Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah Bagian 1
1 Sebuah perahu kecil bergerak lambat mendekati pinggir sungai. Satu-satunya
penumpang di perahu itu adalah seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Ketika
perahu sudah mencapai tepi sungai, ditariknya agak ke darat lalu ditambatkan
pada sebatang tonggak.
Pemuda yang memiliki wajah jantan dan bertubuh
tegap kekar itu kemudian mengambil keranjang rotan berisi ikan dari lantai
perahu. Sejenak pandangannya diedarkan berkeliling. Arah tatapannya terhenti
pada pohon yang tergolek di tanah, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berada.
Langkahnya terayun begitu cepat. Sekejap saja
pemuda yang mengenakan caping dan menjinjing
keranjang rotan itu telah berada di dekat pohon meranggas yang tergolek di
tanah. Pemuda itu melepas capingnya.
Rambutnya yang digelung ke atas pun diuraikan. Panjang mencapai pinggang dan
benparna putih keperakan!
Rambut yang mempu nyai warna tidak seperti rambut pemuda pada umumnya itu
diayunkannya ke arah batang pohon.
Crasss! Batang pohon sepanjang satu tombak dengan besar
sepelukan tangan orang dewasa itu terbelah dua. Rambut yang telah menegang kaku
karena aliran tenaga dalam, hingga tak ubahnya sebilah pedang, menghantamnya
dengan telak. Pemuda berpakaian ungu tampaknya bukan orang
sembarangan. Dia memiliki ilmu cukup tinggi. Terbukti, dapat menggerakkan
rambutnya untuk membelah pohon.
Ketika rambutnya kembali menghantam, batang pohon terbelah menjadi puluhan
potongan kayu sebesar
pergelangan tangan.
Si pemuda lalu menghempaskan pantatnya pada
belahan batang pohon yang lain. Dengan bantuan batu api dia membuat perapian
dari potongan-potongan kayu yang tadi dibelahnya! Beberapa saat kemudian, dia
sibuk memanggang ikan-ikan hasil tangkapannya.
Bau sedap menyebar ke sekitar tempat itu. Pemuda
berambut putih keperakan ini mendengar bunyi langkah kaki mendekati tempatnya
berada. Datangnya dari arah belakang. Karena, saat ini dia tengah duduk
menghadap sungai.
Tapi meskipun tahu akan adanya orang yang menuju ke tempatnya, si pemuda
bersikap biasa saja. Dia tetap meneruskan kesibukannya. Hanya indera
pendengarannya lebih dipertajam. Sikapnya pun terlihat sedikit waspada untuk
rnenjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Ayah...!"
Tertangkap oleh telinga pemuda tampan itu nada
ucapan yang halus dan merdu. Suara itu begitu lirih. Kalau saja ia tak memiliki
pendengarannya yang luar biasa tajam, tak akan terdengar sapaan itu.
"Menurut pendapatku, tak perlu kita mencari tahu siapa pemilik perahu itu. Lagi
pula, andai kata benar pemiliknya adalah orang yang tengah me manggang ikan, tak
perlu kita minta izinnya...."
"Maksudmu kita mencurinya. Begitu, Pringgani"!"
timpal orang yang disapa ayahnya.
"Tidak seperti itu, Ayah," bantah suara seorang gadis.
"Maksudku, kita bawa saja dulu perahu itu. Kelak kita akan kembalikan ke sini
dan sekaligus memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Kau tahu sendiri Ayah,
waktu kita sangat sempit. Aku khawatir.... "
"Lupakan saja maksudmu itu, Pringgani," potong sang ayah, tak sabar. "Aku tak
setuju dengan usulmu. Aku lebih baik mati daripada harus melakukan kejahatan
yang memalukan ini! Mencuri perahu. Huh! Betapa rendahnya!"
Pringgani tak memberikan tanggapan lagi. Ia tahu
pendirian ayahnya tak mungkin dapat berubah. Dia hanya menghela napas berat dan
menampakkan sikap tak
puasnya. Dengan roman wajah seperti itu, diikutinya ayahnya yang tengah
menghampiri pemuda berpakaian ungu.
"Maaf, Kisanak.... "
Sapaan yang dikeluarkan ayahnya Pringgani membuat pemuda berpakaian ungu tak
dapat terus berpura-pura tidak mengetahui kehadiran mereka.
"Ada apa, Paman?" pemuda itu bangkit berdiri setelah meletakkan ikan
panggangnya. Diperhatikannya dua sosok tubuh yang berdiri di
hadapannya. Terlihatlah seorang lelaki setengah baya, berkumis tebal, dan
berpakaian putih. Lelaki ini
mengembangkan senyum ramah di bibir. Sebaliknya, di sebelahnya dengan wajah
cemberut berdiri seorang gadis jelita bertubuh montok dan berpinggang ramping.
Hanya sekilas pemuda berpakaian ungu
memperhatikan Pringgani. Perhatiannya kini lebih
ditunjukkan pada wayah gadis itu. Di samping tak nyaman menatap wajah yang
cemberut, juga ayahnya Pringgani mengajaknya berbicara.
"Kau tahu pemilik perahu itu?" tanya laki-laki berpakaian putih seraya menunjuk
ke arah sungai.
"Tahu, Paman. Akulah pemiliknya. "
"Sungguh kebetulan sekali!" sahut ayahnya Pringgani, gembira. "Saat ini aku
sangat membutuhkan perahu untuk menyeberangi sungai ini bersama anakku, Kisanak.
Sayang, kami telah kehabisan uang, jadi tak bisa membeli atau menyewanya. Tapi
percayalah, aku Paksi Dilaga, bukan seorang penipu. Kelak kami akan kembali dan
memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Bagaimana, Anak Muda?"
Pemuda berpakaian ungu meneliti wajah lelaki
setengah baya yang tengah menatapnya. Dia sedang
menunggu jawaban atas permintaannya.
"Ambil saja, Paman. Tampaknya kau lebih
memerlukannya daripada aku," jawab pemuda itu kemudian.
Wajah Paksi Dilaga langsung berseri-seri. Lelaki ini kelihatan gembira sekali.
Ditatapnya sang pemuda penuh rasa terima kasih, kemudian mengalihkannya pada
putrinya. "Bagaimana, Pringgani" Bukankah keputusan yang Ayah ambil jauh lebih tepat" Kita
tak perlu melakukan tindakan yang tercela untuk mendapatkan sebuah perahu.
" Pringgani hanya tersenyum pahit. Kendati demikian, kilatan pada sepasang
matanya yang bening dan indah menyiratkan kegembiraan pula. Betapapun juga, dia
lebih gembira mendapatkan perahu itu tanpa perlu mencurinya.
Pringgani sama sekali tidak mengira akan demikian mudah memintanya. Hasil yang
menyenangkan ini
membuatnya agak memperhatikan pemilik perahu. Namun, dengan diam-diam dia
melakukannya. Sebagai seorang gadis, dia merasa malu untuk memperhatikan seorang
pemuda secara terang-terangan.
Dalam pandangan yang hanya sekilas itu Pringgani
harus mengakui kalau sang pemillk perahu tersebut cukup menarik. Tubuhnya tegap
dan kekar. Sayang, wajahnya tak terlihat jelas karena terhalang oleh caping yang
bertengger di kepalanya.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. Kami tak akan melupakan budi baik
ini. Bila Tuhan mengizinkan, kami akan kembali untuk membalas jasamu. Siapa kau,
Anak Muda" Dan di mana tempat tinggalmu?" tanya Paksi Dilaga.
Pemuda berpakaian ungu ini tersenyum.
"Lupakan saja, Paman. Aku tak menganggap hal ini sebagai budi yang harus
dibalas. Namaku Arya," sahut pemuda ini, masih dengan tersenyum.
"Aku Paksi Dilaga, Arya. Dan ini putiku. Pringgani," Paksi Dilaga balas
memperkenalkan diri. Dia tak mendesak ketika Arya tak mengatakan di mana tempat
tinggalnya. "Tapi apa pun pendapatmu kami tak akan bisa melupakan budi baik ini. Kalau saja
waktu mengizinkan, kami suka berbincang-bincang denganmu. Sayang, kami mempunyai
urusan penting yang harus segera diselesaikan. Sekali lagi terima kasih atas
kebaikan hatimu, Arya"
Pemuda berpakaian ungu yang bernama Arya Buana
alias Dewa Arak ini, hanya tersenyum. Dan senyum
pemuda ini semakin lebar ketika melihat Pringgani melempar senyum pula padanya.
Senyum tipis yang
mengutarakan perasaan terima kasih.
Arya menatap kepergian Paksi Dilaga dan putrinya yang bergegas menuju tepi
sungai. Baru ketika ayah dan anak itu telah menghanyutkan perahu ke sungai,
pemuda ini meneruskan kesibukannya yang tadi tertunda. Diraih ikan panggangnya
yang telah matang dan hampir dingin.
Perutnya telah sejak tadi menjerit-jerit minta diisi.
*** Arya merebahkan tubuhnya di tanah. Punggungnya
disandarkan pada batang pohon yang tadi didudukinya.
Perut kenyang dan angin bertiup lembut yang bertiup membuatnya mengantuk.
Saat itu cuaca sudah tidak pagi lagi. Matahari telah naik cukup tinggi. Namun,
awan-awan yang menggantung di angkasa membuat keadaan dipersada tidak terasa
panas. Malah Arya merasa cukup nyaman sehingga jatuh tertidur.
Baru beberapa saat terlena, pemuda berpakaian ungu ini terbangun. Dia mendengar
bunyi derap kaki kuda bertubi-tubi menghantam bumi. Dari bunyinya yang
semakin keras, agaknya binatang itu berlari cepat menuju ke arahnya.
Arya tak bergeming dari sikapnya. Bahkan ketika bunyi derap kaki kuda tidak
terdengar lagi, dan sekitar dua tombak di hadapannya telah berdiri tiga ekor
kuda perkasa dengan tiga orang penunggang di atasnya. Ketiga orang penunggang
kuda itu menatap Arya yang masih
merebahkan tubuh dengan bersandarkan pada batang
pohon. "Bagaimana Angkeran?" tanya penunggang kuda coklat putih, seraya menoleh pada
penunggang kuda hitam di sebelahnya. "Perlukah kita tanyakan pada anjing kecil
itu tentang kelinci-kelinci buruan kita?"
Angkeran, lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berikat kepala loreng,
mengelus-ngelus cambang bauknya yang lebat.
"Kurasa tak ada salahnya kita tanyakan pada anjing kecil itu, Longga!" tandas
Angkeran kemudian. Suaranya parau dan keras.
Longga, yang memiliki kepala botak dan berbibir
sumbing tampak meyeringai. Dia merasa gembira
mendapatkan dukungan Angkeran. Sorot sepasang
matanya memancarkan maut ketika ditujukan pada Arya.
"Sudah nasibnya anjing kecil itu menjadi korban sembelihan kita!" desis Longga.
Suaranya melengking tinggi, mirip ringkik kuda. Mungkin cacat pada bibirnya yang
menyebabkan suaranya terdengar demikian.
Angkeran dan penunggang kuda yang lainnya ertawa
bergelak mendengar ucapan Longga. Teman Angkeran ini bertubuh tinggi kurus dan
berkulit kuning seperti penyakitan. Dunggul namanya.
Dengan diiringi tawa Angkeran dan Dunggul, Longga melompat dari punggung kuda.
Dihampirinya tempat Dewa Arak merebahkan diri. Sekitar lima kaki dari pemuda
berpakaian ungu itu, lelaki berkepala botak ini
mengibasakn tangannya.
Wuuusss! Angin luar biasa keras meluruk ke arah Arya. Longga dan kawan-kawannya telah
membayangkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu akan terlempar jauh, lalu
terbanting keras di tanah. Paling ringan Arya akan patah tulang.
Namun kenyataan yang terlihat membuat ketiga lelaki itu kebingungan. Dewa Arak
memang terlempar dari
tempat semula. Tapi tidak hanya pemuda itu sendiri yang benasib demikian. Batang
pohon yang menjadi sandaran punggungnya pun ikut terlempar, dalam keadaan masih
menempel dengan punggung Arya!
Keterkejutan Longga dan kawan-kawannya semakin
besar. Arya dan batang pohon itu kembali ke tempat semula setelah melayang
beberapa tombak, seakan-akan ditarik kekuatan tak nampak. Tak terdegnar suara
berisik ketika mendarat di tanah.
Longga, Dunggul, dan Angkeran langsung mengetahui kalau kejadian yang menimpa
Dewa Arak bukan sebuah kebetulan. Dungkul dan Angkeran tahu betul kejadian aneh
itu bukan terjadi karena perbuatan Longga. Lelaki berkepala botak itu tak
bermaksud demikian ketika mengibaskan tangannya.
Longga bermaksud membangunkan Arya yang dikiranya tengah tertidur. Wataknya yang
keji membuat lelaki ini membangunkan tidak dengan cara baik-baik. Kibasannya
hendak membuat tubuh Arya terlempar lalu jatuh
terbanting. Kalaupun batang pohon ikut terlempar, karena tubuh Dewa Arak
bersandar padanya, tidak akan seperti ini kejadiannya.
Setelah keterkejutan yang melanda mereka, Longga
langsung naik pitam. Kejadian itu pasti disengaja oleh Dewa Arak. Dan, mereka
menganggap hal itu sebagai tantangan!
Longga menggeram. Tapi, bunyi yang tercipta tak
ubahnya ringkik seekor kuda.
"Rupanya kau punya kepandaian juga, Anjing Kecil! Kau mau main-main denganku,
heh"! Baik, kuladeni! Tapi sebelumnya kuberitahukan dulu dengan siapa kau
berhadapan. Aku Longga, salah seorang dari Tiga Hantu Pantai Selatan. Nah! kalau
kau bukan seorang pengecut, perkenalkan dirimu! Merupakan pantangan besar bagiku
membunuh orang yang tak terkenal sama sekali!"
"Kalau begitu sekali ini kau langgarkan pantanganmu, Longga. Aku tak mau
memberitahukan nama atau
julukanku. Apalah artinya semua itu!" sambut Arya tanpa merubah sikapnya. "Lagi
pula, untuk apa kuberi tahu. Toh, kau pun tak akan menyapa dengan namaku.
Panggil saja aku sekehendak hatimu, Longga!"
"Sombong!" geram Longga. Sepasang alisnya hampir bertaut karena amarah yang
melanda. "Rupanya pertunjukan tak ada artinya yang kau pamerkan tadi membuatmu
besar kepala! Kau tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Anjing Buduk!"
"Jadi, kau tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Longga" Sungguh kebetulan
sekali! Boleh aku tahu berapa tingginya langit dan dalamnya lautan" Barangkali
saja nanti ada yang menanyakan hal itu padaku."
Bukan hanya Longga, Dunggul, dan Angkeran pun
terkesima mendengar sambutan Arya. Terutama Longga.
Mereka tak menyangka akan mendapatkan tanggapan
seperti itu. Sadarlah Longga kalau dirinya menjadi korban permainan Arya.
"Anjing kecil! Mampuslah kau...!"
Longga mengirimkan pukulan jarak jauh bertubi-tubi dengan kepalan tangan kanankirinya. Angin keras
menderu saling susul, meluruk deras ke arah Dewa Arak.
Arya tahu, Longga tak main-main lagi. Seranganserangan jarak jauhnya mengandung pengerahan tenaga dalam kuat. Maka, dia pun
tak bisa bertindak
sembarangan seperti sebelumnya.
Dewa Arak membuka kelopak mata, lalu tangannya
dikibaskan bagaikan orang mengusir lalat. Batang pohon yang menjadi tempat
sandaran punggungnya bergeser ke belakang seperti didorong, membawa serta tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu.
Serangan-serangan Longga pun kembali kandas. Dan
hanya mengenai tanah beberapa tombak di depan sasaran yang dituju. Bunyi riuhrendah terdengar ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu menghantam. Debu mengepul
tinggi. Ketika telah sirna tertiup angin, terlihat lubang-lubang cukup besar di tanah.
"Nasibmu cukup baik, Anjing Cilik! Dua kali kau lolos dari seranganku. Tapi,
jangan besar kepala! Belum pernah ada seorang pun yang mampu menandingiku selama
belasan tahun aku meRajalela di dunia persilatan. Jangan mimpi kau bisa selamat
dari tanganku!"
Longga menutup ucapannya dengan sebuah terkaman.
Kegagalan berturut-turut membuat lelaki botak ini memutuskan untuk mengadakan
pertarungan jarak dekat.
Dewa Arak bangkit berdiri. Dipapaknya kedua cakar lawan yang mengancam dada.
Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan ini terkembang membentuk cakar
pula. Prattt! 2 Tubuh Longga terpental ke belakang ketika benturan itu terjadi. Namun, dengan
gerakan yang ringan lelaki ini berhasil mematahkannya. Dijejaknya tanah dengan
kedua kaki, kendati agak terhuyung. Arya sendiri tak mengalami akibat yang
berarti. Angkeran dan Dunggul terdengar mengeluarkan seruan kaget. Kalau tak melihat
sendiri, kedua orang ini tak akan percaya. Mana mungkin Longga dibuat terlempar
dalam satu benturan seperti itu.
"Apakah Longga tidak bersungguh-sungguh dengan serangannya, sehingga dengan
Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu mudah dapat
dipatahkan"!" pikir Angkeran dan Dunggul. "Tapi, rasanya tak mungkin. Lubang
besar pada tanah telah menjadi bukti kalau Longga mengeluarkan seluruh
tenaganya. "
Tak hanya Angkeran dan Dunggul yang menduga, Dewa Arak memiliki kepandaian
tinggi. Longga pun demikian.
Kejadian terakhir membuatnya yakin kalau Arya bukan lawan yang dapat dengan
mudah dirobohkan.
Meskipun demikian, keyakinannya akan kepandaian
dirinya membuat lelaki botak ini tak bisa menerima kekalahannya. Dengan
didahului pekikan melengking, dia kembali menyerang Dewa Arak.
Pertarungan jarak dekat pun berlangsung begitu Arya menyambuti. Longga demikian
bersemangat. Dia
menyerang kalang kabut, seperti harimau terluka. Setiap serangannya tak ubahnya
tangan-tangan malaikat maut yang siap merenggut nyawa. Angin keras dan bunyi
bersiutan senantiasa mengiringi setiap gerakan Longga.
Dewa Arak kelihatan demikian tenang. Pemuda itu
hanya mengelak ke sana kemari. Dia belum melancarkan serangan balasan.
Dunggul dan Angkeran yang memperhatikan jalannya
pertarungan segera mengetahui kalau Dewa Arak terlalu tangguh. Kalau dibiarkan,
Longga akan roboh di tangan lawannya.
Longga sendiri belakangan baru menyadari kalau Dewa Arak benar-benar terlalu
tangguh baginya. Setiap
serangannya dengan mudah ditangkal Arya. Sebaliknya, dia selalu terpontangpanting setiap kali pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang.
Beberapa kali tokoh tiga Hantu Pantai Selatan itu jatuh terjengkang.
Dalam belasan jurus saja Longga telah terdesak hebat.
Serangan-serangannya sekarang tak terlihat lagi. Lelaki botak ini hanya bisa
bermain mundur dan terus-menerus mengelak. Hanya sesekali dia menangkis. Itu pun
karena tak ada pilihan lain.
Keadaan Longga membuat Dunggul dan Angkeran tak
bisa tinggal diam. Setelah saling pandang sejenak, kedua tokoh Tiga Hantu Pantai
Selatan ini melompat dari punggung kuda. Mereka lalu melesat ke kancah
pertarungan untuk membantu Longga.
Di saat berada di udara, Dunggul dan Angkeran
mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dengan senjata di tangan kedua tokoh
ini menyerang Dewa Arak.
Dunggul dan Angkeran ternyata turun tangan pada
waktu yang tepat. Saat itu Longga terjengkang ke belakang, setelah menangkis
serangan Dewa Arak. Ikut campurnya kedua rekan Longga membuat Arya membatalkan
maksudnya untuk melancarkan serangan susulan.
Angkeran yang bersenjatakan golok besar berbatang lebar mengirimkan bacokan ke
arah leher. Sedangkan Dunggul menusukkan trisulanya ke arah
perut. Dua serangan yang mematikan itu meluncur dalam waktu yang bersamaan!
Serangan rekan-rekan Longga meluncur cepat. Tapi, gerakan Dewa Arak masih lebih
cepat lagi. Pemuda ini mengelakkannya dengan melakukan lompatan harimau ke
samping. Dilanjutkan dengan bergulingan di tanah, lalu melenting ke udara, dan
menjejak tanah dengan mantap.
Dunggul dan Angkeran menggertakkan gigi karena
geram. Mereka tak segera menyerbu Dewa Arak kembali.
Yang dilakukan kedua tokoh ini adalah menatap Arya.
Sepasang mata mereka seperti hendak menelan pemuda itu bulat-bulat.
Longga segera bergabung bersama kedua rekannya.
Dia mengeluarkan sebuah gada berduri! Senjata yang mengerikan itu diamangamangkannya di atas kepala.
Tanpa bersepakat lebih dulu, Tiga Hantu Pantai Selatan ini mendekati Dewa Arak
dengan cara berpencar.
Arya tetap berdiri diam di tempatnya. Pemuda ini tak bergeming sama sekali,
seakan tak peduli akan tindakan lawan-lawannya. Sepasang bola matanya saja yang
bergerak ke sana kemari. Siap menghadapi serbuan Tiga Hantu Pantai Selatan.
Setindak demi setindak Angkeran dan rekan-rekannya semakin mendekati Dewa Arak.
Senjata di tangan mereka putar-putarkan dan siap diluncurkan pada sasaran.
Sementara Arya belum mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Tiga Hantu Pantai Selatan terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi.
Julukan mereka telah sampai ke telinga Arya. Tapi, baru kali ini dia berhadapan
langsung dengan mereka. Arya tak berani memastikan akan dapat mengalahkan tokohtokoh sesat itu!
"Itu putri si keparat Paksi Dilaga!"
Seruan itu sebenarnya tak perlu dikeluarkan Longga.
Angkeran dan Dunggul pun telah melihatnya. Hanya Arya yang tak melihat. Pemuda
itu berdiri membelakangi sungai.
Seruan tersebut membuat Arya menyempatkan diri
menoleh ke belakang. Memang, ada sepercik dugaan
kalau seruan itu sengaja dikeluarkan untuk mengalihkan perhatiannya. Bagi tokohtokoh sesat seperti Tiga Hantu Pantai Selatan, cara apa pun bukan merupakan
masalah untuk mencapai kemenangan. Tidak ada istilah curang.
Yang penting adalah menang!
Sekelebatan Arya menoleh. Waktu yang hanya sekejap itu telah cukup untuk
membuktikan kebenaran seruan Longga. Pringgani tengah berenang menuju pinggir
sungai! "Mengapa Pringgangi berenang" Ke mana perahunya"
Mana ayahnya?" pikir Arya bingung. Pandangannya kembali diarahkan pada Tiga
Hantu Pantai Selatan. Arya tidak berani berlama-lama mengalihkan perhatian dari
mereka, khawatir akan adanya serangan bokongan.
Kemunculan Pringgani menimbulkan pengaruh yang
cukup besar. Bukan hanya pada Dewa Arak. Tapi, juga pada Angkeran dan rekanrekannya. Arya melihat perhatian mereka terpecah. Pemuda
berambut putih keperakan ini adalah seorang yang cerdik.
Dari percakapan Tiga Hantu Pantai Selatan tadi, dia tahu kalau mereka tengah
mengejar-ngejar gadis itu.
"Kau urus gadis liar itu, Longga. Biar anjing kecil yang usilan ini kami yang
bereskan!" seru Angkeran, keras.
Belum juga gema seruan itu lenyap, Angkeran melesat menerjang Dewa Arak. Dunggul
segera mengikuti tindakan Angkeran. Longga sendiri melesat cepat menuju pinggir
sungai. Di dalam hati Dewa Arak memuji kecerdikan Angkeran.
Lelaki tinggi besar itu mampu berpikir cepat, sehingga Arya tak mempunyai
kesempatan untuk menolong Pringgani, jika hal itu memang akan dilakukannya.
Dewa Arak sendiri memang bermaksud untuk
menolong Pringgani. Kendati dia belum mengetahu urusan ketiga lawannya dengan
gadis itu, tapi melihat Tiga Hantu Pantai Selatan, Arya dapat memperkirakan
pihak mana yang harus dibantunya.
Arya tak mau bertindak ayal-ayalan karena Pringgani tengah terancam. Diambil
guci araknya lalu diputar-putarkan. Benteng sinar keperakan melindungi sekujur
tubuh Arya. Demikian cepatnya putaran guci sehingga tubuh Dewa Arak terbungkus
gulungan sinar.
Trang...! Trang.. !
Bunyi nyaring berkali-kali terdengar. Diikuti dengan berpercikannya bunga-bunga
api ke udara. Bunyi itu tercipta ketika golok dan trisula berbenturan dengan
guci. Angkeran dan Dunggul memekik tertahan. Tubuh
mereka terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang.
Sekujur tangan mereka sakit dan ngilu, bahkan hampir lumpuh. Cekalan terhadap
senjatanya pun hampir terlepas.
Mereka merasakan trisula dan goloknya seperti bukan membentur guci, melainkan
tembok baja yang amat tebal, sehingga membuat tenaga mereka berbalik.
Di lain pihak, Dewa Arak tak terpengaruh dengan
benturan yang terjadi. Kesempatan di saat kedua lawannya tengah terhuyung-huyung
dipergunakannya untuk bersalto ke belakang. Kemudian, melesat ke pinggir sungai
untuk menolong Pringgani dari ancaman Longga.
Angkeran dan Dunggul tak membiarkan tindakan Dewa Arak. Sambil memaki-maki
kalang kabut, keduanya lalu melesat mengejar.
*** Sementara itu, di pinggir sungai. Pringgani yang melihat melesatnya Longga ke
arahnya segera menyadari akan adanya bahaya. Dia menganal Longga sebagai salah
seorang di antara pengejar-pengejar dirinya dan ayahnya.
Maka, putri Paksi Dilaga ini pun mempercepat
berenangnya. Dia berhasil tiba lebih dulu di pinggir sungai daripada Longga.
Pringgani langsung mencabut pedang yang tersampir di punggung. Diterjangnya
Longga yang baru tiba dengan sebuah tusukan ke arah leher.
Menghadapi serangan maut itu, Longga hanya
menyeringai meremehkan. Diayunkan gadanya untuk
menangkis. Trang...! Pedang di tangan Pringgani terlepas dari pegangan, karena kuatnya benturan yang
terjadi. Tubuh gadis itu pun terpental ke belakang.
Longga tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, dia melesat mengejar.
Dikirimkannya tendangan kanan-kiri bertubi-tubi yang dilakukan dengan tubuh
berputaran seperti gasing.
Pringgani terlihat gugup. Kedudukannya saat itu tidak menguntungkan. Tapi, dia
tak ingin nyawanya yang hanya selembar itu melayang. Sebisa-bisanya dia
mengelak. Desss... ! Tubuh Pringgani terlempar ketika tendangan Longga menyerempet bahunya. Sepasang
bibir yang merah
membasah dan berbentuk indah itu mengeluarkan pekik kesakitan.
Tapi, Longga belum puas! Lelaki botak ini mengirimkan serangan susulan dengan
tendangan terbang. Saat itu tubuh Pringgani masih melayang di udara.
Bresss! Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Longga! Lelaki botak ini terlempar
kembali ke belakang. Beberapa kaki sebelum serangannya mengenai sasaran, dari
belakang Pringgani melesat dengan kecepatan tinggi si Dewa Arak!
Pemuda berpakaian ungu itu memapak serangan
Longga dengan tendangan terbang pula. Kemarahan besar yang melanda, melihat
kekejaman Longga terhadap
Pringgani, membuat Arya mengeluarkan seluruh
tenaganya. "Longga...!"
Jeritan penuh rasa kaget dikeluarkan hampir
berbarengan Angkeran dan Dunggul.
Bagaikan telah disepakati sebelumnya, Dunggul
melesat menuju ke arah melayangnya tubuh Longga.
Sedangkan Angkeran dengan kemarahan meluap-luap
menyerbu Dewa Arak.
Arya yang saat itu hendak menangkap tubuh Pringgani terpaksa mengurungkan
niatnya. Dia memutushan untuk lebih dulu menghadapi serangan Angkaran. Serangan
yang tertuju ke arah dada itu dihadapinya dengan mengegoskan kepala.
Wung...! Caping yang sejak tadi bertengger di kepala Arya
melesat dengan kecepatan tinggi, memapaki serangan golok Angkeran. Caping
meluncur bagaikan dilontarkan tangan yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Di saat caping meluncur, Dewa Arak memutarmutarkan rambutnya di atas kepala. Angin keras
berhembus searah dengan luncuran caping.
Pyarrr...! Caping hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan golok Angkeran. Tapi,
Angkeran sendiri terjengkang ke belakang. Tangannya bergetar hebat dan senjata
hampir terlepas dari pegangan.
Belum lagi tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini berhasil meredakan rasa
terkejutnya, hancuran-hancuran caping yang semula berpencaran ke berbagai
penjuru meluncur deras ke arah Angkeran. Putaran rambut Dewa Arak yang menjadi
penyebabnya! Putaran yang mengandung tenaga dalam kuat itu mengarahkan kepingankepingan caping ke arah Angkeran.
Crap, Crap, Crappp...!
"Aaakh...!"
Angkeran menjerit kesakitan. Kepingan-kepingan
caping menancap di paha, bahu, dada, dan perutnya.
Padahal lelaki tinggi besar ini telah berusaha
mengelakkannya. Tapi karena banyaknya kepingan,
usahanya tak sepenuhnya berhasil. Darah pun mengucur dari bagian tubuh yang
terluka. Bahkan, sebelah tangan dan kakinya yang terhujam kepingan caping sukar
untuk digerakkan.
Dewa Arak tak mempergunakan kesempatan itu untuk
melancarkan serangan. Dia malah menatap Angkeran
dengan sorot tajam. Angkeran balas menatap penuh
dendam. Dia tak menyerang lagi.Tak ada gunanya hal itu ditakukan. Lawan terlalu
lihai untuknya. Apalagi setelah sebelah kaki dan tangannya lumpuh.
Beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan.
Angkeran kemudian terlihat mengangguk-anggukkan
kepala. Dia telah bisa memperkirakan siapa adanya pemuda berpakaian ungu ini.
Pakaian, guci, dan terutama sekali rambutnya yang putih keperakan telah menjadi
petunjuk yang jelas.
"Kau..., Dewa Arak, bukan?" tanya Angkeran meminta kepastian.
"Kalau benar, mengapa?" Arya malah balas bertanya Wajahnya tampak penuh
kesungguhan. Tak lagi bermain-main seperti ketika berbicara dengan Longga.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kalau kau adalah tokoh sombong dan
usilan yang sering dibicarakan orang," kilah Angkeran. Mulutnya menyeringai oleh
rasa sakit pada lukanya yang mulai menggigit.
"Aku memang tokoh yang kau maksudkan itu. Puas"!"
tandas Arya. Angkeran membuang ludah dengan sikap angkuh.
Kasar dan menjijikkan sekali carannyaa. Bahkan, sepasang matanya masih tertuju
pada Arya dengan sinar mata penuh tantangan.
"Pergilah, Angkeran," Dewa Arak mengalihkan pembicaraan. "Aku tak mempunyai
urusan denganmu dan kawan-kawanmu. Memang nama besar kalian telah sampai ke
telingaku. Tapi, kejahatan kalian belum pernah kusaksikan! Jadi sebelum
pikiranku berubah, pergilah.
Bawa rekan-rekanmu,meninggalkan tempat ini!"
Angkeran menggertakkan gigi. Dia merasa terhina
sekali. Tapi, disadarinya pula tidak ada gunanya mengikuti perasaan. Dewa Arak
terlalu tangguh untuk dihadapi.
"Nama besarmu pun telah lama kudengar, Dewa Arak.
Gaung yang menggema di dunia persilatan memang tak terlalu berlebihan. Kau
sungguh lihai. Aku dan kawan-kawanku menerima kekalahan hari ini. Tapi ingat,
urusan kita belum selesai sampai di sini. Kelak kami akan datang dan mengirim
nyawamu ke neraka! Camkan itu!"
Arya hanya mengangkat bahu. Seakan tak begitu peduli dengan keputusan Angkeran.
Sementara Angkeran, setelah mengeluarkan ancaman itu, membalikkan tubuh dan
meninggalkan Dewa Arak dengan tertatih-tatih. Kendati demikian dadanya dibusungbusungkan! Dihampirinya Dunggul yang telah memanggul tubuh Longga.
Longga tak sadarkan diri. Benturan dengan Dewa Arak berakibat terlalu dahsyat
untuk dirinya. Kedua kakinya patah dan terluka dalam. Untung saja Dunggul lebih
dulu menangkap tubuhnya sebelum terbanting keras di tanah.
Kalau tidak, Longga akan lebih menderita lagi.
Dunggul tak bicara apa-apa ketika melihat Angkeran meninggalkan Dewa Arak.
Memang, ada sedikit rasa tak puas di hatinya melihat Angkeran tak mau
melanjutkan pertarungan. Namun, akal sehatnya membuat Dunggul dapat membenarkan
keputusan tersebut. Karena itu, setelah melemparkan kerling penuh dendam pada
Dewa Arak, dia mengikuti rekannya meninggalkan tempat itu.
3 "Benarkah kau Dewa Arak"!" tanya Pringgani. Nada suaranya terdengar penuh
keterkejutan. Gadis berpakaian kuning ini menatap Arya lekat-lekat.
Sorot mata itu mengandung kekaguman dan
ketidakpercayaan. Dia telah mendengar tentang julukan Dewa Arak. Sudah lama
Pringgani mengaguminya. Tapi, sungguh dia tak pernah menyangka akan dapat
bertemu. Arya berdiri berhadapan dengan puti Paksi Dilaga itu.
Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dikembangkannya senyum lebar seraya menganggukkan kepala.
"Benar Nona," jawab Arya kalem.
"Kalau saja tak melihat sendiri kepandaianmu dan mendengar tokoh sesat itu
menyebutkannya, aku tak akan pernah tahu kau adalah Dewa Arak. Semula kukira kau
seorang nelayan biasa...."
"Berita yang tersebar di dunia persilatan terlalu berlebihan, Nona," sahut Arya
merendah. "Sama sekali tidak! Persis seperti yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak.
Seorang pendekar muda yang sakti, rendah hati, dan budiman. Pakaian yang
dikenakan berwarna ungu, rambut putih keperakan, dan guci perak yang merupakan
senjata andalannya," puji Pringgani. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tak
dipedulikan sahutan Arya yang menyanggah pujiannya pertama tadi.
Arya hanya tersenyum tipis menanggapi pujian-pujian Pringgani.
"Gembira sekali aku bisa bertemu denganmu, Dewa Arak. Tapi sayang...," desah
putri Paksi Dilaga itu.
Kemudian menghela napas berat. Wajahnya yang semula berseri-seri mulai tersaput
awan kedukaan. Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengerti maksud ucapan gadis
berpakaian kuning itu. Tapi, Arya tak mengutarakan ganjalan perasaannya.
Pringgani telah melanjutkan ucapannya.
"Kalau saja di saat perjumpaan kita pertama kali aku tahu kau adalah Dewa Arak,
mungkin sekarang aku tak perlu berpisah dengan ayahku. "
"Sejak tadi pun aku bertanya-tanya sendiri mengapa kau tak bersama ayahmu, Nona.
Ke mana beliau, dan mengapa kau kembali dengan berenang?" Arya
mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi menggayuti benaknya.
Wajah Pringgani semakin muram. Rupanya pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya akan
pengalaman yang tak menyenangkan.
"Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan bosan
mendengarkannya...."
"Mudah-mudahan saja tidak, Nona," jawab Arya, menghibur.
Pringgani mengukir senyum. Terlihat agak dipaksakan.
Kendati demikian, wajahnya yang jelita tampak semakin cantik. Gadis ini menghela
napas berat sebelum memulai kisahnya.
"Menurut penuturan ayahku, sewaktu berusia dua puluh tahun beliau melanglang
buana di dunia persilatan untuk mengamalkan ilmunya. Membela si lemah dari
tindasan sang angkara murka. Tak terhitung sudah
banyaknya tokoh sesat yang tewas di tangannya. Julukan ayahku Harimau Bertangan
Delapan, karena kehebatannya bermain tangan kosong beliau. "
Arya tak merasa heran mendengar cerita itu. Sejak pertama kali melihat Paksi
Dilaga, dia sudah bisa memperkirakan kepandaian lelaki setengah baya itu.
Walaupun demikian, Arya tak yakin kalau Paksi Dilaga mampu mengalahkan Tiga
Hantu Pantai Selatan yang
mengejar-ngejarnya.
"Tindakan mulia itu tetap berlanjut kendati telah menikah dengan seorang gadis
pendekar. Malah, bersama-sama mereka menentang tindak kejahatan. Keputusan yang
mereka sepakati membuat ayah dan ibuku tak
mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain," Pringgani melanjutkan ceritanya.
Tiga tahun setelah menikah ibunya Pringgani
mengandung. Paksi Dilaga yang ingin agar anaknya lahir selamat memutuskan untuk
menetap di satu tempat.
Mereka berdua tak melanglang buana lagi. Hanya kadang-kadang Paksi Dilaga
meninggalkan rumah untuk
mengamalkan ilmunya. Kebiasaan itu tak berubah sampai Pringgani lahir.
Sewaktu Pringgani berumur tiga tahun, tempat tinggal mereka disatroni tbkohtokoh sesat yang dikenal sebagai Tiga Hantu Pantai Selatan. Kedua orang tua
Pringgani menghadapi mereka, sehingga terjadi pertarungan.
Ternyata tokoh-tokoh itu luar biasa tangguh. Ibunya Pringgani tewas, sementara
ayahnya hanya luka ringan.
Sebelum wafat, ibunya Pringgani berpesan pada
suaminya untuk memelihara anak mereka baik-baik. Pesan terakhir itu membuat
Paksi Dilaga meninggalkan lawan-lawannya, meski dengan terpaksa dan berat hati.
Paksi Dilaga mencari tempat yang tersembunyi untuk tempat tinggal mereka. Paksi
Dilaga menjauhi kehidupan dunia persilatan dan menyambung hidupnya dengan
bertani. "Tapi, malapetaka rupanya belum berhenti menimpa kami. Beberapa bulan yang lalu
Tiga Hantu Pantai Selatan berhasil menemukan tempat persembunyian kami.
Kembali kami berdua menjadi orang-orang buruan. Ayah tak bermaksud mencari
tempat persembunyian baru.
Beliau ingin membawaku ke tempat tinggal keluarganya, yang diyakininya mempakan
tempat yang aman bagiku.
Sementara beliau sendiri akan membalaskan kematian Ibu pada Tiga Hantu Pantai
Selatan...."
Arya tercenung ketika Pringgani menghentikan
ceritanya. Sejenak diaturnya napas untuk menenangkan perasaan hatinya yang
terguncang. Kisah lama yang tak menyenangkan itu membuat kesedihan Pringgani
bertambah. "Dalam pelarian menuju tempat tinggal keluarga Ayah itu, kami bertemu denganmu
dan mendapatkan pinjaman perahu. Sayang, di tengah perjalanan gerombolan bajak
sungai menyerbu kami, Ayah menyuruhku pergi, sementara beliau menghadapi
penjahat-penjahat itu. Semula aku berkeras untuk bersamanya. Aku lebih rela mati
bersama Ayah daripada meninggalkannya menghadapi bahaya
maut. Tapi, beliau berkeras. Hhh...! Kalau saja Ayah memberiku pilihan, aku
lebih suka bersamanya.... "
Arya ikut menghela napas berat ketika Pringgani
mengakhiri ceritanya. Dia menyetujui sikap yang diambil Paksi Dilaga, yang
memerintahkan putrinya untuk pergi. Di lain pihak, Pringgani pun tak bisa
disalahkan. Dia tak ingin meninggalkan ayahnya menghadapi bahaya sendirian.
"Mudah-mudahan saja ayahmu selamat, Nona," ujar Arya akhirnya.
"Begitulah harapanku, Dewa Arak. Andaikata pun beliau tewas, aku harus menemukan
mayatnya! " tandas Pringgani.
"Itu merupakan sebuah keharusan, Nona. Tentu saja bila keadaan memungkinkan. Aku
bersedia membantumu kalau kau tak keberatan," ucap Arya menawarkan jasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak."
"Tak perlu kau permasalahkan hal itu, Nona. Tolong-menolong merupakan kewajiban
kita. Kurasa kau sendiri pun tahu, karena ayahmu seorang pendekar, " kilah Arya.
Pringgani mengangguk-anggukkan kepala. Sikap dan
ucapan pemuda berrambut putih keperakan yang menarik hatinya itu membuat
kedukaannya sedikit berkurang.
"Maaf, Dewa Arak. Aku mempunyai sebuah dugaan mengenai dirimu. Tapi, aku
khawatir kau akan marah jika aku mengatakannya, " ucap Pringgani ragu-ragu,
memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
"Katakan saja, Nona. Tidak perlu khawatir. Kurasa aku tak akan marah. Apakah aku
kelihatan seperti orang yang gampang marah-marah?" tanya Arya setengah bergurau.
Pringgani tersenyum. Tak disahutinya gurauan Dewa Arak.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Nona," Arya terdengar bersungguh-sungguh. "Hal
yang telah berlalu biarkan berlalu. Kita boleh saja berduka karena malapetaka
yang menimpa, tapi berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan merugikan diri
sendiri. Lagi pula, setiap kejadian di muka bumi ini tak luput dari kehendak
Tuhan. Jadi terimalah semua ini dengan lapang dada."
Pringgani tercenung sejenak memikirkan nasihat Dewa Arak. Gadis yang cerdas ini
segera dapat menerima kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kembali
kedukaannya sedikit terusir pergi.
"Begini Dewa Arak, keadaanmu membuatku menduga kau tengah menyembunyikan diri.
Maksudku... kau seperti tak ingin dikenal orang. Aku berpikir demikian karena
melihat kau menyembunyikan wajah dan rambutmu di
balik caping. Apakah dugaanku ini benar, Dewa Arak?"
tanya Pringgani kemudian. Ditatapnya wajah Arya lekat-lekat, seolah ingin
membaca apa yang terkandung di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya lebih dulu tersenyum sebelum menganggukkan
kepalanya. "Mengapa, Dewa Arak" Apakah kau pun tengah dikejar-kejar musuh-musuhmu yang jauh
lebih sakti?" desak Pringgani, ingin tahu. "Rasanya aku tak percaya ada orang
yang lebih lihai dari padamu. Kudengar kau belum pernah dikalahkan tokoh mana
pun. Malah, Tiga Hantu Pantai Selatan dapat kau pecundangi!"
"Tidak terlalu tepat benar, Nona," kilah Arya. "Memang, aku tak ingin dikenali.
Tapi bukan karena takut
pembalasan dari musuh-musuhku. Aku hanya berusaha menjauhkan gangguan orangorang. Bila aku tampil seperti biasanya, kemungkinan besar tokoh-tokoh
persilatan mengenaliku."
Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ia ingin
memberikan kesempatan pada Pringgani untuk mencerna kata-katanya.
"Tentu saja kalau ada tindak kejahatan, aku tak akan tinggal diam. Penyamaranku
pun akan kutanggalkan. Dan yang pasti, sedikit banyak tindakan penyamaranku ini
mengurangi jumlah orang yang tewas, karena menaruh dendam padaku."
Pringgani mengangguk dengan wajah puas.
Keadaan menjadi hening ketika Arya tak berbicara lagi.
Pringgani sendiri tampak belum menemukan bahan
pembicaraan lain.
"Kita seperti telah bersahabat lama, Nona. Saling bercerita seakan telah saling
mengenal. Kalau tak salah namamu Pringgani, bukan?"
"Betul," jawab putri Paksi Dilaga itu dengan wajah memerah, karena agak malu.
"Kau sendiri..., maksudku..., nama aslimu Arya Buana?"
"Benar, Nona. Arya Buana nama pemberian
orangtuaku. Kuharap kau memanggilku dengan nama saja.
Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku daripada julukan kosong pemberian
orang-orang persilatan yang terlalu berlebihan," jawab Arya.
"Aku setuju saja, De..., eh, Arya," wajah Pringgani semakin memerah. Entah mengapa
dia merasa risih
memanggil pemuda tampan di hadapannya dengan
namanya. "Bukan hanya kau saja yang lebih suka dipanggil dengan nama. Aku pun
demikian. Karena itu, panggillah aku dengan nama yang diberikan orangtuaku.
Jangan nona-nonaan segala."
"Baiklah, No..., eh, Pringgani'"
Pringgani tersenyum geli mendengar Arya kerepotan menyapanya. Perasaan ini
sedikit mengusir rasa malu yang mendera, dan membuatnya lebih berani untuk
berbicara. "Panggil saia aku Gani, Arya. Orang-orang biasanya memanggilku demikian."
"Kurasa itu lebih enak diucapkan, Gani..."
Pringgani menundukkan waiahnya yang memerah.
Ketika itulah si gadis baru sadar akan keadaan dirinya. Dia berbincang-bincang
dengan seorang pemuda di saat
seluruh pakaiannya basah kuyup! Pakaian itu melekat hingga potongan tubuhnya
terlihat jelas. Bahkan dua bukit kembar di dadanya menonjol dengan jelas.
Arya sendiri harus mengakui kalau Pringgani, seorang gadis yang sempurna. Bukan
hanya wajahnya yang jelita dengan kulit putih mulus, tapi bentuk tubuhnya pun
benar-benar menggiurkan hati. Semua itu terlihat jelas karena pakaian si gadis
yang basah kuyup. Sebagai seorang pemuda, Arya tak kuasa untuk menekan debaran
jantungnya. "Kurasa...," ujar Pringgani lirih seraya mengangkat wajahnya. "Lebih baik aku
berganti pakaian dulu, Arya. Tapi sayang, aku tak mempunyai pakaian ganti.
Semuanya tercebur di sungai. "
"Jangan khawatir, Gani," sambut Arya, cepat.
"Aku mempunyai beberapa potong pakaian di
buntalanku. Mungkin sedikit kebesaran. Tapi, kurasa itu lebih baik daripada kau
mengenakan pakaian basah."
Pringgani mengedarkan pandangan berkeliling setelah menerima pakaian dari Arya.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesunyian. Tak hanya di sekitar
sungai. Tapi di daratan. Arya tahu maksud gadis berpakaian kuning itu. Maka, tanpa
banyak bicara, tubuhnya segera
dibalikkan. Tanpa membuang-buang waktu, Pringgani bergegas membuka pakaiannya
dengan pandangan yang tak lepas dari Arya. Gadis ini merasa tegang. Kalau saja
tak ingat orang yang berada di depannya adalah Dewa Arak, dia tak akan sudi
berganti pakaian dengan cara demikian.
4 Dewa Arak berdiri membelakangi Pringgani tanpa berani menoleh sedikit pun. Tapi,
kekhawatiran mulai merayapi hatinya ketika tak mendengar adanya bunyi.
"Gani...," tegur Arya ragu-mgu. Suaranya terdengar lirih.
Sungguhpun demikian, pemuda berambut putih keperakan ini yakin Pringgani akan
mendengarnya. Tidak ada sahutan. Arya menunggunya beberapa saat.
Tapi sahutan yang diharapkannya tak kunjung tiba.
Kekhawatiran Arya mulai membesar. Apalagi ketika
dirasakannya keadaan demikian lengang. Tak terdengar bunyi apa pun selain desau
angin dan riak air sungai.
"Gani...!" sapa Arya lebih keras. "Sudah selesaikah kau"
Katakanlah! Kalau sudah, aku akan berbalik. Kita harus bergegas agar dapat
mencari ayahmu...."
Tetap saja tak ada sahutan. Arya jadi kehilangan
kesabaran, karena rasa khawatir yang semakin besar akan keselamatan Pringgani.
"Ku hitung sampai tiga, Gani. Bila kau tetap diam, aku akan menganggap kau telah
selesai. Aku akan berbalik!"
Untuk kesekian kalinya tak ada sahutan atas perkataan Dewa Arak. Kenyataan ini
membuat pemuda tersebut
kehilangan kesabarannya.
"Satu..., dua..., ti...," Arya menggantung hitungan yang terakhir, untuk
memberikan kesempatan pada Pringgani menyela. Tapi, harapan pemuda berpakaian
ungu itu sia-sia. "Ga...!", lanjut Arya dengan suara keras. "Aku berbalik,
Gani." Pemuda berambut putih keperakan ini membalikkan
tubuhnya. "Ah.. !"
Dewa Arak tak kuasa untuk menahan seruan kagetnya.
Dia tak melihat Pringgani! Arya sampai terjingkat ke belakang menghadapi
kenyataan tak diduganya itu.
"Gani!" seru Arya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, hanya
kesunyian yang disaksikannya.
"Ke mana perginya Pringgani?" tanya Dewa Arak dalam hati. "Mungkinkah dia diamdiam pergi dari sini" Tapi, rasanya tak mungkin! Aku pasti akan mendengar bunyi
langkahnya. Lagi pula, tak mungkin dia pergi tanpa mengenakan pakaian."
Pakaian-pakaian yang berserakan di tanah membuat
Dewa Arak yakin kalau Pringgani telah diculik. Bulu kuduk Arya berdiri tanpa
dapat dicegahnya. Arya membayangkan betapa tingginya kepandaian si penculik,
sehingga bisa membawa putri Paksi Dilaga tanpa dia mendengarnya.
Kalau saja saat itu sang penculik membokongnya,
kemungkinan besar Arya akan celaka!
Peristiwa penculikan terhadap putri Paksi Dilaga itu merupakan tantangan
terhadap dirinya. Karena itu, pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan
untuk mencarinya! Dia telah mempunyai patokan arah si penculik pergi. Yang
jelas, tidak ke arah Arya semula menghadap
*** Arya menatap ke seberang. Diperkirakannya lebar
sungai yang terbentang di hadapannya. Beberapa lama pemuda ini bersikap
demikian. Kemudian, dengan
didahului pekikan nyaring, dia menjejak tanah dan bersalto beberapa kali untuk
menambah jauh jarak yang
dicapainya. Seperti yang telah diperhitungkan Arya, tubuhnya
melayang turun ketika baru berjarak delapan tombak dari pinggir sungai. Padahal,
jarak yang terbentang dari tepi sungai yang satu ke tepi yang lain tak kurang
dari dua puluh tombak!
Arya tetap bersikap tenang. Di saat tubuhnya meluncur turun, sabuk yang melilit
pinggang diloloskan lalu dilecutkannya ke arah permukaan air.
Ctarrr...! Permukaan air sungai bergolak hebat bak dilanda angin besar. Tapi, Dewa Arak tak
mempedulikan hal itu. Dia kemudian membenturkan sabuknya pada permukaan air,
meminjam tenaga benturan sabuk dengan air untuk
melentingkan tubuhnya ke udara!
Jlig!
Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arya menjejakkan kaki secara mantap di seberang
sungai. Untuk mencapai tempat ini, pemuda berambut putih keperakan ini beberapa
kali melecutkan cambuknya ke permukaan sungai.
Daerah pinggir sungai ini berbeda dengan pinggir
sungai yang ditinggalkan Arya. Di tempat ini banyak terdapat gundukan-gundukan
batu berukuran beraneka ragam.
"Bodoh! Kalian benar-benar goblok!"
Makian-makian keras itu tertangkap telinga Arya, ketika baru saja melangkah dua
tindak. Tanpa pikir panjang lagi pemuda ini menyelinap ke salah satu gundukan
batu. Dari tempat tersebut dia berindap-indap menuju asal suara.
Beberapa tombak kemudian pemuda berambut putih
keperakan ini mengintai. Tampak olehnya enam sosok tubuh tengah duduk bersila.
Lima orang lelaki berompi hitam duduk berhadapan dengan seorang lelaki
berpakaian kulit ular.
"Aku benar-benar tak mengerti! Bagaimana mungkin si macan ompong itu dapat
lolos"!"
Itu ucapan orang yang pertama kali didengar Arya.
Pemuda ini segera tahu siapa pemiliknya! Sosok
berpakaian kulit ular yang duduk di atas gundukan batu berpermukaan rata.
"Kalau di daratan, bisa kumaklumi macan ompong itu bisa mempecundangi kalian!
Tapi di sungai" Apa artinya julukan kalian yang besar" Lima Setan Air! Buktinya,
nol besar!"
"Bukan hanya Datuk, kami sendiri kalau tak
mengalaminya sendiri tak akan percaya," jawab salah seorang dari lima lelaki
berompi hitam. Dia bertubuh tinggi kurus. "Si keparat Paksi Dilaga itu ternyata
memiliki kemampuan luar biasa. Tak kalah dengan kami. Setelah memerintahkan
putrinya segera lolos, dia kabur pula!"
Sosok berpakaian kulit ular, adalah seorang kakek berusia delapan puluh tahun.
Wajahnya tirus mirip muka tikus. Tubuhnya kecil kurus. Kelihatan ringkih dan
lemah jika dibandingkan dengan anggota-anggota Setan Air. Si datuk mendengus,
mendengar alasan yang dikemukakan lelaki berompi hitam. Hal ini membuat Lima
Setan Air menjadi gelisah.
"Percayalah Datuk, kami tak bohong! Kami berjanji akan membawa mereka ke hadapan
Datuk!" sambung lelaki tinggi kurus. Dia terlihat lebih pandai bicara daripada
rekan-rekannya. Empat rekannya segera menganggukkan kepala, membenarkan ucapan
itu. Kakek berpakaian kulit ular kembali mendengus.
"Dengar baik-baik, Kecoa-Kecoa Air!" rutuk kakek itu.
"Aku tak pernah memberikan kesempatan lain pada siapa pun! Tak terkecuali pada
kalian! Jelas"!"
Wajah Lima Setan Air langsung pucat pasi. Jawaban si kakek merupakan pertanda
buruk bagi mereka.
"He he he...!"
Si kakek terkekeh berkepanjangan. Mula-mula Lima
Setan Air tak merasakan adanya hal yang aneh. Tapi, beberapa saat kemudian
mereka mengetahui kalau tawa itu bukan tawa sembarangan. Lelaki-lelaki berompi
hitam ini merasakan getaran hebat pada dada. Telinga mereka pun berdengung
seakan ada puluhan lebah marah masuk ke dalamnya.
Sesaat kemudian, kelimanya menggelepar-gelepar
seperti binatang disembelih. Bergulingan ke sana kemari dengan wajah menyiratkan
kesakitan. Lolong kesakitan menyayat hati keluar dari mulut mereka.
Si kakek terus tertawa. Karena, memang melalui
tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam dia menyiksa Lima Setan Air.
Wajah kakek ini berseri-seri.
Sepasang matanya berbinar-binar melihat para korbannya menderita hebat.
Kakek ini baru menghentikan tawanya ketika Lima
Setan Air tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dalam keadaan begitu
mengenaskan. Dari lubang hidung, mata, dan telinga mereka mengalir darah segar.
"Kunyuk-kunyuk yang tak punya guna!"
Sambil merutuk jengkel, si kakek mengarahkan
pandangan lurus ke depan.
"Kurasa..., sudah saatnya kau unjukkan diri, Pengintai Hina! Atau kau ingin aku
yang memaksamu keluar"!"
Arya terperanjat di tempat pengintaiannya.
"Begitu lihaikah kakek ini sehingga dapat mengetahui keberadaanku?" pikir pemuda
itu setengah tak percaya.
"Padahal aku berjarak tiga tombak darinya."
"Rupanya kau pikir aku main-main, heh"! Tidakkah kau lihat nasib kunyuk-kunyuk
yang tak menyenangkan hatiku itu" Kau ingin bernasib seperti mereka"!" sambung
kakek berwajah tirus. Atau kau benar-benar seorang pengecut!
Hanya berani mengntai di tempat tersembunyi. Tidakkah kau dapat bertindak
sedikit jantan, Monyet"!"
Pernyataan kedua kalinya dari si kakek sangat
menyinggung harga diri Arya. Pemuda ini tak sudi dianggap pengecut! Dia telah
bersiap untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi, maksud itu segera
ditunda. Kakek berpakaian kulit ular terdengar kembali berujar.
"Kubuktikan ancamanku, Pengecut Hina!"
Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi melengking. Kakek
berpakaian kulit ular ini mengerahkan tenaga dalam pada lengkingannya. Hanya,
pemuda ini heran ketika tak merasakun adanya pengaruh serangan terhadap dirinya.
"Ke mana kakek itu menujukan serangannya"!" tanya Arya dalam hati.
"Seperti hendak memberikan jawaban atas
kebingungan si pemuda, terdengar bunyi ledakan keras.
Arya hampir terlompat saking kagetnya. Bunyi gaduh itu berasal dari hancurnya
gundukan batu sebesar kerbau yang berada di sebelah kiri si kakek. Sementara
Arya berada di balik batu yang berada di sebelah kanannya.
Debu mengepul tinggi ke udara. Pemandangan yang
terpampang di balik gundukan batu tadi terhalang. Ketika debu-debu itu terusir
pergi, Arya tersentak kaget melihat sosok yang tampak! Hampir saja seruan yang
berada di ujung lidahnya terlontar kelar. Untung, di saat-saat terakhir dia
teringat! Akhirnya seruan itu hanya terpekik di dalam hati. "Paman Paksi!"
Sosok yang dilihat Arya memang Paksi Dilaga. Lelaki itu berdiri tegak menatap
kakek berpakaian kulit ular yang menundukkan kepala, bersikap memandang remeh.
"Siapa kau, Anjing Pengecut"!" dengus si kakek penuh ancaman. "Sungguh berani
kau mengintaiku! Rupanya kau telah bosan hidup, heh"!"
Paksi Dilaga tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia masih belum dapat menekan
guncangan dalam dadanya.
Keberadaannya yang diketahui dan hancurnya gundukan batu tanpa si kakek
menyentuhnya, terlalu
mengejutkannya.
"Aku tidak serendah itu. Dan, aku tak pernah mengintai.
Aku telah berada di sini sebelum kau dan kaki tanganmu datang!"
Kakek berwajah tirus menatap paksi Dilaga. Yang
ditatap merasakan bulu kuduknya berdiri. Sepasang mata si kakek mencorong tajam
dan bersinar kehijauan laksana mata seekor harimau dalam gelap. Hanya karena
kekerasan hati, ayahnya Pringgani ini rnampu untuk menatap terus.
"Aku tak peduli!" tandas si kakek dengan wajah bengis.
"Kau boleh memberikan alasan apa pun, namun aku akan tetap menghukummu! Tapi
sebelum kau mampus,
perkenalkan dulu dirimu! Aku tak ingin membunuh orang yang tak pernah kukenal!"
Merah padam selebar wajah Paksi Dilaga. Dia merasa tersinggung bukan main.
Karena dorongan perasaan itu pula, dia kemudian bertindak nekat.
"Akan kubuktikan padamu kalau aku bukan seorang pengecut!" geram Paksi Dilaga.
"Dengar baik-baik, aku adalah orang yang kau cari-cari! Akulah Paksi Dilaga!"
Kakek berwajah tirus terperanjat. Diperhatikannya ayahnya Pringgani dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
Sikapnya penuh rasa tak percaya.
"Kau"! Paksi Dilaga"!" ujar si kakek setengah tertawa.
Karena tak menyangka akan dapat menemukan orang
yang dicari-carinya.
"Benar! Aku Paksi Dilaga! Mengapa kau mencariku"
Sepengetahuanku, aku tak pernah berurusan denganmu.
Kenal pun tidak!"
"Aku memang tak mempunyai urusan dengan monyet cilik sepertimu! Tapi pemimpinku,
Sang Pangeran Muda, mencari-carimu! Kau dan anakmu harus kubawa ke
hadapannya, hidup atau mati!"
"Kau belum memperkenalkan siapa dirimu! Atau..., kau takut mengatakannya"!" ujar
Paksi Dilaga dengan berani.
"Orang sepertimu tak pantas untuk mengenalku, Monyet Kecil! Tapi karena saat ini
perasaanku tengah gembira, kau mendapat kehormatan untuk mengenal
diriku. Aku adalah Raja Ular Berbaju Emas."
Paksi Dilaga merasakan jantungnya berdegup keras.
Julukan Raja Ular Berbaju Emas telah sampai di telinganya.
Salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru mata angin.
Tokoh itu, bersama datuk-datuk lainnya, tak pernah terdengar lagi beritanya.
Lenyap begitu saja bagai ditelan bumi!
Paksi Dilaga tak pernah menyangka akan bisa bertemu Raja Ular Berbaju Emas, yang
diduganya tak akan pernah muncul lagi. Ayahnya Pringgani ini mempunyai alasan
kuat untuk menduga demikian. Dia tahu penyebab lenyapnya empat datuk sesat itu.
Padahal, sebagian besar tokoh persilatan tak mengetahuinya.
"Sebenarnya aku merasa malu menangkap kroco
sepertimu!" ucap Raja Ular Berbaju Emas. Tak dipedulikannya Paksi Dilaga yang
belum dapat menguasai perasaannya. "Karena itu, kuberikan perintah Sang Pangeran
Muda pada tokoh-tokoh seperti Lima Setan Air.
Tapi, sekarang apa boleh buat. Kau telah berada di depanku, dan tak ada orang
lain yang dapat kuperintahkan untuk menangkapmu!"
"Sombong!" maki Paksi Dilaga dalam cekaman kemarahan yang bergelora. Kedua
tangannya dihentakkan ke arah Raja Ular Berbaju Emas.
Wuusss...! Wusss...!
Angin yang luar biasa keras berhembus. Tapi, Raja Ular Berbaju Emas hanya
terkekeh pelan. Dia tak bergeming dari tempatnya. Tindakan si kakek membuat
Paksi Dilaga kebingungan.
"Sudah gilakah kakek ini, sehingga membiarkan saja serangan yang tertuju ke
arahnya?" Blar, blar, blar...!
Paksi Dilaga terperanjat. Tanah di sekitar tempat itu yang terkena pukulan jarak
jauhnya. Terbongkar di sana-sini menampakkan lubang-lubang besar. Serangan itu
melenceng ke kanan dan kiri, beberapa kali sebelum mencapai sasaran. Di
sekeliling tubuh kakek bemajah tirus seakan terdapat dinding yang tak tampak.
Paksi Dilaga ternganga. Dia hampir tak percaya akan kejadian yang dialaminya.
Lelaki ini tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, tidak demikian halnya
dengan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul apa yang
terjadi. Tawa terkekeh yang dilontarkan si kakek mengandung pengerahan tenaga
dalam untuk menangkal serangan jarak jauh lawan!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak
lebih cepat. Kakek berwajah tirus itu memiliki kepandaian amat tinggi! Jika
orang sehebat itu hanya anak buah, tak bisa dibayangkannya kepandaian yang
dimiliki Sang Pangeran Muda.
Arya segera sadar kalau Paksi Dilaga bukan tandingan Raja Ular Berbaju Emas.
Maka, dia bersiap-siap untuk memberikan pertolongan. Pemuda ini sengaja tak
segera muncul, agar bisa mengetahui persoalan yang membelit Paksi Dilaga.
Sementara itu, Paksi Dilaga tak menjadi gentar dengan kegagalan serangannya.
Ayahnya Pringgani kembali
melancarkan serangan susulan. Paksi Dilaga
mengeluarkan ilmu andalannya, yang membuat namanya terkenal dengan julukan
Harimau Bertangan Delapan.
Dikirimkannya sampokan susul-menyusul ke arah kepala Raja Ular Berbaju Emas.
Plak, plak, plak...!
Tubuh Paksi Dilaga terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang ketika Raja Ular Berbaju Emas mengangkat tangan kirinya,
memapak. Lelaki ini
menyeringai kesakitan!
5 "Harap menyingkir, Paman Paksi! Biar aku yang menghadapinya!"
Seruan itu tidak lantang. Tapi, pengaruhnya luar biasa besar. Tanpa banyak
membantah Paksi Dilaga menuruti.
Dihentikannya serangan susulan yang hampir
dilancarkannya.
Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan ungu
berkelebat datang dan menjejakkan kaki di sebelah ayahnya Pringgani.
"Kau?" Paksi Dilaga menggantung ucapannya. Dia merasa pernah melihat si pemuda.
Namun penampilannya ketika itu agak berbeda. "Kau..., Arya?"
"Benar, Paman. Aku Arya si tukang perahu...," jawab Arya setengah bergurau.
Paksi Dilaga hendak mengajukan pertanyaan lagi,
karena melihat keberadaan pemuda itu di tempat ini. Tapi maksudnya terpaksa
diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas terdengar membentak keras. Kakek ini merasa
tersinggung melihat sikap Paksi Dilaga dan Arya yang tak menganggap keberadaan
dirinya. "Keparat!"
Paksi Dilaga terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
Dadanya bergetar hebat akibat bentakan tersebut. Buru-buru dikerahkannya tenaga
dalamnya agar pengaruh yang melanda tak menimbulkan akibat yang lebih parah.
Apa yang menimpa Paksi Dilaga, tak terjadi pada Dewa Arak. Pemuda ini tak
terpengaruh bentakan Raja Ular Berbaju Emas yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Raja Ular Berbaju Emas mendengus untuk menutupi rasa
kagetnya, ketika dia melihat Dewa Arak tak terpengaruh bentakannya.
"Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Kunyuk Kecil"! Pantas kau berani
lancang mencampuri urusanku.
Tapi, kau jangan besar kepala dulu. Aku belum
mengeluarkan kemampuan secuil pun!"
"Aku percaya, Raja Ular," timpal Arya, kalem. "Meskipun begitu, aku tak gentar.
Demi menegakkan kebenaran dan keadilan, siapa pun akan kuhadapi. "
"Sombong! Kau mencari mati sendiri, Kunyuk Kerdil!"
Raja Ular Berbaju Emas tak terlihat menggerakkan
tangan atau kaki. Tapi, tubuhnya yang masih dalam keadaan bersila melayang ke
arah Dewa Arak! Dari udara kakek ini melancarkan tusukan bertubi-tubi dengan
sepuluh jari tangannya.
Kakek ini tampaknya tak bertindak main-main. Sekali menyerang dia telah
menggunakan jurus 'Ular' yang menjadi andalan. Desisan keras mengiringi setiap
luncuran serangannya.
Dewa Arak mengelak dengan melompat ke belakang
dua tindak. Bersamaan dengan itu kepalanya mengegos.
Rambutnya yang panjang akan lebih dulu menghantam pelipis Raja Ular Berbaju Emas
apabila si kakek bersikeras melanjutkan serangan.
Raja Ular Berbaju Emas menggeram. Dia tak punya
pilihan lagi kecuali melompat mundur. Maksudnya untuk melancarkan serangan
susulan bergegas diurungkan.
Raja Ular Berbaju Emas menatap tajam pada Dewa
Arak. Arya tak mau kalah gertak. Dia melakukan hal yang sama.
"Kemampuanmu cukup lumayan, Kunyuk Kerdil! Dan, kurasa kau cukup pantas untuk
mati di tanganku.
Perkenalkan dirimu agar tak mati penasaran!"
Arya tersenyum mendengar ucapan lawannya.
"Kau pandai bicara, Raja Ular. Sengaja menyinggung kehormatan orang agar mau
menurut kehendakmu. Nah, dengar baik-baik. Namaku Arya Buana. Orang-orang
persilatan lebih mengenalku sebagai Dewa Arak!"
"Ahhh...!"
Seruan itu keluar dari mulut Paksi Dilaga. Memang, kendati menjauhkan diri dari
dunia persilatan, selentingan mengenai Dewa Arak telah sampai di telinganya. Dia
terkejut bukan main mengetahui pemuda yang dikiranya tukang perahu ternyata
seorang pendekar besar.
Raja Ular Berbaju Emas pun telah mendengar berita tentang Dewa Arak. Tapi, kakek
ini tidak kelihatan terkejut.
Dia malah terkekeh gembira.
"Sungguh kebetulan sekali! Begitu mendengar berita mengenai dirimu, aku merasa
penasaran dan ingin
membuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah
kepandaianmu seperti yang digembar-gemborkan orang!"
Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arya hanya tersenyum pahit. Tak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Yang dilakukannya malah mengambil guci arak dari punggung,
lalu menuangkan isinya ke dalam mulut.
Raja Ular Berbaju Emas tersenyum sinis.
"Itukah senjatamu, Kunyuk Kecil" Kudengar
merupakan senjata pusaka yang jarang tandingan. Mana yang lebih kuat, gucimu
atau Tongkat Ular Emas-ku!"
Raja Ular Berbaju Emas lalu terkekeh. Sebatang
tongkat kekuningan tampak melayang dari punggung
menuju ke tangannya melalui atas kepala. Si kakek menangkap tongkat itu dan
memalangkannya di depan dada sehingga Paksi Dilaga dan Dewa Arak melihatnya
dengan jelas. Tongkat Raja Ular Berbaju Emas ternyata bukan
sembarang tongkat. Bukan terbuat dari kayu baja, atau bahan mati lainnya.
Tongkat itu berwujud makhluk hidup.
Seekor ular berwama kuning keemasan yang dikeringkan hidup-hidup!
"Jaga seranganku, Kunyuk Kecil!"
Belum habis gema ucapan itu, Raja Ular Berbaju Emas telah menerjang. Tongkatnya
diputar cepat hingga lenyap bentuknya. Berubah menjadi gulungan sinar keemasan
yang diiringi bunyi menderu-deru.
Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersiaga segera
menyambutinya. Pertarungan yang tertunda pun
berlangsung kembali. Jauh lebih seru dari sebelumnya.
Paksi Dilaga yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa tegang bukan main.
Di kancah pertarungan, Dewa Arak maupun Raja Ular Berbaju Emas segera menyadari
kalau lawan yang dihadapi memang tangguh. Kenyataan membuat Raja Ular Berbaju
Emas menjadi penasaran. Puluhan jurus telah terlewati.
Selama itu jalannya pertarungan masih berimbang. Masing-masing pihak silih
berganti melancarkan serangan.
Raja Ular Berbaju Emas tak bisa sabar lagi. Bila tak dilakukan perubahan dalam
bertarung, kemungkinan besar dirinya yang akan roboh.
Telah dibuktikan oleh Raja Ular Berbaju Emas kalau dalam kelincahan dan tenaga
dia tak bisa unggul. Dalam pengalaman bertarung pun pemuda itu tak dapat
ditekan. Tidak ada lagi segi-segi menguntungkan yang dapat dipergunakannya untuk mendesak
Dewa Arak. Arya mengernyitkan alis. Disadarinya gerakan Raja Ular Berbaju Emas mulai
berubah. Gerakan tongkat si kakek tetap menderu-deru seperti semula, tapi bunyi
yang terdengar tidak riuh lagi melainkan melengking nyaring.
Semakin lama semakin meninggi.
Sesaat kemudian, terdengar desisan-desisan tajam dari berbagai penjuru. Bau amis
pun menyebar. Orang yang dapat melihat jelas penyebab keriuhan itu adalah Paksi Dilaga. Bulu
kuduk lelaki ini berdiri.
Ditatapnya dengan mata membelalak lebar pada penyebab desisan dan bau amis.
Ular! Tidak hanya seekor, melainkan ratusan! Dari segala penjuru dan dalam jenis
beraneka ragam. Sebagian diketahuinya sebagai jenis ular berbisa yang sangat
mematikan. Semula Paksi Dilaga hendak menyambut kemunculan
ular itu. Gagang pedang telah dicekal dan siap untuk dicabut. Tapi, niat itu
diurungkannya. Dia kemudian malah melompat ke atas. Dilemparkannya pedang
sekaligus sarungnya ke tanah.
Cap, cap! Pedang amblas di tanah hampir setengahnya.
Sedangkan batang pedang menancap pada gagangnya.
Bertumpuk! Di atas gagang pedang itulah Paksi Dilaga menjejakkan kaki.
Rombongan ular tak mempedulikan Paksi Dilaga sedikit pun. Binatang-binatang itu
melaluinya terus menuju kancah pertarungan. Dengan ganasnya ular-ular itu
kemudian menyerang Dewa Arak.
Bantuan binatang-binatang melata tersebut membuat Dewa Arak harus membagi
perhatiannya. Dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak! Terpontang-panting
ke sana kemari menyelamatkan nyawa. Sesekali dikirimkannya pukulan jarak jauh
pada rombongan ular. Beberapa ekor terpental dalam keadaan hancur. Tapi, jumlah
binatang itu seperti tak berkurang. Terus merangsek maju.
"Jangan khawatir, Dewa Arak! Aku datang...!"
Seruan itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Lelaki ini
melompat turun ke tanah lalu mencabut pedangnya.
Sekejap kemudian telah terjun dalarn kancah pertarungan.
Cras, cras, crasss...!
Darah bermuncratan ketika pedang Paksi Dilaga
terayun. Setiap kali lelaki ini mengayunkan pedang, beberapa ekor ular menjadi
bangkai. Kendati demikian, jumlah binatang melata itu tak berkurang. Jumlahnya
yang demikian banyak membuat bantuan Paksi Dilaga hampir-hampir tak berarti.
Dewa Arak tetap saja terjepit.
Arya sendiri tahu akan gawatnya keadaan. Bukan
hanya dirinya yang terancam. Tapi, juga ayahnya Pringgani.
Pemuda ini tak yakin pembunuhan besar-besaran terhadap ular-ular akan berarti.
Dewa Arak menggeram keras. Geraman yang
berkepanjangan dan mengandung pengerahan tenaga
dalam. Geraman itu mampu menutup suara lengkingan yang timbul dari gerakan
tongkat Raja Ular Berbaju Emas.
Pengaruhnya terhadap ular-ular jadi terhalang.
Akibatnya, keberingasan binatang-binatang melata itu lenyap. Memang, lengkingan
Raja Ular Berbaju Emas merupakan panggilan terhadap ular-ularnya. Lenyapnya
bunyi itu membuat rombongan ular kebingungan.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kehilangan
kesempatan. Dikeluarkan lengkingan yang mengandung getaran jauh lebih kuat dari
pularan tongkat. Ular-ular itu menjadi buas kembali! Tapi sebelum binatangbinatang melata itu menyerang lagi, Dewa Arak meningkatkan kekuatan geramannya.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kalah. Ditambahnya kekuatan suara lengkingan.
Bentuk pertarungan pun berubah. Kedua tokoh hebat itu saling adu kekuatan tenaga
dalam. Yang merasakan langsung akibat pertarungan unik itu adalah ular-ular dan Paksi
Dilaga. Binatang-binatang melata tersebut tampak gelisah. Paksi Dilaga lebih
menderita lagi. Lelaki ini merasakan dadanya bergetar hebat. Sepasang telinganya
berdengung keras. Bahkan, kedua kakinya menggigil. Namun, dengan pengerahan
seluruh tenaganya, ayahnya Pringgani ini mampu bertahan.
Meskipun demikian, cepat atau lambat dia tetap akan celaka! Maka dengan tubuh
terhuyung-huyung Paksi Dilaga meninggalkan tempat itu.
Adu tenaga dalam antara Dewa Arak dan Raja Ular
Berbaju Emas semakin menegangkan. Dari kepala kedua petarung ini mengepul uap.
Bunyi yang tercipta pun tak ketahuan lagi nadanya. Akibatnya, ular-ular
kebingungan! Sebagian di antara mereka malah saling serang satu sama lain. Tapi, sebagian
besar meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu sekejap, yang tinggal hanya Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas.
Keadaan kedua tokoh ini pun semakin mengkhawatirkan. Asap yang mengepul dari
atas kepala bertambah banyak dan menebal. Wajah dan leher mereka dipenuhi
butiran-butiran peluh sebesar biji jagung.
Tapi, asap dan peluh yang keluar dari tubuh Raja Ular Berbaju Emas jauh lebih
banyak. Bahkan, kedua kakinya pun menggigil keras!
"Hugh...!"
Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas mengeluh tertahan.
Tubuh keduanya terhuyung ke belakang. Baru beberapa langkah, cairan merah kental
terlontar dari mulut mereka.
"Kau...," ujar Raja Ular Berbaju Emas. Tangannya mendekap dada yang terasa sakit
bukan main. Darah segar mengalir dari mulutnya.
"Ternyata kau lebih hebat dari perkiraanku. Kau....
Kau...." Pernyataan Raja Ular Berbaju Emas terhenti di tengah jalan. Malaikat maut telah
lebih dulu menjemput nyawanya.
Kakek berwajah tirus ini ambruk ke tanah. Diam, tak bergerak-gerak lagi.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Sejenak ditatapnya mayat Raja Ular Berbaju Emas.
Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu. Beberapa kali pemuda
berambut putih keperakan itu terhuyung.
Jarak dua puluh tombak ditempuh Arya dengan susah payah. Di sini pemuda itu
menghempaskan pantatnya ke tanah. Duduk bersemadi untuk mengobati luka dalamnya.
6 "Buka matamu, Anak Setan!"
Bentakan keras menggelegar itu membuat Arya
membuka sepasang matanya. Hanya berjarak tiga tombak darinya, berdiri seorang
kakek bertubuh jangkung kurus laksana bambu. Pakaian yang dikenakannya tampak
kebesaran. Arya menyudahi semadinya, lalu bangkit berdiri. Kakek jangkung itu agaknya
memiliki kepandaian tinggi. Karena, hanya orang-orang demikian yang mampu
memunculkan diri dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Siapa yang kau maksud dengan anak setan itu, Kek"
Akukah?" tanya Arya. Suaranya terdengar tenang, kendati sebenarnya tersinggung
bukan main. Sapaan itu sama artinya dengan penghinaan terhadap orang tuanya.
Kalau dirinya dianggap anak setan, bukankah artinya orang tuanya adalah setan"
"Tentu saja! Hanya kau dan aku yang ada di sini. Mana mungkin aku menyapa diriku
sendiri. Tak mungkin,
bukan"!" dengus kakek jangkung dengan kasarnya.
"Dengar baik-baik, Anak Setan. Mana kawan-kawanmu"
Cepat tunjukkan!"
Arya melongo. Bingung mendengar pertanyaan aneh
itu. "Kawan-kawanku" Aku tak mengerti maksudmu, Kek"!"
sahut Arya, jujur.
"Tidak usah berpura-pura, Anak Setan! Cepat katakan di mana kawan-kawanmu. Tak
ada gunanya membohongiku!"
"Aku makin tak mengerti, Biang Setan!" sergah Arya, kesal. Amarahnya mulai
diumbar. Sikap si kakek benar-benar memancing kejengkelannya.
Si kakek tersenyum sinis. Sepasang matanya yang
mencorong tajam, merayapi sekujur tubuh Arya, mulai dari rambut sampai ke kaki.
"Aku mencium bau amis ular di tubuhmu, Anak Setan!
Aku yakin kau mempunyai hubungan dengan bangkaibangkai ular di sana!" tandas si kakek. Telunjuknya menuding ke arah tempat Raja
Ular Berbaju Emas tewas.
"Benar. Aku memang dari tempat itu!"
"Bagus kalau kau mengaku! Sekarang, katakanlah di mana kawan-kawanmu! Atau...,
kau hendak mengatakan kalau kau sendiri yang membunuh Raja Ular Berbaju Emas
tiga hari yang lalu"!" desak kakek jangkung.
"Aku tak peduli kau percaya atau tidak!" ujar Arya.
Kendati pernyataan si kakek membuatnya terperanjat.
Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tenggelam dalam semadinya selama tiga
hari. "Orang yang kau maksudkan itu memang tewas di tanganku. Raja Ular Berbaju Emas
memang luar biasa hebat!"
Wajah kakek jangkung menyiratkan ketidakpercayaan besar.
"Begitukah"! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kelihaianmu, Anak Setan! Kalau
benar kau mampu
menewaskan Raja Ular, berarti kau mampu
menewaskanku pula!"
Si kakek menutup ucapannya dengan serangan
sampokan tangan kanan dan kiri bertubi-tubi tertuju ke kepala Dewa Arak. Tapi
dengan menarik kaki kanan ke belakang seraya mencondongkan tubuh, pemuda itu
membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.
Kakek jangkung menjadi penasaran. Dia tak bertindak ragu-ragu lagi. Serangan
lanjutannya kini menggunakan tangan dan kaki. Demi mempertahankan selembar
nyawanya, Arya terpaksa meladeninya. Padahal meski luka dalamnya tak berbahaya
lagi, keadaan pemuda itu masih lemah. Hanya sebagian tenaganya yang kembali.
Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang telah
diduganya, kakek jangkung itu benar-benar lihai. Tingkat kepandaiannya tak
berada di bawah Raja Ular Berbaju Emas. Dalam beberapa jurus Arya dibuat
terpontang-panting menyelamatkan diri.
Si kakek tertawa mengejek.
"Hanya sampai di sini saja kepandaianmu, Anak Setan"
Dan kau berani bicara besar telah mengalahkan Raja Ular!"
Desss...! Sebuah gedoran telak si kakek mengenal dada kanan Arya. Pemuda itu terjengkang
ke belakang. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Sambil terkekeh menyeramkan, kakek jangkung
melesat mengejar. Hendak diberikannya serangan susulan.
Serangan yang dapat mengirim nyawa Arya ke neraka!
Tapi, maksud itu diurungkannya di tengah jalan. Ia mendengar seruan lantang dari
sebelah kanannya.
"Kalau kau ingin aku campur tangan, lanjutkan seranganmu!"
Si kakek menoleh.
"Ahhh...!"
Tokoh tua itu berseru kaget sambil melangkah mundur.
Sikap dan parasnya menampakkan keterkejutan besar.
Juga rasa gentar.
Sang pendatang baru yang mengenakan pakaian
kuning keemasan menggumam tak jelas. Wajahnya tak terlihat. Tertutup selubung
yang sewarna dengan
pakaiannya. Hanya sepasang matanya yang terlihat tajam berkilat-kilat. Karena,
selubung itu mempunyai dua lubang kecil untuk mata.
"Kau"! Kau masih hidup"!" ujar kakek jangkung terbata-bata. Tak mampu
menyembunyikan keterkejutan-nya. Sang pendatang baru kembali mendengus.
"Tak kusangka aku akan bertemu Dewa Arak. Padahal yang kucari adalah Paksi
Dilaga," gumam sosok itu dalam hati. Kemudian, terdengar suaranya yang besar
berwibawa. "Seperti yang kau lihat. Kalau aku sudah mati, mana mungkin bisa berada di
sini!" "Tapi..., kau terkena Racun Ular Emas. Tak ada yang tahu pemunahnya kecuali si
Raja Ular. Dan tak pemah ada orang yang dapat lolos dari maut akibat racun itu!"
Pendekar Kembar 7 Gento Guyon 30 Bukit Kematian Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama