Ceritasilat Novel Online

Memburu Putri Datuk 1

Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar judul cersil bag 4 :181 si kangkung pendekar lugu182 si rase hitam183
Taruna Pendekar184 telapak emas beracun185 telapak setan186 Tengkorak Maut187
tokoh besar188 Tujuh Pedang Tiga Ruyung189 TUSUK KONDAI PUSAKA190 Pedang Ular
Merah191 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San192 Wanita Gagah Perkasa193
Lembah Patah Hati194 Bentrok Para Pendekar195 PEDANG ABADI196 Pendekar Panji
Sakti197 Kaki Tiga Menjangan198 Pendekar Gelandangan199 Pendekar Cacad200 Lembah
Tiga Malaikat201 Kekaisaran Rajawali Emas202 Senyuman Dewa Pedang203 Imbauan
Pendekar204 Pisau Terbang Li205 Rahasia Peti Wasiat206 Bara Naga207 SERULING
PERAK SEPASANG WALET208 Pendekar Satu Jurus209 Golok Yanci Pedang Pelangi210
Pendekar Kembar211 Pendekar Setia212 Tiga Mutiara Mustika213 Tangan Berbisa214
Lembah Nirmala215 Jodoh Rajawali216 Pemukiman Hantu217 Medali Wasiat218 Pedang
Hati Suci219 KUDA PUTIH220 Hina Kelana221 Golok Sakti222 Pahlawan Padang
Rumput223 Pedang Inti Es224 Raja Pedang225 Rajawali Emas226 Pendekar Buta227
Jaka Lola228 Golok Maut229 Naga Pembunuh230 Pedang Medali Naga231 Pendekar
Pemetik Harpa232 Tiga Dara Pendekar233 Mestika Burung Hong Kemala234 Kisah Si
Pedang Terbang235 Kasih Diantara Remaja236 gelang kemala237 Kisah Si Pedang
Kilat238 Pedang Kilat Membasmi Iblis239 Si Pedang Tumpul240 Asmara Si Pedang
Tumpul Seorang kakek berpakaian kulit ular yang berwajah bengis, menghentikan
semadinya. Perlahan-lahan kedua kelopak matanya dibuka. Dan begitu telah bangkit
berdiri barulah terlihat kalau kakek berwajah bengis ini bertubuh tinggi kekar.
Kakek berpakaian kulit ular ini lalu bergegas menelusuri lorong gua menuju pintu
keluar. Rupanya kakek tinggi kekar ini menghentikan semadinya karena mendengar
suara panggilan yang sangat dikenalnya dari luar gua.
"Ayah...!"
Kembali suara panggilan itu terdengar. Dan seiring dengan semakin dekatnya kakek
itu dengan mulut gua, maka panggilan itu pun semakin jelas dari sebelumnya.
Begitu kakek berwajah bengis ini telah berada di luar gua, mendadak sesosok
ramping berpakaian jingga segera menghambur ke arahnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu pelan. Suaranya
lembut, menyiratkan rasa sayang yang mendalam. Suara laki-laki ini sungguh
berlawanan sekali dengan penampilannya.
"Anu, Ayah...."
"Anu, apa" Katakanlah," desak kakek tinggi kekar itu sambil tersenyum. Tapi
karena wajahnya bengis, senyumnya lebih mirip sebuah seringai menyeram-kan.
"Aku sudah bosan berlatih ilmu-ilmu rendahan ini, Ayah!" sahut gadis berpakaian
jingga yang ternyata bernama Karmila itu ketus. Wajahnya yang cantik
memberengut, menandakan kekesalan hatinya.
"Ha ha ha...!" kakek berwajah bengis itu tertawa terbahak-bahak. "Kukira ada
apa. Lalu, maumu bagaimana, Karmila?"
"Aku ingin Ayah mengajarku ilmu andalan Ayah.
Ilmu yang telah mengangkat Ayah menjadi datuk tak terkalahkan!"
"Hah"!" seketika senyum di wajah kakek itu lenyap.
Jelas kalau ucapan putrinya membuatnya terkejut
"Mengapa Ayah terkejut?" tanya Karmila lagi.
"Bukankah wajar kalau aku ingin memiliki ilmu-ilmu yang dapat kuandalkan. Bukan
ilmu-ilmu rendahan seperti yang Ayah ajarkan selama ini."
"Tapi, Karmila...," kakek berwajah bengis itu mencoba membantah.
"Pokoknya kalau tidak diajarkan ilmu itu, aku tidak mau berlatih lagi!" potong
gadis berpakaian jingga itu ketus.
"Tapi ilmu itu adalah ilmu keji, Karmila. Sejak aku sadar kalau kelakuanku
selama ini keliru, aku telah bersumpah tidak akan menurunkan ilmu ini kepada
siapa pun! Ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', tidak cocok untukmu, Karmila."
"Aku berjanji tidak akan menggunakan ilmu itu kalau tidak terpaksa, Ayah," sahut
Karmila tidak kehilangan akal. "Pokoknya kalau Ayah tidak bersedia
mengajarkannya, aku tidak mau berlatih lagi. Untuk apa berlatih ilmu-ilmu
rendahan" Hanya buang-buang waktu saja!"
Kakek berwajah bengis yang ternyata bekas datuk sesat ini mengerutkan alisnya.
Kesal juga hatinya mendengar Karmila merendahkan ilmu-ilmu yang telah
diajarkannya. "Kau keliru, Karmila. Ilmu yang kau pelajari selama
ini bukanlah ilmu rendahan. Kau tahu, selama aku malang melintang merambah rimba
persilatan, jarang sekali aku mengeluarkan ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!
Boleh dibilang hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu selama
ini, lawan yang bagaimanapun berhasil kukalahkan."
"Tapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu itu, Ayah,"
rengek Karmila merajuk. Gadis berpakaian jingga ini tahu kalau ayahnya ini
sangat menyayanginya.
Hampir tidak ada satu pun permintaan yang ditolak ayahnya apabila dia telah
merajuk seperti itu. Maka kali ini pun Karmila kembali mempergunakan 'senjata
pamungkasnya' untuk meruntuhkan kekerasan hati ayahnya.
Beberapa saat lamanya kakek berpakaian kulit ular itu tercenung. Kemudian
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Baiklah, Karmila," sahut kakek berwajah bengis itu mengalah. Jelas sekali
terlihat kalau sebenarnya kakek itu terpaksa menuruti permintaan putrinya.
Seketika itu juga wajah Karmila berubah cerah.
"Terima kasih, Ayah. Sedari tadi, aku pun sudah yakin kalau Ayah akan
mengabulkan permintaanku,"
ucap Karmila seraya tersenyum manja.
Kakek berpakaian kulit ular itu mengurut dada.
Lega sudah hatinya begitu melihat Karmila sudah tersenyum cerah kembali. Dan
seketika itu juga rasa terpaksa di hatinya menguap entah ke mana. Hal itu memang
kerap terjadi setiap kali melihat
kegembiraan putrinya.
"Kapan Ayah akan mengajarkan ilmu itu?"
"Kapan saja kau siap, Ayah pun siap mengajarmu,"
sahut kakek berwajah bengis itu. Kini suaranya terdengar mantap.
"Bagaimana kalau sekarang saja, Ayah?"
"Kau sudah benar-benar siap?"
"Siap, Ayah," jawab Karmila mantap.
Lalu kakek berpakaian kulit ular itu pun mulai memberi petunjuk dasar-dasar ilmu
'Totokan Penghancur Tulang' pada Karmila. Sementara gadis berpakaian jingga itu
menyimaknya penuh seksama.
Cukup lama juga kakek itu memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur
Tulang' pada Karmila. Tapi beberapa kali sang Ayah terpaksa harus mengulang
keterangannya kembali bila ada yang kurang dipahami putrinya.
Baru setelah Karmila mengerti semuanya, sang Ayah meninggalkannya. Dia kembali
meneruskan semadinya. Sementara Karmila masih tekun mempelajari ilmu yang baru
didapatnya. Sejak hari itu, Karmila sibuk melatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Gadis
berpakaian jingga itu ternyata sangat tekun melatihnya. Terkadang sampai lupa
makan dan istirahat.
*** Hari masih terlalu pagi. Bahkan kabut pun masih belum terusir seluruhnya. Di
sebuah tanah lapang terlihat Karmila tengah sibuk melatih ilmu yang baru
diajarkan ayahnya.
"Hih...!"
Dengan jari-jari telunjuk mengacung ke depan sementara jari-jari tangan lainnya
terkepal, Karmila melakukan totokan bertubi-tubi ke depan. Terdengar angin
bercicitan setiap kali tangan gadis berpakaian jingga itu bergerak menyerang.
Entah sudah berapa lama gadis berpakaian jingga
ini berlatih. Yang jelas kabut telah sirna. Dan matahari telah bersinar cukup
terik ketika tubuh gadis itu melompat dan bergulingan ke depan. Lalu bergegas
bangkit seraya melancarkan totokan beruntun ke arah sebatang pohon besar yang
kokoh di hadapannya.
Crab! Crab...! Luar biasa! Jari-jari telunjuk Karmila yang lembut, amblas ke dalam batang pohon
ketika totokan-totokan gadis itu menghunjamnya.
Karmila tersenyum lebar. Hatinya cukup gembira melihat kemajuan latihannya.
Meskipun jika dibandingkan dengan kesaktian ayahnya, hasil yang dicapainya ini
belumlah seberapa, tapi gadis ini sudah cukup puas.
Plok, plok, plok...!
Suara tepuk tangan keras membuat Karmila
membalikkan tubuhnya. Dengan perasaan terkejut, mata gadis berpakaian jingga itu
berkeliling mencari asal suara tepukan. Masalahnya, di tempat ini tidak ada
orang lain selain dia dan ayahnya. Lagi pula ayahnya tak pernah bertepuk tangan
jika memujinya.
Jadi, pasti orang lain yang telah bertepuk tangan!
Keterkejutan Karmila semakin bertambah ketika melihat tiga sosok berpakaian
kuning, berdiri tidak jauh dari tempatnya berlatih. Rupanya saking asyik-nya
berlatih, dia tidak menyadari kalau ada orang yang menonton latihannya.
"Luar biasa! Sungguh tak kusangka kalau di tempat seperti ini ada bidadari
tengah menari-nari,"
ucap salah seorang dari ketiga tamu tak diundang itu.
Seorang pemuda yang cukup tampan dan berbadan lebar. Usianya sekitar tiga
puluhan. Sinar mata pemuda itu merayapi sekujur tubuh Karmila dengan
liar. "Hm...," seorang yang bertubuh agak pendek, bertubuh tegap dan berkumis jarang
bergumam tidak jelas.
"Ataukah aku salah sangka, Adi Rupangki"!" tanya pemuda berbadan lebar itu,
sambil menoleh ke arah pemuda bertubuh tinggi kurus.
"Maksudmu bagaimana, Kang Waji?" Rupangki balas bertanya.
"Heh..."!" pemuda berbadan lebar yang ternyata bernama Waji, berseru keheranan.
"Kau belum mengerti maksudku, Adi Rupangki?"
"Belum, Kang," sahut pemuda tinggi kurus bermata sipit itu seraya menggelengkan
kepalanya. "Bagaimana denganmu, Adi Jalasa" Apakah aku tidak salah kalau menyebut gadis di
depan kita adalah bidadari?" tanya Waji lagi seraya menoleh pada pemuda bertubuh
pendek, tegap, dan berkumis tipis.
Pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis tipis yang ternyata bernama Jalasa
itu hanya mengangkat bahu.
"Aku juga tidak mengerti maksudmu, Kang," jawab Jalasa.
"Aneh! Butakah mata kalian" Aku yakin kalau gadis di hadapan kita ini bukan
bidadari. Tapi iblis betina!"
jawab Waji akhirnya. Tajam dan kasar suaranya.
"Apa alasanmu, Kang?" tanya Jalasa penasaran.
"Kau tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkannya?" tukas Waji. "Apakah kau juga
lupa, Adi Rupangki" Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah yang dimainkannya
tadi adalah salah satu jurus dari ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!"
"Ahhh...!" Jalasa dan Rupangki berseru berbareng.
Kekagetan terlihat jelas pada wajah keduanya.
"Dan kalian tahu siapa pemiliknya?" sambung pemuda berbadan lebar itu lagi.
"Kalapati...," desis Jalasa dan Rupangki berbareng.
"Ya," Waji menganggukkan kepalanya. "Datuk sesat yang menggiriskan itu."
Jalasa dan Rupangki saling berpandangan
sejenak. "Kebetulan sekali!" ucap Waji tiba-tiba seraya menatap wajah Jalasa dan
Rupangki. Sementara yang ditatap hanya dapat memandang wajah pemuda berbadan
lebar itu. Wajah kedua orang itu terlihat bingung.
"Apanya yang kebetulan, Kang?" tanya Jalasa.
"Bukankah kedatangan kita kemari adalah untuk mencari datuk sesat itu?" tanya
Waji seraya menatap pemuda bertubuh pendek tegap itu.
Jalasa mengangguk. Tanpa sadar Rupangki menganggukkan kepalanya juga. Padahal
pemuda tinggi kurus ini sama sekali tidak ditanya.
"Kita culik saja gadis ini! Aku yakin gadis ini ada hubungannya dengan Kalapati
keparat itu!" usul Waji.
Sepasang alis Jalasa berkerut.
"Ingat, Kang. Guru telah berpesan agar kita tidak lagi memperpanjang urusan
dengan Kalapati. Datuk itu telah menyadari kekeliruannya. Lagi pula, dialah yang
menyelamatkan guru kita dari tangan Setan Kepala Besi," sahut pemuda bertubuh
pendek kekar itu mengingatkan.
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda menyetujui ucapan Jalasa.
"Bodoh kalian!" sergah Waji keras. "Apakah kalian juga berpikiran seperti guru"
Menganggap selesai semua urusan itu"!" tanya Waji bernada penasaran.
Jalasa dan Rupangki menganggukkan kepalanya.
Tentu saja hal ini membuat kegeraman pemuda berbadan lebar itu semakin menjadijadi. "Lalu, untuk apa kalian mengikutiku kalau bukan untuk membalas dendam pada iblis
itu"!" sentak Waji gusar.
"Kami ikut karena tidak tega melepasmu sendiri, Kang," Rupangki yang menyahuti.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita tangkap gadis itu. Dan kita paksa
Kalapati menyerah!" ucap Waji bernada memerintah.
Tapi sebelum ketiga orang ini bergerak, Karmila telah lebih dulu melompat
menghadang. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya begitu mendengar ucapanucapan Waji. "Keparat! Mulut kalian terlalu kotor. Jangan salahkan kalau aku terpaksa merobek
mulut kalian!"
bentak Karmila bernada kemarahan.
"Hm...!" Waji mendengus. "Kaulah yang akan kami tangkap sebagai balasan atas
kekejian ayahmu dulu, Perempuan Liar. Kau akan kami telanjangi dan kami perkosa
bergantian sampai mati!" ucap pemuda berbadan lebar itu keras.
Terdengar pekik melengking penuh keterkejutan dari mulut Karmila. Seketika itu
juga sepasang bola mata gadis berpakaian jingga ini berkilat-kilat penuh
kemarahan. Bukan hanya Karmila saja yang terkejut mendengar ucapan Waji. Jalasa dan
Rupangki pun terkejut mendengarnya. Serentak keduanya menatap wajah pemuda
berbadan lebar itu, dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Kang...!" seru Jalasa dan Rupangki. Ada teguran keras dalam suaranya. Wajarlah
kalau kedua pemuda
itu terkejut. Mereka adalah murid-murid perguruan beraliran putih yang kelak
diharapkan akan menjadi pendekar-pendekar pembela keadilan. Lagi pula, perbuatan
memperkosa adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang bermoral
rendah saja. "Hiyaaa...!"
Karmila tidak kuat lagi menahan kemarahannya mendengar penghinaan itu. Seketika
itu juga, gadis berpakaian jingga ini menerjang Waji. Jari-jari tangannya yang
menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati pemuda berbadan
lebar itu. Terdengar suara bercicitan nyaring mengiringi tibanya sodokan tangan Karmila.
Kaget juga Waji melihat keampuhan jurus-jurus lawan. Pemuda berbadan lebar ini
sama sekali tak menyangka kalau gadis semuda ini sudah memiliki tenaga dalam
seperti itu. Biasanya hanya tokoh-tokoh tua saja yang mampu menimbulkan angin
bercicitan dalam setiap serangannya.
Berpikir demikian, maka Waji tidak berani bertindak gegabah. Cepat-cepat kakinya
digeser ke kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri pinggangnya.
Lalu sambil melangkahkan kaki kanannya ke depan, cakar tangan kanannya
menyambar deras ke perut gadis berpakaian jingga itu.
Karmila terperanjat. Buru-buru gadis ini mendoyongkan tubuhnya ke belakang
seraya menarik pulang kedua tangannya. Dalam sekejap, kedua tangan itu sudah
berkelebat menangkis serangan yang mengancam perutnya.
Plak, plak...! Terdengar benturan keras begitu dua tangan yang
dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya Waji terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang dengan sekujur tangan terasa patah-patah. Dadanya pun dirasakan sesak
bukan main. Sementara Karmila hanya terhuyung satu langkah ke belakang.
Waji menggeram murka. Rasa penasaran yang amat sangat melandanya begitu
menyadari kalau dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian jingga itu hampir
mempecundanginya. Bagaimana Waji tidak penasaran" Dia adalah salah seorang dari
tiga murid kepala sebuah perguruan silat besar saat ini. Jalasa dan Rupangki
adalah dua orang adik seperguruannya. Kini menghadapi seorang wanita muda saja,
dia telah dibuat terhuyung-huyung dalam segebrakan. Hal itulah yang membuatnya
menjadi kalap. "Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Waji kembali menerjang Karmila. Gadis berpakaian
jingga yang memang sudah murka sejak tadi itu, langsung saja menyambutnya.
Sesaat kemudian, kedua orang itu pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit
Baru beberapa jurus bertarung, Waji sudah berkali-kali mengeluarkan seruan
kaget. Kepandaian gadis berpakaian jingga ini memang luar biasa. Tidak hanya


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam adu tenaga dalam saja Karmila lebih unggul, dalam hal kelincahan pun,
gadis berpakaian jingga itu berada di atasnya.
Waji menggertakkan gigi. Tapi meskipun pemuda berbadan lebar itu telah
mengeluarkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak merubah keadaan.
Karmila memang lebih unggul segala-galanya. Perlahan namun pasti pemuda berbadan
lebar ini mulai terdesak.
Jalasa dan Rupangki menonton jalannya pertarungan dengan penuh kekhawatiran.
Meskipun kepandaian mereka masih berada di bawah Waji, tapi keduanya dapat
melihat kalau kakak seperguruan mereka itu terdesak. Karuan saja hal ini membuat
kedua orang ini bingung. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Membantu
Waji berarti melanggar pesan guru mereka, sedangkan bila tidak membantu, kakak
seperguruan mereka akan celaka.
Sementara itu keadaan Waji semakin mengkhawatirkan. Pertarungan sudah berlangsung hampir dua puluh jurus. Dan kini
pemuda berbadan lebar itu tidak mampu lagi balas menyerang. Yang dapat
dilakukannya hanya mengelak terus. Tapi sampai kapan Waji mampu bertahan"
Mendadak pemuda berbadan lebar ini menjatuhkan diri dan terus bergulingan di tanah. Karmila yang emosinya sudah
memuncak, tidak mau membiarkan lawannya lolos. Tanpa membuang-buang waktu lagi
segera dikejarnya tubuh yang tengah bergulingan itu.
Karmila sama sekali tidak menyangka kalau semua itu sudah diperhitungkan masakmasak oleh Waji. Girang hati Waji begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
mengejarnya. Tapi Waji tidak mau bertindak gegabah. Pemuda berbadan lebar ini
tidak ingin rencananya gagal. Maka ditunggunya hingga lawan mendekat
Dan begitu Karmila telah mendekat, mendadak tangan Waji mencengkeram tanah, dan
secepat itu pula dilemparkan ke wajah Karmila.
Wuttt..! Pyarrr...! Karmila gugup bukan kepalang. Gadis berpakaian
jingga ini sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan berbuat securang itu.
Sedapat-dapatnya sambaran abu itu ditangkis dengan tangannya. Dan itulah yang
dikehendaki Waji. Begitu tertangkis, abu pun membuyar seketika. Sebagian dari
abu itu menyebar ke wajah Karmila. Kontan matanya terasa perih. Karuan saja hal
ini membuat Karmila gelagapan. Rupanya ada serpihan abu yang
memasuki matanya.
Di saat Karmila sedang gelagapan, Waji membokong gadis berpakaian jingga itu.
Kaki kanannya melakukan tendangan lurus ke arah perut.
Wuttt! Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Karmila seketika terlipat ke depan. Ada suara keluhan tertahan keluar dari
mulut mungil yang bentuknya bagus itu. Tendangan Waji telak dan keras sekali
mengenai perut Karmila.
Belum lagi gadis berpakaian jingga itu berbuat sesuatu, tangan lawan kembali
menyambar. Menyampok ke arah pelipisnya.
Walaupun sepasang matanya tidak mampu
melihat, Karmila dapat mengetahui sambaran itu dari desir angin yang menyambar
sebelum serangan itu tiba. Karmila mengetahui adanya serangan maut yang
mengancam nyawanya. Cepat-cepat tangan kirinya diangkat, melindungi pelipis.
Plak! Karmila terhuyung-huyung ke samping. Kuda-kuda gadis ini memang berada dalam
keadaan yang tidak menguntungkan. Sehingga tenaga dalamnya tidak bisa dikerahkan
seluruhnya untuk menangkis serangan itu. Walaupun begitu, setidak-tidaknya
tangkisan Karmila sudah cukup membendung
sambaran lawan.
Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Karmila. Sambil
tetap memejamkan kedua matanya, gadis itu melenting ke belakang. Lalu bersalto
beberapa kali di udara.
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung, Karmila berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Dan begitu mendarat, gadis ini berusaha keras membuka kelopak matanya.
Waji geram bukan main melihat lawan berhasil meloloskan diri dari cecarannya.
Kemarahan pemuda berbadan lebar ini memang sudah mencapai puncak-nya. Maka....
Srattt..! Seketika seberkas sinar terang terpancar, begitu Waji menghunus pedangnya. Tapi
berbeda dengan pedang umumnya, batang pedang Waji tidak kaku, melainkan lentur
dan lemas. Secepat senjatanya keluar dari sarungnya, secepat itu pula tubuhnya kembali
menerjang. Pedang lenturnya cepat dibabatkan ke leher gadis berpakaian jingga
itu. Wunggg...! Suara mengaung nyaring mengiringi tibanya sabetan pedang itu. Sehingga meskipun
belum mampu membuka matanya, Karmila dapat merasakan adanya serangan maut yang
mengancam ke arahnya. Tapi gadis berpakaian jingga ini tidak dapat menduga arah
serangan itu. Walaupun telah mengerahkan seluruh kemampuan pendengarannya, tetap
saja dia tidak mampu mengetahui arah yang dituju. Suara mendengung yang timbul
dari sambaran senjata lawan, menyulitkannya untuk mengetahui arah sasaran yang dituju.
Karmila sama sekali tidak menyadari kalau hal ini memang disengaja oleh Waji.
Pemuda berbadan lebar ini tahu kalau lawan kini hanya mengandalkan pendengaran
sebagai pengganti mata. Oleh karena itu, sengaja dimainkannya jurus pedang yang
memang khusus dimainkan untuk menghadapi orang yang hanya mengandalkan
pendengaran. Suara mengaung yang ditimbulkan gerakan pedangnya memang sengaja
untuk mengacaukan pendengaran lawan.
Wajah Karmila pucat seketika. Gadis berpakaian jingga ini segera tersadar kalau
dirinya berada dalam cengkeraman maut. Tapi putri tunggal Kalapati ini sudah
tidak tahu harus berbuat apa untuk
menyelamatkan selembar nyawanya.
Di saat kritis bagi keselamatan Karmila, melesat sesosok bayangan kekuningan.
Bayangan itu langsung memotong laju tubuh Waji yang tengah melancarkan serangan
maut. Takkk! "Akh...!"
Waji memekik tertahan. Sekujur tangannya terasa lumpuh seketika. Tanpa dapat
ditahannya lagi, pedangnya pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh.
Memang, Waji tadi sempat melihat sekelebatan bayangan kekuningan yang memapak
sabetan pedangnya. Tapi karena posisi yang sedang berada di udara, pemuda
berbadan lebar ini tidak mampu berbuat apa-apa, selain meneruskan
serangan itu. "Hup...!"
Dengan agak terhuyung, Waji menjejakkan kakinya
di tanah. Sepasang matanya menatap lurus ke arah sosok yang telah menangkis
serangannya. Pada saat yang bersamaan, sosok penolong Karmila juga telah hinggap
di tanah. *** 2 Sekitar tujuh tombak di hadapan Waji, tampak seorang kakek bertubuh tinggi
kekar. Laki-laki tua berbaju kulit ular itu berdiri membelakangi Karmila.
Sepasang matanya mencorong tajam ke arah Waji.
Sepasang mata yang tajam itu menatap pemuda berbadan lebar mulai dari kaki
hingga ke ujung rambut. Kemudian beralih ke arah Jalasa dan Rupangki. Baru
setelah itu perhatiannya dialihkan pada Karmila.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular, sambil merayapi
sekujur tubuh putrinya. Hanya dengan sekali lihat saja, kakek ini dapat
mengetahui luka-luka yang diderita putrinya.
Karmila menggeleng sambil menyunggingkan
senyum lebar di bibirnya.
"Tidak, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu seraya menatap wajah ayahnya.
Kini Karmila telah bisa membuka matanya, namun warna merah pada sepasang bola
matanya itu masih tampak jelas.
"Sukar kupercaya, kalau kau bisa dikalahkan, Karmila," desah kakek bertubuh
tinggi kekar itu. Nada suaranya mengandung ketidakpercayaan yang besar.
"Dia licik, Ayah," sergah Karmila membela diri.
Kakek berwajah bengis ini tersenyum.
"Dalam sebuah pertarungan, cara apa pun dihalalkan untuk mencapai kemenangan,
Karmila. Apalagi tokoh-tokoh aliran hitam. Mereka tidak segan-segan menggunakan cara-cara
yang paling keji untuk memperoleh kemenangan. Lain kali kau harus lebih
waspada. Jangan umbar emosimu. Kau mengerti, Karmila"!"
Karmila menganggukkan kepalanya.
"Tapi, dia telah menghinaku dan menghina Ayah.
Mulutnya kotor sekali, Ayah," ucap gadis berpakaian jingga ini memberitahu.
"Istirahatlah. Biar Ayah urus orang-orang ini," ucap kakek berpakaian kulit ular
itu. Ada tekanan pada nada suaranya. Tampaknya dia tidak menghendaki adanya
bantahan. Karmila pun mengerti. Gadis berpakaian jingga ini terpaksa melangkah
mundur. Meskipun begitu, rasa dongkolnya kepada Waji masih belum sima. Perutnya yang
tadi terkena tendangan pemuda itu masih terasa mules.
"Bukankah kau murid Perguruan Pedang Ular?"
tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil melangkah maju beberapa tindak.
"Kalau benar, kau mau apa, Kalapati!" Mau menghina lagi seperti yang kau lakukan
pada guruku dulu"!" sahut Waji. Keras dan kasar suaranya.
Seketika wajah Kalapati berubah. Sesaat
sepasang matanya mencorong menakutkan. Tapi tak lama kemudian kembali redup
seperti sediakala.
"Mulutmu kotor sekali, Anak Muda. Apa sebenarnya keinginanmu?" kakek berwajah
bengis ini masih mencoba bersabar.
"Tidak perlu berbasa-basi, Kalapati! Aku datang untuk membalas dendam atas
penghinaanmu ter-hadap guru dan perguruanku!" tandas Waji keras.
Terdengar suara menggeram dari kerongkongan Kalapati. Kakek berbaju kulit ular
itu memang marah bukan main. Kata-kata yang keluar dari mulut Wajilah yang
menjadi penyebab kemarahannya. Kalau saja tidak teringat sumpahnya untuk
meninggalkan segala
kericuhan dunia persilatan, sudah sejak tadi Kalapati menurunkan tangan maut
kepada pemuda ini. Kini terpaksa ditahan semua kemarahannya.
Waji yang tengah diamuk dendam itu segera memungut pedangnya yang tergeletak di
tanah. Lalu sambil mengeluarkan suara melengking, pemuda berbadan lebar ini
melompat menerjang. Pedangnya diputar-putar di atas kepala, sebelum ditusukkan
cepat mengarah ke leher Kalapati. Suara mengaung keras mengiringi tusukan pedang
itu. "Anak tidak tahu diri!" dengus kakek berbaju kulit ular. Dengan gerak seadanya,
tangannya diulurkan menangkap pedang yang menuju lehernya. Menilik dari
gerakannya, sepertinya kakek ini sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam.
Tappp! Luar biasa! Enak saja Kalapati mencengkeram mata pedang yang mengancam lehernya.
Sepertinya yang dicengkeram oleh kakek itu bukan sebuah pedang yang bermata
tajam. "Hm...!"
Kembali Kalapati mendengus keras. Tangan yang mencengkeram itu bergerak meremas.
Luar biasa! Terdengar suara keras berkeratakan ketika pedang itu hancur berkeping-keping.
Pucat wajah Waji melihat kejadian ini. Tapi tidak berarti pemuda berbadan lebar
ini mundur. Dengan pedang yang hanya bermata sepotong itu, tubuhnya kembali
menerjang kakek berbaju kulit ular itu.
Pedang yang matanya tinggal separuh itu dibabatkan ke leher Kalapati.
Wuttt..! Kalapati hanya tersenyum sinis. Kakek berbaju kulit ular ini tidak melakukan
gerakan apa pun. Dia
hanya berdiri mematung.
Takkk...! "Akh...!"
Waji memekik tertahan. Pedang di tangannya terpental balik! Bahkan sekujur
tangannya dirasakan lumpuh ketika menghantam leher kakek berwajah bengis itu
dengan telak dan keras.
Belum lagi pemuda berbadan lebar ini berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kanan
Kalapati sudah berkelebat ke perut Waji.
Plak! "Hugh...!"
Kelihatannya memang perlahan, tapi akibatnya luar biasa. Tubuh pemuda berbadan
lebar itu terjengkang bagai diseruduk kerbau. Perutnya dirasakan mual dan mules
bukan kepalang. Cairan merah kental meleleh dari sudut bibirnya.
Patut dipuji kekerasan hati Waji. Sambil mendekap perutnya, pemuda ini kembali
melangkah maju.
Dihampirinya kakek berbaju kulit ular itu. Sementara itu, Jalasa dan Rupangki
menatap ke arah dua orang yang tengah bertarung itu dengan perasaan tegang.
Jari-jari tangan mereka sudah mencengkeram erat-erat hulu pedang. Bersiap-siap
membantu kakak seperguruan mereka.
"Kalau tidak mengingat kau murid Gambala, dan sumpahku untuk tak lagi ikut
campur dalam keributan dunia persilatan, sudah sejak tadi nyawamu kuhabisi,"
desis Kalapati bernada peringatan.
Tapi pemuda berbadan lebar itu sama sekali tidak mempedulikan peringatan
Kalapati. Terus saja dilangkahkan kakinya mendekati Kalapati dengan pedang patah
terhunus. Melihat kenekatan Waji, kesabaran Kalapati pun
pupus. Segera tangan kanannya dikibaskan.
Kelihatannya perlahan saja, tapi akibatnya luar biasa!
Tubuh pemuda berbadan lebar itu terlempar jauh ke belakang, dan jatuh
bergulingan di tanah.
"Kang Waji...!" teriak Jalasa dan Rupangki berbareng seraya melesat menghampiri
tubuh kakak seperguruannya.
Waji merayap bangun. Dadanya terasa sesak bukan main. Tapi pemuda ini sama
sekali tidak mengalami luka dalam. Memang, meskipun berada dalam kemarahan yang
menggelegak, Kalapati masih ingat akan sumpahnya. Maka dia pun hanya
mengerahkan tenaga untuk melontarkan tubuh lawannya saja.
"Bawa dia pergi dari sini...!" seru Kalapati keras pada Jalasa dan Rupangki yang
tengah berjongkok di depan Waji.
Jalasa dan Rupangki segera membantu kakak seperguruannya berdiri. Kemudian
berjalan meninggalkan tempat itu.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya kakek berbaju kulit ular itu. Jalasa dan
Rupangki terpaksa menghentikan langkahnya.
"Terus jalan, Jalasa! Rupangki...!" seru Waji keras bernada perintah. Sepasang
matanya menatap penuh dendam pada Kalapati. Tapi kedua adik seperguruannya itu
ternyata tidak menghiraukan ucapannya.
Terbukti Jalasa dan Rupangki menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah kakek
itu. "Silakan, Kalapati," sahut Jalasa pelan. Sopan dan lembut suaranya. Pemuda
bertubuh pendek kekar ini memang merasa simpati, begitu melihat sepak terjang
kakek itu. Sementara sikap Waji telah membuatnya muak. Sikap dan tindak tanduk
kakak seperguruannya benar-benar membuatnya malu.
Apalagi ucapan-ucapannya tadi.
"Apa tujuan kalian kemari?"
"Kakang Waji mengajak kami mencarimu, Kalapati," jawab Jalasa terus terang.
"Untuk membalas dendam peristiwa lama?" desak kakek berbaju kulit ular itu lagi.
Jalasa mengangguk perlahan.
"Apakah Ki Gambala mengetahui kepergian kalian?"
"Tidak, Kalapati," sahut pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil menggelengkan
kepalanya. "Sudah kuduga," desah Kalapati pelan, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. "O
ya, sampaikan salamku pada guru kalian."
"Baik, Kalapati," sambut Jalasa seraya membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tempat itu. Pemuda pendek kekar itu dan Rupangki bersama-sama
memapah tubuh Waji.
Kalapati memandangi punggung tiga orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja masalah ini tidak berekor panjang," desah kakek
berbaju kulit ular itu penuh harap.
Setelah berkata demikian, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.
"Masuk dulu, Karmila," ucap kakek berbaju kulit ular itu. "Akan kuperiksa lukalukamu."

Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karmila segera mengikuti ayahnya yang telah lebih dulu berjalan. Perasaan tidak
puas masih ber-kecamuk di hatinya. Mengapa pemuda bernama Waji itu tidak dibunuh
saja" Mengapa harus dilepaskan"
Berbagai macam pertanyaan menggayuti benaknya.
*** Hari sudah menjelang sore. Sang surya pun perlahan mulai tenggelam ke Barat. Di
bawah sorotan sinar matahari yang mulai temaram itu tampak seorang pemuda
berbadan lebar melangkah terhuyung-huyung. Dari sudut mulutnya meleleh darah
segar. Pemuda ini menderita luka dalam!
Pemuda itu terus saja berlari walaupun dengan terhuyung-huyung. Langkahnya
semakin dipercepat, begitu sepasang matanya melihat bangunan besar di
hadapannya. Sebuah bangunan berhalaman luas yang dikelilingi pagar tinggi dari
kayu bulat. Rupanya dia tengah menuju bangunan besar itu.
Semakin lama jarak antara pemuda itu dengan bangunan besar, semakin dekat. Tapi
langkah kakinya semakin terseok-seok.
Ketika jaraknya dengan pintu gerbang bangunan besar itu tinggal sepuluh tombak
lagi, mendadak pemuda berbadan lebar ini ambruk. Dua orang penjaga berseragam
kuning yang sejak tadi menatap penuh perharJan, bergegas menghampiri. Mereka
kenal betul dengan sosok tubuh yang tengah berlari menuju ke arah bangunan.
Sosok tubuh dari kakak seperguruan mereka, Waji.
Memang, bangunan besar berhalaman luas dan berpagar kayu bulat itu adalah markas
Perguruan Pedang Ular.
Sesaat kemudian, kedua penjaga pintu gerbang itu telah berada dekat tubuh orang
berpakaian kuning yang mereka duga Waji.
"Kang Waji...! Apa yang terjadi"!" seru salah seorang di antara penjaga, begitu
mengenali kalau sosok yang tergolek itu benar Waji. Nada suaranya
menyiratkan keterkejutan mendalam. Murid Perguruan Pedang Ular ini benar-benar
terkejut melihat keadaan pemuda berbadan lebar itu.
"Bawa aku menghadap guru... aku ingin melapor-kan sesuatu...," ucap Waji tanpa
mempedulikan pertanyaan adik seperguruannya.
Tanpa banyak bertanya lagi, dua orang murid rendahan Perguruan Pedang Ular itu
segera membantu Waji berdiri. Dan kemudian memapahnya menuju ke dalam perguruan.
Suasana di dalam perguruan kontan gempar
ketika melihat dua orang penjaga pintu gerbang masuk sambil memapah tubuh Waji.
Salah seorang murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Sepanjang perjalanan menuju bangunan utama perguruan, semua murid memperhatikan
dengan kening berkerut. Dalam hati mereka bergayut pertanyaan. Apa yang terjadi"
Mengapa Waji sampai terluka"
Sementara itu kedua murid penjaga pintu gerbang, terus berjalan sambil memapah
tubuh Waji. Tak dipedulikan sama sekali pandang mata penuh keheranan rekan-rekan
mereka. Tubuh Waji baru berhenti dipapah ketika telah berada di ruang utama perguruan.
Ketiganya segera menjura hormat pada dua orang kakek yang tengah duduk di kursi
berukir. "Apa yang terjadi, Waji?" tanya salah seorang kakek yang bermata sayu. Raut
wajahnya memancarkan kesabaran. Dialah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.
"Kalapati, Guru," jawab pemuda berbadan lebar itu sambil meringis.
"Kalapati"!" kakek lain yang berhidung besar mirip
hidung kerbau berseru kaget. "Datuk sesat itu?"
"Benar, Paman Guru," sahut Waji seraya menganggukkan kepalanya.
"Keparat!" geram kakek berhidung besar itu keras.
Sepasang matanya memancarkan kemarahan yang berapi-api.
"Sabar dulu, Adi Gumarang," selak Gambala halus seraya menatap tajam wajak kakek
berhidung besar.
Suara Gambala mengandung tekanan yang tidak ingin dibantah. Gumarang terpaksa
menutup mulutnya.
"Ada apa dengan dia?" tanya Gambala. Nada suaranya masih terdengar tenang. Tidak
seperti Gumarang, yang belum apa-apa sudah kalap.
"Kalapatilah yang telah melakukan semua ini, Guru!" ucap Waji setengah
berteriak. "Apa"!" sentak Gambala terkejut bukan main.
Bahkan kakek bermata sayu ini sampai terjingkat dari kursi yang didudukinya.
"Sadarkah kau akan ucapanmu, Waji?"
Waji menganggukkan kepalanya.
"Aku sadar, Guru," sahut Waji singkat.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi, Waji" Coba ceritakan!" desak Gambala
penasaran. Pemuda berbadan lebar ini tercenung sejenak.
Baru beberapa saat kemudian mulai bercerita.
"Pagi tadi, aku, Adi Jalasa dan Adi Rupangki berjalan ke hutan. Semula kami
berniat berburu binatang. Di tengah hutan, kami bertemu dengan seorang wanita
cantik berpakaian jingga. Tapi ternyata gadis itu menyimpan maksud kotor. Kami
tidak meladeninya. Akibatnya dia marah dan menyerang kami. Melalui suatu
pertarungan sengit, kami berhasil mengalahkan gadis itu. Sungguh di luar
dugaan, kalau gadis itu ternyata putri Kalapati. Tak lama kemudian, datuk itu
muncul dan langsung marah-marah melihat putrinya kami kalahkan. Susah payah aku
memberi penjelasan, tapi tetap saja datuk sesat itu tidak mau mengerti," ucap
Waji bernada keluhan.
"Hm.... Lalu?" selak Gumarang cepat
"Akhirnya kami bertarung," sambung pemuda berbadan lebar itu. "Tapi ternyata
iblis itu terlalu lihai, Guru. Tidak sampai sepuluh jurus, Adi Jalasa dan Adi
Rupangki tewas. Sementara aku diampuni Kalapati agar mengabarkan berita ini pada
Guru." "Keparat..!" Gumarang berteriak memaki.
Wajahnya merah padam, menahan amarah yang bergelora.
Berlainan dengan Gumarang, Gambala masih
terlihat tenang. Walaupun begitu kening kakek bermata sayu ini berkerut. Jelas
ada sesuatu yang merisaukan hatinya. Sikap adik seperguruannya tidak digubrisnya
sama sekali. "Aneh...," gumam Gambala. Sepasang mata kakek ini menerawang ke langit-langit
ruangan. "Apanya yang aneh, Kang Gambala?" tanya Gumarang seraya menatap tajam wajah
kakak seperguruannya.
"Kalapati," sahut kakek bermata sayu ini setengah bergumam.
"Apa maksudmu, Kang" Aku masih belum mengerti," desak Gumarang penasaran.
"Apakah kau tidak ingat pada sumpahnya?"
Gambala balik bertanya. Nadanya mengingatkan.
"Sejak dulu aku sama sekali tidak percaya dengan sumpahnya!" tukas Gumarang
tandas. "Hm...," Gambala hanya menggumam tidak jelas.
"Kau percaya dengan sumpahnya, Kang?"
Gambala menganggukkan kepalanya.
"Mengapa, Kang" Apa alasanmu mempercayai ucapannya?" desak kakek berhidung besar
itu penasaran. "Entahlah...," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu sambil mengangkat bahunya.
"Tapi yang jelas, aku melihat kesungguhan dalam suara dan sinar matanya."
"Aaah...! Kau terlalu mengada-ada, Kang!" sergah Gumarang. "Kau lihat sendiri
kenyataannya" Dua orang murid kita dibantai! Dan bukan hanya itu saja, datuk itu
sengaja membebaskan Waji, untuk mempermalukan kita. Kalapati tidak memandang
sebelah mata pada kita, Kang. Ini penghinaan yang menyakitkan!"
"Hhh...!" Gambala hanya menghela napas panjang sebagai jawabannya. Kelihatannya
wajah kakek bermata sayu ini tenang saja. Padahal, di dalam hatinya mulai
bergolak api kemarahan yang tersulut akibat ucapan Gumarang.
"Kalau menurut pendapatku, sulit bagi seseorang untuk meninggalkan kebiasaannya.
Mungkin benar kalau semula Kalapati bermaksud meninggalkan kebiasaannya. Tapi,
sampai berapa lama dia mampu bertahan" Tapi setelah itu" Sudah pasti timbul
keinginan untuk kembali mengerjakan kebiasaannya.
Dan ini sudah pasti. Aku yakin, Kang!" sambung Gumarang berapi-api.
Gambala tercenung mendengar penjelasan
panjang lebar adik seperguruannya. Ketua Perguruan Pedang Ular ini mulai
termakan ucapan Gumarang.
Dengan sendirinya, keyakinannya kalau Kalapati telah meninggalkan dunianya,
memudar. "O ya, Guru. Masih ada satu hal yang kulupakan,"
ucap Waji lagi.
"Apa itu, Waji?" tanya Gambala ingin tahu.
Waji tidak segera menjawab, pemuda berbadan lebar itu malah termenung. Tentu
saja hal ini membuat Gambala dan Gumarang agak bingung.
"Ada apa denganmu, Waji?" tanya Gambala. Dahi kakek bermata sayu ini nampak
berkernyit. "Hhh...!" pemuda berbadan lebar itu malah menghela napas dalam.
"Katakanlah, Waji. Tidak perlu ragu-ragu," desak Gumarang pula.
"Guru tidak marah kalau kukatakan hal yang sebenarnya?" tanya Waji ragu-ragu.
"Mengapa harus marah?" sahut Gambala seraya tersenyum getir. "Katakanlah."
"Kalapati mengungkit-ungkit pertolongannya dulu.
Katanya tanpa pertolongannya, Guru dan juga Perguruan Pedang Ular sudah musnah
sejak dulu!"
Gumarang menggeram keras. Sementara Gambala hanya berdiri mematung. Tapi dari
mulut Ketua Perguruan Pedang Ular ini terdengar suara gemeretak keras. Suatu
bukti kalau kakek bermata sayu ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Benar dia berkata begitu"!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular ini menegaskan.
"Benar, Guru," sahut Waji.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Kang," sahut Gumarang.
"Maksudmu bagaimana, Adi?" tanya Gambala ingin tahu reaksi adik seperguruannya.
"Kita harus membalas penghinaan ini, Kang!"
tandas Gumarang tegas.
"Jadi...?"
"Kita harus menyerbu tempat kediamannya!" tukas
laki-laki berhidung besar itu.
"Tapi siapa yang tahu kediamannya. Sepenge-tahuanku dia tinggal di Lereng Gunung
Palanjar. Tapi aku tidak tahu tempat pastinya."
"Aku tahu tempatnya, Guru," sahut Waji cepat.
"Kau tahu"!" tanya Gambala dengan dahi berkerut Waji menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang?" sergah Gumarang. "Kita serbu saja tempat
itu!" "Baiklah. Kita ke sana besok pagi!" tandas Gambala memutuskan.
*** 3 Cicit suara burung menyambut munculnya matahari pagi. Angin pagi yang sejuk
bertiup lembut. Seorang pemuda berpakaian ungu merentangkan kedua tangannya ke
samping seraya menarik napas dalam-dalam. Menghirup udara pagi yang segar
sebanyak-banyaknya.
Pemuda berpakaian ungu itu berbuat begitu sambil terus melangkahkan kakinya.
Sesekali, angin pagi yang bertiup agak keras membuat rambutnya yang berwama
putih keperakan dan dibiarkan meriap, berkibaran. Tapi pemuda itu sama sekali
tidak mempedulikannya. Terus saja dilangkahkan kakinya seraya merentangkan
tangan lebar-lebar ke samping sambil menarik napas dalam-dalam.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan gerakannya. Dahinya
berkernyit, ketika sepasang matanya menangkap berkelebatnya
beberapa sosok tubuh. Gerakan sosok-sosok itu rata-rata gesit dan cepat. Hal
inilah yang membuat pemuda itu tertarik mengamatinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu
melayangkan pandangan ke arah sosok-sosok itu berkelebat. Seketika itu juga
sepasang matanya tertumbuk pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di kejauhan.
Sesaat lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu bimbang. Antara mengikuti sosok-sosok bayangan itu atau
membiarkannya saja. Tapi, sesaat kemudian pemuda ini mengambil keputusan untuk
mengikutinya. Perasaan ingin tahu yang besar, mendorongnya.
Terpaksa pemuda berpakaian ungu itu mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya, begitu menyadari kalau sosok-sosok bayangan yang berkelebat cepat
menuju lereng gunung itu telah berada jauh di depannya.
Ternyata pemuda berambut putih keperakan itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu
terbukti ketika jarak antara dia dengan sosok-sosok bayangan tadi mampu
diperpendeknya dalam waktu singkat.
Semakin lama jarak di antara mereka semakin bertambah dekat. Dan seiring dengan
semakin dekatnya jarak antara mereka, pemuda berambut putih keperakan itu pun
semakin bersikap hati-hati.
Dia tidak berani melakukan pengejaran secara terang-terangan. Tapi secara
sembunyi-sembunyi.
Tentu saja dengan semakin dekatnya jarak
mereka, pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihat jelas sosok-sosok
bayangan yang dikejarnya.
Mereka berjumlah lima orang. Tiga di antaranya berseragam kuning, sementara dua
orang lainnya berseragam coklat.
Kelima sosok itu terus berlari cepat mendaki Lereng Gunung Palanjar. Sesekali
kaki mereka memijak batu-batuan yang menonjol untuk melompat dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Berlari paling depan, yang sepertinya sebagai penunjuk jalan, adalah seorang
pemuda berbadan lebar. Pada bagian dada sebelah kiri pakaiannya, tersulam gambar
seekor ular melilit sebatang pedang terhunus. Pemuda ini adalah Waji. Sementara
dua orang yang berlari di belakangnya adalah Ketua dan Wakil Ketua Perguruan
Pedang Ular. Sementara di belakang kedua pimpinan Perguruan Pedang Ular, berlari dua orang
kakek berpakaian coklat. Menilik sikap dan sorot mata mereka yang tajam
berkilat, dapat diperkirakan kalau keduanya bukanlah orang sembarangan.
Memang, dua orang kakek itu adalah ketua dan wakil ketua dari sebuah perguruan
silat yang tak kalah besar dari Perguruan Pedang Ular. Kedua kakek itu adalah
pemimpin Perguruan Golok Maut
Tak lama kemudian, Waji menghentikan larinya ketika tiba di sebuah tempat yang
luas. "Itu si perempuan liar, Guru," desis Waji sambil menudingkan telunjuknya ke
depan. Sekitar sepuluh tombak dari situ, memang terlihat jelas seorang gadis cantik
jelita yang berpakaian jingga tengah berlatih silat.
Bukan hanya Gambala saja yang memperhatikan dari balik kerimbunan semak-semak,
tapi juga Gumarang dan kedua kakek pemimpin Perguruan Golok Maut
"Ah...!" Gumarang mendesah tertahan. "Bukankah itu ilmu 'Totokan Penghancur
Tulang', Kang?"
"Ya," sahut Gambala seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Perempuan itu adalah calon iblis betina yang akan mengacaukan dunia
persilatan," desis Gumarang.
Jelas ada nada kegentaran tersirat dalam suaranya.
"Hm...," Gambala hanya bergumam tidak jelas.
Sama sekali tidak disahuti ucapan adik seperguruannya itu.
"Aku tidak ingin hal itu terjadi, Kang!" tandas Wakil Ketua Perguruan Pedang
Ular itu lagi. "Maksudmu...?" tanya Gambala seraya menoleh kan kepalanya. Ditatapnya wajah
Gumarang penuh selidik. Kakek bermata sayu ini belum begitu paham maksud perkataan adik
seperguruannya ini. Tapi sedikit banyak sudah bisa diraba maksudnya.
"Perempuan itu harus dilenyapkan sebelum berhasil mewarisi seluruh ilmu ayahnya.
Terutama sekali ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' itu!"
Gambala tertegun sejenak. Wajah kakek ini menyiratkan adanya pertentangan di
dalam batinnya.
Sementara itu, kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut, hanya diam membisu.
Sepertinya mereka tidak ingin mencampuri urusan Gambala. Kepergian mereka
bersama orang-orang Perguruan Pedang Ular adalah untuk membalas dendam pada
Kalapati. Sama sekali bukan dengan putrinya.
"Apa yang dikatakan Paman Guru, tepat sekali Guru," selak Waji cepat, sebelum
Gambala sempat menjawab. "Memang kalau melihat kecantikannya kita tidak akan
percaya kalau wanita itu seorang iblis betina yang menjijikkan!"
Gambala mengerutkan alisnya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Waji?" tanya kakek bermata sayu itu. Nampak jelas
terdengar ada nada tuntutan di dalamnya.
Pemuda berbadan lebar itu menundukkan kepalanya.
"Aku... aku malu menerangkannya, Guru."
"Malu"!" sentak Gumarang dengan alis berkerut Waji menganggukkan kepalanya.
"Tidak perlu malu, Waji. Kami adalah guru-gurumu.


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katakanlah terus terang," desak Gambala lembut.
Waji menarik napas dalam-dalam dan
menghembus-kannya kuat-kuat. Sepertinya dia merasa berat untuk mengatakannya.
"Perempuan itu... perempuan cabul, Guru....
Dengan mempergunakan kepandaiannya dia bisa memaksa setiap laki-laki memenuhi
keinginan terkutuknya. Dan...."
"Cukup...!" sentak Gambala dengan wajah memerah.
Seketika Waji menghentikan ucapannya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Gumarang. Kakek berhidung besar ini juga dilanda
perasaan yang sama.
Kegeraman yang menggelora.
"Tidak ada jalan lain lagi...," sahut Gambala pelan setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Jadi...?" tanya Waji menghentikan kalimatnya.
Sebuah senyum gembira menghias bibirnya.
"Yahhh...! Sebelum dia menimbulkan banyak korban, dan sebelum dia sulit untuk
ditaklukkan...."
"Katakan saja secara langsung, Kang. Tidak usah berbelit-belit begitu!" selak
Gumarang bernada teguran.
"Tanpa kuucapkan secara jelas pun, kau dan Waji pasti sudah mengerti, Gumarang,"
jawab Gambala membela diri.
"Adi Jalasa..., Adi Rupangki..., semoga arwah kalian tenteram di alam baka. Aku
akan mempertaruhkan nyawaku untuk membalaskan kematian kalian..,"
desah Waji. Nada suaranya pelan tapi tajam, sehingga terdengar jelas oleh semua
yang ada di situ.
Ucapan Waji yang mengingatkan pada kematian Jalasa dan Rupangki, membuat
kemarahan Gumarang dan Gambala semakin bergolak.
"Mari kita serbu...!" ajak Waji seraya melangkah keluar dari kerimbunan semaksemak. Gambala dan Gumarang pun melangkah keluar. Tak lupa Gambala menarik
tangan Ketua Perguruan Golok Maut. Tapi secara halus uluran tangan itu ditolak.
"Maaf, kami hanya ingin mencari Kalapati. Kami tidak berurusan dengan gadis
itu," sahut Ketua Perguruan Golok Maut itu halus. Ketua perguruan ini adalah
seorang kakek berjenggot putih panjang sampai ke bawah dada.
"Ah, maaf...!" ucap Gambala dengan sekujur wajah merona merah.
"Tidak apa-apa...," jawab Ketua Perguruan Golok Maut itu sambil tersenyum lebar.
"O..., Kalapati?" selak Waji yang ingin buru-buru menyelesaikan urusannya. "Dia
ada di dalam sana...!"
Kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut melayangkan pandangannya ke arah
tudingan telunjuk Waji.
"Di dalam gua itu?" tanya kakek berjenggot putih setelah melihat arah yang
ditunjuk Waji. Waji menganggukkan kepalanya.
"Waktu itu dari situlah kulihat dia keluar," ucap pemuda berbadan lebar lagi.
"Kalau begitu kami ke sana dulu...!"
Setelah berkata demikian, kedua pemimpin
Perguruan Golok Maut itu melesat cepat menuju gua.
Gambala melayangkan pandangannya ke arah
gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih, kemudian beralih pada adik
seperguruannya dan Waji.
"Kau bantu Waji menghadapi perempuan liar itu, Gumarang," ucap kakek bermata
sayu ini bernada perintah.
"Baik, Kang," Gumarang menganggukkan kepalanya.
Tapi Gambala tidak sempat melihat anggukan Gumarang, karena sehabis mengucapkan
kata-kata itu tubuhnya sudah melesat menuju gua.
*** Karmila mengerutkan alisnya yang berbentuk indah, begitu melihat dua sosok tubuh
keluar dari rerimbunan pohon. Gadis berpakaian jingga ini menatap penuh
perhatian pada salah seorang dari mereka.
Dan kemarahannya pun meluap, begitu mengenalinya. Orang itu adalah pemuda yang
kemarin datang dan memakinya dengan kata-kata yang tidak senonoh.
"Keparat..! Kau lagi...!" geram Karmila begitu jarak antara dia dengan Waji yang
datang bersama Gumarang telah dekat
"Ya. Aku datang untuk menghentikan semua perbuatan cabulmu! Juga membalas dendam
atas kekejian kau dan ayahmu pada adik-adik seperguruanku!" teriak Waji keras
seraya meloloskan pedangnya.
Setelah berkata demikian, Waji melompat menerjang. Pedangnya ditusukkan cepat ke
leher Karmila. Wunggg...! Karmila hanya tersenyum sinis. Kakinya segera dilangkahkan ke kanan seraya
mendoyongkan tubuhnya. Tusukan pedang Waji mengenai tempat kosong, beberapa
jengkal di sebelah kiri pelipisnya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan gadis berpakaian jingga ini. Seraya
mengelak, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula
dibabatkan ke kaki lawannya.
Waji terperanjat kaget. Tubuhnya yang saat itu tengah berada di udara,
menyulitkannya untuk mengelak. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.
Menangkis mempergunakan pedangnya, sudah tidak keburu lagi. Pucat wajah pemuda
berbadan lebar ini seketika. Rasa sakit hati pada gadis itu membuatnya kurang
waspada. Padahal sebelumnya dia sudah tahu kalau Karmila memiliki kepandaian di
atasnya. Untung saja pemuda berbadan lebar ini
menemukan jalan keluar. Segera dicabut sarung pedangnya, dan dibabatkan
menangkis sambaran pedang yang mengarah ke kakinya.
Trang...! Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul dengan hancurnya sarung pedang
Waji. Pedang Karmila adalah sebatang pedang pusaka. Apalagi dibabatkan dengan
pengerahan tenaga dalam yang jelas-jelas berada di atas tenaga dalam Waji.
Sehingga tak mengherankan kalau sarung pedang Waji hancur berantakan.
"Hih...!"
Dengan mengandalkan dorongan tenaga benturan tadi, Waji melentingkan tubuhnya.
Bersalto beberapa kali di udara kemudian hinggap ringan tanpa suara di tanah.
"Hhh...!"
Pemuda berbadan lebar ini menghela napas lega.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya. Tapi sorot matanya
memancarkan kelega-an hati. Nyawanya berhasil diselamatkan. Walaupun untuk itu,
sarung pedangnya terpaksa hancur berantakan.
Karmila yang memang merasa geram pada
pemuda berbadan lebar di hadapannya ini, tak mau memberi kesempatan. Baru saja
Waji mendarat, gadis berpakaian jingga itu telah menyusulinya dengan tusukan ke
arah dada. Serangannya aneh
sekali, dan selalu membuat Waji kebingungan.
Memang gadis berpakaian jingga ini selalu membuka serangannya dengan terlebih
dulu memutar pedangnya membentuk lingkaran. Terkadang lingkaran yang dibuatnya besar.
Tapi tak jarang pula kecil. Baru setelah membuat lingkaran, pedangnya menyambar
cepat. Entah itu menusuk ataupun membabat.
"Ah...!"
Waji memekik kaget. Buru-buru dibantingkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan
menjauh. Kembali serangan Karmila mengenai tempat kosong.
"Hiyaaa...!"
Gadis berpakaian jingga itu kembali memekik nyaring, seraya memburu tubuh Waji
yang bergulingan. Pedangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh
pemuda berbadan lebar itu.
Kini Waji kalap. Tidak ada jalan lain baginya untuk mengelakkan serangan itu
selain bergulingan. Tapi, Karmila yang sudah berada dalam posisi mendesak, mana
mau membiarkan lawannya lolos. Tubuh yang bergulingan itu terus dikejarnya. Kini
terjadilah sebuah pertarungan yang menarik. Yang seorang berusaha menyarangkan
pedangnya, sementara yang lain bergulingan mengelak.
Gumarang memperhartikan pertarungan di depan matanya dengan alis berkerut.
Dibiarkan saja Waji menghadapi putri Kalapati itu. Baru setelah pemuda itu
benar-benar terancam bahaya maut, dia akan turun tangan. Walau bagaimana pun
juga, Gumarang tidak mau mempertaruhkan nama sebagai seorang tokoh angkatan tua,
dan juga seorang Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular, dia merasa malu untuk turun
tangan menghadapi seorang gadis muda belia seperti
Karmila. *** Sementara itu, dua orang pemimpin Perguruan Golok Maut telah mulai mendekati
mulut gua. Sikap kedua orang itu begitu berhati-hati sekali. Memang
sebenarnyalah kalau kedua orang itu amat berhati-hati sekali. Karena keduanya
tahu siapa itu Kalapati.
Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.
Tapi belum lagi kedua kaki mereka memasuki mulut gua, terdengar teguran halus
dari dalam. Perlahan saja kedengarannya. Tapi berakibat hebat bagi kedua tokoh Perguruan
Golok Maut itu. Tubuh keduanya sampai terjingkat ke belakang. Tanpa sadar mereka
menahan langkah.
"Apa yang kalian cari?"
Dan belum juga hilang gema teguran itu, tahu-tahu melesat sesosok bayangan yang
bergerak cepat keluar gua. Dua orang pemimpin Perguruan Golok Maut itu tentu
saja terkejut bukan main. Segera keduanya melentingkan tubuhnya ke belakang.
Lalu bersalto beberapa kali di udara. Dan....
"Hup...!"
Hampir bersamaan kedua kakek sakti itu mendaratkan kakinya di tanah. Dan
langsung memandang ke depan. Sikap kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu
nampak waspada.
Di hadapan mereka kini telah berdiri seorang kakek berwajah bengis berpakaian
kulit ular. Tubuhnya tinggi dan kekar.
"Kalapati...," desis kakek berjenggot panjang.
Kakek ini tak lain adalah Ketua Perguruan Golok
Maut "Hm..., kalian rupanya! Bukankah kalian dari Perguruan Golok Maut?" tanya
Kalapati begitu mengenali kedua kakek ini. Nada suaranya terdengar tenang.
Begitu pula raut wajahnya. Tidak seperti kedua orang pemimpin Perguruan Golok
Maut yang terlihat tegang.
"Tidak salah!" sahut kakek yang bermuka putih seperti dikapur. Inilah Wakil
Ketua Perguruan Golok Maut.
"Boleh kutahu maksud kalian datang kemari?"
tanya Kalapati, masih terdengar lembut suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Kalapati!" sentak kakek berjenggot panjang.
"Apa maksud kalian?" sepasang mata kakek berpakaian kulit ular mulai berkilat.
Jelas kalau kakek ini tengah dilanda amarah. Ucapan Ketua Perguruan Golok Maut
itulah yang menyebabkannya.
"Kami datang untuk membalas dendam atas penghinaanmu pada Perguruan Golok Maut!"
sahut kakek berjenggot panjang.
"Aneh...," sahut Kalapati sambil tersenyum mengejek. "Bukankah aku telah meminta
maaf pada ketua kalian, si Golok Emas" Dan dia telah memaafkanku dan menganggap
Pedang Sinar Emas 7 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Para Ksatria Penjaga Majapahit 6

Cari Blog Ini