Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang Bagian 3
Tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu
mempunyai pandangan luas. Melihat tindakan Mahadewa, seketika timbul keraguan
dalam hati. Benarkah Mahadewa yang telah melakukan semua kekejian itu" Kalau
benar, mengapa demikian kerasnya menolak" Bahkan sampai-sampai bunuh diri. Tapi, mungkinkah Petani Maut dan yang lain salah
melihat" Rasanya, mustahil! Atau ada orang menyamar sebagai
Mahadewa" Kalau benar,
siapa dan mengapa hal itu dilakukan"
Tapi, mereka tidak bisa berlama-lama terhanyut
alun perasaan itu. Sedangkan, Bandawasa dan dua rekannya telah bisa menguasai perasaan sedihnya. Kini, mereka mengalihkan
perhatian pada Malaikat Tongkat Sakti dan yang lainnya.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Malaikat Tongkat Sakti.
"Kisanak semua," kata Malaikat Tongkat Sake membuka pembicaraan. "Dengan tewasnya pelaku semua kekejian itu, aku mohon diri.
Saat ini juga, persoalan kuanggap telah tuntas. Selamat tinggal."
Malaikat Tongkat Sakti menganggukkan kepala sedikit, lalu berbalik. Dan dia bersiap meninggalkan tempat itu, namun....
"Tidak semudah itu masalahnya selesai, Malaikat Tongkat Sakti!" cegah Bandawasa.
Seketika itu juga, langkah kaki Malaikat Tongkat
Sakti terhenti di udara. Kembali tubuhnya berbalik untuk menghadap Bandawasa.
"Jadi..., apa maumu sekarang, Orang Asing"!"
sambut Malaikat Tongkat Sakti, berbau tantangan.
"Menuntut tanggung jawab kalian semua!" tandas Bandawasa keras, sambil
menudingkan jari telunjuk ke arah semua tokoh tingkat tinggi yang berada di
situ. "Heh..."! Tidak salah dengarkah aku" Kau ingin menuntutku"!"
Malaikat Tongkat Sakti meminta ketegasan. "Bukan hanya kau, Malaikat Tongkat Sakti," Bandawasa membenarkan. "Tapi juga Ular Muka Kuning dan Dewa Arak!"
"Kau gila!" maki Ular Muka Kuning, yang sejak tadi diam saja.
Sedangkan Dewa Arak saat
ini tetap bersikap tenang. "Aku hanya menuntut keadilan! Nyawa harus ditebus nyawa! Kawanku sama sekali tidak bersalah.
Tapi akibat tindakan kalian, dia telah tewas! Kami akan menuntut balas atas
kematiannya, agar rohnya tenang di alam baka."
"Heh"!
Bukankah tadi kau juga yakin kalau temanmu itu bersalah?" Arya ikut membuka suara sambil melangkah mendekat,
diikuti Melati dan Petani Maut.
Sementara itu, Bandawasa mengalihkan perhatian
pada Arya. "Semula, aku memang yakin kalau dia bersalah.
Tapi, sekarang tidak lagi. Aku yakin, rekanku bukan pelaku
semua kekejian yang dituduhkan. Ini pasti fitnah yang tidak bisa kudiamkan begitu saja!" tandas Bandawasa, keras.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran secepat itu, Bandawasa?"
tanya Dewa Arak, ingin tahu. "Apakah karena dia berani bunuh diri?"
Bandawasa tidak langsung menjawab. Ditatapnya
wajah Dewa Arak lekat-lekat, kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk.
"Perguruan kami mempunyai sebuah aturan khusus, yaitu bunuh diri dengan
menggunakan senjata sendiri, untuk membuktikan kebenarannya. Dan kini, Mahadewa
melakukannya. Maka, kami yakin kalau dia tidak bersalah. Jadi, sekarang merupakan kewajiban kami untuk membalaskan semua sakit hati yang dideritanya,"
urai Bandawasa panjang lebar.
Kini, semua tokoh yang berada di situ mengerti,
mengapa Bandawasa bisa berubah pikiran demikian cepat.
"Bersiaplah kalian semua. Kita harus selesaikan urusan ini!" Janaka ikut
berbicara. Seiring ucapannya, Janaka melangkah maju. Sikap
yang diperlihatkannya menunjukkan kesiapan bertarung.
Bahkan bukan hanya Janaka saja. Bandawasa dan Mahesa pun telah melangkah pula.
Tentu saja melihat hal ini, Malaikat Tongkat
Sakti dan Ular Muka Kuning tidak tinggal diam. Mereka juga
telah bersiap-siap, untuk menyambut tibanya serangan tokoh dari Pulau Karang itu.
"Tahan...!"
Sebelum kedua belah pihak terlibat pertarungan,
Dewa Arak telah mencegah.
Dihadangnya langkah tiga tokoh dari Pulau Karang
itu. Mau tak mau, hal itu membuat Bandawasa dan dua rekannya mengurungkan
maksud. "Jangan halangi kami, Dewa Arak! Apabila kau ingin bertarung dengan kami,
tunggulah hingga urusan ini selesai!" kata Bandawasa.
"Sabar dulu, Bandawasa. Jangan biarkan per- soalan ini berlarut-larut. Aku yakin, telah terjadi kesalahpahaman di sini."
"Maksudmu?" Janaka mengernyitkan kening.
"Kalian percaya padaku"!"
Arya malah balas bertanya. Bagai diberi perintah, tiga tokoh dari Pulau
Karang itu menganggukkan kepala. Sikap Dewa Arak yang tampak
tidak memihak, membuat mereka menaruh kepercayaan. "Terima kasih atas kepercayaan yang kalian berikan padaku. Percayalah! Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan,"
ucap Arya, sungguh-sungguh. "Nah! Sekarang, dengarkan baik-baik."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya.
Kepalanya segera ditengadahkan ke langit, seperti tengah mencari-cari sesuatu di awang-awang. Dan sebentar kemudian, pandangannya telah dialihkan kembali pada Bandawasa dan rekan-rekannya.
"Perlu kalian ketahui. Apa yang dikatakan Petani Maut dan murid Perguruan Tapak
Sakti, sama sekali bukan fitnah!
Mereka mengatakan yang sebenarnya! Dan ucapanku ini keluar bukan karena ikut-ikutan, tapi karena aku telah melihat
dengan mata kepala sendiri!"
"Maksudmu..."!"
Bandawasa menggantung ucapannya. "Aku telah berhadapan sendiri dengan Mahadewa."
"Kau bertarung melawan Mahadewa, Dewa Arak"!"
tebak Mahesa. "Benar," jawab Dewa Arak, sambil menganggukkan kepala.
"Lalu, bagaimana kesudahannya?" desak Bandawasa penuh minat.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Bandawasa?"
"Maksudku...,
siapa yang menang?" tanya Bandawasa, lebih lengkap.
"Entahlah,"
Arya menggelengkan kepala. "Pertarungan antara kami telah bubar, sebelum usai.
Bukan tidak mungkin, aku akan kalah kalau pertarungan dilanjutkan. Dia memang
lihai bukan kepalang."
"Mengapa kau bertarung dengannya, Dewa Arak?"
tanya Bandawasa lebih jauh.
"Dia membunuh penduduk Desa Ceger. Dan aku paling pantang melihat adanya
tindak kekejaman di
depan mataku. Maka, dia lebih baik kutantang. Lalu, kami terlibat pertarungan,"
jelas Dewa Arak panjang lebar.
Untuk
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua kalinya, Bandawasa, Mahesa, dan Janaka saling berpandangan. Kemudian Bandawasa mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku mengerti maksudmu, Dewa Arak. Bukankah kau juga menuduh Mahadewa sebagai
pelaku semua pembunuhan keji itu"!" Bandawasa memberi kesimpulan.
Dewa Arak tersenyum tenang.
"Aku yakin, pelaku semua kekejian itu adalah Mahadewa.
Tapi, Mahadewa yang mana, itulah pertanyaannya!"
Tiga tokoh dari Pulau Karang itu bingung mendengar ucapan Dewa Arak. Dahi mereka berkernyit dalam,
menandakan besarnya perasaan heran yang melingkupi. Bukan hanya tiga tokoh dari Pulau Karang itu saja yang merasa heran. Bahkan
semuanya merasa bingung
mendengar ucapan Dewa Arak.
"Hm.... Apakah maksud ucapanmu itu berarti..., ada
dua Mahadewa" Maksudmu..., Mahadewa mempunyai kembaran?" terka Bandawasa.
"Tidak seperti itu, Bandawasa. Tapi dugaanku, ada seseorang yang menyamar
sebagai Mahadewa. Dan...."
"Tutup mulutmu! Kau hanya mengada-ada, Dewa Arak!" potong Bandawasa, keras.
Setelah berkata demikian, Bandawasa menerjang
Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan sebuah pukulan lurus
ke arah dada lawan dengan tangan kiri.
Wuttt! Deru angin keras mengiringi tibanya pukulan Bandawasa, karena pukulannya disertai pengerahan tenaga dalam kuat
Tapi, lawan yang diserangnya bukan tokoh rendahan! Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Buru-buru
kakinya ditarik ke belakang.
Itu pun masih disertai dengan liukan tubuhnya ke kanan.
Hasilnya, serangan Bandawasa hanya mengenai tempat kosong
Tapi serangan Bandawasa tidak berhenti sampai di
situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, langsung dilancarkannya serangan susulan. Kaki kanannya cepat diluncurkan dalam sebuah tendangan lurus ke arah pusar.
"Hebat!"
Pujian tulus terlontar dari mulut Dewa Arak.
Arya memang kagum melihat
serangan Bandawasa yang
bertubi-tubi. Meskipun demikian, bukan berarti pemuda berambut
putih keperakan itu kerepotan. Dengan kecepatan gerakan ahli silat, kakinya langsung digenjot. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke belakang. Maka, kaki Bandawasa
hanya meluncur di bawah kakinya.
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun, kedua kaki Dewa
Arak hinggap di tanah. Tapi belum juga Dewa Arak sempat menarik napas lega,
Bandawasa telah kembali memburu.
Bahkan kali ini bukan hanya Bandawasa saja yang
melancarkan serangan. Entah kapan, tahu-tahu Janaka dan Mahesa telah bertarung.
Janaka menerjang Malaikat Tongkat Sakti, sedangkan Mahesa menyerang Ular Muka
Kuning. Dan kini, terjadilah pertarungan sengit.
Melihat hal ini, Melati, Petani Maut dan beberapa orang yang masih berada di situ bergegas menyingkir. Mereka semua tahu,
betapa berbahayanya berada di dekat kancah pertarungan. Jangankan terkena
langsung. Angin serangannya saja, sudah cukup membuat nyawa melayang!
Sementara itu, seperti sudah direncanakan saja,
masing-masing pasangan yang bertarung saling memisahkan diri. Hasilnya, di tempat itu tercipta tiga kancah pertarungan.
Seperti juga pertarungan antara Dewa Arak dengan
Bandawasa, pertempuran lain yang terjadi juga tanpa menggunakan senjata.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak berbahaya. Dengan tenaga dalam yang
dimiliki, tangan
dan kaki mereka tak kalah berbahayanya dibanding senjata tajam. Angin serangannya saja sudah cukup membuat nyawa orang
melayang ke alam baka.
Bandawasa, Janaka, dan Mahesa bertarung bagai
macan luka. Dan hal itu disebabkan kematian Mahadewa.
Dan satu hal lagi, mereka memang ingin bertarung melawan tokoh-tokoh tersakti di pulau ini. Dan kini, tokoh-tokoh
itu ada di hadapan mereka. Maka, kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya.
"Haaat...!"
Jeritan keras yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi, diiringi deru angin keras, menyemaraki jalannya pertarungan.
Masing-masing tokoh mengerahkan seluruh kemampuan terbaik yang dimiliki.
Bandawasa dan dua rekannya
tahu, lawan yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi. Maka tanpa ragu-ragu, seluruh
kemampuan mereka dikerahkan sejak serangan pertama. Harapan mereka adalah,
merobohkan lawan-lawan secepat mungkin.
Tapi, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan
Ular Muka Kuning adalah tokoh-tokoh nomor satu dunia persilatan. Kepandaian
mereka sukar diukur tingginya.
Maka akibatnya sudah bisa diduga. Tiga tokoh dari Pulau Karang itu pun mendapat
perlawanan sengit!
Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi.
Dan hal itu berlangsung sejak jurus-jurus awal. Dan sekarang, telah memasuki
jurus ketiga puluh lima.
Namun, jalannya pertarungan tetap seimbang. Sama sekali belum terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Karuan saja hal ini membuat semua pihak yang
bertarung, kecuali Dewa Arak, merasa penasaran bukan main. Harga diri masingmasing seperti tersinggung melihat
lawan mampu bertahan. Apalagi, ketika pertarungan telah melewati jurus kelima puluh. Hasilnya, masing-masing berusaha semakin memperhebat serangan.
Bahkan telah mengeluarkan ilmu andalan. Dengan sendirinya, pertarungan yang terjadi pun semakin sengit.
Di antara mereka semua, hanya Dewa Arak yang
belum mengeluarkan ilmu andalan. Pemuda berambut putih keperakan itu masih saja
mengandalkan ilmu-ilmu tangan kosong
yang diterima dari ayahnya, yakni ilmu 'Sepasang Tangan Pembunuh Naga'
dan 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'.
Dan walaupun hanya menggunakan ilmu-ilmu warisan ayahnya, Dewa Arak berhasil menanggulangi setiap serangan Bandawasa. Tentu saja, hal itu membuat tokoh
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda yang menggemparkan ini heran bukan kepalang. Berbagai macam pertanyaan langsung bergayut di benaknya.
"Hanya sampai di sini sajakah tingkat kepandaian Bandawasa"
Mengapa berbeda jauh bila disbanding Mahadewa?" tanya Dewa Arak dalam hati.
Tapi, Dewa Arak tidak mau membiarkan pertanyaan
seperti itu bergayut terus di benaknya. Disadari kalau hal itu terus dilakukan,
kemungkinan besar dia akan celaka di tangan Bandawasa.
Sementara itu, Bandawasa mulai dirayapi perasaan penasaran. Seluruh kepandaiannya telah dikerahkan, tapi tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak Padahal, dia tahu
betul kalau pemuda berambut putih keperakan itu belum mengeluarkan ilmu andalan.
Memang, Bandawasa telah mendengar kabar kalau
Dewa Arak selalu menenggak araknya bila ingin mengeluarkan ilmu andalan. Dari berita inilah diketahuinya kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu belum mengeluarkan ilmu andalan. Dan memang, sejak tadi Dewa Arak
belum menenggak araknya.
Perasaan penasaran Bandawasa semakin menggebu-gebu ketika menyadari kenyataan kalau dirinyalah yang perlahan-lahan terdesak oleh Dewa Arak. Padahal, akal sehat Bandawasa mengakui kalau Dewa Arak memang lebih
unggul. Tapi karena Dewa Arak berhasil mendesak tanpa mengeluarkan ilmu andalan,
Bandawasa jadi penasaran bukan kepalang.
*** Ternyata, bukan hanya Bandawasa saja yang mengalami nasib buruk. Mahesa dan Janaka pun demikian pula.
Dua rekan Bandawasa ini tengah kerepotan menghadapi perlawanan Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka
Kuning. Dan itu terjadi setelah pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh. Perlahan-lahan,
serangan-serangan dua tokoh dari
Pulau Karang ini mulai berkurang.
Seiring semakin lamanya pertarungan berlangsung, serangan-serangan
tiga tokoh Pulau Karang semakin berkurang. Dan mereka hanya mengelak saja.
Karena tangkisan-tangkisan pun semakin berkurang.
Sebenarnya hal ini disebabkan kekuatan tenaga
dalam Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning, dan Dewa Arak yang memang di
atas lawan masing-masing.
Betapa tidak" Setiap kali terjadi benturan baik tangan atau kaki, sudah dapat
dipastikan mulut ketiga tokoh Pulau Karang itu langsung menyeringai. Itulah
sebabnya tiga tokoh dari Pulau Karang itu lebih suka mengelak daripada
menangkis. Akhir dari pertarungan sudah bisa ditebak. Tiga
tokoh Pulau Karang itu akan roboh di tangan lawan masing-masing. Hal ini bisa
dibuktikan dari keadaan mereka yang semakin terhimpit. Bandawasa dan kedua
rekannya terus bermain mundur. Dan kelihatannya tak lama lagi pertarungan akan
berakhir. Hal ini pun disadari tiga tokoh dari Pulau Karang itu. Tahu kalau memenangkan
pertarungan suatu hal yang tak mungkin, mereka memutuskan untuk mengajak lawan
mati bersama! Hasilnya, Bandawasa dan dua rekannya bertindak
nekat. Sekarang perhatian mereka lebih dipusatkan pada serangan. Bandawasa, Janaka, dan Mahesa bertarung tanpa mempedulikan pertahanan lagi.
Yang ada di benak mereka adalah menyarangkan serangan pada lawan.
Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka
Kurring terperanjat bukan kepalang menyaksikan perubahan gaya bertamng lawan. Betapa tidak" Beberapa kali ketika mereka
melancarkan serangan, lawan yang dihadapi sama sekali tidak
mengelak. Bahkan malah
mengirimkan serangan pula. Jelas, tiga tokoh Pulau Karang itu tidak mempedulikan
keselamatan diri lagi.
Sebagai tokoh tingkat tinggi dunia persilatan
dan kenyang pengalaman, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning
mengerti maksud tindakan lawan. Dan tentu saja, mereka tidak sudi bertindak
bodoh dengan mengikuti ajakan itu.
Maka begitu melihat serangan yang dilancarkan
sama sekali tidak dipedulikan, Dewa Arak, Malaikat Tongkat
Sakti, dan Ular Muka Kuning terpaksa mengurungkan serangan. Kemudian, mereka buru-buru mengelakkan serangan tiga tokoh Pulau Karang itu.
Melihat tindakan lawan-lawannya,
tiga tokoh dari Pulau Karang jadi berbesar hati. Semangat mereka pun timbul. Sebagai
akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertubi-tubi.
Sekarang, mulai ada perubahan dalam kancah pertarungan. Perlahan-lahan,
kedudukan tiga tokoh Pulau Karang yang semula sudah terhimpit, mulai di atas angin kembali. Sedikit
demi sedikit, Bandawasa dan dua rekannya mulai bisa menyamakan kedudukan.
Memang, kini Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti,
dan Ular Muka Kuning segera menghentikan serangan.
Mereka hanya mengelak dan
menangkis. Bahkan tidak
berusaha melancarkan serangan balasan, karena dianggap tidak akan membawa hasil. Sudah bisa diduga, di
saat mereka melancarkan serangan, lawan akan melakukan hal yang sama. Jadi, terpaksa Dewa Arak, Malaikat
Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning membatalkan serangan kembali kalau tidak ingin mati konyol.
Bandawasa dan dua rekannya jadi bertambah semangat melihat hasil usaha mereka. Apalagi, setelah keadaan malah berbalik.
Merekalah yang kini lebih banyak melancarkan serangan, ketimbang lawan-la- wannya. Keadaan seperti itu terus berlangsung beberapa
jurus lamanya. Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning terus
dicecar dan didesak.
Kini, kelihatannya tiga tokoh Pulau Karang itu
yang berada di atas angin. Sedangkan Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning berada di pihak yang terdesak.
Padahal, kenyataan sebenarnya tidak demikian. Ketiga tokoh
tingkat tinggi dunia
persilatan itu tengah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Sementara itu,
pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh tiga.
8 "Haaat...!"
Diiringi pekikan keras menquuntur yang membuat
suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Janaka melancarkan kibasan dengan
kaki kanan ke arah kepala Malaikat
Tongkat Sakti. Hal itu dilakukan sambil memutar tubuh. Wukkk! Serangan itu lewat beberapa
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jari di depan sasaran, ketika Malaikat Tongkat Sakti menarik kaki kanan ke belakang sambil
mendoyongkan tubuh.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Malaikat Tongkat Sakti. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, sebuah
serangan balasan dikirimkan. Kakek bertubuh tinggi besar ini melancarkan sebuah
tendangan kaki kiri ke arah punggung lawan.
Bukkk! Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Dan,
Janaka sama sekali tidak menduga, sehingga tidak sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu saja, punggungnya telah menerima tendangan
keras. Seketika itu pula, tubuhnya terlempar. Suara berderak keras dari tulang
yang patah, semburan darah dari mulut dan hidung, bercampur
jerit kesakitan, mengiringi melayangnya tubuh Janaka. Ternyata, tidak hanya Janaka saja yang mengalami
nasib naas. Dua rekannya pun mengalami nasib serupa.
Mahesa terpaksa menerima sebuah tetakan tangan miring Ular Muka Kuning pada
lehernya. Sedangkan Bandawasa menerima gedoran dari Dewa Arak pada perutnya.
Brukkk! Berturut-turut tubuh tiga tokoh dari Pulau Karang itu ambruk di tanah disertai suara berdebuk cukup keras. Lalu tubuh
mereka tidak bergerak lagi, setelah berguling-guling beberapa tombak jauhnya.
"Hhh...!"
Malaikat Tongkat Sakti dan
Ular Muka Kuning menghela napas lega, setelah terlebih dulu menghentikan
gerakan. Kemudian, dua datuk yang telah menggemparkan dunia persilatan itu menatap tubuh tiga tokoh Pulau Karang yang
tergolek di tanah.
Sementara itu, Dewa Arak buru-buru melesat ke
arah tempat tergoleknya tubuh tiga tokoh dari Pulau Karang. Raut kecemasan
membayang jelas pada wajahnya, karena
khawatir kalau Bandawasa dan dua rekannya tewas. Dan dia tahu pasti, tiga tokoh dari Pulau Karang itu sama sekali tidak
bersalah. Namun sebelum maksud Dewa Arak tercapai....
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah tawa keras menggelegar, sehingga membuat seluruh tempat itu bergetar hebat. Bisa ditebak kalau
suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Seketika itu pula, Dewa Arak mengurungkan maksudnya. Buru-buru langkahnya dihentikan. Memang, suara tawa itu pernah
didengarnya. Tapi sayangnya, dia lupa kapan dan di mana.
Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Secepat
langkahnya dihentikan, secepat itu pula kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Hal yang sama pun dilakukan, Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning, dan yang lainnya.
Jliggg! Masih dengan suara tawa yang belum putus, sosok
yang mengeluarkan tawa itu mendarat di tanah. Begitu kedua kakinya hinggap,
sedikit pun tak terdengar suara. Padahal, dia melompat dan cabang pohon yang
cukup tinggi. "Hah..."!"
Hampir semua pasang mata yang berada di situ
terbelalak, begitu melihat jelas
si pemilik suara
tawa. Betapa tidak" Karena orang itu adalah..., Mahadewa! Tidak dapat disangsikan lagi kalau orang itu Mahadewa!
Keterkejutan orang-orang yang berada di situ
tidak hanya terlihat dari sepasang mata yang terbelalak lebar, tapi juga dari raut wajah yang berubah pucat. Bukankah Mahadewa telah tewas"!
Teringat akan hal itu, membuat tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia persilatan ini menoleh ke arah tempat tubuh
Mahadewa tergolek. Dan..., ternyata tubuh Mahadewa masih ada di sana! Jadi..., Mahadewa ada dua orang"!
"Rupanya kalian bingung, heh"!" ujar sosok yang menyerupai Mahadewa gembira,
bernada mengejek.
"Siapa kau"!" tanya Malaikat Tongkat Sakti sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
"Aku"!
Bukankah aku orang yang kalian cari-cari"!" Mahadewa malah balas bertanya.
"Jadi..., kau..."!"
Suara Malaikat Tongkat Sakti terdengar terbata-bata. Hal ini karena dia telah mendapat gelagat kalau telah salah menuduh orang.
"Ya! Akulah yang telah melakukan semua pembunuhan itu!"
"Keparat jahanam!" maki Malaikat Tongkat Sakti, geram.
"Manusia keji!" Ular Muka Kuning tak mau ketinggalan. Wajah kedua datuk tingkat tinggi dunia persilatan itu tampak merah padam, karena tengah dilanda amarah. Dengan sendirinya, tenaga dalam pun mengalir deras ke seluruh
tubuh, sehingga menimbulkan suara berkerotokan keras seperti ada tulang patah.
Padahal, Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning sama sekali tidak bertindak
apa-apa. "Tahan, Ki...!"
Dewa Arak yang melihat adanya tanda-tanda Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning akan melancarkan serangan, buru-buru
mencegah. "Mengapa kau melarang kami, Dewa Arak"!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, bernada
teguran. Memang kakek ini memiliki watak beringas. "Dialah pelaku semua kekejian itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala. "Apa yang kau katakan itu, sama sekali tidak salah, Ki.
Dialah pelaku semua kekejian itu. Tapi sebaiknya kita harus tahu alasan dia
melakukan semua tindakan keji itu."
Malaikat Tongkat Sakti kontan tertegun mendengar penjelasan Dewa Arak. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan pemuda
berambut putih keperakan itu.
Bahkan Ular Muka Kuning mengangguk-anggukkan kepala, pertanda ikut membenarkan.
"Ha ha ha...!"
Mahadewa, yang mendengar pembicaraan itu langsung tertawa bergelak.
"Tanpa kau tanyakan pun, semuanya akan kujelaskan, Dewa Arak. Nah! Sekarang, kalian dengarkan baik-baik semua
ucapanku!"
Sosok berwajah mirip Mahadewa itu menghetikan
ucapannya, memberikan kesempatan pada semua tokoh yang berada
di situ mengalihkan perhatian ke arahnya. Kemudian, kedua tangannya bergerak ke atas. Sebentar tangannya berhenti di
wajah, lalu bergerak kembali.
Dan begitu kedua tangannya disentakkan....
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bret! Tampaklah seraut wajah tampan, jauh berbeda dengan wajah Mahadewa yang asli. Matanya dihiasi alis lebat.
Hidungnya mancung, dengan andeng-andeng di batangnya. Sungguh jauh dengan perkiraan semula.
"Namaku Burisrawa. Sama seperti empat orang itu, aku juga berasal dari perguruan
yang sama di Pulau Karang. Kami berlima adalah murid utama Perguruan Hati Suci.
Salah seorang di antara kami, dicalonkan untuk menggantikan guru kami yang
hampir pikun. Tapi sayang, guru tidak menyukai watakku. Katanya, aku berwatak
jelek, dan suka mempelajari ilmu-ilmu sesat. Jadi, aku tidak mungkin bisa
menggantikan kedudukannya," jelas
sosok Mahadewa yang kini berganti wajah, setelah membuka topeng karet tipis. Rupanya, lelaki itu juga mahir membuat topeng,
sehingga mampu menyamarkan diri menjadi Mahadewa.
Sosok berwajah mirip Mahadewa yang ternyata bernama Burisrawa itu menghentikan ucapannya. Pandangannya diedarkan, merayapi satu per satu wajah-wajah yang berada di sekitarnya.
Bukkk! Terdengar bunyi keras ketika serangan Malaikat
Tongkat Sakti menemui sasarannya. Hasilnya, tubuh Burisrawa tersungkur ke belakang seperti daun kering tertiup angin!
"Padahal, aku sangat berminat menjadi Ketua Perguruan Hati Suci. Maka ketika empat orang kesayangan guruku ini memutuskan untuk memperluas pengalaman dengan berkelana, aku pun ikut tanpa sepengetahuan mereka. Lalu, kulakukan semua pembunuhan dengan menyamar sebagai Mahadewa, agar mereka mendapat banyak musuh di sini. Ha ha ha...! Dan kalian lihat sendiri
hasilnya, bukan" Usahaku kini berhasil baik! Aku akan menjadi ketua perkumpulan
di sana, dan menjadi jago nomor satu di seluruh dunia! Ha ha ha..! Kalian tak
akan mampu mengalahkan aku! Ha ha ha...!"
"Manusia sombong! Mampuslah kau...!"
Seiring bentakan itu, Malaikat Tongkat Sakti
melompat menerjang Burisrawa. Dan begitu telah dekat, tongkatnya dihantamkan ke
dada. Namun sungguh aneh! Serangan Malaikat Tongkat
Sakti sama sekali tidak dielakkan Burisrawa. Tokoh dari Pulau Karang ini terus
saja tertawa, seolah-olah tidak tahu ada bahaya mengancam. Akibatnya....
Bukkk! Telak dan keras sekali serangan Malaikat Tongkat
Sakti menemui sasarannya. Hasiinya, tubuh Burisrawa melayang
ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Setelah melayang-layang hampir sepuluh tombak,
tubuh Burisrawa jatuh berdebuk keras di tanah, kemudian terguling-guling.
Dan akhirnya, tubuhnya berhenti karena kekuatan yang mendorongnya telah lenyap. Melihat kejadian itu, semua tokoh yang berada di
situ saling berpandangan penuh rasa bingung. Begitu mudahkah Burisrawa
dibinasakan"
Beberapa gelintir dari sekian banyak orang yang
berada di situ merasa curiga melihat kejadian yang menimpa Burisrawa. Mereka
adalah Dewa Arak, Melati, Petani Maut, Ular Muka Kuning, dan Malaikat Tongkat
Sakti sendiri. Dan mereka semua tidak percaya kalau Burisrawa akan demikian
mudah ditewaskan. Dan ternyata kecurigaan mereka beralasan. Sambil mengeluarkan
tawa bergelak bernada penuh kegembiraan, Burisrawa langsung bangkit.
Kenyataan ini membuat semua orang yang berada dl
situ, merasa terkejut bukan kepalang. Begitu saktikah Burisrawa, sehingga mampu
menerima serangan Malaikat Tongkat Sakti tanpa melawan"
"Tidak mungkin!" bantah Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang pernah bertarung melawan Burisrawa. Maka bisa diperkirakan tingkat kepandaian Burisrawa. Dewa Arak tahu, Burisrawa tidak akan
mungkin mampu menerima
serangan Malaikat Tongkat Sakti secara demikian. Pasti ada keganjilan di sini!
"Keparat!"
Malaikat Tongkat Sakti menggeram murka, ketika
melihat Burisrawa masih segar bugar. Bahkan tokoh dari Pulau Karang itu malah
menghampirinya sambil terus tertawa-tawa.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan nyaring yang memekakkan telinga, Malaikat Tongkat Sakti kembali menerjang Burisrawa. Dan begitu jaraknya telah dekat, serangan yang serupa dengan
sebelumnya langsung dilancarkan.
Rupanya, Malaikat Tongkat Sakti masih belum percaya kalau Burisrawa mampu
menerima serangannya. Apalagi, tanpa melawan!
"Malaikat Tongkat Sakti! Tahan...!"
Dewa Arak yang mengkhawatirkan
keselamatan Malaikat Tongkat Sakti, berseru mencegah. Tapi sayang, peringatannya terlambat!
Kakek tinggi besar itu telah lebih
dulu melancarkan serangan dahsyat tanpa memikirkan keselamatannya.
Kali ini, Burisrawa tidak berdiam diri. Begitu
serangan Malaikat Tongkat Sakti telah menyambar dekat, kedua tangannya cepat
dihentakkan untuk melancarkan tangkisan.
Blarrr! Suara keras mengguntur seperti gunung meletus
terdengar, ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam tinggi berbenturan. Beberapa tokoh yang kurang kuat tenaga dalamnya, langsung terjatuh, karena lutut mereka terasa lemas. Hanya De-wa Arak dan Ular Muka
Kuning saja yang sama sekali tidak terpengaruh. Sedangkan Melati dan Petani Maut
masih menerima akibatnya, yang terlihat dari pucatnya wajah walau hanya sesaat.
Meskipun demikian, seperti juga Dewa Arak dan
Ular Muka Kuning, Melati dan Petani Maut tetap mengarahkan pandangan ke tempat terjadinya bentrokan antara Malaikat Tongkat
Sakti melawan Burisrawa.
Seketika itu pula, mata mereka semua terbelalak.
Betapa tidak" Tampak tubuh
Malaikat Tongkat Sakti
terlempar ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Darah segar mengalir
deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Seruan menyayat seperti seekor sapi
disembelih, mengiringi tubuhnya yang terlempar ke belakang. "Gila!"
Seruan keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak.
Dan memang, hanya
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda berambut putih keperakan ini saja yang merasa terkejut bukan kepalang. Dewa Arak tahu, sampai di mana tingkat tenaga dalam Burisrawa.
Merupakan hal yang mustahil kalau Malaikat Tongkat Sakti akan tewas demikian
mengenaskan dalam sekali bentrokan tenaga dalam saja.
Dan kenyataannya, tanpa melihat lagi pun, Dewa
Arak tahu kalau Malaikat Tongkat Sakti telah tewas. Itu pun di saat tubuhnya
tengah berada di udara. Buktinya begitu jatuh di tanah, Malaikat Tongkat Sakti
tidak bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha...!"
Burisrawa tertawa bergelak-gelak.
Sambil berkacak pinggang, pandangannya dialihkan ke arah tokoh-tokoh dunia persilatan yang berada di situ.
"Siapa lagi yang ingin menguji kesaktianku"!
Kau, Dewa Arak"! Ha ha ha...! Kali ini jangan harap bisa mempecundangiku
lagi. Kau akan kulumatkan! Ha ha ha...!" Usai berkata demikian, Burisrawa mendekati Dewa
Arak. Lambat-lambat saja kakinya melangkah. Sikap dan tindak-tanduknya
tampak tenang. Jelas, tokoh dari Pulau Karang ini merasa yakin akan kemampuan dirinya.
Namun, Dewa Arak tidak mau membiarkan Burisrawa
semakin dekat, karena khawatir Melati dan Petani Maut akan
ikut terbawa. Maka dihampirinya Burisrawa. Tapi.... "Minggir, Dewa Arak...!"
Sebelum Dewa Arak dan Burisrawa tiba dalam jarak
tempur, sesosok bayangan kuning berkelebat mendahului. Dan hal ini membuat Dewa Arak terkejut. Dia tahu, siapa sebenarnya
sosok bayangan kuning itu.
Siapa lagi kalau bukan Ular Muka Kuning"
Dugaan Dewa Arak sama
sekali tidak meleset. Datuk dunia persilatan yang bertubuh kurus ini memang murka bukan kepalang
ketika melihat Malaikat Tongkat Sakti tewas. Dengan mata kepala sendiri, dia
melihat tubuh Malaikat Tongkat Sakti
terbujur tanpa nyawa
bergelimang darahnya sendiri. Perasaan sakit hati itulah yang mendorong Ular Muka Kuning mendahului Dewa Arak menerjang Burisrawa.
*** Ular Muka Kuning tidak membuang-buang waktu lagi. Begitu telah mendekati Burisrawa, langsung saja dikirimkan
sebuah sampokan ke arah pelipis. Itu dilakukan dalam keadaan tubuh masih berada di udara.
Wuttt! Deru angin keras mengiringi tibanya serangan
Ular Muka Kuning. Hal ini tidak aneh, karena datuk bertubuh kurus itu
mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya.
Apalagi, dalam kemarahan amat sangat. Ular Muka Kuning jelas
bermaksud membinasakah Burisrawa secepat mungkin. Maka, sudah dapat dibayangkan kedahsyatan serangan Ular Muka Kuning.
Di samping dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, sasaran yang dituju pun adalah bagian
yang mematikan.
Tapi seperti juga sebelumnya, Burisrawa sama
sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah tersenyum mengejek. Sikapnya terlihat
memandang rendah sekali.
Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau Burisrawa akan mengelak atau
menangkis. Mahadewa palsu ini malah seakan-akan membiarkan serangan itu mengenai
sasarannya. "Gila...!"
Tanpa sadar Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut
memekik kaget ketika melihat tindakan Burisrawa! Betapa tidak! Di saat serangan Ular Muka Kuning semakin mendekati
sasaran, Burisrawa malah melancarkan serangan pula! "Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Burisrawa melan- carkan totokan ke arah perut Ular Muka Kuning dengan susunan jari membentuk
kepala ular. Dan ternyata Ular Muka
Kuning terkejut
pula melihat hal itu. Bahkan perasaan kaget yang melanda jauh lebih besar. Ular Muka
Kuning tahu, merupakan hal mustahil untuk mengelak. Serangan Burisrawa terlalu
mendadak datangnya.
Tambahan lagi, dilancarkan dalam jarak yang demikian dekat. Tubuhnya yang tengah berada di udara semakin menambah
kesulitannya. Dalam keadaan terjepit itulah yang membuat Ular
Muka Kuning memutuskan untuk melanjutkan serangan. Dia sudah
bertekad untuk mati demi membalas kematian Malaikat Tongkat Sakti.
Tentu saja keputusan yang
diambil Ular Muka Kuning diketahui Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut Dan mereka
pun tidak bisa menyalahkan tindakannya. Meskipun begitu, tak urung ada perasaan menyesal yang amat sangat menyelinap di
lubuk hati Dewa Arak. Tapi, apa yang bisa dilakukannya" Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Sedangkan dirinya berada cukup jauh dari kancah pertarungan.
Dan yang dilakukan Dewa
Arak hanya menunggu kejadian selanjutnya. Dan tindakan seperti itu pula yang dilakukan Melati,
Petani Maut, dan beberapa tokoh persilatan yang masih berada di situ. Sementara
itu di kancah pertarungan....
Prattt! Brolll!
"Aaakh...!"
Dalam selisih waktu yang amat singkat, serangan
kedua belah pihak mendarat di sasaran masing-masing.
Sampokan Ular Muka Kuning lebih dulu mendarat di pelipis Burisrawa. Baru sekejap kemudian, tusukan tangan Burisrawa memporakporandakan perut Ular Muka Kuning.
Kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak. Tubuh
kedua belah pihak sama-sama terlempar. Terdengar jeritan menyayat dari mulut Ular Muka Kuning. Darah segar tampak menyembur deras
dari bagian perut yang terkoyak-koyak mengiringi Iuncuran tubuhnya.
Tanpa diberi perintah, Dewa
Arak dan Melati melesat ke arah jatuhnya tubuh Ular Muka Kuning
Brukkk! Brukkk!
Berturut-turut tubuh Ular Muka Kuning dan Burisrawa jatuh berdebuk di tanah.
"Hhh... hhh..., akh!"
Setelah meregang nyawa sejenak, Ular Muka Kuning
menghembuskan napas terakhir. Mati!
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya bisa menghela napas berat. Sama
sekali tidak disangka, dua datuk dunia persilatan yang sama-sama tangguh itu
tampaknya telah tewas secara mengenaskan.
Karena perhatian Dewa Arak dan Melati tengah
terpusat pada Ular Muka Kuning, sama sekali tak ada yang menyadari keadaan
Burisrawa. Dan tiba-tiba saja, terdengar
jerit kesakitan dan kematian, sehingga membuat sepasang pendekar muda itu mengalihkan perhatian. "Hah..."!"
Mulut Melati ternganga. Bahkan sepasang matanya
pun terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Sementara
meskipun tidak terlihat adanya raut
keterkejutan pada wajah dan sikapnya, namun
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya Dewa Arak kaget
bukan kepalang. Belapa
tidak! Jeritan-jeritan itu ternyata terdengar dari mulut tokoh-tokoh persilatan
yang berada di situ. Tak terkecuali, Petani Maut sendiri. Mereka roboh di tanah
dalam keadaan tewas! Paling tidak, luka berat Dan pelaku semua itu adalah...
Burisrawa! "Kang..., tidak salah lihatkah aku?" tanya Melati dengan bibir bergetar, karena perasaan tegang.
Dewa Arak meraih tangan Melati dan meremasnya
perlahan, untuk memberi ketenangan.
"Kau tidak salah lihat, Melati. Burisrawa memang belum mati. Hhh...! Aku yakin dia memiliki sebuah il-mu,
sehingga membuatnya tidak gampang mati. Kita harus mengetahui kelemahannya
terlebih dulu, kalau tidak ingin
mati konyol!" jelas pemuda berambut putih keperakan itu. "Apakah ilmu yang dimiliki Burisrawa adalah 'Rawa Rontek', Kang?" tebak Melati.
"Aku belum bisa memastikannya, Melati. Terkecuali, apabila telah bertarung
dengannya. Tunggulah di sini."
"Ha ha ha...! Majulah, Dewa Arak..!" tantang Burisrawa lantang, sambil bertolak
pinggang. Di sekeliling Burisrawa tampak bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Semuanya adalah tokoh persilatan
yang berada di sekitar tempat itu. Termasuk, Petani Maut.
"Mengapa kau membunuh mereka, Burisrawa"!"
tegur Dewa Arak bernada geram.
"Mengapa kau menyalahkan aku, Dewa Arak. Mereka memang pantas mati! Ha ha
ha...!" Burisrawa tertawa bergelak gelak.
Dewa Arak hanya bisa mengepalkan tinju menahan
geram, melihat ketelengasan Burisrawa. Memang, pada saat perhatian Dewa Arak dan
Melati tengah terpusat pada Ular Muka Kuning, Petani Maut dan beberapa tokoh
persilatan lain menghampiri Burisrawa. Mungkin mereka mengira Burisrawa telah
tewas. Tapi, siapa sangka
kalau tokoh dari Pulau Karang itu justru masih hidup"
"Kau terlalu telengas, Burisrawa. Biar kupertaruhkan selembar nyawaku untuk mencegah tindak angkara murkamu!"
Begitu ucapannya selesai, Dewa Arak menghampiri
Burisrawa. Tokoh dari Pulau Karang itu juga melangkah maju. Sudah dapat
dipasrikan kalau pertarungan antara mereka akan segera berlangsung.
Sikap kedua belah
pihak mirip dua ekor ayam jantan yang siap bertarung.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertindak
main-main lagi. Disadari kalau Burisrawa sekarang berbeda daripada sebelumnya. Entah bagaimana, Dewa Arak
tidak tahu. Yang jelas kepandaian Burisrawa meningkat demikian pesat. Dewa Arak berani bertaruh kalau kepandaian Burisrawa
jauh lebih lihai daripada ketika bertarung dengannya belum lama ini.
Maka sambil terus melangkah, Dewa Arak mengambil
guci araknya yang tersampir di punggung. Kemudian, gucinya diangkat ke atas
kepala dan isinya dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke lambung. Tak lama kemudian, hawa hangat mulai merayap di perut pendekar muda
yang telah menggemparkan dunia persilatan itu. Perlahan-lahan, hawa hangat itu
naik ke atas kepala. Dan seketika itu pula langkah kaki Dewa Arak mulai
sempoyongan. Hal ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' telah siap
digunakan. Burisrawa tentu saja dapat menduga kalau Dewa
Arak telah menggunakan ilmu
andalannya. Tapi, dia tidak merasa gentar sama sekali. Bahkan malah mengumbarkan tawa keras.
"Ha ha ha...! Aku telah mendengar kehebatan il-mu 'Belalang Sakti' andalanmu,
Dewa Arak. Sekarang, aku akan mencoba kehebatannya."
Usai berkata demikian, Burisrawa menyusun jari-jarinya. Dewa Arak tahu, tokoh Pulau Karang itu akan mengeluarkan ilmu
'Tangan Pedang dan Golok'
"Bersiaplah untuk mati, Dewa Arak! Haaat...!"
Burisrawa membuka serangan dengan sebuah bacokan sisi tangan miring ke arah leher Dewa Arak.
Suara bercicitan nyaring mengawali serangannya.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang ketika mengetahui lehernya terasa perih. Memang dia tahu, angin serangan
Burisrawa tak kalah berbahaya dibanding sebatang pedang pusaka. Tapi sungguh di luar dugaan kalau
dalam jarak setengah tombak sudah membuat lehernya terasa perih. Padahal, sebelumnya tidak demikian! Ini berarti dugaan kalau tenaga dalam Burisrawa bertambah, sama sekali
tidak keliru. Menyadari betapa berbahayanya serangan itu, Dewa Arak tidak berani berrindak sembrono. Buru-buru serangan itu dipapak dengan
ayunan gucinya.
Klanggg! Gila! Tubuh Dewa Arak kontan terhuyung-huyung
jauh ke belakang begitu terjadi benturan. Tak kurang dari
lima langkah tubuhnya terhuyung-huyung.
Sementara, Burisrawa hanya bergetar saja.
"Iiih...!"
Melati terkejut bukan kepalang melihat tubuh
kekasihnya terhuyung-huyung. Dari hasil benturan itu bisa diketahui kalau tenaga
dalam Dewa Arak kalah jauh dibanding
Burisrawa. Dan hal itu membuat Melati khawatir bukan kepalang. Tapi, kekhawatiran itu buru-buru dibuangnya. Maka meskipun dengan perasaan kebat-kebit,
pandangannya dilayangkan ke arah pertarungan. Di arena pertarungan, Burisrawa terus mengumbar
kepandaian. Tampak jelas kalau dia bernafsu sekali merobohkan
Dewa Arak. Bahkan seluruh kemampuannya telah dikeluarkan.
Dan memang, usaha tokoh dari Pulau Karang ini
sama sekali tidak sia-sia. Nyatanya Dewa Arak benar-benar dibuat kewalahan. Padahal, tokoh muda yang menggemparkan dunia
persilatan itu telah mengeluarkan seluruh
kemampuan. Kedua tangan, guci, dan semburan-semburan
araknya telah dikeluarkan untuk menanggulangi amukan Burisrawa.
Dahsyat dan menggiriskan pertarungan yang terjadi. Suara mencicit tajam dari udara yang terobek, menyemaraki jalannya
pertarungan. Dan itu timbul dari angin serangan Burisrawa, maupun semburan arak
Arya. Bahkan juga masih ditingkahi suara menderu-deru tajam.
Kali ini, Dewa Arak benar-benar dipaksa menguras
seluruh kemampuannya. Meskipun demikian, harus diakui kalau tingkat kepandaian
Burisrawa memang di atasnya.
Baik dalam kecepatan gerak maupun tenaga dalam. Hanya berkat keanehan ilmu
'Belalang Sakti'lah yang membuat Dewa Arak mampu menandingi Burisrawa sampai
hampir seratus jurus. Itu pun dilakukan dengan susah payah.
Dewa Arak benar-benar terdesak sekarang. Jurus
yang lebih banyak digunakan adalah 'Delapan Langkah Belalang'. Ini berarti Dewa
Arak terpaksa lebih banyak mengelak,
karena tenaga dalamnya jauh di bawah Burisrawa. Berbenturan tangan atau kaki hanya akan mengakibatkan sekujur tulang
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tulangnya sakit-sakit.
Meskipun berada dalam keadaan di bawah angin,
Dewa Arak berusaha keras mencari kelemahan lawannya.
Telah dibuktikannya sendiri, ilmu yang membuat Burisrawa sulit mati bukan 'Rawa Rontek'.
"Akh..."
Tubuh Dewa Arak kontan terjengkang akibat menangkis serangan Burisrawa. Hal itu terpaksa dilakukan, karena sudah tidak mempunyai kesempatan mengelak.
Dan di saat Dewa Arak tengah terhuyung-huyung, Burisrawa menerjang. Tampak sekali kalau tokoh Pulau Karang
ini bermaksud memberi pukulan terakhir.
"Serang bayangannya, Kang. Bayangan itu adalah tubuhnya yang asli."
Tiba-tiba terdengar pemberitahuan. Dan datangnya ternyata dari Melati.
Meskipun heran dari mana Melati mendapat dugaan
seperti itu, namun Dewa Arak memutuskan untuk menuruti. Matanya kemudian melirik ke tanah. Tampak bayangan tubuh Burisrawa di
tanah, tersorot sinar
bulan di atas sana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak menghentakkan tangan ke arah bayangan Burisrawa. Tak tanggung-tanggung lagi, jurus 'Pukulan Belalang'
dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Wusss! Blarrr! Jelas sekali kalau Dewa Arak menyerang tanah.
Tapi akibatnya benar-benar aneh. Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat dari mulut
Burisrawa berbareng dengan tubuhnya
yang terlempar ke belakang. Samar-samar, tercium bau sangit daging terbakar.
Brukkk! Tubuh Burisrawa ambruk di tanah, dan diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya. Tokoh sesat yang memiliki kepandaian demikian menggiriskan itu tewas dengan tubuh hangus.
Melati langsung menghambur ke arah Dewa Arak.
Sementara, tokoh persilatan yang masih hidup dengan sikap hati-hati mendekati
tubuh Burisrawa yang telah hangus. Mereka khawatir, tokoh dari Pulau Karang itu
bangkit kembali dan membunuh seperti tadi. Tapi, ternyata tidak.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu,
Melati. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas. Hhh...! Burisrawa memang hebat bukan kepalang. Tapi, dari mana kau bisa mengetahui
kelemahan ilmunya?" tanya Arya ingin tahu.
"Jangan berterima kasih padaku, Kang," bantah Melati.
"Tapi berterimakasihlah
pada Bandawasa. Dialah yang memberitahukannya
padaku. Bandawasa mengakui kalau tenaga dalamnya belum cukup untuk melenyapkan Burisrawa. Tapi, dia tahu kelemahannya."
"Bandawasa" Sudah kuduga kalau dia belum mati.
Mana dia, Melati?" tanya Arya, penuh gairah.
"Baru saja pergi mencari kereta, untuk mengangkut mayat rekan-rekannya, Kang," jawab Melati.
Arya mengangguk-anggukkan kepala.
"O, ya. Apa nama ilmu yang dimiliki Burisrawa itu, Melati. Apakah Bandawasa
mengatakannya?" tanya Arya.
Melati menggelengkan kepala.
"Bandawasa tidak mau memberitahukannya. Rahasia perguruan,
katanya. Apalagi, ilmu yang dimiliki Burisrawa adalah ilmu-ilmu yang tidak boleh dipelajari. Dua macam ilmu telah dikuasai Burisrawa.
Yang satu membuat dia susah mati, dan yang satu lagi membuat dia menyerap
seluruh kepandaian orang yang sealiran dengannya," urai Melati panjang lebar.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini baru dimengerti, mengapa kepandaian Burisrawa meningkat demikian
pesat. Seluruh kepandaian yang dimiliki Janaka, Mahadewa, dan Mahesa ternyata telah terwaris kepadanya.
Keruyuk ayam jantan mulai terdengar, tanda sebentar lagi pagi akan datang. Sang surya pun akan muncul di utuk Timur. Sebuah
lembaran kehidupan baru, akan dimulai lagi.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Dewa Arak
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. PEDANG BINTANG
26. RAJA TENGKORAK 2. DEWI PENYEBAR MAUT
27. KEMBALINYA RAJA TENGKORAK 3. CINTA SANG PENDEKAR
28. TEROR MACAN PUTIH 4. RAKSASA RIMBA NERAKA
29. ILMU HALIMUN 5. BANJIR DARAH DI BOJONG GADING
30. DALAM CENGKERAMAN BIANG IBLIS
6. PRAHARA HUTAN BANDAN
31. PERKAWINAN BERDARAH 7. RAHASIA SURAT BERDARAH
32. ALGOJO-ALGOJO BUKIT LARANGAN
8. PENGANUT ILMU HITAM
33. MAKHLUK DARI DUNIA ASING
9. PENDEKAR TANGAN BAJA
34. RUNTUHNYA SEBUAH KERAJAAN
10. TIGA MACAN LEMBAH NERAKA
35. KEMELUT RIMBA HIJAU 11. MEMBURU PUTRI DATUK
36. TOKOH DARI MASA SILAM 12. JAMUR SISIK NAGA
37. RAHASIA SYAIR LELUHUR 13. PENINGGALAN IBLIS HITAM
38. NERAKA UNTUK SANG PENDEKAR
14. SEPASANG ALAP-ALAP BUKIT GANTAR 39.
MISTERI DEWA SERIBU KEPALAN
15. TINJU PENGGETAR BUMI
40. GEROMBOLAN SINGA GURUN
16. PEWARIS ILMU TOKOH SESAT
41. MACAN-MACAN BETINA
17. KERIS PEMINUM DARAH
42. EMPAT DEDENGKOT PULAU KARANG
18. KELELAWAR BERACUN
43. GARUDA MATA SATU 19. PERJALANAN MENANTANG MAUT
44. TAWANAN DATUK SESAT
Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
20. PELARIAN ISTANA HANTU
45. MISTERI RAJA RACUN 21. DENDAM TOKOH BUANGAN
46. PENDEKAR SADIS 22. MAUT DARI HUTAN RANGKONG
47. BENCANA PATUNG KERAMAT 23. SETAN MABUK
48. 24. PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
49. 25. PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
50. Darah Dan Cinta Di Kota Medang 17 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Pedang Langit Dan Golok Naga 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama