Dewa Arak 69 Peti Bertuah Bagian 1
PETI BERTUAH oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode : Peti Bertuah
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hhh...!"
Satu helaan berat keluar dari mulut sesosok bertubuh sedang, di
sebuah ruangan luas dalam sebuah goa. Dengan langkah tertatih-t atih karena
memang telah termakan usia, sosok itu mondar-mandir di ruangan yang
cukup pengap ini. Wajahnya menunduk dengan tangan kiri mengelus-elus dagu.
Agaknya, dia tengah berpikir keras.
"Aku yakin ada sesuatu yang aneh.... Sesuatu mengerikan, yang
mungkin akan terjadi. Benar! Aku yakin...," desah sosok yang ternyata seorang
laki-laki tua berjubah putih.
Kini kakek itu berdiri diam dengan sikap tubuh agak miring.
Memang kaki kirinya sampai sebatas pangkal paha sudah tidak ada lagi, dan
diganti sebatang tongkat besi yang ditekankan ke tanah dengan tangan kiri.
Usia kakek ini tidak kurang dari tujuh puluh lima lahun. Meski tidak memiliki
kumis atau jenggot, tapi semua rambutnya yang p anjang terurai telah berwarna
putih laksana benang-b enang perak.
Kini kakek berk aki buntung ini kembali melangkah tertatih-tatih.
Langkahnya yang berg elombang seperti berjalan di dataran tidak rata, tertuju
pada mulut goa yang hanya satu-satunya terlihat di sini. Bagian lainnya
merupakan dinding gua dari batu cad as yang tidak memiliki lubang sama sekali.
Lorong yang dimasuki kakek berkaki tunggal itu ternyata cukup
panjang. Tapi, langkahnya tidak diteruskan sampai akhir lorong goa. Pada salah
satu dinding di lorong terdapat mulut goa yang lebih kecil, langkahnya berbelok.
Dan ternyata lorong ini menembus ke sebuah ruangan berbentuk segi empat yang
jauh lebih kecil dari ruangan sebelumnya. Tidak ada apa-apa di ruangan itu,
kecuali sebuah danau kecil berbentuk lingkaran, bergaris tengah seteng ah
tombak. Airnya yang jernih membuat dasar danau k ecil ini terlihat jelas. Di
dalamnya banyak terdapat bend a seb esar ibu jari kaki yang berkilauan. Mungkin
intan berlian. Tapi kakek berkaki tunggal itu tidak mempedulikannya. Dia hanya
berdiri dengan kepala tertunduk, menatap
permukaan air dan au kecil sesaat.
"Cermin Ajaib...! Cermin Sakti...! Beberapa hari ini hatiku tidak tenang. Aku
tidak bisa bersemadi seperti sebelumnya. Jantungku terasa berdeb ar-d ebar....
Tidurku pun gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang akan terjadi. Tolonglah
tunjukkan padaku, apa yang menjadi penyebab semua ini, wahai Cermin Sakti...!"
pinta kakek berjubah putih itu dengan suara pelan dan bergetar, penuh kekuatan
Sekejap setelah ucap an kakek berkaki tunggal ini lenyap, permukaan air di dalam danau kecil bergolak hebat, seakan-akan ada sesuatu yang
akan timbul ke permukaan. Air berbuncah-buncah, menimbulkan
gelembung-gelembung udara. Permukaan air seperti mendidih! Dan ketika semua
keaneh an itu lenyap, pada permukaan air tampak bayang an gambar sebuah pulau
berwarn a hitam kelam, penuh diliputi kabut. Tak lama
kemudian berganti sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat dengan
panjang sekitar dua jengkal dan lebar satu setengah jengkal.
Bayangan gambar ini pun tidak lama karena segera berg anti
bayangan may at-mayat berg eletak an berkubang darah ! Kemudian, permukaan air dalam danau kecil itu bergolak dahsyat kembali, sebelum akhirnya
tenang seperti sedia kala. Jernih dengan batu-batu berkilauan di dasarny a.
Kakek berk aki sebelah mengernyitkan dahinya seperti tengah
berpikir keras. Beberapa saat lamanya dia bertindak demikian.
"Cermin Sakti...! Cermin Ajaib.... Aku belum jelas dengan semua keterang anmu.
Tunjukkanlah padaku penjelasan yang dapat kumengerti...!"
Permintaan kakek berkaki tunggal langsung mendapatkan sambutan
seperti sebelumnya. Tapi, bayangan gambar-g ambar yang ditunjukkan danau kecil
yang disebut Cermin Ajaib itu tidak berubah. Tetap seperti yang pertama kali.
Kenyataan ini membuat kerut-merut di dahi kakek b erkaki tunggal
semakin bertambah. Kemudian kakek berkaki tunggal ini kembali melangkah tert atih-tatih meninggalkan tempat itu dengan sep asang mata yang
disipitkan, dan pandangan yang tertunduk ke bawah.
"Aneh sekali..,! Mengapa Cermin Ajaib tidak mampu memberi
keterang an yang jelas" Apakah yang tersembunyi di balik pulau dan peti itu,
sehingga Cermin Sakti tidak mampu mengungkapnya sama sekali! Gila! Ini benarbenar gila! Aku yakin, apa pun ini, merupakan an caman b esar bagi kelangsungan
dunia persilatan! Aku harus bertindak...!" desis kakek ini.
*** "Kau harus menjelask an maksud tindakanmu ini, Penjaga Alam
Gaib"! Kalau tidak, aku akan segera pergi dari sini! Kau tahu, aku telah keras
an hidup menyepi seperti ini. Bersatu dengan alam dan jauh dari kekerasan dunia
persilatan!" tegur seorang laki-laki tua bertubuh kerdil dan bulat.
Pendek dan gemuk kak ek ini lebih mirip bola daripada m anusia.
Apalagi, pakaiannya yang sempit. Sehingga semakin memperjelas bentuk tubuhnya.
"Apa yang dikatakan Guraksa tepat sekali, Penjaga Alam Gaib! Aku pun telah
merasakan nikmatnya hidup menyendiri di tempat sunyi seperti ini.
Ilmu-ilmu racunku telah lama kulupakan. Dan malah, aku berusaha
menciptakan ilmu-ilmu pengobatan. Itu sebabnya, aku meras a penasaran sekali
atas panggilanmu untuk berkumpul di tempat ini!" timpal laki-laki tua yang
bertubuh kurus kering seperti orang kel aparan, mendukung ucapan kakek pendek
gemuk yang dipanggil Guraksa.
Kakek b ertubuh kurus kering itu wajahnya b erbentuk tirus dan
meruncing laksana muka seeko r tikus. Jelek. Bisa dibayangkan kalau budi
pekertinya tidak baik. Apalagi ditambah sepasang mata sipit yang selalu
berputaran liar, pertanda memiliki sifat licik.
Dan sekarang, sepasang mata kakek kurus kering yang panjang ke
samping, dan sepasang mata kakek pendek gemuk yang bulat besar
sama-sama tertuju lurus pada sosok yang duduk di depan, mengandung rasa
penasaran. Sosok yang dipanggil Penjaga Alam Gaib menatap wajah-wajah
penasaran di depannya berganti-g anti. Kakinya yang sebelah, ditekuk seperti
duduk bersila. "Kalian ini kan sahabat-sah abatku terbaik. Mengapa berlaku
sungkan-sungkan dengan memanggilku seperti orang-orang bodoh dari
dunia persilatan"! Penjaga Alam Gaib. Sungguh sebuah julukan luar biasa!
Padahal, apa sih yang kuket ahui tentang alam g aib"!" rungut kakek b erkaki
tunggal dan berpakai an jubah putih longgar disertai senyum pahit. "Hm....
Kalian sepertinya tidak sab ar untuk mendengarkan penjel asan yang
bertele-tele. Maka, terp aksa aku langsung p ada pokok perm asalah an.
Begini...."
Sebentar Penjaga Alam Gaib terdiam, dengan mata menerawang
jauh. Sepertinya, dia tengah mengumpulkan kata-kata y ang tepat, untuk kemudian
dituturkannya kembali.
"Beberap a hari ini, secara berturut -rurut aku mend apatkan mimpi mengerikan.
Dalam tidurku, kulihat dunia persilatan dibanjiri darah! Semula, aku tidak ambil
pusing. Karena begitu bangun, aku telah lupa dengan
mimpiku. Tapi perasaan tidak nyam an dan rasa g elisah yang an eh,
membuatku berpikir. Sehingga aku teringat kembali pada mimpi yang
kualami. Maka segera kutany akan mas alah ini pada Cermin Ajaibku. Dan ternyata,
jawaban yang kudap at amat aneh, Cermin Ajaib-ku tidak mampu mencari jawab
annya. Bahkan seperti mendapat halangan. Jawaban yang
kudapat lama sekali, jauh lebih lama dari biasanya. Seakan -ak an pertany aan
itu amat sukar, sampai-sampai tak terjawab. Aku merasa aneh. Makanya kuputuskan
untuk mencari jawaban bagi masalah aneh ini."
"Kau tidak tengah bergurau, Penjaga Alam Gaib"!" celetuk kakek kurus kering,
setengah tidak percaya, "Cermin Ajaib-mu tidak dapat menemukan jawabnya" Pasti
ini sebuah persoalan luar biasa. Maksudku...
tokoh yang berdiri di balik pulau dan peti ini memiliki ilmu-ilmu gaib luar
biasa!" "Ha ha ha...!" kakek yang bertubuh mirip gentong air tertawa, terkekeh.
"Andaikat a demikian pun, mengapa" Toh, tidak akan merubah arti apa pun.
Maksudku..., kau tidak berubah pikiran dan meninggalkan tempat ini kan, Penjaga
Alam Gaib"!"
"Justru sebaliknya, Guraksa," jawab Penjaga Alam Gaib, setelah tercenung beberap
a saat. "Aku malah berkeinginan untuk meninggalkan tempat ini, dan mencoba
menyelidiki rahasia aneh ini. Aku merasa tertantang untuk memecahkannya."
Guraksa menat ap kakek kurus kering. Dan yang ditatap juga tengah
memandangnya. Ada sorot ketidakpercay aan meman car dari masing-masing pemilik
mata. "Kalau tidak mendengar sendiri, mungkin aku tidak akan percay a, Penjaga Alam
Gaib," ujar kakek kurus kering, mendesah. "Kaulah yang dulu mengajak kami berdua
untuk menyasingkan diri dari dunia persilatan ke lereng gunung ini. Sekarang
setelah kami finggal di sini selama belasan tahun dan kami mulai kerasan, malah
kau juga yang hend ak meninggalkan tempat ini untuk mencampuri kerasnya dunia
persi latan. Kau membuatku kecewa, Penjaga Alam Gaib!"
"Apa yang dikatakan Kuru Sanca tidak berlebihan, Penjaga Alam
Gaib. Terus terang saja, aku merasa kecewa mendengar keputusanmu. Kau tahu,
keputusan ini dapat menyebabkan semuanya berubah. Maksudku, aku dan Kuru Sanca
akan terdorong untuk bertindak serupa. Kau tahu, dunia kami sebelumnya penuh
kekerasan. Dan keberhasilan kami menahan diri
untuk tidak terjun kembali ke dunia seperti itu, adalah karena keb eradaanmu di
sini. Kau tahu, tidak gampang melawan peng aruh kuat untuk terjun ke dunia
persilatan kembali. Dan apabila kau meninggalkan tempat ini, maka kami tidak
memiliki patokan lagi," urai Guraksa panjang lebar.
"Hhh...!" Penjaga Alam
Gaib menghela napas
berat "Bisa kumaklumi keberatan kalian. Dan asal kalian tahu saja, aku pun merasa demikian.
Tapi entah mengapa..., aku yakin kalau berdiam diri saja, dunia persilatan akan
dibanjiri darah. Kalian kan tahu, aku memiliki banyak ilmu gaib yang tidak masuk
akal. Dengan Cermin Ajaib-ku, aku bisa tahu sesuatu yang ingin kuketahui. Itu
biasanya. Tapi kenyataannya, kali ini cermin itu tidak berdaya. Inilah yang
membuatku jadi penasaran. Aku jadi ingin tahu, benark ah sesuatu yang kuhadapi
akan sedahsyat ini! Aku yakin petunjuk yang kudapat satu dengan yang lain
berhubungan. Maka kuputuskan untuk menyelidikinya tanpa harus ikut campur dalam
k erasny a dunia persilatan.
Aku hanya ingin mengetahuinya saja. Setelah itu, aku bisa mewakilkannya pada
orang lain yang lebih berk epentingan. Batas campur tang anku hanya sampai pada
menyingkap masalah yang tersembunyi. Lain tidak! Urusan
selanjutnya, kuserahkan pad a tokoh yang memang bertugas untuk menegakk an kebenaran."
"Bisa kau katakan padaku tokoh itu, Penjaga Alam Gaib"!"
"Tentu saja, Guraksa!" jawab Penjaga Alam Gaib, cepat. "Tokoh itu masih sangat
muda. Tapi, telah membuat dunia persilatan gempar karena tindakannya.
Julukannya, Dewa Arak !"
"Dewa Arak"!"
Hampir berbareng seruan itu keluar dari mulut Guraksa dan laki-laki
kurus bernama Kuru Sanca. Bahkan di saat yang hampir bersamaan, kedua kakek ini
saling berpandangan. Dan dalam pertemuan pandang yang hanya sebentar itu, mereka
seperti telah mengambil kesepak atan.
"Aku tidak pernah mendengar julukan seperti itu, Penjaga Alam
Gaib," kata Guraksa yang lebih gemar berbicara daripad a Kuru Sanca.
"Itu sudah pasti, Guraksa. Tokoh muda itu belum lama menggempark an dunia persilatan. Sedangkan kalian telah belasan tahun
mengundurkan diri. Menyepi di sini menjauhi dunia ramai. Bagaimana
mungkin bisa mendengar julukannya"! Aku sendiri, kalau tidak karena
keisenganku menany akannya pad a Cermin Ajaib, tidak akan tahu. Jelas"!"
Guraksa dan Kuru Sanca diam. Keduanya tidak membantah sama
sekali. Sekarang, kedua kakek itu telah bisa mengerti akan tugas yang diemban
Penjaga Alam Gaib.
*** "Dasar nasib sial! Enak-enak an menyepi di tempat tenang, eh
mendapat tugas keluar k embali ke dunia persilatan. Penjaga Alam Gaib memang
selalu membuat jalan hidupku terombang-ambing. Mudah-mudahan
saja tidak terjadi hal-hal yang membuat penyakit lamaku kumat!"
Gerutuan -gerutu an itu keluar dari mulut sesosok tubuh pendek
gemuk, dan gendut. Kaki dan tangannya juga pendek-pendek dan bulat-bulat.
Sehingga ketika berjalan, sosok yang lebih mirip gentong air ketimbang manusia
ini bagaikan menggelinding! Siapa lagi kalau bukan Guraksa!
Meskipun bentuk tubuhnya aneh dan kelihatan menggelikan, namun
Guraksa memiliki ilmu aneh. Walau kedua kakinya pendek-p endek, tapi ketika
berlari tak kalah dibanding orang-orang yang memiliki kaki
sewajarnya. Bahkan boleh dibilang lebih cepat. Sampai-sampai bentuk
tubuhnya lenyap ketika berlari. Dan yang terlihat, hanya sekelebatan bayangan
dalam ben tuk tidak jelas.
Guraksa baru memperl ambat larinya dan menggantinya dengan
berjalan bias a, ketika telah berada di sebu ah jalan tan ah yang k anan kirinya
diapit hamparan rerumputan menjulang tinggi. Sejauh mata meman-dang
yang terlihat hanya rumput di sana-sini.
Sosok pendek gemuk itu, menekankan caping bambu yang menutup
kepalany a. Tindakan yang dilakukan seperti hendak menyembunyikan
wajah. Baru beberapa tombak Guraksa berj alan biasa, mendadak terdeng ar
bunyi gemerisik nyaring. Dan di depannya, berjarak tiga tombak, tahu-tahu telah
berjaj ar beb erapa sosok tubuh bers enjata di tang an. Sikap mereka
mengisyaratkan siap untuk tarung.
"Hm...!"
Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Guraksa menggumam pelan, melihat hambatan di perjalanannya.
Dengan gerak tidak kent ara, ekor m atanya memp erhatikan b elakangny a.
Ternyata dalam jarak yang s ama di belak angnya, telah berjajar sosok-sosok
tubuh yang bersenjata di tangan. Jelas, sosok pendek gemuk ini merasa kalau
dirinya telah terkurung. Tidak ada lagi jalan keluar, kecuali menerobos
kerimbunan rerumputan yang tinggi dan luas itu.
Walaupun keadaannya tel ah terkurung, sosok mirip gentong air itu
tidak kelihatan gugup. Guraksa b erdiri diam di tempatnya, tidak melangkah maju
atau mundur. Kepalany a malah
semakin diben amkan dalam kungkungan caping bambunya yang terus ditekan kan.
"He he he...!"
Sambil mengumbar tawa terkekeh, tiga lelaki kekar berkulit hitam
legam di depan Guraksa melangkah maju.
"Tidak ada gunanya meny embunyikan waj ah di balik caping itu,
Guraksa! Meski tubuhmu kau bungkus dengan gundukan kotoran manusia
pun, kami akan tahu! Tubuhmu yang bulat seperti babi buntinglah yang membuat
kami gampang menebak, siapa dirimu. He he he...!"
Salah satu lelaki kekar berkulit hitam bertahi lalat besar yang
ditumbuhi berambut di pipi berkata sombong sambil menudingkan pisau di tangannya
pada sosok pendek gemuk di hadapannya.
"Ha ha ha...!"
Guraksa tertawa bergelak. Caping bambu yang menutup wajah
ditengadahkan, sehingga sekarang wajahny a yang bulat, terlihat jelas.
"Rupanya matamu masih tajam, Tompel! Bahkan sepertinya lebih
tajam lagi. Apakah tuanmu yang sekarang memberi lebih banyak tulang"!
Kudengar gonggonganmu lebih berisi daripada dulu!" ejek Guraksa.
"Keparat!" geram lelaki hitam bertompel, penuh kemarahan.
Hatinya kontan terb akar mend engar ejek an Guraks a. "Rupanya kau sudah
kepingin mati, Babi Gemuk!"
Belum lenyap gema ucapan itu, serangan -serangan l elaki hitam
bertompel ini telah lebih dulu menyambar. Sepasang tangannya bergerak cepat
mengibas. Maka seketika beb erap a batang pisau tajam mengkilat yang berad a di
balik pakaianny a meluncu r ke arah Gu raks a, diiringi bunyi berdesing nyaring.
Guraksa meski bertubuh gemuk dan gendut, ternyata memiliki
gerak an gesit. Sebelum sambaran pisau-pisau itu mendekat, tangan kanannya
bergerak meraih camping di kepalanya. Langsung dilemparkannya caping itu
untuk memapak pisau-pisau yang meluncur ke arahnya. Deng an didahului bunyi
mengaung nyaring laksana puluhan ekor lebah mengamuk, caping
bambu itu meluncur ke arah tujuan.
Bahkan sebelum masing-masing benda y ang dilepaskan berbenturan di tengah jalan, dua orang y ang bertikai ini melesat dari
tempatnya. Begitu tubuhnya bergerak, lelaki hitam bertompel itu mengeluark an perintah pada rekan-rek annya untuk menyerbu. Dan ketika beberapa
orang kek ar menyerbu, Guraksa pun meluruk dari tempatnya.
Guraksa memang memiliki watak aneh. Dia terlalu gemar tertawa.
Sehingga selalu saja mampu tertawa di saat tengah dilanda kemurk aan yang amat
sangat. Seperti kali ini. Sebenarnya begitu mendeng ar makian lelaki bertompel,
hatinya marah bukan kep alang. Tapi ternyata dia tetap mampu tertawa. Dan b
ahkan b alas mengej ek, sehingga membuat lelaki bertompel hilang sabar dan
marah. Sebenarny a, Guraksa pantas untuk amarah. Betapa tidak" Lelaki
bertompel bersam a rek an-rekan yang dibawa itu seben arnya adalah
murid-murid Guraksa, meski bukan dalam arti penuh. Merek a menjadi anak buah
kakek p endek g emuk ini setelah mendirikan s ebuah perkumpulan.
Sebagai anak buah, mereka semuany a dididik Guraksa, meski tidak secara sungguhsungguh. Puluhan tahun lalu, Guraksa merupak an tokoh hitam. Bahkan
termasuk datuk yang sangat ditakuti karena kesaktian dan kekejamannya.
Namun sebuah peristiwa membuatnya bertobat dan meninggalkan perkumpulan. Kini sama sekali Guraksa tidak pernah mimpi, betapa anak buahnya
sendiri berani menghadang perjalanannya. Dan bahkan mengeluarkan
makian kotor! Karu an saja dia menjadi naik darah. Kemarahan ini membuat Guraksa
memutuskan untuk memberi haj aran keras pad a bekas anak-anak buahnya!
Pyarrr! Sebelum kedua belah pihak saling terjun dalam pertarungan, caping
dan pisau-pisau yang meluncur telah lebih dulu berbenruran. Namun,
rupanya Gurak sa telah memperhitungkannya. Sehingga capingnya tidak
berbenturan secara penuh. Dengan tingkat kepandaiannya yang sudah amat tinggi
dan tenaga dalam tinggi. Capingnya telah diatur agar membentur pisau dengan
serempet an keras, tapi tepat. Sehingga senjata-senjata itu jadi berbalik ke
arah p emiliknya dengan kecep atan berlipat ganda! Sed angkan camping itu
sendiri meluncur balik ke arah Guraksa. Luncurannya pun sudah diperhitungkan,
sehingga bisa ditangkap Guraksa. Dan seketika itu pula, capingnya dilemparkan
nya kembali ke arah para pengepung. Sementara pisau-pisau yang meluncur balik,
juga mengancam mereka.
Trang, trang, trang!
"Uh...!"
Seruan-seruan itu keluar dari penyerang Guraksa yang berada di
depan, begitu berhasil menghalau pisau-pisau itu dengan pisau yang
tergenggam di tangan. Tapi kesudahannya tangan mereka bergetar hebat.
Sementara serang an caping y ang berput ar an eh mem buat mereka kag et.
Maka terpaks a merek a berlompatan mundur.
Kesempatan itu dipergun akan Gu raksa s ebaik-b aiknya. Tanpa
menemui kesulitan sama sekali, caping bambunya yang berbalik ditangkap.
Kemudian dengan gerak an cepat tubuhnya berbalik, berhadap an dengan para
penyerangnya yang meluncur dari belakang. Secepat kilat laksana bola, tubuh
Guraksa menggelinding ke arah lawan -lawannya. Akibatnya pun
hebat, seketika terdengar teriak an-teri akan kesakitan di sana-sini, disusul
berpental annya tubuh-tubuh para peng eroyok. Mereka semu anya roboh pingsan,
tergolek di tanah dengan senjata berp entalan entah ke mana.
Hanya dalam segeb rak an saja, para pengeroyok yang berjumlah tak
kurang dari delapan orang itu sudah tidak ada yang berdiri tegak. Guraksa yang
berp engalaman, tidak terp aku di situ. Langsung tubuhnya berbalik menghadapi
serang an berikut yang berasal dari lelaki hitam bertompel, bersama an ak
buahnya. Sepasang alis Guraksa berkerut dal am ketika melihat kenyataan
aneh. Lelaki bertompel dan anak buahnya ternyata tidak melakukan tindakan apaapa. Mereka semuany a berdiam diri, tidak melakukan serang an.
Sebaliknya mereka berdi ri sambil tersenyum gembira. Terutama sekali, lelaki
hitam bertompel.
2 Guraksa bukan tokoh kemarin sore. Sebagai bekas datum kaum
sesat, kakek pendek gemuk ini langsung dapat merasakan ada hal-hal yang
mencurigak an di sini. Kalau tidak ada apa-apa, mustahil lawan-lawannya berhenti
menyerang. Apal agi tersenyum-s enyum gembira b ernad a penuh kemenang an.
Namun sebelum Guraksa berhasil menemukan jawabanny a, kedua
tangannya telah terasa ngilu dan sakit. Itulah jawabanny a, dan dia merasa kaget
bukan kepalang. Sekilas dia memperhatikan kedua tangannya. Dan seketika, matanya
langsung terbelal ak kaget. Kedu a tanganny a sampai sebatas siku kini telah
berwarn a kelabu! Yang lebih hebat lagi, pada telapak tangannya telah berub ah
hitam pekat laksana arang !
Dalam waktu singkat, Guraksa telah tahu kalau dirinya keracunan.
Suatu racun yang amat gan as! Dan itu bisa diketahuiny a dari day a kerjanya
yang demikian cepat.
Namun kakek pendek gemuk ini tidak kalang kabut melihat
kenyataan ini. Memang bagi tokoh seperti Guraksa, kematian bukan sesuatu yang
menakutkan. Namun tentu saja Guraksa tidak ingin mati konyol seperti ini. Mau
ditaruh mana mukanya apabila dunia persilatan tahu kalau dirinya tewas di tangan
bekas anak buahnya"!
Perasaan tenang itulah yang membuat Guraksa dapat berpikir jernih.
Segera kedu a tangannya digerakk an untuk mendesak pengaruh racun,
mempergunak an tenaga dal amnya. Guraksa yakin, hawa b eracun itu dapat diusir
dengan tenaga dalamnya.
Sayang, keyakinan Guraksa langsung membuyar. Ternyata, kedua
tangannya tidak mampu digerakkan sama sekali! Lumpuh! Dan yang lebih gila lagi,
hawa murninya tidak bisa di arahkan ke kedua tanganny a.
"He he he...!"
Tawa yang bergelak bernada penuh kemenangan, membuat Guraksa
menoleh. Sinar matanya nampak berkilat. Kendati demikian, secara luar biasa
Guraksa masih mampu tertawa bergelak ! Padahal, sorot sepasang matanya terlihat
jelas menyiratkan hawa maut pada lelaki hitam bertompel, yang mengeluark an tawa
mengejek itu. "Bagaimana, Babi Gemuk"! Sekarang kau baru tahu kehebatan
anggota Gerombolan Setan Hitam, heh..."! Nyawamu hanya tinggal
menunggu perginya saja, Babi Gemuk! He he he...!"
"Ha ha ha...!"
Guraksa ikut tertawa bergelak. Bahkan jauh lebih keras. Sepasang
matanya pun menyambar lebih tajam, menyapu sekujur tubuh lelaki
bertompel. Andaikata, sinar matanya diangg ap seb agai sebuah serang an, maka
lelaki bertompel itu sudah menghadapi serangan mematikan!
"Kau kira mudah membunuhku, Tompel Pengkhianat! Aku
memang tidak akan lolos dari maut. Tapi, kau pun tidak akan selamat!" desis
laki-laki pendek gemuk ini.
Menyadari akan keadaannya yang
sudah mengkh awatirk an,
Guraksa bertindak tidak kepalang tanggung lagi. Segera dia berlari
mendekati lawan untuk persiap an melakukan tend angan kedu a kakinya. Hanya itu
yang dapat dilakukan Guraksa, karen a kedu a tangan telah tidak berguna.
Namun lelaki bertompel benar-b enar mengagumkan. Rupanya dia
telah membuat persiapan matang untuk merobohkan Guraksa. Baru saja,
beberapa langk ah Guraksa bertindak terd engar bunyi berkeros akan ny aring.
Kemudian disusul amblasnya tanah y ang diinjak Guraksa. Dan seketika tubuh kakek
pendek gemuk ini langsung meluncur ke dalam lubang di
bawahny a. Tanah yang dipijak Guraksa ternyata hanya selapis saja. Di bawahny a
telah menganga sebuah lubang cukup dalam, dasarnya dipasangi besi-besi runcing,
siap menyate yang terjatuh ke dalamnya.
Tetapi kali ini yang terjatuh ke dalam lubang maut ini adalah
Guraksa bek as datuk kaum sesat. Maka meski agak gugup, dia langsung bisa
bertindak tepat untuk menyelamatkan diri. Dengan mempergurtakan ilmu meringankan
tubuhnya y ang menakjubk an, kakinya menjejak
p ada ujung-ujung besi runcing dengan ringan tanpa terluka sedikit pun.
Gerak an luar bi asa Guiaks a tidak hanya s ampai di situ. Hanya
sedikit menekuk lututnya kakek ini kembali melayang ke atas lubang.
Guraksa memperhitungkan kalau lawan -lawannya tidak akan
tinggal diam, dan akan menunggunya di atas sana. Dia yakin, saat ini lawanlawanny a yang hanya tinggal tujuh orang itu tengah bersiap
mengirimkan serangan pisau-pisau terb ang.
Walaupun keadaannya mengkhawatirkan k aren a kedua tang annya
tak berguna, tapi Guraks a masih tidak kehilangan ak al. Dia akan
menggunakan mulutnya yang disertai pengerahan tenag a dalam tinggi untuk meniup
serangan -serangan pisau terb ang. Dengan demikian semua serangan akan dapat
dipudark an. Tapi kenyataannya....
Wirrr, wirrr, wrttt!
"Akh...!"
Guraksa memekik kag et, dan persiapannya buyar. Serangan -serangan pisau terbang yang diharapkan terny ata tidak muncul.
Dan yang membuatnya terkejut adalah serangan -serangan berup a tali-tali hitam
alot yang meluncur dari kerimbunan rerumputan di kanan kirinya.
Kejadian yang demikian cepat, di saat tubuh Guraksa tengah berada di udara,
membuat serangan-s erang an tali itu berhasil membelit pergelangan kaki Guraksa.
Dan begitu berhasil melilit, tali-tali hitam itu langsung menegang
kuat, mengikat kaki Guraksa. Tubuh Guraksa pun kini terentang ke kanan dan ke
kiri. "Hih!"
Sekali Guraksa mengerahk an tenaga dan merapatkan kedua kaki
secara mendad ak, tubuh-tubuh para p emilik tali cepat tertarik ke arahny a.
Kedua kaki Guraksa langsung dipentangkan ke kanan dan ke kiri. Maka
seketika jeritan menyayat pun terdengar berturut-tu rut, ketika kaki Guraksa
mendarat di dada para pemilik tali yang sial itu. Mereka kontan ambruk di tanah,
dan tewas seketika.
Tapi tindakan ini harus ditebus mahal oleh Guraksa. Seketika
tubuhnya melayang kembali ke bawah, karena tidak ada landasan berpijak.
Dan kali ini, kakek pendek gemuk ini pasrah. Dia tidak berusaha melaku kan
tindakan apa pun, karena kedu a kakinya pun langsung lumpuh seperti kedua
tangannya. Ternyata, tali-tali hitam yang melilit kakinya telah ditaburi racun
yang sama. "Ha ha ha...!"
Tawa tergelak lelaki hitam bertompel mengiringi melayangnya
tubuh Guraksa y ang telah tidak berday a ke dal am lubang. Merek a semua yakin,
kalau kali ini kakek pendek gemuk yang sakti itu akan tewas di dasar lubang.
Tapi meskipun nyawa telah berada di ujung tanduk, kalau Allah
belum berken an, ada saja jal an untuk selamat. Dan hal ini dialami Guraks a.
Di saat tubuhnya hampir masuk ke dalam lubang, tiba-tiba sesosok bayangan
meleset cep at. Langsung disambarnya tubuh sep erti gentong itu dan
dibawanya meles at meninggalkan lubang maut.
*** Begitu menjejak tanah, sosok penolong Guraksa langsung
melepaskan leher baju kakek pendek gemuk yang tadi dicekalnya. Dan tubuh Guraksa
pun kini tergolek di tanah.
Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat..!"
Lelaki hitam bertompel memaki penuh geram ketika melihat
Guraksa yang diyakininya tewas, berhasil lolos dari maut. Sepasang matanya
hampir keluar ketika menatap penolong Guraksa.
"Anjing kurap dari man a berani ikut campur urusan Gerombolan
Setan Hitam"! Atau kau telah mempunyai nyawa rangkap"!" dengus laki-laki itu.
Sang Penolong Guraksa, ternyata seorang pemuda berpakai an ungu.
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, berkibar diriup angin.
Wajahnya yang tampan dan jantan, tersenyum mendengar makian laki-laki bertompel
itu. "Aku tidak perlu nyawa rangkap, kalau hanya untuk menantang
Gerombolan Setan Hitam. Dan justru, aku telah lama mencari-cari kalian untuk
kumusnahkan, kareka terlalu banyak mengotori dunia dengan
perbuatan -perbuatan keji!"
Jawaban p emuda berp akaian ungu ini membuat kemarahan lelaki
bertompel semakin berkobar. Tangan kananny a langsung digerakkan
memberi isyarat pad a rek an-rekannya untuk menyerbu pemuda itu. Lelaki
bertompel ini tahu, pemuda ini tidak bisa dipandang remeh. Itulah sebabnya,
langsung diputuskan untuk menyerbu secara serent ak.
"Anak Muda.... Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak..."! Pesanku, jangan sampai
tangan at au kakimu bersentuh an dengan anggot a tubuh mereka, karen a telah
dibaluri racun m ematikan. Aku sendiri terjeb ak!
Hati-haulah, Dewa Arak...!"
Hanya sampai di sini pesan Guraksa. Sebentar pemud a berambut
putih keperakan y ang tak lain dari Dewa Arak menoleh d engan kening berkernyit.
Namun cepat dimengerti pesan itu. Maka seb elum serang an-serangan tujuh orang lawanny a menyambar lebih dekat lagi, Dewa Arak
atau Ary a Buana telah lebih dulu mengeluarkan lengking an nyaring.
Sebentar saja, tapi cukup membuat tubuh tujuh orang itu seketika lemas ambruk ke
tanah. Memang mendadak saja kedua kaki mereka teras a lemas!
Sayangnya pengaruh teriak an Dewa Arak tidak berlangsung lama,
karen a tujuh orang itu termasuk tokoh bertenaga dalam tinggi. Mereka serentak
bangkit. Dan setengah melempar pandangan, mereka melesat
meninggalkan tempat itu. Rupanya cukup disadari kalau pemuda berbaju ungu ini
merupakan suatu ancam an.
Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran sama sekali.
Ditatapnya tujuh lawannya yang telah melarik an diri sejenak, sebelum
mengalihkan perh atian pada Gu raksa. Kemudian dia berjongkok memeriksa keadaan
kakek bertubuh mirip gentong ini.
"Sayang sekali, Kakek Yang Baik. Aku tidak bisa menolongmu,"
ucap pemuda b erambut putih keperak an itu. Pemuda berwaj ah tampan ini pun
bangkit berdiri. "Racunnya telah hampir mencapai jantung. Dan lagi, jenis racun
ini tidak bisa disembuhkan oleh arak dalam guciku. Kalau saja tidak, mungkin aku
akan dapat menyelamatkan nyawamu."
"Tidak usah kau pedulikan itu, Dewa Arak. O ya. Kau orang yang
berjuluk Dewa Arak, bukan"! Ciri-cirimu mirip dengan berita yang
kudapatkan dari salah seorang kawan terb aikku."
Guraksa mengh entikan ucapannya s ejenak ditatapnya pemuda
berpak aian ungu dengan sinar mata menyiratkan pertany aan besar. Sedang pemuda
tam pan berwaj ah jantan itu pun menganggukk an kep ala pertanda membenark an
"Aku sudah merasa b ahagia sek ali meninggalkan dunia ini, apabila telah
berhasil menyelesaikan aman at yang ditujukan padaku," lanjut Guraksa.
Sampai di sini Guraksa terpaksa menghentikan
ucapanny a. Napasnya tereng ah-eng ah hebat, bagai orang tengah berlari jauh. Padahal, racun
itu belum lama merasuk ke dalam tubuhnya.
"Seorang kawan baikku..., ahli dalam ilmu gaib..., bermimpi dan mendapat firas
at kalau dunia persilatan akan dibanjiri darah.... Makanya, dia menyuruhku untuk
menemuimu. Dia tahu kalau kau akan melalui tempat ini, Dewa Arak. Tapi, sayang.
Orang-orang licik itu lebih dulu tiba. Hhh...! Entah setan mana yang membawa
mereka ke tempat ini. Ha ha ha...!" jelas Guraksa, malah ditambah dengan
tawanya. "Lebih baik segera kau katakan, apa yang ingin kau sampaikan,
Kek," selak Arya.
Dewa Arak tidak sabar melihat Guraks a masih sempat tertawa,
padahal kead aanny a sudah amat payah.
"Ha ha ha...! Tidak usah khawatir, Dewa Arak. Aku yakin akan
mampu menyampaikan am anat ini padamu, sebelum nyawaku melay ang ke
alam baka. Penjaga Alam Gaib ternyata tidak berlebihan. Kau memang masih sangat
muda, Dewa Arak. Ha ha ha...! Dalam usia semuda ini kau telah memiliki nama
besar dan kepandaian tinggi! Menakjubkan!"
Kakek pend ek gemuk ini menghentikan ucap an nya dengan napas
tersengal-s engal. Tertawa di saat nyawa di ujung tanduk itu, sebenarnya memang
membutuhkan tenaga besar. Dan Guraksa tahu. Tapi sikapnya
benar-benar tidak peduli.
"Dewa Arak.... Kau harus menyusul kawanku ke Pulau Setan. Aku
yakin, dia akan mendapat masalah di sana. Sesuatu yang mengerikan tengah
menunggunya. Selamat bertugas, Dewa Arak. Ha ha ha...!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Sebentar kepalany a tertunduk untuk
memberi penghormatan terakhi r pada Guraksa. Kakek pend ek gemuk itu meninggal
dengan mulut tersenyum lebar. Tewas di saat tertawa.
*** Dengan kecepatan tinggi, Arya berlari meninggalkan tempat
Guraksa tewas. Seiring kakinya terayun, otaknya pun bekerja keras
memikirkan semua pesan kak ek pendek g emuk yang tidak sempat diketahui jati
dirinya. Siapa sahabat yang dimaksud Guraksa" Penjaga Alam Gaibkah"
Rasanya tidak mungkin! Pemuda berambut putih keperakan itu membantah dalam hati.
Karena, julukan Penjaga Alam Gaib lebih mendekati dongeng, daripada k enyataan
sesungguhnya. Apalagi sejak ratus an tahun lalu, julukan itu telah ada dan
menggetarkan dunia persilatan. Berarti kalau yang
dimaksud adalah tokoh itu saat ini usianya telah ratusan tahun! Sebuah hal yang
mustahil untuk bisa dipercaya!
Karen a tidak berh asil menemukan jawabanny a, Dewa Arak
memutuskan untuk mencari jawaban b agi pertany aan k edua. Tentang Pulau Setan.
Namun pulau itu pun merupakan teka-teki bagi dunia persilatan.
Karen a hany a pern ah terdeng ar, tapi tak seorang pun yang berh asil
menemukannya. Benarkah ucapan Gu raksa" Atau hany a sekad ar ucapan
orang yang ingin meninggal, dan berkata ngawur"
Entah sudah berapa lama Arya berlari dengan benak diganggu
pernyataan Guraksa tentang Pulau Setan. Sampai akhirnya, Dewa Arak
mencoba menyelidiki kebenarannya. Toh, hanya titik terang ini satu-satunya yang
didapatkan. Tidak ada celah lain yang dap at dijadikannya patokan untuk mengusut
persoalan ini, kecuali Pulau Setan dan Penjaga Al am Gaib, serta Gerombolan
Setan Hitam. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran
Dewa Arak, ternyata walaupun Gerombolan Setan Hitam terkenal dalam
dunia persilatan, namnun tidak jelas di mana markasnya. Maka satu-satunya jalan,
Arya memutuskan untuk menyelidiki Pulau Setan!
Arya berlari disertai p engerahan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam
waktu seperempat hari, jarak yang ditempuh tel ah demikian jauh. Beberapa medan
telah dilalui. Jalan turun naik, setapak, berb atu-batu, dan hutan lebat telah
dilampaui. Dan Dewa Arak mendadak saj a memperlambat larinya, begitu
melihat adanya sekeleb atan bayang an di depannya yang terus berlari ke arah
kanannya. Gerak annya gesit bukan kepalang. Meskipun demikian, pandang mata Arya
yang tajam dapat mengetahui kalau sosok yang melesat di
depannya berpakai an co klat
Belum sempat Arya berpikir apa-apa, tiba-tiba berkelebat lagi tiga
sosok lain melewati depannya d an terus menempuh arah yang sama d engan sosok
berpakaian coklat tadi.
Sementara sosok berp akaian coklat maupun tiga sosok yang
mengejar, tidak melihat keberadaan Dewa Arak. Karen a di samping tengah sibuk
dengan urusannya, keadaan merek a memang menyulitkan untuk
melihat Arya. Kecuali kalau mereka menoleh ke kanan. Tapi, agaknya
sosok-sosok itu tidak mempedulikannya.
Dengan kecep atan lari y ang semakin diperlamb at, Arya memutar
benaknya. Apakah sosok-sosok yang tengah berkejaran itu harus diikuti, atau
bersikap tidak peduli, dan terus melanjutkan perjalanan ke Pulau Setan"
Sebentar Arya berpikir untuk mengambil keputusan. Dan mendadak
saja, arah larinya dibelokkan, dan melesat cepat mengejar sosok-sosok coklat
yang tengah saling berkejaran. Naluri kepend ekaran Aryalah yang menyebabk an keputusan itu diambil. Barangkali saja, sosok yang dikejar itu
membutuhkan pertolongan.
Tanpa menemui kesulitan sama sek ali, Arya membayangi
sosok-sosok yang tengah kejar-kejaran ini. Dengan keunggulan ilmu
meringankan tubuhnya, Arya hampir mendekati mereka. Bahkan pemuda
berambut keperakan ini melihat sosok yang berlari paling depan tampak seperti
kalap. Srakkk! "Akh...!"
Begitu telah memasuki hutan lebat, sosok coklat yang dikejar itu
menjerit tertahan, ketika kakinya menginjak jebakan binatang. Seketika itu pula
tubuhnya langsung terangkat ke atas, bagian pergelangan kaki kirinya terjerat
tali yang sengaja dipasang. Kejar-kej aran itu memang telah masuk dalam sebuah
hutan yang cukup lebat
Dalam keadaan gawat itu, ternyata sosok yang dikejar mampu
bertindak sigap. Begitu tubuhnya melayang ke atas dengan kepal a di bawah, secep
at kilat tangannya meraih gagang pedang di punggung. Sehingga, senjata tajam itu
tidak keburu jatuh ke tan ah. Dan seketika, ped angnya diayunkan ke arah tali.
Tasss! Begitu tali putus, dengan gerakan manis sosok itu bersalto dan
menjejak di tanah secara mantap dengan pedang telanjang tercekal di tangan.
Namun, sebelum berlari kembali, tiga sosok coklat yang mengejarnya telah
bergerak cepat. Sehingga, dia terkurung dari tiga jurusan. Kini tidak mungkin
dia bisa melarikan diri lagi.
"Mau kabur ke man a lagi, Manusia Tak Kenal Budi...!" desis salah satu dari tiga
sosok coklat yang bertubuh kekar. Sehelai ikat kepala berwarna coklat membelit
dahinya. Seruan lelaki ini terdengar angker. Dan keangk eran itu semakin
terasa ketika melihat wajahnya yang berahang kokoh dengan alis tebal dan hitam.
Kumis dan jenggotnya pun hitam dan tebal.
"Jangan harap ak an dap at lolos dari tangan k ami, Karpala!" timpal pengejar
lainnya tak kalah geram sambil menudingkan ujung pedangnya.
Tubuh laki-laki ini tinggi besar dengan bahu lebar. Tidak berkumis atau jenggot,
tapi cambangnya yang lebat cukup membuat angker waj ahnya.
"Kau ak an kami bawa ke had apan gu ru. Hidup atau mati, Manusia Terkutuk!" seru
lelaki tinggi kurus berkulit kuning dan bermata redup seperti orang me-ngantuk.
"Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, Karpala."
Sosok yang dipanggil Karpala ternyat a seorang pemuda sep erti tiga
pengejarny a. Dan dia hanya tersenyum sinis. Tubuh Karpala tegap dan kekar,
menunjukkan ketegarannya. Wajahnya tampan dan gagah. Sebaris kumis
tipis yang menghias bawah hidung semakin men ambah ket ampananny a.
Karpal a memperhatikan tiga pengepungny a dengan sinar mata tajam.
"Jangan harap aku akan sudi kembali dalam keadaan hidup! Kalian hanya akan dap
at membawa mayatku ke sana!" dengus Karpal a.
Usai berkata d emikian, Karpala mengirimkan tusukan ke arah
pemuda tinggi kurus di depannya.
Trangngng! Bunga api berpijar ketika pemuda tinggi kurus itu menangkis
serang an. Seketika tubuh masing-masing terhuyung sejauh dua langkah. Tapi
sebelum Karpala memperb aiki kedudukan, datang dua serangan dari pemuda beralis
tebal dan pemuda bercambang.
"Jangan dipikir kami pengecut dengan melakukan pengeroyokan
atas dirimu, Manusia Tidak Berjantung! Tapi, guru menyuruh kami
membawamu ke sana secep atnya untuk dijatuhi hukuman!" seru pemuda beralis
tebal, dibarengi dengan serang annya.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Karpala. Hujan serangan yang
silih berganti datang, membuatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi
tanggapan. Seluruh perhatian harus dipusatkan pada pertarung an, kalau ingin
selamat 3 Karpal a berju ang keras untuk mempertah ankan
sel embar nyawany a. Tapi, tingkat kepandaiannya bol eh dibilang setingkat dengan lawanlawanny a. Sedangkan sekarang, yang dihadapi tiga orang sekaligus.
Padahal, menghadapi satu orang saja, dia belum tentu menang. Maka, tak heran
kalau tak sampai lima jurus, pemuda berkumis tipis ini sudah terdesak.
Menginjak jurus ke enam, serangan -serangan Karpal a sudah tidak terlihat lagi.
Dia sudah terlalu repot untuk menghalau hujan serangan yang muncul bertubi-tubi,
sehingga tidak kebagian kes empatan untuk mengirimkan
serang an. Crttt! Karpal a menggigit bibirnya sendiri ketika ujung pedang pemuda
berkumis tebal menggurat bahu kirinya cukup dalam. Dan s eketika darah mengalir
keluar. Tubuh pemuda berkumis tipis itu pun terhuyung.
Desss! Kembali sebuah tendang an dari pemud a bercambang leb at secara
telak mendarat di perut Karpala yang belum sempat memperbaiki
keseimbanganny a. Akibat serangan ini, tubuh pemuda berkumis tipis itu pun
terhempas ke bel akang. Sedangkan ped ang di tangan yang tadi masih
tergenggam, terlepas dari pegangan.
"Hiyattt..!"
Sementara itu pemuda yang bertubuh tinggi kurus tidak mau
ketinggalan. Dia langsung melompat me-nyusul tubuh Karpala yang
terhuyung-huyung, dengan sebuah tusukan ke arah leher. Dan pemuda
berkumis tipis ini hanya bisa terbelalak melihat serangan maut itu. Tidak ada
yang bisa dilakukannya untuk menyela-matkan diri dengan keadaan yang tidak
menguntungkan seperti ini.
Dalam kead aan yang gawat ini, mendadak saja berkel ebat sebuah
bayangan hitam sebesar ibu jari yang demikian cepat. Lalu....
Trikkk! "Akh...!!"
Jeritan tertahan yang penuh nada kaget itu terdengar bukan dari
mulut Karpala, melainkan dari p emuda tinggi kurus. Pedang yang semula
ditusukkan ke arah leher Karpala langsung menyeleweng jauh, karena sudah
Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlepas dari pegang an ketika sebuah k erikil sebesar ibu jari kaki
menghantamnya dari arah samping.
"Orang usilan! Harap keluar dari persembunyianmu! Jangan
bertindak pengecut, hanya berani main sembunyi!" teriak pemuda beralis tebal
yang bersikap tangg ap, langsung mengajukan tantangan, Dia tahu, apa yang
terjadi dengan serang an kawannya.
Pemuda beralis tebal dan dua rekannya yang sekarang sudah tidak
mempedulikan Karpala lagi, mengalihkan perhatian ke arah asalnya baru kerikil
tadi. Sikap mereka jelas penuh ancaman.
Tiga pemuda gagah berpakaian coklat ini tidak perlu menunggu
lama, karana dari atas sebatang pohon berdaun rimbun di depan mereka melayang
turun sesosok bayangan ungu. Kemudian, bayangan itu menjejak mantap tanah.
"Aku bukan pengecut atau orang usilan, Kisanak semua! Hanya
saja, aku paling tidak suka melihat adanya tindak ketidakadilan di depan mataku.
Kalianlah yang bersikap pengecut dengan melakukan pengeroyok an!" kilah sosok yang baru saja turun dari atas pohon, penuh
ketegasan. Dia adalah seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa lagi dia
kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Sementara tiga pemuda berpakaian coklat itu saling berpandangan
dengan wajah merah pad am. Agaknya, ucapan balik Dewa Arak mengenai
sasaran. "Apa pun katamu, Hei Orang Asing! Semua ini adalah urusan kami.
Urusan pergu ruan yang tidak ada sangkut -pautnya deng an dirimu...!" timpal
lelaki beralis tebal, yang lebih banyak bicara. Maka kuperingatkan, pergilah
dari sini. Dan, jangan campuri urusan kami kalau tidak ingin lerlibat
keributan!"
Pemuda beralis tebal ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu,
pemuda berambut putih keperakan itu bukan orang sembarangan. Malah,
pasti kepandaianny a di atas tingkat merek a. Buktinya, dia mampu
menjatuhkan pedang pemuda kawanny a yang dicekal kuat hanya dengan
sebutir baru kecil. Dan ini membuktikan kalau dia memiliki tenaga dalam tinggi.
Bahkan jauh lebih kuat daripada tenaga dalam mereka. Itulah
sebabnya, pemuda beralis tebal memberi kesempatan p ada Ary a untuk pergi tanpa
harus terjadi keributan.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku bukan orang semacam itu. Sekali
telah mencampuri sebuah urusan, aku tidak akan pergi sebelum selesai! Aku hanya
ak an pergi, apabila kalian bersedia menyud ahi urusan deng an dia!"
tuding Arya pada Karpal a. "Aku pun tidak mau mencampuri, apahila kalian
bertindak kesatri a. Bertarunglah satu lawan satu. Kalau tidak, silakan kalian
pergi dari sini! Yang jelas, aku tidak akan pernah mau pergi!"
"Keparat!" dengus pemuda bercambang leb at itu penuh kegeraman.
"Kau sudah merasa jago, ya"! Keberhasilan lemparanmu menjatuhkan senjata kawan
kami, rupanya telah membuatmu besar kepala! Baik! Sebelum kami singkirkan buruan
kami, kau lebih dulu yang akan mendapatkan
balasan setimpal atas perbuatanmu!"
Cit, cit, cittt..!
Tappp! Dengan kecepatan gerak ya gsukar diikuti mata, Dewa Arak telah
bisa menangkap mata pedang lawan dengan tangan kanannya. Kemudian secepat kilat
langsung ditekukunya batang pedang itu hingga patah dua!
Trakkk! Bunyi bercicitan nyaring seketika terdeng ar menusuk telinga ketika
pemuda bercambang l ebat itu mengirimkan serangan p edang. Senjata tajam itu
menusuk-nusuk berkali-kali ke arah leher, ulu hati, pusar, dan dada!
Kecepatan gerakanny a membuat batang pedang itu jadi berjumlah banyak!
"Ilmu pedang yang b agus...!"
puji Arya, tanpa maksud merendahk an atau menunjukkan kelebihan tingkat kepandai annya.
Tapi rupanya, pujian Arya disalah artikan oleh pemuda bercambang
lebat dan rekan-rekanny a. Dan Arya dianggap hendak menunjukkan
kelebihan tingkat kepandaianny a dengan pujian itu.
Sementara, meski memuji bagus, tidak berarti Arya kebingungan
menghadapi serang an lawannya. Memang bagi pandangan mata orang lain, batang
pedang pemuda bercambang lebat yang sudah berjumlah banyak itu bakal menyulitkan
Dewa Arak. Tapi, sebenarnya pand angan mata pemuda berambut putih keperakan itu
jauh lebih tajam daripada pemuda-pemuda berpak aian coklat itu. Dengan jelas,
dia melihat kalau batang pedang itu hanya satu. Bahkan tahu, bagian mana yang
lebih dulu menjadi sasaran serang an.
Tappp! Dengan kecepatan gerakan yang sukar diikuti mata, Dewa Arak
telah bisa menangkap mata pedang la-wan deng an tangan kananny a.
Kemudian secep at kilat langsung ditekuknya batang pedang itu hingga patah dua!
Trakkk! Wajah pemuda bercambang leb at itu sampai menjadi pucat pasi
saking kagetnya. Ket erkejutan y ang sama mel anda du a rek annya. Mereka sadar
kalau lawan merek a memiliki kepandaian tinggi. Namun, sungguh tidak disangka
akan seperti ini, sehingga mampu membuat pemuda
bercambang lebat itu tidak berdaya hanya dalam segebrakan.
Baik pemuda bercambang lebat, maupun dua rekanny a tidak bisa
menerima kenyataan ini Mereka benar-b enar tidak percaya. Bahkan guru mereka s
aja, rasany a tidak akan mampu melakukanny a. Mungkinkah
pemuda seusia dia mampu bertindak seperti itu. Ketiga orang ini, terutama sekali
pemuda bercamb ang lebat, lebih yakin kalau kejadian itu hanya kebetulan belaka!
Rasa penasaran membuat tiga orang itu maju serentak, menghampiri
Dewa Arak deng an senjata terhunus. Dan pemuda b ercambang lebat telah mengganti
pedangnya dengan pedang milik pemuda berkumis tipis yang tadi terpental.
Sedangkan pemuda tinggi kurus telah mengambil pedangnya yang tadi terjatuh.
Dan diawali teriakan keras sebagai isyarat menyerang, ketiga
pemuda berpak aian coklat ini meluruk menerjang Dewa Arak. Kilatan-kilatan
menyilaukan mata langsung membeset udara, ketika pedang-p edang itu meluncur ke arah sasaran.
Gerak an merek a cepat bukan main. Namun tanpa menemui
kesulitan sama sekali, Dewa Arak mengelakkannya. Selama beberapa
gebrak an, pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak. Tapi
ketika mulai balas menyerang, kead aan langsung berubah heb at! Seketika
terdengar pekikan -pekikan kes akitan ketika tubuh tiga pemuda berp akaian
coklat itu satu persatu berpentalan keluar arena pert arungan. Dari mulut mereka
masing-masing terdeng ar suara rintihan kesakitan dengan senjata terpental entah
ke mana. "Bagaimana" Masih ingin diteruskan"!" fany a Arya, tenang tanpa nada mengejek.
Lalu ditatap wajah-wajah lawannya satu persatu. Wajah-wajah yang
dihiasi seringai kesakitan, karena masing-masing tel ah terluka. Meskipun, hanya
tulang-tulang tangan dan kaki yang terlepas dari sambungannya. Arya tidak ingin
bertindak keras terhadap tiga orang yang diyakininya berasal dari perguru an
golongan putih. Sikap mereka yang sombong dan berk esan
mengagungkan diri sendiri, membuat Ary a menjatuh kan hajaran kep ada mereka.
Pemuda beralis tebal itu menggertakkan gigi. Sepasang matanya
menatap Ary a dengan sorot mengan cam. Sorot yang sama memancar dari mata-mata
dua pemuda lainnya.
"Kali ini kami mengaku kalah, Orang Asing!Tapi, ingat! Urusan ini tidak berhenti
sampai di sini! Kami akan membuat perhitungan ! Camkan, Perguruan Pedang
Halilintar pantang dihina orang!"
Setelah mengucapk an kata-k ata ancaman, pemuda beralis tebal dan
kedua kawannya melangkah
tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Sedangkan Ary a hanya memand angi saja, tanpa perasaan ap a-apa. Dia tahu, tiga
orang itu berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, ketika melihat serang an
pemuda bercambang lebat pertama kali. Itulah sebabny a, dia tidak menjatuhkan
tangan jahat pada mereka.
Sambil menghela napas berat karen a disadari kalau sebuah bibit
permusuhan telah tertanam dengan Pergu ruan Pedang Halilintar, pemuda berambut
putih keperakan ini mengalihkan p andangan k e arah Karpala di belakangny a.
Arya ingin menanyakan sebab musabab keributan ini. Padahal, diyakini pula kalau
pemuda berkumis tipis itu termasuk murid Perguruan Pedang Halilintar.
Arya tanp a sadar t erjingkat dari tempatny a, ketika melihat
belakangny a telah kosong, tanpa seorang pun terlihat Yang ada hanya kerimbunan
semak dan pepohonan di sekitarnya.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas berat Sekali lihat saja, bisa diketahui
kalau pemuda berkumis tipis itu sudah tidak ada lagi. Kabur. Tak jelas, kapan
Karpal a kabur. Yang jelas, kepergiannya menyeb abkan masalah yang
dihadapi Arya kali ini, jadi gelap!
Rasa penasaran untuk mengetahui masalah yang menyeb abkan
pemuda-pemud a berp akai an coklat itu terlibat keributan, membuat Arya
memutuskan mengejar Karp ala untuk mencari jawab annya.
*** Sebuah perahu kecil melaju, di permukaan laut luas yang
bergelombang kecil. Gerak perahu itu cepat meskipun melawan arus air.
Bahkan kelihatan bagaikan melesat membelah permukaan air. Yang
mengejutkan, orang yang mendayungnya adalah seorang wanita muda
berwaj ah cantik jelita, berpak aian kuning cerah. Rambutnya yang terg erai
lepas tampak berkibar-kibar dihembus angin yang bertentang an dengan arah yang
ditempuhnya. Tangannya kecil dan halus. Dan meski mengayuhkan
dayungnya secara perlahan saja, tapi perahu itu mampu melaju cepat
Di sebelah gadis berp akaian kuning itu duduk seorang kakek kurus
laksana tengkorak, bertelanjang dad a. Dan dia hanya mengenakan celana panjang
hitam sebatas bawah lutut. Tampak serat-serat celanany a terjutai seperti akar
gantung. "Rasanya sudah tiba waktunya kau kembali pada orangtuamu, dan
terjun ke dunia persilatan m engamalkan ilmu-ilmu yang dipelajari d ariku,
Tungga Dewi," ucap kakek kurus berpipi cekung dan berambut tipis ini.
"Tapi, Guru," gadis berpakaian kuning yang dipanggil Tungga Dewi mencoba
membantah, menandakan ketidaksetujuannya atas usul kakek kurus laksana tengkorak
"Aku lebih suka tinggal bersama Guru. Guru sekarang sudah tua, lalu siapa yang
akan merawat Guru apabila aku pergi"!"
"Ha ha ha...!" kakek kurus laksana tengkorak itu malah tertawa bergelak. Seakanakan hatinya meras a geli mendengar ucapan Tungga Dewi.
"Kau ini lucu, Tungga Dewi. Aku tidak perlu diurus. Apakah kau ingin sampai tua
tinggal bersamaku. Menghabiskan umur di tempat yang jauh dari keramai an" Jangan
bertindak bodoh, Tungga Dewi!"
"Tapi... aku tidak mau pergi, Guru!" Tungga Dewi berkeras dengan keputusannya.
"Tidak ada tapi-tapian, Tungga Dewi! Andaikata tidak mau, berarti kau tidak
menjadi murid yang berbakti. Kau telah membantah perintah
gurumu. Apakah kau ingin menjadi murid yang murtad"!" Dengan
cerdiknya, kakek kurus laksan a tengkorak ini membuka sebuah masalah.
"Tentu saja tidak, Guru. Aku tidak ingin menjadi murid murtad.
Tapi...." "Kalau begitu, pergilah. Dan, terjunlah ke dunia persilatan!"
Tungga Dewi terdiam. Kakek laksan a tengkorak itu demikian
pandai membuatnya tersudut. Dan mau tidak mau, peimintaan itu harus
dipenuhi. Dengan pandang mata resah karena ras a berat untuk meninggalkan kakek
laksana tengkorak ini, Tungga Dewi mengarahkan pandang an ke
depan, ke hamparan di laut luas yang membentang di depan. Dan, seketika Tungga
Dewi tersentak kaget.
"Guru...! Lihat...! Apakah yang mengapung di sana itu"!" hiding Tungga Dewi.
Ucap an Tungga Dewi memaksa kak ek kurus lak sana tengkorak
yang sejak tadi duduk bermalas-malasan, melenggut di lantai perahu,
mengarahk an pandangan ke arah yang ditunjuk muridnya. Sepasang matanya yang
sejak tadi terpejam, terbuka. Luar biasa! Kakek yang k elihatannya seperti orang
lemah itu, ternyata memiliki sepasang mata yang mendebarkan jantung. Mencorong
tajam berwarna kehijauan seperti mata seekor harimau dalam gelap!
"Sebuah peti...," kata kakek kurus laksana tengkorak dengan alis berkerut dalam.
"Tapi, mengapa tidak tenggelam ke das ar laut"! Mengapa bisa mengapung di
permukaan air"! Aneh...!"
"Kita ambil ya, Guru"!" pinta Tungga Dewi, dengan sorot mata memancarkan
keinginan besar.
Sepasang mata gadis itu seperti lekat dengan peti berwarna hitam
mengkilat, tapi berukir indah ini. Dan peti itu terus mengapung di permukaan
air, terbawa arus laut menghatnpiri perahu yang ditumpangi Tungga Dewi dan
gurunya. "Jangan sembrono, Tungga Dewi!" cegah kakek kurus laksana
tengkorak, cepat "Aku meras akan ad a hal-hal yang aneh pada peti itu."
"Hal aneh apa, Guru"!" bantah Tungga Dewi. "Aku yakin, tidak ada yang aneh deng
an peti itu. Malah aku menduga keras kalau pen itu berisi harta karun atau kitab
pusaka ilmu-ilmu silat tinggi!"
"Kau masih belum berpengal aman, Tungga Dewi!" tegur kakek kurus laksana
tengkorak, bernad a halus. "Kau tidak melihat kean ehanny a, bisa kumaklumi. Ada
dua keanehan peti itu, kalau kau ingin tahu."
"Apa saja kean ehan yang kau maksudkan, Gu ru"!" desak Tungga Dewi.
Tungga Dewi memang kelewat dimanja oleh gurunya. Sehingga
gadis ini tidak sungkan-sungkan lagi untuk mengemukakan pend apatnya terhadap
guru nya. "Aku tidak melihat keanehannya sama sekali," gumam Tungga
Dewi. "Kau bukannya tidak melihat keaneh an itu, Dewi. Tapi benakmu
telah tertutup keinginan untuk memperoleh peti itu. Bukankah demikian"!"
Kakek kurus laksana tengkorak menatap wajah muridnya penuh
selidik. Tapi Tungga Dewi tidak memberi sambutan sam a sekali. Meskipun
demikian, di dalam hatinya menyadari keben aran ucapan gurunya. Diakui, memang
ada dorongan kuat untuk segera mengambil peti itu.
"Kau tidak perlu heran, Dewi. Karena aku pun dilanda perasaan
yang sama. Hanya peng alamanlah y ang membuatku tidak langsung
menurutinya. Tapi, memikirkan keaneh annya. Pertama, peti itu tidak
tenggelam di dalam air. Padahal sepatutnya tenggelam. Kedua, ada dorongan kuat
untuk segera mengambil peti itu. Dorongan yang mengingatkan aku pada keaneh an-k
eaneh an ilmu gaib. Kalau pada manusia, ilmu itu dinamakan ilmu 'pelet'!"
"Lalu..., apa yang akan Guru lakuk an?" tanya Tungga Dewi. Dia telah pasrah,
pada keputusan guru nya meski sepasang matanya tetap
menyiratkan kei nginan berkobar-kob ar.
"Mengambil peti itu, tapi tidak dengan cara sembrono, Tungga
Dewi," jawab kakek kurus laksana tengkorak setelah tercenung sejenak
"Bagaimana menurutmu. Kau setuju"!"
Cepat-cepat Tungga Dewi mengangguk
Kakek
Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurus laksana tengkorak tersenyum lebar melihat kegembiraan Tungga Dewi.
"Kau tunggu di sini, Dewi. Aku akan mengambilnya. Ingat,
hati-hati!"
Byurrr! Belum juga pesan itu lenyap, air telah muncrat tinggi karen a tubuh
kakek kurus laksana tengkorak itu telah menusuk permukaan air laut.
"Guru...! Lihat..!"
Tungga Dewi berseru keras, ketika melihat sebuah perahu yang
lebih besar daripad a miliknya melaju cepat menuju arahnya. Sebuah dugaan
bermain di benak Tungga Dewi. Jangan-jang an orang -orang y ang berada di dalam
perahu besar itu mempunyai maksud sama. Mengambil peti itu.
Kakek kurus laksana tengkorak itu tentu saja mendengar seruan
muridnya. Meski tengah sibuk mengarungi lautan, melawan arus gelombang dengan
beren ang, pendengaranny a yang tajam menangkap seruan Tungga Dewi. Dan seben
arnya s eruan itu tidak perlu, karen a kakek ku rus laksana tengkorak ini pun
sudah melihat adanya sebuah perahu yang lebih besar meluncur cepat ke arah peti!
Pendekar Laknat 9 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Pendekar Patung Emas 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama