Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar Bagian 2
kerinduan yang terpendam selama belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak
berguncang-guncang. Sementara Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan
saja semua kejadian itu.
"O ya, Ayah. Mana ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir
di kedua pipinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.
"Ada di dalam," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima.
Siapa pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya
pada Dewa Arak yang tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan
haru. Hatinya terasa diremas-remas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada
kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru
gadis berpakaian putih ini teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya
ditolehkan, dan langsung menggapai tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia
sama sekali tidak marah atau tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak
dipedulikan Melati. Arya tahu, tunangannya sama sekali tidak bermaksud
mengacuhkannya. Gadis itu mekipakannya karena terlalu larut dalam ketegangan dan
kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku, Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu
berada di se-belahnya. Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah
ketika memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana, Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil menguhirkan
tangan. "Palungga," laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian
digenggam erat-erat.
"Dia bukan orang sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah
seorang pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya" Hebat sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga
itu terkejut "Siapakah kau, Anak Muda" Barangkali aku pernah mendengar
julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah. Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut
putih keperakan ini tidak menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu
menegur Melati bila memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak
ingin merusak kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati
sewaktu mengatakannya.
"Ah."!" wajah Palungga berubah hebat "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan
dunia persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki
berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga
begitu pertama kali melihatnya. Tapi aku masih kurang yakin...."
"Tapi, sekarang Ayah percaya kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan
kepala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya," ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda
ini kau sudah membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah.
Memang begitulah sifat Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih
bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari
kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar
berjalan di belakang mereka.
4 Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan ibunya,
seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam gadis
berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...," ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin
tahu.., mengapa Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan
adanya tuntutan dari pertanyaan gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal
itu bisa mereka maklumi. Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga
mereka. Tapi biar bagaimanapun juga, mereka melakukan semua itu semata-mata
bukan karena tidak menyukai kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati
bertanya dengan nada agak menuntut
"Nanti saja kita bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam
beberapa saat. "Benar, Anakku," sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan
yang menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat "Kita
adakan pesta kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah
hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...."
Melati menahan ucapannya karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas
melangkah ke dalam. Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati,
pemuda berambut putih keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang
tua tunangannya.
Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar.
Tapi Arya bersikap bijaksana. Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia
telah melihat sendiri kalau ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan
penuh kecurangan seperti ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam.
Lagi pula tidak sedikit orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi
sebenarnya pendekar-pendekar pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga telah kembali dengan membawa makanan dan
minuman. Dengan cepat laki-laki berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas
meja. Sesaat kemudian semuanya telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan dickipi hidangannya.
Maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula.
"Jadi, kami tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan
tidak enak. Sesaat kemudian, orang tua si kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk
menghadapi hidangan di atas meja. Arya dan Melati sama sekali tidak
memperhatikan betapa sinar mata Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat
mereka menyantap makanan masing-masing.
Baru separuh hidangannya dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?" tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja
kepalaku pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari
kursinya. Tapi, gerakannya segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan
Melati. Sementara, Arya dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut
"Sehingga membuatmu pusing."
Arya pun kembali duduk di bangkunya. Uca pan ibu Melati bisa diterimanya.
Karena, sejak tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu melihat wajah
tunangannya pucat pasi bagai mayat
Tapi baru saja pantatnya menyentuh bangku, tiba-tiba perasaan pusing yang amat
sangat menyerang kepalanya. Bahkan bukan hanya pusing saja. Tapi sekaligus
tenaganya melemah secara tiba-tiba. Seketika itu juga Arya segera menyadari apa
yang telah terjadi
"Racun...," desis pemuda berambut putih keperakan itu tajam, seraya bergegas
bangkit dari bangku. "Melati...! Awas...!"
Meskipun rasa pusing dan
lemas melanda tubuhnya, Arya
masih sempat memperingatkan tunangannya. Tapi, peringatan Dewa Arak sudah terlambat. Sebelum
gema suaranya lenyap, tubuh gadis berpakaian putih itu sudah ambruk. Dan dengan
tawa terkekeh, Karina segera menyambut tubuh Melati.
"Melati...!" Dalam kekhawatiran yang menggelegak, Arya berteriak. Sedapat
mungkin pemuda berambut putih keperakan ini berusaha bergerak ke arah
kekasihnya. Tapi, usahanya sia-sia karena rasa pusing dan lemas menghalanginya.
Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung begitu mencoba
melangkahkan kakinya.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Dewa Arak sudah berkunang-kunang ketika melihat Palungga bangkit dari
kursi sambil tertawa bergelak. Dalam kesadaran yang kian melenyap, Arya merasa
seperti pernah mendengar suara tawa itu. Tapi kapan dan di mana, dia lupa.
Tapi yang jelas, Arya tahu kalau saat ini dia dan Melati berada dalam ancaman
bahaya besar. Gadis berpakaian putih itu sudah tertawan. Dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya. Maka meskipun kepalanya yang terasa pusing membuat yang
dilihatnya jadi berupa bayangan-bayangan kabur, dan juga lemas yang amat sangat
mendera sekujur tubuhnya, Dewa Arak memaksakan diri untuk melawan orang-orang
yang telah menipu dirinya dan Melati.
Buru-buru Dewa Arak menjumput guci arak yang tergantung di punggungnya. Tapi
sebelum sempat Arya menuangkan arak ke mulutnya, Palungga telah lebih dulu
bergerak cepat "Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, laki-laki berwajah tirus itu mengibaskan kaki kanannya
sambil memutar tubuh.
Wuuut..! Desss! Telak dan keras sekali kibasan kaki Palungga mengenai pergelangan tangan Arya.
Dan seketika itu juga, guci arak di tangan Dewa Arak terlepas dari pegangan.
Terlempar jauh.
Jatuh berkerontangan di lantai dengan isi bertumpahan ke sana kemari.
Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuh Dewa Arak pun terhuyung. Pergelangan tangan
kanannya dirasakan sakit sekali. Rupanya sambungan tulangnya lepas. Walaupun
begitu, kekuatan hati Arya patut dipuji. Pemuda ini sama sekali tidak berteriak
kesakitan atau mengeluh. Hanya mulutnya saja yang menyeringai, pertanda kalau
Dewa Arak dilanda rasa sakit yang hebat
Arya mengeluh dalam hati. Habislah sudah harapannya untuk membebaskan diri dari
racun yang telah menyebar ke seluruh aliran darah di tubuhnya. Semula, Dewa Arak
berharap dari araknya dia bisa menawarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya.
Karena arak yang telah tersimpan dalam guci peraknya memang dapat digunakan
sebagai penawar racun. Tapi, kini harapan itu kandas.
"Ha ha ha...!" Palungga kembali tertawa terbahak-bahak. Sementara keadaan Dewa
Arak semakin mengkhawatirkan. Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mampu lagi melihat jelas orang-orang di sekitar ruang makan. Yang terlihat
hanyalah bayangan-bayangan yang mulai mengabur.
Didorong oleh perasaan cemas yang menggelegak pada keselamatan Melati, Arya jadi
kehilangan kontrol diri. Apalagi keadaannya kini sudah semakin melemah. Tanpa
pikir panjang lagi, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Arya
menggunakan jurus yang jarang dipergunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
"Hih...!"
Wusss...! Hembusan angin keras berhawa panas menyengat, keluar dari telapak tangan yang
dihentakkan Dewa Arak. Palungga terkejut bukan main melihatnya. Untung saja
pandangan pemuda berambut putih keperakan itu telah kabur. Tambahan lagi tenaga
pemuda itu memang sudah semakin melemah, maka akibatnya kedahsyatan pukulan
jarak jauh itu pun berkurang. Bahkan serangannya pun ngawur. Meskipun begitu,
tidak berarti kalau serangan pemuda itu tidak berbahaya.
Brakkk..! Terdengar suara hiruk-pikuk begitu angin pukulan jarak jauh yang nyasar itu
menghantam dinding rumah yang terbuat dari kayu tebal hingga hancur berantakan.
Palungga, Mawar, dan Karina yang berada di situ berdecak kagum melihat
kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak
Arya sendiri begitu selesai mengirimkan serangan, langsung tersungkur di tanah.
Pingsan! "Luar biasa...!" Palungga berseru memuji seraya berjalan menghampiri Dewa Arak
yang telah tergolek di tanah.
"Pemuda ini merupakan lawan berbahaya, Janggulapati," ucap Karina bernada
mengingatkan. Janggulapati yang tadi memperkenalkan diri dengan nama samaran Palungga,
menganggukkan kepala.
"Pemuda ini memang luar biasa, Gayatri. Meskipun sudah dirasuki racun yang
membuat tenaganya lenyap, tapi dia masih mampu mengirimkan pukulan jarak jauh
yang begitu dahsyat. Ngeri aku membayangkan kalau pukulan itu digunakan sewaktu
tenaganya belum berkurang."
Wajah wanita pesolek berpakaian hitam yang menggunakan nama samaran Karina, tapi
sebenarnya mempunyai nama Gayatri, berubah. Tampak jelas kalau wanita ini pun
merasa ngeri. "Apakah tidak sebaiknya kalau pemuda ini kita bunuh saja, Kang," ujar Gayatri
lagi, mengajukan usul.
"Membunuh pemuda ini sekarang sama mudahnya dengan membalik telapak tangan,
Gayatri," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi kematian seperti itu terlalu
enak untuknya. Dewa Arak harus merasakan bagaimana tidak enaknya menanggung sakit hati!"
Gayatri tercenung mendengar ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian
hitam itu. "Kau benar, Janggulapati. Dewa Arak harus kita siksa dulu!"
*** Entah sudah berapa lama dirinya pingsan, Dewa Arak tidak tahu secara pasti. Yang
jelas, begitu siuman dan membuka kelopak mata, tahu-tahu tubuhnya sudah
telentang di atas balai-balai bambu. Kedua tangan dan kakinya terikat
terpentang. Dan di hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh.
Mula-mula yang terlihat oleh Arya hanya bayang-bayang kabur. Tapi lama-kelamaan
tampak jelas wajah-wajah mereka.
Dewa Arak menghitung jumlah sosok-sosok itu dengan matanya. Delapan orang! Tujuh
di antara mereka pernah dijumpainya. Palungga, Kirana, Mawar dan empat orang
pengeroyok Mawar. Tapi yang seorang lagi sama sekali belum dikenalnya. Seorang
pemuda berwajah tampan berkulit putih, bertubuh pendek kekar.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar kalau ternyata semuanya memang telah
direncanakan dengan rapi. Dia dan Melati dijebak! Jadi, sudah pasti gadis yang
mengaku bernama Mawar ini bukan saudara kembar Melati. Gadis itu pasti seorang
tokoh sesat yang ahli menyamar. Demikian kesimpulan Arya.
Dewa Arak cemas bukan main begitu teringat pada keadaan Melati. Tenaganya untuk
memutuskan tali yang mengikatnya segera dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini tatkala mengetahui tidak
adanya aliran tenaga dalam yang mengalir ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya
telah lenyap! Tidak ada lagi hawa hangat yang berputaran di bawah pusarnya.
Kecemasan Arya pun semakin menjadi-jadi begitu menyadari keadaannya. Tapi bukan
dirinya semata yang dikhawatirkan. Tidak! Dia sama sekali tidak takut menghadapi
maut. Sejak bertekad untuk menjadi pendekar
pembela kebenaran,
pemuda ini sudah
Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhitungkan kalau suatu waktu bukan tidak mungkin dirinya tewas di tangan
lawan. Bukan, bukan itu yang dikhawatirkan. Tapi Melati.
"Ohhh...!"
Terdengar suara keluhan pelan di sebelah kiri Arya. Tanpa menoleh pun Dewa Arak
tahu siapa pe-miliknya. Suara itu sudah amat dikenalnya. Suara siapa lagi kalau
bukan suara Melati, kekasihnya!
Arya menolehkan kepalanya. Benar saja! Tak jauh darinya, Melati juga terbaring
di balai-balai bambu lain. Keadaan gadis itu tak berbeda dengannya.
Melihat keadaan Melati, kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan ini semakin
menggelegak. Dia sudah dapat menduga kalau bahaya yang mengancam tunangannya
bakal jauh lebih mengerikan ketimbang bahaya yang mengancam dirinya!
Dewa Arak mengalihkan pandangan kembali ke arah delapan sosok yang berada di
hadapannya. Tanpa melihat pun Arya tahu kalau guci peraknya telah tidak ada
padanya lagi. Begitu pula Pedang Bintang yang semula selalu tergantung di pinggangnya.
"Siapa kalian" Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Arya seraya menatap tajam
wajah Janggulapati yang dikenalnya sebagai Palungga. Pemuda ini sudah dapat
menduga kalau laki-laki berpakaian hitam ini adalah pemimpin di antara delapan
orang itu. "Hmh...!" Janggulapati mendengus. "Kau tidak mengenaliku lagi, Dewa Arak"!"
Arya mengerutkan alisnya. Sepertinya suara dengusan itu tidak asing di
telinganya. Seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia tidak ingat lagi!
"Rasanya..., aku pernah mengenalmu, Palungga. Setidak-tidaknya aku pernah
mendengar suaramu...," sahut Dewa Arak bemada ragu-ragu.
"Kau memang sudah mulai pikun, Dewa Arak!" sergah Janggulapati kasar. "Perlu kau
ketahui, namaku sebenarnya bukan Palungga. Tapi Janggulapati."
Arya tidak tampak terkejut mendengar pengakuan Janggulapati. Hal itu memang
sudah diduganya begitu tahu dia dan Melati terjebak
"Kalau begitu..., kau pasti bukan ayahku...," desah Melati lemah. Ada raut
kekecewaan, tapi juga sekaligus kebahagiaan yang terpancar pada sepasang
matanya. Kecewa karena berarti ada kemungkinan memang dia sudah tidak punya
orang tua lagi. Bahagia, karena orang yang bersikap dan bertampang kasar itu
bukan ayahnya. "Ayahmu sudah lama mampus, Wanita Liar!" sergah pemuda bertubuh pendek kekar.
"Kau pun akan segera menyusulnya. Tapi, tentu saja terlalu bodoh untuk membunuh
wanita secantikmu sebelum memanfaatkannya lebih dulu!"
Wajah Melati seketika memucat. Gadis ini tahu apa yang dimaksudkan pemuda
bertubuh pendek kekar itu. Perasaan takut dan ngeri pun melanda hatinya. Dan
perasaan itulah yang mendorong gadis berpakaian putih ini menggerakkan kaki dan
tangan untuk memutuskan tali yang mengikatnya.
Suara ah-ah uh-uh terdengar dari mulut Melati ketika berusaha sekuat tenaga
memutuskan ikatannya. Tapi, usaha gadis ini hanya sia-sia belaka. Seperti juga
Dewa Arak, tenaga dalam yang dimiliki gadis ini pun telah lenyap. Apalagi
ternyata tali itu alot sekali.
Jadi, betapapun Melati berusaha, hanya kegagalan yang diterimanya. Bahkan
pergelangan tangan dan kakinya jadi lecet-lecet. Terasa sakit dan perih bukan
main. Akhirnya gadis berpakaian putih ini pun terpaksa menghentikan usahanya.
"Ha ha ha...!"
Pemuda bertubuh pendek kekar kembali tertawa bergelak. Kemudian kakinya
dilangkahkan mendekati Melati. Tangan kanannya bergerak secara kasar ke arah
dada gadis berpakaian putih itu.
Sepasang mata Melati berkilat-kilat melihat perbuatan pemuda itu.
"Kalau kau berani menyentuhku..., kubunuh kau, Setan...!" desis gadis berpakaian
putih itu tajam. Ada ancaman hebat yang tersembunyi di dalamnya.
Rupanya, pemuda bertubuh pendek kekar merasa ngeri juga mendengar ancaman itu.
Terbukti tangannya yang semula sudah terulur, mendadak berhenti. Apalagi ketika
mendengar desisan tajam dari mulut Dewa Arak
"Berani kau menyentuhnya..., ke mana pun kau pergi jangan harap lolos dari
tanganku...!"
Meremang bulu kuduk semua orang yang berada di situ mendengar ancaman Dewa Arak.
Apalagi me reka yang pernah merasakan kehebatan ilmu Arya. Nada suara pemuda itu
begitu dingin, dan penuh ancaman yang mengerikan!
Dari perasaan ngeri yang mendera, pemuda bertubuh pendek kekar berubah menjadi
murka. Dengan wajah merah padam, dihampirinya Arya. Kemudian tangannya terayun,
menampar ke arah pipi. Dan...
Plakkk...! Telak dan keras sekali tamparan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga di pipi
Dewa Arak terdapat gambar telapak tangan berwarna merah. Dari sudut-sudut bibir
pemuda itu pun menetes darah segar. Tapi, tak sedikit pun terdengar suara
keluhan dari mulut Arya.
Suatu keuntungan bagi Dewa Arak karena pemuda bertubuh pendek kekar itu tidak
mengerahkan tenaga dalam sewaktu menamparnya. Dia hanya menggunakan tenaga kasar
saja. Dan kalau tadi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam, mungkin tulang rahang
Dewa Arak telah remuk.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin beringas begitu melihat darah. Sekali
lagi tangannya terayun diiringi pekik ngeri Melati yang melihatnya. Sementara
Dewa Arak hanya tenang-tenang saja. Bahkan pandang mata pemuda ini menyorotkan
tantangan yang membuat pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin geram. Dan hal
ini memang disengaja oleh Arya. Dia sengaja mengalihkan perhatian pemuda
bertubuh pendek kekar dari tunangannya.
Tapi sebelum tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu kembali mengenai sasaran,
terdengar ben-takan keras menggelegar.
"Samiaji! Tahan...!"
Seketika itu juga tangan pemuda bertubuh pendek kekar yang ternyata bernama
Samiaji, tertahan di udara. Pemuda ini kenal betul siapa pemilik suara itu.
Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.
"Mengapa Guru menahanku...?" Kepala Samiaji ditolehkan menatap wajah laki-laki
berwajah tirus. Pandang matanya memancarkan rasa penasaran yang amat sangat
"Aku tidak ingin dia mati penasaran, Samiaji," sahut Janggulapati yang ternyata
guru dari pemuda bertubuh pendek kekar.
"Maksud, Guru?" tanya Samiaji, belum mengerti madsud ucapan gurunya.
"Biar kuberi dia kesempatan mengajukan pertanyaan."
Setelah berkata demikian, Janggulapati menatap wajah Arya lekat-lekat
"Agar tidak mati penasaran..., kau kuberi kesempatan mengajukan pertanyaan, Dewa
Arak...." "Aku hanya ingin tahu siapa kalian, dan mengapa kalian memusuhi kami?" sahut
Arya tenang. Tanpa merasa gentar sedikit pun, dibalasnya tatapan laki-laki
berpakaian hitam itu dengan tak kalah tajam.
"Ha ha ha...!"
Janggulapati tertawa bergelak. Rupanya laki-laki berpakaian hitam ini merasa geli mendengar pertanyaan
itu. Tapi, Arya tetap bersikap tenang. Sepasang matanya tetap tertuju ke wajah
laki-laki berwajah hitam itu.
5 "Kau benar-benar tidak mengenalku lagi, Dewa Arak?" tanya Janggulapati setengah
tidak percaya. Arya hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
Laki-laki berpakaian hitam itu lalu menarik Samiaji maju ke depan Dewa Arak.
"Kau lihat ini baik-baik, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Janggulapati segera mencengkeram pakaian Samiaji pada
bagian atas dada kirinya. Dan sekali jari jemari laki-laki berpakaian hitam ini
bergerak pelan, terdengar suara keras.
Breeettt...! Baju di bagian atas dada kiri Samiaji robek lebar. Dan seketika sepasang mata
Arya terbelalak lebar begitu melihat balutan di bagian itu. Ada noda-noda merah
yang menempel di kain pembalut itu. Jelas kalau bahu kiri pemuda bertubuh pendek
kekar ini terluka.
Melihat luka Samiaji, Arya pun teringat. Ya, luka inilah yang diderita lawan
Melati sewaktu mereka menuju ke rumah orang tua Mawar. Jadi, rupanya Samiaji
adalah salah seorang dari dua pencegat itu. Salah seorang penghadang bertopeng
harimau yang bertubuh pendek kekar!
Begitu teringat akan hal ini, Dewa Arak pun segera teringat kembali di mana dia
pernah mendengar suara dengusan itu. Di mana lagi kalau bukan di hutan itu juga.
"Jadi..., kalian orang yang menyerang kami di hutan?" tanya Arya setengah
memastikan. Jaggulapati menarik mundur Samiaji lagi.
"Rupanya kau belum pikun, Dewa Arak! Memang, aku dan muridku inilah yang telah
menyerang kalian di hutan."
"Kalian inikah orang yang berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar?"
Janggulapati menganggukkan kepala.
"Aku dan istriku inilah yang berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
"Lalu..., mengapa kau memusuhi kami?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Kami punya dendam pada wanita liar itu!" tandas Janggulapati tegas. "Sedangkan
kau..., terpaksa harus kami lenyapkan. Di samping karena kau pasti akan membela
kawan wanitamu, kau juga merupakan penghalang kami. Sewaktu-waktu kau pun
mungkin akan menggilas kami. Tapi, sebelum semua itu terjadi, kami harus
menggilasmu lebih dulu."
"Kalau boleh kutahu..., apa sebabnya kau mendendam pada kawanku?" Kembali Arya
buka suara setelah sekian lamanya termenung.
"Ayah temanmu telah membunuh sahabatku, Kalajati! Dan karena ayahnya telah
mampus, pembalasannya kutimpakan pada keturunannya!"
Arya dan Melati terkejut bukan hanya karena mendengar ucapan berapi-api
Janggulapati yang jelas-jelas keluar dari hati yang sarat oleh dendam. Tapi juga
oleh isi ucapan laki-laki berpakaian hitam itu. Jadi, benarkah Melati masih
mempunyai seorang ayah" Dan benar jugakah Melati punya seorang saudara kembar"
Kedua muda-mudi ini bertanya-tanya dalam hati.
Tapi, sebelum Arya dan Melati sadar dari keterkejutannya, Janggulapati sudah
melangkah keluar ruangan. Samiaji dan yang lain-lainnya pun berjalan
mengikutinya. "Nikmatilah sepuas-puasnya sisa hidupmu, Dewa Arak!" seru laki-laki berpakaian
hitam itu begitu telah berada di ambang pintu. Kemudian bergegas meninggalkan
tempat itu sambil tertawa bergelak.
Brakkk! Terdengar suara berderak keras ketika pintu ruangan tahanan itu ditutupkan dari
luar. Kini yang tinggal di dalam hanyalah Melati dan Dewa Arak.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala ke arah
tunangannya. Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala.
"Hanya tenaga dalamku saja yang lenyap, Kang."
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. "Keadaan kita sama, Melati. Tenaga
dalamku pun lenyap."
"Sekarang..., apa yang dapat kita lakukan, Kang?" tanya Melati bingung.
"Tak ada, Melati," sahut Dewa Arak dengan suara mendesah.
"Kau putus asa, Kang Arya?" Melati menatap wajah pemuda berambut putih keperakan
itu setengah tak percaya. Biasanya, Arya selalu menemukan jalan keluar untuk
menghadapi setiap permasalahan. Tapi sekarang"!
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Hanya menyadari keadaan, Melati," sahut Arya tawar.
"Maksudmu?"
"Kita tak akan bisa membebaskan diri dari tali yang membelenggu. Tali ini
terlalu a lot. Jadi, daripada menyiksa diri dengan mencoba memutuskan tali ini, lebih baik kita
berdiam diri saja."
Melati pun terdiam. Gadis berpakaian putih ini menyadari kebenaran ucapan
kekasihnya. "Atau..., kalau kau mau.... Cobalah berusaha menimbulkan kembali tenaga dalammu
yang lenyap. Aku yakin, racun ini tidak akan bertahan lama. Apalagi, kalau kita
sering-sering berusaha membangkitkan kembali tenaga dalam. Tapi..."
'Tapi apa, Kang...," tanya Melati begitu melihat Arya menghentikan ucapannya.
"Kurasa, mereka tidak bodoh. Sebelum kita berhasil membangkitkan tenaga dalam
kembali, mereka mungkin telah membunuh kita. Atau... memasukkan racun kembali."
"Tapi, tidak ada salahnya kalau kita coba. Daripada hanya diam menunggu nasib,"
ujar Melati setelah sekian lamanya terdiam.
"Kau cobalah...."
*** Kini Melati mulai berusaha keras membangkitkan kembali tenaga dalamnya.
Ditariknya napas dalam-dalam. Membayangkan seolah-olah udara yang ditariknya
adalah kekuatan maha dahsyat. Kekuatan yang perlahan-lahan masuk ke hidung,
kerongkongan, dan turun ke pusar.
Sesampainya di bawah pusar, gadis berpakaian putih ini menghentikan tarikan
napasnya. Kemudian mengkhayalkan kalau kekuatan dahsyat itu berputar-putar di
bawah pusarnya. Lalu napasnya dikeluarkan kembali.
Melati terus mengulanginya meskipun tidak ada hawa yang berputar-putar di bawah
pusarnya setiap kali dia menarik dan menahan napas.
Arya hanya berdiam diri saja. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali
tidak berusaha membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Yang jelas, benak pemuda
ini berpikir keras mencari jalan untuk bisa menyelamatkan diri.
Tapi sampai lelah otaknya berpikir, dia tetap juga tidak menemukan jalan keluar.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Kepalanya ditolehkan ke arah Melati yang masih saja
sibuk membangkitkan kembali tenaga dalamnya.
Mendadak Arya menolehkan kepalanya ke pintu ketika mendengar ada langkahlangkah kaki yang menuju ke kamar tahanan itu. Melati pun rupanya mendengar
juga. Terbukti, gadis berpakaian putih itu menghentikan usahanya membangkitkan tenaga
dalam. Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu ruangan tahanan terbuka. Arya
dan Melati hampir berbareng menatap ke arah sana. Dan seketika sepasang mata
kedua muda-mudi ini terbelalak. Semula mereka menduga kalau orang yang datang
ini adalah Janggulapati. Tapi ternyata yang datang adalah.... Mawar.
Anehnya, gadis itu kelihatan bersikap hati-hati sekali. Bahkan sepasang matanya
beredar liar, sepertinya khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui orang.
Tentu saja hal ini membuat Arya dan Melati semakin heran. Tapi, hanya sesaat
saja. Kedua muda-mudi ini tidak mau tertipu untuk kedua kalinya oleh permainan
sandiwara yang luar biasa gadis berpakaian merah itu.
Pelan dan hati-hati sekali, Mawar menutupkan pintu ruangan tahanan. Kemudian
berjingkat-jingkat menghampiri Melati.
"Mau apa kau kemari, Perempuan Rendah"!" tanya Melati ketus.
"Sssttt...! Jangan berisik! Aku datang untuk menolongmu...," gadis berpakaian
merah itu menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Siapa yang mau percaya ucapan mulut busukmu!" sergah Melati dengan suara yang
semakin meninggi. Tak dipedulikannya nasihat Mawar.
"Kau boleh memakiku apa saja!" sahut gadis berpakaian merah itu sabar. "Tapi
percayalah. Aku datang dengan maksud baik. Atau..., kau lebih suka diperkosa
orang liar itu daripada kutolong?"
Melati terdiam seketika. Ucapan Mawar membuatnya ngeri bukan main. Bahkan bulu
tengkuknya pun berdiri semua ketika membayangkan apabila kejadian yang diucapkan
gadis berpakaian merah itu benar-benar menimpanya.
"Benar namamu Mawar?" kini Arya yang ganti buka suara, seraya menatap wajah
gadis itu tajam-tajam. Mungkin dari wajah itu dia ingin mengetahui kebenaran
ucapan gadis yang mengaku sebagai saudara kembar Melati.
Gadis berpakaian merah itu menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Arya.
Sementara kedua tangannya sudah sibuk membuka ikatan yang membelenggu tangan dan
kaki Melati. "Mengapa kau mengkhianati ayah dan ibumu sendiri?" desak Arya lagi ingin tahu.
"Mereka bukan ayah dan ibuku!" tandas Mawar seraya menoleh ke arah Arya. Kontan
gerakan tangannya yang membuka simpul-simpul tali terhenti.
"Heh... "!" Sepasang mata Arya membelalak lebar. "Sandiwara macam apa lagi ini?"
"Aku tidak bersandiwara, Dewa Arak!" tegas Mawar lagi, seraya melanjutkan
gerakan tangan, membuka tali yang membelenggu Melati. "Aku sama sekali bukan
anak mereka. Justru merekalah yang hendak membunuh ibu dan ayah tiriku!"
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melafi mendesah kaget
"Lalu..., kenapa kau masih membantu mereka" Dan siapakah kau sebenarnya?" tanya
Melati dengan suara bergetar. Berbeda dengan Arya, Melati masih punya dugaan
kuat kalau Mawar adalah saudara kembarnya. Ada semacam perasaan aneh yang
Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatnya yakin kalau gadis berpakaian merah itu adalah saudara kembarnya.
"Aku adalah saudara kembarmu, Melati. Dan kali ini aku tidak berbohong. Aku
adalah saudara kembarmu." Pelan dan bergetar suara yang keluar dari mulut Mawar.
"Ibu dan ayah tirimu...?" Melati bergumam bingung.
"Ya," Mawar menganggukkan kepala.
"Bisakah kau menceritakan semuanya pada kami, Mawar?" pinta Dewa Arak.
Gadis berpakaian merah itu tercenung sejenak
"Baiklah...," ucap gadis itu setelah menghela napas berat "Aku tinggal dengan
ibu dan ayah tiriku. Entah kenapa, aku tidak tahu. Yang jelas, ibu pernah cerita
kalau ayah telah meningggal dunia."
Mawar menghentikan ceritanya sebentar untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah
Arya dan Melati bergantian. Dilihatnya sepasang mata saudara kembarnya merembang
berkaca-kaca. Dan gadis berpakaian merah ini tahu apa penyebabnya. Apa lagi
kalau bukan mendengar ayahnya telah tiada"
"Suatu hari datang laki-laki dan wanita setengah baya berpakaian hitam ke rumah.
Waktu itu yang ada hanya aku dan ayah tiriku. Kedua orang yang ternyata adalah
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu mengamuk. Ayah tewas di tangannya, sementara
aku dipukul pingsan."
Kembali Mawar menghentikan ceritanya. Perlahan setitik air bening mengalir
membasahi sepasang pipinya yang putih, halus, dan mulus. Arya dan Melati dapat
menduga kalau cerita selanjutnya akan menyedihkan hati gadis itu.
"Begitu aku sadar, aku telah berada di sarang mereka. Di antara mereka kulihat
Samiaji dan empat orang lainnya. Dengan buas Samiaji memperkosaku..., dan... hal
itu terus berlangsung selama beberapa waktu...."
"Kenapa kau tidak melawan?" tanya Melati dengan suara mengandung kemarahan yang
amat sangat. Sungguh tidak disangka kalau nasib saudara kembarnya begini buruk.
"Mereka mengancam akan membunuh ibu yang katanya mereka tangkap sewaktu aku
pingsan," ucap Mawar terputus-putus. "Lagi pula, sia-sia saja usahaku
menghindarkan diri dari perbuatan bejat mereka."
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan
kepala tanda mengerti. Bisa saja
Janggulapati dan Samiaji melumpuhkan Mawar dulu, seperti melumpuhkan mereka
berdua. Dalam keadaan seperti itu apa dayanya menolak keinginan mereka"
"Kemudian mereka menugaskanku mencegat perjalanan kalian. Empat anak buah mereka
berpura-pura menyerangku. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar merencanakannya begitu
cermat. Mereka berjanji, apabila aku berhasil melaksanakan tugas ini, ibu akan
dibebaskan."
Lagi-lagi Mawar menghentikan ceritanya. Gadis ini mendehem sebentar untuk
menormalkan kembali suaranya yang semakin serak karena telah bercampur isak.
"Aku tidak punya pilihan lain. Kupikir, biarlah kukorbankan saudara kembarku
demi keselamatan ibu. Toh, seumur hidup aku belum pernah bertemu dengannya. Dan
lagi, ibu telah berjasa banyak padaku."
Melati dan Arya termenung. Mereka berdua tidak menyalahkan keputusan yang
diambil Mawar. "Lalu..., kenapa sekarang kau berubah pikiran, dan berusaha menolong kami?" Dewa
Arak penasaran.
"Tadi..., sewaktu keluar dari ruangan ini, Janggulapati rupanya keterlepasan
bicara karena kegembiraannya."
"Apa yang dikatakannya?" tanya Melati, sementara sepasang matanya menatap penuh
iba pada saudara kembarnya.
"Sambil tertawa, laki-laki busuk itu mengatakan hanya tinggal istri Palungga
saja yang belum tertangkap. Dan setelah itu, semua dendamnya akan tuntas."
"Siapa itu Palungga?" tanya Melati yang sudah tahu kalau laki-laki berwajah
tirus yang mengaku bernama Palungga punya nama asli Janggulapati.
"Ayah kandungku...."
"Jadi...?" sambung Melati dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Ya, ayahmu juga, Melati."
"Jadi..., mereka hendak menangkap ibu...?" tanya Melati dengan suara mengandung
ancaman hebat "Begitulah yang tadi kudengar," sahut Mawar membenarkan. "Itu berarti selama ini
mereka telah menipuku! Mereka belum menangkap ibu!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian merah ini mendekapkan kedua tangan ke
wajahnya. Bahunya terguncang-guncang menahan tangis yang akan meledak. Jadi
selama ini Mawar telah ditipu mentah-mentah oleh Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar. Sekarang Arya baru mengerti mengapa gadis berpakaian merah itu berusaha menolong
mereka. Tidak ada lagi yang dapat dijadikan sandera oleh Sepasang Alap-Alap
Bukit Gantar untuk memaksa Melati.
"Tapi..., bagaimana kita bisa keluar dengan selamat dari sini" Kau kan tahu
kalau aku dan Kang Arya sama sekali tidak berdaya."
Setelah berkata demikian, Melati bangkit dari balai-balai bambu. Ikatan yang
membelenggu tangan dan kakinya sudah terlepas semua.
Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Apa yang dikatakan tunangannya memang masuk
akal. Bagaimana mereka dapat meloloskan diri dalam keadaan seperti ini"
Jangankan menghadapi Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, menghadapi empat orang
anak buahnya pun rasanya mereka tidak mungkin akan menang.
"Aku sudah punya jalan," ucap Mawar.
"Bagaimana, Mawar?" tanya Arya ingin tahu.
"Hanya inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari sini."
"Kau jangan berteka-teki, Mawar," selak Melati cepat "Beritahukan saja secara
gamblang semua rencanamu."
"Apa yang dikatakan Melati, benar sekali, Mawar," sambut Arya mendukung ucapan
tunangannya. "Aku pun memang sudah bermaksud memberi tahu kalian," ucap Mawar pelan.
Seketika Arya dan Melati membisu.
"Rencanaku begini, Melati. Aku bermaksud menggantikan tempatmu."
"Maksudmu...?" selak Melati tak sabar.
"Aku menyamar menjadi dirimu. Sementara kau menjadi aku, kurasa tidak ada
seorang pun yang bisa membedakan kita."
"Hm...," Arya mengangguk-anggukkan kepalanya mulai mengerti. "Lalu...?"
"Dengan menyamar sebagai diriku, Melati cukup bebas untuk berbuat apa saja.
Bahkan mendapat kesempatan untuk menormalkan kembali tenaga dalam. Kebetulan aku
punya penawar racun itu."
"Kenapa tidak langsung membebaskan kami berdua saja, kemudian kau berikan obatobat penawar racun itu pada kami," usul Melati.
"Tidak semudah itu, Melati," bantah Mawar sambil tersenyum lebar. "Racun ini
berbeda dengan racun umumnya. Penawar untuk racun ini memakan waktu yang cukup
lama. Paling tidak, lima hari. Sekarang kau mengerti mengapa rencana itu tidak
bisa kulaksanakan, Melati?"
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., setelah tugasku ini selesai, keselamatan kami ada di tanganmu,
Melati." Mawar menutup kata-katanya.
Melati terdiam seketika. Sementara dahinya berkernyit. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya. Dan Arya bisa menduga apa yang membuat tunangannya tertihat
risau. "Mawar...," panggil Arya pelan.
"Hm...." Hanya suara bergumam pelan yang menyahuti panggilan pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Apakah tindakan ini tidak membahayakan dirimu sendiri" Kau tahu bahaya apa yang
mengancammu, bila kau menggantikan tempat Melati?" tanya Arya ragu-ragu.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Memang, hal itulah
yang sejak tadi
mengganggu pikirannya.
"Aku tahu, Kang Arya," Mawar menganggukkan kepala. Diturutinya cara Melati
memanggil pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau masih mau melakukannya?" desak Arya lagi setengah tidak percaya.
"Aku tidak ingin saudara kembarku mengalami nasib yang sama sepertiku! Biarlah
hanya aku saja yang mengalami!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari
mulut saudara kembar Melati itu.
"Mawar...!"
Melati tak kuasa menahan
rasa haru mendengar kesediaan
Mawar untuk mengorbankan dirinya. Ditubruknya tubuh saudara kembarnya. Kemudian dipeluknya
erat-erat Ada isak tertahan yang merayap naik dari dadanya menuju kerongkongan,
sehingga membuat suaranya bergetar.
Mawar pun balas memeluk tak kalah erat. Sepasang mata kedua gadis cantik itu
tampak merembang berkaca-kaca. Keharuan pun melingkupi seisi ruang tahanan.
Bahkan Arya pun tidak tahan untuk tidak mengerjap-ngerjapkan mata, begitu
merasakan kedua pelupuk matanya mendadak panas.
Beberapa saat kemudian, barulah kedua gadis yang sama-sama cantik jelita itu
melepaskan pelukan masing-masing. Keduanya bersiap melaksanakan rencana mereka.
6 Melati dan Mawar lalu menuju ke sudut kamar tahanan. Kemudian saling melepas
pakaian luar masing-masing. Meskipun tidak melihat kedua gadis itu membuka
pakaian, tapi tak urung dada Arya berdebar tegang begitu mendengar suara
berkeresek pakaian yang dilepaskan.
Arya merasa betapa kedua tangannya jadi dingin. Segera diusirnya jauh-jauh
bayangan bukan-bukan yang mengusik benaknya.
Melati dan Mawar sudah selesai melepaskan pakaian masing-masing. Dan kini kedua
gadis itu sudah mu lai mengenakan pakaian yang telah ditukar. Sesaat kemudian,
keduanya telah selesai mengenakan pakaian tukarannya.
Kini Mawar mulai mengurai rambutnya. Sementara Melati sibuk menggelung
rambutnya ke atas. Setelah selesai, kedua gadis yang cantik jelita itu berjalan
menghampiri Arya dan berdiri berjejer di depannya.
Sepasang mata Arya terbelalak lebar. Mulutnya pun melongo. Sungguh kalau saja
dia tidak mendengar suara berkeresekan tadi, mungkin dikiranya kedua gadis itu
belum bertukar pakaian. Gadis berpakaian putih dan berambut panjang terurai di
hadapannya dikenalnya betul sebagai Melati. Ataukah memang mereka belum bertukar
pakaian" "Bagaimana, Kang Arya ?" tanya gadis berpakaian merah. Kini Arya tidak ragu-ra
gu lagi untuk menebak kalau wanita berpakaian merah itu benar-benar Melati.
Suara gadis itu amat dikenalnya.
"Luar biasa! Kalau saja kau tidak berbicara, mungkin aku tidak bisa membedakan
mana kau dan mana Mawar, Melati," sahut Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi...?" Gadis berpakaian merah, yang tidak lain dari Melati itu tidak
melanjutkan ucapannya.
"Suaramulah yang membuatku dapat membedakan kalian."
"Ah...! Kalau begjtu..., suaramu pun harus diatur, Melati," ucap gadis
berpakaian putih yang tak lain adalah Mawar.
Melati mengernyitkan alisnya.
"Apakah suaraku dan suara Mawar berbeda jauh, Kang?"
Arya menganggukkan kepala.
"Di mana perbedaannya?" kejar Melati penuh rasa ingin tahu.
"Suaramu agak ketus...."
"Kalau Mawar...?" selak Melati cepat.
"Suara Mawar lembut, Melati. Lembut, halus dan satu-satu," jawab Arya. "Jadi
alangkah baiknya agar penyamaran kalian tidak terbongkar, kau harus mencoba
meniru suara Mawar. Tentu saja tidak perlu terlalu persis. Setidak-tidaknya,
yahhh..., mendekati.
Pokoknya kau tidak boleh menonjolkan perbedaan yang terlalu menyolok."
Sebenarnya mendongkol juga hati Melati yang sekarang telah berpakaian merah
mendengar jawaban dari mulut tunangannya, sepertinya dia selalu memuji-muji
Mawar. Tapi karena tahu Arya berkata begitu demi kelancaran tugas mereka, rasa
dongkol yang melanda hatinya diusir jauh-jauh.
"Akan kucoba meniru suara Mawar, Kang."
Setelah berkata demikian, Melati pun lalu mulai berusaha menirukan ucapan Mawar.
Arya mendengarkan penuh seksama. Beberapa kali gadis berpakaian merah itu
terpaksa harus mengulang, setiap kali Arya menggelengkan kepalanya.
Setelah cukup lama mengulang-ulang ucapan
demi ucapan, akhirnya Arya
menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas lega. "Apakah suaraku sudah sama dengan
suara Mawar, Kang?"
"Sama sih tidak. Tapi yang jelas sudah agak mirip," sahut Arya.
"Kalau begitu, sudah saatnya aku berbaring di situ," ucap Mawar setengah melucu,
seraya menunjuk balai-balai bambu tempat Melati tadi berbaring tak berdaya.
Kemudian, Mawar yang kini berpakaian serba putih itu melompat ke balai-balai
bambu. "Tapi, bagaimana dengan tenaga dalammu, Mawar" Tidakkah nanti mencurigakan?"
tanya Arya ketika teringat akan hal itu.
Melati terionjat kaget begitu mendengar pertanyaan tunangannya. Dengan sinar
mata penuh pertanyaan, ditatapnya wajah Mawar.
Tapi, hati kedua pendekar muda itu jadi lega begitu melihat gadis berpakaian
putih itu tersenyum lebar.
"Jangan khawatir," jawab Mawar menenangkan. "Aku sudah meminum racun itu sebelum
masuk ke sini."
"Tapi, kenapa kau tidak terserang pusing dan lemas?" tanya Melati penuh rasa
heran. "Ooo..., seperti yang kalian rasakan itu?"
Hampir bersamaan Melati dan Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Racun yang diberikan kalian lain dengan yang kuminum. Racun yang kuminum hanya
melenyapkan tenaga dalam secara perlahan-lahan tanpa menimbulkan akibat
sampingan."
"Berapa lama racun itu bekerja?" tanya Melati setengah hati.
"Tak lama lagi, tenaga dalamku pun akan lenyap semua. Mungkin setelah
berbaring."
Setelah berkata demikian, Mawar lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi
telentang. Kedua tangan dan kakinya direntangkan ke sudut-sudut balai-balai
bambu. "Tolong ikatkan tali itu, Melati," pinta gadis berpakaian putih itu. Tak
terdengar adanya nada memerintah dalam ucapannya.
Dengan perasaan berat, Melati memenuhi permintaan saudara kembarnya. Dijumputnya tali-tali bekas pengikat tangan dan kakinya. Kemudian diikat
pergelangan kedua tangan dan kaki Mawar.
"Lebih erat lagi, Melati," ucap Mawar begitu merasakan ikatan yang membelenggu
tangan dan kakinya kurang erat
Melati terpaksa memperkuat ikatan. Dan untuk itu gadis berpakaian merah ini
harus menguatkan hatinya.
Setelah dirasakan cukup, Melati lalu melangkah mundur.
"Jangan lupa dengan suaramu, Melati," ucap Arya memperingatkan. "Dan ingat...
apa pun yang terjadi, kau harus memaksakan diri tetap diam. Jangan sia-siakan
pengorbanan saudara kembarmu."
Melati hanya menganggukkan kepala. Dia sudah tak sanggup lagi menanggapi ucapan
itu. Rasa haru yang melanda akibat pengorbanan yang begitu besar dari saudara
kembarnya, membuat dadanya terasa sesak. Bahkan lehernya pun terasa bagaikan
tercekik oleh rasa haru yang menggelegak.
Sesaat kemudian, Melati pun melangkah keluar ruang tahanan. Dan dengan hati-hati
melangkah memasuki kamar Mawar yang berada tidak jauh dari ka mar tahanan.
Memang saudara kembarnya itu telah memberi petunjuk ke tempat yang menjadi kamar
tidurnya. Sesampainya di dalam, tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati lalu bersemadi
untuk mencoba membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang telah lenyap entah ke
mana. *** Melati tak tahu berapa lama dirinya tenggelam dalam keheningan semadi. Yang
jelas, dia segera tersadar begitu mendengar suara ketukan pintu.
"Mawar...! Cepat keluar...!" terdengar teriakan-teriakan keras dari luar pintu.
Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melati mengenali siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.
Bergegas Melati menghentikan semadi dan bangkit berdiri. Kemudian melangkah ke
arah pintu. Lalu dibukanya. Benar saja. Di depan pintu dilihatnya Janggulapati
dan yang lain-lain berdiri.
"Ada apa, Janggulapati?" tanya Melati dengan suara yang telah berubah menjadi
halus, lembut, dan satu-satu. Mawar telah memberitahunya bagaimana memanggil
mereka. "Kau harus ikut kami untuk melihat tontonan menarik yang akan kami suguhkan
padamu!" Samiaji yang menjawab pertanyaan Melati.
Melati menelan kemarahannya mendengar ucapan itu. Gadis berpakaian merah ini
segera teringat pada cerita Mawar. Saudara kembarnya itu telah diperkosa habishabisan oleh Samiaji dan Janggulapati.
Teringat hal ini, kemarahan Melati bangkit. Tapi gadis ini tidak mau bersikap
gegabah. Diingatnya betul-betul semua nasihat yang diberikan Dewa Arak. Maka kemarahan
yang berkobar dan hendak membakar dada ditahannya dengan sekuat tenaga.
Melati segera melangkah keluar pintu tanpa bicara apa-apa. Setelah menutup pintu
kembali, kakinya dilangkahkan mengikuti Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, bersama
murid dan anak buahnya yang telah melangkah lebih dulu.
Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan, Melati
menyumpah-nyumpah dalam hati. Kalau saja saat ini tenaga dalamnya tidak musnah,
mungkin sudah diterjangnya orang-orang yang memuakkan ini.
Tak lama kemudian, rombongan itu sudah berada di depan pintu ruangan tempat Arya
dan Mawar ditahan.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu Janggulapati mendorong daun pintu dengan
tangan kanannya.
Arya dan Mawar berjingkat kaget, meskipun pendengaran mereka sudah menangkap
adanya bunyi langkah-langkah kaki yang menuju ke tempat mereka. Tentu saja,
Mawar hanya mendengar langkah kaki empat orang anak buah Sepasang Alap-Alap
Bukit Gantar. Tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!" Janggulapati tertawa bergelak "Babak pertama dari permainan yang
akan kami buat segera dimulai, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan kepalanya
ke arah Mawar pada Samiaji.
Tanpa diperintah dua kali, pemuda bertubuh pendek kekar bergegas menghampiri
tubuh Mawar yang tergolek di pembaringan.
"He he he..!"
Samiaji tertawa-tawa. Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh
montok dan menggiurkan yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga
dikerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan
dan kakinya. Tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke
sana kemari menjadi pertanda kalau dia tengah berusaha keras membebaskan
dirinya. Bukan hanya Mawar saja yang kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda
kegelisahan serupa. Tidak terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati! Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu
berteriak-teriak kalap. Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk
memutuskan tali-tali yang membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar,
Arya pun mengalami hal yang sama.
Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan
kalap Dewa Arak
Brettt! Baju di bagian dada mawar robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak
pelak lagi tubuh berkulit putih, halus, dan mulus pun tampak menantang.
Samiaji menelan ludah. Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin
beringas. Bagaikan seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo
hadapi aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!"
Seraya membentak keras, Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak..! Seketika itu juga ucapan Arya terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam
itu mendarat telak dan keras sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya
terpaling. Cairan merah kental menetes di sudut-sudut bibirnya. Janggulapati
sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan
tenaga luar saja.
Tapi, orang seperti Arya mana bisa digertak" Dengan berani, meskipun dengan pipi
biru lebam, dan terlihat bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki
berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih
dari seorang pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut
Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!"
Janggulapati menggeram keras. Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras
dari sebelumnya.
Plak...! Kepala Dewa Arak sampai terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya
tamparan itu. Kembali rona merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena
tampar. Cairan merah kental kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut
putih keperakan ini.
Tapi, lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu
telah bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi
oleh bengkak-bengkak di wajahnya.
Dewa Arak menggertakkan giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
*** Kelakuan Samiaji yang sudah diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa
mempedulikan banyaknya orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh
pendek kekar itu terus saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang
ada di benaknya hanya melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya
Melati. Dan kembali tangan murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak
Brettt..! Suara ribut dari kain yang robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali
terenggut. Kini Mawar terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun
yang melekat di tubuhnya. Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus
pun semakin jelas menantang.
Sepasang mata Samiaji hampir melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit
kembar' yang menantang birahinya.
Dengan susah payah pemuda bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya.
Napasnya memburu hebat bagaikan orang habis berlari jauh.
Bukan hanya Samiaji saja yang mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak
buahnya pun menelan air liur. Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan
laki-laki berpakaian hitam ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang tidak tahan melihat kejadian itu, Mata dari
Melati dan Arya Buana.
Melati menundukkan kepalanya. Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan
adegan yang akan menimpa saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan
rapat-rapat. Meskipun tidak menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan
pendengaran. Tapi meskipun begitu, tak urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis
berpakaian merah ini seperti diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih.
Begitu nyeri. Tak dapat ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua
kelopak matanya. Wanita yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara.
Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian.
Biarlah dia tewas di tangan mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang
di hadapannya. Tapi, akal sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang
dilakukan saudara kembarnya kalau hal itu dia lakukan.
Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami
hal yang sama. Beberapa kali Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya
Wanita Iblis 11 Sarang Perjudian Karya Gu Long Pendekar Bodoh 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama