Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal Bagian 2
menggelam seperti seekor macan luka. "Jadi, kau yang telah melakukan pembunuhan keji itu,
Jahanam"!"
"Benar," Lingga mengangguk sambil bangkit berdiri.
Tidak lagi dipedulikannya kerumunan burung pemakan
bangkai yang tadi dibantainya. "Sebenarnya, aku ingin membunuh pula suami wanita
busuk ini, yang kalau tidak salah bernama Moksa dan berjuluk Pendekar Tangan
Sepuluh. Tapi karena dia telah lebih dulu kabur sebelum kubunuh, yaah...! Apa
boleh buat..." Istrinya pun tidak mengapa."
"Terkutuk!"
Sekujur tubuh gadis berpakaian kuning ini menggigil
hebat karena amarah bergolak.
"Kau akan merasakan pembalasanku!" lanjut gadis itu.
Singng! Sinar menyilaukan mata langsung mencuat, ketika
gadis berpakaian kuning ini mencabut senjata yang terselip di pinggangnya.
"Ah...! Suling Perak...!" seru Lingga kaget dengan tarikan wajah berubah.
Tampang yang senantiasa dingin itu mulai beriak, sebagai bukti kalau sangat
terkejut. "Apa hubunganmu
dengan Pendekar Suling Perak, Gadis Montok"!"
Wungng! Jawaban yang diberikan gadis berpakaian kuning itu
adalah tusukan ujung suling peraknya ke arah tenggorokan Lingga,
setelah didahului gulungan sinar berwarna keperakan. "Uh!"
Namun serangan gadis yang sepertinya putri dari
Pendekar Tangan Sepuluh hanya mengenali angin, karena Lingga telah lebih dulu
mendoyongkan tubuh ke belakang sambil melangkahkan kaki. Namun, gadis itu tidak
tinggal diam. Serangan susulan kembali dilayangkan dengan penggunaan tendangan lurus-kaki kanan ke arah dada.
"Hmh!"
Pemuda berpakaian merah hanya mendengus, melihat
serangan ini. Sekarang, dia tidak lagi mengelak. Maka langsung dipapakinya
serangan itu dengan tendangan kaki kanan pula.
Bresss! Dua buah kaki beradu keras. Dan seketika tubuh
gadis berpakaian
kuring itu langsung terjengkang ke
belakang dan terguling-guling. Begitu berhasil bangkit, wajahnya langsung
menyeringai menahan kesakitan. Kaki kanannya terasa ngilu bukan kepalang.
Tapi, putri Pendekar Tangan Sepuluh itu benar-benar
bukan gadis yang gampang menyerah. Tanpa mempedulikan sakit yang masih
menggigit, dia melompat melancarkan serangan
dengan suling. Serangannya langsung menimbulkan bunyi seperti bukan digerakkan, melainkan ditiup. Hanya saja
bunyinya tidak terlalu enak didengar.
Pertarungan pun berlangsung cukup sengit, kendati
Lingga tidak mempergunakan senjata. Pemuda berpakaian merah ini hanya bertangan
kosong. Meski demikian jalannya pertarungan cukup imbang. Namun menginjak jurus
ke lima belas, Lingga mulai dapat menekan lawannya.
Memang, Lingga harus mengakui kalau kepandaian
gadis berpakaian kuning ini cukup hebat. Tenaga dalam dan kelincahannya tidak
terlalu jauh di bawah tingkatannya.
Namun permainan sulingnya benar-benar luar biasa
Sayang, betapapun hebatnya permainan suling gadis
berpakaian kuning ini, tak satu pun yang ma mpu mengenai tubuh Lingga. Ujung
baju pemuda berpakaian merah itu saja tidak pernah tersentuh. Lingga dengan
langkah-langkah anehnya yang terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh,
melompat-lompat di tempat, atau bahkan berlarian mengelilingi
lawan. Dan tindakannya selalu berhasil mengelakkan setiap serangan.
Rrrttt! Di jurus ketujuh belas, tusukan suling gadis berpakaian kuning yang meluncur ke arah dada, berhasil dilibat sehelai kain
merah di tangan Lingga. Gadis itu kaget bukan kepalang. Maka secepat kilat
senjatanya ditarik. Tapi, suling itu tidak bergeming sama sekali!
Gadis berpakaian kuning yang memiliki watak keras
tentu saja tidak mau mengalah. Seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkan untuk
menarik sulingnya yang terlibat kain merah, yang ternyata ikat kepala Lingga.
Entah kapan, pemuda berpakaian merah itu mengambilnya dari kepala.
Di saat gadis berpakaian kuning tengah bersitegang,
Lingga mengendurkan belitannya. Tentu saja tindakan tak terduga-duga ini membuat
tubuh gadis ini terjengkang ke belakang, terbawa tarikan tenaganya sendiri.
Kesempatan baik itu segera dimanfaatkan Lingga sebaik-baiknya. Ikat kepalanya
disalurkan tenaga dalan, hingga menegang kaku laksana sebatang tongkat. Bahkan
terus meluncur ke arah bahu kanan lawannya.
Tukkk! Gadis berpakaian kuning hanya sempat mengeluh
tertahan, ketika jalan
darah pada tubuhnya tertotok.
Bagaikan sehelai kain basah, tubuhnya langsung ambruk ke tanah.
Sekarang gadis berpakaian kuning hanya bisa menatap Lingga dengan sinar mata penuh kebencian.
Sedangkan Lingga bagaikan tidak tahu, terus saja melangkah mendekati tempat
tubuh gadis itu tergolek, langsung duduk bersimpuh.
"Sejak kecil aku sudah dididik untuk melakukan
tindakan yang sejahat-jahatnya terhadap lawan. Dan aku paling suka bertindak
untuk menyakitkan hati orang lain.
Dan tindakan itulah yang kulakukan terhadap istri Pendekar Tangan Sepuluh.
Batinnya lebih dulu kusiksa, sebelum nyawanya
kulenyapkan. Dan tindakan serupa akan kulakukan terhadapmu, Gadis Montok!"
Gadis berpakaian kuning merasakan sekujur tubuhnya meremang. Sekarang hatinya ngeri bukan kepalang, karena dapat
memperkirakan bahaya apa yang akan
mengancamnya. Napas Lingga yang memburu hebat dan
sepasang mata yang menatap ke arahnya, telah menjadi tanda. Dan rasa takut yang
amat sangat pun melandanya.
5 "Apa... apa yang hendak kau lakukan..."!" tanya gadis berpakaian kuning dengan
perasaan ngeri. Suaranya pun terdengar bergetar, karena gejolak rasa takut.
"Tunggu saja. Nanti pun kau akan tahu sendiri"
Kemudian diiringi seringai kejam, Lingga mengulurkan tangan. Langsung dicengkeramnya baju bagian dada gadis berpakaian kuning
itu. Lalu.... Brettt! "Awww...!"
Gadis berpakaian kuning tidak sanggup berbuat apaapa lagi. Perasaan ngeri yang amat sangat tampak jelas pada wajahnya.
"Jangan...! Kumohon jangan kau lakukan padaku....
Lebih baik bunuh saja aku. Dan aku akan sangat berterima kasih apabila kau
langsung membunuhku. Jangan...! Jangan lakukan
ini padaku...," rintih
putri Pendekar Tangan
Sepuluh. Pakaian gadis itu mulai dari bagian dada sa mpai perut robek lebar. Maka dua
bukit kembar yang padat membusung terbungkus kulit putih halus dan mulus pun
membentang jelas.
Lingga menelan ludahnya sendiri sebagai laki-laki
waras, pemandangan demikian membuatnya seperti silau.
Keluhan-keluhan menyayat hati dari gadis berpakaian kuning ini tidak tertangkap
pendengarannya sama sekali. Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Menyalurkan
keinginan yang menggebu-gebu!
"Apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi Cah
Ayu?" kata Lingga dengan suara mulai bergetar, karena napas yang memburu
terdorong keinginan menggebu-gebu.
"Sejak kecil aku dididik, untuk melakukan
tindakan kejahatan yang paling menyakitkan hati orang lain. Dan setelah dewasa, aku jadi
orang yang ingin melihat orang lain tewas secara menyakitkan pula. Dan bagi
orang sepertimu, aku tahu kematjan yang paling ditakutkan."
Lingga menutup ucapannya dengan sebuah tubrukan
ke arah gadis berpakaian kuning yang sudah tidak berdaya kecuali pasrah menerima
nasib. Sedangkan gadis ini hanya bisa
menangis, membayangkan kehancuran hatinya. Sementara Lingga dengan beringas terus menggeluti dan menciumi sekujur tubuh
gadis itu yang bugil. Dan kedua tangannya ke sana kemari, meremas apa saja
secara kasar dan brutal
Lingga benar-benar berhati batu. Dia bisa tertawa
terkekeh-kekeh di saat gadis berpakaian kuning merintih-rintih, menangis, dan
meratap-ratap memohon belas kasihan.
Di tengah hawa nafsu yang menggelegak, tiba-tiba....
"Iblis Keji...! Binatang Bermuka Manusia...!"
Terdengar keras penuh kemarahan, membuat Lingga
yang belum sempat melucuti pakaiannya sendiri, terjingkat kaget bagai disengat
kalajengking. Dengan kecekatan seorang ahli silat tingkat atas, pemuda
berpakaian serba merah ini melenting ke atas.
Ketika menjejak tanah secara mantap, di belakangnya
dalam jarak tiga tombak telah berdiri seorang pemuda berpakaian
ungu. Rambutnya yang berwarna putih keperakan melambai-lambai tertiup angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan Arya
Buana ilias Dewa Arak
Sekarang Lingga dan Dewa Arak berdiri berhadapan
dalam jarak sekitar lima tombak
"Anjing Kurap! Jadi, kau yang tadi melemparkan
makian"!"
Dengan muka merah padam, dan sinar mata memancarkan hawa maut, Lingga menuding ke arah Arya.
"Benar! Karena kau memang orang semacam itu.
Penjahat Berhati Binatang! Orang semacam dirimu tidak pernah
mendapat ampunan
dariku! Bersiaplah
untuk menerima kematian!" teriak Arya tidak kalah keras.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini
mencorong tajam, memperlihatkan
kemarahannya yang
mencapai ubun-ubun.
"Hih!"
Dari jarak lima tombak, Lingga memukulkan tinju
kanannya ke arah Dewa Arak. Dalam kemarahannya,
segenap tenaga dalam yang dimiliki telah dikeluarkan. Bunyi berkesiutan nyaring
mengiringi meluncurnya angin pukulan berhawa panas ke arah Dewa Arak
Arya yang sangat pantang melihat tindakan pemerkosaan di depan matanya, tanpa pikir panjang lagi memapak pula dengan
pukulannya. Maka dua buah angin
pukulan yang sama-sama dahsyat meluncur dalam arah
berlawanan. Lalu...
Blarrr! Udara seperti bergetar ketika dua angin pukulan
berbenturan di tengah jalan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar. Tubuh
kedua tokoh ini sama-sama
terhuyung ke belakang. Tapi, Lingga terhuyung lebih jauh dua langkah.
Pemuda berbaju serba merah itu menggeram. Hatinya
penasaran bukan kepalang melihat hasil benturan tadi.
Selama ini belum pernah ada tokoh muda yang pernah
mengalahkannya. Baik dalam adu tenaga, kecepatan lari, maupun kelincahan. Maka
kekalahan kali ini benar-benar membuat menjadi naik darah!
"Arrrggghhh...!"
Diawali teriakan keras seperti macan luka, Lingga
melompat menerjang. Tubuhnya bagaikan sehelai bulu ketika meluncur menuju Dewa
Arak. Namun Arya yang tengah
marah menyambutinya tak kalah sigap. Sehingga, terjadilah pertarungan matimatian. Dewa Arak yang tengah dilanda amarah, tanpa
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanggung-tanggung lagi segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi
andalannya. Namun, betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini,
ketika melihat lawannya menyambutinya dengan ilmu serupa.
Pertarungan aneh pun berlangsung. Kedua belah
pihak melakukan gerakan-gerakan sama anehnya. Tapi
terlihat jelas kalau setiap kali terjadi benturan, tubuh Lingga selalu terhuyung
ke belakang. Lingga pun akhirnya menyadari kelebihan pemuda
berambut putih keperakan itu. Setelah bertarung sampai lima
puluh jurus, benaknya mulai diputar untuk menyelamatkan diri. Lingga tahu, Dewa Arak tidak mau melepaskannya
hidup-hidup, bahkan mungkin berniat membunuhnya! Jliggg! Pada sebuah kesempatan, Lingga menendang sebuah
kerikil yang diarahkan kepala gadis berpakaian kuning yang masih terduduk tak
berdaya. Dengan mengeluarkan bunyi menyeramkan, kerikil itu melayang ke arah
sasaran. Dewa Arak terkejut melihat serangan licik itu. Tidak ada jalan lain, mengirimkan
kibasan tangan kanan dan kiri berurutan, untuk membuat arah kerikil menyeleweng.
Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu Lingga.
Begitu melihat Dewa Arak mengalihkan perhatian, buru-buru tubuhnya melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan dia telah berada
cukup jauh dari tempat semula.
Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran
sama sekali. Arya tahu, tidak ada gunanya pengejaran orang selihai Lingga,
apabila jarak telak demikian jauh. Maka perhatiannya dialihkan pada gadis
berpakaian kuning yang telah berhasil diselamatkan nyawanya.
Namun begitu Dewa Arak melengos ke arah gadis itu,
wajahnya langsung berubah merah padam. Demikian pula gadis berpakaian kuning
ini. Wajahnya juga panas, karena saking malunya. Maka dengan gerakan cepat, Arya
melengos ke arah lain. Dan dia berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat
pemandangan indah yang terpampang di depan
mata, sambil menghampiri tempat gadis berpakaian kuning itu tergolek.
Dan setelah membebaskan totokan yang mem- belenggu gadis berpakaian kuning. Dewa Arak buru-buru berbalik. Diberikannya
kesempatan pada gadis itu untuk membenahi pakaiannya. Dan putri Pendekar Tangan
Sepuluh itu menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke pondoknya dan berganti
pakaian. *** "Aku sudah selesai," ucap putri Pendekar Tangan Sepuluh ketika telah berganti
pakaian dan kembali ke tempat semula.
Maka dua pasang matanya menatap sebentar. Dua
raut wajah saling meneliti sejenak. Ada nada kekaguman dalam pandangan masingmasing. "Sayang aku datang terlambat, Nisanak. Kalau tidak, mungkin tidak perlu ada yang
harus meninggal secara
mengerikan seperti itu.
Arya yang lebih dulu memecahkan suasana hening
dengan ucapan bernada penyesalan. Sementara matanya
menatap penuh kengerian pada tubuh Tunjung Sari dan
anaknya yang tergolek di tanah.
"Tidak ada yang terlambat, Dewa Arak. Oh, maaf....
Kau Dewa Arak, bukan"!" tanya gadis berpakaian kuning ini menatap wajah Arya
dengan muka merah padam.
Putri pertama dari Tunjung Sari dan Pendekar Tangan
Sepuluh ini masih merasa malu besar, mengingat betapa Arya telah melihat
tubuhnya yang dalam keadaan bugil.
Kalau menuruti perasaan, ingin ditinggalkannya saja Dewa Arak. Karena setiap
kali melihat wajah Arya, setiap kali itu pula seperti berada dalam keadaan
telanjang bulat!
"Maksudmu bagaimana, Nisanak"!" tanya Arya, tidak mengerti. Pemuda itu menatap
gadis berpakaian kuning ini sekilas.
Jawaban putri Pendekar Tangan Sepuluh membuatnya lupa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. "Kau tidak terlambat datang untuk memberi pertolongan, Dewa Arak. Karena dua mayat yang kau
maksudkan memang sudah lama tewas. Maksudku, aku saja tidak memiliki kesempatan
untuk menolong mereka. Apalagi, kau yang datang belakangan," jelas gadis
berpakaian kuning ini, mulai sedih kembali, teringat lagi akan nasib yang
menimpa ibunya.
"Ah...!"
desah Dewa Arak. "Sebenarnya
apa hubunganmu dengan mayat-mayat itu"!"
"Yang seorang adalah ibuku. Sedangkan yang satunya lagi, kemungkinan besar
adikku. Aku tidak tahu pasti, karena sejak umur sepuluh tahun telah dikirim
belajar pada salah seorang kenalan ayahku yang bernama Burisrawa. Aku baru saja
selesai belajar, lalu pulang untuk menjumpai orangtuaku. Namun yang kudapatkan
seperti ini," jelas gadis berpakaian kuning itu panjang lebar. "O, ya. Namaku,
Sri Kunti. Sedangkan ibuku Tunjung Sari. Dan ayahku bernama Moksa tapi, lebih
dikenal sebagai Pendekar Tangan Sepuluh."
"Pendekar Tangan Sepuluh"!" Arya agak terperanjat karena telah mendengar nama
besar pendekar berkumis
melintang itu, sebagai pentolan
golongan putih yang berkepandaian tinggi. Julukannya telah menggemparkan dunia persilatan sejak dua
puluh lima tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang pun tetap ditakuti dan
disegani, karena masih suka berkecimpung dalam kerasnya dunia persilatan.
"Benar," sahut gadis bernama Sri Kunti mengangguk.
"Bukankah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak" Julukanmu bahkan mengalahkan
kebesaran julukan ayahku. Hampir
setiap tokoh persilatan membicarakan tentang dirimu, Dewa Arak"
"Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Kunti," Arya berusaha merendah.
Sri Kunti tidak memberi jawaban. Dia telah teringat
kembali akan nasib ibunya. Sedangkan nasib ayahnya belum diketahuinya sama
sekali. Perasaan sedih pun kembali melingkupi hatinya. Sehingga, membuat
wajahnya muram dan keceriaan hatinya karena bertemu Dewa Arak kembali tertutupi.
Sri Kunti menghampiri mayat ibunya. Meskipun sedih yang amat sangat, dia
berusaha keras untuk tidak menangis. Apalagi, di depan Dewa Arak
Dewa Arak kemudian membantu Sri Kunti mengurus
mayat ibu dan adiknya. Kehadiran pemuda berambut putih keperakan itu memang
banyak membantu. Sehingga sedikit banyak, Sri Kunti tidak terlampau dibelit rasa
sedih. Keberadaan Arya sedikit banyak mampu mengisi kekosongan hatinya ditinggal
Tunjung Sari, ibunya.
Setelah upacara penguburan
selesai, Sri Kunti
mengeluarkan semua uneg-unegnya. Baru kemudian sepasang anak muda ini melanjutkan perjalanan. Semula Arya hendak menolak
keikutsertaan Sri Kunti bersamanya.
Tapi karena tidak sampai hati, akhirnya gadis itu dibiarkan ikut bersamanya. Sri
Kunti mula-mula masih tenggelam dalam alam kesedihannya. Tapi karena wataknya
yang lincah dan periang, tak lama rasa sedihnya lenyap. Apalagi karena berjalan
bersama Dewa Arak, pemuda yanq diam-diam
dikaguminya. Dan sekarang gadis ini mulai jatuh hati.
*** "Hhh...!"
Seorang kakek berpakaian abu-abu berkumis melintang putih, menghela napas berat setelah menatap sosok berpakaian coklat
longgar yang tergolek di bawah kakinya, di antara kelompok kuburan yang sebagian
besar telah porak-poranda. Hampir semua kuburan itu telah tidak mempunyai
gundukan lagi, kecuali lubang berukuran
setengah kali satu tombak yang menganga.
"Tak kusangka akhir nasibmu demikian menyedihkan, Burisrawa sahabatku. Kau
tergeletak di antara makam-makam yang kau jaga dan sekarang sudah porak-poranda
seperti nyawamu. Aku berjanji akan membuat perhitungan.
Sahabatku," bisik sosok berpakaian abu-abu yang tak lain dari Pendekar Tangan
Sepuluh, sambil duduk setengah
berjongkok di dekat mayat yang ternyata Burisrawa, penjaga pusaka-pusaka
peninggalan Pendekar Suling Perak.
Pendekar Tangan Sepuluh kembali bangkit berdiri.
Dan pandangannya beredar sebelum akhirnya kakinya
melangkah lebar-lebar mendekati salah satu lubang yang menganga.
Terdengar bunyi bergemeretak keras dari gigi-gigi
Pendekar Tangan Sepuluh yang beradu, ketika melihat peti yang telah kosong itu
hancur berantakan.
"Biadab! Keji...!"
Makian seperti itu keluar terus-menerus, ketika
Pendekar Tangan Sepuluh menemukan hasil yang sama pada lubang-lubang lainnya.
Benaknya pun dipenuhi pertanyaan.
Apakah orang yang telah melakukan kekejian ini seorang diri" Kalau demikian,
bagaimana mungkin dia bisa membawa mayat-mayat yang berada di pekuburan ini,
yang jumlahnya belasan"! Lagi pula, untuk apa mayat-mayat yang pasti berbau
tidak sedap itu dibawa"!
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut berputaran di
benak Pendekar Tangan Sepuluh tanpa ada jawabannya.
Setelah berputar mengelilingi sekitar tempat itu tanpa menemukan sebuah peti
mati yang dapat dipakai tempat tubuh Burisrawa, Pendekar Tangan Sepuluh kembali
ke tempat mayat Burisrawa tergolek. Hatinya merasa geram bukan kepalang pada orang
yang telah membunuh Burisrawa dan menghancurkan semua peti mati yang berada di
pekuburan ini. "Eh..."!"
Pendekar Tangan Sepuluh berseru kaget ketika
melihat mayat Burisrawa sudah tidak berada di tempat semula. Untuk sesaat, kakek
berkumis melintang ini tertegun dan berpikir keras. Apakah dia telah lupa, di
mana tubuh kawannya yang telah menjadi mayat itu berada" Ataukah telah
dimasukkannya ke dalam lubang"!
Pendekar Tangan Sepuluh berdiri bingung di tempatnya. Kakek berkumis melintang itu berusaha keras untuk mengingat-ingat
barangkali saja lupa kalau telah meletakkan mayat itu ke dalam lubang. Belum
juga bisa menemukan jawabannya....
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar tawa terkekeh yang keras penuh
ejekan, sehingga membuat Pendekar Tangan
Sepuluh terperanjat. Dan dia langsung bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan. Seketika pendekar yang telah kenyang pengalaman ini langsung bisa menduga, mengapa mayat
Burisrawa bisa lenyap dari tempat semula!
"Siapa kau, Keparat! Kalau bukan pengecut, tunjukkan dirimu...!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
Sumber suara itu memang sukar diketahui, seakanakan dari delapan penjuru. Kenyataan ini saja sudah cukup untuk membuat Pendekar
Tangan Sepuluh yakin kalau orang yang tertawa itu berkepandaian tinggi. Terutama
sekali, tenaga dalamnya. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam
kuatlah yang dapat membuat ucapannya tidak dapat dilacak.
"He he he...! Tidak usah terburu nafsu, Moksa.
Saatnya untuk melihatku belum tiba. Lagi pula, bu kankah kau tengah mencari
kawan karibmu yang telah menjadi
bangkai"!" sambut suara tanpa wujud lagi.
"Pengecut Hina! Keluar kau! Dan, mari hadapi aku!
Kita bertarung sampai salah seorang ada yang mati! Jangan hanya berani
menghadapi mayat tidak berdaya!" bentak Pendekar Tangan Sepuluh, kalap.
Dia khawatir pemilik suara yang tidak diketahui itu
akan melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap mayat Burisrawa.
Dan kafi ini tidak ada sambutan sama sekali, meski
Pendekar Tangan Sepuluh telah cukup lama menunggu.
Keheningan seketika melingkupi sekitarnya, setelah gema suara kakek berkumis
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melin tang ini lenyap, terasa
mengerikan. "Siapa kau sebenarnya, Pengecut"! Dari mana kau tahu namaku. Dan, lagi rasanya
aku pemain mendengar
suaramu. Hanya saja, aku lupa kapan dan di mana?"
Pendekar Tangan Sepuluh kembali berseru keras
ketika teringat kembali akan ucapan pemilik suara tanpa wujud itu. Moksa diamdiam merasa heran, mengetahui
orang itu bisa tahu nama aslinya. Karena, hampir tidak ada orang yang tahu nama
aslinya lagi. Tokoh-tokoh persilatan mengenalnya sebagai Pendekar Tangan
Sepuluh! Kalau pemilik suara tanpa wujud ini tahu namanya, berarti cukup mengenal dirinya. Dan
itu berarti, kemungkinan besar pemilik suara itu dikenalnya pula.
"Terimalah kawan baikmu ini, Moksa!"
Seiring keluarnya kata-kata itu, dari sebatang pohon besar berdaun rimbun yang
berada tak jauh dari tempat Pendekar Tangan Sepuluh berada, melesat sesosok
benda besar. "Hih!"
Begitu telah mengetahui tempat
persembunyian pemilik suara tanpa wujud, tanpa membuang luang waktu lagi,
Pendekar Tangan Sepuluh memukulkan kedua tangannya yang dikepal kuat-kuat. Arah yang dituju adalah bagian atas batang
pohon itu. Wusss! Brakkk! Sesaat setelah angin menderu keras yang berasal dari kedua tangan yang
dihentakkan, pohon yang terkena sasaran angin pukulan Pendekar Tangan Sepuluh
hancur berentakan mengeluarkan bunyi gemuruh. Tapi sebelum pohon itu
sempat hancur, dari atasnya melesat sesosok bayangan yang melompat turun dengan
kecepatan menakjubkan.
Pendekar Tangan Sepuluh tidak merasa heran melihat
serangannya tidak membuat sosok yang berada di atas pohon terluka. Dia tahu,
serangan seperti itu akan mudah dapat dielakkan oleh tokoh yang berkepandaian
tinggi. Dan pemilik suara tanpa wujud ini diyakininya merupakan
tokoh berkepandaian tinggi
Makanya Pendekar Tangan Sepuluh cepat melesat
mengejar hendak mengirimkan serangan susulan. Tapi, sosok yang berdiri tegak
dalam jarak hampir tujuh tombak darinya sambil menundukkan kepala, mengibaskan
tangan kiri dengan sikap tidak acuh.
"Lebih baik kau periksa dulu, apakah tubuh yang kuberikan itu kawanmu atau
bukan"!"
Pendekar Tangan Sepuluh merupakan seorang pentolan golongan putih yang telah kenyang pengalaman.
Itulah sebabnya, dia dapat mengetahui adanya pancingan dalam ucapan sosok yang
beluin dapat dikenalinya.
Dan Pendekar Tangan
Sepuluh memang tidak menanggapi kata-kata sosok yang belum ketahuan wajah dan jenis kelaminnya. Malah
dihampiri sosok itu dengan sikap hati-hati
dan sekujur urat saraf, menegang, siap mengirimkan serangan.
6 "He he he...! Kau takut, Moksa"! Kau takut kalau aku menipumu" Atau kau takut,
kalau-kalau aku menggunakan kesempatan saat kau memperhatikan tubuh itu, lantas
aku membokongmu" He he he...! Sama sekali tidak kusangka.
Ternyata Moksa yang sombong dengan julukan Pendekar
Tangan Sepuluh telah berubah menjadi penakut. He he he...!"
Moksa menggertakkan gigi menahan geram. Hatinya
sebagai orang gagah, tersinggung. Maka dengan langkah lebar, Pendekar Tangan
Sepuluh ini mendekati mayat yang dilemparkan sosok tanpa jati diri itu. Sosok
yang diduga mayat Burisrawa.
"Ah!"
Pendekar Tangan Sepuluh ini terjingkat ke belakang
seperti orang tersengat ular berbisa, ketika baru saja memeriksa tubuh yang
tergolek di tanah.
Potongan tubuh sosok yang tergolek di tanah ini jelas sebagai tubuh Burisrawa.
Pakaiannya yang longgar dan berwarna coklat pun tidak bisa disangsikan lagi.
Tapi, yang membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa ngeri dan kaget adalah, ketika
melihat wajah Burisrawa! Wajah itu demikian mengerikan, dan sulit dikenali.
Karena sepasang matanya sudah tidak ada lagi dan mungkin dicongkel keluar. Dan
yang ada hanya bolongan hitam yang menjorok ke dalam.
Ujung hidungnya dipotong, sedangkan mulutnya dirobek lebar sampai ke pinggir
telinga kanan dan kiri!
Pendekar Tangan Sepuluh bangkit dengan kedua
tangan dikepalkan keras, hingga mengeluarkan
bunyi bergemeretakan seperti ada tulang-tulang patah. Sepasang matanya seperti
mengeluarkan sinar berapi, ketika menatap ke arah sosok yang masih belum
terlihat jelas.
"Bagaimana, Moksa"!" tanya sosok iru bernada mengejek. "Benarkah dia kawanmu"!"
"Kubunuh kau...!"
Belum hilang gema ucapannya, Pendekar Tangan
Sepuluh telah melompat menerjang sosok yang belum
ketahuan jati dirinya. Kedua tangannya seketika seperti berubah menjadi puluhan
pasang saat meluncur ke arah sasaran. Dalam puncak kemarahan yang sejak tadi
tertahan-tahan,
Pendekar Tangan
Sepuluh menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' yang menjadi andalannya.
"Inikah ilmu 'Sepuluh Cakar Anjing' yang terkenal ampuh itu" Sungguh buruk"!"
Berbareng keluarnya ucapan itu, sosok yang belum
jelas jenis kelaminnya menggerakkan tangan, menyambuti datangnya serangan. Maka
dua palang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat, berbenturan di
udara secara keras.
Akibatnya, tubuh mereka sama-sama terjengkang ke
belakang dan terguling-guling di tanah. Tapi terlihat jelas kalau sosok yang
belum ketahuan jari dirinya itu lebih dulu berhasil menguasai diri dan bangkit
berdiri. "Tunggu sebentar, Moksa.'" Sosok yang sekarang dapat terlihat jelas karena sinar
bulan tepat jatuh di wajahnya, cepat menjulurkan tangan kanan ke depan. Dia
memberi isyarat agar Pendekar Tangan Sepuluh yang akan melancarkan serangan
susulan menahan gerakannya.
Mau tidak mau. Pendekar Tangan Sepuluh menahan
serangan. Dia adalah seorang tokoh besar. Pantang baginya untuk menyerang,
sementara lawannya belum bersiap
menghadapi serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan Moksa untuk memperhatikan
lawannya penuh selidik. Dan diam-diam, bulu-bulu di tubuh kakek berkumis
melintang ini bangun karena cekaman rasa ngeri.
Keadaan sosok yang yang merusak mayat Burisrawa
ini memang menggariskan hati. Sebagian wajahnya sudah tidak memiliki daging
lagi, dan yang terlihat hanya tulang-tulangnya.
"Apa lagi permainanmu, Jahanam"!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh, setelah
berhasil menguasai perasaannya.
"Tidak ada permainan apa-apa, Moksa," jawad sosok berwajah mengerikan.
Menilik keadaannya, orang itu telah berusia lanjut.
Dan dia berusaha tersenyum. Tapi karena wajahnya
mengerikan, maka senyum itu lebih mirip seringai.
"Yang ada hanya sedikit pemberitahuan pada mu.
Kuharap berita ini cukup untuk membantumu sedikit
gembira," lanjut sosok itu.
"Tidak usah mengulur-ulur waktu, Iblis Keji! Katakan saja, cepat! Aku tidak
punya waktu untuk bermain-main denganmu lebih lama lagi!" sentak Pendekar Tangan
Sepuluh bernada tidak sabar.
Moksa sebenarnya bukan hanya tak ingin segera
menjatuhkan tangan keras pada lawannya yang lihai ini. Tapi dia juga lelah
berpikir saat mengingat-ingat kakek berwajah mengerikan yang telah mengenalnya.
Malah dia seperti pernah mendengar suaranya. Pendekar Tangan Sepuluh
tidak ingat lagi.
"Sabar, Moksa. Pemberitahuan ini hanya menyangkut tentang istrimu, yang selalu
mengenakan pakaian hijau muda dan anakmu yang baru berusia paling lama dua
tahun. He he he...!"
Kakek berwajah mengerikan sengaja menggantung
ceritanya. Ingin disiksanya dulu perasaan Pendekar Tangan Sepuluh. Dengan
demikian, keterangan ini akan membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa sangat
penasaran. Nyatanya Pendekar Tangan Sepuluh memang sampai
terlonjak kaget. Sepasang mata dan mulutnya terbelalak lebar. "Iblis Jahanaml
Apa yang kau lakukan atas anak dan istriku"! Ingat! Sedikit saja mereka
terganggu, tubuhmu akan kuhancurleburkan!" desis Pendekar Tangan Sepuluh penuh
ancaman. "He he he...! Betapa gagahnya! Tapi ingin kulihat bukti kebenarannya, apakah
sesumbar itu sesuai kemampuanmu, Moksa"!" ujar kakek berwajah mengerikan,
terang-terangan mengajukan tantangan.
"Tidak usah berbelit-belit, Manusia Iblis! Katakan, di mana istriku dan apa yang
kau lakukan terhadapnya!
Bebaskan dia! Kau hanya berurusan denganku. Tidak dengan mereka!" dengus
Pendekar Tangan Sepuluh yang masih merasa khawatir akan nasib anak dan istrinya.
"Kau bertanya di mana mereka, Moksa..."! Baiklah kujawab terus terang. Anak dan
istrimu ada di... akherat, Moksa! Ha ha ha...! Mereka telah kukirim ke neraka
melalui siksaan yang mengasyikkan. Ha ha ha...! Kau bilang tidak ada urusan,
Moksa"! Sebenarnya baik kau dan Tunjung Sari mempunyai persoalan denganku!
Apakah kau telah lupa
peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu! Waktu itu aku kau lemparkan
ke dalam jurang dalam pertempuran
kita memperebutkan Tunjung Sari..."!"
Wajah Pendekar Tangan Sepuluh kontan memucat.
Dia ingat betul, peristiwa itu memang amat membekas di dalam otaknya. Dan begitu
kakek berwajah mengerikan
mengatakan kejadian itu. Moksa baru ingat dengan suara yang sekarang di
dengarnya. Dan itu adalah suara....
"Sulang..."! Jadi, kau... Sulang"! Kau..., kau masih hidup"!"
Pendekar Tangan Sepuluh terbata-bata dalam mengucapkan perkataannya. Sekarang Moksa mengerti,
mengapa kakek berwajah mengerikan ini membunuh istri dan anaknya secara kejam!
Ternyata Sulang melakukan balas dendam kesumat yang dipendamnya sejak dua puluh
lima tahun lalu
"Benar! Aku masih hidup, Moksa Keparat! Setan-setan di neraka menolongku hingga
tidak mampus di dasar jurang.
Tapi sebelah wajahku kehilangan daging, akibat tersayat-sayat dinding jurang
yang tajam! Dan keberuntungan
rupanya masih berteman denganku. Di dasar jurang, aku menemukan kitab ilmu-ilmu
sakti milik seorang tokoh
berjuluk Pemabuk Gila, tokoh yang telah lenyap hampir seratus tahun lalu. Dan
ilmunya yang bernama 'Dewa Mabuk'
dengan sendirinya jatuh ke tanganku. Sepuluh tahun lebih aku melatih diri
untuk , mempertinggi kepandaianku.
Kemudian, aku mengambil seorang murid dan kudidik
dengan ilmu-ilmuku. Tak lupa, sambil melatihnya, aku melatih diri pula. Asal kau
tahu saja, Moksa Bangsat!
Muridku itu jauh lebih kejam dan jahat daripada aku! Sejak kecil dia kudidik
agar setelah dewasa menjadi orang yang paling suka melihat orang lain tersiksa!
Ha ha ha...!"
Moksa merasa ngeri mendengar suara tawa Sulang
yang sarat nafsu-nafsu kejahatan. Tapi, rasa ngeri itu masih kalah
besar dengan kemarahan yang melanda akibat
kematian istri dan anaknya secara mengerikan.
Dan kemarahan hebat yang menggelegak dalam dada
yang mendorong Pendekar Tangan Sepuluh menyerang
Sulang dengan buas. Sementara laki-laki tua berwajah mengerikan yang memendam
dendam dan sakit hati pun
menyambutnya! Begitu pertarungan
berlangsung beberapa jurus,
Pendekar Tangan Sepuluh harus mengakui kalau Sulang
tidak hanya bersesumbar. Kenyataan yang dihadapinya
memang demikian. Sulang telah mengalami kemajuan pesat, jauh melampaui kemajuan
yang diterima Moksa.
Pendekar Tangan Sepuluh sendiri selama dua puluh
lima tahun, tidak berpangku tangan saja. Dia juga berlatih.
Tapi tokoh Sulang yang dulu memiliki kepandaian jauh di bawah Pendekar Tangan
Sepuluh, mampu melampauinya!
Sulang yang sekarang tidak hanya memiliki tenaga
dalam dan kecepatan gerak di atas Pendekar Tangan
Sepuluh. Tapi juga memiliki ilmu-ilmu aneh yang menyulitkan Pendekar Tangan Sepuluh dalam melancarkan serangan
balasan. Kedahsyatan
ilmu 'Sepuluh Tangan
Malaikat' yang biasanya amat a mpuh untuk menjatuhkan lawan tangguh, sekarang
pupus. Tidak pernah sekali pun tangan Moksa mendarat di sasaran.
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan perlahan Pendekar Tangan Sepuluh berhasil
dihimpit lawannya. Setiap
serangannya, tidak
pernah mengenai sasaran. Sebaliknya serangan
balasan yang dikirimkan Sulang, senantiasa merepotkan Moksa.
Desss! Bukkk! Entah di jurus keberapa, tahu-tahu tubuh Pendekar
Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke
belakang. Hanya saja, dari mulut Moksa keluar deras darah segar. Memang pada
saat yang hampir bersamaan, pukulan tangan kanan terbuka Sulang mendarat di dada
Pendekar Tangan Sepuluh. Sebaliknya, tendangan kaki kanan Pendekar Tangan
Sepuluh menyerempet paha kanan Sulang.
*** "Ayaaah...!"
Jeritan nyaring melengking yang sarat perasaan kaget dan khawatir menyeruak,
ketika tubuh Pendekar Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke
belakang. Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, melesat
bayangan ungu yang langsung menerjang Sulang. Sementara bayangan yang berwarna
kuning melesat ke arah tubuh
Pendekar Tangan Sepuluh yang melayang ke belakang. Sosok bayangan kuning cepat
menghentikan melayangnya tubuh itu, sebelum berbenturan dengan batang pohon.
"Huakh!"
Darah segar langsung menggelogok keluar, ketika
Pendekar Tangan Sepuluh baru saja membuka mulut, saat akan berbicara.
"Ayah...!"
Sosok berpakaian kuning yang tak lain seorang gadis
manis bernama Sri Kanti ini, menyerukan panggilan terhadap Pendekar Tangan
Sepuluh dengan penuh rasa cemas.
"Kau... terluka, Ayah"!" lanjut Sri Kunti. Pendekar Tangan Sepuluh masih
berusaha tersenyum meski sepasang matanya telah sayu. Biasan wajahnya pun
menyiratkan kegembiraan ketika menatap wajah
gadis muda yang
memapah tubuhnya, dan merebahkannya secara hati-hati di tanah. "Kau... kau...,
Sri Kunti, Anakku"!" tanya Moksa dengan suara terputus-putus karena lukanya yang
parah. Hantaman Sulang memang dahsyat
"Benar, Ayah. Aku Sri Kurti, putrimu yang kau kirim pada Kakek Burisrawa untuk
menuntut ilmu," jawab Sri Kunti disertai air mata yang terus menetes. Gadis ini
benar-benar tidak kuat menahan rasa sedih melihat keadaan
ayahnya yang sudah sekarat. Meskipun demikian Sri Kunti berusaha tidak ingin
menangis! Andaikata harus, biar hanya air mata saja yang mengalir. Tidak perlu
mengeluarkan suara. "Kau..., kau sudah menjumpai ibu dan adik mu"!
Maaf, Ayah tidak sempat memberitahukan kalau kau
mempunyai seorang adik lagi. Semula, Ayah menyembunyikannya agar menjadi kejutan nantinya bagimu, di kala kau pulang
menemui kami," suara Moksa semakin terputus-putus.
"Ayah..., Ibu dan adik telah...."
"Aku mengerti," tukas Pendekar Tangan Sepuluh, melihat keraguan Sri Kanti untuk
meneruskan ucapannya.
Sekarang, kakek berkumis melintang ini yakin kalau Sulang tidak berbohong. Ada
rasa nyeri yang bermain-main di hati Moksa. "Mereka telah tewas bukan?"
"Jadi, Ayah sudah tahu pula"!" tanua Sri Kunti serak Biasan wajah gadis ini
menyiratkan rasa kaget.
Karena sekelebatan
dia teringat ucapan
Lingga yang mengatakan kalau Pendekar Tangan Sepuluh telah melarikan diri, begitu Lingga
datang. "Aku tidak melihat mereka tewas. Aku hanya
mendengar beritanya saja dari pembunuhnya. Dan orang yang membunuhnya adalah
orang yang telah melukaiku,"
jelas Pendekar Tangan Sepuluh mulai tersengal-sengal
"Kau keliru, Ayah. Pembunuhnya adalah seorang
pemuda berpakaian merah. Dia sakti dan kejam bukan
kepalang. Aku hampir celaka di tangannya. Untung Dewa Arak datang menolongku,"
ujar Sri Kunti bernada bangga, apalagi ketika menyebut tentang sosok bayangan
ungu yang memang Arya Buana alias Dewa Arak.
"Tapi...," Pendekar Tangan Sepuluh ingin membantah.
Tapi, sesaat kemudian, dia teringat penuturan Sulang.
"Orang yang kau maksudkan itu adalah murid dari orang yang mengalahkanku,
Kunti." Sri Kunti terdiam. Gadis berpakaian kuning ini sama
sekali tidak menyangka kalau Lingga yang demikian lihai, masih
mempunyai seorang guru. Bisa dibayangkan, bagaimana kesaktiannya. Pantas saja ayahnya sampai
terluka parah. "Mengapa Ayah datang ke tempat ini"! Dan, mengapa tempat ini jadi demikian
berantakan?" Sri Kunti menatap sekeliling, dengan pandangan heran.
"Kau tidak tahu, Kunti. Malapetaka besar menimpa gurumu. Ada seorang tokoh yang
telah membunuh gurumu.
Melihat tindakannya yang mengobrak-abrik tempat ini, pasti pusaka-pusaka
peninggalan leluhur majikan gurumu yang dicarinya. Aku tahu hal ini, atas
pemberitahuan Sakala.
Entah ke mana sekarang burung itu. Kau harus.. , akh...!"
Kepala Pendekar Tangan Sepuluh terkulai, sebelum
sempat menyelesaikan ucapannya. Luka dalamnya yang
terlampau parah, telah mengirim nyawanya ke alam baka menyusul istri dan anaknya
yang kedua. "Ayaaah..."
Sri Kunti menjerit keras sambil mengguncangguncangkan tubuh ayahnya. Gadis ini masih berharap agar ayahnya masih hidup.
Tapi setelah beberapa kali diguncang-guncangkan, tubuh itu tetap tidak
bergeming. Kini disadari kalau ayahnya telah pergi meninggalkannya. Pendekar
yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu kini tewas.
Sri Kunti memeluk tubuh ayahnya yang telah tidak
bernyawa lagi, sebentar. Tidak ada suara ta ngis yang keluar dari mulut mungil
berbibir indah itu. Gadis itu mampu tetap tegar, kendati orang orang yang
disayanginya satu persatu pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Sri Kunti hati-hati membaringkan tubuh ayahnya di
tanah seperti khawatir tubuh itu akan pecah. Kemudian pandangannya dialihkan
pada tempat di mana Sulang tadi terhuyung.
Namun, pandangannya yang menyiratkan dendam langsung tertumbuk pada pertarungan antara Dewa Arak melawan Sulang.
Pertarungan telah berlangsung hampir lima puluh
jurus. Namun belum ada yang keluar sebagai pemenang.
Pertarungan memang masih berlangsung seimbang. Kedua belah pihak sama-sama
tangguh. Sama-sama memiliki ilmu aneh yang membuat tubuh mereka terkadang
meliuk-liuk seperti mabuk. Tapi di lain waktu, mengejang kaku penuh kekuatan!
Bresss! Tubuh kedua tokoh sakti yang memiliki ilmu mirip
satu sama lain ini sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling-guling di
tanah, ketika terjadi benturan tenaga dalam.
Kesempatan di saat tubuh Sulang terguling-guling,
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Sri Kunti. Sambil menggertakkan gigi, tubuhnya melompat menerjang Sulang.
Langsung sulingnya dibabatkan ke tubuh laki-laki berwajah menggiriskan itu.
Wusss! Sulang memang lihai! Dalam keadaan gawat begitu,
kepalanya masih sanggup diegoskan. Sehingga hantaman suling
yang hampir memecahkan pelipisnya hanya menyambar angin, lewat beberapa jari dari kepala. Namun belum juga Sulang
bersiap, Sri Kunti telah menyusuli serangannya. Dan....
Desss! Tendangan kaki kanan Sri Kunti yang tidak bisa
dihindarkan lagi oleh Sulang telah menghantam dadanya.
Tubuh Sulang langsung jatuh terguling-guling. Dadanya terasa sesak bukan
kepalang. Untung tubuhnya masih
sempat terlindungi tenaga dalam. Kalau tidak, nyawanya pasti telah melayang ke
akherat! Sulang adalah seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia
tahu, keadaan sudah tidak menguntungkan dirinya lagi.
Baru Dewa Arak saja sudah merupakan lawan sulit. Belum lagi ditambah Sri Kunti
yang cukup lihai! Ini sungguh berbahaya!
Maka Sulang yang cerdik cepat menambah kekuatan,
sehingga membuat tubuhnya yang terguling-guling menjadi lebih cepat. Kemudian,
dengan sebuah gerakan indah
tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu menjejak tanah, dia cepat melarikan diri.
"Mau lari ke mana kau, Pengecut"!"
Sri Kunti yang tengah
sakit hati, tidak mau
membiarkan lawannya lolos begitu saja. Bergegas dia
mengejar. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Sulang sudah tidak
terlihat lagi. Kecepatan lari Sulang memang jauh di atas Sri Kunti!
Dengan rasa penasaran yang menggunung di dada,
Sri Kunti berbalik dan berjalan ke tempat semula.
"Kau tidak berniat mengejarnya, Arya"!" tanya Sri Kunti ketika melihat Arya
masih di tempat semula.
"Aku tak mau membuang tenaga sia-sia, Kunti. Dia telah cukup jauh, sebelum aku
sempat berbuat apa-apa.
Apalagi, dia memiliki ilmu lari cepat yang sangat tangguh,"
jawab Arya. Tapi sebenarnya bukan itu alasan Dewa Arak. Arya
merasa tidak senang, ketika melihat Sri Kunti melancarkan serangan di saat
Sulang tengah tidak bersiap. Dan yang membuatnya semakin tidak senang, saat itu
Sulang adalah lawannya. Jadi serangan yang dilancarkan Sri Kunti, sama artinya
mengeroyok Sulang. Hal inilah yang mendorong Arya tak melakukan pengejaran.
Padahal, kalau pemuda berambut putih keperakan ini
mau, kemungkinan besar Sulang akan berhasil dikejarnya.
Karena, kakek berwajah mengerikan itu tengah terluka yang cukup parah akibat
tendangan Sri Kunti.
Sri Kunti tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dan saat itulah pandangannya
tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergolek di tanah, tak jauh dari ayahnya.
Tadi, perhatiannya terlalu dipusatkan pada ayahnya dan Sulang. Sehingga, dia
tidak melihat adanya sesosok mayat di situ. Seketika Sri Kunti teringat ucapan
ayahnya. Dan, mengapa ayahnya
berada di sini. Jantung dalam dada Sri Kunti pun berdetak jauh lebih cepat
karena mendapat dugaan kalau mayat yang tergolek itu adalah Burisrawa, gurunya.
"Guru...!"
Jeritan kekagetan dan ketidakpercayaan langsung
terdengar ketika Sri Kunti memeriksa dan mengenali mayat yang tergolek dalam
keadaan menggiriskan itu! Dan diiringi keluhan tertahan, Sri Kunti ambruk.
Untung Arya cepat menangkapnya sehingga dia tidak terbanting, di tanah.
Arya hanya bisa menghela napas berat penuh
perasaan kasihan ketika melihat Sri Kunti pingsan! Dia tahu, gadis berpakaian
kuning ini menerima pukulan batin bertubi-tubi yang amat berat
7 Bentakan-bentakan keras yang biasanya keluar saat
terjadi pertempuran, membuat Arya terkejut. Kepalanya cepat menoleh ke arah
sumber suara itu.
Beberapa belas tombak dari tempatnya, berkelebatan
sosok-sosok dari dalam sebuah pondok kecil. Gerakan
mereka rata-rata gesit, menandakan tingginya kepandaian mereka.Perasaan tertarik
membuat Arya yang masih
memondong tubuh Sri Kunti, bergerak mendekati tempat itu.
Karena tidak ingin terlibat sebelum tahu masalahnya, Dewa Arak mendekati tempat
itu secara hati-hati agar tidak diketahui sosok-sosok yang kelihatannya tengah
bersitegang. Dengan berlindung di balik kerimbunan semak-semak
serta pepohonan, Dewa Arak berhasil mendekati tempat sosok-sosok itu saling
berhadapan dengan sikap saling bertentangan.
Suatu tanda kalau
mereka mempunyai
kepentingan satu sama lain, sehingga menimbulkan perselisihan. Jantung di dalam dada Arya berdetak kencang ketika
mengenali tiga sosok, di antara enam sosok yang berada di situ. Tiga sosok yang
tak lain tiga kakek dari Nepal yang mengaku sebagai Kelompok Bulan Sabit.
Sedangkan sosok yang lain juga berkulit hitam kecoklatan, dan berhidung
melengkung. Hanya saja sosok ini berambut panjang dan beranting-anting yang juga
panjang. Sosok ini seorang wanita! Di tangan kanannya yang kurus tergenggam
sebatang suling dari ular mati yang dikeringkan.
Sedangkan di sisi lainnya, berdiri dua sosok yang juga kakek-kakek dari Nepal.
Tubuh mereka gemuk dan besar mirip seekor kerbau. Dan tangan mereka yang gemuk
dan besar mencekal sebatang tongkat besar terbuat dari kayu melingkar. Pada
bagian pangkal tongkat terdapat ukiran kepala seekor gajah. Inilah kelompok lain
dari Nepal yang mengaku Kelompok Gajah Dewa!
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan dua kakek
dari Kelompok Gajah Dewa mengarahkan pandangan ke arah wanita beranting-anting
panjang yang juga telah berusia lanjut.
"Gangga Nanda," kakek dari Kelompok Gajah Dewa membuka suara. "Memandang muka
Tayatonga yang masih kami hargai, lebih baik beritahukan pada kami di mana
pusaka-pusaka itu disembunyikan. Jangan kau paksa kami bertindak tidak
sewajarnya terhadap dirimu!"
"Enak saja kau bicara, Bharurendra!" sentak kakek bertahi lalat di ujung hidung
yang merupakan juru bicara, sekaligus orang paling berangasan dari kelompok
Bulan Sabit "Kamilah yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu daripada kalian.?"Ha ha ha...!
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lucu...! Lucu... sekali...! Atas dasar apa kalian mengatakan lebih pantas
daripada ku" Bukankah aku memiliki tingkatan lebih tinggi, sewaktu kita semua
masih dalam satu kelompok. Kami memiliki tingkat di atas kalian.
Tak terkecuali Tayatonga!" bentak kakek yang berhidung besar seperti hidung
kerbau dari Kelompok Gajah Dewa.
Suaranya keras mengguntur. Dan dia lebih dikenal dengan nama Gitananda.
"Itulah sebabnya kami mengatakan lebih berhak,
Bharurendra!" sambut kakek bertahi lalat di ujung hidung.
"Karena merupakan murid, maka kamilah yang berhak mewarisi pusaka-pusaka itu.
Kalian berdua terhitung orang luar. Dan, tidak berhak ikut campur! Urusan ini
adalah urusan dalam antar murid-murid dari Guru Bahadur!"
"Ha ha ha...!"
Laki-laki yang bernama Gitananda kembali tertawa
bergelak. Sehingga, membuat perutnya yang gendut dan besar terguncang-guncang.
"Kalian benar-benar dungu! Lupakah akan ucapan
guru kalian, Bahadur sebelum meninggal" Siapa pun yang memegang pusaka-pusaka
itu, berhak menjadi pimpinan.
Dengan syarat, orang itu berasal dari kelompok kita. Dan kami berdua memenuhi
syarat. Bahkan amat memenuhi
syarat, karena kami merupakan tokoh tingkat tinggi!"
"Kalau begitu," sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. "Sekarang, Gangga
Nanda yang berhak menjadi ketua. Karena, dialah yang telah mendapatkan pusakapusaka itu."
"Itu kalau Gangga Nanda berhasil membukitkan kalau pusaka-pusaka itu berada di
tangannya," kata Bharurendra, menghentikan tawanya. Karena dia sangat berhasrat
untuk menjadi pemimpin kelompok. "Gangga Nanda! Tunjukkan, di mana pusaka-pusaka
itu!" "Sayang sekali, aku belum berhasil mendapatkannya!"
sahut Gangga Nanda menggelengkan kepala.
"Jangan bohong, Gangga Nanda!" sentak Bhorurendra, keras. "Kami melihat kau keluar tergesa-gesa dari dalam pondok itu.
Kalau tidak telah mendapatkan pusaka-pusaka itu, apa lagi"! Bukankah kau pula
yang telah membunuh Burisrawa"!"
"Memang aku telah membunuh Burisrawa. Dan aku
telah masuk ke dalam pondok itu. Setelah memeriksa
beberapa lama, aku keluar lagi tanpa hasil. Aku yakin bukan di pondok itu
pusaka-pusaka tersimpan. Tidak ada ruang rahasia
sedikit pun di sana. Pasti Burisrawa menyembunyikannya di tempat lain!"
Bharurendra dan kakek bertahi lalat di hidung saling berpandangan. Mereka tahu,
Gangga Nanda tidak berbohong.
Dapat mereka rasakan nada kejujuran dalam ucapan nenek beranting-anting panjang
itu. "Kalian dengar...?"
tanya Bharurendra, jadi mempunyai kesempatan untuk mengejek kakek bertahi lalat di hidung beserta
kelompoknya. "Pusaka-pusaka itu belum berhasil didapatkan. Jadi perebutan dan
pencarian masih tetap berlangsung!"
"Tidak akan ada perebutan atau pencarian pusaka lagi."
Mendadak saja terdengar sebuah suara tegas. Sehingga membuat enam sosok itu menoleh ke arah asal suara. Dan pandangan mata
mereka langsung terbelalak ketika melihat sosok yang mengeluarkan ucapan tadi.
"Tayatonga..."!"
Seruan tidak keras, tapi tertahan dan sarat perasaan kaget keluar dari enam
sosok itu Dari arah sebelah kiri tampak berjalan tenang seorang kakek bertubuh sedang
bercambang bauk lebat. Sebatang tongkat berujung sebilah logam tajam berbentuk
bulan sabit tampak tergenggam di tangan kanannya. Sosok ini tak lain dari
Tayatonga. "Apa arti ucapanmu itu, Tayatonga"!"
sentak Bharurendra keras, penuh bernada kemarahan. "Kau hendak mengangkangi sendiri
pusaka-pusaka leluhurmu"!"
"Tidak usah pura-pura bodoh, Bharurendra!" sergah Tayatonga, keras, tidak ada
kesan menghormat sedikit pun.
"Pusaka leluhur"! Seenaknya saja mengangkangi pusaka milik orang lain!"
Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan
Sabit terperanjat. Mereka tidak terkejut kalau pusaka-pusaka itu menurut
Tayatonga bukan pusaka leluhur mereka.
Karena sebelumnya Tayatonga juga sudah berkata demikian.
Tapi, sikap Tayatonga yang demikian tidak menghormat terhadap paman-paman
gurunya! Yang membuat mereka
terkejut Kelompok Bulan Sabit pun, meski tadi terlibat keributan, tetap bersikap
menghormat Kelompok Gajah
Dewa. Mengingat Bharurendra dan Gangu Nanda, merupakan adik-adik seperguruan Bahudur, guru mereka!
"Kalianlah yang begitu tidak tahu malu berkeingnan untuk mengangkangi pusakapusaka orang lain! Jangan
dikira aku tidak tahu semua bualan kalian!"
Semakin kaget Gangga Nanda dan tiga Kelompok
Bulan Sabit mendengar kelanjutan ucapan Tayatonga yang semakin kurang ajar,
terhadap Bharurendra. Sementara wajah dua dari Kelompok Gajah Dewa semakin merah
padam karena maki dan marah.
"Kalian tidak perlu bingung-bingung, darimana aku tahu semua ini! Dan kau Gangga
Nanda, serta kalian," ujar Tayatonga sambil mengarahkan perhatian pada istrinya,
dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. "Dengarkan baik-baik, ceritaku. Karian
tahu murid-murid guru kita, yang diutus untuk mencari Pendekar Suling Perak"!
Mereka semuanya tewas secara aneh. Kalian tahu, siapa penyebabnya" Siapa
pembunuhnya" Paman-paman guru kita yang terhormat
inilah pelakunya. Mereka berdua pula yang membunuh
Pendekar Suling Perak yang telah tidak bersenjata lagi.
Akibat ingin mengangkangi pusaka milik orang lain, kedua paman guru kita ini
sampai hati melakukan semua tindak kekejian
itu. Bahkan sampai membujuk guru untuk
membatalkan janjinya, dalam hal memulangkan pusakapusaka itu. Mereka berdualah yang telah menghasut guru agar melakukan tindakan
tak pantas itu."
"Dia bohong!" sentak Bharurendra, keras sambil menuding jari telunjuk ke arah
wajah Tayatonga.
"Mungkin aku berbohong, kalau perkataan itu berasal dari mulutku sendiri. Tapi
asal kalian semua tahu saja.
Semua keterangan yang kuberikan ini kudapatkan dari mulut guru, di saat ajal
hendak menjemput," tegas Tayatonga berapi-api.
Wungngng! Bunyi menderu keras seperti terjadi angin badai
muncul dari serangan tongkat Gitananda. Dan Tayatonga tahu ancaman maut sedang
mengincarnya. Tapi hatinya tidak gentar. Disambutnya sambaran tongkat lawan
dengan tongkat bulan sabit nya!
"Mampus kau, Tayatonga!"
Gitananda yang memiliki sikap berangasan, langsung
meluruk ke arah Tayatonga. Dia berlari seperti seekor kerbau dengan tongkat
ditusukkan ke arah perut Tayatonga.
Wungngng! Bunyi menderu keras seperti ada angin badai muncul
dari serangan tongkat itu. Dan Tayatonga langsung tahu ada ancaman maut. Tapi
hatinya tidak gentar. Bahkan langsung memapak dengan tombak bulan sabitnya.
Trakkk! Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke
belakang, ketika senjata-senjata itu berbenturan. Kenyataan ini tidak hanya
mengejutkan Tayatonga, tapi juga Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan
Sabit. Karena sepengetahuan mereka, Bharurendra dan Gitananda tidak memiliki
ilmu silat yang cukup. Tapi kenyataannya"! Tayatonga yang demikian lihai itu pun
mampu dibuat terhuyung oleh Gitananda yang pendiam.
"Kepalang basah!" teriak Bharurendra, seraya menatap Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. Sinar matanya
memancarkan hawa maut. "Kalian sudah telanjur tahu rahasia ini. Biarlah kalian
pun akan kulenyapkan! Hiaaatt...!"
Bharurendra memutar-mutarkan tongkatnya di atas
kepala hingga mengeluarkan bunyi mengaung keras dan
gelombang angin menderu keras. Kemudian diawali jeritan keras yang menggetarkan
jantung, kakek tinggi besar ini menerjang tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit
yang kebetulan berdiri dekat dengannya.
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terkejut ketika merasakan adanya hembusan
angin keras yang mendahului tibanya serangan tongkat Bharurendra. Bahkan hampir
saja tubuh ketiga kakek itu terjengkang ke belakang, kalau tidak cepat-cepat
mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk
memberatkan tubuh.
Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, seketika itu
pula bermaksud memapak serangan Bharurendra.
Trakkk! Empat batang senjata langsung berbenturan keras.
Dan akibatnya, tubuh tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terjengkang ke
belakang dan terguling-guling di tanah, seperti daun-daun kering dihembus angin.
"Terimalah ajal kalian!" sahut Bharurendra seraya melompat memburu lawanlawannya yang masih terguling-guling. Tongkat bergagang kepala seekor gajah,
siap dihantamkan. Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terperanjat
bukan kepalang. Mereka menyadari akan adanya ancaman maut. Tapi, mereka juga
tidak mampu bertindak apa-apa.
Kekuatan yang mereka tangkis tadi ternyata demikian besar.
Sehingga mampu membuat tubuh bagaikan daun diterbangkan angin. Sekujur tubuh
mereka terasa lumpuh-lumpuh.
"Hih!"
Di saat tongkat Bharurendra hampir menghancurkan
kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, mendadak sesosok bayangan melesat
memotong jalur yang tengah
ditempuh Bharurendra. Dan dalam keikutsertaannya
membela tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, sosok itu langsung
mengirimkan tusukan ke arah ubun-ubun Bharurendra. Tindakan sosok yang tak lain Gangga Nanda ini,
membuat Bharurendra terpaksa mengurungkan maksudnya.
Dan secepat kilat tangannya dikibaskan ke arah sosok yang tengah melesat ke
arahnya. Wuttt! "Uh...!"
Gangga Nanda mengeluarkan keluhan tertahan ketika
dari kibasan tangan Bharurendra menghambur segundukan angin keras, yang membuat
tubuhnya terhuyung-huyung ke samping. Dengan sendirinya, serangan terhadap kakek
Nepal bertubuh tinggi besar ini kandas.
Meski serangan Gangga Nanda gagal, tapi tindakannya membuat nyawa tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terselamatkan.
Kesempatan yang hanya sesaat itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh mereka untuk bergulingan, menjauhi tempat itu.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung. Gangga Nanda yang dibantu tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit
berusaha keras untuk membendung amukan Bharurendra yang luar bia sa! Sedangkan
di kancah pertarungan lainnya, Gitananda tengah berjuang keras membuat Tayatonga
roboh! Kedua pertarungan dahsyat itu hanya disaksikan dua
penonton. Arya dan Sri Kunti yang telah sadar dari
pingsannya. Dewa Arak telah buru-buru memberi isyarat untuk tidak menimbulkan
suara gaduh ketika Sri Kunti sadar dari pingsannya.
Dan sekarang, sepasang anak muda berwajah elok ini
mengarahkan pandangan penuh perhatian pada kancah
pertarungan. Malah Sri Kunti sampai terbelalak ngeri ketika melihat kehebatan
Bharurendra dan Gitananda!
Kedua adik seperguruan Bahadur ini bertarung
bagaikan macan luka. Yang ada di benak mereka hanya
menyerang dan menyerang, tanpa mempedulikan pertahanan sama sekali.
Dan ternyata, ketidakpedulian
mereka terhadap
pertahanan mempunyai alasan kuat! Ternyata Gitananda maupun Bharurendra sama
sekali tidak mampu dilukai.
Senjata-senjata yang mengenai melesat, seakan-akan tubuh mereka licin laksana
belut Hanya ketika Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok
Bulan Sabit, dan Gangga Nanda mengirimkan seranganserangan ke bagian-bagian berbahaya, kedua orang itu mengelak atau menangkis.
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makanya, lawan-lawan Gitananda dan Bharurendra selalu mengerahkan serangan pada
leher, pelipis, bawah hidung, ubun-ubun, dan pusar!
Dengan terbatasnya bagian-bagian yang dijadikan
sasaran serangan, Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan Gangga
Nanda sedikit mengalami kesulitan.
Maka tidak heran kalau mereka semuanya terus didesak.
"Arrrggghh...!"
Mendadak Bharurendra mengeluarkan geraman keras, seperti seekor singa hendak melumpuhkan korbannya.
Dan akibat geraman itu memang menggiriskan hati.
Untuk sesaat Gangga Nanda, dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit yang tenaga
dalamnya di bawah Bharurendra, merasakan goyah pada kedua lututnya. Bahkan dada
mereka tergetar hebat.
Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak terbuang
percuma. Bharurendra yang memang sudah merencanakannya, langsung melompat menerjang. Tongkat bergagang kepala seekor
gajah diputar cepat, laksana kitiran.
Tubuhnya terus melayang ke arah kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit
Prak, prak, prakkk!
Bunyi berderak keras kontan terdengar, diiringi
bermuncratannya darah segar dari kepala tiga kakek yang berasal dari Kelompok
Bulan Sabit, kepala tiga orang itu langsung hancur berantakan. Memang, kebetulan
saat itu, ketiga orang ini yang berada lebih dekat dengan Bharurendra.
Peristiwa yang berlangsung hanya sekejap ini, cukup
membuat Gangga Nanda berhasil menguasai diri. Dan dia segera menghilangkan
pengaruh teriakan Bharurendra. Istri Tayatonga segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk lebih cepat memulihkan diri.
Tapi, saat itu juga, Bharurendra melompat ke arahnya sambil mengayunkan tongkat
8 "Gangga Nanda...!"
Tayatonga yang sempat melihat adanya ancaman
maut terhadap istrinya, tidak bisa tinggal diam. Cepat dia pun melompat
meninggalkan Gitananda. Dalam puncak
kekalapannya, dia jadi seperti memiliki tambahan tenaga.
Tubuhnya melayang dalam kecepatan menakjubkan.
"Bharurendra...!"
Gitananda yang sempat terkesima melihat gerakan
Tayatonga, bergerak mengejar di belakang dengan tongkat siap diayunkan.
Sementara Bharurendra yang mendengar sambaran
angin dari belakang, jadi kaget. Bergegas kepalanya menoleh ke belakang.
Dan begitu kepalanya bergerak menoleh ke belakang,
Bharurendra kaget. Sama sekali tak disangka akan sedemikian cepat tibanya serangan. Dia sama sekali tidak tahu
kalau Tayatonga seperti mendapat tambahan kemampuan baru, akibat kekhawatiran yang sangat terhadap keselamatan istrinya.
Crattt! Desss! "Akh...!"
Jeritan kesakitan langsung keluar hampir berbarengan dari mulut Tayatonga dan Bharurendra. Karena tepat pada saat ujung
logam bulan sabit Tayatonga
menggores pelipis, Bharurendra pun mengirimkan gedoran telapak tangan kiri yang
telak menghantam dada Tayatonga!
Darah segar pun kontan tumpah dari mulut Tayatonga,
seiring terlempar tubuhnya ke belakang.
Dan, saat itulah Gitananda yang merasa geram bukan
kepalang melihat keadaan Bharurendra yang terhuyunghuyung sambil meraung-raung, siap menusukkan tongkatnya kepada Tayatonga.
"Uh!"
Namun Gitananda terpaksa mengurungkan maksudnya, karena mendengar adanya hembusan angin
keras yang diiringi sambaran hawa panas. Serangan yang siap hantam itu ditarik
kembali. Dan kakek tinggi besar ini pun segera melompat ke belakang. Begitu
menjejak tanah, dia menggeram keras, karena perasaan marah mengetahui ada orang
yang berani menghalangi maksudnya. Seketika kepalanya menoleh ke samping. Dan
tampak seorang pemuda berambut putih keperakan berdiri di situ. Siapa lagi kalau
bukan Dewa Arak!
"Keparat! Kau mencari mampus, hah..."!" Gitananda dalam kemarahannya, tidak
mempedulikan orang yang telah menghalangi maksudnya. Yang terpancang di benak
hanya membunuh orang yang telah menghalangi tindakannya.
"Hiyaaa!"
Dari jarak enam tombak, tanpa menggeser kakinya
Gitananda menghentakkan kedua tangannya. Maka berhembuslah angin luar biasa keras.
"Hah!"
Dewa Arak yang tidak ingin membuat orang asing itu
menjadi sombong, tidak mau kalah gertak. Langsung kedua tangannya dihentakkan.
Blarrr! Udara seperti bergetar ketika dua pukulan jarak jauh yang berkekuatan amat
dahsyat berbenturan di tengah jalan.
Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling-guling.
Namun meski pandangannya agak
nanar, Dewa Arak dan Gitananda bergegas bangkit dan
bersiap melanjutkan pertarungan.
"Akh...!"
Mendadak Gitananda menggeliat-geliat.
Dan tubuhnya langsung terhuyung-huyung
dengan wajah menyiratkan rasa sakit yang hebat
Pemandangan ini membuat Dewa Arak mula-mula
curiga dan heran. Jangan-jangan, hal ini hanya akal
lawannya untuk mendapatkan kemenangan secara mudah.
Maka tetap ditatapnya laki-laki dari Nepal itu dengan sikap waspada.
Tapi ketika melihat keadaan Gitananda menggeliatgeliat secara dahsyat bagaikan cacing yang diletakkan di abu panas, Arya mulai
menatap dengan sinar mata lain. Sekarang dia tahu kalau Gitananda tidak berpurapura. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan bagi Arya, mengapa ini terjadi".
Dewa Arak sadar, kalau belum melukai lawannya!
Tapi, mengapa kakek tinggi besar itu kelihatan sangat menderita"
"Gitananda! Cepat bunuh Tayatonga Keparat itu!"
Seruan keras yang dikeluarkan bernada mendesak itu
berasal dari mulut Bharurendra. Dan kakek tinggi besar itu, saat ini tengah
terhuyung-huyung sambil mendekap luka di pelipis. Luka kecil nya seperti menjadi
parah bukan kepalang!
Sementara Gangga Nanda tidak mempergunakan
kesempatan itu. Dia sibuk menotok beberapa bagian tubuh Tayatonga untuk sekadar
menghilangkan rasa sakit dan pengobatan awal agar luka dalamnya tidak semakin
parah! Di lain tempat, tubuh Gitananda masih tampak
menggigil keras. Sekujur otot-ototnya menegang bagaikan tengah menahan benda
yang amat berat "Cepat! Sebelum kita mati secara mengerikan!"
"Aaarrrggghhh...!"
Gitananda menggeram keras seperti mengerahkan
kekuatan terakhir. Namun Arya yang sudah berwaspada
sejak tadi, tidak mau membiarkan kakek tinggi besar itu melaksanakan rencananya.
Cepat Dewa Arak bergerak
menangkis tubrukan Gitananda terhadap Tayatonga
Bresss! Tubuh Dewa Arak langsung terpental dan terbanting
di tanah. Begitu menyentuh tanah tubuhnya terus berguling-guling. Sedangkan
tubuh Gitananda hanya bergoyang-goyang saja.
Dewa Arak adalah seorang tokoh pengalaman. Begitu
berhasil bangkit dengan sepasang mata berkunang-kunang, dia bersiap menghadapi
serangan selanjutnya.
Sekarang Dewa Arak mengerti, pasti Gitananda dan
Bharurendra telah menuntut semacam ilmu kebal dan
kekuatan dahsyat melalui jalan hitam. Dan karena kelemahannya ditemukan, ilmu itu langsung pupus. Menilik dari Gitananda yang
tidak terluka sama sekali, tapi
mendadak seperti orang sekarat, Dewa Arak menduga ilmu mereka pasti berhubungan.
Jadi bila yang satu luka, yang lain akan ikut merasakan.
Dugaan Dewa Arak memang sebagian besar benar.
Gitananda dan Bharurendra menuntut ilmu pasangan yang berhubungan satu sama lain
melalui jalan hitam. Dan salah satu persyaratannya adalah, keberadaan pusakapusaka milik Pendekar Suling Perak. Tapi sayangnya, sebelum ilmu itu dikuasi
secara sempurna, pusaka-pusaka itu telah dikembalikan.
Makanya, Gitananda dan Bharurendra berusaha keras mendapatkannya untuk menyempurnakan
ilmu mereka. Apabila tidak dilakukan, bagian-bagian lemah di tubuh mereka akan
membahayakan keselamatan mereka!
Dan untuk mencegah mati secara mengerikan, orang yang melukai bagian lemah itu
harus dibunuh! Setelah sadar kalau untuk membunuh Tayatonga
masih harus berhadapan dengan Dewa Arak. Dan mungkin sebelum maksudnya berhasil,
sudah lebih dulu tewas dengan mengerikan!
Tapi ada satu jalan untuk mencegah. Karena yang
terluka adalah Bharurendra. Dan Gitananda bisa lolos dari maut, asalkan berada
dalam jarak ribuan tombak dari
Bharurendra! Setidak-tidaknya, dua ribu tombak! Dan bila jarak itu dicapai,
Bharurendra akan tewas sendirian. Karena, hubungan antara mereka telah putus.
Tapi Gitananda belum ingin mati. Maka, tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya berbalikkan.
Dan dengan terhuyung-huyung, dia berlari meninggalkan tempat itu
"Gitananda...! Tunggu...!" Seru Bharurendra kaget karena tidak menyangka dengan
tindakan Gitananda. Dia tahu, rekannya ingin selamat sendirian. Dan itu tidak
diinginkannya. Maka meski dengan langkah terhuyung-huyung, dia
berlari mengejar. Tidak akan dibiarkan Gitananda jauh meninggalkan dirinya.
Sementara itu Dewa Arak mengayunkan kaki menghampiri Tayatonga yang masih tergolek di tanah dengan napas tersengalsengal, ditunggui Gangga Nanda. Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau nyawa
Tayatonga tidak akan mungkin bisa diselamatkan. Luka yang dideritanya memang
terlalu parah. Sedangkan tanpa diberitahukan, Sri Kunti keluar dari tempat persembunyiannya dan
menghampiri Tayatonga pula.
Tayatonga menatap suling perak yang berada di
selipan pinggang Sri Kunti. Dia tahu, itu bukan suling perak asli. Tapi, lakilaki itu tidak berkata apa-apa.
"Kau murid Burisrawa"!" tanya Tayatonga, ketika melihat suling perak itu
"Benar, Kek," jawab Sri Kunti membenarkan.
"Dia istriku," Tayatonga menunjuk pada Gangga Nanda, setelah terlebih dulu
melepas senyum pada Sri Kunti.
"Dia yang telah membunuh gurumu, dan mengobrak-abrik tempat suci ini. Kau boleh
membunuhnya. Aku tidak mau melindungi orang yang bersalah."
"Biarlah, Kek. Menghargai dirimu, aku tidak mau membuat perhitungan sekarang.
Biarlah, Nanti kalau aku bertemu dengannya lagi!"
Dewa Arak dan Tayatonga tersenyum mendengar
jawaban itu. Dan kedua orang itu sama sekali tidak tahu kalau di saat mereka
tengah tersenyum, di tempat yang cukup jauh dari situ seorang pemuda berpakaian
merah tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke angkasa. Di bawah,
dekat kakinya, tergolek tubuh Gitananda dan Bharurendra yang telah menjadi mayat
Kedua kakek tinggi besar itu tewas secara biasa,
karena telah mewariskan ilmu hitam yang dimilikinya pada Lingga. Dan sekarang,
Lingga jadi memiliki kemampuan dahsyat! Tidak hanya memiliki kekebalan, tapi
tenaga dalamnya juga berlipat ganda. Karena, pemuda berpakaian merah itu telah
mendapat operan tenaga dari Gitananda dan Bharurendra. Dan memang, perpindahan
ilmu hitam itu hanya dilakukan dengan penyaluran tenaga dalam, dari orang yang
mempunyai ilmu kepada orang yang diberi ilmu.
"Ha ha ha..!"
Lingga tertawa bergelak karena tahu kalau kemampuannya telah meningkat pesat.
"Tunggulah, Dewa Arak! Kau akan mati secara
mengerikan di tanganku, akibat sikap usilanmu, Ha ha ha...!"
Ikuti kelanjutan. kisah ini dalam.episode :
BATU KEMATIAN SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Dewa Arak
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. PEDANG BINTANG
41. MACAN- MACAN BETINA 2. DEWI PENYEBAR MA UT
42. EMPAT DEDENGKOT PULAU KARA NG
3. CINTA SANG PENDEKAR
43. GARUDA MATA SATU 4. RAKSASA RIMBA NERAKA
44. TAWANAN DATUK SESAT 5. BANJIR DARAH DI BOJONG GADING
45. MISTERI RAJA RACUN 6. PRAHARA HUTAN BANDAN
46. PENDEKAR SADIS 7. RAHASIA SURAT BERDARAH
47. BENCANA PATUNG KERAMAT 8. PENGA NUT ILMU HITAM
48. TENAGA INTI
BUMI 9. PENDEKAR TANGAN BAJA
49. GEGER PULA U ES 10. TIGA MACAN LEMBAH NERAKA
50. PERTARUNGAN DI PULA U API
11. MEMBURU PUTRI DATUK
51. RAJA SIHIR BERHATI HITAM 12. JAMUR SISIK NAGA
52. MANUSIA KELELAWAR 13. PENINGGALAN IBLIS HITAM
53. PENJARAH PERAWAN 14. S EPASANG ALAP-ALAP BUKIT GANTAR 54.
KABUT DI BUKIT GONDANG 15. TINJU PENGGETAR BUMI
55. PERINTAH MAUT 16. PEWARIS ILMU TOKOH SESAT
56. SUMPAH SEPASANG HARIMA U
17. KERIS PEMINUM DARAH
57. PERGURUAN KERA EMAS 18. KELELAWAR BERACUN
58. MAYAT HIDUP 19. PERJALANA N MENANTANG MAUT
59. TITIPAN BERDARAH 20. PELARIAN ISTANA HANTU
60. PERAWAN2 PERSEMBAHAN 21. DENDAM TOKOH BUANGAN
61. RAJA IBLIS TANPA TANDING 22. MA UT DARI HUTAN RANGKONG
62. PEREMPUAN PEMBAWA MAUT 23. S ETAN MABUK
63. ANGKARA SI ANAK NAGA 24. PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
64. SATRIA SINTING 25. PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
65. SI LINGLUNG
SAKTI 26. RAJA TENGKORAK
66. PEMBUNUH GELAP 27. KEMBALINYA RAJA TENGKORAK
67. MAKHLUK JEJADIA N 28. TEROR MACAN PUTIH
68. BIANG-BIANG
IBLIS 29. ILMU HALIMUN
69. PETI BERTUAH 30. DALAM CENGKERAMA N BIANG IBLIS 70.
PULAU SETAN 31. PERKAWINAN BERDARAH
71. PETUALANG2 DARI NEPAL 32. ALGOJO-ALGOJO BUKIT LARANGAN
72. BATU KEMATIAN 33. MAKHLUK DARI DUNIA ASING
34. RUNTUHNYA SEBUAH KERAJAAN
35. KEMELUT RIMBA HIJA U
36. TOKOH DARI MASA SILAM
37. RAHASIA SYAIR LELUHUR
38. NERAKA UNTUK SANG PENDEKAR
39. MISTERI DEWA S ERIBU KEPALAN
40. GEROMBOLAN SINGA GURUN
Pedang Sinar Emas 12 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bangau Sakti 48
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama