Ceritasilat Novel Online

Batu Kematian 1

Dewa Arak 72 Batu Kematian Bagian 1


BATU KEMATIAN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebookdewikz.com/ AJI Saka Senal Dewa Arak
dalam episode 072
: Batu Kematian 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Seorang pemuda tampan berwajah jantan,
dengan rambut panjang yang dibiarkan meriap,
menghentikan langkahnya di depan pintu
sebuah kedai. Sesaat pemuda itu termenung di
situ. Sepasang matanya yang berkilat tajam,
menyapu sekitarnya.
Tak ada seorang pun yang memperhatikan
tingkah pemuda ini. Memang, diluar kedai tidak terlihat seorang pun. Rumah-rumah
yang ada pun letaknya cukup jauh. Suasana siang yang
panas membakar bumi, membuat orang-orang
tidak betah berada di luar rumah.
Lain halnya dalam kedai, justru di dalam
kedai yang cukup besar ini, keadaan sangat
ramai oleh bunyi gaduh suara manusia. Suara
yang tidak jelas terdengar, karena banyaknya
orang yang bersuara. Entah, siapa yang menjadi pendengar.
Semua kegaduhan di dalam kedai membuat
tingkah pemuda berambut panjang itu tidak
menarik perhatian sama sekali. Dan seorang pun tidak ada yang tahu kalau dalam
benak pemuda tampan itu tengah bergolak perang.
"Benarkah kedai ini yang dimaksudkan oleh orang yang malang itu"! Kalau benar,
mengapa demikian ramai"! Bukankah orang itu mengatakan, kalau kedai ini seharusnya sepi"!
Kalau bukan, mengapa yang ada hanya kedai
ini" Tapi, bagaimana kalau bukan"! Ah, pasti
ini!" Pergolakan batin itu akhirnya dimenangkan
oleh keinginan pemuda berambut putih keperakan ini untuk memasuki kedai. Maka
segera diikatkannya seutas kain merah yang
sejak tadi digenggamnya, pada pangkal lengan
kiri. Pemuda itu terus melangkah, dan tiba di
ambang pintu kedai. Sementara, bunyi gaduh
terus berlangsung. Namun semua itu tidak
dipedulikannya. Mulanya hanya melirik sekilas, kemudian kakinya terayun menuju
sebuah meja yang masih kosong.
Seorang lelaki setengah baya bertubuh kurus
kering seperti cecak kelaparan, tergopoh-gopoh menyambut, begitu pantat pemuda
berambut panjang ini bertemu dengan kursi.
"Nasi, ayam panggang, dan arak," sebut pemuda tampan itu ketika lelaki kurus
kering yang ternyata pemilik kedai menanyakan
pesanannya. Cukup keras ucapan pemuda itu. Padahal
diucapkan seperti tanpa menggerakkan bibir!
Karuan saja pelayan itu bergegas kembali, untuk mengambil pesanan. Lelaki kurus
kering ini sadar, pemuda yang baru datang itu mempunyai
kepandaian luar biasa! Belum pernah dilihatnya orang yang mampu bicara, tanpa
menggerakkan bibir. Bahkan akibat ucapannya demikian
menakjubkan. Tentu saja, karena kalau melihat ciri-cirinya tak lain dan tak
bukan kalau pemuda berambut putih keperakan itu adalah Arya
Buana alias Dewa Arak.
Dan hanya pemilik kedai itu saja yang
terpengaruh. Sementara para pengunjung lain,
sama sekali tidak mempedulikan. Mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing.
Mau tidak mau, Dewa Arak terpaksa
mengalihkan perhatian pada pemandangan yang
memang menarik. Sehingga, tidak aneh kalau
perhatian semua pengunjung kedai tercurah ke
sebuah meja, di mana terdapat dua orang yang
tengah duduk berhadapan.
Di atas meja yang membatasi dua orang itu,
tampak sebuah cangkir bambu berisi arak.
Hanya itu, tapi justru sangat menarik perhatian para pengunjung kedai. Cangkir
bambu itu tidak diam
di tempatnya, tapi bergerak-gerak bergeser. Terkadang bergeser ke kanan, tapi tak jarang ke kiri.
Sebuah pemandangan yang aneh sebenarnya,
tapi bagi para pengunjung kedai dan Dewa
Arak, sepertinya hanya hal biasa. Mereka semua tahu, kalau hal itu tidak terjadi
sendiri. Tapi ulah dua orang yang duduk berhadapan sambil
memegang pinggir meja dengan kedua tangan.
Dari tangan yang memegang pinggiran meja
itulah, cangkir bambu itu dikendalikan.
Setelah beberapa saat, cangkir bambu yang
berisi arak setengah lebih itu bergeser ke sana kemari. Akhirnya secara
perlahan-lahan terus
bergeser ke meja sebelah kiri, di mana duduk
lelaki bertubuh kekar. Sedangkan wajah lelaki ini tampak telah dipenuhi cucuran
peluh yang menetes-netes. Kedua tangannya yang mencekal
pinggiran meja tampak menegang, pertanda
telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Di lain pihak, lelaki tinggi kurus berwajah
kekuningan seperti orang penyakitan yang
menjadi lawannya, tampak biasa saja. Tidak
tampak adanya peluh, kecuali pada bagian
dahinya yang sedikit basah. Cara memegang
pinggiran meja pun tidak dengan mencekal.
Memang, dia belum mengerahkan seluruh
tenaganya. Dan, ketika cangkir bambu itu
semakin mendekati lawannya, baru kekuatannya
di tambah secara tiba-tiba.
Maka kini sekujur tubuh lelaki kekar jadi
menggigil. Dan.. .
"Huak...!"
Darah segar langsung muncrat dari mulutnya
ketika laki-laki kekar itu terus memaksakan diri bertahan. Bahkan cangkir bambu
itu secara telak dan cukup keras, menghantam dadanya. Tubuh
lelaki kekar ini langsung terjerembab ke depan.
Dan kepalanya kontan terkulai di meja.
Kekerasan hati untuk terus bertahan, mengakibatkannya tewas dengan isi dadanya
hancur. Seketika bunyi tepuk tangan langsung
membahana, menyemaraki sekitar tempat itu,
untuk menyambut kemenangan lelaki tinggi
kurus ini. Agaknya lelaki ini bangga bukan
main. Kedua tangannya segera diangkat sambil
mengedarkan pandangan berkeliling, memperhatikan wajah-wajah orang yang memuji
kemenangannya. "Ayo! Siapa lagi yang ingin mencoba
bertanding denganku. Bertanding seperti ini
tidak menakutkan. Bahkan menunjukkan, kalau
kemampuan silat tidak hanya dipergunakan
secara kasar, berkelahi seperti tukang pukul.
Pertarungan seperti ini membutuhkan seni dan
kesabaran. Jadi, lebih tinggi daripada pertarungan yang biasa dilakukan oleh jagoan
kampungan," lelaki itu mulai sesumbar.
Kata-kata itu dikeluarkan penuh nada
tantangan. Sementara mata laki-laki ini menatap wajah-wajah yang berada di
sekelilingnya satu persatu. Tiap yang ditatap langsung menunduk.
Dan itu membuatnya mengalihkan pandangan
pada yang lainnya. Tidak berani membalas
tatapannya, menjadi jawaban kalau orang itu
tidak berani menyambuti tantangannya.
"Kalau demikian, mengapa kalian tidak
kembali saja"! Meneruskan mencari benda-benda keramat itu, sama saja artinya
kalian siap bertarung denganku!" tandas lelaki berwajah kekuningan
ini dengan senyum penuh kemenangan. Tidak ada jawaban sama sekali. Semua kepala
tertunduk dalam, seperti tengah menekuri tanah, tapi, sepasang mata masingmasing orang melirik ke sana kemari, mengintai dari balik
bulu-bulu mata Senyum yang menghias wajah lelaki berkulit
kuning ini memudar, ketika melihat ada seorang pemuda yang sepertinya tidak
mempedulikan semua kata-katanya. Pemuda berambut putih
keperakan itu tetap asyik makan dan minum,
seakan-akan tidak peduli sekitarnya. Dan hal ini membuat lelaki berwajah kuning
jadi naik darah, karena merasa diremehkan.
Seketika dengan langkah lebar
sambil menggertakkan gigi, lelaki berwajah kuning ini melangkah; lebar menuju tempat
pemuda yang tak lain Dewa Arak. Kedua tangannya sudah
terkepal, hingga menimbulkan bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang patah.
Semua kepala yang tadi tertunduk kontan
mengikuti arah yang dituju lelaki bermuka
kuning tadi. Dan ketika itu juga mereka tahu, kalau antara lelaki berkulit
kuning dengan Dewa Arak yang tengah asyik menyantap makanan,
akan terjadi pertarungan. Setidak-tidaknya ribut mulut.
"Sungguh tidak enak makan minum sendirian. Biar kutemani kau, Anak Muda,"
tegur lelaki berwajah kuning itu sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan
Arya. Dan mereka hanya dipisahkan oleh meja berbentuk
empat persegi panjang.
Tindakan lelaki berwajah kuning ini langsung
mendapat perhatian dari orang-orang di dalam
kedai, yang tadi tertunduk ketakutan. Mereka
tahu, akan ada pertunjukan yang mungkin
menarik. Apalagi, ketika melihat lelaki berwajah kuning itu mulai menempelkan
kedua tangan pada pinggir meja.
Dewa Arak yang baru saja mengunyah
makanannya hingga halus, mengangkat wajah
langsung ditatapnya lelaki berwajah kuning itu.
Senyum lebar seketika terhias di bibirnya. Dewa Arak seperti tidak tahu akan
adanya ancaman bahaya dari orang yang duduk di depannya.
'Terima kasih, Kisanak. Kalau begitu, jangan
malu-malu. Sikat saja yang ada. Lagi pula, aku pun tidak mampu menghabiskannya
sendirian,"
tawar pemuda berambut putih keperakan ini.
Lelaki tinggi kurus itu menyeringai.
"Biar bagaimanapun, aku hanya tamumu,
Anak Muda. Kalau kau benar-benar hendak
menjamuku, tentu tidak keberatan untuk


Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuangkan cangkir arak padaku. "
"Tentu saja tidak, Kisanak," sambut Dewa Arak, masih tetap ramah suaranya.
"Kebetulan cangkir ini belum dipergunakan. Jadi, tidak ada salahnya kalau kau
yang menggunakannya."
Sambil berkata demikian,
Dewa Arak mengulurkan tangan, menggenggam leher guci
untuk menuangkan arak ke dalam cangkir
bambu yang belum dipergunakan.
Senyum mengejek terbesit di bibir lelaki
berkulit kuning ketika melihat jari-jari tangan Arya telah mencekal leher guci
kecil, dan bermaksud mengangkatnya. Sudah terbayang di
benaknya, betapa pemuda berambut panjang ini
akan terkejut karena guci itu tidak akan
terangkat. Walaupun seluruh tenaganya dikerahkan, jelas hasilnya bakal sia-sia. Memang kedua tangan lelaki tinggi
kurus yang menempel di pinggir meja telah disaluri tenaga dalam.
Sehingga membuat guci itu menempel dengan
daun meja. *** Tapi nyatanya pemuda berambut panjang itu
tidak terkejut sama sekali. Dewa Arak tahu guci itu seharusnya dapat diangkat
dengan mudah. Dan kini tidak bergeming sama sekali!
Semua pasang mata yang ada di dalam kedai
seperti tidak berkedip menatap ke arah guci
yang telah dicekal Arya. Memang, mereka tidak tahu pasti akan apa yang terjadi.
Tapi dari percakapan terdengar dan kenyataan yang
terjadi mereka bisa memperkirakan kalau guci
itu telah dipantek dengan aliran tenaga dalam lelaki tinggi kurus. Buktinya
jari-jari tangan pemuda berambut panjang itu mencekal erat
leher guci, tapi tidak segera mengangkat dan
menuangkannya ke dalam cangkir bambu.
Semua pengunjung kedai yakin, pemuda
tampan berambut panjang ini tidak akan mampu
mengangkat guci! Kekuatan tenaga dalam lelaki berwajah kuning itu telah mereka
saksikan sendiri, ketika mengalahkan lelaki kekar yang menjadi lawannya tadi.
Tapi kini mereka merasa kaget ketika melihat
wajah lelaki tinggi kurus itu tampak menegang.
Jelas, dia telah mengerahkan tenaga besar dalam pertarungan aneh itu. Sementara,
wajah pemuda berambut panjang itu terlihat biasa-biasa saja.
Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga
dalam. Tidak salahkah penglihatan ini" Bukankah tadi,
sewaktu melawan lelaki kekar, lelaki berwajah kuning ini tidak memperlihatkan
tanda-tanda telah mengerahkan tenaga dalam besar" Mungkinkah pemuda berambut panjang itu
memiliki tenaga dalam tinggi" Rasanya tidak
mungkin! Mata para penonton adu tenaga dalam ini
baru terbelalak ketika melihat guci itu terangkat dari daun meja. Kemudian,
dengan tenangnya
pemuda berambut panjang itu menuangkan arak
yang berada dalam guci ke dalam gelas bambu.
Sementara wajah lelaki tinggi kurus yang
dibasahi peluh pada bagian dahi, tampak
berubah-ubah. Sebentar merah, sebentar pucat.
Hatinya merasa penasaran bukan kepalang
dengan kekalahannya. Dan sepasang matanya
yang sipit, seperti terbelalak lebar ketika
menatap tingkah pemuda berambut panjang
yang menuangkan arak dengan sikap tenang.
Dan ini diartikan sebagai penghinaan! Bahkan
tidak menganggapnya sebagai lawan berat.
"Jangan besar kepala, Pemuda Sombong!"
desis lelaki tinggi kurus itu, kaku dan ketus.
"Aku belum kalah! Dan pertandingan itu belum selesai! Perlu kau tahu, Ular Emas
tidak pernah dikalahkan orang!"
Dengan sikap kasar, lelaki berwajah kuning
yang ternyata berjuluk Ular Emas ini mengambil cangkir yang telah diisi Dewa
Arak sampai penuh. Cangkir itu dicekal dengan jari-jari
tangan, kemudian dituangkan ke mulutnya.
Berpasang-pasang mata langsung terbelalak
ketika melihat pemandangan aneh itu. Cangkir
telah miring di depan mulut Ular Emas, tidak
membuat arak yang berada di dalamnya
mengucur ke dalam mulutnya. Padahal, arak itu sudah keluar dari bibir cangkir.
Sepertinya ada kekuatan kasatmata yang menahannya.
"Sayang sekali.. . Rupanya arak ini tidak ingin kuminum, Anak Muda. Biarlah aku
tidak usah meminumnya. Tapi kau jangan kecil hati. Biar
aku yang akan memberi penghormatan kepadamu sebagai balasan atas kebaikanmu,
Anak Muda," kata Ular Emas.
Nada kata-katanya mengeluh, seperti orang
yang sangat menyesal setelah beberapa saat
membiarkan gumpalan arak itu tidak terjatuh ke dalam mulutnya. Benda cair itu
seperti telah berubah menjadi gumpalan benda lunak yang
menempel erat dengan cangkir bambu!
Sekarang, lelaki tinggi kurus itu memegang
cangkir bambunya dengan tangan kiri. Tangan
kanannya digunakan untuk mengambil guci
arak dan menuangkannya ke dalam gelas!
Padahal, arak yang berada di dalam gelas bambu telah penuh!
Currr! Arak dari dalam guci mengucur keluar dan
memasuki cangkir yang telah penuh. Tapi
hebatnya, arak itu tidak meluap keluar, meski telah melewati bibir cangkir.
Malah arak itu membentuk setengah lingkaran. Ujung permukaannya melengkung, membentuk setengah lingkaran yang melewati bibir cangkir.
Permukaan arak itu bergoyang-goyang, tapi
tidak tumpah. Ada kekuatan tidak nampak yang
membuat arak itu seperti bersatu!
Pemandangan menakjubkan ini membuat
berpasang-pasang mata yang sudah terbelalak
semakin lebar. Mereka semua tahu pengerahan
tenaga dalam Ular Emaslah yang membuat arak
itu tidak tumpah!
"Terimalah
penghormatanku ini, Anak Muda," kata Ular Emas disertai seringai ejekan, setelah terlebih dulu meletakkan
guci ke meja. Ular Emas menyodorkan cangkir yang
dipenuhi arak hingga melewati bibirnya, kepada Dewa
Arak. Gumpalan arak yang permukaannya membentuk stengah lingkaran
itu bergoyang-goyang, ketika lelaki berwajah
kuning mengangsurkannya pada Arya.
"Ah! Kau sungguh baik hati, Kisanak," ucap pemuda berambut panjang ini seraya
bangkit berdiri. Dia langsung bersiap untuk menerima
angsuran cangkir penuh berisi arak itu.
Sudah terbayang di benak para pengunjung
kedai dan Ular Emas kalau arak yang berada
dalam cangkir itu akan tumpah, dan pasti akan membasahi tangan maupun tubuh
pemuda berambut panjang ini. Memang Ular Emas
sendiri pun sampai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menahan, agar
gumpalan arak itu tidak tumpah. Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati semua orang, tak terkecuali Ular Emas! Bahkan lelaki berwajah
kuning inilah orang yang paling terkejut. Ternyata pemuda
berambut panjang itu mampu menerima cangkir
berisi arak tanpa tumpah!
'Terima kasih.. ! Terima kasih. .!"
Sambil berkata demikian, Dewa Arak mulai
menuangkan arak ke dalam mulutnya. Tapi
sampai mulut cangkir itu menghadap ke bawah,
arak itu tetap tidak mau tumpah!
Mulut Ular Emas sampai terbuka lebar-lebar
tanpa sadar, saking kagetnya. Untung saja tidak ada lalat iseng. Kalau tidak,
binatang yang menjijikkan itu pasti sudah masuk ke dalam
mulutnya yang memang besar.
Kenyataan ini saja sebenarnya sudah membuat Ular Emas sadar kalau pemuda
berambut panjang itu merupakan seorang lawan
tangguh. Tenaga dalam pemuda itu sulit diukur.
Tapi, sifat keras kepala dan merasa sebagai
tokoh yang tak terkalahkan malah membuat Ular Emas naik darah.
Tanpa pikir panjang lagi, lelaki tinggi kurus yang tengah murka ini melancarkan
serangan terhadap Dewa Arak yang tengah sibuk dengan
cangkir araknya!
Singngng! Bunyi mendesing nyaring mengiringi meluncurnya golok Ular Emas ke arah dada
Arya. Entah kapan, senjata itu lolos dari
sarungnya. Yang jelas, ketika golok itu
menyambar Dewa Arak cepat mendoyongkan
tubuh ke samping dengan tangan masih
memegang cangkir arak. Nyatanya, ujung golok
itu hanya menyambar lewat beberapa jari di sisi pinggang. Dan hebatnya, arak
yang berada di cangkir tidak tumpah sama sekali, meski
bergoyang-goyang seperti hendak keluar!
Ular Emas semakin murka! Dia mengeram
keras seperti seekor binatang buas terluka. Dan sekarang, goloknya meluncur
lebih dahsyat ke
arah Dewa Arak. Bentuk senjatanya sampai
lenyap, sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan mengurung tubuh pemuda
berambut panjang ini. Untuk yang kesekian kalinya, Dewa Arak
mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan tangan
kanan terus menggenggam cangkir, tubuhnya
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan.
Meja dan kursi pun jadi porak-poranda. Tapi
arak yang berada dalam gelas, tidak tumpah
sedikit pun. "Kau terlalu mendesakku, Kisanak. Apa boleh buat," seru Arya di antara desingan
golok yang meluncur mencari-cari sasaran. Suaranya cukup keras, sehingga mampu
mengatasi bunyi riuh
rendah kelebatan golok Ular Emas.
Trikkk! Ular Emas merasakan tangan kanannya
tergetar hebat ketika Dewa Arak memapak
senjatanya dengan jari telunjuknya. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
tangan kanan pemuda berambut panjang itu bergerak.
Byurrr! Arak yang berada di dalam gelas langsung
mengguyur sekujur tubuh Ular Emas. Rasa
panas pun menyergap bagian tubuh yang
terguyur arak. "Masih ingin dilanjutkan"!" tanya Arya tanpa nada ejekan.
Sepasang mata Dewa Arak menatap Ular
Emas yang berdiri dengan tubuh agak basah,
berjarak beberapa tombak darinya.
Ular Emas sekarang sadar kalau pemuda
berambut panjang ini bukan tandingannya.
Mungkin kepandaian pemuda itu beberapa kali
lipat di atas kepandaiannya. Selagi pemuda
tampan itu masih sadar dan tidak menjatuhkan
tangan keras, lebih baik dia mundur.
"Kau hebat, Anak Muda, aku mengaku
kalah," desah Ular Emas kaku. "Terus terang, belum pernah kutemukan seorang
pemuda sehebatmu! Pasti kau seorang tokoh persilatan yang cukup terkenal. Atau, murid
seorang sakti yang mengasingkan diri. Boleh kutahu, siapa
dirimu atau gurumu, Anak Muda"! Mungkin
jawaban yang kau berikan dapat menghapus
rasa penasaran."


Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin dia Dewa Arak!"
Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah
seorang pengunjung kedai. Rupanya, ada di
antara mereka yang pernah mendengar tentang
julukan yang menggemparkan dunia persilatan
itu. Sepasang mata Ular Emas kontan terbelalak
lebar. Sepasang matanya yang sejak tadi
menyipit, menatap pemuda berambut panjang
dari ujung tambut sampai ujung kaki dengan
sinar menyiratkan ketidakpercayaan.
"Kau..., tokoh yang terkenal itu"!" Agak gagap ucapan yang keluar dari mulut
Ular Emas. "Ah...! pasti kau dia.. ! Rambut dan pakaianmu memang sesuai dengan ciri-ciri
yang dimiliki Dewa Arak. Benarkah kau, Dewa Arak?"
"Namaku sebenarnya adalah Arya, Kisanak.
Tapi dunia persilatan memang memberi julukan
seperti itu," jawab Dewa Arak sambil menghela napas berat, berusaha merendah.
"Sama sekali tidak disangka. Ternyata kau yang demikian sakti, ikut tertarik
terhadap benda-benda keramat itu. Kalau begitu aku
hanya mempunyai kesempatan sedikit sekali
untuk mendapatkannya. Tapi aku tidak putus
asa, Dewa Arak. Meskipun kau ikut serta dalam perebutan dan pencarian bendabenda ajaib itu, aku pantang mundur!"
Dewa Arak jadi melongo. Sama sekali tidak
dimengerti, apa yang dimaksud Ular Emas.
*** 2 "Apa... maksudmu, Ular Emas"!"
Setelah sekian lama berdiam diri, Arya
bertanya penuh ketidakmengertian.
Tapi wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa-apa,
karena memang sudah bisa mengendalikan
perasaannya. "Benda ajaib"!" ulang Dewa Arak.
'Tidak usah pura-pura, Dewa Arak!" sergah Ular Emas. "Kalau tidak karena itu,
untuk apa kau datang kemari"! Melancong"!"
Arya diam, tidak memberi jawaban sama
sekali. "Selamat tinggal Dewa Arak! Percayalah.
Meski aku bukan tandinganmu, tapi niatku
untuk mencari dan memperebutkan bendabenda ajaib itu tak pernah pupus!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, lelaki tinggi
kurus itu melesat keluar. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah
berada jauh di luar kedai.
Arya hanya mengangkat bahu. Kemudian
pandangannya beralih pada para pengunjung
kedai yang masih berada di meja masingmasing, menatap ke arahnya. Tapi mereka
langsung duduk di meja masing-masing, begitu
beradu pandang dengan sepasang mata Arya.
Memang, mereka yakin kalau pendekar muda
yang terkenal itu tidak akan melakukan tindakan macam-macam. Tetapi pandangan
mata Arya yang tajam berkilat itu membuat mereka gentar bukan main. Dan mata mereka pun
dialihkan pada hidangan yang tersedia di atas meja.
Dewa Arak pun tidak mempedulikannya.
Malah kakinya segera melangkah menghampiri
pemilik kedai. Tanpa banyak bicara, segera
diberikannya uang pembayaran makanan dan
pengganti kerusakan.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki"!" tanya Arya, setelah lelaki pemilik kedai itu
menerima uang pembayaran.
'Tentu saja, Tuan Pendekar! Dan aku akan
mencoba untuk menjawab, kalau memang bisa
kujawab!" sahut lelaki kurus kering cepat.
"Apakah di tempat ini ada seseorang yang tengah menunggu kawannya"!"
Lelaki kurus kering itu tercenung sejenak.
"Tadi pagi memang ada seseorang yang
mungkin Tuan Pendekar maksudkan. Tampak
gelisah sekali. Dia memesan makan untuk dua
orang. Tapi, tidak segera memakannya. Bahkan
bersikap seperti ada yang ditunggu. Tak lama
kemudian, dia pergi tergesa-gesa. Tapi belum
lama perginya, ada sekelompok orang datang
kemari mencari-carinya. Mereka pun pergi,
setelah melihat orang yang mereka cari tidak
berada di sini."
"Terima kasih atas keterangan yang kau
berikan, Ki," ucap Arya cukup puas dengan keterangan itu.
Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan
kedai. Dia tidak berusaha untuk mengetahui,
siapa sebenarnya orang-orang yang sepertinya
memburu orang yang tengah mencarinya di
kedai ini. Arya tahu, orang seperti lelaki pemilik kedai itu tidak akan tahu
tokoh-tokoh persilatan.
Jadi, tidak ada gunanya berusaha bertanya lebih jauh.
Di depan pintu kedai, Arya menghentikan
langkah. Dia terdiam sejenak sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Baru
setelah itu kakinya bergegas meninggalkan
tempat itu. Dewa Arak saat ini merasa bingung, ke mana
harus mencari orang yang ingin ditemuinya.
Ayunan langkahnya menuruti kakinya saja. Tapi belum lama melangkah, Arya melihat
sosok-sosok yang bergerak ke arahnya.
Tempat Arya berada, sejauh mata memandang memang merupakan lapangan
tanah luas yang tidak terhalang apa pun.
Sehingga, Dewa Arak dapat melihat jauh ke
depan. Maka apa yang terlihat di depan sana,
membuatnya waspada. Matanya yang luar biasa
tajam, segera dapat melihat kalau sosok-sosok kecil jauh di depan sana, adalah
manusia-manusia yang tengah berlari.
Namun, Arya tetap bersikap tenang. Langkahnya terus saja dilanjutkan. Dia terus
berlari cepat, tanpa berusaha mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Agar tidak bertubrukan dengan sosok-sosok di depan,
pemuda berambut putih keperakan ini berlari
agak ke pinggir.
Dan hanya dalam waktu sebentar saja, kedua
belah pihak telah hampir berpapakan.
Sosok-sosok yang dilihat Arya adalah lima
orang yang berwajah menggiriskan. Semuanya
mengenakan pakaian dari kulit ular.
Dan Arya sudah merasa lega, ketika lima
sosok berpakaian dari kulit ular itu sama sekali tidak
menghiraukannya.
Bahkan terus melewatinya. Sehingga sekarang mereka telah
berlari saling membelakangi. Tapi mendadak. .
"Berhenti dulu, Kisanak.. !" Seruan keras dari belakang, membuat langkah Dewa
Arak terhenti. Arya bukan seorang pengecut. Memang, dia
lebih suka kalau tidak terjadi sesuatu di antara mereka. Tapi apabila hal itu
terjadi, Arya pantang mundur. Maka dengan sikap tenang,
tubuhnya berbalik.
Tampak lima sosok yang terdiri dari lelakilelaki berusia empat puluhan telah berbalik
Sehingga, sekarang mereka saling berdiri
berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Akulah yang kalian maksudkan"!" tanya Arya, tenang meski lima lelaki berpakaian
dari kulit ular Itu menatapnya penuh selidik.
"Tidak salah!" jawab lelaki yang berkulit hitam seperti arang, tegas.
"Dan kau tidak usah berpura-pura lagi, Anak Muda!" sambung lelaki yang memiliki
cambang bauk lebat pada wajahnya.
"Cepat berikan benda itu pada kami!" timpal yang bertubuh kecil kurus, sambil
menudingkan jari telunjuknya pada kain merah yang melilit pangkal lengan Arya.
"Dan kami akan membiarkanmu berlalu dari sini dalam keadaan hidup!" tambah yang
berkelapa botak, tidak mau ketinggalan bicara.
"Cepat berikan! Jangan sampai kesabaran
kami habis, sehingga terpaksa harus membunuhmu!" ancam laki-laki yang terakhir.
"Sayang sekali," jawab Arya bemada menyesal. "Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Benda yang kalian minta,
bukan milikku. Dan ini hanya merupakan
amanat seseorang yang telah meninggal, untuk
diberikan pada orang yang di nginkan. Dan aku yakin, kalian bukan orang yang
dimaksud!"
"Keparat!"
Lelaki yang bercambang bauk lebat menggeram. Wajahnya nampak merah padam.
Tampak jelas sikapnya yang tidak sabar, begitu mendapat jawaban seperti itu.
"Anak Muda," selak lelaki berkepala botak yang rupanya tidak ingin rekannya
cepat-cepat turun tangan. "Kami tidak ingin melukaimu, mengingat kau hanya
seorang pemuda yang
masih hijau meski rambutmu telah putih. Aku
kasihan, kalau kau mengalami kejadian yang
tidak menyenangkan. Lebih baik, serahkan
benda itu secara baik-baik. Dan, beritahukan apa yang dikatakan oleh orang yang
memberikan benda itu padamu. Asal kau tahu saja, Anak
Muda. Kami ini berjuluk Lima Naga Langit
Bumi. Sekali kami bertindak, akan ada darah
yang tertumpah! Camkanlah baik-baik!"
"Sudah jelas kukatakan pada kalian, aku
tidak akan menyerahkan benda ini karena bukan milikku, sekalipun, kalian
bergelar Lima Naga Golok
Maut! Tak mungkin aku akan memberikannya, apabila kalian berjuluk Malaikat Maut!" tandas Arya mantap
"Rupanya, kau sudah ingin mencari kuburan, Pemuda Sombong!" sentak laki-laki
bercambang bauk lebat.
Sekujur tubuh laki-laki itu sudah menggigil
karena tidak kuat menahan amarah. Dia sudah
bermaksud untuk menerjang, tapi tangannya
lebih dulu dipegangi oleh lelaki kecil kurus yang memberinya isyarat untuk
bersabar. "Baiklah."
Sebelum lelaki kecil kurus berbicara, Arya
telah lebih dulu membuka mulut. Dewa Arak
tentu saja telah mendengar nama besar Lima
Naga Golok Maut yang terkenal sebagai tokohtokoh golongan putih. Maka, dia tidak ingin
memberikan hajaran berat pada mereka.
"Kau bersedia memberikan benda itu pada
kami"!" tanya lelaki berkulit hitam laksana arang, cepat-cepat.
Arya mengangguk.
'Tapi dengan satu syarat."
Lima lelaki berpakaian dari kulit ular ini
saling berpandangan.
"Kau jangan bermain gila dengan kami, Anak Muda. Cepat katakan, apa syaratnya?"
"Begini," lanjut Arya, masih tetap bersikap tenang. "Nama besar kalian telah
lama kudengar. Begitu pula keahlian kalian masing-masing. Nah!
Asal kalian berlima, atau salah satu di antara kalian bisa mengalahkanku, aku
bersedia memberikan benda ini. Bagaimana" Setuju"!"
Lima lelaki berpakaian dari kulit ular itu
kembali saling berpandangan dengan mata
terbelalak

Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebar. Sudah gilakah pemuda berambut putih keperakan ini"! Berani benar
Dewa Arak menantang mereka untuk mengadu
kepandaian. Bahkan salah seorang di antara
mereka ada yang mengalahkan pemuda itu,
sudah dianggap menang, sehingga bisa mendapatkan benda itu. Sungguh sebuah
persyaratan yang amat menguntungkan. Maka
tanpa banyak pikir panjang lagi, mereka berlima mengangguk.
"Kami terima syarat itu!" jawab lelaki tinggi besar yang sejak tadi diam saja.
"Sekarang, siapa yang lebih dulu ingin
melawanku"!"
jawab Arya tidak mau membuang-buang waktu.
"Aku...!" ujar lelaki berkulit hitam legam, langsung mengacungkan jari telunjuk
sambil melangkah maju. "Aku berjuluk Naga Pedang Kilat!
Maka, keluarkan senjatamu untuk melawanku. Tapi sebelumnya perlu kau ingat
kalau senjata tidak bermata. Aku khawatir kau akan terluka oleh pedangku. Maka,
berhati-hatilah."
"Semua ucapanmu akan kuperhatikan, Kisanak!" sambut Arya bernada sungguhsungguh. Dalam hati, Dewa Arak membenarkan kabar
yang tersiar di dunia persilatan, kalau lima naga ini merupakan tokoh golongan
putih yang berwatak sombong dan menganggap diri sendiri
sebagai tokoh tidak terkalahkan. Makanya, Arya bermaksud meruntuhkan kesombongan
mereka. Singng! Sinar menyilaukan mata langsung berpendar
ketika lelaki berkulit hitam yang berjuluk Naga Pedang Kilat mencabut pedang
yang tersampir di punggung. "Keluarkan senjatamu, Anak Muda!" ujar Naga Pedang Kilat
kembali memberikan
peringatan. Kali ini peringatan itu lebih keras daripada
sebelumnya. Bahkan terasa jelas ada kegeraman di dalamnya. Dan itu terjadi
karena sikap Arya yang terkesan meremehkan. Padahal, lima naga
ini merupakan tokoh-tokoh tinggi hati yang
tidak mau mendapat perlakuan kurang hormat
dari orang lain! Arya mengedarkan pandangan
ke tanah sebentar. Kemudian dipunggutnya
sebatang ranting sebesar ibu jari kaki yang
berada di depannya. Kebetulan panjang ranting itu tidak kalah dengan panjang
pedang Naga Pedang Kilat "Inilah senjataku, Naga Pedang Kilat!" ujar Arya sambil mengunjukkan ranting itu
dengan tangan kanannya.
Bukan hanya Naga Pedang Kilat yang
merasakan panas pada wajahnya karena amarah
yang bergolak. Tapi, juga empat kawannya.
Sikap Dewa Arak benar-benar membuat harga
diri mereka demikian direndahkan!
"Baik! Kalau itu yang kau inginkan, Anak Muda. Kau yang menolak peringatanku!
Jangan salahkan aku kalau lehermu putus oleh
pedangku! Lihat serangan!"
Naga Pedang Kilat membuka serangan
dengan sebuah tusukan ke arah leher. Bunyi
menggemuruh disertai kilatan-kilatan
menyilaukan mata mengiringi meluncurnya
serangan senjata milik Naga Pedang Kilat.
Di dalam hatinya, Dewa Arak merasa kagum
melihat kedahsyatan ilmu pedang Naga Pedang
Kilat. Tapi kekagumannya tidak ditunjukkannya.
Dan segera disambutnya serangan meskipun
hanya bersenjatakan sebatang ranting, tapi
ditangan orang berkepandaian tinggi seperti
Dewa Arak, ranting itu tidak kalah dibanding
sebatang pedang pusaka!
Naga Pedang Kilat dalam kemarahannya
yang menggelegak, rupanya bermaksud membunuh Arya. Serangan pedangnya menyambar bagaikan hujan Tapi, Dewa Arak
pun tidak tinggal diam. Laksana bayangan,
tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar pedang. Saking cepatnya gerakan
kedua tokoh itu, yang terlihat hanya kelebatannya bayangan kuning dan ungu serta gulungan
dua sinar yang berkelebatan.
Trakkk! Setelah bertarung hampir lima jurus, Dewa
Arak menangkis kelebatan pedang lawan
dengan rantingnya secara keras. Sehingga, tubuh Naga Pedang Kilat terhuyunghuyung ke belakang. "Kukira sudah cukup, Kisanak," ujar Arya, langsung melempar ranting itu ke
sebelah kirinya. Lemparan itu seperti biasa saja, tapi mampu menembus batang pohon
hingga amblas setengahnya lebih!
"Aku belum kalah. Dan darah pun belum
menilik keluar dari tubuhku. Bagaimana mungkin pertarungan ini sudah harus dihentikan"!" dengus Naga Pedang Kilat.
"Aku tidak ingin bertarung dengan orang
yang . compang-camping pakaiannya."
Jawaban yang dikeluarkan Dewa Arak
dengan suara tenang. Tapi justru membuat Naga Pedang
Kilat memperhatikan pakaiannya, karena heran mendengar pernyataan itu. Wajah
tokoh Lima Naga Langit Bumi ini pun berubah
hebat, ketika melihat pakaiannya. Pada beberapa bagian,
tampak bolong-bolong. Padahal, sebelumnya dia tahu betul kalau pakaiannya
utuh! Jelas, Dewa Arak yang telah melakukannya. Naga Pedang Kilat memang memiliki watak
sombong, seperti empat rekannya. Tapi kenyataan yang dihadapi ini, telah membuatnya tahu kalau Dewa Arak telah berlaku
murah hati! Dia tahu, bila pemuda berambut
putih keperakan ini menghendaki, nyawanya telah
melayang sejak tadi. Betapa mudahnya bagi
pendekar muda itu untuk membunuhnya.
"Aku mengaku kalah," ujar Naga Pedang Kilat, kaku sambil mengundurkan diri
setelah merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Dewa Arak tidak memberi sahutan sama
sekali. Dan dia memang telah kenyang
berhadapan dengan berbagai ragam watak.
Sehingga Arya tahu, merendah terhadap Naga
Pedang Kilat hanya akan dapat menimbulkan
salah paham! Naga Pedang Kilat tengah merasa
terpukul oleh kekalahannya, bisa-bisa sikap
merendah yang akan dikeluarkan diterima
sebagai ejekan.
* * * "Kau hebat, Anak Muda," lelaki tinggi besar yang menjadi orang kedua untuk
menghadapi Dewa Arak, melangkah maju mendahului rekanrekan. "Kemenanganmu terhadap kawan kami,
menunjukkan kalau kau memiliki kepandaian
tinggi! Dan ini mengingatkanku pada seorang
tokoh persilatan yang baru-baru ini menggemparkan dengan kepandaian dan tindakannya. Dewa Arak, julukan tokoh itu.
Apakah kau orangnya, Anak Muda"!"
"Benar!" jawab Arya, singkat.
Tidak seperti biasanya jawaban Dewa Arak
terkesan mantap dan tidak merendah. Karena
dia merasakan ada nada merendahkan dalam
ucapan lelaki tinggi besar itu. Cara bicaranya mengisyaratkan
kalau tokoh yang diceritakannya terlalu dibesar-besarkan oleh
dunia persilatan!
"Bagus!" Lelaki tinggi besar itu seperti tengah memuji seorang anak kecil.
"Apakah kau akan bertanding melawanku sesuai kemampuanku"
Aku dijuluki orang Naga Bertenaga Selaksa Kati.
Apakah kau bersedia bertarung denganku sesuai dengan kemampuan yang kumiliki"!"
Dewa Arak mengangguk. Diam-diam hatinya
mendongkol sekali terhadap lelaki tinggi besar yang ternyata berjuluk Naga
Bertenaga Selaksa Kati yang sombong bukan kepalang. Dewa Arak
pun bertekad untuk mengalahkannya secara
keras. "Mengingat julukanmu, kau pasti memiliki tenaga
besar. Maka asal kau mampu mengangkat tubuhku, aku mengaku kalah. Dan
perjanjian tadi kalian yang menangkan," jawab Arya, tenang
"Keparat!"
Naga Bertenaga Selaksa Kati sampai menggemeretakkan gigi mendengar sambutan
Arya. "Kaulah yang telah menentukan, sehingga
aku tidak memiliki pilihan lain. Bersiaplah untuk menerima kekalahan, Dewa
Sombong!" "Mulailah, Naga Bertenaga Selaksa Kati. Aku sudah sejak tadi siap!" jawab Arya,
masih tetap bersikap tenang. "Atau mungkin kau merasa tidak sanggup" Bila
demikian, tidak perlu kau mengangkatku. Asal bisa mendorong tubuhku
saja, aku sudah mengaku kalah!"
Naga Bertenaga Selaksa Kati makin menggeram seperti harimau luka mendengar
ejekan Dewa Arak. Kemudian sambil mengerahkan seluruh

Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dalam, dihampirinya Dewa Arak yang telah berdiri
dengan sikap tenang. Malah seperti tidak
mengerahkan tenaga sama sekali.
Meski terlihat tenang, Dewa Arak sebenarnya
telah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
memberatkan tubuhnya. Dia tahu, lawannya
memiliki tenaga luar amat besar. Tapi Dewa
Arak yakin akan mampu mengunggulinya.
Makanya, pemuda ini berani mengajukan
tantangan seperti itu.
Naga Bertenaga Selaksa Kati memang patut
memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi besar.
Sehingga, Dewa Arak jadi terlihat kecil. Tinggi pemuda berambut putih keperakan
itu hanya sampai pundak Naga Bertenaga Selaksa Kati.
Dengan otot-otot yang bertonjolan seperti
hendak keluar di tubuh Naga Bertenaga Selaksa Kati, membuat Dewa Arak kelihatan
lemah dan ringkih. Sekilas pandang, tubuh Arya dengan
mudah akan dapat diangkat dan dipermainkan
lawan sesuka hatinya.
Naga Bertenaga Selaksa Kati telah memegang
kedua bahu Dewa Arak dengan kedua
tangannya, bersiap untuk segera mengangkat.
Dia yakin dapat mengangkat tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu. Apalagi, karena dapat memegang dengan kuat!
Mengangkat seekor kerbau yang paling besar pun dia
mampu! Apalagi, tubuh Dewa Arak yang
demikian kecil.
"Heaaa.. , ah. . !"
Tapi, Naga Bertenaga Selaksa Kati kecele
ketika telah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengangkat, tubuh Dewa Arak sama
sekali tidak terangkat. Apalagi bergeming. Padahal,
sekujur wajah Naga Bertenaga Selaksa Kati telah merah
padam. Urat-urat lehernya menggembung besar, saking telah mengerahkan
semua kekuatannya. Bahkan sampai terdengar
bunyi terengah-engah.
Naga Bertenaga Selaksa Kati akhirnya
menyerah, ketika tidak juga berhasil mengangkat tubuh Dewa Arak. Sekarang, dia
berganti siasat dengan melakukan dorongan.
Tapi, kali ini pun sia-sia. Yang didorong Naga Bertenaga Selaksa Kati seperti
bukan Dewa Arak, melainkan tiang kokoh kuat yang berakar di perut bumi!
"Aku mengaku kalah!" desah Naga Bertenaga Selaksa Kati mencoba bersikap jantan.
Padahal, hatinya terasa panas. Peluh telah membasahi
wajah dan lehernya, namun tidak dihapusnya.
Dan tubuhnya langsung berbalik dengan wajah
muram. Kekalahan Naga Bertenaga Selaksa Kati
membuat pihak Lima Naga Langit Bumi
semakin tidak puas. Perasaan itu membuat tiga orang yang belum mendapat giliran
tanpa sadar maju berbareng.
"Biar aku yang sekarang mencoba kelihaianmu, Dewa Arak!"
Hampir berbarengan pula ketiga orang Lima
Naga Langit Bumi itu mengeluarkan perkataan.
"Kau memang hebat Dewa Arak!" kata lelaki kecil kurus ini, bemada pahit "Kami
pun bukan orang-orang tidak tahu diri yang hendak
mendapatkan kemenangan secara keroyokan.
Kau berjanji, kami pun bisa berjanji. Dan aku berjanji atas nama lima rekanku.
Apabila aku dapat kau kalahkan, kami semua akan pergi dan tidak mempedulikan urusan ini
lagi! Kau boleh pergi dengan benda itu."
Ucapan lelaki kecil kurus itu mengejutkan
dua rekannya. Tapi mereka tidak bisa berbuat
apa-apa karena dapat merasakan kalau kawan
mereka benar. Apabila lelaki kecil kurus itu
kalah juga, lebih baik mengundurkan diri. Kalau semua kalah, sama artinya
meruntuhkan nama
Lima Naga Langit Bumi. Tapi juga masih ada
yang belum dikalahkan, dengan demikian
mereka masih bisa berbangga hati. Lagi pula
dengan syarat itu sama artinya mereka memberi kemudahan pada Dewa Arak. Sehingga
sedikit banyak dapat mengangkat harga diri mereka.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu pertanda
tidak terlalu mempedulikannya. Dan, lelaki kecil kurus yang menganggap tindakan
Dewa Arak sebagai tanda setuju, langsung menyambung
ucapannya. "Aku dijuluki Naga Tanpa Bayangan. Dan
kebiasaanku yang utama adalah berlari. Maka
aku menantangmu untuk berlari! Bagaimana"
Apakah kau berani"!"
*** 3 "Sekali aku mengeluarkan ucapan, tidak akan kutarik sampai nyawa lepas dari
badan. Demikian tekadku, Naga Tanpa Bayangan!"
tandas Dewa Arak agak keras. Sebenarnya Arya
tersinggung mendengar tantangan lelaki kecil
kurus yang bernada meremehkan.
"Bagus!" Naga Tanpa Bayangan. "Kau memang hebat dan juga berani. Dan memang
kuakui, kau pantas bersikap seperti itu karena telah memenangkan dua pertarungan
berturut-turut. Nah! Mengenai pertarungan antara kita, apakah kau atau aku yang
harus menentukan
jenisnya"!"
"Kau saja. Naga Tanpa Bayangan. Kau lebih mengetahui pertarungan dengan cara
seperti ini. Dan aku hanya menandingi saja."
"Baiklah kalau demikian."
Naga Tanpa Bayangan bersikap seperti agak
berat melakukannya. Pandangannya beredar ke
sekeliling tempat itu, lalu terarah pada kedua ujung jalan seperti tengah
mengira-ngira. Tapi yang terlihat hanya kesunyian.
"Kita akan mengadakan pertarungan untuk
mengambil sesuatu. Misalnya.. , sebatang ranting yang akan diletakkan di ujung sana,"
jelas Naga Tanpa Bayangan.
Naga Tanpa Bayangan menudingkan jari
telunjuk kanannya ke depan. Tanpa disuruh,
Dewa Arak mengarahkan pandangan ke sana.
"Setelah mendapatkan ranting yang akan
diletakkan di sana, masing-masing harus
kembali ke tempat ini secepatnya. Dan karena
kita sama-sama lihai, mungkin selisih lari tidak akan berbeda jauh. Dan bisa
jadi, hampir tiba berbarengan. Maka untuk lebih jelas terlihat
siapa yang akan keluar sebagai pemenang, di
sini akan kurentangkan sehelai kain yang akan menjadi
bukti siapa yang menang. Pemenangnya, akan terlihat kenapa kain itu
akan menempel dengan perutnya. Bagaimana"
Jelas, Dewa Arak"!"
"Jelas!" jawab Dewa Arak, singkat tanpa banyak bicara, dengan gerak isyarat Naga
Tanpa Bayangan meminta kedua rekannya yang belum
bertarung untuk membantunya mempersiapkan
permainan yang akan digelar. Lelaki berkepala botak disuruhnya meletakkan dua
batang ranting secara berjajar dalam jarak agak
berjauhan, sekitar satu tombak. Sedangkan lelaki bercambang
bauk lebat, diminta untuk mengikatkan sabuknya antara kedua pohon
yang berada di sisi jalan. Sekarang, jalan itu menjadi
terhalang oleh sabuk yang direntangkan. "Kau telah siap, Dewa Arak"!" tanya Naga Tanpa Bayangan, setelah melihat dua
rekannya menyelesaikan tugasnya.
"Siap!" jawab Arya, mantap sambil mengukur jarak tempat ranting itu berada
dengan pandangan matanya.
Dewa Arak tahu jarak itu tak kurang dari tiga ribu tombak. Sebuah jarak yang
amat dekat bagi orang-orang seperti Dewa Arak dan Naga Tanpa
Bayangan untuk dijadikan tempat balap lari.
Begitu lelaki berkepala botak memberi tanda
dengan lambaian tangan kanannya, Dewa Arak
dan Naga Tanpa Bayangan melesat disertai
pengerahan ilmu lari cepat. Tubuh kedua tokoh itu seketika lenyap. Yang terlihat
hanya dua bayangan kuning dan ungu yang melesat cepat,
menuju tempat ranting-ranting ditancapkan.
Naga Tanpa Bayangan melesat mengerahkan
seluruh kemampuannya. Dan dia yakin akan
dapat mengalahkan Dewa Arak. Lelaki kecil
kurus ini berlari tanpa melihat kanan kiri lagi.
Dan begitu menyambar ranting yang ditancapkannya di tanah, tubuhnya kembali
melesat cepat. Namun hatinya sempat bergetar
ketika melihat ranting yang satu lagi tidak ada, pertanda Dewa Arak telah
mengambilnya lebih
dulu. Maka sambil menggigit bibir, dia berlari kembali ke tempat semula untuk
menyusul Dewa Arak yang telah lebih dulu!
Tapi betapapun Naga Tanpa Bayangan telah
menguras seluruh kemampuannya, Dewa Arak
tetap tak terkejar. Pemuda berambut putih
keperakan itu yang lebih dulu menabrak sabuk
yang membentang jalan dengan tubuhnya
hingga putus. "Kau menang, Dewa Arak," ucap Naga Tanpa Bayangan, setelah sampai.
"Ucapannya agak terengah. Bahkan ada
sedikit peluh pada dahinya, pertanda kakek kecil kurus ini telah mengerahkan
tenaga sepenuhnya dalam perlombaan yang hanya sebentar itu.
'Terima kasih atas kerendahan hatimu
mengalah padaku, Naga Tanpa Bayangan. Dan
sekarang, aku mohon diri," jawab Dewa Arak dengan napas dan sikap biasa saja.
Tidak terlihat adanya peluh di dahi pemuda berambut putih
keperakan ini. Naga Tanpa Bayangan hanya mengangguk
kaku. Kemudian, tubuhnya berbalik. Dan tanpa
banyak bicara, kelima orang tokoh golongan
putih yang mempunyai sifat sombong ini
melangkah meninggalkan tempat ini dengan hati terpukul. Mereka tidak pernah
mimpi akan bisa dikalahkan orang lain. Apalagi oleh seorang
tokoh muda seperti Dewa Arak.
Arya pun meninggalkan tempat itu. Hanya
saja, dia menempuh arah yang berlawanan
dengan arah yang ditempuh Lima Naga Langit
Bumi itu. *** "Tolong. .!
Lepaskan aku. ., Keparat! Tolooong. .!"
Teriakan melengking nyaring membuat Arya
yang tengah berlari cepat menuju pantai,
memperlambat langkahnya. Kepalanya langsung menoleh ke arah kanan tempat asal
suara, yakni sebuah kerimbunan semak dan pepohonan. Tapi
pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa melihat apa-apa. Dan menilik dari
teriakan itu, Dewa Arak tahu kalau sumber suara berasal
cukup jauh dari tempatnya berada.
Arya yang tengah terburu-buru itu jadi
bimbang sejenak, antara meneruskan tujuannya
dengan memberikan pertolongan. Tapi naluri
kependekarannya memutuskan untuk cepat
membelokkan arah larinya, ke arah asal jeritan tadi.
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa
yakin, ada orang yang membutuhkan pertolongan. Maka seluruh ilmu lari cepatnya
dikerahkan. Perasan khawatir kalau pertolongan yang diberikan akan terlambat,
Dewa Arak menerobos semak-semak yang dipenuhi onak
berduri sehingga, terdengar bunyi berkerosokan ketika kaki dan tubuhnya


Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertabrakan dengan
semak-semak. Berkat tenaga dalam yang dimiliki, Dewa
Arak nma sekali tidak merasakan sakit sedikit pun. Dalam aliran tenaganya yang
dahsyat, kulitnya memang menjadi kebal.
Srakkk! Arya langsung menerobos kerimbunan semak-semak lebat yang diyakini menjadi
sumber suara minta tolong itu. Agak terkejut
hatinya, ketika di belakang kerimbunan semaksemak yang lebat ternyata hamparan tanah
cukup luas yang ditumbuhi rumput-rumput
pendek. Dan di tengah-tengah hamparan tanah,
berdiri sesosok tubuh berpakai serba hitam. Dia berdiri dengan kedua tangan
bersedakep di depan dada, sambil menjerit-jerit minta pertolongan. Menghadapi kenyataan yang sama sekali
tidak disangka-sangka, Dewa Arak terkejut. Dan seketika itu pula langkah kakinya
terhenti. Sepasang matanya yang tajam langsung menatap
sosok serba hitam berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang mengeluarkan
teriakan meminta
tolong, namun sama sekali tidak terancam!
Bahkan dia bukan seorang wanita seperti yang
diduga Arya semula.
Hanya sebentar saja pemuda berambut putih
keperakan itu terperanjat. Seketika itu pula, langsung dapat disadari kalau
lelaki berpakaian hitam yang pada pangkal tangan kanannya
terlilit sehelai kain hitam, telah menjebak, hingga Arya datang. Setelah
mendengar teriakan minta pertolongan.
Dewa Arak tidak yakin kalau lelaki
berpakaiai hitam itu hanya sendirian di tempat ini. Dan benar saja dugaannya.
Tak lama dari dua batang pohon yang berada di depan lelaki
berpakaian hitam, melompat turun dua sosok
bayangan. Begitu ringannya mereka mendarat di tanah, tepat di depan lelaki
berpakaian hitam.
"Nama besarmu ternyata tidak berlebihan, Dewa Arak. Kau memiliki kepandaian
cukup hebat. Terbukti, dengan keberhasilanmu memperdaya Lima Naga Langit Bumi. Kemenanganmu terhadap Naga Tanpa Bayangan, telah kami lihat. Meskipun berlari
jarak yang jauh dan dari tempat yang cukup
tersembunyi. Tapi jangan berbangga diri, Dewa Arak. Kemenanganmu terhadap mereka
tidak bisa dijadikan ukuran. Kepandaian mereka
terlalu rendah. Tiap-tiap seorang dari kami pun, mampu mengalahkan Lima Naga
Langit Bumi!"
kata lelaki berpakaian hitam yang memancing
Dewa Arak datang dengan teriakan meminta
pertolongannya.
Dewa Arak tersenyum pahit, tanpa memberikan tanggapan sama sekali selain
memperhatikan mereka penuh selidik. Rata-rata mereka berusia tiga puluh lima
tahun dengan wajah dingin menampakkan kekejaman. Tidak
ada ciri khas yang ada, sehingga Arya cukup
mengalami kesulitan kalau tidak melihat
perbedaan yang cukup menyolok Dua leIaki
lainnya yang datang belakangan, memiliki ikat Kain putih di kepala dan dipangkal
lengan kanan. "Terima kasih atas pujian kalian. Tapi, bukan untuk itu aku kemari. Dan karena
persoalan yang kumaksud tidak ada, aku tidak bisa
menemani kalian lebih lama di sini. Permisi."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut
putih keperakan ini berbalik dan bersiap
meninggalkan tempat itu.
'Tidak semudah itu kau dapat pergi dari sini, Dewa Arak! Tidak, sebelum kau
berikan apa yang kami inginkan!"
Berbarengan teriakan keras itu, Dewa Arak
mendengar adanya gerakan di belakangnya.
Namun kepalanya tidak menoleh walau langkahnya terhenti. Sekujur urat saraf dan otot di tubuhnya menegang waspada,
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi kekhawatiran Dewa Arak tidak terbukti.
Tiga lelaki berpakaian hitam sama sekali tidak mengirimkan serangan gelap.
Bahkan sekejap kemudian, lelaki yang memiliki kain putih pada pangkal lengan kanan telah
melompat melewati
kepala Dewa Arak. Tubuhnya berjungkir balik di udara, dan mendarat beberapa
tombak di depan
pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak tetap bersikap tenang dan tetap di
tempat. Hanya sepasang matanya yang melirik
ke sana kemari, seperti mengamati gerak-gerik lawan-lawannya.
Arya yakin kalau tiga lelaki berpakaian hitam ini tidak akan melepaskannya
begitu saja. Apalagi ketika mereka berdiri di tiga penjuru dengan sikap mengancam.
"Apa yang kalian inginkan"!" tanya Arya ingin
tahu, meskipun sudah bisa memperkirakannya.
"Tidak banyak," jawab lelaki yang memiliki kain putih di kepala, ringan. "Kami
hanya menginginkan kain merah di pangkal lengan
kirimu." "Benar," timpal lelaki lain yang memiliki kain putih di pangkal lengan kanan,
mendukung. "Apa bila kau menyerahkannya, kami akan
biarkan kau pergi dari sini. Bahkan mungkin kita bisa menjadi sahabat baik, Dewa
Arak." "Sayang sekali, Kisanak Semua," jawab Arya, berinada menyesal. "Aku tidak bisa
memenuhi permintaan itu. Karena, benda ini hanya titipan.
Dan aku tidak berani untuk mengingkari amanat yang dipesankan oleh pemiliknya."
"Rupanya kau sudah pingin mampus, Dewa
Arak," geram lelaki yang tangan kanannya terbelit kain putih, penuh amarah. "Kau
menjadi besar kepala karena telah berhasil mengalahkan Lima Naga Langit Bumi,
heh"! Kau terlalu
berlebihan, Dewa Arak. Mungkin perlu kuberitahu sekali lagi, kalau kepandaian mereka tidak begitu tinggi. Bahkan
tidakk bisa disamakan dengan salah seorang di antara
kami!" Arya tidak membantah pernyataan itu.
Bibirnya hanya tersenyum lebar. Dewa Arak
tahu kalau lelaki berpakaian hitam itu tidak
berbicara besar. Lawan-lawannya memang
memiliki kemampuan tinggi. Gerakan mereka
yang gesit, dan sepasang mata yang mencorong
tajam seperti mata harimau dalam gelap, telah menjadi bukti sesumbar mereka.
Sing, sing! Bunyi berdesing nyaring langsung terdengar
ketika lelaki yang memiliki kain putih di pangkal lengan kanan mencabut sepasang
senjata berupa trisula yang tadi terselip di pinggang. Sinar keperakan
langsung berkelebatan ketika sepasang trisula itu bergerak!
"Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan segera
memulai! Keluarkan ilmu 'Belalang Sakti'-mu
agar tidak mati konyol di tanganku!" ujar lelaki berpakaian hitam memberi
peringatan seraya
menyilangkan sepasang trisula di depan, agak di atas wajah. Sepasang trisula
yang berwarna keperakan kelihatan kokoh dan kuat bukan
kepalang. Arya tidak berani bersikap sembarangan.
Seperti mematuhi perintah lawannya, guci arak yang semula tersampir di punggung
diambil dan dituangkan ke dalam mulut untuk penggunaan
ilmu 'Belalang Sakti' yang dahsyat.
"Haaattt.. !"
Lelaki berpakaian hitam berseru keras, seraya meluruk
menerjang Dewa Arak dengan serangan sepasang trisulanya. Bunyi angin
menderu keras menyambar, sebelum serangan
trisula itu tiba.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Disadari betul kedahsyatan serangan lawannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung,
yang merupakan gerakan khas jurus 'Delapan
Langkah Belalang', pemuda berambut putih
keperakan ini mengelakkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam menggeram, ketika
melihat serangannya mengenai tempat kosong.
Padahal dilihatnya sendiri, kalau pemuda
berambut putih keperakan itu tidak mengelakkan serangan dengan gerakan silat.
Malah gerakannya seperti orang yang ketakutan, atau orang mabuk!
Perasaan penasaran membuat lelaki berpakaian hitam ini mengeluarkan ilmu
andalannya. Sepasang trisulanya berkelebatan
cepat, mengurung semua jalan yang sekiranya
akan dijadikan tempat mengelak Dewa Arak.
Tapi seperti juga sebelumnya, hanya kegagalan yang diperoleh.
Tentu saja, rasa penasaran lelaki berpakaian
hitam ini semakin bertumpuk. Dengan kemarahan semakin berkobar, serangan susulan
pun dilancarkan. Tapi hasil yang didapat hanya kegagalan lagi. Dewa Arak
bagaikan bayangan.
Kelihatan begitu dekat dan mudah ditangkap,
tapi apabila dilakukan tidak pernah berhasil.
Setelah menyerang selama sepuluh jurus
tanpa hasil, lelaki berpakaian hitam ini
menghentikan setangan. Suaranya yang bergetar tidak dapat menyembunyikan
perasaan geram yang tengah melanda.
Karena lawan menghentikan penyerangan,
maka Dewa Arak pun tidak melanjutkan
gerakan lagi. "Jadi... bagaimana maumu, Kisanak!" tanya pemuda berambut putih keperakan jtu,
tenang. "Balaslah menyerang! Menangkis atau pun..., apa maumu terserah! Jangan mengelakelak terus seperti perempuan pengecut atau banci!
Kau bukan banci, kan"!" seru lelaki berpakaian hitam.
Hatinya merasa tersinggung oleh
tindakan Dewa Arak yang dianggap merendahkannya.
Lelaki berpakaian hitam

Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu kalau ucapannya telah cukup untuk membuat Dewa
Arak bertindak lain. Meski, dilihatnya tidak ada perubahan apa pun baik pada
wajah maupun sikap pemuda berambut putih keperakan itu.
Oleh karena itu, tanpa menunggu lebih lama
lagi, lelaki berpakaian hitam ini kembali
memulai serangan. Sepasang trisula berkelebatan cepat. Bentuknya lenyap menjadi
dua gulungan keperak-an yang meluncur cepat
ke arah Dewa Arak.
Beda dengan sebelumnya, kali ini Dewa Arak
tidak mengelak sama sekali, tepat seperti yang diperkirakan lelaki berpakaian
hitam. Arya diam menunggu datangnya serangan. Dan ketika telah menyambar dekat,
baru pemuda berambut putih
keperakan ini menggerakkan gucinya.
Klang...! Klangng!
Bunga api berpercikan ke udara, ketika
sepasang trisula itu bertemu dengan guci secara keras. Akibatnya, tubuh kedua
belah pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Hanya saja, Dewa Arak terhuyung selangkah.
Sedangkan lawannya sampai lima langkah!
Kenyataan ini mengejutkan dua rekan lelaki
berpakaian hitam lainnya. Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau pemuda berambut putih
keperakan itu akan sedemikian kuatnya. Bahkan mampu membuat salah seorang dari
mereka terhuyung sampai lima langkah.
Tanpa diminta, dua orang lelaki berpakaian
hitam lainnya mencabut senjata, kemudian
menyerang Dewa Arak. Pada saat yang
bersamaan, lelaki berpakaian hitam yang baru
saja dipukul mundur ikut menyerang kembali.
Tak pelak lagi, Dewa Arak, sekarang mendapat
pengeroyokan! Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi Ilmu 'Belalang Sakti'
langsung dikeluarkan. Pertarungan satu melawan tiga pun berlangsung. Bunyi dentang
senjata beradu, percikan bunga api ke udara,
serta teriakan-teriakan kedua pihak yang
bertarung. Tiga lelaki berpakaian hitam itu terkejut dan penasaran bukan kepalang.
Pertarungan telah
berlangsung lebih dari lima belas jurus. Tapi selama ini mereka belum mampu
mendesak Dewa Arak! Padahal, mereka bertiga. Sedangkan Dewa Arak lunya seorang. Mereka
telah bekerja sama, sehingga seakan-akan pikiran mereka
menjadi satu. Namun kenyataannya, Dewa Arak
tidak mampu didesak!
Bukan hanya ketiga orang itu yang merasa
penasaran! Dewa Arak pun sedikit banyak
dilanda perasaan itu. Ilmu 'Belalang Sakti',
terutama sekali jurus 'Belalang Mabuk', merupakan jurus yang diciptakan khusus untuk
membongkar pertahanan lawan! Jurus itu penuh
gerakan serangan dahsyat, tapi sekarang tidak berhasil dengan baik. Kerjasama
tiga lelaki berpakaian hitam ini terlalu rapi, sehingga Arya hampir tidak pernah mendapat
kesempatan untuk menjatuhkan serangan.
Kalau saja tiga orang itu tidak bisa bekerja
sama secara baik, tentu Dewa Arak akan mudah
merobohkan kendati mereka melakukan keroyokan1 Apalagi tingkat kepandaian pemuda
berambut putih keperakan ini berada jauh di atas lawan-lawannya.
Namun, kenyataan menghendaki lain. Sehingga, pertarungan yang ulet pun terjadi.
Bahkan sekarang telah memasuki jurus ketiga
puluh lima, namun pertarungan masih belum
dapat ditentuka pemenangnya. Tak lama.. .
"Manusia-manusia Pengecut! Di mana-man
kalian selalu menimbulkan kerusuhan!"
Mendadak terdengar sebuah bentakan keras
hingga mampu menggetarkan sekitar tempat itu
Jelas, suara itu ditunjang tenaga dalam tinggi.
Dan belum hilang gema bentakan itu lenyap,
sesosok bayangan merah telah menyambar
laksana seekor burung ke dalam kancah
pertarungan. Dan bayangan itu langsung
menyerang salah seorang di antara tiga lelaki berpakaian hitam.
Tentu saja lelaki berpakaian hitam yang
mendapat serangan tidak tinggal diam. Dengan
sepasang trisulanya yang saling disilangkan
seperti hendak menjepit, dipapak serangan
tusukan pedang dari sosok yang baru tiba.
Trakkk! Sosok bayangan merah yang menyadari
keadaan berbahaya bagi senjatanya yang
mungkin patah akibat guntingan sepasang
trisula lawan, cepat menggerakkan pergelangan tangannya sedemikian rupa.
Sehingga, pedang
di tangannya tidak terkena guntingan, meskipun terjadi benturan.
Trakkk! Tubuh sosok bayangan merah itu terpental ke
belakang akibat benturan keras itu. Sementara sosok berpakaian hitam terhuyunghuyung beberapa langkah ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam yang terhuyung
mundur tahu kalau sosok bayangan merah yang
datang-datang membantu Dewa Arak, memiliki
kepandaian tinggi. Satu orang lawan lagi harus dihadapi. Dan Itu berarti
kedudukan Dewa Arak semakin kuat. Padahal pemuda berambut putih
keperakan itu saja belum mampu ditanggulangi.
Sebelum kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung sirna, lelaki berpakaian hitam ini
mengeluarkan lengkingan aneh. Belum juga
suara itu lenyap tubuhnya sudah berbalik.
Langsung dia berlari meninggalkan Dewa Arak
dan sosok bayangan merah. Dan tindakannya
segera diikuti dua orang kawannya.
*** 4 "Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak.
Kalau kau tidak cepat membantu, mungkin saat
ini nyawaku telah pergi ke alam baka," ujar Arya merendah sambil memberi hormat.
"Ah. Kau terlalu memuji, Kisanak. Tanpa
pertolonganku pun, kau akan berhasil mengalahkan mereka. Kepandaianmu hebat
bukan kepalang. Sehingga, mampu menandingi
tiga tokoh jahat itu. Aku yakin, kau bukan tokoh sembarangan," sahut sosok
berpakaian merah yang ternyata seorang gadis cantik manis berusia sekitar dua
puluh tahun. Sejenak wajah gadis cantik itu jadi kemerahan ketika mendengar ucapan terima
kasih Arya yang diketahuinya sangat berlebihan. Tapi
hanya berlangsung sebentar saja. Dan sekarang, sepasang
mata yang bening indah itu memperhatikan pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya dengan
penuh selidik. "Pasti kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak.
Pakaianmu, rambut, dan juga gucimu menunjukkan kalau kaulah orangnya. Apalagi
kepandaianmu memang amat tinggi. Apakah
dugaanku ini tidak keliru, Kisanak"!"
"Memang tidak," Arya tidak berusaha mengelak. "Tapi, aku lebih suka dipanggil
Arya." "Baiklah, De.. eh! Arya. Dan agar kedudukan kita adil kau juga harus panggil
namaku. Aku, Aku, Ambar Wati," gadis berpakaian merah ikut memperkenalkan diri.
Arya tersenyum lebar sebagai balasannya.
Tapi senyum itu mendadak lenyap, ketika
pemuda berambut putih keperakan itu melihat
mata Ambar Wati, terbelalak ke arah lengan kiri Dewa Arak. tanpa perlu memeriksa
Arya tahu kalau Ambar Wati tengah menatap kain merah
yang melilit pangkal lengan kirinya.
Singng! Sinar terang kontan mencuat ketika Ambar
Wati mencabut pedangnya yang tadi telah
dimasukkan ke dalam sarung, ketika tiga lelaki berpakaian hitam tadi telah
kabur. Namun Dewa Arak bersikap tenang. Dia
tetap berdiri di tempatnya, meski tahu kalau
keadaan sewaktu-waktu dapat saja berubah.
Bukan tidak mungkin kalau Ambar Wati tertarik juga dengan kain merah yang
membelit pangkal
lengannya. Bukankah banyak tokoh persilatan
yang ingin mendapatkan kain merah yang
dititipkan padanya"
"Keparat! Rupanya kau yang menjadi
pembunuh kejinya"! Mampuslah...!" seru Ambar Wati
penuh perasaan geram. Seketika pedangnya ditusukkan ke arah dada Dewa Arak.
Ucapan Ambar Wati membuat Arya agak
heran, sekaligus girang. Meski hanya sedikit saja, tapi bisa diduga kalau Ambar
Wati bukannya ingin mendapatkan kain merah di lengannya.
Yang jelas, gadis itu merasa heran mengapa kain merah itu berada pada Dewa Arak.
Dan ini berarti, Ambar Wati tahu siapa pemilik kain
merah itu. Setelah tahu kalau gadis berpakaian merah ini salah paham, Dewa Arak tidak mau
bertindak keras dan membiarkannya beriarut-larut. Tak
heran kalau tusukan pedang itu sama sekali
tidak dielakkan. Ketika hampir mengenai
sasaran, kedua telapak tangan yang saling
dirangkapkan dijepitkan pada mata pedang.
Tappp! Kemarahan Ambar Wati semakin menjadijadi, ketika melihat serangannya kandas. Malah, pedangnya terperangkap.
Seketika seluruh
tenaganya dikerahkan dan langsung disalurkan
pada tangan yang memegang pedang, agar
dapat lepas dari jepitan tangan Dewa Arak.
Tapi usaha Ambar Wati sia-sia belaka.
Pedang itu sama sekali tidak bergeming, seperti terjepit jepitan baja yang kokoh
kuat. Betapapun gadis berpakaian merah ini berusaha, tetap saja tidak
menunjukkan hasil.
"Sabarlah, Ambar," ujar Arya tenang. "Aku yakin ada kesalahpahaman di sini."
"Salah paham dengkulmu!" sentak Ambar Wati sewot, meski dengan napas agak
terengah karena tengah berusaha menarik pulang
senjatanya. "Percayalah, Ambar," bujuk Arya masih tetap tenang. Tidak dihiraukannya
kemarahan yang melanda gadis berpakaian merah itu. "Aku bukan seorang pembunuh!"
Dewa Arak yakin, keterangannya cukup
untuk menenangkan Ambar Wati. Maka usai
berkata demikian, jepitannya pada pedang gadis berpakaian merah itu dikendurkan.
Tapi, Arya salah duga! Ambar Wati yang
masih penasaran dan marah cepat menarik
pedangnya. Langsung dikirimkannya serangan
yang lebih dahsyat pada pemuda berambut
putih keperakan itu. Maka terpaksa Dewa Arak
bergerak ke sana kemari, untuk

Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengelakkannya.
Namun serangan menggebu-gebu Ambar
Wati hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.
Begitu mempunyai satu kesempatan, Dewa Arak
cepat mencengkeram mata pedang lawannya.
Pemuda ini tidak khawatir kalau tangannya
akan terluka, karena telah mengukur kekuatan
tenaga dalam Ambar Wati, yang jauh di
bawahnya. Dan dengan selisih tenaga dalam
yang demikian jauh, Dewa Arak mampu
membuat tangannya tidak terluka kendati harus bertemu pedang Ambar Wati.
"Ambar! Bukankah kau mempermasalahkan
kain merah ini"!" sentak Arya langsung ke pokok persoalan, karena tidak ingin
salah paham ini berlarut-larut
"Ketahuilah!
Aku tidak mengambilnya secara paksa, apalagi sampai
membunuh! Kain merah ini kudapatkan dari
pemiliknya sendiri yang tengah sekarat. Dan dia menyuruhku untuk menyampaikan
ini pada yang berhak menerimanya. Tapi, orang yang
harus kutemui untuk menyerahkan kain merah
ini tidak kujumpai. Jadi, tidak ada yang dapat kulakukan lagi!"
"Pemiliknya"!" dengus Ambar Wati, meski sikapnya tidak sekeras sebelumnya.
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Dewa Arak.
Pemilik kain merah itu telah lama meninggal
dunia! Tewas dibunuh orang!"
Wajah Arya kontan berubah.
"Tapi, aku sekarang telah percaya padamu.
Meskipun, hanya sedikit. Dan kuharap kau mau
melepaskan pedangku."
"Asal kau mau berjanji
untuk tidak menyerangku lagi," Dewa Arak meminta
kesediaan Ambar I Wati.
"Aku berjanji!" tandas Ambar Wati tegas.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya
melepaskan cengkeramannya. Dan memang,
Ambar Wati tidak menyerang lagi. Malah,
pedang itu dimasukkannya kembali ke dalam
warangka. "Sepertinya kau cukup tahu riwayat kain
merah ini, Ambar," Arya memancing.
Pemuda berambut putih keperakan ini
memang ingin tahu penyebab kain merah itu
demikian menarik perhatian tokoh-tokoh persilatan. "Tentu saja!" sahut Ambar Wati, tersenyum pahit "Karena pemilik kain merah itu
berikut kain timpalannya, adalah ayahku sendiri!"
Dewa Arak terkejut juga mendengarnya.
Semula dia telah menduga, pasti ada hubungan
erat antara Ambar Wati dengan pemilik kain
merah ini. Hanya saja pemuda berambut putih
keperakan ini tidak menyangka hubungan yang
terjalin akan seerat ini.
"Mungkin aku harus menceritakannya
padamu agar duduk perkaranya menjadi jelas.
Sebenarnya, ini merupakan rahasia keluargaku.
Tapi, aku telah percaya padamu, Dewa Arak,"
desah Ambar Wati disertai helaan napas berat
"Kalau merupakan rahasia keluarga, lebih baik tidak usah diceritakan, Ambar,"
sahut Arya, agak tidak enak.
"Tidak mengapa," Ambar Wati menggelengkan kepala. "Nah, sekarang dengarkanlah!"
*** "Kira-kira lima tahun yang lalu, ayah dan dua Saudara seperguruannya dipanggil
guru mereka. Kebetulan, sang Guru adalah Ketua Perkumpulan Tangan Dewa, sebuah perguruan
silat golongan putih. Guru dan dua saudara
seperguruannya yang lain, sudah tidak tinggal di dalam perguruan. Bahkan dua di
antara mereka telah berkeluarga. Saat itu, aku telah berusia sekitar lima belas tahun."
Sepasang mata Ambar Wati tampak berkacakaca. Arya dapat menduga, kelanjutan cerita ini merupakan kisah sedih. Tapi
sebagai pendengar yang baik, pemuda berambut putih keperakan
ini tidak menyelak sama sekali. Dia hanya diam menunggu kelanjutan cerita itu.
"Ayah dan dua saudara seperguruannya
tentu saja segera memenuhi panggilan itu.
Sesampainya di sana, mereka tahu kalau sang
Guru telah sekarat, dan hanya tinggal menunggu saatnya saja. Dan maksud
pemanggilan sang
Guru itu ternyata untuk menjadikan salah
seorang dari mereka sebagai penggantinya.
Kebetulan tiga orang itu, termasuk ayah,
merupakan murid-murid utama Perguruan
Tangan Dewa. Di antara mereka,
ayah merupakan murid yang paling pandai dan
cerdik serta bijaksana. Tapi kendati demikian, sang Guru yang tidak pilih kasih,
tidak ingin bertindak sembrono dalam menjatuhkan pilihan.
Maka diadakannya sebuah sayembara untuk
menentukan, siapa yang pantas menjadi pimpinan sepeninggal dirinya. Perlombaan itu
untuk mencari pusaka perguruan yang telah
lebih dulu disembunyikan sang Guru di sebuah
tempat. Dia hanya memberi sedikit petunjuk
untuk menemukannya. Dan keberhasilannya
untuk menemukan tempat itu, disesuaikan
dengan ilmu yangi mereka pelajari! Aku juga
tidak tahu, bagaimana caranya. Yang jelas,
seorang demi seorang diberi giliran. Batas waktu yang ditentukan tiga hari.
Selama yang seorang tengah mencari, dua yang lain menunggu di
perguruan. Begitu diadakan undian untuk
menentukan siapa yang lebih dulu melakukan
pencarian, ayahku mendapat giliran belakangan."
Ambar Wati menghentikan ceritanya. Pandangannya beredar ke sekitarnya seperti ada yang tengah dicarinya. Arya meski
merasa heran melihat tingkah gadis berpakaian merah ini,
tidak mengatakan pertanyaan sama sekali.
Dibiarkan saja Ambar Wati dengan tindakannya
yang aneh. Ternyata Ambar Wati hanya mencari tempat
yang enak untuk duduk. Dan gadis berpakaian
merah ini duduk enak di bawah sebatang pohon
yang berdaun rimbun. Tanpa banyak bicara,
Arya mengikutinya dan duduk di dekatnya.
"Yang pertama kali dan yang kedua mencoba adalah kedua adik seperguruan ayah.
Karena di samping lebih tua, ayah juga lebih lihai. Dan mereka berdua ternyata
gagal. Ayah pun
mencoba. Dan ternyata beliau berhasil menemukannya. Tapi di tengah perjalanan
pulang, ayah dicegat adik seperguruannya yang kedua, bersama belasan anak buah
Perguruan Tangan Dewa. Mereka bermaksud merampas
pusaka yang berhasil didapatkan ayah. Tentu
saja hal itu tidak dibiarkan terjadi. Ayah
melawan sedapat-dapatnya. Tapi karena lawan
terlalu banyak, tambahan lagi kepandaian adik seperguruanya juga hanya
berselisih sedikit
dengan ayah, " maka beliau terdesak hebat. Dan bahkan banyak menderita luka.
Karena tak tahan, akhirnya ayah kabur. Tapi lawanlawannya tidak membiarkannya. Mereka terus
mengejar. Karena khawatir akan keselamatan
pusaka yang telah didapatkan, ayah menyembunyikannya di sebuah tempat. Lalu
dibuatnya peta pada kain merah dan kain biru
untuk menemukannya. Dan kain merah itulah
kau dapat. Bukankah di kain merah itu ada
tulisannya, Arya"! "
"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Dan juga garis-garis yang selalu mengarah
ke kanan. Pertama menyerong ke kanan bawah. Selanjutnya, menyerong ke kanan atas. Hurufhuruf itu terletak di atas garis. Meski susah-payah mencari, tetap saja aku
tidak menemukan maksudnya."
"Tentu saja, karena kau belum mendapatkan kain biru yang menjadi pasangannya.
Pada kain biru, hanya ada tulisan-tulisan saja. Dan garis-garis pada kain merah
yang menunjuk ke bawah
itu, akan berada tepat di atas huruf-huruf. Dan untuk membacanya secara jelas,
kita harus melerakkan kain merah di atas kain biru. Tidak bertumpuk,
tapi di atasnya. Dan cara membacanya mengikuti garis yang ada. Jelas"!"
Arya tidak langsung mengerti maksudnya.
Sepasang alisnya berkerut untuk mencerna
penjelasan-penjelasan yang diberikan Ambar
Wati. "Perlu contoh agar lebih jelas, Dewa Arak"!"
tanya Ambar Wati ketika melihat sikap Dewa
Arak yang tampak demikian bingung.
"Kalau kau tidak keberatan, Ambar," jawab Arya berputar.
"Tentu saja tidak! Tapi jelas tidaknya,
tergantung pada dirimu. Maksudku, bukan
kecerdikanmu. Tapi, juga berkat adanya kain
merah itu. Tebarkan kain merah itu di tanah.
Dan aku akan memberi sedikit contoh."
Tanpa banyak cakap Dewa Arak membuka
belitan kain merah itu. Tidak ditebar di tanah, melainkan diberikannya pada
Ambar Wati. "Kaulah yang lebih berhak atas kain ini, Ambar. Karena ayahmu pemiliknya. Dan
berarti, sekarang kaulah yang menjadi pemiliknya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu padaku, Dewa Arak," ucap Ambar Wati. Suaranya
serak, seperti merasa terharu dengan kepercayaan yang diberikan Arya.
"Lupakanlah, Ambar," ringan saja Arya mengucapkannya.
Ambar tersenyum manis, kemudian menebarkan kain merah itu di tanah.
"Kau lihat, Arya. Huruf pertama adalah b.
Dan di bawah huruf b terdapat garis yang
menyerong ke kanan bawah. Di bawah ujung
garis itu, seharusnya tertulis huruf lain, yang menjadi lanjutan dari huruf b.
Dan huruf yang dimaksud itu ada di kain biru. Nah! Sehabis
huruf yang berada di kain biru, sesuai garis yang sekarang menuju ke atas dan
menyerong ke kanan, kita menemukan huruf n. Kemudian di
bawah lagi, untuk mencari lanjutannya. Jelas, Arya"!"
Pemuda berambut putih keperakan itu
mengangguk pertanda mengerti.
"Simpanlah kain itu, Ambar. Mungkin nanti ada gunanya," ujar Arya, ketika
melihat gadis berpakaian merah itu mulai menggulung kain
itu kembali. "Terima kasih, Arya," Ambar Wati menyimpan kain merah itu dalam selipan
pinggangnya. "Memang kain ini berguna sekali bagiku. Aku tinggal mencari yang
biru, sebagai pasangannya.
Dan akhirnya,

Dewa Arak 72 Batu Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku akan mendapatkan pusaka itu. Aku akan melanjutkan
cita-cita almarhum ayahku."
"O ya, Ambar. Ceritamu tadi belum selesai,"
Arya mengingatkan.
"Benar," Ambar mengangguk. Gadis itu berpikir sejenak untuk mengingat-ingat
sampai di mana tadi bercerita. Baru setelah teringat kembali, dia
melanjutkannya.
"Dalam pelariannya, ayahku tiba di rumah.
Lalu diperintahkannya aku dan ibu untuk
secepatnya pergi mencari tempat aman. Tak
lupa, ayah memberi peta yang berjumlah dua
buah itu, pada dua orang pelayan yang menjadi muridnya. Mereka pun disuruhnya
pergi. Dengan hati berat, mereka pergi untuk
melaksanakan tugas. Sebenarnya, mereka tidak
sampai hati untuk meninggalkan ayah. Tapi
karena ayah berkeras, tidak ada yang dapat
mereka lakukan lagi. Ayah sendiri terpaksa pergi bersama aku dan ibu. Aku dan
ibu memang berkeras untuk tetap bersama ayah, apa pun
yang terjadi. Dugaan ayah ternyata tepat Adik seperguruannya
bersama kelompoknya mengejar, hingga kami tersusul. Maka terjadilah pertarungan tak seimbang. Ayah
dan ibu akhirnya tewas di tangan mereka. Sementara aku berhasil
selamat karena ada yang menyelamatkanku.
Dan orang yang menyelamatkanku, menjadi guruku sampai
sekarang."
"Lalu..., apa yang kau lakukan sekarang, Ambar"!" tanya Arya ketika cerita gadis
berpakaian merah itu terhenti.
Ambar Wati menundukkan kepala, merasa
sedih mengingat kejadian yang menimpa
keluarganya "Aku akan melanjutkan keinginan ayah,
menemukan pusaka-pusaka itu. Ayah sempat
bercerita, kalau tidak semua murid Perguruan
Tangan Dewa menjadi pengikut adik seperguruannya. Yang baik, masih banyak
sekali. Tapi, mereka tidak mampu menentang.
Karena, hanya adik seperguruan ayah yang
paling lihai. Dan murid jahanam itu baru akan tersingkir dari kursi
kepemimpinannya, apabila pusaka pusaka itu kutemukan. Karena mereka
hanya t ah u, orang yang membawa pusaka itu
yang berhak menjadi ketuanya. Selama pusaka
itu tidak diketemukan, adik seperguruan ayah
yang akan menjadi ketua. Dan sebenarnya sang
Guru sendiri, telah dibunuh secara licik oleh murid
murtad itu dengan menggunakan
ramuan!" "Kau membutuhkan bantuan, Ambar?" secara halus Arya menawarkan diri.
"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa
menerima bantuanmu. Aku ingin berusaha
sendiri dan berhasil sendiri, agar arwah ayahku yang berada di alam sana
bangga," tolak Ambar Wati, halus. "Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas
bantuanmu, Arya."
Arya hanya menghela napas berat. Tentu saja
dengan tolakan Ambar Wati, Arya tidak bisa
ikut campur lebih jauh. Hatinya hanya mengkhawatirkan kalau gadis berpakaian merah
ini akan gagal. Tapi kekhawatiran itu hanya
timbul sebentar saja, ketika teringat akan guru dan penolong Ambar Wati. Dan
dia, yakin penolong Ambar Wati tak akan tinggal diam!
"Hampir aku lupa," sentak Arya tiba-tiba ketakutan teringat sesuatu. "Kau
sepertinya kenal tiga orang berpakaian hitam yang tadi
menyerangku Ambar"!"
"Mereka adalah para pemimpin Perkumpulan! Baju Hitam," jelas Ambar Wati.
"Di mana-mana mereka selalu menimbulkan
keributan. Kau mengenal mereka, Arya" Atau
setidak-tidaknya, pernah mendengar nama
kelompok itu"!"
Arya mengangguk. Memang, Dewa Arak
pernah mendengar Perkumpulan Baju Hitam.
Sebuah, perkumpulan rahasia golongan hitam
yang tidak ketahuan, di mana tempatnya.
"Apalagi yang ingin ditanyakan, Arya"!"
Arya menggeleng. Dia tahu, Ambar Wati
ingin segera pergi.
"Kalau demikian, aku akan pergi, Arya. Dan sekali lagi, terima kasih atas semua
bantuan yang kau berikan padaku."
Ucapan gadis berpakaian merah itu masih
terdengar jelas, walau tubuhnya sudah cukup
jauh. Arya hanya bisa menggeleng. Ambar Wati
memang seorang gadis cukup hebat!
*** "Ha ha ha...! Akhirnya aku berhasil juga mendapatkan benda-benda keramat ini. Ha
ha ha...!" Sebuah suara keras terdengar sehingga
membuat sebuah gubuk sederhana yang terbuat
dari bilik dan beratapkan rumbia bagai bergetar hebat.
"Siapa dulu yang berhasil mendapatkan
kuncinya. Guru"!"
sambut sebuah suara melengking nyaring milik seorang wanita muda.
Sosok laki-laki tua yang tertawa itu
mengangguk-angguk seraya menatap gadis
berbaju merah berwajah cantik yang barusan
berbicara. "Aku tahu. Tapi andaikata kau tidak berhasil, aku pun tidak sulit merampasnya
dari tangan Dewa Arak!" sergah sosok kakek tinggi kurus berpakaian putih itu. Demikian
kurusnya, hingga lebih menyerupai tengkorak.
Gadis berpakaian merah itu tidak berkatakata lagi. Pandangannya dialihkan ke tanah, di mana terdapat dua helai kain
merah dan biru yang dirapatkan salah satu sisinya. Tampak
huruf-huruf dan garis-garis pada kedua kain itu.
"Baca, Ambar," ujar kakek tinggi kurus sambil menunjuk hamparan kain merah dan
biru. "Jangan terlalu keras karena aku tidak yakin keadaan aman. "
"Baik, Guru," gadis berpakaian merah yang tak lain Ambar Wati mengangguk.
"Benda itu berada di patung Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang menjadi Dewa Suku
Liar di Pulau Mimpi," Ambar Wati membaca huruf-huruf yang tertera turun naik di
hamparan kain merah dan biru itu.
"Ha ha ha...!"
Kakek kurus kering kembali tertawa bergelak, gembira bukan kepalang.
"Aku akan menjadi orang yang paling sakti!
Akan kutebus kekalahanku pada Tua Bangka
Sombong itu. Ha ha ha.. ! Aku akan merajai
dunia persilatan. Ha ha ha...!"
"Guru tahu di mana Pulau Mimpi itu"!" tanya Ambar Wati, setelah tawa gurunya
mereda. "Tentu saja! Bahkan tempat di mana Suku
Liar itu berada, aku tahu. Aku akan menjadi
orang sakti! Ha ha ha...!"
'Sebenarnya..., benda apa sih yang Guru
maksudkan" Dan, mengapa guru yakin akan
bisa menjadi orang sakti dengan benda-benda
itu"!" tanya Ambar Wati yang memang belum merasa jelas oleh benda yang dimaksud
gurunya. Kakek kurus kering terdiam sejenak.
"Karena kau telah mendapatkan kuncinya,
sebagai hadiah kuberitahukan mengenai benda
yang kumaksudkan. Benda itu adalah dua buah
intan berbentuk kerucut. Lebih jelas lagi, dua buah ujungnya berbentuk dua
kerucut. Intan-intan itu berwarna merah dan biru. Apabila kita benturkan satu
sama lain, akan menimbulkan
kilatan cahaya mematikan, laksana petir yang
dapat menghanguskan apa pun dari jarak
bertombak-tombak! Ha ha ha...!"
Ambar Wati menelan ludah untuk membasahi, tenggorakannya yang mendadak
kering, mendengar pemberitahuan itu. Sama
sekali tidak disangka akan demikian dahsyat
benda yang dimaksud.
"Sekarang mari kita pergi ke sana. Kita ambil benda-benda ajaib itu! Ha ha
ha...!" *** 5 Trang, tringng, klangng!
Terdengar riuh rendah sebuah pertarungan.
Tak kurang dari puluhan orang terlibat di dalam pertarungan. Beberapa di
antaranya merupakan
orang-orang berpakaian macam tokoh-tokoh
persilatan. Sebagian besar sisanya, adalah orang-orang aneh. Pakaian mereka
hanya untuk menutupi aurat di depan bagian bawah. Itu pun dari anyaman jerami. Kulit mereka
hitam legam, dengan sekujur tubuh penuh coreng-moreng
arang hitam! Orang berpakaian ala kadarnya yang tengah
terlibat pertarungan dengan tokoh-tokoh persilatan ini, hampir dua kali lipat dibanding lawan-lawannya dari tokoh
persilatan. Kendati demikian,
pertarungan berjalan seru dan
seimbang. Memang kepandaian tokoh-tokoh persilatan
itu jauh di atas lawan-lawannya. Terutama
sekali, lelaki tinggi kurus yang berwajah
kekuningan. Dia tak lain adalah Ular Emas.
Lelaki ini menghadapi empat orang lawan
Kisah Si Pedang Kilat 4 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Tiga Maha Besar 12

Cari Blog Ini