Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam Bagian 1
PEWARIS PUSAKA HITAM Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Pewaris Pusaka Hitam
128 hal. 1 Gelapnya malam saat ini ditembus oleh bayangan yang berkelebat cepat laksana guratan-guratan
pendek. Sesekali kedua bayangan itu tampak dan tak
jarang lantas menghilang begitu saja. Rimbunnya pohon-pohon besar serta semak belukar, seakan bukan
penghalang bagi mereka.
Baru ketika mulai memasuki kawasan sebuah
perkampungan, mereka memperlambat kelebatannya.
Dan begitu mereka berhenti, baru jelas kalau kedua
sosok itu memiliki tubuh ramping.
"Malam masih belum begitu larut benar. Bagaimana kalau kita mencari tempat beristirahat?" usul sosok yang ada di sebelah
kiri, seraya menoleh pada sosok yang di sampingnya. "Besok pagi-pagi sekali kita
lanjutkan perjalanan ini..."
Sosok sebelah kiri ternyata seorang perempuan
muda berkulit putih. Parasnya cantik jelita. Sepasang matanya berbinar tajam.
Hidungnya mancung, ditingkahi bibir merah tanpa polesan. Pakaiannya kuning
ketat, membuat dadanya kelihatan kencang dan membusung menantang. Rambutnya hitam dan panjang
tergerai. Ciri-ciri pakaian serta paras wajah gadis muda
ini mengingatkan pada seseorang tokoh silat dari golongan hitam yang beberapa
puluh tahun silam pernah menebarkan keguncangan di rimba persilatan. Sepak
terjangnya membuat beberapa tokoh silat bertekuk lutut. Sekian lama malang
melintang dalam dunia persilatan hanya beberapa tokoh saja yang dapat menandingi ketinggian ilmunya. Hingga tidak mustahil, jika tokoh itu lantas menjadi
salah satu momok yang ditakuti. Dia tak lain Dewi Kuning.
Dugaan itu memang tak jauh meleset. Karena,
gadis muda ini adalah murid tunggal Dewi Kuning
yang bergelar Putri Tunjung Kuning.
Sementara sosok di samping Putri Tunjung
Kuning juga seorang perempuan. Pakaiannya hitamhitam. Menilik kulit sekujur tubuhnya yang telah berkerut-kerut serta
punggungnya yang telah doyong ke
depan, jelas kalau perempuan ini sudah berusia lanjut.
Meski demikian, parasnya jauh dari disebut seorang
perempuan. Karena rahangnya tampak begitu ke dalam, ditunjang mulut yang menjorok ke depan. Sehing-ga membuat paras perempuan
ini menakutkan. Rambutnya yang jarang dan berwarna putih dipotong cepak. Meski tubuhnya kering kerontang, namun sepasang tangan dan kakinya besar dan berotot.
Bagi kalangan orang-orang rimba persilatan,
nenek tua ini memang tidak asing lagi. Dialah yang
bergelar Dayang Lembah Neraka!
Seperti halnya Dewi Kuning, Dayang Lembah
Neraka yang muncul hampir bersamaan juga membuat
kegemparan dalam belantara riuh rendahnya gelanggang dunia persilatan. Dengan ketinggian ilmunya, dia telah merobohkan beberapa
tokoh silat tersohor waktu itu. Dayang Lembah Neraka memang jarang muncul ke
permukaan. Namun begitu muncul, dua atau tiga tokoh silat tersohor dapat dipastikan tewas di tangannya. Sepak terjang Dewi
Kuning dan Dayang Lembah Neraka memang hampir sama. Bahkan jurusjurus keduanya pun mirip. Hal ini bisa dimengerti, karena Dewi Kuning dan Dayang
Lembah Neraka masih
saudara seperguruan. Perbedaan di antara mereka hanyalah soal kemunculan saja. Jika waktu itu Dewi
Kuning muncul di mana-mana, tidak demikian halnya
Dayang Lembah Neraka. Perempuan tua itu hanya sesekali muncul, lantas menghilang. Namun di setiap
kemunculannya, selalu membawa tangan maut. Hingga wajar jika Dayang Lembah Neraka pun dimasukkan
ke dalam deretan panjang tokoh golongan hitam yang
disegani. Konon setelah Dewi Kuning tewas di tangan
Dewa Kutukan (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: "Bara di Ju-rang Guringring"), Putri Tujung Kuning menemui Dayang
Lembah Neraka. Setelah menceritakan segala
kejadian yang menimpa Dewi Kuning, pada akhirnya
Putri Tunjung Kuning memohon agar Dayang Lembah
Neraka sudi menerima dirinya sebagai murid.
Dayang Lembah Neraka memang tidak pernah
mengangkat seorang murid. Hidupnya menyendiri, di
sebuah rumah batu di kaki Bukit Ranupane. Maka begitu mendengar cerita Putri Tunjung Kuning dan demi meneruskan cita-cita serta
keturunan, pada akhirnya Dayang Lembah Neraka menerima gadis itu sebagai
murid. Dari perempuan itu pula Putri Tunjung Kuning mengetahui bahwa guru Dayang
Lembah Neraka dan
juga guru Dewi Kuning sebenarnya masih hidup. Dan
kini menetap di dekat pesisir Laut Selatan, di sebuah batu karang yang dikenal
bernama Karang Bolong.
Pada beberapa hari terakhir ini, menurut
Dayang Lembah Neraka, sang guru yang dalam rimba
persilatan bergelar angker, Manusia Karang, menampakkan diri. Dan dia berpesan pada Dayang Lembah
Neraka agar segera datang ke Karang Bolong bersama
muridnya. Manusia Karang, dalam beberapa hal, terutama
jika ada persoalan sangat penting, memang seringkali menampakkan diri dan
memanggil muridnya untuk
datang ke Karang Bolong.
Dan saat itu, Dayang Lembah Neraka dan Putri
Tunjung Kuning sedang dalam perjalanan menuju Karang Bolong. "Putri Tunjung Kuning...," panggil Dayang Lembah Neraka seraya batuk-batuk
kecil. "Sebaiknya kita tidak usah membuang-buang waktu. Teruskan saja
perjalanan ini. Datang lebih cepat, mungkin lebih baik.
Karena jika guru telah menampakkan diri dan menyuruhku datang, berarti ada sesuatu yang sangat penting...." Putri Tunjung Kuning mengangguk perlahan.
"Apakah Guru dapat menduga, apa kira-kira
hal penting yang akan dibicarakan Eyang Manusia Karang...?" tanya Putri Tunjung Kuning, menahan gerak Dayang Lembah Neraka yang
hendak berkelebat meneruskan perjalanan.
Dayang Lembah Neraka mengurungkan niat.
Kepalanya berpaling pada Putri Tunjung Kuning. Sejenak diawasi Putri Tunjung
Kuning. Ditariknya napas
panjang, seakan-akan menuntaskan beban berat yang
menindih dadanya.
"Aku sendiri belum bisa menerka dengan pasti.
Tapi firasatku mengatakan, bahwa Guru akan membicarakan hal yang selama ini telah dibebankan padaku, juga pada Dewi Kuning. Tapi
sejauh ini, tugas tersebut belum juga dapat kuselesaikan. Bahkan Dewi Kuning
harus tewas terlebih dahulu dalam mengemban tugas
itu!" jelas Dayang Lembah Neraka.
Putri Tunjung Kuning terkejut mendengar katakata Dayang Lembah Neraka. Sungguh tak disangka
jika selama ini Dewi Kuning mengemban tugas dari gurunya. Dan pikiran Putri Tunjung Kuning pun melayang jauh. "Hm.... berarti tugas itu berhubungan dengan
lembaran kulit yang berisi peta dan keterangan tentang kitab dan kipas yang
selama ini masih menjadi rebu-tan tokoh-tokoh silat...," kata batin Putri
Tunjung Kuning.
Mengingat soal lembaran kulit, paras Putri Tunjung Kuning mendadak berubah. Dagunya membatu.
Sepasang matanya berkilat membeliak. Dan wajahnya
makin mengelam, saat teringat bahwa lembaran kulit
yang membawa tewas Dewi Kuning ternyata palsu.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Tunggu saatnya. Aku akan membuat perhitungan denganmu, karena kau telah memalsukan lembaran kulit itu!" desis Putri Tunjung Kuning terus
membatin. Untuk beberapa saat di antara Dayang Lembah
Neraka dan Putri Tunjung Kuning sama-sama saling
diam. Mereka seperti menerawang dengan arus pikiran masing-masing.
"Guru! Apakah tugas nanti berhubungan dengan lembaran kulit itu?" tanya Putri Tunjung Kuning, memberanikan diri.
Dayang Lembah Neraka tidak segera menjawab.
Sepasang matanya yang membeliak kontan menyipit.
"Benar!" jawab Dayang Lembah Neraka, agak parau. "Guru memang telah menugaskan
aku dan De-wi Kuning untuk memburu lembaran kulit itu. Bahkan
Dewi Kuning dalam menjalankan tugas itu, tidak tanggung-tanggung. Dikoreknya
keterangan dari kalangan
tokoh silat tersohor. Ia malang melintang ke seantero penjuru angin. Namun
begitu hingga akhir hayatnya,
baik aku atau Dewi Kuning tidak dapat memastikan
siapa gerangan pemegangnya. Banyak memang lembaran kulit yang kudapatkan. Tapi seperti apa yang di-dapat Dewi Kuning, lembaran
kulit itu ternyata palsu!"
Putri Tunjung Kuning mengangguk perlahan,
seakan ikut menanggung beban berat yang dipikul
Dayang Lembah Neraka.
"Apa pun telah kulakukan untuk memperoleh
lembaran kulit itu. Namun, rupanya nasib baik belum berpihak pada kita. Apa
boleh buat"! Tapi hal itu sekarang tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Lebih
baik kita teruskan perjalanan. Siapa tahu Guru mempunyai
persoalan lain. Atau mungkin, dia telah mengetahui di mana lembaran kulit
itu...," lanjut Dayang Lembah Neraka. Habis berkata, Dayang Lembah Neraka batukbatuk kecil. Kepalanya mengangguk, lantas berkelebat disusul Putri Tunjung
Kuning. *** Setelah berpacu dengan waktu, pada hari ketiga Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning
tiba di sebuah desa yang terletak di ujung pesisir Laut Selatan.
"Putri Tunjung Kuning! Tempat yang kita tuju
telah dekat. Kita istirahat dahulu. Bertahun lamanya aku tak pernah lagi singgah
di kedai itu...," ajak Dayang Lembah Neraka seraya menunjuk sebuah kedai.
Putri Tunjung Kuning sebenarnya enggan dengan ajakan gurunya. Ia seakan tak sabar ingin segera bertemu si Manusia Karang.
Apalagi ketika diketahui urusan ini dan sangkut pautnya dengan lembaran kulit.
Namun karena nada ajakan gurunya sedikit memaksa, gadis itu pun menuruti ajakan itu.
Namun baru saja Dayang Lembah Neraka akan
bergerak hendak berkelebat, sayup-sayup terdengar
suara derap kaki-kaki kuda yang makin lama makin
keras ke arahnya.
Dahi Dayang Lembah Neraka berkerut. Sepasang matanya lebih membeliak, seolah ingin lompat
dari rongganya. Karena, rombongan berkuda itu muncul dari arah pesisir Pantai Selatan di mana Karang Bolong berada.
"Rombongan berkuda...," gumam Dayang Lembah Neraka dalam hati. "Siapa gerangan rombongan ini" Melihat dari arah
munculnya, apakah mereka dari Karang Bolong" Jangan-jangan...."
Berpikir demikian, tubuh Dayang Lembah Neraka cepat berbalik Ditatapnya Putri Tunjung Kuning yang saat itu juga sedang
memperhatikan ke arah
rombongan berkuda.
"Putri Tunjung Kuning! Siapa pun adanya mereka, aku tidak takut. Namun untuk kali ini, sebaiknya kita menghindar dahulu.
Urusan dengan Guru kurasa
lebih utama! Dan...."
Belum selesai Dayang Lembah Neraka menyelesaikan kata-katanya mendadak...
"He... he... he...!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengekeh panjang dari arah belakang. Dayang Lembah Neraka yang hendak
menghindar dari berpapasan dengan rombongan berkuda segera mengurungkan niatnya. Sepasang matanya liar berputar. Cuping telinganya bergerak ke
atas. Namun ia tak hendak membalikkan tubuhnya ke
arah sumber suara tawa. Rupanya dia telah mencium
gelagat tidak baik.
Sementara Putri Tunjung Kuning cepat berbalik
ke belakang. Memang dari arah itulah suara tawa tadi
terdengar. Dan seketika gadis itu melenguh tertahan dengan kaki beringsut dua
langkah ke belakang.
Tiga tombak di hadapan Putri Tunjung Kuning
kini tampak seorang laki-laki tua di atas punggung
kuda putih. Celana pendek warna putih kusam dan
dekil. Baju atasnya berupa rompi yang juga berwarna putih. Sepasang matanya
hitam legam, tanpa lingkaran warna putih sama sekali. Di atas matanya yang hitam
tidak terlihat bulu atau alis mata. Hidungnya sangat besar, namun kedua
lobangnya sangat kecil. Sehingga saat menarik napas bahunya tampak terangkat
sedikit, seperti dipaksakan. Kedua bibirnya sangat tebal. Tapi saat tertawa,
bibir itu membuka begitu lebar hingga hampir ke tengah kedua pipinya. Dan dari
bibirnya tak henti-hentinya menetes air liur yang menjijikkan. Kumis dan
jenggotnya panjang dan tidak terawat. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut sama
sekali. Dan yang membuatnya kelihatan makin angker, sekujur tubuhnya berwarna hitam.
"Siapa makhluk ini...?" tanya Putri Tunjung Kuning dalam hati tanpa berkedip.
Selagi Putri Tunjung Kuning menduga-duga,
Dayang Lembah Neraka berbalik.
"Hm.... Manusia ini makin tua malah tambah
menjijikkan!" gumam batin Dayang Lembah Neraka tanpa menunjukkan raut terkejut.
"Tapi aku melihat kepandaian manusia ini lebih hebat daripada beberapa tahun
silam. Terbukti, walau rombongan lainnya masih jauh, dia tahu-tahu sudah berada
di sini. Malah derap langkah kaki kudanya bisa diredam, hingga suara
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatangannya tak kudengar! Melihat arah kedatangannya, dia pasti dari Karang Bolong. Hm.... Muka Hantu! Dendammu terhadap
Manusia Karang rupanya
belum juga sirna...."
"He...! Siapa kau..."!"
Tatkala Dayang Lembah Neraka masih membatin, tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari Putri Tunjung Kuning.
Penunggang kuda yang dikenal sebagai Muka
Hantu sekonyong-konyong menghentikan kekehan tawanya. Sepasang matanya yang hitam menyorot tajam
ke arah Putri Tunjung Kuning. Dan biji matanya pun
berputar liar, seakan menguliti tubuh gadis ini dari atas hingga ke bawah.
Bibirnya tersenyum dengan mulut terbuka, membuat tetesan air liurnya muncrat ke
sana ke mari. "Apakah nenek jelek peot di sampingmu tak
pernah bercerita padamu"!" kata Muka Hantu balik bertanya.
Paras Dayang Lembah Neraka berubah, begitu
mendengar kata-kata Muka Hantu yang tak memang
seorang tokoh silat aliran sesat berkepandaian tinggi.
Nama tokoh ini memang sudah tidak asing lagi dalam
rimba persilatan. Selain dikenal sebagai tokoh berkepandaian tinggi, juga
terkenal sebagai pemimpin gerombolan perampok yang rata-rata berkemampuan
tinggi. Sehingga, membuat tokoh ini begitu ditakuti.
"Muka Hantu!" bentak Dayang Lembah Neraka.
"Sungguh malang nasibmu sampai bertemu denganku!
Aku memang telah lama mencari-carimu!"
"Muka Hantu...?" ulang Putri Tunjung Kuning dalam hati. Wajahnya sedikit
membersit keterkejutan.
Memang Putri Tunjung Kuning telah lama
mendengar nama Muka Hantu. Namun, sungguh tidak
diduga jika bentuk manusia yang berjuluk Muka Hantu demikian adanya.
"He... he... he...!"
Mendengar teriakan Dayang Lembah Neraka,
Muka Hantu tertawa mengekeh. Air liurnya lebih banyak lagi muncrat, membuat Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning segera melengos. Karena selain menjijikkan, air liur
itu menebar bau anyir darah!
"Dayang Lembah Neraka!" sebut Muka Hantu
sembari tertawa. "Yang dicari gurunya, yang ketemu muridnya. Tapi, tak apalah.
Daripada perjalananku
sia-sia!" Putri Tunjung Kuning segera melangkah dua tindak ke depan. Kedua
tangannya ditarik ke belakang, siap melepaskan pukulan. Namun belum sampai gadis
itu bergerak, Dayang Lembah Neraka telah memberi
isyarat untuk mundur.
"Tunjung Kuning! Menyingkirlah. Tua jahanam
ini telah lama kuinginkan. Dan tak akan kusia-siakan kesempatan ini!"
Seraya menegur, Dayang Lembah Neraka berkelebat. Dan tahu-tahu perempuan itu telah berdiri tegak beberapa langkah di
hadapan si Muka Hantu.
"Bagus! Dendam ku terhadap Gurumu mungkin sedikit terobati dengan tumbangnya tubuhmu di
tanganku!" sambut Muka Hantu.
Dayang Lembah Neraka tersenyum menyeringai. Sehingga membuat parasnya lebih menakutkan.
"Muka Hantu! Dendammu hari ini akan terkubur bersamaan tubuhmu!" bentak Dayang Lembah Neraka dengan suara bergetar.
Lantas kedua kaki Dayang Lembah Neraka
tampak bergetar. Muka Hantu tersenyum. Dia menduga, perempuan tua itu berusaha menindih rasa takutnya. Namun mendadak senyum itu terpenggal, begitu
merasakan kuda tunggangannya bergetar. Bahkan sedikit demi sedikit, kedua pasang kakinya amblas ke
dalam tanah! Si Muka Hantu sedikit terbeliak. Namun cepatcepat ditekannya dengan tertawa panjang, membuat
bahunya berguncang-guncang. Dan seiring guncangan
bahunya, sedikit demi sedikit dua pasang kaki kuda
tunggangannya terangkat dari dalam tanah! Dan ketika tawanya diperkeras, sepasang kaki kuda tunggangannya lebih cepat bergerak ke atas. Lalu tiba-tiba sa-ja, kedua kaki depan kuda
itu terangkat tinggi dan melejang ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Heh..."!"
Dayang Lembah Neraka tersentak. Sungguh tak
diduga jika tenaga dalam Muka Hantu meningkat begitu pesat. Namun....
"Ha... ha... ha...!"
Segera pula perempuan tua itu ikut-ikutan tertawa. Akibatnya, sepasang kaki depan kuda yang siap menghantam langsung berhenti
kaku di udara! Bahkan sepasang kaki belakangnya kembali amblas ke dalam tanah. "Hua... ha... ha...!"
Melihat hal ini, Muka Hantu segera mengeraskan tawanya, Dayang Lembah Neraka tak mau kalah. Tawanya pun makin diperkeras. Dan seketika itu, tempat ini bagai dibuncah
ledakan tawa dahsyat berta-lu-talu. Karena mengandung tenaga dalam, sehingga
kuda tunggangan Muka Hantu tampak oleng. Tampak
dari kedua matanya merembes cairan merah. Mulutnya yang berbusa membuka lebar-lebar, namun tak
terdengar suara ringkikan!
Tubuh Muka Hantu mulai bergetar. Sekujur
tubuhnya yang hitam legam mulai berkilat-kilat dibasahi keringat. Dan ketika
Dayang Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalamnya, kaki belakang kuda tunggangan Muka Hantu makin amblas. Lalu pada
akhirnya diiringi ringkikan keras binatang malang itu roboh. Untungnya si Muka
Hantu sudah cepat melesat
ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali di udara, lalu mendarat sambil bersila di
atas perut kuda yang telah tewas! Tepat ketika Muka Hantu mendarat, muncul
lima orang penunggang kuda mendatangi. Mereka
langsung membuat lingkaran, mengurung Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka.
"Siapa kalian" Jangan coba-coba bertindak
pengecut jika masih sayang nyawa masing-masing!" teriak Putri Tunjung Kuning
gusar, saat mendapati gelagat buruk.
*** Dayang Lembah Neraka tetap tenang. Matanya
menatap tajam satu persatu pada lima orang yang
mengurungnya. Bibirnya tersenyum menyeringai dengan dahi berkerut. Dicobanya mengenali satu persatu.
Namun sejauh ini yang dikenali hanya satu orang saja yang tampaknya memilih
tempat agak ke belakang dari empat orang penunggang lainnya.
Orang itu adalah perempuan tua bertubuh
amat jangkung terbungkus pakaian biru panjang. Paras wajahnya masih menampakkan sisa-sisa kecantikan, meski sudah terlapisi lipatan-lipatan kecil. Hidungnya mancung. Dan pada
cuping hidung sebelah
kiri, tampak melingkar anting-anting berwarna kuning.
Di antara kedua alis matanya terdapat sebuah titik
berwarna merah. Rambutnya hitam dan panjang.
"Hm.... Manusia kesasar dari India ini ternyata belum juga kembali ke negeri
asalnya. Apakah kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara begitu hebat, hingga
wanita ini tetap bertahan mencari...?" tanya batin Dayang Lembah Neraka seraya
memandang pada perempuan jangkung berbaju biru.
"Huh!"
Ditatap begitu rupa, sosok perempuan jangkung itu mendengus keras. Bahkan balik menatap disertai senyum mengejek.
Dalam arena persilatan, sosok perempuan
jangkung berbaju biru ini memang sudah terkenal
dengan julukannya Iblis Dari Hindustan. Tokoh beras-al dari India ini mengadakan
perjalanan ke nusantara untuk mencari tahu tentang kitab dan kipas ciptaan
Empu Jaladara Tingkah Iblis Dari Hindustan sering membuat
orang bertanya-tanya. Kini tampaknya dia memihak
pada golongan hitam, karena ikut bergabung dengan
gerombolan Muka Hantu. Namun tak jarang terlibat
bentrok dengan tokoh dari aliran sesat. Dan salah satu tokoh hitam yang pernah
terlibat bentrok dengannya
adalah, si Manusia Karang.
Sementara empat orang penunggang kuda lain
adalah laki-laki setengah baya. Mereka berpakaian hitam-hitam. Raut wajah mereka
hampir mirip satu sama lain. Yang membedakan hanyalah warna ikat kepala yang masing-masing putih, hitam, merah, dan kuning. "He...! Siapa kalian..."!" ulang Putri Tunjung Kuning, membentak lebih keras
saat pertanyaannya
tidak ada yang menjawab.
Keempat laki-laki berpakaian hitam-hitam saling berpandang satu sama lain. Sesaat kemudian mereka berpaling, dan serentak menatap lurus-lurus pa-da Putri Tunjung Kuning.
Lantas.... "Suiiittt...!"
Secara berbarengan mereka mengeluarkan siulan panjang yang memekakkan telinga.
Begitu siulan mereka terhenti....
"Gadis cantik! Rupanya kau baru saja keluar
dari sangkar. Sehingga tak mengenal siapa kami
adanya. Dengar baik-baik. Kami adalah Empat Manusia Berwajah Satu...!" bentak laki-laki berikat kepala putih yang tampaknya
paling tua. Putri Tunjung Kuning ternganga. Sementara
Dayang Lembah Neraka tetap tenang meski tak meninggalkan kewaspadaannya.
Memang, siapa yang tidak mengenal manusia
berjuluk Empat Manusia Berwajah Satu ini" Dalam
rimba persilatan, mereka memang baru saja menunjukkan diri. Namun kemunculan mereka langsung
menciptakan buah bibir di kalangan kaum persilatan.
Karena selain berilmu tinggi, kekejaman dan kebiadaban mereka juga dikenal.
Mereka pun gemar mempermainkan gadis-gadis muda. Malah tak segan-segan
menculik untuk diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh jika bosan.
"Hm... Jadi kalian yang disebut manusia pemakan gadis-gadis itu!" bentak Dayang Lembah Neraka garang. Dua laki-laki dari
Manusia Berwajah Satu ini kembali mengeluarkan siulan panjang. Sementara dua
lainnya tertawa mengekeh.
"Kami tak butuh pernyataan mu, Tua Peot!
Kami butuh temanmu itu!" kata laki-laki berikat kepala putih seraya menunjuk
Putri Tunjung Kuning.
"Ha... ha... ha...! Gadis cantik itu memang co-cok untuk jadi santapan malam
kalian. Bahkan jika
masih muda, tentunya aku tidak mau ketinggalan
dengan kalian. Tapi karena kemampuanku untuk urusan begituan tidak memungkinkan lagi, biarlah gadis itu kuserahkan pada kalian.
Aku memilih yang peot
saja. Bukankah meski peot begitu, seorang perempuan tulen" Dan pasti sudah lebih
berpengalaman untuk
membangkitkan semangat dan kemampuanku!" kata
Muka Hantu, buka mulut tanpa memandang Putri
Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka.
Manusia berikat kepala putih berpaling pada
Muka Hantu. "Ah! Terima kasih atas pengertianmu, Muka
Hantu! Dan agar kau lebih leluasa bermain-main dengan si peot itu, kami akan membawa dahulu gadis ini!"
Putri Tunjung Kuning berpaling seraya melotot.
"Mulut kotor kalian selayaknya dirobek-robek!"
Sambil berteriak marah, Putri Tunjung Kuning
merapatkan kedua tangan di depan dada.
"Kau harus waspada, Tunjung Kuning! Mereka
tentu bukan manusia-manusia yang bisa dianggap remeh!" bisik Dayang Lembah Neraka sambil mengawasi Empat Manusia Berwajah Satu
yang serempak loncat
dari punggung kuda masing-masing, membentuk barisan ke belakang. Tampak laki-laki berikat kepala putih berada paling depan.
Baru saja keempat laki-laki ini membentuk barisan, mendadak Putri Tunjung Kuning telah mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Wesss! Seketika gelombang angin bertenaga dalam
menderu dahsyat ke arah laki-laki berikat kepala putih.
"Awas serangan...!" teriak laki-laki berikat kepala putih, mengingatkan saudarasaudaranya. Hantaman kedua tangan Putri Tunjung Kuning begitu mendadak, membuat laki-laki berikat kepala putih tak bisa
menangkis serangan. Dan selesai berteriak, dia mengelak dengan meloncat ke
samping. Sementara lelaki yang berikat kepala merah
dan kuning dapat meloloskan diri dengan merebahkan
tubuh masing-masing ke samping kiri dan kanan. Namun, tidak demikian lelaki berikat kepala hitam yang tampaknya paling muda. Dia
tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi, serangan jarak jauh Putri Tunjung Kuning menggebrak dada laki-laki berikat kepala hitam Tubuhnya kontan
terpental beberapa tombak ke
belakang disertai keluhan tertahan. Pakaian hitamnya tampak mengepulkan asap.
Kulit di balik pakaian bagian dada yang koyak memanjang kelihatan mengelam.
Dan dari sudut bibirnya menggulir cairan berwarna hitam. Begitu mencium tanah,
lelaki berikat kepala hitam ini langsung merambat bangkit sambil menyeringai ganas. "Bangsat!" serapah laki-laki berikat kepala putih melihat saudaranya terluka
dalam. Kepalanya lantas berpaling pada saudara-saudaranya.
"Suittt! Suiiittt!"
Mendengar siulan lelaki berikat kepala putih,
lelaki berikat kepala merah dan kuning yang tadi sa-ma-sama merebahkan diri
cepat bangkit. Dan seketika itu pula Empat Manusia Berwajah Satu langsung
berkelebat cepat. Mendadak mereka lenyap dari pandangan, lalu tiba-tiba empat pasang kaki menggebrak dari empat jurusan.
Wut! Wut! Putri Tunjung Kuning terkejut bukan main
mendapati dirinya terkurung dari empat jurusan. Namun karena telah mendapat polesan dari Dayang Lembah Neraka, gadis ini kelihatan tidak gentar.
Lalu Putri Tunjung Kuning segera menjejakkan
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakinya. Tubuhnya langsung melesat ke udara, berputaran dengan cepat.
Wesss...! Pusaran angin langsung menderu keras, seiring
berputarnya bayangan kuning. Dan sesaat kemudian
terdengar suara benturan keras empat kali berturut-turut. Des! Des! Des! Desss!
"Aakh.... Aaa.... Augh.... Ohhh...!"
Tubuh Empat Manusia Berwajah Satu kontan
terbanting ke samping disertai keluhan kesakitan.
Bahkan dua di antaranya saling bertabrakan. Mereka
langsung terkapar di atas tanah.
Sementara Putri Tunjung Kuning terus berputar dan melesat menjauh, lalu mendarat dengan terhuyung-huyung. Sepasang matanya mendelik merasakan nyeri dan ngilu pada kedua kakinya. Begitu matanya melirik, hatinya sempat tercengang. Karena kedua kakinya tampak memerah,
akibat benturan tadi.
Empat Manusia Berwajah Satu sejenak saling
berpandangan satu sama lain. Lantas bagai diberi aba-aba, keempatnya segera
bangkit dan membentuk barisan berjajar dari kanan ke kiri. Lalu secara serentak pula, mereka melorotkan
tubuh masing-masing hingga
duduk di atas tanah. Kedua tangan masing-masing
saling bergandengan satu sama lain, mengerahkan jurus andalan yang dinamakan 'Rantai Membongkar
Sukma'. "Hiaaa...!"
Didahului bentakan saling menyahut, mendadak sosok mereka terangkat ke udara. Lalu dengan cepat tubuh mereka melayang ke
arah Putri Tunjung
Kuning dalam keadaan duduk sambil bergandengan
satu sama lain.
Wesss...! Angin dahsyat pun melesat sebelum Empat
Manusia Berwajah Satu datang.
Putri Tunjung Kuning menanggapi dengan senyum mengejek. Segera tenaga dalamnya dikerahkan
pada kedua tangannya. Yang kemudian diputar dua
kali di depan dada. Lalu tiba-tiba dihantamkannya ke depan. Wes! Wes!
Gelombang angin bagai suara ombak laut kontan berderak, melesat ke arah Empat Manusia Berwajah Satu. Blap! Wesss...! "Heh"!"
Sesaat kemudian, gadis itu tercekat. Gelombang angin pukulannya ternyata seakan tertahan.
Bahkan kini mental balik menyambar ke arahnya.
"Uts!"
Sambil menahan rasa terkejut, Putri Tunjung
Kuning segera menyelamatkan diri dari pukulannya
sendiri dengan meloncat ke belakang. Namun gelombang angin itu tetap menggebrak ke arahnya. Bahkan
kini bergerak lebih cepat dan makin menggemuruh!
"Tunjung Kuning!" teriak Dayang Lembah Neraka. "Tumpuan kekuatan mereka ada di
depan! Hantam dari arah samping!"
Mendengar peringatan itu, Putri Tunjung Kuning segera melesat ke samping, menghindar dari serangannya yang berbalik. Dan
dari arah samping pula,
kedua tangannya cepat dihantamkan.
Wesss...! "Heh..."!"
Empat Manusia Berwajah Satu sama-sama tercengang. Mereka tidak menduga sama sekali jika gerakan Putri Tunjung Kuning
begitu cepat. Tahu-tahu sa-ja telah meluruk serangan angin berkekuatan dahsyat.
Seketika masing-masing saling ingin menghindar. Namun gerakan mereka kali ini tidak serempak. Bahkan
laki-laki berikat kepala merah yang berada paling
samping tidak bisa lagi menghindar. Karena, tangannya masih saling bergandengan. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan dari mulut laki-laki berikat
kepala merah. Tubuhnya terlepas dari gandengan tangan saudara-saudaranya, dan terpental menyamping
hingga tiga tombak.
Brukkk! Begitu terkapar di atas tanah, tubuh laki-laki
berikat kepala merah ini tampak hangus. Darah berwarna merah kehitaman keluar dari seluruh lobang di tubuhnya! Laki-laki berikat
kepada merah ini menge-rang sebentar, lalu diam tak bergerak lagi!
Sementara itu, tiga dari Empat Manusia Bermuka Satu serempak menggeram marah. Mata mereka
mendelik melihat keadaan saudaranya telah tewas. Selagi ketiganya tercekat,
mendadak.... Werrr...! Tahu-tahu meluruk sinar berkilauan diiringi
desir angin ke arah kepala laki-laki berikat kepada kuning dan hitam
Dua laki-laki ini terkesima, namun buru-buru
merunduk. Pada saat yang sama sepasang kaki kokoh
Dayang Lembah Neraka telah bergerak cepat.
"Heh"!"
Dua laki-laki ini tercekat kaget, namun tak
mampu lagi menghindar. Dan...
Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Terdengar lolongan panjang begitu sepasang
kaki Dayang Lembah Neraka mendarat di dada masing-masing. Tubuh mereka kontan tersuruk di atas tanah. Sepanjang luncuran tubuh
mereka, mengucur
darah dari mulut. Begitu jatuh di tanah, mereka langsung meregang nyawa. Mati
dengan sekujur tubuh
memerah seperti terpanggang api.
Sementara itu laki-laki yang berikat kepada putih berhasil menghindar dengan meloncat ke samping.
Kepalanya segera berpaling pada Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan, seolah-olah
minta bantuan. "He... he... he...!"
Namun, kedua tokoh sesat itu hanya tertawa
mengekeh, membuat laki-laki berikat kepala putih cemas dan pupus nyalinya.
Setelah melirik pada Putri
Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka, dia segera mengambil langkah seribu.
"Hiaaa...!"
Namun baru saja laki-laki ini bergerak, Putri
Tunjung Kuning telah menghentakkan tangannya ke
depan. Werrr...!
Mendadak satu larik gelombang sinar kuning
menggebrak. Begitu cepat gerakan sinar kuning itu sehingga....
Splashhh...! "Aaa...!"
Laki-laki itu kontan terjengkang dan ambruk di
tanah. Sebentar dia bergerak-gerak lalu diam untuk
selamanya. Putri Tunjung Kuning menarik pulang kedua
tangannya. Bibirnya tersenyum puas, karena serangannya, berhasil membantai laki-laki berikat kepala putih. "Ha... ha... ha...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa terbahakbahak Sementara si Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan sedikit tercengang.
Begitu suara tawanya lenyap, Dayang Lembah
Neraka mendadak melesat ke arah Muka Hantu yang
masih di atas kuda tunggangannya yang telah tewas.
"Jahanam bedebah!" dengus si Muka Hantu.
Laki-laki ini segera menekan tubuhnya ke perut
kuda di bawahnya. Seketika tubuhnya melenting ke
udara, seraya menghentakkan kedua tangannya yang
telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Werrr...! Terdengar deruan dahsyat disertai menukiknya
gelombang angin berwarna hitam legam. Dayang Lembah Neraka terkesiap saat merasakan adanya beban
berat yang menekannya dari atas. Buru-buru tubuhnya melesat, berbelok menghantam dengan kaki lurus
ke arah Iblis Dari Hindustan.
Glarrr...! Tepat ketika tubuh Dayang Lembah Neraka
berbelok, terdengar gelegar dahsyat di belakangnya.
Tampak tanah terbongkar, meninggalkan lobang sedalam setengah tombak akibat sentakan tangan si Muka
Hantu yang dilancarkan dari udara.
Sementara itu, Iblis Dari Hindustan yang tidak
menduga datang serangan dari Dayang Lembah Neraka mengeluarkan seruan kaget. Buru-buru dia loncat
dari punggung kuda. Lalu setelah membuat putaran
dua kali, kakinya segera diangkat tinggi-tinggi seraya berputar.
Wesss...! Saat itu pula. Lalu angin deras melengkung
menderu, seiring berputarnya kaki Iblis Dari Hindustan. Prak!
Terdengar benturan keras ketika serangan
Dayang Lembah Neraka terpapak oleh Iblis Dari Hindustan. Putaran tubuh dan kaki perempuan dari India ini tiba-tiba terhenti.
Sementara tubuh Dayang Lembah Neraka mencelat balik ke belakang. Namun setengah tombak lagi terpuruk di atas tanah, tubuhnya
membuat bersalto, lalu mendarat kokoh di atas tanah.
Iblis Dari Hidustan tersentak kaget ketika kaki
kanannya terasa bagai remuk. Saat itu juga ekor matanya melirik ke arah kaki. Dan sepasang matanya
mendadak membeliak lebar. Bekas benturan dengan
kaki Dayang Lembah Neraka ternyata telah menghitam! "Tunjung Kuning! Menyingkirlah!" teriak Dayang Lembah Neraka sambil membuat
putaran salto ke belakang. Dan tahu-tahu, tubuhnya telah tegak kokoh di depan si Muka Hantu.
"Setan satu ini ternyata ilmunya telah menyamai gurunya!" kata batin Muka Hantu. "Hiaaa...!"
Disertai bentakan keras, Muka Hantu menggerakkan kedua tangannya secara melingkar, menghantam ke arah kepala Dayang Lembah Neraka dari arah
kanan kiri. Iblis Dari Hindustan tak tinggal diam. Cepat
pula tubuhnya berkelebat sambil melancarkan serangan dengan terjangan sepasang kaki bergantian.
Werrr...! Angin berkesiuran tajam langsung menghempas bersamaan terjangan kaki ini. Jelas, terjangan itu mengandung tenaga dalam
tinggi. Kini Dayang Lembah Neraka terkurung serangan dari dua orang. Dan ini membuat dirinya hanya
bisa menghindar dan menangkis, tanpa dapat balas
menyerang. Namun hingga beberapa jurus, Dayang
Lembah Neraka masih bisa melayani gempuran dua
orang ini tanpa menunjukkan rasa gentar sama sekali.
Malah sesekali terdengar teriakan mengejek dari mulutnya. Menginjak jurus ketiga puluh satu, Putri Tunjung Kuning yang berdiri
mengawasi mulai khawatir
melihat keselamatan gurunya.
"Hiaaat...!"
Tapi mendadak saja Dayang Lembah Neraka
mengeluarkan bentakan melengking. Tubuhnya tibatiba melesat keluar dari kurungan serangan Muka
Hantu dan Iblis Dari Hindustan.
Dari udara Dayang Lembah Neraka menyentakkan sepasang kakinya ke arah Iblis Dari Hindustan.
Wuttt! Iblis Dari Hindustan yang merasa kakinya terluka cepat menarik pulang serangan, menghindari
benturan. Saat itulah sekonyong-konyong sepasang
kaki perempuan tua itu menukik deras ke dadanya.
Iblis Dari Hindustan yang sedikit terhuyung karena menarik kakinya, tidak bisa lagi menghindar.
Dan.... Desss! "Aaakh...!"
Perempuan dari India ini berseru tertahan ketika hantaman kaki Dayang Lembah Neraka masuk di
dadanya. Tubuhnya langsung terhuyung ke belakang.
Namun belum sampai terjengkang, kaki Dayang Lembah Neraka telah pula menghantam kepala.
Prak! "Aaakh...!"
Tubuh Iblis Dari Hindustan kontan terbanting
keras ke belakang. Kepalanya mengucurkan darah.
Hebatnya, meski sudah dalam keadaan demikian, dia
cepat bangkit duduk. Kedua tangannya yang bergetar
hebat segera menakup, lalu dihantamkan ke arah
Dayang Lembah Neraka yang baru saja mendarat.
"Hih!"
Wesss...! Angin kencang bergemuruh bertenaga dalam
penuh segera melesat cepat. Dayang Lembah Neraka
terkejut. Karena saat itu, dari arah samping si Muka Hantu juga telah pula
menyentakkan kedua tangannya. Dayang Lembah Neraka tercekat bingung. Jika
memapak serangan tangan Muka Hantu, berarti tak
akan bisa menghindar dari serangan terakhir Iblis Dari Hindustan. Sebaiknya jika
memapak serangan wanita
India itu tak akan bisa mengelak dari hantaman tangan si Muka Hantu.
Dan ketika sedepa lagi serangan Iblis Dari Hindustan menggebrak,...
Wesss...! Terdengar suara gelombang angin dahsyat melesat memotong serangan Iblis Dari Hindustan.
Blem! Tubuh wanita dari India itu terjungkal ke belakang, karena tenaganya telah habis dan tidak bangun lagi.
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka yang telah tahu kalau Putri Tunjung Kuning telah berhasil
menghadang serangan Iblis Dari Hindustan segera
memusatkan tenaga dalam ke tangan. Lantas dengan
tangan terkembang dipapaknya hantaman tangan Mu
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka Hantu. Plak! Plak! Terdengar benturan dua kali berturut-turut.
Tubuh Muka Hantu terpental jauh dan bergulingan di
atas tanah. Sekujur tubuhnya yang hitam, belepotan
tanah yang lengket oleh keringat di tubuhnya. Sedangkan Dayang Lembah Neraka
tetap tak bergeming sedikit pun! Dengan sepasang mata terbeliak dan hidung
mengembang, Muka Hantu merambat bangkit sambil
memegangi kedua tangannya yang terasa lunglai tak
bertenaga. "Muka Hantu! Gurat kematianmu telah tiba!"
desis Dayang Lembah Neraka seraya berkelebat.
Tahu-tahu dari jarak satu tombak Dayang
Lembah Neraka mendorongkan kedua tangannya kuatkuat. Sementara dua kakinya bagai terpantek masuk
ke dalam tanah.
Wusss...! Selarik sinar berkilatan langsung melesat ke
arah Muka Hantu.
Mendapati serangan berbahaya, Muka Hantu
tidak tinggal diam. Segera pula tangannya dihentakkan disertai seluruh tenaga
dalamnya. Wesss...! Dua larik sinar berwarna hitam legam menderu
memapak serangan Dayang Lembah Neraka.
Blarrr! Terdengar gelegar dahsyat, ketika dua pukulan
yang saling bertenaga dalam itu bentrok di udara. Sekitar tempat ini seakan
dilanda gempa hebat. Tanah
terbongkar dan berhamburan menutupi pemandangan.
Tubuh Muka Hantu terpelanting melayang ke
belakang. Namun belum sampai keseimbangan tubuhnya dapat terkuasai, mendadak....
Wesss...! "Heh..."!"
Seketika selarik sinar kuning menggebrak ke
arah Muka Hantu.
Paras Muka Hantu pucat pasi, karena tak akan
bisa lagi menghindar. Hingga....
Brashhh! "Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, larikan sinar kuning bertenaga dalam yang ternyata dilepaskan Putri Tunjung
Kuning telak menghantam tubuh Muka Hantu. Saat
itu juga terdengar jeritan panjang dari mulutnya. Tubuhnya makin jauh melayang,
sebelum akhirnya terbanting di atas tanah dengan nyawa putus!
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka yang
mencoba bertahan agar tidak terjengkang, ikut ambruk terkena bias bentrok
pukulannya dengan pukulan Mu-ka Hantu. Namun perlahan tubuhnya cepat bangkit
sambil memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri bukan main. "Hm.... Pukulan Tunjung Kuning ternyata telah
berkembang pesat...," gumam Dayang Lembah Neraka dalam hati sambil menatap Putri
Tunjung Kuning.
"Apakah kita akan istirahat dahulu, Guru?"
tanya Putri Tunjung Kuning sambil melangkah mendekati. Dayang Lembah Neraka tersenyum, lalu menggeleng. "Urusan perut sebaiknya ditunda dulu. Ada
urusan penting yang harus didahulukan. Ayo...!" ajak Dayang Lembah Neraka seraya
berkelebat ke arah pesisir pantai.
*** 2 Seorang pemuda berwajah tampan berpakaian
jubah ketat warna hijau yang dilapis baju lengan panjang warna kuning, tengah
melangkah perlahan melintasi sebuah hutan kecil yang sepi. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda menari-nari
seiring langkahnya. Sesekali tubuhnya merapat ke bawah pohon yang rindang, untuk menghindari sengatan sinar matahari
yang berada tepat pada titik tengahnya. Dari mulutnya terdengar dendang nyanyian
yang tak bisa dimengerti.
Pada sebuah pohon besar dan rindang, pemuda
ini menghentikan langkahnya. Sejenak pandangannya
menebar ke sekeliling. Sambil mengelus-elus kuncir
rambutnya, dia menghembuskan napas panjangpanjang. "Ternyata mencari tempat kitab dan kipas yang
kedua ciptaan Empu Jaladara, bukan pekerjaan mudah seperti yang kubayangkan sebelumnya...! Buktinya, hingga sejauh ini aku belum bisa menentukan
tempat yang tertera dalam peta di lembaran kulit itu.
Apakah lembaran kulit itu juga palsu" Ah, itu tidak mungkin. Ki Ageng
Panangkaran dan Eyang Selaksa
tidak mungkin dusta...," kata batin pemuda ini dengan pandangan menerawang jauh
ke depan. "Hm... Bagaimana jika untuk sementara waktu aku pergi ke Karang
Langit untuk menemui Wong Agung" Siapa tahu beliau
tahu tentang tempat dalam peta itu. Apalagi, sejak turun dari Karang Langit, aku
belum pernah datang lagi...." Selagi pemuda yang tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 ini
berpikir begitu, mendadak....
"Ha... ha... ha...!"
Tahu-tahu dari arah belakang terdengar suara
gelak tawa cekikikan. Aji terkejut. Karena suara tawa itu begitu saja terdengar,
tanpa didahului suara langkah atau gemeresek suara dedaunan. Seketika tubuhnya mengendap-endap menuju sumber suara.
Tiba-tiba sepasang mata Aji membesar. Di atas
sebuah dahan pohon yang tidak terlalu besar, dia melihat dua orang sedang duduk
berdampingan. Namun
hebatnya, pohon itu tidak kelihatan melengkung. Apalagi patah.
Menilik dari bentuk tubuh, Pendekar Mata Keranjang 108 dapat segera mengetahui kalau mereka
terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Yang laki-laki berpakaian putih panjang serta
kedodoran. Sehingga, seluruh tubuhnya tertutup sama sekali, kecuali wajahnya.
Wajahnya telah dipenuhi kerutan. Dan di sana sini terlihat barutan-barutan bekas
luka. Rambutnya putih dan panjang.
Sementara yang perempuan, seluruh wajahnya
tertutup sepotong kain yang berlobang kecil-kecil. Seperti halnya laki-laki di
sampingnya, perempuan bercadar ini berpakaian putih panjang dan kedodoran.
Melihat kerutan-kerutan pada kulit leher, agaknya
usianya juga sudah lanjut.
"Di sini sudah tidak ada orang. Bukalah penutup wajahmu! Bertahun-tahun tak jumpa, tentunya
wajahmu masih cantik seperti dulu!" pinta laki-laki tua
itu, sambil tersenyum manis.
Perempuan tua yang seluruh wajahnya tertutup
sepotong kain menggeleng perlahan.
"Aku senang sekali dapat berjumpa denganmu
lagi. Apakah keadaanmu selama ini baik-baik saja?"
sang nenek balik bertanya. Wajahnya dipalingkan pada kakek di sampingnya.
Sang kakek mengangguk-angguk disertai batuk-batuk kecil. Sementara sepasang matanya yang telah kelabu dan sayu, melirik
pada sang nenek. Kembali bibirnya menyungging senyum.
"Ngg.... Bolehkah aku sekarang membuka penutup wajahmu dan mengecup keningmu...?" pinta sang kakek seraya berpaling. Kini
wajah keduanya saling berhadapan.
"Gila! Tua-tua masih main cinta-cintaan! Minta kecup lagi!" rutuk Aji dalam hati
dari tempat pengin-tainya sambil senyum-senyum kepala menggelenggeleng. Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 segera memalingkan wajahnya saat
melihat wajah sang kakek
terus bergerak mendekati wajah sang nenek. Dan sepasang matanya terbelalak dengan bibir menahan tawa, tatkala....
"Tua bangka! Tanganmu jangan usil begini, aku
jadi geli!" tegur si nenek, agak keras.
"Ah! Dari dahulu kau masih saja suka berpurapura. Padahal sebenarnya kau senang...," jawab sang kakek, sambil tertawa
mengekeh. Namun mendadak suara tawa sang kakek lenyap. Aji semakin tak berani memalingkan wajahnya.
Dia telah dapat menduga, apa yang dilakukan laki-laki tua itu di atas sana
hingga tawanya berhenti seketika.
Tapi.... "Setan alas! Rupanya ada orang mengintip!"
Betapa terkejutnya Pendekar Mata Keranjang
108 ketika terdengar bentakan bernada geram. Dan
baru saja hendak berpaling mencari tahu siapa orang yang dikatakan mengintip,
Aji tersentak kaget. Karena di sampingnya tahu-tahu sang kakek telah berdiri
berkacak pinggang. Sepasang matanya menyorot tajam
dan liar pada Aji.
"Bocah tak tahu diri! Bocah suka ngintip macam kau, pantas diganjar dengan sodokan!" bentak kakek ini sambil menjotoskan
tangan kanannya.
"Eit, tunggu. Aku bukannya mengintip. Aku...,
uts!" Aji tak meneruskan kata-katanya, karena saat itu hantaman tangan sang
kakek telah menggebrak ke
arah kepala. Cepat dia merunduk, sehingga terhindar dari jotosan yang hanya
lewat di atas kepala dan
menghantam tempat kosong.
Namun, pemuda itu kontan tersedak. Tubuhnya cepat surut ke belakang. Karena begitu jotosan
tangan itu lewat, angin kencang langsung berdesir menyambar. Hampir saja tubuh
Pendekar Mata Keranjang
108 terjengkang seandainya tidak segera mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.
Jengkel karena jotosan tangannya dapat dihindari, kakek berpakaian putih kedodoran ini mengibaskan pakaiannya.
Wuss! Seketika angin kencang menderu melesat ke
depan, menghantam tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 yang masih melengkung ke belakang setelah bertahan dari sambaran tadi.
Melihat ada serangan datang lagi, Aji segera
merobohkan diri sejajar tanah. Sehingga, tubuhnya telentang. Maka sambaran angin kibasan pakaian sang
kakek kembali lewat, menghantam tempat kosong. Angin itu terus melesat, lalu....
Kraakk...! Tahu-tahu terdengar berderak pohon akan
tumbang. Ternyata sambaran pakaian yang lewat tadi
menghantam sebuah pohon yang tak begitu besar,
hingga berderak tumbang dengan kulit mengelupas!
Dengan sebuah lentingan indah, Pendekar Mata
Keranjang 108 bergerak bangkit. Lalu kepalanya menoleh ke belakang, ke arah
suara berderak tadi.
"Gila!" rutuk Aji dengan mata terbelalak.
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 menatap tajam kakek berbaju putih kedodoran itu.
"Orang gila macam begini tak ada gunanya diladeni. Lebih baik aku menyingkir!" kata batin Aji, seraya berkelebat hendak
pergi. Tapi baru saja Aji melesat beberapa tombak,
dari arah samping melayang sosok bayangan putih.
Dan seperti tahu apa yang akan diperbuat Pendekar
Mata Keranjang. 108, bayangan putih itu langsung
menghadang sambil memutar-mutar kedua tangannya
di depan dada. Deb! Deb! "Jangan coba-coba melarikan diri, sebelum kau
terangkan siapa dirimu!" bentak penghadang baru yang ternyata sang nenek.
Wajahnya dihadapkan lurus-lurus pada pemuda ini, seakan hendak menelan
bulat-bulat. Sementara itu angin bersiuran berputarputar dengan suara mendengung
keluar dari putaran
tangannya. "Sialan!" gerutu Aji dalam hati dengan melotot tak berkedip. "Mereka ternyata
orang tua berkepandaian tinggi. Hm.... Mengenakan pakaian putih panjang kedodoran. Sementara yang perempuan mengenakan penutup wajah. Siapa mereka ini" Aku tak pernah dengar ciri-ciri tokoh tua seperti mereka" Apakah mereka tokoh yang baru
muncul" Atau sepasang hantu hutan kecil ini?"
"Bocah! Telingamu tak tuli dan mulutmu tak
bisu, bukan" Atau telinga dan mulutmu ingin kukorek dengan batangan kayu itu"!"
bentak sang nenek, mendengus keras. Nada bicaranya terdengar mengancam.
"Namaku Aji. Seorang gelandangan yang tak
punya juntrungan...."
"Hm.... Jadi karena tak punya juntrungan, lalu kerjamu mengintip orang, he...?"
timpal sang kakek membentak seraya tersenyum mengejek.
Aji menggeleng-geleng.
"Menghadapi orang tua kadang-kadang membuat pusing kepala," kata pemuda ini dalam hati.
"Mulutmu tak menjawab, berarti kerjamu memang mengintip orang. Suatu pekerjaan memalukan!
Agar tingkahmu tak keterusan, kau harus dihajar!" desis sang kakek melanjutkan
dengan nada geram.
"Benar!" timpal sang nenek. "Kalau perlu, sepasang matanya dicungkil biar tak
bisa mengintip lagi!"
"Sudah, sudah! Aku tak mau dengar segala macam ancaman kalian. Aku akan pergi!" seru Aji, acuh tak acuh sambil melangkah
hendak pergi. Namun baru saja dua langkah Pendekar Mata
Keranjang 108 hendak pergi....
"Hei"! Kau kira ucapan kami begitu saja keluar tanpa bukti. Bocah?" dengus sang
kakek. Aji sepertinya tak mendengar ancaman itu. Kakinya terus melangkah menjauh.
"Orang-orang gendeng seperti mereka, jika dituruti bisa ngelantur tidak
karuan...!" gumam pemuda
itu. Mendadak sang kakek berkelebat. Dan tahutahu dia telah berdiri di hadapan Aji. Kedua tangannya yang terbuka didorongkan
perlahan ke depan.
Wusss...! Semburan angin seketika menderu keras, mengeluarkan suara berderak-derak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, membuat Aji tidak ada kesempatan
lagi untuk menghindar menyelamatkan diri, selain
menangkis. "Hm.... Orang tua itu rupanya tak main-main
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan kata-katanya. Ia ingin mencelakai aku!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera merentangkan kedua tangannya. Lalu dilepaskannya pukulan 'Ombak Membelah Karang'. Dan....
Blarrr...! Terdengar suara menggelegar begitu pukulan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam bertemu.
Tempat itu sedikit bergetar, karena keduanya hanya
mengeluarkan seperempat tenaga dalam masingmasing. Tubuh mereka hanya tersurut satu tindak ke
belakang. "Orang tua! Kaulah yang memaksakan kehendak. Jadi jangan menyesal jika kau terluka!" teriak Aji, jengkel.
Sang kakek tertawa bergerai-gerai.
"Bocah edan tukang intip!! Kaulah yang akan
menyesal!" balas sang kakek, membentak.
Tubuh orang tua itu berkelebat. Dan tiba-tiba
kedua tangan kakek ini bergerak menghantam ke arah
dada. Wut! "Heh"!"
Aji berseru kaget, tidak menyangka jika gerakan kakek ini begitu cepat. Sementara di samping,
sang nenek mengeluarkan tawa mengikik. Seketika
pemuda itu segera bergerak mundur, berkelit dari hantaman tangan kakek. Namun
mendadak kaki sang kakek yang terbungkus pakaian putih kedodoran itu
mencuat, menghantam pinggang. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang mental ke belakang, lalu tersuruk di atas tanah.
Pemuda itu berusaha merambat bangkit. Sepasang
matanya membeliak liar. Dagunya membatu. Kesabaran yang sejak tadi ditahan-tahan pupus sudah. Hing-ga sambil menahan rasa sakit
pada pinggangnya, pemuda itu melompat ke depan sambil melepaskan pukulan 'Gelombang Prahara'.
Werrr...! Suara gemuruh bagai gelombang ombak segera
menggebrak cepat ke depan. Sementara sang kakek
terlihat terkejut.
"Hm... Pukulannya telah sempurna sekali...!"
kata batin sang kakek.
Namun, kakek itu tak dapat membatin lebih
lama lagi. Karena dari arah depan, pukulan yang dilepas Pendekar Mata Keranjang
108 telah meluruk cepat. Segera dihindarinya pukulan itu dengan berkelebat ke samping kanan. Lantas
didahului bentakan keras, dari arah samping kedua tangannya yang telah
terbuka dihantamkan.
Blarr! Blaarr! Hutan kecil itu seolah-olah kontan digoyang
gempa hebat. Tanah di tempat ini kontan bergetar.
Daun-daun pohon luruh, beterbangan hangus. Tanah
di bawah tempat bertemunya dua pukulan ini, tampak
terbongkar membentuk lobang besar!
Tubuh sang kakek terjengkang dan jatuh terduduk. Namun secepat kilat bangkit disertai lenguhan tersendat. Sebentar
kepalanya memutar. Sepasang matanya yang sayu menyapu berkeliling dengan dahi
berkerut. "Ke mana bocah itu..." Jangan-jangan...."
Belum habis kata hati sang kakek, tiba-tiba dari balik sebuah pohon terdengar dendangan nyanyian
tak karuan. Sang kakek cepat berkelebat ke balik pohon.
Dan matanya seketika mendelik. Ternyata, Pendekar
Mata Keranjang 108 tengah duduk bersandar sambil
menyanyi. Sepasang matanya terpejam. Tangan kanannya memegang kipas warna ungu yang dikibaskibaskan di depan dada.
"Aahh...!"
Sang kakek berteriak tertahan, karena tubuhnya tiba-tiba bagai diguncang angin kencang, hingga pakaiannya berkibar-kibar.
Demikian juga rambut
panjangnya. Dan matanya makin terbeliak saat menyadari kalau gempuran angin kencang ini bersumber
pada kipasan-kipasan di tangan pemuda itu.
Secepat kilat kakek ini mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Lalu dengan sedikit miringkan tubuh, kedua tangannya
dihantamkan sambil melompat menerjang.
Wuuss! Meski hantaman tangan itu sendiri belum sampai, desiran angin kencang telah datang mendahului.
Aji yang sejak tadi matanya terpejam, serentak
membuka matanya lebar-lebar. Lalu kipasnya segera
dikebutkan melengkung dari samping kanan ke kiri.
Werrr...! Angin kencang yang mendahului hantaman
tangan sang kakek mendadak tertahan. Bahkan kini
mental balik, melesat dalam keadaan melengkung.
Namun hebatnya, pukulan mental itu seakan tidak berarti apa-apa, tatkala menghantam tubuh sang kakek.
Tubuhnya terus menerobos lengkungan serangan,
membuat hantaman tangannya tak terbendung melabrak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Setan gundul gila!" rutuk Aji mengertakkan rahang. Ia seakan tidak percaya
dengan penglihatan-nya. "Eh! Aku seperti mengenali pukulan ini! Apakah...." Aji
tidak bisa lagi meneruskan kata-katanya karena hantaman tangan sang kakek telah
satu depa di depan hidungnya.
Bahkan Aji makin geram, saat dari arah samping sang nenek sudah ikut-ikutan pula menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh.
"Pengecut sialan! Main keroyok!" bentak Aji seraya mengangkat sepasang kakinya,
menangkis serangan sang kakek. Sementara kipas di tangan kanannya
mengibas, menahan serangan jarak jauh sang nenek.
Prakk! Prakk! Blummm!
Terdengar dua kali suara benturan keras dan
sekali suara menggelegar dahsyat. Dua benturan itu
berasal dari bentrokan kedua tangan sang kakek dengan kedua kaki Pendekar Mata Keranjang 108. Sedangkan suara menggelegar berasal dari bertemunya
serangan jarak jauh si nenek, dengan tenaga dalam
yang keluar dari kibasan kipas di tangan Aji.
Tubuh sang kakek mencelat, dan jatuh terkapar di atas tanah dengan sepasang mata mendelik. Kedua tangannya kesemutan dan
ngilu bukan main. Pakaian di sebelah tangannya terkoyak melebar. Sementara si nenek terhuyung ke belakang disertai dengusan tertahan.
Sedangkan Aji sendiri terbanting ke belakang.
Punggungnya kontan menghantam sebatang pohon.
Sang nenek yang mengetahui sang kakek terluka, cepat berkelebat mendatangi. Dan dengan perlahan, ditolongnya sang kakek untuk bangkit berdiri. Si kakek sejenak menatap pada
sang nenek, lalu mengangguk.
Kedua orang tua ini segera berdiri berjajar. Si
kakek mengepalkan kedua tangannya melintang di depan dada. Sedangkan si nenek mengangkat kedua tangannya, lalu ditarik ke depan wajahnya.
Mengetahui gelagat tidak baik, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera bangkit. Saat itu juga seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
pada kedua tangannya.
"Hiaah...!"
Tak lama berselang, kedua orang tua ini segera
menghantamkan kedua tangan masing-masing ke depan. Werrr...! Gelombang angin dahsyat disertai dua larik sinar berkilat segera keluar dari kedua tangan orang tua ini, melesat ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108.
Aji sedikit tersentak kaget. Namun buru-buru
kipas di tangan kanannya mengibas. Sedangkan tangan kirinya yang mengepal langsung menghantam.
Hawa panas segera melingkupi tempat itu. Suasana makin benderang. Dan tak lama kemudian....
Glaarr! Glaarr! Bumm!
Gelegar dahsyat tiga kali saling sahut segera
mengguncang tempat ini yang kontan porak poranda.
Tubuh si kakek terpelanting ke belakang, lalu roboh terkapar di atas tanah.
Dicobanya menjerit dengan
mulut terbuka lebar-lebar, namun tidak ada suara terdengar. Sementara si nenek
mencelat jauh, dan bergulingan di atas tanah. Pakaiannya koyak di sana sini.
Tubuhnya langsung jatuh telungkup dan tak bergerak.
Aji sendiri terdorong hingga beberapa tombak
ke belakang, lalu jatuh menyusup tanah. Dari sela bibirnya keluar cairan darah.
Matanya perih dan seakan tak bisa dibuka. Kedua tangannya bergetar hebat. Namun
dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dicoba
untuk bangkit duduk. Kepalanya masih terasa berputar-putar. Dan pandangan matanya berkunangkunang. Lantas disalurkannya hawa murni ke seluruh
tubuhnya. Sementara itu sang kakek segera pula bangkit.
Tubuhnya tampak terhuyung-huyung sebentar namun
cepat duduk bersila bersikap seperti Aji.
Tak lama kemudian, baik Aji dan sang kakek
sama-sama membuka kelopak mata.
Sang kakek lantas bangkit, lalu melangkah ke
arah sang nenek yang masih telungkup. Namun baru
saja ia hendak bergerak menolong, tubuh si nenek melenting ke atas, membuat
putaran sekali di udara. Dan dengan mantap kakinya menjejak tanah menjajari
sang kakek. Aji melongo. Namun mulut itu cepat mengatup,
ketika melihat kedua orang tua itu melangkah mendekati sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Aji bersikap waspada. Bahkan telah siap melepaskan pukulan, 'Segara Geni' tatkala kedua orang tua ini sama-sama mengangkat
kedua tangannya masing-masing. Namun serangannya segera diurungkan. Matanya tak kedip mengawasi tingkah kedua orang tua
ini dengan dahi berkerut.
Sang kakek mengangkat tangannya, lalu mengelupas lapisan tipis pada wajahnya. Tangan kirinya segera bergerak cepat,
menanggalkan pakaiannya yang kedodoran. Demikian halnya si nenek. Segera dicampakkannya penutup kain di wajahnya dan menanggalkan pakaiannya.
Demi mengetahui siapa kedua orang tua ini.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera menjatuhkan diri dan menjura beberapa kali.
*** 3 "Eyang Selaksa! Ki Ageng Panangkaran! Maafkan tindakanku yang kurang sopan dengan melawan
kalian!" ucap Pendekar Mata Keranjang 108.
Ki Ageng Panangkaran yang menyamar sebagai
seorang nenek-nenek tersenyum. Sementara Eyang Selaksa meringis, karena masih menahan rasa nyeri di
dadanya. Kedua orang tua ini lantas memandang pada
Aji yang masih menjura dengan berlutut.
"Aji! Kami berdua sengaja menyamar, hanya ingin tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Karena ada tugas yang akan kau hadapi...!" kata Eyang Selaksa angkat bicara.
"Tugas" Tugas apalagi Eyang...?" tanya Aji dengan kening berkerut.
"Aji!" kali ini yang buka suara Ageng Panangkaran. "Kau masih menginginkan kitab
dan kipas kedua ciptaan Empu Jaladara...?"
Aji terhenyak. Kepalanya sedikit menggeleng.
"Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan
kitab dan kipas kedua itu. Namun demi keselamatan
dunia persilatan, aku harus mendapatkannya! Seperti yang dikatakan Eyang
Selaksa, kitab dan kipas kedua itu sangat berbahaya jika sampai jatuh pada orang
yang tidak bertanggung jawab. Jadi bagaimanapun caranya, aku akan berusaha mendapatkannya!" tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Namun sayang, kitab dan kipas kedua itu tak
mungkin kau dapatkan!" timpal Ageng Panangkaran dengan muka sedikit tertekuk.
"Itu mungkin saja. Tapi, aku ingin membuktikan dahulu...," desah Aji.
"Hm... Semangatmu tinggi, Aji. Aku menghargainya. Tapi suratan mungkin menentukan lain!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Aji keheranan, raut wajahnya mengisyaratkan
kekecewaan. "Untuk hal ini, ada seseorang yang akan menerangkan. Ayo kita menemui dia!" ajak Ageng Panangkaran. Seketika tubuhnya
berbalik, lalu melangkah ke
arah sebuah pohon besar dan menghilang di baliknya.
Aji segera bangkit, lalu menjajari langkah
Eyang Selaksa yang membuntuti Ageng Panangkaran.
"Siapa orang yang akan menerangkan...?" kata batin Aji seraya menarik-narik ekor
rambutnya. "Aji!" panggil Eyang Selaksa, begitu Pendekar Mata Keranjang 108 menjajari
langkahnya. "Apa selama ini kau sempat bertemu Ajeng Roro?"
Pemuda tampan ini tersentak kaget, mendengar
pertanyaan Eyang Selaksa. Sungguh dia sebenarnya
pun sudah rindu dengan Ajeng Roro. Namun entah
kenapa selalu saja ada halangan bila hendak bertemu.
Hingga untuk beberapa saat dia tak menjawab.
"Kau belum menjawab pertanyaanku!"
Suara Eyang Selaksa menyadarkan Aji.
"Ngg.... Belum, Eyang!" jawab Aji, singkat.
"Hm... Anak itu keras kepala. Aji, jika sewaktu-waktu kau bertemu dengannya,
katakan bahwa aku
sudah rindu. Suruh dia pulang menemuiku...," ujar Eyang Selaksa seraya
menggeleng-geleng. "Aku heran, apa yang dicari anak itu...."
Aji hanya mengangguk. Dalam hati Aji menggerendeng panjang pendek.
"Tentunya bukan hanya Eyang yang rindu. Aku
pun lebih dari itu!"
Mereka pun sampai pada pohon tempat Ageng
Panangkaran menghilang di baliknya. Begitu keduanya sampai, terlihat Ageng
Panangkaran berdiri di samping sebuah batu yang di atasnya duduk seorang lakilaki berjubah. Matanya tertutup sepotong kulit yang di-ikatkan ke belakang
kepala. "Eyang Wong Agung...!" seru Aji, seraya jatuhkan diri berlutut.
Laki-laki berjubah yang kedua matanya tertutup sepotong kulit dan duduk di atas batu itu mendehem perlahan. Dan dia memang
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wong Agung dari Karang Langit! "Aji, aku sangat bersyukur.... Ternyata kau bisa mempergunakan segala
kepandaianmu untuk kebai-kan umat manusia...," kata Wong Agung dengan suara
serak, namun berwibawa.
Aji hanya mengangguk perlahan.
"Hm.... Bila Eyang Selaksa, Eyang Wong Agung,
dan Ki Ageng Panangkaran berada di sini, berarti ada urusan besar...," gumam
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
"Jayeng Parama!" panggil Eyang Selaksa, menyebut nama asli Wong Agung, saudara
juga adik se- perguruannya. "Sekarang, katakanlah. Apa yang selama ini kau ketahui. Waktu kita
terbatas!"
Wong Agung menarik napas dalam-dalam.
"Aji! Tentunya kau masih ingat akan tugas yang diberikan oleh Paman Selaksa,
yakni mencari dan
mendapatkan kitab dan kipas kedua ciptaan Empu Jaladara. Namun... Segala sesuatu nyatanya telah ditentukan Yang Maha Kuasa di
atas sana. Karena firasatku mengisyaratkan, kau tidak akan bisa mendapatkan
kipas dan kitab kedua itu!"
Aji sedikit tersentak. Dalam hati ia mengumpat
habis-habisan. "Sialan! Berarti orang lain akan mendapatkan kitab dan kipas
itu...! Dan dunia persilatan akan terancam malapetaka!"
"Itulah yang kini kita cemaskan, Aji!" sambung Wong Agung, seakan mengerti jalan
pikiran pemuda itu. "Karena jika nantinya kau dan pemegang kitab serta kipas kedua itu bertemu
dan terjadi bentrok, maka di antara kau dan dia tidak ada yang keluar sebagai
pemenang! Malah tidak mustahil pemegang kitab dan
kipas itu akan dapat memenangkan pertarungan jika
terlebih dahulu mendapatkan pemusnahnya!"
"Yang Eyang maksud pemusnah dari jurus pamungkas dari kedua kipas dan kedua kitab itu?" tanya Aji, seakan tak percaya
dengan pendengarannya.
"Benar! Ternyata sebelum Empu Jaladara meninggal dunia, dia telah menciptakan jurus pemusnah dari kedua kitab dan kedua
kipas ciptaannya!" jelas Wong Agung.
"Apa kau memperoleh petunjuk, di mana dan
siapa pemegang jurus pemusnah itu...?" tanya Ageng Panangkaran.
"Dalam semadiku, aku melihat seorang perempuan tua berpakaian compang-camping. Sayang, raut
wajahnya tak jelas terlihat, karena seperti tertutup kabut hitam. Dia mendekam
di sebuah ruangan berbentuk tabung di pinggiran hutan yang berbatasan dengan pesisir Pantai Utara ujung
timur. Siapa nama perempuan tua itu, tak pernah diketahui dalam rimba
persilatan. Tapi ada suatu keanehan. Saat perempuan tua
itu menghilang dari penglihatan batinku, aroma bunga tujuh warna menusuk di
sekitarku...."
Eyang Selaksa dan Ageng Panangkaran saling
berpandangan dan mengangkat bahu.
"Tapi apa tidak sebaiknya kita mencari tahu
dahulu tentang kitab dan kipas kedua itu" Bukankah
dalam peta itu telah diterangkan petunjuk tempatnya"
Siapa tahu kita bisa mendapatkannya terlebih dahulu?" usul Ageng Panangkaran sambil memandang
Wong Agung. Wong Agung mendongakkan kepala dan menggeleng perlahan.
"Paman! Kukira itu perjalanan sia-sia. Karena
firasatku mengisyaratkan, Aji tidak akan bisa memperoleh kitab dan kipas kedua
itu!" Ageng Panangkaran mengangguk perlahan "Jika demikian halnya, sekarang kita anggap kitab dan
kipas kedua itu telah jatuh pada orang lain. Dan berarti, dunia persilatan
terancam kehancuran. Maka jalan satu-satunya menyelamatkan dunia persilatan dari
kehancuran adalah mempelajari jurus pemusnahnya.
Bukankah begitu?" susul Ki Ageng Panangkaran. Aji manggut-manggut.
"Hm.... Jadi inikah tugas yang sekarang harus
kuemban?" tanya Aji seperti untuk diri sendiri seraya menatap satu persatu pada
Wong Agung, Eyang Selaksa, serta Ageng Panangkaran.
Ketiga orang tua ini sama-sama mengangguk.
"Bila begitu, aku sekarang juga siap melakukan perjalanan mengemban tugas...!"
tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hm.... Bagus! Kali ini gerak cepat memang diperlukan!" sambut Wong Agung. "Tapi ingat, Aji. Kau harus tingkatkan
kewaspadaan. Karena tidak mustahil sebelum mendapatkan jurus pemusnah itu, kau
akan berjumpa pemegang kitab dan kipas kedua itu. Atau,
ada orang lain mendahului mendapatkan jurus pemusnah itu, yang mengakibatkan tugasmu akan semakin berat...."
Aji tersenyum kecut.
"Eyang.... Segala petunjuk akan kulaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Aku mohon doa restu. Aku
akan berangkat sekarang!"
"Dan kau tak melupakan janjimu padaku, bukan...?" tanya Eyang Selaksa seraya tersenyum lebar.
Aji kembali menyeringai kecut.
"Bawa anak keras kepala itu padaku. Aku sudah sangat rindu!" sambung Eyang Selaksa masih dengan senyum.
"Baik, Eyang. Akan kubawa Ajeng Roro untuk
menghadap Eyang...," jawab Aji meski dalam hati men-gutuk panjang pendek.
Selagi Aji membatin, perlahan Ageng Panangkaran melangkah mendekat dan berbisik.
"Aji, salah satu muridku mengatakan bahwa
kau akan berkunjung ke tempatku. Kuharap, kau tidak mengecewakan anak muridku!"
Aji terkejut. Sepasang ekor matanya melirik
Ageng Panangkaran. Dahinya berkerut, seakan mengingat-ingat. "Kau pura-pura lupa atau lupa sungguhan,
he..."! Akan kusebutkan sebuah nama. Kau ingat Sakawuni...?" tanya Ageng Panangkaran dengan raut jengkel meski bibirnya
menyungging senyum.
Aji menepuk-nepuk jidatnya.
"Hm.... Jika kau sudah ingat, satu pintaku.
Jangan kau kecewakan anak muridku!"
Habis berkata, Ageng Panangkaran kembali melangkah menghampiri Wong Agung.
Aji tercengang dengan bibir tersenyum tawar.
Namun, senyumnya segera lenyap ketika....
?"Kau sudah siap berangkat, Aji...?" tanya Wong Agung. Aji mengangguk, lalu
melangkah ke arah Wong
Agung. Diciumnya tangan orang tua itu. Lantas dia
berbuat sama pada Eyang Selaksa dan Ageng Panangkaran. Tak lama kemudian, Pendekar Mata Keranjang
108 menjura hormat pada ketiganya dan berbalik meninggalkan tempat ini.
Begitu agak jauh dari tempat beradanya tiga
orang tua itu, Aji memperlambat larinya.
"Payah, payah! Urusan wanita ternyata bikin
pusing kepala!" gumam Aji sambil menggeleng-geleng.
*** 4 Gelombang ombak Laut Selatan terdengar bersahutan, membuncah pantai dan menghantam batubatu karang di sekitarnya. Kira-kira sepuluh tombak di samping sebuah batu
karang yang tampak menjulang
dan berlobang besar, dua sosok tubuh terlihat mengawasi arah batu karang tanpa
kedip. "Aku khawatir kita datang terlambat, Tunjung
Kuning! Terbukti si Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan yang datang ke sini
untuk membalas dendam, tidak menemukan Manusia Karang!" kata sosok di sebelah kanan yang ternyata Dayang
Lembah Neraka murid tokoh yang bergelar si Manusia Karang.
Sementara gadis berbaju kuning yang tak lain
Manusia Harimau Marah 2 Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Naga Sasra Dan Sabuk Inten 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama