Ceritasilat Novel Online

Empat Dedengkot Pulau Karang 2

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang Bagian 2


pujian seperti itu, mereka berniat mengajak bertarung!
Berbeda dengan Arya, Melati
dan Petani Maut ternyata merasa tersinggung bukan kepalang. Sepasang mata
Petani Maut sudah berkilat, sedangkan kedua tangan Melati telah mengepal karena amarah yang langsung menggejolak.
Melati dan Petani Maut berharap, Dewa Arak menanggapi tantangan Ragola.
"Mungkin ucapanmu benar," jawab Arya, kalem.
Ragola dan Paroga yang sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu jadi saling berpandangan. Bingung. Tapi sebelum sempat berbuat sesuatu, tiga sosok tubuh berpakaian abu-abu dan
mengenakan caping, berlari cepat menerobos kerumunan penduduk Desa Ceger.
"Guru...! Bagaimana keadaanmu?" salah seorang yang baru datang itu langsung
menghampiri Petani Maut, dan melontarkan pertanyaan.
"Keadaanku baik-baik saja, Rantung. Dari mana kalian tahu kalau aku ada di
sini?" tanya Petani Maut.
"Kau, Rimang. Mungkin kau bisa menjawabnya."
"Baru saja kami singgah di sini. Dan begitu
melihat kerumunan orang, kami langsung bertanya pada seorang penduduk Desa Ceger
tentang keberadaanmu. Dan begitu mereka menyebutkan ciri-cirinya, kami langsung
bisa menduga kalau yang tengah terluka adalah dirimu,"
jelas orang yang dipanggil Rimang.
"Hm.... Lantas, mengapa kalian mencariku" Ada apa rupanya" Kau, Jalu. Coba jawab
pertanyaanku," ujar Petani Maut, penuh wibawa.
"Celaka, Guru...!" hanya itu yang keluar dari mulut Jalu.
"Ada apa, Rantung?" desak Petani Maut mengalihkan tatapannya pada Rantung.
Memang, dialah yang paling tertua di antara murid Petani Maut.
Terdengar penuh wibawa ucapan Petani Maut. Ada
nada teguran dalam suaranya.
"Perkumpulan kita diobrak-abrik orang jahat, Guru. Semua murid dibunuh. Hanya
kami bertigalah yang dibiarkan hidup!" lapor Rantung, takut-takut.
"Keparat!"
Petani Maut menggeram. Jari-jari kedua tangannya langsung dikepalkan, sehingga menimbulkan suara berkerotokan keras
seperti ada tulang-tulang patah. Kelihatan kalau laki-laki berpakaian lusuh ini
tengah dilanda kemarahan yang menggejolak.
Rantung, Rimang, dan Jalu tentu saja tahu kalau
pimpinan mereka tengah murka.
Maka, ketiganya pun
semakin menundukkan kepala, tidak berani balas menatap. "Kalian kenal orang yang telah melakukan semua kekejian itu?" tanya Petani Maut
Suaranya terdengar bergetar, setelah berhasil menenangkan hati.
Dan bagai diberi perintah, Rantung, Rimang, dan
Jalu menggelengkan kepala.
"Tapi kami bisa menjelaskan ciri-ciri orang itu, Guru," kata Rantung setelah
beberapa saat lamanya
terdiam. "Katakan, bagaimana ciri-ciri orang itu?" desak Petani Maut masih dengan suara
kaku. Rantung tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Benaknya segera diputar untuk mengingat-ingat orang yang telah membunuhi rekanrekannya. "Pengacau itu memiliki tubuh tinggi besar. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan ada sebuah codet
di dahinya. Pakaian yang dikenakannya berwarna...."
"Hitam,"
selak Petani Maut, sebelum Rantung menyelesaikan penjelasannya.
"Benar, Guru," sahut Rantung dengan raut wajah bingung. "Guru mengenalnya?"
"Hhh...!"
Sambil menghela napas berat, Petani Maut menganggukkan kepala.
"Mahadewa...,"
desah kakek berkulit hitam ke-coklatan ini, dalam hati.
Memang, ciri-ciri yang diuraikan Rantung tepat
mengarah pada satu orang. Mahadewa!
"Mahadewa...," desis Petani Maut dengan suara ditekan. "Dosa yang kau perbuat
semakin banyak saja.
Hanya kematianlah yang pantas untuk menebus dosa-dosamu. Aku berjanji akan mengadu nyawa untuk menumpas sepak terjangmu!"
Pelan saja Petani Maut mengucapkan sumpahnya.
Tapi karena suasana di sekitar tempat itu hening, sumpah itu terdengar jelas.
Tak terkecuali, telinga Dewa Arak dan Melati.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa tergelak yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.Suasana di sekitar tempat itu kontan bergetar hebat. Bahkan seluruh
penduduk Desa Ceger merasakan kaki mereka mendadak lemas. Tanpa dapat dicegah
lagi, mereka jatuh berlutut di tanah.
Yang masih berdiri tegak di tanah hanya Petani
Maut, Dewa Arak, Melati, dan Ki Manda. Sedangkan Ragola dan Paroga memang masih
tetap berdiri. Tapi, kedua kaki mereka sudah tidak tegak lagi. Lutut mereka
terasa lemas bukan kepalang!
Hampir berbarengan, semua pasang mata dilayangkan ke arah suara tawa berasal. Tampak di luar kerumunan penduduk Desa
Ceger yang sudah bergeletakan di tanah, berdiri sesosok
tubuh tinggi berpakaian hitam. Semua yang ada di situ menatap dengan hati berdebar tegang. Betapa tidak" Sosok tubuh berkulit hitam, berambut keriting,
dan mempunyai sebuah codet di dahi itu kelihatan menggiriskan sikapnya. Siapa
lagi orang itu kalau bukan Mahadewa"
"Grrrhhh...!"
Bagai seekor harimau lapar, Petani Maut yang tidak bisa menahan kegeramannya lagi langsung menggeram.
Sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya telah menegang,
karena siap-siap ingin melancarkan serangan. Tapi ketegangan itu langsung mengendur, karena ada orang yang mendahului tindakan Petani Maut.
"Keparat! Berani kau memamerkan kemampuan di Desa Ceger"!"
Usai berkata demikian, orang yang tak lain Ragola itu melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkepal, melepaskan pukulan
ke arah dua tulang rusuk Mahadewa.
"Hmh...!"
Mahadewa hanya mendengus. Sorot meremehkan tampak terpancar dari kedua matanya. Kelihatannya serangan Ragola tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Buktinya, dia
hanya diam saja, sekalipun serangan itu semakin mendekat!
Buk, buk, buk! Bertubi-tubi pukulan Ragola mengenai sasaran,
karena Mahadewa sama sekali tidak mengelak. Seketika itu pula, terdengar jeritan
kesakitan yang disusul terhuyung-huyungnya tubuh..... Ragola!
"Ha ha ha ..!"
Mahadewa tertawa terbahak-bahak melihat Ragola
terhuyung-huyung ke belakang sambil menjerit-jerit kesakitan. Tidak hanya itu
saja. Kedua tangannya kontan bengkak-bengkak membiru. Memang, Ragola merasakan
seakan-akan yang dipukulnya adalah gundukan besi baja yang amat kuat.
"Keparat! Berani kau melukai kawanku"!"
Paroga tidak tinggal diam melihat keadaan rekannya. Seketika itu pula, tubuhnya melompat menerjang Mahadewa. Dan ketika
tubuhnya berada di udara, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggang.
Srattt! Sinar terang kontan berkeredep, ketika golok
besar yang terselip di pinggang telah tercabut. Dan secepat senjata itu


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercabut, secepat itu pula terayun ke arah leher Mahadewa! Paroga menggerakkan
goloknya secara mendatar.
Wuttt! Diiringi suara mendesing cukup nyaring, golok
besar itu melesat cepat menuju sasaran. Tapi seperti ketika
menghadapi serangan Ragola, menghadapi serangan ini pun Mahadewa sama sekali tidak mengelak
atau menangkisnya. Laki-laki bercodet itu tetap saja tertawa-tawa, seperti tidak
ada bahaya yang tengah mengancam. Maka, hasilnya pun sudah bisa diduga.
Takkk! Telak dan keras sekali mata golok itu menghantam
sasaran. Bunyi yang terdengar mirip benturan dua buah logam keras.
Takkk! Telak dan keras sekali mata golok Paroga menghantam leher lawan. Tetapi Mahadewa tenang saja.
Sebaliknya dengan Paroga, laki-laki itu malah
merasakan tangannya sakit dan linu bukan kepalang setelah goloknya membentur
leher Mahadewa.
Paroga kontan merasakan tangannya sakit dan linu
bukan kepalang setelah membenturkan goloknya dengan leher
Mahadewa. Bahkan hampir-hampir senjata yang digenggamnya terlepas dari pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Kali ini, rupanya Mahadewa berniat unjuk gigi.
Buktinya, tindakannya tidak hanya sampai di situ saja.
Masih dengan tawa yang belum putus, telunjuk tangan kanannya langsung
ditudingkan ke arah Paroga.
Cit! Suara mendecit nyaring seperti ada tikus mencicit, terdengar ketika Mahadewa menudingkan jari telunjuknya. Dan....
Crattt! "Aaakh...!"
Paroga langsung menjerit kesakitan ketika tahu-tahu pelipisnya terasa perih, seperti tersayat sebilah pisau tajam.
Pengawal Ki Manda ini sama sekali tidak tahu kalau ada darah yang mengalir
keluar dari pelipisnya yang terluka. Dan dia juga tidak tahu kalau luka itu
terjadi akibat tudingan telunjuk Mahadewa.
Memang, laki-laki bercodet itu mempunyai sebuah
ilmu yang membuat jari-jari tangannya mampu melukai lawan-lawannya
dari jarak jauh! Bahkan angin serangannya tak kalah tajamnya dengan sabetan pedang tajam!
Sebentar Paroga terhuyung-huyung, lalu ambruk
di tanah. Tanpa menunggu lama lagi, nyawanya pun melayang ke alam baka saat itu juga.
"Iblis keji!"
Ki Manda tidak bisa menahan kemarahannya lagi
melihat nasib Paroga. Cepat laksana kilat, golok pendek yang berada di pinggang dicabutnya.
Srattt! Tapi.... "Tahan...!"
Dan sebelum Ki Manda sempat menoleh ke arah asal
suara, mendadak melesat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kirinya telah berdiri seorang pemuda berambut putih
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak. Pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan ini berdiri dengan sikap tenang. "Siapa kau, Kisanak" Mengapa menyebar kerusuhan di sini?" tanya Dewa Arak,
kalem. 5 "Ha ha ha...!"
Jawaban yang diterima Dewa Arak ternyata hanya
suara tawa keras menggelegar dari Mahadewa. Tampak jelas kalau laki-laki
bercodet ini memandang rendah Dewa Arak. Tapi seperti biasanya, Arya sama sekali
tidak terpancing. Sikapnya tetap seperti semula, tenang. "Bukankah kau telah mengetahui namaku, Dewa Arak. Aku Mahadewa! Apakah Petani Maut tidak menceritakan kejadian yang dialaminya padamu?" Mahadewa malah balas bertanya.
"Sayang sekali, Mahadewa. Petani Maut sama sekali tidak menceritakan apa-apa padaku. Mungkin kejadian yang dialami bersamamu dianggap sebuah masalah yang sama sekali tidak penting. Jadi, rasanya tidak perlu diceritakan
padaku," kalem jawaban Arya, tapi ada nada sindiran di dalamnya.
Mahadewa bukan orang bodoh! Dia pun tahu, Dewa
Arak memang sengaja mengejeknya. Maka seketika raut wajahnya merah padam. Dengan
sepasang mata membeliak lebar, ditatapnya Dewa Arak.
"Keparat! Berarti kau main-main denganku"!
Awas, kuhancurkan tubuhmu!"
Sebelum gema ancamannya lenyap, Mahadewa telah
melompat menerkam Dewa Arak.
Kedua tangannya yang
berbentuk cakar, terkembang di sisi tubuhnya. Serangannya mengingatkan pada terkaman seekor harimau lapar.
Wuttt! Deru angin keras mengiringi tibanya serbuan Mahadewa. Betapa dahsyatnya serangan itu. Tapi, Dewa Arak tidak gugup. Sikapnya
tetap tenang, menunggu
hingga luncuran tubuh Mahadewa dekat.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan untuk memapak serangan lawan. Sebenarnya
hal ini merupakan tindakan yang di luar kebiasaan. Biasanya, Dewa Arak tidak
pernah menangkis saat lawan melancarkan serangan pertama. Hal ini karena Arya tidak mau mencelakai lawan. Masalahnya, bukan tidak
mungkin tenaga yang digunakan akan terlalu kuat bagi lawan.
Tapi kali ini kebiasaan itu terpaksa dilanggar
Dewa Arak, karena melihat sikap telengas Mahadewa.
Bahkan Dewa Arak tidak segan-segan mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya, karena diyakini kalau Mahadewa memiliki tenaga dalam tinggi.
Prattt! Suara keras terdengar ketika dua pasang tangan
yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur. Dewa Arak
terhuyung dua langkah, sedangkan
Mahadewa empat langkah. Dari sini bisa diketahui kalau tenaga dalam Dewa Arak berada di atas lawannya.
Mahadewa menggertakkan gigi menyadari keunggulan lawan. Dari benturan tadi, tokoh dari Pulau Karang
ini

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geram bukan kepalang. Apabila ketika tangannya terasa sakit-sakit. Maka begitu kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung-huyung
lenyap, langsung saja dikeluarkannya ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok' andalannya.
Mahadewa menyusun jari-jari tangannya membentuk
kepala ular. Sementara, Dewa Arak memperhatikan penuh waspada. Disadari kalau
lawan akan mengeluarkan ilmu andalan.
"Haaat...!"
Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di
sekitar tempat itu tergetar hebat, Mahadewa segera menerjang Dewa Arak. Dan
selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya dibacokkan ke arah leher Dewa
Arak. Wuttt! Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan Mahadewa. Itu pun masih ditambah berkesiurnya angin tajam yang dapat
melukai kulit. Dewa Arak sendiri tidak berani bertindak gegabah. Dari desir angin tajam yang mengiringi tibanya serangan, bisa diperkirakan kehebatan ilmu lawan. Maka, buru-buru
tubuhnya melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan itu, Dan tindakan Dewa
Arak tidak hanya sampai di situ. Dalam keadaan masih di udara, guci araknya
diambil dan dituangkan ke mulut.
Gluk, gluk, gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak melewati
tenggorokan Dewa Arak. Hawa hangat yang semula beredar di perut perlahan-lahan
naik ke atas kepala.
Jliggg! Dengan keadaan tubuh sempoyongan, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Lalu, tokoh muda yang menggemparkan ini
mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dada dengan tubuh terhuyunghuyung. Gerakan kedua tangannya mengingatkan orang pada seekor belalang yang tengah
mempermainkan kakinya.
Mahadewa belum pernah melihat ilmu andalan Dewa
Arak. Apalagi, membuktikan kelihaiannya. Maka dia agak bingung begitu melihat
gerakan-gerakan yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sebagai seorang tokoh sakti, laki-laki bercodet ini langsung bisa memperkirakan kedahsyatan ilmu lawannya. Maka
tindakannya tidak berani ceroboh lagi. Mahadewa tahu, Dewa Arak pasti
mengeluarkan ilmu andalannya. Dan dia tidak berani langsung melancarkan
serangan. Diperhatikannya
secara seksama tindakan tokoh muda yang telah menggemparkan dunia persilatan itu.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, kini Mahadewa melancarkan serangan pada Dewa Arak. Jari-jari tangannya terbuka lurus,
siap menggunakan ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok' untuk mematahkan
perlawanan Dewa
Arak. Dalam penggunaan ilmu itu, Mahadewa melancarkan tusukan, bacokan, babatan, maupun tetakan. Yang menggiriskan hati, setiap gerakan tangannya selalu menimbulkan suara angin mencicit nyaring. Tapi lawan yang dihadapi adalah Dewa Arak! Seorang pendekar yang meskipun masih muda, tapi memiliki kemampuan luar biasa. Ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalamnya
sudah mencapai tingkat tinggi.
Ilmu-ilmu yang dimilikinya juga merupakan ilmu-ilmu pilihan. Itu pun masih
ditambah lagi dengan pengalaman bertarungnya.
Gabungan dari semua kemampuan itu merupakan satu kesatuan maha dahsyat, yang mampu menggilas habis perlawanan yang dilakukan lawan.
*** Menarik bukan kepalang pertarungan yang terjadi
antara Dewa Arak menghadapi
Mahadewa. Sejak awal,
pertarungan telah berlangsung sengit. Mahadewa tampak bersemangat
sekali untuk dapat segera merobohkan lawannya. Kedua tangannya menusuk, membacok, membabat, dan menetak ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak diiringi suara
mendesing nyaring. Tapi,
semua serangan itu berhasil dielakkan Dewa Arak dengan jurus 'Delapan Langkah
Belalang'nya. Mahadewa menggertakkan gigi menahan geram ketika menyadari semua serangannya berhasil dipunahkan lawan. Apalagi ketika melihat gerakan-gerakan Dewa Arak dalam mengelak, sama sekali tidak pantas dinamakan
gerakan-gerakan ilmu bela diri.
Berkali-kali pemuda berambut putih keperakan
itu seperti akan jatuh, ketika mengelakkan serangan.
Bahkan, tak jarang seperti akan menubrukkan tubuhnya pada serangan yang tengah
meluncur. Yang membuat Mahadewa heran bukan kepalang, ketika menyadari kalau dengan gerakan seperti itu Dewa Arak malah terbebas dari
serangan yang dikirimkannya.
Kekaguman Mahadewa semakin bertambah ketika Dewa Arak mulai melancarkan serangan balasan. Setiap serangan pemuda berambut
putih keperakan itu terasa berat sekali dihadapinya.
Dalam waktu sebentar saja, pertarungan telah
berlangsung hampir tujuh puluh jurus. Hal itu terjadi, karena kedua belah pihak
sama-sama memiliki gerakan cepat.
Namun, sampai saat ini belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, puluhan mata telah sejak tadi
memperhatikan pertarungan sengit itu dengan penuh minat. Bahkan mata mereka hampir tidak berkedip. Tapi apa yang disaksikan
ternyata sia-sia belaka. Mereka tetap saja tidak bisa mengikuti jalannya
pertarungan, karena yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu
saja. Dua bayangan itu tampak saling belit, dan terkadang saling pisah. Tapi,
terpisahnya hanya sekejap saja, karena kini sudah saling belit kembali!
Hanya dua orang saja dari sekian banyaknya penonton yang dapat melihat jelas pertarungan sengit itu.
Mereka adalah Melati dan Petani Maut, yang menyaksikan penuh minat. Memang, sebagai tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tidak ada hal yang paling menyenangkan kecuali
menyaksikan pertarungan.
Terutama sekali, pertarungan tokoh-tokoh sakti! Dan sepasang mata Melati dan
Petani Maut kelihatan hampir tidak pernah berkedip menyaksikannya.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus dua, Mahadewa melancarkan
tusukan bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak.
Cit, cit cit! "Hih!"
Tak tak tak! Suara berderak keras terdengar ketika Dewa Arak
memapak serangan

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dengan tetakan kedua tangan berturut-turut.
Bunyinya laksana dua batang logam beradu. Dan hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Mahadewa sama-sama terhuyung tiga langkah ke belakang.
Dewa Arak menggigit bibir ketika merasakan sakit
yang amat sangat pada pergelangan tangan yang berbenturan tadi. Tapi, hal itu tidak dipedulikannya.
Kedua tangannya terus saja dihentakkan ke depan. Dewa Arak melancarkan serangan
jarak jauh, mempergunakan jurus
'Pukulan Belalang'. Hal itu dilakukan saat tubuhnya masih terhuyung-huyung.
Wusss! Serentetan angin keras berhawa panas menyengat
keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan.
Tentu saja hal ini membuat Mahadewa terkejut bukan kepalang. Disadari akan
adanya bahaya maut yang tengah mengancam, maka buru-buru daya yang membuat
tubuhnya terhuyung-huyung dipatahkan dengan menjejakkan kaki.
Kemudian tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan.
Tindakan yang dilakukan kelihatan agak tergesa-gesa. Meskipun demikian, telah cukup untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Pukulan jarak jauh Dewa Arak hanya meluncur jauh dari sasaran semula.
Begitu serangan itu lewat, Mahadewa segera berhenti berguling. Lalu tubuhnya
melenting ke atas, dan....
"Hey! Berhenti kau, Pengecut!"
Petani Maut yang sejak tadi memang memperhatikan
jalannya pertarungan, langsung berseru kaget ketika melihat Mahadewa melarikan
diri. Dan sebelum gema
ucapannya lenyap, tubuhnya telah melesat menyusul Mahadewa. Sedangkan Melati yang berdiri di sebelahnya bergegas mendekati Dewa
Arak. "Kita harus mengikuti mereka, Melati. Aku khawatir, Petani Maut akan menjadi korban Mahadewa,"
ujar Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengarahkan
pandangan pada dua sosok tubuh yang saling kejar-mengejar beberapa belas tombak di depan.
"Tapi, Kang," Melati berusaha membantah.
"Ayolah, Melati. Mahadewa adalah tokoh angkara murka. Bukankah kau telah
mendengar sendiri dari mulut murid-murid Petani Maut" Lagi pula, kulihat Petani
Maut juga mempunyai urusan dengan Mahadewa."
'Terserahmulah, Kang."
Hanya itu jawaban yang dikemukakan Melati. Kelihatannya keputusannya telah diserahkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu..., mail kita bergegas, Melati."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu melesat ke arah kepergian Mahadewa dan Petani Maut, diikuti
Melati. Sepasang pendekar muda itu berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Kalau Melati mengerahkan seluruh kemampuannya, maka Dewa Arak hanya mengerahkan
sebagian saja. Itu pun sudah cukup untuk menyaingi lari Melati.
Puluhan pasang mata mengiringi kepergian Dewa
Arak dan Melati. Termasuk, Ki Manda dan Ragola. Pengawal Kepala Desa Ceger yang tangannya masih bengkak-bengkak ini sudah tidak bisa menyombongkan diri lagi. Lenyap sudah
keinginannya untuk menguji kepandaian
Dewa Arak. Telah disaksikannya sendiri kelihaian tokoh muda yang ditantangnya. Dan dia tahu, Dewa Arak dengan mudah
bisa menundukkannya.
Diam-diam, Ragola bersyukur Dewa Arak tidak meladeni tantangannya. Segumpal perasaan terima kasih pun bergayut di benaknya.
Dan dia pun berjanji dalam hati akan membantu, apabila
pemuda berambut putih
keperakan itu mengalami kesulitan.
Kini yang dapat dilakukan Ragola hanya menatap
kepergian Dewa Arak seperti puluhan pasang mata lain.
Diperhatikannya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu dengan sorot mata
penuh terima kasih, hingga lenyap di kejauhan.
Sementara itu, orang yang bersangkutan sama sekali tidak tahu. Dewa Arak dan Melati terus saja berlari cepat. Tapi belum
berapa jauh berlari, mereka terpaksa berhenti begitu melihat sosok Petani Maut
yang tengah berdiri diam sekitar lima tombak di depan.
*** Petani Maut menoleh, begitu mendengar adanya
suara langkah kaki di belakangnya.
"Ah! Kiranya kau, Dewa Arak," desah kakek berpakaian abu-abu lusuh ketika melihat keberadaan Dewa Arak dan Melati di
belakangnya. Memang, tadi Dewa Arak dan Melati sengaja memberatkan langkah kaki agar terdengar Petani Maut.
Kini sepasang mata pendekar muda itu mengembangkan senyum
dan menganggukkan kepala, menyambut sapaan Petani Maut. "Bagaimana, Ki?" tanya Arya, sambil melangkah menghampiri.
"Hhh...! Iblis itu terlalu lihai, Dewa Arak. Aku tidak bisa mengejarnya...,"
desah Petani Maut.
Arya terdiam. Tanpa dijawab lebih jelas oleh Petani Maut pun, sudah bisa diduga kalau Mahadewa telah berhasil meloloskan diri.
Ketidakberadaan Mahadewa di situ telah cukup menjelaskan masalahnya.
"Kau mengenal Mahadewa, Ki?" tanya Arya setelah beberapa saat termenung.
Petani Maut tidak langsung menjawab. Pandangannya malah dilayangkan ke atas seperti tengah mencari jawabannya di
sana. "Mengenalnya
jelas sih, tidak. Tapi, dialah orang yang telah membunuh tiga rekanku."
Kemudian, kakek berpakaian abu-abu lusuh ini
menceritakan semua kejadian yang dialami. Dan dengan penuh perhatian, Dewa Arak
dan Melati mendengarkan cerita
Petani Maut. Sama sekali cerita itu tidak diselak, hingga selesai.
"Kalau saja kami dalam keadaan sewajarnya, tidak akan
semudah itu Mahadewa membunuh tiga orang sahabatku," tutur Petani Maut menutup kisahnya.
Dewa Arak termenung ketika Petani Maut telah
menyelesaikan cerita. Menilik kernyitan pada dahinya, bisa diketahui kalau Dewa
Arak tengah berpikir keras.
"Kalau mendengar ceritamu, Ki," kata Arya 1ambat-lambat. "Hanya Mahadewa seorang yang mempunyai niat tidak baik,
sehubungan kedatangannya bersama tiga rekannya ke pulau ini. Kemungkinan besar,
tindakannya itu tidak diketahui tiga orang rekannya."
"Aku pun menduga demikian, Dewa Arak. Pertarungan antara kami berlangsung secara adil. Hal itu membuat kami terkecoh, dan
menyangka mereka semua
adalah orang yang mempunyai watak gagah. Tapi sama sekali tidak disangka kalau
Mahadewa adalah seekor serigala berbulu domba."
Dewa Arak mengangguk-angguk.
Telah disaksikannya sendiri ketelengasan Mahadewa. Buktinya, tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya yang mengerikan digunakan pada
jurus-jurus awal.
"Apakah mereka semua selihai Mahadewa?"
Jantung Dewa Arak berdetak keras ketika mengajukan pertanyaan ini. Betapa tidak" Menundukkan Mahadewa
saja sudah merupakan pekerjaan sulit.

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi, ditambah tiga orang rekannya! Dewa Arak khawatir mereka akan membela, apabila keadaan Mahadewa terancam. Jika hal itu
terjadi, Dewa Arak benar-benar dilanda masalah besar.
Petani Maut menganggukkan kepala pertanda membenarkan. "O ya, Dewa Arak. Kau tahu, alasan yang mendorong mereka datang ke pulau ini?"
tanya Petani Maut.
"Tidak, Ki," jawab Arya sejujurnya, karena memang benar-benar tidak tahu.
"Mereka ingin menjajal kepandaian tokoh-tokoh persilatan terkenal di pulau ini,"
jelas Petani Maut.
Dewa Arak diam. Bisa dimaklumi tindakan tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu. Arya tahu kalau setiap
tokoh persilatan, apalagi tokoh tingginya, pasti mempunyai penyakit sama. Gemar mengadu kesaktian! Paling tidak, suka menyaksikan pertarungan antar tokoh!
"Kau pun tidak luput dari ancaman mereka, Dewa Arak!
Setelah kami berempat berhasil dikalahkan, kaulah sasaran berikutnya!" sambut Petani Maut
"Heh..."!
Mengapa demikian?"
tanya Dewa Arak,heran. "Begitu berhasil mengalahkan kami berempat, mereka mengutarakan ketidakpuasannya atas perlawanan kami yang dianggap tokoh
tersakti di pulau ini. Nah!
Karena merasa tersinggung, kami lalu menceritakan perihal dirimu. Kukatakan kalau kau adalah jago nomor satu di pulau ini."
"Kau terlalu berlebihan, Ki. Ucapanmu itu akan membuat banyak tokoh mencariku!
Kau tahu, Ki. Dunia amat luas. Banyak orang yang memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi daripadaku. Tapi, mereka tidak ingin campur tangan dalam urusan
dunia persilatan. Namun, apabila mereka mendengar berita yang kau sebarkan itu,
aku tidak yakin tokoh-tokoh itu akan tetap berpangku tangan."
"Maafkan aku, Dewa Arak. Sungguh aku tidak pernah memikirkan hal itu. Waktu itu, semua perkataan keluar tanpa sempat
dipikir masak-masak lagi," kata Petani Maut, bernada penyesalan.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Lupakanlah, Ki. Tidak ada yang perlu dimaafkan.
O, ya. Mahadewa telah berhasil menjajal kepandaianku.
Mungkin, sekarang tengah memberitahukan kawan-kawannya."
"Kau benar, Dewa Arak. Kini, kita tingal menunggu kedatangan mereka. Aku yakin, empat orang tokoh dari Pulau Karang itu
akan mencarimu," sambut Petani Maut.
Ada nada kegembiraan dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu, karena tidak perlu lagi repot-repot mencari jejak
Mahadewa. Dia hanya tinggal mengikuti, ke mana perginya Dewa Arak.
"Akan ke mana kau sekarang, Ki?" tanya Arya sambil lalu.
"Semula, aku tidak tahu arah yang harus kutempuh. Tujuanku hanya ingin membalas dendamku saja pada Mahadewa. Tapi, kini
aku tahu ke mana harus pergi, walaupun dengan perasaan tidak enak"
"Aku tidak mengerti maksudmu,
Ki" kata Arya sejujurnya. "Aku terpaksa harus mengikuti ke mana kau pergi, Dewa Arak. Karena aku yakin,
tokoh-tokoh dari Pulau Karang
itu akan mencarimu. Itulah yang membuatku merasa tidak enak," jelas Petani Maut
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Hilangkan perasaan itu, Ki. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. O, ya. Mari
kita kembali ke desa."
6 Sang surya sudah sejak tadi tenggelam di ufuk
Barat. Kini yang menggantikan tugas untuk menerangi persada adalah sang dewi
malam. Bentuknya bulat utuh, dengan sinarnya yang memancar lembut. Kukuk burung
hantu dan kerik jangkrik serta binatang malam lainnya, menambah semaraknya
suasana. Di bawah siraman lembut
sinar bulan, tampak berkelebatan empat sosok bayangan hitam. Gerakan mereka rata-rata cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan yang tak jelas bentuknya. Apabila ada orang
yang melihatnya, tentu akan menyangka hantu-hantu yang tengah bercanda.
Kaki-kaki empat sosok bayangan hitam itu seperti
tidak menyentuh tanah ketika melesat cepat memasuki tembok batas Desa Ceger. Dan
masih dengan kecepatan sama, mereka melesat menuju ke lambung desa.
Empat sosok bayangan hitam itu melesat tanpa
memperhatikan keadaan sekitarnya. Tak aneh kalau mereka tidak tahu gerak-geriknya diperhatian tiga sosok tubuh yang bersembunyi
di atap rumah. "Itukah tokoh-tokoh dari Pulau Karang, Ki?" tanya sosok berpakaian ungu yang tak lain dari Dewa Arak pelan.
Meskipun hanya Dewa Arak yang mengajukan pertanyaan, tapi tak urung seorang gadis berpakaian putih di sebelahnya yang
memang Melati ikut menoleh.
Sama seperti Arya, Melati juga menatap Petani Maut, orang yang ditanya.
"Benar, Dewa Arak," jawab Petani Maut, singkat.
Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati, Petani Maut
mengeluarkan ucapan tanpa mengalihkan pandangannya.
Sepasang matanya tetap tertuju lurus ke arah empat sosok bayangan yang bergerak
cepat di bawah.
Arya dan Melati pun mengalihkan pandangan ke
bawah, ke arah empat sosok bayangan hitam yang ternyata Mahadewa dan kawankawannya. Sementara yang ditatap terus saja berlari, sehingga semakin lama
semakin jauh dari tempat Dewa Arak dan rekan-rekannya berada.
"Akan ke mana mereka, Kang?" tanya Melati, ingin tahu,
"Ke mana lagi kalau bukan ke rumah Ki Manda, Melati. Aku yakin, mereka
akan menanyakan padanya
tentang keberadaan kita."
"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati lagi, setelah terdiam sesaat lamanya.
"Mengejarnya, Melati. Aku khawatir, mereka akan melakukan
tindakan yang tidak diinginkan apabila mendapat jawaban berbeda dengan yang diharapkan,"
jelas Arya panjang lebar.
"Apa yang kau katakan itu benar, Dewa Arak,"
sambut Petani Maut, yang memang sudah sejak tadi merasa tidak sabar untuk segera
mengejar. "Kalau demikian, mari kita ikuti mereka," putus Arya.
Jawaban dari Petani Maut adalah sebuah lompatan
ke tanah. Laksana seekor burung garuda, tubuhnya melayang ke tanah. Lalu, ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah.
Pada saat yang hampir berbarengan, Melati dan
Dewa Arak mendaratkan kakinya pula. Bahkan gerakan mereka terlihat jauh lebih
indah daripada Petani Maut.
Tapi, kakek berpakaian abu-abu itu sama sekali tidak melihatnya.
Karena begitu kakinya menjejak tanah, langsung saja melesat mengejar Mahadewa dan

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan-kawannya yang semakin mengecil.
Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak tidak bisa
berpangku tangan. Dia pun melesat cepat mengejar Petani Maut diikuti Melati.
Meskipun Petani Maut melesat lebih dulu, namun
beberapa saat kemudian Dewa Arak dan Melati berhasil membarenginya.
Apalagi ilmu lari cepat sepasang pendekar muda itu berada di atas Petani Maut. Bahkan kalau mau, dengan mudah
Petani Maut bisa tersusul dan tertinggal.
Tapi, Dewa Arak dan Melati terpaksa harus menyesuaikan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya sebatas kemampuan yang dimiliki
Petani Maut. Maka akibatnya, jarak di antara mereka dengan empat tokoh dari Pulau Karang semakin
jauh. Semakin lama, tubuh Mahadewa
dan kawan-kawannya terlihat semakin mengecil. Hingga akhirnya, lenyap sama sekali.
Walaupun demikian, ketiga tokoh silat itu sama
sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan buruannya. Mereka telah yakin kalau arah tujuan empat tokoh dari Pulau Karang
itu adalah rumah Kepala Desa Ceger.
Dewa Arak dan Melati memang tidak tahu letak
tempat tinggal Ki Manda. Maka mereka berdua tinggal mengikuti saja, ke mana arah
Petani Maut melangkah. Dan karena
kakek berpakaian abu-abu lusuh ini sering melintasi Desa Ceger, tak heran kalau jadi tahu tempat tinggal kepala desa itu.
"Heh..."!"
Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati tiba-tiba
berhenti berlari, dan saling berpandangan. Raut wajah mereka
menyiratkan keheranan. Betapa tidak" Samar-samar telinga mereka menangkap suara gaduh, yang sudah
pasti timbul karena adanya pertarungan. Terdengarnya jerit kemarahan yang ditopang pengerahan tenaga dalam dan benturan
senjata, telah menjelaskan adanya pertarungan berlangsung.
"Sepertinya ada yang tengah bertempur," bisik Petani Maut, bernada memberi tahu.
Sebenarnya pemberitahuan itu hanya basa-basi,
karena Petani Maut tahu kalau Dewa Arak dan Melati pasti juga mendengar suara
gaduh itu. "Kau benar, Ki," hanya itu sambutan Dewa Arak.
"Arahnya dari tempat tinggal Ki Manda," kata Petani Maut lagi. "Janganjangan...."
Meskipun Petani Maut tidak meneruskan ucapannya, namun Dewa Arak dan Melati bisa menerka ke- lanjutannya. Itulah sebabnya, mereka tidak heran melihat Petani Maut melesat. Bahkan sepasang pendekar muda ini ikut melesat ke
arah yang sama.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, asal
suara keributan itu sudah terlihat Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut. Dan
dugaan mereka ternyata tidak salah. Ternyata buruan yang tadi mereka kejarkejar, tengah bertarung menghadapi lawan-lawannya.
Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati berhenri melesat. Lalu dengan penuh selidik, mereka mengalihkan pandangan ke arah
pertarungan yang tengah berlangsung.
Maka sebentar saja, telah bisa diketahui kalau Mahadewa dan kawan-kawannya tengah berhadapan dengan gabungan tokoh-tokoh
persilatan. Hanya saja, Dewa Arak dan
Melati mengenal sebagian kecil dari mereka. Sedangkan Petani Maut mengenal sebagian besar tokoh persilatan yang berada di
situ. Saat ini, Mahadewa dan ketiga kawannya memang
tengah bertarung melawan tokoh persilatan yang jumlahnya jauh lebih besar. Tak kurang dari sepuluh kali lipat dari jumlah
mereka yang hanya berempat.
Walaupun demikian, empat tokoh dari Pulau Karang itu sama sekali tidak terdesak.
Bahkan tampaknya berada di atas angin.
Keadaan yang menguntungkan bagi Mahadewa dan
kawan-kawannya ini diketahui secara pasti oleh Dewa Arak, Petani Maut, dan
Melati. Sama sekali tidak mengherankan kalau Mahadewa
dan kawan-kawannya mampu berada di atas angin. Para pengeroyoknya
ternyata hanya memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, walaupun sudah punya nama dalam dunia persilatan. Tapi
kalau dibandingkan dengan empat tokoh Pulau Karang, jelas sangat jauh. Sebagian
besar dari para pengeroyok adalah murid-murid Petani Maut dan Pendekar Tangan
Sakti. Sisanya, adalah tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian lumayan.
Pengeroyokan orang-orang itu bagi Mahadewa dan
rekan-rekannya sama sekali tidak menimbulkan masalah.
Setiap serangan berhasil ditanggulangi secara mudah.
Sebaliknya setiap serangan balasan Mahadewa dan kawan-kawan, selalu menimbulkan akibat. Hanya dengan kibasan-kibasan tangan
saja, sudah cukup membuat tubuh lawan-lawannya berpentalan ke belakang bagai
dilanda angin ribut.
Ada perasaan kagum di hati Dewa Arak pada empat
tokoh Pulau Karang itu. Arya melihat tidak ada satu pun lawan empat tokoh itu
yang tewas. Bahkan terluka berat pun
tidak, kecuali hanya pingsan saja. Hal ini menandakan kalau mereka tidak mempunyai jiwa kejam.
Meskipun ada perasaan kagum, namun timbul pula
rasa heran di hati Arya. Tindakan Mahadewalah yang membuatnya
heran. Berbeda dengan penampilan pertamanya, tindakan Mahadewa kini sama sekali tidak telengas. Sekarang lawannya
dirobohkan tanpa dibunuh atau dilukai.
Tapi Arya tidak bisa
terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya. Dan itu terjadi karena perubahan besar dalam kancah pertarungan, ketika semua lawan
empat tokoh dari Pulau Karang telah berjatuhan di tanah.
Jliggg! Hampir berbarengan, di depan Mahadewa dan kawan-kawannya tahu-tahu telah berdiri dua sosok tubuh. Mereka tampak tengah menatap tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu dengan
raut wajah tidak bersahabat.
Sementara itu, Petani Maut yang sejak melihat
Mahadewa, sudah merasa murka bukan kepalang. Dan dia tidak
bisa menahan diri lagi, sehingga segera melangkah menghampiri. Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak ikut bergerak,
diikuti Melati. Gadis itu melangkah di belakang kekasihnya. Kemudian, Dewa Arak
cepat mengulurkan tangan, menyentuh bahu Petani Maut.
Kakek berpakaian abu-abu lusuh itu langsung menoleh. "Kumohon kau jangan bertindak dulu, Ki. Kita lihat dulu perkembangannya," pinta
Arya, pelan. Petani Maut tidak langsung menganggukkan kepala. Dengan perasaan berat, permintaan pemuda berambut putih keperakan itu disetujuinya. Buru-buru keinginan
untuk menerjang Mahadewa ditekan. Yang dilakukannya sekarang adalah memperhatikan peristiwa yang akan terjadi.
Secercah senyum tampak tersungging di mulut Dewa
Arak, tatkala melihat Petani Maut

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi permintaannya. Kini, dia bisa ikut tenang menyaksikan keadaan yang terjadi di
depan. Kini Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut menatap
dua orang yang tengah mendekati Mahadewa dan tiga orang kawannya. Dua orang itu
sama-sama telah lanjut usia.
Yang seorang bertubuh gemuk dan besar, mirip lembu.
Sebatang tongkat dari kayu yang saling melilit, dengan gagang kepala ular tampak
tergenggam di tangannya.
Pakaian berwarna coklat tua, semakin menambah keangkeran penampilannya.
Sedangkan kakek yang seorang lagi bertubuh, tinggi kurus dan berwajah kekuningan. Bentuk wajah-nya tirus, mirip tikus.
Pakaiannya berwarna kuning muda.
Sungguh sangat jauh kalau
dikatakan angker. Kakek
tinggi kurus ini mirip orang penyakitan.
Memang bagi orang yang tidak mengenai, kakek
berpakaian coklat tualah yang kelihatan lebih berbahaya. Tapi, penilaian seperti itu tidak masuk dalam
benak Dewa Arak. Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau kakek tinggi kurus itu tidak kalah lihai dibanding kakek
berpakaian coklat.
"Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning,"
desis Petani Maut pada Dewa Arak dan Melati.
Arya dan Melati agak terkejut juga mendengarnya.
Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning adalah datuk-datuk
persilatan yang belum pernah ada tandingannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali kedua tokoh itu
bertarung. Dan selama itu, belum pernah ada orang yang mampu menandingi. Bahkan
mereka tetap tak terkalahkan, sampai akhirnya mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Kalau sampai kedua datuk ini keluar dari tempat,pengasingannya,
bisa diperkirakan penyebabnya. Jelas telah terjadi suatu hal yang amat penting!
Brosss! Tanah langsung amblas ketika Malaikat Tongkat
Sakti menekankan kaki kanannya
ke tanah. Padahal,
kelihatannya sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam. Namun akibatnya luar biasa. Dari sini bisa diperkirakan kekuatan tenaga
dalam yang dimiliki Malaikat Tongkat Sakti.
"Orang-orang asing...!"
Malaikat Tongkat Sakti mulai membuka suara. Suaranya terdengar keras bukan kepalang, laksana guntur. Memang, ucapan itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam.
Diiringi ucapan itu, Malaikat Tongkat Sakti menatap wajah empat tokoh Pulau Karang satu persatu.
Sikapnya terlihat penuh wibawa. Sehingga, tidak hanya Mahadewa dan kawankawannya saja yang memperhatikan.
Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati juga sampai-sampai tak berkedip menatapnya.
"Sebenarnya aku sudah tidak berminat lagi untuk campur tangan dalam urusan
kekerasan. Tapi, tindakan kalian telah melampaui batas. Kalian terlalu angkara
murka! Membanggakan kemampuan sendiri hanya untuk berbuat sewenang-wenang!
Perguruan silat yang didirikan orang yang terhitung muridku telah kalian hancurkan!"
Malaikat Tongkat Sakti menghentikan ucapan. Dibasahinya tenggorokannya yang kering dengan air ludahnya sendiri.
"Sekarang, bersiaplah menerima pembalasanku!"
lanjut Malaikat Tongkat Sakti, menutup ucapannya.
Usai berkata demikian, Malaikat Tongkat Sakti
melangkah maju. Sikap dan tindak-tanduknya
menun- jukkan kalau telah siap-siap bertarung. Tapi....
"Tahan, Malaikat Tongkat Sakti!"
Sebuah cegahan keras yang menggema di seluruh
penjuru tempat itu, membuat Malaikat Tongkat Sakti menghentikan langkah dan
menolehkan kepala. Bahkan bukan hanya dia saja yang menoleh. Ular Muka Kuning
dan empat tokoh Pulau Karang juga mengarahkan pandangan pada asal bantahan tadi.
Baik Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning
maupun empat tokoh Pulau Karang itu tahu kalau pemilik suara tadi pasti memiliki
kepandaian tinggi. Kerasnya suara yang terdengar tadi telah mampu
membuktikannya.
"Siapa kau, Anak Muda" Dan mengapa mencampuri urusan kami?" tanya Malaikat
Tongkat Sakti bernada tidak senang.
Sepasang mata datuk yang telah lama mengasingkan
diri itu menatap wajah orang yang telah berani mencegah tindakannya.
Kernyitan pada dahi menjadi pertanda kalau Malaikat Tongkat Sakti tengah berpikir.
Sambutan yang ditatap dan tak lain dari Dewa Arak itu tersenyum lebar. Masih
dengan mulut tersenyum, kakinya melangkah mendekat.
"Namaku Arya, Ki," jawab Arya masih dengan senyum. "Dan maksud tindakanku ini demi kebaikan kita bersama."
"Arya"! Apakah nama lengkapmu Arya Buana, Anak Muda"!" terka Malaikat Tongkat
Sakti, setengah kaget.
Bukan hanya Malaikat Tongkat Sakti yang merasa
terkejut ketika Arya memperkenalkan diri. Raut keterkejutan pun tampak di wajah semua orang yang berada di situ. Tentu saja,
Melati dan Petani Maut merupakan pengecualian.
Dengan agak berat, Arya menganggukkan kepala.
"Jadi, kau.... Dewa Arak..."!" desis Malaikat Tongkat Sakti dengan suara
bergetar. Untuk yang kesekian kalinya pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala, membenarkan. "Ah...! Sungguh merupakan sebuah anugerah besar. Ternyata di saat akhir hayatku,
masih bisa bertemu seorang pendekar muda yang telah mengukir nama besar dalam
rimba persilatan. Tapi, apa alasanmu mencegah tindakan Malaikat Tongkat Sakti,
Dewa Arak"!" Ular Muka Kuning yang sejak tadi diam, mulai angkat bicara.
Dewa Arak tidak Iangsung menjawab. Dia tercenung
sejenak, memikirkan kata-kata yang pantas untuk memulai pembicaraan. Paling tidak, untuk mencegah terjadinya salah pengertian.
"Sebelumnya, aku minta maaf padamu, Ki," ucap Arya pada Malaikat Tongkat
Sakti. "Bukan maksudku
untuk menggurui. Tapi alangkah bijaksananya apabila memberi kesempatan pada
mereka untuk mengajukan alasan dari tindakan yang telah diperbuat. Aku yakin,
mereka akan mengajukan alasannya," urai Dewa Arak panjang lebar.
Malaikat Tongkat Sakti dan
Ular Muka Kuning sekilas saling berpandangan. Tidak terlihat adanya gambaran perasaan apa pun di
wajah keduanya. Memang, baik Malaikat Tongkat Sakti maupun Ular Muka Kuning
telah bisa menguasai perasaan, sehingga tidak tampak pada wajah mereka.
Meskipun demikian, kedua belah pihak telah bisa
mengetahui perasaan masing-masing. Mereka sama-sama menyadari kalau ucapan Dewa
Arak mengandung kebenaran.
"Kau benar, Dewa Arak. Terima kasih atas alasanmu."
Meskipun perasaan malu menjalar hati, Malaikat
Tongkat Sakti tidak ragu-ragu mengakui kebenaran ucapan Dewa Arak.
"Ah! Kau terlalu merendah, Ki," ucap Arya, jadi malu hati.


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Malaikat Tongkat Sakti malah menyunggingkan senyum lebar. Kemudian pandangannya beralih pada empat tokoh dari
Pulau Karang. "Kalian dengar ucapan Dewa Arak"!"
Empat tokoh Pulau Karang itu mengalihkan pandangan dari Dewa Arak, pada Malaikat Tongkat Sakti.
"Ya. Kami mendengarnya,"
Bandawasa yang menyahuti. "Ternyata berita yang terdengar mengenai Dewa
Arak sama sekali tidak berlebihan. Memang, wawasannya sangat luas dan...."
"Aku tidak ingin mendengar ceramahmu, Orang Asing!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, cepat. "Aku hanya butuh alasanmu! Cepat
katakan, mengapa kalian menghancurkan Perguruan Tapak Sakti"! Cepat! Sebelum
kesabaranku hilang!"
Empat tokoh dari Pulau Karang itu saling berpandangan. Raut wajah mereka menyiratkan kebingungan hebat. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Malaikat Tongkat Sakti," kilah Bandawasa,
dengan raut wajah tidak berdosa.
"Tidak mengerti"!
Rupanya kalau tidak ditunjukkan bukti sejelas-jelasnya
kalian masih mencoba menyangkal! Baik! Apakah kalian masih mencoba menyangkal kalau kukatakan
telah mendatangi Perguruan Tapak Sakti, membuat keonaran di sana, membunuhi
semua orang yang berada di sana tanpa kecuali, kemudian membumihanguskan
perguruan itu"! Katakan, kalau hal itu tidak kalian lakukan!" urai Malaikat
Tongkat Sakti panjang lebar, penuh ancaman.
"Kau terlalu berlebihan, Malaikat Tongkat Sakti!" bantah Bandawasa berapi-api. "Kuakui, kami memang mendatangi Perguruan
Tapak Sakti dan terlibat pertarungan melawan murid-murid perguruan itu. Tapi,
kami hanya merobohkan mereka tanpa luka berat. Apalagi, sampai membunuh! Itu fitnah! Tapi aku yakin, kalau saja ada murid
Perguruan Tapak Sakti ada di sini, mereka akan mengatakan bahwa ucapan itu
benar." "Hmh...!" dengus Malaikat Tongkat Sakti. "Aku tahu, mengapa kau berani
berharap demikian, Orang
Asing! Karena, kau yakin kalau semua murid Perguruan Tapak Sakti telah kau
binasakan! Bukankah demikian?"
"Terserah kalau anggapanmu demikian,"
ujar Bandawasa sambil mengangkat bahu. "Tapi, percayalah.
Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Baik! Keinginanmu kupenuhi. Ketahuilah, tidak semua murid Perguruan Tapak
Sakti berhasil kalian
binasakan. Ada yang berhasil
melarikan diri, lalu melaporkan semua kekejaman yang kalian lakukan. Sumantri! Kemari kau!"
Malaikat Tongkat Sakti menoleh ke arah sebatang
pohon besar yang terletak di belakangnya. Sesaat kemudian, dari balik pohon menyembul keluar sesosok tubuh berpakaian coklat.
Dialah yang bernama Sumantri, murid Perguruan Tapak Sakti yang berhasil selamat.
Bandawasa dan ketiga orang kawannya memper- hatikan penuh selidik pada Sumantri yang tengah menuju ke arah mereka. Melihat
dari pakaian yang dikenakan, empat tokoh Pulau Karang itu tahu kalau orang yang
tengah berjalan menghampiri benar murid Perguruan Tapak Sakti. "Ceritakanlah semua kejadian yang kau alami, Sumantri,"
perintah Malaikat Tongkat Sakti ketika murid Perguruan Tapak Sakti telah berada di sebelahnya. "Beberapa hari yang lalu, empat orang itu menyatroni Perguruan Tapak Sakti. Mereka menanyakan guru, namun kami tidak
memberitahukan. Tapi, mereka terus memaksa sehingga akhirnya terjadi
pertarungan."
Sumantri menghentikan ucapannya untuk mengambil
napas. "Tapi, mereka terlalu kuat
untuk kami. Satu persatu, kami berhasil dirobohkan. Dan mereka pergi, setelah
berhasil mendapatkan keterangan mengenai guru...." "Nah! Kau buktikan sendiri kebenaran ucapanku, Malaikat Tongkat Sakti"!" selak
Bandawasa, bernada penuh kemenangan.
"Jangan terburu nafsu, Orang Asing! Ucapan Sumantri belum selesai. Ayo, Sumantri. Lanjutkan ceritamu!"
"Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka kembali lagi. Lalu, membunuhi
semua murid Perguruan Tapak Sakti dan membumihanguskan perguruan."
"Heh..."!"
Bandawasa dan ketiga rekannya terperanjat.
"Salah seorang di antara kami" Katakan, siapa orang itu"!" tanya Mahadewa tidak
sabar. Sumantri tersenyum mengejek.
"Kau benar-benar ingin tahu orang yang telah melakukan kekejian itu"!" murid
Perguruan Tapak Sakti ini malah balas bertanya.
Meskipun yang mendapat pertanyaan itu Mahadewa,
tapi tanpa sadar Bandawasa, Janaka, dan Mahesa ikut menganggukkan kepala.
Jantung mereka berdebar tegang, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut
Sumantri. Sumantri tidak langsung menjawab. Ditatapnya
wajah-wajah yang menyiratkan perasaan penuh rasa ingin tahu
satu persatu. Sampai akhirnya, tatapannya berhenri pada orang terakhir. Mahadewa!
"Pembunuh biadab itu adalah kau...!" tuding Sumantri pada Mahadewa.
"Apa"!" Mahadewa terlonjak kaget. "Kau..., kau dusta! Ini fitnah! Kubunuh
kau...!" Begitu ucapannya selesai, laki-laki bercodet
ini menerkam Sumantri. Gerakannya mengingatkan orang akan tindakan seekor
harimau yang hendak menyantap mangsanya.
Sumantri terkejut bukan kepalang. Tindakan Mahadewa memang sama sekali tidak disangka. Akibatnya, dia tidak mampu berbuat
sesuatu. Bahkan
andaikata telah menduga pun, Sumantri juga tidak akan mampu berbuat
apa-apa. Tibanya serangan memang terlalu cepat. Tentu saja Malaikat Tongkat Sakti tidak tinggal
diam melihat adanya bahaya maut yang tengah mengancam keselamatan
Sumantri. Buru-buru kaki kirinya melangkah ke depan, sambil menyilangkan kedua tangan di atas kepala.
Prattt! Benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam kuat
tidak bisa dihindari lagi. Bahkan bunyi yang terdengar lebih mirip benturan dua buah logam keras,
ketimbang dua pasang tangan manusia.
Akibat yang terjadi cukup hebat. Tubuh Mahadewa
melayang kembali ke tempat semula. Kejadian yang sama pun
dialami Malaikat Tongkat Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tombak. Tapi hanya dengan gerakan
sederhana, kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung telah berhasil dipatahkan.
Hal yang sama pun berhasil dilakukan Mahadewa.
Kekuatan yang membuat tubuhnya melayang dipatahkan, meskipun untuk itu harus


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbawa dulu di udara selama beberapa tombak.
Jliggg! Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Mahadewa
langsung bersiap melancarkan serangan kembali. Sedangkan Malaikat Tongkat Sakti yang telah bisa memperkirakan kekuatan lawan, tidak mau tinggal diam.
Dia pun bersiap-siap pula. Tapi....
"Mahadewa! Tahan...!"
Mahadewa terpaksa mengendurkan otot-otot dan
urat-urat syarafnya yang telah menegang waspada, karena telah siap bertarung. Ditatapnya wajah Bandawasa, orang yang mengeluarkan cegahan tadi.
"Mengapa kau mencegahku, Bandawasa"
Mereka telah memfitnahku! Dan hal itu hanya bisa ditebus dengan darah!" ujar Mahadewa
berapi-api. Bandawasa tersenyum pahit.
"Menempur mereka masalah mudah, Mahadewa.Dan itu bisa diurus belakangan.
Yang penting sekarang
adalah bantahanmu dari tuduhan yang telah mereka lontarkan. Kini, aku ingat.
Kau selalu menghilang setiap kali kita habis merobohkan lawan-lawan. Maksudku..., kau selalu mengajukan alasan untuk memisahkan diri dari kami bertiga, setiap kali habis meninggalkan lawan yang
telah tidak berdaya. Cepat kemukakan alasanmu!"
Mahadewa tersentak melihat sikap Bandawasa.
"Kau.... Kau ini aneh, Bandawasa! Mengapa malah menyudutkanku?"
tanya Mahadewa, terbata-bata. Sepasang matanya dialihkan ke arah Mahesa dan Janaka.
Tapi wajah kedua orang rekannya itu tampak juga menyiratkan kecurigaan terhadapnya.
"Katakan saja, Mahadewa. Ke mana kau pergi waktu itu"
Aku ingat, sewaktu kita selesai mendatangi Perguruan Tapak Sakti, kau meminta izin untuk memisahkan diri. Begitu pula, sewaktu sehabis mengalahkan Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya. Ah! Mudah-mudahan
saja tidak terjadi sesuatu atas mereka," harap Bandawasa.
Ucapan Bandawasa membuat semua orang yang ada di
situ, terutama sekali Mahadewa, Mahesa, dan Janaka, tersentak. Bahkan Bandawasa
sendiri tersentak kaget ketika teringat, kalau tadi telah melihat keberadaan
Petani Maut. Keberadaan Dewa Arak, dan berita tak disangka-sangka
mengenai Mahadewa, membuat mereka semua melupakan keberadaan Petani Maut.
Hampir serentak, semua kepala tertuju pada Petani Maut. Dan sebelum semua sempat berkata apa-apa, Petani Maut yang memang
sudah sejak tadi menahan-nahan amarah, langsung angkat suara.
"Harapanmu
sama sekali tidak terkabul, Ban- dawasa! Mahadewa waktu itu kembali dan berusaha membantai kami semua yang sudah tidak berdaya. Ah...!
Untung aku masih mujur, hingga bisa bertahan hidup!"
"Keparat! Fitnah keji! Kurobek mulutmu yang lancang!" Belum hilang gema ucapan itu, Mahadewa telah
melompat menerjang Petani Maut.
"Tak akan kubiarkan kau menyebar kekejian lagi dan mengotori nama perguruan
kita, Mahadewa!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Bandawasa melompat memapak luncuran tubuh
Mahadewa. Hal ini
membuat laki-laki bercodet itu menghentikan gerakannya. "Kau..., kau lebih mempercayai ucapan mereka ketimbang
ucapanku, Bandawasa"!"
terbata-bata Ma- hadewa mengucapkan perkataannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Mahadewa. Semua bukti
memberatkanmu,"
jawab Bandawasa, bernada penyesalan. "Benar, Mahadewa," sambung Mahesa. "Sekarang, menyerahlah. Kau harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu.
Jangan paksa kami melakukan tindak kekerasan."
"Kau telah membuat kami semua malu, Mahadewa.
Yang lebih parah lagi, kau telah mencorengkan lumpur pada
nama perguruan kita," timpal Janaka, penuh penyesalan seperti juga ketiga rekannya.
Mahadewa menatap wajah rekan-rekannya satu persatu. "Baiklah kalau kalian sudah tidak mempercayaiku lagi.
Aku memang tidak mempunyai bukti untuk menyanggahnya. Tapi, aku tidak
sudi dihukum untuk
kesalahan yang tidak pernah kuperbuat. Selamat tinggal." Secepat ucapannya selesai, secepat itu pula Ma
hadewa mengambil senjata andalannya yang terselip di pinggang. Sebatang ruyung
berbatang dua yang kedua ujungnya dihubungkan rantai baja.
Dan, ranta baja itulah yang digunakan untuk membelit lehernya. Lalu...
Krrrrk...! Terdengar suara berderak keras ketika tulan tulang leher Mahadewa hancur berantakan. Dara segar pun memancur deras dari
mulutnya. Laki-laki bercodet itu terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di
tanah. Saat itu juga, nyawa Mahadewa melayang ke alam baka.
"Mahadewa...!"
Hampir berbareng, Bandawasa, Mahesa, dan Janaka
berseru keras. Laksana terbang, mereka bertiga langsung meluruk ke arah Mahadewa.
"Mahadewa...," keluh Bandawasa sedih. Tampak jelas ada nada kesedihan dalam
ucapannya. Matanya pun tampak merembang, menahan duka yang mendalam.
Hal yang serupa pun terpancar di wajah Mahesa dan Janaka. Mereka hanya bisa
menatap tubuh Mahadewa yang terkapar di tanah.
7 Semua orang yang berada
di situ menyaksikan jalannya kejadian dengan perasaan bingung. Mereka ju-ga
tidak sempat berbuat apa-apa untuk

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegah tindakan bunuh diri Mahadewa. Masalahnya, kejadian itu berlangsung demikian
cepat dan tidak terduga-duga.
Apalagi, jarak mereka cukup jauh dengan Mahadewa.
Dan dengan sendirinya, suasana menjadi hening.
Tidak ada seorang pun yang berbicara, semuanya tenggelam dalam alunan pikiran sendiri-sendiri.
Bandawasa dan dua orang rekannya sibuk dengan mayat Mahadewa. Sedangkan Dewa
Arak dan yang lain sibuk dengan pertanyaan yang menggayuti benak.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 19 Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis Si Tangan Sakti 8

Cari Blog Ini