Ceritasilat Novel Online

Perintah Maut 2

Dewa Arak 55 Perintah Maut Bagian 2


kekasihnya. Demikian pula deng an Dewa Arak. Matanya men atap jauh ke depan,
seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya.
"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah
menyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" tanya Melati kemudian, setelah keduanya
diam sesaat "Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya.
"Sebenarny a memang su dah. Tapi, aku masih belum yakin. Bila dipikir dari satu
sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan dari sisi lainnya,
aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...."
Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berb entuk indah.
"Mengapa k au masih ragu, Kang"! Aku y akin dugaanmu tidak
salah!" "Mengapa kau d emikian yakin, Melati" Kau tahu orang yang
kucurigai"!" tanya Arya. Ada senyum dingin tersunggjng di bibirnya yang tipis
itu. "Tentu saja!" jawab Melati, yakin. "Bukankah orang yang kau curigai adalah
Sembad a"!"
Dewa Arak menganggukk an kepala pertanda membenarkan tebakan
Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya.
Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan
diberikan kekasihnya.
"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu..."!" kejar Melati,
penasaran. "Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah Sembada, Melati?"
Arya malah balas mengajukan pertanyaan.
"Tentu saja!" sahut Melati tegas.
"Dari mana kau meng ambil kesimpulan seperti itu"i Atas dasar ucapanny a"!"
"Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepal a.
"Kalau kau sendiri, bagaimana?"
Dewa Arak tak segera menjawab pertany aan itu. Pemuda berambut
putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam
seakan -akan teng ah ada yang dipikirkan.
"Aku juga menaruh kecurig aan pada Sembad a, Melati. Dan dasar kecurigaanku pun
sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucap annya. Tapi, justru itulah yang membuatku
merasa tak yakin dengan dugaan semula.
"Aku tak mengerti maksudmu, Kang"! Katakan saja dengan jelas, jangan berput arputar sepert itu!" sergah M elati, karen a bingung mendengar penj elasan Dewa
Arak yang diangg apnya kurang gambling.
"Bagini, Melati," ucap Arya setelah tercenung s ejenak. "Menurut perhitungan,
rasanya aneh kalau Sambad a pelakunya, ucap an seperti itu dikeluarkanny a.
Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud menyembunyikan diri" Mengapa mengeluarkan perny ataan seperti itu.
Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan yang
dlkeluarkannya bisa mengundang kecurig aan orang lain terhadap dirinya."
Melati tercenung dengan dahi berkernyit dalam. Gadis berpakaian
putih ini merasakan adanya keb enaran yang tidak bisa dibantah dalam pernyataan
Dewa Arak. Ya! Meng apa Sembada mengelu arkan ucapan
seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat" Bukankah
perbuatanny a tidak ingin diketahui orang"
Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia telah berpikir.
Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari pandangan Dewa Arak.
Namun, pemuda berambut putih keperakan itu
membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya.
"Itukah yang menyebabk anmu merasa ragu menuduh Sembada
sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" tanya Melati.
Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.
"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap mencurigainya sebag ai penyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" desak Melati, penuh
semangat. "Ada alasan lainnya, Melati," jawab Arya. "Aku mempunyai dugaan kalau Sembada
mengeluarkan perny ataan itu tanpa sengaja. Atas dasar itulah kecurigaanku terh
adapny a tidak kuhilangkan."
Melati mengangguk-anggukkan
kepal a. Tak ada senyum tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis
cantik itu memaklumi kebenaran Dewa Arak.
"Hanya usah a dan waktu yang dap at menjawabny a, Melati," ujar Arya kemudian.
Melati kembali mengangguk-anggukkan kep ala.
"Kapan kau akan mulai menyelidikinya, Kang"!"
"Nanti malam, Melati Kita selidiki Desa Jarak secara sembunyi-sembunyi. Kau siap"!"
"Tak usah menanyakan hal itu, Kang!" jawab Melati penuh semangat
"Ha ha ha...!"
Dewa Arak hanya tertawa mendeng ar jawab an itu.
5 Wusss! Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan
cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada pun tampak
redup tanpa cahay a.
Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin.
Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah
larut, kian sunyi dan sepi.
Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahay a bulan itu, tampak sesosok
bayangan hitam meles at cepat memasuki Des a Jarak.
Laksana h antu jahat yang sed ang memburu mangsa, gerak-g eriknya tampak begitu
terburu-buru. Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia.
Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan di balik
pagar tembok sebuah b angunan cukup meg ah yang memiliki halaman luas.
Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat kemudian
kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke atas, melompati
batas atas tembok. Lalu....
Jliggg! Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok
berpak aian hitam itu mendarat di tanah.
Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri.
Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain.
Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam itu melesat
cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya
dengan beb erap a kali lesat an, tubuhnya telah berada di dek at pintu bangunan.
Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu menghentikan gerak an. Api obor yang terpancang pada dinding depan rumah itu
menerpa tubuhmu yang berpakaian serb a hitam.
Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya tampak kurang
jel as, karen a tertutup selubung kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak
dari dua lubang pada kain selubung
kepala. Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat
Sejenak sepasang matany a menatap tajam daun pintu. Seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari Akherat
menghent akkan keras telapak tangan kanannya ke depan.
Wusss! .Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan
dari Akherat, meluncur menu ju daun pintu. Dan....
Brakkk! Suara berd erak keras terd engar memek akkan telinga. Angin
pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu mengh ancurk an daun
pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu.
Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung
melesat ke dalam. Pada saat yang bers amaan, dari dalam sebuah k amar muncul
sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala.
Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjag a dari tidurnya karena
mendengar dobrakan pintu rumah.
Saat itu, Ki Barjanala memang telah mulai men empati bangunan
yang semula ditempari Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja malam itu Ki
Barjanala masih menempari sendiri. Kedua orang anaknya, belum ikut pindah ke
tempat tinggal yang baru itu.
Dapat dibayangkan betap a kagetnya Ki Barjanala ketika melihat
sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya.
"Siapa kau"!"
Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang
sikap waspada Di a sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di hadap annya
ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yanag dikenakanny a
menggambark an bagaiman a jiwanya saat itu.
"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan p adaku atas
pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Barjanala"!" tanya Utusan dari Akherat tanpa
mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap
dirinya. "Penghormatan..."
Membunuh Ki Bima Seta..."! Jadi..., maksudmu.... Kau
adalah...," sahut Ki Barjanala dengan
suara menggerag ap karena perasaan takut, terkejut, dan keheran an.
"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala Desa Jarak itu
selanjutnya. "Hhh..., akulah Utusan dari Akherat!"
Ki Barjanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya
yang mendadak k ering dan terasa g etir. Sama sekali tak disangka kalau sosok
yang berjuluk Utusan dari Akherat demikian angk er seperti julukannya.
Tapi yang membuat Ki Barjanala merasa tegang, bukan penampilan
pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang menyebabk annya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikit pun tak mau
menunjukkan perasaan bers ahab at. Ataukah si pembunuh bayaran itu hendak
membantai k epala d esa itu, seperti yang dilakukanny a terh adap Ki Bima Seta"!
Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin
bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti maksud
kedatangan Utusan d ari Akherat. Oleh karen a itu, diputuskan untuk berpura-pura
tidak tahu. "Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima
kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk, Utusan dari Akherat !" ujar Ki
Barjanala, berusah a bersikap ramah
"Simpan saja semua keram ahtamahanmu, Barjanala!" sergah Utusan
dari Akherat, keras. "Aku datang bukan untuk berbincang -bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak mati siasia!" "Ap..., apa maksudmu, Utusan dari Akherat"!" Ki Barjanala m asih mencoba untuk
berpura-pura. "Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan
atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiapl ah, Barjanala!
Aku akan memulainya!"
*** Kini Ki Barjanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka
diputuskan untuk melakukan perlawan an. Dia tak ingin mati percuma!
maka.... Srattt! Ki Barjanala m enghunus keris yang terselip di pinggang belak ang.
Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat!
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Barjanala!" ujar Utusan dari Akherat, seray a
tertawa mengej ek. "Dengan demikian kau tak akan mati penasaran!"
"Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak Ki Barjanala keras.
Lalu.... "Hih!"
Didahului gertakan gigi, Ki Barjanala langsung melancarkan
serang an dengan kerisnya. Senjata yang sarat deng an pamor itu, ditusukkan
lurus ke perut Utusan dari Akherari!
Wuttt! Deru angin keras terdeng ar, seiring dengan meluncurnya serangan itu.
Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak
tampak adanya gelagat

Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau dia akan melakukan tindakan penyelamat an diri, baik mengelak ataupun menangkis!
Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut, sekaligus
gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila" Kalau tidak mengapa dibiarkanny a
serang an dahsyat itu.
Pertanyaan -pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun demikian, tak
menghambat seranganny a. Bahkan kepala d esa itu
langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin urusannya cep
at selesai. Ternyata Utusan dari Akh erat benar-ben ar tak melakuk an tindakan apa pun
terhadap serangan Ki Barjanal a.
"Hiaaa...!"
Tukkk! Keris di tangan Ki Barjanala mendarat telak di perut lawan. Namun kepala des a
itu tersentak kaget Matany a terbelal ak, seakan-akan tak percaya dengan ap a
yang dilihatnya. Keris itu patah!
Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanal a, tiba-tiba....
Cappp! "Aaakh...!"
Pekik kematian dari mulut Ki Barjanala terdeng ar memecah
kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung ke belakang.
Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak.
Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa, Utusan dari Akherat berhasil
menancapkan senjat a khasnya. Darah segar mengalir deras dari kepala Ki
Barjanala yang tert ancap pisau.
Brukkk! Setelah terhuyung-huyung beb erap a saat lamany a, tubuh Ki
Barjanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelep ar lelaki berp akaian putih yang telah
berlumuran darah itu tewas.
"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya tubuh Ki Barjanala
yang t erkap ar di at as lantai tempat tinggal baruny a.
Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya.
Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang
kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspad aan. Jelas, ada sesuatu yang telah
membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu.
Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar
ruangan bangun an itu.
Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba telah berdiri
menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan kabur pembunuh bayaran ini
telah tertutup.
"Mau ke mana kau, Pembunuh Terkutuk"! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis.
Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang tergerai
itu ternyata Melati.
Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertany aan Melati.
Matanya yang tajam menat api tubuh gadis berpakaian putih itu.
Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa
dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki
Barjanala. Hal ini bisa diketahuinya d ari tindakan kaki lawan yang demikian
halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang telah terlatih baik
sekalipun! "Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya urusan denganmu!
Jangan kau membuatku harus membunuh seorang
gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!"
"Jangan banyak bicara, Utusan dari Akherat !" sahut Melati sengit
"Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi mayat! Hih!"
Seraya menggertakk an gigi, Melati melompat, menerjang Utusan
dari Akherat Gadis berp akaian putih ini membuka serang an dengan sebuah kibasan
kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya serang an Melati
membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahk annya.
Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan
dari Akherat tak merasa g entar Kemudian tanpa ragu -ragu dip apakinya serang an
Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga...
Plakkk! Bunyi keras terdeng ar, ketika kedu a kaki yang sam a-sama di aliri tenaga dal
am kuat itu saling mem-bentur Melati terdo rong ke b elakang dengan tubuh
berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung b eberapa langkah. Dirasakan sakit
yang hebat melanda kakinya yang berbenturan.
Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba
Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya dikibaskan! Singgg! Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil berg agang kepala
tengkorak melesat memburu Melati.
Melati sadar ak an adany a maut yang mengan cam jiwany a. Gadis
berpak aian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi
serang an maut itu. Dengan gerak an yang hanya dapat dilakukan tokoh berilmu
meringankan tubuh tinggi, Melati menjejakkan kaki.
Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan
itu membuat tubuhnya melesat
ke atas. Sehingga pisau
yang dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengen ai angin.
Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan serang annya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu saja dengan
kedahsy atan melebihi serangan seb elumnya.
Serbuan Utusan dari Akh erat disambut baik oleh Melati. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari Akherat maupun
Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Keduany a langsung mengeluark an ilmu andalan masing-masing.
Melati mengeluark an ilmu 'Cakar Nag a Merah' andalanny a. Sedangkan Utusan dari
Akherat menggunak an ilmu 'Jari Sakti'.
Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah dahsyat
dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuas ai Melati. Bunyi berdesingan
nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan pembunuh misterius itu bergerak.
Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari
Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat
dahsyat dan menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya, Utusan dari Akh erat
kadang-k adang hanya menggunak an satu jari. Tapi tak jarang dua, erripat, atau
semua jari tangannya.
Yang sangat men akjubkan, jangankan samp ai terken a langsung,
angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit tubuh.
Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat.
Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama heb at ini memang
luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan mend eru sel alu terdeng ar setiap
kali kedua belah pihak menggerakkan tang an atau kaki
Jurus demi jurus berlangsung cep at. Tak terasa pertarungan telah berlangsung
dua puluh lima jurus. Dan selama itu, Melati tampak
terus-menerus terdesak. Kenyataan itu tak mengherankan, karena
tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan
dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu meringankan
tubuh. Dengan dua k eunggulan inilah, pembunuh bayaran itu mampu menekan serang
an lawan. Semakin lama kead aan Melati semakin mengkh awatirk an.
Beberap a kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis serang an
dahsyat lawan. Namun tampakny a gadis cantik berp akaian putih itu tak ingin
mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, dirinya tetap
mengadakan perlawan an.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Mel ati semakin
gawat. Serangan-s ereangan yang dilakukanny a semakin mengendur.
Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih sering banyak b
ergerak untuk meng elak. Tindakan inilah yang
menyebabk an dirinya semakin terdesak hebat.
Kalau kead aan tidak berub ah, Utusan dari Akherat jelas akan
mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu lagi
melancark an serang an yang berarti.
Prattt! "Hih...!"
Untuk yang kesekian k alinya, Melati terpaksa m enangkis serangan lawan. Seperti
pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu sangat kewalah an. Malah
kali ini lebih parah dari sebelum nya. Tubuh Melati terjengkang, karena saat itu
Melati berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan.
Ketika itulah, Utusan dari Akherat langsung melan cark an serangan susulan.
Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba hitam itu melesat
menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang
membentuk cakar. Keduany a mengincar dada Melati.
"Ah!"
Jeritan karena perasaan kag et, keluar dari mulut Melati. Matanya yang tajam
menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap
merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena
disadarinya malaikat maut seakan-ak an telah berada di depannya.
Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan lawan.
Jalan satu-satunya untuk meny elamatk an diri hanyalah m enangkis.
Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua
tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari Akherat.
Namun ketika keadaan g awat teng ah mengan cam kes elamatan
Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan.
Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari
Akherat. Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut.
Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka....
Prattt! Prattt!
Bunyi keras terdeng ar sep erti logam-logam keras dibenturk an.
Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu itu langsung
terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah dan ringan, kedua bel ah
pihak berh asil mengatasinya. Lalu mendarat di tanah.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya sosok bayangan ungu itu pada Melati yang
telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya.
"Tidak, Kang."
Sambil tersenyum manis, Melati menjawab pertanyaan sosok
bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak.
Hanya ses aat Dewa Arak memperhatikan k eadaan kek asihnya.
Namun kesempatan pend ek itu dimanfaatkan seb aik-baiknya oleh
Utusan dari Akherat.
"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika dilihatnya lelaki
berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat meninggalkan tempat
pertarung an. Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat
merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju,
kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa
mengendurkan kecep atan lari.
"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...! Hih!"
Sambil berkata begitu, Utusan dari Akherat melemparkan benda
bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu, Dewa Arak mengh
en tikan pengejaranny a. Tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindar. Arya
khawatir benda bulat kecil itu mengandung racun yang mematikan
Darrr! Ledakan k eras sek etika terdeng ar begitu benda bulat kecil itu berbenturan
deng an tanah. Seketika itu pula muncul asap teb al hitam yang menghalangi
pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak tak dapat meneruskan peng
ejarannya terhadap Utusan dari Akherat.
Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap
dari pandangan, Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi.
6 "Sayang sekali.... Keparat itu berhasil meloloskan diri...," ujar Melati
menyesal. Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah
berad a di sisinya.
"Tak perlu kau sesali hal itu, Melati," ujar Dewa Arak menghibur.
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting kau selamat."
Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening
dan indah menyiratkan ketidakpuasan.
"Mengapa kau d atang terlamb at, Kang"! Kalau tidak..., kita telah berhasil
membekuknya!"
"Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah menyewa Utus an
dari Akh erat, di bangunan tua itu, Melati. Aku
berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak muncul.
Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang
pada saat yang tepat...!"
Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa
Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat sosok
bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki Barjanala.
Penyelidikan terhad ap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia peny ewa Utusan dari
Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala desa. Ternyata dugaan itu
tidak meleset! "Apakah tokoh yang b ertarung denganmu itu Utusan dari Akherat, Melati?" tanya
Arya, mulai mengalihkan pokok persoalan.
"Kurasa ben ar dia, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.
"Lalu... bagaimana dengan Ki Barjan ala" Apakah dia baik-baik saja"!"
Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat jelas di
mata Dewa Arak. Karena pemud a berambut putih keperakan itu memang tengah
memperh atikan wajah k ekasihnya. Perasaan tidak enak pun melanda batin Dewa
Arak. Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan,
Melati telah menyahut.
"Aku terlambat datang, Kang," ujarny a dengan suara lirih, seakan -akan merasa
sang at menyesal.
"Maksudmu...?" Arya tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Dia telah tewas, Kang."
"Hah...!"
Dewa Arak tersentak kag et mendengar jawaban Melati. Hatinya
sama sekali tak mendug a kalau h al itu akan terj adi. Matanya terb elalak
diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa
Arak meles at ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak itu terbujur di
lantai berlumuran darah.
Memperhatikan sekilas saj a, Dewa Arak mengetahui kalau Ki
Barjanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak
yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak.
"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa Arak dengan suara
pelan. "Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula, Kang,"
timpal Melati memberikan kesimpulan.
"Yahhh...," sahut
Arya dengan suara mendesah.
Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke luar.
Hal yang sama dilakukan Melati.
"Aku yakin hal ini berhubungan erat deng an kedudukan k epala desa, Melati,"
tukas Arya pelan. "Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa Utusan dan Akherat
bertindak demikian cep at."
"Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku, Kang," ujar Melati.
"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada.
Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa setelah Ki
Barjanala tidak ada selain Sembada?"
"Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada menduduki
jabatan kepala desa itu, Kang," ujar Melati tiba-tiba.
"Kau benar," sambut Arya setengah terp ekik.
"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkanny
a." "Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, setengah bingung.
Dewa Arak tak seg era m enjawab. Dahiny a berk ernyit, pertanda
tengah ada yang dipikirkan.
"Jalan satu-satunya untuk mencegahny a hanya dengan mengam ati bangunan tua itu,
Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan
penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewany a," ujar Arya
menjelaskan. "Bagaimana kalau kita kecolongan lagi, Kang"!" tanya Melati, mengajukan
kemungkinan yang tidak terduga.
"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu terus-menerus. Pagi, siang, sore, dan
malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan."
"Kapan kita memulainya, Kang"!"
"Sekarang juga!" tandas Arya teg as. "Aku khawatir, penyewa itu telah meletakkan
perintah kejinya di sana."
"Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Ada ap a, Melati"! Katakan saj a!" sahut Ary a ketika melihat kekasihnya meras
a ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Mengapa mesti bersusah pay ah mengawasi bangunan tua itu,
Kang"! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran
berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila ada bahay a
mengan camnya, kita dapat memberik an pertolongan
sesegera mungkin."
Dewa Arak mengangguk-anggukk an kepala mendengar pendapat
kekasihnya. "Pada dasarny a aku setuju dengan usulmu, Melati. Karena memang sebenarnya merup
akan cara yang paling baik. Tapi ingat, Melati, ada satu hal yang kau lupakan.
Orang yang telah menyewa Utusan dari
Akherat belum tentu Sembada. Mes kipun, kemungkinannya sangat
besar." Dewa Arak mengh entikan ucapanny a sejen ak untuk mengambil
napas. "Itulah sebabny a, kuputuskan untuk mengawasi bangun an itu. Kau mengerti,
Melati"!"
Melati terpaksa menganggukkan kep ala walaupun seb enarny a tidak merasa puas
deng an keputusan yang diambil.
"Lalu..., bagaimana dengan Utusan d ari Ak herat, Kang"! Apakah dia harus
dibiarkan saja"!"
"Dia akan menerima ganjaranny a pula, Melati. Utusan dari Akherat termasuk orang
yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan
orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus dilenyapkan!"
"Aku pun berpend apat demikian, Kang. Utusan dari Akherat tokoh yang amat berbah
aya," ujar Melati memberikan dukungan
"Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini, Melati!" ajak Arya seray a melesat
meninggalkan tempat itu.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Melati pun segera m enyusulnya.
Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok ini telah saling berkejaran
menuju bangunan tua.
*** Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari
tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata, memancarkan cah
aya yang mulai menggigit kulit.
Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah
memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama
kalinya bertemu sosok berpakaian hitam.
Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun
dedaunan sehingga k eberadaannya sulit diketahui. Dari semalam, Dewa Arak berada
di situ. Pandangannya tak lep as terus mengawasi bagian bangunan tempat sebatang
tombak tertan cap.
Di tempat itulah pernah dilihatnya sesosok bay angan hitam yang
sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat yang
berisi perintah maut.
Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah diatur saja,
dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih
keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat
dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih
itu amat dikenalnya
Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah sampai di
bawah pohon tempat Dewa Aiak berada. Gadis itu langsung menggenjotkan kaki.
Dan.... Jliggg! Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, Melati hinggap di cabang
pohon tempat Dewa Arak berada
"Kita kecolongan lagi, Kang," ujar Melati, buru-buru.
"Kecolongan"!" Arya mengernyitkan dahi. "Aku belum mengerti apa yang kau
maksudkan, Melati?"
"Ki Kuncara telah tewas!"
"Apa"!" tanya Arya tersentak kag et "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Melati"!"
"Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam, Kang,"
jelas Melati. Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke
depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali.
"Berarti, setelah membunuh Ki Barjanala, Utusan dari Akherat langsung menyatroni
Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati lagi.
"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung meminta dua orang
sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak
setengah-s etengah rupanya," gumam Arya p elan, seperti berbicara pada dirinya
sendiri. "Kead aan di Desa Jarak kacau, Kang! Sekarang semua penduduk mengutuk Utusan
dari Akherat seb agai pembunuh keji! Padahal, baru dua hari yang lalu mereka
memuji-mujinya setinggi langit!"
Melati menceritak an peristiwa y ang diketahuinya. Memang, begitu pagi
menjelang, Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat keadaan. Tentu saja
itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Kacau"!" Arya mengerutk an alis penuh perasaan heran. "Mengapa bisa demikian,
Melati"! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh desa itu cukup mengejutkan,
tidak perlu menyebabkan terjadinya
kekacauan."
"Putra Ki Barjanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad menuntut balas."
"Itu wajar, Melati. Siapa yang
tidak merasa dendam jika orangtuanya dibunuh orang"!" sambut Arya. "Tapi, bagaimana dia dapat memenuhi
keinginannya itu" Di samping untuk mengetahui keberad aan Utusan dari Akherat
sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan sanggup menghadapinya?"
"Itulah masalah yang menyebabkan terjadinya kekacau an, Kang"
lanjut Melati. "Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala bermaksud
melampiaskan dend amnya!"
"Heh"!
Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan"!"
"Pada Sembada, Kang! Dia mengangg ap, bahwa Sembada yang
telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua kekejian itu!"
"Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget. "Mengapa dia dapat
mengambil kesimpulan seperti itu"!"
"Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala. "Menurut berita yang kudengar,
dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang
secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa
mengenaskan itu menu rut berita yang kud apat, ada k aitannya d engan jabatan
kepala des a."
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas b erat. "Kesimpulan yang didapat putra Ki
Barjanala itu ternyata sama deng an kita, Melati. Tak bisa kusalahkan tindakan
yang diambil putra Ki Barjanala. Memang, semua kejadian ini menunjuk Sembada
sebagai pelakunya."
Melati mengangguk-anggukkan kepal a pertanda menyetujui ucapan
kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucap an kekasihnya.
"Bagaimana denganmu sendiri, Kang" Apakah kau masih ragu
kalau pelaku semua kek ejian itu Sambada"!" tanya Melati, ingin tahu pendapat
Ary a secara pasti.
Bukan tanpa alasan g adis berpak aian putih ini menanyakanny a.
Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pernah meles et.
"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di balik semua
kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan kalau Sembada-l ah yang
telah memberik an perintah-p erintah terh adap Utusan dari Akherat. Tapi, entah
mengapa aku merasa ragu ! Atau..., ini disebabkan karena belum kudapatkan bukti
nyatanya...?"
Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian gadis
berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh. Disadari kalau Arya telah berus
aha untuk memberikan jawab an yang memuaskan.
"Apakah putra Ki Barjanala telah melakuk an penyerbu an secara terbuka pada
Sembad a"!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala. "Hanya perang dingin. Tapi aku
yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara merek a.
Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk dua
kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada.
Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi bentrokan,
dengan mudah merek a akan dihancurk an."
"Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak hanya menuruti
kemarah annya saja," ujar Arya merasa kagum.
"Pada putra Ki Barjanala yang mana kau tujukan pujian itu, Kang"!"
tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat.
"Apa maksudmu, Melati"! Apakah Ki Barjanala mempunyai
banyak anak"!"
"Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki.
Yang tua bernam a Jagap aksi. Sedangkan adiknya bern ama Suraga. Dan yang
menyebabkan tercegahny a pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia menyuruh Suraga
yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan menunggu perkembang an
selanjutnya," jelas Melati panjang lebar.
Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya.
Dewa Arak terdiam, tak memberikan tangg apan. Mereka berdua
tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
"Kang..," sapa Melati memecahkan keh eningan yang menyelimuti.
"Hm...!" sahut Dewa Arak hany a deng an gumaman pel an sambil menoleh.
"Untuk apa lagi kita berad a di sini" Kurasa lebih baik kita pergi ke Desa
Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang layar. Dan..."
Ucap an Melati terh enti di tengah jalan secara mendad ak. Hal itu karen a Arya
tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian jari telunjuknya
ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan Melati tadi.
Dengan perasaan heran, Melati mengalihkan pandang an ke arah
yang ditunjukkan kekasihnya. Dan....
55 "Ah!"
Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat
sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berad a.
Gerak an sosok tubuh mengenak an pakaian ku ning itu cukup cepat.
Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup
selembar kain hitam.
"Meskipun warna pakai annya berb eda, aku yakin kalau dialah yang kita lihat
beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu, Melati?"
bisik Arya. "Aku pun menduga demikian, Kang. Aku yakin orang inilah yang kita lihat waktu
itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada"!" Melati balas bertanya deng an suara
berbisik. "Entahlah," Arya mengangk at bahu. "Tapi..., sosok tubuhnya memang mirip dia."
"Sebentar lagi akan kita saksikan kebenaranny a, Kang! Aku yakin kalau dia


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembada." "Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem.
Sampai di sini, percak apan sep asang pend ekar muda ini terhenti.
Keduany a tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui.
Sementara itu sosok berpak aian kuning terus melanjutkan langk ah.
Tapi beberapa tombak seb elum mencapai bangun an tua dan tak terawat itu,
langkahnya berhenti. Kepal anya ditolehkan ke s ana d an kemari seperti tengah
memastikan tak ada orang lain di tempat itu.
Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju tembok bangunan
megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam.
Sampai di situ, tangan kanannya seg era dimasukkan ke balik baju. Dan begitu
keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang.
Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan kecil yang
berisi uang. Saat itulah Dewa Arak dan Mel ati langsung bertindak. Keduanya
dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat sosok
berpakaian kuning berad a.
Sesuai kesepak atan, Dewa Arak menujukan sas aran pada gulungan
surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian kuning.
Karuan s aja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut
bukan kepalang. Meny adari ad anya b ahaya m engancam, orang itu segera melesat
kabur. Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana
mampu dia meloloskan diri dari Melati" Setelah bersalto beberapa kali di udara,
Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning itu.
Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya.
Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah
lainnya. Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari
terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba M elati telah menghad ang di depannya.
Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa.
Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari.
Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning
gagal dengan usah anya. Melati telah berad a di depannya kembali.
Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat meloloskan
diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya....
Srattt! Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut golok yang
terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan, d-serangny a
Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu.
"Hmh!"
Melati mengeluark an dengusan meng ejek seraya dengan cepat
mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya, hal itu
dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh berpak aian putih itu
meliuk mengelakkan serangan lawan.
Wuttt! Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari
pinggang Melati.
Saat itulah Melati melancarkan serangan bal asan. Dengan cep at sisi tangan
kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan.
Wuttt! Orang berp akaian kuning itu terperanjat bukan kepal ang, menyaksikan serang an balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari deru
angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu mengandung tenaga d alam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki,
dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bukkk! "Uh..,!"
Menyadari dirinya tak mungkin meloloskan diri, lelaki berpakaian kuning itu
menjadi nekat...
Srat! Tangannya mencabut golok yang terselip di pinggang, dan langsung
menusukkannya ke arah perut Melati.
Ketika golok itu sudah sangat dekat, Melati segera mendoyongkan tubuhnya ke
kanan! Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluh an tertah an dari mulut ketika
tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju.
Seiring dengan suara keluhanny a, tubuh sosok berpakaian kuning
itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan!
*** "Kau tidak membunuhnya kan, Melati"!" tanya Ary a seraya
menghampiri kekasihnya.
"Tentu saja tidak, Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga. "Aku pun tahu, ada
pihak yang lebih berkepentingan terhad apnya."
"Syukur kalau kau menyad arinya," ujar Ary a lega. "Ini surat dan uang yang
diletakkan di gagang tombak itu. Bacalah! Agak keras sedikit agar aku mendeng
arny a." Melati menerima gulungan surat itu. Dengan ag ak terbu ru-buru
dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras.
Utusan dari Akherat,
Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini juga. Aku ingin
masalah ini cepat selesai. Setelah ini semua masalah akan beres.
"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
Melati menganggukkan kepala.
"Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan gelap ini Sembada,
Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan.
Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak.
"Akan kubuktikan kebenaran ucap anku, Kang," ucap Melati lagi penuh semangat.
Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya
diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian
kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan....
"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terb elalak hampir tak percaya melihat
sosok berpakai an kuning itu bukan Sembada. Yang terlihat ternyata wajah seo
rang pemuda berwajah buruk.
Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula.
Hidungnya besar, sedangkan kedu a matanya seperti selalu terbelalak.
"Ketidakyakinanku
terny ata beralasan. Bukan Sembada pelakunya," ujar Ary a,
tanpa menunjukkan
rasa gembira atas
kemenang annya bertaruh dengan Melati.
Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian
kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pern ah meleset.
"Kau mengenalny a, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
Melati hanya menggelengkan kep ala.
"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku yakin, ada penduduk yang mengenalny a.
Kalau tidak mempunyai hubung an di sana, untuk apa membuat onar desa itu?" ujar
Arya meyakinkan.
"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian, Kang," tukas Melati.
Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak.
"Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu, Melati. Beritahukan pada para penduduk
kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa
pembunuhan terhad ap Kepal a dan Calon Kepala Desa jarak, telah
berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatang an.
Dengan cara itu, masalah ini akan seles ai dan ket egangan antara dua kelompok
dapat teratasi."
"Sebuah usul yang bagus, Kang," puji Melati sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Kau memang pandai memuji, Melati," ujar Arya sambil
menggeleng-g elengkan kep ala. "Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!"
"Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laks anak an,"
ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap
sungguh-sungguh pada wajahnya.
Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat
cepat meninggalk an tempat itu. Hanya dalam beberapa k ali lesatan, tubuhnya
telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga berbentuk titik kecil
hitam yang akhirnya lenyap.
Dewa Arak hanya dapat menggeleng-g eleng kan kepala melihat
kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya.
Lalu kakinya melangk ah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas, Desa Jarak.
Karen a ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi tahu seluruh penduduk
Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahk an seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Kesempatan y ang diberikan Dewa Arak terny ata tidak sia-sia.
Beberap a puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak,
dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa.
Melihat hal ini, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Segera dikerahk an seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki pemuda
berambut putih keperak an itu seperti tak menginjak tanah, karen a kecep atan
gerakanny a. Hanya dalam beberap a kali lesatan, Dewa Arak sampai sekitar lima tombak dari
kerumunan penduduk Desa Jarak.
Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya
diedarkan. Hany a dalam sesaat saja, telah disaksikan keben aran cerita Melati.
Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok. Yang satu dalam jumlah besar,
sedangkan lainnya sedikit.
Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling
depan. "Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan nap as berat dalam hati. Sama sekali
tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Barjanala masih
bersitegang. Padahal, bukankah M elati telah memberitahukan kalau penyewa Utusan
dari Akherat telah berhasil ditangkap" Dari kenyataan ini saja dapat diketahui
kalau Desa Jarak belum mempunyai kepala desa!
Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok
bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati.
"Sekarang tiba giliranmu, Kang," ujar Melati, mempersilakan.
"Bagianku telah berhasil kuselesaikan.
Dewa Arak hanya menganggukk an kepala sebagai jawabanny a.
Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para
penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya.
"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucap anku...!" seru Dewa Arak dengan
mengerahkan tenag a dalam agar terd engar di telinga semua orang yang b erad a
di situ. "Aku mempunyai berita baik untuk kalian."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucap annya sebent ar untuk melihat
tanggapan dari para warga Des a Jarak.
"Kupinta kau tidak bertele-tele, Dewa Arak," selak Sembada. "Kami telah tahu
berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah kau telah berhasil
menangkap orang yang berada di balik semua
pembunuhan di Desa Jarak"! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi untuk
membuktikan ketidakbersalahanku!"
Sambil berkata demikian, Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi
berad a. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi sambutan.
Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju lurus ke wajah Dewa
Arak. "Baiklah, kalau memang itu yang kau mau, Sembada. Aku pun tak mau membiarkan
persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan kawanku tidak mengenalinya.
Barangk ali saja kalian kenal. Nih! Kalian perhatikan baik-b aik!"
Usai berkata d emikian, Dewa Arak segera menurunk an tubuh yang
terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan.
Wuttt! Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula semua mata
kecu ali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok berpak aian kuning itu.
Brukkk! Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian
kuning itu terbanting di tanah.
Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua penduduk
dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa gerak. Karena Dewa
Arak telah menotok sebelum membawa k e Desa
Jarak. Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan peras aan
kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun
memanearkan kerid akpercay aan yang mendalam.
"Hah..."!"
"Heh..."!"
"Astaga...!"
Jeritan-jeritan bernad a kaget dan tak percaya keluar dari mulut para penduduk
Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng -geleng
kepala keheran an.
8 Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada
seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu adalah...
Jagapaksi! Sepas ang bola mata putra tertua Ki Barjanal a itu seperti hendak
keluar ketika menat ap sosok berpakaian kuning yang tergolek di tanah.
"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergel eng-gel eng.
Pemuda berpakai an kuning itu ternyata Suraga, adiknya.
Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya
secara mendad ak pandang annya dialihkan kepad a Dewa Arak. Matanya yang tajam
menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa yang membu atmu menarik kesimpulan sempit seperti ini, Dewa Arak"!" tanya
Jagap aksi dengan suara keras.
"Kesimpulan sempit"!" ulang Arya dengan kening berkernyit.
Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini ternyata
Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya.
"Maksudmu..., penangkapan yang kulakuk an atas diri adikmu ini kau katakan
kesimpulan sempit"!"
"Benar! Kau hany a mengada-ad a, Dewa Arak! Aku yakin kau telah bersekongkol
dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hany a orang gila yang mempercayai
lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh
ayahnya sendiri ! Tipu muslihatmu tak masuk akal, Dewa Arak !" seru Jagapaksi
berapi-api. "Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena tak kuat menahan
amarah mend engar hinaan terh adap kek asihnya.
"Dengar baik-baik, Kambing

Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dungu! Adikmu yang kau agung-agungk an itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami pergoki
ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan dari Akherat!"
"Bohong! Kau bohong, Perempuan Liar! Kau akan mendapat
balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" seru Jagapaksi
dengan suara berg etar karena amarah yang meland a.
"Bohong"!" Melati tersenyum mengejek. "Ini bukti-buktinya, Kambing Dungu!
Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu" Dan ini uang yang seharusnya jatuh ke
tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan."
Sambil berkata demikian, Melati melemparkan gulungan surat dan
buntalan kecil berisi uang.
Plukkk! Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga.
Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemu dian mengambil kedua
benda itu, lalu memeriksanya.
"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percay a, setelah memeriksa
surat dan uang itu.
"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu dapat saja
terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!"
Terdengar sebu ah suara menyambut ucapan k etidakpercay aan
Jagapaksi. Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut
lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak.
Namun, sebelum dia sempat mengatak an sesuatu, Dewa Arak telah
mendahuluinya. "Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini perisriwa apa pun dapat
saja terjadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainy a, lebih baik kau korek
keterang an dari mulutnya! Tentu saja kalau kau ingin masalahnya menjadi jelas."
Jagapaksi tercenung s eperti teng ah memikirkan usul Dewa Arak.
Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga.
"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam
keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan.
"Ah, maaf!"
Seraya berk ata demikian, Dewa Arak meng hampiri tubuh Suraga.
Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu. Hanya sekali saja.
Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat.
"Uhhh...!"
Suraga mengeluarkan keluhan tert ahan. Perlahan-l ahan kelopak
matanya terbuka.
"Kang Jagap aksi...!" ucap Suraga seteng ah terpekik, karena peras aan kaget
yang melanda. Pemuda berpak aian kuning ini bergegas bangkit seraya mengedark an pandang an ke sekeliling tempat itu.
"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras. "Aku tidak sudi mempunyai
seorang adik yang menjadi pembunuh keji!"
"Kang!" seru Suraga, tak kalah keras. "Kau mempercayai tuduhan itu"! Itu fitnah,
Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian keji, membunuh ayah kandung
sendiri"!"
"Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangk a kau memiliki watak yang sekeji
ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun
bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api.
"Fitnah!" bantah Suraga keras. "Dari mana kau mend engar tuduhan gila seperti
itu, Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku sendiri"!"
"Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta"!"
Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat
dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda berpak aian
kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya.
"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sam a setelah membaca surat
itu. "Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku yakin ada yang telah
melakukan fitnahan terh adapku!"
Usai berkata demikian, Suraga melayangk an pandang an ke wajah
Sembada. "Kau...! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya
membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang s epertimu layak mati!
Hiyaaat...!"
Suraga meluruk ke tubuh Sembada. Tangan kananny a siap untuk
dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja Sembada tak
tinqqal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya
Namun, sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak tel ah lebih dulu
bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tanganny a dikibaskan.
Mendadak tu buh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan
pukulannya. "Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat kilat tangannya
digerakkan ke pinggang. Tapi....
"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas,
Jagapaksi"!" tanya Ary a dengan suara datar. "Asal kau tahu saja, aku terpaksa b
ertindak sep erti ini agar m asalah y ang tengah kita b ahas bisa selesai!"
Tangan Jagapaksi yang sudah menggengg am gagang golok pun
mengendur kemb ali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluk a, meskipun
roboh secara mendad ak karena lutut belak angnya dihantam pukulan jarak jauh
Dewa Arak. "Rasanya alasan yang dikemukak an adikku masuk akal, Dewa
Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan ad anya kebenaran
dalam ucapan Suraga. "Mana mungkin dia pelakunya" Sangat tak masuk akal adikku
menjadi dalang atas semua kek ejian yang terjadi di desa ini. Kau tahu, salah
seorang di antara korb an itu ayahku sendiri.
Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah dia
sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri"!"
"Benar! Meng apa aku harus memerintahkan orang untuk membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk t ahu kalau
kebenci anku tertuju pada Sembada! Kalau
memang benar aku pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh Sembada, dan
bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit.
Bukan hanya Jagapaksi yang terp engaruh. Semua penduduk yang
mendengarny a pun, dapat menerima kebenaran ucap an itu. Dewa Arak dan Melati
pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan
Dewa Arak namany a kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah gugup. Tidak!
Pemuda berambut putih keperak an itu tetap dapat
bersikap tenang.
"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya dengan ucap an
Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terk embang di bibir. "Aku tahu, mengapa
Suraga memerintahkan Utus an dari Akh erat untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya"
Ada beberapa hal yang
menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!"
Dewa Arak mengh entikan ucapanny a sejen ak untuk mengambil
napas. "Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan terhadap k elompok
Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan
Utusan dari Akherat membunuh Smebad a, sama saja deng an membuka kedok sendiri."
Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjel asannya.
"Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan mendapat keuntungan
ganda. Di samping tidak ada penghalang
penyerbu an atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh
Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka akan membunuh
Sembada. Hasilnya. Jalan untuk menjadi kepala desa akan terbent ang luas bagi
Suraga!" "Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbareng an.
Kakak b eradik putra Ki Barjan ala itu tampak geram bukan
kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk des a para p engikut mereka.
Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja
mereka memilih sikap berdiam diri.
"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang kuminta Suraga
menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di dalam hutan, dan meletakkan
gulungan surat serta buntalan uang itu.
Asal kau tahu saja, Jagap aksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya, menjelang
terjadinya pembunuhan terh adap Bima Seta. Bukan kah
demikian, Kang Saraka"!"
"Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki bertubuh kekar
ini berada pad a kelompok Jagapaksi.
"Dia bohong, Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak pernah tahu sama
sekali semua yang dikatak annya. Yang kutahu, saat aku sadar tahu-tahu berada di
sini!" bantah Suraga mencoba berhohong.
Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan
kemenang an. "Sayang sekali, Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan hasil sama sekali.
Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki watak
serend ah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan mendengarny a!"
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau
kedudukan mereka sek arang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga
seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan terjepit seperti itu masih
mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri.
Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cem erlang timbul di benak Dewa
Arak. "Kuakui kalau alas an bohongmu telah mem buat kami habis daya untuk
membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan perintah-p erintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada penduduk
yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan
membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa
Jarak yang merasa melihat kepeigian Suraga ke hutan, silakan
memberikan kesaksian. Apak ah kalian rela melihat Sembada yang tidak bersalah
menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus berlangsung! Dan
kalianl ah yang akan meras akan akibatnya"
Kegaduh an langsung melanda p enduduk Des a Jarak. Mas alahnya
sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan, dengan memakai
pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada, tapi juga para pengikut
Jagapaksi Kesaksian pert ama kali diberikan Sarak a. Lelaki bertubuh kekar itu mengacungk
an tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk lainnya mengacungkan tang
an. Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah
pucat pasi. "Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga"!" tanya Melati penuh bernad a ejekan.
Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas
ejekan Melati. Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah
putra tertua Ki Barjanal a ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang matanya
pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan pada Melati, melainkan
pada Suraga. "Manusia berhati binatang !" desis Jagapaksi, penuh geram. "Malah binatang lebih
baik daripada dirimu. Merek a tahu mengenal budi.
Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan
merawatnya! Tidak seperti kau, Iblis Berwajah Manusia!"
Semua orang yang b erada di situ, tak terkecu ali Dewa Arak dan
Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi.
Merek a sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu.
Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia
terdiam dengan raut wajah berubah-ub ah. Sebentar pu cat seb entar merah.
"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya, Iblis"! Dulu kau seorang gembel kecil
yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan menjadikanmu anak angkat! Kau
hidup enak! Tapi apa balasanmu
sekarang, Iblis"!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi.
'Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri, Suraga balas
mem aki. "Kau terlalu melebih-l ebihkannya! Selama aku dipungut menjadi anak,
tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!"
Suraga menghentikan ucap annya untuk mengambil napas. Perasaan
marah yang menggeleg ak, membuat napasnya tereng ah-eng ah.
"Dulu aku selalu bertanya-tany a, mengapa Ki Barjanala yang semula
kuanggap ayah, membeda-b edakan
kita. Dalam setiap perselisihan yang terjadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebenarnya aku
berada di pihak yang benar."
Suraga kembali mengh entikan ucap annya. Deru nap asnya semakin
memburu seperti orang y ang habis berlari jauh. Diaturnya napas ag ar bisa
melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di situ, sekarang mulai
mengetahui pokok permasalah an yang tengah
terjadi. "Salah besar, baru kuketahui kalau di riku hanyalah s eorang anak angkat. Dan
seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun berkobar. Harus kubalas
tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah aku pergi meninggalkan k alian
selam a beberap a bulan. Aku terjun di dunia orang-o rang golongan hitam. Sampai
akhirnya kud apatkan b eri ta adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari
Akherat " Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk
membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir.
"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan dari Akherat tengah berad a tak jauh dari Desa
Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya terjadi, persis seperti yang
kurencanak an. Sayang, di saat terakhir usahaku gagal. Dan...!"
"Mampuslah kau, Iblis!"
Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah
meluruk ke arahny a sambil menu-sukkan golok. Hal itu membuat
Suraga kaget bukan k epalang Sedap at mungkin dia berusaha mengel ak.
Tapi...

Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jreppp! Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut
Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra
angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya m embelalak lebar.
Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun
ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian perutnya yang tersobek
lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelep ar di tanah sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi. "Hhh...!"
Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu.
Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan pandanganny a ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terk ejut ketika
dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ.
Bukan hanya Jagapaksi yang meras a kaget. Semua penduduk pun
dilanda perasaan y ang sama. Mereka t ak tahu kap an Dewa Arak dan Melati pergi.
Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati
melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi menyarangk an goloknya di perut Suraga.
Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di
samping penyewa Utusan dari Akherat telah berh asil dilenyapkan, mereka pun
ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan.
Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari
Akherat. Untuk melaksanakan maksud itu hanya s atu hal yang sapat mereka
lakukan, memberikan sebu ah tugas kep ada pembunuh bay aran itu. Dan hal itu
tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak
menggunakan surat dan uang yang semula digunak an Suraga. Memang, dia telah
mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu.
*** Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya
bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa
terhalang s edikit pun. Di angkasa tidak terd apat awan sama s ekali.
Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang.
Di saat seperti itulah, Dewa Arak dan Melati telah siap dengan
tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon yang
tersembunyi kerimbunan daun-daun.
Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara
Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat
menceg ah hal-hal yang tidak diinginkan.
Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak
maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi itu merasa
sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekerjaan
yang paling menyebalkan.
Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang
kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Jangan-jang an Utusan dari Akherat tak datang, Kang. Barangkali saja dia tahu
kalau kita berniat menjebaknya"!" ucap Melati dengan menggunakan ilmu pengirim
suara dari jauh.
"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangk an hati gadis berpak aian
putih itu. "Aku yakin, Utusan dari Akherat itu akan datang. Mungkin..., ah!
Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan hitam di kejauhan. Dia menuju ke
tempat ini! Dia pasti Utusan dari Akherat !"
"Kalau begitu..., aku akan ke sana, Kang !" sambut Melati penuh gairah.
"Sabar sebentar, Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap di
tempatmu!" cegah Arya.
Tanpa banyak membantah M elati mematuhinya. Keny ataan d emi
kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa
Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera menurutinya. Sementara itu, Dewa Arak terus memusatkan perh atian pad a sosok hitam yang
tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik kerimbunan
dedaun an, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikanny a.
Dugaan Dewa Arak terny ata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata orang yang pern
ah bertarung denganny a meski hanya sebentar.
Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan dari Akherat
! Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akh erat menolehkan
kepalany a ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan.
Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak meng enal ampun itu, melesat
memasuki halaman rumah Jagapaksi
Saat itulah, Dewa Arak melompat turun dari pohon tempatnya
bersembunyi. Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak
sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu menolehkan
kep alanya. Tampaknya, pembunuh bay aran ini mendeng ar desir angin!
"Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari kerongkonganny a
begitu melihat sosok yang tengah melayang turun itu.
Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin malam.
Jliggg! Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di
hadapan Utusan dari Akh erat, Dewa Arak langsung b ersikap siag a.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki tingkat
kepandaian yang tidak bisa diremehkan.
"Beri aku jalan, Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi pekerjaanku kalau
ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan suara pelan.
"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk
menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus
dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Arya, tegas.
"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bern ada tajam. "Terpaksa aku harus
membunuhmu, Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi
tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!"
Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat segera melesat
menerjang Dewa Arak. Kedua tang annya yang terkembang membentuk
cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang dilakukan,
lelaki berpakaian serb a hitam ini seakan-akan ingin merobek dada lawan dan
mengambil isinya.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah
bertarung deng an lelaki berpakai an hitam itu meski hanya dalam satu, atau dua
jurus. Itulah sebabnya, Dewa Arak seg era menj ejakkan k aki. Tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala lawanny a. Dan ketika telah berad a di atas
Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini
mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala
lawannya. Apabila mengen ai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa
pembunuh bayaran itu ke nerak a.
Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu
merasak an desir angin di belakang, dia langsung tahu ad anya bah aya mengancam.
Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya
disampokkan ke belakang.
Prattt! Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak
dapat dielakkan. Akibatny a tubuh kedua bel ah pihak sama-sama
terhuyung ke arah yang berl awan an
"Hup!"
Pada saat kedua k aki Dewa Arak mend arat di tanah, Utusan dari
Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukanny a. Sesaat mereka saling pandang,
tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa
Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka sakit-sakit
akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam mereka berimbang.
Utusan dari Akherat ternyat a tak mau membuang-bu ang waktu.
Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan lawan,
dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan.
Wuk! Wuk! Wuk! Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan
memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu
cepat gerak an yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang terlihat
hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco Utusan dari Akherat berwarn a putih
mengkilat! Melihat hal ini, Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung.
Disadari kalau lawan telah menggunak an ilmu andalan. Kalau tak
diladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang akan lebih
dulu melayang. Maka buru-bu ru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke
mulutnya. Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak dalam perjal ananny a menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hang
at berputar di dalam perutny a, yang kemudian meray ap ke atas. Sesaat kemudian,
kedua kaki Dewa Arak pun seperti tak mampu menapak secara tetap lagi di tanah.
Oleng k e sana k emari. Hal itu sebagai pert anda kalau ilmu 'Belalang Sakti'
nya telah siap untuk dipergunakan.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan teriak an keras yang membuat suasana di
sekitar tempat itu tergetar hebat, Utusan dari Akherat meluruk
menerjang Dewa Arak. Ganco yang terg enggam di tangan, diayunkan untuk membabat
kepala. Wukkk! Desau angin yang k eras terdeng ar mengiringi tibanya serangan itu.
Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsy atan serangan itu. Dewa Arak pun
mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu
untuk memapaknya dengan ayunan guci.
Klanggg! Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci berbenturan
secara k eras hingga memek akkan telinga. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari
Akherat sama-sama terhuyung ke bel akang. Hanya saja Utusan dari Akherat terdo
rong lebih jauh.
Namun, dengan sebuah g erakan sed erhan a, kedua tokoh yang
sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling terjang
kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi.
Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung, dan berdecit
menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah terbongkar, disertai debu
mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa pertarung an telah berges er jauh dari
tempat semula. Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun,
menginjak jurus keseratus, Utusan dari Akherat mulai tampak terdes ak.
Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak
merupakan padu an kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan lawan.
Perlahan-l ahan
Utusan d ari Akh erat sem akin terjepit. Serangan -seranganny a tampak semakin berku rang. Dia lebih banyak mengelak dan
m enangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya semakin terdesak.
Melihat hal itu, Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan roboh di
tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda itu berada di atasnya.
Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka diputuskan kalau harus mati, maka
matilah bersama lawannya.
Setelah mantap dengan keputusan ini, Utusan dari Akherat
bertindak nekat. Cara bertarungny a pun dirubah. Sekarang dipusatkan perhatianny
a untuk melancark an serang an. Tidak dipedulikan lagi pertahan annya yang
terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya terus bergerak melancark an serang an.
Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari Akherat
langsung berub ah. Kedudukannya tak lagi terdes ak. Hal itu mungkin karena Dewa
Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya
pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan dari Akherat
yang sengaj a hendak mengadu nyawa.
Betapa tidak" Begitu Dewa Arak melancark an serang an, tak
dipedulikannya sama sek ali. Bahkan ikut melancarkan serang an pula.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau melad eni tindakan gila itu. Pemuda berambut
putih keperakan itu meng alah sambil mencari celah-celah yang dapat dimanfaatk
an. Pada jurus keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat
membabatkan gan conya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak.
Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke
depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya bersalto seray a
mengayunkan guci ke kepal a Utusan dari Akherat.
Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut
yang mengancamnya. Dengan semampunya lel aki berpak aian hitam itu mencoba
mengelak. Prakkk! Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat pecah. Darah
meny embur deras dari bagian y ang terh antam guci.
Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas.
Begitu mendaratkan kedu a kakinya di
tanah, Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada sedikit peras aan menyes al di hatinya melihat
lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh buat"!
Dewa Arak meng alihkan pand anganny a. Tampak Melati dan
Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi menyaksikan
jalanny a pertarungan. Jagap aksi keluar rum ah karena mendengar suara gaduh


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perk elahian. Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya
melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Pesanggrahan Keramat 1 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 26

Cari Blog Ini