Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Bagian 2
Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka berada.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" Puspa Kenaka yang tidak kuasa menahan
rasa ingin tahunya, langsung mengajukan pertanyaan.
Hampir berbareng, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengiyakan.
Sebuah senyum lebar yang dimaksudkan untuk menenangkan hati Puspa Kenaka,
tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu.
"Rasa-ranya, jumlah mereka tak kalah banyak dari anak buah Buaya Sungai Luwing,"
kata Puspa Kenaka lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah sosok-sosok
yang masih bergeletak di tanah.
"Maksudmu, jumlah mereka sekitar lima belas orang, Puspa Kenaka?"
tanya Melati ingin kepastian.
Puspa Kenaka menganggukkan kepala.
"Kau keliru, Puspa," sergah Melati dengan bibir tersungging senyum.
"Jumlah orang yang tengah menuju kemari, tidak kurang dari lima puluh orang!"
"Ah!" desah Puspa Kenaka penuh keterkejutan bercampur tidak percaya.
Dengan sorot mata ingin meminta kepastian, Puspa Kenaka menatap Dewa Arak.
Sedangkan pemuda berambut putih keperakan yang mengetahui arti
tatapan itu, tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala pertanda membenarkan
ucapan Melati. Baru saja Puspa Kenaka membuka mulut dan siap mengajukan pertanyaan, Dewa Arak
telah menudingkan jari telunjuk ke depannya. Dan ketika Puspa Kenaka menoleh ke
belakang, langsung terjingkat kaget. Kini, tampaklah pemandangan yang berjarak
sekitar sepuluh tombak!
*** 5 Se benarnya, bukan Puspa Kenaka saja yang merasa terkejut. Dewa Arak dan Melati
pun demikian. Hanya saja, sepasang pendekar muda itu mampu menguasai perasaan,
sehingga tidak tampak pada wajah.
Masih dengan raut wajah tidak menunjukkan perasaan apa pun, Dewa Arak dan Melati
menatap ke arah rombongan yang terus bergerak mendekati tempat mereka.
Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka sampai
terkejut karenanya. Ternyata jumlah rombongan yang tengah bergerak mendekati
tempat mereka tidak kurang dari seratus orang! Menilik dari macam-macam pakaian
yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari banyak golongan.
Itulah sebabnya di dalam benak Dewa Arak dan Melati berkecamuk
pertanyaan. Apa tujuan rombongan yang demikian besar itu datang ke sini"
Belum lagi rasa kaget karena jumlah rombongan yang besar itu sima, Dewa Arak kembali
terkejut dan bercampur khawatir begitu melihat gerakan-gerakan mereka.
Memang, sebagian besar rombongan orang berwajah rata-rata kasar itu memiliki
ilmu meringankan lubuh tingkat rendahan. T api, ada beberapa gelintir yang
membuat hati Dewa Arak tercekat. Dan terutama sekali, adalah sosok paling depan.
Gerakannya ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti
tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai
tingkat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat perhatian penuh dari Dewa Arak. Dia
mengenakan pakaian hitam. T ubuhnya kekar dan berotot, selaras dengan wajahnya
yang kasar dan dipenuhi cambang bauk lebat. Rambutnya dikepang satu. Dan pada
bagian ujung rambutnya, terpasang sebuah logam
berbentuk bintang bersegi lima.
Dan di antara semua ciri-ciri itu, yang membuat orang merasa ngeri adalah
sepasang matanya. Bagian yang mengelilingi titik hitam matanya berwarna kuning
muda. Mirip mata seekor kucing!
Hanya dalam sekejapan saja, rombongan itu telah berada di hadapan Dewa Arak,
Melati, dan Puspa Kenaka. Tentu saja laki-laki bermata aneh itu yang tiba lebih
dulu. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki itu adalah
ketua rombongan. Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak
dan rekan-rekannya.
"lkh...!"
Jerit kengerian tertahan keluar dari mulut Melati dan Puspa Kenaka ketika
melihat mata laki-laki berambut kepang itu. T anpa sadar, mereka melangkah
mundur. Sehingga, Dewa Arak-lah yang berdiri paling depan.
Kengerian Melati dan Puspa Kenaka terlihat jelas. Namun raut wajah laki-laki
bermata mengerikan itu sama sekali tidak menggambarkan rasa tersinggung. T
arikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin, tanpa adanya pancaran perasaan apaapa. Dengan raut wajah dingin, dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di
hadapannya. Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Puspa Kenaka. Dan
tatapan itu membuat bulu kuduk merinding! Hanya Dewa Arak yang masih tetap
terlihat tenang. Bahkan balas menatap dan memperhatikan.
"Ha ha ha...!
Mendadak laki-laki bermata mengerikan itu tertawa. Keras bukan
kepalang, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai
ada halilintar. Bisa diduga kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam. Yang lebih hebat lagi adalah akibat yang menimpa orang-orang yang berada di
situ. Se bagian besar dari mereka langsung merasakan kedua lututnya lemas,
seiring keluarnya suara tawa itu. Bahkan langsung jatuh terduduk!
Hanya beberapa orang saja yang mampu bertahan. Mereka adalah Dewa Arak, Melati,
dan beberapa orang anak buah laki-laki bermata mengerikan itu.
"T idak salahkah penglihatanku" Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda Sombong"!" tegur
laki-laki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukanku yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh
kutahu, siapa namamu" Dan, mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari"!"
masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku" Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa Arak" Ha ha ha...!
Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar kepala, heh"! Kau tahu,
dengan siapa berhadapan sekarang"! Akulah si Mata Malaikat! Raja dari semua
tokoh golongan hitam yang ada di seluruh jagat ini! Kau dengar"!"
jawab laki-laki bermata mengerikan itu yang ternyata berjuluk si Mata Malaikat
Agak berubah paras Dewa Arak ketika mendengar jawaban bernada keras dari si Mata
Malaikat. Apalagi julukan Mata Malaikat telah cukup lama didengarnya. Menurut
berita, tokoh itu belum lama muncul. Paling lama baru dua tahun. Namun dalam
waktu demikian singkat telah mampu menggegerkan dunia persilatan! Hal itu karena
tindakannya amat menggegerkan dunia persilatan. Hampir tidak ada hari yang
dilewatinya tanpa pertempuran. Dan hebatnya, semua lawan dikalahkannya. Yang
tunduk dijadikan anak buah, sedangkan yang membangkang dibunuh!
Itulah sebabnya, bukan hal yang aneh kalau dunia persilatan geger.
Apalagi, ketika Mata Malaikat seorang diri menghancurleburkan perguruanperguruan silat beraliran putih. Maka julukannya semakin membubung tinggi dan
ditakuti. Sementara itu, Dewa Arak tidak mau berlama-lama tenggelam dalam alun pikirannya.
"Kau mengejekku, Mata Malaikat. Kalau dibanding julukan yang kau sandang, apa
sih artinya julukan Dewa Arak yang baru berusia se umur jagung"!" sambut Dewa
Arak merendah. "T idak usah sok merendah, Dewa Arak! Kau telah melukai anak buahku, berarti
telah menantangku. Maka bersiaplah untuk menerima balasannya!"
sergah si Mata Malaikat, tak sabar.
"Kau yang menjual, Mata Malaikat. Dan aku pembelinya. Maka tantanganmu kuterima.
Pantang bagiku menolak tantangan. Lagi pula, aku memang bermaksud melenyapkanmu
selama-lamanya. T elah kudengar sendiri sepak terjangmu selama ini. Dan aku
berkewajiban untuk menanggulanginya!"
jawab De wa Arak mantap dan tegas.
"T utup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Mata Malaikat keras. "Ayo! Kalian tangkap
kelinci-kelinci muda itu!"
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Mata Malaikat langsung menerjang Dewa
Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, sehingga berbentuk
setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya, dilancarkannya serangan ke arah
leher dan bawah hidung Dewa Arak.
Wut, wut, wut! Deru angjn keras terdengar bersamaan dengan meluncurnya serangan itu.
Dan ini menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Namun, Dewa Arak mengetahuinya, sehingga tidak berani bertindak gegabah.
Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di
udara. Maka, serangan Mata Malaikat hanya mengenai tempat kosong T api, Mata
Malaikat tidak berdiam diri saja melihat serangannya berhasil dielakkan Dewa
Arak. Dalam keadaan masih berada di udara, tubuhnya menggeliat. Gila! Meskipun
tidak ada tempat berpijak, tubuhnya mampu melenting ke depan untuk menyusul
tubuh De wa Arak. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya kembali diluncurkan
ke arah dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan lawannya. Diperhitungkan kalau
sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu
mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan
itu. Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya kedepan untuk memapak serangan yang tengah
meluncur ke arahnya. Dan....
Prattt! Seketika terdengar suara gaduh seperti ada dua benda berat beradu, ketika dua
pasang tangan berbenturan. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat
itu sampai bergetar hebat!
Dan akibatnya, Dewa Arak dan Mata Malaikat sama-sama terjengkang ke belakang.
Namun berkat kepandaian masing-masing yang sudah mencapai tingkatan tinggi,
bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkannya.
Baik Dewa Arak maupun Mata Malaikat sama-sama berjumpalitan
beberapa kali di udara, mempergunakan daya lempar tubuh mereka.
Jliggg! Hampir pada saat yang bersamaan, Dewa Arak dan Mata Malaikat
mendaratkan kedua kakinya di tanah, ringan laksana sehelai daun. Kini, mereka
berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak.
*** Di saat Dewa Arak dan Mata Malaikat saling berpandangan seperti hendak mengadu
kemampuan lewat pancaran sinar mata, Melati dan Puspa Kenaka mulai dihampiri
anak buah Mata Malaikat. Sementara sebagian dari mereka menolong yang terluka.
Melati tahu, Puspa Kenaka bukan orang lemah. T api disadari pula kalau kemampuan
yang dimiliki gadis berpakaian jingga itu hanya sekadarnya saja.
Malah mungkin hanya mampu untuk menghadapi tiga orang anggota
gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya. Karena itulah, Melati
segera melangkah maju. Sehingga, kini berada di depan Puspa Kenaka untuk
melindunginya. "He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari
yang molek-molek," kata salah seorang dari empat
anggota gerombolan yang berada di barisan terdepan.
Kulit wajah orang itu hitam kelam seperti arang. Sebuah rompi yang terbuat dari
kulit beruang membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat wajah cantik, Setan Kecil Muka Hitam,"
cela laki-laki berkepala botak. T ubuhnya gemuk, dan perutnya gendut.
"Kalau tidak memiliki sikap seperti itu, mana mungkin dia berjuluk Setan Kecil
Muka Hitam, Setan Botak"." timpal rekan lainnya yang tubuhnya tinggi besar
melebihi manusia biasa.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak salah, Setan T enaga Raksasa,"
sambung orang terakhir. T ubuhnya tinggi kurus, laksana galah. Anehnya, wajahnya
tertutup sebuah topeng tengkorak kepala manusia.
Semua pembicaraan itu dikeluarkan dengan suara keras, sehingga Melati dan Puspa
Kenaka yang dijadikan pokok pembicaraan mendengarnya.
Dan Melati jadi terperanjat ketika mendengar sapaan mereka satu sama lain.
Betapa tidak" Julukan-julukan tiga di antara mereka sudah pernah didengarnya.
Mereka terkenal sebagai datuk-datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata
angin! Kesaktian dan kekejaman tokoh-tokoh itu sudah terkenal di wilayah masing-masing.
Selama belasan tahun, mereka telah bercokol di tempat kekuasaannya
tanpa ada yang mampu mengalahkan. Dan karena kekejamannya, masing-masing tokoh mendapat julukan setan. T idak aneh, meskipun
orang terakhir belum disapa rekan-rekannya, tapi Melati sudah bisa
menduga. Siapa lagi kalau bukan Setan Muka T engkorak.
Dan begitu telah tahu tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati segera
meningkatkan kewaspadaan. Maka seketika seluruh urat syarafnya menegang,
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, keempat
lawannya seperti tidak ingin terburu-buru
melancarkan serangan. Sikap mereka menunjukkan kalau Melati sama sekali tidak
dipandang sebelah mata.
"Rasanya terlalu berlebihan kalau kita maju bersama-sama. Lebih baik, kalian
semua menyingkir dan biarkan aku menundukkan wanita pemberani ini," usul Setan
Kecil Muka Hitam pada rekan-rekannya.
"Kau maunya memang selalu enak sendiri, Setan Kecil," cela Setan Botak yang
rupanya gemar berbicara. "Tapi, baiklah. Aku mengalah. Hanya ingat, Setan Kecil.
Wanita ini bukan makanan empuk."
Usai berkata demikian, Setan Botak berbalik dan menyingkir dari situ.
Dengus penuh ejekan dari Setan Kecil Mulia Hitam terdengar mengiringi ayunan
langkahnya. Namun Setan Botak sama sekali tidak mempedulikannya.
Dan langkahnya terus saja terayun. Kini hanya Setan Muka Tengkorak yang masih
berdiri di situ.
"Mengapa kau tidak menyingkir juga, Setan Muka T engkorak?" tanya Setan Kecil
Muka Hitam bernada teguran.
"Hmh! Kau lupa atau memang dungu, Setan Kecil. Ada dua wanita di sini.
Dan wanita yang satu lagi adalah bagianku!"
Setan Kecil Muka Hitam tidak menyambuti ucapan itu. Disadari, alasan yang
diajukan Setan Muka Tengkorak tidak keliru. Apalagi hatinya belum yakin akan
mampu menundukkan Melati dalam waktu singkat. Dan dia tahu, Melati bukan orang
sembarangan. Sorot mata Melati yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam
gelap, merupakan satu bukti kalau tingkat kepandaiannya sangat tinggi.
Sementara itu, Melati tahu kalau Setan Muka T engkorak mendapat kesempatan
menyerang Puspa Kenaka. Dan tentu saja gadis itu mudah ditundukkan. Dan itu
tidak bisa dibiarkan terjadi. Maka sebelum datuk bertubuh tinggi kurus itu
melancarkan serangan, dialah yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!"
Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading
itu membuka serangan ke arah Setan Muka T engkorak dengan jurus
'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dia melompat menerjang lawannya. Dan selagi berada
di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju tidak
tanggung-tanggung lagi. Pelipis!
Wuttt! "Hebat," puji Setan Muka T engkorak.
Datuk tinggi kurus ini benar-benar mengagumi serangan Melati yang tidak bisa
dipandang ringan. Dari deru angin keras yang mengiringi serangannya, sudah bisa
diperkirakan kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Setan Muka T engkorak menjadi gentar.
Malahan tanpa ragu-ragu, kibasan kaki Melati dipapaknya dengan tangan kiri.
Dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Plakkk! Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun
tidak terelakkan lagi. Dan akibatnya, Melati yang berada di udara jadi terpental
balik ke belakang. Sedangkan Setan Kecil Muka Hitam terhuyung-huyung. Namun
dengan gerakan manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini
berhasil mematahkannya.
Jliggg!
Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu Setan Muka T engkorak berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya, kedua kaki
Melati hinggap di tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" dengus Setan Muka T engkorak bernada memuji.
Pujian itu tampaknya keluar dari lubuk hati Setan Muka T engkorak. Dan hal itu
bukan tanpa alasan. Buktinya tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati
terasa kesemutan. Bisa diperkirakan tenaga dalam yang dimiliki kekasih Dewa Arak
itu tidak berada di bawahnya.
T api sebelum Setan Muka T engkorak sempat melancarkan serangan balasan, Setan
Kecil Muka Hitam telah mendahuluinya. Datuk berwajah hitam itu langsung
mengirimkan serangan berupa cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit! Decit angin tajam dari udara yang terobek serangan Setan Kecil Muka Hitam
menjadi bukti nyata, betapa bahayanya serangan yang dikirimkannya.
Namun Melati bukan wanita kosong. Bahkan waktu pertama kali muncul di dunia
persilatan, julukan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia
persilatan. Maka menghadapi serangan seperti itu, dia tidak menjadi gugup. Buruburu kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkah tubuh.
Dan hasilnya memang seperti yang diharapkan. Serangan Setan Kecil Muka Hitam
hanya mengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran.
Setan Kecil Muka Hitam sudah menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan
serangannya. Maka begitu serangannya
gagal, kembali dikirimkan serangan susulan. T entu saja Melati pun tidak tinggal diam. Maka
terjadilah pertarungan sengit yang tidak bisa dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan yang berlangsung antara Melati
melawan Setan Kecil Muka Hitam. Sehingga, Setan Muka T engkorak sampai terlupa
dengan maksudnya semula, menangkap Puspa Kenaka.
Dijauhinya kancah pertarungan, dan menonton seperti halnya Setan Botak, Setan T
enaga Raksasa, dan yang lainnya.
Melati tahu, keadaan sama sekali tidak menguntungkan. Maka tanpa ragu-ragu lagi
segera dikeluarkannya ilmu andalan yang bernama 'Cakar Naga Merah'. Hal yang
sama pun dilakukan Setan Kecil Muka Hitam. Langsung dikeluarkannya
jurus 'Harimau'
yang dimilikinya.
Hal ini membuat pertarungan yang berlangsung jadi menarik bukan kepalang.
Sementara itu di arena pertarungan lainnya, pertarungan antara Dewa Arak melawan
Mata Malaikat berlangsung tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama
memiliki kepandaian amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima belas jurus.
Namun selama itu, masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan
ilmu andalan. Meskipun demikian, pertarungan yang berlangsung tidak kalah seru.
T ak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. Jurus demi jurus berlangsung
secara cepat, karena gerakan dua tokoh yang tengah bertarung itu memang cepat.
Bahkan jalannya pertarungan pun tidak bisa dilihat jelas oleh orang-orang yang
berkepandaian lebih rendah. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan
ungu yang saling belit, tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Mata Malaikat, Dewa Arak sesekali masih sempat
mengalihkan perhatian pada Melati dan Puspa Kenaka. Dan hasil dari pengamatannya
sekilas, menumbuhkan perasaan
khawatir di harinya. Disadarinya kalau keadaan tidak menguntungkan, begitu melihat lawan berada di
atas angin. Dengan jelas Dewa Arak melihat kalau Melati tetap saja belum mampu mendesak
lawannya. Padahal, jelas-jelas terlihat kalau gadis berpakaian putih itu telah
mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dari sini bisa dilihat kalau
lawan yang dihadapi Melati memiliki kepandaian tinggi.
T entu saja hal ini membuat Dewa Arak tidak tenang. Menghadapi satu orang lawan
masing-masing saja, dia dan Melati belum mampu berbuat banyak setelah sekian
lamanya. Padahal, di belakang masih menunggu calon lawan-lawan lainnya yang
memiliki kepandaian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama,
Dewa Arak Melati, dan Puspa Kenaka dalam bahaya besar.
Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk
menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka.
"Hih!"
Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang,
kemudian bersalto. Dan di saat itulah pemuda berambut putih keperakan ini
menghentakkan kedua tangannya ke arah Mata Malaikat, melepaskan jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss! Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Mata
Malaikat. Laki-laki bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. T api dengan
ketenangan mengagumkan, tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian berguling. Maka
serangan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong.
Namun, Dewa Arak memang tidak memikirkan keberhasilan serangannya yang memang
dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh lawannya masih
bergulingan di tanah, dia melompat menerjang Setan Kecil Muka Hitam.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa Arak cepat mengirimkan sebuah
serangan. Laksana seekor garuda yang tengah menerkam mangsa, diserangnya Setan
Kecil Muka Hitam.
Setan Kecil Muka Hitam terkejut bukan kepalang. Saat itu, serangan maut Melati
baru saja dihindarinya. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk
mengelak. T erpaksa serangan yang dilancarkan Dewa Arak dipapaknya dengan
sampokan kedua tangannya.
Prattt! "Akh!"
Setan Kecil Muka Hitam terpekik, karena perasaan kaget. Betapa tidak"
T ubuhnya kontan terpelanting. Bahkan kedua tangannya terasa sakit, seperti
lumpuh akibat benturan tadi.
Namun, tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Bahkan ketika hinggap di tanah,
kedua kakinya langsung digenjot. Sehingga tubuhnya kembali melenting ke udara
dengan manisnya. Hanya saja kali ini arahnya tertuju pada Puspa Kenaka.
"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak.
Dan.... T appp! Secepat pergelangan tangan Puspa Kenaka dicekal, secepat itu pula diba wanya
pergi dari situ. Sedangkan Puspa Kenaka meskipun terkejut, namun sama sekali
tidak meronta. Dibiarkan saja tindakan yang dilakukan Dewa Arak.
Sementara itu, Melati langsung mengetahui maksud kekasihnya. Maka tanpa
membuang-buang waktu, kakinya segera digenjot. Seketika tubuhnya melesat cepat
mengikuti Dewa Arak.
Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan Setan Muka T engkorak, serta semua anak
buah gerombolan Mata Malaikat bergerak mengejar. Tapi, baru juga be berapa
langkah.... "T ahan!"
Seketika itu pula semua ayunan langkah kaki terhenti. Dan tentu saja mereka
semua tahu siapa orang yang mengeluarkan bentakan tadi, kalau bukan Mata
Malaikat. Mau tak mau mereka harus mematuhinya.
"Biarkan mereka pergi," kata Mata Malaikat lagi. "T idak usah dikejar. Kita
masih punya urusan yang lebih penting. Dan cecoro-cecoro itu bisa diurus
belakangan."
Seketika itu pula, semua kepala yang berada di situ sama-sama terangguk.
"Nah! Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan yang tertunda," kata Mata
Malaikat lagi. Seiring selesai
ucapannya, Mata Malaikat mengayunkan langkah
meninggalkan tempat itu, diikuti datuk-datuk dari empat penjuru dunia
persilatan. Berjalan di belakang keempat orang ini, adalah anak buah Mata
Malaikat. *** 6 "Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas berat, Dewa Arak menghentikan larinya.
Kelihatannya dia telah cukup jauh berlari dari tempat semula. Kini cekalannya
pada tangan Puspa Kenaka dilepaskan.
"Berbahaya sekali...."
"Kau benar, Kang," sambut Melati, setelah juga menghentikan larinya.
"Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Rombongan tokoh aliran
hitam itu pergi berbondong-bondong dalam jumlah yang besar. Entah, apa yang
mereka cari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk Garuda Mata
Satu," celetuk Puspa Kenaka.
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan kepala.
'"T api rasanya janggal juga. Masak, hanya untuk mencari Garuda Mata Satu, pergi
berbondong-bondong begitu?" bantah Arya kurang setuju.
"Dugaanku, seharusnya mereka berpencar dan membuat kelompok-kelompok.
Karena dengan cara seperti itu, sudah pasti buruan akan lebih mudah ditemukan."
Puspa Kenaka langsung diam. Memang benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Bahkan
Melati juga terlihat mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menyetujui.
"Lalu, apa yang akan dikerjakan rombongan orang itu?" tanya Puspa Kenaka.
Se benarnya, pertanyaan seperti itu tidak patut dikeluarkan. Masalahnya, Arya
dan Melati sendiri tengah memikirkannya. Namun Dewa Arak bersikap bijaksana,
tanpa mencela pertanyaan yang dikeluarkan gadis berpakaian jingga itu.
"Aku sendiri tidak tahu, Puspa. T api yang jelas, dunia persilatan pasti akan
geger. Bahaya besar telah mengancam. Aku tidak percaya, kalau rombongan yang
dipimpin Mata Malaikat itu tidak mempunyai tujuan."
"Hhh...!"
Melati menghela napas berat. Dirasakan adanya nada kekhawatir yang amat sangat
dalam ucapan kekasihnya.
"Kau benar, Kang. Gerombolan itu benar-benar berbahaya. Dengan jumlah sebanyak
itu, mereka bisa melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan besar,"
sambut Melati. Arya tidak langsung menanggapi ucapan Melati. Dia termenung sejenak, dengan dahi
berkernyit dalam.
"Siapa pun adanya Mata Malaikat itu, yang jelas mempunyai sebuah keinginan
besar. Kalau tidak, untuk apa mempunyai demikian banyak anak buah"!"
"O, ya. Kau tahu empat orang yang tadi menghampiriku dan Puspa Kenaka, Kang?"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mendengar pembicaraan mereka?" tanya Melati, lebih penasaran.
"Sayang sekali, Melati. Saat itu aku tengah bertarung dengan Mata Malaikat
sehingga tidak sempat memperhatikan. Apalagi, saat itu kulihat kau belum
bertarung. Jadi, perhatianku terpusat pada Mata Malaikat." jelas Arya,
mengandung penyesalan.
"Mereka adalah datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru angin, Kang," jelas
Melati penuh semangat. "Yang bermuka hitam, datuk dari timur.
Yang tinggi kurus, datuk dari barat. Yang berkepala botak, datuk dari selatan.
Se dangkan yang terakhir datuk dari utara."
"Ah!" desah Arya kaget.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang terkejut bukan kepalang, karena nama
besar datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru mata angin itu sudah kerap
didengarnya. Jadi, tadi Melati menghadapi salah seorang di antaranya" Pantas
mereka demikian lihai! Desis Arya dalam hati.
"Kalau begitu, hal ini bukan merupakan urusan kecil lagi, Melati. Sudah amat
berbahaya! T idak mungkin Mata Malaikat menundukkan datuk-datuk golongan hitam
di empat wilayah itu kalau tidak mempunyai sebuah tujuan besar!" duga Arya
dengan nada suara semakin terdengar penuh kegelisahan.
"Mungkinkah rombongan itu hendak menyerbu kerajaan, Kang?" terka Melati.
"Dugaanmu mempunyai dasar kuat, Melati. Aku juga menduga seperti itu.
T api, kerajaan mana yang akan diserbu. Begitu banyak kerajaan dan kadipaten
yang dapat mereka tempuh dari tempat pertarungan kemarin. Hhh...! Sulit
menebaknya."
Melati pun diam. Sementara, Arya menghentikan ucapannya. Puspa
Kenaka yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar saja, belum juga
membuka suara. Dan kini suasana di sekitar tempat itu pun hening.
"Kunci satu-satunya hanya pada Garuda Mata Satu. Aku yakin, dia mengetahui
rencana Mata Malaikat, sehingga dicari-cari. Gerombolan orang
berseragam coklat dan gerombolan Buaya Sungai Luwing telah menjadi bukti, betapa
Mata Malaikat amat menginginkan Garuda Mata Satu ditangkap.
Padahal, untuk apa sih seorang Garuda Mata Satu bagi Mata Malaikat" Aku yakin
kepandaiannya tidak terlalu berarti. Bahkan mungkin tidak berbeda jauh dengan
Buaya Sungai Luwing. Jadi, masih amat jauh di bawah empat datuk itu," urai Arya
panjang lebar. "Kau benar, Kang. O, ya. Apakah tidak sebaiknya kita mencari Garuda Mata Satu?"
Lagi-lagi Arya tidak langsung menjawab. Dia tercenung, dengan sepasang mata
menerawang jauh ke langit.
"Bagaimana kita harus mencarinya, Melati. Kita buta sama sekali tentang ciricirinya. Andaikata bertemu pun, mungkin kita tidak mengenalinya," sahut Arya.
"Mengapa kau begini bodoh, Kang," cela Melati. "Kita bisa saja toh, mencari
beritanya di sepanjang perjalanan."
Dewa Arak tersenyum sabar. "Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam benakku,
Melati. Tapi bagaimana dengan rombongan Mata Malaikat"
Haruskah kita mencari Garuda Mata Satu, dan kita biarkan gerombolan Mata
Malaikat merajalela?"
Kontan Melati menutup mulutnya dengan wajah memerah. Hal seperti itu sama sekali
tidak terpikirkan olehnya.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus asa.
"Boleh aku bicara, Kang Arya, Melati," celetuk Puspa Kenaka, hati-hati.
Diliriknya wajah pemuda berambut putih keperakan itu sekejap. Memang sejak
pertemuan pertama, Puspa Kenaka telah menaruh hati pada Dewa Arak.
Hanya saja, hal itu mampu disembunyikannya. Namun diam-diam matanya selalu
mencuri pandang wajah Arya bila ada kesempatan.
Bagai diberi perintah, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda
membolehkan. "Sebelumnya aku terlebih dulu meminta maaf. Bukannya aku sok pintar atau memihak
salah satu di antara kalian berdua, tapi hanya ingin mengajukan pendapat saja,"
ucap Puspa Kenaka, hati-hati sekali.
"Katakanlah, Puspa. T idak usah ragu-ragu. Kami bukan anak-anak kecil yang mudah
marah oleh hal-hal sepele," sambut Arya memberi jaminan.
"T erima kasih, Kang Arya," ucap Puspa Kenaka yang membuat sebelah alis
Melati naik ke atas.
Entah mengapa bila ada gadis lain, apalagi yang memiliki wajah cantik, memanggil
kekasihnya seperti itu, hati Melati jadi terasa panas.
"Begini, Kang Arya, Melati. Kalau menurut pendapatku, memang lebih baik kita
mencari Garuda Mata Satu lebih dulu..."
"Kita?" potong Melati cepat "Jadi, kau juga akan ikut dengan kami?"
Wajah Puspa Kenaka kontan memerah mendengar ucapan Melati yang
tiba-tiba. Bahkan Arya sendiri pun terkejut mendengar ucapan kekasihnya.
Sampai-sampai pandangannya dialihkan ke arah Melati.
Seperti juga Melati, Dewa Arak merasa keberatan kalau Puspa Kenaka terus berada
bersama mereka. Bagaimanapun juga, menempuh perjalanan hanya berdua dengan
Melati, jauh lebih nikmat. Namun, Arya tidak sampai hati untuk mengutarakan
keberatannya pada Puspa Kenaka. Maka karuan saja, Dewa Arak merasa kaget
mendengar Melati menunjukkan keberatannya. T api sebelum dia sempat berkata apaapa, Puspa Kenaka telah mendahuluinya.
"Melati.... Maksudku..., nggg.... Aku..., aku tidak bermaksud demikian.
Dan, eh! Kalau kalian merasa keberatan, biarlah aku pergi."
Setelah terbata-bata mengucapkan kata-kata, Puspa Kenaka berbalik.
Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian, kakinya melangkah meninggalkan Dewa Arak dan Melati.
Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam.
"Puspa! T unggu sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara; Melati hanya diam saja. Gadis berpakaian putih ini masih merasa
bingung harus berbuat apa.
"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya pada Melati, ketika melihat Puspa Kenaka
sama sekali tidak mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya,
ditatapnya wajah Dewa Arak. Ada sorot penentangan di sana.
"Rupanya, kau telah terpikat oleh kecantikannya, Kang"! Mengapa tidak kau saja
yang mengejarnya"!" tandas Melati, berapi-api dibakar rasa cemburu.
"Heh"! Mengapa kau berkata demikian, Melati!" Kau ingin pertolongan kita
terhadapnya sia-sia" Dengan bekal kepandaian seperti itu, keselamatannya akan
selalu terancam. Kau tahu sendiri kan, kerasnya dunia persilatan?"
Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan. Meskipun ada nada teguran di dalamnya,
tapi terdengar halus. Hanya saja, Melati masih tetap diam.
Meskipun disadari akan adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya, tapi perasaan
cemburu membuatnya tidak langsung membenarkan kata-kata Arya.
"Percayalah, Melati. Puspa Kenaka tidak akan lama ikut dalam perjalanan bersama
kita. Nanti kita akan menitipkannya di tempat yang aman," lanjut Arya penuh
kesabaran. Dewa Arak memang sudah bisa menduga, mengapa kekasihnya bertindak
seperti itu. "Maukah kau mencegahnya, Melati?"
Sambil berkata begjtu, Arya mengulurkan tangannya membelai rambut Melati.
"Huh! Kau memang paling pintar membujuk orang!" dengus Melati pura-pura marah.
Kemudian, gadis itu melesat mengejar tubuh Puspa Kenaka yang sudah berada di
tempat yang agak jauh.
"Ha ha ha...!"
Arya hanya tertawa lunak. Dipandanginya punggung Melati yang telah berada
beberapa tombak di depannya.
*** Melati mengerutkan alis ketika tidak menjumpai adanya Puspa Kenaka.
Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian jingga itu tadi dilihatnya menerobos
bagian semak-semak yang lebat karena tertutup akar gantung dari sebuah pohon.
Memang, Melati kini berada di se buah perkebunan yang cukup luas yang banyak
ditumbuhi semak dan pepohonan di sana sini.
Kembali Melati mengedarkan pandangan berkeliling. Namun tetap saja tidak melihat
keberadaan Puspa Kenaka. Mustahil gadis berpakaian jingga itu bisa lenyap
demikian cepat. Dan kini tak jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara
di kanan dan kirinya penuh pohon berduri. Melati yakin, bila Puspa Kenaka terus
melarikan diri bakalan terkejar. T api kesimpulannya, gadis berpakaian jingga
itu sengaja menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati segera memusatkan pendengarannya. Dia yakin,
apabila Puspa Kenaka masih berada di situ, setidak-tidaknya desah napasnya akan
terdengar. Usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Buktinya, kini terdengar suara desah napas
yang asalnya dari atas pohon! Kenyataan ini tidak mengejutkan Melati, kalau saja
tidak mendapat kenyataan lain. Desah napas yang didengarnya, tidak berasal dari
satu orang! Dan ternyata, paling sedikit berjumlah tiga orang! T idak salahkah
pendengarannya"
Didorong oleh rasa penasaran, membuat Melati mengarahkan pandangan ke arah pohon
tempat suara desah napas itu berasal. T api baru saja
menengadah.... Brrr! Seketika debu-debu halus menyambar ke arah wajah Melati. Dan dengan gerak cepat,
gadis berpakaian putih ini menolehkan kepala ke samping, serta melindungi bagian
wajah dengan kedua tangan. Mau tak mau. Melati juga memejamkan kedua matanya dan
hanya pendengarannya yang kini digunakan.
Maka saat itu sepasang telinganya menangkap suara-suara mendesing nyaring yang
menyambar dari beberapa arah.
Melati terkejut bukan kepalang, karena berada dalam keadaan sulit. Adalah
merupakan perbuatan yang tidak mungkin untuk membuka matanya, kalau tidak ingin
debu-debu yang masih tersebar di udara itu akan masuk ke dalam matanya. Dan
tentu saja Melati tidak menginginkan hal itu terjadi.
Itulah sebabnya Melati cepat memutuskan untuk menghadapi serangan tanpa membuka
matanya. Perhatiannya dipusatkan pada kedua telinganya.
Dan bagi seorang yang memiliki kepandaian tinggi sepertinya, untuk melakukan hal
demikian bukanlah pekerjaan sulit.
Dari suara deru angin yang mengiringi tibanya serangan, Melati sudah tahu
arahnya dan seberapa kuat tenaga dalam orang yang mengirimkannya. Dan atas
penilaian yang didapat, tanpa ragu-ragu lagi dia segera bertindak.
Melati tidak mau bertindak sembrono. Padahal, dia tahu kalau tenaga dalam orang
yang mengirimkan serangan-serangan gelap itu tidak berapa kuat.
Bahkan kalau ditangkis, kedua tangannya tidak akan terluka. Sekalipun, andaikata
benda-benda yang meluncur itu terdiri dari benda-benda tajam!
Maka, sekuat tenaga diusahakannya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang.
T api serangan yang meluncur ke arahnya terlalu banyak dan demikian bertubitubi. Akhirnya, sebuah serangan yang menuju ke arah leher tidak bisa
dielakkannya. Maka, mau tak mau serangan itu terpaksa dipapak dengan sampokan
tangan kanannya. Dan....
Darr! Melati terjingkat ke belakang bagai orang disengat ular berbisa. Betapa tidak"
Benda yang dikirimkan lawan ternyata meledak ketika berbenturan dengan
tangannya! Seketika itu pula, rasa sakit dan ngilu menjalari tangan.
Begitu menyengat!
Belum lagi Melati sempat berbuat sesuatu, hidungnya mencium bau amis yang
memuakkan dan memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan
seluruh tubuh lemas. Seketika itu pula, Melati langsung tahu apa yang terjadi.
"Racun...," desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik!"
T api, Melati tidak bisa menghamburkan amarahnya. Gadis itu masih merasakan
sakit pada tangannya yang masih menyengat. Apalagi ditambah rasa pusing dan
lemas. Dan kini, tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari.
Dalam keadaan terhuyung, Melati memutar otak mencari asal racun itu.
Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah bisa diketahui dari mana asalnya.
Dan ternyata, asalnya tak lain dari benda yang meledak tadi ketika berbenturan
dengan tangannya!
Jliggg! Saat Melati dalam keadaan masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang
mengirimkan benda-benda beracun itu mendaratkan kaki di tanah.
Ketika akhirnya berhasil berdiri, meskipun tidak tegak, Melati berusaha
melebarkan sepasang matanya. Dia ingin tahu orang-orang yang telah membokongnya.
Memang, suasana untuk membuka mata saat itu sudah aman.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak mampu
melihat jelas para penyerangnya. Wajah mereka tampak berbayang-bayang. Bahkan
jumlah mereka pun sukar dihitung.
"Celaka," desis Melati pelan.
Disadari kalau hal itu akibat pengaruh racun lawannya. Dan ini membuat Melati
cemas. Apalagi ketika tubuhnya terasa semakin melemas.
Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengerahkan tenaga dalam.
Namun, hasilnya malah membuat kecemasannya bertambah. Betapa tidak"
Rasa pusing yang melanda semakin membesar, ketika hal itu dilakukan.
Keadaan di sekitarnya seperti berputar, sehingga tanpa sadar dia memegangi
kepalanya. "Ha ha ha...! Lihat! Kuda betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
T erdengar oleh Melati salah seorang dari para pembokongnya berbicara, dan
langsung disambut tawa rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya kita. Yang diburu garuda tua dan telah ompong giginya, tapi
yang didapat malah dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...!
Sungguh menggembirakan hati," sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Puspa Kenaka
bisa raib begitu saja. Rupanya, gadis berpakaian jingga itu telah ditangkap
gerombolan pembokong yang berada di atas pohon.
Sementara itu, para pembokong Melati yang ternyata berjumlah tiga orang
itu terus menghampiri Melati. Sikap mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa
kewaspadaan sama sekali. Hal ini menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap
Melati sebagai gadis berbahaya.
Sikap ketiga orang yang rata-rata berpakaian merah dan berwajah mirip satu sama
lain itu bukan tanpa alasan sama sekali. Mereka semua telah yakin akan keampuhan
racun yang dimiliki Dan kelihatannya, keyakinan itu sama sekali tidak keliru.
Semakin lama, keadaan Melati semakin parah. Bahkan rasanya sudah tidak mampu
berdiri tegak lagi. T ubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. Sudah dapat
dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi Melati akan roboh sendiri.
"Manusia-manusia keji! Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar
adanya bentakan keras.
Dengan pandangan yang telah semakin mengabur, Melati mencoba
mengenalinya. Dan kalau menilik dari ucapannya, pemilik suara itu bermaksud
menolong dia dan Puspa Kenaka. T api, Melati tidak mampu mengenalinya. Yang
terlihat hanyalah sosok tubuh tidak jelas, berwarna kecoklatan. T ak lama
kemudian, semuanya gelap pekat. Dan saat itu pula, Melati telah pingsan, ambruk
di tanah. Melati sama sekali tidak sadar kalau begitu tubuhnya roboh, sosok bayangan
coklat itu telah berdiri berhadapan dengan tiga orang berpakaian merah yang
memiliki wajah dan potongan tubuh mirip. Mereka mempunyai wajah mirip raksasa,
tapi tubuh yang dimiliki kerdil.
"Rupanya kau, Garuda Mata Satu!" kata salah seorang dari tiga raksasa kecil
berpakaian merah. Orang ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya.
"Mimpi apa kami semalam, sehingga bisa mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi."
Usai berkata demikian, laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan tubuh
Puspa Kenaka di tanah. Memang, sejak tadi tubuh gadis berpakaian jingga itu
dipondong dengan kedua tangannya. Baru setelah itu, perhatiannya dialihkan lagi
ke arah Garuda Mata Satu.
Sosok bayangan coklat itu memang tak lain dari Garuda Mata Satu.
Dengan matanya yang hanya sebelah, ditatapnya tiga sosok tubuh kerdil yang
berdiri di hadapannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau T iga Raksasa Lembah Mayat adalah
penjahat hina yang hanya berani menghina wanita tidak berdaya,"
geram Garuda Mata Satu sambil merayapi tubuh Melati dan Puspa Kenaka.
"T utup mulutmu, Garuda Mata Satu! Nanti kubutakan matamu yang sebelah lagi!"
bentak salah seorang dari T iga Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos.
"Aku ragu, kalau kau akan mampu melakukannya! Setahuku perbuatan yang bisa
kalian lakukan adalah menjilat pantat Mata Malaikat!" ejek Garuda Mata Satu,
keras. "Keparat! Kubutakan matamu yang satu lagi, Garuda Picak! Hih!"
Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos itu rupanya sudah tidak bisa menahan
sabarnya lagi. Dia langsung melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua
tangan, tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu.... Wuttt!
*** 7 Ketika telah berada di dekat Garuda Mata Satu, raksasa kecil bergigi tonggos itu
berhenti berguling dan langsung melancarkan serangan berupa sapuan kaki kanan.
Kelihatannya, serangan itu tidak bisa dianggap ringan. Karena meskipun kaki itu
kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan
batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa. Bisa
dibayangkan, bagaimana akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasarannya!
Garuda Mata Satu pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak
berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya
melayang ke atas. Maka, serangan lawannya hanya menyambar tempat kosong.
T api, raksasa kecil bergigi tonggos itu pun bukan orang bodoh. Sebaliknya, dia
malah telah memperhitungkan tindakan lawan terhadap serangannya.
Maka ketika Garuda Mata Satu mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung
saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas, mempergunakan
kaki kiri. Zebbb! Garuda Mata Satu tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi, ketika
mengetahui kalau bagian yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu
tubuhnya tengah berada di udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat
mengelak. Hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan nyawanya, yakni
menangkis! "Hih!"
Garuda Mata Satu menghentakkan kakinya ke bawah.
Blakkk! Benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak
bisa dielakkan lagi. Akibatnya, kedua kaki itu sama-sama kembali ke tempat
semula. "Hup!"
Begitu kedua kaki Garuda Mata Satu mendarat di tanah, raksasa kecil bergigi
tonggos pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda
lagi, laki-laki bertubuh cebol ini kembali menerjang Garuda Mata Satu.
T api dalam serangan kali ini, raksasa kecil bergigi tonggos itu tidak bertangan
kosong. Di tangan kanannya kini telah tergenggam sebuah ganco berwarna hitam
kelam. Dan dengan senjata di tangan, digempurnya Garuda Mata Satu.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, Garuda Mara Satu tidak berapi gegabah.
Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di ba wahnya.
Maka senjata andalannya pun dicabut. Sebuah cakar baja bergagang dari gading. T
idak nampak adanya golok besar atau senjata lain pada dirinya.
Memang, cakar baja inilah yang menjadi senjata andalannya.
Kini pertarungan jadi jauh lebih menarik. Suara decit angin tajam dari udara
yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan.
Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berpercikannya bunga api
tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus telah terlewat. Dan selama itu,
belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dari sini bisa
diperkirakan kalau tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Kenyataan ini membuat sisa dari T iga Raksasa Lembah Mayat tidak sabar.
Kedua orang ini tahu, kalau dibiarkan, Garuda Mata Satu belum tentu bisa
terdesak. Bahkan, pertarungan masih berlangsung seru dan sengit.
Akhirnya ketika pertarungan telah menginjak jurus ketiga puluh lima, dua raksasa
kecil ini tidak bisa menahan sabar lagi. Diiringi pekikan yang menyakitkan
telinga, mereka segera terjun dalam kancah pertarungan dan langsung menggunakan
senjata andalan masing-masing. Sebuah ganco!
Karuan saja, munculnya bantuan bagi lawannya membuat Garuda Mata Satu kelabakan.
Betapa tidak" Menghadapi seorang lawan saja belum mampu berbuat banyak. Apalagi
kini ditambah dua orang yang rata-rata memiliki kepandaian setingkat. Maka hanya
dalam beberapa gebrakan saja dia mulai terhimpit!
Gulungan sinar senjata cakar Garuda Mata Satu yang semula luas dan mengungkungi
sekujur tubuhnya laksana sebuah benteng, kini perlahan mulai mengecil. Dan
semakin lama mereka bertarung, Garuda Mata Satu tampaknya semakin terjepit
Serangan-serangan Garuda Mata Satu semakin berkurang. Sedangkan elakan-elakan
dan tangkisan-tangkisan yang dilakukan semakin bertambah sambil bermain mundur.
Sudah dapat dipastikan, apabila dibiarkan terus, Garuda Mata Satu akan roboh di
tangan lawan-lawannya.
Untungnya, T iga Raksasa Lembah Mayat itu sepertinya tidak ingin menewaskan
Garuda Mata Satu. Buktinya setiap serangan yang dilancarkan, tidak pernah
ditujukan pada bagian yang mematikan. Sedikit banyak, hal ini membuat sasaran
serangan terhadap Garuda Mata Satu semakin berkurang.
Kini pertarungan telah menginjak jurus keempat puluh. Dan sekarang, Garuda Mata
Satu sama sekali tidak mampu mengirimkan serangan balasan, kecuali hanya
mengelak dan menangkis.
Rupanya, kedua belah pihak yang bertarung itu mencurahkan seluruh perhatian pada
pertarungan. Sehingga, tanpa disadari di tempat itu telah muncul seorang
pendatang baru.
Sang pendatang itu mula-mula memperhatikan jalannya pertarungan. T api ketika
melihat sesosok tubuh ramping berpakaian putih tergolek di tanah, segera
Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatiannya dialihkan.
Dengan sekali ayunan kaki, sang pendatang yang tak lain Arya alias Dewa Arak
telah berada di dekat tubuh Melati, gadis berpakaian putih yang tubuhnya
tergolek tak berdaya. Padahal, jarak antara Dewa Arak dengan kekasihnya tak
kurang dari sepuluh tombak!
Sementara itu, begitu telah berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja
membungkuk. Dengan tarikan wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan
Melati. Segera didengarnya denyut nadi dan detak jantung gadis berpakaian putih
itu. Se bentar saja Dewa Arak memeriksa keadaan Melati. Dan kini sorot kecemasan
sudah tidak terlihat lagi di wajahnya ketika tahu kalau keadaan
Melati sama sekali tidak membahayakan. Dan ternyata, kekasihnya itu hanya
terkena racun pembius yang membuatnya tidak sadar diri untuk beberapa lama.
Hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir keluar.
T api, Dewa Arak tidak terburu-buru untuk melakukannya. Pandangannya kini
dialihkan kembali ke arah pertarungan. Beberapa saat
lamanya pandangannya terpaku di sana. Menilik dari kernyitan pada dahinya, bisa
diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah berpikir keras ketika
ada sesuatu yang mengganggu benaknya. Arya memang tengah menebak, pihak mana
yang menjadi kawan dan mana lawan.
Dewa Arak tahu, salah satu pihak yang tengah bertarung jelas penolong Melati dan
Puspa Kenaka. Dan pemuda berambut putih keperakan itu sempat juga melihat tubuh
Puspa Kenaka yang tergolek di tempat terpisah agak jauh darinya. T ampaknya,
Arya tidak khawatir akan keselamatan Puspa Kenaka.
Dia tahu, Puspa Kenaka pasti juga masih hidup. Maka, Dewa Arak lebih memusatkan
perhatiannya pada pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu, keadaan Garuda Mata Satu semakin bertambah gawat. Dia sudah
semakin terpojok! Bahkan beberapa kali ujung ganco lawan menggores kulitnya.
Kendati tidak dalam, tapi cukup membuat darah mengalir. Dan karena luka-luka
yang tercipta cukup banyak, sekujur tubuh Garuda Mata Satu dibanjiri darah!
Se benarnya luka-luka yang diderita sama sekali tidak parah. T api karena Garuda
Mata Satu tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikan darah yang semakin
banyak mengalir, tenaganya jadi berkurang cepat.
Kini perlawanan yang diberikan Garuda Mata Satu pun mengendur.
Se baliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat keadaannya yang semakin
payah. T idak sampai tiga jurus lagi, laki-laki bermata satu ini pasti akan
roboh di tangan lawannya.
"Sebentar lagi julukan Garuda Mata Satu tidak terpakai, Manusia Dungu.
Karena matamu yang tinggal sebelah itu akan kami congkel keluar! Ha ha ha...!"
ejek raksasa kecil bergigi tonggos itu penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa laki-laki bertubuh cebol itu segera disambut tawa bergelak dari
kedua rekannya yang bernada kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus,
mereka terus merangsek Garuda Mata Satu.
T anpa disadari raksasa kecil bergigi tonggos, ucapannya justru telah membuat
Dewa Arak tahu pihak yang harus dibantu. Pihak yang telah menyelamatkan Melati
dan Puspa Kenaka dari bahaya yang mengerikan.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung melesat ke arah
pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini
dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak.
Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara sekali, kancah pertarungan
telah berhasil dijangkaunya
Dari atas, laksana seekor burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak
meluruk ke arah T iga Raksasa Lembah Mayat. Saat itu kebetulan mereka tengah
merangsek Garuda Mata Satu yang telah semakin terpojok.
Wurrr! Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat T iga
Raksasa Lembah Mayat menyadari akan adanya ancaman bahaya. Maka terpaksa
serangan terhadap Garuda Mata Satu dibatalkan. Dan sebagai gantinya, ganco di
tangan mereka digunakan untuk memapak serangan mendadak itu.
Wut, wut, wut! T ak, tak, tak!
T ubuh T iga Raksasa Lembah Mayat langsung terhuyung-huyung ke
belakang ketika senjata mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak.
Bahkan tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit, seperti lumpuh.
Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dangan T iga Raksasa Lembah Mayat yang terhuyung-huyung dengan mulut
menyeringai kesakitan, Dewa Arak sama sekali tidak menderita apa-apa. Bahkan
dengan enaknya hinggap di depan Garuda Mata Satu.
"Beristirahatlah sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka.
Dan...." Dewa Arak tidak bisa meneruskan ucapannya lagi, karena T iga Raksasa Lembah
Mayat sudah keburu melancarkan serangan. T iga laki-laki setengah tua bertubuh
cebol itu meluncurkan ganco ke arah bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan. Wut,
wut, wut! *** 8 Sikap Dewa Arak terlihat tenang. Serangan itu ditunggunya hingga dekat.
Baru setelah itu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas
lawan-lawannya, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata lawan.
Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di antara kelebatan sinar ganco.
Entah berapa jurus lamanya Dewa Arak bertindak hanya mengelak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti itu. Sekali pun tak ingin balas
menyerang. Karuan saja hal ini membuat T iga Raksasa Lembah Mayat menjadi murka
bukan kepalang, karena merasa dipandang remeh.
Bagai telah sepakat sebelumnya, mendadak ketiga orang itu menghentikan gerakan
masing-masing. Kemudian, mereka melangkah mundur. T entu saja hal ini membuat
Arya heran. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakan. Diperhatikannya dengan seksama semua tindakan yang
dilakukan T iga Raksasa Lembah Mayat.
Sementara itu, T iga Raksasa Lembah Mayat malah berdiri berjajar dengan tangan
saling bergenggaman satu sama lain. Dengan demikian, orang yang berada di tengah
harus menancapkan ganco di depan. Sedangkan, dua rekannya tetap memegang senjata
andalan itu. Yang di kiri dengan tangan kiri, sedangkan yang di kanan
mempergunakan tangan kanan. Dan bagai diatur saja, laki-laki kerdil di sebelah
kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi.
Se dangkan yang di sebelah kanan, ke langit. Kelihatan aneh sekali.
T indak keanehan yang dilakukan, tidak hanya sampai di situ. Dari mulut-mulut
mereka terdengar gumaman-gumaman yang aneh terdengar di telinga.
Ucapan-ucapan yang tidak bisa dimengerti dan sulit ditangkap jelas. Dan semakin
lama, suara yang lebih mirip gumaman itu semakin cepat serta keras diucapkan.
Semula, De wa Arak merasa heran melihat kelakuan lawan-lawannya. T api,
keheranannya langsung berganti dengan kekagetan, ketika pemuda berambut putih
keperakan ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya.
Dewa Arak melihat suasana di sekitar tempat itu berubah menyolok!
Semula, disadari betul kalau saat itu hampir tengah hari. Walaupun saaat itu
matahari bersembunyi di balik a wan, namun suasana tetap cerah. T api seiring
semakin keras dan cepatnya ucapan-ucapan aneh yang keluar dari mulut T iga
Raksasa Lembah Mayat, tiba-tiba saja langit langsung gelap pekat. Awan hitam
tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang
mampu membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! Yang lebih mengerikan
lagi, kilat langsung menyambar-nyambar!
Dewa Arak agak gugup menghadapi ancaman ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya
terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulangnya seperti lumpuh,
sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!"
desis hati Dewa
Arak ketika mulai
menyadari adanya ketidakberesan ini.
Setelah menyadari kalau semua keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir lawan,
Dewa Arak pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan.
Seluruh perhatiannya seketika dipusatkan. Hasilnya, pertarungan yang aneh pun
berlangsung. T iga Raksasa Lembah Mayat yang bergandengan tangan sambil
mengucapkan rangkaian kata-kata dengan nada dan irama yang berganti-ganti,
sedangkan Dewa Arak tetap berdiri tegak. Kedua tangannya tampak terlipat di
bahu, dengan mata dipejam dan kepala tertunduk.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga mengerahkan tenaga batinnya, sehingga sekujur
wajahnya dipenuhi keringat sebesar butir-butir jagung. Namun, tetap saja
usahanya sia-sia. Semua keanehan yang mempengaruhinya tetap saja tidak mampu
terusir. Banyak hal yang menyebabkan Dewa Arak tidak berhasil mengusir
pengaruh sihir lawan. Yang jelas, jalannya pertarungan tampaknya tidak adil.
Dewa Arak yang baru mulai mengadakan perlawanan, namun saat itu tindakan lawan
telah mempengaruhinya. Hal lainnya adalah, pemuda berambut putih keperakan itu
hanya mengandalkan kekuatan batin belaka!
Dan seiring kegagalan usaha perlawanannya, pengaruh ilmu T iga Raksasa Lembah
Mayat pun semakin menjadi-jadi. Dewa Arak mulai menggigil kedinginan, karena
angin yang berhembus ternyata juga membawa butir-butir es. Banyak butiran es
yang menempel di tubuh Dewa Arak.
Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu
mengadakan perlawanan. Keampuhan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya tidak terlihat
sama sekali. Bahkan sambaran-sambaran kilat pun sudah hampir menjilat tubuh Dewa
Arak. Di saat-saat tubuhnya sudah tidak berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada, Dewa Arak teringat akan gucinya. Maka seluruh sisa kemampuan yang
dimilikinya dikerahkan untuk mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Usaha Dewa Arak sama sekali tidak sia-sia. Guci araknya berhasil digenggam dan
buru-buru dituangkan ke mulut, walaupun dengan susah payah.
Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak,
dalam perjalanannya menuju perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di
sekitar perut Dewa Arak, lalu perlahan-lahan naik ke atas. Dan seperti biasanya,
kedudukan kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini.
Pada saat itu, perkataan-perkataan T iga Raksasa Lembah Mayat terdengar semakin
cepat dan keras di telinga Dewa Arak. Seakan-akan, di dalam kepalanyalah tiga
orang itu berkata-kata seperti itu.
"Arrrggghhh...!"
Dalam usahanya untuk menghilangkan suara T iga Raksasa Lembah Mayat yang seperti
telah memenuhi isi kepalanya, Dewa Arak meraung keras sekali.
Akibatnya, suasana di sekitar tempat itu langsung bergetar.
Memang begitu dahsyat raungan Dewa Arak. Dan ternyata, akibatnya juga begitu
menggiriskan. T ubuh T iga
Raksasa Lembah Mayat langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah. Dari mulut mereka tampak
menyembur keluar darah segar. Jelas, mereka telah mengalami luka dalam yang amat
parah! T ubuh tiga laki-laki cebol itu menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya
tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega. Dan kini keadaan alam telah kembali seperti biasa.
Cerah, tidak hitam pekat seperti sebelumnya. T idak ada lagi kilat atau hembusan
angin dingin. Semuanya telah sirna, seiring tewasnya T iga Raksasa Lembah Mayat.
Dewa Arak menatap mayat tiga lawannya yang berkubang darahnya
sendiri. Dia tahu, T iga Raksasa Lembah Mayat tewas karena kalah tenaga dalam. T
iga laki-laki cebol itu mencoba mengalahkan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu
sihir yang berdasar pada pengaruh suara. Maka ketika Dewa Arak berteriak
disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya, mereka kontan tewas. Di samping
karena tenaga sendiri yang membalik, serangan Dewa Arak juga ikut membantu
kematian mereka.
Hanya sebentar saja, Arya memperhatikan mayat ketiga lawannya. Sekejap kemudian,
tubuhnya berbalik. Yang pertama kali terlihat adalah tubuh Garuda Mata Satu yang
tergolek lemah. Rupanya, laki-laki bermata satu ini pingsan akibat pengaruh
teriakan Dewa Arak. Kalau Garuda Mata Satu saja yang tidak dituju bisa pingsan,
tak aneh kalau T iga Raksasa Lembah Mayat tewas!
T eriakan Dewa Arak memang ditujukan pada mereka.
Arya menghampiri tubuh Garuda Mata Satu. Lalu, diurut-urutnya tengkuk Garuda
Mata Satu. Hanya dalam beberapa kali urut, laki-laki bermata satu ini mulai
mengeluh. Tanpa banyak cakap, Dewa Arak pun meninggalkannya untuk menghampiri
Melati. Dia tahu, tak akan lama lagi Garuda Mata Satu akan sadar sepenuhnya.
Begitu tiba di dekat tubuh Melati, Dewa Arak langsung duduk bersila. Kini kedua
telapak tangannya ditempelkan di tubuh kekasihnya. Pemuda berambut putih
keperakan ini akan mengusir hawa beracun dalam tubuh Melati dengan dorongan
tenaga dalamnya.
Di saat Dewa Arak sibuk mengusir ha wa beracun di tubuh Melati, Garuda Mata Satu
tampak mulai sadar. Sesaat, sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak. Tapi,
kemudian dialihkan ketika melihat sosok tubuh ramping dari gadis berpakaian
jingga. "Gadis berpakaian jingga?" Garuda Mata Satu tersentak. "Mengapa aku demikian
pelupa" Bukankah Kartugi mengatakan kalau Puspa Kenaka adalah seorang gadis
berpakaian jingga" Apakah gadis yang tengah tergolek itu Puspa Kenaka?"
Ingatan itu membuat Garuda Mata Satu bergegas bangkit dan menghampiri tubuh
gadis berpakaian jingga yang memang tak lain dari Puspa Kenaka.
Diperiksanya sejenak keadaan gadis itu. T ernyata sama sekali tidak menderita
luka dan hanya tertotok lumpuh. Maka buru-buru Garuda Mata Satu membebaskan
totokannya. "Ayah," ucap Puspa Kenaka ketika telah terbebas dari totokannya.
Kontan sepasang mata Garuda Mata Satu terbelalak mendengar sapaan itu.
"Kau..., kau memanggilku ayah" Jadi..., kau Puspa Kenaka?" tanya laki-laki
bermata satu itu dengan suara tersekat di tenggorokan, karena perasaan haru yang
menggelegak. "Be... benar, Ayah. Akulah Puspa Kenaka," Jawab gadis berpakaian jingga itu.
"Puspa Kenaka, Anakku...!"
Kini, Garuda Mata Satu tidak ragu-ragu lagi mengucapkannya.
Direngkuhnya tubuh putrinya penuh kasih sayang. Maka, Puspa Kenaka pun balas
memeluk tak kalah erat.
Cukup lama juga ayah dan anak ini berada dalam suasana haru bercampur gembira.
Dan kini Garuda Mata Satu-lah yang lebih dulu melepaskan rangkulannya.
"Aku membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu. Puspa," ujar Garuda Mata
Satu hati-hati. "Sebenarnya, aku tidak ingin menyampaikannya sekarang, karena
takut mengganggu suasana pertemuan ini."
"Apakah itu berita mengenai Ki Kartugi, Ayah?" terka Puspa Kenaka.
Seketika itu pula wajah Garuda Mata Satu berubah. T api dengan pasti walaupun
lambat-lambat, kepalanya terangguk untuk membenarkan dugaan putrinya.
"Aku sudah tahu, Ayah. Ki Kartugi telah tewas bukan?" kata Puspa Kenaka lagi.
"Heh"! Dari mana kau tahu, Puspa?" tanya Garuda Mata Satu tanpa menyembunyikan
perasaan kagetnya.
"Aku melihat semua kejadian yang berlangsung sampai beliau tewas.
Semula, aku ingin berada di sampingnya sebelum menghembuskan napas terakhir. T
api saat itu, aku baru tahu kalau yang berdiri di sampingnya adalah Ayah
sendiri. Padahal, aku tengah membencimu. Jadi, aku hanya bisa menatap dari
kejauhan dengan hati menyesal."
Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh"!" untuk yang kesekian kalinya Garuda Mata Satu tersentak kaget
"Kau membenciku" Mengapa, Puspa?"
"Karena Ayah tidak pernah sudi menjumpaiku!" tandas Puspa Kenaka, keras. T ampak
jelas nada kepenasaran dalam ucapan, tarikan wajah, dan sorot matanya. "Ayah
tidak mengakuiku sebagai anak."
"Kau keliru, Puspa! Justru karena menyayangimu, aku menitipkanmu pada Ki
Kartugi. Dia adalah sahabat baikku. Maksudku, agar kau tumbuh menjadi anak baik.
Aku khawatir akan perkembanganmu, kalau kau tinggal
bersamaku," jelas Garuda Mata Satu panjang lebar.
Puspa Kenaka kontan terdiam. Jawaban yang diberikan Garuda Mata Satu tidak
berbeda dengan jawaban Ki Kartugi ketika hal itu ditanyakannya.
Dan sekarang baru disadari kalau alasan itu ada benarnya. Ayahnya adalah seorang
kepala perampok! Meskipun kepala perampok yang berbeda dengan perampok lain,
tapi tetap saja lingkungannya kasar.
"Ah! Kiranya kau ayah Puspa Kenaka, Ki. Maaf. Kami secara tidak sengaja
mendengarkan pembicaraan kalian," kata Arya, sambil tersenyum lebar.
Di sebelah pemuda berambut putih keperakan itu berdiri Melati. Rupanya, gadis
berpakaian putih ini telah sembuh dari pengaruh racun yang bersemayam dalam
tubuhnya. "Heh"! Jadi kalian telah saling mengenal rupanya"!" sambut Garuda Mata
Satu tak kalah gembira. Ditatapnya wajah putrinya, Melati, dan Arya bergantiganti. "Di antara sahabat, tidak usah banyak peradatan. Ceritakan, bagaimana kau
bisa bersahabat dengan pemuda dan pemudi yang gagah dan cantik ini, Puspa."
"Merekalah yang menyelamatkan nyawaku, Ayah," jelas Puspa Kenaka.
Kemudian secara singkat, diceritakan semua kejadiannya.
Garuda Mata Satu mengangguk-anggukkan kepala ketika Puspa Kenaka menyelesaikan
ceritanya. "Jadi, dugaanku sama sekali tidak keliru. Kau adalah Dewa Arak! Ah!
Bagaikan mimpi saja bisa bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan
seperti dirimu, Dewa Arak!"
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki," ucap Arya malu-malu. "O, ya. Boleh aku
bertanya sesuatu padamu, Ki?"
'T entu saja boleh, Dewa Arak! silakan, jangan malu-malu!"
"Begini, Ki. Aku hanya ingin bertanya dua hal. Pertama, mengapa Mata Malaikat
sepertinya sangat memerlukan dirimu. Yang kedua, apakah kau tahu tujuan Mata
Malaikat sehingga demikian banyak memiliki anak buah. Kau telah mendengar
sendiri cerita Puspa Kenaka, kalau mereka berbondong-bondong menuju ke arah
barat. Entah apa yang akan dilakukan."
Garuda Mata Satu tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan sebaliknya malah
menghela napas berat. Seakan-akan, ada sesuatu be ban yang menghimpit batinnya.
"Begini, Dewa Arak. Mata Malaikat memang mempunyai keinginan besar.
Dia ingin menjadi raja. Dan yang lebih gila lagi, yang diinginkannya adalah
sebuah kerajaan besar! Untuk itulah, banyak tokoh aliran hitam ditundukkannya untuk dijadikan anak buah."
Laki-laki bermata satu ini menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Kerajaan terbesar di wilayah barat
ini adalah Kerajaan Mandau.
Sementara, aku adalah bekas pengawal khusus Kerajaan Mandau. Jadi, dia bermaksud
memperalat diriku, apabila kelak kekuatannya telah cukup untuk menyerbu Kerajaan
Mandau. Sebagai seorang pengawal khusus, tentu saja aku tahu seluk-beluk Istana
Mandau." "Lalu, mengapa kau bisa menjadi kepala perampok, Ki?" celetuk Melati.
"Karena, waktu itu kerajaan dipimpin seorang raja yang lalim dan hanya
mementingkan diri sendiri. Di mana-mana terjadi kelaparan, sementara raja
dan para pejabat istana enak-enakan menghambur-hamburkan makanan.
Kekacauan dan penindasan terjadi di mana-mana," jawab Garuda Mata Satu berapiapi. Rupanya, dia teringat kembali akan kejadian masa lalu. "Lama-lama, aku
tidak tahan. Aku kabur meninggalkan istana sambil membawa anakku yang waktu itu
berusia tujuh tahun. Anakku kutitipkan pada seorang sahabatku. Sedangkan aku
lari ke hutan menjadi kepala rampok. Dan juragan-juragan kaya dan pelit adalah
sasaranku."
Garuda Mata Satu menelan liur untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
"Jabatan kepala perampok pun tidak bisa kupertahankan, ketika seorang yang
berjuluk Mata Malaikat datang. Dia memintaku menjadi anak buahnya.
Dan tentu saja permintaannya kutolak. Bahkan aku sampai marah besar.
Pertarungan antara kami pun terjadi. T api, ternyata kepandaiannya sangat
tinggi. Hanya dalam beberapa gebrakan, aku berhasil dikalahkan. Lalu, dia
menyuruhku menjadi anak buahnya."
"Dan kau menolaknya, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Benar. Karena, Mata Malaikat mempunyai keinginan yang mengerikan.
Rakyat akan jadi korban, bila rencana gilanya dilaksanakan," desah Garuda Mata
Satu penuh nada prihatin.
"T api bukankah raja dan pejabat Kerajaan Mandau sewenang-wenang"
Lalu mengapa kau masih setia padanya dan tidak menerima tawaran Mata Malaikat
untuk menjadi anak buahnya"!"
"Kau keliru, Dewa Arak. Raja dan pejabat Kerajaan Mandau yang sekarang, jauh
berbeda dengan yang dulu. Raja yang sekarang adil, dan memperhatikan
kesejahteraan rakyat," sanggah Garuda Mata Satu lagi.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Kalau begitu, sebelum kau berhasil ditemukan, Kerajaan Mandau tidak akan
diserbu, Ki?" tanya Arya.
"Benar. Kalau menurut pendapatku, Mata Malaikat pasti menyerbu kerajaan kecil
dan kadipaten lebih dulu...."
"Kalau demikian, kami pergi dulu, Ki, Puspa...! Ayo Melati!"
T anpa menunggu ja waban Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka, Arya melesat
meninggalkan tempat itu. Di belakangnya, Melati mengikuti. Hanya dalam beberapa
kali lesatan saja, tubuh mereka telah lenyap ditelan kejauhan.
Benarkah Mata Malaikat dan rombongannya tengah menyerbu kerajaan kecil dan
kadipaten-kadipaten" Apakah tokoh yang memiliki sepasang mata
mengerikan itu masih mengejar-ngejar Garuda Mata Satu" Bagaimanakah kesudahan
keinginannya" Berhasilkah Kerajaan Mandau dikuasai" Bagaimana Dewa Arak harus
menanggulangi masalah besar ini. Untuk jelasnya, silakan ikuti serial Dewa Arak
selanjutnya dalam episode "T awanan Datuk Sesat".
SELESAI Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Latah 8 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Geger Dunia Persilatan 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama