubuh Buang Sengketa melayang turun.
"Setan gila pembawa priuk! Apa maksudmu
menghadang perjalanan kami...?" Hardik si Gemuk Pendek Muka Gorila.
"Siapa yang menghadang! Siapa pula yang di hadang....?" Buang Sengketa balik
bertanya. Hal ini membuat si Tinggi Gemuk yang berada di
sebelah si Gemuk Pendek jadi ikut marah,
kemudian dengan suara lantang segera membentak: "Bocah sialan, di tanya malah balik bertanya! Kau benar-benar ingin
segera di kirim ke liang kubur...!"
"Sebaiknya kita memang harus cepat-cepat
mengirimnya ke neraka kakang Begu untuk apa
kita membuang-buang waktu! Bukankah satu
padepokan lagi yang harus kita selesaikan...?" Si Gemuk Pendek menimpali.
Melihat pembicaraan mereka, maka kini
jelaslah sudah bahwa orang-orang ini kiranya
yang telah melakukan pembantaian di Bukit
Penantian. Wajah Pendekar dari Negeri Bunian ini mendadak berubah menjadi kelam
membesi, sepasang matanya menyorot tajam dan memandang penuh kesadisan, kemudian dengan
suara keras menggelegar dia menghardik. "Orang-orang
sesat! Kaliankah yang telah membunuh dan membakar Padepokan Bukit
Penantian..?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh
Buang Sengketa, si Tinggi Gemuk terkekeh.
Perutnya yang bundar bagai kuali yang dibalikkan itu ikut bergoyang-goyang.
"Kalau benar...
kau mau apa bocah?" Ejeknya. "Jika memang benar, kalian harus meninggalkan kepala kalian semuanya di sini!
Barulah kalian boleh berlalu dari hadapanku..."
"Weee... bocah, nyawa kawanku yang baru
kau betot saja belum kau tebus kini kau malah
minta kepala kami, apakah kupingku yang tua ini tidak salah dengar...?"
"Hem... nyawa anjing kurap begitu, mana
ada harganya di mataku...!" Buang Sengketa mendengus.
Mendapat penghinaan ini tentu saja orangorang berkuda itu sangat marah. Kemudian
dengan gerakan tanpa terduga-duga. Si Tinggi
Gemuk segera kirimkan pukulan kilat. Pukulan ini sesungguhnya tidak dapat di
anggap enteng, sebab pukulan yang diberi nama dengan, "SERIGALA TERLUKA" ini sesungguhnya merupakan sebuah pukulan yang sangat beracun
dan mematikan. Jangankan hanya
manusia, seekor gajah sekalipun bila mendapat pukulan
seperti ini sudah barang tentu akan segera
terkapar mati. Begitulah, walaupun Buang menyadari pukulan ganas itu mengarah ke
dadanya, tetapi dengan tenang dia menyambut.
"Plak, Blaaar...!"
Buang Sengketa memapakinya dengan jurus "SI HINA MENGUSIR
LALAT." Karuan saja Si Tinggi Gemuk terpental
beberapa tombak. Kenyataan ini membuat kawan-kawannya yang lain terbelalak tak percaya. Si Tinggi Gemuk adalah merupakan
murid kedua dalam asuhan si Tiga Manusia Iblis
yang selama ini mereka ketahui sebagai utusan
yang belum pernah ketemu tanding. Kenyataannya kali ini pemuda yang masih sangat
hijau dan belum mereka kenal, akan tetapi telah mampu membuat si Tinggi Gemuk
utusan Tiga Datuk Iblis itu terjatuh bahkan menyemburkan
darah segar. Sungguh tidak masuk di akal.
Si Gemuk Pendek segera melompat dari
kudanya. Dengan pandangan penuh selidik dia
membentak: "Bocah... siapakah kau" Aku masih dapat memberimu ampun asal saja kau
segera menyingkir dari hadapan kami...!"
Mendengar kata-kata Si Gemuk Pendek
kiranya si Tinggi Gemuk tak mau terima dengan
perlakuan yang baru saja dia alami. Dengan
tergesa-gesa dia menyela.
"Tidak bisa Adik pendek! Aku akan pergi dari sini setelah memenggal kepala bocah
edan ini...!"
Tukas Si Tinggi Gemuk sambil menyeka darah
yang meleleh dari celah-celah bibirnya. Melihat si Tinggi
Gemuk dan Gemuk Pendek, Buang Sengketa tergelak-gelak.
"Hei... manusia-manusia
iblis! Mengapa kalian saling cakar bagai anjing kurus berebut
tulang?" celetuk Buang. "Aku sendiri! tidak akan mengampuni kalian, jangankan
kau harap aku ingin minta ampun pada iblis-iblis seperti kalian...!"
"Jahanam! Anak-anak, cincang bocah itu...!"
perintah si Gemuk Pendek. Karuan saja, tanpa
menunggu di perintah dua kali anggota utusan
datauk-datuk sesat ini yang sejak tadi hanya
mampu memendam amarah segera berloncatan
dari kuda-kuda mereka.
Pertarungan sengit pun segera
terjadi. Pendekar dari negeri Bunian ini di kepung dari
berbagai penjuru. Segera saja suasana yang
tadinya sepi kini berubah menjadi hiruk pikuk tak karuan.
Berbagai jenis senjata nampak mengurung, membabat, menusuk, bahkan memenggal. Dalam keadaan seperti ini Buang
Sengeketa tak mau bertindak tanggung- tanggung. Sekali tangannya berkiblat, jerit kematian setinggi langit menyayat dari mulut
mereka yang menjadi korbannya.
Kini Pendekar dari Negeri Bunian ini kembali
bergebrak, kemudian tanpa
terduga-duga

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia bersalto ke udara, begitu tubuhnya yang kekar itu menukik, dengan di sertai
lengkingan yang
dahsyat, pendekar ini hantamkan telapak tangan
kanannya pada musuh-musuhnya, selarik sinar
berwarna merah membara segera saja menderu
dari tangan Buang Sengeketa. Begitu sinar tadi
mendera tubuh musuh-musuhnya. Tak ampun,
kembali jerit kemataian membahana. Lebih dari
selusin utusan manusia iblis itu berpelantingan ke berbagai penjuru, untuk
kemudian roboh ke bumi
dengan tubuh hangus dan nyawa terputus. Demi
menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan
mereka. si Gemuk Pendek dan Si Gemuk Tinggi
nampak semakin keheranan. Sungguh mereka tak
pernah menyangka kalau hari ini mereka bakal
menghadapi seorang bocah ingusan namun cukup
tangguh. "Gorila jelek... apakah aku harus membantu orang-orangmu ini sampai tiada
bersisa baru nantinya kalian berdua....?"
Teriak Buang Sengketa tanpa berpaling dari lawan-lawannya.
"Hahaha... kau jangan bangga dulu! Corocoro itu memang bukan lawanmu berpalinglah
dan hadapi kami...!"
Kepalang basah, para bawah utusan manusia
iblis itupun yang hanya tinggal beberapa orang
lagi dia sikat habis.Dengan melipat gandakan
tenaganya Buang Sengketa kirimkan satu pukulan
lagi. Tanpa ampun selarik sinar merah menyala
kembali menderu. Satu sapuan dari hawa kesaktian yang dahsyat membuat orang-orang ini
berpelantingan meregang ajal. Pendekar Bunian
ini tersenyum sinis. kemudian berpaling pada dua orang yang menjadi pimpinan
rombongan, yang
kini telah bersiap-siap dengan serangannya.
"Apa lagi yang kalian tunggu! Tikus-tikus
comberan itu telah kukirim ke neraka! Sebentar
lagi tentu kalian pun akan segera menyusul...!"
"Wueeeh... mulutmu terlalu sombong bocah!
Kau belum tahu siapa kami, tapi sayang...
kesalahan terlalu besar telah kau buat! nanti jika sudah sampai ke liang kubur
menyesal pun tiada
guna...!" Usai berkata begitu dua orang utusan
manusia iblis itu serentak meyerang ke arah si
Pendekar Bunian. Benar saja, kiranya apa yang
baru mereka gembar-gemborkan itu kiranya
bukanlah omong kosong belaka. Kombinasi jurusjurus silat mereka yang bervariasi di tambah lagi dengan kerja sama di antara
mereka yang begitu
baik, membuat Buang Sengketa tiada mempunyai
kesempatan untuk melakukan serangan-serangan
balasan. Beberapa puluh jurus telah berlangsung namun sejauh itu Pendekar Bunian
ini masih belum mampu melakukan serangan balik. Dan
ketika satu pukulan yang cukup telak yang
dilancarakan oleh Si Gemuk Pendek hampir saja
menggedor dan meremukkan dadanya. Pada saat
itulah Buang Sengketa mulai merubah jurus-jurus silatanya.
Dengan mempergunakan jurus "MEMBENDUNG
GELOMBANG MENIMBA SAMUDRA" kini perubahan besar segera terjadi.
Sepasang tangannya yang kokoh itu membentuk
sebuah perisai yang sangat sulit untuk dicari titik kelemahannya. bahkan kini
dengan gerakan yang
lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga, Buang Sengeketa melakukan serangan
balik yang sangat
mematikan. Dua orang datuk-datuk sesat ini
mulai nampak kewalahan dan keteter. Saat-saat
berikutnya orang-orang ini mulai terdesak hebat.
Menghadapi kenyataan seperti itu, si Gemuk
Pendek dan Si Gemuk Tinggi segera mencabut
senjatanya yang bentuknya sangat aneh. Senjata
si Gemuk Pendek adalah sebuah untaian mata
rantai yang sangat besar sedang di ujung mata
rantai itu terdapat bola besi berduri. Sedangkan senjata yang dimiliki oleh si
Gemuk Tinggi ini lain lagi,
Si Tinggi Gemuk ini nampak mempergunakan sebilah pedang bercabang yang
sangat putih mengkilat. Dengan senjata berada di tangan, orang-orang
ini nampak berbahaya
kembali. Dan hanya beberapa saat saja, setelah
senjata itu ada di tangan mereka Buang masih
dapat mempergunakan jurus, "MEMBENDUNG GELOMBANG MENIMBA SAMUDRA" selanjutnya Buang Sengketa mulai di buat kalang kabut.
Dengan bola rantai di tangannya yang terus
berputar mencari sasaran di Gemuk Pendek terus
mencecar, suara-suara berdentum yang di timbulkan oleh bola rantai itu bagai meruntuhkan gendang-gendang telinga.
Sementara si Gemuk
Tinggi dengan pedang bercabangnya pun tak
kalah bahayanya, mendadak Buang Sengketa
melabrak membabi buta. Walaupun jurus- jurusnya bagai tak terkendali dan tanpa suatu
perhitungan, akan tetapi sesungguhnya setiap
langkah dan geraknya bisa berakibat sangat fatal.
Demikianlah dalam waktu singkat Pendekar
Bunian ini sudah dapat menguasai keadaan.
Walaupun keadaannya telah berubah, kiranya
pendekar tampan ini agaknya menginginkan
untuk mengakhiri pertarungan itu. Terbukti beberapa saat berikutnya Buang kembali mencelat ke udara, setelah bersalto beberapa kali kini
dia sudah agak menjauh dari arena pertempuran. Dua Utusan Iblis yang menyangka
bahwa lawannya segera kabur, dengan cepat
segera memburu.
"Mau lari kemana kau bocah edan...!"
"Tinggalkan dulu kepalamu baru kau boleh
berlalu dari hadapan kami...!"
Buang nampak diam tiada bergeming, kiranya pada saat itu, Pendekar Bunian ini sedang mempersiapakan sebuah
pukulan mematikan yang diberi nama, "SI HINA DINA MERANA."
Begitu tangan pemuda itu terpentang ke atas,
sadarlah utusan datuk-datuk sesat ini bahwa
nyawa mereka dalam keadaan terancam. Buang
Sengketa rentangkannya ke depan. Selarik sinar
berwarna ungu menderu.
"Awas kakang...!" Si Gemuk Pendek mengingatkan, kiranya peringatan itu tiada
memiliki arti apa-apa. Sebab sinar ungu yang menyatu
dengan sebuah gelombang yang sangat panas itu
ternyata lebih cepat dari sekedar kata-kata Baik si Gemuk Pendek maupun si Gemuk
Tinggi sudah tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Keduanya
tunggang langgang di landa pukulan yang dilancarkan oleh Buang Sengketa. Jerit kematian membahana setinggi langit.
beberapa saat tubuh
utusan manusia-manusia
iblis itu nampak berkelonjotan. Buang dengan cepat menghampiri,
si Gemuk Pendek maupun si Gemuk Tinggi
nampak melotot seolah tak percaya dengan apa
yang sedang terjadi pada diri mereka Pendekar
Bunian itu tersenyum dingin, kemudian segera
memungut sebilah pedang yang tergeletak tidak
begitu jauh dari tempat berdiri. Kemudian
katanya: "SESUNGGUHNYA, aku tak sampai hati melihat penderitaan kalian, untuk
itu aku akan meringankannya..!" Usai berkata begitu pedang di tangannya berkelebat, maka
putuslah kedua leher utusan datuk sesat itu tanpa dapat memprotes.
Sesaat kemudian di pandanginya mayat-mayat
yang bergelimpangan itu. Setelah itu tanpa peduli dia segera berlalu dari tempat
itu. * * * * * SEBELAS Lembah Kaur yang jaraknya lebih kurang
setengah hari perjalanan berkuda
andai di tempuh dari Padepokan bukit Penantian, hanya
kelihatan bagai sebuah guliran yang memanjang
di sela-sela bukit terjal yang tiada terhitung
jumlahnya. Sore itu Buang Sengeketa telah
sampai di bibir lembah yang merupaka sebuah
jembatan penghubung untuk sampai di lembah
itu. Meskipun dia tidak tahu siapa sesungguhnya yang menghuni lembah yang sangat
sunyi itu. Akan tetapi Pendekar Bunian itu tetap mengayunkan langkahnya ke sana. Pemuda itu
tanpa mengalami kesulitan yang cukup berarti
terus menuruni lereng tebing yang curam. Malam
ini dia merasa sangat perlu untuk
dapat beristirahat yang cukup. Setelah berahari-hari
melakukan perjalanan.
Di samping mencari sekedar keterangan, dalam hati kecilnya sesungguhnya dia ingin tahu siapakah penghuni
lembah yang berkesan angker itu.
Seolah tak begitu lama Buang mengayunkan
langkah, kini sampailah pemuda itu di daerah
lembah. Dia terus melangkah menuju sebuah
pondok yang sangat sederhana. Akan tetapi
begitu dia bermaksud untuk melangkahkan kakinya ke arah halaman yang resik. Nalurinya
mengatakan ada beberapa pasang mata yang
terus mengawasi gerak geriknya, Karena pada
dasarnya ia memang membawa maksud baik, dia
tidak

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perduli dengan orang-orang yang mengintainya tak jauh dari pondok. Begitulah,
ketika pemuda itu sudah hampir di depan pintu.
Suara bentakan-bentakan pun terdengar. Lalu
bermunculan lah beberapa orang berpakaian
putih-putih. Pendekar Bunian mengurungkan niatnya, beberapa saat dengan sabar dia menanti.
Sebentar saja orang-orang ini sudah mengurungnya. "Apa saja kerjamu di lembah Kaur ini
kisanak...?" tanya salah seorang mereka yang berkumis tebal.
Melihat cara mereka bertata krama, mengertilah Pendekar Bunian ini bahwa orangorang penghuni lembah itu ternyata merupakan
orang baik-baik adanya. Maka dengan sopan pula
dia menjawab. "Namaku Buang Sengketa! Sengaja datang
dari daerah yang jauh hanya ingin bertemu
dengan sesepuh lembah ini...!"
"Kisanak. Guru kami Kyai Prambudi sedang
kedatangan tamu yang sangat penting! Rasanya
beliau masih belum bisa di ganggu....!"
Mendengar jawaban laki-laki berkumis tebal
ini wajah Pendekar Bunian memerah. Dengan
kemarahan yang tertahan pemuda ini bergumam.
"Aku juga seorang tamu! Walau tak diundang tetapi aku membawa sebuah maksud yang
baik. Apakah kalian curiga padaku..."!"
"Kisanak. Kami tak berani melanggar peraturan yang sudah di tentukan! Kalau kisanak sabar, tunggulah sampai guru
kami berkenan menemuimu...!"
Mendengar jawab orang ini yang terdengar
lembut namun menyakitkan, Buang Sengketa
menggertakkan geraham. Masih untung dalam
keadaan tegang seperti itu, terdengar suara
teguran dari dalam pondok.
"Murid Salanaya... ada tamu, perlakukan
dengan baik! Suruh dia menemuiku sekarang
juga....!"
"Maafkan aku guru...!" Setelah menjura ke dalam pondok, laki-laki berkumis tebal
yang bernama Salanaya itu kembali menoleh pada
Buang Sengketa.
"Kisanak.... guru mengijinkan kisanak untuk menemui beliau...!* ujar Salanaya
tersipu. "Terima kasih atas kemurahan anda semuanya...!"
Setelah menjura hormat, Buang Sengketa
segera melangkahkan kakinya ke arah pintu yang
sudah terbuka. Namun begitu dia sampai di dalam ruangan pondok dia agak kaget.
Karena ternyata
tamu yang dimaksud oleh orang-orang di luar
pondok adalah orang yang pernah dia kenal.
Siapa lagi kalau bukan Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran. Kedua orang ini langsung mengangguk
hormat dan nampak sangat gembira melihat
kehadiran penekar Bunian.
"Panjang umurmu saudara Buang! Kami baru
saja membicarkan dirimu...!" Buang Sengketa tersenyum di kulum.
"Ada apa denganku...?"
"Duduklah dulu, baru kemudian kita bicara
dengan baik...!" ujar Kayi Prambudi ramah.
"Terimakasih...!" Ujar Buang pula, untuk kemudian duduk saling berhadapan.
Kemudian masih dengan sesungging senyum,
Aki Sumendep menyambung lagi: "Dialah pendekar yang saya maksudkan Kakang Prambudi...?" Kyai Prambudi menganggukkan kepala.
"Hem... masih begini muda tetapi telah
memiliki kepandaian yang sangat menakjubkan...!" puji Kyai Prambudi.
"Ah. Aki Sumendep terlalu berlebih-lebihan Kyai! Tentu bila di bandingkan dengan
anda semua aku bukanlah apa-apa...!" Kilah Buang Sengketa.
"Sifatmu sungguh sangat terpuji Buang!
Sudah berilmu sangat tinggi, tapi memiliki
keluhan hati yang sangat mulia. Sungguh pada
zaman ini sangat langka sekali orang muda yang
mempunyai watak seperti engkau...!"
Dewi Bantaran yang sejak tadi hanya diam
saja, kini ikut menimpali pula.
"Kakang Prambudi benar, wataknya yang
pemalu itu! Siapa kira dia memiliki sesuatu yang sangat luar biasa...!" Ujar
Dewi Bantaran lalu melirik penuh arti. Mendapat pujian dari gadis
secantik Dewi Bantaran tentu saja membuat
wajah Buang Sengeketa memerah bagai kepiting
rebus. Untuk itu dia mencoba mengalihkan
pembicaraan. "Maaf... mungkin Aki Sumendep telah bercerita banyak tentang kekacauan yang terjadi di
mana-mana! Aku yang hanya memiliki kepandaian pasaran dengan sukarela ingin ikut
bergabung dengan kalian! Itupun kalau kalian
tidak keberatan menerima kehadiranku...!"
Mendengar penjelasan pemuda itu sudah
barang tentu Kyai Prambudi menyambut gembira.
Apalagi dia telah mendengar dari kedua sahabatnya tentang bagaimana sepak terjang
pemuda ini. Kyai Prambudi pun tersenyum.
"Tentu kami sangat menerima dengan tangan terbuka atas keputusan itu orang muda!
Akan tetapi sebelum itu maukah kau memberi
sedikit penjelasan pada
kami tentang asal usulmu...?" Tanya Kyai Prambudi tanpa suatu maksud. Untuk beberapa saat lamanya
pendekar Bunian ini terdiam, sepasang alisnya nampak
mengkerut. Akan tetapi beberapa saat kemudian
wajahnya berubah seperti biasa kembali.
"Apakah hal itu sangat perlu...?" Tanya Buang Sengketa penuh selidik.
Kyai Prambudi tertawa ramah.
"Oh, itu tidak mutlak! kami bertanya itu pun kalau
engkau merasa keberatan kami tak memaksa...!"
"Engkau tak perlu curiga Buang...!" sela Dewi Bantaran.
Pendekar Bunian itu kelihatannya menjadi
maklum. Kemudian dengan suara merendah dia
berucap: "Sesungguhnya aku paling segan untuk bercerita
tentang asal usulku,
akan tetapi selamanya aku ingin menghargai sebuah kerja
sama yang baik. Dan hal itu hanya dapat terbina apabila kita tidak saling curiga
mencurigai. Aku sangat yakin kalian tidak mempunayai maksud
seperti itu! Untuk itu aku akan mengatakan
seputar diriku sendiri!" Beberapa saat lamanya pendekar Bunian ini terdiam, akan
tetapi setelah itu dia melanjutkan kembali.
"Namaku Buang Sengketa, ayahku seorang
raja di Negeri Bunian yang kini tengah menjalani hukuman yang dibuatnya sendiri
sebagai penebus
kesalahan-kesalahan yang pemah dilakukannya.
Sedangkan ibuku sudah tiada! Sejak bayi merah
aku telah di asuh oleh seseorang yang sekaligus merupakan guruku... bersamanya
aku tinggal di sebuah daerah pantai yang bernama Tanjung
Api...!" Mendengar disebutnya Tanjung Api, Kyai
Prambudi menyela: "Tunggu dulu orang muda!
Seingatku di daerah yang bernama Tanjung Api
itu dulu ada seorang pendekar pembela kebenaran yang sangat arif bijaksana, menyepi di tempat itu. Akan, tetapi itu
sudah hampir sembilan puluh tahun yang lalu. Seingatku
pendekar itu sudah sangat tua sekali. Dan
sepanjang sejarahnya dia tak pernah mengambil
seorang murid pun. Menurut kabar burung yang
terdengar Pendekar sakti
itu bernama "SI BANGKOTAN KORENG SERIBU" dan telah mangkat lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu sebagai orang yang dibesarkan di
sana, apakah kau pernah mendengar tentang kehebatan beliau
ini atau bahkan sudah melihat kuburnya...?"
Mendengar di sebut-sebut nama gurunya
sudah barang tentu Buang Sengketa tertawa geli
di dalam hati. Akan tetapi begitu pun dia
mencoba menutupinya.
"Tentang pendekar kesohor itu aku memang
pernah dengar, tetapi melihat kuburnya itu yang belum sampai saat kini...!"
Mendapat jawaban seperti tiu, tentu saja
Kayai Prambdi merasa heran dan mengkerutkan
alisnya. Dengan masih penasaran dia bertanya
kembali. "Masa dalam daerahmu sendiri kau yang
telah hidup puluhan tahun tak pernah menyambangi kubur orang tua mulia itu" Aku
sendiri sejak dulu mengimpikan untuk dapat
sampai kesana...!"
"Kadang-kadang
kesibukan dalam hidup menyebabkan kita melupakan orang-orang di
sekeliling kita, tak terkecuali orang itu merupakan bekas orang yang paling
berjasa sekalipun...!"
Kilah Buang Sengketa.
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran mengangguk setuju,
lain lagi dengan Kyai Prambudi yang agaknya banyak tahu tentang


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar luhur itu. Sepasang matanya yang awas
itu kini nampak memperhatikan Buang Sengketa
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tatkala matanya melihat sesuatu yang
melilit di pinggang pendekar Bunian. Perhatiannya terpaku di sana.
Wajah Kyai yang telah cukup berumur itu nampak
mengkerut beberapa saat lamanya. Dan saja hal
ini sangat menarik perhatian yang lainnya.
Sedangkan Buang sendiri mendapat perlakuan
seperti itu menjadi jengah.
Begitulah, Ketika Kyai teringat senjata andalan yang pernah dia lihat waktu kecil dulu, yaitu berupa sebuah cambuk butut
yang sangat menggemparkan milik si Bangkotan Koreng
Seribu. Mendadak Kyai Prambudi terperangah dan
terbelalak tak percaya.
"Ada apa kakang Prambudi...?" Tanya Aki Sumendep memandang heran pada tingkah
Kyai Prambudi yang agak ganjil itu.
Tanpa menjawab, sebaliknya Kyai Prambudi
tertawa tergelak-gelak. Tentu saja hal ini semakin membuat heran kedua orang
kurir dari Bukit
Barisan yang telah mengenal benar bagaimana
watak Kyai Prambudi yang sepanjang hidupnya
belum pernah mengumbar tawa seperti yang
mereka lihat kali ini.
"Huahaha... hahaha... beruntung... sungguh sangat beruntung! Kiranya hari ini
menjelang usiaku yang renta ini, Sang Hyang Widi telah
mengabulkan doaku selama bertahun-tahun...!"
Serta merta Kyai tua ini membungkuk hormat
beberapa kali pada Buang Sengketa.
Perangai Kyai Prambudi yang mendadak saja
berubah aneh tentu saja membuat Buang Sengketa maupun Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran di liputi tanda tanya besar.
"Kyai... mengapa anda bertingkah seperti
ini...!" Tegur Buang Sengketa.
Sebaliknya Kyai Prambudi tanpa menghiraukan protes si pendekar Bunian kembali
tertawa terbahak-bahak.
"Hah ah a... huahaha...! Buang! Manusia
rendah hati seperti gurunya! Hari ini terimalah hormat si tua bangka ini...!"
Sambil berkata begitu, kembali Kyai Prambudi membungkuk
hormat tiga kali, Buang Sengketa semakin
bertambah heran. Dalam hati ia beranggapan
bahwa Kyai Prambudi merupakan seorang yang
mengidap menyakit jiwa. Namun begitu dia
berusaha menyadarkan Kyai Prambudi yang
agaknya sedang kambuh penyakitnya.
"Kyai... sadarlah! Aku bocah ingusan, mengapa Kyai membungkuk-bungkuk seperti itu....?"
Agaknya Kyai Prambudi kembali menya-dari
keadaannya. Sebab tiba-tiba saja dia menghentikan tawanya. Kemudian memandang
tajam pada Pendekar Bunian.
"Buang Sengketa... kali ini kau tidak dapat mungkir, bahwa kau merupakan murid
orang sakti itu! Mengakulah....?"
Mendapat pertanyaan seperti itu sudah
barang tentu Buang Sengketa menjadi kelabakan.
Bagaimana orang ini bisa tahu kalau dia merupakan murid dari "SI BANGKOTAN KORENG
SERIBU?" Mungkinkah Kyai Prambudi hanya
menduga-duga saja.
* * * * * DUA BELAS Atau adakah sesuatu yang terdapat pada
dirinya tentang gurunya" Begitupun dia masih
mencoba berkilah.
"Mungkin anda hanya salah duga saja,
Kyai....!"
Mendengar ucapan Buang Sengketa, Kyail
Prambudi berkata tegas: "Buang Sengketa! lain mungkin bisa saja untuk tidak
dapat mengenali
siapa dirimu yang sebenarnya! Akan tetapi tidak untuk diriku...!" Kemudian dia
melanjutkan. "Mungkin kau merasa heran mengapa aku
bisa mengatakan bahwa kau merupakan mmurid
dari orang yang sakti itu...!" Lagi-lagi Kyai Prambudi tergelak: "Hahahaha.....
pinggangmu, cambuk butut itu adalah merupakan senjata yang
tiada banding yang sangat
menggemparkan! Bukankan cambuk itu merupakan cambuk "GELAP
SAYUTO" milik pendekar Bangkotan Koreng
Seribu...!"
Mendengar penuturan Kyai Prambudi tentu
saja Aki Sumendep dan Dewi Bantaran menjadi
terkejut bukan kepalang.
"Buang Sengketa! Masihkah kau belum
mengakuinya...!" Ulang Kyai Prambudi. Tahulah pendekar Bunian ini kiranya cambuk
"GELAP SAYUTO" kiranya sangat dikenali oleh Kyai
Prambudi. Kini baginya tiada lagi alasan untuk
mengelak. Maka dengan rendah hati dia pun
berucap: 'Kyai ... maafkan aku! Kiranya apa yang Kyai katakan itu sesungguhnya
memang benar adanya. Aku memang murid Kakek Bangkotan
Koreng Seribu..." Ujar Buang Sengketa seadanya.
Mendengar pengakuan Buang Sengketa maka semakin terbelalaklah kedua kurir dari bukit barisan ini.
"Sesungguhnya merupakan satu kehormatan
besar! Aku hari ini orang tua yang lamur ini dapat bertemu dengan murid orang
tua yang kesohor
itu...!" Aki Sumendep kini ikut bicara.
Merasa terus dipuji-puji seperti itu pendekar
yang selalu bersikap sederhana
ini segera mengetengahi, "Sudahlah....
janganlah anda semua memujiku setinggi langit. Bukankah masih
ada yang lebih penting dan lebih patut lagi kita bicarakan
ketimbang hanya membicarakan diriku...?" Tukas Buang Sengketa.
Tetapi Kyai Prambudi masih menyela: "Tunggu dulu..!"
"Apa lagi Kyai...?" Tanya Buang Sengketa tak sabaran.
"Bagaimana
keadaan gurumu, benarkah beliau telah mangkat...?" tanya Kyai Prambudi penasaran.
Buang Sengketa tersenyum: "Berkat kemurahan Sang Hyang Widi... mudah-mudahan
sampai saat ini beliau masih dalam keadaan segar bugar....!"
"Oh... sukurlah kalau begitu. Dengan demikian berarti desas desus yang aku dengar
selama ini ternyata berita kosong belaka...!"
"Dengan adanya murid pendekar sakti itu
berati kita tak begitu sulit membasmi manusiainanusia iblis yang gila kekuasaan di puncak Sorik Merapi sana... kakang...!"
kata Aki Sumendep nampak bergembira sekali.
"Benar Adi Sumendep! Semula aku meragukan kemampuan kita... akan tetapi kini
dengan hadirnya Buang Sengketa di tengahtengah kita! Kuat dugaanku bahwa kita akan
berhasil membasmi iblis-iblis itu...!"
"Kalau begitu pendekar kita inilah yang telah menumpas habis utusan datuk-datuk
sesat tidak jauh dari Bukit Penantian....!" ujar Dewi Bantaran kembali mengerling penuh arti
pada pendekar Bunian. "Benarkah itu Buang...?"
Tanya Kyai Prambudi. Tanpa menjawab Buang Sengketa menganggukkan kepalanya.
"Mungkin kalau tidak kau dahului, mungkin
nasib perguruan ini tidak lebih baik dari nasib Padepokan Gunung Gundul atau
juga Padepokan Bukit Penantian, Buang..!" Desah Kyai Prambudi lirih.
"Anda terlalu berlebihan Kyai.. hidup dan
mati itu sesungguhnya sudah ada yang menentukan. Kalaupun perguruan ini luput itu
pun memang sudah ditentukan harus begitu...!"
"Kau memang benar Buang... seperti juga
pertemuan ini! siapa sangka hari ini kami dapat bertemu dengan murid pendekar
yang namanya telah melegenda itu! Sungguh tak seorang pun
dapat menjawab misteri kehidupan ini. Kalau
semakin direnungi rasa-rasanya manusia itu
hanya sebagian terkecil dari seluruh teka-teki
yang ada...!"
Ketiga orang itu nampak mengangguk, membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh
Kyai Prambudi. "Lalu apa rencana kita selanjutnya kakang...!" Tanya Aki Sumendep mengalihkan perhatian pada tujuan semula.
"Rencana sudah jelas! Mulai besok kita mulai susun kekuatan!" Kata Kyai
Prambudi, kemudian lanjutnya: "Aku merasa yakin si Tiga Manusia Iblis itu tentu
kini sudah menyusun kekuatan
untuk menghancurkan kita! Hal ini sudah jelas,
sebab mereka memiliki mata-mata di manamana. Pertemuan golongan putih dua pekan
didepan tentu juga sudah sampai di telinga
mereka...!"
"Apakah kita harus mendahului mereka,
kakang...?" Tanya Dewi Bantaran pula.
Kyai Prambudi melirik ke arah Buang

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sengketa. "Bagaimana pendapatmu Buang...?"
Buang Sengketa garuk-garuk kepala.
"Saya menurut saja dengan apa yang Kyai
putuskan..!"
"Eeh... tidak boleh begitu! Kita ini sedang bermusyawarah. Dalam bermusyawarah
siapapun orangnya berhak untuk mengeluarkan pendapat!
Jadi bukan berarti mentang-mentang merasa
dituakan seseorang itu sesuka hati untuk mengambil tindakan. Sekalipun orang itu merupakan keturuan dewa, tetapi tidak semua
tindakannya itu mutlak kebenarannya...!"
Mendengar alasan
Kyai Prambudi yang sesungguhnya memang benar adanya, Buang
Sengketa menjadi maklum.
Kemudian dengan sangat berhati-hati, Buang
Sengketa mulai mengutarakan pendapatnya.
"Kalau menurut hemat saya, alangkah baiknya kalau kita menyerbu ke sarang mereka.
Kita tak perlu bertindak tanggung-tanggung!
Membasmi kejahatan harus sampai ke akarakarnya...!"
"Aku setuju dengan pendapat Buang, kakang
Prambudi... " Ujar Aki Sumendep.
"Aku juga setuju, kakang...!" Tambah Dewi Bantaran.
Kyai Prambudi menarik nafas lega.
"Baiklah kalian semua sudah setuju, mungkin menjelang akhir pekan kita sudah
dapat ke sana!"
Kyai Prambudi memberi keputusan.
"Malam sudah larut! Dan tentu pula kalian
semua sudah sangat lelah. Di rumah ini masih
ada beberapa kamar yang kosong kalian bisa
menempatinya! Tapi maaf keadaannya sangat
sederhana saja..."
"Tidak apa-apa Kyai...!"
Kemudian setelah berpamitan dengan Kyai
Prambudi, berangkatlah mereka menuju kamarnya masing-masing. Suasana sepi sebentar
saja menyelimuti pondok dan juga Lembah Kaur
tempat di mana mereka berada.
Rimba belantara Sorik Merapi di siang yang
terik itu kelihatan bagai hamparan permadani
hijau yang sangat luas. Sementara Gunung sorik
Merapi yang menjulang tinggi tidak pernah
meninggalkan keangkuhannya. Jauh di tebing
jurang yang dalam dengan sebuah lembah yang
berdataran rendah bermukim lebih kurang seratus orang para murid asuhan tiga
manusia iblis. Mereka yang sedang bersiap-siap untuk memporak-porandakan pertemuan golongan putih
yang hanya tinggal beberapa hari itu, kiranya
tidak menyadari adanya bahaya yang sedang
mengancam diri mereka. Dalam jarak tidak begitu jauh dari gubuk-gubuk mereka.
Beberapa pasang
mata dengan cermat kelihatan sedang mempelajari keadaan. Siapakah orang-orang yang sedang mengadakan pengintaian ini" Tak
lain dan tak bukan adalah si pendekar Bunian, Aki Sumendep dan juga Dewi
Bantaran. Mereka-mereka inilah yang diutus oleh Kyai Prambudi
yang kini dengan pasukannya sedang menunggu
di sebuah tempat tidak begitu jauh dari sarang
iblis-iblis itu.
Setelah mempelajari situasi di tempat itu dan
merasa apa yang harus mereka kerjakan sudah
terselesaikan. Maka tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun pada pihak lawan. Maka
ketiga orang ini pun berkelebat pergi dan kembali menjumpai Kyai Prambudi.
Setelah sampai di tempat para anggotanya
yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari
enam puluh orang. Ketiga
tokoh persilatan
golongan putih itu segera
menjumpai Kyai Prambudi. "Bagaimana
kekuatan mereka...?" Tanya
Kyai berambut putih itu begitu mereka menghadap. "Jumlah mereka tak kurang dari seratus
orang kakang...!" Dewi Bantaran menjelaskan.
"Hemmm... suatu jumlah yang cukup besar...!" Gumam Kyai Prambudi.
"Tapi kami tak melihat adanya datuk-datuk
sesat itu..." sela Buang Sengketa.
"Kalau iblis-iblis itu tidak ada di tengah-tengah mereka! Pasti dia berada di
dalam goa pertapaan yang terletak di atas perumahan para
muridnya!"
"Kalau begitu aku akan ke sana
dan menghancurkan mereka...!"
"Apakah engkau tak memerlukan beberapa
orang kawan...!"
"Aku hanya butuh penunjuk jalan Kyai! Satu orang saja." kata Pendekar Bunian
mantap. "Kalau begitu aku bersedia menyertaimu
Buang...!" Ucap Dewi Bantaran menawarkan diri.
"Jangan! Tempat itu terlalu berbahaya untuk seorang
wanita! Ada baiknya kalau Dewi membantu membereskan orang-orang di bawah
lembah itu...!"
"Kurasa apa yang dikatakan oleh Buang
Sengketa itu memang benar adi Dewi. Biarlah
muridku Salanaya yang menyertai Buang Sengketa untuk sampai di goa itu secepatnya...!"
Meskipun Dewi Bantara
kecewa dengan keputusan yang diberikan oleh Kyai Prambudi tapi mau tidak mau dia harus terima
juga. Demikianlah dengan di sertai oleh Salanaya
Buang Sengketa segera mulai bergerak mendaki
tebing. Kyai Prambudi dan orang-orangnya pun
segera melakukan hal yang sama, sebent saja
mereka telah mengepung dan mulai membakar
gubuk-gubuk tempat tingga para murid Si Tiga
Manusia Iblis. Pertempuran berdarah pun tak
dapat dihindari. Suara denting beradunya senjata tajam membahana memenuhi dasar
lembah, jerit kematian terdengar di mana-mana.
Sementara itu Buang sengketa yang kini
sudah mulai masuk ke dalam pintu goa dengan
sangat hati-hati terus bergerak. Begitu dia sampai di tengah-tengah ruangan goa
yang begitu luas
dari salah satu sudut ruangan bertiuplah angin
kencang yang berhawa aneh meluruk ke arahnya.
Buang Sengketa kiblatkan tangan kanannya, lalu
dari kedua tangannya menderu pula sebuah
gelombang yang lebih besar memapasi angin
berhawa aneh yang berasal dari sudut ruangan.
Begitu angin kencang yang berasal dari sudut
sebelah barat itu sirna, dari sudut sebelah timur dan selatan tiba-tiba pula
berhembus angin
kencang yang lebih hebat lagi. Dalam keadaan
seperti itu Buang Sengketa segera memapasi-nya
dengan jurus si "HINA MENGUSIR LALAT" sinar merah segera membungkus tubuh pemuda
itu. Bagaikan sebuah perisai yang sangat kuat dan tak tergoyahkan. Namun kejadian itu
hanya beberapa saat saja dapat di pertahankan. Begitu gelombang angin yang lebih bersar
bertiup, tiba-tiba saja hembusan angin yang berbau menjijikkan itu
membuatnya sesak nafas. Tak ada pilihan lain,
Buang Sengketa segera mempergunakan jurus si
HINA DINA MERANA, sekali tangannya terpentang
ke atas ubun-ubun selarik sinar merah segera
menderu dan mengarah ke dua arah. Dua
kekuatan sakti bertemu, dinding goa seakan
runtuh. Bahkan dari ujung timur dan ujung
selatan terdengar seruan tertahan. "Hem... bukan main!"
* * * * * TIGA BELAS Bersamaan dengan suara itu, tahu-tahu di
hadapan Buang Sengketa kini telah muncul tiga
sosok manusia dengan raut wajah sangat
mengerikan. Mereka inilah ketiga manusia iblis
itu. "Bocah! Sungguh berani mati kau telah
menyantroni sarang macan Suwarna Angresta
Apakah keperluanmu hingga aku sampai kesasar
kemari...?" Tanya si Cebol Muka Harimau diiringi seringai menjijikkan.
"Aku tak perlu banyak basa basi! Keperluanku kemari hanya satu, yaitu ingin
mengirim kalian ke liang kubur...!"
"Bocah sombong kau tak tahu dengan siapa
kau berhadapan...!" Bentak si Tinggi Kurus Muka Badak murka.
Buang Sengketa tersenyum mengejek.
"Kepada manusia-manusia
iblis siapa takut..." "Keparaaaat....!"
Sambil berkata begitu Si Cebol Muka Harimau menerjang, lalu kirimkan satu pukulan
yang sangat mematikan. Menghadapi orang-orang
ini Buang Sengketa segera saja keluarkan jurusjurus yang sangat di andalkan. Demikianlah
begitu serangan yang dilancarkan si Cebol hampir mencapai sasarannya dengan
sedikit berkelit
Buang berhasil menghindari kematian. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi dia
melancarkan serangan
kilat. Tangannya yang terpentang dan sudah di
aliri tenaga dalam itu terus meluncur dan
mengarah kebatok kepala si Cebol Muka Harimau,
akan tetapi begitu ia berhasil menghindari tangan yang
hampri saja merengkahkan batok kepalanya, tanpa pernah di duga oleh si Cebol,
kaki kiri Buang menyambut, "Blaak....!"


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akibatnya si Cebol terpelanting roboh dan
muntah darah segar. akan tetapi sungguh sangat
luar biasa daya tahan si Cebol ini, sebab
walaupun dia telah muntah darah tapi dia segera bangkit
kembali dan bersiap-siap mulai menyerang. Dalam keadaan seperti itu sadarlah si Tinggi Besar Muka Tengkorak
begitu juga si Tinggi Kurus Muka Badak bahwa lawan yang mereka
hadapi tidak dapat dianggap remeh. Kejadian
barusan saja telah membuktikan pada mereka
bahwa si Cebol Muka Harimau sesungguhnya
seorang dari tiga datuk yang memiliki kepandaian hanya satu tingkat di bawah
kedua orang ini. Tapi dalam satu gebrakan saja si Cebol telah mampu
di buat jatuh oleh pemuda yang masih hijau. Si
Tinggi Besar dan Si Tinggi Kurus kini berbareng maju menyerang. Dikeroyok oleh
tiga datuk sesat demikian rupa, tentu Buang Sengketa yang masih
hijau dalam pengalaman ini kalah pengalaman.
Maka dalam waktu singkat, pendekar Bunian ini
menjadi bulan-bulanan ketiga tokoh tingkat tinggi ini. Jangankan untuk menyerang
sedangkan untuk bertahan saja dia sudah sangat kewalahan.
Begitulah satu serangan
dia elakan tetapi serangan yang lain mencecarnya. Hingga pada
satu kesempatan si tiga manusia iblis itu secara bersamaan dapat menyarangkan
satu pukulan yang mematikan.
"Blak...plak! Plak...!"
Mendapat serangan dahsyat secara berbareng seperti itu, Buang Sengketa terpelanting, tubuhnya langsung membentur
dinding goa. Andai manusia biasa mendapat pukulan seperti
itu sudah barang tentu tubuhnya menjadi remuk
dan mati saat itu juga. Mujurlah pemuda ini,
walaupun darah segar sempat belelehan di
bibirnya, biarpun perutnya seperti diaduk-aduk.
Dan sesungguhnya kepalanya terasa bagai mau
meledak namun dengan cepat dia bangkit kembali
Dengan cepat pula dia mengatur jalannya nafas,
kini hanya ada satu di dalam benaknya yaitu,
membunuh atau dibunuh. Pemuda ini meraba
pinggangnya. Sungguhpun dia menyadari masih
mempunyai banyak pukulan-pukulan ampuh yang
pasti dapat menghancurkan mereka tapi kali ini
dia tak mau mengulur-ulur waktu. Pendekar
Bunian itu ingin agar tugas yang diberikan
padanya dapat terselesaikan secepatnya. Dengan
suara menggelegar pemuda ini membentak;
"manusia iblis! Kalau kalian punya senjata yang diandalkan cabutlah! Aku Buang
Sengketa sudah tidak banyak waktu untuk berurusan dengan
kalian....!"
Si Tiga Manusia Iblis tertawa berbareng.
"Tanpa senjata saja nyawamu sudah hampir
tak tertolong... sebaliknya kalau kau punya
senjata tak berguna keluarkan semuanya, hahahah.....!"
Buang Sengketa segera cabut golok buntungnya, sinar merah menyala segera saja
memancar dari golok yang digenggamnya, hawa
dingin mulai terasa menyebar ke mana-mana.
Dengan satu lengkingan
yang dahsyat, pemuda berbaju merah dengan golok yang
memancarkan sinar merah pula dia berkelebat.
Serangan-serangan dahsyat yang sebelumnya
tiada pernah terduga oleh ketiga manusia iblis itu segera mengurung mereka.
Isyarat maut segera bergema dari berkelebatnya golok di tangan Buang Sengketa
yang menderu-deru. Demikian ketatnya serangan-serangan itu sampai-sampai tiga datuk
sesat yang punya banyak pengalaman dan
memiliki berbagai kesaktian itu tak mampu
berbuat banyak. Buang Sengketa kini terlihat
lebih meningkatkan serangannya, Si Tiga manusia iblis semakin terkurung rapat.
Begitu Buang memperoleh satu kesempatan.
"Cras...crat...crat!"
Jerit kematian pun bergema
memenuhi ruangan goa. Si Tinggi Kurus Muka Badak
terkapar dengan leher terputus. Kejadian ini
membuat Si Cebol Muka Harimau dan si Tinggi
Besar Muka Tengkorak menjadi murka. Si Tinggi
Besar Muka Tengkorak segera silangkan tangan
ke depan dada, tak begitu lama kemudian dia
pentangkan tangannya membentuk sebuah cakar
naga, dengan satu lengkingan yang mirip jeritan seekor naga yang sedang marah
dia lancarkan satu pukulan. Inilah sebuah ilmu pemberian
SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH yang di beri
nama "DARAH NAGA BERGELORA"
Sinar maut berwarna biru kehitam-hitaman
meluruk ke arah Buang dan pada saat yang sama
pula kiranya si Cebol Muka Harimau pun telah
berubah ujudnya menjadi seekor siluman harimau. Menghadapi dua bahaya yang bersamaan datangnya pendekar cepat bertindak.
Dengan satu gerakan kilat Buang Sengketa
segera kiblatkan tangan kirinya yang telah terisi pukulan "EMPAT ANASIR
KEHIDUPAN" sedangkan tangannya yang lain dengan golok terhunus
menyambut datangnya terkaman siluman harimau, maka bersamaan dengan itu, beradulah
satu kekuatan melawan dua ancaman maut.
"Cras... Blar...!"
Lagi-lagi lolongan maut membahana memenuhi ruangan goa. Siluman Harimau terpental lalu menabrak dinding goa dengan leher hampir putus. Si Tinggi Besar
Muka Tengkorak nasibnya tidak lebih baik dari saudaranya yang
lain meskipun masih hidup akan tetapi sudah
dalam keadaan sekarat. Tidak tanggung-tanggung
mengetahui musuhnya masih hidup Buang Sengketa kirimkan satu pukulan jarak jauh. Sinar Ultra Violet kembali menderu
dan melabrak tubuh si Tinggi Besar. Tewaslah ketiga gembong datuk
sesat itu di sarangnya sendiri. Buang mencabut
kakinya yang amblas sebatas lutut, kemudian
dengan memegangi dadanya yang terasa agak
nyeri dia sudah bermaksud meninggalkan tempat
itu. Namun mendadak terdengar suara Kyai
Prambudi di tempat itu "Buang membasmi
kejahatan harus sampai ke akar-akarnya, Guru
Manusia Iblis belum mati...!"
"Di manakah dia....?" Tanya Buang tak sabar.
"Di telaga kawah di dalam goa ini...!"
"Hem... kalau begitu mari kita cepat keluar!
Aku mau meruntuhkan goa ini..." Usai berkata
begitu dengan sangat
tergesa-gesa mereka segera keluar dari dalam goa. Sesampainya di
luar goa Buang segera kirimkan satu pukulan
sakti "EMPAT ANASIR KEHIDUPAN"
dengan kekuatan yang berlipat ganda. Begitu sinar
dahsyat itu menderu dan melabrak ke arah goa
dan seisinya pertapaan tiga manusia iblis itu pun runtuh dan ambruk tanpa dapat
dicegah lagi. Tanpa kata-kata Buang melangkah menuruni
tebing Sorik Merapi. Tak kala Pendekar Bunian itu sampai di lereng bukit. Sorak
kemenangan pun membahana di mana-mana. Sementara tak jauh
dari tempat itu Dewi Bantaran berlari-lari kecil menghampiri Buang Sengket.
Gadis cantik yang
sudah terlanjur jatuh cinta itu untuk beberapa
saat memeluk tubuh sang pemuda dengan penuh
kebahagiaan. Hari telah menjadi malam ketika
mereka meninggalkan tempat itu.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Senyuman Dewa Pedang 4 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Pedang 3 Dimensi 2

Cari Blog Ini