Ceritasilat Novel Online

Malaikat Tanpa Wajah 2

Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah Bagian 2


kakek jangkung masih kebingungan.
"Kenyataannya aku masih hidup!" tandas sosok berselubung.
Si kakek terdiam. Tapi hanya sesaat.
"Kalau begitu kesempatan terbuka bagiku untuk membalas dendam. Kau telah
membuatku terpaksa
mengucilkan diri selama dua puluh tahun lebih. Sekarang kau harus menerima
balasannya!"
Kakek jangkung melesat ke arah sosok berselubung.
Serangan-serangan dahsyat dan mematikan dikirimkannya.
Tapi, orang yang diserang hanya mendengus. Tanpa
bimbang sedikit pun, ditangkisnya serangan-serangan si kakek.
Plak, plak, plak...!
Tubuh kakek jangkung terlontar kembali ke belakang.
Seringai kesakitan menghias wajahnya. Sosok berselubung tak bergeming dari
tempatnya. "Kalau kau masih sayang nyawa, cepat tinggalkan tempat ini. Lupakan urusanmu
dengan pemuda itu!" tandas si sosok berselubung.
Kakeng jangkung bukan orang bodoh. Dia tahu,
berkeras hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sosok berselubung terlalu tangguh
untuk dihadapinya. Kendati demikian, pergi begitu saja terlampau merendahkan
diri. "Kali ini kau boleh menang, Malaikat! Tapi ingat, kejadian hari ini dan
peristiwa dua puluh tahun lalu tak akan kulupakan begitu saja. Ingat-ingatlah
hal ini!" Sosok berselubung hanya mendengus tak peduli.
Bahkan, ketika kakek jangkung melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
Arya yang menyaksikan tingkah kakek jangkung dan
sosok berselubung segera melangkah maju.
"Terima kasih, Kek. Kalau kau tak datang menolong, mungkin saat ini aku telah
menjadi mayat!" ujar Arya ragu menyapa sosok berselubung dengan panggilan 'kek'.
Bukankah sosok ini kenal betul dengan kakek jangkung"
Setidaknya usia mereka kemungkinan besar sebaya.
"Lupakanlah, Anak Muda," jawab sosok berselubung dengan sorot mata aneh. Sorot
orang yang merasa geli.
"Hal yang lebih penting adalah merawat lukamu. Kau terluka cukup parah, Anak
Muda. Serangan lawanmu
mengandung racun berbahaya!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kek. Tapi aku baik-baik saja. Dan...,
ahh...!" Arya menghentikan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba
terasa pening. Tubuhnya bergerak limbung. Sebelum ambruk ke tanah, sosok
berselubung telah lebih dulu menangkapnya.
Kesadaran Arya telah hampir lenyap. Kendati demikian, dia masih dapat mengetahui
tindakan sosok berselubung.
Sisa kesadaran yang masih ada membuat pemuda ini
sempat merasakan hal aneh. Sayang, dia tak bisa
memikirkan kemungkinan itu. Arya telah jatuh tak
sadarkan diri. *** "Uhhh...!"
Arya menggeliatkan tubuh merenggangkan tangan dan kakinya. Sepasang matanya pun
dibuka. Pemuda ini
tersentak kaget ketika melihat sosok yang duduk bersila di depannya.
"Paman Paksi!" seru Arya, kaget bercampur gembira.
Tak disangka dia akan bertemu ayahnya Pringgani kembali.
Paksi Dilaga tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Paman" Dan, mengapa pula aku bisa berada di
sini?" Arya teringat pada pertemuannya dengan sosok berselubung.
"Mengenai keberadaanmu di tempat ini aku tak tahu, Arya. Sedangkan diriku hanya
kebetulan saja. Karena perasaan curigaku...," beri tahu Paksi Dilaga. "Kulihat
seseorang berpakaian kuning selama beberapa hari setiap pagi dan sore masuk ke
gua ini. Aku jadi ingin tahu.
Ternyata kau yang kujumpai."
Arya tersentak kaget.
"Beberapa hari" Berarti selama itu aku tak sadarkan diri?" gumam Arya lirih.
"Tingkah orang berpakaian kuning itu membuatku curiga, Arya. Apa keperluannya
sehingga selama beberapa hari datang ke gua ini. "
"Lalu di mana orang berpakaian kuning itu, Paman?"
"Aku tidak tahu, Arya," Paksi Dilaga mengangkat bahunya. "Kali ini tampaknya dia
tidak datang. Sekarang telah siang. Padahal biasanya dia datang pagi. Kalau
boleh kutahu, sebenarnya apa hubunganmu dengan orang itu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, Paman. Kami hanya kebetulan bertemu. Dia menolongku
dari ancaman maut. "
Secara singkat Arya kemudian menceritakan semua
kejadian yang dialaminya. Paksi Dilaga mendengarkan dengan penuh minat. Wajahnya
berubah ketika Arya
menceritakan ciri-ciri penolongnya.
"Ada apa, Paman" Apakah kau mengenal penolongku itu"!" tanya Arya yang sempat
melihat perubahan wajah Paksi Dilaga.
"Aku tak pasti, Arya," jawab Paksi Dilaga. Lalu dihelanya napas berat. "Hanya
ceritamu mengingatkanku akan kejadian berpuluh tahun silam di dunia persilatan.
Ciri-ciri penolongmu hanya dimiliki tokoh yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah. "
"Mungkin tokoh itu yang telah menolongku," timpal Arya. "Kudengar lawanku
menyapanya 'malaikat'.
"Mungkin, Arya. Tapi menurut berita yang kudapat, Malaikat Tanpa Wajah telah
mati karena racun. "
Arya tertegun. Sungguh tak disangkanya akan
mendapat berita seperti itu dari Paksi Dilaga.
"Yakinkah kau dengan berita yang kau dapatkan itu, Paman"!" Arya meminta
penegasan. "Tentu saja, Arya!" tandas Paksi Dilaga.
Arya diam. "Masih ingatkah kau akan tokoh sesat yang hendak membawaku pada Sang Pangeran
Muda" Toloh sesat yang memanggil ular untuk menghadapimu?" tanya Paksi Dilaga.
Arya menganggukkan kepalanya.
"Dia berjuluk Raja Ular Berbaju Emas, " sahutnya.
"Benar. Raja Ular Berbaju Emas. Nah! Datuk sesat itulah yang telah menyarangkan
racun dalam tubuh
Malaikat Tanpa Wajah. Sehingga, tokoh yang luar biasa itu menemui ajalnya
beberapa bulan kemudian. "
Keterangan itu membuat Arya teringat kembali akan ucapan kakek jangkung. Si
kakek pun menyangka sosok berselubung telah tewas!
"Beberapa puluh tahun lalu...," tanpa diminta Paksi Dilaga bercerita. "Di dunia
persilatan berkuasa empat datuk kaum sesat. Di antaranya adalah Raja Ular
Berbaju Emas. Mereka menyebar angkara murka di mana-mana.
Seorang tokoh tingkat tinggi, golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah
tak bisa tinggal diam. Datuk-datuk sesat itu dicarinya. Salah seorang datuk
dapat ditewaskan.
Sisanya terluka amat parah. Luka yang sulit untuk disembuhkan. Membutuhkan waktu
puluhun tahun untuk memulihkan kemampuan seperti semula."
"Kalau empat datuk sesat itu berhasil dikalahkan, bagaimana Malaikat Tanpa Wajah
dapat diracuni?" Arya rnasih belum jelas.
"Raja Ular Berbaju Emas merupakan datuk sesat yang licik!" tandas Paksi Dilaga
penuh kebencian, sehingga membuat Arya keheranan. "Begitu mendengar seorang
datuk roboh di tangan Malaikat Tanpa Wajah, dia segera mengajak datuk yang
tersisa untuk bergabung. Bersama mereka mengeroyok Malaikat Tanpa Wajah. Tapi,
tokoh yang penuh rahasia itu memang luar biasa. Pengeroyokan lawan-lawannya
dapat dipatahkan. Bahkan, dia mampu membuat mereka terluka parah. Sayang, Raja
Ular Berbaju Emas sempat menyarangkan Racun Ular Emas pada
dirinya. Arya terdiam. Dia tak menduga akan mendengar cerita seperti ini. Julukan
Malaikat Tanpa Wajah telah demikian terkenal. Arya menatap Paksi Dilaga yang
menundukkan kepala. Lelaki itu kelihatan demikian mengagumi Malaikat Tanpa
Wajah. "Menurutmu, dari empat datuk sesat itu hanya satu orang yang tewas, Paman?"
tanya Arya, sekadar untuk mengalihkan perhatian Paksi Dilaga.
"Benar."
"Berarti masih ada tiga datuk yang hidup," lanjut Dewa Arak. "Kalau Raja Ular
Berbaju Emas sanggup hidup, kemungkinan besar dua datuk lainnya pun masih hidup
pula. Sekarang aku dapat mengira siapa sebenarnya kakek jangkung itu. Pasti dia
salah seorang dari empat datuk sesat itu. "
"Menurut berita yang kudengar, datuk yang memiliki ciri jangkung dan kurus
berjuluk Iblis Tangan Bayangan, yang seorang lagi berjuluk Lelembut Berwajah
Dewa!" jelas Paksi Dilaga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Suasana menjadi hening ketika Arya maupun Paksi
Dilaga tak berbicara. Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama.
"Aku mempunyai pemikiran aneh, paman. Tapi kurasa masuk akal juga," celetuk
Arya. "Mengenai apa, Arya?"
"Nasib Malaikat Tanpa Wajah. "
"Maksudmu?" paksi Dilaga belum mengerti.
"Begini, Paman. Kalau datuk-datuk sesat yang memiliki kemampuan di bawah
Malaikat Tanpa Wajah saja bisa lolos dari maut, bukan tak mungkin tokoh itu pun
berhasil menyembuhkan keracunannya. Kenyataannya kulihat
sendiri. Dan mengenai kepandaiannya, memang luar
biasa." "Kematian Malaikat Tanpa Wajah tak usah kau
sangsikan lagi, Arya. Aku melihatnya sendiri. Bukan mendengar berita dari orang
lain. Namun ceritamu
membuatku penasaran. Aku ingin tahu, siapa yang telah begitu lancang memalsukan
tokoh penuh rahasia itu!"
"Mungkin keturunan atau muridnya, paman"!" Arya mencetuskan dugaannya.
Paksi Dilaga terperanjat. Ditatapnya waiah Arya lekat-lekat. Tapi, tak sepatah
kata pun dilontarkan. Tampaknya lelaki itu berniat melanjutkan pembicaraan.
Maka, Arya pun tak mendesaknya. Ketika tiba-tiba teringat pada Pringgani, dengan
hati-hati diceritakannya pada Paksi Dilaga.
Paksi Dilaga mendengarkan cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian. Saat Arya
menyelesaikan ceritanya lelaki itu menghela napas berat dengan wajah muram.
"Kalau menurut pendapatku, Paman," kata Arya hati-hati. Pemuda ini hendak
menghibur hati Paksi Dilaga.
"Pringgani masih hidup. Kalau hendak dibunuh, untuk apa repot-repot menculiknya.
Bunuh saja di situ langsung. "
"Aku setuju dengan pendapatmu, Arya," wajah Paksi Dilaga agak berseri. Dia bisa
merasakan kebenaran dalam pendapat Arya. "Pringgani dalam keadaan selamat.
Kendati demikian, hatiku merasa tak tenang. Kalau dia sampai celaka, aku tak
berani bertemu dengan istriku di akhirat sana...."
Arya bisa memaklumi kegalauan yang melanda hati
Paksi Dilaga. Dia telah mendengar tentang pesan
almarhum istrinya yang disanggupi lelaki itu.
"Aku akan berusaha mendapatkan putrimu kembali, Paman," janji Arya.
"Terima kasih, Arya. Aku yakin dengan kemampuanmu kau bisa berbuat lebih banyak.
Kalau penculiknya memiliki kepandaian di atasku, aku dapat mengandalkan dirimu."
"Kau terlalu memandang tinggi padaku, paman," keluh Arya agak tersipu.
"Itu kenyataan, Dewa Arak!" bantah Paksi Dilaga.
"Nama besarmu telah mengguncangkan dunia persilatan. "
Arya hanya diam saja.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Paman"!"
tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mencari putriku, Arya. Karena tak tahu harus mencarinya di mana, biarlah
kulakukan sambil lalu. Aku akan menemui keluargaku lebih dulu. Kau mau ikut?"
"Tentu saja, Paman!" jawab Arya, cepat. "Bukankah aku telah berjanji akan
membantumu mencari Pringgani.
Bagaimanapun juga aku merasa bersalah. Atau, kau lebih suka mencari putrimu itu
sendirian, Paman"!"
"Kau tidak bersalah, Arya," bantah Paksi Dilaga. "Bila kau tak menolongnya,
mungkin dia telah tewas di tangan penjahat-penjahat keji dari Pantai Selatan
itu. " "Kau lebih suka kalau kita mencarinya berpencar, Paman"!" desak pemuda berambut
putih keperakan. Salah satu pertanyaannya belum terjawab.
"Itu terserah padamu. Aku tak berani meminta.
Walaupun, aku akan merasa terhormat bila bisa
melakukan perjalanan bersama tokoh besar sepertimu."
"Aku hanya hendak memastikan, Paman," kilah Arya.
"Barangkali saja kau mempunyai urusan yang amat pribadi dengan keluargamu. Aku
kan terhitung orang luar. "
"Bukan, Arya. Hanya urusan biasa saja. Bagaimana, kau mau pergi bersamaku?"
Arya mengangguk.
"Masih jauhkah tempat kediaman keluargamu itu, Paman?"
"Tidak. Tidak sampai dua hari kita telah tiba di sana,"
beri tahu Paksi Dilaga seraya mengayunkan kaki.
Arya pun bergegas melangkah mengikuti.
7 Arya melirik Paksi Dilaga yang tertunduk menekuri tanah.
Pemuda ini berdiam diri, tak ingin mengganggunya. Dia bisa merasakan kesedihan
yang mendera ayahnya
Pringgani. "Kalau tak melihatnya sendiri, aku tak akan percaya, Arya," ujar tokoh yang
belasan tahun lalu terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. Suaranya
bergetar penuh kesedihan, perasaan hatinya begitu terpukul.
Arya hanya menghela napas berat. Mereka berdua
berdiri di depan bangunan cukup besar yang kelihatan kotor tak terawat, seperti
telah bertahun-tahun ditinggal pergi. Bangunan yang selama ini menjadi tempat
tinggal keluarga Paksi Dilaga.
"Aku tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi," keluh Paksi Dilaga. Kemudian,
tanpa diminta dia menceritakan tentang keluarganya.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengajari paman. Tapi, apa pun di dunia ini bisa
saja terjadi," ujar Arya hati-hati.
Khawatir Paksi Dilaga tersinggung. "Kebencian para pengejarmu ternyata tak hanya
tertuju pada dirimu, tapi juga keluargamu. "
"Dari mana mereka tahu penghuni rumah ini adalah keluargaku, Arya?" tanya Paksi
Dilaga dengan nada sedih.
"Tak seorang pun tahu dari mana aku berasal. Juga mengenai keluarga ini."
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Paman."
Paksi Dilaga menghela napas berat. Ditatapnya Arya dalam-dalam.
"Aku percaya padamu, Arya. Maka meski hal ini sebenarnya rahasia keluarga kami,
aku akan memberitahu-kanmu. "
"Kalau merupakan rahasia keluarga, kukira lebih baik tak usah dibicarakan,
Paman," tolak Arya.
"Tidak Arya. Kau merupakan kekecualian!"
Paksi Dilaga berkeras dengan kehendaknya. "Kau tentu masih ingat mengenai
Malaikat Tanpa Wajah."
Arya mengangguk.
"Perlu kau ketahui, Arya. Aku terkejut sekali mendengar ucapanmu. Kau mengatakan
kalau tokoh yang kau temui mungkin keturunan atau murid Malaikat Tanpa Wajah.
Terus terang, aku baru pertama kali mendengar ucapan seperti itu. Selama ini
orang-orang persilatan menganggap Malaikat Tanpa Wajah tak pemah mati. Jadi,
Malaikat Tanpa Wajah yang muncul dua ratus tahun lalu adalah Malaikat Tanpa
wajah yang muncul dua puluh tahun lalu.
Hanya aku yang mempunyai pendapat berbeda.
Bagaimana kau bisa menduga demikian, Arya?"
"Aku pernah menemukan tokoh yang melegenda
seperti itu, Paman," jawab Arya (Untuk jelasnya, silakan baca episode:
"Peninggalan Iblis Hitam") Paksi Dilaga mengangguk maklum.
"Dugaanmu memang tepat, Arya. Malaikat Tanpa Wajah tak hanya seorang. Selubung
dan pakaian yang
dikenakannya membuat orang itu tak dikenal jati dirinya.
Sehingga, tak ada seorang pun yang tahu kalau selama kurun waktu ratusan tahun


Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah beberapa kali Malaikat Tanpa Wajah berganti-ganti. Leluhurku yang pertama
kali menjadi Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak. Beliau seorang pelaut.
Pekerjaannya membuatnya mengenal banyak
orang. Salah seorang kenalan memberinya mantera
pemanggil makhluk gaib. Ilmu 'Nyambat' namanya. Dari makhluk-makhluk gaib itu
beliau mempelajari kesaktian.
Kemudian, ilmu-ilmu itu diwariskan pada keturunannya. "
Paksi Dilaga menghentikan ceritanya sejenak.
Diambilnya napas dan ditelannya ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
kering. "Sayang, dua keturunan terakhir yaitu aku dan ayahku tak memiliki bakat baik.
Kami tak mampu menguasai ilmu-ilmu tingkat tertinggi keluarga kami. Kendati
demikian, Ayah masih lebih berbakat daripada aku. Tapi tetap saja beliau tak
boleh menggantikan tugas menjadi Malaikat Tanpa Wajah, karena tak mempunyai ilmu
khas. Jadi ketika kakek wafat oleh Racun Ular Emas, tak ada lagi yang
menggantikan menjadi Malaikat Tanpa Wajah. "
"Berarti..., seharusnya Malaikat Tanpa Wajah tak muncul lagi ke dunia
persilatan," cetus Arya.
"Benar, Arya," dukung Paksi Dilaga. "Sekarang kau mengerti mengapa aku merasa
heran ayah dan ibuku bisa terbunuh. Kami keluarga yang penuh rahasia. Tempat
kami pun terpencil. Rasanya mustahil ada orang mengetahui rahasia ini. Andaikata
pun ada yang tahu, rasanya sulit untuk dapat membunuh Ayah. Kepandaian beliau
jauh lebih tinggi dari aku. Empat datuk sesat pun belum tentu mampu mengalahkan
Ayah." "Kita harus melihat kenyataan, Paman. Ayah dan ibumu telah tewas terbunuh. Kalau
hanya bingung memikirkan mengapa mereka bisa tewas, tak akan kita temukan
jawabannya. Bukankah lebih baik kalau kita menyelidiki pelaku tindak kekejian
ini?" usul Arya, hati-hati.
Paksi Dilaga tersenyum. Tapi, terlihat belum dengan sepenuh hati.
"Aku bisa menerima kebenaran ucapanmu, Arya. Orang yang sudah mati memang tak
akan kembali lagi. Kau benar. Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian
ini. Hhh...! Tugasku jadi bertambah, Arya. Tak hanya mencari Pringgani sekarang,
tapi juga pembunuh ayahku..."
*** Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi bergerak
lambat. Jalan berupa permukaan tanah tak rata membuat gerobak berguncangguncang. Semua itu seperti tak dipedulikan sang kusir yang duduk melengguk di
tempatnya. Gerobak masih berjarak belasan tombak di belakang dua orang yang tengah berjalan
seenaknya. Sungguhpun demikian, pemuda berpakaian ungu dapat mengetahui
keberadaannya. Rekan lelaki setengah baya berpakaian putih ikut pula mendengar.
Dua orang itu memang bukan orang sembarang. Mereka adalah Paksi Dilaga dan Dewa
Arak. Arya dan Paksi Dilaga bersikap tak peduli. Keduanya tetap mengayunkan langkah,
tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Padahal dari bunyi yang tertangkap
telinga, gerobak sapi itu berada semakin dekat dengan mereka.
Kedua tokoh golongan putih ini hanya bergeser agak ke tepi jalan, agar gerobak
dapat melaju tanpa terhambat mereka. Jalan itu sendiri cukup lebar untuk
menampung dua buah gerobak sapi sekaligus. Di kanan kirinya, dipisahkan oleh
parit kecil, membentang tanaman alang-alang.
Gerobak sapi itu telah mulai mensejajari langkah Arya dan Paksi Dilaga. Kedua
tokoh itu tetap bersikap tak peduli, seakan tak mengetahui kehadiran gerobak
sapi. "Dewa Arak!"
Cepat Arya menoleh ke arah asal suara. Paksi Dilaga ikut-ikutan. Tapi, sang
kusir gerobak cepat melanjutkan ucapannya. Nadanya tetap lirih seperti khawatir
didengar orang lain.
"Tak perlu menoleh. Harap dengan baik-baik ucapanku ini. Di malam bulan purnama
akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih, untuk menyusun kekuatan dan
rencana guna menghadapi gerombolan sesat di bawah pimpinan Sang Pangeran Muda.
Kami berharap kau dapat hadir. Tempatnya di Lembah Maut di lereng Gunung
Merapi. Apakah keteranganku sudah jelas, Dewa Arak"!"
"Sangat jelas, " jawab Arya tanpa menoleh.
"Kalau begitu, selamat tinggal. Mudah-mudahan kelompok sesat itu dapat kita
hancurkan."
Bersamaan dengan lenyapnya perkataan terakhir,
gerobak bergerak lambat meninggalkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Sedikit derni
sedikit gerobak itu semakin jauh. "Malam bulan pumama...," gumam Arya pelan,
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Dua malam lagi, Arya," timpal Paksi Dilaga setengah memberi tahu.
"Kalau begitu, waktu yang tersedia cukup untuk ke sana, Paman...."
"Apa yang kau katakan itu tak salah, Arya. Waktu yang kita miliki lebih dari
cukup. Dengan demikian, kita tak pertu terburu-buru. "
*** Sebetulnya Arya dan Paksi Dilaga merasa heran.
Namun mereka mampu meredamnya, sehingga tak
terlihat. Wajah dan sikap kedua tokoh ini tetap biasa.
"Sang kusir gerobak mengatakan akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih.
Tapi, mengapa hanya
beberapa orang saja yang hadir" Mana yang lainnya" Atau ini hanya tipuan
belaka?" Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Arya dan Paksi Dilaga. Untuk
kesekian kalinya kedua tokoh ini mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya
sekilas tokoh-tokoh lang hadir. Hanya tiga orang yang ada di situ selain mereka
berdua. "Kurasa...," cetus seorang kakek bermuka merah memecahkan keheningan yang
menyelimuti mereka. "Tak ada gunanya lagi kita menunggu. Malam telah semakin
larut. Aku yakin tak akan ada lagi orang yang datang. "
"Apa yang diucapkan Raja Tuak memang tepat. Kita tak perlu lagi menunggu.
Mungkin rekan yang lain khawatir kalau-kalau Sang Pangeran Muda dan
gerombolannya muncul di tempat ini. Kita tak bisa menyalahkan mereka,"
timpal kakek yang memiliki tangan sebelah dengan sikap bijaksana."
Kakek bermuka merah yang ternyata berjuluk Raja
Tuak, terkekeh. Tabung bambu yang sejak tadi tergeletak di dekatnya diangkat
lalu dituangkan ke mulut. Tuak mengalir ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
Bunyi menggeluguk terdengar ketika minuman memabukkan itu melewati
tenggorokannya.
"Sebelum kita lanjutkan pertemuan ini...," kata Raja Tuak seraya meletakkan
tabung bambunya lagi. Disekanya tepi-tepi mulutnya yang basah. Sepasang matanya
yang tajam berkilat diedarkan pada semua orang, dan berhenti di wajah Dewa Arak.
"Kurasa ada baiknya kalau kita saling memperkenalkan diri dulu. "
Raja Tuak menunjuk pada kakek bertangan sebelah,
sementara pandangannya tertuju pada Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Pada kedua tokoh
itulah kakek bermuka merah hendak memberitahukannya.
"Sahabat ini berjuluk Naga Bercakar Tunggal."
Dewa Arak dan paksi Dilaga tersenyum. Kepalanya
dianggukkan dan balas memperkenarkan diri pada Naga Bercakar Tunggal yang
menyunggingkan senyum ramah.
"Dan sahabat yang satunya lagi..." lanjut Raja Tuak.
Perhatiannya dialihkan sebentar pada kakek terakhir yang ada di situ. Dia
berkepala botak dan kelihatan licin mengkilat. Terkekeh ramah pada Dewa Arak dan
paksi Dilaga. "Dikenal orang dengan julukan Dewa Berkepala Baja."
"Aku telah mendengar julukan Dewa Arak yang
menggetarkan dunia persilatan. Dan, telah lama
mengaguminya. Tapi, baru kali ini aku mendapat
keberuntungan bertemu muka. Sungguh menakjubkan
sekali! Dalam usia semuda ini telah memiliki kepandaian luar biasa serta nama
besar." "Ahhh..., apalah artinya dibandingkan dengan kakek bertiga. Berita yang tersiar
itu terlalu dibesar-besarkan, "
sahut Arya merendah.
"Sungguh sebuah sikap yang bagus," puji Raja Tuak.
"Dan kau Paksi Dilaga, kami tahu kau pun telah membuat dunia persilatan geger
dengan tindakan-tindakanmu.
Sehingga kau mendapat julukan Harimau Bertangan
Delapan. Kami manghargai sekali kehadiran kalian berdua di tempat ini."
"Kami hanya ingin menyumbangkan sedikit
kemampuan yang kami miliki, Raja Tuak," kilah Arya.
Arya dan Paksi Dilaga tahu kalau Raja Tuaklah yang menjadi kusir gerobak sapi
dan mengundang mereka ikut pertemuan. Sungguh tak mereka sangka kalau si kakek
yang menjadi pemimpin pertemuan.
"Tidak ada yang patut dikagumi dari diriku, Raja Tuak,"
kilah Paksi Dilaga, memberikan tanggapan atas pujian yang dilontarkan Raja Tuak.
Nada ucapan lelaki ini terdengar getir karena teringat akan keadaan dirinya.
"Aku hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kejaran musuh-musuh yang
ingin membunuhku!"
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal, dan Dewa
Berkepala Baja agak heran mendengar jawaban tersebut.
Namun mereka tak mendesak lebih jauh. Tanggapan Paksi Dilaga membuat ketiga
kakek itu tahu kalau dia telah mengalami kejadian tak menyenangkan. Adalah sikap
kurang patut memintanya menjelaskan maksud
pernyataannya tadi.
"Tujuan kita berkumpul di sini sebenarnya untuk menyusun kekuatan guna mencegah
angkara murka Sang Pangeran Muda dan komplotannya. "
Raja Tuak langsung berbicara pada pokok persoalan, sekaligus membuka jalannya
pertemuan. "Tapi, yang kita temui ternyata tak berjalan sesuai keinginan. Hanya kita yang
berkumpul di tempat ini. Kita berlima! Semula aku telah memperhitungkan puluhan
orang yang akan hadir. Karena itulah kupilih tempat yang cukup luas ini. Tapi
kenyataannya?"
Raja Tuak mengangkat kedua bahu, menampakkan
sikap kecewanya. Semua yang hadir di situ bisa
memakluminya. Kakek bermuka merah itu telah bersusah payah mencari temat yang
nyaman. Tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput setinggi dua kaki. Dikelilingi
pohon-pohon cukup besar di tepinya. Luas lapangan itu cukup untuk menampung
puluhan orang. "Entah masalah apa yang membuat rekan-rekan
lainnya tertahan untuk hadir di sini. Tapi, kuharap kalian semua tak berkecil
hati. Rencana mulia kita jangan sampai hancur karenanya."
Raja Tuak menenggak minumannya kembali sebelum
melanjutkan bicara.
"Dan, kuminta yang hadir di sini sedapat mungkin membawa rekan-rekan lain untuk
ikut pertemuan dua pekan yang akan datang. Bagai mana, kalian setuju?"
"Aku tak yakin akan keberhasilannya, Raja Tuak," Naga Bercakar Tunggal
menimpali. "Kurasa mereka telah telanjur berpendapat kalau Sang Pangeran Muda
tak bisa ditanggulangi. Mereka berpikir, tak ada gunanya menyusun kekuatan dan
mengadakan perlawanan. Hanya akan
mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran."
"Apa yang dikatakan Naga memang benar, Raja Tuak,"
celetuk Dewa Berkepala Baja memberikan dukungan.
"Komplotan Pangeran Muda luar biasa kuat. Jangankan tokoh misterius itu, wakilwakilnya saja mungkin tak akan terlawan oleh kita. Siapa yang tak kenal Raja
Ular Berbaju Emas, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Bermuka Dewa.
Datuk-datuk sesat empat penjuru mata angin. Puluhan tahun yang lalu pun mereka
tak terkalahkan"
Arya mengerling pada Paksi Dilaga. Ayahnya Pringgani melihat. Dan, dia tahu apa
artinya. Kerling sekilas itu mengandug pertanyaan besar akan kebenaran cerita
Paksi Dilaga yang menyatakan datuk-datuk sesat empat penjuru angin telah
dikalahkan kakeknya.
Paksi Dilaga pun menunjukkan rasa penasaran. Dia
telah memberikan bantahan. Tapi, Naga Bercakar Tunggal telah mendahului
berbicara. "Kau keliru, Dewa. Sepanjang yang kutahu keempat datuk sesat itu berhasil
dikalahkan seorang tokoh golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah!
Bahkan, tokoh yang telah muncul sejak ratusan tahun lalu itu berhasil menghadapi
keroyokan dua datuk."
"Aku pun mendengar berita itu, Naga," kelit Dewa Berkepala Baja. "Tapi, Malaikat
Tanpa Wajah tak bisa dimasukkan ke dalam datuk golongan putih, karena
kemisteriusannya. Tak ada seorang pun tahu siapa
sebenarnya tokoh itu. Apalagi mengingat kemunculannya pertama kali, pada ratusan
tahun lalu sebelum dia menyebabkan empat datuk sesat menghilang dari dunia
persilatan. Anehnya, sejak empat datuk sesat menghilang, tokoh itu pun lenyap
pula. Lagi pula, menurutmu
mungkinkah ada orang yang mampu hidup sampai usia dua ratus tahun?"
Naga Bercakar Tunggal terdiam. Kebingungan dia
memberikan bantahan. Dewa Berkepala Baja semakin
bersemangat memojokkannya.
"Bila kau menghitung, Malaikat Tanpa Wajah itu berusia lebih dari dua ratus
tahun. Cobalah kau
perhitungkan saat pertama kali tokoh itu muncul, hingga lenyapnya dia bersama
empat datuk sesat, Naga!"
Naga Bercakar Tunggal tetap terdiam. Kakek bertangan sebelah ini tampak gelisah.
Arya melirik ke arah Paksi Dilaga. Lelaki berpakaian putih itu merupakan satusatunya orang yang dapat memberikan keterangan secara lengkap. Sayang, dia tak
dapat ikut campur. Itu akan membuka rahasia yang selama ini tertutup rapat.
"Sebenarnya...," Arya ikut campur dalam perdebatan.
Tindakannya ini mengundang perhatian semua orang.
Mereka ingin tahu kelanjutan pernyataan Dewa Arak. "Hal yang tak memungkinkan
mengenai Malikat Tanpa Wajah bisa saja terjadi," cetus Arya hati-hati.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?" tanya Dewa Berkepala Baja dengan alis berkernyit.
Kakek berkepala botak ini sudah memperkirakan Arya akan mengeluarkan pendapat
yang mendukung pernyataan Naga Bercakar Tunggal.
Karena itu, kakek ini yang paling merasa penasaran.
"Maksudku, mengenai kemustahilan usia Malaikat Tanpa Wajah seperti yang kau
kemukakan tadi, Kepala Baja," jelas Arya. "Memang ada hal yang mencurigakan
mengenai tokoh misterius itu. Tentang usianya."
"Benar, Dewa Arak. Apakah kau ingin mengatakan kalau mustahil seseorang berusia
sampai dua ratus tahun?" desak Dewa Berkepala Baja.
"Aku tidak mengatakan demikian, Kepala Baja," bantah Arya. "Yang jelas, aku
percaya Malaikat Tanpa Wajah yang muncul sejak ratusan tahun lalu membuat datukdatuk sesat empat penjuru angin menghilang dari dunia
persilatan. "
"Kau berbelit-belit, Dewa Arak!" cela Dewa Berkepala Baja tak sabar. "Kalau kau
percaya Malaikat Tanpa Wajah terus muncul hingga dua puluh tahun lalu, itu
berarti kau harus percaya seseorang dapat berusia dua ratus tahun. "
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak mengernyitkan alis. Mereka merasakan
kebenaran ucapan Dewa
Berkepala Baja. Arya berbelit-belit dengan berbagai alasan.
Pada akhirnya dia juga akan mendukung pernyataan Dewa Berkepala baja.
"Mungkinkah Arya akan membuka rahasia tentang siapa sebenarnya Malaikat Tanpa
Wajah?" pikir Paksi Dilaga mulai khawatir. "Mudah-mudahan hal itu tak
dilakukannya. Arya tahu hal itu merupakan rahasia besar keluargaku. "
Arya terlihat tetap tenang. Bibirnya mengembangkan senyum.
"Kalau kau mencerna pernyataanku lebih dalam, kau akan dapat membedakannya,
Kepala Baja. Kukatakan aku tak percaya bila seseorang bisa berusia sampai dua
ratus tahun. Tapi, aku percaya kalau Malaikat Tanpa Wajah bisa berusia sampai
dua ratus tahun."
"Sepertinya pernyataan itu memang bertentangan satu sama lain. Tapi, sekarang
mari kita membuktikan
kebenarannya," tantang Dewa Berkepala Baja.
"Siapa di antara kalian yang pemah melihat paras Malaikat Tanpa Wajah?" tanya
Arya. Pandangannya diedarkan berkeliling. Dtatapnya satu persatu tokoh yang ada
di situ. Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak terdiam.
Demikian pula Paksi Dilaga, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi, tidak
demikian halnya dengan Dewa Berkepala Baja.
"Kurasa kita cukupkan perdebatan ini, Dewa Arak.
Pertanyaanmu saja telah membuktikan kalau kau tak tahu apa-apa mengenai Malaikat
Tanpa Wajah. Dengar, Dewa Arak! Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau


Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malaikat Tanpa Wajah mengenakan selubung. Selubung itu menjadi petunjuk jelas
kalau dia tak ingin dikenal. Lalu, bagaimana mungkin orang dapat melihat
wajahnya" Kau malah
menanyakan hal itu. Bukankah itu berarti kau tak tahu apa pun. Perdebatan ini
tak ada gunanya dilanjutkan!"
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak kembali harus mengakui kebenaran pendapat
Dewa Berkepala Baja.
Sedangkan Paksi Dilaga gelisah mendengar bantahan kakek berkepala botak. Dia
khawatir Dewa Arak akan kalah berdebat dengan kakek yang pandai bicara itu.
"Di sinilah kekeliruannya, Kepala Baja, " kata Arya dengan ketenangan yang
menakjubkan. "Kalau tak ada yang pernah melihat wajahnya, siapa yang dapat
membuktikan wajah di balik selubung tokoh Malaikat Tanpa Wajah ratusan tahun
lalu adalah wajah yang sama.
Siapa yang bisa menjamin?"
Naga Bercakar Tunggal, Raja Tuak, dan Dewa
Berkepala Baja terkejut bukan main mendengar alasan Dewa Arak. Alasan yang luar
biasa kuat! "Aku yakin wajah di balik selubung itu senantiasa berganti-ganti!" lanjut Dewa
Arak. "Aku mempunyai alasan kuat untuk pernyataan ini. Aku pernah menemui tokoh
melegenda seperti Malaikat Tanpa Wajah. Tokoh itu berjuluk Iblis Hitam! Tokoh
yang merupakan datuk sesat ini terkenal sejak ratusan tahun lalu." (Untuk
jelasnya, silahkan baca episode : "Iblis Hitam").
"Semua tokoh-tokoh persilatan bingung mengapa tokoh itu tetap muncul di dunia
persilatan. Padahal, menurut perhitungan dia sebenarnya sudah meninggal karena
usia tua. Belakangan baru ketahuan kalau Iblis Hitam yang selalu berselubung itu
senantiasa berganti. Keturunan-keturunannya yang menggantikannya. Aku yakin
sekali Malaikat Tanpa Wajah pun demikian. "
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal,d an bahkan Dewa Berkepala Baja harus mengakui
kembali kebenaran
pernyataan Dewa Arak. Dalam hati mereka menyesali diri sendiri megnapa
takberpikir demikian.
Paksi Dilaga menjadi lega mendengar akhir perdebatan itu. Arya tak membuka
rahasia mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Pemuda itu hanya mengutarakan alasan yang
bisa diterima akal. Jawaban sebenarnya dapat ditemukan orang-orang yang mau
berpikir panjang.
"Kalau benar demikian...," celetuk Dewa Berkepala Baja. Suaranya tak segagah
sebelumnya. "megnapa telah dua puluh tahun lebih Malaikat Tanpa Wajah tak
muncul-muncul di dunia persilatan lagi"!"
"Bukan merupakan hal yang aneh, Kepala Baja," jawab Arya. "Banyak jawaban untuk
pertanyaan itu. Bisa saja orang yang menjadi Malaikat Tanpa Wajah terakhir tak
mempunyai keturunan. Atau..., keturunannya tak
mempunyai bakat seperti yang diharapkan. "
Dewa Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala.
Tampaknya dia setuju dengan penjelasan Dewa Arak.
"Kukira..., persoalan mengenai Malaikat Tanpa Wajah telah selesai. Sekarang kita
kembali pada pokok persoalan, bagaimana menyusun kekuatan untuk menentang
komplotan Sang Pangeran Muda," sela Raja Tuak buru-buru sebelum ada yang bicara
lagi. 8 "Masih belum tuntas perbincangan kalian?"
Raja Tuak, Dewa Berkepala Bala, Naga Bercakar
Tunggal, Paksi Dilaga, dan Dewa Arak terperanjat kaggt mendengar teguran itu.
Serempak mereka bangkit dari duduk dan bersikap waspada.
Seiring dengan lenyapnya gema teguran itu, dari balik sebatang pohon bermunculan
dua sosok. Seorang di
antaranya kakek jangkung yang hampir membunuh Dewa Arak. Iblis Tanpa Bayungan!
"Aku yakin mereka datuk-datuk sesat yang telah dua puluh tahun lenyap," desis
Raja Tuak dengan pandangan tertuju pada dua sosok yang menghampiri mereka.
"Yang yang berbicara berada di atas pohon.
Mungkinkah dia yang terkenal sebagai Sang Pangeran Muda itu?" Arya menujukan
pandangan ke atas pohon.
Serentak yang lainnya segera mengarahkan pandangan ke sana. Mereka melihat
seseorang yang tak terlihat jelas, karena berdiri membelakangi bulan. Dia
berdiri di atas satu kaki pada cabang pohon sebesar ibu jari. Anehnya, cabang
itu tak melengkung sedikit pun. Seakan-akan yang berdiri di atasnya bukan
manusia, melainkan seekor cengcorang!
Raja Tuak dan yang lainnya tanpa sadar menelan ludah melihat pameran ilmu
meringankan tubuh. Dari apa yang terlihat saja mereka tahu kalau orang di atas
pohon memiliki kepandaian luar biasa.
Kekeh penuh ejekan dari kakek yang berada di sebelah Iblis Tanpa Bayangan
membuat rombongan Raja Tuak
mengalihkan perhatian. Kakek itu berwajah ramah penuh senyum. Sepasang matanya
bersinar-sinar penuh seri.
Lelembut Berwajah Dewa julukannya!
"Kalian benar-benar tak ubahnya anjing-anjing buduk!"
maki Lelembut Berwajah Dewa. Telunjuknya menuding pada rombongan Raja Tuak.
Sikap dan ucapannya kasar bukan main. Bertolak
belakang dengan gerak-geriknya yang halus dan wajah penuh senyuman. Tak aneh
kalau dia mendapat julukan Lelembut Berwajah Dewa.
"Apa yang kalian andalkan sehingga berani bertindak demikian lancang, mencoba
menentang Sang Pangeran Muda"!"
Raja Tuak melangkah maju dua tindak. Dadanya yang tipis dibusungkan.
"Kami memang hanya memiliki sedikit kepandaian.
Tapi bukan berarti kami takut. Kami rela mengorbankan nyawa asal iblis-iblis
semacam kalian lenyap dari muka bumi!"
"Begitukah"!" ejek Iblis Tanpa Bayangan. Ikut campur dalam perdebatan. "Kalau
begitu, pergilah kau ke neraka!"
Wusss...! Angin menderu keras ketika kakek jangkung itu
menghentakkan kedua tangannya. Seketika, rombongan Raja Tuak terpencar untuk
menyelamatkan diri. Serangan jarak jauh Iblis Tanpa Bayangan pun menerpa tempat
kosong. "Jangan serakah, Iblis," ujar Lelembut Berwajah Dewa.
"Babi-babi busuk itu cukup banyak. Biar aku ikut ambil bagian untuk mencincang
daging-dagingnya yang bau!"
Kakek yang memiliki wajah ramah ini lalu meludah
berkali-kali. Tidak ke tanah sebagaimana layaknya orang membuang cairan
menjijikkan itu, tapi menunjukkannya ke arah Raja Tuak.
Sing...! Bunyi nyaring yang menyakitkan telinga itu menyeruak ketika gumpalan-gumpalan
ludah meluncur. Raja Tuak yang menjadi sasaran serangan segera menenggak
minumannya. Kemudian dsemburkannya untuk memapak
serangan lawan.
Gumpalan-gumpalan benda cair itn berbenturan di
tengah jalan dengan menimbulkan suara nyaring.
Gumpalan dari mulut Raja Tuak langsung terpental dan jatuh ke tanah. Sedangkan
ludah Lelembut Berwajah Dewa terus meluncur.
Namun beberapa kaki sebelum mencapai tujuan,
kehabisan daya luncur dan jatuh ke tanah.
Lelembut Berwajah Dewa memaki kalangkabut.
Sedangkan Raja Tuak mengeluh dalam hati. Dari hasil benturan itu tenaga dalamnya
ternyata masih di bawah tenaga datuk sesat berparas menyenangkan ini.
Meskipun demikian, Raja Tuak tak menjadi gentar.
Ketika lawannya meluruk menerjang, dengan berani
disambutinya. Pertarungan seru pun terjadi.
*** Bukan hanya Raja Tuak yang terlibat pertarungan. Naga Bercakar Tunggal dan Dewa
Berkepala Baja bahu-membahu menghadapi amukan Iblis Tanpa Bayangan.
Sedangkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga masih belum
bertindak. Arya masih memperhatikan sosok yang berada di atas pohon. Sang
Pangeran Muda! "Paman, harap kau bantu Raja Tuak...," pinta Arya melalui ilmu mengirim suara
dari jauh pada Paksi Dilaga.
Saat itu keadaan Raja Tuak memang mengkhawatirkan. Kepandaiannya masih terpaut cukup jauh dengan Lelembut Berwajah
Dewa. Dalam beberapa jurus datuk sesat itu berhasil membuat Raja Tuak terdesak
hebat. Untunglah, Paksi Dilaga datang membantu.
Sehingga tekanan Lelembut Berwajah Dewa sedikit
berkurang. Suasana yang semula hening jadi hiruk-pikuk. Tidak hanya teriakan. Gerakan
tokoh-tokoh yang bertarung pun menimbulkan bunyi nyaring menyakitkan telinga.
Pertarungan yang berlangsung seru dan sengit. Tapi, belasan jurus kemudian
keadaan mulai berubah. Lelembut Berwajah Dewa dan Iblis Tanpa Bayangan terlalu
tangguh untuk dihadapi. Raja Tuak dan rekan-rekannya yang telah mengerahkan
seluruh kemampuannya tetap saja
kewalahan. Keadaan yang menimpa mereka membuat Dewa Arak
gelisah. Kalau tak segera dibantu, Raja Tuak dan rekan-rekannya akan tewas.
Tanpa menunggu lebih lama
dilancarkannya serangan beruntun dengan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss, wusss, wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat bertubi-tubi
meluncur ke arah Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa. Datuk-datuk
sesat itu menyambutinya dengan cara yang sama. Terdengar benturan nyaring
memekakkan telinga dan menggetarkan sekitar tempat itu.
Tubuh mereka terlihat terhuyung-huyung.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk
menerjang Lelembut Berwajah Dewa.
"Menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya!" seru Arya di saat tubuhnya masih
melayang di udara.
Serangan Arya mendapat sambutan langsung dari
lawan. Lelembut Beruaiah Dewa menyambuti kedatangan Arya dengan sebuah serangan
mematikan. Wuuttt...! Sampokan Lelembut Berwajah Dewa yang ditujukan
pada pelipis mengenai tempat kosong. Arya telah lebih dulu merendahkan tubuhnya.
Hampir bersamaan
waktunya, pemuda itu mengirimkan gedoran ke arah dada.
Desss... ! Lelembut Berwajah Dewa memekik ngeri. Telapak
tangan Arya mendarat di bahu kanannya. Tubuh kakek itu pun terjengkang ke
belakang. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Serangan yang tak disangkasangka itu membuat elakannya tak sepenuhnya berhasil. Kendati demikian, cukup
untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Tanpa mernpedulikan keadaan lawan. Dewa Arak
melesat ke arah pertarungan Iblis Tanpa Bayangan yang menghadapi Dewa Berkepala
Baja dan Raja Bercakar
Tunggal. Karena dilihatnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak belum mencapai kancah
pertarungan mereka.
Bersamaan dengan melesatnya Dewa Arak, Iblis Tanpa Bayangan mengeluarkan
lengkingan nyaring. Hanya
sebentar. Tapi, mampu membuat kedua lawannya
terkesima. Sukma mereka seperti melayang entah ke mana. Dada terasa berguncang
hebat dan sepasang kaki menggigil keras!
Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh Iblis Tanpa Bayangan. Dikirimkannya tamparan berturut-turut
ke arah pelipis kedua lawannya.
Plak, plak, plak...!
Terdengar bunyi berderak cukup keras. Disusul dengan pekikan tertahan dan
ambruknya tubuh Naga Bercakar Tunggal serta Dewa Berkepala Baja. Mereka tewas
dengan tulang pelipis retak mengucurkan darah.
Arya menggertakkan gigi melihat kejadian yang tak diinginkannya itu.
Kedatangannya sudah terlambat
Sungguhpun demikian, maksudnya tetap tak diurungkan.
Diterjangnya Iblis Tanpa Bayangan untuk membalaskan kematian mereka. Pertarungan
pun terjadi ketika sang datuk sesat menyambuti.
Sementara itu di atas pohon Sang Pangeran Muda
memperhatikan Dewa Arak dengan dahi berkernyit.
"Pemuda ini berkepandaian lumayan juga. Dia dapat menjadi ancaman besar kalau
tak dilenyapkan. Kalau aku tak bertindak cepat, kemungkinan besar Iblis Tanpa
Bayangan akan tewas," gumamnya lirih.
Tokoh yang disebut-sebut sebagai Sang Pangeran
Muda ini berpakaian putih. Celananya merah dan berikat kepala hijau. Wajahnya
dingin memancarkan keangkuhan besar, sebagaimana layaknya tingkah orang-orang
berkedudukan. Ketika Arya dan Iblis Tanpa Bayangan terlibat
pertarungan, Sang Pangeran Muda berdehem. Bukan
sembarang deheman. Tapi mampu membuat sehelai daun lepas dari tangkainya dan
melayang ke bawah.
Tanpa menekuk lutut, Sang Pangeran Muda
meninggalkan cabang pohon tempatnya berdiri. Laksana seekor burung besar dia
melayang turun dan menjejakkan salah satu kakinya pada daun itu!
Seakan-akan tak menerima beban, daun yang lebarnya hampir setelapak tangan orang
dewasa itu melayang ringan ke tanah. Dan ketika telah mendarat di tanah,
pentolan kaum sesat yang penuh rahasia ini membentak keras.
"Berhenti...!"
Sekitar tempat itu tergetar hebat karena kuatnya
tenaga yang terkandung dalam bentakan. Tapi, pengaruh yang melanda tokoh-tokoh
dalam kancah pertarungan lebih besar lagi. Mereka semua menghentikan gerakannya,
kemudian melompat mundur. Tanpa sadar mereka
mematuhi seruan Sang Pangeran Muda! Ada pengaruh
aneh yang membuat mereka mengikuti seruan itu.
Pertarungan tak berlanjut lagi. Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa
melangkah mundur,
membiarkan pemimpin mereka maju menghadapi
kelompok Raja Tuak yang berdiri berjejer. Sang Pangeran Muda sendiri bersikap
seolah Raja Tuak dan Paksi Dilaga tak berada di situ. Pandangannya hanya
ditujukan pada Arya.
Dewa Arak balas menatap. Pemuda ini harus mengakui kalau Sang Pangeran Muda
memiliki wibawa menggiriskan hati. Sepasang matanya yang tajam berkilat
mengandung pengaruh besar. Malah, Paksi Dilaga dan Raja Tuak merasakan bulu
kuduk mereka meremang. Sepasang mata yang sinarnya amat tajam itu membuat orang
tak kuat menatapnya berlama-lama.
9 "Kepandaianmu lumayan juga, Sobat Kecil!" suara Sang Pangeran Muda terdengar
begitu dingin. Nada bicara dan sikapnya demikian merendahkan Arya.
Tetapi Arya tetap tenang. Dia tak terpancing untuk melakukan hal serupa.
"Tapi, perlu kuberitahukan padamu. Kau tak perlu mencari penyakit dengan berani
menentangku. Kepandaianmu tak ada artinya bagiku. Menentang Sang Pangeran Muda sama artinya
kau telah bosan hidup.
Sayangilah nyawamu, Sobat Kecil. Jadilah anak buahku!
Untuk apa kau mengikuti langkah tua bangka yang tak bisa berpikir jernih karena
terlalu mabuk menenggak minuman setannya!" lanjut Sang Pangeran Muda menyindir
Raja Tuak. "Terima kasih atas perhatianmu, Sobat Besar. Sayang, aku tak bisa memenuhinya.
Sejak dulu aku telah bertekad membasmi setiap angkara murka di muka bumi ini.
Dan, sejak dulu pula nyawa yang ada di tubuh ini bukan milikku lagi. Telah
kuberikan untuk membela orang-orang yang tertindas!" sahut Arya, kalem.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap tenang, Raja
Tuak tidak. Kakek ini merasa terslnggung sekali. Perasaan ini mendorong
amarahnya dan membuat akal sehatnya hilang. Rasa ngeri Raja Tuak terhadap Sang
Pangeran Muda menciut dengan cepat. Keinginannya yang
mendesak adalah melampiaskan amarah itu.
"Manusia sombong!" bentak Raja Tuak. Kakinya melangkah maju dengan telunjuk
menuding pada Sang Pangeran Muda. "Kau kira aku takut padamu" Aku Raja Tuak,
bukan orang yang takut mati! Mampuslah!"
Wuuut... !

Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek bermuka merah itu melancarkan pukulan kanan kiri susul-menyusul ke arah
dada. Buk, buk! Tubuh Sang Pangeran Muda tak bergeming sama
sekali, kendati kepalan Raja Tuak menghantamnya telak.
Pentolan kaum sesat ini tak tampak kesakitan. Padahal, dia tak kelihatan
mengerahkan tenaga.
Raja Tuak terkejut melihat hasil serangannya. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengetahui sepasang tangannya melekat pada dada lawan. Betapapun dikerahkan
seluruh tenaganya untuk menarik kembali, hasilnya sia-sia.
Sementara Sang Pangeran Muda tak tampak mengeluarkan tenaga untuk
mempertahankannya.
"Orang lancang sepertimu harus diberi pelajaran agar kapok!" dengus Sang
Pangeran Muda penuh ancaman.
Ucapannya menimbulkan perasaan kaget. Tidak hanya pada Raja Tuak, tapi semua
tokoh yang berada di situ.
Mereka tahu pasti adalah pantangan besar bagi orang yang tengah mengadu tenaga
dalam untuk berbicara.
Pengerahan tenaga jadi membuyar. Ini berbahaya sekali! Di samping akan terkena
serangan tenaga dalam lawan, juga kemungkinan terpukul oleh tenaga dalamnya
sendiri yang membalik. Tapi, Sang Pangeran Muda mampu melakukannya. Sekejap
setelah mendapat ancaman Sang Pangeran Muda, Raja Tuak mendapatkan buktinya.
Kedua tangannya seperti dimasukkan ke dalam tungku perapian. Panas bukan main!
Semakin lama semakin panas. Sehingga, kakek ini menggeliat-geliat seperti cacing
di abu panas. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Melihat kejadian yang dialami Raja Tuak, Dewa Arak tak bisa tinggal diam.
Sebelumnya pun dia bermaksud mencegah tindakan kakek bermuka merah itu. Sayang,
dia terlambat. Sekarang Arya tak ingin terlambat lagi.
Dewa Arak tak berani bertindak sembrono seperti yang dilakukan Raja Tuak,
kendati dia memiliki tenaga dalam dnggi. Tapi kalau tenaganya kalah kuat, dia
akan mengalami nasib serupa.
Pemuda berambut putih keperakan itu menenggak
araknya, lalu menyemburkannya pada Sang Pangeran
Muda. Arak yang meluncur tidak berbentuk cair, melainkan agak panjang dan
runcing seperti jarum. Banyaknya ratusan.
Arya yang memiliki kecerdikan mengagumkan telah
memperkirakan serangan araknya tak dapat melukai kulit Sang Pangeran Muda. Maka,
serangan itu ditujukan pada bagian-bagian tubuh paling lemah. Mata, ubun-ubun,
dan kerongkongan!
Memang, betapapun sakti dan kuatnya tenaga dalam
seseorang, bila matanya terkena serangan akan
mengakibatkan kebutaan. Sang Pangeran Muda pun tahu hal itu. Maka, disambutnya
serangan Dewa Arak dengan tiupan. Percikan-percikan arak pun kembali seperti
semula, menjadi butiran-butiran arak yang kemudian runtuh ke tanah.
Pengerahan tenaga untuk meniup membuat daya tarik untuk melekatkan tangan Raja
Tuak berkurang.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Tuak. Cepat ia menarik
tangannya. Kali ini usaha Raja Tuak berhasil. Tapi karena terlalu kerasnya menarik, dia
terhuyung-huyung ke belakang tak bisa menguasai keseimbangan.
Sang Pangeran Muda tak mau membiarkan calon
korbannya selamat. Dia hendak mengirimkan serangan maut. Tapi, Dewa Arak
mendahului pentolan datuk sesat itu. Diserangnya Sang Pangeran Muda dengan
ayunan guci ke arah kepala.
Plak! Tangkisan yang dilakukan Sang Pangeran Muda
membuat Arya terputar lalu terpelanting. Gucinya hampir terlepas dari pegangan,
karena telapak tangannya terasa panas dan sakit.
Sang Pangeran Muda benar-benar yakin akan
kemampuannya. Dia tak menggunakan kesempatan untuk melancarkan serangan. Tokoh
yang menggiriskan hati ini menunggu lawannya memperbaiki kedudukan.
Dewa Arak merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Ketegangan melanda
dirinya. Sejak semula dia telah menyangka Sang Pangeran Muda memiliki kepandaian
tinggi. Tapi, sama sekali tak disangkanya akan demikian hebat.
"Kau hebat, Pangeran Muda," puji Arya sejujurnya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Sobat Kecil.
Mumpung pendirianku belum berubah, kuberikan
kesempatan padamu untuk merubah jawaban. Kalau kau masih bersikeras, aku akan
mengirimmu ke akhirat!"
"Kau hanya membuang-buang waktu, Pangeran Muda.
Pendirianku tak akan berubah. Apa pun yang akan terjadi aku tetap menentangmu!"
tandas Arya. Paras Sang Pangeran Muda membesi. Sorot sepasang
matanya memancarkan hawa maut ketika menatap Arya.
Dewa Arak tak menjadi gentar. Dia balas menatap.
Kemarahan Sang Pangeran Muda semakin menjadi.
Tangan dedengkot kaum sesat itu dijulurkan ke depan sejajar bahu. Dewa Arak yang
berdiri tiga tombak darinya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi
ketika melihat tindakan dedengkot kaum sesat itu, dia bersikap menunggu. Ingin
diketahuinya maksud tindakan lawan.
"Ahhh...!"
Seruan kaget itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Paras dan pancaran sepasang matanya
menyiratkan keterkejutan besar. Biji matanya bak hendak melompat keluar dari
rongga. Keterkejutan Paksi Dilaga tak menarik perhatian siapa pun. Tokoh-tokoh yang ada
di situ menunjukkan perhatian pada Sang Pangeran Muda dan Dewa Arak. Terpancang
di benak mereka pertarungan yang akan terjadi benar-benar dahsyat.
Arya yang semula bersikap menunggu terperanjat
ketika merasakan kekuatan tak nampak menekannya dari segala arah! Kekuatan sihir
luar biasa dahsyat seperti hendak menghancurkan tubuhnya.
Dewa Arak menyadari adanya bahaya. Dia bermaksud
melesat menghindar. Tercekat hatinya ketika mengetahui tak dapat melakukan hal
itu. Kekuatan yang menghimpit bak dinding yang menghalangi.
Karena tak mau mati konyol, Arya mengerahkan tenaga dalam untuk menahan himpitan
pada dirinya. Pertarungan tenaga dalam secara langsung pun tak dapat dihindarkan
lagi. Arya mengeluh dalam hati. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga
pengaruh yang menekan agak berkurang. Bila hal ini terus berlangsung dia akan
tewas dengan isi dada hancur. Semua tokoh yang menyaksikan jalannya pertarungan
merasa tegang. Di antara mereka, Paksi Dilaga yang paling tegang. Dia mengenal baik bentuk
serangan Sang Pangeran Muda.
Serangannya itu sering dilihatnya puluhan tahun lalu.
Hanya saja bukan dilakukan dedengkot kaum sesat itu, melainkan kakeknya yang
tewas karena kelicikan Raja Ular Berbaju Emas.
Itulah sebabnya tadi, Paksi Dilaga berseru kaget. Lelaki berpakaian putih itu
segera menggali ingatannya. Kendati tak menguasainya, Paksi Dilaga hafal dengan
jurus-jurusnya. Kini dia menguras seluruh ingatannya untuk mencari kelemahan
ilmu itu. Beberapa saat kemudian, wajahnya tampak berseriseri. Dia telah berhasil mengingatnya.
"Jongkok, Arya! Jongkok! Rendahkan tubuhmu...!" seru Paksi Dilaga keras, agar
bisa didengar Arya.
Dewa Arak memang mendengarnya. Saat itu Arya
tengah berada dalam keadaan genting. Wajahnya telah merah padam dan dari atas
kepalanya mengepul uap
putih. Tanpa pikir panjang lagi Dewa Arak segera berjongkok.
Dan memang, kekuatan yang menekannya langsung
lenyap. Arya pun mengerti kalau tekanan dari segala arah itu hanya menyerang
bagian pinggang ke atas!
Sang Pangeran Muda menggertakkan gigi. Sorot
matanya memancarkan maut ketika mengerling ke arah Paksi Dilaga. Dia tahu yang
memberikan petunjuk pada Arya sehingga pemuda itu dapat lolos dan serangannya.
"Kau akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas kelancanganmu ini, Paksi
Dilaga!" desis Sang Pangeran Muda. "Kau memang telah lama kucari-cari. Setelah
kukirim monyet kecil ini ke neraka, giliranmu akan tiba!"
Sang Pangeran tak bisa melanjutkan ucapannya. Dewa Arak telah menyerangnya.
Pemuda ini menggulingkan tubuhnya, kemudian melancarkan tendangan ke arah
pusar. Desss...! Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang, lalu terguling-guling. Sang Pangeran Muda
telah lebih dulu mengayunkan kaki memapak! Dedengkot kaum sesat itu tergetar
tubuhnya. Kali ini Sang Pangeran Muda tak bertindak murah hati lagi. Tak diberinya
kesempatan pada lawan untuk
memperbaiki kedudukan. Dewa Arak dikirimkannya
serangan bertubi-tubi. Serangan yang membuat Paksi Dilaga tak henti-hentinya
berseru kaget. Jurus-jurus sang dedengkot kaum sesat itu dikenalinya sebagai
ilmu milik keluarganya.
Sang Pangeran Muda memang hebat bukan main. Arya
membuktikannya sendiri. Dia dibuat terpontang-panting dalam usahanya memberikan
perlawanan. Seluruh
kemampuannya telah dikerahkan. Bahkan, ilmu 'Belalang Sakti' andalannya
dikeluarkan pula. Tapi, Arya harus menerima kenyataan kalau lawan jauh lebih
unggul. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya berada di atasnya.
Hanya berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak mampu bertahan. Kendati
demikian, lambat laun dia terdesak juga. Apalagi setelah Sang Pangeran Muda
memecahkan rahasia jurus itu.
Plak! Tubuh Arya terlempar. Tamparan Sang Pangeran Muda menghantam bahunya. Darah
menyembur dari mulut Dewa Arak. Arya masih mampu mendarat dengan kedua kakinya.
Saat Dewa Arak dalam keadaan tak menguntungkan itu, Sang Pangeran Muda menerkam
bak seekor macan lapar.
Dewa Arak hendak melompat menghindari serangan.
Namun, kedua kakinya tak dapat diangkat. Telapak kaki itu seakan melekat dengan
tanah. Arya segera sadar peristiwa aneh yang menimpanya tidak terjadi begitu
saja. Kemungkinan besar karena kedahsyatan jurus dedengkot kaum sesat itu.
Dia tak bisa mengelak lagi. Jalan satu-satunya untuk mematahkan serangan hanya
dengan menangkis. Sayang, sebelah tangannya tak dapat digunakan. Kalau
mempergunakan satu tangan yang lain, dia tak akan mampu mementahkan gempuran
Sang Pangeran Muda.
Nyawanya bagaikan telur di ujung tanduk!
Di saat-saat terakhir, dari belakang Dewa Arak melesat sesosok bayangan kuning
keemasan. Gerakannya cepat bukan main yang terlihat hanya sekelebatan bayangan.
Sosok ini melesat memapak terjangan Sang Pangeran Muda.
10 Bresss... ! Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan, getarannya dirasakan oleh semua orang
yang hadir. Untuk pertama kalinya setiap pasang mata membelalak lebar. Tubuh
Sang Pangeran Muda terlempar ke belakang, seperti juga sosok bayangan kuning
keemasan. Dedengkot kaum sesat yang luar biasa itu ternyata bisa juga terlempar.
Dan seperti juga penolong Dewa Arak, Sang Pangeran Muda berhasil menjejak tanah
dengan mantap. Dia
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar.
Kedua kalinya semua orang membelalakkan mata.
Terutama Paksi Dilaga, Iblis Tanpa Bayangan, dan
Lelembut Berwajah Dewa! Pandangan mereka tertuju pada sang penolong Dewa Arak.
Sinar mata ketidakpercayaan memancar di sana.
"T..., ti..., tidak mungkin...!" desis Paksi Dilaga dengan bibir bergetar.
Berusaha diyakinkan dirinya akan ketidak-benaran yang dilihatnya.
"Malaikat Tanpa Wajah"!" gumam Lelembut Berwajah Dewwa dan Iblis Tanpa Bayangan,
tanpa menyembunyikan kegentaran dalam nada suaranya.
"Siapa kau, Keparat"!" bentak Sang Pangeran Muda, setelah berhasil meredakan
perasaan kagetnya. "Sungguh berani kau menyamar sebagai Malaikat Tanpa Wajah!"
Penolong Dewa Arak yang dipanggil Malaikat Tanpa
Wajah terdengar mendengus. Sepasang matanya
mencorong tajam dan bersinar kehijauan tertuju lurus ke arah Sang Pangeran Muda.
Sorot mata ini sukar ditebak maksudnya. Apalagi karena wajahnya terlindung
selubung kuning keemasan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Biang Keparat!" balas Malaikat Tanpa Wajah tak
kalah keras. "Perlu kuberitahukan, sebelum memaki-maki sebaiknya kau
bercerminlah lebih dulu. Jelas-jelas kulihat ilmu yang kau pergunakan adalah
ilmu-ilmu milik Malaikat Tanpa Wajah.
Dari mana kau mendapatkannya, heh"!"
Sang Pangeran Muda terdiam. Di sekelilingnya, semua tokoh persilatan
mendengarkan jalannya perdebatan dengan penuh minat. Mereka tertarik untuk
mendengar kelanjutannya. Terutama Paksi Dilaga, orang yang merasa paling
berkepentingan.
Keadaan di tempat ini pun jadi hening. Semua tokoh yang ada berdiri mematung.
Seakan khawatir kalau sedikit gerakan yang mereka lakukan akan membuat jawaban
Sang Pangeran Muda tidak tertangkap. Bahkan bernapas pun hampir-hampir ditahan.
"Kalau kukatakan dari mana ilmu-ilmu ini, kau mau berjanji memperkenalkan diri
dan membuka selubung-mu"!" tantang Sang Pangeran Muda.
"Tidak!" jawab Malaikat Tanpa Wajah, tanpa berpikir lebih lama. "Aku tidak mau
berjanji seperti itu. Lagi pula, tanpa kau jawab pun aku tahu. Kau mencurinya,
bukan"!"
"Tutup mulutmu, Keparat! Aku bukan orang semacam itu!" bentak Sang Pangeran
Muda. "Pantang bagiku mencuri ilmu orang lain!"
"Memang bukan kau yang mencurinya. Tapi ayah, kakek, atau gurumu. Kau
mempelajari ilmu curian itu darinya. Bukankah itu berarti kau mencurinya pula!"
"Mampuslah kau...!"
Dibarengi teriakan menggeledek, dedengkot kaum
sesat itu menerjang Malaikat Tanpa Wajah. Sebuah
tendangan terbang dikirimkannya.
Pertarungan dua tokoh yang memiliki kepandaian tinggi itu segera terjadi.
Padahal, saat itu Dewa Arak masih berada di antara mereka. Kemungkinan besar
dirinya akan terkena serangan nyasar. Arya bergegas menggulingkan tubuhnya
menjauh. Hampir tanpa selang waktu, Malaikat Tanpa Wajah ikut melesat. Tokoh ini memapaki
serangan Sang Pangeran Muda dengan gerakan yang sama. Benturan yang terjadi
beberapa saat kemudian membuat tubuh mereka
terpental. Kemudian, keduanya kembali saling serang.
Semua pasang mata terhrju pada jalannya
pertarungan. Arya menoleh ke arah Paksi Dilaga dengan sorot mata mengandung
pertanyaan. Kemunculan Malaikat Tanpa Wajah begitu mengejutkan. Bukankah orang
terakhir yang menjadi tokoh legenda itu adalah ayah Paksi Dilaga dan telah
tewas" Bagaimana mungkin dapat muncul
Malaikat Tanpa Wajah lainnya"!
Arya segera tahu tak akan mendapat jawaban yang
memuaskan. Dilihatnya sendiri Paksi Dilaga tak kalah bingungnya. Perhatiannya
pun kembali dialihkan pada jalannya pertarungan.
Di kancah pertarungan, Sang Pangeran Muda dan
Malaikat Tanpa Wajah terlibat pertarungan unik. Seringkali gerakan-gerakan
mereka mirip satu sama lain, menunjukkan kalau ilmu keduanya berasal dari satu
sumber. Ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Sang Pangeran Muda berteriak
keras. "Tunggu apa lagi" Habisi mereka!"
Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa
tersadar dari terkesimanya, seperti orang tertidur yang diguyur air. Hampir
berbarengan keduanya melesat
menyerang rombongan Raja Tuak.
Pertarungan pun terjadi. Dewa Arak kembali bertarung dengan Iblis Tanpa
Bayangan. Raja Tuak dan Paksi Dilaga bekerjasama menghadapi Lelembut Berwajah
Dewa. Baru saja pertarungan berlangsung, muncul Tiga Hantu Pantai Selatan. Tanpa


Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak bicara mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Diserangnya
Paksi Dilaga dan Raja Tuak. Sebaliknya, Lelembut Berwajah Dewa malah
meninggalkan kancah pertarungan dan
menyerang Dewa Arak. Sehingga pemuda ini menghadapi keroyokan dua orang lawan.
Dalam keadaan terluka, Arya segera terdesak hebat.
Keadaan Dewa Arak ternyata tak luput dari perhatian Malaikat Tanpa Wajah. Sorot
matanya memancarkan
kecemasan besar. Cara pertarungannya pun berubah.
Tokoh misterius ini menyerang tanpa mempedulikan
pertahanan dirinya.
Sang Pangeran terperanjat melihat tindakan nekat
lawannya. Tapi dia juga merasa gembira. Apalagi ketika dilihatnya pertahanan
lawan banyak mempunyai celah-celah yang dapat dijatuhi serangan.
"Hih...!"
Sang Pangeran melancarkan pukulan tangan kanan
lurus ke arah dada yang tak terlindungi. Sudah terbayang di benak dedengkot kaum
sesat ini kalau lawannya terlempar jauh dan terluka dalam yang parah.
Dugaan Sang Pangeran Muda tak sepenuhnya tercapai.
Di saat terakhir, Malaikat Tanpa Wajah memiringkan tubuh.
Bersamaan dengan itu dikirimkannya bacokan ke arah tengkuk dengan sisi telapak
tangan. Karuan saja, Sang Pangeran Muda tercekat hatinya. Dia sama sekali tak
menyangka kejadiannya akan seperti ini.
Duk, des! Kejadian itu berlangsung hampir berbarengan. Pukulan Sang Pangeran Muda
menyerempet dada Malaikat Tanpa Wajah, tapi tengkuhnya terkena bacokan lawan.
Tubuh Malaikat Tanpa Wajah dan Sang Pangeran Muda
terhuyung-huyung.
Malaikat Tanpa Wajah masih mampu berdiri kendati
agak limbung. Sebaliknya, Sang Pangeran Muda ambruk ke tanah. Dedengkot kaum
sesat ini tewas karena tulang lehernya patah.
Tanpa mempedulikannya rasa sakit yang mendera,
Malaikat Tanpa Wajah memasuki kancah pertarungan
Dewa Arak. Arya tengah terhuyung-huyung, sedangkan dua lawannya meluruk ke
arahnya dengan serangan maut.
Malaikat Tanpa Wajah melancarkan gedoran ke arah
Iblis Tanpa Bayangan.
Duk, des! Tubuh Iblis Tanpa Bayangan terpental jauh. Terhantam gedoran Malaikat Tanpa
Wajah. Tapi, di saat yang
bersamaan tokoh legenda itu terkena pukulan Lelembut Berwajah Dewa. Malaikat
Tanpa Wajah pun terlempar.
Arya terpukul melihat kenekatan Maiaikat Tanpa Wajah untuk menolong dirinya.
Pemuda berambut putih
keperakan ini pun menghentakkan kedua tangannya,
melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss... ! Bresss! Lelembut Berwajah Dewa menjerit menyayat hati.
Pukulan jarak jauh Dewa Arak telah menghantamnya. Saat tubuhnya melayang,
nyawanya pun ikut melayang. Kulit tubuhnya gosong dan bau hangus daging
menyebar. Arya tak rnempedulikan korban serangannya. Dia
melesat ke arah Malaikat Tanpa Wajah yang tergolek di tanah. Dilihatnya bagian
pinggang atas tokoh legenda itu hangus dan menyebarkan bau amis. Tampaknya
serangan Lelembut Berwajah Dewa mengadung racun!
Karena mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak merobek
pakaian di bagian yang terluka.
Dia hendak menyedot racun yang belum menjalar jauh itu.
Arya tak peduli kendati orang yang akan ditolongnya menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan, Arya...."
Bret...! Arya merobeknya agak lebar sampai ke dada. Seketika pemuda itu terperanjat.
Wajahnya merah padam. Dada Malaikat Tanpa Wajah terlihat membusung. Putih halus
dengan putting susu merah segar. Tokoh yang luar biasa ini ternyata seorang
wanita! Arya kebingungan. Ditutupnya lagi robekan pakaian itu.
Dia teringat akan ucapan Malaikat Tanpa Wajah tadi.
Seketika keheranannya timbul.
"Dari mana kau tahu namaku!"
"Bukalah selubungku ini, Arya...," kata Malaikat Tanpa Wajah, tak menjawab
pertanyaan Arya.
Di saat Dewa Arak melepas selubung itu, Paksi Dilaga dan Raja Tuak ikut
mendekat. Tiga Hantu Pantai Selatan telah berhasil mereka tewaskan. Tubuh tokohtokoh sesat itu bergeletakan di tanah. Sekarang kedua tokoh golongan putih itu
menanti dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka tak sabar ingin melihat wajah orang
yang berada di balik selubung.
"Pringgani!"
Seruan kaget itu dikeluarkan Arya dan Paksi Dilaga.
Seraut wajah cantik di balik selubung itu memang
wajah Pringgani. Mulut, hidung dan telinganya mengalirkan darah segar. Napas
gadis ini telah tersengal-sengal.
Kendati demikian, bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Ayah..., " desis Pringgani, lirih. "Mungkin Ayah kaget mengapa aku bisa seperti
ini..." Paksi Dilaga hanya bisa mengangguk-anggukkan
kepala. Dia tak sanggup bicara lagi. Kesedihan dan keharuan besar melanda
hatinya. Kerongkongannya terasa tercekik. Kalau saja tak ingat akan malu, lelaki
ini telah menangis meraung-raung melihat keadaan Pringgani.
Kendati demikian sepasang matanya yang berkaca-kaca tak dapat dihindarkan.
Arya sendiri, bahkan Raja Tuak, ikut dililit perasaan haru.
"Kau pun mungkin kebingungan dengan hilangnya diriku, Aryu," ujar Pringgani
lagi. Yang segera dibalas dengan anggukan kepala oleh Arya.
"Tentu saja, Gani. Aku dan ayahmu mencarimu ke mana-mana," jawab Arya.
Pringgani tersenyum. Tapi, yang terlihat adalah seringai kesakitan. Arya buruburu menotok beberapa jalan darah di tubuh gadis itu untuk mengurangi rasa
sakitnya. Bahkan, disalurkan hawa murni untuk mengusir racun dalam tubuh
Pringgani. Asap hitam mengepul dari bagian tubuh yang terluka, mula-mula hitam
pekat. Tapi, semakin lama semakin memudar warnanya. Berbarengan dengan itu,
warna hitam pada bagian pinggang Pringgani berangsur-angsur lenyap.
"Aku akan menceritakan kejadiannya," kata Pringgani.
Diberinya isyarat agar Dewa Arak menghentikan
penyaluran hawa murninya. "Sudah lebih baik, Arya,"
ujarnya. Pringgani tercenung mengingat-ingat kejadian yang dialami sebelum mulai
bercerita. *** Pringgani yang telah tak berpakaian berusaha secepat mungkin mengenakan pakaian
pemberian Dewa Arak. Tapi, mendadak punggungnya seperti tersentuh sesuatu.
Seketika itu pula gadis ini merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Ada
seseorang yang telah
menotoknya dari belakang! Totokan itu membuat Pringgani tak kuasa untuk berdiri.
Bak sehelai kain basah, tubuhnya ambruk ke tanah.
Tapi sebelum tubuh putri Paksi Dilaga itu berbenturan dengan tanah, sehelai
sabuk hitam melilit pinggangnya.
Pringgani yang sudah tak berdaya tak mampu menolak ketika tubuhnya ditarik ke
belakang. Kejadian berturut-turut itu berlangsung demikian cepat. Namun
Pringgani masih mampu berpikir jernih. Hal ini yang membuatnya dapat meredam
keterkejutan. Padahal, jeritan meminta tolong telah berada di ujung lidah.
Apabila dia mehjerit, Dewa Arak pasti akan menoleh.
Tapi hal itu tak diinginkannya. Dia tengah berada dalam keadaan tanpa busana.
Gadis ini lalu memutuskan untuk melihat keadaan lebih dulu. Belum terlambat
baginya untuk menjerit bila keadaannya terancam.
"Penculikku ternyata seorang nenek, " jelas Pringgani.
"Dia membawaku ke tempat tinggalnya setelah lebih dulu membuatku tak bersuara.
Di kediamannya nenek itu
memberitahukan tentang dirinya. Dia adalah kakak dari kakeknya ayah. Anak yang
disia-siakan oleh ayahnya sendiri, yaitu kakek dari kakekku."
Paksi Dilaga terkejut mendengar penjelasan putrinya.
Dia sama sekali tak ingat kalau kakeknya mempunyai kakak perempuan. Anak yang
disia-siakan. Memang, dalam keluarga mereka anak lelakilah yang diharap-harapkan
kelahirannya. "Nenek yang disia-siakan itu kabur dari rumah ketika ibunya meninggal. Bertahuntahun dia terlunta-lunta.
Sampai akhirnya, disuatu malam beliau bermimpi bertemu dengan leluhurnya yang
pertama kali. Leluhur itu
mengajarinya mantera-mantera yang terdapat pada
lembaran kitab. Beliau belajar dari leluhurnya sehingga menjadi sakti. Bahkan,
beliau sampai mempunyai ilmu yang dapat memindahkan semua ilmu yang dimilikinya
pada orang lain. Kepadakulah ilmu-ilmu itu diwariskan, Ayah. Setelah mewariskan
semua ilmunya, beliau pun wafat. "
Pringgani juga menceritakan kalau si nenek
mengetahui dari leluhurnya bahwa ada orang yang mencuri ilmu-ilmu keluarga
mereka. Orang itu adalah pelayan ayah si nenek. Dia memperhatikan setiap kali
buyut Pringgani mengajari kakeknya. Belakangan dia kabur dengan
membawa kitab-kitab ilmu keluarga. Kepada Sang
Pangeran Muda ilmu curian itu diwariskan. Karena itu, Sang Pangeran Muda
mengejar-ngejar Pringgani dan
ayahnya. Dia tahu, mereka berdualah keturunan terakhir.
"Ahhh...!" desah Paksi Dilaga dan Arya. Kaget bercampur haru mengingat nasib
yang diderita sang nenek.
Raja Tuak yang tak tahu apa-apa berdiam diri saja dan terus mendengarkan.
"Mengapa kau sampai berkorban demikian besar untuk menolongku, Gani, " keluh
Arya, seakan menyesali tindakan Pringgani.
Pringgani mengulas senyum. Sesaat sepasang matanya berbinar-binar.
"Tidakkah kau dapat menduganya, Arya?" tanya gadis itu lirih. Wajahnya merah
padam karena rasa malu. "Aku..., aku mencintaimu..., Arya...."
Arya merasa terharu sekali dengan pengorbanan gadis berpakaian merah itu. Dengan
penuh rasa terima kasih, dikecupnya kening Pringgani.
Paksi Dilaga tersenyum. Pringgani pun ikut tersenyum.
Tapi, luka yang diderita membuat senyum Pringgani tidak manis. Gadis ini tampak
tak ambil peduli. Dia terlalu bahagia mendapat kecupan dari Arya. Hal ini
membuatnya bersemangat. Untuk menjawab pertanyaan Paksi Dilaga mengenai
tingkahnya yang mondar-mandir ke gua.
Pringgani tengah mencarikan obat untuk Arya.
Keharuan kembali menyeruak di hati Dewa Arak. Obat itu adalah untuk menawarkan
racun serangan Raja Ular
Berbaju Emas. Pemberian obat yang mesti teratur. Pagi dan sore selama tiga hari,
hingga membuat gadis itu harus mondar-mandir.
Arya menatap ke langit. Hatinya begitu gundah. Ada satu pertanyaan bergayut di
hatinya. "Adakah cinta untuk Pringgani kalau di lubuk hatiku hanya ada bayangan Melati"!"
SELESAI Created ebook by
Fujidenkikagawa (diketik manual)
Convert to pdf (syauqy_arr)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Sumpah Palapa 11 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Pendekar Bayangan Setan 13

Cari Blog Ini