Ceritasilat Novel Online

Prahara Hutan Bandan 1

Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Bagian 1


1 Suara cicit burung menyambut datangnya pagi. Sang
mentari bersinar lembut menyinari bumi. Dua orang lelaki berwajah kasar
melangkah memasuki mulut Desa Bandan.
Melihat senjata yang terselip di pinggangnya, bisa
diketahui kalau kedua orang ini adalah orang-orang
persilatan. "Benarkah katamu, Kang" Apa kau yakin benda
bercahaya itu jatuh di Hutan Bandan?" tanya salah seorang yang berwajah bopeng.
Orang yang dipanggil kakang, hanya menganggukkan
kepalanya. Tubuhnya tinggi besar dan kekar tapi wajahnya kurus. Hampir-hampir
tidak berdaging. Seperti tengkorak saja layaknya.
"Begitulah berita yang kudengar Adi. Sayang, aku tidak tahu tempatnya," sahut
laki-laki yang berwajah tengkorak.
"Menurut orang yang kita tanyai, hutan itu tak jauh dari sini. Tapi, di mana
ya?" sambung si muka tengkorak lagi sambil memandang sekelilingnya.
"Nanti bisa kita tanyakan pada penduduk yang kita temui lagi, Kang," timpal
laki-laki bermuka bopeng itu.
Belum lagi mereka melangkah jauh, keduanya
berpapasan dengan tiga orang petani yang tengah menuju ke sawah. Laki-laki
bermuka bopeng itu bergegas
mendekati. "Hei, Pak Tua...!" tegur laki-laki bermuka bopeng itu keras.
Tiga orang petani yang rata-rata berusia setengah baya itu menoleh ke arah asal
suara. Kening mereka berkerut, begitu melihat dua orang aneh bertingkah laku
kasar datang mendekat.
"Kau tahu di mana letak Hutan Bandan, Pak Tua?" tanya laki-laki berwajah bopeng
dengan kasar. Wajah tiga orang petani itu mendadak pucat. Tapi hal ini malah membuat si muka
bopeng tertawa senang.
"Tidak perlu takut," ucap laki-laki berwajah bopeng itu dengan lagak memuakkan.
"Kalau kalian memberitahu letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan."
Ketiga petani itu menggeleng-gelengkan kepalanya
serempak. "Kami... kami tidak tahu, Tuan," jawab salah seorang yang berkumis putih.
"Apa"!" teriak si muka bopeng. Sepasang matanya membelalak lebar. "Kau berani
berbohong pada kami, tua bangka peot"!"
Sambil berkata demikian, tangan laki-laki kasar itu meraba hulu pedang di
pinggangnya. Tentu saja hal itu membuat ketiga orang petani itu gemetar.
"Aku... aku tidak bohong, Tuan...," sahut salah seorang dari petani itu terbatabata. Terdengar suara berderak keras saat laki-laki bermuka bopeng itu mengepalkan
tangan kirinya.
"Keparat...! Rupanya kau lebih suka memilih mati, heh"!
Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua bangka!"
Setelah berkata demikian tangannya berkelebat cepat.
Dan.... Srat! Crak..! "Akh...!"
Si petani berkumis putih menjerit tertahan. Pedang laki-laki bermuka bopeng itu
telah membabat lehernya.
Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya!
Dua orang petani lainnya menatap tubuh kawannya yang tidak bernyawa lagi dengan
mata tidak berkedip. Bergidik bulu kuduk mereka menyaksikan kematian kawannya
yang begitu tragis. Jangankan melawan, berdiri saja rasanya hampir tak sanggup
lagi! "Nah! Bagaimana" Mau menunjukkan di mana letak Hutan Bandan atau, memilih nasib
seperti dia!" ancam laki-laki bermuka bopeng seraya menunjuk mayat petani sial
yang sudah tak berkepala. Sedangkan laki-laki berwajah tengkorak hanya
memperhatikan semua peristiwa itu
sambil menyeringai kesenangan.
Dua orang petani itu saling berpandangan sejenak.
Mereka tidak berani memandang wajah beringas si muka bopeng.
"Cepat jawab...! Sebelum kesabaranku hilang...!" sentak si muka bopeng gusar.
Tubuh dua orang itu menggigil semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba mereka nekat membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan si muka
bopeng. "Rupanya kalian juga memilih mampus...!" terdengar suara berseru nyaring. Tahutahu di depan keduanya telah berdiri si muka tengkorak. Kedua tangannya terlipat
di dada. "Ah...!" kedua petani itu berseru kaget. Dengan wajah pucat mereka menghentikan
langkahnya. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, si muka
tengkorak telah menggerakkan tangannya. Dalam sekejap tangannya telah
menggenggam sebatang golok.
"Hih...!"
Si muka tengkorak menusukkan goloknya ke arah perut salah seorang petani malang
itu. Blesss...! "Aaakh...!"
Petani sial itu menjerit memilukan ketika golok itu menembus perutnya. Darah
segar bermuncratan dari
perutnya. Beberapa saat lamanya petani sial itu berkelojotan meregang nyawa,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Pelahan-lahan si muka tengkorak mendekati petani
yang tersisa. Kontan si petani muridur ketakutan. Tapi langkahnya terhenti
ketika punggungnya terasa menyentuh sesuatu. Sambil berjingkat kaget, ia menoleh
ke belakang. Ternyata punggungnya menyentuh ujung pedang yang
diacungkan si muka bopeng. Kini dia tidak bisa lari ke mana- mana
"Ampun... ampunkan aku, Tuan anakku banyak....
Jangan bunuh aku...," rintih petani itu memelas.
Si muka tengkorak mendengus.
"Kami akan mengampunimu, Pak Tua. Kalau kau sayang pada anak-anakmu, katakanlah,
di mana letak Hutan
Bandan"! Bila kau menolak, maka kami tidak segan-segan mengirimmu ke akherat!"
Tubuh si petani semakin menggigil mendengar ancaman itu. "Ttt... tapi, Tuan....
Hutan yang Tuan sebutkan itu adalah hutan larangan. Hutan keramat! Hutan itu
telah diamanat-kan agar dijaga oleh penduduk Desa Bandan. Tidak
seorang pun diperbolehkan masuk ke dalamnya. Kalau ada yang masuk, apalagi
sampai membuat onar, maka
bencana akan menimpa desa kami..." ucap petani itu terbata-bata.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan desa ini!
Katakan di mana letak Hutan Bandan atau kau ingin mati pelan-pelan, heh! Ini
kesempatanmu yang terakhir, Pak Tua!" si muka bopeng sudah tak sabar. Pedangnya
yang sejak tadi menempel di punggung si petani semakin
ditekan. Darah mulai menetes dari luka di punggung petani matang itu.
Si petani menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di punggungnya.
"Ba... baik, baiKiah," ujar petani itu terputus-putus.
Si muka bopeng menarik kembali pedangnya.
"Hutan itu ada di balik gunung." si petani menjawab sambil menunjuk ke arah
sebuah gunung di hadapannya Kedua orang kasar itu mengikuti arah yang ditunjuk
oleh si petani. Benar mereka memang melihat sebuah gunung yang menjulang di
kejauhan. Si muka tengkorak menganggukkan kepalanya ke arah
si muka bopeng. Saat itu juga, si muka bopeng
menusukkan pedangnya ke punggung si petani.
Cappp...! "Akh...!"
Darah bermuncratan ketika pedang itu menembus
punggung hingga ke perut si petani.
Orang malang itu terbungkuk-bungkuk memegangi
perutnya. Lukanya bertambah lebar ketika si muka bopeng menarik kembali
pedangnya "Kkk.... kenapa Tuan mengingkari janji...?" si petani bertanya sambil menahan
rasa sakit. Desss! Tendangan si muka tengkorak menjawab pertanyaan si
petani itu. "Hugh...!"
Si petani mengeluh tertahan. Tendangan itu tepat
mengenai perutnya. Tubuhnya terjengkang, bergulingguling di tanah. Sang maut telah menjemputnya.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat petani sial itu,
keduanya segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan si petani.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi seorang anak belasan tahun melihat semua
kejadian itu dari balik semak belukar.
Begitu dilihatnya kedua pembunuh itu berlalu, anak itu pun segera berlari
kencang ke arah desa.
*** Ki Gayan, Kepala Desa Bandan tersentak kaget mendengar laporan yang dibawa oleh anak belasan tahun di depannya, ia mengenali
anak itu sebagai salah seorang warganya.
"Benarkah semua yang kau katakan ini, Dursa?"
tanyanya lagi meminta ketegasan.
"Sungguh mati, Ki, Aku tidak bohong!" sahut anak yang bernama Dursa itu.
Ki Gayan menggelengkan kepalanya.
"Cepat kau beritahukan peristiwa ini pada Ki Sancaperta, Dursa," perintah lakilaki setengah baya itu.
"Antarkan dia langsung ke tempat kejadian!"
"Sekarang, Ki?"
"Tentu saja!" sentak Ki Gayan agak kesal.
Kembali Dursa berlari. Kali ini tujuannya adalah rumah Ki Sancaperta, guru silat
di desa ini. Sedangkan Ki Gayan segera beranjak menuju tempat pembunuhan bersama
salah seorang pengawalnya.
Dalam waktu singkat Desa Bandan geger. Kematian tiga warganya membuat mereka
resah. Rasa cemas nampak
terlihat di setiap wajah penduduk.
"Hal ini tidak boleh dibiarkan!" tegas Ki Gayan. "Kita harus menangkap
pembunuhnya. "Aku setuju dengan pendapatmu, Gayan!" dukung seorang yang bertubuh tegap. Orang
ini kelihatan gagah dengan cambang bauk lebat di wajahnya. Dia satu-satunya guru
silat di Desa Bandan ini. Murid-muridnya cukup banyak. Semuanya penduduk desa
itu. "Akan kukejar orang yang berani kurang ajar memasuki Hutan Bandan, Gayan.
Jika melalui jalan pintas, mungkin aku masih dapat
mendahului mereka. Mudah-mudahan keduanya belum
sempat memasuki hutan."
"Ahhh...! Usulmu bagus sekali, Sanca." sahut Ki Gayan gembira.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Gayan."
Setelah berkata demikian, Ki Sancaperta segera
melesat dari tempat itu. Gerakannya cepat bukan main.
Sekali bergerak, tubuhnya sudah berada beberapa tombak di depan.
Ki Gayan segera memerintahkan para penduduk mengurus ketiga jenazah warganya. Laki-laki setengah baya ini merasa prihatin atas
malapetaka yang menimpa keluarga korban.
"Bukan tidak mungkin masih banyak orang yang akan menanyakan letak Hutan Bandan.
Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan?" desah Ki Gayan pada dirinya sendiri. Sepertinya ada
beban berat yang menekan batinnya.
*** Ki Sancaperta mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun tinggal di situ, ia hapal
betul seluk beluk seluruh Desa Bandan. Ki Sancaperta tahu jalan pintas menuju
Hutan Bandan. Tanpa mempedulikan onak dan ranting yang melukainya. Ki Sancaperta terus merambah semak belukar.
Begitu hamplr menembus rerimbunan semak terakhir,
matanya menangkap adanya dua sosok tubuh tengah
berjalan di depannya.
Brusss...! Ki Sancaperta cepat-cepat menerobos semak terakhir.
"Kisanak berdua, harap tunggu sebentar...!" seru guru silat ini.
Kedua orang itu menghentikan langkahnya sambil
menoleh ke belakang mencari asal suara.
Sesaat kemudian Ki Sancaperta telah berdiri menantang di depan mereka.
Ki Sancaperta mengamati kedua orang kasar itu
sejenak. Keduanya mempunyai ciri-ciri sesuai seperti yang diceritakan Dursa.
Yang satu, wajahnya bopeng, sementara yang seorang lagi berwajah kurus. Jadi
inikah kedua orang yang telah membunuh tiga orang warga desanya"
"Siapa kau"!" tegur si muka bopeng kasar. Matanya menatap tajam sekujur tubuh
guru silat itu.
"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu, Kisanak!" sergah Ki
Sancaperta seraya tersenyum.
"Kurang ajar! Rupanya kau cari mampus, heh!" bentak si muka bopeng.
"Kalianlah yang cari mampus! Aku menuntut balas atas kematian tiga warga desaku
yang baru saja kalian bunuh!"
sahut Ki Sancaperta geram.
"Keparat..! Mampuslah kau..!" teriak si muka tengkorak sengit.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, segera dicabut goloknya.
Lalu disabetkannya ke leher Ki Sancaperta. Begitu si muka bopeng melihat
kawannya sudah menyerang ia bersiap-siap membokong.
Wuttt...! Dan gerakannya, Ki Sancaperta tahu kalau kedua orang lawannya ini hanya memiliki
sedikit kepandaian. Rasanya tidak terlalu sulit baginya merobohkan keduanya.
Segera kepalanya ditarik ke belakang sehingga
serangan itu lewat beberapa rambut dari wajahnya. Pada saat yang bersamaan, Ki
Sancaperta segera melepaskan tendangan lurus ke arah perut.
Buk! "Hugh...!"
Si muka tengkorak mengeluh tertahan. Tubuhnya
terjengkang ke belakang. Darah segar menetes di sudut-sudut bibirnya.
Tapi sebelum Ki Sancaperta mengirimkan serangan
susulan, si muka bopeng lebih dulu melesat menyerang.
Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher.
Ki Sancaperta mendengus. Laksana kilat tubuhnya
menyelinap ke bawah. Pada saat yang bersamaan,
dilepaskannya pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan perut lawan.
Buk! Buk...! "Hughk...!"
Bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Ki Sancaperta mengenai sasaran. Terdengar
suara berderak ketika
tulang-tulang rusuk si muka bopeng berpatahan. Darah segar keluar dari mulut,
hidung, dan telinganya.
Bruk...! Tubuh si muka bopeng jatuh tersungkur. Nyawanya
melayang seketika.
"Keparat...!"
Si muka tengkorak berteriak gusar. Golok di tangannya diputar-putar laksana
baling-baling. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, diterjangnya guru silat
itu. Ki Sancaperta dengan tenang menggerakkan tubuhnya
ke sana kemari. Semua serangan si muka tengkorak
mengenai tempat kosong. Dan pada suatu ke sempatan....
Tak! Si muka tengkorak memekik ketika tendangan Ki
Sancaperta mengenai pergelangan tangannya. Golok di tangannya terlempar.
Sebelum orang kasar ini sempat berbuat sesuatu, kaki yang baru saja menendang
pergelangan tangannya
berputar cepat mengancam rahangnya. Gerakan itu begitu cepat dan tiba-tiba,


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga si muka tengkorak tidak sempat menghindar.
Krak...! Terdengar suara berderak keras ketika tulang leher si muka tengkorak patah.
Tubuhnya terlempar ke belakang.
Beberapa saat lamanya, laki-laki kasar itu menggeliat menjemput maut.
Ki Sancaperta memandangi kedua sosok tubuh yang
terkapar itu sejenak. Dengan sekali hentakan, kedua mayat itu ditendang masuk ke
semak-semak. Setelah menyelesaikan pekerjaannya laki-laki gagah itu bergegas kembali ke Desa
Bandan. *** "Aku semakin khawatir melihat perkembangan akhir-akhhr ini, Gayan," ucap Ki
Sancaperta ketika malam harinya mereka berembuk membahas masalah tadi pagi.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh Gempal, pengawal Ki Gayan sekaligus merangkap
Kepala Keamanan Desa
Bandan. Tak ketinggalan pula Jiwala, murid utama Ki Sancaperta.
"Hhh...!" Kepala Desa Bandan itu hanya menghela napas panjang.
"Ini adalah kejadian ketiga kalinya, Gayan. Belum lama ini beberapa warga kita
ditemukan tewas karena masalah yang sama. Orang-orang kasar itu selalu
menanyakan letak Hutan Bandan. Diberitahukan atau tidak, tetap saja
mereka dibunuh." ucap laki-laki gagah itu lagi.
"Hm..., mungkin karena adanya berita yang beredar di dunia persilatan, Guru,"
tukas Jiwala. Laki-laki gagah bercambang bauk itu menoleh ke arah muridnya.
"Berita apa, Jiwala?" tanya guru silat itu. Nada suaranya menyiratkan rasa ingin
tahu. Bukan hanya Ki Sancaperta saja, Ki Gayan dan Gempal pun memandang wajah
Jiwala dengan penuh perhatian.
Jiwala menarik napas panjang sebelum memulai
keterangan. "Menurut berita yang kudengar, ada sebuah benda bercahaya dari langit yang jatuh
di sekitar Gunung Bandan.
Jadi, yahhh.... di sekitar Hutan Bandanlah...," tegas pemuda bertubuh pendek
kekar itu. "Benda bercahaya dari langit...?" gumam Ki Sancaperta.
Jelas kalau guru silat itu masih belum mengerti. Ditatapnya Ki Gayan, dan
Gempal. Tapi keduanya terlihat tengah mengernyitkan alisnya. Rupanya kedua orang
ini juga dilanda perasaan yang sama.
"Benarkah apa yang kau ucapkan ini, Jiwala?" tanya Ki Sancaperta meminta
ketegasan. "Begitulah berita yang kudengar Guru," sahut Jiwala disertai anggukan kepalanya.
"Kalau benar semua yang kau ucapkan itu, berarti kita sekarang berada dalam
bahaya!" "Mengapa demikian, Ki?" tanya Gempal. Matanya merayapi wajah Ki Sancaperta yang
terlihat gelisah.
Guru silat itu menatap wajah Kepala Keamanan Desa
Bandan itu lekat-lekat.
"Kau tidak bisa menduga akibat berita itu, Gempal"!"
tanya laki-laki gagah itu. Suaranya mengandung teguran.
"Orang- orang persilatan pasti akan berbondong-bondong datang ke Hutan Bandan.
Bukankah kau tahu bahwa hutan itu merupakan daerah terlarang" Bukankah kita
dipesan untuk melarang siapa pun masuk ke dalamnya" Kalau hal itu dilanggar,
maka desa kita akan dilanda musibah!"
Wajah Gempal memerah karena malu. Pikirannya baru
terbuka setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari gurunya. Gempal memang
kurang cepat tanggap terhadap setiap masalah, meskipun kedudukannya adalah
sebagai kepala keamanan desa.
"Lalu bagaimana baiknya, Sanca?" tanya Ki Gayan.
Otaknya buntu memikirkan jalan keluar persoalan ini.
Ki Sancaperta menghela napas panjang mendengar
pertanyaan itu. Bisa dimaklumi kebingungan di benak kepala desa yang sejak kecil
menjadi teman karibnya ini.
"Kau tidak mempunyai usul, Gayan?" tanya guru silat itu.
Pelan dan datar nada suaranya.
Ki Gayan menggelengkan kepalanya.
"Pikiranku buntu, Sanca." sahut kepala desa itu mendesah.
Ki Sancaperta tercenung sejenak.
"Kalau begitu, begini saja Jiwala dan Gempal memimpin penjagaan di mulut desa.
Usahakan, cegah orang yang akan menuju Hutan Bandan. Jika menjumpai lawan yang
lebih kuat, segera pukul kentongan. Aku akan datang membantu kalian. Kalian
paham"!" tanya guru silat ini sambil menatap kedua laki-laki muda di hadapannya
"Paham, Guru!" sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya.
"Paham, Ki!" jawab Gempal pula.
"Bagus! Atur penjagaan sebaik-baiknya."
*** 2 Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah
pelahan memasuki Desa Bandan. Baru saja ia melangkah melewati tembok baru batas
desa, di depannya telah
menghadang belasan orang bersenjata lengkap. Sikap
mereka tampaknya tidak bersahabat.
Pemuda yang tidak lain adalah Arya atau yang lebih
terkenal berjuluk Dewa Arak itu mengerutkan alisnya. Tapi, pemuda ini seolaholah bersikap tidak tahu apa yang terjadi di hadapannya.
"Berhenti...!"
Terdengar teriakan bernada kasar. Belum lagi gema
teriakan itu lenyap, tahu-tahu belasan sosok tubuh tadi sudah bergerak
mengurungnya. Srat! Srat...! Serentak orang-orang itu mencabut senjatanya. Tentu saja hal ini membuat Dewa
Arak yang tidak tahu apa-apa, menjadi kaget bukan main.
"Tahan...!" teriak Arya keras. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. "Ada apa Ini"
Mengapa kisanak semua menghadang perjalananku?"
Salah seorang pengepungnya maju menghampiri. Orang
itu adalah Jiwala, murid kepala Ki Sancaperta.
"Tidak usah berpura-pura, Kisanak! Bukankah kau ingin ke Hutan Bandan untuk
mendapatkan benda langit itu?"
sergah pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil tersenyum sinis. Dewa Arak mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti
maksud pembicaraan orang itu.
Belum lagi Arya menjawab, si pendek kekar sudah
melompat menyerang. Golok di tangannya disabetkan ke leher Dewa Arak.
Tentu saja serangan orang yang berkepandaian seperti Jiwala tidak berarti apaapa bagi Dewa Arak. Kalau dia mau, hanya dengan menyalurkan sedikit tenaga
dalamnya, serangan tadi tidak akan mampu melukai kulitnya.
Tapi Dewa Arak tidak mau mempertunjukkan kelihaiannya. Kepalanya dimiringkan sedikit, sehingga serangan itu lewat di atas
kepalanya. Ia tak ingin melancarkan serangan balasan. Arya tahu kalau belasan
orang ini hanya salah paham.
Jiwala kalap begitu melihat serangannya dapat digagalkan. Kini, golok di
tangannya kembali menyambar semakin dahsyat.
Lagi-lagi pemuda kekar ini menerima kenyataan pahit.
Semua serangannya dapat dielakkan secara mudah oleh Dewa Arak. Hal ini membuat
kemarahannya semakin
meluap. Sambil menggertakkan gigi, diperhebat serangan-serangannya.
Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Hatinya kesal melihat kenekatan lawan. Akhirnya
Arya memutuskan untuk segera menyelesaikan pertarungan ini
"Lepas...!" teriak Dewa Arak keras. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,
tangannya bergerak menotok ke arah sikut Jiwala.
Tuk! "Akh....!"
Murid kepala Ki Sancaperta ini memekik tertahan.
Sekujur tangannya lumpuh seketika. Belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, tahutahu golok di tangannya telah berada dalam genggaman Dewa Arak.
Kini sadarlah Jiwala kalau pemuda di hadapannya memiliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera menoleh ke
belakang sambil berseru keras.
"Serang..!"
Seketika itu juga para pengepung Dewa Arak segera
menyabetkan senjatanya masing-masing.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Orang-orang ini
benar-benar nekat! Mereka sama sekali tidak mau mendengar penjelasannya. Arya
akhirnya memutuskan untuk menghindar. Pemuda berbaju ungu ini khawatir kalau
melawan dengan kekerasan hanya akan memperuncing
keadaan. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak melenting ke atas, melewati kepala para
pengeroyoknya. "Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di luar
kepungan. Dan secepat itu pula segera dilangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Jiwala dan teman-temannya terpaku melihat lawan yang mereka serang sudah tidak
berada di tempatnya lagi.
Untuk sesaat mereka celingukan mencari-cari.
"Itu dia...!" teriak Jiwala menunjuk ke arah Dewa Arak yang tengah melangkah
memasuki desa. Mereka segera berbondong-bondong mengejar. Tentu
saja Dewa Arak yang berjalan biasa, dalam waktu singkat sudah terkejar. Pemuda
berambut putih keperakan ini kembali dikepung.
"Jangan harap dapat memasuki Hutan Bandan sebelum melangkahi mayat kami,
Kisanak!" seru Jiwala keras.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Harap kisanak semua mau mengerti
penjelasanku. Sungguh, aku sama sekali tidak berniat menuju ke Hutan Bandan.
Apalagi mencari apa yang kalian sebut benda langit itu."
Jiwala mengernyitkan keningnya. Ucapan pemuda
berambut putih keperakan ini mulai membuatnya sedikit percaya.
"Lalu, apa maksudmu datang ke desa ini?" tanya Jiwala lagi. Nada suaranya mulai
terdengar lunak.
"Hanya kebetulan lewat," sahut Arya
"Hanya itu saja?" desak Jiwala. Ada rasa tidak percaya pada nada suaranya.
"Ya." jawab Arya singkat.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu menganggukanggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?" tanya pemuda pendek kekar itu lagi.
"Aku Jiwala."
"Arya, Arya Buana."
"Baiklah, Arya. Kami percaya bahwa kau tidak hendak menuju Hutan Bandan. Tapi
ingat, kalau ternyata kau menuju ke sana, kami tidak akan segan-segan menindakmu!" tandas Jiwala tegas.
Dewa Arak menghela napas lega.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan pada-ku, Kakang Jiwala.
Percayalah..., nama Hutan Bandan, mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari
mulutmu sendiri, Kang."
"Aku percaya padamu, Arya. Kelihatannya kau berbeda dengan orang-orang
persilatan yang pernah datang ke sini,"
jelas Jiwala. "Jadi, banyak orang yang datang kemari menanyakan masalah Hutan Bandan itu,
Kang?" "Ya." sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya.
"Semua ini karena beredarnya berita yang tersebar luas di luaran."
"Berita apa, Kang?" tanya Arya ingin tahu.
"Berita yang mengatakan adanya sebuah benda bersinar dari langit yang jatuh ke Hutan Bandan. Entah dari mana asal berita itu.
Jelas berita itu telah membuat orang-orang persilatan berbondong-bondong kemari
mencarinya. Padahal Hutan Bandan bagi kami merupakan hutan
larangan. Tidak seorang pun diperbolehkan menginjakkan kakinya ke sana. Kalau
itu sampai terjadi, kamilah yang akan terkena akibatnya...," jelas Jiwala sambil
mendesah. Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiranya
ia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi di desa ini.
Kaum persilatan, lebih-lebih dari golongan hitam, rata-rata bersikap kasar. Hal
ini sudah pasti akan menimbulkan kesulitan. Apalagi penduduk desa ini tidak
mengijinkan orang memasuki Hutan Bandan. Bentrokan sudah pasti
tidak bisa dihindari lagi.
"Belum lama ini, tiga orang penduduk kami tewas karena tidak mau memberitahu
orang yang menanyakan
letak Hutan Bandan," sambung Jiwala lagi. "Untung sebelum kedua orang itu
memasuki Hutan Bandan, guru kami telah bertindak cepat, sehingga keduanya tewas
sebelum memasuki Hutan Bandan."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat itu
pandangan matanya yang tajam menangkap sosok di
kejauhan bergerak mendekati tempat mereka. Gerakannya cukup cepat, sehingga tak
lama kemudian sudah berada di dekat mereka.
"Guru...!" Jiwala dan teman-temannya segera memberi hormat begitu mengenali
orang yang baru datang itu.
Arya menatap laki-laki bertubuh kekar dan bercambang bauk itu. Orang yang baru
tiba adalah Ki Sancaperta, guru silat desa itu.
Ki Sancaperta menatap lekat-lekat sekujur tubuh Dewa Arak. Keningnya berkernyit
dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ahhh...! Tidak salahkah penglihatanku"! Benarkah yang sekarang berada di
hadapanku ini Dewa Arak"!" ujar Ki Sancaperta beberapa saat kemudian.
Tentu saja ucapan Ki Sancaperta membuat murid-muridnya terperangah. Benarkah
pemuda berambut putih
keperakan yang mereka kepung ini adalah pendekar yang tersohor itu"
"Ah...! Hanya julukan kosong saja, Ki," sahut Arya merendah.
"Ha... ha... ha...!" guru silat itu tertawa bergelak. "Begitulah jawaban orang
yang telah memiliki kepandalan tinggi.
Semakin berisi semakin merunduk!"
Wajah Dewa Arak langsung memerah. Memang begitu
sikap Arya. Ia merasa risih jika ada orang yang memujinya.
"O ya, Dewa Arak. Bagaimana kalau kau singgah dulu di sini. Perlu kau ketahui
sebentar lagi desa ini akan menjadi desa neraka. Puluhan orang persilatan akan
datang kemari. Kami sangat mengharapkan bantuan darimu Dewa Arak!"
"Saya akan berusaha, Ki," sahut Arya mendesah.
"Ha... ha... ha...! Terima kasih atas kesediaanmu. Mari, mari...!" ajak Ki
Sancaperta seraya beranjak meninggalkan tempat itu diikuti Dewa Arak yang
mengangguk setuju.
"O ya, Jiwala! Teruskan penjagaan! Jangan biarkan orang luar masuk ke desa ini!"
"Baik, Guru!" sahut Jiwala penuh semangat. Pikirannya masih terpaku pada apa
yang baru saja di dengarnya. Sulit dipercaya bila pemuda yang tadi diserangnya
adalah Dewa Arak. Sungguh luar biasa pengalaman yang didapatnya hari ini.
Bertarung dengan tokoh yang sangat tersohor, Dewa Arak!
*** Tiga sosok tubuh melangkah pelahan merambah hutan.
Potongan tubuh mereka rata-rata kekar dan tegap. Wajah ketiganya pun mirip satu
sama lain. Dunia persilatan men-juluki mereka Tiga Memedi Putih. Yang membedakan
mereka satu sama lain adalah ciri-ciri khas mereka. Mata mereka memandang liar
ke sana kemari.
"O ya, Kang Narda. Benarkah berita yang Kakang dengar itu" Benarkah benda langit
jatuh di hutan ini?" tanya salah seorang dari mereka yang beralis putih. Memedi
Alis putih, julukannya.
Orang yang dipanggil Narda menoleh. Berbeda dengan
orang yang menegurnya Narda memiliki jenggot putih, sehingga diberi julukan
Memedi Jenggot Putih.
"Berita itu sudah demikian meluasnya, Adi. Hampir semua orang persilatan tahu.
Bahkan...., asal tahu saja, aku bukan hanya mendengar berita itu... tapi juga
melihat dengan mata kepalaku sendiri."


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah yang kau katakan itu, Kang Narda?" tanya Memedi Kumis putih. Orang ini
disebut demikian karena memiliki kumis putih.
"Sungguh! Sekarang pasang mata kalian lebar-lebar. Aku khawatir kita keduluan
orang lain. Kalian tahu, bukan hanya kita bertiga saja yang menginginkan benda
langit itu!"
Mendengar ucapan Memedi Jenggot Putih, semangat
dua orang rekannya bangkit kembali. Mata mereka
semakin liar merayapi setiap sudut Hutan Bandan.
Srak..! Memedi Kumis Putih menyibakkan semak-semak di
depannya. Tapi begitu semak-semak itu terkuak secepat kilat tubuhnya melenting
ke belakang. Sebuah jeritan tertahan keluar dan mulutnya.
Jeritan Memedi Kumis Putih mengejutkan kedua orang
rekannya. Serentak keduanya berpaling dengan sikap
waspada. Sebelum mereka sempat bertanya, tahu-tahu
dari balik semak-semak itu melesat sesosok bayangan putih yang luar biasa
besarnya. Bayangan itu langsung melesat ke arah Memedi Kumis Putih.
"Aummm...!"
Memedi Kumis Putin terperanjat kaget. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat. Buru-buru dia melompat ke samping. Tubuhnya bergulingguling menjauhi binatang itu.
Sesaat kemudian Ia sudah berdiri dengan sebuah ganco tergenggam di tangannya.
Memedi Jenggot Putih dan Memedi Alis Putih kaget
bukan kepalang. Di hadapan mereka kini telah berdiri seekor macan berwarna putih
yang sangat besar.
"Macan putih...," desis Tiga Memedi Putih serentak.
Pandang mata mereka seakan-akan tidak mempercayai
apa yang dilihatnya. Mereka segera teringat kalau macan putih di hadapan mereka
ini bukan tergolong macan putih biasa. Tapi macan ajaib!
Sudah menjadi rahasia umum kalau macan putih ajaib
memiliki banyak kegunaan. Darahnya dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan. Bahkan
apabila diminum akan membuat orang kebal terhadap
segala jenis racun. Racun apa pun yang masuk ke dalam tubuhnya langsung menjadi
tawar. Bukan hanya itu, tulang-tulangnya dapat dijadikan senjata pusaka.
Kulitnya apabila dijadikan pakaian akan membuat pemakainya kebal terhadap jenis
senjata apa pun!
"Gagal mendapat benda langit, aku pun tidak
penasaran... asalkan dapat menangkap binatang ini."
gumam Memedi Alis Putih pelan.
Kedua rekannya menganggukkan kepala pertanda
setuju. Macan putih tidak membiarkan ketiga orang di hadapannya berpikir lebih lama
lagi. Dengan sebuah auman
dahsyat, binatang itu menerkam Memedi Alis Putih yang berada sendirian, terpisah
dari rekan-rekannya.
Tapi si alis putih ini rupanya sudah bersiaga sebelumnya. Begitu macan itu
melompat, segera tubuhnya dilempar ke belakang sambil menyabetkan ganconya.
Takkk...! Telak dan keras sekali senjatanya menghantam kepala macan itu. Tapi akhirnya,
justru tangannya tergetar hebat Sementara macan itu tampak tidak terpengaruh
sama sekali. Kedua rekannya tidak membiarkan Memedi Alis Putih
menghadapi binatang itu sendirian. Mereka segera bergerak membantu. Tak lama
kemudian terjadilah sebuah pertarungan yang unik. Pertarungan antara seekor
macan dengan tiga orang manusia.
Tiga Memedi Putih mengeluh dalam hati. Mereka sama
sekali tidak menyangka kalau macan putih itu begitu tangguh. Berkall-kali
pukulan, tendangan atau pun sabetan ganco menghantamnya. Tapi semua itu seolaholah tidak dirasakannya.
Sebaliknya, setiap cakaran, tubrukan, maupun
tamparan sang macan, membuat mereka pontang-panting mengelakkannya.
"Aummm...!"
Untuk kesekian kalinya sambil mengeluarkan auman
menggetarkan dada, macan putih menerkam Memedi
Kumis Putih. "Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit melengking. Terkaman
sang macan tak dapat dielakkannya. Tubuhnya langsung terjengkang. Kini sang
macan berada di atas tubuhnya.
Meskipun kedua bahunya telah robek, tapi laki-laki berkumis putih itu tidak mau
menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga, ditahannya leher macan yang berusaha
menggigit lehernya
Dua orang rekannya tidak tinggal diam. Mereka segera melesat menghampiri
kawannya. Tapi terlambat...!
"Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit memilukan tatkala gigigigi sang macan mengoyak lehernya. Sesaat tubuhnya
menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Memedi Alis Putih dan Memedi Jenggot Putih terpaku
melihat kematian temannya. Dan di saat itulah macan putih kembali menerkam. Kaki
kanan depannya berhasil mencakar muka Memedi Alis Putih.
Prattt.! "Akh...!"
Memedi Alis Putih memekik tertahan. Tubuhnya
terjungkal dengan leher patah. Nyawanya telah melayang menyusul rekannya.
Kini tinggal Memedi Jenggot Putih. Tidak mungkin
baginya menghadapi macan yang luar biasa ini. Kali ini ia berusaha mencari
kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika sang macan lengah, tanpa malu-malu lagi
Memedi Jenggot Putih melesat kabur. Tapi sang macan tidak membiarkan lawannya
lolos begitu saja. Sambil mengeluarkan auman yang mendirikan bulu roma,
binatang itu menerkam Memedi Jenggot Putih.
"Akh...!"
Memedi Jenggot Putih memekik tertahan ketika
punggungnya ditubruk macan putih. Tubuhnya langsung jatuh terguling-guling. Dan
sebelum dia sempat berbuat sesuatu, gigi-gigi sang macan telah bersarang di
tengkuk-nya. Tubuh Memedi Jenggot Putih menggelepar-gelepar
sesaat. Tak lama kemudian tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.
Setelah melihat ketiga korbannya tewas, macan itu
mengeluarkan suara gerengan pelan. Sepertinya dia
merasa puas atas kemenangannya. Kemudian macan itu
mengelilingi mayat-mayat korbannya.
Di saat itulah, tiba-tiba muncul seorang nenek berpakaian dan berkerudung hitam menghampiri sang macan.
Kulit wajahnya tampak kehitaman. Sepasang mata, hidung dan mulutnya mengingatkan
orang akan raut muka burung elang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat
berkeluk yang berujung ukiran kepala burung elang berwarna hitam.
"Bagus...! Kau memang hebat, Putih! Ingat...! Bukan hanya mereka saja yang harus
kau bunuh. Tapi juga setiap orang yang berani memasuki hutan ini. Mengerti,
Putih?" Macan putih itu hanya menggereng pelan pertanda
mengerti. "Bagus...!" puji si nenek itu lagi. "Nanti malam, kau dapat pekerjaan baru.
Hukum penduduk Desa Bandan yang telah membiarkan orang-orang ini masuk kemari!"
Kembali macan putih itu menggereng pelan.
"Hik... hik... hik...!" si nenek berpakaian serba hitam itu tertawa mengikik
seraya berlalu meninggalkan tempat itu.
Macan putih mengikutinya sambil mengaum pelan.
*** 3 "Auuung...!"
Lolongan anjing hutan mengaung panjang. Suaranya
menembus kesunyian malam yang menyelimuti Desa
Bandan. Malam itu suasananya memang agak berbeda
dari biasanya Langit tertutup awan tebal, sehingga cahaya bulan terhalang
sinarnya. Di balik kegelapan malam itu, tampak sesosok
bayangan putih dari Hutan Bandan bergerak cepat
memasuki desa. Gerakannya gesit sekali. Sesekali terdengar suara gerengan lirih
mengiringi gerakannya.
Tak lama kemudian, bayangan itu sudah tiba di daerah pemukiman penduduk. Keadaan
di sini tidak segelap
keadaan di sekitarnya. Cahaya obor yang terpancang di setiap rumah penduduk,
cukup menerangi suasana di
sekelilingnya. Sosok bayangan putih mulai memperlambat gerakannya. Kini langkahnya ditujukan pada salah satu rumah penduduk. Di bawah
penerangan obor, kini tampak jelas ujud sebenarnya. Sosok bayangan putih itu tak
lain adalah seekor macan putih!
Tubuh macan itu besar sekali. Jauh lebih besar dari macan biasa. Paling tidak
satu setengah kali besar macan biasa!
Sambil mengeluarkan gerengan lirih binatang itu
menubruk pintu sebuah rumah yang berdinding bilik.
Brakkk...! Pintu rumah itu langsung jebol ketika tubuh macan itu menerjang masuk. Suara
ribut-ribut membuat penghuni rumah yang terdiri dari sepasang suami istri dan
seorang anak yang masih kecil terbangun. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya mereka tatkala melihat seekor macan putih besar berada di dalam
rumahnya. "Cepat kalian lari...!" teriak sang kepala keluarga sambil menyambar golok yang
tergantung di dinding bilik.
Kemudian dengan penuh keberanian, diterjangnya macan itu dengan golok terhunus.
Dorongan semangat untuk
menyelamatkan keluarganya, telah membangkitkan
keberaniannya. Tapi.....
"Aaakh...!"
Kepala keluarga yang naas itu menjerit keras. Sebelum senjatanya mengenai
sasaran, macan itu lebih dahulu menerkamnya. Seketika itu juga tubuhnya
terjengkang ke belakang dan jatuh ke lantai dengan tubuh binatang buas itu
berada di atasnya.
Suara berdebuk nyaring terdengar ketika tubuhnya jatuh di lantai. Sementara itu,
istri dan anaknya hanya dapat duduk bersimpuh di lantai. Perbuatan macan putih
itu, membuat lutut mereka lemas. Jangankan lari, berdiri pun tidak mampu. Lidah
kedua anak beranak ini terasa kelu.
"Aummm...!"
"Akh...!"
Pemilik rumah itu memekik nyaring ketika gigi-gigi dan kuku macan itu bersarang
di leher dan tubuhnya. Sesaat tubuhnya berkelojotan sebelum akhirnya diam tak
bergerak lagi. Setelah melihat kematian suaminya yang tragis, akhirnya sang istri mampu juga
berteriak. "Tolooong...! Tolooong...!" teriak perempuan itu nyaring memecah kesunyian
malam. "Aummm...!"
Macan itu kembali menerkam. Kali ini ke arah sang Istri!
"Aaakh...!"
Wanita itu memekik tertahan ketika gigi-gigi macan itu menghunjam lehernya.
Hanya sebentar tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu diam untuk selamanya.
"Ibu..., Bapak...," rintih sang anak antara perasaan sedih dan takut. Air
matanya mengalir deras membasahi pipi.
"Grrrh...!"
Sang macan kembali menggeram. Ditubruknya gadis
kecil itu. Tapi berbeda dengan nasib kedua orang tuanya.
Anak itu tidak dicabik-cabik, melainkan dibawanya kabur melesat menuju Hutan
Bandan. *** Keesokan harinya para penduduk yang tinggal di sekitar rumah korban, berbondongbondong datang ke rumah
keluarga yang naas itu.
Sesungguhnya mereka mendengar suara minta tolong
dari sang istri. Tapi mereka pura-pura tidak mendengar.
Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa, melawan
Macan Putih Hutan Bandan yang terkenal kebal senjata itu.
Kegemparan melanda seisi Desa Bandan ketika
warganya menemukan tubuh korban yang tercerai-berai mengerikan.
"Ahhh... Macan putih itu mulai mengambil korban...,"
desah salah seorang penduduk.
"Ya. Sekarang giliran Pak Jalanta sekeluarga. Entah giliran siapa lagi nanti,"
sambung seorang laki-laki setengah baya berjenggot tebat.
Ucapan laki-laki itu membuat wajah-wajah penduduk
lainnya pucat. Mereka ngeri membayangkan seandainya macan putih itu menyatroni
rumah mereka. "Eh..., ke mana mayat Karsini" Apakah dia berhasil melarikan diri?" tanya salah
seorang penduduk begitu teringat pada anak perempuan Pak Jalanta.
"Eh..., iya. Ke mana Karsini, ya?" sambut yang lainnya.
"Kalian ini bodoh atau pikun!" sergah laki-laki berjenggot itu. "Mana mungkin
anak sekecil itu dapat lolos dari maut!"
"Lalu, kalau begitu di mana mayatnya?" tanya orang yang pertama kali teringat
Karsini. Nada suaranya
menyiratkan perasaan tidak senang.
"Apalagi kalau bukan dibawa macan itu! Yahhh...,
nasibnya pasti serupa dengan remaja-remaja kita yang dikorbankan pada setiap
malam bulan purnama." sahut laki-laki yang berjenggot lebat. Ada kesedihan yang
dalam pada tekanan suaranya.
Kepala orang orang yang hadir di situ terangguk-angguk.
Ucapan laki-laki berjenggot lebat itu memang masuk akal.
Tiba-tiba kerumunan orang-orang itu tersibak. Ki Gayan muncul diiringi Ki
Sancaperta. Di belakangnya tampak Dewa Arak melangkah pelahan.
"Minggir semua..!" teriak Gempal keras. Seketika itu juga kerumunan buyar,
memberikan jalan kepada tetua desanya.
"Ahhh..! Apa yang selama ini kukhawatirkan, akhirnya menjadi kenyataan..." desah
Ki Gayan manakala melihat mayat Pak Jalanta dan istrinya. Ada nada keprihatinan
pada suaranya. "Yahhh.., macan putih itu mulai meminta korban!"
sambung Ki Sancaperta. Nada suaranya menampakkan
kemarahan. Ki Gayan berpaling menatap sang guru silat. Sorot matanya mengandung teguran.
Tapi Ki Sancaperta yang telah diamuk amarah tidak mempedulikannya. Sedangkan
Dewa Arak memperhatikan kedua mayat di depannya sambil
mendengarkan percakapan kedua tokoh Desa Bandan itu.
Rupanya ada pertentangan pendapat di antara keduanya.
"Sejak dulu sebenarnya aku tidak setuju dengan permintaan kakek itu, Gayan. Toh,
apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi juga." Ki Sancaperta menegur kepala
desa itu. "Hhh...,!" Ki Gayan menghela napas. "Apa daya kita, Sanca" Kurasa orang
tua itu bermaksud baik. Dia ingin agar desa kita terhindar dari bencana yang
lebih besar. Kalau kita tidak turuti permintaannya, peristiwa seperti ini sudah terjadi sejak
lama!" "Sekarang atau dulu sama saja!" sergah Ki Sancaperta keras. "Bukankah kita tidak
pernah lalai memberikan apa yang dimintanya, tapi kenyataannya" Tetap saja dia
membantai warga kita!"
"Mungkin permintaan kedua yang tidak bisa kita penuhi," bantah sang kepala desa
dengan nada halus
"Kalau begitu, berarti dia benar-benar tidak punya pikiran!" teriak guru silat
itu dengan nada tinggi.
"Bagaimana mungkin kita dapat menahan orang-orang persilatan yang begitu
banyak"!"


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, menurutmu bagaimana, Sanca?"
Ki Sancaperta menghela napas panjang.
"Kalau menurutku, keadaan sudah telanjur. Macan itu telah mengganas. Dugaanku,
tindakan macan itu tidak sampai di sini saja." duga guru silat itu.
"Mudah-mudahan saja dugaanmu salah, Ki," ucap Ki Gayan. Tapi dari nada suaranya,
Ki Sancaperta tahu kalau kepala desa itu tak yakin pada ucapannya sendiri.
"Hhh...!" Ki Sancaperta menghela napas panjang.
"Sudahlah, Gayan. Tidak pedu kita ributkan masalah ini.
Yang penting, kita urus mayat-mayat ini lebih dahulu"
*** "Kami ingin bicara denganmu sebentar, Dewa Arak,"
ucap Ki Sancaperta. Malam ini mereka bertiga berkumpul di sebuah ruang yang
cukup luas. "Silakan, Ki." sahut Arya mempersilakan.
Ki Sancaperta mendehem sebentar kemudian memulai
ucapannya. "Begini, Dewa Arak. Puluhan tahun yang lalu desa ini pernah dilanda musibah.
Puluhan perampok menyerbu
desa ini. Untungnya muncul seorang kakek sakti bersama seekor macan putih. Para
perampok itu dengan mudah
dapat diusirnya. Tapi sebelum kami sempat berterima kasih, kakek itu bersama
macan peliharaannya telah
melesat masuk ke dalam Hutan Bandan."
Guru silat itu menghentikan sebentar ceritanya. Ditatapnya wajah Arya untuk
melihat reaksinya. Hatinya agak lega manakala dilihatnya Dewa Arak serius
mendengarkan ceritanya. "Sekitar beberapa tahun yang lalu, kakek itu muncul kembali menemui kami. Dia
meminta kami menyediakan
seorang anak lelaki atau perempuan pada setiap bulan purnama. Mereka harus
ditinggalkan di Hutan Bandan
sendirian. Bukan itu saja, dia pun melarang kami
memasuki hutan itu. Pokoknya Hutan Bandan dijadikan daerah terlarang."
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Arya. Kening pemuda ini berkernyit. Jelas ada
sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Ki Sancaperta menarik napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya.
"Kami pun tidak tahu. Orang tua itu hanya mengatakan kalau kami melanggar
larangannya, musibah akan
menimpa desa ini. Jadi, yahhh..., dengan amat terpaksa kami menuruti
permintaannya," jawab guru silat itu.
"Ada sesuatu yang membuatku heran, Dewa Arak," selak Ki Gayan begitu Ki
Sancaperta menghentikan ceritanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Arya cepat Rasa keingintahuan yang besar nampak jelas pada
raut wajahnya. "Kakek itu kelihatannya terpaksa ketika mengajukan permintaannya," sahut kepala
desa itu menjelaskan.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya.
"Maksud, Aki?" tanya permuda berambut putih keperakan itu lagi. Sinar matanya
menyorotkan ketidak-mengertian.
Ki Gayan menghela napas panjang.
"Sepertinya..., kakek itu melakukannya dengan terpaksa," jawab Kepala Desa Bandan
ini pelan. "Jadi, ada sesuatu yang memaksanya?" terka Arya mulai paham.
"Kira-kira begitulah, Dewa Arak." jawab Ki Gayan seraya menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Nampak kalau
pemuda berbaju ungu ini tengah berpikir keras.
"Dan kini malapetaka itu telah terjadi!" tukas Ki Sancaperta tiba-tiba.
Arya menoleh. Ditatapnya wajah guru silat itu lekat-lekat, ia masih belum
mengerti ucapan Ki Sancaperta.
"Macan putih itu telah membuat teror di Desa Bandan!"
"Mengapa begitu, Ki" Apakah permintaan kakek itu tidak dipenuhi?"
"Permintaan mengenai anak yang harus diantarkan ke Hutan Bandan selalu kami
penuhi. Tapi, permintaan untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke Hutan
Bandan, tidak dapat kami penuhi. Kurasa kau bisa memahaminya.
Dewa Arak," jelas Ki Gayan.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mengerti persoalan yang tengah dihadapi penduduk Desa Bandan. Rupanya berita
tentang adanya benda langit, membuat orang-orang persilatan berdatangan kemari.
Mana mungkin penduduk desa ini mampu mencegah
mereka memasuki Hutan Bandan"
"Kalau boleh kutahu, buat apa kakek itu meminta seorang anak pada setiap malam
bulan purnama?" tanya Arya penasaran.
Kedua orang tetua Desa Bandan itu menggeleng
pelahan. "Kami pun tidak pernah tahu." keluh Ki Gayan pelan.
"Tapi yang jelas, setiap anak yang kami kirimkan, tidak pernah kembali lagi."
Dewa Arak terdiam sejenak.
"Apakah Aki berdua mengijinkan kalau aku mencoba menyelidiki masalah ini?" tanya
Arya hati-hati.
"Maksudmu?" Ki Gayan balas bertanya. Meskipun ia sudah dapat menduga maksud
pembicaraan Arya, tapi
kepala desa ini ingin mengetahui lebih jelas.
"Aku akan ke Hutan Bandan, Ki."
"Apa"!" sentak Ki Gayan keras. "Kau ingin menimbulkan korban penduduk lebih
banyak lagi"! Tidak! Aku tidak mengijinkan kau ke sana!"
Arya menghela napas panjang. Jawaban seperti itu
sudah diduga sebelumnya.
"Biarkan dia pergi ke sana, Gayan," ujar Ki Sancaperta mendukung usul Dewa Arak.
"Tidak!" tegas Ki Gayan tetap bersikeras. "Aku tidak mau ada wargaku menjadi
korban lagi!"
"Percuma! Musibah ini telah telanjur terjadi. Aku yakin, macan putih itu tidak
akan berhenti mencari korban. Tidak ada gunanya lagi kita turuti perjanjian
itu!" "Jadi, kau...?"
"Ya!" potong Ki Sancaperta cepat-cepat. "Aku setuju usul Dewa Arak!"
"Hhh...! Kau sudah bermain api, Sanca!" keluh Ki Gayan.
"Apa boleh buat, Gayan. Api itu telah mulai membakar.
Agar api itu tidak semakin membesar, maka kita harus memadamkannya. Dengan atau
tanpa kau, aku akan
menentang kakek dan macan putih itu!" tegas guru silat itu. Nada suaranya mulai
meninggi. Ki Gayan tercenung. Diserapinya semua perkataan yang keluar dari mulut
sahabatnya ini. Diakuinya, ada kebenaran yang terkandung dalam ucapan itu.
"Bagaimana, Gayan" Kau tetap tidak setuju dengan rencana ini?" tanya Ki
Sancaperta lagi. Ia masih melihat adanya keraguan di wajah sang kepala desa.
Beberapa saat lamanya, orang nomor satu di Desa
Bandan ini termenung. Akhirnya kepalanya mengangguk pelahan. Sudah barang tentu
hal ini membuat Dewa Arak dan Ki Sancaperta lega.
Laki-laki gagah bercambang bauk lebat itu menghampiri Ki Gayan. Ditepuk-tepuknya
bahu sahabatnya itu.
"Aku percaya kau pasti menyetujui usulku Gayan." ucap Ki Sancaperta dengan wajah
berseri-seri. "Tapi, aku masih sangsi, apakah usaha kita ini akan berhasil?" keluh kepala desa
itu pelahan. "Berhasil atau tidaknya usaha ini, kita serahkan saja pada Yang Maha Kuasa. Yang
penting, kita berusaha
dengan sekuat tenaga. Bukankah begitu, Dewa Arak?"
tanya guru silat itu sambil menoleh ke arah Dewa Arak.
"Tepat sekali, Ki!" sahut Arya cepat.
*** 4 Malam kembali menyelimuti bumi. Langit tak berawan.
Sehingga cahaya bulan mampu menerangi persada.
Di bawah keremangan sinar bulan itu, melesat
bayangan putih besar kekar dari Hutan Bandan. Bayangan itu tak lain adalah
seekor macan putih.
Macan itu melesat cepat menuju pemukiman penduduk.
Begitu cepat gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan
putih. Tapi sebelum macan putih itu memasuki salah satu
rumah penduduk, berkelebat dua bayangan menghadang
di depannya Kedua penghadang itu adalah Ki Sancaperta dan Ki
Gayan. Dengan sikap waspada, kedua tetua Desa Bandan ini berdiri di hadapan
macan putih itu.
"Graunggg...!"
Macan putih itu menggerung keras, seolah-olah tahu
kalau kedua orang ini bermaksud menentangnya. Lalu, dengan sebuah gerakan cepat
yang tidak terduga-duga, binatang itu melompat menerkam.
"Awas, Gayan...!" tedak Ki Sancaperta seraya melempar tubuhnya ke samping,
sambil bergulingan menjauh.
Meskipun kepandaiannya tidak setinggi Ki Sancaperta, tapi dengan sebuah lompatan
manis, Ki Gayan berhasil mengelakkan terkaman harimau itu.
"Auuum...!"
Macan itu menggeram ketika menyadari terkamannya
menemui kegagalan. Binatang itu kebingungan ketika
melihat mangsanya berpencar. Ki Gayan ke sebelah kanan, sedangkan sahabatnya ke
sebelah kiri. "Graunggg...!"
Sambil mengeluarkan raungan keras, macan itu kembali menerkam. Sasarannya kali
ini adalah Ki Sancaperta.
Tapi laki-laki tegap dan bercambang bauk itu sudah bersiaga sejak tadi. Begitu
dilihatnya harimau itu meluruk ke arahnya, buru-buru guru silat itu melompat ke
samping. Pada saat yang bersamaan, dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah lambung
macan itu. Buk! "Eh"!"
Ki Sancaperta terpekik kaget. Pukulannya seperti
mengenai benda empuk, dan tak berpengaruh apa-apa
terhadap sang macan.
Dan belum lagi laki-laki bercambang bauk itu sempat berbuat sesuatu, kaki depan
binatang itu telah menampar pundaknya.
Prattt...! "Akh...!"
Ki Sancaperta memekik tertahan. Seketika itu juga,
tubuhnya terlontar ke samping. Daging pundaknya robek.
Darah segar mengalir deras dari lukanya.
"Auuum...!"
Kembali binatang itu mengaum keras. Kemudian
meluncur lagi ke arah Ki Sancaperta.
Ki Sancaperta yang masih terhuyung-huyung itu seketika wajahnya memucat.
Posisinya sama sekali tidak mengun-tungkan, sehingga sulit baginya untuk
mengelakkan terkaman sang harimau.
Ki Gayan pun tercekat hatinya melihat keadaan gawat yang dihadapi sahabatnya.
Dia ingin menolong, namun jaraknya yang terlalu jauh tidak memungkinkannya.
Di saat kritis itu, mendadak sesosok tubuh berbaju ungu melesat menyambar tubuh
Ki Sancaperta. Tappp...! "Graunggg...!"
Binatang itu menggeram murka kehilangan lawannya!
Dengan pandangan marah, ditatapnya sosok tubuh ungu yang telah menyelamatkan
mangsanya. "Hup...!"
Si bayangan ungu mendaratkan kedua kakinya tanpa
bersuara. Jaraknya sekitar delapan tombak dari sang macan.
Wajah Ki Sancaperta langsung berseri ketika mengenali wajah sang penolong.
"Terima kasih, Dewa Arak. Untung kau tidak terlambat,"
ucap Ki Sancaperta pelan. Wajah guru silat itu masih kelihatan pucat. Perasaan
kaget belum hilang seluruhnya.
Sang penolong yang ternyata memang Arya Buana alias Dewa Arak itu, segera
menurunkan tubuh Ki Sancaperta dari pondongannya.
Begitu tubuhnya telah berada di tanah kembali, guru silat itu segera menotok
jalan darah di sekitar lukanya untuk menghentikan cucuran darah di bahunya.
Setelah itu dikeluarkannya sebuah obat bubuk dari selipan ikat
pinggangnya, dan ditaburkannya pada luka-lukanya. Ki Gayan datang menghampiri,
dan dibantunya laki-laki
brewok itu mengobati lukanya.
Sementara itu, Dewa Arak dengan sikap waspada
melangkah mendekati macan putih. Dia tidak berani
bersikap gegabah setelah mendengar kesaktian binatang ini. Dijumputnya guci yang
tersampir di punggungnya, dan diangkatnya ke atas kepala. Lalu di tenggaknya.
Gluk...gluk...gluk...!
"Auuum...!"
Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu
menerkam Dewa Arak. Bukan main cepatnya gerakan
binatang itu. Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Dengan langkah
terhuyung-huyung langkah khas jurus
'Delapan Langkah Belalang', dielakkannya terkaman sang macan.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di belakang
macan yang masih berada di udara. Dengan kecepatan
gerakan tangan yang luar biasa, ditangkapnya ekor macan itu. Tappp...!
Dengan sebelah tangannya. Arya segera memutarmutarkan tubuh binatang itu.
"Auuummm...!"
Macan putih itu mengaum keras. Suara auman yang
timbul karena perasaan marah bercampur takut.
Wuuukkk...! Wuuukkk...!
Semakin lama putaran tangan Arya semakin cepat.
Sehingga membuat macan putih itu menjadi pusing.
Cukup lama juga Dewa Arak memutar-mutarkan tubuh
macan itu. Dan setelah dirasanya cukup, genggaman pada ekor macan itu
dilepaskan. Wuuukkk...! Tubuh macan itu melesat jauh akibat kuatnya tenaga
putaran tangan Dewa Arak!
Brakkk...! Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
tumbang dilanda tubuh macan putih itu. Tapi binatang itu sendiri tidak apa-apa.
Tidak tampak tanda-tanda luka di sekujur tubuhnya.
Ki Gayan dan Ki Sancaperta memandang takjub pada
Dewa Arak. Begitu mudahnya pemuda ini mempecundangi binatang luar biasa itu.
Perasaan takjub mereka semakin bertambah tatkala melihat daya tahan macan putih
itu. *** Macan itu kembali bangkit, tapi ketika hendak
menerkam Dewa Arak, terjadi sesuatu yang menggelikan.
Lari binatang itu sempoyongan. Miring ke kanan dan ke kiri. Ternyata perbuatan
Dewa Arak berpengaruh juga dan membuat kepalanya pusing
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu
melompat ke arah orang yang telah menyakiti dirinya.
Dewa Arak bersikap tenang. Dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung mengelak. Terkaman macan
itu mengenai tempat kosong.
Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak mengirimkan
sebuah pukulan ke arah perut binatang itu.
Bukkk...! "Eh..."!"


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Arak terperanjat kaget. Tangannya seperti menghantam sebuah benda empuk!
Tenaganya seolah-olah
lenyap begitu tangannya mengenai tubuh binatang itu.
Meskipun ia hanya mengeluarkan separuh tenaga
dalamnya, tapi pukulan itu mampu membuat mati seekor banteng yang paling kuat
sekalipun! Belum lagi Arya sadar dari keterkejutannya, binatang itu telah menyerangnya
kembali. Kedua kaki depannya
mengarah ke pelipis.
Wuk...! Dewa Arak mendoyongkan tubuhnya ke belakang,
sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
Bersamaan dengan itu, dilancarkannya sebuah pukulan ke leher binatang itu.
Bukkk...! Tubuh macan putih itu terlontar akibat kuatnya pukulan yang dilancarkan Arya.
Kali ini Dewa Arak mengerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya.
"Graunggg...!
Macan putih itu menggeram murka melihat serangannya selalu gagal. Malah
sebaliknya, dirinya dibuat pontang-panting.
"Auuummm...!"
Tanpa kenal menyerah, macan putih itu kembali
menerkam Dewa Arak. Melihat hal itu, kesabaran Arya pun habis. Macan nekat itu
harus diberi pelajaran yang lebih keras lagi. Kalau tidak, binatang itu tidak
akan pernah jera!
"Hup...!"
Dewa Arak segera merendahkan tubuhnya, sehingga
terkaman macan itu lewat di atas kepalanya. Di saat itulah, kedua tangannya yang
mengepal dipukulkan ke perut
binatang itu. Kali ini Arya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bukkk....! Tubuh macan putih itu tedontar di udara. Terdengar
gereng kesakitan dari mulutnya. Rupanya pukulan Arya kali ini baru terasa
olehnya. Binatang itu kali ini tidak lagi bangkit menyerang.
"Luar biasa...!" puji Dewa Arak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Macan
putih itu sepertinya tidak mengalami luka yang berarti ketika menerima serangan
yang dilancarkannya. Binatang itu hanya nampak sedikit kesakitan.
Dewa Arak jadi bingung. Ia tak tahu lagi cara menaklukkan binatang yang luar
biasa ini. Haruskah di gunakan jurus 'Pukulan Belalang'" Jurus yang jarang
digunakannya! Dewa Arak jadi terkesiap ketika dilihatnya macan putih itu mulai bangkit. Pemuda
berambut putih keperakan ini sudah bersiap-siap menghadapinya. Tapi tampaknya
binatang itu sudah jera. Terbukti dia tidak menyerang kembali, melainkan berlari
cepat ke arah Hutan Bandan.
Dewa Arak, Ki Sancaperta dan Ki Gayan memandangi
kepergian macan putih itu hingga lenyap di kegelapan malam. Di wajah mereka
masih tersirat kekaguman yang amat sangat.
*** "Mengapa tidak dibunuh saja binatang itu, Dewa Arak?"
tanya Ki Gayan. Nada suaranya terdengar tidak puas.
Arya menatap wajah Kepala Desa Bandan ini lekat-lekat.
"Bagaimana cara membunuh macan yang luar biasa itu, Ki?" tanya pemuda berambut
putih keperakan itu.
Suaranya pelan tapi cukup membuat wajah Ki Gayan
merona merah. "Memang sebenarnya kita tidak tega membunuh
binatang itu. Biar bagaimana pun juga ia dan pemiliknya pernah menyelamatkan
desa kita dari kehancuran," ucap kepala desa itu lagi, memperbaiki ucapannya.
Ki Sancaperta menatap tajam wajah Ki Gayan. Tampak
jelas nada teguran terpancar dari sorot matanya.
"Aku tidak setuju dengan ucapanmu itu. Gayan!" tandas guru silat itu. Tajam dan
tegas suaranya, "Menurutku, hutang budi kita telah impas. Bukankah kita telah
puluhan kali mengantarkan remaja-remaja kita ke dalam hutan untuk dijadikan
korban" Hutang budi itu telah kita balas!
Sekarang kita harus menentangnya apabila binatang
terkutuk itu kembali mengambil korban!"
Ki Gayan terdiam. Suasana seketika menjadi hening dan tidak mengenakkan.
"Kalau menurut pendapatku, ada sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini, Ki," ucap
Arya memecahkan keheningan.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Ki Sancaperta cepat.
Sepasang matanya menatap penuh rasa ingin tahu.
"Aku baru teringat ucapan Ki Gayan beberapa hari yang lalu."
Pernyataan Arya itu membuat Kepala Desa Bandan itu
terkejut. Dahinya berkernyit. Kelihatannya ia tengah berpikir keras.
"Ucapanku?" tanya Ki Gayan. "Ucapanku yang mana?"
"Ucapanmu tentang sikap kakek penyelamat ketika mengajukan permintaannya," sahut
Arya menjelaskan.
"Aku masih belum mengerti maksudmu."
Arya menarik napas panjang.
"Kau pernah bilang kalau kakek itu sepertinya tidak menyukai permintaan yang
diajukannya sendiri." jelas pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh.
"Hm.... lalu" Apa yang janggal, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta masih belum
paham. Otaknya seperti buntu, sukar diajak berpikir.
"Kalau benar begitu, bukankah berarti orang tua itu melakukannya dengan perasaan
terpaksa?"
"Ah ..! Kau benar...!" tukas Ki Gayan. Sepasang matanya nampak berbinar-binar.
"Artinya ada orang yang memaksa melakukannya!"
"Tepat apa yang dikatakan Ki Gayan...!" sahut Arya cepat.
Ki Sancaperta mengernyitkan alisnya. Dicobanya untuk mengingat peristiwa
beberapa tahun lalu. Ya! Kini dapat diingatnya. Permintaan kakek itu sepertinya
berbentuk per-mohonan. Orang tua itu sangat tertekan ketika
mengatakannya. "Kita harus menyelidikinya!" ucap guru silat ini penuh semangat
"Biar aku saja yang melakukannya Ki," pinta Arya.
Suaranya pelan dan sopan.
"Tapi...," Ki Sancaperta mencoba membantah.
"Tenaga Aki sangat dibutuhkan di sini." Arya cepat memotong ucapan guru silat
itu. Ki Sancaperta langsung terdiam. Hatinya membenarkan kata-kata pemuda berbaju
ungu itu. "Kapan kau berangkat ke sana, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta lagi.
"Besok, Ki."
*** 5 Di tengah kegelapan malam, tampak seekor macan putih berlari terseok-seok
memasuKi Hutan Bandan.
"Grrrh...!"
Binatang itu menggereng pelan sambil terus berlari.
Langkahnya baru dihentikan ketika di depannya berdiri seorang nenek berwajah
mirip burung elang. Pakaiannya serba hitam.
Sepasang alis nenek itu berkerut melihat gerakan
binatang peliharaannya. Jelas kalau macan putih itu terluka. Pendengarannya yang
peka menangkap geram
kesakitan dari mulut binatang itu.
"Putih...! Kenapa kau..."!" tanya si nenek begitu macan itu telah berada di
hadapannya. "Grhhh...!"
Macan putih itu hanya menggereng pelan sebagai
jawabannya. Tapi rupanya nenek itu mengerti akan maksud binatang peliharaannya.
"Keparat..!" maki nenek berpakaian serba hitam itu.
"Tenang, Putih! Nanti akan kubalaskan dendammu. Akan kubasmi seluruh penduduk
Desa Bandan... setelah semua orang yang lancang memasuki hutan ini kubunuh...!"
Setelah berkata demikian, nenek itu membungkukkan
tubuhnya. Diperiksanya sekujur tubuh binatang peliharaannya.
"Hm.... bekas-bekas pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Tidak mungkin
kalau penduduk Desa Bandan yang melakukannya...," gumam nenek itu pelan seperti
berbicara pada dirinya sendiri. "Pasti ada orang usil ikut campur masalah ini.
Tapi..., siapa orang yang mempunyai tenaga dalam sekuat ini?" Sambil tetap
memeriksa tubuh macan putih itu, plkiran nenek berpakaian hitam ini menerawang.
Berkat kekuatan tubuh yang dimiliki macan itu, tidak ada luka berbahaya yang
dideritanya. Hanya sedikit rasa nyeri menyerang otot-otot dan tulang-tulangnya.
"Tunggu sebentar, Putih...!" ucap nenek itu seraya melesat pergi.
Tak lama kemudian perempuan tua itu sudah kembali
sambil membawa air dalam tempurung kelapa. Dikeluarkannya sebungkus obat bubuk
yang kemudian dicampur
dengan air. Setelah diaduk-aduk sebentar, disodorkannya ke depan mulut binatang
itu. "Minumlah, Putih...! Besok kau akan segar kembali...,"
ucap nenek itu pelan.
"Grrrh...!"
Macan itu menggereng pelan. Kemudian bangkit dari
berbaringnya. Dijilat-jilatnya ramuan yang diberikan majikannya. Sementara si
nenek hanya tersenyum
memandanginya. *** Hari masih pagi. Sang surya baru saja menampakkan
diri di ufuk timur, ketika Dewa Arak memasuki mulut Hutan Bandan. Sikapnya
nampak waspada. Pemuda itu
menyadari kalau di dalam hutan ini banyak tokoh
persilatan yang berniat memperebutkan benda langit. Tapi yang tidak kalah
berbahayanya lagi adalah macan putih!
Belum seberapa Jauh pendekar muda itu melangkah,
pendengarannya yang tajam menangkap suara berdesing nyaring ke arahnya. Dari
bunyi desingannya, pemuda ini dapat memperkirakan asal si penyerang gelap.
Arya tidak berani bertindak ceroboh. Kepalanya buru-buru dirundukkan. Sehingga
benda yang mengeluarkan
suara mendesing nyaring itu lewat sejengkal di atas kepalanya.
Wut..! Rambut Dewa Arak berkibaran ketika benda itu lewat di atas kepalanya. Arya
terkejut ketika melihat benda itu tahu-tahu sudah kembali ke asalnya.
Tappp...! Benda yang berbentuk piplh, melengkung seperti bulan sabit, ditangkap oleh
pemiliknya Dewa Arak mengerutkan alisnya. Sesaat pemuda
berambut putih keperakan ini terpaku melihat benda itu.
Meskipun baru kali ini dijumpainya, tapi diketahuinya nama benda itu. Bumerang!
"Ha ha ha...! Kaget, Dewa Arak?" tegur si penyerang.
Nada suaranya terdengar penuh ejekan.
Arya sama sekali tidak menggubris ejekan itu. Sepasang matanya menatap tajam
pada sosok di hadapannya. Sosok tegap berkepala botak berpakaian rompi terbuat
dari kulit beruang.
"Siapa kau" Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak.
Arya memang mempunyai sifat hati-hati sekali. Pantang baginya bertempur dengan
seseorang tanpa alasan jelas.
Laki-laki berkepala botak itu tertawa bergelak.
"Aku" Ha... ha... ha...! Namaku tidak setenar namamu.
Dewa Arak. Tapi, agar kau tidak mati penasaran, ada baiknya kuperkenalkan diriku
Beruang Liar julukanku.
Sebentar lagi dunia persilatan akan geger. Dewa Arak tewas di tangan Beruang
Liar! Ha ha ha...!"
Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi kesombongan
orang itu. Dibiarkannya si botak itu hanyut oleh
kesombongannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang kedua,
Beruang Liar. Mengapa kau menyerangku"!" tanya Arya tetap sabar.
Beruang Liar menghentikan tawanya. Dipandanginya
Dewa Arak dengan tatapan penuh curiga.
"Jangan berlagak bodoh, Dewa Arak! Bukankah kau juga ingin mendapatkan benda
langit" Aku tidak ingin ada orang lain menjadi sainganku!" ancam Beruang Liar
sengit. "Kau keliru, Beruang Liar. Aku sama sekali tidak tertarik dengan benda langit
yang kau maksudkan itu. Kalau kau menginginkan benda itu, silakan kau mencarinya
sendiri," Arya mencoba menjelaskan.
"Kau tidak bisa mungkir, Dewa Arak!" rupanya si Beruang Liar tidak mempercayai
penjelasan Arya. "Hari ini adalah hari terakhir kau memandang dunia ini.
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian. Beruang Liar mengibaskan
tangannya. Seketika itu juga, bumerang di tangannya meluncur deras ke arah Arya.
Wuk..! Dengan kecepatan yang menakjubkan, bumerang itu
menyambar ke leher Dewa Arak.
Pemuda berpakaian ungu ini tahu, betapa berbahayanya serangan benda itu. Dewa
Arak tidak berani bersikap ceroboh. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga sambaran
benda itu melesat melewati kepalanya.
Beruang Liar rupanya sudah memperhitungkan hal itu.
Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan, cepat-cepat dikibaskan
tangan kirinya.
Wuk...! Bumerang kedua melesat cepat. Kali ini sasarannya
adalah perut. Arya tidak punya pilihan lain, secepat kilat dia melompat. Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu guci
araknya telah berada di tangannya. Lalu pemuda
berpakaian ungu ini bergulingan di tanah.
Tappp..! "Hiyaaa...!"
Wuk...! Begitu bumerang yang pertama tertangkap, secepat kilat Beruang Liar
mengayunkannya kembali ke arah Dewa Arak yang masih bergulingan.
Kali ini Dewa Arak tidak mengelakkan serangan itu.
Dipapaknya kedatangan bumerang itu dengan gucinya.
Klanggg...! Terdengar suara berdentang nyaring ketika bumerang
itu menghantam guci. Anehnya, meskipun telah tertangkis guci, bumerang itu bisa
berputar kembali ke arah pemiliknya!
Tapi lebih hebat lagi adalah perbuatan yang dilakukan Dewa Arak. Setelah
menangkis bumerang itu, sambil tetap dalam keadaan tubuh berbaring guci arak
dituang ke mulutnya Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati
kerongkongannya. Seketika perutnya terasa hangat. Hawa aneh yang naik, ke
kepalanya membuatnya agak pening.
Kini Dewa Arak telah siap menghadapi Beruang Liar.
Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan, membuatnya tidak begitu repot menghadapi
senjata aneh itu. Setiap
sambaran bumerang berhasil dielakkannya tanpa
kesulitan. Beberapa jurus kemudian, Arya sudah dapat membaca
kelemahan senjata lawan. Bumerang di tangan laki-laki berkepala botak ini tidak
berarti kalau dihadapinya dalam jarak dekat.
Pelahan namun pasti tanpa disadari lawan, Dewa Arak mulai melangkah mendekati
sambil mengelakkan setiap serangan.
"Keparat...!" si Beruang Liar menggeram murka ketika tidak bisa lagi melepas
senjatanya. Jarak di antara mereka telah demikian dekat, sehingga tidak
memungkinkan lagi baginya menggunakan senjatanya itu.
Kini Beruang Liar mempergunakan senjata itu seperti layaknya seseorang
menggunakan sepasang clurit.
Wuk...! Dengan diiringi suara mengiuk nyaring, bumerang itu disabetkan ke leher Dewa
Arak. Tapi dengan keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tak sulit bagi Arya


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengelak.
Gerakan kakinya nampak terhuyung-huyung. Tubuhnya
limbung ketika pemuda ini mengelakkan serangan itu.
Hebatnya, secepat dilangkahkan kakinya mengelak,
secepat itu pula Arya berada di belakang lawannya.
Wut...! Guci di tangannya terayun keras ke kepala Beruang Liar.
Laki-laki berkepala botak itu kaget bukan main. Rupanya ia belum mengenal
kelihaian jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Seketika hatinya tercekat tatkala menyadari adanya hembusan angin
keras di belakangnya. Bahaya
maut tengah mengancamnya!
Kedua tangannya yang menggenggam bumerang,
sebisa- bisanya diayunkan ke belakang.
Klanggg...! Terdengar suara berdentang nyaring ketika kedua
bumerangnya beradu dengan guci. Akibatnya, tubuh si Beruang Liar terhuyunghuyung ke depan. Kedua bumerang di tangannya terlempar entah ke mana.
Dewa Arak memutuskan untuk melenyapkan manusia
berbahaya ini untuk selama-lamanya. Maka, begitu
dilihatnya laki-laki berkepala botak itu terhuyung-huyung. Ia segera mengejar.
Kakinya bergerak menendang.
Bukkk...! "Akh...!"
Terdengar suara berderak keras pertanda ada tulangtulang yang patah ketika kaki Arya telak mengenai
pinggang lawan.
Beruang Liar jauh terjerembab. Tapi, secepat kilat
dibalikkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Namun,
sebelum niatnya itu tercapai. Dewa Arak telah mengirimkan serangan susulan.
Wut...! Prak...!
"Aaakh...!"
Laki-laki berkepala botak itu menjerit tertahan.
Kepalanya pecah seketika tatkala guci yang diayunkan Arya telak mengenai
kepalanya. Tubuhnya terjerembab
menyusur tanah.
Dewa Arak memperhatikan tubuh yang tak bernyawa
lagi itu sejenak. Kemudian dipungutnya kedua bumerang yang tergeletak di tanah,
lalu ditimang-timang sejenak.
"Hih...!"
Wunggg...! Terdengar dengungan keras laksana ribuan ekor lebah marah, begitu Dewa Arak
mengayunkan tangannya. Kedua bumerang itu melesat laksana kilat. Kecepatannya
jauh lebih cepat daripada lontaran Beruang Liar!
Crak, crak, crak....!
Cabang-cabang pohon yang terbabat kedua bumerang
itu terpapas putus. Dewa Arak memandanginya dengan
perasaan takjub. Matanya mendadak terbelalak lebar.
Tahu-tahu kedua senjata itu kembali ke arahnya!
Dewa Arak menjadi gugup. Dia tahu betul kekuatan
tenaga yang terkandung dalam lontaran kedua bumerang itu. Pemuda ini tidak
berani menangkap kedua bumerang itu seperti yang dilakukan Beruang Liar. Kalau
dia salah menangkap, tangannya bisa putus terbabat bumerang
yang tajam itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Jurus 'Pukulan Belalang' terpaksa harus
digunakannya. "Hih...!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuttt..! Bresss...! Angin keras yang berhawa panas menyengat,
berhembus keluar dari kedua telapak tangannya. Dan
langsung menyambar ke arah dua buah bumerang yang
tengah melayang ke arahnya. Seketika itu juga luncuran bumerang itu terhenti.
Dan langsung jatuh di tanah.
"Hhh...! Sungguh berbahaya...." desah Arya pelahan.
Kemudian setelah memperhatikan mayat lawannya
sejenak, dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
*** Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika sepasang
matanya melihat sebuah gua tak jauh di hadapannya.
Sesaat lamanya dia terpaku. Diamatinya gua itu dengan teliti. Tapi yang terlihat
hanyalah kegelapan yang pekat.
Pelahan-lahan kakinya melangkah mendekati mulut gua itu. Seluruh urat-urat
syaraf di tubuhnya menegang.
Sikapnya waspada menghadapi segala kemungkinan.
Tapi baru saja beberapa langkah memasuki gua itu,
terdengar sebuah seruan dari dalam. Dewa Arak terkejut bagai disengat
kalajengking. "Sahabat yang berada di luar, silakan masuk!"
Dewa Arak menghentikan langkahnya. Hatinya dilanda
keraguan. Rupanya kedatangannya telah diketahui oleh orang yang berada di dalam
sana. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Arya meneruskan langkahnya. Telinganya
dibuka lebar-lebar untuk berjaga-jaga kalau ada orang yang berusaha
membokongnya. Selangkah demi selangkah Dewa Arak menelusuri gua.
Pedang Medali Naga 17 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Rajawali Hitam 4

Cari Blog Ini