Dewa Arak 91 Sapu Jagad Bagian 2
Arya menggelengkan kepala.
"Aku hanya mengenal julukannya s aja. Itu pun dari berita yang
tersebar di dunia persilatan dan dari seseorang yang dekat hubungannya
denganku."
"Apakah orang itu seorang wanita" Gadis, Arya?" desak Padmini.
Ada rasa panas menjalari hati gadis itu begitu membayangkan seorang gadis
mempunyai hubungan dekat dengan Dewa Arak.
Arya melongo. Pemuda ini masih belum mengerti arah pertanyaan
Padmini. "Apa maksudmu, Mini" Aku belum mengerti?" tanya Arya,
bingung. Wajah Padmini memerah. Pert anyaannya t erlalu bersi fat
menyelidik pribadi Dewa Arak. Dia malu ketika teringat janggalnya
pertanyaan itu. Tapi sudah telanjur diucapkan dan tak mungkin ditariknya
kembali. "Kau tadi mengatakan tahu tentang Buaya Gila Bermata Tunggal
dari seseorang yang hubungannya dekat denganmu, bukan" Yang
kutanyakan, apakah orang yang kau maksud itu seorang wanita?"
"Bukan," jawab Arya. "Dia seorang kakek. Mungkin kau tak
mengenalnya, Padmini. Namanya Jaran Sangkar. Ki Jaran Sangkar," jelas
Arya. Dewa Arak sengaja hanya menyebut nama kakek itu. Jika
julukannya diberitahukan, pemuda ini khawatir Padmini pernah
mendengarnya. Julukan Ki Jaran Sangkar adalah Penyair Cengeng (Untuk
jelasnya, silahkan baca episode "Golok Kilat").
Sinar mata Padmini kembali berbinar-binar mendengar jawaban
Arya. Dengan penuh semangat ceritanya kemudian dilanjutkan.
"Kuakui guruku bukan termasuk orang baik-baik. Beliau masuk
golongan sesat, kendati aku sebenarnya menyayangkan hal itu. Tapi aku tak
berani menasihati guruku. Aku hanya berusaha agar tak tersesat jalan
sepertinya. Dan guruku t ak keberatan jika aku mengambil jalan yang
berbeda dengannya. Kau mungkin pernah mendengar julukan guruku,
Arya." "Mungkin, Padmini. Coba kau beritahukan julukan gurumu itu.
Barangkali saja aku pernah mendengarnya."
"Julukan beliau adalah Dewi Pesolek."
Arya mengangguk-anggukkan kepala.
"Tentu saja aku pernah mendengarnya, Padmini. Menurut berita
yang sampai telingaku, guru mu itu dikalahkan oleh Buaya Gila Bermata
Tunggal. Demikian juga pentolan-pentolan kaum sesat lainnya. Apakah
benar demikian?"
"Benar," jawab Padmini sambil tersenyum pahit. "Kekalahan yang
diderita membuat guruku menjadi anak buah Buaya Gila. Dan celakanya,
guruku menerima saj a perlakuan si kakek picak itu. Bahkan undangan
kakek itu dipenuhinya. Beliau dimintai bantuannya menghadapi lawan
tangguh Buaya Gila. Guru mengajakku ke tempat si Buaya Gila. Dan, di
tempat itulah aku bertemu Bonggala!"
"Kau tahu tokoh yang akan dilawan oleh Buaya Gila dan gurumu
itu, Mini?"
Padmini merasakan adanya rasa ingin tahu yang besar dalam
pertanyaan Dewa Arak. Gadis ini menjadi gembira karena ceritanya
membuat Dewa Arak tertarik.
"Tentu saja, Arya. Aku mendengarnya ketika Buaya Gila
bercakap-cakap dengan guruku."
"Siapa dia, Mini?" desak Arya tak sabar.
"Sapu Jagad! Kau pernah mendengar julukannya, Arya?"
Arya menggeleng. Wajahnya yang semula menegang dan penuh
harapan kini mengendur kembali. Tidak terlihat gambaran apa pun pada
roman mukanya. Melihat sikapnya, Padmini tahu kalau Arya kecewa.
"Memangnya kau kira siapa tokoh yang menjadi musuh Buaya
Gila Bermata Tunggal itu Arya?" tanya Padmini ingin tahu.
4 Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan Padmini. Kelihatan
sekali pemuda ini merasa berat untuk mengutarakannya. Padmini pun bisa
merasakan. Dan, gadis ini merasa kecewa sekali karena Arya tak
mempercayainya.
"Kalau hal itu memang rahasia s ekali, kurasa kau tak perlu
menjawabnya, Arya," ujar Padmini dengan suara sendu.
Arya tahu perasaan yang bergolak di hati gadis itu. Dia jadi merasa
tak enak. Dihelanya napas berat beberapa kali sebelum berbicara.
"Maukah kau berjanji merahasiakan apa yang akan kukatakan,
Mini" Yang tahu hal ini hanya kau dan aku. Bagaimana, kau bersedia?"
Seketika wajah Padmini jadi berseri-seri.
"Tentu saja, Arya," jawab gadis itu, mantap. "Aku berjanji tak
mengatakannya pada siapa pun. Tak terkecuali pada guruku sendiri."
"Bagus!" puji Arya. "Kalau demikian, aku merasa lega untuk
mengatakannya padamu. Dengarl ah baik-baik. Kukira orang yang hendak
ditemui Buaya Gila dan gurumu itu adalah tokoh luar biasa yang amat aneh
dan penuh rahasia. Tokoh inilah yang tengah kucari -cari, Mini. Menurut
petunjuk Ki Jaran Sangkar, kalau aku ingin bertemu dengan tokoh itu aku
harus menemui Buaya Gila Bermata Tunggal."
"Mengapa harus demikian, Arya?" tanya Padmini.
"Menurut Ki Jaran Sangkar, Buaya Gila Bermata Tunggal itulah
dari seki an banyak orang yang mendapat keberuntungan. Buaya Gila itu
akan bertemu dengan tokoh penuh rahasia tersebut."
"Siapa tokoh penuh rahasia itu, Arya?"
"Dewa Berhati Emas," jawab Arya dengan suara lirih seperti takut
didengar orang lain. Padahal, pemuda ini yakin di sekitar tempat itu tak ada
orang lain. "Dewa Berhati Emas?" ulang Padmini dengan sepasang alis
berkerut "Kau pernah mendengarnya, Mini?"
Perlahan-l ahan Padmini menganggukkan kepala.
"Guruku pernah menyebut -nyebutnya," j awab gadis itu dengan
suara mengambang. "Tapi menurut beliau, Dewa Berhati Emas bukan
manusia, maksudku... tak patut disebut manusia. Kata beliau tokoh itu tak
pernah mati sejak ratusan tahun lalu. Konon Dewa Berhati Emas selalu
memberikan ilmu pada orang-orang yang kebetulan bertemu dengannya.
Tak dipedulikan apakah orang itu berasal dari golongan putih atau hitam."
"Apa yang dikatakan gurumu itu sama persis dengan yang
dikatakan Ki Jaran Sangkar, Mini," sambut Arya. "Bedanya, Ki Jaran
Sangkar mengatakan kalau Dewa Berhati Emas benar-benar ada. Bahkan
beliau menyuruhku untuk sedapat mungkin bert emu dengan tokoh penuh
rahasia itu."
"Kau percaya dengan keterangan Ki Jaran Sangkar, Arya?"
"Tentu saja, Mini. Beliau tak pernah bicara yang tak benar!" tandas
Arya. "Lalu..., apa lagi dikatakan Ki Jaran Sangkar mengenai Dewa
Berhati Emas itu, Arya?" desak Padmini setelah terdiam beberapa saat
lamanya. "Menurut Ki Jaran Sangkar, saat-s aat ini Dewa Berhati Emas telah
keluar lagi ke dunia persilatan. Dan bias anya tokoh yang tak ubahnya dewa
itu berkelana selama tiga purnama. Orang yang kebetulan bertemu
dengannya di waktu-waktu tertentu akan diturunkannya ilmu. Satu macam
ilmu.Tapi, luar biasa dahsyatnya!"
"Berapa hebatnya orang yang hanya mendapat pel ajaran beberapa
bulan?" timpal Padmini setengah meremehkan.
"Siapa bilang beberapa bul an, Mini?" sergah Dewa Arak, cepat.
"Menurut Ki Jaran Sangkar hanya sesaat saja. Jangankan berbulan-bul an,
sehari pun tidak. Bahkan tak sampai sesiangan! Entah bagaimana caranya
aku juga tak mengerti. Tapi begitulah cerita Ki Jaran Sangkar!"
Padmini terdiam. Gadis ini masih belum bisa mencerna keterangan
Dewa Arak. Bagaimana mungkin orang mempel ajari ilmu hanya sesaat dan
langsung menjadi orang sakti"
Arya membiarkan saja tingkah Padmini. Pemuda ini malah
mempergunakan kesempatan itu untuk mengawang-awangkan alam
pikirannya. Suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun
pikiran sendiri-sendiri.
"Kalau aku pribadi, Arya," celetuk Padmini memecahkan
keheningan. "Tak berminat sama sekali untuk bert emu dengan Dewa
Berhati Emas, apalagi mendapatkan ilmunya. Menurut pendapatku, semakin
tinggi dan dahsyat sebuah ilmu semakin sulit untuk mempelajarinya. Kalau
waktu yang diperlukan hanya sekej ap, ilmu apakah yang akan diberikan?"
Arya diam. Bisa diterimanya alasan Padmini. Kendati demikian
Arya tak membenarkannya pula. Dewa Arak tahu banyak ilmu-ilmu dahsyat
di dunia ini. Pemuda ini sendiri t elah beberapa kali menghadapi ilmu-ilmu
seperti itu. Jadi, meski keterangan Ki Jaran Sangkar banyak yang tak masuk
akal, pemuda ini tak menolak kebenaran ucapan Padmini mentah-mentah.
"Aku pun bukan karena rakus ilmu mencari tokoh rahasia itu,
Mini. Tapi, karena ini permintaan kawan dekatku. Biasanya ucapan Ki
Jaran Sangkar selalu berisi hal-hal yang penting."
"Jadi kau tetap berminat untuk mencari Dewa Berhati Emas?"
Arya mengangguk.
"Pantas kau merasa kecewa ketika tahu Buaya Gila Bermata
Tunggal bukan hendak menemui Dewa Berhati Emas," ujar Padmini.
"Tapi sekarang tidak lagi, Mini," kilah Arya. "Pokoknya, kemana
pun Buaya Gila pergi, aku akan terus mengikutinya. Jadi andaikat a tokoh
itu bertemu Dewa Berhati Emas, aku pun akan bertemu dengannya pula."
Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepal a. Di dalam hati
gadis ini membenarkan keputusan yang diambil Dewa Arak.
"Karena itu aku membutuhkan bantuanmu, Mini. Kaulah orang
yang tahu ke mana gurumu dibawa pergi Buaya Gila Bermata Tunggal."
"Kapan kau akan memulai penguntitan ini, Arya?"
"Lebih cepat lebih baik, Mini!" tandas Arya.
"Jadi...," Padmini menggantung ucapannya.
"Kalau kau bersedi a, sekarang juga kita akan berangkat!
Bagaimana?"
"Tapi aku belum selesai dengan ceritaku?" bantah Padmini.
"Tinggal sedikit lagi, Arya."
"Kalau demikian kita lanjutkan cerita itu sambil berjalan!"
"Terserah kau saj alah, Dewa Arak! Padmini mengangkat kedua
bahunya. Arya ters enyum simpul. Sebentar kemudian sepasang muda-mudi
ini telah berlari cepat untuk menguntit kepergian Buaya Gila Bermata
Tunggal. Sambil berlari Padmini menyambung ceritanya.
*** "Itu dia tempatnya, Dewi...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal menudingkan telunjuknya ke sebuah
gua yang di depannya terhampar hal aman cukup luas. Hal aman itu
sebenarnya indah. Di sana-sini banyak tumbuh tanaman bunga aneka warna.
Sayangnya, keadaan taman itu porak-poranda. Taman bunga tak terlihat
rapih. Tanah gembur berserakan di sana-sini. Beberapa batang pohon bunga
tercabut bers ama akar-akarnya.
Dewi Pesolek hanya menggumam tak jelas menyambuti ucapan
Buaya Gila Bermata Tunggal. Gua ters ebut adalah t empat tinggal Sapu
Jagad. Tempat yang bernama Gua Api. Dewi Pesolek dan bahkan Buaya
Gila Bermata Tunggal tak tahu mengapa tempat itu mempunyai nama
demikian. Pikiran nenek ini masih tersangkut pada Padmini. Dia tak sempat
lagi melihat keadaan muridnya. Karena setel ah diaj ak ke istananya, Buaya
Gila Bermata Tunggal langsung mengajaknya menemui musuh besar yang
dicarinya. "Apa yang telah terjadi" Mengapa keadaan di sini berantakan
sekali?" sambung Buaya Gila Bermata Tunggal. Heran melihat keadaan
tempat itu yang berantakan.
Rupanya tadi, karena terlalu memusatkan perhatian pada gua,
kakek picak ini tak melihat keadaan halaman yang porak-poranda. Lagi-lagi
Dewi Pesolek hanya memberikan gumaman pelan. Buaya Gila Bermata
Tunggal bergegas mel esat mendekati halaman gua yang berantakan. Hanya
dengan sekali lesatan kakek ini telah berada di depan gua.
"Bekas-bekas pertempuran," desis Buaya Gila Bermata Tunggal.
Dilihatnya halaman gua yang porak-poranda bagai t elah dibaj ak puluhan
kerbau liar. "Siapa yang telah berani lancang membuat kekacauan di tempat
ini" Sungguh berani matj orang itu. Berani mendahului si Buaya Gila!"
Dewi Pesolek yang telah berada di dekat Buaya Gila tak
memberikan s ambutan. Nenek ini bersikap tak ambil pusing pada kakek
picak yang tengah mengomel panjang pendek. Buaya Gila Bermata Tunggal
sendiri sepertinya memang t ak butuh kata sambutan. Dengan wajah berang
dan sikap penuh ancaman, kakek picak ini mengarahkan pandangan ke arah
gua. Gua itu cukup besar. Garis tengah lingkarannya tak kurang dari
satu tombak. Sebuah ukuran yang cukup bagi seseorang untuk masuk ke
dalamnya secara wajar. Keadaan bagian dalam gua tampak hitam pekat. Tak
terlihat apa pun di sana oleh mata Buaya Gila dan Dewi Pesolek.
Buaya Gila Bermata Tunggal yang tengah diamuk amarah
bermaksud untuk masuk ke dalam gua. Tapi baru saja kakinya digerakkan,
di ambang pintu gua telah muncul sesosok tubuh.
Sosok itu mengenakan pakaian serba putih. Pakaian itu terlihat
longgar membungkus tubuhnya yang kecil kurus serta agak bungkuk.
Kumis, jenggot, jambang, alis, serta rambutnya telah putih semua.
Seimbang dengan kulit tubuhnya yang keriput.
Sosok berpakaian serba putih itu memang seorang kakek yang
usianya seratus tahun lebih. Kulit wajahnya yang keriput terlihat
memancarkan sesuatu. Wajah kakek ini pun seperti bersinar dan
menimbulkan kesejukan bagi yang melihatnya. Kakek berpakaian putih ini
tersenyum lebar. Ditatapnya Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi
Pesolek bergantian. Tapi, tak satu pun dari kedua tokoh itu yang
menyambuti keramahtamahannya.
Terutama sekali Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang
memang tengah dilanda amarah itu justru semakin bergejolak amarahnya
melihat senyum yang dipamerkan kakek berpakaian putih. Sebuah dugaan
muncul di benak kakek pi cak itu. Bahwa, kakek berpakaian putih orang
yang telah membuat kekacauan di depan gua.
"Siapa kau, Monyet Cilik" Apa kerjamu di tempat ini" Kaukah
yang telah menimbulkan kekacauan di tempat ini"!" tanya Buaya Gila
Bermata Tunggal dengan suara keras.
Kakek berpakai an putih sama sekali tak marah mendengar
pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tinggi itu. Dia malah tersenyum
lebar. "Tua bangka tak tahu diri! Jawab pertanyaanku, atau kau memiliki
akal yang tak sehat sehingga sejak tadi hanya tersenyum-senyum saja"!"
"He he he...!" kakek kecil kurus itu malah ter kekeh. "Tahukah kau
tanda-tanda orang yang berakal itu, Sobat?" si kakek balas bertanya. Wajahnya
kelihatan gembira bukan main.
Buaya Gila Bermata Tunggal melongo sebentar. Sekejap
kemudian, perhatiannya dialihkan pada Dewi Pesolek. Tapi nenek itu malah
mengangkat bahu. Buaya Gila Bermat a Tunggal terpaksa mengalihkan
perhatiannya lagi pada kakek kecil kurus.
"Tentu saja aku tahu, Monyet Goblok! Yang j elas, ciri-ciri
utamanya adalah tak pernah ters enyum-senyum sendiri, apalagi ketika
ditanya!" tandas Buaya Gila Bermata Tunggal.
Sebenarnya di lubuk hatinya tokoh saat itu merasa heran terhadap
sikapnya. Mengapa dia malah meladeni percapakan kakek kecil kurus ini"
Bahkan Dewi Pesolek pun tak luput dari perasaan itu. Pertanyaan yang
diajukan kakek kecil kurus membuatnya memutar ot ak untuk mencari
jawabnya. Sungguh suatu hal yang mengherankan mereka.
"Jawaban yang sungguh menyimpang jauh dari pertanyaannya,"
sahut kakek berpakaian putih dengan sikap sabar. "Jawaban itu hanya
mengenai kulitnya saja. Kalian ingin menget ahui jawaban yang
Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya?"
Lagi-lagi, meski merasa heran akan kakek kecil kurus, kedua
pentolan kaum sesat itu menganggukkan kepala. Buaya Gila Bermata
Tunggal dan Dewi Pesolek seperti orang terkena pengaruh sihir. Padahal,
jelas-jelas keduanya merasa yakin saat itu mereka dalam keadaan sadar
sepenuhnya. "Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang itu berakal,"
ujar kakek berpakaian putih seperti seorang guru memberikan keterangan
pada murid-muridnya. "Yang pertama, bersikap lemah lembut. Kedua, tahu
diri. Ketiga, tahu di mana tempat membuka rahasia dan cara membukanya.
Keempat, pandai berlaku hormat. Kelima, mampu memelihara rahasia diri
sendiri dan orang lain. Keenam, mampu menguasai lidah dengan tidak mengeluarkan
kata-kata yang menimbulkan bahaya. Dan yang terakhir, tak
menjawab l ebih dari yang ditanyakan orang. Itulah tanda-tanda yang harus
ada pada orang yang berakal. Jelas"!"
Buaya Gila Bermat a Tunggal dan Dewi Pesolek menganggukanggukkan
kepala. Entah apa arti anggukan mereka.
"Sekarang kalian berdua kembalilah. Renungkan tanda-tanda orang
berakal yang kusebutkan tadi. Apakah kalian berdua termasuk di dalamnya.
Kalau tidak, berarti kalian belum termasuk orang yang berakal."
Tanpa banyak bicara dan bagai kerbau dicocok hidungnya, Buaya
Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek membalikkan tubuh. Mereka
bergegas mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Tatapan mata kakek
berpakaian putih mengiringi kepergian dua dedengkot kaum sesat tersebut.
5 "Tak kusangka demikian mudahnya kau mengusir dua dedengkot
persilatan itu, Dewa Berhati Emas," ujar sebuah suara parau dari dalam gua.
Kakek berpakaian putih yang berjuluk Dewa Berhati Emas hanya
terkekeh pelan seraya membalikkan tubuh. Dilihatnya dari dalam gua
berjalan keluar s esosok tubuh gempal penuh otot. Tubuh kekar itu hanya
tertutup rompi dan celana pendek hitam. Pada bagian pinggangnya terlilit
rantai baja yang di ujungnya terdapat bola berduri.
"Kau terlalu yakin, Sapu J agad. Kurasa dua tokoh itu hanya pergi
sesaat saja. Tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti mereka hanya akan
terpengaruh sebentar. Tapi waktu yang demikian singkat cukup bagi kita
untuk berbincang-bincang. Kau tak keberatan bukan! Kita hanya bisa
bercakap-cakap s ebentar" Padahal penantian yang kau lakukan bertahuntahun,"
"Mengapa harus kecewa, Dewa?" timpal Sapu Jagad. "Waktu yang
hanya sekej ap pun kurasa cukup. Belum pernah kudengar kau berduaan
dengan seseorang dalam waktu lebih dari seperempat hari."
Dewa Berhati Emas hanya terkekeh.
"Puluhan tahun aku menanti kedatanganmu, Dewa. Bahkan aku
sampai berpes an pada s eorang yang dekat denganku, yang kini entah ada di
mana. Maksud penantianku itu hanya untuk meminta pendapatmu," ujar
Sapu Jagad membuka pembicaraan.
Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. Lembut dan penuh
kesabaran. "Sejak puluhan tahun lalu di benakku berkecamuk suatu
pemikiran. Ada beberapa hal bisa menjadi tujuan hidup seseorang. Tiga
perkara yang kuras a akan menimbulkan kebahagiaan itu adalah: harta, nama
besar, dan kesenangan."
Sapu Jagad menghentikan ucapannya s ejenak untuk mengambil
napas. Dewa Berhati emas menunggu dengan sabar. Tak sedikit pun
dipotong cerita rekannya.
"Dengan kepandaian yang kumiliki, aku berhasil mendapatkan
harta yang berlimpah dan nama besar. Aku hidup dalam kesenangan. Tapi
itu hanya berlangsung belas an tahun. Semua yang kudapatkan t ernyat a tak
membuatku bahagia. Kemudian hidupku justru jauh dari bahagia. Aku tak
bisa hidup tenang. Meski telah menyepi, orang-orang yang pernah
kurugikan tetap menyatroniku. Padahal aku telah jemu bertarung. Aku ingin
menghabiskan usia tuaku dengan ketenangan. Aku mohon petunjukmu,
Dewa." "Itu semua terjadi karena nafsu yang kau turutkan, Sapu Jagad.
Nafsu yang diperturutkan hanya akan menimbulkan ketidaktenangan.
Alangkah malangnya bila itu terj adi. Padahal duni a ini isinya hanya
kesusahan semat a-mata. Sejak dari dalam kandungan hingga datang ajal
manusia berenang dalam lautan kesusahan. Masa kecil kalau lapar tidak
bisa mencari makan. Kalau haus tak bisa mencari minum, dan kalau sakit
tak tahu obat."
Dewa Berhati Emas menatap Sapu Jagad yang mendengarkan
uraiannya. Kakek berotot itu kelihatan tertarik sekali.
"Lepas dari asuhan ibu mulai ditimpa keberatan belajar. Macammacam
penyakit menerpa. Di waktu dewasa sibuk mengurus anak. Dan
seterusnya. Akibat yang kau terima sekarang adal ah buah dari perbuatanmu.
Tapi kalau kau memang berkehendak menjauhkan diri dari dunia persilatan,
kau boleh ikut denganku. Kau bers edia, Sapu Jagad" Syaratnya hanya
menjauhi kekeras an."
"Aku bersedia, Dewa!" jawab Sapu Jagad, mantap.
Dewa Berhati Emas tersenyum.
"Kau akan mendapat ujian berat, Sapu Jagad."
Sapu Jagad menyernyitkan alis. Tapi hanya sesaat.
Pendengarannya yang t ajam segera menangkap bunyi langkah-l angkah kaki
mendekati tempatnya dan Dewa Berhati Emas berada. Langkah-langkah
yang amat ringan dan halus, pertanda pemiliknya orang-orang yang
memiliki ilmu meringankan tubuh amat tinggi.
Sekejapan kemudian, pemilik langkah itu telah muncul di depan
Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad. Pemilik-pemilik langkah itu adalah
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek!
Perkiraan Dewa Berhati Emas ternyata tak meleset. Buaya Gila
Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek segera tersadar dari pengaruh aneh
yang ditimbulkan Dewa Berhati Emas. Kedua dedengkot kaum sesat yang
menyadari kej anggalan tindakan mereka bergegas kembali. Kali ini
kekuatan batin mereka dikerahkan agar tak mudah terpengaruh.
"Sungguh tak kusangka kau t elah menjadi seorang pengecut, Sapu
Lidi! Sehingga, kau berlindung di belakang punggung orang lain!" dengus
Buaya Gila Bermata Tunggal.
Kakek bermata picak ini menatap Sapu Jagad dengan sinar mata
penuh dendam. Di sebel ah datuk sesat ini Dewi Pesolek berdiri diam tak
berkata apa pun.
Sapu Jagad meras akan dadanya panas oleh perasaan hati yang
terbakar. Hampir saja mulutnya terbuka membalas makian Buaya Gila
Bermata Tunggal. Untung dia teringat akan janjinya. Sapu Jagad kemudian
memutuskan untuk berdiam diri. Diserahkannya persoalan itu pada Dewa
Berhati Emas. Dewa Berhati Emas rupanya mengerti keinginan sahabatnya.
Kakek ini terkekeh lebih dulu sebelum berkata-kat a.
"Kiranya kau, Buaya Gila. Begitu besarkah sakit hatimu sehingga
terus memburu Sapu Jagad" Tidakkah persoalan lama dihabiskan begitu
saja" Bukankah banyak jalan lain untuk menyelesaikan persoalan selain
dengan kekerasan?"
"Tutup mulutmu, Peot!" bentak Buaya Gila Bermata Tunggal.
Mata kakek ini yang tinggal sebelah seperti hendak melompat keluar karena
kemarahannya. "Kau tahu apa mengenai urusan kami"!" sentaknya dengan nada
jengkel. "Aku memang t ak tahu pasti mengenai urusan kalian. Tapi bisa
kuterka. Apalagi kal au bukan urusan dendam?" sahut Dewa Berhati Emas.
Suaranya t etap lembut, sedikit pun tak t erpengaruh ol eh sikap kasar Buaya
Gila Bermata Tunggal.
"Syukur kalau kau telah menget ahuinya. Menyingkirlah kau!
Urusan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa Sapu Lidi itu!" sergah Buaya
Gila Bermata Tunggal.
"Kalau kau melakukan hal itu, sama saja dengan menghendaki
masalah ini tak pernah s elesai, Buaya," kalem saja ucapan Dewa Berhati
Emas. "Andaikata kau berhasil membunuh Sapu Jagad, pasti keturunan
Sapu Jagad atau s ahabat-s ahabatnya tak akan tinggal diam. Mereka akan
mencarimu untuk menuntut balas. Keturunan atau kawan-kawanmu pun tak
tinggal diam pula jika kau tewas. Mereka akan menuntut balas juga. Balasmembalas
ini tak akan pernah selesai...."
"Aku tak peduli!" sent ak Buaya Gila Bermat a Tunggal. "Yang
penting, Sapu Lidi itu harus mati di tanganku! Kalau kau masih tak mau
menyingkir dari tempat ini, kau pun akan kukirim ke neraka!"
"Lagakmu seperti Tuhan saja, Buaya. Apakah kau menentukan
usia manusia" Tidakkah kau tahu kalau usia manusia hanya Tuhan yang
menentukan" Kalau Dia belum menghendaki, biar ada seribu orang
sepertimu dan ingin membunuhku, tak akan aku terbunuh!"
"Tak usah mengguruiku, Peot!"
"Bagaimana kalau kita bertaruh, Buaya?" Dewa Berhati Emas tak
peduli pada tanggapan kakek bermat a picak itu. "Kau boleh memukulku
tiga kali. Aku tak akan melawan. Bila aku tewas karena itu, kau boleh
berbuat apa saja. Tapi jika kau gagal, kau harus pergi dari sini dan
melupakan urusanmu dengan Sapu Jagad."
Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera memberikan tanggapan.
Dia malah berpikir. Datuk Sesat ini merasa heran melihat sikap l awan
bicaranya. Kakek kecil kurus itu sedikit pun tidak teriihat gentar padanya.
Padahal, hanya mendengar julukannya saja tokoh-tokoh persilat an yang
lihai pun akan berpikir berkali-kali untuk berhadapan dengannya.
Apakah kakek ini tokoh yang terkenal bagai dalam dongeng itu"
Diakah Dewa Berhati Emas"! Benaknya digayuti pertanyaan demikian, tapi
di mulutnyaBuaya Gila Bermata Tunggal berkata lain.
"Mengapa kau mencampuri urusanku" Apakah kau mempunyai
hubungan dengan si Sapu Lidi itu"!"
Dewa Berhati Emas tertawa lunak.
"Aku sebenarnya tak berniat untuk ikut campur. Tapi, aku orang
yang paling tak suka dengan terj adinya tindak kekerasan. Terlepas dari
masalah siapa yang sal ah atau yang benar. Namun karena kebenaran sulit
untuk disimpulkan, setiap yang berseteru selalu menganggap dirinya benar.
Karena itu, aku tak bermaksud memihak salah satu di antara kalian. Yang
menjadi tujuanku adalah menghindari terjadinya pertarungan."
"Kau... Dewa Berhati Emas"!" cetus Dewi Pesolek yang sejak tadi
berdiam diri. Nada ucapan wanita tua ini sarat dengan keterkejutan.
Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal memang telah
mendengar berita santer tentang adanya tokoh yang tak menyukai kekerasan
dalam menyelesaikan suatu masalah. Kesukaan tokoh ini adalah
memberikan ilmu pada orang yang kebetulan ditemuinya. Tokoh itu
berjuluk Dewa Berhati Emas. Dijuluki Berhati Emas karena tak pernah ada
keinginan untuk menjahati orang lain.
"Sebuah julukan yang t erlalu berlebihan, bukan?" ujar Dewa
Berhati Emas. "Julukan Dewa saj a sudah terlalu luar biasa. Masih ditambah
Jagi dengan Berhati Emas. He he he...! Aku merasa geli sendiri mendengar
julukan yang diberikan orang padaku."
"Tak usah berbicara panjang l ebar, Dewa Berhati Emas!" tandas
Buaya Gila Bermata Tunggal. "Aku bersedi a menerima taruhan yang kau
ajukan. Tapi, aku mempunyai syarat pula. Bagaimana apa kau berani
menerima syaratku"!"
"Katakan s aja, Buaya. Apa pun syaratmu akan kupenuhi," jawab
Dewa Berhati Emas, kalem. Tak terlihat nada khawatir dalam ucapan dan
roman wajahnya.
Sapu Jagad hampir berseru memperingatkan Dewa Berhati Emas.
Tapi segera ditahannya ketika teringat akan janjinya terhadap kakek itu.
Paras Sapu Jagad tampak menegang, menunjukkan perasaan yang
berkecamuk di hatinya. Mengapa Dewa Berhati Emas menerima saja syarat
yang diajukan si Buaya Gila" Bagaimana kalau syarat yang diajukan terlalu
aneh-aneh" Desah hati Sapu Jagad.
"Syaratku ringan saja, Dewa," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Pertama, aku akan melancarkan serangan s ebanyak tiga kali. Kedua, kau
tak boleh menangkis at au mengel ak. Jadi kau harus menerima setiap
serangan yang kulancarkan."
"Hanya itu saja syarat yang kau ajukan, Buaya?"
"Untuk sementara, iya," jawab Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Bagaimana, kau bisa menerima usul yang kuajukan?"
"Mengapa tidak?" Dewa Berhati Emas balas bertanya. "Aku setuju
sekali dengan syarat tersebut, Buaya. Itu sesuai dengan keinginanku pula."
"Bagus! Kalau begitu aku akan memulainya, Dewa...."
Tiga raut wajah tampak menyiratkan ketegangan yang luar biasa.
Tak hanya Sapu Jagad. Buaya Gila Bermata Tunggal maupun Dewi
Pesolek. Hanya, ketegangan melingkupi hati mereka agak berbeda. Kalau
Sapu Jagad tegang karena perasaan khawatir. Sedangkan dua dedengkot
kaum sesat itu merasa t egang karena ingin cepat mengetahui hasil
pertaruhan tersebut.
Sapu Jagad bergerak mundur menjauhi tempat yang akan dijadikan
arena pert empuran. Sementara Dewa Berhati Emas tetap berdiri dengan
sikap tenang. Bahkan, senyum lembut tersungging di bibirnya. Di depan
kakek ini Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek tampak bersiapsiap.
Memang, kendati kakek picak itu mengatakan akan menyerang sendiri,
diberikan isyarat juga pada Dewi Pesolek untuk membantunya. Dan, Dewa
Berhati Emas kelihatan tidak ingin menegur sikap lawannya.
Buaya Gila Bermat a Tunggal telah bersiap untuk melancarkan
serangan. Kedua telapak tangannya yang terbuka digosok-gosokkan satu
sama lain. Semula tak terj adi apa pun. Tapi sesaat kemudian, kedua tangan
itu tampak merah! Hawa panas mulai menyebar seiring dengan semakin
merahnya tangan kakek picak itu. Hawa panas menyebar dari sekujur tubuh
Buaya Gila Bermata Tunggal. Asap tipis pun melingkupi sekitar tempat itu.
"Hiyaaa...!" Diawali teriakan keras menggeledek yang
menggetarkan sekitar tempat itu, Buaya Gila Bermata Tunggal
mengirimkan serangannya. Kakek picak itu mengawali serangan dengan
sebuah gedoran ke arah dada. Kedua tangan tokoh sesat ini terbuka jarijarinya.
Angin yang luar biasa panas menderu. Beberapa tanaman yang
berada di sekitar goa l angsung mengering karena tak tahan menahan panas.
Sapu Jagad sendiri yang berada lima tombak di belakang Dewa Berhati
Emas merasakan hawa panas menyengat. Hawa yang membuatnya harus
mengerahkan tenaga dal am untuk melindungi kulit.
Dewa Berhati Emas tetap tersenyum. Tak kelihatan kakek itu
mengerahkan tenaga, tapi sekujur tubuhnya mengepulkan uap tebal. Uap
yang seharusnya terdapat di puncak-puncak gunung yang amat tinggi. Uang
itu menyebarkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum.
Pertemuan kedua hawa yang berbeda itu menimbulkan bunyi
nyaring, seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Bunyi itu terus
terdengar sebelum terjadi pertemuan antara kedua telapak tangan Buaya
Gila Bermata Tunggal dengan dada Dewa Berhati Emas.
Desss! Telak dan keras sekali kedua tangan Buaya Gila Bermata Tunggal
mendarat di sas aran. Bunyi seperti besi panas diceburkan ke dalam air
dingin terdengar jauh lebih nyaring. Uap berwarna-warni t erlihat menyebar
ke udara. Tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewa Berhati Emas
terhuyung ke belakang. Dewa Berhati Emas terhuyung lebih jauh karena
kakek itu hanya bertahan. Kendati demikian, lawannya tetap menerima
akibat yang cukup berat. Kedua t angannya dirasakan sakit bukan main.
Dadanya pun terasa sesak.
Buaya Gila Bermata Tunggal buru-buru mengatur napas. Itu
dilakukan untuk mencegah terjadinya luka dal am di tubuhnya. Dengan
geram di lihatnya Dewa Berhati Emas melangkah maju dengan senyum
terkembang di bibir. Pakaian kakek itu hancur di bagian yang terhantam
kedua tangannya dengan melukiskan gambar dua tapak tangan.
"Kau hebat, Dewa. Tapi jangan berbesar hati dulu. Masih ada dua
serangan lagi. Dan, dua serangan itu yang akan menghantarkan aku pada
kemenangan."
Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian memberikan isyarat pada
Dewi Pesolek untuk ikut menyerang. Tanpa banyak cakap nenek itu terlihat
Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersiap-siap. Tak cukup hanya dengan tindakan itu, Buaya Gila Bermata
Tunggal mengirimkan pemberitahuan mengenai siasat yang harus dilakukan
Dewi Pesolek. Kakek picak itu mempergunakan ilmu mengirim suara dari
jauh. Dewi Pesolek mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Kakek picak yang melihat hal ini tersenyum puas. Apalagi ketika dilihatnya
Dewi Pesolek bergerak menjauhi.
Semua tingkah kedua dedengkot kaum sesat itu dilihat jelas oleh
Dewa Berhati Emas. Namun kakek ini diam saja. Malah, senyum yang
terkembang semakin lebar dibibirnya. Tak jauh di belakang kakek ini, Sapu
Jagad meras akan jantungnya berdet ak lebih cepat karena perasaan tegang.
Dia tak yakin Dewa Berhati emas bisa seberuntung sebelumnya.
Penyerangan serent ak dua datuk kaum sesat itu amat berbahaya. Sapu Jagad
sendiri tak akan berani menerima serangan gabungan itu.
Penyerangan yang kedua kali terhadap Dewa Berhati Emas pun
segera terjadi. Buaya Gila Bermata Tunggal menyerang dari sebelah kanan.
Sedangkan Dewi Pesolek dari sebelah kiri. Kedua dedengkot kaum sesat ini
menyerang dengan pengerahan tenaga berhawa panas.
Dewa Berhati Emas segera mengerahkan tenaga berhawa
dinginnya. Tak tanggung-tanggung dikerahkan, sampai ke puncak.
Kekuatan tenaga panas yang meluruk ke arahnya memang jauh lebih
dahsyat dari sebelumnya.
Kakek ini sama sekali tak tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal
memiliki siasat licik. Begitu serangan yang dilancarkan melampaui separuh
jaraknya dengan Dewa Berhati Emas, tokoh sesat itu memekik keras. Pekik
yang merupakan isyarat untuk Dewi Pesol ek. Guru Padmini ini segera
mengganti aliran t enaganya. Tak lagi berhawa panas, melainkan dingin
menggigit tulang. Tenaga ters ebut langsung dikeluarkan sampai ke puncak
kekuatannya. Sementara itu Buaya Gila Bermata Tunggal tak merubah
aliran tenaganya.
Dewa Berhati Emas terkejut bukan main melihat kenyataan ini.
Bahaya tengah menghadangnya. Serangan dua jenis tenaga yang berlainan
akan memporak-porandakan isi dadanya kalau di a tak bertindak cepat
membagi dua macam tenaganya.
Sayangnya kakek ini telah mengerahkan tenaga dalam sampai ke
puncak. Membutuhkan waktu yang cukup untuk merubah jenis tenaganya.
Kendati demikian, Dewa Berhati Emas melakukan pula. Dengan
kepandai annya yang luar biasa dia berhasil memecah tenaganya untuk
menghadapi s erangan tenaga dalam yang berlainan itu. Tapi waktu yang
terlalu sempit membuatnya tak sempat mengerahkan tenaga sampai ke
puncak. Desss, desss! Bunyi riuh rendah terdengar ketika dua pasang tangan mendarat di
tubuh Dewa Berhati Emas. Kakek itu terjengkang ke belakang. Tubuhnya
melayang-layang bak daun kering dihempaskan angin keras.
Pada saat yang bersamaan, tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan
Dewi Pesolek juga terj engkang. Jarak kedua datuk itu terlempar tak sejauh
yang dialami Dewa Berhati Emas. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi
Pesolek telah menjejak tanah cukup lama ketika Dewa Berhati Emas baru
mendarat. Kakek itu ternyat a masih mampu mendarat di t anah dengan
kedua kaki lebih dulu.
Malah seperti juga sebelumnya, waj ah Dewa Berhati Emas tetap
berseri -seri. Mulutnya menyunggingkan senyum. Tapi, wajah Dewa Berhati
Emas tak s esegar s ebelumnya. Bahkan dari sudut bibirnya mengalir cairan
merah kental. Darah!
6 Sapu Jagad merasa cemas bukan main melihat keadaan Dewa
Berhati Emas. Kalau menuruti keinginan, Sapu Jagad sudah terjun ke dalam
kancah pertarungan. Dewa Berhati Emas sendiri melempar senyum tenang
kepada sahabatnya itu. Diayunkannya kaki melewati kakek berotot itu untuk
mendekati lawan-l awannya lagi.
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek yang memiliki
mata tajam segera menget ahui apa yang tengah dialami Dewa Berhati
Emas. Keduanya merasa yakin kalau sekali serang lagi kakek itu tidak akan
mampu bertahan.
Dugaan ini memang masuk akal, Buaya Gila Bermata Tunggal
yang memiliki watak licik segera menghitung untung rugi di benaknya.
Kelicikan membuatnya memutar akal untuk mencari siasat yang
menguntungkan dirinya.
"Aku masih mempunyai sebuah serangan lagi, Peot!" seru Buaya
Gila Bermata Tunggal kemudian dengan senyum tersungging di bibir.
Kakek picak ini telah berhasil menemukan cara untuk melaksanakan
rencananya. "Tentu, Buaya. Tentu," jawab Dewa Berhati Emas seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Aku masih belum pikun untuk
menghitung jumlah dengan benar. Tunggu apa l agi" Lancarkan serangan
mu yang terakhir, dan kita buktikan siapa yang akan memenangkan taruhan
ini." Buaya Gila Bermat a Tunggal hanya terbahak Dewi Pesolek
berdiam diri s aja. Dia belum mendengar isyarat untuk menyerang dari
Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Tidak usah terburu-buru, Dewa! Aku yakin kau masih ingat kalau
syarat yang kuajukan belum lengkap. Masih ada satu syarat yang belum
kuajukan. Bukankah demikian?"
Sapu Jagad mengutuk di dal am hati. Buaya Gila Bermata Tunggal
mencoba untuk kembali bertindak licik. Tapi seperti juga sebelumnya, apa
dayanya" Apalagi ketika dilihatnya Dewa Berhati Emas mengiyakan saja
ucapan datuk sesat itu.
"Kemukakan s aja syaratmu yang terakhir itu, Buaya," ujar Dewa
Berhati Emas, tenang.
"Kau berani bersumpah akan menyetujuinya?" desak Buaya Gila
Bermata Tunggal seraya menatap waj ah Dewa Berhati Emas lekat-lekat.
Kakek yang licik ini sengaja menampakkan sikap tak percaya akan
kesediaan lawan bicaranya.
"Aku tak pernah bersumpah, Buaya. Tapi kau tak perlu khawatir.
Sekali kukatakan setuju, apa pun syaratmu itu akan kupenuhi!"
"Bagus!" puji Buaya Gila Bermata Tunggal. Gembira karena
siasatnya berhasil. Di mulut dia memuji, tapi di hati tidak demikian. "Kau
boleh menerima kematian yang tak nyaman akibat kesombongan sikapmu,
Peot!" umpatnya dalam hati.
"Katakan syarat yang kau maksud Buaya," desak Dewa Berhati
Emas yang tak tahu perkataan dalam hati kakek licik itu,
"Biarlah kukemukakan bers ama syarat sebelumnya, Peot. Pertama,
aku melancarkan s erangan s ebanyak tiga kali. Kedua, kau t ak boleh
menangkis atau mengel ak. Yang terakhi r, kau tak boleh mengerahkan
tenaga dalam ketika aku melancarkan serangan. Jelas, Peot"!"
Sapu Jagad dan Dewi Pesol ek sampai terkejut mendengar syarat
yang diajukan Buaya Gila Bermata Tunggal. Sungguh sebuah syarat yang
gila! "Keji...!" pekik Sapu Jagad. Tak kuat menahan luapan perasaan
yang berkecamuk dalam dadanya. Syarat yang diajukan kakek picak itu
benar-benar teramat licik.
Tapi Dewa Berhati Emas sebagai orang yang akan menjadi sasaran
kelicikan lawan tak kelihatan terkejut sedikit pun. Kakek ini malah
mengembangkan s enyum di bibir. Anggukan kepalanya menjadi pertanda
dia menyetujui usul yang dilontarkan Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Ingat, Peot! Kau tak boleh mengerahkan tenaga dalam sama
sekali. Jika kau langgar itu, akulah yang memenangkan pertaruhan ini!"
Buaya Gila Bermata Tunggal kembali memperingatkan.
Dewa Berhati Emas hanya tersenyum.
Buaya Gila Bermat a Tunggal tak menunggu lebih lama. Kakek ini
kembali mengirimkan serangan kedua tangan dengan jari-j ari terkepal.
Untuk ke sekian kalinya deru angin panas melanda!
Desss! Tubuh Dewa Berhati Emas bak s ehelai daun kering dihembus
angin keras. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar.
Sungguh pun demikian kakek ini tak mengeluh.
Tiga pasang mata mengikuti ke arah melayangnya tubuh Dewa
Berhati Emas. Di benak mereka bergayut sebuah pert anyaan besar. Apakah
Dewa Berhati Emas tewas"
Cukup lama mata Sapu J agad, Dewi Pesolek, dan Buaya Gila
Bermata Tunggal memperhatikan. Tubuh Dewa Berhati Emas memang
cukup lama melayang-layang di angkas a. Sepanjang tubuhnya melayang
darah berceceran membas ahi tanah. Ketiga tokoh itu kemudian
membelalakkan mata ketika melihat kejadi an sel anjutnya. Tubuh Dewa
Berhati Emas meliuk-liuk, melakukan s alto di udara beberapa kali,
menjejak tanah dengan kedua kaki.
Tiga dedengkot dunia persilatan itu bagai terkena sihir melihat
pemandangan yang terjadi. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, mereka tahu
apa yang mereka s aksikan ini terl alu luar bi asa. Dewa Berhati Emas masih
mampu menjejak t anah meski agak limbung. Padahal menurut perhitungan
akal, jangankan berdiri, bernapas pun kakek itu tak akan mampu. Tapi,
kenyataan berbicara lain!
"Bagaimana, Buaya" Aku masih mampu berdiri tegak, bukan" Kau
kalah bert aruh. Kuras a sudah waktunya kau meninggalkan tempat ini dan
menuntaskan persoal an dengan Sapu Jagad," lembut ucapan Dewa Berhati
Emas. Tapi, semua yang berada di situ tahu dalam ucapan itu terkandung
tekanan yang tak menghendaki bantahan.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera menanggapi ucapan Dewa
Berhati Emas. Kakek bermata picak ini masih terkesima melihat kenyataan
yang tak diduganya itu. Bagai mimpi rasanya melihat Dewa Berhati Emas
masih segar bugar, tak kurang suatu apa.
Dewa Berhati Emas rupanya memahami gejolak perasaan
lawannya. Dengan sabar dia menanti jawaban. Buaya Gila Bermata Tunggal
akhirnya mampu menguas ai perasaannya. Beberapa kali dihembuskannya
napas berat. "Kau memang hebat, Dewa," keluh kakek pi cak itu. "Kuakui
kaulah yang menang. Kau berhasil memenangkan pertaruhan ini. Dengan
demikian, sesuai perjanjian, aku akan melupakan urusanku dengan Sapu
Jagad. Tapi, sebelum pergi aku ingin melihat kekuatan tenaga dalammu
yang luar bias a itu. Tentu saja tak perlu kau tujukan padaku atau kawanku.
Cukup pada benda-benda yang ada di sekitar sini."
Di mulutnya Buaya Gila Bermata Tunggal berkata demikian,
padahal di pikirannya jauh berbeda. Apa yang ada di pikirannya sangat
bertentangan dengan ucapannya.
"Ingin kuketahui apakah si Peot ini masih tangguh. Kal au dia
sudah tak berdaya, betapa bodohnya aku kalau mau meneruskan perjanjian
itu. Dengan adanya Dewi Pesolek bers amaku, kurasa Sapu Lidi keparat itu
akan dapat kubinasakan!"
Sapu Jagad mengernyitkan kening. Kakek berotot ini mendengar
Buaya Gila Bermata Tunggal mempunyai maksud lain dengan
pernyataannya. Sayang, dia tak tahu maksud kakek picak itu.
Dewi Pesolek tentu saja tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal
mempunyai maksud lain dengan permintaannya. Tapi seperti juga Sapu
Jagad, dia tak tahu maksud yang diinginkan kakek licik itu. Yang pasti ini
merupakan siasat licik.
Dewa Berhati Emas seperti biasa hanya terkekeh. Pelan dan
lembut, "Kalau menuruti perasaan, aku lebih suka menolaknya, Buaya.
Tapi biarlah. Hitung-hitung untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu.
Aku bersedia memenuhi permintaanmu itu."
Setelah berkata demikian, Dewa Berhati Emas kemudian
menjulurkan kedua t angannya dengan j ari-jari terbuka ke arah sebatang
pohon besar yang ada di situ. Jaraknya dari kakek ini sekitar lima tombak.
Pohon itu besar dan tinggi serta rimbun daunnya. Besar batangnya tak
kurang dari dua pelukan orang dewasa.
Semula tak terlihat kejadi an apa pun. Tapi sesaat kemudian pohon
itu bergetar keras. Dengan diiringi bunyi keras dan berhamburannya tanah
pohon itu tercabut bersama akar-akarnya!
Buaya Gila Bermata Tunggal, Dewi Pesolek, dan Sapu Jagad
sampai tak s adar membuka mulutnya lebar-lebar. Mereka terlalu kaget
melihat pemandangan yang terpampang di depan mat a. Penglihatan yang
ada terlalu menakjubkan!
Dengan perasaan setengah tak percaya, ketiga dedengkot persilatan
itu memperhatikan pertunjukan yang dilakukan Dewa Berhati Emas. Pohon
besar yang terangkat bagai dicabut tangan-tangan raksasa t ak tampak itu
melayang naik sampai seluruh akarnya terlihat!
Setelah itu, pohon ini melayang sejauh lima tombak sebelum
akhirnya amblas ke dalam tanah kembali, beberapa tombak dari tempatnya
semula. Dan sej ak pohon itu tercabut, hingga tertanam kembali, Dewa
Berhati Emas tidak mel akukan tindakan apa pun. Kakek itu hanya
menjulurkan kedua tangannya.
Begitu Dewa Berhati Emas menarik tangannya kembali, baru
ketiga datuk persilatan yang sejak tadi seperti tersihir sadar dari
terkesimanya. Sorot kekaguman tak bisa mereka hilangkan dari t atapan
mata ketiganya. Kekaguman yang bercampur dengan perasaan tak percaya.
Ketiganya tahu kalau tindakan yang dilakukan Dewa Berhati Emas
sulit untuk dilakukan. Mereka sendiri yakin tak akan mampu melakukan hal
demikian. Apalagi dalam keadaan terluka. Tapi, kenyataannya Dewa
Berhati Emas mampu melakukannya!
"Bagaimana, Buaya" Kurasa sudah cukup, bukan?" cetus Dewa
Berhati Emas dengan tetap t enang. Tidak terlihat gambaran perasaan
bangga atau gembira di wajahnya.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak memberikan t anggapan. Tanpa
berkata apa-apa kakek picak ini melangkah ke samping, memberikan jalan
untuk Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad.
Dewa Berhati Emas melangkah dengan tenang. Kakek itu tak
kelihatan khawatir sama s ekali. Bahkan ketika lewat di sebelah Buaya Gila
Bermata Tunggal, dia tak nampak berwaspada. Tak demikian halnya
dengan Sapu Jagad. Kakek bertubuh penuh otot ini menampakkan
kewaspadaan bes ar ketika lewat di sebelah Buaya Gila Bermata Tunggal.
Melihat kawannya t ak bertindak apa-apa, Dewi Pesolek pun tak
berbuat banyak. Nenek yang berdandan terlalu mencolok ini hanya berdiam
diri pula. Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad meninggalkan tempat itu
tanpa bicara sama sekali. Baru ketika ratusan tombak ditinggalkannya gua,
Dewa Berhati Emas membuka pembicaraan.
"Apakah ada orang yang datang menjumpaimu sebelum aku, Sapu
Jagad?" "Benar, Dewa. Seorang wanita muda. Tapi itu hanya perkiraanku
saja. Maksudku..., suaranya yang membuatku menduga begitu. Dia merusak
tempat tinggalku setelah gagal untuk menemukanku. Kalau saja di a tahu
gua itu mempunyai tempat tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan alat
rahasia, kejadiannya mungkin akan lain," jelas Sapu Jagad.
Dewa Berhati Emas hanya tersenyum.
"Kalau s aja kau datang t erlambat s edikit saja, kau akan melihat
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kebingungan mencariku.
Aku yakin mereka tak akan bisa menemukan al at rahasia untuk menuju
tempat pers embunyianku. Tentu saja semua itu tak ada artinya untukmu,
Dewa," lanjut Sapu Jagad bernada memuji Dewa Berhati Emas.
Dewa Berhati Emas tak memberikan sahutan. Kakek ini malah
terdiam. Wajahnya membesi dan sepas ang bola matanya berputar liar. Sapu
Jagad meras a heran melihatnya.
"Apa yang...."
Ucapan Sapu Jagad hanya s ampai di situ. Dengan kecepatan yang
menakjubkan Dewa Berhati Emas telah menghantam pelipisnya. Hanya
sebuah jari Dewa Berhati Emas yang menghantam pelipis Sapu Jagad. Tapi,
itu telah cukup untuk mengirim nyawa kakek itu ke akhirat. Kakek berotot
kekar ini tewas seketika dengan tulang pelipis retak!
Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Berhati Emas tertawa. Nadanya terdengar aneh dan ganjil di
telinga. Apalagi sepasang bola matanya berputaran liar ketika dia tertawa.
Cukup lama Dewa Berhati Emas bertingkah seperti itu, sebelum
akhirnya berdiam diri. Wajahnya kembali lembut seperti sediakala. Bibirnya
mengulum senyum. Serta, sorot keramahan terpancar dari sinar matanya.
Tanpa mempedulikan mayat Sapu Jagad, Dewa Berhati Emas
melesat pergi menuju Gua Api. Tempat yang baru saja ditinggalkannya.
*** "Hey...! Siapakah yang tidur di tengah jalan, Arya"!" tanya
Padmini setengah memberitahukan. Jari-jari gadis itu ditudingkan ke depan.
"Entahlah, Mini,"
Arya menggel engkan kepala. Pemuda ini pun sejak tadi telah
melihat keberadaan sosok tubuh yang tergol ek di depan mereka, berjarak
belasan tombak. Dan sebelum Padmini mengajukan pertanyaan, Arya telah
memperhatikannya dengan penuh selidik. Sosok itu hanya mengenakan
rompi dan celana pendek hitam.
Dengan mata t ertuju pada sosok yang kelihat an tak bergerak-gerak
lagi, Arya dan Padmini terus melangkah menghampiri. Begitu berada dekat
sosok itu keduanya duduk bersimpuh hendak memeriksa keadaannya.
"Hhh...!"
Seraya mengeluarkan helaan napas berat, Dewa Arak bangkit
berdiri. Pemuda berambut putih keperakan ini tak membutuhkan waktu
lama untuk memeriksa. Sekali lihat saja telah diketahuinya kal au sosok
yang ternyata seorang kakek itu telah tewas. Pelipisnya retak! Darah yang
telah mengering tampak di sudut-sudut mulut, di bawah hidung, dan telinga.
"Kau mengenalnya, Mini?" tanya Arya ketika murid Dewi Pesolek
itu telah bangkit berdiri.
Padmini menggeleng. Tapi sesaat kemudian dia t ercenung, seperti
tengah memikirkan sesuatu. Lambat-lambat keluar ucapan dari celah-celah
bibirnya yang indah dipandang.
"Mungkinkah dia... Sapu Jagad" Mengingat ciri-ciri yang diberikan
guruku, rasanya tak salah l agi. Tapi, bukankah tokoh itu terkenal memiliki
kepandai an amat tinggi dan merupakan salah satu dedengkot persilatan.
Bagaimana mungkin dia bisa tewas, dan siapa yang telah membunuhnya?"
"Apakah bukan tak mungkin kalau gurumu dan Buaya Gila
Bermata Tunggal" Bukankah keduanya telah bersepakat untuk menghadapi
Sapu Jagad bersama-sama?" pikir Arya di dal am hati. Tapi ucapan yang
dikeluarkannya berbeda. Pemuda itu khawatir akan menyinggung perasaan
Padmini. "Ilmu yang dipergunakan si pembunuh agaknya merupakan ilmu
khas. Tak sembarang tokoh persilatan memilikinya. Membutuhkan tenaga
dalam yang tinggi untuk bisa melakukan serangan seperti ini. Dan, kurasa
sangat sedikit orang yang mampu melakukannya."
Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Luka pada
pelipis itu memang menunjukkan kalau sosok yang mereka duga sebagai
Sapu Jagad tewas karena totokan satu jari. Totokan yang hanya dapat
dilakukan seorang yang amat ahli. Dengan sekali serang mampu
menjatuhkan sasaran s ecara t epat, dan menewaskan orang yang dijadikan
sasaran tanpa luka yang berarti.
"Apakah tempat tinggal Sapu Jagad dekat dari sini, Mini?" tanya
Arya lagi, mengingatkan Padmini pada gurunya dan Buaya Gila Bermata
Tunggal yang bermaksud membuat perhitungan dengan Sapu Jagad.
"Aku kurang pasti, Arya. Tapi kurasa tak akan mel ebihi sepuluh
ribu tombak. Dan..., mengapa aku bisa lupa, Arya" Mungkinkah Sapu Jagad
tewas oleh Buaya Gila" Aku yakin bukan guruku yang melakukan
pembunuhan ini. Beliau tak mempunyai ilmu seperti ini. Aku yakin betul.
Seluruh ilmunya telah diwariskan kepadaku, dan tak ada yang demikian. "
"Rasanya memang Buaya Gila Bermata Tunggal satu-satunya
orang yang menjadi tertuduh. Tapi, mengapa Sapu Jagad harus tewas di
sini" Di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya?"
"Itu keanehan pertama, Arya," timpal Padmini. "Keanehan lainnya
adalah, tak adanya tanda-tanda pertempuran di tempat ini. "Mungkinkah
Sapu Jagad dibunuh di tempat tinggalnya kemudian mayatnya dibuang ke
sini?" Arya t ak memberikan tanggapan. Pemuda ini sibuk memutar
benaknya untuk mencari jawaban. Suasana menjadi hening karena Padmini
pun melakukan hal yang sama.
"Kehendak Tuhan memang tak sel alu sesuai dengan keinginan
manusia. Betapapun hebatnya manusia dan kerasnya usaha, kalau Tuhan
menghendaki lain, maka kejadian yang tak diharapkan akan terj adi."
Ucapan itu pelan saja dan nadanya lembut. Tapi, Arya dan Padmini
sampai terjingkat bagai disengat kala jengking. Pasangan muda-mudi ini segera
membalikkan tubuh dan bersikap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Di belakang Arya dan Padmini tampak berdiri dengan sikap tenang
seorang kakek berpakaian putih bersih. Rambut, kumis dan jenggotnya telah
memutih. Kendati demikian, pancaran wibawa terpancar jel as pada sorot air
mukanya. Padmini, terutama sekali Arya, tahu kalau kakek berpakaian putih
ini seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Keberadaan si kakek di
belakang mereka tanpa diketahui telah menunjukkan ketinggian ilmu
meringankan tubuhnya.
Padmini memandang dengan sorot curiga dan sikap siap t empur.
Tak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda ini l angsung tahu kalau
kakek berpakai an putih ini bukan orang yang patut di khawatirkan. Setidaktidaknya,
kakek ini tak akan bermaksud kurang baik. Kalau tidak, tentu
sudah sejak tadi dikirimkan serangan tanpa mereka menyadarinya.
7 "Maaf, bolehkah kutahu siapa adanya kau, Kek" Dan apakah
maksud ucapanmu itu?" tanya Arya, sopan.
Kakek berpakaian putih menatap Arya dengan lembut. Kendati
demikian, pemuda berambut putih keperakan itu merasakan hatinya
tergetar. "Gila!" desis Arya di dalam hati. "Sepasang mata kakek ini luar
biasa tajam! Seakan mampu menjenguk sampai ke lubuk hati. Siapa kakek
ini" Mungkinkah beliau yang dijuluki Dewa Berhati Emas?"
"Apalah artinya sebuah nama atau julukan, Anak Muda" Hanya
buatan manusia, bukan" Di setiap waktu dan kesempatan bisa saja
seseorang mengganti nama dan julukannya. Aku adalah aku. Dan aku
bukanlah kau atau kalian," jawab si kakek.
"Lalu..., apa artinya ucapanmu yang tak kami mengerti itu"
Bahkan sampai membawa-bawa nama Tuhan segala"!" ceteluk Padmini
yang merasa penasaran dengan jawaban yang diberikan si kakek.
"Hanya sekadar mengingatkan diriku, bahwa kehendak Tuhan tak
selalu sama dengan kehendak kita. Betapapun kehendak kita dirasakan baik
dan benar. Mungkin baik dan benar menurut pendapat ku dan pendapat
Sapu Jagad, tapi tak benar dan baik menurut pendapat Tuhan."
Sepasang alis Padmini sampai melengkung mendengar jawaban
yang lebih tak memuaskan hatinya itu. Perasaan tak sabar semakin terlihat
di wajahnya. Dan, Arya menget ahuinya. Maka sebelum Padmini semakin
meluapkan ketidaksabarannya, buru-buru didahuluinya.
"Maaf Kek, kami belum mengerti dengan ucapanmu itu"
Barangkali kau bisa menjelaskannya lebih jauh agar kami bisa mengerti?"
"Kau termasuk pemuda yang luar biasa, Dewa Arak," ujar si
kakek. Tidak ada nada kekaguman pada ucapannya yang memuji Arya.
"Semuda ini kau telah memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, mampu
mendapatkan makhluk alam gaib sebagai pelengkap ilmu-ilmu yang kau
miliki. Kau pun mempunyai kemampuan untuk menahan diri dan tak
mengikuti luapan hati semat a. Meski demikian, tak ada salahnya kal au aku
menunjukkan pengertian mengenai jalan hidupmu. Agar kau bisa
mendengarkan uraianku dengan jel as, maka pert anyaanmu akan lebih dulu
kujawab." Kakek berpakaian putih menghentikan ucapannya sejenak, seperti
hendak mencari kata-kata yang tepat.
"Aku selalu berkelana dari satu tempat ke t empat lain. Tapi aku
selalu mengambil tempat-tempat yang jarang dilalui orang. Terkadang, bila
menemukan sebuah tempat yang menurutku nyaman untuk ditinggali, aku
tinggal sampai belasan tahun lamanya. Pada saat-saat tertentu aku
menurunkan semacam ilmu pada orang yang kutemui dalam
pengembaraanku. Begitu pula dengan pengembaraanku kali ini, setelah
meninggalkan tempat yang kutinggali selama hampir dua puluh lima
tahun." Padmini saling berpandangan dengan Arya. Dalam benak kedua
orang muda itu bergaung satu pertanyaan. Jadi, inikah Dewa Berhati Emas"
Tokoh yang keberadaannya telah menjadi legenda di kalangan rimba
persilatan. "Aku terpaksa meninggalkan tempat yang kusukai itu karena
menangkap adanya keinginan hati seseorang untuk mengikuti jalan
hidupku. Getaran keinginannya s ampai padaku sejak puluhan tahun lalu.
Tapi untuk lebih meyakinkan hatiku akan kesungguhannya, kubiarkan dia
menunggu. Aku ingin tahu sampai di mana kekerasan tekadnya," lanjut
kakek berpakaian putih. "Setelah dua puluh lima tahun, baru kutinggalkan
tempat tinggalku dan menemuinya. Sayang, Tuhan telah berkehendak lain.
Maut telah lebih dulu menemui Sapu Jagad sebelum aku sempat
menjumpainya."
Padmini mengernyitkan alisnya. Ucapan kakek itu dirasakannya
berbeda dengan kenyataan. Ucapan yang berisi kesedihan, namun tak
terlihat di wajah maupun nada suara kakek itu.
"Dalam perj alanan menuju tempat tinggal Sapu Jagad aku bertemu
dengan dua orang pemuda. Ke-duanya bertemu denganku pada saat yang
tepat, saat di mana aku membagi-bagikan ilmu yang kumiliki. Dua bulan
yang lalu aku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman dan beberapa hari
kemudian bertemu dengan seorang pemuda. Belum sehari, aku bertemu lagi
dengan pemuda lain. Pemuda yang menyamar sebagai wanita. Dan sekarang
aku bertemu dengan kalian berdua," lanjut kakek berpakaian putih itu.
"Sekarang, aku mengajakmu untuk mengikuti jalan hidupku, Dewa Arak.
Menjauhi kekerasan dan berkelana menyebarkan ilmu pada orang-orang
yang berjodoh denganmu. Tak peduli dia orang jahat atau baik. Pada setiap
orang kau harus berl aku adil, tak peduli dia dari golongan hitam atau putih.
Jauhi perasaan peras aan yang t ak baik, s eperti marah, dendam dan sakit
hati. Jauhkan tindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang
lain. Isi hatimu dengan kesabaran dan rasa kasih terhadap seluruh manusia.
Bagaimana, Dewa Arak" Apakah kau bersedi a menempuh jalan ini?"
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, Kek. Bolehkah kutahu siapa
dirirnu?" ujar Arya untuk meya-kinkan kebenaran dugaannya. "Benarkah
kau tokoh yang berjuluk Dewa Berhati Emas?"
"He he he...!" kakek berpakai an putih terkekeh. "Mungkin benar
itu julukan yang diberikan orang padaku. Tapi, apa artinya sebuah julukan?"
"Hanya untuk lebih melegakan hatiku, Kek, Dan ternyata
dugaanku tak keliru. Mengenai tawaran yang kau ajukan padaku, aku belum
bisa menjawabnya sekarang. Mungkin set elah kupikirkan dan kita bersua
lagi, dapat kuberikan jawaban."
"Aku mengerti, Dewa Arak," jawab Dewa Berhati Emas. Yang
meski selama dua puluh lima tahun tak pernah turun dari tempat tinggalnya,
tapi bisa menget ahui siapa adanya Arya. Padahal mereka baru kali itu
bertemu. "Pesanku, berhati-hatilah, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan
keliru mengenali orang."
"Apa maksudmu, Kek" Aku tidak mengerti," timpal Arya, cepat.
"Sejak puluhan tahun lalu aku mempunyai seorang pengikut. Dia
bersedia mengikuti jalan hidupku. Hanya dalam beberapa tahun saja seluruh
kemampuanku telah diserapnya. Pada das arnya dia berhati baik. Tapi, dia
belum siap untuk menjadi seseorang yang rela menjauhi gemerl apnya dunia.
Alam bawah sadarnya menol ak cara hidup yang dijalaninya. Dia berkeras
untuk bertahan. Peperangan dalam hatinya itu membuatnya tak waras.
Waktu memutuskan untuk mengikuti jalan hidupku, dia memang tengah
putus asa. Jadi keputusan itu di anggapnya sebagai pelari an. Sayang, aku tak
bisa bicara banyak, Dewa Arak. Tapi perlu kuberitahu kalau pengikutku itu
sering menyamar sebagai diriku. Luka pada pelipis kukenal sekali terjadi
karena salah satu jenis ilmu yang kumiliki, yang juga dimilikinya. Kematian
Sapu Jagad sepenuhnya karena tindakannya. Aku yakin, perasaannya telah
menangkap getaran keinginan yang memancar dari hati Sapu Jagad. Dan dia
lebih dulu menemuinya sebelum aku. Inilah yang dinamakan kehendak Tuhan,
Dewa Arak. Kuharap kau berhati-hati kal au bert emu dengannya.
Sedapat mungkin jauhi dirinya."
"Bagaimana aku bisa membedakan antara kau dan pengikutmu itu,
Kek" Bukankah dia dapat menyamar seperti dirirnu?" celetuk Padmini yang
mendengarkan perbincangan itu.
"Kalau hanya Dewa Arak sendiri, akan sulit baginya untuk
mengetahui. Tapi dengan adanya kau, Nona Muda, segalanya akan menjadi
mudah. Kaulah orang yang dapat menghentikan semua tindakannya."
"Mengapa bisa demikian, Kek?" kali ini Arya yang mengajukan
pertanyaan. Karena Padmini merasa jengah mendapat pujian dari Dewa
Berhati Emas. Padahal, sejak tadi di a bersikap kurang baik terhadap kakek
itu. "Karena wajah Nona Muda ini mirip dengan kekasih pengikutku
itu. Bersedianya dia mengikuti jalan hidupku pun karena ada hubungannya
dengan kekasihnya itu. Sayang, ini merupakan rahasia yang tidak bol eh,
diceritakan pada orang lain "
Tanpa berbasa-basi lagi kemudian Dewa Berhati Emas
mengayunkan kaki meninggalkan Dewa Arak dan Padmini. Bagai tak
memiliki berat, kakek itu melangkah demikian ringan. Sepintas teriihat
seperti melayang saja.
Dewa Arak dan Padmini hanya bisa menatap kepergi an Dewa
Berhati Emas dengan hati takjub. Bahkan, Padmini merasakan tengkuknya
terasa dingin ketika melihat kepergian kakek itu.
*** "Mau apa kau kemari lagi, Dewa Usilan"!"
Pertanyaan yang diucapkan dengan penuh nada penasaran itu
keluar dari mulut Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang tengah duduk
di halaman gua bersama Dewi Pesolek itu segera bangkit berdiri dengan
paras membesi. Kakek yang dipanggil Dewa Usilan terlihat menyeringai. Sepasang
matanya yang memancarkan sinar tajam berkilat bergerak-gerak liar, seperti
mata orang yang kurang waras. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi
Pesolek merasa heran melihat keanehan ini.
Dewa Berhati Emas kemudian terkekeh. Nadanya terdengar
menyeramkan. "Kau bertanya mengapa aku kemari" Sungguh aneh! Apakah kau
tak ingat apa yang t elah kau lakukan" Kau telah merampas Suntari dari
tanganku! Dan, kedatanganku tentu saj a untuk memberikan hukuman yang
setimpal padamu! Juga pada wanita berhati landung itu!"
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek saling
berpandangan dengan rasa heran. Mereka sama sekali tak tahu siapa yang
dimaksud kakek itu.
"Apa maksudmu, Tua Bangka" Aku tak mengerti sama sekali
dengan semua yang kau ucapkan!" rutuk Buaya Gila Bermata Tunggal
heran bercampur geram.
"Aku tak peduli kau mengerti atau tidak, Guntara! Yang penting,
bersiaplah kau untuk menerima pembalasan dendamku yang bertumpuk!"
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh kakek yang bukan lain
pengikut Dewa Berhati Emas ini telah melesat menerjang Buaya Gila
Bermata Tunggal. Kecepat an gerakannya benar-benar menakjubkan.
Bahkan, Buaya Gila Bermata Tunggal s endiri hanya melihat sekel ebatan
bayangan putih.
Kakek pi cak ini merasakan deru angin keras tertuju ke pelipisnya.
Bagian itu selalu yang diincar Dewa Berhati Emas palsu. Sedapat mungkin,
Buaya Gila Bermata Tunggal menggerakkan tangan untuk menangkis.
Prattt! Buaya Gila Bermata Tunggal mengeluarkan jeritan t ertahan.
Tubuhnya terjengkang akibat benturan itu. Sekujur tangan yang
Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipergunakan untuk menangkis mendadak lumpuh.
Dewa Berhati Emas Palsu tak berhenti bertindak sampai di situ.
Serangan-serangan lanjutan segera dikirimkannya. Dan hanya dalam
beberapa gebrakan Buaya Gila Bermata Tunggal telah terdesak. Kakek
picak ini hanya bisa mengelak ke sana kemari untuk menyelamatkan
selembar nyawanya.
Dewi Pesolek semula hanya memperhatikan saja. Sampai tiga
jurus lebih dan keadaan Buaya Gila Bermat a Tunggal semakin
mengkhawatirkan. Tapi, sesaat kemudian selintasan pikiran bermain di
benaknya. "Kakek ini sepertinya tak waras. Dia tak hanya membenci Buaya
Gila Bermata Tunggal yang dianggapnya Gunt ara. Tapi juga aku yang
dipanggilnya dengan nama Suntari. Jadi, kemungkinan besar setelah
berhasil membunuh Buaya Gila aku pun akan mendapat giliran. Menilik
tingkat kepandaiannya, jangankan aku, Buaya Gila Bermat a Tunggal pun
tak akan mampu menghadapinya. Mungkin kalau kakek itu kuhadapi
bersama-sama dengan si Buaya Gila akan dapat diatasi."
Dewi Pesolek yang memiliki watak cerdik segera dapat mengambil
keputusan yang menguntungkan dirinya.
"Jangan khawatir, Buaya Gila, aku membantumu...!"
Dewi Pesolek terjun ke dalam kancah pert arungan dengan
langsung mengirimkan s erangan. Karena serangan itu, terpaksa Dewa
Berhati Emas Palsu membatalkan serangannya terhadap Buaya Gila
Bermata Tunggal.
Masuknya Dewi Pesolek sedikit banyak menguntungkan Buaya
Gila Bermata Tunggal. Gencarnya s erangan Dewa Berhati Emas palsu jadi
jauh berkurang. Kenyat aan ini melegakan tokoh sesat itu.
Dewi Pesolek mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah kipas
indah yang terbuat dari bulu burung merak. Sedangkan Buaya Gila Bermata
Tunggal telah menggunakan cambuk berekor tiganya.
Pertarungan berlangsung sengit. Namun, hal itu hanya berlangsung
beberapa belas jurus. Begitu menginjak jurus kedua puluh Dewa Berhati
Emas palsu berada di at as angin. Di samping karena kakek ini memiliki
kepandai an yang jauh lebih tinggi, setiap serangan kedua dedengkot kaum
sesat itu pun sama sekali tak berarti baginya.
"Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini"!" cetus Buaya Gila
Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek dalam hati.
Kedua dedengkot kaum sesat ini tak tahu kalau Dewa Berhati
Emas palsu memiliki ilmu "Mengo-songkan diri". Ilmu yang dimiliki
karena berhasil menekan keinginan duniawi. Ilmu itu membuat pemiliknya
tak merasakan apa-apa kendati dihujani serangan.
Di jurus kedua puluh tiga Dewa Berhati Emas palsu mampu
melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya. Kakek ini sengaja
bergerak l ambat s ehingga s erangan-serangan kedua lawannya mengenai
sasaran. Dan, pada saat yang bers amaan serangan balasan dikirimkan.
Desss! Bukkk! Hampir berbarengan Dewi Pesolek dan rekannya menjerit kesakitan. Buaya Gila Bermata Tunggal terkena tendangan di paha kanan, sedangkan Dewi Pesolek t erpukul di bahu kirinya. Tubuh kedua dedengkot kaum sesat ini terjengkang ke belakang, kemudian terbanting di tanah dengan keras. Dari mulut keduanya tersembur darah kental.
Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal bukan termasuk orang yang mudah menyerah. Karena itu, keduanya berusaha untuk bangkit dan melakukan perl awanan kembali. Tapi mereka terkejut ketika mengetahui tak mampu menggerakkan tubuhnya. Begitu dahsyatkah akibat serangan kakek itu"
Dewa Berhati Emas palsu terkekeh menyeramkan. Dengan mata liar kakinya diayunkan menghampiri kedua l awannya yang t ergel etak tak berdaya.
"Rasakan akibat tindakan kalian yang berani menyakiti hati Prajola!"
Kakek yang ternyata bernama Prajola menghentikan langkahnya dua tombak di depan Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal.
Kedua tangannya digerakkan sejajar dengan bahu. Hendak dilancarkannya serangan yang dapat mengakhiri kedua dedengkot kaum sesat itu, yang hanya bisa menatapnya dengan pasrah.
"Tahan...!"
Bentakan nyaring mengiringi melesatnya sesosok bayangan ke arah Prajola. Sosok bayangan yang baru dat ang itu bermaksud menghalangi tindakannya. Maka, serangannya dibatalkan dan dialihkan pada sosok bayangan ters ebut.
Wusss! Angln menderu keras ketika Prajola menghent akkan kedua tangannya. Angin itu meluncur ke arah sosok bayangan ungu. Pukulan jarak jauh yang amat berbahaya! Sosok bayangan yang bukan lain dari Dewa Arak mengetahuinya dengan pasti.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak berani menyambuti.
Kekuatan s erangan lawan belum diketahuinya. Segera dibantingnya tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh. Tapi, sebuah kejadian aneh membuatnya terkejut bukan main! Angin pukulan itu tidak lewat di atas tubuhnya, melainkan berputar dan berbalik arah lalu kembali menyerang Dewa Arak!
Angin pukulan yang t ak berwujud itu seperti memiliki pikiran. Dia tahu di mana sasaran yang harus diserangnya.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak kelabakan. Arya tak mungkin bisa mengelak. Serangan itu menutup semua jalannya untuk menyelamatkan diri. Maka, dengan pengerahan s eluruh tenaga Dewa Arak mel ancarkan pukulan jarak jauh. Ditangkisnya serangan angin pukulan lawan itu.
Blarrr...! Blaaar...!
Bunyi keras t erjadi ketika pukul an-pukulan jarak jauh itu berbenturan. Tubuh Dewa Arak mel ayang ke belakang dan terbanting keras di tanah. Arya merasakan dadanya sesak bukan main.
Arya berusaha untuk bangkit. Aneh ternyat a dia tak mampu. Dewa Arak tak tahu kalau setiap serangan Prajola akan menyebabkan tenaga lawan tersedot. Dari, hal itu sekarang yang dialami Arya Buana.
Prajola tertawa bergelak.
"Si keparat Guntara dan si pengkhianat Sunlari ternyata mempunyai banyak kawan. Biarlah! Atas kelancangan mereka mencampuri urusan ini, akan kuberi hukuman yang setimpal!"
Prajola menggerakkan tangannya hingga sejajar dengan bahu.
Kakek ini ingin melancarkan s erangan "Dewa Api Membakar Gunung".
Serangan yang akan membakar hidup-hidup orang yang dijadikan sasaran.
"Hentikan, Prajola. Hilangkan nafsu amarah dan dendam di hatimu."
Suara itu terdengar demikian sejuk, bak segayung air es yang diguyurkan ke atas api yang tengah membara. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri Dewa Berhati Emas. Kakek ini menatap Prajola dengan penuh kelembutan.
Prajola mengeluarkan keluhan. Terlihat kakek ini merasa malu
begitu menyadari tindakannya. Tanpa berkata apa pun tubuhnya segera di balikkan dan melesat pergi meninggalkan itu. Dewa Berhati Emas membalikkan tubuh menatap tiga sosok yang tergolek di tanah.
"Maafkanlah muridku. Dia tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Hatinya sedang terguncang. Selamat tinggal...!"
Dewa Arak, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek hanya bisa menatap kepergian Dewa Berhati Emas. Mereka tak bisa memberikan tanggapan apa pun. Malah, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kelihatan bingung melihat ada dua orang Dewa Berhati Emas.
Bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat itu membuat ketiga orang yang masih terbaring di tanah mengalihkan perhatian.
"Nenek...!" seru pemilik langkah yang ternyata Padmini.
"Padmini...!"
Dewi Pesolek tak kalah terharu. Suaranya terdengar gemetar. Dia tak menyangka muridnya itu bisa s elamat Padmini berlari mendekati gurunya. Dipeluknya Dewi Pesolek dengan penuh rasa haru dan kegembiraan.
Dewa Arak gembira melihat pertemuan Padmini dengan gurunya.
Dengan langkah agak terhuyung ditinggalkannya tempat itu. Sesaat kemudian, hanya tinggal Buaya Gila Bermata Tunggal yang masih berada di situ. Meski telah bisa berdiri dan bahkan berjalan, kakek itu t ak mau bangkit dari berbaringnya. Tampaknya dia masih terpukul dengan kejadiankejadian
yang dialami. Buaya Gila Bermata Tunggal tetap tak bergeming kendati mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati tempatnya.
"Buaya Gila! Aku datang untuk membunktikan padamu kalau Malaikat Tombak Sakti lebih unggul dari padamu. Aku, Bogadenta, anak Malaikat Tombak Sakti datang untuk membuktikan keunggulan keluarga kami! Bersiaplah kau...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal sama sekali tak memberikan tanggapan. Bahkan, karena tak mempedulikan luka-luka yang diderita, kakek ini terbatuk-batuk keras. Darah memercik berhamburan dari mulutnya.Sepasang mat a pendatang baru yang t ernyat a seorang wanita berpakaian merah dan bercelana hitam memandang dengan penuh rasa kecewa.
"Kiranya kau terluka"! Sayang sekali! Kau beruntung, Buaya Gila!
Biar lain kali saja kutemui kau lagi," ucap Bogadent a, yang meniliknamanya adalah seorang lelaki. "Nasibku memang kurang beruntung. Aku tak pernah mempunyai kesempat an untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kuterima dari Dewa Berhati Emas. Sapu J agad yang katanya merupakan tokoh amat sakti t ak kutemukan. Bahkan, pusaka-pusaka miliknya pun tidak. Sekarang kau pun tengah terluka. Sial!"
Buaya Gila Bermat a Tunggal tetap tak memberikan tanggapan.
Bahkan ketika Bogadenta mel esat meninggalkan tempat itu, dia tetap tak mengalihkan perhatian.
Sementara itu di tempat yang cukup jauh dari tempat ini dan terpisah satu s ama l ain, dua orang pemuda tengah berlari cepat. Yang seorang adal ah Antareja. Di a tengah berusaha mencari jejak kakaknya.
Bogadenta yang sebenarnya berjenis kelamin lelaki itu pandai sekali menyamar sebagai wanita, hingga banyak orang yang tertipu.
Pemuda yang satu lagi berlari dengan mulut tak henti-hentinya menggumamkan ancaman.
"Tunggu saja kematianmu, Dewa Arak! Pert emuan antara kita nanti akan mengirim nyawamu ke neraka! Aku, Bonggala, akan membunuhmu dengan ilmu-ilmu yang kuterima dari Dewa Berhati Emas!
Tunggu saja saatnya...!"
Ikuti kelanjutan. kisah ini dalam.episode :
MEMPEREBUTKAN BATU
KALIMAYA SELESAI Pembuat Ebook : Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Ratu Pemikat 1 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Memburu Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama