Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Bagian 1
1 Malam telah larut. Bahkan sudah mendekati dini hari.
Tapi seorang pemuda tampan berambut keperakan dan seorang laki-laki setengah
baya berpakaian indah, masih memeriksa bangunan demi bangunan di dalam
lingkungan Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!"
Sambil melangkah keluar dari salah satu bangunan yang telah selesai diperiksa,
laki-laki setengah baya itu menghela napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan
kelesuan. Memang, laki-laki tinggi besar ini merasa lelah bukan kepalang, baik lahir
maupun batin. Hampir semalam suntuk dia bersama pemuda yang kalau dilihat dari
ciri-cirinya adalah Dewa Arak itu memeriksa seisi bangunan. Harapannya akan
didapatkan sebuah petunjuk. Tapi, ternyata semuanya nihil.
Tidak ada satu pun petunjuk yang didapatkan.
"Bagaimana, Kang" Rasanya semua bangunan sudah diperiksa. Tapi, tak satu pun
petunjuk yang di-peroleh." Celetuk Arya seraya menatap wajah laki-laki setengah
baya yang tak lain dari Adipati Blambang yang bernama Subali.
"Aku juga bingung, Arya," sambut Adipati Subali bernada keluhan. "Entah, dari
mana lagi aku harus menyingkap teka-teki yang menyelimuti Rara Kunti."
Arya tidak menyahuti ucapan itu. Dan Adipati Subali pun tidak meneruskan
ucapannya lagi. Maka, suasana jadi hening. Masing-masing pihak tenggelam dalam
alun lamunan. Sambil menghela napas panjang, Adipati Subali mengedarkan pandang. Tapi ketika
kedua bola matanya tertumbuk pada pot-pot tanaman dia terjingkat kaget.
Meskipun tidak memperhatikan, tapi sudut mata Arya melihat gerakan mendadak
laki-laki tinggi besar itu. Sudah bisa diperkirakan ada sesuatu yang mengejutkan
harinya. Hanya saja Arya tidak ingin bertindak lancang. Sikapnya seperti
berpura-pura tidak tahu. Barangkali saja hal itu tidak boleh diketahuinya.
"Masih ada harapan, Arya," ungkap Adipati Subali sambil menoleh Dewa Arak
disertai sinar mata penuh harap.
"Mengapa kau berkata demikian, Kang?" Tanya Arya ingin tahu.
"Ada sebuah ruang rahasia. Tepatnya lagi, sebuah tempat persembunyian. Di... ah!
Lebih baik kutunjuk-kan saja tempatnya, Arya. Mari."
Lalu Adipati Subaji bergegas menuju pot-pot kayu yang terletak beberapa tombak
di hadapannya. Dewa Arak pun mengikuti di belakangnya.
Hanya dalam beberapa langkah saja, mereka telah berada di dekat pot-pot kayu
itu. Adipati Subali langsung membungkukkan tubuhnya. Dengan bantuan sinar bulan
yang cukup terang, diperhatikannya satu persatu pot-pot tanaman itu. Sedangkan
Arya hanya memperhatikan tingkah lakunya saja.
Meskipun tidak diberi tahu, pemuda berambut putih keperakan sudah bisa menduga
penyebab Adipati Subali bertindak demikian. Salah satu dari sekian banyaknya pot
yang berjejer, ada yang mempunyai hubungan dengan ruangan rahasia. Itu
kesimpulan yang didapatnya.
Mendadak Arya merasakan keanehan dalam dirinya. Dia merasa seakan-akan ada orang
yang tengah memperhatikan mereka. Arya tahu, kalau telah mempunyai indera keenam
yang pada binatang disebut naluri. Bahkan nalurinya lebih tajam. Dengan agak
bergegas pandangannya dialihkan ke sekeliling. Dan ternyata nalurinya tidak
keliru. Di pinggir atap bangunan, tampak sesosok tubuh tengah duduk bersila.
Sorot matanya tampak angker bukan kepalang.
Dalam siraman sinar rembulan yang pucat, terlihat cukup jelas sosok tubuh itu.
Dia ternyata seorang kakek berusia sangat lanjut. Tubuhnya kurus kering,
sehingga yang terlihat, hanyalah tonjolan tulang-tulang di sana-sini, terbungkus
kulit keriput, kumis, dan jenggotnya berwarna putih. Kepalanya agak sedikit
botak, karena rambutnya telah banyak yang rontok.
Yang membuat penampilan sosok tubuh itu semakin menyeramkan adalah pakaiannya
yang berwarna merah menyala. Pada bagian dadanya, tampak gambar sebuah peri mati
berwarna hitam.
"Hentikan usahamu, Kang. Ada orang yang tengah mengintai kita," bisik Arya,
pelan. Kontan hati Adipati Subali tercekat mendengar penjelasan Arya. Buru-buru dia
berdiri tegak. Pandangannya juga beralih ke arah Arya menatap. Seketika itu
pula, laki-laki tinggi besar ini terjingkat kaget.
"Dia..., dia.... Iblis Mayat Hidup...," desis Adipati Subali bergetar penuh nada
gentar. Arya tidak menyambuti ucapan itu. Memang, dia sudah menduga siapa kakek kurus
kering ini, setelah melihat wama pakaian dan gambar yang sama dengan pakaian
Jaranta. Dan Jaranta sendiri adalah anak Iblis Mayat Hidup.
Arya tahu, kakek kurus kering yang ternyata berjuluk Iblis Mayat Hidup itu
adalah seorang berkepandaian tinggi. Putranya saja memiliki kepandaian tinggi.
Apalagi Iblis Mayat Hidup"! Pemuda berambut putih keperakan ini sukar
membayangkannya.
Bukan hanya hal itu saja yang membuat Arya menduga demikian. Sepasang mata Iblis
Mayat Hidup yang mencorong tajam dan bersinar kehijauan seperti mata harimau
dalam gelap, menunjukkan kalau tenaga dalamnya amat kuat. Karena hanya tokoh
yang memiliki tenaga dalam amat tinggi yang mempunyai sorot mata seperti itu.
*** Mendadak, tubuh Iblis Mayat Hidup melesat.
Herannya masih dalam keadaan duduk bersila. Beberapa saat lamanya, tubuh Iblis
Mayat Hidup yang dalam keadaan bersila itu melayang-layang di udara.
Dan sekitar setengah tombak dari permukaan tanah, kedua kaki yang dilipat segera
diluruskan kembali.
Kemudian, kakinya menjejak tanah tanpa suara sama sekali.
"Siapa di antara kalian yang menjadi keturunan Eyang Mandura?"
Bulu kuduk Adipati Subali langsung merinding mendengar pertanyaan itu. Tapi
bukan karena suara yang bernada serak, berat, dan bergaung itu yang menjadi
penyebabnya. Tapi justru ketakutannya karena ketika melihat bibir Iblis Mayat
Hidup sama sekali tidak bergerak sewaktu mengucapkannya. Padahal, jelas-jelas
kalau kakek kurus kering itu yang mengatakannya.
Iblis Mayat Hidup menggeram ketika tak mendengar adanya jawaban sepotong pun dari mulut kedua orang yang hanya berjarak
tiga tombak di hadapannya. Bila Adipati Subali mungkin karena masih dilanda
perasaan kaget, sedangkan Arya memang tidak ingin menjawab.
Seiring lenyap geraman, Iblis Mayat Hidup menatap wajah Adipati Subali dan Arya.
Ada nada selidik di samping kemarahan di dalam sorot matanya.
Adipati Subali merasa gentar bukan kepalang.
Tanpa sadar kakinya mundur selangkah. Sedangkan Arya tetap tenang. Meskipun
demikian, sekujur urat syaraf dan otot pemuda berambut putih keperakan ini telah
menegang penuh kewaspadaan.
"Kau..., ya.... Pasti kau yang menjadi keturunan Eyang Mandura," tuding Iblis
Mayat Hidup ke wajah Adipati Subali.
Karuan saja hal itu membuat Adipati Subali terperanjat. Wajahnya langsung pucat
pasi. Disadari ada bahaya yang tengah mengancamnya sekarang. Meskipun kematian
bukan merupakan hal yang menakut-kan bagi Adipati Subali, tapi mati di tangan
datuk sesat seperti Iblis Mayat Hidup merupakan sebuah hal yang mengerikan.
Perasaan ngeri itulah yang membuat Adipati Subali tanpa sadar melangkah mundur.
Sementara, Iblis Mayat Hidup terus menatapnya penuh selidik. Sama sekali tidak
dipedulikan keberadaan Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersikap waspada. Bahkan
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
"Benar..., kau pasti keturunan Eyang Mandura....
Ada kemiripan antara dirimu dengannya," lanjut Iblis Mayat Hidup, semakin
meninggi nada ucapannya.
"Kau harus bertanggung jawab atas perbuatan leluhurmu! Ayo, hadapi aku! Akan kubuktikan kalau ilmu-ilmu ciptaanku lebih dahsyat
daripada ilmu leluhurmu!"
Usai berkata demikian, kakek kurus kering itu mengulurkan tangan kanannya. Jarijari tangan yang terkembang membentuk cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun
Adipati Subali, diiringi suara mencicit menyakitkan telinga.
Arya yang memang sudah bersiaga sejak tadi, tidak tinggal diam. Buru-buru
kakinya melangkah ke kiri, menghadang di depan Iblis Mayat Hidup. Tak lupa,
tangan kanannya diayunkan untuk menangkis serangan dengan arah dari dalam
keluar. Takkk! Suara keras seperti beradunya dua batang logam keras terdengar, ketika benturan
terjadi. Dewa Arak dan Iblis Mayat Hidup sama-sama terhuyung mundur selangkah ke
belakang. Jelas, tenaga dalam dua tokoh tingkat tinggi berbeda aliran ini
berimbang. "Keparat!"
Iblis Mayat Hidup mendesis penuh kemurkaan, disamping keterkejutan seorang
pemuda belia ternyata mampu membuatnya terhuyung dalam
benturan! Padahal, tadi telah seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Ini benarbenar merupakan sebuah tamparan keras padanya. Ini adalah penghinaan!
Lawan di hadapannya ini harus menanggung akibat perbua-tannya.
"Siapa kau, Keparat"!" Tanya Iblis Mayat Hidup, keras dengan sepasang mata
menyala-nyala. "Namaku Arya Buana. Orang-orang biasa memanggilku Arya," kalem jawaban pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!"
Iblis Mayat Hidup tertawa bergelak-gelak dan keras sekali. Bahkan mulutnya
sampai terbuka lebar.
Padahal sejak tadi jangankan terbuka. Bibirnya bergerak-gerak saja, tidak!
"Jadi, kiranya kau yang berjuluk Dewa Arak"! Ha ha ha...! Sungguh kebetulan!
Julukanmu terkenal sekali, Dewa Arak! Menurut berita yang kudengar, kau telah
banyak merobohkan lawanmu. Sehingga banyak tokoh persilatan yang mangatakan,
kalau kau patut mendapat julukan Jago Nomor Satu!"
Iblis Mayat Hidup menghentikan ucapannya. Matanya nyalang, menatap Dewa Arak.
"Hatiku seketika panas mendengar berita itu.
Rasanya, ingin kubuktikan sendiri kebenarannya. Aku akan mati penasaran, apabila
belum sempat bertemu dan membuktikan sendiri kelihaianmu! Sama sekali tidak
kusangka kalau kita akan bertemu di sini!
Ha ha ha...! Roboh di tanganmu, bukan merupakan hal yang memalukan, Dewa Arak!
Bersiaplah kau!
Hiyaaat..!"
Iblis Mayat Hidup membuka serangannya dengan sebuah gedoran ke arah dada. Tapi
hanya melangkah mundur, telah membuat serangan kakek kurus kering itu luput.
Iblis Mayat Hidup tidak kecil hati melihat serangannya berhasil dipunahkan Dewa
Arak. Disadari kalau lawannya berkepandaian amat tangguh. Hasil dari benturan
tenaga dalam saat pertama kali, telah menjadi patokannya. Kalau tidak mengalami
sendiri, Iblis Mayat Hidup tidak akan percaya. Tidak masuk diakal, orang semuda
Arya mempunyai tenaga dalam demikian tinggi.
Atas dasar pemikiran itulah, Iblis Mayat Hidup terus melancarkan seranganserangan lanjutan. Tentu saja kali ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Bukan hanya Iblis Mayat Hidup saja yang menyadari ketangguhan lawan. Dewa Arak
pun demikian pula. Itulah sebabnya, pemuda berambut putih keperakan itu tidak
berani bertindak main-main. Seluruh kemampuannya dikerahkan. Meskipun demikian,
ilmu 'Belalang Sakti' andalannya belum dikeluarkan.
Dewa Arak tahu, Iblis Mayat Hidup pun belum mengeluarkan ilmu andalan. Tapi tak
urung, pertarungan berlangsung letap dahsyat dan menggiriskan.
Masalahnya, ilmu-ilmu yang dimiliki kedua tokoh berbeda aliran itu nemang
bermutu tinggi.
Suara mencicit, mendesing, dan mengaung menyemaraki pertarungan. Dan hal itu
terdengar setiap kali Iblis Mayat Hidup dan Dewa Arak menggerakkan tangan atau
kakinya. Akibatnya hebat bukan kepalang pada keadaan di sekitamya. Pepohonan, semaksemak, tanah, dan tembok-tembok bangunan, porak-poranda. Keadaan sekitar tempat
itu seperti habis diobrak-abrik pulu-han ekor kerbau liar.
Untung saja, Adipati Subali sudah sejak tadi menyingkir dari tempat itu. Kalau
tidak, mungkin dia sudah terkapar di tanah terkena angin pukulan yang bisa saja
nyasar, meskipun hanya terkena angin pukulan nyasar dari kedua tokoh sakti itu,
ternyata cukup membuat nyawa melayang ke alam baka.
Sementara itu, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan
tubuh tinggi, pertarungan menjadi berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja,
pertarungan sudah berlangsung lima puluh jurus. Selama itu, belum nampak adanya
tanda-tanda yang akan terdesak dan masih berlangsung imbang.
Mendadak terdengar suara melengking tinggi, seperti pekik seekor burung garuda.
Nadanya pun menyakitkan telinga. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi. Menilik dari suaranya, bisa diketahui kalau pemiliknya
masih berada di tempat yang jauh.
"Hi...!"
Mendadak Iblis Mayat hidup menjauhkan diri dari kancah pertarungan. Kakek kurus
kering ini kemudian bersalto beberapa kali di udara, sebelum hinggap di tanah
tanpa suara sedikit pun.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar. Padahal, hal itu bisa saja dilakukannya
sambil mengirimkan serangan-serangan susulan. Paling tidak, dia akan berada di
atas angin. Dan kenyataannya, Dewa Arak memang membiarkan saja tindakan Iblis
Mayat Hidup yang kini berdiri tenang.
"Kau hebat, Dewa Arak! Julukanmu yang menggemparkan memang bukan omong kosong.
Sayang, aku mempunyai urusan lain yang lebih penting. Apabila urusanku telah
selesai, kau akan kutantang lagi, Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, tubuh Iblis Mayat Hidup lalu berbalik. Begitu kakinya
dijejakkan, maka seketika itu juga tubuhnya melesat dari situ. Tampak jelas
kalau arah yang ditempuh adalah asal jeritan melengking tinggi yang tadi
terdengar. Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap di
balik tembok benteng Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pandangannya
masih tertuju ke arah yang tengah dituju Iblis Mayat Hidup.
Sementara Adipati Subali yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dari
kejauhan, menghampiri Arya.
"Mengapa tidak kau kejar, Arya?" Tanya Adipati Subali heran.
Arya tersenyum getir.
"Iblis Mayat Hidup sudah tidak menghendakinya lagi, Kang. Tidak ada gunanya
pertarungan di-langsungkan."
Adipati Subali mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Iblis Mayat Hidup memang seorang lawan tangguh, Kang. Padahal, dia belum
mengeluarkan ilmu andalannya. Tak bisa kubayangkan kalau ilmu andalannya telah
dikeluarkan," desah Arya penuh kagum.
"Tapi..., bukankah kau juga belum mengeluarkan Ilmu andalanmu, Arya," bantah
Adipati Subali. "Jadi, kalian sama-sama belum mengeluarkan ilmu
andalan." Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang, dia tadi juga belum mengeluarkan ilmu
andalan. Dan Dewa Arak jadi tersenyum kecut dalam hati.
"Kalau begitu, kita lanjutkan urusan yang belum selesai, Arya." Ajak Adipati
Subali ketika teringat kembali akan maksudnya semula.
"Kau benar, Kang," sambut Arya cepat.
Mendapat sambutan menggebu-gebu seperti itu, Adipati Subali jadi bersemangat.
Cepat kakinya diayunkan menuju pot-pot kayu yang sebagian besar telah porakporanda. Sekarang, Adipati Subali tidak terlalu sulit lagi untuk mengetahui pot yang
menjadi kunci masuk ke tempat rahasia. Karena, pot-pot yang masih utuh
tinggal sedikit. Dan ketika akhirnya berhasil menemukannya, Adipati Subali
langsung memegang sisi-sisi pot itu dan memutarnya ke kanan. Dan, ternyata pot
itu sama sekali tidak bergeming.
"Harapan kita semakin besar, Arya!" cetus Adipati Subali penuh rasa gembira.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Kang,"
kata Arya. "Kalau ruangan rahasia itu belum dimasuki orang, pot ini bisa diputar untuk
membuka jalan masuk ke ruangan rahasia. Dan apabila pot ini tidak bisa diputar,
berarti seseorang telah masuk ke dalam ruangan dan menghambat bekerjanya pot
yang menjadi pembuka ini. Memang, dari dalam kegunaan pot ini bisa ditangkal,"
urai Adipati Subali panjang lebar.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Lalu..., bagaimana caranya kita masuk ke sana, Kang?" Tanya Arya, agak heran.
"Melalui tembusan jalan rahasia ini," jawab Adipati Subali, kalem. "Mari, Dewa
Arak...!" Arya tersenyum geli sendiri ketika mendengar jawaban Adipati Subali. Mengapa dia
menjadi begitu bodoh" Bukankah hal-hal seperti itu telah dialaminya sendiri.
Bahkan di lstana Kerajaan Bojong Gading juga ada hal seperti ini.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arya tahu, tembusan jalan-jalan rahasia seperti itu biasanya terletak di tempattempat terpencil dan sulit ditemukan orang.
"Ada apa, Arya?" Tanya Adipati Subali ketika melihat Arya termenung dengan bibir
menyunggingkan senyuman lebar.
Teguran ini membuat Arya tersentak. Buru-buru kepalanya digelengkan beberapa
kali. "Ah...! Tidak apa-apa, Kang...," jawab pemuda berambut putih keperakan.
Tentu saja Adipati Subali tidak percaya atas jawaban Arya. Dia tahu, tidak ada
sesuatu yang dipikirkan bila pemuda berambut putih keperakan itu tidak
termenung. Tapi laki-laki tinggi besar itu berusaha bertindak bijaksana, dan
tidak berusaha men-desaknya lagi. Adipati Subali tahu, pendekar muda itu adalah
seorang yang berwawasan luas. Apabila telah mengeluarkan jawaban seperti itu,
berarti memang tidak ada hal yang penting.
"Kalau begitu, mari kita mencari Rara Kunti."
Arya menganggukkan kepala. Sesaat kemudian kedua tokoh yang baru berkenalan ini
sudah melesat meninggalkan tempat itu. Suara cicit burung, dan ke-ruyuk ayam
jantan menjadi pertanda dini hari telah tiba. Itu berarti sang Surya akan segera
muncul di ufuk Timur untuk mengusir kegelapan yang men-cengkeram bumi.
*** 2 Hari sudah tidak pagi lagi. Bola raksasa di langit sudah mulai menyilaukan mata,
ketika sesosok bayangan hitam melesat cepat. Dia ternyata seorang gadis cantik
berusia dua puluh tahun. Pakaiannya serba hitam, membungkus tubuhnya yang
langsing. Rambutnya yang berwarna hitam digelung ke atas dan dihiasi sebuah amel berbentuk
bunga mawar. Menilik dari larinya yang cepat dan ringan, bisa diperkirakan kalau gadis
berpakaian hitam itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Sementara itu, gadis berpakaian hitam terus berlari cepat. Di tangan kanannya
tercekal dua ekor kelinci yang masih hidup. Entah, bagaimana binatang itu bisa
tertangkap hidup-hidup.
Langkah gadis berpakaian hitam melambat, dan akhirnya terhenti ketika melihat
sesosok tubuh berdiri di depannya. Dia berhenti dalam jarak sekitar lima tombak
di depan penghadangnya.
"Siapa kau"! Mengapa menghadang jalanku"!"
tanya gadis berambut digelung itu, keras.
Sepasang mata bening dan indah milik gadis berpakaian hitam itu menatap ke arah
penghadangnya, sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tidak terlihat, karena
tertutup selubung berwarna hitam pekat. Yang terlihat hanya sepasang matanya,
karena pada bagian selubung itu memang terdapat dua buah lubang, tepat pada
bagian matanya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam itu tertawa bergelak. "Siapa adanya aku,
tidak soal. Yang jelas,
kau harus ikut denganku, Nisanak! Atau... kau ingin dibunuh kawan-kawanku.
Mereka tidak puas hanya dengan merebut Kadipaten Blambang! Mereka juga
menginginkan dirimu!"
Gadis berpakaian hitam itu mengedarkan
pandangan berkeliling. Dia tahu, sosok berpakaian hitam itu seorang laki-laki.
Nada suaranyalah yang memperkuat dugaannya. Tapi hal itu tidak menarik
perhatiannya. Dan pandangannya kembali beredar berkeliling, untuk memastikan
kalau laki-laki berpakaian hitam itu hanya sendirian.
"Kau hanya akan dapat membawaku, apabila aku telah menjadi mayat!"
Usai berkata demikian, gadis berpakaian hitam itu langsung melemparkan kelinci
dalam genggaman-nya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya bergerak mencabut
pedang yang tergantung di punggungnya.
Srattt! Sinar terang berkeredep ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Sinar mata hari
yang menyorot tepat di bilah pedang yang putih mengkilat, dapat membuat lawan
silau memandangnya. Maka hal itu akan membuat sasaran yang dituju oleh pedang
tidak terlihat.
Tapi, rupanya hal itu sama sekali tidak berlaku bagi laki-laki berpakaian hitam.
Buktinya ketika pedang menyambar ke arah lehernya dengan arah serangan mendatar,
hal itu bisa diketahuinya. Malah, dia bersikap tenang. Ditunggunya hingga
serangan senjata lawan mendekat. Baru ketika angin serangannya sudah mulai
menghembus lehernya, tubuhnya dirundukkan. Dan...
Wusss! Babatan pedang itu lewat beberapa jari di atas kepalanya. Menilik dari
berkibarnya penutup kepala ketika bilah pedang lewat, bisa diketahui kalau
tenaga yang menopang serangan gadis berpakaian hitam itu cukup kuat.
Gadis berpakaian hitam itu merasa penasaran bukan kepalang melihat serangannya
mampu dielakkan begitu mudah. Maka ketika serangan pembuka-nya gagal mengenai
sasaran, masih dalam keadaan berada di udara, kaki kanannya meluncur ke arah
dada. Wuttt! Kali ini, laki-laki berpakaian hitam itu tidak meng-elakkannya. Tendangan itu
hanya dipapak dengan kedua tangan terkepal yang saling disilangkan di depan
dada. Dukkk! Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tidak bisa
dielakkan lagi. Kontan tubuh gadis berpakaian hitam terpental balik ke belakang.
Sedangkan penghadangnya terhuyung satu langkah ke belakang.
Meskipun demikian, laki-laki maupun gadis berpakaian hitam itu mampu mematahkan
kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung dengan gerakan manis.
"Hup!"
Pada saat yang bersamaan dengan hinggapnya kedua kaki gadis berpakaian hitam itu
di tanah, penghadangnya pun telah berhasil memperbaiki keadaannya pula. Tanpa
memberi kesempatan lagi, gadis berambut digelung itu langsung melancarkan
serangan kembali. Pedang di tangannya kembali ber-kelebat cepat ke arah berbagai
bagian tubuh lawan
disertai suara mendesing nyaring.
Tapi, lak-laki berpakaian hitam ternyata bukan orang sembarangan. Meskipun gadis
berambut digelung itu melancarkan serangan secara cepat dan bertubi-tubi, namun
berhasil ditangkal tanpa me-nemui kesulitan. Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah sambaran pedang lawan.
Bahkan ketika pertarungan mulai menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berpakaian
hitam itu telah berani menangkis serangan pedang lawan dengan tangan telanjang.
Luar biasa! Jangankan putus atau terluka.
Tergores pun tidak. Malah sebaliknya, tangan kanan gadis berambut digelung itu
yang terasa sakit dan kesemutan setiap kali pedangnya berbenturan dengan tangan
lawan. Perlahan-lahan gadis berpakaian hitam itu mulai terdesak. Gulungan sinar
pedangnya yang tadi membentuk gundukan lebar, dan terkadang mengurung tubuhnya
bersama lawannya, kini mulai menyempit Serangan-serangan yang dilancarkannya
juga mulai berkurang!
"Hhh...!"
Gadis berpakaian hitam itu mengeluh dalam hati.
Sama sekali tidak disangka kalau penghadangnya akan selihai ini. Padahal, semula
dia telah berbesar hati ketika melihat laki-laki berpakaian hitam itu hanya
sendirian saja. Dan dia yakin akan mampu mem-bereskannya. Perasaan kaget
bercampur cemas mulai melanda, ketika dalam benturan pertama kali ternyata
kemampuan lawan tidak di bawahnya. Dan kekhawatirannya semakin membesar ketika
mengetahui kepandaian laki-laki berpakaian hitam itu kian lama kian hebat.
Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun serangan-serangannya ternyata jauh
lebih dahsyat. Namun gadis berambut digelung itu juga bukan orang bodoh. Dia tahu, tadi
lawannya tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Rupanya laki-laki berpakaian
hitam itu ingin menjajaki kepandaiannya lebih dahulu.
Tak sampai lima belas jurus, gadis berpakaian hitam itu sudah dibuat terpontangpanting untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Beberapa kali tubuhnya jatuh
bangun dan bergulingan. Sekujur wajah dan tubuhnya telah basah kuyup oleh
keringat. Napasnya pun terengah-engah, karena terlalu memaksakan diri untuk mengerahkan
seluruh kemampuan.
"Akh...!"
Gadis berambut digelung itu menjerit tertahan ketika kaki lawan menggaet
kakinya, sehingga tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan sebelum sempat berbuat
sesuatu, laki-laki berpakaian hitam itu telah memburunya dengan sebuah totokan
ke arah jalan darah di leher.
Kali ini, gadis berambut digelung itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Untuk
mengelak atau menang kis, sama sekali tidak bisa dilakukan. Memang, keadaannya
yang lelah dan keadaannya yang sama sekali tidak menguntungkan, membuatnya tidak
mampu bertindak apa-apa. Namun, rasanya dia tidak sanggup menerima kenyataan
kalau dirinya tertotok lumpuh tidak berdaya. Jelas malapetaka mengerikan akan
terjadi atas dirinya. Maka dengan sikap pasrah sepasang matanya dipejamkan agar
tidak menyaksikan kejadian itu.
Tapi, gadis berpakaian hitam itu menjadi heran ketika menyadari serangan yang
ditunggu-tunggu
sama sekali tidak kunjung datang. Bahkan suasana di sekelingnya terasa hening
dan sepi. Masih disertai perasaan heran yang melanda, kelopak matanya segera
dibuka. Maka seketika itu pula matanya terbelalak.
Betapa tidak" Laki-laki berpakaian hitam itu ternyata sudah tidak berada lagi di
situ. Tentu saja hal ini membuat gadis berambut digelung itu heran bukan
kepalang. Benarkah orang tadi telah pergi"
Lalu, mengapa meninggalkannya begitu saja. Padahal, dirinya tadi telah
dirobohkan! Perasaan heran pun berkecamuk di dalam benak gadis berpakaian hitam
itu. Benarkah laki-laki berpakaian hitam itu telah pergi"
Perasaan penasaran mendorong gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tapi, tetap saja tidak dijumpai adanya laki-laki berpakaian hitam tadi. Sekitar
tempat itu sepi, tidak nampak adanya sepotong makhluk pun disana.
Masih dengan dahi berkemyit dalam, gadis itu bangkit dari tertelentangnya.
Pakaiannya yang kotor dikebut-kebutkan, lalu dijumput pedangnya dan dimasukkan
kembali ke dalam sarung. Kemudian setelah mengedarkan pandangan sekali lagi ke
sekitarnya, dia melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kunti...!"
Suara panggilan keras membahana terdengar di sekitarnya, ketika gadis berambut
digelung itu baru saja melangkah beberapa tombak. Anehnya, dia terlonjak
pertanda terkejut. Cepat laksana kilat kepalanya dipalingkan ke belakang, karena
suara itu memang berasal dari sana.
"Ayah...!"
Terdengar teriakan bernada ketidakpercayaan,
keheranan, sekaligus bercampur kegembiraan dari mulutnya. Kemudian dengan kedua
tangan terkembang, gadis berpakaian hitam itu menghambur ke arah asal panggilan
tadi. Orang yang memanggil tadi ternyata seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya
kekar, terbungkus pakaian indah berwarna kuning keemasan. Cambang bauk lebat
yang menghias wajah, semakin menambah kegagahan dan keangkerannya. Dia tak lain
dari Adipati Subali!
"Tahan!" tiba-tiba Adipati Subali menjulurkan tangannya ke depan.
"Ayah..."!"
Di tengah-tengah perjalanan, tubuh gadis berpakaian hitam yang ternyata Rara
Kunti itu langsung berhenti tak mengerti. Raut kekecewaan dan ketidakmengertiannya tampak jelas pada wajahnya.
"Sebelum telanjur, bisa kau tunjukkan punggungmu lebih dulu, Kunti?" Tanya
Adipati Subali.
Sambil mengucapkan pertanyaan demikian, laki-laki tinggi besar itu melangkah
mundur. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, dia masih mencurigai Rara
Kunti. Dan mundurnya, Adipati Subali pun sudah dapat dipastikan untuk menjaga
jarak antara mereka berdua. Setidak-tidaknya apabila Rara Kunti melancarkan
serangan, sebelum mengenai sasaran dia mampu lebih dulu mengelak atau
menangkis. "Aku tidak mengerti maksudmu, Ayah"!" sambut Rara Kunti disertai sorot mata
penuh tanda-tanya.
Dan tampaknya, dia merasa tidak suka atas usul yang diajukan ayahnya.
"Untuk saat sekarang ini kau tidak perlu mengerti, Kunti," penuh kesungguhan
ucapan Adipati Subali.
"Yang penting, lakukan saja perintah yang kuberikan itu."
"Kau membuatku bingung, Ayah. Perintahmu sama sekali tidak masuk di akal. Aku
tidak sudi melakukannya!" Tandas Rara Kunti, keras.
"Mengapa?" Tanya Adipati Subali, agak bergetar suaranya.
"Karena itu akan membuatku malu! Kau ingin aku memperlihatkan punggungku di
depan orang asing"!"
Sambil mengucapkan perkataan berapi-api, gadis berpakaian hitam itu.mengerling
ke arah sosok tubuh yang tadi datang bersama ayahnya, dan kini berdiri di
belakang. Sosok tubuh seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian
ungu, yang tak lain dari Dewa Arak!
Adipati Subali terlonjak kaget bagai disengat kalajengking. Mengapa hal itu
sampai dilupakannya"
Rara Kunti benar! Kalau perintah itu dilakukan, putrinya akan menanggung malu!
Namun bukan hanya Adipati Subali saja yang terkejut. Arya demikian pula. Bahkan
pemuda berambut putih keperakan itu dilanda perasaan malu yang lebih besar lagi.
Selebar wajahnya kontan memerah. Maka, bergegas, Arya membalikkan tubuh.
"Nah! Sekarang apa lagi alasanmu, Kunti" Arya telah memberikan kelonggaran
padamu untuk me-laksanakan perintahku. Cepat, Kunti! Terus terang, aku ingin
menyingkap tabir yang menyelimuti perasa-anku. Bagaimana, Kunti" Kau keberatan
memenuhi perintahku itu?" Tanya Adipati Subali lagi, meminta kepastian.
Rara Kunti tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menganggukkan kepala
perlahan. Bibirnya digigit kuat-kuat gejolak perasaan yang melanda
hatinya. "Jadi..., kau setuju, Kunti?" desak Adipati Subali lagi.
Rara Kunti kembali mengangguk-anggukkan
kepala. Kini Adipati Subali tidak ragu-ragu lagi. Buru-buru dihampirinya Rara Kunti.
Meskipun demikian, laki-laki tinggi besar itu masih bersikap waspada. Tapi,
ternyata tidak dijumpai adanya tindakan-tindakan yang mencurigakan pada Rara
Kunti. Maka buru-buru kedua tangannya dibalikkan dan diletakkan pada bahu gadis
berpakaian hitam itu.
Sementara itu, Rara Kunti tampak terguncang-guncang menahan isak tangis. Hal ini
karena ayahnya seperti sudah tak mempercayainya sebagai anak.
Namun, dia dapat memakluminya, karena diyakini tujuan ayahnya benar.
Dan kini, ternyata Rara Kunti tidak tinggal diam.
Dia ikut membantu memperlihatkan bagian
punggungnya, dengan mengangkat baju bagian belakang.
Srrrkkk! Sesaat kemudian, terpampang punggung yang berkulit putih, halus, dan mulus,
tanpa cacat sama sekali. Namun kemulusan itu terusik oleh tanda yang berbentuk
seekor ular kobra berwarna biru. Suatu tanda kalau gadis berpakaian hitam itu
adalah keturunan Eyang Mandura.
"Kau memang benar Rara Kunti. Anakku. Hhh...!
Kini sudah jelas masalahnya. Kau sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan
terhadap ibumu!" desah Adipati Subali sambil merapikan kembali pakaian Rara
Kunti, seraya memeluk anaknya.
"Apa"! Apa katamu, Ayah"!" Pekik Rara Kunti,
keras. Raut wajah maupun sinar matanya kontan memancarkan ketidakpercayaan dan
keterkejutan yang amat sangat, tepat ketika dia melepaskan pelukannya.
"Ibumu tewas, Kunti! Dan perintahku padamu tadi bukan perbuatan mengada-ada. Itu
merupakan salah satu cara untuk menyingkap tabir pembunuhan terhadap ibumu!"
Jelas Adipati Subali panjang lebar.
"Ohhh..."!"
Rara Kunti mengeluh tertahan, bibirnya tampak berkembik-kembik seperti ingin
menangis. Raut wajahnya pucat pasi laksana mayat. Sepasang matanya tampak
berkaca-kaca. Keluhan-keluhan kesedihan keluar dari tenggorokannya. Jelas, gadis
berpakaian hitam ini makin dilanda sedih yang meng-gelegak.
"Ayah...!"
Tangis Rara Kuntj langsung meledak ketika Adipati Subali tanpa ragu-ragu
memeluknya kembali.
Rara Kunti menangis sesenggukan di pelukan ayahnya.
Adipati Subali membiarkan saja Rara Kunti menumpahkan perasaannya. Dia tahu, hal
itu akan melegakan tekanan batin yang melanda putrinya.
Yang dilakukan Adipati Subali hanyalah mengelus-elus rambut hitam dan tebal
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
milik putrinya penuh kasih sayang. Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini
nampak memerah, karena perasaan haru yang melanda. Haru karena telah yakin kalau
yang berada dalam pelukannya benar-benar anaknya. Di samping itu juga karena
mereka kembali bertemu.
Dan kini Rara Kunti sudah bisa menguasai perasaannya. Perlahan-lahan gadis
berpakaian hitam itu melepaskan pelukannya. Air mata dan ingus yang
timbul karena tangis disusut dengan sapu tangannya. Kemudian, disimpannya
kembali benda yang telah basah itu ke selipan pinggangnya.
Sementara itu, Dewa Arak yang berdiri di belakang mereka tampak tersenyum haru
melihat pertemuan ayah dan anak itu.
"Mengapa kau hanya sendirian saja, Ayah" Mana Paman Sagala" Dan mengapa kau
waktu itu meninggalkanku sendirian, Ayah?" Tanya Rara Kunti bertubi-tubi, seraya menatap
wajah laki-laki tinggi besar itu lekat-lekat.
Sinar mata Rara Kunti tampak penuh tuntutan dan menghendaki jawaban atas
pertanyaannya. "Hhh...!"
Sambil menghela napas berat, Adipati Subali membalas tatapan putrinya tak kalah
tajam. "Panjang ceritanya, Kunti," jawab laki-laki tinggi besar itu setengah mendesah.
Tarikan wajah Adipati Subali tampak penuh kedukaan. Karuan saja hal itu membuat
wajah Rara Kunti yang telah basah oleh air mata itu menjadi heran bukan
kepalang. "Apakah kau keberatan untuk menceritakan semua peristiwa itu, Ayah?" Tanya Rara
Kunti, melihat tatapan ayahnya seperti itu.
Masih terdengar serak dan tersendat-sendat suara Rara Kunti, meskipun tangisnya
telah usai. Sekarang, yang tertinggal hanyalah sepasang mata dan ujung hidung
yang merah. "Tidak," sahut Adipati Subali sambil menggeleng-kan kepala.
Kemudian laki-laki tinggi besar ini lalu menceritakan semua kejadiannya.
Sementara, Rara Kunti mendengarkan penuh perhatian.
*** "Begitulah ceritanya, Kunti. Kalau saja tidak ada Arya alias Dewa Arak, mungkin
kau tidak akan pernah bertemu lagi dengan ayahmu ini," tutur Adipati Subali
mengakhiri ceritanya.
Seiring selesainya cerita itu, Adipati Subali dan Rara Kunti teringat akan
keberadaan pemuda berambut putih keperakan yang berdiri membelakangi mereka.
Bagai diperintah, keduanya sama-sama mengalihkan pandangan ke tempat Arya
berada. Tampak pemuda berambut putih keperakan itu masih dalam keadaan seperti
tadi. "Cukup, Arya." ujar Adipati Subali.
Arya membalikkan badan, kemudian menghampiri Adipati Subali dan Rara Kunti.
"Maaf. Kami terlupa Arya. Ah! Masalah ini memang membingungkan kami...," desah
Adipati Subali penuh penyesalan.
"Lupakan, Kang. Tidak ada yang perlu dimaafkan.
Karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Aku memakluminya, kok," ringan
jawaban Arya. "Aku pun minta maaf padamu, Arya," ucap Rara Kunti pula sambil mengulurkan
tangan. Dan Arya menyambutnya.
"Justru akulah yang seharusnya minta maaf padamu, Kunti." tegas Arya, menyebut
nama gadis berpakaian hitam itu seperti Adipati Subali memanggil-nya.
"Hehhh..."! Mengapa begitu, Arya?" Tanya Rara Kunti dengan alis berkerut, heran.
"Karena, akulah yang telah membuatmu terjatuh tadi," jelas Arya.
"Jadi..., kau..."!" Rara Kunti sengaja menggantung ucapannya di tengah jalan.
Tapi, Arya tahu kelanjutan-nya. Maka kepalanya pun dianggukkan.
"Benar. Akulah orang yang tadi bertarung denganmu. Akulah laki-laki yang
berpakaian hitam tadi," jelas pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ahhh...!"
*** 3 Rara Kunti berseru kaget. Memang, apa yang di-dengar tadi sama sekali tidak
disangka-sangka.
"Mengapa kau lakukan itu, Arya?" Tanya Rara Kunti bernada kesal. "Apakah hendak
menunjukkan ketinggian ilmu yang kau miliki, atau ingin menghinaku?"
Karuan saja nada tidak senang yang terdengar jelas dalam ucapan gadis berpakaian
hitam itu, membuat Arya kelabakan. Apalagi, ketika melihat sorot mata Rara Kunti
yang begitu tajam menusuk. Tidak lagi ramah, seperti sebelumnya. Arya bisa
memaklumi sikap yang ditunjukkan Rara Kunti. Dia tahu, kelakuannya tadi pasti
menyinggung hati gadis itu.
"Sabar dulu, Kunti." Sergah Arya cepat sambil menggoyang-goyangkan tangannya di
depan dada. "Kau salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Tidak usah pura-pura, Dewa Arak!" Potong Rara Kunti keras. "Aku tahu,
kepandaianku memang tidak ada artinya bila dibanding kepandaianmu. Kuakui, kau
seorang tokoh besar. Tapi itu bukan berarti kau bisa seenaknya menghinaku! Mari,
kita lanjutkan pertarungan tadi."
Arya kebingungan melihat kemarahan Rara Kunti semakin berkobar-kobar. Apalagi,
ketika melihat tangan gadis itu sudah terjulur ke punggung. Maksudnya sudah bisa
ditebak. Apalagi kalau bukan untuk menghunus pedangnya"
Tapi sebelum maksud gadis berpakaian hitam itu tercapai, sebuah tangan kekar
telah mencekal pergelangan tangannya.
"Sabar dulu, Kunti," cegah Adipati Subali lembut Memang, dialah pemilik tangan
kekar itu. "Lepaskan, Ayah. Biar aku mengadu nyawa dengan pendekar besar ini! Jangan dikira
mentang-mentang telah menolong, lantas bisa seenaknya saja menghina orang lain!"
Rara Kunti tetap bersikeras.
"Dengar dulu penjelasan Ayah, baru setelah itu terserah padamu untuk
memutuskannya. Jangan khawatir, Ayah akan berada di pihakmu!"
Tangan Rara Kunti yang semula sudah menegang keras dan siap untuk memberontak,
perlahan-lahan mengendur. Bahkan akhirnya kembali ke sisi pinggang.
"Kalau begitu..., terserah Ayah," desah Rara Kunti mengalah. Pelan sekali
suaranya, mirip bisikan.
Adipati Subali menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Dia tahu
betul sifat Rara Kunti yang demikian keras! Apabila berkata hitam, tetap hitam
sebelum mendapat bukti kalau ucapannya salah. Meskipun demikian, dia tidak
pernah membantah perintah. Terutama apabila ayahnya telah menunjukkan sikap
sungguh-sungguh.
"Arya tidak bisa disalahkan, Kunti. Karena itu memang bukan kesalahannya. Hal
itu dilakukan hanya untuk memenuhi permintaan Ayah," jelas laki-laki tinggi
besar itu. "Aku..., aku jadi semakin tidak mengerti, Ayah. Arya menghadang perjalananku dan
memaksaku bertarung adalah untuk memenuhi permitaan Ayah.
Atau..., Ayah ingin melihat kemajuanku?" Bertubi-tubi dan hampir tanpa henti
Rara Kunti mengutarakan kedongkolan hatinya.
"Kau kan sudah dengar cerita ayah tadi, Kunti"!"
tanya Adipati Subali, mengingatkan.
Rara Kunti menganggukkan kepala. Namun masih belum dimengerti, mengapa laki-laki
tinggi besar itu mengaitkan penyerangan Dewa Arak dengan peristiwa berdarah yang
menimpa rombongan ayahnya.
"Kau lupa, Kunti. Gadis yang bersama Sagala, menampilkan wajah dan sosok tubuh
dirimu! Hanya saja, kepandaiannya amat tinggi. Aku dan Dewa Arak mempunyai dua
buah dugaan mengenai dirimu tadi."
Sampai di sini Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat
tanggapan anaknya. Tapi gadis berpakaian hitam itu sama sekali tidak memberi
tanggapan apa pun. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil mengernyitkan
dahi. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Dugaan pertama, gadis yang bernama Sagala benar-benar dirimu. Hanya saja, diamdiam kau telah mempelajari ilmu kepandaian darinya. Sedangkan dugaan kedua, ada
gadis yang mempunyai hubungan perguruan dengan Sagala, dan menyamar sebagai
dirimu. Untuk membuktikan dugaan itulah, aku dan Arya kembali kemari," sambung
Adipati Subali.
Ekor mata Rara Kunti mulai mengerling ke arah Arya. Tampak pemuda berambut putih
keperakan itu bersikap tenang. Tak terlihat ada sedikit pun gambaran dendam di
wajahnya. Hal ini membuat hati gadis berpakaian hitam tidak enak. Dan gelagat
adanya ketidakbenaran tuduhannya terhadap Dewa Arak sudah mulai tercium. Diamdiam dia mulai menyesali kecerobohannya.
"Di istana, aku tidak menemukan dirimu. Untung, aku ingat ruang rahasia di balik
pot. Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu. Untuk membuktikan dugaanku, Arya
kuminta untuk membuatmu terlibat dalam
pertarungan. Sedangkan aku menyaksikan dari tempat tersembunyi. Lega hatiku
ketika kulihat kau benar-benar mengeluarkan ilmu warisanku. Dan aku tidak
melihat adanya kelihaian yang ditampilkan sewaktu terjadi peristiwa pembunuhan
itu. Maka aku yakin, ada orang yang telah memalsukan dirimu.
Namun demikian, aku masih belum yakin atas dirimu.
Makanya, aku memintamu agar memperlihatkan punggungmu!" Adipati Subali
mengakhiri penjelasannya dengan raut wajah gembira bercampur lega.
"Tapi... Mengapa Ayah masih mencurigaiku?" Sergah Rara Kunti penasaran.
"Aku hanya merasa penasaran. Tanda di punggungmu itu merupakan bukti kalau kau
adalah keturunanku," sahut Adipati Subali mantap. "Tanda itu berupa gambar
seekor ular kobra. Maaf. Selama ini aku belum menceritakannya padamu."
Rara Kunti kontan terdiam. Tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut, baik di
benak maupun di hatinya. Semuanya jelas, kalau dia telah salah duga terhadap
Arya. Maka dengan wajah merah padam karena perasaan malu, tatapannya dialihkan
pada pemuda berambut putih keperakan itu.
"Maafkan aku, Arya. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," ucap gadis berpakaian
hitam itu pelan.
Bahkan ucapan itu dikeluarkan sambil menundukkan wajah. Kalau saja Arya dan
Adipati Subali bukan orang-orang yang memiliki kepandaian, pasti tidak akan
mendengarnya. "Lupakanlah, Kunti. Aku tahu, kau hanya salah paham. Lagi pula, kau memang patut
untuk marah, kok. Aku memang keterlaluan memperlakukanmu.
Dan justru akulah yang seharusnya minta maaf padamu," ucap Arya.
Kontan Rara Kunti jadi tersipu-sipu mendengar sambutan Dewa Arak.
"Nah! Sekarang masalah ini telah selesai. Kini tinggal dua masalah lagi yang
belum diselesaikan,"
kata Adipati Subali mengalihkan pembicaraan agar suasana canggung itu lenyap.
"Apa masalah itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti, cepat.
Sebenarnya bukan karena Rara Kunti ingin mengetahui masalah-masalah itu. Tapi
sebagian besar didorong oleh perasaan ingin membebaskan diri dari keadaan tidak
enak yang mengungkukungnya.
"Masalah pertama, mencari dan membalas dendam pada pembunuh ibumu. Kunci masalah
ini ada di tangan Sagala. Dan kedua, memecahkan rahasia leluhurmu!"
Setelah berkata demikian, Adipati Subjali menoleh ke arah Arya. Tanpa laki-laki
tinggi besar itu membuka suara pun, Dewa Arak telah tahu maksudnya. Maka buruburu dikeluarkannya gulungan kulit binatang dari batik bajunya.
Adipati Subali mengulurkan tangan menerimanya.
Kemudian secara singkat tapi jelas, semua hal yang berhubungan dengan surat
peninggalan ini dicerita-kannya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode
sebelumnya, serial Dewa Arak dalam episode
"Rahasia Syair Leluhur").
Rara Kunti mendengarkan semua cerita ayahnya penuh minat. Karena, memang baru
kali inilah Adipati Subali menceritakannya.
"Begitulah ceritanya, Kunti," kata Adipati Subali mengakhiri ceritanya.
"Bisa kulihat surat itu, Ayah?" Pinta gadis berpakaian hitam itu.
"Tentu saja, Rara Kunti!"
Lalu Adipati Subali menyerahkan gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang
itu pada putrinya.
Rara Kunti menerimanya penuh gairah, dan langsung membuka gulungannya. Sementara
Arya dan Adipati Subali hanya memperhatikan tanpa perasaan curiga.
Memang, kedua orang ini telah percaya kalau Rara Kunti sama sekali tidak
terlibat dalam masalah pembunuh itu.
Dengan bibir sedikit berkemik-kemik, Rara Kunti membaca huruf-huruf yang tertera
di atas surat yang terbuat dari kulit binatang.
Matahari beredar....
Dari tempat hati yang pilu
Air berasal... Tempat yang akan dituju
Bukti leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir dari Raja Memberi Derma
Pintu kebahagiaan
"Bagaimana tanggapanmu, Kunti?" Tanya Adipati Subali tak sabar ketika melihat
gadis berpakaian hitam itu termenung.
Rara Kunti mengalihkan pandangannya dari gulungan kulit binatang itu. Kini,
ditatapi wajah ayahnya lekat-lekat. Kemudian, perlahan-lahan kepalanya
menggeleng. "Aku tidak bisa mengambil kesimpulan apa-apa dari bait-bait syair ini, Ayah.
Tapi aku hanya merasa heran. Mengapa 'Bukti Leluhur' yang baru saja Ayah
ceritakan dan 'Raja Memberi Derma' yang merupakan salah satu jurus yang kita
miliki masuk dalam bait-bait ini." gumam Rara Kunti.
Adipati Subali terlonjak. Wajahnya pun kontan berubah hebat. Tarikan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Jelas, hal ini karena ucapan Kara
Kunti. Melihat sikap ini, tentu saja membuat gadis berpakaian hitam itu jadi
heran. Belum lagi hilang perasaan kagetnya, Adipati Subali telah mengulurkan tangan.
Dan.... Tappp! Tanpa Rara Kunti mampu berbuat apa-apa,
gulungan kulit binatang itu telah berpindah tangan.
Memang, gerakan laki-laki tinggi besar terlalu cepat Ja-di, andaikata dia sempat
berbuat sesuatu pun, tetap saja gulungan kulit binatang itu akan terampas oleh
Adipati Subali.
*** Secepat surat itu berada di tangan, secepat itu pu-la Adipati Subali membuka
gulungannya dan membaca ulang. Sementara, Rara Kunti mengawasi dengan perasaan
heran. Tapi, tidak demikian halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih keperakan
itu tahu, ucapan Rara Kunti telah membuat Adipati Subali menemukan hubungan
bait-bait yang berada dalam surat peninggalan leluhurnya.
"Ah! Kau benar, Kunti!" seru Adipati Subali seraya menggulung surat itu.
"Mengapa, aku demikian bodoh"! Ah! Ucapanmu ini telah membuat salah satu bait
ini telah terpecahkan. Sekarang, tinggal satu bait lagi, Kunti, Arya."
"Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu bisa kau pecahkan, Ayah?" Tanya Rara
Kunti tidak mengerti.
"Baris demi baris yang terdapat dibait kedua ini mudah sekali diartikan, setelah
kau menemukan kuncinya, Kunti. Ah! Kau benar-benar seorang gadis cerdik," jawab Adipati
Subali. "Agar kau jelas, sebaiknya kuterangkan padamu."
Laki-laki tinggi besar ini menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Syair dibait kedua ini berhasil kupecahkan setelah menggabungkan kesimpulan
yang kudapatkan bersama Arya, dengan ucapanmu tadi. Menurut dugaanku, kita harus
mencari tempat yang memiliki tanda atau gambar seperti yang tertera pada
punggung kita. Di sini dikatakan, bukti leluhur awal dari kerja keras. Oleh
karena itu, kita harus mencarinya."
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk menenangkan deru napasnya.
Perasaan tergesa-gesa untuk memberitahukan kesimpulan yang didapatnya pada Arya
serta Rara Kunti, dan perasaan gembira karena telah berhasil menemukan
kesimpulan bait kedua, menjadi penyebabnya.
"Dan apabila kita telah menemukan gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' di tempat
itu, maka kita dapat menemukan tempatnya hanya dengan jurus 'Raja Memberi
Derma'," sambung laki-laki tinggi besar itu lagi.
Rara Kunti Dan Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Rupanya kedua orang itu sama-sama menyetujui kesimpulan yang didapatkan
Adipati Subali.
"Bagaimana pendapatmu atas kesimpulanku, Arya?" Adipati Subali yang belum puas
melihat anggukan kepala Arya, mengajukan pertanyaan secara langsung.
"Aku yakin, kesimpulan yang kau dapatkan itu sangat tepat, Kang," sahut Arya.
"Apa alasanmu, Arya?" desak Adipati Subali tidak begitu saja menelan jawaban
itu.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada dua alasan yang menyebabkannya."
"Dua"!" Alis Adipati Subali berkernyit dalam.
"Banyak sekali, Arya"!"
Arya hanya menyunggingkan senyum lebar.
"Pertama, kesimpulan yang Kakang dapatkan itu memang masuk akal apabila
dihubung-hubungkan dengan syair yang terdapat pada bait kedua," Arya mulai
menguraikan alasannya.
Adipati Subali menggumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban
seperti itu memang sudah diduga.
"Lalu yang kedua?"
"Ini alasan yang paling tepat, Kang. Begini. Leluhurmu tak akan mungkin
sembarangan membuat surat rahasia yang berisi pusaka-pusaka peninggalannya.
Aku yakin, dia tidak ingin surat itu terjatuh di tangan orang yang bukan
keturunannya. Jadi, dia harus membuat sebuah teka-teki yang hanya dapat
dipecahkan keturunannya. Itu alasanku, Kang," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Arya," ujar Adipati Subali, setelah termenung sejenak memikirkan
kata-kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Kini aku baru ingat, mengapa
ayahku begitu memperhatikan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Padahal, ilmu itu
termasuk ilmu rendahan. Ketika kutanyakan mengapa demikian"
Jawabannya, itu adalah pesan kakek sebelum meninggal. Hhh...! Sama sekali tidak
kusangka kalau ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'lah yang akan menjadi bagian
terpenting untuk bisa mendapatkan pusaka itu."
"Ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'"!" Tanya Arya
dengan alis berkerut.
"Benar," Adipati Subali menganggukkan kepala.
"Jurus-jurus yang terkandung dalam ilmu itu, di antaranya adalah jurus 'Raja
Menolak Sembah', jurus
'Raja Merebut Tahta', dan jurus 'Raja Memberi Derma'."
Sekarang Arya baru mengerti, dan membuatnya terdiam. Adipati Subali tidak
melanjutkan ucapannya lagi. Demikian pula Rara Kunti. Gadis berpakaian hitam ini
pun membisu. Hasilnya, suasana menjadi hening.
"Tapi, di mana tempat gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' itu, Ayah?" Tanya Rara
Kunti memecahkan keheningan yang terjadi.
"Itu yang harus kita cari, Kunti," jawab Adipati Subali cepat.
"Di mana kita harus mencarinya, Ayah" Dunia ini begitu luas" Apakah kita harus
meneliti setiap tempat yang ditemui" Lalu sampai kapan kita akan menemukannya"
Aku yakin sampai usia selesai pun, dunia ini belum habis kita jelajahi." Sambut
Rara Kunti mengemukakan pendapat
Adipati Subali tercenung mendengar ucapan putrinya. Disadari ada kebenaran dalam
ucapan Rara Kunti.
"Jangan berputus asa seperti itu, Kunti. Tidak baik," celetuk Arya. "Ingat,
ayahmu baru memecahkan rahasia di bait kedua. Aku yakin, jawaban pertanya-anmu
ada di bait pertama."
"Kau benar, Arya!" Sentak Adipati Subali cepat.
Kembali laki-laki tinggi besar ini membuka kembali gulungan kulit binatang itu.
"Ah! Mengapa aku sampai lupa" Bukankah aku baru memecahan rahasia di bait
kedua"!" rutuk Adipati Subali dalam hati.
Tampak kedua tangan Adipati Subali agak menggigil ketika membuka gulungan surat
itu. Meskipun hafal syair itu, tapi dia lebih suka membaca ketimbang mengingatingat hafalannya. Karena dengan melihat lulisan syair itu, lebih mudah untuk
memikirkan pemecahannya.
"Mungkin aku bisa menyumbangkan pikiran, Kang.
Aku mempunyai sebuah kesimpulan, tapi sayangnya tidak untuk keseluruhan syair,"
sambu Arya yang sejak tadi juga berusaha memecahkan bait pertama.
Tanpa disengaja, Rara Kunti telah membuat tabir gelap yang melingkupi syair
leluhur itu mulai ter-singkap.
"Apa kesimpulan yang kau dapatkan, Arya" Kata-kanlah," desah Adipati Subali
seraya mengalihkan pandangan ke arah Dewa Arak.
"Aku hanya bisa menarik kesimpulan dari tiga baris syair itu, Kang. Satu baris
di antaranya, tidak bisa kuartikan. Aku yakin hal ini hanya akan dapat
dipecahkan oleh kau atau Rara Kunti!" sahut Arya.
"Begini, Kang. Baris pertama, baris kedua, baris ke tiga, dan keempat, tidak
bisa diartikan perbaris.
Karena masing-masing mempunyai hubungan. Untuk mengetahui arti baris pertama
atau ketiga, kita harus meminta bantuan baris kedua dan keempat."
Sampai di sini Arya menghentikan penjelasannya untuk melihat tanggapan Adipati
Subali dan Rara Kunti atas kesimpulan yang diutarakan. Dan seperti yang sudah
diduga, baik Rara Kunti maupun Adipati Subali sama-sama menganggukkan kepala
pertanda menyetujui kesimpulannya. Maka Dewa Arak pun meneruskan ucapannya.
"Baris pertama mengandung arti, kalau kita ingin
menemukan tempat yang memiliki gambar bukti leluhur, maka kita harus mengikuti
terbitnya matahari.
Jadi kita harus menuju ke arah Timur. Sayangnya, darimana harus memulai
pencarian itu, aku tidak bisa memastikan. Di situ dikatakan, 'Dari tempat hati
yang pilu'. Aku tidak bisa mengartikannya. Tapi aku yakin, kau akan tahu."
Arya menghentikan ucapannya sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk
melanjutkan ucapannya.
"Baris ketiga menunjukkan pada mata air. Dan tempat itu akan ditemukan, apabila
kita telah melakukan perjalanan ke arah Timur, 'Dari tempat hati yang pilu itu'.
Begitulah kesimpulan yang kudapatkan, Kang," Kata Arya, mengakhiri.
"Luar biasa!" seru Adipati Subali sambil menga-cungkan jempol kanannya. Lakilaki tinggi besar ini tampak gembira bukan kepalang. "Kau benar-benar hebat,
Arya! Aku yakin kesimpulan yang kau dapatkan tidak meleset. Kita akan dapat
memecahkan rahasia syair ini!"
"Mengapa kau demikian yakin, Kang" Bukankah itu hanya kesimpulanku saja. Dan
lagi, baris kedua tidak bisa kujabarkan," sambut Arya, heran.
"Baris kedua tidak jadi masalah, Arya. Karena, aku telah bisa menduga di mana
tempatnya," jawab Adipati Subali bernada yakin.
Seketika itu juga, wajah Arya dan Rara Kunti ber-seri-seri.
"Benarkah ucapanmu itu, Ayah" Kau tahu arti yang terkandung di dalam baris
kedua"!" Tanya Rara Kunti, penasaran.
Adipati Subali menganggukkan kepala.
"Aku teringat cerita ayah padaku. Beliau mengatakan, kakek meninggal dunia
karena penyakit. Penyakit itu timbul karena kakek dilanda perasaan sedih yang amat sangat dan
berkepanjangan. Dan
kesedihan itu timbul karena kakek terpaksa harus meninggalkan tempat yang amat
dicintainya. Memang, kakek meninggalkan tempatnya disertai perasaan pilu."
"Jadi...," Rara Kunti menggantung ucapannya. "Kita harus menuju ke tempat
kediaman kakek kalau ingin menemukan pusaka peninggalannya," sahut Adipati
Subali, memberi keputusan.
"Berarti, teka-teki ini telah terpecahkan, Ayah?"
Tanya Rara Kunti, meminta kepastian.
Laki-laki tinggi besar itu menganggukkan kepala.
Sepasang matanya berbinar-binar. Wajahnya pun tampak ceria. Jelas, Adipati
Subali merasa gembira bukan kepalang.
"Sekarang, kita harus menuju tempat tinggal kakek yang dulu. Dari sana, kita
akan menuju ke arah Timur sampai akhirnya bertemu sebuah mata air kecil...."
"Lalu, kita cari tanda atau gambar 'Bukti Leluhur' di sekitar tempat itu. Dan
bila telah bertemu, mainkan jurus 'Raja Memberi Derma' untuk menemukan pusaka
rahasia itu. Bukan begitu, Ayah?" potong Rara Kunti, cepat.
"Kau cerdik, Kunti," puji Adipati Subali.
"Kau mengejekku, Ayah," rajuk Rara Kunti manja.
'Tidak, Kunti. Ayah mengatakan yang sejujumya.
Kau memang benar-benar cerdik. Bukankah kau yang telah menyebabkan Ayah berhasil
memecahkan teka-teki ini?" Adipati Subali memberi alasan.
Rara Kunti pun terdiam. Diam-diam matanya mengerling pada Arya. Memang, timbul
perasaan suka di hatinya melihat pemuda berambut keperakan itu. Ketenangannya,
ketampanan wajahnya, dan
kematangan sikapnya membuat hatinya tergetar.
Tapi, gadis berpakaian hitam ini merasa kecewa ketika mengetahui Arya sama
sekali tidak memperhatikan dirinya.
"Tidak sukakah dia padaku" Bukankah aku cantik?" kata Rara Kunti sendiri dalam
hati. "Mengapa melamun, Kunti. Mari berangkat. Kita harus bergegas agar tidak keduluan
orang lain."
Ucapan Adipati Subali membuat Rara Kunti tersadar dari lamunannya. Buru-buru
kakinya melangkah mengikuti Adipati Subali dan Arya yang telah bersiap berangkat
Sesaat kemudian, ketiga orang ini pun telah beranjak meninggalkan tempat itu.
*** 4 "Keparat!"
Sebuah makian keras menguak keheningan pagi.
Embun belum seluruhnya terusir pergi. Tampak masih ada sebagian yang menempel di
dedaunan. "Mengapa, Kang Sagala?" Suara bernada lembut menyambut makian kera tadi.
Meskipun demikian, tampak jelas nada keingintahuannya.
Pemilik suara lembut itu ternyata seorang wanita berwajah cantik. Pakaiannya
berwarna hitam.
Rambutnya digelung ke atas dan ditusuk sebatang amel berbentuk bunga mawar.
Wanita berpakaian hitam itu menatap ke arah seorang lelaki di sebelahnya yang
dipanggil Sagala tadi.
Lelaki itu berwajah pucat, seperti orang penyakitan.
Pakaiannya berwarna kuning, membungkus tubuhnya yang kecil kurus. Saat ini,
Sagala memang tengah marah-marah. Ini bisa dibuktikan dari sorot matanya dan
raut wajahnya yang merah padam.
"Kau bertanya mengapa, Kumari" Tidak bisakah kau menduga"! Aku sedang kesal
tahu! Berhari-hari makna syair ini kupikirkan, tapi tak juga kutemukan maksud
yang terkandung di dalamnya. Syair sialan!"
Sagala mengalihkan pandangan ke arah surat yang tergenggam di kedua tangannya.
Secarik surat yang terbuat dari kulit binatang.
"Hehhh..."! Mengapa kau memanggilku Kemari, Sagala" Mengapa tidak lagi Rara
Kunti seperti sebelumnya"!" wanita berpakaian hitam yang menyamar sebagai Rara
Kunti, padahal sebenarnya
bernama Kumari, menyambuti penuh ejekan.
"Sudahlah, Kumari. Aku sedang tidak ingin bermain-main! Lebih baik, copot
penyamaranmu! Tidak ada gunanya lagi menyamar sebagai Rara 'Kunti! Aku muak
melihatnya, tahu!" Sergah Sagala keras.
"Hi hi hi...! Baiklah kalau itu maumu, Sagala!"
Setelah berkata demikian, Kumari bangkit. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya
telah lenyap di balik semak-semak yang terletak di dekat mereka.
"Hhh...!"
Sagala menghela napas berat. Sama sekali tidak dipedulikan keadaan Kumari lagi.
Pandangannya dialihkan sebentar ke arah sungai yang terbentang di hadapannya.
Sebuah sungai berair jemih dan terlihat segar. Begitu indah. Apalagi di bagian
kirinya tampak gerombolan semak-semak memanjang, yang membuat sungai ini tidak
tampak dari arah kiri.
Tapi hanya sebentar saja Sagala terlarut dalam lamunan seperti itu, karena
sekejap kemudian sepasang mata dan pikirannya ditujukan ke arah secarik kulit
binatang yang dibentang oleh kedua tangannya. Dibacanya sekali lagi huruf-huruf
yang tertera di atas kulit binatang itu.
Orang mengajukan pertanyaan padaku.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan
Untuk pergi mengelilingi dunia"
Itu pertanyaannya
Aku hanya tersenyum saja
Karena itu pertanyaan yang mudah
Aku jawab sambil tertawa
Sehari bagi sang surya
"Keparat! Syair terkutuk!"
Kembali Sagala memaki. Tapi, kali ini disertai gerakan kedua tangannya yang
meremas. Terdengar suara berkerisik pelan ketika lembaran kulit binatang itu
hancur berkeping-keping.
"Phuhhh...!"
Sagala meniup cabikan-cabikan kulit binatai yang tergenggam di kedua tangannya.
Maka cabikan-cabikan itu pun melayang jauh ke angkasa. Lelaki kecil kurus itu
hanya mengikuti dengan pandangan matanya.
Dan pandangan mata Sagala sama sekali tidak berubah sekalipun, di angkasa sudah
tidak terlihat lagi adanya cabikan-cabikan kulit binatang. Tampaknya Sagala
tengah melamun.
*** "Ikh...!"
Sagala sampai terlompat dari duduknya ketika mendengar pekik keterkejutan itu.
Pemilik suara itu dikenalinya betul. Rara Kunti palsu alias Kumari!
Cepat laksana kilat, laki-laki kecil kurus Ini mengalihkan pandangan ke arah
asal suara. Sekujur urat-urat syaraf Ian otot-otot tubuhnya menegang waspada.
Sagala tahu, pasti ada sesuatu yang tengah terjadi. Oleh karena itu, dia
bersiap-siap untuk menyambutnya.
Belum juga Sagala sempat berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan biru. Cepat
bukan kepalang gerakannya, sehingga hanya dalam se-kejapan saja telah berada
didepan Sagala.
"Ada apa, Kumari"! Kau tampak demikian pucat"!"
Tanya Sagala, heran.
Bayangan biru itu memang tak lain dari Kumari, seorang wanita berusia sekitar
tiga puluh lima tahun.
Wajahnya cantik, tapi pesolek dan terlihat genit.
Rambutnya yang semula digelung ke atas, sekarang dibiarkan terurai di bahu.
Tapi bukan dandanan Kumari yang membuat Sagala kaget, karena memang dandanannya
demikian. Yang membuat Sagala heran adalah sikap Kumari yang nampak demikian gugup. Bahkan
wajahnya pun pucat bukan kepalang.
"Celaka, Sagala! Cepat pergi dari sini...!"
Bukannya menjawab pertanyaan Sagala, Kumari malah mengajaknya pergi. Bahkan
diucapkan dengan suara gugup. Terbukti, bibir yang mengucapkan perkataan itu
tampak menggigil. Karuan saja hal itu membuat Sagala semakin heran dan kesal.
"Tingkahmu seperti anak kecil saja, Kumari! Katakan, mengapa kau bersikap
seperti ini! Kalau kau tidak mau mengatakannya, jangan harap aku akan memenuhi
ajakanmu itu!" keras ucapan Sagala.
"Aku melihat guru...," pelan dan bergetar ucapan Kumari, pertanda dikeluarkan
lewat hati yang ketakutan. Kepala yang menoleh kesana kemari sebelum berucap,
menjadi pertanda betapa besarnya perasaan takut yang tengah melandanya.
"Apa..."! Kau yakin itu guru?" Tanya Sagala ber-bisik. Meskipun demikian,
tarikan wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
Maka dengan sebuah lesatan cepat, Sagala ber-sembunyi di balik kerimbunan semaksemak. Hal yang sama pun dilakukan Kumari.
"Aku yakin sekali, Sagala! Karena, aku jelas melihatnya. Aku tengah berganti
pakaian di dalam semak-semak, ketika melihat guru bersama orang
yang kuduga adalah Iblis Mayat Hidup, tengah berjalan perlahan-lahan menuju
kemari. Ahhh...! Mudah-mudahan saja tua bangka-tua bangka itu tidak lewat
sini...!" desah wanita berpakaian hitam itu lagi dalam bisiknya di telinga
Sagala. "Sayang sekali, keinginanmu tidak terkabul, Kumari."
Sebuah suara serak dan berat menyambuti
ucapan Kumari. Bagai disengat ular berbisa, tubuh Kumari dan Sagala terjingkat ke belakang.
Raut wajah mereka menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
Bahkan wajah keduanya pucat pasi, seperti tidak dialiri darah sama-sekali.
Bagai diperintah, Sagala dan Kumari langsung memalingkan wajah ke arah belakang.
Kontan keduanya melangkah mundur tanpa sadar, ketika melihat dua sosok tubuh
tengah berdiri berjarak tiga tombak di depan mereka.
"Bagaimana kabar kalian berdua, Sagala, Kumari?"
Suara yang berasal dari pemilik yang sama kembali terdengar serak dan berat.
Sagala dan Kumari saling berpandangan sejenak.
Kelihatan sekali kalau kedua orang ini merasa gugup bukan kepalang. Kemudian,
pandangan mereka dialihkan ke arah orang yang menegur. Dia adalah seorang kakek
berwajah mirip kera. Tubuhnya agak membungkuk. Kedua tangannya terkulai di bawah
lutut, mirip seekor kera. Bulu-bulu lebat, tebal, dan hitam memenuhi sekujur
tangan dan dadanya yang terbuka. Memang, guru Kumari dan Sagala ini mengenakan
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rompi berwarna hitam dan berbulu kasar.
"Ba..., baik, Guru. Ka..., kami baik-baik saja. Bukan
begitu, Kumari?" sahut Sagala gugup.
"Be..., benar, Guru," sahut Kumari, cepat.
"Ha ha ha...!"
Kakek berwajah mirip kera itu tertawa bergelak.
Keras bukan kepalang, sehingga terdengar menggelegar seperti suara halilintar.
Bahkan suasana di sekitar tempat itu seperti tergetar. Jelas, tawa itu
dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam.
"Kau lihat sendiri, Iblis Mayat Hidup. Inilah murid muridku yang membanggakan
hati!" ujar kakek berwajah kera sambil menoleh ke arah orang yang berdiri di
sebelah kirinya.
"Aku tidak butuh khotbahmu, Lutung Tangan Baja!
Aku hanya ingin melihat, bagaimana tindakanmu terhadap kedua orang muridmu yang
sangat membanggakan hati itu," sambut Iblis Mayat Hidup tak acuh.
Kakek berwajah keras yang ternyata berjuluk Lutung Tangan Baja mendengus keras
mendengar ucapan yang cukup menyakitkan hati itu. Dengan langkah satu-satu,
dihampirinya Sagala dan Kumari.
"Perlu kalian ketahui. Aku sengaja keluar dari tempat kediamanku hanyalah untuk
mencari kalian, Murid-Murid Murtad!"
"Ampunilah kami, Guru. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami lagi,"
ratap Sagala, mewakili dirinya dan Kumari.
"Benar, Guru. Aku pun bersedia kembali pada Gu-ru. Aku tidak akan menyeleweng
lagi," pinta Kumari pula.
"Tidak ada ampunan bagi kalian berdua!" tandas Lutung Tangan Baja keras.
"Kesalahan yang kalian lakukan sudah terialu banyak dan tidak bisa di-ampuni.
Hukuman mati tampaknya adalah ganjaran
yang paling tepat untuk kalian!"
Lutung Tangan Baja sampai terengah-engah ketika mengucapkan kata-katanya. Jelas
hatinya tengah dilanda kemarahan yang amat sangat. Sehingga, membuat napasnya
memburu hebat. "Kesalahan pertama, kalian berdua berani bermain gila di belakangku! Kedua,
kalian malah bersekongkol meracuniku sehingga aku hampir tewas. Untung, nyawaku
mampu kuselamatkan. Walau untuk itu aku harus beristirahat, mengobati luka dan
bersemadi selama bertahun-tahun. Dan ketiga, kalian tidak mewakiliku menerima
tantangan yang diajukan Tengkorak Darah. Sekarang, bersiaplah kalian menerima
kematian!"
Sagala dan Kumari sadar, Lutung Tangan Baja tidak akan mengampuni mereka. Maka
diputuskanlah untuk mengadakan perlawanan daripada mati konyol!
Memang, tampaknya Lutung Tangan Baja tidak salah.
Buktinya, Sagala telah berani bermain gila dengan Kumari. Padahal, dia tahu
kalau wanita berpakaian biru itu adalah murid, sekaligus gundik Lutung Tangan
Baja. Tidak heran hal itu membuat kakek berwajah kera ini mencak-mencak.
Srattt! Sinar terang berkeredep ketika Sagala mencabut goloknya. Ctarrr!
Kumari pun tidak tinggal diam. Wanita berpakaian hitam ini mengeluarkan
sabuknya, kemudian me-lecutkannya ke udara. Sehingga, terdengar ledakan keras
yang memekakkan telinga.
"Ha ha ha...! Anak-anak domba ingin menantang harimau"! Silakan! Majulah
kalian!" tantang Lutung Tangan Baja sambil tertawa bergelak. Kegembiraan yang
amat sangat, tampak jelas di wajahnya.
*** Iblis Mayat Hidup sama sekali tidak menampakkan perasaan apa-apa di wajahnya,
melihat sikap guru dan murid yang jelas-jelas akan terlibat dalam pertarungan.
Dengan sikap tak acuh kakinya melangkah menyingkir dari tempat itu.
Sementara itu, Sagala dan Kumari sudah saling memberi tanda. Maka....
"Haaat...!"
Sagala menyerang lebih dulu. Laki-laki kecil kurus ini melompat ke udara,
menubruk Lutung Tangan Baja.
"Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan tak kalah nyaring, Kumari menerjang pula. Hanya saja, dia
tidak melompat seperti Sagala. Wanita itu bergerak mendekati Lutung Tangan Baja
dengan langkah-langkah silang.
Ctarrr! Pada saat yang bersamaan dengan gerakan mem-babat golok Sagala ke arah leher
Lutung Tangan Baja, Kumari melecutkan sabuknya. Diawali lecutan keras, benda
lemas itu meluncur ke arah ulu hati Lutung Tangan Baja. Jangan dipandang ringan
serangan sabuk ini. Karena sekali lecut saja, akan mampu me-numbangkan sebatang
pohon besar sekalipun! Apalagi, dada manusia!
"Ha ha ha...!"
Lutung Tangan Baja masih tertawa terkekeh-kekeh melihat serangan-serangan dari
murid-muridnya.
Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau dia akan mengelak atau menangkis.
Baru ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, kakek berwajah kera ini
bertindak. Cepat laksana kilat, Lutung Tangan Baja bergerak.
Tangan kirinya diangkat ke atas untuk melindungi leher. Sementara, tangan
kanannya digunakan untuk memapak lecutan sabuk.
Takkk, ctarrr! Hampir bersamaan waktunya, dua kejadian berlangsung. Kedua tangan Lutung Tangan
Baja berhasil menangkis dua serangan yang menuju ke arah sasaran. Tangan kiri
membentur mata golok, sedangkan tangan kanan memapak sabuk.
"Akh...!"
Baik Sagala maupun Kumari melompat mundur disertai perasaan kaget. Bahkan pada
Sagala sampai terdengar suara pekik tertahan. Memang, laki-laki kecil kurus ini
merasakan betapa tangan yang meng-genggam golok terasa sakit-sakit ketika
berbenturan dengan tangan Lutung Tangan Baja. Pada Kumari, hal itu tidak
terasakan karena senjata yang digunakan-nya lemas. Sehingga meskipun kalah
tenaga benturan, sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Ha ha ha...!"
Lutung Tangan Baja tertawa bergelak. Hatinya gembira melihat kedua orang bekas
muridnya ter-pukul mundur. Masih dengan tawa yang belum putus, ditunggunya
serangan lanjutan yang akan meluncur.
Dan memang, Lutung Tangan Baja tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima
serangan susulan. Begitu telah berhasil memperbaiki kedudu-kannya, Sagala dan
Kumari kembali menerjang. Sekejap kemudian, suara mengaung dari gerakan golok
Sagala dan suara ledakan keras dari sabuk Kumari, mulai memeriahkan suasana di
sekitar tempat itu.
Sagala dan Kumari mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Memang mereka tahu kelihaian Lutung Tangan Baja, guru
mereka. Lutung Tangan Baja adalah salah satu dari empat datuk aliran hitam yang dulu dikalahkan
Eyang Mandura. Maka bisa diperkirakan ketinggian ilmunya. Tak pelak lagi, pertarungan antara
ketiga orang ini pun berlangsung sengit.
Memang hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi. Hanya saja, terlihat tidak
menarik karena kedua belah pihak terutama sekali Lutung Tangan Baja, telah
mengetahui semua ilmu yang digunakan Sagala dan Kumari. Tidak heran, kedua orang
itu adalah muridnya. Sebagai akibatnya, kakek berwajah kera itu tahu arah yang
dituju setiap serangan yang dilancarkan Kumari maupun Sagala.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik pihak
Lutung Tangan Baja maupun pihak Sagala dan Kumari sama-sama
mengetahui tujuan serangan lawan. Tapi begitu menginjak jurus ketiga puluh,
Lutung Tangan Baja mulai mengeluarkan ilmu-ilmu yang belum diajarkan-nya.
Hasilnya, Kumari dan Sagala mulai kebingungan.
Dan sebagai akibatnya, mereka mulai terdesak.
Di jurus keempat puluh tiga, Lutung Tangan Baja melompat mundur. Sagala dan
Kumari sama sekali tidak mengejarnya, karena khawatir kalau tindakan yang
dilakukan lawan hanya pancingan saja. Maka, kedua orang ini sama-sama menatap
penuh selidik ke arah bekas guru mereka.
Tampak Lutung Tangan Baja termenung sejenak.
Kemudian.... "Hih...!"
Kakek berwajah kera ini meluruk ke arah Sagala dan Kumari sambil memutar
tubuhnya seperti gasing.
Suara angin menderu mengiringi berpusingnya tubuh Lutung Tangan Baja.
Sagala dan Kumari membelalakkan mata. Mereka merasa bingung bukan kepalang
melihat hal ini.
Memang, keduanya tahu kalau guru mereka menggunakan ilmu andalan, 'Hujan Angin
Badai Neraka'. Dan mereka sering pula melihat kakek berwajah kera itu mempertunjukkannya. Tapi
sayangnya, mereka belum mendapatkan kesempatan mempelajarinya.
Dan kini, Lutung Tangan Baja menggunakan ilmu itu untuk menghadapi mereka. Maka
tak heran kalau keduanya kontan bingung.
Sagala dan Kumari sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun. Keduanya hanya
berdiri terpaku dengan senjata di tangan. Hanya pandangan mata mereka saja yang
tertuju ke arah tubuh Lutung Tangan Baja yang tengah berpusing. Dan arahnya
jelas menuju tempat mereka berdua.
Mendadak, ketika telah berada cukup dekat, dari tubuh yang berpusing itu mencuat
serangan-serangan ke arah Sagala.
Laki-laki kecil kurus ini terkejut bukan kepalang ketika mendadak sekelebatan
bayangan meluncur ke arah ubun-ubunnya. Meskipun demikian, Sagala mampu melihat
sesuatu yang tengah meluncur ke arahnya. Yang tengah mengancam ubun-ubunnya
jelas adalah tangan Lutung Tangan Baja.
Walaupun serangan itu begitu mendadak dan tak disangka-sangka, namun Sagala
masih mampu membuktikan kalau dirinya adalah seorang berkepandaian cukup tinggi.
Maka cepat-cepat pedangnya dibabat-kan untuk menangkis.
Takkk! Gila! Pedang Sagala malah terlepas dari pegangan ketika berbenturan dengan
tangan Lutung Tangan Baja. Dan sebelum Sagala sempat berbuat sesuatu,
kembali dari tubuh yang berpusing itu mencuat kaki Lutung Tangan Baja. Bahkan
terus meluncur ke arah perut.
Bukkk! Telak dan keras sekali tendangan Lutung Tangan Baja mendarat di sasaran. Maka
seketika itu juga tubuh Sagala terlempar jauh ke belakang. Darah segar langsung
memancur deras dari mulut, dan mem-basahi tanah sepanjang tubuhnya melayang.
Terus.... Byurrr! Tubuh Sagala terjatuh ke dalam sungai. Seketika itu juga laki-laki keci kurus
pun hanyut. Memang, arus sungai itu kuat cukup deras.
"Sagala...!" teriak Kumari keras.
Wanita berpakaian biru ini memang terkejut bukan kepalang melihat kejadian ini.
Sayang, dia tidak sempat bertindak apa-apa. Karena, semua kejadian itu
berlangsung demikian cepat. Dan tahu-tahu, tubuh Sagala sudah terlempar jauh.
Dari perasaan kaget, muncul perasaan murka dalam diri Kumari. Maka...
"Hiyaaat...!"
Kumari menjerit keras. Sabuk di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Lutung Tangan
Baja yang tengah berputar. Wanita berpakaian biru ini mengarah-kan secara
sembarangan saja. Hal itu terpaksa dilakukan, karena mengalami kesulitan untuk
menentukan bagian yang akan diserang. Tubuh Lutung Tangan Baja yang berpusing
itu membuatnya tidak bisa melihat bagian demi bagian tubuh lawan secara jelas.
Yang kelihatan hanyalah segulung bayangan kehitaman yang berpusing laksana
gasing. Tappp! 5 "Akh!"
Kumari memekik tertahan ketika ujung sabuknya tidak bisa ditarik pulang. Dia pun
sadar kalau senjata andalannya telah kena cengkeraman lawan. Dan sebelum sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya telah terbetot ke depan. Rupanya Lutung
Tangan Baja telah membetot ujung sabuk itu secara tiba-tiba.
Kumari terkejut bukan kepalang ketika menyadari tubuhnya telah melayang ke arah
Lutung Tangan Baja. Otaknya seketika diputar, mencari jalan untuk menyelamatkan
diri. Dalam waktu yang demikian singkat, wanita berpakaian biru ini telah menemukan
sebuah jalan keluar. Segera pegangan pada sabuknya dilepaskan, kemudian kedua
tangannya dimasukkan ke balik baju.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring terdengar ketika Kumari mengibaskan kedua tangannya.
Sekejap kemudian, melesat benda-benda berkilat ke arah Lutung Tangan Baja!
Sementara di belakangannya, Kumari
menyusul. Malah di kedua tangannya telah tergenggam sebilah pisau.
Tapi Lutung Tangan Baja tidak gugup melihat perubahan yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu. Dia tahu, benda-benda berkilat itu adalah pisau-pisau
terbang. Dan apabila mengenai sasaran, hal yang akan terjadi sudah bisa
diperkirakan. Maka kakek berwajah kera ini cepat-cepat bertindak cepat. Sabuk yang dilepaskan Kumari segera
dipergunakannya. Meskipun hanya memegang ujung sabuk, tapi kemampuannya
menggunakan senjata lemas itu tidak kalah dengan Kumari.
"Hih!"
Lutung Tangan Baja menggertakkan gigi, dan menggerak-gerakkan tangannya. Luar
biasa! Sabuk itu bergerak naik turun seperti gelombang laut!
Hebatnya lagi, pisau-pisau yang meluncur ke arahnya jadi terhalang!
Ajaib! Semua pisau langsung runtuh begitu ber-papakan dengan sabuk yang bergerak
naik turun. Sementara, sabuk itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun. Tanpa mempunyai
tenaga dalam tinggi, rasanya sulit melakukan hal seperti itu.
Saat itulah tubuh Kumari meluruk turun dengan sebilah pisau di kanan kiri
tangannya. Jelas, dia bersiap-siap melancarkan tikaman
Tapi sebelum jarak jangkauan tikaman tercapai, Lutung Tangan Baja. kembali
melakukan tindakan yang tidak terduga-duga. Bahkan sepasang matanya kontan
memancarkan kilatan aneh. Mendadak....
Blesss...! "Aaakh...!"
Kumari menjerit memilukan ketika perutnya ter-tembus sabuk yang tahu-tahtu telah
mengejang kaku laksana sebilah pedang panjang. Sabuk yang telah kaku itu
menembus perut Kumari hingga sampai ke punggung. Darah kontan muncrat-muncrat
dari bagian yang terluka.
Lutung Tangan Baja menghentikan pengerahan tenaga dalam, sehingga telah membuat
sabuk itu menegang kaku laksana sebilah pedang. Seketika itu juga, sabuk itu
melemas kembali Tapi tetap saja masih menghunjam di perut Kumari hingga tembus
ke punggung. Sementara itu, tubuh Kumari langsung meluncur turun. Wajahnya menampakkan
perasaan penasaran.
Rupanya, dia tidak menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu. Masalahnya,
tadi sabuk itu tampak terkulai, sehabis Lutung Tangan Baja membuatnya bergerak
naik turun seperti gelombang laut.
Brukkk! Tanpa sempat menggelepar lagi, Kumari langsung tewas! Nyawanya langsung melayang
meninggalkan raga ketika tubuhnya masih berada di udara.
Sementara, sepasang pisaunya sudah jatuh lebih dulu ke tanah.
"Cuhhh...!"
Lutung Tangan Baja meludahi mayat Kumari, kemudian tubuhnya berbalik. Lalu,
dihampirinya Iblis Mayat Hidup yang sejak tadi hanya bertindak sebagai penonton
saja. "Kau hebat, Lutung.Tangan Baja," puji Iblis Mayat Hidup, kalem. "Ilmu 'Hujan
Angin Badai Neraka'mu memang hebat bukan kepalang. Entah mana yang lebih hebat
bila dibandingkan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'."
"Ha ha ha..! Kau memang cerdik, Iblis Mayat Hidup! Katakan saja terus terang,
kau ingin menantangku bertarung, bukan?" Sergah Lutung Tangan Baja, cepat.
"Itulah dugaanku ketika kau mengeluarkan pekikan. Huh! Betapa kecewanya hatiku,
ketika kau malah meminta bantuanku untuk mencari tempat murid-murid murtadmu
berada!" rutuk Iblis Mayat Hidup.
"Dugaanmu tidak seluruhnya benar, Iblis Mayat Hidup," bantah Lutung Tangan Baja.
"Lengkingan yang kukeluarkan, semula untuk menantang bertarung.
Tapi setelah kupikir-pikir, pertarungan antara kita bisa diurus belakangan. Maka
kuurus murid-muridku lebih dahulu."
"Terserahlah, Iblis Mayat Hidup!" Lutung Tangan Baja mengangkat bahu. "Ingat!
Dua minggu lagi kita bertemu di Lembah Seribu Bunga!"
Usai berkata demikian, Lutung Tangan Baja menjejakkan kakinya. Gila! Hanya dalam
sekali langkah saja, tubuhnya telah berada dua belas tombak didepan. Ilmu
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringankan tubuh kakek berwajah kera ini memang luar biasa.
Iblis Mayat Hidup memandangi hingga tubuh Lutung Tangan Baja Lenyap ditelah
kejauhan. Disadari kalau dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Baru setelah tubuh
Lutung Tangan Baja telah tidak terlihat lagi, kakek kurus kering ini berlari
Kabut Di Bumi Singosari 2 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama