Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi Bagian 2
mengerti. Sejak tadi, rasa ingin tahu di mana Jembawati berada hampir saja dilontarkannya. Karena disadari kalau pertanyaan mengenai nasib Antasena lebih pantas
diajukan, yang membuat Arya mengajukan pertanyaan
itu. Pertanyaan lainnya menyusul belakangan, telaah
pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Tidak baik terlalu menyalahkan diri sendiri Kang,"
hibur Arya untuk mengurangi beban batin Abiyasa.
"Aku yakin, orang sepertimu tak akan bertindak keliru.
Boleh aku tahu bagaimana ceritanya?"
*** 4 "Seperti yang telah kau tahu, karena pertolongan-mu kami dapat lolos dari
ancaman Tengku Daud dan
Wanita berpakaian hijau itu, Dewa Arak," Abiyasa memulai keterangannya. "Kami
berlari terus, karena khawatir akan adanya pengejaran."
Sampai di sini, lelaki jangkung itu berhenti sejenak. Parasnya memperlihatkan penyesalan.
"Setelah beberapa lama berdiri, dan tak terlihat adanya tanda-tanda orang yang
mengejar, kuajak Antasena dan Jembawati untuk berhenti. Semula mereka
tak setuju. Tapi aku bersikeras dengan pendirianku
dan kukatakan kalau terus berlari, kami tak akan pernah sampai di tempat tujuan
yang kami harapkan.
Alasan yang kuberikan membuat mereka bimbang.
Dan, untuk lebih menenangkan mereka, kukatakan
untuk memperhatikan sekeliling tempat ini. Jika, ada hal-hal yang membahayakan,
keputusan akan kubatalkan. Mereka setuju. Aku pun naik ke atas pohon
yang paling tinggi agar dapat mengawasi keadaan di
sekitar. Dari ketinggian, aku dapat melihat apa pun
walau jaraknya masih cukup jauh. Bukankah demikian, Dewa Arak"!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepalanya, pertanda menyetujui pendapat Abiyasa. "Sesampainya di puncak pohon, di kejauhan, aku
melihat kerimbunan semak-semak dan pepohonan
bergoyang-goyang keras seakan-akan ada angin besar
yang meniupnya. Karena penasaran, kuperhatikan kerimbunan semak dan pepohonan di arah lainnya.
Hampir tak bergeming. Seketika itu pula aku yakin kalau tak ada angin besar.
Pasti ada sesuatu yang hendak melewati kerimbunan semak dan pepohonan yang
bergoyang-goyang keras itu. Karena khawatir kalaukalau yang lewat di situ adalah Tengku Daud atau wanita berpakaian hijau, aku memutuskan untuk turun
dan memberitahu Antasena serta Jembawati," Abiyasa menghela napasnya sejenak,
sebelum melanjutkan bicaranya.
"Saat itu pula, aku mendengar bunyi gerakan yang luar biasa kerasnya. Geraman
yang tak patut keluar
dari mulut manusia, dan membuat sekujur tubuh ku
lemas karena tenagaku sendiri lenyap entah kemana.
Yang lebih menggetarkan hatiku lagi, asal geraman dekat sekali dari tempatku
berada. Sekelebatan aku teringat akan Jembawati dan Antasena. Dan, aku yakin
geraman itu berasal dari tempat di mana kedua orang
itu berada. Setelah berhasil menguasai perasaan, dan memulihkan tenaga, aku
turun dari atas pohon. Ternyata kekhawatiran ku beralasan. Antasena telah tewas
dalam keadaan mengerikan. Sedangkan Jembawati sama sekali tak kulihat keberadaannya. Entah apa
yang terjadi terhadapnya," keluh Abiyasa, penuh perasaan sesal bercampur sedih.
"Kalau begitu, kemungkinan besar Antasena dan
mayat-mayat cerai-berai yang kulihat tadi adalah korban dari sosok yang
mempunyai kebiasaan menggeram
itu;" pikir Arya, mulai mendapatkan satu titik terang untuk mengungkap masalah
yang dihadapinya.
"Dan..., sepertinya sosok penggeram itu mempunyai ciri serupa. Kemunculannya dari satu arah menimbulkan tanda-tanda yang menyolok di arah lainnya. Abiyasa mengalami kejadian yang sama dengan
yang ku alami "
"Kurasa keselamatan Nyi Jembawati tak terlalu
mengkhawatirkan, Kang." timpal Arya penuh keyakinan. "Bahkan aku lebih condong
menduga kalau dirinya selamat, kendati hanya untuk beberapa waktu."
"Mengapa kau demikian yakin kalau Jembawati selamat, Dewa Arak"!" tanya Abiyasa, penuh rasa ingin tahu.
"Kalau Nyi Jembawati hendak dibunuh saat itu ju-ga, mengapa mesti repot-repot
membawanya, Kang"!"
Arya memberikan alasan kuat yang membuat Abiyasa tak kuasa untuk menahan anggukan kepala tanda menyetujui. "Dibawanya Nyi Jembawati menjadi pertanda kalau
sosok yang membawanya tak ingin membunuhnya saat
itu. Hanya saja, kita tak tahu kapan pembunuhan itu
dilakukannya," lanjut Arya lagi.
Abiyasa menghela napas berat untuk menekan
kekhawatiran yang mencekam hatinya.
"Khawatir memang wajar saja, Kang," ujar Arya, tanpa bernada menasihati. "Tapi,
terlalu berkhawatir pun tak baik. Biar bagaimanapun juga Nyi Jembawati
belum, nyata-nyata tewas. Jadi kita masih mempunyai
harapan untuk menyelamatkannya. Dan bukan tak
mungkin, si pembunuh kejam itu tak sempat membawanya. Barangkali saja, Nyi Jembawati sempat melarikan diri. Tapi kita tetap harus mencarinya. Kalau benar dia terancam, akan kita
usahakan untuk menolongnya...,"
"Kita...?" ulang Abiyasa setengah tak percaya seraya menatap wajah Dewa Arak
lekat-lekat. "Jadi, kau mau membantu mencarikan, Dewa Arak"!" tanyanya
lagi. Arya mengangguk dengan senyum tersungging bibir. "Bukankah sudah merupakan kewajiban kita selaku manusia untuk saling
menolong, Kang"!" sahut Dewa Arak tenang.
"Kau benar, Dewa Arak... Kau benar...," sambut Abiyasa, terbata-bata karena
perasaan gembira yang
menggelora. Lelaki itu menyadari, bantuan Arya amat berati baginya. Kalau penculik Jembawati memiliki kepandaian
setingkatan Tengku Daud, hanya Arya yang menjadi
andalannya. "Aku juga tahu hal itu. Tapi, sama sekali tak ku sangka kalau kau akan bersedia
membantu sampai
masalahku tuntas...," lanjutnya gembira.
"Lupakanlah itu, Kang," kilah Arya halus. "Lagi pu-la saat ini aku sedang tidak
mempunyai urusan, dan
juga tak mempunyai tujuan. Jadi, tak ada sedikit pun halangan bagiku jika
kupergunakan waktu dan kesempatan ini untuk membantumu....."
"Terima kasih, Dewa Arak. Terima kasih.... Aku tak tahu harus berkata apa untuk
mengungkapkan rasa
syukur dan terima kasihku padamu...," ucap Abiyasa suaranya semakin bergetar
karena perasaan haru.
"Kalau begitu, tak usah ucapkan apa-apa, Kang,"
sahut Dewa Arak cepat dengan senyum terkulum. "Untuk apa memaksakan diri untuk
mengatakan hal yang
tak kau ketahui"!" lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Abiyasa tersenyum lebar. Sambutan Arya memang
lucu, dan lelaki jangkung itu merasa geli karenanya.
Kalau saja saat itu tidak tengah berduka, Abiyasa pasti sudah tertawa terbahakbahak. "Menurutmu..., arah mana yang harus kita tuju,
Dewa Arak?" tanya murid Empu Jangkar Bumi itu, setelah berhasil menekan perasaan
geli yang melanda
hatinya. Arya mengarahkan pandangan berganti-ganti, ke
empat arah mata angin.
"Kalau aku tak salah duga, pembunuh Kakang Antasena adalah sosok yang menyergapku secara tibatiba, namun melarikan diri ketika gagal. Sosok itu
memang luar biasa aneh. Aku tak tahu ke mana arah
yang ditujunya. Dan, karena aku tak mempunyai tujuan, kukira lebih baik kalau arah yang kita tempuh
sekarang adalah arah yang semula menjadi tujuanmu,
Kang," usul Arya setelah menjelaskannya panjang lebar. "O ya, hampir aku lupa,
boleh kuketahui mengapa Tengku Daud dan Dewi Lanjar begitu memusuhimu"!"
tanya Arya ingin tahu.
"Hhh..."
Abiyasa menghela napas berat
"Aku juga tak mengerti, Dewa Arak. Tengku Daud
dan Dewi Lanjar adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan erat dengan datuk-datuk dunia hitam. Untuk apa mereka mengejar-ngejar kami. Padahal, apa
artinya kami bagi orang-orang seperti mereka"! Kepandaian yang kami miliki pun
tak ada artinya bila dibandingkan mereka!" jelas Abiyasa tak mengerti.
"Pasti ada alasan yang membuat mereka mengejar
kau dan rombonganmu, Kang," tandas Arya, yakin.
"Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja ada perkataan mereka yang menunjukkan
alasan mengapa mereka
bersusah payah menghadang perjalanan kalian...!"
Abiyasa mengernyitkan kening sebentar seperti
orang yang tengah berpikir.
"Ada kemungkinan kalau urusan yang tercipta antara kami dan tokoh-tokoh sesat itu disebabkan oleh
guru kami. Jelas-jelas kudengar, mereka menanyakan
apakah kami bertiga merupakan murid-murid dari
Empu Jangkar Bumi. Setelah itu, mereka berminat untuk menangkap kami."
"Apakah antara Empu Jangkar Bumi dan datukdatuk kaum sesat itu ada urusan, Kang"!" tanya Arya ingin tahu lebih jelas.
"Entahlah, Dewa Arak, aku tak pernah mengetahuinya. Almarhum guruku adalah orang yang tertutup.
Hampir tak pernah menceritakan sesuatu tentang dirinya. Kami sendiri, selaku murid-muridnya, tak begitu mengenalnya."
"Almarhum..."!" sentak Dewa Arak, agak kaget.
"Jadi Empu Jangkar Bumi sudah meninggal"!" tanyanya.
"Benar, Dewa Arak, kira-kira seminggu yang lalu.
Aku, Antasena, dan Jembawati pun tak mengetahui
penyebab kematiannya. Beliau tewas secara penuh rahasia," jelas Abiyasa, lebih gamblang.
"Apakah tidak ada pesan-pesan dari Empu Jangkar Bumi sebelum menghembuskan
napasnya yang terakhir?" desak Arya, setelah berpikir sejenak.
"Pesan-pesan sih tidak, Dewa Arak. Tapi, beliau meninggalkan sepucuk surat yang
isinya memerintah-kan kami untuk pergi ke tempat yang tertulis pada
suratnya...."
"Sayang, sebelum sampai tujuan, Tengku Daud
dan Dewi Lanjar telah lebih dulu menghadang. Bukankah begitu, Kang"!" lanjut Arya, ketika melihat Abiyasa tampak agak bimbang
untuk melanjutkan ceritanya.
Dewa Arak tak merasa tersinggung melihat sikap
Abiyasa yang masih belum terlalu percaya padanya.
Dia bisa memakluminya, karena dirinya sendiri pun
mungkin akan bertindak serupa jika berada di pihak
lelaki jangkung itu.
Abiyasa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Arya tadi.
"Apakah kau tak keberatan aku ikut serta dalam
perjalananmu, Kang" Percayalah, aku akan tersinggung. Aku sudah paham, tiap orang mempunyai rahasia yang terkadang orang terdekat pun tak boleh mengetahuinya. Oleh karena itu, bila ini termasuk rahasia, jangan segan-segan untuk
mengatakannya padaku,"
kata Dewa Arak, terus terang.
"Sama sekali tidak, Dewa Arak," sahut Abiyasa cepat. "Tidak ada hal yang rahasia
sama sekali. Lagi pu-la, bagaimana aku tahu ini rahasia bila aku sendiri
pun belum tahu mengapa aku harus ke sana"! Itu alasan pertama. Alasan keduanya, bagaimana mungkin
kau bisa membantuku mencari jejak Jembawati kalau
kau tak ikut"!"
"Bisa saja, Kang," jawab Arya kalem. "Kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri.
Dan...." "Kurasa tak perlu seperti itu, Dewa Arak," potong Abiyasa cepat. "Aku lebih suka
kalau kita melakukan perjalanan bersama. Jadi, kau tak perlu merasa tak
enak. Aku minta maaf padamu karena telah bersikap
yang membuatmu merasa tak enak."
"Lupakanlah, Kang, aku bisa memakluminya kok,"
sahut Arya tenang.
"Kalau begitu..., apa lagi yang harus kita tunggu Dewa Arak..."!" cetus Abiyasa,
setengah mengingatkan.
*** Malam telah larut dan bahkan telah mendekati dini
hari, ketika seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang lelaki setengah baya bertubuh jangkung, keluar dari pintu sebuah bangunan sederhana
yang hanya terbuat dari papan.
"Hhh...!"
Lelaki jangkung itu menghela napas berat. Parasnya yang terlihat lesu, memperlihatkan kekecewaan
hatinya yang besar. Dari wajahnya, tampaknya ia lelah sekali. Bahkan bukan itu
saja, kelelahan yang besar
juga melanda batinnya.
"Bagaimana, Kang"! Semua bangunan yang ada di
sini sudah kita periksa. Apakah ada di antaranya yang memberikan petunjuk
mengenai pesan yang diberikan
gurumu"!" tanya si pemuda yang berambut putih keperakan itu berbasa-basi karena
sudah bisa memperkirakan kalau apa yang dicari tak sesuai dengan keinginan.
"Entahlah, Dewa Arak," sahut Abiyasa, si lelaki
jangkung, bernada bingung.
"Heh..."!" Arya tersentak.
Dengan perasaan heran ditatapnya murid Empu
Jangkar Bumi itu tepat pada bola matanya. Pemuda
berambut putih keperakan itu ingin mengetahui kesungguhan jawaban yang diberikan Abiyasa.
"Mengapa bisa begitu, Kang"!" tanyanya.
"Tak terlalu mengherankan, Dewa Arak," jawab lelaki berpakaian coklat itu,
kalem. "Aku sendiri tak ta-hu apa yang tengah kucari di tempat ini, jadi
bagaima-na mungkin bisa menemukannya"!"
Arya melongo. Bingung. Dan, Abiyasa yang bisa
mengetahui perasaan yang bergayut di hati Arya, buru-buru memberikan keterangan tambahan.
"Sejak semula aku sendiri tak yakin akan keberhasilan dari kepergianku ini, Dewa
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arak. Tapi, keinginan untuk menyingkap rahasia, dan kewajibanku sebagai
seorang murid untuk memenuhi pesan sang guru, apalagi yang merupakan pesan terakhir, membuatku bersikeras melakukannya...."
"Maaf, Kang, bukannya aku bermaksud lancang
mencampuri urusanmu, tapi..., sebenarnya apakah
pesan yang ditinggalkan gurumu itu"!" tanya Arya ha-ti-hati.
"Hanya pesan singkat untuk pergi ke tempat ini, Dewa Arak," keluh Abiyasa,
seraya mengeluarkan seca-rik kulit binatang dari bagian dalam pakaiannya dan
mengangsurkannya pada Arya.
Tanpa ragu si pemuda menerima kulit binatang itu.
Dilihatnya, ada tulisan sembarangan di atasnya. Arya membacanya dalam hati.
Pergilah ke Banten. Cari orang yang bernama si
Tongkat Halilintar. Beritahukan kalau kau mendapat
perintah dariku. Kalau dia tak percaya, sebut namaku.
Tongkat Halilintar akan memberitahukan mengenai hal-hal yang selama ini ingin
kau ketahui. Bukankah kau dan yang lain-lain ingin tahu keanehan atas diri
Nawang Wulan" Tongkat Halilintar akan menjelaskan padamu.
Arya mengembalikan kulit binatang itu lagi pada Abiyasa.
"Petunjuk yang kita dapatkan memberitahukan kalau si Tongkat Halilintar bertempat tinggal di sini dan membuka usaha pengawalan
dengan bayaran. Tapi
kenyataannya yang kita temukan sekarang berbeda
jauh, Dewa Arak. Jangankan sekelompok orang yang
seharusnya ada, sepotong manusia pun tak tampak!"
Cetus Abiyasa, tanpa menyembunyikan rasa heran dan
kecewanya. "Menilik dari keadaan tempat ini... aku yakin si Tongkat Halilintar dan
kelompoknya benar tinggal di
sini. Banyaknya bangunan, menandakan jumlah mereka yang cukup banyak. Melihat dari tanda-tanda
yang terlihat, ketidakberadaan mereka tampaknya belum lama terjadi. Dengan kata lain, jika benar mereka semua pergi, pasti belum
terlalu lama. Keadaan tempat dan bangunan masih cukup rapi," timpal Dewa Arak
mengajukan pendapatnya.
"Mungkinkah merekah semua tewas dibunuh
orang"!" celetuk Abiyasa, tiba-tiba.
"Meskipun kemungkinan itu ada tapi sangat kecil Kang," bantah Arya. "Jumlah
kelompok si Tongkat Halilintar yang cukup banyak, setidak-tidaknya akan
menimbulkan bekas-bekas, jika terjadi pembunuhan. Sedangkan keadaan di sekitar tempat ini kulihat cukup
rapi dan tak memperlihatkan adanya tanda-tanda pernah terjadi keributan."
Abiyasa pun diam. Ia menyadari alasan yang dikemukakan oleh Dewa Arak memang benar dan masuk
akal. "Selain kau. siapa lagi yang tahu mengenai isi surat itu, Kang?" tanya Arya,
yang berusaha untuk mencari jawabannya.
"Hanya kami bertiga, Dewa Arak. Aku, Antasena,
dan Jembawati. Mereka berdua adalah adik-adik seperguruanku, sama-sama murid Empu Jangkar Bumi.
Selain dari mereka berdua dan aku, kurasa tak ada la-gi. Mengapa kau bertanya
demikian"!" Abiyasa malah balas bertanya.
"Aku mempunyai dugaan kalau kita sudah didahului orang. Dan, aku mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Pertama, ada orang atau sekelompok orang
yang mengetahui pesan Empu Jangkar Bumi. Dan
orang atau sekelompok orang itu sudah membunuh
semua orang yang ada di sini dan melenyapkan
mayatnya. Kemungkinan kedua, seisi tempat ini pergi
meninggalkan tempat bernaung mereka. Entah, karena
alasan apa...."
"Dugaan-dugaan yang kau lontarkan beralasan
kuat, Dewa Arak. Aku yakin, salah satu di antaranya
benar. Tapi, kurasa hal itu tak perlu terlalu kita pikir-kan. Yang paling
penting adalah apa yang harus kita
lakukan sekarang"! Satu-satunya petunjuk untuk
mengetahui hal yang tersembunyi dari kematian guru
dan pesannya sudah lenyap. Dan, aku tak tahu harus
memulai dari mana lagi untuk mengungkapnya," keluh murid pertama Empu Jangkar
Bumi itu, putus asa.
Arya terdiam. Pemuda ini menyadari kebenaran
ucapan Abiyasa. Dicobanya untuk memikirkan tindakan mereka selanjutnya. Si lelaki jangkung juga melakukan hal serupa, sehingga keheningan menyelimuti
tempat itu. Yang terdengar sekarang hanya desir angin malam dan bunyi kepak
kelelawar, serta serangga malam lainnya.
Mendadak Dewa Arak merasakan keanehan dalam
dirinya. Ia merasa seakan-akan ada orang yang tengah memperhatikan mereka
berdua. Arya tahu, kalau perasaannya luar biasa peka, terkadang dirinya tak
ubahnya binatang yang mempunyai naluri. Dan, hal
itu terjadi karena belalang raksasa di alam gaib yang telah beberapa kali
merasuk ke dalam dirinya (Untuk
jelasnya silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis," dan "Makhluk
dari Dunia Asing").
Menyadari keadaan dirinya, pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan pandangan berkeliling. Dan, ternyata perasaannya tak keliru. Di ping-gir atap salah satu
bangunan, tampak sesosok tubuh
tengah berdiri tegak. Rembulan bulat yang berada tepat di belakangnya, membuat sosok itu terlihat pekat.
"Di tempat ini kita tidak hanya berdua, Kang," ujar Arya lirih, tanpa
mengalihkan pandangan dari sosok
hitam yang berjarak sekitar lima tombak darinya. Arya khawatir sewaktu
perhatiannya dialihkan, sosok itu
akan melancarkan serangan.
"Ssss... siapa dia, Dewa Arak...?" tanya Abiyasa dengan suara berdesis dan
bergetar. Penampilan sosok di atap bangunan itu memang mampu menciutkan
keberanian tokoh mana pun.
Arya hanya menggeleng perlahan, karena ia memang belum mengenalnya. Ada kemungkinan sosok itu
dikenalnya. Tapi, keberadaannya yang hanya tampak
bentuk tubuhnya dan sepasang matanya, membuat ia
tak mengenalnya.
Sepasang mata sosok hitam itu terlihat jelas karena mencorong tajam bak mata seekor harimau dalam
gelap. Kelihatan menyeramkan, karena keadaan malam yang sunyi, hening, dan mencekam. Tambahan lagi, sikap sosok hitam itu tampak angker.
Dewa Arak merasakan detak jantungnya berpacu
jauh lebih cepat dari biasanya. Sorot sepasang mata
pendatang gelap itu sudah menunjukkan kepandaiannya yang tinggi. Karena, hanya tokoh yang memiliki
tenaga dalam yang sukar diukur, yang bisa mempunyai mata bersorot demikian.
Sesaat kemudian, sosok hitam itu melesat, dalam
keadaan tubuh tegak! Seperti layaknya sebatang bambu! Tak terlihat kakinya ditekuk atau tubuhnya dibungkukkan! Tindakan yang dilakukan sosok hitam itu tak
hanya membuat Abiyasa terkejut. Dewa Arak pun di
dalam hatinya memuji kepandaian yang dimiliki pendatang gelap itu. Ia mengakui sosok yang masih penuh rahasia itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Sorot matanya saja sudah menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya. Dan sekarang, lompatan uniknya memperlihatkan keluarbiasaan ilmu meringankan tubuhnya. Tanpa memiliki tingkat ilmu meringankan tubuh
yang sukar diukur, tak mungkin dapat melakukan tindakan seperti yang diperlihatkan sosok hitam itu.
Abiyasa tanpa sadar melangkah mundur ketika sosok itu menjejakkan kakinya di tanah. Juga tanpa menekuk kaki atau membungkukkan tubuhnya sewaktu
mendaratkan kakinya di tanah. Ia tak ubahnya sebatang kayu atau besi!
"Siapa di antara kalian yang mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi"!"
Bulu kuduk Abiyasa seketika berdiri ketika mendengar pertanyaan itu. Bukan hanya karena suara
yang bernada serak, berat, dan bergaung itu. Tapi, karena melihat sosok hitam
itu menatapnya lekat-lekat!
Tindakan orang itu sudah menunjukkan kalau ia
sudah tahu Abiyasalah orang yang mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi.
Bukannya memberikan jawaban, Abiyasa malah
melongo seperti orang melihat hantu di siang hari. Sedangkan Dewa Arak, tidak
memberikan tanggapan karena merasa dirinya kurang berhak. Lelaki jangkung di belakangnya yang lebih
berhak untuk memberikan jawaban. Pemuda berambut putih keperakan itu malah
mempergunakan kesempatan yang ada untuk memperhatikan sosok kurus kering di depannya.
Sosok hitam yang kedatangannya mendebarkan
jantung itu ternyata kurus kering seperti cecak kelapa-ran. Tulang-tulang
tubuhnya bertonjolan di sana-sini saking kurusnya. Dan, semua itu tampak jelas
karena yang dikenakannya hanya celana panjang hitam! Keadaan penutup tubuh ini pun ala kadarnya, karena sudah compang-camping di sana-sini.
Sosok kurus kering yang ternyata seorang kakek
yang sudah berusia amat tua itu, merasa tersinggung
karena tak adanya jawaban yang diterima setelah menunggu beberapa saat.
Ia menggeram pelan seperti seekor harimau. Sungguh pun demikian, tanah, pohon-pohon, dan bangunannya yang ada di sekitar tempat itu bergetar hebat bagaikan dilanda gempa.
Malah, Abiyasa terhuyung
mundur karena merasakan kedua kakinya mendadak
lemas akibat pengaruh geraman itu.
Tapi Dewa Arak tampaknya tak terpengaruh. Pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh geraman kakek kurus kering, untuk mencegah hal-hal
yang tak diinginkannya. Arya bahkan mampu untuk
bersikap tenang, meskipun sekujur urat-urat sarafnya sudah bersiap-siap untuk
menghadapi segala macam
kemungkinan yang tak diinginkan.
*** 5 Kakek kurus kering itu ternyata tak kuasa menahan perasaan marahnya. Begitu geramnya sirna, dengannya segera diulurkan. Jari-jari tangannya yang kurus, berkuku panjang, dan
terkembang membentuk
cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun Abiyasa. Bunyi
yang menyakitkan telinga mencicit seperti suara tikus mengiringi meluncurnya
serangan itu. Dewa Arak yang sudah bersiap-siap sejak tadi, tidak tinggal diam melihat ancaman maut terhadap murid Empu Jangkar Bumi itu. Kakinya segera dilangkahkan ke kiri, sehingga menghadang serangan si kakek. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya diayunkan untuk menangkis serangan.
Takkk...! Bunyi keras seperti dua batang logam yang saling
berbenturan terdengar ketika dua batang tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu saling be-radu. Baik Dewa Arak maupun
lawannya sama-sama
terhuyung selangkah ke belakang.
"Keparat! Siapa kau..."!" tanya kakek kurus kering, setengah membentak seraya
menatap Arya penuh selidik. Si kakek tak melanjutkan penyerangan ketika kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai. Kakek itu murka bercampur terkejut melihat seorang
pemuda mampu membuatnya terhuyung dalam benturan! Padahal, tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Dan, rasa penasaran pun menggulung di
dalam dadanya. Itulah sebabnya, ia melontarkan pertanyaan kepada pemuda berambut putih keperakan
itu. "Namaku Arya Buana. Tapi orang-orang biasa me-manggilku Arya," jawab pemuda
berpakaian ungu itu kalem.
"Hak hak hak...!"
Kakek kurus kering tertawa. Tawa yang aneh karena lebih patut keluar dari mulut binatang daripada
mulut manusia. Tawa yang mengerikan! Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah tetap terkatupnya sepasang bibir si kakek. Mulut
yang telah berkeriput itu sama sekali tak bergerak!
"Jadi kau orang sombong yang berjuluk Dewa Arak itu, heh"! Sungguh kebetulan
sekali! Menurut berita
yang kudengar, kau sudah banyak merobohkan lawan.
Bahkan menurut selentingan kabar, kau adalah jagoan
nomor satu di dunia persilatan. Dan kau tak akan bisa dikalahkan orang. Aku
penasaran sekali! Ingin kubuk-tikan sendiri kebenaran berita itu. Sayang, aku
tak pernah beruntung bertemu denganmu! Sama sekali
tak kusangka kalau di saat aku mencari keturunan
dan murid-murid Empu Jangkar Bumi sialan itu malah bertemu kau! Padahal, sewaktu kucari-cari kau
malah tak kutemukan! Aku gembira sekali, Dewa Arak!
Hak hak hak...!"
"Berita yang tersebar terlalu berlebihan. Kek," kilah Dewa Arak, malu hati.
"Siapa bilang aku tak pernah kalah"! Beberapa kali aku hampir mati ketika
menghadapi lawan! Aku bukan jago nomor satu, Kek."
"Aku tak peduli itu, Dewa Arak! Yang penting kalau sudah bertarung denganmu, aku
puas. Roboh di tanganmu pun bukan merupakan satu hal yang memalukan! Walaupun demikian, jangan mimpi untuk bisa
merobohkanku, Dewa Arak! Aku, Darsakala, belum
pernah dikalahkan orang! Malah, andaikata bertemu
dengan Setan Tengkorak Merah atau Dewi Berambut
Wangi, akan kutunjukkan pada mereka dan dunia persilatan, kalau aku jauh lebih unggul daripada mereka!"
seru si kakek sesumbar.
"Sebelum kita bertarung, boleh ku ajukan pertanyaan padamu, Kala"!" tanya Arya,
karena tahu pe-cahnya pertarungan tak akan bisa dihindarkannya lagi. "Silakan, Dewa Arak. Selama bisa kujawab, akan kuberikan jawabannya. Anggap
saja kebaikan hatiku
ini karena aku terlalu gembira bisa bertemu denganmu," timpal Darsakala ringan.
"Terima kasih atas penghormatan berlebihan yang kuterima, Kala," Arya tersenyum
samar. "Aku hanya ingin tahu mengapa kau kelihatannya memusuhi kawanku ini"!"
tanyanya ingin tahu.
"Seperti yang kukatakan tadi, Dewa Arak, karena dia mempunyai hubungan dengan
Empu Jangkar Bu-mi. Bahkan kalau aku tak salah terka, orang ini adalah murid
empu sialan si terkutuk itu, kan"!" sahut Darsakala berapi-api.
"Lalu kenapa kalau kawanku ini mempunyai hu
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bungan dengan Empu Jangkar Bumi"!" Arya balas,
bertanya bukannya memberikan jawaban.
"Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan
si keparat Jangkar Bumi itu akan kubunuh! Karena,
empu sialan itu telah demikian tega hati membunuh
putraku!" tandas Darsakala dengan sinar mata seperti
mengeluarkan api.
"Tidak mungkin!" tukas Abiyasa tak percaya. Lelaki jangkung itu merasa
tersinggung mendengar gurunya
terus-menerus dihina. Sedikit demi sedikit keberaniannya timbul. "Itu hanya fitnah belaka!" tambahnya.
"Perlukah gurumu itu untuk memberikan jawaban
yang sama denganku"!" rutuk Darsakala dengan geram. "Dan perlu kau ketahui,
bukan hanya aku saja yang akan memberikan jawaban seperti ini! Kau boleh
tanya pada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Lebih jelasnya kau boleh tanyakan pada tokoh-tokoh golongan
hitam!" teriak Darsakala dengan suara keras.
Abiyasa hendak memberikan bantahan lagi. Tapi,
keinginan itu ditahannya ketika mengingat beberapa
tokoh-tokoh sesat yang memburunya.
"Benarkah apa yang dikatakan Darsakala itu"!" pikir lelaki jangkung itu,
bimbang. Kesempatan belum adanya tanggapan dari Abiyasa,
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Pemuda
berpakaian ungu itu merasa gembira karena sudah
mendapatkan sebuah titik terang untuk mengungkap
rahasia tentang Empu Jangkar Bumi dan masalah
yang melibatnya.
"Kita lupakan siapa yang benar dan salah dulu, Ka-la. Masalahnya, kalau
diperdebatkan tak akan ada habisnya. Yang jelas, setiap ada akibat pasti ada sebab.
Lagi pula, masing-masing pasti menganggap diri dan
pihaknya sendiri yang benar. Tentu saja benar menurut anggapan diri dan pikirannya sendiri," ujar Arya menengahi. "Tapi, mengapa
kau kemari"! Kalau kau mempunyai urusan dengan Empu Jangkar Bumi,
mengapa datang ke tempat ini. Apakah kau tak tahu
kalau sang Empu tak tinggal di sini...?" lanjutnya.
"Aku telah mendatangi tempat tinggalnya, Dewa
Arak!" potong Darsakala, tak sabar. "Tapi, tempat itu sudah kosong! Tak ada satu
orang pun. Karena si
Tongkat Halilintar adalah kawan baik si empu sialan
itu, aku bergegas pergi kemari. Setidak-tidaknya, akan kudapatkan petunjuk
penting di sini."
"Empu Jangkar Bumi sudah meninggal, Kala," ujar Arya tenang.
"Aku pun sudah mendengar berita itu, Dewa Arak!
Dan, kau kira aku percaya dengan lelucon murahan
itu"!" dengus Darsakala, melecehkan.
Arya terkejut. Tapi, di wajahnya tak tampak perasaan apa pun. Tetap kelihatan tenang. Pemuda itu
berhasil menguasai perasaannya, sehingga apa yang
bergejolak di hati tak tampak pada wajahnya.
Sikap seperti itu tak tampak pada Abiyasa. Murid
Empu Jangkar Bumi itu kelihatan kaget bercampur
marah. "Tutup mulutmu, Kakek Jahat! Kau memang hanya
menyebarkan ketidakbenaran! Semula kau katakan
guruku membunuh putramu. Tuduhan itu saja sudah
merupakan fitnah! Sekarang, kau tambah lagi dengan
ketidakpercayaanmu akan kematian beliau! Perlu ku
tegaskan sekali lagi padamu. Empu Jangkar Bumi guruku, sudah tewas beberapa waktu yang lalu! Jelas"!"
serunya penuh kemarahan.
"Aku tak mau bicara dengan orang yang tak mengerti apa pun!" sergah Darsakala. "Meskipun demikian, kau tetap tidak akan
selamat dari tanganku. Tunggu
kesempatanmu, Monyet Bodoh! Aku lebih suka untuk
berurusan dengan Dewa Arak lebih dulu! Jelas"! Menyingkirlah kalau kau memang masih sayang dengan
nyawamu!" Abiyasa ingin berbicara lagi. Tapi, segera diurungkan ketika melihat Dewa Arak memberinya isyarat untuk menjauhi tempat itu. Ia tahu, kalau tetap berada di tempatnya sekarang ini,
akan celaka! Pertarungan antara dua tokoh sakti itu akan menimbulkan akibat besar pada sekitarnya. Dan, bila dirinya terkena serangan nyasar, maut akan
mengincarnya. *** "Haaat...!"
Dengan didahului teriakan keras menggelegar,
yang anehnya dilakukan tanpa menggerakkan bibir,
Darsakala melompat menerjang Dewa Arak. Begitu berada di tengah jalan, di udara, tubuhnya dibalikkan. Di saat yang sama, kaki
kanannya dikibaskan ke arah pelipis lawan.
Serangan yang dilancarkan Darsakala membuat
Arya yakin kalau kakek itu tak bermain-main. Serangan yang dilancarkan, jangankan mengenai sasaran,
baru menyerempetnya saja sudah cukup untuk mengirim nyawa Arya ke alam baka. Oleh karena itu, ia tak berani bertindak gegabah.
Wukkk...! Kibasan kaki kakek kurus kering itu lewat di atas
kepala ketika Dewa Arak membungkukkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya. Dan, secepat itu pula
pemuda berpakaian ungu itu mengirimkan serangan
balasan berupa tusukan jari-jari tangan terbuka ke
arah ulu hati Darsakala.
Plakkk! Benturan keras terjadi ketika Darsakala yang tak
mempunyai kesempatan untuk mengelak itu memapaknya. Akibatnya, baik Arya maupun Darsakala sama-sama mundur.
"Kau memang hebat, Dewa Arak. Tapi, jangan berbesar hati dulu. Itu masih belum seberapa," ucap Darsakala ketika sudah berhasil
mematahkan kekuatan
lawan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
Arya yang juga menatap lawannya dan tak langsung membuka pertarungan, hanya tersenyum hambar. "Aku percaya, Kala. Tapi, tidakkah pertarungan ini kita hentikan saja"!
Antara kita berdua tak ada masalah, untuk apa mempertaruhkan nyawa"!" ucap Arya
memberi usul. "Siapa bilang tak ada masalah, Dewa Arak"!" tukas Darsakala. "Saat ini saja kita
sudah berada di pihak yang saling bertentangan. Kalau kau bersedia menyingkir
dan tak membela murid Jangkar Bumi sialan
itu, mungkin kita tak perlu bertarung. Oleh karena itu, kalau kau bersedia
menyingkir dari tempatmu dan
membiarkan aku membunuh monyet buduk itu, dengan senang hati kubatalkan maksudku untuk bertarung denganmu...."
Arya terdiam. Dan, Darsakala yang memang tahu
betul kalau Dewa Arak tak akan membiarkan Abiyasa
terbunuh, tersenyum penuh kemenangan. Alasan yang
diajukannya membuat pemuda berambut putih keperakan itu mau tak mau harus bertarung dengannya.
"Tidakkah kau memikirkan tindakan yang akan
kau lakukan itu, Kala"!" ujar Arya setelah berpikir sejenak "Mungkin saja urusan
antara kau dan Empu
Jangkar Bumi hanya salah paham belaka" Siapa tahu
ada orang yang bermaksud mengadu domba, memancing di air keruh"!" kata Arya berpendapat.
"Kau tak mengerti, Dewa Arak. Dan, aku tak mempunyai waktu dan kesabaran untuk menjelaskannya
padamu! Yang jelas, tak ada salah paham. Apa yang
kukatakan itu benar! Dan, sebagai tambahan, antara
kita sebenarnya ada urusan. Kau sudah membunuh
sahabat baikku, Arya. Dan, karena alasan itu sudah
cukup untukmu. Jadi, tak ada alasan untuk tak bertarung lagi. Jelas"!" ucap Darsakala penuh kemenangan.
Arya menghela napas berat. Disadarinya kalau
niatnya untuk mengurungkan pertarungan itu akan
sia-sia. Tak ada jalan lain, kecuali bertarung dan mengalahkan Darsakala, dengan
sedapat mungkin tanpa
membunuhnya atau melukainya terlalu berat. Di lain
pihak, Darsakala yang sudah tak sabar lagi untuk melanjutkan pertarungan, kembali melompat menerjang.
Untuk kedua kalinya, ketika berada di udara, di tengah perjalanan, kakek itu kembali membalikkan tubuh. Kali ini tak hanya sebentar, melainkan terusmenerus. Darsakala berputar seperti gasing. Inilah il-mu yang menjadi andalan si
kakek, yang diberinya
nama ilmu 'Badai dan Petir'.
Hebat bukan kepalang ilmu 'Badai dan Petir' itu.
Bunyi menderu dan meledak-ledak mengiringi berputarnya tubuh kakek kurus kering itu. Dan, seiring
dengan itu bertiuplah angin keras membawa debu. Ini
salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup membuat pandangan lawan terhalang, sementara serangan
yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya.
Tubuh Darsakala yang berputaran, membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terlihat hanya segulung bayangan hitam yang berputaran.
Memang, Dewa Arak sudah beberapa kali menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu seperti ini. Tapi tetap
saja dia bingung dan mengalami kesulitan untuk
menghadapinya. Dan, belum lagi perasaan bingungnya
lenyap, dari balik putaran itu terjulur sebuah tangan.
Seakan-akan itu tangan hantu yang keluar dari lubang
kuburan. Karena putaran tubuh itu, serangan yang meluncur jadi terlihat mendadak. Tambahan lagi, gerakan
Darsakala memang luar biasa cepat. Dewa Arak sendiri hanya melihat sekelebatan
bayangan meluncur jelas ke arah ubun-ubunnya.
Meskipun serangan itu demikian mendadak dan
tak disangka-sangka, namun Arya mampu membuktikan kalau dirinya adalah seorang pendekar muda yang
memiliki julukan besar di dunia persilatan dan tak
hanya besar namanya saja. Pemuda berpakaian ungu
ini mampu menyentakkan tangannya untuk menangkis serangan lawan.
Tapi, seperti juga munculnya, lenyapnya tangan
Darsakala pun hampir tak terlihat, sewaktu menghindarkan tangan Dewa Arak. Tangan itu lenyap begitu
saja ke dalam putaran tubuh kakek kurus kering itu!
Arya tak terlalu terkejut lagi ketika serangan tangannya mengenai tempat kosong. Bahkan ketika dari
tubuh yang berputar itu mencuat kaki yang meluncur
ke arah perutnya, pemuda itu melempar tubuhnya ke
belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri. Dewa Arak tahu, menghadapi ilmu aneh lawannya
dari arah dekat amat berbahaya. Karena akan menjadi
sasaran empuk lawannya. Sebaliknya, Darsakala amat
sukar untuk diserang, Putaran yang dilakukan membuat lawan sukar untuk mendaratkan serangan karena tak dapat melihat sasaran yang bakal dituju.
Dan sekarang, untuk menghindari kemungkinan
yang tak diinginkan, Dewa Arak menghadapi serbuan
lawan dengan elakan-elakan jauh. Untuk beberapa jurus lamanya, pemuda itu hanya mengelak saja, dan
hanya sesekali melancarkan serangan balasan. Itu pun
hanya pukulan-pukulan jarak jauh, yang beberapa di
antaranya merupakan jurus 'Pukulan Belalang',
Memang hanya berupa pukulan-pukulan jarak
jauh yang bisa dilakukan Dewa Arak. Karena jarak
yang tercipta antara dirinya dengan Darsakala, tak
memungkinkan untuk melakukan serangan-serangan
biasa. Di lain pihak, Darsakala tak kalah cerdik dengan
Dewa Arak. Kakek itu terus-menerus bergerak mendekati lawannya dengan tubuh yang terus berputaran.
Pertarungan antara kedua orang itu seperti permainan kejar-kejaran. Di satu
pihak, Dewa Arak terus-menerus menjauh seraya melepaskan pukulanpukulan jarak jauh untuk mencegah lawan mendekati,
sekaligus mengirimkan serangan. Di pihak lain, Darsakala yang mengandalkan keanehan ilmunya terus
mendekati Arya.
Abiyasa, satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tingkat tinggi itu, merasa khawatir atas keselamatan Dewa
Arak. Memang, sepasang matanya tak mampu melihat mereka dengan jelas. Tapi,
dari bayangan yang terlihat dapat diketahuinya mana
Dewa Arak dan mana lawannya. Karena itu, Abiyasa
tahu kalau Arya mulai terdesak. Arya menyadari keadaannya yang tak menguntungkan. Ia juga sadar, kalau keadaan itu terus berlangsung, ia akan celaka di tangan lawannya.
Melancarkan pukulan jarak jauh terus-menerus akan membuatnya cepat lelah. Dan,
bila itu terjadi, Darsaka akan dengan mudah mengalahkannya. Sambil memberikan perlawanan, Dewa Arak memutar otaknya, mencari cara untuk menghadapi ilmu
Darsakala yang unik dan aneh. Dan, karena disadari
kalau waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan rahasia itu cukup lama, Dewa Arak segera meraih gucinya kemudian meneguknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki muda
berambut putih keperakan itu sudah tidak menapak
secara tetap lagi di tanah. Itu pertanda kalau ilmu
'Belalang Sakti' sudah siap untuk dipergunakan.
Darsakala tahu kalau Dewa Arak sudah mempersiapkan ilmu andalannya. Tapi, ia tak merasa gentar
sama sekali. Sekarang, ia mengerti mengapa sebelumnya pemuda berambut putih keperakan itu mengirimkan serangan jarak jauh bertubi-tubi. Rupanya sengaja membuatnya sibuk dan menciptakan kesempatan
untuk mempersiapkan ilmu andalan.
Pertarungan kembali berlangsung, dan lebih seru
daripada sebelumnya. Dengan menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', Arya tak hanya menggunakan pukulan jarak jauh untuk mengurangi tekanan Darsakala.
Tapi juga kadang dengan semburan araknya, yang ba
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hayanya tak kalah dengan serangan senjata rahasia.
Tak terasa, pertarungan sudah menginjak jurus
yang ketujuh puluh. Dan pada saat itu, Arya menemukan cara yang diyakininya dapat dipergunakan untuk
menekan ilmu lawannya. Tanpa menunggu lebih lama
lagi, ia segera mempergunakannya.
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk mengerahkan seluruh kemampuannya sampai di puncak. Sesaat
kemudian, ia melesat berputar mengelilingi Darsakala yang tengah berputar. Arah
putarannya berlawanan
dengan arah putaran yang dilakukan Darsakala.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak terlalu keliru. Begitu cara ini dipergunakan, Darsakala kelabakan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilinginya,
membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan.
Tetapi keadaannya berbeda dengan Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari
mengelilingi lawannya terkadang melancarkan serangan balasan. Tak sampai dua puluh jurus, ganti Darsakala yang berada di pihak yang terdesak. Memang
bila diperbandingkan, putaran tubuh Dewa Arak yang
tidak di satu tempat, membuatnya lebih mudah untuk
menyerang daripada diserang.
Keadaan yang tak menguntungkan itu membuat
Darsakala kehilangan kesabaran. Ia menyadari Dewa
Arak sudah berhasil menemukan celah-celah kelemahan ilmunya. Terus bertahan tanpa melakukan perubahan, tentu akan merugikan dirinya sendiri. Maka,
rasa tak sabar membuat Darsakala nekat. Dengan
perhitungan matang seorang tokoh tingkat tinggi, ia
melancarkan serangan berbahaya. Serangan yang boleh dibilang sebagai serangan orang yang mengadu
nyawa. Prattt! Plakkk! Desss!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika Dewa
Arak yang tak mempunyai kesempatan untuk mengelak karena Darsakala sudah menghimpitnya sedemikian rupa, balas melancarkan serangan, yang dibarengi dengan tangkisan terhadap serangan-serangan lawannya. Beberapa kali tangan dan kaki mereka saling
berbenturan, tapi masing-masing pihak tetap tak dapat mencegah bersarangnya
serangan yang dilancarkan
oleh pihak lawan.
Hampir berbarengan, tubuh Dewa Arak dan Darsakala sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dari mulut masing-masing mengalir darah segar, walaupun lebih banyak darah
yang keluar dari mulut
Darsakala. Kakek kurus kering itu menerima gedoran tangan
Arya pada dada kanan bagian atasnya. Sedangkan
Dewa Arak terkena tendangan pada pahanya. Maka jalannya pertarungan terhenti seketika.
"Aku mengaku kalah, Kala. Kau memang hebat,!"
ucap Arya sambil mengusap darah yang membasahi
sudut bibirnya. "Dan, kurasa tak ada lagi gunanya pertarungan ini dilanjutkan."
Darsakala tersenyum pahit. Diam-diam perasaan
suka dan kagumnya terhadap Arya semakin membesar. "Kau terlalu rendah hati, Dewa Arak Akulah yang sebenarnya kalah. Tapi, aku
tak penasaran kalah
olehmu. Kau memang pendekar luar biasa. Dan, memandang dirimu, untuk kali ini kulepaskan murid
Empu Jangkar Bumi itu. Tapi, janjiku ini tak berlaku seterusnya. Yang jelas,
selama kau berada dengannya, janjiku berlaku. Di lain keadaan, aku tak menjamin
keselamatannya."
"Kuucapkan terima kasih atas pengertianmu dan
penghargaan yang kau berikan padaku, Kala. Tapi, bisakah kau menceritakan secara jelas penyebab permusuhan mu dengan Empu Jangkar Bumi" Dan siapa
pula kawanmu yang tewas olehku, Kala"!" tanya Arya karena merasa belum puas
dengan keterangan yang
didapatnya dari kakek kurus kering itu.
"Aku mendapatkan seorang putra yang kudapatkan
dari hasil perkawinanku. Perkawinan yang membuatku
tersadar dari kotornya dunia hitam yang semula ku ge-luti. Sedikit kuberitahukan
Dewa Arak, dulu, sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, aku adalah tokoh besar
dunia hitam yang ditakuti, pada masa sebelum kedatangan Setan Tengkorak Merah dan yang lainlainnya." Darsakala menghentikan ceritanya sebentar, mengusap darah yang membasahi sebagian mulutnya, kemudian mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat duduknya. Arya pun melakukan hal yang sama.
Begitu juga Abiyasa. Bahkan lelaki jangkung itu kini berani mendekat, dan duduk
di dekat mereka berdua.
Abiyasa ingin mendengar sendiri cerita mengenai sepak-terjang gurunya.
"Aku sadar dari dunia hitam karena istriku dan la-hirnya anakku. Aku ingin hidup
tenang, dan tak ingin terlibat lagi dengan kerasnya dunia persilatan. Istriku
yang tak henti-hentinya menasihatiku untuk meninggalkan kotornya dunia hitam,
ditambah lagi dengan
munculnya kesadaran dalam diriku, maka ku boyong
istri dan anakku untuk pergi ke tempat terasing yang jauh dari kerasnya dunia
persilatan. Sayang, masalah datang kembali melibat kehidupan kami, meski kami
sudah hidup tenang selama beberapa tahun."
Arya dan Abiyasa dapat merasakan adanya kepahitan dan kekecewaan besar dalam ucapan Darsakala
kali ini. Tapi, keduanya tak menanyakannya. Mereka
membiarkan saja, dan menunggu kakek kurus kering
itu melanjutkan ceritanya, yang dapat mengungkap
rahasia permusuhannya dengan Empu Jangkar Bumi.
*** 6 "Istriku meninggal karena penyakit yang tak kuketahui. Aku hampir kehilangan
keinginan untuk hidup.
Untungnya, dia sempat berpesan untuk menjaga anak
kami. Maka, ku kuatkan hati dan kupergunakan sisa
hidup untuk mendidik anakku, agar tak menjadi seperti diriku. Aku yakin, kematian atas istriku merupakan hukuman dari Tuhan.
Tapi ternyata hukuman itu
tak hanya sampai di situ. Anak yang ku besarkan ternyata menderita kelainan jiwa. Otaknya kurang waras.
Jadi, sampai besar dia tak mengerti sendiri, mana yang baik dan mana buruk."
Abiyasa dan Arya saling berpandangan ketika Darsakala menundukkan kepala karena kesedihan yang
melingkupi hatinya. Mereka sama sekali tak menyangka akan demikian besar serangan batin yang melanda
lelaki tua itu.
"Sekitar setahun yang lalu, saat putraku sudah berusia dua puluh tahun, untuk
menjadi kawan baginya
ku carikan pemuda desa yang tak mempunyai keluarga. Pemuda baik-baik dan kubawa tinggal di tempatku.
Ku didik dia dengan ilmu-ilmu kepandaian agar dia betah. Sama sekali tak
kusangka kalau aku malah menciptakan masalah baru. Setelah lima tahun berlatih,
pemuda itu mengajak putraku yang tak mengerti apaapa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan
mengandalkan kepandaian dariku. Aku tak tahu apaapa, karena terlalu percaya pada pemuda desa itu."
Arya menghela napas berat. Diam-diam ia merasa
kasihan pada kakek kurus kering yang tak hentihentinya dilanda masalah itu. Arya tahu, Darsakala
bercerita yang sebenarnya. Kebenaran cerita itu bisa Arya rasakan. Paras dan
sinar mata yang memancar
dari wajah Darsakala menyiratkan kesungguhan dan
kebenarannya. Setelah berdiam agak lama, Darsakala kembali melanjutkan ceritanya
"Kenyataan yang menghancurkan hatiku baru aku
ketahui sewaktu aku mendengar bunyi khas pertarungan di sekitar tempatku tinggal. Saat itu aku tengah bersemadi. Rasa ingin tahu
membuatku mendatangi
asal keributan. Dan, kutemui putra dan muridku tengah bertarung dengan seorang kakek sakti yang belakangan kuketahui bernama Empu Jangkar Bumi, gurumu," Darsakala mengalihkan perhatian pada Abiyasa. "Aku tak ingin merendahkan
kepandaian Empu
Jangkar Bumi, dalam cerita ku ini, tapi itu memang
kenyataan sebenarnya. Pertarungan yang berlangsung
itu, kalau berjalan dengan sebenarnya, akan menewaskan Empu Jangkar Bumi...."
"Itu tak terlalu aneh! Bukankah beliau menghadapi pengeroyokan"!" bantah Abiyasa
cepat. "Kelihatannya memang demikian. Tapi itu terjadi karena putraku tak melawan
sepenuh hati. Dia mengeroyok, karena tak ingin temannya tewas. Jadi, pengroyokan yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan
kawannya. Putraku hampir tak pernah melancarkan
serangan, kecuali untuk menolong kawannya. Itu pun
hanya serangan-serangan yang tak terlalu berbahaya.
Abiyasa menggertakkan gigi, geram, mendengar
guru yang dihormatinya direndahkan. Hanya sampai di
situ yang dilakukannya. Karena, ia menyadari kalau
kemampuannya jauh berada di bawah kakek kurus
kering itu. "Asal kalian tahu saja, meski mempunyai kelainan jiwa, bakatnya terhadap ilmu
silat luar biasa besar.
Dalam usia semuda itu semua kepandaianku telah
diserapnya. Bahkan, dia mampu memberikan tambahan-tambahan, membuat ilmu-ilmu yang dimilikinya
jauh lebih dahsyat dari semula. Dan, aku tahu pasti
kalau Empu Jangkar Bumi bukan tandingannya," Darsakala terdiam sejenak, sambil
menarik napas panjang
dan menghembuskannya perlahan.
"Meski demikian, aku yakin, bila ku diamkan terus, kemungkinan ada yang terluka.
Maka, sebelum berla-rut-larut kuhentikan pertarungan itu. Dan, secara
baik-baik kutanya Empu Jangkar Bumi apa yang menjadi penyebab pertarungan itu. Dan, jawaban yang kuterima benar-benar mengejutkan! Murid dan putraku
ternyata telah memperkosa anak Empu Jangkar Bumi!" jelas kakek itu dengan suara meninggi.
Abiyasa tersentak bak disengat kalajengking. Arya
menatapnya tanpa bicara apa pun. Tapi, lelaki jangkung itu tahu kalau sinar mata Dewa Arak mengajukan pertanyaan mengenai benar tidaknya Empu Jangkar Bumi mempunyai anak. Tanpa bicara, Abiyasa
mengangguk. "Saat itu aku benar-benar bingung untuk memberikan keputusan. Butuh waktu beberapa saat sebelum
akhirnya kuizinkan Empu Jangkar Bumi untuk membalas sakit hatinya. Dia kubiarkan bertarung dengan
muridku yang sejak kedatanganku telah ketakutan setengah mati. Dan, dengan disaksikan anakku yang kebingungan melihat keputusan yang kuambil, pertarungan pun berlangsung. Dan, seperti yang sudah kuduga, Empu Jangkar Bumi berhasil membunuh muridku.
Putraku, seperti yang telah kuperhitungkan sebelumnya, kelihatan demikian terpukul. Dia menangis meraung-raung, meratapi mayat kawannya. Untung dengan wibawa yang masih ada, putraku itu bisa ku tenangkan. Aku yang tak menginginkan peristiwa yang lebih tidak menyenangkan itu terjadi lagi, meminta Empu
Jangkar Bumi untuk segera pergi. Kukatakan mengenai penyakit putraku, dan permohonan maaf sebesarbesarnya kepadanya. Dan, aku berjanji untuk lebih
memperhatikan putraku serta menjamin tak akan ada
keonaran lagi, karena tak ada lagi yang memberinya
contoh tak baik. Bahkan, secara diam-diam karena
khawatir diketahui putraku, kukirimkan pesan padanya untuk kembali ke rumah, dan aku akan datang
dan bersedia menerima hukuman darinya. Sayang...."
Detak jantung Abiyasa semakin cepat. Ia memang
tak mendengar cerita seperti ini dari mulut gurunya.
Tapi, ia yakin cerita itu benar. Perlahan-lahan lelaki jangkung itu mulai
mengerti, mengapa Empu Jangkar
Bumi, saat itu mulai berubah menjadi pemurung dan
pendiam! "Kiranya ia sedang menghadapi persoalan," Abiyasa berkata-kata sendiri dalam
hatinya. "Empu Jangkar Bumi rupanya tak mendengar kata-kataku. Dia ingin persoalan diselesaikan saat itu ju-ga. Putraku ingin
dibunuhnya. Terpaksa kukatakan
kalau akulah yang menggantikannya menerima hukuman. Dia bersikeras menolak, dan menganggapku
pengecut. Putraku pun dikatakannya pengecut! Karena
tak ada jalan lain, kubiarkan dia memuaskan keinginannya. Pertarungan dengan putraku pun berlangsung. Dan, seperti yang ku perkirakan, dia tak berdaya. Kalau tak ku cegah, dan hal itu kulakukan dengan susah payah, Empu Jangkar Bumi akan tewas di
tangan putraku. Dia berhasil selamat, tapi beberapa
tahun kemudian kembali dan berusaha membunuh
putraku dan juga diriku. Aku berhasil selamat, sampai sekarang. Tapi putraku
tewas..." Keadaan menjadi hening setelah Darsakala menghentikan ceritanya Abiyasa dan Arya sama-sama tak
tahu harus berkata apa saat itu.
"Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang, Dewa Arak.
Aku takut berubah pikiran lagi dengan janji yang kuucapkan. Selamat tinggal...."
"Selamat jalan Kala..."
Hanya ucapan itu yang diberikan Dewa Arak karena Darsakala telah lebih dulu melesat. Di tempat itu, sekarang yang tinggal
hanya Dewa Arak dan. Abiyasa.
Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
*** "Jadi Empu Jangkar Bumi mempunyai anak,
Kang"!" tanya Arya, setelah terlebih dahulu menghela napas berat.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Lalu..., mengapa hanya kalian bertiga yang melakukan perjalanan ke tempat ini"!
Mengapa putri Empu
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangkar Bumi tak ikut serta"!"
"Dia tak ada di sana, lenyap begitu saja tanpa kami ketahui ke mana perginya
sebelum Guru meninggal.
Bahkan, ketika Guru meninggal pun, dia tak tahu.
Semula aku, Antasena, dan Jembawati tak tahu, mengapa dia meninggalkan kediamannya tanpa pamit.
Hhh...! Aku tak pernah mimpi kalau nasib dirinya demikian buruk, Dewa Arak...," desah Abiyasa sedih,
"Tak seorang pun yang tahu nasib yang menimpanya, Kang. Dan, kita tak bisa menyalahkan kepergian putri Empu Jangkar Bumi. Apa yang menimpanya
terlalu mengerikan...," ujar Arya, ikut prihatin.
Abiyasa mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan Arya.
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan atau dapatkan dl sini, Kang," ujar Arya, setengah mengingatkan.
"Kau benar, Dewa Arak. Tak ada gunanya lagi berada di sini. Lebih baik kalau kita mencari tahu ke
mana perginya orang-orang di tempat ini. Barangkali
saja kita bisa mendapatkan keterangan untuk mengungkap masalah ini, Tapi..., apakah kau tidak ingin beristirahat dulu"!" tanya
Abiyasa agak cemas, karena melihat darah yang masih mengalir di sudut mulut
pemuda berpakaian ungu itu.
"Hanya luka kecil, Kang. Dan, ini bisa ku atasi sambil kita mencari keterangan,"
tolak Arya halus.
Abiyasa tak membantah lagi, selain menyetujui.
Lagi pula, menurut pemikirannya, keterangan itu tak
akan terlalu jauh dari tempat ini. Menurut perhitungannya, penduduk daerah ini pun pasti tahu ke mana
perginya kelompok si Tongkat Halilintar. Tapi, justru ingatan itulah yang
membuatnya berpikiran lain
"Kurasa, sebaiknya besok pagi saja kita meninggalkan tempat ini. Arya. Sebentar
lagi matahari akan
muncul, dan para penduduk akan bermunculan.
Mungkin mereka dapat memberitahu kita tentang kejadian di tempat ini."
"Begitu juga boleh, Kang. Biarlah kupergunakan
waktu yang tersisa untuk mengobati luka dalamku dan
memulihkan tenaga," ujar Dewa Arak menyetujui.
*** Abiyasa menguap lebar-lebar, dan mengerjapngerjapkan matanya ketika sang surya mengenai wajahnya. Meski belum panas, tapi cukup membuatnya
merasa silau dan terjaga dari tidur sebentarnya. Di sebelahnya, Dewa Arak pun
sudah membuka matanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan
semadinya dan menoleh ke arah murid Empu Jangkar
Bumi. "Ada orang yang tengah menuju ke tempat ini...,"
kata Dewa Arak lirih.
"Aku pun mendengarnya, Dewa Arak. Dan, sepertinya orang ini tak terlalu berbahaya, langkah kakinya terdengar jelas oleh
telingaku," timpal Abiyasa tenang.
Lelaki jangkung itu tahu, gerak langkah yang terdengar menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu masih rendah. Dan itu menunjukkan kalau tingkat
kepandaian yang dimilikinya
pun tak tinggi. Setidak-tidaknya, Abiyasa yakin kalau akan dapat menandinginya.
"Kurasa sebaiknya kita bersembunyi dulu, Kang,"
saran Arya. "Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya di tempat Ini. Kalau kita
terlihat, kemungkinan besar ia akan membatalkan maksudnya."
Usai berkata begitu, Dewa Arak melesat ke atas
genteng dan mendarat di sana tanpa suara. Hanya
berbeda sesaat saja, Abiyasa ikut menyusulnya. Dan
dari tempat persembunyian itu, keduanya mengintai
ke arah pintu gerbang.
Tak lama menunggu, daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal dan berat, tiba-tiba bergerak terbuka. Bunyi berderak yang
cukup nyaring dari daun
pintu itu mengiringi langkah masuk seorang lelaki setengah tua berpakaian
sederhana warna coklat.
Arya dan Abiyasa saling berpandangan dengan sinar mata kecewa. Dari pakaian yang dikenakan dan
gerak-geriknya, kedua orang itu bisa menduga kalau
lelaki setengah baya yang baru saja masuk bukan
orang yang terbiasa dengan kerasnya kancah dunia
persilatan Keyakinan Arya dan murid Empu Jangkar Bumi
semakin membesar ketika melihat lelaki berpakaian
coklat itu mengambil sapu lidi yang pada bagian pang-kalnya diikatkan pada
sepotong kayu sepanjang setengah tombak. Tambahan kayu itu membuat sapu jadi
lebih panjang. Dan, dengan sapu di tangan, lelaki setengah baya itu mulai
membersihkan halaman!
"Kurasa tak ada gunanya lagi kita mengintai lebih jauh, Dewa Arak," ujar
Abiyasa, lirih, "Lelaki itu bukan termasuk orang yang mempunyai urusan seperti
kita. Tapi, setidak-tidaknya dia mempunyai hubungan dengan kelompok si Tongkat Halilintar. Mungkin dia bisa memberi keterangan yang
jelas mengenai ketidakberadaan orang-orang di sini," lanjut Abiyasa menambahkan
Arya tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya pertanda setuju. Dan, dengan didahului oleh Abiyasa, kedua orang itu
melompat dan mendarat di tanah. Bunyi yang ditimbulkan kaki Abiyasa, membuat lelaki berpakaian coklat itu menoleh. Pekerjaannya langsung dihentikan. Tapi,
sebelum lelaki itu bertindak
atau berbicara apa pun, Abiyasa sudah mendahului
"Jangan cemas, Sobat. Kami berdua tak bermaksud jahat," ujar Abiyasa ramah.
"Mengapa kalian berada di tempat ini, dan apa
yang kalian inginkan dariku"!" tanya lelaki berpakaian coklat, seraya menatap
Arya dan Abiyasa berganti-panti. Sinar matanya penuh selidik dan kecurigaan.
"Aku dan kawanku ini mendapat perintah dari guruku untuk bertemu dengan pemilik tempat ini yaitu si Tongkat Halilintar. Guruku
adalah sahabat baik beliau," jelas Abiyasa cepat-cepat agar tak terjadi
peristiwa yang tak diharapkan.
"Boleh ku tahu siapa gurumu Sobat?" tanya lelaki setengah baya lagi tanpa
mengurangi perasaan curi-ganya.
"Perlukah itu?" tanya Abiyasa dengan alis bertaut,
karena kurang setuju
"Perlu sekali karena akulah yang diberikan wewenang dan tanggung jawab penuh
dari si Tongkat Halilintar," jawab lelaki berpakaian coklat dengan nada kaku. "Kalau kau tak mau
memberitahu, silakan angkat kaki dari tempat ini!" serunya gusar.
"Baiklah kalau demikian," keluh Abiyasa sambil menghela napas berat. "Tapi aku
ingin tahu, apakah kau mengenal atau setidak-tidaknya tahu sahabat-sahabat si
Tongkat Halilintar"!" tanya Abiyasa ingin tahu.
"Katakan saja, Sobat. Beliau sudah banyak mengatakan padaku mengenai siapa
sahabat-sahabatnya, terutama yang terbaik," kilah si lelaki setengah baya.
"Aku murid dari Empu Jangkar Bumi," Jawab Abiyasa kalem seraya memperhatikan
wajah lawan bicaranya lekat-lekat untuk melihat reaksinya.
Apa yang diharapkan Abiyasa memang terkabul.
Wajah orang yang dipercayakan si Tongkat Halilintar
itu tampak beriak memperlihatkan keterkejutannya.
"Itu belum merupakan jaminan, Sobat," bantah lelaki berbaju coklat itu halus.
"Setiap orang bisa saja menyebut Empu Jangkar Bumi. Dan, hampir setiap
orang tahu kalau empu itu adalah sahabat dari si
Tongkat Halilintar. Kalau kau benar muridnya, katakana siapa nama aslinya," desak lelaki setengah baya itu masih belum percaya.
"Narotama," jawab Abiyasa singkat. "Bagaimana"!
Masih kurang percaya"!"
"Sekarang aku sudah percaya, Abiyasa," ujar wakil si Tongkat Halilintar dengan
suara yang mulai melem-but dan wajah berseri-seri. "Maafkan kalau sambutan-ku
kurang berkenan di hatimu. Tapi, hal itu kulakukan dengan sangat terpaksa. O, ya, panggil saja aku
Sawunggaling," ujar lelaki itu lagi memperkenalkan di-ri. "Tak mengapa, Sawung.
Aku bisa memaklumi
mengapa kau bertindak seperti itu. Sekarang, boleh ku tahu, mengapa tempat ini
sepi"!"
"Mereka semua sudah pergi," jelas Sawunggiling lirih. "Mula-mula rombongan
murid-murid si Tongkat Halilintar yang meninggalkan tempat ini. Mereka
menggunakan kuda dan kereta. Di dalam kereta itu
terdapat seorang wanita muda. Kepergian mereka sangat tergesa-gesa, entah mengapa aku sendiri tak tahu.
Lalu beberapa hari kemudian, si Tongkat Halilintar
pun pergi. Dia hanya berpesan padaku, agar setiap ha-ri menengok tempat ini,
menunggu kedatangan utusan
Empu Jangkar Bumi. Syukurlah kau sudah datang,
sehingga amanat yang membebani ku sirna sudah..."
kata Sawunggaling senang.
"Apakah rombongan si Tongkat Halilintar itu berpakaian seragam coklat, Paman"!"
tanya Arya, ketika Sawunggaling sudah menghentikan ceritanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu teringat pada mayat-mayat yang tubuhnya tercerai-berai, yang
semula merupakan teka-teki baginya. Ia teringat kembali kalau di antara mayat-mayat itu bergeletakan potongan-potongan tongkat besi
dan kayu yang pada salah satu potongannya tergurat gambar kilat
"Benar, Anak Muda. Di samping itu mereka semuanya bersenjatakan tongkat. Murid-murid yang sudah
mencapai tingkatan lebih tinggi bersenjatakan tongkat kayu, sisanya tongkat
besi. Tapi pada bagian tiap
tongkat terdapat guratan bergambar kilat halilintar."
jelas Sawunggaling cepat. Apakah kau bertemu dengan
mereka"!" tanyanya kemudian penuh harap.
Arya tak segera menjawab pertanyaan itu. Ia malah
menghela napas berat dengan wajah menyiratkan kedukaan. Melihat itu, Sawunggaling yang menunggu jawaban dari mulut Arya, dapat menduga telah terjadi
sesuatu yang tak menyenangkan. Sungguh pun demikian sebelum didengarnya sendiri jawaban yang pasti, lelaki setengah baya itu
belum merasa yakin.
"Katakanlah, Anak Muda. Apa yang telah terjadi
atas mereka"! Katakan saja agar hatiku tenang. Percayalah aku telah siap mendengar apa yang akan kau
katakan, sekalipun merupakan berita terburuk," desak Sawunggaling tak sabar.
"Mereka semua telah tewas,' jelas Arya lirih.
Kemudian, secara singkat tapi jelas, pemuda menceritakan semua yang diketahuinya.
Sawunggaling mendengarkan semua cerita Arya.
Tak seluruhnya bisa ditangkap. Sepasang telinganya
memang mendengar, tapi otaknya yang seperti beku
ketika mendengar berita kematian murid-murid Tongkat Halilintar itu, membuatnya seperti orang kehilangan akal.
Sampai Arya menyelesaikan ceritanya, Sawunggaling masih terpaku dengan sinar mata kosong. Tampak
jelas perasaan terpukulnya. Melihat kenyataan ini De-wa Arak segera memberikan
isyarat pada Abiyasa.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan
Sawung. Percayalah, bantuan yang kau berikan besar
artinya buat kami. Sekarang, kami akan pergi untuk
melanjutkan usaha menyingkap rahasia ini. Selamat
tinggal," ujar Abiyasa lambat-lambat dan pelan.
Sawunggaling kelabakan. Ucapan Abiyasa membuatnya tersadar kembali kalau di tempat itu masih
ada orang lain.
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih pada kalian. Dan, harap maafkan sambutan yang
mungkin kurang berkenan. Kudoakan Kalian berhasil
dalam menyingkap rahasia ini," sahut lelaki setengah baya itu terbata-bata.
"Mudah-mudahan, Paman," ujar Arya memberikan tanggapan, sebelum melangkah
meninggalkan tempat
itu diikuti oleh Abiyasa
Tapi, baru beberapa langkah meninggalkan pintu
gerbang, tiba-tiba Dewa Arak menghentikan langkahnya. Abiyasa yang berjalan di sebelahnya, mau tak
mau ikut melakukan hal yang sama. Sepasang mata
murid Empu Jangkar Bumi itu menyiratkan sinar penuh selidik dan keheranan ketika menatap Arya.
"Ada apa, Arya?" tanya Abiyasa tanpa menyembunyikan rasa ingin tahu dan rasa
khawatirnya. Dengan gerak isyarat, Arya meminta Abiyasa untuk
bersabar. Kemudian, tanpa menunggu tanggapan murid Empu Jangkar Bumi itu, Dewa Arak memusatkan
perhatian pada pendengarannya. Kali ini apa yang tertangkap oleh telinganya,
terdengar lebih jelas.
"Aku mendengar suara orang merintih-rintih.
Sayang, suaranya tak begitu jelas. Mungkin masih
jauh juga dari tempat ini. Aku yakin, ada orang yang membutuhkan pertolongan.
Sayangnya, aku tak bisa
melacak asal suara itu," sesal Arya, setengah memberitahu Abiyasa.
"Mengapa mesti bingung, Dewa Arak"! Serukan saja pemberitahuan keras, sehingga terdengar sampai
jauh, dan terdengar oleh orang yang terluka. Kau min-ta dia mengeluarkan bunyibunyian sampai kau dapat
melacak arahnya," usul Abiyasa, setelah berpikir sejenak.
"Iya, kalau orang itu percaya kita berniat meno-longnya, Kang. Bagaimana kalau
orang itu malah menyangka kita, yang meneriakkan pemberitahuan itu,
sengaja menjebaknya"! Siapa tahu, orang itu malah
Misteri Kapal Layar Pancawarna 11 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama