Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Bagian 2
Sudah tidak terhitung, binatang-binatang yang telah ditembus anak panahnya.
Dan kini kakek berpakaian putih ini terpaksa menggunakan senjata andalan itu
untuk menyelamatkan putri tunggalnya.
Dan secepat busur itu terpegang, secepat itu pula anak panahnya diselipkan. Tak
tanggung- tanggung, tiga batang sekaligus dipasangnya.
Twanggg...! Terdengar suara berdentang keras begitu anak-anak panah terlepas dari busurnya
dan meluncur cepat ke arah Satrana dan Patila yang telah berlari ke belakang.
Satrana dan Patila terkejut bukan main mendengar suara keras itu. Cepat mereka
menoleh ke belakang, dan kontan memucat begitu melihat tiga batang anak panah
tengah meluncur cepat ke arah mereka.
Tidak ada pilihan lagi bagi Patila dan Satrana! Maka mereka pun segera melempar
tubuh ke samping. Satrana ke samping kanan, sedangkan Patila ke samping kiri.
Lalu tubuh mereka bergulingan sekali di lantai.
Cappp, cappp...!
Tiga batang anak panah itu menancap di daun pintu belakang ketika kedua sasaran
yang ditujunya berhasil meloloskan diri.
Tindakan Ki Wanara tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya
berhasil dielakkan, segera dipasangnya kembali anak panah lain pada busurnya.
Dan.... Twanggg...! Twanggg...!
Secepat anak panah pertama menyambar ke arah Satrana, secepat itu pula
dipasangkan lagi anak panah lain dan langsung dijepretkan ke arah Patila. Kedua
serangan itu berlangsung dalam sekejap saja. Dari pertunjukan ini saja, sudah
bisa diperkirakan kelihaian kakek berpakaian putih ini memainkan panah.
Kini Patila dan Satrana repot pontang-panting menyelamatkan diri. Baru saja
mereka bangkit, kembali serangan anak panah itu meluncur tiba. Maka kedua orang
murid Perguruan Belut Putih itu cepat menggulingkan tubuhnya kembali. Dan bukan
itu saja yang dilakukan mereka. Sambil bergulingan, dilancarkannya serangan
balasan. Berupa pisau-pisau terbang ke arah Ki Wanara.
Singgg, singgg...!
Seiring berhasil dielakkannya serangan kedua anak panah itu, serangan pisaupisau terbang Patila dan Satrana meluncur ke arah kakek berpakaian putih.
Ki Wanara terperanjat melihat serangan balasan yang tak terduga-duga itu. Cepat
dia berusaha mengelak. Tapi....
Cappp, cappp...!
"Akh...!"
Ki Wanara memekik tertahan ketika dua bilah pisau terbang yang dilepaskan murid
Perguruan Belut Putih itu berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mendarat di
pangkal lengan kanan, sedangkan yang satu lagi menghunjam di paha kiri. Tak
pelak lagi, tubuh kakek berpakaian putih ini terguling roboh.
Patila dan Satrana sama sekali tidak mempedulikan Ki Wanara lagi. Begitu tubuh
kakek berpakaian putih itu tampak terguling, mereka bergegas bangkit dan berlari
ke belakang melakukan pengejaran terhadap Galuh.
5 Brakkk..! Daun pintu itu hancur berkeping-keping ketika tangan Satrana menghajarnya. Dan
begitu pintu terkuak, tubuh kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu segera
melesat keluar.
"Itu dia...!" seru Patila sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke depan.
Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Satrana sudah melihatnya pula. Walaupun jarak
wanita berpakaian biru langit itu telah berada sekitar dua puluh lima tombak di
depan, tapi karena medan yang ditempuh berupa sebuah lapangan luas tanpa ada
penghalang, membuat gadis itu tetap terlihat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Satrana dan Patila segera bergerak mengejar.
Sesaat kemudian, kejar-mengejar pun tidak bisa dihindari.
Dan memang, hasil akhir kejar-kejaran ini sudah bisa ditebak. Yang dikejar
hanyalah seorang wanita, sementara kedua orang pengejarnya adalah laki-laki
kuat. Tambahan lagi, Galuh adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak pernah
berlatih ilmu silat. Sementara kedua pengejarnya memiliki kepandaian lumayan,
dan juga memiliki ilmu meringankan tubuh. Maka tak aneh, bila dalam waktu sebentar saja
jarak mereka semakin bertambah dekat.
Galuh berlari dengan perasaan bingung.
Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, untuk melihat pengejarnya. Dan
kebingungan-nya semakin bertambah tatkala jarak kedua pengejarnya semakin
bertambah dekat saja.
Sebenarnya kalau saja keadaan biasa, tak mungkin gadis seperti Galuh akan
sanggup berlari sejauh itu. Tapi karena perasaan takut yang mendera, gadis itu
seperti mendapat tenaga tambahan saja. Tapi tetap saja, bantuan tenaga itu tetap
tidak berarti apa-apa bila dibanding tenaga Satrana dan Patila.
Kini jarak antara Galuh dan kedua orang pengejarnya tidak sampai lima tombak
lagi. Kalau saja kedua orang itu bermaksud mencelakai, sudah sejak tadi gadis
berpakaian biru langit ini menggeletak di tanah. Tapi karena telah mendapat
pesan keras dari sang Ketua, sehingga mereka tidak berani bertindak lancang.
Napas Galuh sudah hampir putus ketika melihat kerimbunan semak-semak di
hadapannya. "Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi, Cah Ayu?"
Satrana yang yakin kalau sebentar lagi akan mampu menangkap gadis berpakaian
biru langit itu berseru mengejek walaupun dengan napas agak terengah. Jarak
antara mereka memang
paling jauh tinggal tiga tombak lagi.
Mendengar ucapan itu, Galuh semakin bingung sehingga tidak melihat adanya akar
pohon yang menyembul ke tanah.
Tukkk! "Aaaw...!"
Seiring pekikan kagetnya, tubuh Galuh terjerembab. Suara berdebuk keras
terdengar ketika tubuh gadis itu menghantam tanah.
Menilik dari seringai pada mulutnya, bisa diperkirakan kalau dia merasa sakit.
Tapi karena perasaan takut yang amat sangat terhadap dua orang murid Perguruan
Belut Putin, membuatnya tidak mempedulikan perasaan sakit itu. Cepat Galuh
bergerak bangkit. Tapi baru juga hendak berdiri, di hadapannya telah berdiri dua
orang pengejarnya sambil tersenyum-senyum memuakkan.
Wajah Galuh pucat seketika. Tapi meskipun demikian dia tidak putus asa. Segera
tubuhnya berbalik dan berlari ke arah berlawanan dengan arah yang ditempuhnya
semula. "Ha ha ha...! Betina liar itu ternyata bandel juga, Satrana...!" seru Patila
pada Satrana. Sementara laki-laki berjenggot pendek itu hanya mengeluarkan suara tawa bergelak
saja sambil menggerakkan kaki. Dan sesaat kemudian, dia telah berada di depan
Galuh. Galuh semakin ketakutan begitu di
hadapannya telah berdiri Satrana. Dengan rasa takut yang membayang jelas di
wajahnya, tubuhnya berbalik dan berlari ke arah semula.
Tapi langkahnya langsung terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh
Patila. Kini Galuh tidak bisa ke mana-mana lagi. Di hadapannya sudah berdiri Patila.
Sementara di belakangnya menghadang Satrana. Yang dapat dilakukannya kini hanya
menggerakkan sepasang matanya ke kanan dan ke kiri mencari jalan untuk melarikan
diri. Satrana dan Patila tertawa terkekeh-kekeh seraya melangkah menghampiri. Sudah
dapat dipastikan kalau gadis berpakaian biru langit itu akhrirnya akan
tertangkap oleh kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu. Tapi....
"Baru kali ini kutemui ada dua orang lelaki perkasa tanpa tahu malu mengeroyok
seorang wanita lemah...!"
Pelan saja terdengar suara itu, tapi karena suasana yang cukup hening, sehingga
terdengar jelas. Tentu saja ucapan yang sudah jelas-jelas sindiran itu membuat
Satrana dan Patila mengalihkan pandangan ke arah asal suara.
Seketika wajah mereka merah padam menahan geram. Keduanya tahu kalau ucapan itu
ditujukan kepada mereka.
Di sebelah kanan Galuh dalam jarak sekitar empat tombak, nampak berdiri seorang
pemuda berwajah tampan. Pakaian yang berwarna hitam nampak membungkus tubuhnya
yang tegap, kekar, dan berotot. Hanya sayangnya, wajah yang terlihat tampan itu
mempunyai kulit yang begitu pucat. Sepertinya, pemuda itu sudah
lama tidak terkena sinar matahari.
"Keparat..!" maki Satrana keras seraya menatap laki-laki berwajah pucat itu
dengan pandangan mata beringas. Jelas kalau laki-laki berjenggot pendek ini
merasa tersinggung bukan main mendengar sindiran itu. "Siapa kau, Kambing Sakit!
Berani betul menghina kami!
Tidak tahukah kau, siapa kami"!"
Laki-laki berwajah pucat itu tersenyum getir.
Sama sekali wajahnya yang pucat itu tidak menampakkan perubahan, sekalipun
mendapat sambutan yang begitu kasar.
"Aku Raksagala. Dan sama sekali tidak bermaksud menghina kalian! Aku hanya
mengatakan yang sebenarnya. Dari tanda yang tertera di dada kiri kalian, sudah
bisa ku-perkirakan kalau kalian murid-murid Perguruan Belut Putih," sahut lakilaki berwajah pucat yang ternyata Raksagala. Pemuda itu adalah pelarian dari
Istana Hantu. Pucatnya wajah pemuda ini memang karena jarang terkena sinar
matahari. Tidak tampak adanya benda bersinar di lehernya. Memang, pemuda itu
telah menaruhnya dalam buntalan kain dan menyimpannya di punggung.
"Kalau sudah tahu siapa kami, lantas mengapa tidak lekas menyingkir pergi"!"
sahut Patila cepat memberi kesempatan.
Hal ini bukan karena Patila bersikap murah hati. Tapi karena laki-laki berbibir
sumbing ini melihat adanya sesuatu yang mengerikan pada laki-laki berwajah pucat
itu. Entah karena
wajahnya, penampilannya, atau karena sorot matanya. Yang jelas, Patila tidak
tahu dan merasa ngeri.
Perasaan itu tidak hanya dialami Patila saja, tapi juga oleh Satrana dan Galuh!
Itulah sebabnya, Satrana yang biasanya beringas dan tidak kenal ampun, tadi
hanya mengeluarkan kata-kata kasar! Biasanya bila perbuatannya sedikit
dirintangi orang, laki-laki berjenggot pendek ini langsung main pukul.
"Justru karena tahu kalau kalian adalah murid Perguruan Belut Putih, maka aku
jadi lebih berkewajiban untuk campur tangan!"
tandas Raksagala.
"Apa maksudmu?" tanya Satrana seraya mengerutkan kening. Ucapan laki-laki
berwajah pucat itu membuatnya penasaran juga.
"Aku telah mendapat wewenang penuh untuk menindak tegas setiap murid Perguruan
Belut Putih yang menyeleweng!" tegas Raksagala.
"Ha ha ha...!"
Seperti sepakat saja, Satrana dan Patila tertawa berbareng karena tak kuasa
menahan rasa geli yang nelanda begitu mendengar penegasan Raksagala. Tidak
salahkah pen-dengaran mereka" Laki-laki berwajah pucat itu mengatakan telah
mendapat wewenang penuh"
Dari siapa" Sedangkan mereka berdua melakukan setiap tindakan ini atas perintah
ketua mereka yang bernama Kalasura. Dialah pimpinan tertinggi Perguruan Belut
Putih. Lalu sekarang, Raksagala mendapat wewenang penuh dari siapa"
Kini rasa jerih mereka pun sirna. Raksagala ternyata bukan orang waras. Begitu
kesimpulan mereka. Laki-laki berwajah pucat itu adalah seorang yang tidak patut
ditakuti. "Kalau begitu, mampuslah kau...!"
Sambil berkata demikian, Satrana melancarkan serangan ke arah Raksagala. Lakilaki berjenggot pendek ini memang berwatak telengas. Maka tidak aneh, sekali
melancarkan serangan seluruh tenaga dalamnya langsung dikerahkan. Bukan itu
saja. Serangan yang dituju pun begitu mematikan.
Satrana membuka serangan dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah leher. Dari
angin yang berkesiut cukup nyaring. bisa diduga kalau laki-laki berjenggot
pendek ini memiliki tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserang Satrana kali ini bukan orang sembarangan. Dia adalah
Raksagala, murid terkasih Sawungrana, dedengkot Perguruan Belut Putih waktu itu.
Maka, tentu saja serangan seperti itu sama sekali tidak berarti apa-apa buat
laki-laki berwajah pucat ini. Sekali lihat saja, Raksagala sudah bisa mengetahui
kalau jurus yang dipakai Satrana bukan jurus khas ilmu Perguruan Belut Putih.
Jadi, bisa diperkirakan kalau laki-laki berjenggot pendek ini bukan murid
pilihan. Dia kenal betul gerakan itu. Juga, ke mana lanjutan serangannya, dan
bagaimana cara singkat
mematahkannya. "Hm...," Raksagala menggumam pelan Enak saja kaki kanannya melangkah ke
belakang. Tidak hanya itu saja. Bersamaan kakinya ditarik mundur, tangan
kanannya bergerak menangkap. Dan....
Tappp...! Satrana terpekik kaget begitu dalam segebrakan saja tangannya sudah tertangkap
lawan. Bahkan bukan hanya dia saja yang terkejut, rekannya pun terkejut bukan
main melihat hal ini. Sedemikian saktikah laki-laki berwajah pucat itu"
Bermacam-macam dugaan mulai tumbuh di hatinya, sampai-sampai Galuh yang bergerak
menjauh tidak dipedulikannya.
*** Semula Satrana terperanjat mengalami kejadian yang sama sekali tidak disangkasangka itu. Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Karena dia kini sudah
melancarkan serangan susulan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah dada
Raksagala. Wuttt..!
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Raksagala sama sekali tidak menghindar.
Sambil terus memengangi pergelangan tangan Satrana, Raksagala membiarkan dadanya
dijadikan sasaran tendangan Maka, akibat selanjutnya sudah bisa diduga.
Bukkk! "Akh...!"
Telak dan keras sekali tendangan yang dikirimkan Satrana menghantam sasarannya.
Tapi sungguh aneh. Masalahnya justru Satranalah yang berteriak kesakitan.
Mulutnya menyeringai memperlihatkan kalau dirinya dilanda rasa sakit yang luar
biasa. Dan memang demikianlah kejadian yang sebenarnya. Laki-laki berjenggot pendek ini
merasakan ujung kakinya bukan mengenai dada manusia, melainkan sebongkah besi
baja yang amat keras. Akibatnya kaki yang membentur itu tulangnya seperti remuk.
Raksagala yang ingin memberi pelajaran agar kedua orang itu kapok, tidak
bertindak setengah-setengah. Jemarinya yang masih memegangi pergelangan tangan
lawan perlahan bergerak meremas. Maka seketika itu juga Satrana melolong-lolong
kesakitan, karena sekujur tulang pergelangan tangannya seperti hancur lebur.
Keringat sebesar-besar biji jagung pun bertonjolan di wajahnya.
Patila tentu saja tidak akan tinggal diam melihat rekannya tidak berdaya di
tangan Raksagala. Cepat laksana kilat laki-laki berbibir sumbing itu melompat
menerjang. Menyadari kalau Raksagala adalah seorang lawan tangguh, maka tanpa
ragu-ragu lagi pedangnya langsung dicabut.
Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika Patila mengayunkan pedangnya, membacok
ke arah leher. Tapi seperti juga ketika menghadapi serangan Satrana, kali ini Raksagala
melakukan hal yang sama. Dia sama sekali tidak bertindak apa-apa. Dibiarkannya
saja serangan yang mengancam ke arah leher itu.
Takkk! Suara keras seperti terjadi benturan antara dua logam keras terdengar, ketika
mata pedang laki-laki berbibir sumbing itu telak dan keras sekali menghantam
sasaran. Akibatnya, sama seperti yang dialami Satrana. Pedang itu justru
terpental balik ketika mengenai leher Raksagala. Sepertinya yang dihantamnya
bukan leher manusia, melainkan gumpalan karet keras.
Bukan hanya itu saja yang dialami laki-laki berbibir sumbing. Sekujur tangannya
bergetar hebat, sementara jemari tangan yang menggenggam pedang terasa seperti
lumpuh. Bahkan hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman.
Karuan saja hal ini membuat Patila terkejut bukan kepalang. Dan sebelum perasaan
ter-kejutnya hilang, tangan Raksagala telah bergerak cepat menepak ke arah dada.
Rekan Satrana ini berusaha sedapat-dapatnya mengelak, tapi....
Plakkk...! Pelan saja kelihatannya tangan Raksagala menepak sasaran, tapi akibat yang
diterima Patila tidak sesederhana itu. Tubuhnya langsung terjengkang ke belakang
seperti diseruduk kerbau liar. Ada suara keluhan
tertahan tersangkut di tenggorokannya.
Berbareng terjengkangnya tubuh Patila, Raksagala mengayunkan kakinya ke arah
Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perut Satrana. Menilik gerakannya, tidak pantas bila disebut sebuah tendangan.
Karena, sama sekali tidak terlihat kekerasannya. Berbareng dengan ayunan kaki,
laki-laki berwajah pucat ini segera melepas cekalannya.
Tapi kenyataan yang terjadi betul-betul mengejutkan. Tubuh Satrana terpental ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah ketika kaki murid Sawungrana itu tepat
pada sasarannya. Anehnya, kedua orang itu jatuh di tempat yang berdekatan.
Dengan sikap tenang yang mengagumkan, Raksagala menghampiri dua orang murid
Perguruan Belut Putih yang tengah merangkak bangun.
"Kali ini kalian kuampuni!" kata Raksagala penuh wibawa. "Anggap saja ini
sebagai pelajaran! Tapi, ingat! Bila kujumpai kalian berbuat seperti ini lagi,
jangan harap akan kuampuni!"
Satrana dan Patila sama sekali tidak menyahuti ucapan laki-laki berwajah pucat
itu. Hanya saja, sepasang mata mereka menyorot penuh dendam ke arah wajah Raksagala.
"Cepat kalian menyingkir, sebelum
pendirianku berubah...!" ujar Raksagala lagi.
Tapi kali ini dengan nada lebih keras dari sebelumnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Satrana
dan Patila segera bangkit berdiri, lalu berlari meninggalkan tempat itu. Gerakan
mereka terlihat menggelikan. Maklum, rasa sakit yang mendera belum sepenuhnya
lenyap. Seketika, kedua orang itu lari dengan langkah tertatih-tatih.
Raksagala mengikuti kepergian kedua orang itu dengan pandangan matanya. Baru setelah tubuh kedua orang itu lenyap ditelan jalan, perhatiannya beralih pada
Galuh. Tanpa sadar gadis berpakaian biru itu melangkah mundur.
Meskipun tahu kalau laki-laki berwajah pucat itu telah menolongnya, tapi dia
masih takut. Tidak heran, sebab pengalaman yang diterima-nya kali ini benar-benar membuatnya
terpukul. "Tenanglah, Nisanak. Percayalah..., aku bukan orang jahat," ujar Raksagala
seraya tersenyum lebar.
Laki-laki berwajah pucat ini bisa memaklumi ketakutan yang melanda hati gadis
berpakaian biru langit itu. Jadi, dia tidak merasa tersinggung karenanya.
Dan untuk tidak membuat Galuh lebih takut lagi, Raksagala tidak langsung
bergerak menghampiri. Pemuda itu tetap berdiri diam di tempat semula. Sementara,
sepasang matanya menatap tajam wajah gadis berpakaian biru langit itu.
Diam-diam sebuah perasaan kagum
menyelinap di dalam hati laki-laki berwajah pucat itu. Wajah Galuh ternyata
begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bibirnya
berbentuk indah, dan berwarna merah segar.
Dadanya padat dan membusung, di balik pakaiannya yang berwarna biru langit.
"Namaku Raksagala. Aku datang dari tempat yang amat jauh," kata laki-laki
berwajah pucat itu memperkenalkan diri. Dia tidak lagi peduli pada sikap diam
yang ditunjukkan Galuh.
"Kalau boleh kutahu, apa nama desa ini, Nisanak?"
"Kali Asem...," sahut Galuh setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Sikap Raksagala yang sopan dan tatapan matanya yang tidak liar, membuat
keberanian gadis itu mulai timbul. Walaupun diakui, masih ada sedikit perasaan
takut di hatinya melihat wajah Raksagala yang begitu pucat. Sepertinya, sama
sekali tidak berdarah. Bahkan bukan hanya kulit wajahnya saja, tapi juga kulit
tubuhnya. "Kali Asem...," gumam Raksagala seraya mengerutkan keningnya. "Kalau begitu aku
tidak salah alamat. Boleh bertanya sekali lagi, Nisanak?"
Galuh menganggukkan kepala.
"Benarkah di desa ini tempat Perguruan Belut Putih?" tanya Raksagala lagi.
Memang sebelum meninggalkan gurunya, kakek bermata picak itu telah
memberitahukan letak Perguruan Belut Putih.
Seketika itu juga wajah Galuh yang semula sudah mulai tenang, memucat kembali.
Tampak jelas kalau pertanyaan yang diajukan Raksagala
membuatnya takut. Dan ini tentu saja terlihat oleh Raksagala. Perasaan heran pun
berkecamuk dalam hatinya. Apa-lagi, ketika gadis berpakaian biru langit itu
malah melangkah mundur ketakutan.
"Tenanglah, Nisanak. Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang jahat. Sebaliknya,
malah aku membenci orang jahat seperti kedua orang yang telah mengganggumu tadi.
O, ya. Siapa nama-mu?"
"Galuh...," sahut gadis berpakaian biru langit itu.
"Galuh" Sebuah nama yang bagus," puji Raksagala.
"Mengapa kau bisa berada di sini bersama mereka?" tanya Raksagala lagi.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Raksagala tatkala melihat tanggapan
Galuh atas pertanyaan yang diajukannya. Gadis berpakaian biru langit itu malah
berubah pucat wajahnya. Bukan hanya itu saja. Mendadak saja, dia berlari
meninggalkannya.
"Ayah...."
Sempat terdengar oleh telinga Raksagala yang tajam, gumam kegelisahan yang
keluar dari mulut Galuh.
Melihat hal yang sama sekali tidak disangka ini, Raksagala menjadi kebingungan
sejenak. Sepasang matanya menatap penuh ketidak-mengertian pada sosok tubuh yang kian
menjauh. Sama sekali tidak diketahuinya kalau pertanyaannya mengingatkan gadis
itu akan nasib ayahnya. Semula, Raksagala membiarkan Galuh terus berlari meninggalkannya. Tapi begitu
teringat kalau ada kemungkinan kedua orang murid Perguruan Belut Putih tadi akan
mencegat perjalanan Galuh, akhirnya diputuskan untuk mengikutinya.
Raksagala kini mengikuti dari jarak yang agak jauh. Sengaja tidak berusaha
membarengi, karena tidak ingin Galuh semakin ketakutan.
Raksagala tahu, gadis berpakaian biru langit itu pasti masih merasa takut
padanya. *** Galuh terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Perasaan
khawatir yang amat sangat akan keselamatan ayahnya, membuat gadis berpakaian
biru langit ini seperti tidak pemah merasa lelah. Padahal, napasnya sudah
terengah-engah.
Tak lama kemudian, rumahnya pun sudah terlihat jelas. Dan betapa gembira hati
Galuh tatkala melihat sosok tubuh yang amat dikenalnya tengah melangkah
tertatih-tatih keluar dari pintu yang sudah tidak berdaun lagi.
Dia memang menuju rumahnya.
"Ayah...!"
Galuh tidak kuasa lagi menahan
perasaannya. Gadis itu cepat berlari seraya mengembangkan kedua lengannya. Lega
hatinya ketika melihat ayahnya ternyata selamat.
"Galuh...!"
Ki Wanara berseru tak kalah keras. Aneh!
Mendadak saja kakek berpakaian putih ini mampu berlari menyongsong kedatangan
putrinya. Dalam cekaman perasaan gembira, kakek ini sampai melupakan rasa
sakitnya. Tubuh ayah dan anak itu berpelukan erat di tengah-tengah jalan. Sementara
Raksagala yang mengikuti sejak tadi dari kejauhan, segera melangkahkan kakinya
berjalan biasa.
"Kau tidak apa-apa, Galuh?" tanya Ki Wanara seraya melepaskan pelukan pada
putrinya. Ditatapnya sekujur tubuh gadis berpakaian biru langit itu lekat-lekat
untuk melihat sendiri keadaannya.
"Tidak, Ayah," Galuh menggelengkan kepala.
"Ada orang yang telah menolongku."
"Ah...! Syukurlah kalau begitu!" sahut Ki Wanara gembira. "Mana orangnya..."
Perkenal-kanlah pada Ayah. Ayah ingin mengucapkan terima kasih padanya."
Ucapan ayahnya seketika membuat Galuh menyadari, betapa tidak pantas sikapnya
tadi terhadap penolongnya. Ucapan terima kasih sebagai basa-basi saja tidak
dilontarkan. "Diakah orangnya...?" tanya Ki Wanara lagi.
Kakek berpakaian putih ini memang
mengedarkan pandangannya begitu tidak mendengar jawaban dari mulut putrinya.
Galuh menoleh ke arah yang ditunjukkan ayahnya. Dan seketika itu pula jantungnya
berdetak kencang. Dugaan ayahnya ternyata
tepat. Orang yang tengah berjalan pelan menuju ke tempatnya adalah Raksagala,
yang telah menolongnya.
Perlahan-lahan kepala Galuh terangguk.
"Mari kita hampiri dia...."
Setelah berkata demikian, Ki Wanara segera meraih tangan Galuh. Dan dengan
setengah memaksa, ditariknya tubuh anaknya mendekati Raksagala. Sementara,
Raksagala yang tentu saja melihat hal itu, bergegas menghampiri.
"Kaukah orang yang telah menyelamatkan putriku, Anak Muda?" tanya Ki Wanara
setelah dekat, di depan Raksagala.
"Ah...! Hanya kebetulan aku lewat saja, Ki.
Lagi pula, sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk saling tolong-menolong."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ucap kakek berpakaian putih itu.
"Tapi saranku, cepatlah kau pergi dari sini."
"Hehhh..."! Kenapa begitu, Ki?" tanya, Raksagala heran mendengar saran yang
dianggapnya aneh itu.
"Ah...! Kau rupanya belum pemah
mendengar tentang Perguruan Belut Putih, Anak Muda." Nada suara kakek berpakaian
putih itu bernada keluhan.
"Memangnya, ada apa dengan perguruan itu, Ki?" tanya Raksagala ingin tahu. "Aku
memang tengah mencari-cari perguruan itu."
"Kau"! Mencari-carinya" Untuk apa"!" tanya W Wanara agak keras dengan sikap
mulai sedikit curiga.
Raksagala tahu kakek berpakaian putih ini mulai merasa curiga padanya. Dia yakin
kalau tidak memberitahukan masalahnya, kecurigaan kakek ini akan semakin
bertambah. Maka diputuskan untuk menceritakan sejujurnya. Lagi pula, sekali
lihat saja bisa diketahuinya kalau kakek ini bukan orang berbahaya. Jadi, tidak
ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Aku mendapat wewenang penuh dari
guruku untuk mengatur dan mengarahkan Perguruan Belut Putih ke jalan yang benar.
Karena, selama beberapa bulan belakangan ini dia selalu mendapat firasat buruk
mengenai perguruannya," jelas Raksagala sejujurnya.
Ki Wanara mengerutkan alisnya. Sementara sepasang matanya menatap aneh ke arah
wajah Raksagala.
"Maafkan aku, Anak Muda. Bukannya aku tidak mempercayai ucapanmu. Tapi
seingatku, tidak ada murid Perguruan Belut Putih yang mempunyai wajah sepertimu.
Aku kenal betul wajah-wajah mereka."
"Aku memang tidak menjadi murid
Perguruan Belut Putih secara langsung, Ki,"
tambah Raksagala cepat memperbaiki ucapan sebelumnya.
"Heh"!" dahi Ki Wanara berkemyit
Laki-laki tua itu merasa bingung bukan main mendengar ucapan yang saling
bertolak belakang itu.
"Aku yang sudah menjadi tuli, atau kau yang memang mengada-ada, Anak Muda" Kalau
aku tidak salah dengar, kau mengaku sebagai murid Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi,
kini kau malah menyangkal. Tidakkah itu membingungkan" Tolong jelaskan, Anak
Muda." Raksagala menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia
tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa saat
lamanya. "Kalau dipikir-pikir, memang sepertinya membingungkan, Ki," kata Raksagala hatihati. "Tapi, itulah kenyataannya. Aku memang menjadi murid Ketua Perguruan Belut
Putih, namun bukan murid perguruan itu."
Semakin dalam kernyit yang timbul di dahi Ki Wanara. Rupanya sulit baginya untuk
mencerna ucapan Raksagala.
"Jadi..., kau ini murid gelap?" duga kakek berpakaian putih ini sekenanya.
Raksagala terdiam, tidak langsung menjawab. Mendadak dia teringat benda
pemberian gurunya. Maka, buru-buru dikeluarkannya.
"Aku tidak tahu, bagaimana menjelaskannya, Ki. Tapi, guruku memberikan tongkat
ini. Katanya, dengan tongkat ini di tanganku aku mempunyai wewenang penuh untuk
membenahi semua kericuhan di Perguruan Belut Putih, jika memang-ada kerusuhan di
sana." "Ya, Tuhan..!"
Terdengar seruan kaget dari mulut Ki Wanara. Sepasang mata kakek berpakaian
putih itu menatap tanpa berkedip pada tongkat
pendek bergagang permata berkilauan itu. Raut wajah, maupun sorot matanya
menyiratkan keterkejutan yang amat sangat.
"Jadi.., jadi kau murid... Ki Sawungrana...?"
Sepasang bibir yang semula hanya berkemik-kemik akhirnya mampu melontarkan
ucapan. "Kau.... Kau mengenal guruku, Ki?" kini ganti Raksagala yang merasa terkejut
"Mengenalnya?" Ki Wanara tersenyum pahit
"Tidak saja mengenalnya. Aku adalah pelayan kepercayaannya, dan merupakan orang
yang paling dekat dengannya. Setiap ada masalah, akulah orangnya yang paling
dulu diberi-tahunya. Namaku Wanara. Apakah dia tidak pernah bercerita tentang
diriku?" Raksagala menggeleng.
"Guru amat tertutup. Dia tidak pernah bercerita apa-apa padaku," sahut Raksagala
setengah mengeluh.
"Sungguh tidak kusangka. Padahal, dulu dia selalu terbuka pada orang yang
dipercayanya,"
desah Ki Wanara penuh rasa tidak percaya.
Sementara Galuh yang sama sekali tidak tahu apa apa, hanya diam saja
mendengarkan. "Bisa kau ceritakan di mana dia kini berada"
Sudah lama sekali dia menghilang tanpa berita sepotong pun. Semula kuduga ada
sesuatu yang terjadi pada dirinya. Itulah sebabnya aku pergi meninggalkan
Perguruan Belut Putih dengan membawa Galuh yang baru berumur beberapa bulan.
Syukurlah..., kalau dia masih hidup...."
Raksagala menghela napas berat. Wajahnya
pun berubah murung. Pertanyaan mengenai gurunya itulah yang menyebabkannya
demikian. Bagaimana keadaan gurunya kini" Bisakah pertarungan menghadapi Barong Segara
yang lihai itu dimenangkannya" Berbagai macam pikiran berkecamuk di benak pemuda
itu. Ki Wanara menunggu penuh kesabaran.
Menilik dari sikap Raksagala yang mendadak berubah murung begitu ditanya tentang
gurunya, dia yakin pasti ada berita buruk yang akan didengarnya. Dan kini hati
kakek berpakaian putih ini berdebar tegang.
Karena tahu kalau kakek ini adalah orang kepercayaan gurunya, tanpa ragu-ragu
lagi Raksagala pun menceritakan semua yang diketahuinya.
"Entah bagaimana sekarang nasib beliau, aku tidak tahu...," desah Raksagala
mengakhiri ceritanya. "Aku murid durhaka yang hanya mementingkan diri sendiri"
"Hentikan semua ucapan itu, Raksagala!"
bentak Ki Wanara keras. "Aku pun akan berbuat hal yang serupa dengan Sawungrana
jika mengalami hal itu. Dan semua orang yang berpikiran waras, dan tidak
mementingkan diri sendiri pun pasti akan berbuat seperti yang dilakukan gurumu
itu. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu dengan selamatnya
dirimu, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya!" Raksagala terdiam.
"Sejak menghilangnya Ki Sawungrana, Perguruan Belut Putih mulai guncang. Masingmasing murid kepala, berebut ingin menjadi ketua. Perpecahan pun timbul,
sehingga Ketua Perguruan Belut Putih berganti-ganti. Kini yang menjadi ketua
adalah Kalasura, seorang yang memiliki watak tidak baik."
Ki Wanara menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan mencari katakata baru. "Di bawah pimpinannya, Perguruan Belut Putih dibawa ke jurang kehinaan. Segala
macam kejahatan dihalalkan. Tidak hanya di desa ini saja. Tapi juga ke semua
desa sekitarnya. Kini Perguruan Belut Putih jadi ditakuti semua orang."
"Apakah semua murid Perguruan Belut Putih telah menjadi jahat, Ki?" tanya
Raksagala ingin tahu.
"Entahlah...," Ki Wanara menggelengkan kepalanya. "Tidak ada salahnya jika kau
menyelidikinya, Raksagala."
Raksagala menganggukkan kepala membenarkan. Tapi sesaat kemudian dahinya berkernyit ketika teringat sesuatu yang membuatnya agak heran.
"Ada suatu hal yang membuatku heran, Ki?"
tanpa ragu-ragu pemuda berwajah pucat ini mengutarakan ganjalan hatinya.
Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakanlah, Raksagala."
"Apakah Ki Sawungrana tidak mengajar-kanmu ilmu silat"!" tanya Raksagala
langsung. Memang, begitu tahu kalau kakek berpakaian putih ini adalah orang kepercayaan
gurunya, Raksagala jadi heran kakek itu dapat dipecundangi oleh murid-murid
rendahan Perguruan Belut Putih.
"Aku yang tidak mau, Raksagala. Kau tahu, aku benci kekerasan...."
"Ayah...! Lihat..!"
Karuan saja teriakan keras Galuh membuat Ki Wanara dan Raksagala terkejut. Cepat
mereka mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis itu. Dan memang, tampak
segerombolan orang yang berpakaian abu-abu bergerak ke arah mereka.
"Murid-murid Perguruan Belut Putih...,"
desah Ki Wanara dan Raksagala berbarengan.
Raksagala sadar, Ki Wanara dan Galuh bukan lawan mereka. Maka, dia segera
melangkah maju, dan berdiri di depan dengan sikap melindungi mereka. Menilik
dari gerak-geriknya, Raksagala tahu kalau kedatangan orang-orang itu tidak
bermaksud baik. Maka, dia bersikap waspada.
Semakin lama jarak antara mereka semakin tampak dekat, Raksagala menghitung
dengan pandangan matanya. Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang! Di
antara mereka, tampak Satrana dan Patila.
Tak lama kemudian, rombongan Perguruan Belut Putih itu pun sudah berada dalam
jarak tiga tombak di hadapan Raksagala.
"Inikah orang yang kalian maksudkan itu?"
tanya seorang laki-laki bertubuh kurus kering seperti cecak. sambil menudingkan
telunjuknya pada Raksagala.
Suaranya bernada menghina. Jelas, dia tidak memandang sebelah mata pun pada
laki-laki berwajah pucat itu.
Hampir berbareng Satrana dan Patila mengangguk.
"Benar, Kakang Taraji," sahut Patila.
Laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata bernama Taraji merayapi sekujur
wajah dan tubuh pemuda di hadapannya.
"Ha ha ha...!"
Mendadak Taraji tertawa bergelak. Tawanya benar-benar mengandung nada
penghinaan. "Diam...!"
Raksagala yang merasa tersinggung
langsung membentak. Keras bukan main suaranya, karena disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tanpa sadar, Taraji menghentikan tawanya. Rasa terkejut yang amat
sangat membayang jelas di wajahnya. Dia merasakan guncangan keras pada dadanya
seiring keluarnya bentakan dari mulut pemuda berwajah pucat itu.
Bukan hanya Taraji saja yang terkejut.
Semua murid Perguruan Belut Putih juga terkejut bukan main. Dada mereka bergetar
hebat dan kuping pun terasa berdengung. Bukan hanya itu saja. Sepasang kaki
mereka pun tanpa dapat dicegah, mendadak oleng.
*** 6 Kini Taraji baru percaya pada cerita Satrana dan Patila. Ternyata orang yang
bernama Raksagala itu adalah lawan yang amat tangguh, dan bukan hanya bualan
belaka. Kini telah dibuktikannya sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki
pemuda berwajah pucat itu. Dalam hati, laki-laki bertubuh kurus kering itu
mengakui kalau tenaga dalamnya sendiri belum tentu mampu menyamai tenaga dalam
calon lawannya.
Meskipun begitu, Taraji sama sekali tidak menampakkan keterkejutannya. Wataknya
memang angkuh, dan selalu mengagungkan kemampuannya sendiri. Jadi mana mau dia
memperlihatkan kegentarannya pada seorang pemuda yang dianggapnya baru kemarin
sore" Apalagi di hadapan sekian banyak adik seperguruannya.
"Keparat buduk!" maki Taraji keras. "Berani benar kau membentakku"! Apa kau
sudah bosan hidup?"
"Aku bukan hanya membentak saja. Tapi juga akan menghukummu dan semua murid
Perguruan Belut Putih yang menyeleweng!"
tandas Raksagala tegas.
"Apa"!" Taraji membelalakkan sepasang matanya. "Apa aku tidak salah dengar"!
Sudah gilakah kau, Keparat"!"
"Terserah apa tanggapanmu terhadapku, Taraji!" Raksagala mencoba bersikap
tenang. "Tapi yang jelas, aku mempunyai wewenang penuh untuk mengurus Perguruan Behit
Putih." Setelah berkata demikian, Raksagala mencabut keluar tongkat pusaka pemberian
gurunya. Dan secepat tongkat itu terlihat, secepat itu pola semua wajah murid
Perguruan Belut Putih dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau..."! Dari mana kau dapatkan benda itu"!" tanya Taraji gugup.
Tentu saja laki-laki kurus itu mengenal tongkat di tangan Raksagala. Sewaktu
Perguruan Belut Putih masih dipimpin Ki Sawungrana, dia telah menjadi murid
tingkat dua. Waktu itu, usianya masih delapan belas tahun. Kini, dia berusia
tiga puluh lima tahun lebih. Kedudukannya pun kini telah menjadi murid kepala.
Dan Kalasura yang dulu menjadi murid kepala, kini telah menjadi Ketua Perguruan
Belut Putih. Dan atas perintahnya, Taraji harus menangkap pengacau yang telah
mencelakai Satrana dan Patila.
"Aku mendapatkannya dari guruku. Dia adalah Ketua Perguruan Belut Putih yang
sebenarnya. Namanya, Ki Sawungrana!" tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari
mulut Raksagala. Dan memang hal itu disengaja, agar semua murid Perguruan Belut
Putih mendengar ucapannya.
Pengaruh ucapan itu terbukti memang luar biasa. Kontan di antara murid-murid
Perguruan Belut Putih terjadi kegaduhan. Memang ada di antaranya yang belum
pernah melihat tongkat itu. Tapi, paling tidak telah mendengar ciri-cirinya.
Maka begitu melihatnya, mereka terkejut bukan main. Seketika itu pula sebagian
besar kepala murid Perguruan Belut Putih merunduk memberi hormat Hanya sebagian
kecil saja yang tidak menundukkan kepala. Dan Taraji terhitung yang sebagian
kecil itu. "Bohong! Kalian jangan terpengaruh cerita bohongnya! Tongkat pusaka itu hilang,
dan sudah pasti pemuda ini yang mencurinya!"
Taraji yang mencium gelagat tidak baik segera berusaha memojokkan Raksagala.
Usaha yang dilakukan Taraji ternyata cukup membuahkan hasil. Kepala yang
sebagian besar sudah tertunduk, kembali terangkat naik. Ya, apa yang dikatakan
kakak seperguruan mereka, itu benar. Bukan tidak mungkin kalau Raksagala adalah
pencurinya. Tapi Raksagala yang sudah melihat masih banyak murid Perguruan Belut Putih yang
menghormati tongkat pusaka, mana mungkin diam saja" Segera tongkat itu
diacungkan tinggi-tinggi ke atas kepalanya.
"Wahai semua murid Perguruan Belut Putih, dengarlah...! Ki Sawungrana telah
memberi tongkat ini padaku. Dia memberi wewenang penuh padaku untuk membenahi
semua penyelewengan yang terjadi di perguruan.
Kalian semua dengar"!"
"Keparat!" maki Taraji begitu melihat kepala-kepala yang tadi terangkat, mulai
tertunduk lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera mengulapkan tangan
pada sisa murid yang tidak menundukkan kepala.
"Bunuh pencuri itu...! Dan ambil tongkatnya...!" perintah laki-laki bertubuh
kurus kering itu.
Sambil berkata demikian, tangan kanannya bergerak.
Singgg...! Sinar berkilauan nampak berpendar ketika Taraji mencabut goloknya. Dan secepat
senjata itu terhunus, secepat itu pula diayunkan ke leher Raksagala.
Pada saat yang bersamaan, serangan murid-murid Perguruan Belut Putih yang lain
datang pula menyerbu. Di tangan mereka semua tergenggam senjata terhunus.
Tapi Raksagala sama sekali tidak menjadi gugup melihat semua serangan itu.
"Murid-murid Perguruan Belut Putih yang masih menghargai tongkat pusaka ini,
lihatlah! Aku, mewakili Ki Sawungrana akan memberi hajaran pada mereka yang telah
menyeleweng!"
Ucapan itu membuat semua murid
Perguruan Belut Putih mengangkat kepala.
Mereka ingin tahu, bagaimana tindakan Raksagala yang menurut pengakuannya adalah
wakil Ki Sawungrana!
Melihat ucapannya didengar, Raksagala jadi
tambah semangat. Maka diputuskan untuk mempertunjukkan semua kelihaiannya. Dan
begitu semua serangan datang, laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak
mengelak. Lincah laksana kera, dan cepat laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celahcelah hujan serangan lawan.
Taraji dan adik-adik seperguruannya terkejut bukan main melihat serangannya
berhasil dielakkan. Tapi, tentu saja mereka tidak putus asa. Malah sebaliknya,
mereka kian ganas menyerang.
Raksagala yang memang sengaja ingin mempertunjukkan kelihaiannya, sengaja tidak
melakukan perlawanan. Dia hanya mengelak terus-menerus. Dengan ilmu meringankan
tubuh yang memang berada jauh di atas lawan-lawannya, bukan merupakan hal sulit
bagi laki-laki berwajah pucat itu untuk menghindari serangan.
Jurus demi jurus berlalu. Sehingga, tak terasa dua puluh lima juris telah
terlewat. Namun selama itu, tidak ada satu pun serangan Taraji dan adik-adik
seperguruannya yang mengenai sasaran. Jangankan mengenai, menyerempet pun tidak.
"Cukup...!"
Terdengar seruan keras dari mulut
Raksagala. Dan begitu ucapannya selesai, gerakan laki-laki berwajah pucat ini
tiba-tiba berubah. Tubuhnya berkelebat dengan kecepatan yang sukar diikuti mata
tiap lawan- nya. Yang jelas, satu demi satu tubuh-tubuh murid Perguruan Belut Putih
bertumbangan. Rintihan kesakitan terdengar mengiringi robohnya tubuh-tubuh itu ke tanah.
Senjata-senjata yang digenggam pun berpentalan tak tentu arah.
Dalam sekejap saja, murid-murid Perguruan Belut Putih itu sudah tidak ada yang
berdiri lagi. Semua telah roboh bergelimpangan di tanah sambil merintih-rintih.
Kini hanya tinggal Taraji seorang diri yang masih mampu berdiri.
Dan memang, Raksagala sengaja menyisa-kannya.
"Bagaimana, Taraji"! Masih tidak percaya kalau aku adalah murid Ki Sawungrana"!"
tanya Raksagala lagi. Ada nada sindiran dalam suaranya.
"Pencuri busuk! Kau bukan hanya mencuri tongkat pusaka kami, tapi juga ilmu-ilmu
perguruan kami!"
Dengan nada keras, Taraji terus memaki.
Maksudnya untuk membuat murid-murid Perguruan Belut Putih yang belum menyerang
untuk ikut membantu.
"Kawan-kawan, serbu...!"
Tapi Taraji kecelik. Tidak ada seorang pun teman-temannya yang mematuhi
perintahnya. Mereka semua diam saja, berpura-pura tidak mendengar sama sekali.
"Anjing kurap!" geram laki-laki bertubuh kurus kering ini. "Setelah pencuri
busuk ini kubereskan, kalian semua akan mendapatkan
ganjaran!"
Begitu kata-katanya selesai, Taraji segera melompat menerjang Raksagala. Golok
di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada laki-laki berwajah pucat itu. Ada
suara mendesing yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan.
Raksagala diam-diam merasa geli mendengar penegasan Taraji. Sewaktu mengeroyok
bersama adik-adik seperguruannya saja, dia tidak mampu merobohkan. Apalagi
sekarang hanya seorang diri.
Raksagala bersikap tenang. Ditunggunya sampai serangan itu bergerak semakin
dekat. Dan ketika telah berada dalam jangkauan, baru dia bergerak. Enak saja tangannya
diulurkan. Sepertinya tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali, tapi hebatnya....
Tappp...! Mata golok Taraji yang terlihat mengkilap mempertunjukkan ketajaman, berhasil
ditangkap Raksagala. Taraji kaget bukan main!
Dan belum sempat berbuat sesuatu, laki-laki berwajah pucat itu cepat
membetotnya. Keras bukan main gerakannya. Terdengar suara bergemeletuk ketika
sambungan pergelangan bahu kanan Taraji terlepas.
Taraji menggigit bibir keras-keras dalam upayanya menahan rasa sakit yang
mendera. Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di wajahnya. Tapi sedikit pun
tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Keangkuhannyalah yang melarang
dirinya mengeluh.
Tentu saja tidak hanya itu yang dialami Taraji. Seiring terlepasnya sambungan
pergelangan bahu kanan, tubuhnya yang tengah berada di udara langsung tertarik
ke depan. Di saat itulah, kaki kanan Raksagala meluncur cepat ke arah perut
Bukkk...! "Hugkh...!"
Kali ini Taraji tidak mampu menahan keluhan yang keluar. Tendangan itu meskipun
terlihat pelan, ternyata keras bukan main. Rasa mual yang amat sangat seketika
melanda sekujur badannya. Dan begitu Raksagala melepaskan cekalan pada goloknya,
tubuh Taraji langsung roboh ke tanah. Suara berdebuk keras terdengar begitu
tubuh itu menyentuh tanah.
Taraji memang keras hati. Tanpa mempedulikan rasa sakit, dia berusaha bangkit.
Dan memang pada kenyataannya dia gagal. Seringai kesakitan tersungging di
mulutnya ketika tubuhnya kembali terjatuh.
*** Raksagala sama sekali tidak melakukan serangan lanjutan. Laki-laki berwajah
pucat ini hanya menatap wajah Taraji lekat-lekat
"Bagaimana, Taraji" Masih ingin melanjutkan lagi," tanya Raksagala kalem.
Namun Taraji sama sekali tidak menyahuti.
Dia tengah sibuk mengusir rasa sakit yang melanda.
Tapi Raksagala sama sekali tidak merasa tersinggung karena pertanyaannya sama
sekali tidak dijawab. Sesaat lamanya suasana yang semula hingar-bingar oleh
dentang senjata beradu, jadi kembali sepi seperti semula. Kini yang terdengar
hanyalah rintihan kesakitan dari mulut-mulut murid Perguruan Belut Putih yang
terluka. "Hi hi hi...!"
Mendadak terdengar suara tawa mengikik.
Tawa yang kecil panjang tapi melengking nyaring itu mirip tikus mencicit. Tapi
hebatnya, suara tawa itu mengandung pengaruh luar biasa! Akibatnya, telinga
terasa berdengung sakit dan kedua kaki menggigil!
Di antara mereka semua, hanya Raksagala saja yang sama sekali tidak terpengaruh
tawa itu. Hal ini karena tingkat tenaga dalam laki-laki berwajah pucat ini sudah
amat tinggi. Hanya saja, tak urung wajahnya tampak memucat! Raksagala kenal betul, siapa
pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari Penghuni Istana
Hantu! Dan mendengar nada suaranya, laki-laki berwajah pucat itu tahu kalau yang
datang adalah Durgasari.
Belum lagi gema suara itu lenyap, sekitar tiga tombak di hadapan Raksagala telah
berdiri seorang nenek berpakaian hijau. Rambutnya putih panjang terurai tak
terurus. Di tangannya melilit sebuah gelang berwarna merah darah.
Dan gelang yang sama pun menempel di daun telinganya. Sepasang matanya yang
kecil dan mcncorong kehijauan nampak jadi kian menyeramkan, karena terletak di raut wajah
keriput berbentuk bulat telur.
Meskipun sudah menduga sebelumnya, tapi tak urung Raksagala terperanjat juga
melihat kehadiran salah seorang Penghuni Istana Hantu itu.
"Jangan harap untuk bisa selamat setelah keluar dari Istana Hantu, Bocah
Keparat!" tegas nenek berpakaian hijau itu keras. Suaranya terdengar melengking
nyaring menyakitkan telinga.
Raksagala sadar, kalau kali ini tidak bisa main-main lagi. Lawan yang
dihadapinya sangat tangguh, sementara di sekitarnya banyak orang yang tidak tahu
apa-apa. Dia tidak ingin kalau mereka yang tidak tahu apa-apa akan menjadi
korban bila terjadi pertarungan di situ. Maka laki-laki berwajah pucat itu
segera bergerak melesat dari situ.
Cepat bukan main gerakan Raksagala. Hal ini tidak aneh, karena murid kesayangan
Sawungrana ini telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya sudah berada dalam jarak belasan
tombak dari tempat semula.
Cepatnya gerakan yang dilakukan
Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raksagala, tapi masih lebih cepat lagi gerakan Durgasari. Begitu melihat lakilaki berwajah pucat melesat, tubuh nenek berpakaian hijau ini langsung melenting
ke depan. Setelah bersalto
beberapa kali di udara, kedua kakinya segera mendarat di tanah. Dan kini dia
telah berada di depan Raksagala.
"Sudah kukatakan, jangan harap bisa lolos dari tanganku!" tandas Durgasari
tegas. Sorot mata maupun wajah nenek berpakaian hijau ini menyiratkan sinar
kebengisan. "Aku tidak akan melarikan diri, Durgasari!"
sahut Raksagala mantap seraya memanggil nama nenek berpakaian hijau itu. Padahal
di Istana Hantu waktu itu dia biasa memanggilnya dengan sebutan Nyi Durgasari.
"Tapi aku hanya mencari tempat yang lapang untuk bertarung!"
"Alasan!" sergah Durgasari kasar. "Kau tidak berbeda dengan gurumu yang telah
menjadi bangkai itu. Sama-sama pengecut!"
Raksagala ternganga mendengar perkataan nenek itu. Bukan makiannya, tapi
penjelasan nenek itu yang mengatakan gurunya telah menjadi bangkai. Sungguhpun
dia telah mempunyai dugaan kuat kalau gurunya kemungkinan besar akan tewas, tapi
tetap saja berita yang didengarnya ini amat mengejutkan.
"Kau kaget kalau gurumu telah menjadi bangkai! Kau tahu, nasib yang sama pun
akan menimpamu!"
Mendadak Raksagala meraung. Rasa
penyesalan yang hebat langsung memukul hatinya. Kematian gurunya dianggap karena
dirinya. Kalau saja dia tidak melarikan diri dan bersama-sama menghadapi musuh,
mungkin Sawungrana tidak akan tewas. Raksagala
merasa telah berdosa besar, dan telah menjadi seorang pengecut!
Dari perasaan bersalah yang menggelegak itu, menyeruak perasaan marah terhadap
pembunuh gurunya. Pikirnya, salah seorang dari pembunuh itu kini berada di
depannya! Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan!
Sambil berteriak keras, Raksagala melompat menerjang. Kedua tangannya yang
terkembang membentuk cakar meluncur cepat dan bertubi-tubi ke arah dada, ulu
hati, dan pusar Durgasari.
Raksagala memang telah mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dalam
serangan itu. Dia memang tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Suara
bersuitan yang cukup nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
"Hmh...!"
Nenek berpakaian hijau itu hanya mendengus melihat serangan lawan. Sikapnya
terlihat memandang rendah sekali. Baru ketika serangan itu menyambar dekat,
tangannya bergerak memapak dengan sikap jari-jari tangan yang sama.
Prattt..! Benturan keras terdengar begitu jari-jari tangan yang sama-sama mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi berbenturan. Raksagala menyeringai. Tampak jelas
kalau laki-laki berwajah pucat ini merasa kesakitan. Seluruh tangannya terasa
bagai lumpuh, sehingga tak mampu digerakkan lagi. Apalagi jari-jari
tangannya! Sakit dan ngilu bukan main. Seolah-olah, jari-jari tangannya tadi
bukan berbenturan dengan jari-jari tangan seorang nenek-nenek, melainkan dengan
sebatang logam yang amat kuat!
"Hi hi hi...!"
Durgasari hanya tertawa terkikih melihat seringai yang tampak di wajah
Raksagala. Melihat dari sikapnya, jelas kalau benturan tadi sama sekali tidak berpengaruh
apa-apa bagi dirinya.
Raksagala memang bukan seorang pengecut.
Meskipun sudah diketahui kalau tenaga dalamnya tidak mampu menandingi tenaga
dalam Durgasari, tapi bukan berarti harus menjadi gentar! Kata takut atau gentar
tidak ada dalam kamus hidupnya. Maka tanpa kenal takut, dia kembali melompat
menerjang. Sambil tertawa terkikih, Durgasari segera menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua
orang ini sudah saling bertarung sengit. Raksagala bertarung seperti orang gila.
Seluruh kemampuan yang dimiliki dikeluarkannya. Dia hanya mempunyai dua buah
pilihan. Membunuh atau dibunuh!
Tapi lawan yang dihadapinya adalah Durgasari yang merupakan salah seorang
Penghuni Istana Hantu. Kepandaian nenek berpakaian hijau ini amat tinggi.
Mungkin hanya selisih sedikit saja dengan Barong Segara.
Jangankan Raksagala, gurunya sendiri pun belum tentu bisa mengalahkan nenek itu.
Itulah sebabnya, meskipun Raksagala telah menyerang kalang-kabut dengan seluruh
kemampuannya, tetap saja tidak mampu mendesak Durgasari. Jangankan mendesak,
tanda-tanda akan mendesak pun tidak juga terlihat.
Hebat bukan main pertarungan antara kedua orang itu. Suara menderu dan mencicit
menyemaraki pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi
ke udara. Raksagala menggertakkan gigi. Seluruh kemampuannya telah dikerahkan sampai ke
puncaknya, tapi ternyata tetap tak mampu juga mendesak lawannya. Padahal, tampak
jelas kalau nenek berpakaian hijau itu sama sekali belum melancarkan serangan
balasan. Durgasari hanya mengelak dan menangkis, sambil mengeluarkan tawa mengikik.
Beberapa kali tubuh Raksagala terhuyung-huyung ke belakang, tatkala Durgasari
menangkis serangannya.
Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus telah lewat. Dan selama itu, Raksagala
belum juga berhasil menyarangkan satu serangan pun di tubuh lawannya.
"Hi hi hi...! Berhati-hatilah, Anak Muda!
Sekarang aku akan balas menyerang!"
Setelah berkata demikian, mendadak gerakan Durgasari berubah. Dia tidak lagi
bersikap menunggu, tapi mulai melancarkan serangan.
Serangan Durgasari dibuka lewat putaran
kedua tangannya di depan dada. Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang
berputaran itu, menyeruak angin keras yang mengandung daya tarik amat kuat.
Raksagala terperanjat, sama sekali tidak disangka kalau ada ilmu yang mempunyai
daya sedot seperti ini. Maka bergegas kedua kakinya ditekankan ke tanah untuk
bertahan dari kekuatan yang akan menariknya ke depan.
Di saat Raksagala memasang kuda-kuda kokoh agar tubuhnya tidak tertarik ke
depan, Durgasari melompat menerjang. Jari-jari kedua tangannya nampak mengepal,
kecuali jari telunjuk dan jari tengah yang mengejang kaku.
Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah, nenek berpakaian hijau ini menyerang
Raksagala. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun dan bawah
hidung laki-laki berwajah pucat. Memang, itu adalah dua buah jalan darah
kematian! Raksagala terkejut bukan kepalang mendapat serangan susulan yang begitu
mendadak. Diakui, perasaannya begitu gugup. Namun laki-laki berwajah pucat itu masih
sempat menyelamatkan selembar nyawanya. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuhnya
segera direndahkan seraya membentuk kuda-kuda bersilang.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Raksagala. Pada saat yang tepat, tangan
kanannya melakukan pukulan keras ke arah dada Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau dalam keadaan
terjepit seperti itu Raksagala mampu mengelak. Maka, semua serangannya hanya
mengenai tempat kosong. Bahkan hebatnya, pemuda itu malah mampu balik mengancam
dengan serangan yang mampu membuat isi dadanya hancur
berantakan. Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang dilancarkan Raksagala. Apalagi saat
itu tubuh Durgasari tengah berada di udara. Yang lebih membahayakan lagi,
serangan itu dilancarkan dalam jarak dekat! Lengkaplah sudah keadaan yang
membuat nenek berpakaian hijau semakin berada dalam keadaan berbahaya.
Pada kenyataannya Durgasari benar-benar seorang tokoh luar biasa. Dengan
kesempatan yang sangat sempit itu, tangan kirinya segera digerakkan ke bawah
untuk menangkis serangan lawan. Tapi karena tangan kirinya belum sempat ditarik
pulang, maka yang membentur tangan Raksagala adalah sikutnya.
Plakkk...! Tubuh kedua tokoh yang usianya berbeda jauh itu sama-sama terjajar ke belakang.
Ini bukan berarti tenaga mereka berimbang. Tapi, karena kesempatan yang hanya
sedikit itu membuat tenaga dalam Durgasari tidak sepenuhnya keluar dalam
menangkis serangan.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, tidak sulit bagi Raksagala dan Durgasari
untuk segera memperbaiki sikap.
Durgasari kini menggeram hebat Hampir saja dia tewas di tangan lawannya. Tentu
saja ini karena kelalaiannya. Maka kini perempuan tua itu tidak memandang rendah
lagi. Maka diputuskannya untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, Durgasari kembali melancarkan
serangan. Raksagala tahu tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Maka
diputuskannya untuk menghindari serangan itu. Sesaat kemudian, kedua orang ini
telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Tapi pertarungan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kini Durgasari telah
memutuskan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya.
Maka Raksagala-lah yang merasakan akibatnya.
Tekanan-tekanan yang dilakukan nenek berpakaian hijau itu terasa semakin berat.
Meskipun seluruh kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja dia
terdesak dan terhimpit.
Tidak sampai dua puluh lima jurus, Raksagala telah terdesak. Dan seiring semakin
lamanya mereka bertempur, keadaan Raksagala semakin terdesak hebat Nasibnya
benar-benar mengkhawatirkan.
Menjelang jurus ketiga puluh, Raksagala mencabut goloknya. Dan dengan senjata
andalan di tangan, dia kembali melakukan perlawanan gigih.
Memang setelah Raksagala menggunakan
golok, keadaannya mulai membaik. Desakan-desakan dan tekanan yang menghimpitnya,
tidak begitu terasa lagi.
Tapi itu berlangsung hanya lima puluh jurus saja. Dan begitu memasuki jurus
kelima puluh satu, kembali Durgasari yang kini sudah bisa mengetahui permainan
golok lawan, berhasil mendesaknya.
Pada jurus yang kelima puluh satu, Durgasari melancarkan sebuah tendangan lurus
ke arah pergelangan tangan kanan Raksagala.
Pemuda berwajah pucat itu mencoba mengelak.
Tapi.... Takkk! Telak dan keras sekali tendangan nenek berpakaian hijau itu mengenai sasaran.
Tak pelak lagi, sambungan pergelangan tangan Raksagala terlepas saat itu juga.
Golok di tangannya pun terlempar jauh.
Raksagala tahu kalau keadaannya kini amat berbahaya. Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuhnya segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara. Maksudnya sudah jelas, untuk memperbaiki kuda-kudanya.
"Hmh...!"
Durgasari mendengus. Nenek berpakaian hijau yang sudah kalap ini mana sudi
membiarkan lawannya mendapatkan kesempatan lagi untuk memperbaiki kuda-kudanya"
Begitu Raksagala melempar tubuh ke belakang, dia segera melompat memburu seraya
mengirimkan serangan-serangan maut
Raksagala terkejut bukan main. Keadaannya kini benar-benar terhimpit. Tidak ada
lagi kesempatan baginya untuk memperbaiki kuda-kudanya. Maka begitu kedua
kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung melenting ke belakang untuk mencaricari kesempatan memperbaiki kuda-kudanya.
Tapi Durgasari benar-benar tidak akan memberi kesempatan. Dia pun melompat
Mustika Lidah Naga 5 2 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Kisah Pendekar Bongkok 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama