Ceritasilat Novel Online

Setan Bongkok 2

Dewa Arak 87 Setan Bongkok Bagian 2


tubuh Dewa Arak hanya berlangsung
sebentar. Dengan jejakan kaki pemuda ini kembali tegak berdiri dan berlari
secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Kelabang Merah dan Gajah Kecil melesat mengejar.
Tapi, keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu di hadapan mereka membuat maksud
itu terhalang. Gajah Kecil terutama Kelabang Merah, penasaran bukan main.
Keduanya menatap Raja Monyet Bertangan Seribu dengan sorot penasaran.
"Apakah kalian hendak menjatuhkan julukan Tiga
Bimatang Iblis Neraka dengan melakukan pengeroyokan
terhadap seorang pemuda yang tidak terkenal"!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu
dengan suara lembut tapi sarat dengan teguran.
"Jadi, menurutmu lebih baik kita biarkan pemuda
usilan itu pergi?" sentak Kelabang Merah. "Tidakkah tindakan itu akan lebih
menghancurkan julukan kita" Apa kata orang-orang persilatan bila tahu seorang
pemuda tak terkenal mampu merampas tawanan Tiga Hlnatang Iblis Neraka di
depan hidung kita"!"
"Itu tidak akan terjadi, Kelabang Merah. Aku akan mencarinya! Aku yakin, tidak
sulit mencari pemuda yang mempunyai ciri-ciri demikian menyolok. Tanganku sudah
gatal-gatal untuk bertarung dengannya!" tandas Raja Monyet Bertangan Seribu
"Aku pun demikian, Monyet'" timpal Gajah Kecil.
"Kurasa sudah saatnya bagiku untuk turun gunung dan kembali ke dunia persilatan.
Aku yakin, sekarang banyak tokoh-tokoh hebat telah muncul. Buktinya, orang
seusia pemuda itu telah memiliki kepandaian demikian tinggi!"
Kelabang Merah tersenyum mengejek. Kakek ini
kelihatan tidak senang mendengar ucapan rekan-rekannya yang memuji-muji Arya.
"Kelak akan kubuktikan kalau pemuda yang kalian
puji-puji itu sebenarnya tak berarti. Akan kurobek-robek tubuhnya dan kubawa
kepalanya ke hadapan kalian!"
"Bagus sekali!" Gajah Kecil bersorak. "Bagaimana kalau pemuda itu kita jadikan
syarat untuk menentukan siapa di antara kita yang patut menjadi orang pertama?"
"Bagaimana maksudmu, Gajah?" tanya Raja Monyet Bertangan Seribu. Kelabang Merah
hanya mendengus tak
peduli. "Siapa yang lebih dulu membawa kepala pemuda itu, akan menjadi tokoh
sesat tanpa tanding. Bagaimana?"
"Sebuah usul yang bagus!" puji Raja Monyet Bertangan Seribu, gembira.
"Tidak terlalu jelek," gumam Kelabang Merah sambil bersungut-sungut. "Bersiapsiaplah untuk mengangkatku sebagai tokoh sesat tanpa tanding!"
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum lebar.
Sedangkan Gajah Kecil tertawa terbahak-bahak mendengar sesumbar Kelabang Merah.
"Kalian enak tidak mempunyai urusan lain. Aku
masih ada urusan lainnya," keluh Gajah Kecil, iri. "Di samping mencari pemuda
itu, aku harus menemui Pendekar Penyebar Asmara. Pendekar kemaruk wanita itu
harus menerima balasan atas perbuatannya berani-beranian
menggauli muridku."
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum,
tidak kelihatan tertarik dengan cerita itu. Dia hanya memberikan tanggapan
singkat "Apakah kau akan balas perbuatannya dengan
menggaulinya pula?"
"Mungkin." Gajah Kecil mengangkat bahu. "Yang jelas, muridku tidak bisa
dipermainkan begitu saja!"
"Aku masih
kurang jelas, Gajah. Yang digauli
pendekar cabul itu muridmu atau gundikmu" Kudengar,
orang yang kau sebut muridmu itu gila lelaki!" selak Kelabang Merah, sinis.
"Apa salahnya kalau aku menggauli muridku sendiri, Kelabang" Di samping dia
menikmati hubungan itu, dia
mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat dariku!" kilah Gajah Kecil sambil tersenyum
lebar. "Sayang, umurnya demikian singkat.
Murid kesayanganku itu tewas akibat pendekar kemaruk
perempuan itu!"
"Tidak salah dengarkah aku" Bukankah kau sendiri yang membunuh muridmu ketika
dia memintamu untuk
menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi karena Pendekar cabul itu menolak
keinginannya untuk menjadikannya istri?"
ejek Kelabang Merah terus menekan saingannya.
Gajah Kecil tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan sedih atau geram mengingat
kematian murid sekaligus gundiknya.
Bahkan, ketika menceritakannya pun wajahnya biasa saja.
Tidak kelihatan ada duka sedikit pun.
"Pendengaranmu rupanya masih cukup baik, Kelabang Merah. Muridku mati di tanganku. Tapi, semua itu akibat ulah Pendekar
Penyebar Asrama. Penghinaan ini harus kubalas! Apa kata orang-orang persilatan
bila tahu kematian muridku tidak kubalaskan" Mereka akan mengira aku, Gajah
Kecil, takut terhadap Pendekar Penyebar Asmara!"
Setelah berkata demikian, Gajah Kecil melesat meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Raja Monyet Bertangan Seribu berdiam
diri saja. Mereka tidak berusaha mencegah. Malah, keduanya saling bertatapan
dengan sinar mata penuh tantangan. Terutama Kelabang Merah. Di
samping kakek jangkung memang memiliki watak pemarah, dia sudah tak sabar lagi
untuk segera menempati urutan pertama di kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka.
Tidak nomor dua seperti lima tahun sebelumnya.
"Apakah kau ingin bertarung sekarang, Kelabang"
Inginkah kau melanggar ketentuan yang telah dibuat. Bukan hanya kau, aku pun tak
sabar lagi untuk menentukan
tempat teratas di antara kita. Tapi, aku masih bisa menahan sabar. Yang penting
bagiku adalah pemuda berambut putih itu. Tak pernah ada orang yang bisa lolos
dari Raja Monyet Bertangan Seribu. Pemuda itu secepatnya harus mati di
tanganku!"
Raja Monyet Bertangan
Seribu melompat-lompat
meninggalkan Kelabang Merah. Kakek jangkung ini tak
menghalangi kepergian saingan beratnya. Dipandanginya sesaat sebelum akhirnya
meninggalkan tempat itu pula.
4 Arya baru menghentikan lari ketika dirasakan jaraknya telah jauh dari puncak gunung. Ia telah tiba di hamparan hutan pohon
jati, di kaki gunung.
Larasati segera melompat turun. Wajah gadis itu
merah padam. Amarah yang menyebabkan wajahnya berwarna demikian. Arya rupanya telah menyentuh-nyentuh pinggulnya di kala
memondongnya. Larasati menganggap
Arya sengaja memanfaatkan
kesempatan. Maka begitu
totokan yang membuatnya lemas berangsur hilang dan
kebetulan Arya berhenti berlari, dia melompat turun dari pondongan.
"Manusia kurang ajar...!" maki Larasati geram. Lalu mengirimkan tendangan ke
arah perut Arya. Serangan itu dikirimkan Larasati berbarengan dengan keluarnya
makian dari mulutnya.
Di saat kaki Larasati terayun, gadis ini baru melihat cairan merah kental
mengalir dari mulut Arya. Pemandangan ini membuat Larasati terkejut dan hampir
terpekik. Sedapat mungkin
serangannya dialihkan, karena untuk membatalkannya sudah tidak mungkin lagi. Tenaga yang
dikeluarkan pun dikurangi.
Desss! Usaha Larasati tidak sia-sia. Sasaran yang dihantam
kakinya adalah paha kanan Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Ketika gulingannya berhenti, diam
tidak bergerak-gerak! Darah yang keluar dari mu lutnya semakin banyak.
Larasati bergegas memburu. Setengah berjongkok ia
memeriksa keadaan Arya dengan penuh rasa khawatir.
Tarikan wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Larasati yang sedikit banyak mengetahui pengobatan
sadar kalau Dewa Arak terluka dalam cukup parah. Larasati tidak tahu mengapa
penolongnya ini terluka. Yang dilihatnya, Dewa Arak selalu berhasil lolos dari
jegalan Tiga Binatang Iblis Neraka. Larasati tidak melihat kalau meski jejakan
Kelabang Merah berhasil dielakkan, kibasan tangan kakek jangkung itu sempat
menyerempet bahu kanan Arya.
Akibat serangan Kelabang Merah telah cukup membuat Dewa Arak terluka dalam. Luka itu semakin
menjadi ketika Arya dalam keadaan terjepit memapaki
serangan jarak jauh Raja Monyet Bertangan Seribu. Padahal, pantangan besar bagi
orang yang telah terluka dalam untuk mengerahkan tenaga dalam. Tindakan itu
tidak hanya akan membuat luka bertambah parah. Tapi, juga dapat menyeret jiwa ke
lubang kubur! Melihat penolongnya rebah dengan wajah pucat
laksana mayat, Larasati menyesal bukan
main telah menyerang. Arya sudah mempertaruhkan nyawa untuk
menyelamatkannya. Tindakan pemuda itu untuk harus
berlari dengan tidak mempedulikan seruan-seruannya yang minta diturunkan, karena
ingin selekasnya bebas dari
cengkeraman Tiga Binatang Iblis Neraka. Apabila terkejar pemuda itu pasti akan
dengan mudah digilas lawan-lawan tangguhnya. Dalam keadaan tidak dipengaruhi
amarah Larasati dapat berpikir jernih.
Mengingat akan pertolongan Dewa Arak, Larasati
tidak ragu-ragu untuk menempelkan kedua tangannya dan mengalirkan tenaga dalam
untuk mengobati luka Arya. Tapi, baru sebentar segera diurungkan karena Larasati
tidak merasakan adanya detak jantung.
Larasati kebingungan. Bukan karena tidak tahu cara
untuk membuat jantung berdetak dan napas kembali normal.
Tapi, karena cara yang akan dilakukannya. Gadis ini
berperang dengan
perasaannya sendiri. Beberapa saat
peperangan batin itu berlangsung, sebelum akhirnya Larasati memutuskan untuk
melakukannya! Diedarkan pandangan ke sekelilingnya untuk membuktikan kalau di
sekitar tempat itu tidak ada orang lain.
Dengan wajah merah padam hingga kedua telinganya,
Larasati kemudian menempelkan mulutnya ke mulut Arya.
Larasati menghembuskan napasnya untuk membuat Arya
kembali bernapas. Beberapa saat dia meniup, kemudian
menghentikannya, dan menekan-nekan dada Arya agar detak jantung kembali timbul.
Beberapa kali gerakan pertolongan itu dilakukan sampai detak jantung Arya
kembali normal.
Larasati menghentikan pertolongannya.
Sesaat ditatapnya wajah Arya dengan wajah menyemburat merah.
Sebuah perasaan aneh muncul ketika melihat wajah tampan yang tarlihat matang dan
tenang itu. Perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini. Perasaan suka yang
besar! Perasaan itu berkembang semakin besar ketika teringat tindakan Dewa Arak yang
lelah menyelamatkan nyawanya.
Rasa takut akan kehilangan dan tidak bertemu lagi dengan Arya muncul di hatinya.
Setelah puas memperhatikan pemuda berpakaian
ungu itu, Larasati baru memberikan pertolongan untuk
menyembuhkan luka dalam Arya. Gadis ini menyalurkan
hawa murni di dalam tubuhnya.
*** "Arrrggghhh...."
Cendana menatap wajah gurunya. Yang ditatap
kelihatan tenang-tenang saja. Cendana jadi penasaran.
Apakah nenek baju hitam ini tidak mendengarnya" Geraman yang berasal dari
kejauhan tapi mampu menimbulkan
getaran pada tanah yang dipijaknya!
"Suara apakah itu, Nek" Mungkinkah suara binatang buas yang tengah murka?"
Cendana yang tidak kuat menahan rasa ingin tahu
din herannya, mengajukan pertanyaan itu tanpa menghentikan lari. Si nenek bersikap seperti tidak mendengarnya dan terus mengayunkan kaki dengan cepat.
"Aku yakin bukan, Cendana," jawab si nenek. "Suara itu keluar dari mulut
manusia. Seorang yang memiliki
kekuatan tenaga dalam luar biasa!"
"Itu sudah pasti, Nek. Kurasakan sendiri getarannya di tanah," dukung Cendana.
"Kira-kira dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah duga, di sana," jawab si nenek sambil menudingkan jarinya


Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sebelah kiri depan.
Cendana diam. Dia terus berlari mengikuti si nenek
yang beberapa kaki di depannya. Benak gadis ini dipenuhi pikiran tentang bunyi
geraman keras itu. Cendana gadis manja yang selalu ingin tahu. Maka, bunyi itu
menimbulkan rasa ingin tahu yang besar.
"Tidakkah kita lihat dulu penyebab bunyi itu, Nek?"
"Kurasa lebih baik tidak, Cendana. Barangkali saja bunyi itu keluar dari mulut
seorang tokoh sakti berwatak aneh yang tengah berlatih. Kemunculan kita bisa
diartikan sebagai gangguan. Itu bisa dijadikannya alasan untuk
menyerang kita. Lebih baik kita menjauhi tempat itu, bukan malah mendekatinya,"
si nenek memberi nasihat.
"Tapi, Nek," dengan dua kaki terus terayun agar tidak tertinggal oleh si nenek
baju hitam, Cendana mengajukan bantahan. Bukan karena yakin lebih tahu dari
gurunya, tapi karena rasa ingin tahunya yang besar. "Kita kan tidak bermaksud
jahat. Mana mungkin akan diserang atau
dicelakai. Toh, belum tentu tokoh yang menjadi pemiliknya orang golongan hitam,
bagai mana kalau di sana ada orang teraniaya yang membutuhkan pertolongan?"
Nenek baju hitam diam. Sambil terus berlari dia
menimbang-nimbang.
Harus diakui bantahan Cendana mungkin ada benarnya. Bukan tidak mungkin geraman yang layak keluar dari mulut
binatang buas itu, berasal dari orang yang tengah membutuhkan pertolongan.
"Ayolah, Nek. Kita lihat dulu," desak Cendana. Gadis ini yakin si nenek akan
memenuhi keinginannya. Biasanya, si nenek tidak pernah menolak keinginannya.
Dan, apabila itu terjadi, si nenek akan diam seperti saat sekarang ini.
"Tapi kita tengah mempunyai urusan lain, Cendana.
Urusan penting." Si nenek masih mencoba untuk membantah. Tapi, pelan dan sekadarnya.
"Apa salahnya, Nek. Kita hanya sebentar saja
membuang waktu. Pendekar Mata Bongsang itu pun tidak
akan pergi jauh. Begitu tahu aku dan nenek akan datang, dia pasti akan sabar
menunggu. Bukankah dia gemar wajah
cantik berjidat licin sepertiku" Aku yakin dia akan sabar menunggu," ujar
Cendana. "Dia tidak tahu akan kedatangan kita, Cendana," kilah si nenek seraya
menghentikan lari.
"Itu lebih bagus lagi, Nek. Kita jadi tidak terikat, dan mempunyai waktu lebih
banyak untuk mengetahui si milik geraman keras itu!" Cendana tidak kurang akal
untuk memberikan bantahan.
"Baiklah." Si nenek mengangguk dengan hati kurang setuju. Permintaan Cendana
hampir tidak pernah bisa
ditolaknya. Gadis itu terlalu pintar membujuknya. Dan, si nenek tidak sampai
hati untuk menolak. "Tapi ingat, jangan melakukan tindakan macam-macam. Kau mau
berjanji" Kalau tidak, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhinya."
"Aku berjanji, Nek," jawab Cendana tanpa pikir panjang lagi, karena terlalu
gembiranya. "Aku sudah yakin nenek akan mengabulkan permintaanku. Nenek sungguh
bijaksana dan baik hati, karena itu pasti akan memenuhinya."
Si nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala
mendengar ucapan Cendana. Bafinnya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana nasib
Cendana kelak sepeninggalnya" Gadis itu terlalu polos dan lugu, sedangkan dunia
persilatan amat keras dan penuh tipu. Perasaan si nenek selalu gundah jika
mengingat hal ini
Meskipun demikian, nenek berpakaian hitam ini
mampu menyembunyikan kegalauan perasaannya. Pada
wajahnya tidak terlihat gambaran perasaan itu. Dia tidak ingin Cendana
mengetahuinya. Ditunggunya saat yang baik untuk menasihati gadis ini.
"Ayolah, Nek. Tunggu apalagi" Nanti pemilik suara itu keburu pergi." Cendana
mengingatkan dengan nada merajuk.
Nenek berpakaian hitam tersenyum. Satu hal lagi
yang membuatnya tidak pernah menolak keinginan Cendana.
Cendana tidak pernah berani mendahuluinya melakukan
sesuatu, kendati telah diizinkan. Padahal, seperti kali ini, bisa saja Cendana
karena telah mendapat izin, melesat lebih dulu ke tempat itu. Tapi Cendana tidak
melakukannya. Dia tidak berani bertindak lancang. Hal ini yang membuat rasa
sayang si nenek semakin besar.
"Jangan khawatir, Cendana. Aku yakin pemilik suara itu tidak akan pergi," ucap
si nenek dengan bersungguh-sungguh.
"Benarkah itu, Nek?" tanya Cendana, agak heran.
"Aku yakin demikian."
"Mengapa, Nek?" kejar Cendana.
"Dia ingin melihat jidatmu yang licin, Cendana. Hi hi hi..." jawab si nenek sambil
melesat meninggalkan Cendana.
Cendana sadar kalau si nenek menggodanya. Dia pun
melesat mengejar dengan mulut cemberut Berpura-pura
marah dan tidak senang!
*** "Jangan membuat bunyi gaduh, Cendana," bisik si nenek
pelan. Tangannya yang keriput disentuhkan kepergelangan tangan kiri muridnya untuk lebih menguatkan peringatannya.
Cendana tidak berani membantah. Dirasakan nada
kesungguhan dan
ketegangan dalam ucapan gurunya. Napasnya hampir ditahan ketika melayangkan pandangan ke arah yang ditatap si
nenek. Si nenek dan Cendana saat itu berada di pinggir
tebing bukit kapur. Di hadapan keduanya terhampar dataran kapur yang rata,
sekitar sepuluh tombak di bawah dasar tebing.
Bukan tanah kapur datar itu yang menjadi pusat
perhatian Cendana dan gurunya. Melainkan sesosok tubuh tegap milik seorang
pemuda berahang kokoh. Lesmana!
Pemuda ini tengah mengamuk. Memukul dan menendang ke
sana kemari sambil mengeluarkan bunyi geraman keras.
Lesmana tidak sendirian. Di sekitarnya tengah
meluruk ke arahnya puluhan ekor ular dari berbagai jenis.
Ular-ular itu berdesis-desis menyeramkan!
Cendana merasa perutnya mual melihat ular sebanyak itu. Gadis ini merasa jijik bukan main. Perasaan yang dialami si gadis
tidak dialami nenek baju hitam.
Sementara di bawah sana Lesmana kembali menggeram keras sehingga membuat sekitar tempat itu
bergetar hebat. Ular-ular itu pun menerima pengaruhnya.
Beberapa di antaranya berkelojotan meregang maut
Tindakan Lesmana tidak berhenti sampai di situ.
Tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Tidak mengenai ular-ular itu sebenarnya.
Tapi, cukup untuk membuat binatang-binatang itu berpentalan bagai daun kering
diterbangkan angin. "Seorang pemuda yang hebat..."
Cendana mendengar ucapan itu di dalam telinganya.
Gadis ini tahu kalau nenek baju hitam mengucapkannya
dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Sehingga, hanya Cendana seorang yang mendengarnya.
"Sayang, ada sesuatu yang membuat akal sehatnya
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sayang sekali....
Pemuda hebat ini akan menjadi ancaman bagi orang lain. Dia akan menyebar bahaya
tanpa menyadarinya. Sungguh keji orang yang menyebabkan dia melakukan perbuatan
seperti ini...."
"Apa yang terjadi dengan pemuda itu, Nek?" bisik Cendana
Belum sempat si nenek memberikan jawaban, Lesmana menengok ke atas. Adu pandang pun tidak bisa
dihindarkan lagi. Cendana dan si nenek tengah memperhatikannya.
Sekarang Cendana baru bisa memahami mengapa
nenek baju hitam memberikan peringatan terhadapnya.
Lesmana memiliki pendengaran luar biasa tajam. Begitu bersitatap, Cendana
merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata Lesmana merah membara, seperti mata
binatang buas yang tengah murka. Wajahnya pun beringas menyiratkan hawa
pembunuhan. "Bersiap-siaplah,
Cendana. Pemuda itu akan menyerang kita," beritahu si nenek yang telah kenyang pengalaman itu. Nenek baju
hitam ini tahu tidak ada
gunanya menyesalkan kecerobohan Cendana. Nasi telah
menjadi bubur! Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana menghadapi Lesmana.
Baru saja mulut si nenek terkatup. Lesmana
menggeram keras. Kali ini geraman yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi itu ditujukan pada Cendana dan gurunya. Si nenek tidak terlalu terpengaruh karena telah memiliki tenaga dalam
amat kuat. Tapi, tidak demikian dengan
Cendana. Gadis ini seperti mendengar bunyi
halilintar yang meledak dekat telinganya!
Dada Cendana tergetar hebat. Kedua kakinya menggigil keras sehingga tidak bisa menunjang tubuhnya.
Cendana limbung dengan wajah pucat pasi.
"Cendana...!" seru si nenek khawatir melihat keadaan muridnya.
Hanya sampai di situ tindakan si nenek. Lesmana
telah melompat ke atas dan menyerangnya dengan hantaman ke arah dada. Si nenek
yang tadi mengalihkan perhatian ke arah Cendana, jadi tidak memiliki kesempatan
untuk mengelak. Dipapakinya serangan itu dengan tinju kirinya.
Dukkk! Tubuh si nenek terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Lesmana seperti tidak terpengaruh
sama sekali. Pemuda itu meluruk dengan serangan-serangan lanjutan yang tak kalah
dahsyat Si nenek tidak punya pilihan lain kecuali membela
diri. Dengan seluruh kemampuan dihadapinya serangan
Lesmana. Pertarungan sengit pun berlangsung!
Cendana yang telah berhasil menguasai diri memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang. Perasaan cemas
dan menyesal melanda hati. Cemas akan keselamatan gurunya dan menyesal karena
telah melanggar larangan nenek itu untuk tidak berbicara.
Saking cepatnya gerakan dua pihak yang bertarung,
Cendana tidak bisa melihat secara jelas. Tapi, dari bayangan si
nenek dan Lesmana yang saling gebrak, bisa diperkirakannya siapa yang berada di pihak menguntungkan.
Dan si nenek kelihatan kewalahan bukan main.
Penilaian Cendana memang tidak keliru. Meski nenek
baju hitam telah menggunakan tongkatnya dan Lesmana
bertangan kosong, tetap saja Lesmana yang berada di atas angin. Pemuda itu
memiliki keunggulan di semua hal. Tidak hanya tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh, tapi juga ilmu-ilmu silatnya dan usianya yang masih muda. Tak
sampai lima belas jurus Lesmana berhasil mendesak si
nenek. "Cendana...! Lari...! Tinggalkan tempat ini!"
Dalam keadaan tenepit si nenek mengingatkan
muridnya. Disadari kalau dirinya tak akan ma mpu bertahan terus.
Namun, bukannya menuruti seruan si nenek, Cendana malah mencabut pedang dan melompat masuk dalam
kancah pertarungan. Bertepatan dengan itu, si nenek
menyabetkan tongkatnya ke arah leher Lesmana!


Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trakkk! Tongkat patah tiga ketika Lesmana menyampoknya
dengan keras. Tubuh si nenek terhuyung ke belakang. Saat itu pula Lesmana
mengirimkan gedoran ke arah dada!
Cendana yang melihat ancaman itu segera merubah
arah serangannya. Tusukan yang semula ditujukan ke dada Lesmana, dialihkan ke
pergelangan tangan si pemuda yang tengah meluncur ke arah dada nennek baju
hitam! Takkk! Desss! Cendana memekik tertahan. Mata pedangnya tidak
mampu membuat tangan Lesmana buntung. Pedang itu
malah membalik dan gadis ini merasakan tangannya
lumpuh. Kibasan tangan kiri Lesmana yang mengeluarkan deru angin dahsyat membuat
tubuh Cendana terlempar ke belakang.
Di saat yang bersamaan, tubuh nenek baju hitam pun
terjengkang ke belakang. Tubuh murid dan guru ini jatuh di tanah secara
berbarengan. Hanya saja, kalau Cendana meski terhuyung-huyung mampu mendarat
dengan kedua kakinya, si nenek mendarat di tanah dengan punggungnya!
"Nenek...!"
Tanpa mempedulikan Lesmana lagi, Cendana menghambur ke arah tubuh si nenek yang tergolek. Suaranya sarat dengan kesedihan
dan penyesalan.
"Cendana...," sahut si nenek, berusaha menyugingkan senyum untuk menenangkan
hati muridnya. Tapi, justru
membuat Cendana semakin dililit perasa sedih. Darah
mengalir dari sudut mulut si nenek.
"Maafkan aku, Nek. Aku selalu menentang ucapanmu.
Aku yang salah, Nek. Akulah yang menyebabkan nenek jadi seperti ini," ueap
Cendana tersendat-sendat menahan isak di tenggorokan. Gadis ini duduk bersimpuh
di dekat si nenek.
Nenek baju hitam masih mampu menggelengkan
kepala. "Kau tidak bersalah, Cendana. Ini yang namanya
nasib. Malah, kau telah berjasa besar. Kalau tidak karena pedangmu yang membabat
serangan pemuda itu, mungkin
nyawaku telah melayang ke alam baka. Tindakan yang kau lakukan membuat tenaga
serangan yang mengenai dadaku
berkurang jauh. Kau telah menyelamatkanku, Cendana,"
hibur si nenek.
Cendana semakin terpuruk dalam kesedihan. Hiburan
si nenek menambah kesedihannya. Ia menyadari betapa
besar kasih sayang si nenek terhadapnya, sedangkan
balasannya selalu sikap yang membangkang.
Bahu Cendana terguncang-guncang karena tangis
yang tersendat. Cendana berusaha keras untuk bertahan agar tidak menangis. Tapi,
kodratnya sebagai wanita yang memiliki perasaan lembut membuatnya harus berjuang
keras. "Sudah lama aku mendapat firasat ajalku akan
datang. Aku sudah bersiap-siap untuk memberitahukanmu beberapa hal, Cendana,"
ujar nenek baju hitam.
Cendana mulai meneteskan air mata. Tidak ada suara
tangisan yang keluar. Gadis yang memiliki watak periang dan manja ini ternyata
memiliki kekerasan hati luar biasa. Dia malu untuk menangis.
"Kuharap kau tidak menangis, Cendana. Relakan saja kepergianku. Hanya pesanku,
kau tidak boleh berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Dan, kau harus
berhati-hati menghadapi orang-orang persilatan. Jangan sampai kau
tertipu. Waspadalah selalu," si nenek mulai dengan wejangannya. Sementara Lesmana seperti terkesima melihat adegan
mengharukan itu. Sepasang matanya yang semula merah
membara mulai agak meredup. Bahkan, geraman-geraman
yang dikeluarkan sudah tidak sekeras sebelumnya. Rupanya, adegan yang terpampang
di depan matanya berhasil merasuk ke dalam lubuk hatinya! Karena, pada dasarnya
pemuda ini memang bukan orang jahat.
Ketika melihat Cendana meneteskan air mata, sinar
mata Lesmana melembut. Ada penyesalan di dalamnya.
Sambil mengeluarkan bunyi seperti keluhan, tubuhnya
dibalikkan lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
5 Cendana duduk tercenung di atas gundukan batu
sebesar kerbau yang permukaannya datar
dan rata. Wajahnya muram. Sepasang matanya yang biasanya berseri-seri penuh kehidupan,
kini layu bagaikan lampu kehabisan minyak. Ada gumpalan
kabut kedukaan di sepasang matanya. Terngiang-ngiang kembali ucapan gurunya sebelum
menghembuskan napas penghabisan di pelukannya.
"Jangan kau mendendam pada pemuda itu, Cendana.
Dia tidak bersalah. Tindakan yang dilakukannya tidak
disadarinya. Aku
yakin pemuda itu orang baik-baik.
Gerakan-gerakan
pemuda itu kukenali milik seorang pendekar yang disegani. Kalau bisa, tolong dia. Sembuhkan dari penyakitnya yang
membuatnya menjadi buas. Mungkin karena diracuni orang. Kau mau memenuhi
permintaan terakhirku ini, Cendana?"
Tanpa sadar Cendana mengangguk seperti yang
dilakukannya waktu itu. Anggukan yang dirasakan gadis ini berat bukan main.
Bagaimana mungkin pembunuh gurunya
tidak dibalas, bahkan malah ditolong" Tapi, saat itu Cendana tidak punya pilihan
lain. Si nenek hanya akan meninggalkan dunia dengan hati tenang bila
permohonannya dikabulkan.
Cendana menggertakkan gigi. Geram. Itu selalu terjadi setiap kali teringat wajah
Lesmana. Tindakannya kali ini membuatnya sadar dari lamunan.
Cendana melayangkan pandangan ke bawah, ke
lereng gunung. Di bagian yang datar dilihatnya sebuah pondok sederhana. Pondok
yang menjadi sebab gurunya
keluar dari tempat tinggal dan akhirnya menemui ajal.
Pondok yang menjadi tempat tinggal Pendekar Penyebar
Asmara! Semangat Cendana bangkit kembali. Semula, kematian gurunya membuatnya tidak bersemangat untuk
hidup. Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Gurunya telah menjadi bagian yang
amat penting dari kehidupannya.
Bangkitnya semangat Cendana karena menyada
masih ada tugas yang dibebankan di pundaknya. Tugas yang mungkin akan dapat
menebus perasaan bersalah karena
merasa telah menjadi penyebab kematian gurunya. Tugas itu adalah membalaskan
sakit hati gurunya pada Pendekar
Penyebar Asmara!
Tugas ini membuat Cendana bagai bangkit kematian.
Meski kedukaan tidak sirna dari wajahnya, langkahnya tidak selesu sebelumnya.
Cendana melesa menuruni puncak
dengan cepat. Tak berapa lama, pondok itu telah berjarak sepuluh
tombak lagi. Tapi, Cendana terpaksa menghentikan lari karena mendengar bentakan
keras. "Hey...! Berhenti...!"
Dari dalam pondok melesat sesosok bayangan merah.
Tidak terlihat jelas oleh Cendana karena cepatnya sosok itu bergerak. Hanya,
mendengar suaranya yang melengking
tinggi dan nyaring, gadis ini tahu pemilik suara itu adalah seorang wanita.
Dugaan Cendana memang tidak keliru. Dua tombak di
depannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang
cantik terlihat matang. Apalagi karena model rambutnya yang digelung ke atas.
Sebuah tahi lalat yang cukup besar menempel di ujung hidungnya. Seorang wanita
yang cukup menarik, puji Cendana dalam hati.
Apalagi ketika melihat bentuk tubuh wanita itu yang
menggiurkan. "Mau apa kau kemari, Wanita Centil" Cepat pergi dari sini!" usir wanita
berpakaian merah, ketus.
Cendana yang tengah gusar karena kematian gurunya, jadi marah bukan main melihat sikap kasar itu.
Sepasang matanya menyambar wajah wanita di depannya
dengan kilatan kemarahan.
"Kau yang centil! Centil dan gila! Kalau tidak,
mengapa tidak ada hujan atau angin memaki-maki orang?"
balas Cendana, tak mau kalah memaki.
"Tak perlu ada hujan atau angin untuk memakimu!
Kau memang centil. Kalau tidak, untuk apa kau kemari"!"
Wanita berpakaian merah menimpali lagi sambil bertolak pinggang.
"Ada apa, Mirah" Mengapa ribut-ribut di luar?"
sambut sebuah suara sebelum Cendana memberikan tanggapan. "Tidak ada apa-apa, Kak. Hanya gangguan kecil.
Dapat kuatasi. Kau tidak usah keluar!" sambut Mirah, cepat.
Cendana tersenyum mengejek. Kemudian, kepalanya
diangguk-anggukkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau kelihatan
khawatir sekali, nenek bawel dan galak!" ujar Cendana, seenaknya. "Kau pasti
istri si Pendekar Mata Bongsang!
Wanita tak tahu malu. Kemaruk lelaki seakan-akan di dunia ini hanya ada satu
lelaki, tidak ada lainnya kecuali Pendekar Mata Bongsang yang tidak tahan
melihat jidat licin! Kau takut dia melihatku yang berjidat sangat licin, hingga
akan membuatnya tertarik padaku. Begitu kan"!"
Wajah Mirah memerah sampai ke daun telinganya.
Dia kelihatan marah sekali. Marah dan malu. Semula wanita ini bingung mendengar
julukan Pendekar Mata Bongsang.
Tapi, begitu mendengar ucapan-ucapan selanjutnya, dia jadi mengerti!
"Rupanya di samping berwatak centil, kau pun
memiliki mulut tajam. Kalau tidak dihajar, sifat kurang ajarmu semakin menjadijadi!" Mirah memenuhi ancamannya. Dia menyerang Cendana dengan sebuah tamparan ke arah mulut gadis
berpakaian kuning itu. Bunyi yang mengiringi gerakan
tangannya menjadi petunjuk kalau bibir menggiurkan milik Cendana akan
kehilangan keindahannya jika menjadi
sasaran. Cendana tidak mau hal itu terjadi. Tubuhnya ditarik
ke belakang sehingga serangan Mirah luput. Tendangan kaki kanan dikirimkan
Cendana ke arah lambung lawan sebagai balasannya.
Mirah memekik pelan karena kaget. Serangan itu
memaksanya melompat mundur. Amarahnya semakin meluap. Ini membuat terjangannya yang berikut lebih
dahsyat. Cendana menimpali. Pertarungan pun berlangsung sengit.
Dua perempuan yang sama-sama cantik dan galak ini
bertarung dengan menggunakan senjata. Tapi, lewat beberapa jurus keduanya segera mengeluarkan senjata
masing-masing. Cendana dengan pedangnya. Sedangkan
Mirah menggunakan sepasang belati berwarna merah seperti warna pakaiannya.
Cendana memang lihai. Tapi, Mirah tak kalah lihai!
Satu kelebihan Mirah adalah wanita ini lebih menang
pengalaman. Sikapnya bertarung menunjukkan kalau dia
telah kenyang pengalaman bertarung. Bisa diperkirakan jika mengingat usianya.
Sementara Cendana baru turun gunung dan
belum pernah terlibat dalam pertarungan. Lewat
beberapa belas jurus gadis ini mulai terdesak.
"Jangan hiraukan tangan kanan. Tangan kiri akan
ditujukan pada leher, tendang perutnya," terdengar sebuah suara di telinga
Cendana. Suara yang diyakini gadis ini dikirimkan lewat ilmu mengirim suara dari
jauh. Cendana berpikir cepat. Dia yakin si pengirim suara
bermaksud membantunya. Maka, dengan membuta diikutinya petunjuk itu. Serangan tangan kanan Mirah
dibiarkannya. Dia malah berjaga-jaga terhadap yang kiri.
Serangan yang dilancarkannya pun mengikuti petunjuk
pemilik suara tanpa wujud itu.
Pastinya memang menggembirakan Cendana. Meski
serangannya tidak berhasil, tapi bukan karena kesalahan pemilik suara. Dia yang
bertindak kurang cepat karena tadi berpikir sebentar. Yang jelas, semua
pemberitahuan itu benar.


Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenyataan ini membuat Cendana mengikuti semua
petunjuk yang diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dan memang, sejak itu Mirah
berhasil dibuatnya kalang kabut.
Bahkan, sekarang ganti Mirah yang terdesak.
*** "Ha ha ha...! Sungguh tidak kuduga Pendekar
Penyebar Asmara membiarkan
gundik-gundiknya saling
bertarung!"
Sosok tubuh pendek gemuk terjun ke dalam kancah
pertempuran. Dia tidak ikut bertarung, apalagi melancarkan serangan. Sosok itu
melesat begitu saja di antara Cendana dan Mirah tanpa khawatir akan menjadi
korban serangan nyasar.
Hal itu memang tidak terjadi. Begitu sosok gemuk itu
menyelak di tengah-tengah, tubuh Cendana dan Mirah
terjengkang ke belakang bagai didorong kekuatan tak
nampak. Cendana tidak menjadi gentar. Begitu berhasil
memperbaiki kedudukan, dia melesat menerjang sosok
pendek gemuk dengan bacokan ke arah leher. Cendana sakit hati sekali mendengar
makian sosok itu yang mengatakan dia gundik Pendekar Penyebar Asmara.
"Jangan ceroboh! Kau mencari penyakit sendiri,
Nona," pemilik suara tanpa wujud memberikan peringatan.
Tapi, peringatan itu datangnya tertambat. Cendana
telah lebih dulu melancarkan serangan. Memang, andaikata gadis itu menghendaki,
bisa saja serangan itu dibatalkan.
Tapi, Cendana sudah terlalu marah. Peringatan suara tanpa wujud itu tidak
dipedulikannya lagi.
Sosok pendek yang bukan lain Gajah Kecil, tertawa
terbahak-bahak. Kakek ini memang memiliki sifat mudah tertawa. Bahkan, dalam
marahnya pun dia tertawa. Seakan-akan Gajah Kecil hidup di satu dunia, yaitu
dunia yang penuh dengan kegembiraan.
"Gundik si Pemadat Perempuan berani menyerangku"!"
Gajah Kecil mendorongkan tangan kanannya ke
depan. Cendana merasakan sekujur tubuhnya lemas.
Tenaganya lenyap entah ke mana. Dan, sebelum dia mengerti apa yang telah
teriadi, Gajah Kecil mengibaskan tangan kiri seperti orang mengusir nyamuk!
Untuk kedua kalinya tubuh Cendana terlempar ke
belakang. Kali ini bahkan lebih jauh dari sebelumnya.
Cendana tidak bisa mendarat dengan kedua kaki. Ia
mendarat di tanah dengan punggungnya!
Cendana mengernyitkan alis ketika tidak merasakan
sakit kendati dirasakan punggungnya menempel dengan
sesuatu, yang diyakininya tanah. Sebuah tangan yang
menyentuh bahu belakangnya dan menyebarkan hawa
hangat sehingga tenaga Cendana kembali pulih, menyadarkan gadis ini akan keanehan itu. Dia ternyata tidak berada di tanah,
melainkan beberapa kaki di atasnya.
Punggungnya menempel pada tongkat yang berada di tangan seseorang yang berada di
belakangnya! Kalau saja Cendana bukan orang yang berhati besar
tentu agak kaget melihat si pemegang tongkat. Sosok itu memiliki wajah demikian
buruk. Wajahnya lebih mirip wajah kera! Matanya bundar kecil dan berwarna
kehijauan. Hidungnya pesek dengan mulut lebar serta wajah dipenuhi bulu. Seorang manusia
berwajah setan! Wajah itu lebih buruk dari pada wajah monyet. Di sana-sini
terlihat guratan luka.
Cacat pemilik tongkat itu masih ditambah lagi dengan
tubuhnya yang tidak normal. Punggungnya bungkuk! Tongkat itu mungkin untuk menahan tubuhnya agar tidak roboh.
"Menyingkiriah, Nona. Iblis itu bukan lawanmu," ujar sosok berwajah mirip setan
itu, lembut. Cendana tidak membantah. Dia percaya penuh.
Bukan karena menyadari Gajah Kecil jauh lebih tangguh daripadanya. Tapi, karena
suara yang keluar dari mulut sosok berwajah setan ini adalah suara orang yang
memberi petunjuk kepadanya ketika menghadapi Mirah. Sosok
berwajah setan ini adalah penolongnya!
"Ha ha ha...!" Gajah Kecil tertawa bergelak "Kau ini manusia atau setan"
Dibilang manusia kau lebih mirip setan.
Benar! Kau... Setan Bongkok! Itu julukan yang tepat
untukmu. Ha ha ha...!"
Sosok yang disebut Setan Bongkok tidak memberikan
tanggapan sedikit pun. Dia menatap Gajah Kecil penuh
selidik dan waspada. Terlihat jelas sikap hati-hatinya.
"Sebelumnya, kedatanganku kemari hanya untuk
mengirim nyawa Pendekar Pemadat Wanita ke neraka. Tapi, karena kau berani
bersikap menantangku, aku jadi ingin membuatmu bepergian ke alam baka. Mudahmudahan saja kau senang!" ujar Gajah Kecil.
Gajah Kecil lalu mengambil napas panjang-panjang.
Dia ingin menyedot udara sebanyak-banyaknya. Setan
Bongkok memperhatikannya dengan kewaspadaan tidak
berkurang. Cendana dan Mirah pun demikian. Kedua wanita ini ingin tahu apa yang
akan dilakukan Gajah Kecil.
Mirah dan Cendana membelalakkan mata ketika
melihat tubuh Gajah Kecil melembung seperti balon ditiup!
Tubuhnya yang memang sudah bulat jadi bertambah bundar.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang
patah. Padahal, Gajah Kecil tidak menggerakkan tangan atau kakinya. Dia tetap diam di
ternpatnya sambil terus menarik napas dalam-dalam.
Tindakan ini membuat tubuhnya semakin melembung.
Mirah dan Cendana tidak mengerti maksud tindakan
Gajah Kecil. Tapi mereka segera mengetahuinya ketika bunyi-bunyi yang terdengar
itu mulai menimbulkan akibat. Bunyi-bunyi itu sebenarnya tidak keras. Namun
akibatnya tidak sesederhana bunyi yang terdengar. Mirah dan Cendana
merasakan kelelahan merayapi sekujur otot-otot di tubuhnya.
Semakin lama rasa lelah yang mendera semakin besar.
Seiring dengan semakin membesarnya kelelahan
menyergap, rasa kantuk pun timbul. Kantuk yang luar biasa hebatnya. Sehingga,
meski Cendana dan Mirah berusaha
keras untuk bertahan, keduanya tidak mampu. Sepasang
mata mereka memejam sendiri.
Kesadaran yang masih tersisa membuat Mirah dan
Cendana berusaha untuk mengadakan perlawanan. Tapi, sia-sia saja. Pengaruh bunyi
yang menyerang langsungmenerjang urat saraf yang berhubungan dengan kelelahan.
Tenaga yang hendak dikerahkan kedua wanita perkasa ini jadi pupus.
Cendana dan Mirah akhirnya tertidur dalam sikap berdiri!
Kalau pengaruh yang melanda Mirah dan Cendana
saja demikian hebatnya, apalagi yang dialami Setan Bongkok.
Setan Bongkoklah sebenarnya yang menjadi sasaran penyerangan. Pengaruh
yang melanda sosok berwajah
mengerikan ini berlipat kali lebih dahsyat!
Tapi, Setan Bongkok tidak sampai terpengaruh seperti
halnya Mirah dan Cendana. Di samping tokoh berwajah
mengerikan ini memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat, sejak semula dia
sudah bersikap waspada. Begitu mendengar adanya
bunyi ia segera mengetuk-ngetukkan
ujung tongkatnya ke tanah secara berirama. Bunyi yang terdengar dari
beradunya ujung tongkat dengan tanah kapur berpengaruh untuk melawan serangan bunyi yang diciptakan Gajah Kecil!
"Haaa...!"
Gajah Kecil membuka mulutnya lebar-lebar sambil
mengeluarkan seruan keras. Setan Bongkok bagai disambar halilintar! Tubuh sosok
berwajah kacau balau ini terjengkang ke belakang. Tongkatnya terpental entah ke
mana. Pengaruh seruan Gajah Kecil yang sudah luar biasa itu masih ditambah
dengan hembusan angin dahsyat. Dua serangan gabungan
ini yang menyebabkan tubuh Setan Bongkok lintang pukang!
Bukan hanya Setan Bongkok yang menerima akibatnya. Mirah dan Cendana pun tidak luput. Tubuh kedua wanita ini tersentak
seperti orang terkena demam tinggi.
Kemudian, jatuh ambruk ke tanah bagai sehelai karung
basah. Meski demikian, keduanya tidak tergugah dari
tidurnya! Di lain pihak, Gajah Kecil tidak menunggu lebih lama.
Kakek ini sadar kalau Setan Bongkok merupakan lawan
tangguh. Maka, langsung dia menggelinding memburu
lawannya. Perhitungan Gajah Kecil memang tidak keliru. Setan
Bongkok tidak terluka sama sekali kendati tubuhnya
terjengkang dan terguling-guling.
Sebelum tubuh Gajah Kecil mendekat, Setan Bongkok
melompat ke atas dan melancarkan serangan balasan. Dua tokoh yang sama-sama
memiliki ciri-ciri aneh ini pun terlibat pertarungan sengit
*** Saat Setan Bongkok dan Gajah Kecil terlibat dalam
pertarungan, dari dalam pondok melesat sesosok bayangan putih. Sosok yang
ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun ini berdiri di
dekat tubuh Mirah dan Cendana
yang tergolek di tanah. Kendati demikian, pandangannya tertuju
pada pertarungan
yang tengah berlangsung. "Sungguh berbahaya sekali...," desis lelaki berpakaian putih yang memiliki wajah
tampan dan bertubuh tegap berisi dengan bau wangi menyebar dari sekujur badan.
Kepalanya digeleng-gelengkan.
"Gajah Kecil telah keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin dua yang lain dari Tiga Binatang Iblis Neraka
telah meninggalkan sarang.
Kepandaian Gajah Kecil tidak berkurang. Malah, bertambah dahsyat."
Lelaki ganteng yang bukan lain Pendekar Penyebar
Asmara ini mengalihkan perhatian pada Setan Bongkok.
"Siapa tokoh luar biasa ini" Gerakan-gerakannya
mengingatkanku pada tokoh penuh rahasia yang berjuluk Elang Malaikat. Mungkinkah
ada hubungan perguruan
dengannya?"
Cukup lama Pendekar Penyebar Asmara memperhatikan jalannya pertarungan sebelum akhirnya
perhatiannya dialihkan pada Mirah dan Cendana.
Sepasang mata Pendekar Penyebar Asmara menyiratkan rasa kagum ketika menatap Cendana. Bagai
orang yang kehausan melihat air, tatapannya menjelajahi sekujur tubuh Cendana
mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki. "Mirah...," sapa Pendekar Penyebar Asmara, lembut seperti layaknya orang yang
memanggil buah hati yang
sangat dikasihi. "Sudah cukup kau tenggelam dalam tidur.
Bangun. Mari kita pergi. Ada urusan lain yang menunggu."
Aneh bin ajaib! Mirah yang sejak tadi bagaikan orang
mati, tak bangun kendati jatuh secara keras di tanah dan adanya bunyi
menggelegar di telinga, membuka mata.
"Apa yang terjadi, Kak" Mengapa aku tiduran di
tanah?" tanya Mirah kebingungan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari. Terlihat
olehnya Cendana yang tadi telah berhasil mendesaknya secara mendadak. Tampak
juga Setan Bongkok tengah bertarung dengan Gajah Kecil.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu, Mirah," jawab Pendekar Penyebar Asmara tetap
lembut sambil tersenyum manis. "Sekarang, yang penting kita harus segera
tinggalkan tempat ini."
Tanpa memberi kesempatan
pada Mirah untuk berpikir lebih lama, Pendekar Penyebar Asmara menadahkan kedua tangannya seperti
orang tengah berdoa. Mendadak, tubuh Cendana melayang ke arahnya dan hinggap di


Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya. Seakan ada daya tarik yang amat kuat da ri kedua tangan itu.
"Apa artinya ini, Kak" Mengapa wanita centil itu kau bawa"!" kecam Mirah.
Pandang matanya dikerlingkan pada Cendana dengan penuh kebencian.
Pendekar Penyebar Asmara hanya tersenyum kalem.
"Nanti pun kau akan tahu, Mirah."
Hanya itu jawaban
Pendekar Penyebar Asmara
sebelum melesat meninggalkan tempat itu. Mirah tidak punya pilihan lain kecuali
mengikuti, meski dengan bersungut-sungut tidak senang.
Setan Bongkok sempat melihat kejadian itu. Ini
membuatnya cemas. Tapi, apa dayanya" Saat itu dia tengah sibuk menghadapi Gajah
Kecil. Mengalihkan perhatian hanya akan mengirim nyawanya ke neraka!
Meski demikian, sekarang Setan Bongkok sulit untuk
memusatkan perhatian. Dia tahu siapa adanya Pendekar
Penyebar Asmara. Cendana akan menjadi korbannya. Tokoh aneh ini jadi gelisah
bukan main. Ini membuat keadaannya semakin tidak menguntungkan.
Tingkat kepandaian Setan Bongkok memang masih di
bawah Gajah Kecil. Bertarung dengan sepenuh hati pun dia kewalahan. Untungnya,
mutu ilmu silat yang dimilikinya lebih unggul dari ilmu Gajah Kecil. Ini yang
membuatnya berhasil untuk bertahan. Apalagi ilmunya memang cukup mempunyai
pertahanan yang kokoh hingga Gajah Kecil sulit untuk merobohkan. Pertarungan
jadi berlangsung alot!
Tapi setelah kejadian yang menimpa Cendana, Setan
Bongkok merubah cara bertarung. Tokoh ini mulai melancarkan serangan-serangan. Tak tanggung-tanggung lagi yang
dipergunakan. Serangan yang terdahsyat dan merupakan ilmu andalannya!
Gajah Kecil sempat berubah wajahnya ketika melihat
Setan Bongkok menerjang sambil mengeluarkan pekikan
melengking nyaring. Pekikan itu membuat nyawanya untuk sesaat seperti melayang
ke alam baka. Isi dadanya sampai terguncang! Buru-buru dikerahkan tenaga dalam
untuk menangkalnya. Pada saat yang hampir bersamaan dia
melompat memapaki serangan Setan Bongkok!
Bresss! Tubuh Setan Bongkok dan Gajah Kecil sama-sama
terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah. Namun, keduanya segera
bangkit berdiri.
Pertarungan terhenti. Kedua belah pihak tidak ada
yang memulai serangan. Yang dilakukan hanya saling tatap dengan sinar mata penuh
tantangan. "Kau hendak mengadu nyawa, Gajah Kecil"!" tanya Setan Bongkok, angker.
Gajah Kecil adalah seorang tokoh kawakan. Dia segera
tahu lawan tangguhnya ini memberikan pilihan padanya
untuk menghabiskan masalah ini sampai di situ saja. Setan Bongkok tidak ingin
memperpanjang masalah. Gajah Kecil yang cerdik ini pun bisa melihat adanya
keuntungan dengan tawaran itu. Setan Bongkok benar. Tidak ada gunanya
meneruskan pertarungan.
"Kalau kau menginginkannya
apa boleh buat, Bongkok" Aku, Gajah Kecil, bukan orang yang takut mati!
Lagi pula, kaulah yang lebih dulu mencampuri urusanku. Ha ha ha...!"
"Itu kulakukan karena kau hendak mencelakai gadis yang berada dalam
perlindunganku. Tak satu pun makhluk yang bisa mencelakainya selama aku ada!"
tandas Setan Bongkok.
Gajah Kecil tersenyum penuh kemenangan. Ucapan
lawannya yang terakhir menunjukkan kalau Setan Bongkok enggan bermusuhan
dengannya. Setan Bongkok hanya
terpaksa melawannya. Meski sebenarnya tak takut terhadap Setan Bongkok, tapi
Gajah Kecil tahu untuk membunuh
lawannya ini bukan perkara yang mudah. Padahal, dia
mempunyai urusan
yang lebih penting. Mencari dan
membalaskan sakit hati muridnya pada Pendekar Penyebar Asmara.
Satu hal yang menggembirakan hati Gajah Kecil
adalah sikap Setan Bongkok yang mengalah. Hal ini
dianggapnya karena keunggulannya. Kendati, dia belum
menang secara mutlak.
"Kalau itu maumu, lain
kali urusan ini kita perpanjang lagi, Bongkok! Ha ha ha...!"
Gajah Kecil menggelinding meninggalkan tempat itu.
Setan Bongkok pun bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar lagi untuk menolong
Cendana. 6 "Nona, bangunlah. Tidak baik tidur terlalu lama," ujar Pendekar Penyebar Asmara
lembut. Cendana bagaikan orang tidur yang diguyur seember
air dingin. Dia tersentak bangun. Yang pertama kali
dilihatnya adalah seraut wajah ganteng yang tersenyum penuh daya pikat. Kumis
tipis, sedikit jenggot, dan cambang yang teratur rapi membuat wajah itu semakin
menarik. Cendana merasakan hatinya terguncang. Sebuah
perasaan aneh muncul di hatinya. Perasaan tertarik. Lelaki yang duduk bersila
sekitar satu tombak di depannya ini amat menarik! Tidak hanya wajah, suaranya
pun penuh daya tank.
Demikian lembut dan menggetarkan hati. Aroma wangi yang nikmat di hidung semakin
menambah ketertarikan hati
Cendana. Aroma itu keluar dari tubuh Pendekar Penyebar Asmara. Malu karena hanya
berdua saja di dalam gua yang cukup luas ini, Cendana menundukkan kepala. Gadis
ini sempat merasa aneh. Inikah dirinya, Cendana yang periang"
Mengapa sekarang seperti seorang gadis pemalu dilamar orang"
Sekarang Cendana baru menyadari kebenaran ucapan
gurunya yang menyatakan akan tiba masanya dia jatuh hati pada seorang lelaki.
Cendana tidak menyalahkan dirinya.
Lelaki di hadapannya ini memang amat menarik! Cendana sungguh tidak tahu kalau
lelaki di hadapannya itu adalah Pendekar Penyebar Asmara. Orang yang dicaricarinya! "Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Cendana lirih tanpa berani mengangkat
wajah. Samar-sama dia mulai teringat kejadian-kejadian yang dialaminya.
"Aku yang membawamu kemari, Nona. Kuliha kau
tergeletak di tanah," jawab Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana bagaikan dibuai. Suara Pendekar Penyebar
Asmara terasa nyaman di dada. Sejuk! Ingin didengarnya lagi suara itu.
Pendekar Penyebar Asmara bangkit dari duduk
bersilanya dan turun dari gundukan batu yang didudukinya.
Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Cendana yang tetap berdiri dengan
wajah tertunduk. Dada gadis itu
berombak keras menandakan besarnya ketegangan yang
melanda hati. Cendana hampir saja terjingkat ketika Pendekar
Penyebar Asmara menyentuh kedua bahunya. Cendana tiba-tiba merasakan sekujur
tubuhnya lemas bagai tak bertulang.
Cendana tidak memberikan penolakan ketika Pendekar Penyebar Asmara mengangkat wajahnya. Bahkan,
ketika lelaki itu mendekatkan wajah. Cendana malah pasrah!
Ketika bibir Pendekar Penyebar Asmara mengulum bibirnya, gadis ini mengeluh
tertahan. Cendana malah balas memagut. Dua insan yang
berbeda jenis ini saling cium dengan tubuh berpelukan erat.
Cendana hanya sedikit meronta ketika Pendekar Penyebar Asmara merebahkan
tubuhnya ke tanah. Tapi, itu hanya
sebentar. Sesaat kemudian hal itu dibiarkannya.
"Hentikan, Jahanam...!"
Teriakan keras penuh kemarahan membuat Pendekar
Penyebar Asmara dan Cendana tersentak bagai disengat
kalajengking! Pendekar Penyebar Asmara segera bangkit dari atas tubuh Cendana.
Gadis ini lalu bergegas bangkit dan membereskan pakaiannya yang telah terbuka di
sana sini. Cendana seperti orang yang baru sadar dari mimpi bu ruk.
"Menyingkirlah, Nona," ucap Setan Bongkok, pemilik bentakan tadi Lelaki ini
berdiri tegak di mulut gua. "Tutup matamu dan pergunakan mata hatimu. Pendekar
Penyebar Asmara memang memiliki suatu pengaruh aneh yang
membuat setiap wanita tidak berdaya untuk menolak
keinginan bejatnya."
Bagai ada halilintar menggelegar di tempat itu ketika Cendana mendengar ucapan
Setan Bongkok. Jadi, lelaki
ganteng itu adalah Pendekar Penyebar Asmara" Orang yang telah banyak menjatuhkan
hati wanita dan orang yang
tengah dicari-carinya untuk membalaskan sakit hati gurunya! Hampir saja dia menjadi korban!
Sekarang Cendana baru mengerti mengapa gurunya
begitu khawatir dia akan terpikat pada Pendekar Penyebar Asmara. Nenek baju
hitam benar. Setan Bongkok juga benar.
Pendekar Penyebar Asmar mempunyai pengaruh aneh yang
membuat lawan jenisnya tertarik dan tak berdaya menolak kehendaknya.
Cendana teringat lagi akan dugaan gurunya. Nenek
baju hitam ini mengatakan Pendekar Penyebar Asmara
mungkin menuntut sebuah ilmu aneh. Ilmu yang membuat
lawan jenisnya tertarik dan lupa diri. Ilmu yang jauh lebih dahsyat dan memiliki
pengaruh lebih dari susuk atau pelet!
Cendana geram bukan main. Marah karena hampir
saja menjadi korban seperti halnya murid gurunya sebelum dia. Perasaan geram
membuatnya mencabut pedang dan
menyerang Pendekar Penyebar Asmara. Cendana harus
menggertakkan gigi untuk mengusir perasaan tertariknya.
"Mengapa mencabut pedang, Nona" Bukankah lebih
baik kalau kita bersahabat daripada bermusuhan," ucap Pendekar Penyebar Asmara
lembut dengan senyum memikat.
Pendekar Penyebar Asmara mengulurkan tangan,
menangkap pedang Cendana. Dan, sekali tarik tubuh gadis itu kembali jatuh ke
pelukannya. Cendana hendak meronta. Tapi seperti juga sebelumnya, pengaruh aneh yang menyebar dari Pendekar Penyebar Asmara
melarangnya melakukan hal itu. Cendana pasrah!Sepasang mata Setan Bongkok
berkilat-kilat melihat hal ini. Laksana seekor burung yang tengah murka, dia
memekik nyaring. Pekikan yang membuat Cendana sadar
kembali ciri kungkungan perasaan aneh Cendana meronta.
Pendekar Penyebar Asmara sedikit pun tidak menahannya, sehingga gadis itu
berhasil melepaskan diri. Wajah Cendana merah padam.
*** Setan Bongkok melesat ke depan dan berdiri di antara
Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana.
"Menyingkirlah,
Nona. Pengaruh aneh yang ditimbulkan Pendekar Penyebar Asmara terlalu kuat untukmu," Setan Bongkok memberi nasihat dengan suara halus. Cendana yang sudah
merasakan sendiri
kenyataannya, melangkah mundur. Dia bergidik rnembayangkan dirinya menjadi korban seperti wanitawanita lain. Gadis ini berdiri bersandar di dinding gua.
Diperhatikannya jalannya peristiwa yang akan terjadi antara Setan Bongkok dan
Pendekar Penyebar Asmara.
Pendekar Penyebar Asmara tersenyum. Dia tidak
marah dengan kegagalannya menikmati kegadisan Cendana.
Senyumnya yang memikat bahkan tidak hanya ditujukan
pada Cendana, tapi juga pada Setan Bongkok.
"Kukira kau sudah mati di tangan Gajah Kecil, Sobat,"
ujar Pendekar Penyebar Asmara tanpa ada nada permusuhan sama sekali. "Apakah kau
berhasil mengalahkannya?"
"Tidak usah mengalihkan persoalan, Pendekar Bejat!"
bentak Setan Bongkok, keras. "Bersiaplah untuk menerima hukuman atas kekejian
yang kau lakukan!"
"Ha ha ha...!" Pendekar Penyebar Asmara tertawa.
Tidak keras. Cendana harus mengakui kalau tawa pendekar itu terasa nikmat
menyelusup ke dalam dadanya.
"Kekejian yang mana, Sobat" Kau lihat sendiri
kenyataannya., Permainan
asmara yang kami lakukan
berdasarkan saling suka. Aku tidak pernah memaksa,
meskipun kalau kumau bukan hal yang sulit!"
Setan Bongkok diam. Apa yang diucapkan Pendekar
Penyebar Asmara memang bukan
bualan belaka. Ini membuatnya bingung untuk melakukan tindakan.
"Kuakui apa yang kau katakan itu benar, Pendekar.
Tapi, perlu kau sadari dan mungkin telah kau ketahui
sendiri, perbuatanmu tidak layak dilakukan oleh seseorang pendekar. Perbuatan
yang kau lakukan ini terkutuk!" tandas Setan Bongkok, tegas.
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak menganggap


Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbuatanku terkutuk! Yang kulakukan dengan wanitawanita yang menyukaiku adalah atas dasar suka sama suka.
Bahkan, bagi wanita yang mengerti sifatku dan mau
mencintaiku, aku tak segan-segan untuk menjadikannya
istri. Perlu kau ketahui, wanita berpakaian merah yang kau temui di muka gua
adalah istriku. Aku yakin
kau menjumpainya sebelum masuk kemari. Entah apa yang kau lakukan terhadapnya."
"Tenangkan hatimu, Pendekar. Aku tidak melakukan apa pun terhadapnya. Aku
melesat masuk tanpa dia mampu mencegahku," beritahu Setan Bongkok.
"Bagus!" puji Pendekar Penyebar Asmara dengan hati lega. "Karena bila sampai kau
melukainya, aku tidak akan berdiam diri begitu saja. Sekalipun kau mempunyai
nyawa rangkap, tak akan kubiarkan kau hidup!"
Usai berkata demikian, dengan sikap tenang Pendekar
Penyebar Asmara mengayunkan kaki meninggalkan gua.
Tidak kelihatan lelaki ganteng ini berwaspada ketika melalui Setan Bongkok.
Pendekar Penyebar Asmara yakin betul Setan Bongkok tidak akan menyerangnya. Dan
memang, Setan Bongkok tidak berbuat apa pun untuk mencegah kepergian Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana yang tidak bisa tinggal diam. Gadis ini
bergerak untuk menghadang. Tapi, tindakan itu segera
dihentikan ketika didengarnya ucapan Setan Bongkok.
"Jangan cegah kepergiannya, Nona. Lupakan saja
kemarahanmu. Jangan sampai kejadian yang kau alami
berulang kembali."
Cendana sampai bergidik mengingat hal itu. Maka,
meski hatinya penasaran bukan main, dibiarkannya Pendekar Penyebar Asmara meninggalkan tempat itu dengan senyum menghias bibir.
Pedang Kiri Pedang Kanan 2 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 18

Cari Blog Ini