Dewa Arak 86 Penyair Cengeng Bagian 2
lebih lama di muka bumi!"
Adipati Gili mengangguk-anggukkan
kepala. Dia menyetujui pendapat putrinya. Bisa dirasakan sakit hati yniig diderita
Nuri. Karena perbuatan mereka, Nuri tidak merasakan kasih sayang orang tua. Terlalu enak memang
kalau dibiarkan begitu saja. Nuri benar!
"Aku harus meminta ganti rugi atas hilangnya kasilh sayang Ayah dan Ibu.
Tambahan lagi rasa sakit hati Ayah.
Belum lagi penderitaan batin yang Ayah alami selama belasan tahun. Mati sepuluh
kali pun belum cukup untuk membayar semua hutang-hutang itu!"
Dengan pandang mata beringas seperti harimau lapar
mencium bau darah. Nuri meloloskan sabuknya. Gerakan
gadis itu diperhatikan Wisoka dan kelompoknya dengan
wajah pucat. Mereka telah bisa memperkirakan apa yang
akan menimpa. Nuri melecutkan sabuknya. Wisoka dan kelompoknya
merasakan nyali mereka melayang pergi meninggalkan
tubuh. Sabuk di tangan Nuri tak kalah ampuh dengan
senjata tajam. Bisa diperkirakan akan mengirim nyawa
mereka ke alam baka!
Semua melongo ketika melihat sabuk tidak meluncur
ke arah mereka, tapi menuju sebatang pohon. Ujung sabuk yang menghantam sasaran
menimbulkan ledakan keras.
Pohon bergoyang keras bagai didorong-dorong seekor gajah liar
Wisoka dan kelompoknya, tidak terkecuali Adipati Gili, merasa takjub bercampur
ngeri melihat daun-daun pohon
berguguran. Apalagi ketika melihat daun-daun itu tidak jatuh ke tanah. Tapi,
melayang dengan kecepatan menakjubkan ke arah Wisoka dan kelompoknya. Bunyi
berdesing nyaring yang terdengar menjadi pertanda cepatnya luncuran daun-daun.
Wisoka dan semua anggota kelompoknya memekik
memilukan ketika daun-daun menghujam dahi mereka.
Sekejap kemudian, belasan orang itu menggelepar-gelepar sekarat sebelum akhirnya
diam tidak bergerak la gi untuk selamanya. Mati!
Nuri menyimpan sabuknya kembali. Wajah gadis itu
agak pucat karena ini untuk pertama kalinya dia membunuh orang!
Tidak hanya satu, melainkan belasan! Tapi, dikeraskan hatinya untuk membuang rasa nyeri yang
melanda. Adipati Gili memaklumi perasaan yang tengah berkecamuk di hati putrinya. Disentuhnya bahu Nuri.
Perlahan Nuri menoleh dan tersenyum dipaksakan ketika
melihat ayahnya tersenyum.
"Mari kita cari tempat yang tenang untuk saling
bercerita mengenai pengalaman masing-masing. Aku sudah tidak sabar lagi
mendengarkan pengalamanmu yang luar
biasa, Nuri."
Nuri mengangguk. Ayah dan anak yang tengah diliputi
rasa gembira itu pun melesat pergi meninggalkan tempat itu.
*** "Ke manakah kita harus mencari bangsat penculik itu.
Ayah?" Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pemuda berpakalan cokat dan
bertubuh pendek kekar. Alis pemuda ini tebal, hitam, dan berbetuk golok.
Sosok yang disapa si ayah, dan tengah berlari cepat di sebelah si pemuda,
menoleh sebentar.
"Ke mana saja, Gentala," jawab sang ayah. Seiring lelaki berusia lima puluhan,
berkumis melintang dan bermata picak. "Tapi, aku yakin dengan ciri-ciri yang
dimilikinya tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejaknya. Pemuda yang
mengenakan pakaian serba merah dan berikat kepala merah tidak banyak. Jadi kita
bisa mencari keterangan itu di sepanjang jalan".
Gentala, si pemuda beralis tebal, tidak bertanya lagi.
Namun, kelihatan jelas kalau dia geram bukan main. Tinju kanannya dipukulkan ke
telapak tangan kiri sehingga
menimbulkan bunyi keras. Samar-samar terlihat kepulan
asap tipis. Gerakan itu dilakukan sambil terus berlari.
"Kalau kutemukan, akan kuhancurkan kepala penculik terkutuk itu. Apalagi kalau dia berani-berani mengganggu Priyani. Akan
kubuat hancur seluruh tulang-belulangnya!"
"Jangan kau terlalu memandang rendah penculik itu, Gentala!" tegur lelaki
bermata picak. "Aku heran mengapa Ayah demikian meremehkanku"
Aku jadi ingin tahu sampai di mana kemampuan penculik
itu" Sampai-sampai Ayah tidak mau melepaskan aku
mencari penculik Priyani itu sendiri!" terdengar penuh penasaran ucapan yang
dikeluarkan Gentala. Sepasang
alisnya yang tebal berkerut dalam menandakan ketidaksenangan hatinya.
"Tidak kau dengar cerita Empu Lahang Samedi,
Gentala?" tukas lelaki bemnata picak. "Kau tahu sendiri Priyani, adik
seperguruanmu itu, memiliki kepandaian tidak rendah. Malah hanya berselisih
sedikit saja denganmu. Kau saja yang telah mengenal semua ilmu dan gerakannya
tidak mudah untuk merobohkannya. Sedangkan penculik itu"
Tanpa bergeming dari tempatnya dia telah membuat Priyani bersama-sama Empu
Lahang Samedi tidak berdaya! Bisa kau bayangkan betapa tinggi kepandaiannya.
Jangankan kau, aku sendiri tidak yakin akan mampu menghadapinya, apalagi untuk merobohkannya!"
"Tapi, Empu Lahang Samedi tidak masuk hitungan.
Ayah!" bantah Gentala, tidak puas. "Apa hebatnya kakek itu"
Kalau kepandaiannya tinggi, untuk apa dititipkannya pada Ayah?" Lelaki bermata
picak menghentikan lari dengan tiba-tiba. Ini membuat Gentala bertindak serupa.
Napas ayah dan anak ini biasa saja kendati telah berlari cepat tanpa berhenti.
Hanya, peluh membasahi dahi dan leher Gentala. Sedangkan pada ayahnya hanya di
dahi. "Kau tahu, Gentala, sikapmu yang terlalu menganggap diri sendiri paling hebat
yang tidak kusukai!" tandas lelaki bermata picak sambil menatap putranya dengan
pandangan tajam.
Gentala diam. Bahkan, menundukkan kepala. Kaki
kanannya tampak digurat-guratkannya ke tanah.
"Asal kau tahu saja, sikap sombong akan membuatmu menyesal nantinya. Kau
menganggap dirimu sudah tidak
memiliki lawan lagi. Itu akan mengurangi kegiatanmu
menuntut ilmu. Perlu kau sadari, Gentala. Di dunia
persilatan tak terhitung jumlahnya tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Jangankan hanya kau, aku
sendiri pun tak akan lebih dari setitik debu di dunia
persilatan. Tidakkah kau ingat kalau di atas langit masih ada langit"!"
Gentala tetap diam. Ia tidak memberikan tanggapan.
Wajahnya pun tidak diangkat sedikit pun.
Lelaki picak terdengar menghela napas berat. Disadari
kalau dia telah keliru mendidik. Dan, ini memang salahnya sendiri. Sejak kecil
apa pun yang diinginkan Gentala selalu dipenuhinya. Gentala amat dimanjanya! Ini
dilakukannya karena Gentala tidak mempunyai ibu lagi. Istri lelaki ini meninggal
saat melahirkan Gentala.
"Sekarang, dengan telingaku sendiri kudengar kau
memandang rendah Empu Lahang Samedi! Jangar kau
merasa aku lebih hebat daripadanya karena dia mengirim putrinya belajar padaku.
Kau keliru, Gentala!"
"Tapi, bukankah Ayah sendiri yang mengatakan
begitu" Kudengar sendiri ketika dulu kutanyakan hal itu pada Ayah. Bahkan, Ayah
bercerita kalau Ayah terhitung tokoh besar dunia persilatan. Siapa yang tidak
mengenai Malaikat Picak" Sekarang Ayah justru bicara sebaliknya.
Mana ucapan Ayah yang benar?"
"Semuanya benar!" jawab sang ayah yang berjuluk Malaikat Picak. "Dan, tidak ada
satu pun yang paling bertentangan. Hanya kau saja yang mengartikannya lain.
Memang benar Empu Lahang Samedi memiliki kepandaian di bawahku.
Tapi, hanya berselisih sedikit saja. Kalau dibandingkan dengan kau tentu saja masih lebih tinggi
kepandaiannya. Itu hal pertama. Yang kedua benar aku
Malaikat Picat memang terhitung tokoh besar dunia persilatan. Tapi, itu tidak berarti kalau aku jago nomor satu atau tokoh tak
terkalahkan. Kau musti tahu hal itu, Gentala.
Ada yang besr pasti ada yang lebih besar. Yang lebih besar lagi dan tak
terhitung banyaknya. Nah, apakah ucapanku saling bertentangan?"
Gentala tampak tidak puas
dengan penjelasan ayahnya. Dia menatap wajah ayahnya sejenak
"Aku memang salah! Sombong, memandang rendah
orang lain, dan selalu salah menilai orang. Meski demikian, walau
Ayah merendah-rendahkan
diriku dan selalu menganggap penculik hina itu memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi daripadaku, aku akan tetap memburunya.
Apa pun yang akan terjadi terhadap diriku. Kuharap kau membiarkanku
pergi melaksanakan maksudku, Ayah! Selamat tinggal!"
Tanpa memberikan kesempatan pada ayahnya untuk
memberikan tanggapan, Gentala melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini
mengerahkan seluruh ilmu lari
cepatnya sehingga dalam sekejapan telah berada jauh di depan.
"Gentala...!"
Malaikat Picak berseru memanggil putranya. Tapi
Gentala tetap terus berlari. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak.
Malaikat Picak menghela napas berat. Dia merasa
khawatir sekali dengan keselamatan
putranya. Namun
disadarinya kalau Gentala tidak bisa dicegah lagi. Watak pemuda itu terlalu
keras. Apa yang diinginkannya harus terlaksana, apa pun hambatannya!
Lelaki bermata picak ini hanya mengawasi Gentala
hingga tubuh pemuda itu lenyap di kejauhan. Baru setelah itu Malaikat Picak
melesat menuju tempat yang tadi dituju putranya. Perasaan kawatir yang membuat
Malaikat Picak bersikeras mengikuti.
4 Arya mengernyitkan alis. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada pendengaran. Sekilas tadi ia menangkap bunyi napas yang berirama
teratur. Seperti napas yang
keluar dari orang yang tengah bersemadi.
Sambil memusatkan perhatian pada telinga, Arya
mengedarkan pandangan ke kanan dan kirinya. Pemuda
berambut putih keperakan ini tengah berada di jalan berbatu selebar dua tombak.
Pada bagian kanan kiri jalan menjulang tinggi dinding batu seakan hendak
mencapai langit.
Anehnya, pada dinding tebing itu banyak terdapat
lubang-lubang bergaris tengah setengah tombak. Banyak
sekali lubang itu. Berderet-deret tak ubahnya lubang-lubang sarang tawon. Tinggi
lubang terendah dari tanah tak kurang dari lima tombak.
Hanya dalam waktu sebentar saja Arya telah tahu
kalau bunyi halus yang didengarnya berasal dari lubang-lubang di dinding tebing.
Namun, sulit untuk memastikan lubang yang tepat.
Tapi, ternyata Arya tidak perlu repot-repot untuk
mencarinya. Dari lubang-lubang yang ada di tengah melesat dua sosok tubuh. Tidak
dari satu lubang, melainkan dua.
Cepatnya gerakan sosok itu membuat Dewa Arak tidak bisa meliharnya secara jelas.
Dia hanya melihat bayangan merah dan putih
Jantung Arya langsung berdetak cepat. Baju merah
itulah yang menyebabkannya bagai tercekat. Bahkan,
pemuda ini sampai melompat mundur dengan kewaspadaan
penuh. Benak Arya langsung menduga kalau sosok bayangan itu adalah Lingga!
Bukankah dia mengenakan pakaian serba merah" Hanya saja yang menjadi pertanyaan
Arya adalah sosok bayangan putih itu. Kawan Lingga-kah"
Sepengetahuannya, Lingga tidak pernah bertindak bersama-sama. Pemuda itu selalu
berusaha sendiri. Keangkuhannya yang membuatnya demikian.
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika dua sosok bayangan itu menjejak tanah baru
Arya melihatnya dengan jelas. Dua sosok itu salah satunya bukan Lingga. Kendati
demikian Arya mengenalnya. Mereka dua orang kakek yang memiliki ciri-ciri saling
bertolak belakang.
Kakek yang satu kurus tinggi, berkulit putih dam
mengenakan pakaian warna putih. Jenggotnya yang pendek berwarna putih.
Tampangnya tampak angker. Sedangkan
kakek yang satu pendek gemuk, berkulit merah dan
berjenggot panjang merah. Warna yang sama membungkus
tubuhnya. Kakek inilah yang menimbulkan bayangan merah dan membuat Arya mengira
kalau dirinya adalah Lingga.
"Kalian rupanya...," desis Arya. Ada kegembiraan dan kekecewaan sekaligus dalam
suaranya. Gembira karena
bertemu dengan orang yang memang dicari-carinya. Dua
kakek inilah yang telah menculik Nuri, murid Setan Kepala Besi (Untuk jelasnya,
silakan baca episode: "Golok Kilat").
Rasa kecewa yang timbul adalah karena sosok
bayangan merah itu bukan Lingga. Dewa Arak amat ingin
segera bertemu Lingga agar bencana yang menyabar bisa
cepat dihentikan. Apakah malapetaka itu akan lenyap dengan berhasilnya Arya
menumpasnya" Atau, Dewa Arak yang akan tertumpas
dan bencana terus berkecamuk sampai munculnya orang yang akan bisa meredamnya"
"Rupanya matamu masih awas, Arya," sahut kakek pendek gemuk, yang memiliki watak
lebih ramah daripada rekannya yang tinggi kurus. "Kau masih bisa mengenali
kami." "Aku masih ingat karena sikap kalian yang menimbulkan kesan di hati," jawab Arya dengan bersungguh-sungguh
seraya memandang wajah
kedua kakek itu
bergantian. Kakek pendek gemuk tersenyum. Sedangkan rekannya mendengus. Watak kedua kakek ini pun hampir
bertentangan satu sama lain, seperti halnya pakaian din ciri-ciri tubuhnya.
"Sikap kami" Sikap mana yang kau maksudkan?"
tanya kakek pendek, ingin tahu.
"Penculikan terhadap murid Setan Kepala Besi," jawab Arya. "Itu tidak aneh atau
luar biasa. Yang membuat berkesan adalah petunjuk palsu untuk Setan Kepala Besi
yang kalian titipkan padaku. Kalian menyebut Gua Iblis. Tapi ketika Setan Kepala
Besi datang ke sana, kalian tidak ada.
Hanya tempat kosong yang ditemui oleh Setan Kepala Besi.
Jangankan dua orang manusia, lalat gemuk pun tidak ada di sana!!'
"Jadi, kau kira kami bohong.."!" dengus kakek jangkung kurus, menyiratkan
perasaan tidak senang. "Kau dan Setan Kepala Besi mengira kami menipu begitu?"
"Lalu, apa lagi?" Arya mengangkat kedua bahunya.
"Haruskah kukatakan kalau aku salah dengar atau kalian masih dalam perjalanan"
Atau..., kalian salah menyebutkan tempat, begitukah?"
"Kau besar kepala, Anak Muda!" sentak kakek
jangkung kurus "Rupanya, sedikit kepandaian yang dimiliki membuatmu merasa yakin
akan dapat dipergunakan untuk
menekan kami. Kau mimpi! Sebaliknya kau akan mengalami kejadian seperti
sebelumnya. Bahkan mungkin kali ini
nyawamu yang hanya satu itu tidak bisa kau selamatkan
lagi!" "Kalau itu terjadi padaku, apa boleh buat. Akibat seperti itu jauh-jauh hari
telah kuketahui," timpal Arya.
Sekujur urat-urat syaraf pemuda ini menegang waspada
Kakek jangkung kurus menggertakkan gigi. Jawaban
Dewa Arak dianggapnya sebagai tantangan. Melihat sikap si kakek, Arya pun
bersiap-siap. Kakek pendek gemuk tertawa berkakakan.
"Dasar orang-orang hutan. Yang dipikirkan hanya
berkelahi saja. Merah!" tegur kakek pendek pada rekannya.
"Kau sendiri kelewatan! Sudah tahu pemuda itu menghendaki alasan kita kau malah mengajaknya bertarung."
Kakek jangkung yang dipanggil Merah mendengus
kesal. Kakek gemuk tidak mempedulikannya sama sekali.
Perhariannya sekarang dialihkan pada Arya.
"Kau jangan terburu nafsu, Anak Muda. Buang jauhjauh prasangka tidak baikmu itu. Ketahuilah, semua
dugaanmu itu salah. Kami tidak bisa memenuhi janji itu karena adanya hambatan di
perjalanan. Hambatan itu pula yang menyebabkan tawanan kami, murid Setan Kepala
Besi, lolos. Ah..., tidak pantas disebut lolos karena sengaja dia kami lepaskan
agar selamat dari bahaya. Aku yakin pemuda luar biasa yang menghadang perjalanan
kami itu bermaksud jahat kepadanya."
"Pemuda luar biasa..."!" ulang Arya, ka get. Bayangan wajah Lingga melintas di
benaknya. "Jadi, kalian dihadang pemuda itu dan kalian dikalahkannya?"
Kakek jangkung mendengus.
"Kami dikalahkan" Lelucon macam apa itu! Mana
mungkin kami bisa dikalahkan. Apalagi kalau orang itu
adalah seorang pemuda."
"Ya, bila pemuda yang kalian maksudkan itu adalah Lingga. Dia bukan pemuda
sembarangan! Kepandaiannya tak terukur. Itu masih ditambah lagi dengan
kecerdikannya. Ini membuatnya menjadi seorang lawan yang amat berbahaya
dan berat!"
"Lingga"!"
Kakek gemuk mengulang nama yang diucapkan Arya.
Sedangkan kakek jangkung hanya mendengus dan bersikap
tak peduli. "Benar. Lingga seorang pemuda sakti yang licik serta kejam. Dia selalu
mengenakan pakaian serba merah. Ikat kepala merah membelit dahinya...."
"Seperti itukah ciri-ciri orang yang bernama Lingga"
Kalau begitu, pemuda yang kami hadapi adalah Lingga. Kau kenal dia, Anak Muda?"
selak kakek pendek.
"Bukan kenal lagi, Kek," jawab Arya. "Begitu mendengar kalau orang yang menghadang kalian hingga
membuat tawanan itu lolos adalah seorang pemuda, aku
sudah bisa menduga dia tak lain Lingga. Lingga tidak patut dikatakan manusia.
Dia lebih tepat disebut iblis!"
"Kalau dia tidak memiliki ilmu aneh yang membuat
serangan-serangan kami tidak berarti, jangan harap lolos dari tangan kami!"
kakek jangkung masih menyombong. Dia lupa kalau perkataannya sekarat sama dengan
mengatakan kalau sejak tadi dia berbohong.
"Lingga memang luar biasa!" dukung Arya, memuji kehebatan seterunya. "Dia mampu
mendapatkan ilmu-ilmu menggiriskan dalam waktu yang demikian cepat. Padahal,
pada pertemuan pertama dia belum memiliki ilmu luar biasa.
Kepandaiannya memang lual biasa, tapi aku masih bisa
menanggulanginya."
"Kau kira kami anak kecil yang mudah dibohongi
dengan cerita murahan seperti itu, Anak Muda"!" kecam kakek jangkung, pedas.
Arya tidak mempedulikan ucapan kakek itu. Pemuda
ini dengan tenang melanjutkan ceritanya.
"Tapi pada pertemuan kedua, mungkin nyawaku telah lepas dari badan kalau Setan Kepala Besi tidak segera
datang. Lingga dengan ilmunya yang baru ba gaikan seekor harimau yang tumbuh
sayap. Amat berbahaya! Dia datang
tak lama setelah kalian pergi. Untungnya aku telah berhasil bebas dari pengaruh
serangan kalian. Kalau tidak, Lingga dengan mudah akan membantaiku! Perlu kalian
ketahui, Kek, Lingga amat benci padaku karena beberapa waktu yang lalu kejahatannya
pernah kuhalangi!"
Kakek pendek dan kakek jangkung kali ini tidak
memberikan tanggapan. Mereka mulai percaya setelah
mendengar uraian Arya.
"Kurasa kalian harus cepat-cepat menemui Setan
Kepala Besi untuk menjelaskan kejadian sebenarnya, agar tidak terjadi salah
paham yang lebih besar. Lagi pula kulihat luka dalam yang kalian derita telah
hampir pulih. Maaf, aku tidak bisa menemani lebih lama karena harus segera
mencari Lingga, untuk mencegah terjadinya angkara murka yang
lebih besar lagi. Selamat tinggal, Kek."
Dewa Arak melesat dengan pengerahan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Dua kakek itu menggeleng- gelengkan kepala penuh rasa kagum ketika melihat Arya
telah berada belasan tombak dalam sekali lesatan. Kakek jangkung yang selalu
bersikap sinis malah meleletkan lidah saking kagumnya. Dia pun tahu Arya berbica
ra benar kalau dulu pernah mengalahkan Lingga. Dan, ia pun sadar kalau
keberhasilannya melukai pemuda itu karena kelengahan
Arya. Jika terjadi bentrokan kedua belum tentu Dewa Arak akan dapat
dirobohkannya. Kakek pendek mendecak-decak lidahnya.
"Dunia semakin dipenuhi orang-orang pandai. Tokoh-tokoh muda telah memiliki
kepandaian sedemikian tingginya.
Bukan main...!"
Kakek jangkung mendengus, meremehkan ucapan
rekannya. Dia tidak ingat kalau tadi ikut merasa kagum.
Kakek pendek rupanya tidak peduli dengan sikap rekannya.
Tanpa banyak bicara dia melesat ke depan. Tidak mirip
berlari, tapi lebih condong menggelinding. Tubuhnya yang pendek gemuk bak bola
yang menyebabkan kakek gemuk ini kelihatan seperti menggelinding
Kakek jangkung mendengus. Kemudian, melesat
menyusul si gemuk. Berbeda dengan kakek pendek, si
jangkung ini berlari dengan mengandalkan kecepatan pada langkahnya yang lebarlebar. Kendati demikian, jarak antara dirinya dengan kakek pendek tidak berubah.
Padahal, kaki-kaki si gemuk pendek-pendek!
*** "Ha ha ha...!"
Tawa keras membuat sekitar tempat sang pemilik
suara berada tergetar hebat bagai dilanda gempa. Daun-daun berguguran dari
pohon. Beberapa burung melesat tinggi-tinggi ke udara sambil memperdengarkan
cicit ketakutan.
Tawa berpengaruh besar itu keluar dari mulut Lingga.
Pemuda sakti berhati keji ini duduk bersila di atas sebuah batu
sabesar kerbau yang permukaannya rata. Pandangannya yang berbinar-binar penuh
kegembiraan tertuju ke depan.
Dalam jarak sekitar lima tombak di depan Lingga, juga
di atas gundukan batu sebesar kerbau yang berpermukaan rata, tegak sebatang
golok! Bagian gagangnya menempel pada batu sedangkan ujung batangnya menunjuk
langit. Di sekeliling batang golok bertebaran berbagai macam kembang dalam garis tengah
sekitar dua jengkal. Bunga-bunga itu tampak hangus! Asap masih mengepul dari
bunga-bunga itu.
Ada sesuatu yang menghanguskannya belum lama berselang!
"Akulah sekarang tokoh sakti tidak terkalahkan. Ha ha
ha...!" Lingga tertawa semakin keras. Kemudian, dihentikannya secara tiba-tiba. Raut wajahnya yang semula menyiratkan
kegembiraan besar sekarang berganti dengan kebengisan. "Dan kalian, Dewa Arak
serta Penyair Cengeng, akan mendapatkan bagiannya. Kalian akan kukirim ke
neraka dengan perantaraan pusaka yang kudapatkan dari
setan-setan neraka ini. Tunggulah saat kematianmu, Dewa Arak! Juga kau, Penyair
Cengeng! Biar kalian berdua menjadi contoh orang yang berani menentang Lingga.
Jago nomor sa-tu langit bumi! Benar, sekarang aku akan menjuluki diri sebagai
Jago Nomor Satu Langit Bumi! Ha ha ha...!"
Lingga menatap ke
arah golok yang tegak di
hadapannya dengan pandangan mata penuh minat. Golok itu adalah
Golok Kilat. Dan, pemuda ini ingin segera mengambilnya. Tapi, asap yang masih mengepul menjadi
pertanda kalau golok masih sangat berbahaya untuk
didekati, apalagi disentuh. Kematian secara mengerikan akan dialami oleh orang
yang bertindak nekat. Rangkaian kata-kata itu masih terpampang jelas di benak
Lingga. Seakanakan lembaran daun lontar itu ada di depannya. Memang, rangkaian
peringatan itu dibaca Lingga dari lembaran daun lontar. Lembaran-lembaran yang
terpisah dari lembaran-lembaran yang ada di tangan Dewa Arak!
Lingga menemukan lembaran-Iembaran daun lontar
di pinggir laut. Gelombang membawanya ke pantai. Sungguh kebetulan
Lingga tertarik untuk
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memunguat dan membacanya. Pemuda bejat yang memendam dendam pada
Dewa Arak dan haus akan hal-hal yang membuatnya mampu
mengalahkan seterunya itu, merasa tertarik ketika mengetahui daun lontar mengisahkan tentang pusaka luar biasa yang berjuluk Golok
Kilat. Pada lembaran daun lontar yang ditemukan Lingga
berisi kisah tentang Golok Kilat. Keistimewaan dan kedahsyatannya serta keterangan-keterangan tentang di
mana adanya senjata pusaka itu. Dengan petunjuk dari daun lontar itu Lingga
datang ke tempat tinggal Raja Golok
Bertangan Baja, sehingga tokoh besar golongan putih itu menemui ajal secara
mengenaskan. Pada lembaran-lembaran daun lontar yang ditemukan
Lingga juga terdapat cara-cara untuk mengetahui apakah Golok Kilat masih
mempunyai keistimewaan seperti sediakala atau
tidak, dan cara-cara untuk menimbulkan kedahsyatannya kembali apabila memang telah lenyap.
Lingga hampir putus asa untuk menghidupkan
kembali Golok Kilat karena tidak tahu ramuan yang tertulis di lembaran daun
lontar. Cara-cara untuk menghidupkan
golok itu ada lengkap. Tapi, penjelasan tentang ramuan itu tidak diketemukan.
Namun, Lingga yang cerdik segera tahu kalau penjelasan tentang ramuan itu pasti
ada di lembaran daun lontar yang tidak didapatkannya. Mencari lembaran yang
lain" Mana mungkin! Lautan demikian luas. Tak akan ada gunanya usaha itu
dilakukan! Sebuah pikiran cemerlang diketemukan Lingga. Dicarinya pandai besi yang terkenal. Dan, diketemukannya Empu Lahang Samedi.
Sekarang, jerih
payah Lingga membuahkan hasil. Golok Kilat telah disambar oleh tiga halilintar yang datang
dari tiga arah. Golok Kilat kembali memiliki kedahsyatan seperti sebelumnya!
Lingga hanya tinggal menunggu asap dari batang golok sirna.
"Tapi sepertinya...," Lingga bicara sendiri. "Julukan Jago Nomor Satu Langit
Bumi kurang mencerminkan diriku.
Tidak sesuai untuk seorang seperti Lingga. Kurasa, julukan yang lebih cocok
adalah Dewa Kematian. Ya, Dewa Kematian!
Bukankah itu lebih menonjolkan sosok Lingga. Lagi pula, apa yang lebih sakti
dari Dewa Kematian! Bukankah semua
makhluk hidup dicabut nyawanya oleh Dewa Kematian.
Benar! Dewa Kematian adalah julukan baru untukku!"
Begitu asap yang mengepul dari batang golok sudah
tidak ada lagi, Lingga mengulurkan tangan. Golok Kilat melayang ke arahnya dan
hinggap dalam genggaman pemuda itu
Lingga menatap sekujur permukaan golok di tangannya dengan perasaan puas. Kemudian, ditudingnya
batu besar tempat golok tadi berada dengan ujung golok.
Sinar putih menyilaukan pun segera meluncur. Terdengar bunyi riuh rendah disusul
dengan hancur leburnya batu itu ketika sinar yang berasal dari Golok Kilat
menghantamnya. "Luar biasa...!" gumam Lingga, ka gum dan takjub.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Pandangannya bercampur
ngeri ketika menatap gundukan batu yang telah menjadi abu.
Di angkasa seekor burung terbang melintas. Lingga
melihatnya. Ujung goloknya segera diarahkan pada binatang itu. Untuk kedua
kalinya sinar menyilaukan melesat. Burung yang dituju rupanya dengan nalurinya
mengetahui adanya bahaya maut. Dengan lincah binatang itu mengelak dari
luncuran sinar yang mematikan!
Pemandangan yang menakjubkan segera dilihat oleh
Lingga yang sepasang matanya memancarkan sinar kekaguman. Menurut akal sehat, begitu burung berkelit sinar itu akan menyambar
tempat kosong dan binatang itu
selamat. Tapi, tidak demikian halnya yang terjadi. Sinar menyilaukan itu
bagaikan hidup! Ia mengikuti ke mana
binatang itu mengelak. Binatang yang terancam itu rupanya tahu maut masih
membayangi. Kecepatan
terbangnya ditambah. Tapi, sinar menyilaukan itu memiliki kecepatan luncuran yang
menakjubkan. Tak sampai belasan tombak
terbang burung itu harus menyerah pada malaikat maut.
Sinar itu telah menghantamnya! Sang binatang yang malang meluncur jatuh ke tanah
dalam keadaan gosong! Nyawa
burung itu sudah melayang.
Lingga tertawa bergelak. Nada gembira dan puas
terdengar jelas di dalamnya.
"Dewa Arak...! Penyair Cengeng...! Tunggulah. Dewa Kematian akan menjemput nyawa
kalian dari tubuh...!" teriak Lingga
lantang sambil menyarungkan goloknya dan meletakkannya di pinggang.
Lingga bangkit berdiri. Kemudian, melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Apa lagi tujuannya kalau bukan hendak memenuhi
ancamannya itu"
Suasana menjadi hening ketika Lingga tidak berada di
situ lagi. Keheningan yang mengerikan! Karena, baik dari abu gundukan batu
maupun dari bekas tubuh burung masih
mengepul asap tipis.
Tak lama setelah Lingga lenyap di kejauhan, dari arah
yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Lingga tampak mendatangi tempat itu
sesosok tubuh yang semakin lama
semakin dekat. Dalam waktu yang demikian singkat ia telah tiba di tempat tadi
Lingga berada. Sosok itu ternyata seorang kakek bertubuh kekar. Kepalanya botak.
Sepasang matanya mencorong tajam dan bersinar kehijauan Setan Kepala Besi!
Setan Kepala Besi mengedarkan pandangan berkeliling. Pandangannya segera tertumbuk pada tumpukan abu gosong di tanah,
bekas gundukan batu.
Pandangan mata kakek yang telah kenyang pengalaman ini segera bisa mengetahui ada hal yang tidak wajar.
"Aku yakin petir dari tiga jurusan tadi menyambar sekitar tempat ini. Tapi,
mengapa tidak ada bekas-bekasnya?"
gumam Setan Kepala Besi dengan dahi berkernyit. "Tidak mungkin kalau akibat
sambari petir itu hanya gundukan abu ini... "
Setan Kepala Besi kembali mengedarkan pandangan
untuk mencari hal-hal yang membuatnya tertarik ke tempat itu. Kakek ini berada
di tempat yang cukup jauh ketika melihat petir dari tiga jurusn menyambar ke
satu tempat. Perasaan heran dan ingin tahu yang mendorongnya melesat cepat menuju yang dituju
petir. Setan Kepala Besi segera menaruh curiga pada
gundukan batu berpermukaan rata yang tadi dijadikan
tempat duduk Lingga. Ciri-cirinya berbeda dengan batu-batu di sekitarnya. Setan
Kepala Besi segera dapat mengira kalau batu itu tidak berasal dari tempat ini.
Dengan kata lain, ada orang yang membawanya dan meletakkannya di sini. Tapi,
untuk apa" Pertanyaan itu bergayut di benak kakek
berkepala botak ini.
Hal kedua yang membuat Setan Kepala Besi masih
menaruh kecurigaan pada batu itu adalah letaknya. Batu ini terletak di tengahtengah jalan! Setan Kepala Besi mengembangkan dada untuk
mengisinya dengan udara sepenuh-penuhnya.
Setelah dirasanya penuh, baru dikeluarkan melalui mulutnya.
Hembusan angin keras pun menghambur keluar dan
menerpa batu. Tak ubahnya segumpal kapas yang ditiup, batu itu
menggelinding jauh dari tempatnya. Kecurigaan Setan Kepala Besi ternyata tidak
meleset. Tepat di bawah batu itu berada terdapat sebuah lubang bergaris tengah
setengah tombak!
Setan Kepala Besi tidak berani bertindak sembrono.
Dengan sikap penuh kewaspadaan didekatinya lubang itu.
Kakek ini khawatir akan adanya serangan mendadak dari
dalam lubang. Tapi kecurigaan Setan Kepala Besi kali ini tidak
beralasan. Tidak ada apa pun sampai dia tiba di pinggir lubang. Bahkan, ketika
kepalanya dilongokkan ke dalamnya terlihat kalau lubang itu ternyata tidak
dalam. Keadaan cuaca yang cerah membuat Setan Kepala Besi dapat melihat dasar
lubang. Setelah
yakin tidak ada bahaya yang
mengancam kakek itu pun melompat turun.
Lubang jtu ternyata hanya mempunyai satu lorong,
berbentuk bulat dan bergaris tengah hampir satu tombak.
Sisi-sisi lainnya adalah dinding batu. Dengan langkah pasti dan tetap tidak
meninggalkan kewaspadaan, Setan Kepala Besi mengayunkan kaki menyusuri lorong.
Lorong itu tidak lurus melainkan agak melengkung ke
kiri. Setan Kepala Besi tidak mengira kalau lorong itu tidak terlalu panjang.
Tak sampai lima belas tombak telah bertemu dinding. Tidak ada jalan lagi!
Setan Kepala Besi membelalakkan mata, kaget. Bukan
karena lorong yang buntu, tapi karena melihat bergeletakannya tiga sosok tanpa busana. Semuanya wanita-wanita bertubuh montok
dan berkulit halus mulus.
Setan Kepala Besi mengutuk di dalam hati. Kakek ini
tahu kalau ketiga wanita cantik itu adalah korban-korban
nafsu birahi seorang lelaki cabul. Dua di antara tiga wanita itu telah tewas.
Sedangkan yang seorang masih hidup.
Wanita yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun itu dalam keadaan tertotok,
sehingga tidak dapat bergerak
Setan Kepala Besi segera menjentikkan jari telunjuknya. Angin yang keluar dari jari Setan Kepala Besi, membuat jalan darah
si gadis kembali normal. Kakek ini sendiri segera membalikkan tubuh dan memberi
kesempatan pada gadis ini untuk mengenakan pakaian.
Meski kelihatannya tidak peduli, Setan Kepala Besi
mengamati gerak gerik si gadis dengan mempergunakan
telinganya. Didengarnya gadis itu bangkit dan mengenakan pakaian sambil terisak.
Tangis yang keluar dari hati yang hancur.
Tindakan yang diambil Setan Kepala Besi ini tidak
berlebihan. Telinganya tiba-tiba menangkap bunyi angin tajam, tapi bukan tertuju
ke arahnya. Setan Kepala Besi bertindak cepat. Tubuhnya dibalikkan sambil
mengibaskan tangan.
Si gadis yang mengenakan pakaian kuning mengeluh
tertahan karena sakit dan kaget. Kibasan tangan Setan
Kepala Besi mengeluarkan angin yang menghantam pergelangan tangan si gadis yang menggenggam pedang.
Akibatnya, pedang yang ditujukan si gadis untuk menggorok lehernya sendiri
terpental dan jatuh berkerontangan di tanah!
"Hanya pengecut hina yang mengambil jalan seperti ini untuk mengakhiri sebuah
persoalan," ujar Setan Kepala Besi, pelan tapi penuh kecaman. Gadis berpakaian
kuning menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari celah-celah jarinya mengalir
air bening. Gadis itu menangis terisak-isak.
"Apa artinya aku hidup apabila terlumur aib seperti ini" Tak sanggup aku
memandang dunia dengan seluruh
tubuh bernoda najis!" keluh si gadis agak memekik.
Setan Kepala Besi menghela napas berat. Hatinya
tersentuh merasakan kehancuran hati yang sangat dalam
keluhan si gadis. Kakek ini diam-diam merasa heran sendiri.
Dulu ia tak pernah merasa terharu melihat penderitaan orang lain. Malah, justru
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin orang menderita hatinya semakin gembira. Sekarang ternyata sangat
berbeda. "Aku bisa memaklumi perasaanmu. Nona," ujar Setan Kepala Besi, lirih. Suara
orang yang ikut merasa prihatin.
"Kendati demikian, kurasa bunuh diri bukan jalan keluar yang baik. Aku yakin
orang yang melakukan kekejian
terhadapmu akan merasa gembira melihat kau mengambil
jalan pintas ini. Tidakkah lebih baik kalau kau berusaha membalaskan sakit
hatimu?" "Mana mungkin hal itu bisa kulakukan"' Gadis itu
menjauhkan kedua tangannya dari wajah "Iblis keji itu memiliki kepandaian jauh
di atasku. Jangankan aku sendiri, di saat bersama ayah saja aku tidak berdaya."
"Kau tidak perlu khawatir, Nona," hibur Setan Kepala Besi. Ia sedikit gembira
karena tahu nasihatnya telah
mengenai sasaran "Percayalah, aku akan membantumu. Aku yakin dengan bekerja sama
kita bisa membalaskan kekejian orang itu."
Gadis berpakaian kuning menyusut air matanya. Mata
yang bening indah itu menatap sekujur tubuh Setan Kepala Besi dengan penuh
selidik. "Apakah kau mempunyai kepandaian lebih tinggi
daripada ayahku, Kek" Kalau tidak, percuma saja, iblis itu amat sakti!"
Setan Kepala Besi mengangkat bahunya.
"Aku tidak keberatan kalau kau mau mengujiku,
Nona. Setidak-tidaknya kau bisa menilai kemampuanku.
Bukankah kau mengetahui tingkat kepandaian ayahmu?"
Si gadis mengangguk
"Hanya sedikit lebih tinggi dariku, Kek. Kenalkah kau dengan nama Empu Lahang
Samedi" Beliau ayahku. Aku
Priyani, putri tunggalnya."
Setan Kepala Besi menggeleng.
"Iblis keji itu mampu membuatku tak berdaya dengan tanpa
menyentuhku sama sekali. Mampukah kau melakukannya, Kek?" tantang Priyani penuh harap.
"Akan kucoba untuk melakukannya, Nona."
Setan Kepala Besi bertekad untuk mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Inilah harapan satu-satunya untuk mengembalikan semangat
hidup Priyani. Priyani sendiri setelah memungut pedangnya langsung melompat, menerjang. Dalam sekali serang gadis Ini telah mengeluarkan
serangan paling dahsyat. Pedangnya
lenyap! Yang terlihat hanya gulungan sinar yang bergulung-gulung. Sukar untuk
diketahui bagian tubuh lawan yang
akan dijadikan sasaran serangan.
Setan Kepala Besi segera mengibaskan tangan kanannya. Hembusan angin yang luar biasa keras menyambar.
Priyani bagaikan membentur benteng angin. Lompatannya
tertahan. Bahkan, tubuh gadis ini terjengkang ke belakang.
Priyani masih mampu menunjukkan kelihaiannya.
Dia mendarat di tanah dengan kedua kaki, kendati dengan limbung.
Bertepatan dengan itu Setan Kepala Besi menggerakkan tangan kiri dengan gerakan seakan menarik sesuatu. Untuk yang kedua
kalinya angin keras berhembus.
Priyani berusaha keras untuk bertahan dari hembusan angin yang menariknya ke arah Setan Kepala Besi.
Tapi, usahanya gagal. Tubuhnya tetap tertarik ke arah si kakek. Sekejap
kemudian, kedua telapak tangan Setan
Kepala Besi yang besar telah memegang kedua bahunya.
Setan Kepala Besi sesaat kemudian melepaskan
pegangannya. "Bagaimana, Nona" Apakah aku cukup berharga
untuk membantumu?"
Wajah Priyani berseri-seri. Pedangnya diletakkan
kembali di sarungnya.
"Kau hebat, Kek!" puji Priyani, gembira. Kendati demikian, lapisan kabut duka
yang tebal masih menutupi sepasang matanya hingga terlihat sayu. "Aku yakin
dengan adanya kau untuk membantuku, keparat keji itu akan
berhasil kubinasakan!"
Setan Kepala Besi tersenyum. Priyani ikut tersenyum.
Tapi, tidak bebas lepas. Pengalaman hebat yang diterimanya membuat kegembiraan
yang alaminya terasa semu.
5 "Tunggu sebentar, Ayah."
Adipati Gili menghentikan larinya. Di samping karena
mendengar seruan putrinya, juga melihat tindakan Nuri
sendiri. Gadis itu berhenti berlari.
"Ada apa, Nuri?" tanya Adipati Gili sambil menatap wajah
putrinya yang menatap jauh ke depan dan menyiratkan kecemasan.
"Sosok yang tengah bergerak mendatangi ke arah kita itu mengenakan pakaian serba
merahkan, Ayah?" Nuri malah balas bertanya.
Adipati Gili tidak merasa kecil hati. Diturutinya
permintaan putrinya untuk memperhatikan sosok yang
masih jauh di depan.
"Kelihatannya iya, Nuri. Mengapa?"
"Kalau benar demikian, celaka!" desis Nuri dengan wajah berubah pucat "Kita
harus segera meninggalkan tempat ini, Ayah. Kita harus berlari sejauh mungkin.
Sosok berpakaian merah itu bukan manusia melainkan iblis!"
"Jadi..., diakah orang muda yang telah melukai kedua kakek yang menawanmu?"
tanya Adipab Gili, teringat kembali akan cerita Nuri. Memang, gadis berpakaian
merah itu telah menceritakan pengalaman yang dialaminya.
Nuri mengangguk. Wajahnya menyiratkan kegelisahan
besar. Sepasang matanya yang bening indah diedarkan ke sekitarnya untuk mencari
tempat persembunyian. Tapi,
bagaimana mungkin Nuri dan ayahnya bisa bersembunyi"
Tempat di mana mereka berada merupakan hamparan tanah
lapang berdebu yang amat luas. Sejauh mata memandang di keempat penjuru yang
kelihatan hanya kaki langit.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Nu ri" Mumpung masih ada waktu. Mari lari...!"
Usul Adipati Gili menyadarkan Nuri yang hilang akal
karena perasaan takut yang sangat. Takut akan terjadi
sesuatu yang mengerikan terhadapnya. Nuri bisa melihat ancaman apa yang akan
timbul dari sosok yang bukan lain Lingga. Sinar mata pemuda itu ketika merayapi
sekujur tubuhnya bak orang kelaparan melihat makanan lezat!
Demikian penuh keinginan dan minat.
Tanpa pikir panjang lagi Nuri segera berlari. Adipati
Gili pun demikian. Tapi, lari ayah Nuri ini terlalu lambat jika dibandingkan
dengan Nuri. Maka, agar Adipati Gili tidak tertinggal Nuri hanya mengerahkan
sebagian ilmu larinya.
Gadis ini tidak tega meninggalkan ayahnya.
Adipati Gili sadar kalau dengan adanya dirinya Nuri
tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Maka, sambil mengerahkan
seluruh kecepatannya lelaki ini berseru pada anaknya.
"Larilah, Nuri. Lari yang cepat. Tidak usah kau
pikirkan, Ayah. Ayah tidak akan apa-apa. Iblis keji itu hanya memburumu. Kau
larilah...!"
"Tidak, Ayah!" bantah Nuri mantap sambil menggelengkan kepala. "Apa pun yang akan terjadi aku tidak mau berpisah dengan
Ayah lagi. Cukup hanya sekali saja!"
Adipati Gili merasakan dadanya sesak oleh rasa haru
yang menggumpal. Dia merasa berbahagia sekali mendengar ucapan Nuri. Ucapan yang
hanya keluar dari seorang anak yang berbakti dan mencintai orang tuanya.
Adipati Gili menundukkan wajah agar Nuri tidak
melihat perubahan di sana. Memang, Adipati Gili tidak yakin akan terjadi
perubahan pada wajahnya. Tapi, perasaan
khawatir mendorongnya bertindak demikian. Dan, Adipati Gili mengangkat wajah
ketika mendengar seruan kaget Nuri.
Wajahnya kembali diarahkan ke depan. Lelaki kecil kurus ini tanpa sadar membuka
mulutnya lebar-lebar. Sepasang
matanya pun membelalak lebar.
Adipati Gili berhenti berlari seperti juga Nuri. Sekitar sepuluh tombak di depan
mereka telah berdiri sesosok tubuh kekar terbungkus pakaian serba merah!
Kedudukannya membelakangi mereka. Kelihatannya dia tidak tahu akan
kedatangan Nuri dan Adipati Gili. Sosok yang mengenakan ikat kepala merah itu
menatap lurus ke depan
Hampir bersamaan Adipati Gili dan Nuri menoleh ke
belakang. Arah di mana sosok berpakaian merah tadi mereka lihat. Sebuah dugaan
bermain di benak mereka. Barangkali saja sosok yang tadi mereka lihat bukan
Lingga. Lingga yang mereka takuti adalah yang sekarang berdiri di depan mereka!
Di belakang Nuri dan Adipati Gili tidak ada sosok
tubuh pun! Jelas, sosok kekar di hadapan mereka ini adalah sosok yang tadi
berada di belakang mereka. Nuri, apalagi Adipati Gili, terkejut bukan main
menyadari kenyataan ini.
Bagaimana mungkin sosok merah itu bisa berada di depan mereka tanpa diketahui
waktu menyusul keduanya"
Nuri dan Adipati Gili saling berpandangan. Wajah Nuri
pucat pasi bagaikan kertas. Sosok merah itu adalah Lingga yang amat ditakutinya.
Potongan tubuh pemuda itu cukup dikenalnya, di samping pakaian serba merah dan
ikat kepala yang menjadi ciri khas Lingga.
Seakan-akan takut diketahui dan Lingga belum tahu
keberadaan dirinya serta ayahnya di belakang pemuda itu, Nuri
melangkah mundur tanpa membalikkan tubuh. Sikapnya hati-hati sekali. Hal yang sama dilakukan pula oleh Adipati Gili.
Selangkah demi selangkah Lingga semakin mereka
jauhi. Telah hampir lima tombak Nuri dan ayahnya menjauhi tempat semula. Hati
mereka agak lega melihat Lingga tetap dengan sikapnya. Diam bagai patung batu.
Setelah mencapai jarak lima belas tombak lagi, Nuri
memberi isyarat pada ayahnya untuk membalikkan tubuh
dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Hampir berbarengan, ayah dan
anak ini membalikkan tubuh dan
berlari cepat! Namun, Nuri dan Adipati Gili langsung
menghentikan larinya ketika melihat di depan mereka telah berdiri Lingga! Kali
ini pemuda itu berdiri menghadap
mereka.Sekarang Adipati Gili bisa mengerti mengapa Nuri demikian
cemas dan takut terhadap Lingga. Pemuda
berpakaian merah ini memang memiliki kepandaian yang
merindingkan bulu kuduk. Mereka tidak melihat kapan
Lingga bergerak. Tapi, kini telah berada di depan mereka.
Apakah pemuda ini pandai menghilang" Tanya Adipati Gili dalam hati.
*** "Selamat berjumpa lagi, Nona Cantik," sapa Lingga dengan sepasang mata merayapi
sekujur tubuh Nuri.
Pandang mata pemuda ini beberapa kali hinggap di bagian-bagian tertentu di tubuh
gadis berpakaian merah itu
"Sungguh tidak kusangka kita akan bertemu lagi. Atau, kau yang memang mencaricariku?" Wajah Nuri menyemburat merah karena perasaan
marah dan malu. Adipati Gili yang melihat keadaan kurang menguntungkan ini buruburu melangkah maju dan memberi hormat.
"Boleh kutahu siapakah kau, Pendekar Perkasa" Aku, Gili. Dulu seorang adipati.
Tapi, sekarang tidak lebih dari ayah gadis ini. Aku ayah Nuri," pelan dan lembut
Adipati Gili mengucapkannya.
"Menyingkirlah kau, Anjing Kurap!" tandas Lingga, dingin. "Mengingat kau ayah
Nuri, aku bisa memaafkan ucapanmu barusan. Tapi ingat, sekali lagi kau ikut
campur tahu sendiri akibatnya!"
"Ayah, menyingkirlah," ucap Nuri penuh perasaa khawarir. Gadis ini merasa ngeri
kalau Lingga mencelakai orang tuanya yang tinggal semata wayang baru saja
ditemukannya itu.
Tapi, Adipati Gili bukan orang yang mudah digertak.
Dan lagi dia tidak takut menghadapi mati. Apalagi bila untuk membela Nuri!
"Kuharap kau mau membebaskan putriku, Tuan
Pendekar. Apabila putriku
memang mempunyai salah
padamu, biar aku yang mintakan maaf padamu. Dan kalau
hal itu belum membuatmu puas, aku rela memberikan
nyawaku ini sebagai gantinya asal kau mau membiarkannya pergi dari sini...."
"Ayah...! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan
tindakan seperti itu!" sela Nuri keras karena kaget.
Lingga tersenyum. Bukan senyum yang menyenangkan untuk dilihat. Pemuda ini tahu Nuri dan
ayahnya saling mengkhawatirkan satu sama lain. Benaknya yang dipenuhi berbagai
macam kelicikan diputar untuk
mencari hal-hal yang dapat menguntungkan dirinya. Sebentar kemudian, pikiran itu telah didapatkannya.
Lingga melesat ke depan. Adipati Gili kaget bukan
main melihat serangan yang meluncur ke arahnya. Dia tidak melihat pemuda itu
melompat atau menjejakkan kaki. Tapi, tubuh Lingga telah melesat ke arahnya.
Adipati Gili segera mencabut keris yang terselip
punggung. Kemudian, ditusukkannya ke arah Lingga yang
kelihatan hanya berupa bayangan merah. Tapi, keluhan
tertahan yang dikeluarkan Adipati Gili. Dirasakan siku belakangnya tersentuh
jari-jari tangan Lingga. Sekerika itu pula tangan Adipati Gili terasa lumpuh.
Keris di tangannya langsung terlepas dan jatuh ke tanah. Tubuhnya pun ditarik
tangan kuat yang mencengkeram bahu kirinya. Adipati Gili langsung lemas!
"Ayah...!" seru Nuri sangat cemas. Ketika melihat Adipati Gili telah dibuat tak
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdaya, pandangan gadis ini segera dialihkan pada Lingga. Terlihat penuh
kemarahan dan kebencian yang mendalam. "Lepaskan dia, Jahanam! Ayahku sama
sekali tidak ada u rusan dengan kita. Kalau kau
memang bukan seorang pengecut, mari bertarung denganku!"
Lingga tersenyum mengejek. Tentu saja dia tidak
takut atau gentar bertarung dengan Nuri. Tingkat kepandaian gadis itu masih jauh
di bawahnya. "Sayang sekali, Nona Cantik. Saat ini aku tengah tidak berselera
untuk bertarung. Aku mempunyai sebuah permainan lain yang kuyakini menarik."
Nuri meloloskan sabuknya. Tapi, kedua tangannya
tidak mengejang karena aliran tenaga dalam. Keberadaan ayahnya yang menjadi
tawanan Lingga menyadarkan gadis
itu kalau keadaannya tidak menguntungkan.
Lingga menjilat bibirnya. Rupanya, permainan yang di
laksudnya amat menarik hati sehingga membuat jakunnya
turun naik. "Mungkin perlu kau ketahui, Nona Canik," ujar Lingga dengan suara agak memburu.
"Aku termasuk orang yang tidak suka main-main. Sekali kukatakan sesuatu, pasti
akan kulaksanakan! Nah, kalau kau ingin tidak terjadi sesuatu atas diri ayahmu,
kau harus turuti apa yang kukatakan.
Jelas?" Nuri menggertakkan gigi. Jantungnya berdetak lebih
cepat karena luapan perasaan marah dan tegang. Marah
karena mengingat kelicikan Lingga. Dan, tegang karena telah bisa memperkirakan
apa yang ada di benak Lingga.
Pandangan mata pemuda itu yang penuh nafsu telah
menjelaskan semuanya.
Lingga menelan ludah dengan susah-payah ketika
melihat dua bukit kembar di dada Nuri semakin membusung akibat detak jantung si
gadis yang bertambah cepat.
"Dengarkan baik-baik ucapanku ini, Nona Cantik,"
Lingga memulai pembicaraannya. "Lepaskan pakaianmu!"
Sekujur tubuh Nuri menegang. Kedua tangannya yang
memegang sabuk pun demikian. Dalam keadaan lain ucapan Lingga sudah cukup untuk
membuat gadis itu melancarkan serangan dengan senjata andalannya itu.
"Jangan kau turuti keinginannya yang gila, Nuri!
Tidak usah kau pedulikan aku. Serang dia...!" seru Adipati Gili, kalap.
Lingga tersenyum keji. Dia tahu Nuri bimbang. Dan,
pemuda ini telah memperhitungkan kejadian ini "Mungkin kau perlu mendapat bukti
kalau aku tidak bermain-main
dengan ancamanku, Nona Cantik,"
Begitu selesai berkata demikian, Lingga menekuk jari
tangan Adipati Gili. Pelan-pelan. Rasa nyeri yang luar biasa pun mendera lelaki
kecil kurus ini. Kendati demikian, tidak terdengar sedikit pun keluhan dari
mulutnya. Bahkan ketika jari tangannya itu patah! Hanya keringat sebesar besar
biji jagung menjadi petunjuk kalau Adipati Gili menahan rasa sakit yang sangat
"Jahanam!"
Nuri menjerit dengan kaki hampir diayunkan. Tapi,
hal itu tidak jadi dilakukan. Pandangan matanya yang
memancar ke arah Lingga penuh dengan kebencian! Andaikata sorot mata tak ubahnya serangan, tentu saat itu serangan maut yang
dihadapi Lingga.
"Tetaplah berkeras dengan sikapmu itu, Nona Cantik.
Dan, ayahmu akan mengalami siksaan demi siksaan yang
menyakitkan sampai akhirnya seluruh tulang-belulangnya kupatahkan di depan
hidungmu! Tapi, itu tidak berarti dia akan mati. Tidak! Aku tidak bisa bertindak
demikian. Aku mempunyai kemampuan untuk menyiksa seseorang tanpa
membuatnya mati. Kau boleh menyaksikan hal itu kalau
tetap bersikeras dengan pendirianmu!"
"Biadab! Kau bukan manusia! Kau binatang!" maki Nuri karena tak tahu harus
bertindak bagaimana "Jangan kau turuti kemauannya, Nuri. Aku lebih suka mati
daripada melihatmu memenuhi permintaannya. Dan..., akh...!"
Ucapan Adipati Gili terhenti di tengah jalan dan
berganti dengan keluhan kesakitan. Lingga telah mematahkan satu lagi jarinya. Keluhan itu keluar tanpa disengaja. Dan, hal ini
membuat Nuri kebingungan. Peluh membasahi dahi gadis itu.
Lingga sendiri, tidak memberikan ancaman lagi.
Dengan sikap tidak peduli, siksaannya dilanjutkan. Jari demi jari Adipati Gili
dipatahkan dengan pelan-pelan agar kenyerian yang tercipta semakin besar. Dia seakan-akan tidak mendengar jeritanjeritan Nuri yang menyuruhnya
menghentikan kebiadaban itu.
"Sekarang akan kucabut daun telinga ayahmu," ujar Lingga ketika lima jari tangan
Adipati Gili telah patah semua.
"Setelah itu kucungkil keluar biji matanya."
Lingga menempelkan jari-jari tangannya ke daun
telinga kanan Adipati Gili. Lelaki kecil kurus itu sudah setengah pingsan karena
rasa nyeri yang bertubi-tubi
menimpanya. Kendati demikian, dari mulutnya masih
terdengar suara-suara yang menyuruh Nuri a gar tidak
menyerah! Kedua kaki Nuri menggigil. Ngeri dia membayangkan
siksaan yang diderita ayahnya.
Matanya yang indah membelalak semakin lebar menatap jari-jari tangan Lingga yang telah berada di
telinga Adipati Gili.
"Tahan...!"
Nuri akhirnya tidak tahan ketika melihat jari-jari
tangan Lingga mulai bergerak memutar daun telinga. Dan, Adipati Gili telah
kelojotan! "Kau setuju dengan syaratku?" tanya Lingga penuh nada kemenangan dengan jarijari tangan tetap di daun
telinga Adipati Gili.
Nuri menggigit bibir,
kemudian menganggukkan kepala. Pelan dan hampir tidak teriihat. Tapi, itu telah cukup buat Lingga.
Tanggapan Nuri telah menyatakan persetujuan.
"Lepaskan dulu ayahku." Hampir tidak terdengar suara yang keluar dari mulut
Nuri. "Itu bukan masalah, Nona Cantik. Tapi ingat, kalau kau
bertindak macam-macam aku tidak akan ingat persyaratanku tadi. Ayahmu akan kusiksa habis-habisan di depanmu sebelum kau
sendiri kuperkosa ampai mati! Kau
camkan baik-baik. Aku tidak pernah bermain-main dengan ancaman!"
Nuri tidak memberikan tanggapan. Sambil menggigit
bibir dan dengan jari-jari tangan menggigil dilucutinya pakaiannya. Lingga
mengikuti setiap gerakan jari Nuri
dengan mata tidak berkedip, seakan-akan khawatir pemandangan indah di hadapannya akan lenyap. Adipati Gili sendiri telah
didorongnya hingga jatuh tertelungkup di tanah.
Lelaki kecil kurus itu tidak bangkit karena sudah setengah pingsan.
Dalam waktu sebentar saja Nuri telah berdiri di
hadapan Lingga dengan tubuh bagian atas telanjang! Kulit tubuhnya tampak putih
dan mulus. Lingga menelan ludah
beberapa kali melihatnya. Apalagi ketika melihat dua bukit kembar di dada Nuri
yang membusung indah dengan puling susu merah segar. Sepasang mata pemuda ini
seakan hendak melompat keluar dari rongganya. Nuri sendiri tidak berani
mengangkat wajah. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam
sampai-sampai dagunya menempel ke dada.
"Tunggu apa lagi"!" desis Lingga dengan suara bergetar dan napas memburu. "Cepat
buka celanamu...."
Nuri menggigil sekujur tubuhnya. Perintah Lingga
membuatnya berperang dengan perasaan sendiri. Kalau
menuruti keinginan sudah diterjangnya pemuda itu. Tapi, Nuri tidak berani
menanggung akibatnya. Ngeri akan nasib yang menimpa ayahnya.
Maka, sebelum Lingga yang berwatak keji itu
kehilangan kesabaran, dengan wajah yang semaki ditundukkan seakan dagunya hendak dibenamkan ke dalam
dada, celananya pun dilucuti. Sekejap kemudian Nuri telah telanjang bulat!
Lingga menelan ludah beberapa kali. Sebelum akhirnya sambil mengeluarkan bunyi dari tenggorokan
seperti geraman seekor harimau, dia melompat menubruk
Nuri. Kali ini Nuri tidak bisa menahan diri lagi. Keterkejutan dan
kengerian yang melanda membuatnya bergerak mengelak. Tapi, dia kalah cepat. Tubuh Lingga telah lebih dulu menerpanya hingga
dia dan pemuda itu terguling-guling di tanah.
Nuri meronta-ronta ketika Lingga dengan
buas menciumi sekujur wajah dan meremas-remas semua bagian
tubuhnya dengan kasar. Satu tangan pemuda itu melucuti pakaiannya sendiri.
Adipati Gili hanya bisa menangis dalam hati melihat
pergumulan di depan matanya. Dia tidak mau bertindak apa pun kecuali menatap
dengan hati ngilu. Lelaki ini tahu, lambat laun pergumulan itu akan dimenangkan
oleh Lingga. Pemuda cabul itu akan memporak-porandakan kegadisan
Nuri! Lingga yang mendapat perlawanan dalam usahanya
kelihatan tidak marah. Rontaan-rontaan yang dilakukan Nuri malah membuatnya
semakin bergairah. Dia tahu perlawanan Nuri tak akan berlangsung lama. Lingga
memang lebih suka adanya perlawanan daripada Nuri pasrah saja seperti mayat!
"Iblis keji! Lepaskan dia...!" Seruan keras menggeledek yang sarat dengan
kemarahan terdengar di saat perlawanan Nuri telah melemah.
Desss! Sebuah tongkat menghantam punggung Lingga! Memang, berbarengan dengan keluarnya teriakan itu sang pemilik seruan
mengayunkan tongkatnya ke arah punggung Lingga. Lingga sendiri tentu saja
mengetahui adanya
serangan itu. Tapi, dibiarkannya karena perasaan nikmat yang tengah diterimanya.
Sebentar lagi dia akan berhasil merenggut kegadisan Nuri. Maka, serangan itu
dibiarkannya. Lingga tidak ingin meninggalkan daging yang telah digigitnya lepas dari mulut!
Sang penyerang, seorang pemuda beralis tebal,
terkejut bukan main ketika serangannya tidak membuahkan hasil.
Malah, tongkatnya berbalik dan mengarah ke wajahnya. Seakan-akan yang dihantamnya bukan tubuh
manusia melainkan gumpalan karet keras dan kenyal.
Lingga sendiri tidak mempedulikan serangan itu.
Tubuhnya sedikit pun
tidak bergeming. Perbuatannya
terhadap Nuri terus dilanjutkan!
Sang penyerang yang bukan lain Gentala, putra
Malaikat Picak, terkesima sebentar Lalu Kembali tongkatnya diayunkan. Kali ini
yang dituju adalah kepala Lingga.
Kekhawatiran akan nasib gadis yang kiranya Priyani
membuat Gentala bertindak cepat. Pemuda ini mengira Nuri adalah Priyani. Karena,
Gentala melihat pakaian serba merah berserakan di tanah. Bukankah pemuda
berpakaian serba
merah yang menculik Priyani"
Untuk kedua kalinya Gentala terkejut ketika tongkatnya membalik! Kepala Lingga tidak pecah seperti yang diduganya. Malah,
tangan Gentala yang terasa sakit. Hampir-hampir tongkatnya lepas dari genggaman.
Serangan kedua ini pun sebenarnya tidak dirasakan
oleh Lingga yang memiliki kekebalan luar biasa tapi dia merasa
terganggu. Serangan serangan itu membuat kenikmatannya menggarap tubuh Nuri jadi terhambat. Dan, ini membuat pemuda cabul
itu murka.
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lingga bangkit dari tubuh Nuri. Sepasang matanya
seperti mengeluarkan api karena kemarahan yang sangat.
Saat itu serangan Gentala menyambar lagi. Tongkat itu
ditusukkan putra Malaikat Picak ke arah sepasang mata
Lingga!Dalam kemarahan yang menggelegak, Lingga
menangkap tongkat itu dan balas menusukkan ke arah
pemiliknya! Gentala menjerit ngeri sambil mengeluarkan semburan darah segar
ketika tongkat miliknya menghantam perut dengan telak
Tubuh Gentala melayang jauh ke belakang seperti
diseruduk gajah liar. Tongkatnya terlepas dari pegangan.
Senjata itu kini berada di tangan Lingga. Namun, Lingga yang geram bukan main
segera menyambitkan longkat. Gentala
membelalakkan mata karena ngeri! Dan, ketakutan pemuda beralis tebal itu
terjadi. Tongkat yang dilemparkan menembus perutnya hingga ke punggung. Saat itu
tubuhnya masih dalam keadaan melayang.
Darah muncrat-muncrat mengiringi jerit kematian
yang keluar dari mulut Gentala. Malangnya lagi, tongkat yang menembus terlalu
dalam hingga membuat tubuh Gentala
tidak bersentuhan dengan bumi ketika jatuh ke tanah karena terganjal tongkat!
Lingga tersenyum puas. Senyum itu mengendur
ketika melihat titik hitam kejauhan yang semakin lama
semakin membesar. Ada orang lain yang tengah menuju ke tempatnya
berada. Niat Lingga untuk meneruskan tindakannya terhadap Nuri segera diurungkan. Sosok itu ingin
dibereskannya lebih dulu sebelum mengganggu kesibukannya nanti.
Dalam waktu sebentar saja sosok itu kini terlihat
jelas. Seorang lelaki setengah tua, bertubuh pendek kekar dan bermata picak
Pandang mata Malaikat Picak tertuju ke arah mayat Gentala, putranya. Sinar
sepasang matanya
menyiratkan kesedihan besar dan ketidakpercayaan.
"Gentala...!"
Malaikat Picak meratap. Tidak keras. Hampir mirip
keluhan. Lelaki ini bersimpuh di dekat tubuh putranya.
Kenyataan ini telah mengatakan pada Lingga kalau
Malaikat Picak adalah seorang lawan. Tidak salah lagi.
Malaikat Picak pasti akan membalaskan kematian putranya.
Dendam Empu Bharada 14 Beruang Salju Karya Sin Liong Pendekar Pedang Sakti 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama