Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Bagian 3
Mungkin di antara semua awak kapal hanya sayalah
yang masih hidup, karena beruntung dapat berpegang pada bilah-bilah papan, sisasisa pecahan kapal yang terapung di laut. Setelah berhari-hari dipermainkan
ombak, akhirnya aku terdampar di pulau kecil ini."
"Jadi, dari semua awak kapal itu hanya Bapaklah
yang masih hidup?" Mahesa Wulung cepat memotong
ceritera orang tua itu, karena iapun tiba-tiba teringat kepada mendiang ayahnya.
"Ya, ya, hanya akulah Si Camar Seta, orang yang
tak berguna yang masih hidup...," ujar si orang tua dengan terharu. "Semua tewas
termasuk seorang
perwira laut sahabat karibku bernama Ki Soreng... ah aku agak lupa namanya."
"Ki Sorengyudo maksud Bapak?" sekali lagi Mahesa
Wulung memotong perkataan Ki Camar Seta sehingga
membuat orang tua ini terperanjat seraya mendekat ke arah Mahesa Wulung.
"Apakah Angger Mahesa Wulung mengenalnya?"
"Dialah ayahku sendiri, Bapak!"
"Ookh, jadi kaulah putera mendiang Ki
Sorengyudo!" seru Ki Camar Seta seraya memeluk
Mahesa Wulung penuh harunya. Dua butir air mata
meleleh di pipinya yang halus licin. "Rupanya Tuhan telah mempertemukan kita di
tempat yang terpencil
ini, Angger Mahesa Wulung."
Pertemuan itu bagi ketiga orang tersebut sungguh
merupakan kejadian yang tak terduga dan sangat
menggembirakan. Maka sejak saat itulah Ki Camar
Seta menganggap Mahesa Wulung sebagai puteranya
sendiri. Berkat pengobatan Ki Camar Seta dan perawatan
Niken Pandan Arum yang cermat dan penuh kasih
sayang, maka tubuh Mahesa Wulung berangsurangsur pulih kembali kesehatannya dan terbebas dari pengaruh racun obat yang
terminum ke dalam
tubuhnya. *** 5 SELAMA tinggal di pondok Ki Camar Seta, dari hari
ke hari Mahesa Wulung dengan tekunnya mengikuti
semua tuntunan-tuntunan orang tua itu dalam
mempelajari ilmu pedangnya yang hebat. Hampir
setiap hari Pandan Arum selalu mendampingi mereka
berdua, lebih-lebih dalam setiap waktu istirahat
sehabis latihan. Selain ia menyediakan air minuman, juga tak pernah lupa
menyiapkan jagung rebus yang
masih berkepul hangat.
Hari-hari itu rasanya panjang sekali bagi Mahesa
Wulung, tetapi hal itu tak pernah melemahkan
semangatnya, sebab ia telah bertekad akan
menyelesaikan semua pelajaran yang diberikan oleh Ki Camar Seta dengan sebaikbaiknya. "Angger Mahesa Wulung, ingatlah senantiasa caracara memegang tangkai pedang menurut petunjukpetunjukku. Tempat itu harus kau pegang dengan
teguh dan jangan lupa, gerak pergelangan tanganmu
harus lincah agar mata pedangmu dapat bergerak ke
segenap penjuru angin."
Begitulah, setiap kali Ki Camar Seta selalu memberi petunjuk-petunjuk dan
mengulanginya kembali
dengan sabar jika muridnya ini membuat kekeliruan.
Ki Camar Seta sendiri merasa puas dan kagum melihat ketangguhan muridnya dalam
berlatih di setiap
harinya. "Hmm, yah, aku tak heran dengan kekerasan
jiwanya. Ia benar-benar mirip dengan ayahnya, Ki
Surengyudo, mendiang sahabatku. Aku adalah bekas
prajurit armada Demak yang terpencil terdampar di
pulau sepi ini, sehingga masa-masa tuaku banyak
terbuang sia-sia dari bebrayan agung. Untunglah di tempat yang terpencil ini
akan dapat melenyapkan
kesepianku dengan melatih dan memperdalam ilmu
pedangku dengan sempurna. Namun ketika aku benarbenar telah menguasainya, rasa cemasku timbul
disebabkan umur tuaku yang terus meningkat dan
akhirnya ilmu pedangku ini akan musnah kembali.
Itulah yang dahulu amat kucemaskan! Tetapi sekarang ini, dengan perjumpaan yang
tak terduga-duga dengan Mahesa Wulung dan gadisnya, harapanku kembali
menyala dengan cemerlang. Kepada merekalah ilmu
pedangku akan kuwariskan!"
Ki Camar Seta selalu melatih Mahesa Wulung
bertempur di tempat yang berganti-ganti. Sekali
diajaknya kedua muridnya berlatih di tempat yang
terjal di daerah perbukitan, kemudian di dalam hutan yang lebat dan tak jarang
ketiganya berkejaran di
antara batu-batu di tengah sungai yang deras
alirannya. Tapi tempat yang paling banyak dipilih ialah daerah pesisir.
Di tepi pantai itulah Ki Camar Seta memberikan
tataran-tataran tertinggi dari ilmu pedangnya kepada muridnya, Mahesa Wulung.
Jika keduanya sedang
berlatih, Pandan Arum selalu menunggunya dan
mengawaskan dari kejauhan saja. Dia sudah cukup
puas dengan mempelajari bagian-bagian yang dianggap penting dari ilmu pedang Ki
Camar Seta. Itu tak
mengherankan jika ia hanya mempelajari sebagian
saja, karena dia sendiri sudah mempunyai ilmu Sabet Alun ajaran bibinya, Nyi
Sumekar. Ciri ilmu itu selalu mempergunakan selendang sebagai senjata!
Sering kali ia merasa kagum jika menyaksikan
kedua orang itu berlatih pedang. Keduanya tampak
seperti dua ekor burung camar yang berkejaran di tepi
pantai amat lincahnya. Begitu kerasnya berlatih hingga kadang-kadang Mahesa
Wulung dan Ki Camar Seta tak
terasa sampai jauh masuk ke dalam air. Pedang di
tangan mereka seperti baling-baling yang berpusaran dan sekali-sekali berbentur
dengan dahsyatnya sampai menimbulkan bunga-bunga api yang berloncatan. Dan
jika ombak besar datang dari tengah laut bergulunggulung, kedua orang itu
berlompatan ke atas hingga ombak yang menghempas ke pantai itu dua jengkal
lewat di bawah kaki-kaki mereka.
"Nah, Angger Mahesa Wulung. Semua telah kau
pelajari dengan baik. Sekarang cobalah gerakan
gerakanmu yang dapat kau kerjakan seorang diri. Kau boleh menambahnya dengan
unsur-unsur gerak yang
telah kau kuasai sebelumnya. Dengan menggabunggabungkan beberapa unsur tadi pastilah gerakanmu
akan lebih hebat. Maka, sekarang mulailah! Aku akan mengawasimu!"
Ki Camar Seta cepat meloncat ke tepi, tak jauh dari Pandan Arum berdiri.
Mahesa Wulung segera memulai gerakannya. Ia
menekuk tangan kirinya menjelang di depan dada
sedang tangan kanannya yang memegang pedang
lurus ke depan. Pedang itu tergenggam tegak lurus
dengan mata pedang menghadap ke arah muka.
Setelah ia mengangguk hormat kepada Ki Camar Seta, Mahesa Wulung mulai
memusatkan pikirannya. Tiba-tiba saja terlintas di hadapannya wajah almarhum
ayahnya yang tergores pada wajah gurunya itu. Maka seperti dicengkam oleh
perasaan gaib, tiba-tiba ia merasa seolah-olah berhadapan dengan almarhum
ayahnya sendiri, yang sedang mengujinya.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar,
Mahesa Wulung mulai menggerakkan pedangnya.
Dimulailah dari gerakan-gerakan dasar yang paling
sederhana. Satu demi satu, setahap demi setahap.
Kemudian meningkat kepada unsur-unsur gerak yang
paling sukar dan begitulah akhirnya Mahesa Wulung
bergerak semakin lama semakin hebat dan
mengerikan. Dalam keadaan begitu Mahesa Wulung hampir
melupakan keadaan sekelilingnya. Lupa bahwa ia
bergerak seorang diri. Yang terbayang di hadapannya adalah wajah ayahnya yang
tersenyum-senyum bangga
memandang ke arah dirinya. Oleh sebab itu Mahesa
Wulung berusaha mengungkapkan segala ilmu yang
telah dimilikinya. Tambahan lagi ia menyalurkan aji pukulan 'Lebur Waja'nya
dalam setiap sabetan
pedangnya, sehingga gerakan pedangnya hanya
tampak sebagai kilatan-kilatan sinar yang menyambar-nyambar laksana halilintar.
Tubuh Mahesa Wulung sendiri tampak seperti
menari dengan lincahnya, melesat ke sana, meloncat ke mari, kemudian
berjumpalitan di udara dan
mendarat kembali disertai sabetan-sabetan pedangnya yang mengerikan.
Tetapi Mahesa Wulung yang sekarang, bukanlah
Mahesa Wulung pada saat mulai belajar dari tataran pertama. Sekarang selain
segala unsur gerak ilmu
pedang dari Ki Camar Seta telah dikuasainya, secara tak sengaja ia telah
melengkapinya pula dari segala macam pengalamannya sejak pertama kali ia
berhadapan dengan gerombolan hitam Alas Roban di
pesisir utara Jawa, kemudian melawan bajak-bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, ditambah
gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya dari
Pendekar Prahara di Tanjungpinang dan juga
pengalamannya yang terakhir melawan orang-orang
Iblis Merah. Dan dengan begitu tanpa setahu dirinya, ia telah berhasil
mengungkapkan ilmu pedang yang
maha dahsyat. Ki Camar Seta dan Pandan Arum yang mengawasi
permainan pedang Mahesa Wulung hampir-hampir tak
percaya melihat kehebatan gerak pedang itu. Gerakan tubuh Mahesa Wulung yang
lincah dan kadang-kadang
berlompatan di atas deburan ombak yang memecah ke
pantai, rupa-rupanya saja menarik perhatian makhluk yang lain. Sebab tak lama
kemudian terlihatlah
bayangan hitam di atas pasir pantai yang berputarputar dengan cepatnya. Ki Camar Seta dan Pandan
Arum melihat ke atas berbareng!
"Burung elang laut!" desis Ki Camar Seta.
"Rupanya ia tertarik kepada gerakan Kakang
Mahesa Wulung, Bapak!" Pandan Arum pun berseru
dengan kecemasan.
"Ya, benar katamu itu, Angger. Lihatlah elang itu
mulai melayang dan melingkar-lingkar turun. Pasti ia siap menyerang Angger
Mahesa Wulung!"
Namun di saat kedua orang itu merasa cemas,
Mahesa Wulung tetap bermain dengan ilmu pedangnya
yang dahsyat. Ketika ia menyabetkan pedangnya ke
atas, terkejutlah Mahesa Wulung seketika, sebab dari udara sebuah bayangan hitam
menukik dan menyambar ke arah kepalanya.
Wesss... Sambaran cakar-cakar elang itu memang
hebat, tetapi Mahesa Wulung keburu merendahkan
kepalanya, sehingga sambaran tadi meleset sama
sekali. Bersamaan waktunya, selesai menghindar
Mahesa Wulung menyabetkan pedangnya ke arah
tubuh elang itu. Tetapi burung itupun seperti
digerakkan oleh naluriahnya, cepat meliuk ke atas dan kini tebasan pedang Mahesa
Wulung ganti membabat
udara kosong. Burung elang itu terus membubung ke atas dan
kembali melingkar-lingkar di udara. Mata Mahesa
Wulung terus mengawasi gerak burung elang di udara.
Lama-kelamaan kepala Mahesa Wulung merasa agak
pening setelah mengikuti gerakan elang yang
melingkar-lingkar dengan cepatnya. Di saat itulah
burung elang itu kembali menyambar ke arahnya.
Sekali lagi Mahesa Wulung berusaha menghindar
dari sambarannya, namun tak urung cakar-cakar
tajam elang itu berhasil menyambar bajunya sampai
robek. Berbareng elang itu membubung ke udara,
Mahesa Wulung membabatkan pedangnya ke arah
burung elang itu, tetapi meleset! Kecuali dua lembar bulu ekornya saja yang
terbabat putus!
Mahesa Wulung merasakan sesuatu yang mengalir
di bahunya dan pedih, maka ia merabanya dengan jari kirinya. Darah! Rupanya
cakar elang itu telah merobek bahunya. Melihat ini Pandan Arum terpekik
kecemasan. "Tenanglah engkau, Angger!" seru Ki Camar Seta.
"Janganlah kita menambah kegugupan kepada Angger
Mahesa Wulung. Itu akan tambah membahayakan
dirinya!" Burung elang laut itu semakin ganas setelah
melibat darah mengalir dari luka-luka pada bahu
Mahesa Wulung, maka ia cepat melingkar-lingkar
dengan derasnya untuk bersiap-siap menyambar
kembali. Sekali ini Mahesa Wulung telah kenyang akan pengalaman dan siasat
penyerangan si burung elang
laut. Ia tidak lagi berusaha mengikuti gerakan
melingkar dari elang itu dengan matanya, sebab akan membuat rasa pusing di
kepala. Mahesa Wulung
hanya memusatkan perhatiannya pada ujung mata
pedangnya, sementara itu tangan kirinya melolos
sarung pedang yang masih tersisip pada ikat
pinggangnya sebelah kiri.
"Heh, aku harus memakai siasat untuk
mengalahkannya!"
Burung elang itu menyambar kembali dengan
dahsyatnya. Cakar-cakarnya yang berkuku tajam
mengembang penuh, siap merobek-robek dan
mencengkeram daging korbannya. Sekonyong-konyong
tangan kiri Mahesa Wulung melemparkan sarung
pedangnya ke arah tubuh elang laut. Untuk kali ini, elang itu kembali
menghindari benda yang menyambar ke arah tubuhnya, namun di saat itu pula Mahesa
Wulung melesat ke atas dan membacokkan pedangnya!
Sraat. Tebasan pedang Mahesa Wulung menyambar
tubuh burung elang ini, dan bersamaan satu jeritan keras dari mulutnya, elang
laut yang ganas itu runtuh ke tanah dengan tubuhnya terbelah dua! Begitulah
kedahsyatan ilmu pedang Sigar Maruta.
Pandan Arum segera berlari ke arah Mahesa
Wulung dan memeluknya dengan erat. "Oh, kau
terluka, Kakang! Aku sungguh ngeri melihat
pertempuran tadi...."
"Tapi sekarang sudah berlalu, bukan" Dan kiranya
hanya tanganmu yang haluslah yang dapat
menyembuhkan luka-luka itu," Mahesa Wulung
berkata sambil tersenyum manja, membuat Pandan
Arum tersipu-sipu.
Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saking gemasnya jari-jari gadis ini segera beraksi dengan cubitan-cubitannya
pada lengan Mahesa
Wulung. "Aduh, aduh... piye iki. Diminta mengobati kok
malah mencubit," Mahesa Wulung semakin berkelakar, sedang Ki Camar Seta yang
telah berada di
sampingnya ikut tersenyum-senyum geli.
Luka-luka Mahesa Wulung segera diperiksa oleh
orang tua itu. "Mmm, luka-lukamu tidak terlalu dalam, Angger. Tapi harus cepatcepat diobati."
Mereka bertiga pulang ke pondoknya. Meski latihan
hari itu berakhir dengan peristiwa yang aneh, namun bagi Mahesa Wulung sendiri
merasa beruntung sebab
elang laut yang ganas tadi seolah-olah telah mencoba ilmu pedangnya yang
dahsyat. Dan ternyata meski
ilmu pedangnya telah hebat, namun satu hal yang tak boleh dilupakan ialah siasat
dalam bertempur.
*** Matahari semakin jauh bergeser ke arah barat,
sementara mega putih yang bersaput warna jingga
kecoklatan berarak-arak mengalir ke arah selatan. Dan pada saat-saat warna biru
kegelapan mulai merayapi langit di sebelah timur, matahari dengan malasnya
tenggelam di cakrawala. Kini malam telah merajai dan alampun seperti tidur
tampaknya, semuanya serba
tenang dan damai.
Pada hari berikutnya setelah luka-luka Mahesa
Wulung diobati dan mulai kering, kembalilah Ki Camar Seta melatihnya dalam ilmu
pedangnya. Ketika mereka makin tenggelam dalam menekuni gerak-gerak pedang
di tangannya yang berpusaran seperti prahara dan
sesekali mematuk-matuk laksana seekor naga yang
marah, secara tiba-tiba saja ketekunan mereka
dibuyarkan oleh satu jeritan panjang.
Ya, satu jeritan panjang bernada kengerian dari
mulut Pandan Arum membuat Mahesa Wulung dan Ki
Camar Seta berlarian ke arah tempatnya. Tampaklah
Pandan Arum menjerit sambil menunjuk-nunjuk ke
arah semak ilalang dan betapa kagetnya ketika Mahesa
Wulung serta Ki Camar Seta melihat ke arah tempat
itu. Dari sela-sela daun ilalang, muncul sebuah tangan yang menggapai-gapai ke
atas, dengan belepotan darah merah yang telah kering pada jari-jarinya.
Melihat ini, mereka bertiga serentak berlari ke arah yang sama untuk memeriksa
dan memberikan pertolongan seperlunya. Di tempat itu tergeletak
seorang laki-laki yang rupa-rupanya telah merayap
dari tempat yang jauh dan mulai kehabisan tenaga,
sehingga ia hanya kuasa menggapai-gapaikan
tangannya saja.
"Sibahar," seru Mahesa Wulung kaget setelah ia
dapat mengenali wajah orang ini. "Dia adalah seorang anak buahku, Bapak!"
"Kasihan dia. Biarlah aku mencoba mengobatinya,"
ujar Ki Camar Seta sambil menegakkan kepala Sibahar dan kemudian diletakkan ke
atas pangkuannya.
Sibahar mencoba tersenyum, sementara tangan
kirinya ditekankan pada dadanya yang terluka.
"Tak ada gunanya, Tuan," desah Sibahar kemudian.
"Waktuku tidak banyak lagi. Kini aku merasa
berbahagia dapat bertemu dengan Tuan Barong
Makara dan nona pendekar Pandan Arum." Sibahar
menarik nafas dalam-dalam. "Aku akan berceritera...."
Mahesa Wulung atau Barong Makara itu segera
merapatkan dirinya. Katanya, "Aku ingin sekali
mendengarnya, Sibahar. Tetapi sekarang lebih baik
engkau beristirahat. Telah terlalu banyak darahmu
yang keluar. Sudahlah, Sibahar, tenangkanlah dirimu."
"Tidak apa-apa. Biarlah aku mulai berceritera
kepada Tuan. Setelah itu aku akan mati dengan
tenang. Nah, dengarlah.... Setelah Tuan pergi
meninggalkan kami untuk menyamar dan mencari
keterangan tentang persembunyian orang-orang Iblis
Merah, beberapa pekan kemudian, nona pendekar
Pandan Arum pun telah pergi untuk menyusul Tuan."
Sibahar berhenti sejenak, sambil mengatur nafasnya yang mengalir semakin cepat.
"Tetapi, kalian berdua terlalu lama pergi sehingga kami benar-benar merasa
cemas. Akhirnya Kakang Jogoyudo telah menyuruhku
untuk mencari Tuan berdua. Kami semua berenam
dengan awak-awak kapal pergi ke tempat-tempat di
segenap pulau ini. Tetapi malanglah kami, sebab di sebuah jalan kecil yang
menuju ke Lembah Maut, kami telah disergap oleh orang-orang Iblis Merah! Dan
meskipun kami sekuat tenaga melawan mereka,
akhirnya orang-orang Iblis Merah itulah yang menang.
Jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka
bertempur seperti setan! Kelima awak kapal tadi telah dicincang mati, sedang aku
hanya dibiarkan dengan
terluka begini, agar aku masih ada waktu untuk
mencari Tuan dan menyampaikan tantangannya."
Sibahar berkata sambil menekan luka di dadanya.
Mahesa Wulung merasa ngeri melihat luka-luka
pada dada Sibahar. Juga sebuah mata uang logam
tertancap hampir seluruhnya di dalam luka-luka itu.
"Tantangan?" desis Mahesa Wulung dengan
geramnya. "Yah, mereka telah menantang Tuan untuk
membuat perhitungan dengan Lanun Sertung,
pemimpin gerombolan Iblis Merah itu. Mereka menanti kita di Lembah Maut, tepat
di siang hari jika mata hari berada di atas kepala kita." Sibahar menjadi
semakin pucat sedang kata-kata yang terakhir hampir-hampir diucapkan setengah
berbisik. Sibahar kembali mencoba tersenyum dan berbareng
jantungnya semakin lemah berdetak, mulut Sibahar
menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar. Setelah itu
tubuh Sibahar terkulai lemah. Ia telah pergi, sedang wajahnya masih membayang
senyum kepuasan
seolah-olah menyatakan kerelaannya untuk
meninggalkan dunia yang ramai ini.
Mereka bertiga menundukkan kepala masingmasing dengan penuh rasa haru.
Pengorbanan Sibahar tidaklah sia-sia. ia telah
menunjukkan keperwiraannya. Sebagai wakil dari
seluruh teman-temannya para prajurit di pulau
Bintan, ia telah menunaikan kewajibannya dengan
baik. Meskipun jasadnya terbaring di pulau yang
terpencil ini, namun namanya akan selalu terpancang pada deretan nama-nama
laskar armada Demak
dengan bau harum semerbak.
Dan semenjak saat itu, Mahesa Wulung berjanji di
dalam hatinya, bahwa ia akan benar-benar memenuhi
tantangan orang-orang Iblis Merah. Ia akan melawan Lanun Sertung dan
membinasakannya. Dosanya
sudah terlalu luber untuk diampuni.
*** Ketika matahari makin bertambah tinggi, udara
seperti dibakar rasanya. Panas dan engas. Tetapi, di jalan kecil menuju ke pintu
gerbang batu dari Lembah Maut, tampaklah tiga orang mengendap-endap
mendekati tempat itu. Sebentar saja ketiganya sudah sampai di pintu gerbang
batu, dan merekapun
berhenti sejenak.
Seorang tua bercaping yang tidak lain adalah Ki
Camar Seta tampak memberikan petunjuk-petunjuk.
"Nah, sekarang Angger Mahesa Wulung, masuklah
engkau ke dalam lembah ini seorang diri terlebih
dahulu. Jika engkau telah bertempur beberapa jurus, barulah kami berdua akan
bergabung dengan Angger.
Bapak akan masuk dari sebelah barat, dan Angger
Pandan Arum dari arah timur. Sudah jelas, bukan"
Sekarang, mari kita berpencar!" ujar orang tua itu setengah berbisik, kemudian
iapun berbalik dan mulai merayap ke arah barat.
Demikian pula Pandan Arum mengendap-endap ke
sebelah timur. Sedang Mahesa Wulung sendiri segera turun ke dalam Lembah Maut.
Ia sangat hati-hati dan sebentar-sebentar tangannya mengelus tangkai
pedangnya. Geraknya lincah. Sambil mengendap,
sebentar-sebentar ia berhenti di balik batu-batu besar yang bertonjolan di sanasini. Makin lama ia makin mendekat ke tengah-tengah lembah, di mana ia pernah
ditawan beberapa waktu berselang di tempat itu.
Sekali lagi ia berhenti di balik batu besar.
Pancingannya terus menyelidik. Meja batu besar yang terhampar di bawah batang
pohon kering yang
menjulang tinggi ke atas, tampak dengan jelasnya.
Juga pondok-pondok beratap ilalang pun kelihatan.
Tetapi suasana di sini tampak sepi. Lengang. Tak ada gerak dari makhluk hidup
yang lewat, seolah-olah
tempat ini telah lama ditinggalkan penghuninya,
orang-orang Iblis Merah.
Mahesa Wulung mulai curiga. Sebentar ia mulai
memandang ke bawah melihat bayang tubuhnya.
"Hmm, masih condong sedikit ke barat. Sebentar lagi tepat matahari berada di
atas kepala dan mereka
harus muncul menetapi tantangannya."
Dilangkahkannya kakinya pelan-pelan mendekati
meja batu. Tepat pada langkah yang ke lima ia
berhenti kembali. Mahesa Wulung melihat ke bawah.
Tepat waktunya! Bayangan tubuhnya tepat tegak lurus di bawah kaki dan matahari
bersinar dengan terik
seolah-olah mau membakar Lembah Maut itu.
"Heei, orang-orang Iblis Merah! Aku telah siap
memenuhi tantanganmu! Keluarlah!" teriak Mahesa
Wulung yang berkumandang kejar-mengejar memantul
ke segenap sudut Lembah Maut.
Bersamaan lenyapnya gema teriakan Mahesa
Wulung, dari sebelah utara berdesingan benda-benda bersinar yang menyambar ke
arah tubuhnya. "Senjata-senjata rahasia!" desis Mahesa Wulung
sambil melolos pedangnya dengan gerak yang cepat,
sekaligus diputarnya memagari tubuhnya.
Trang! Crak! Crak! Puluhan benda bersinar yang
ternyata mata uang logam itu berpentalan terbelah dua ketika beradu dan
tersampok oleh putaran pedang
Mahesa Wulung. Begitu serangan itu berakhir,
mendadak dari arah barat berkelebat sebuah tangan
dari balik batu yang besar dan sekali lagi puluhan benda bersinar berpusaran
menyambar ke arah
Mahesa Wulung. Tetapi Mahesa Wulung bukan anak-anak lagi yang
takut oleh benda-benda berkilatan itu, maka dengan tenangnya ia bersiaga. Ketika
serangan mata uang
logam itu hampir menyentuhnya, dengan tiba-tiba
Mahesa Wulung menggenjotkan kedua kakinya ke
tanah dan tubuhnya melesat ke udara berjumpalitan
dengan manisnya. Puluhan mata uang logam itu
melayang di bawah tubuhnya dengan deras kemudian
bertancapan ke dalam tanah. Sesaat kemudian
Mahesa Wulung mendarat kembali dengan berdiri di
atas kedua kakinya yang kokoh seperti bukit karang, tak tergoyahkan oleh badai
yang betapapun hebatnya.
"Ha, ha, ha, ha. Kau memang hebat, kawan. Tetapi
jangan keburu bertepuk dada, sebab sebentar lagi
riwayatmu akan tamat di Lembah Maut ini!" terdengar suara itu bergaung memantul
ke tebing-tebing lembah
tanpa diketahui siapa orangnya yang telah berteriak itu. Mahesa Wulung
menggertakkan giginya dengan
marah, sebab ia merasa seperti dijadikan sasaran
permainan maut oleh orang-orang Iblis Merah.
"Ayo, keluarlah kamu, orang-orang Iblis Merah!
Hadapilah aku sebagai orang-orang yang jantan!"
Mahesa Wulung berteriak nyaring.
Sekali lagi terdengar derai ketawa dari arah utara dan puluhan mata uang logam
menyambar hebat ke
arahnya. Untunglah Mahesa Wulung cukup waspada
dan serangan ketiga ini pun gagal karena putaran
pedang Mahesa Wulung begitu rapat mengurung
tubuhnya sehingga tak sebutir uang logam pun yang berhasil menerobosnya.
Sesaat kemudian, setelah serangan itu reda,
Mahesa Wulung cepat menyarungkan pedangnya
kembali. Matanya mengawasi segenap sudut-sudut
Lembah Maut yang membentang luas di sekitarnya. Ia yakin, bahwa di balik batubatu besar yang bertonjolan itu pastilah bersembunyi orang-orang Iblis Merah.
Namun sampai pada saat itu tak seorang pun yang
muncul dan secara terang-terangan bertempur
berhadapan muka.
"Hemm," desisnya. "Baiklah, jika mereka masih
main sembunyi, aku akan memaksa mereka untuk
keluar dari tempatnya."
Mahesa Wulung melolos serulingnya dari ikat
pinggangnya yang selama ini hampir dilupakan,
kemudian ditiupnya dengan tenang.
Sebuah irama, mulai mengalun mendayu-dayu
memilukan. Makin lama kian memilukan,
menggetarkan udara Lembah Maut, mempengaruhi
setiap jiwa insan yang mendengarnya dengan dahsyat.
Irama itu merayapi udara dan bagaikan kekuatan
sihir, melumpuhkan perasaan manusia yang hebat
sekalipun. Tak antara lama dari balik batu-batu besar yang
bertonjolan itu, bermunculanlah orang-orang Iblis
Merah dengan terhuyung-huyung meringis, sementara
kedua tangannya berserabutan menutupi kedua
telinganya untuk menahan alunan irama seruling
Mahesa Wulung yang menusuk-nusuk memilukan.
Hanya Lanun Sertung dan Marangsang yang terbilang
tokoh jagoan agak tahan melawan alunan seruling itu meskipun keduanya harus
mengerahkan segenap
pemusatan tenaga dalamnya.
Kedua orang itu bersemedi untuk mengatur jalan
nafas dan aliran darahnya agar tetap lancar, sedang untuk itu, gigi mereka
bergemeletuk dan tubuhnya
bergetar menggigil sementara peluh dingin keluar dari lobang-lobang kulitnya!
Tetapi di balik sebuah batu besar, tampaklah
seorang yang tetap berdiri tegak laksana tugu karang yang perkasa. Rambutnya
gondrong tak teratur awut-awutan. Ia mengenakan jubah panjang berwarna
merah darah dan pada bahunya tergantung sebuah
kulit siput berlekuk-lekuk bulat berwarna dengan
Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih kecoklatan.
Orang ini yang berdiri tidak jauh dari Lanun
Sertung dan Marangsang, dengan tajam dan
menggeram ia melihat ke sekeliling kepada orangorang Iblis Merah lainnya yang kalang kabut terkena irama seruling Mahesa
Wulung. "Hah, keparat! Tukang suling itu memang hebat
luar biasa! Tidak heran kalau sahabat-sahabatku ini dibuatnya tak berdaya,"
gumam si rambut gondrong
seraya memegang kulit siputnya. "Memang mereka
bukanlah tandingannya, tetapi akulah yang akan
menghadapinya!"
Berkata begitu, si rambut gondrong secepatnya
meniup kulit siput yang merupakan sebuah terompet
dan melengkinglah suatu bunyi himbauan yang
berlenggok meliuk-liuk.
Kedua bunyi ini bertemu dan menggelegar di
lembah itu, dan sesaat kemudian kedua bunyi tersebut saling melilit berkejarkejaran seperti dua ekor ular yang bertarung. Namun beberapa waktu kemudian si
rambut gondrong ini mengerutkan alisnya dan dari
dahinya bertetesan peluh dingin. Dalam hati ia
mengumpat sejadi-jadinya.
"Iblis laknat! Dari mana orang muda itu mendapat
ilmu seruling yang sedahsyat dan sempurna seperti
itu. Bunyi terompet siputku makin tergeser dan
terdesak. Jika terus-terusan begini pastilah aku akan kalah dan betapa aku akan
kehilangan muka di
hadapan tokoh-tokoh hitam di nusantara ini. Baiknya aku serang saja dia. Dengan
begitu ia akan terpaksa melawanku dan terhentilah irama serulingnya!! Aku
merasa kasihan melihat sahabat-sahabatku ini terlalu lama menderita."
Si rambut gondrong segera menghentikan tiupan
terompet siputnya dan sambil menjangkau tongkat
kayunya, ia melesat turun dari tebing lembah
melayang turun ke arah Mahesa Wulung berdiri.
Jubahnya berkelebatan ketiup angin seperti sayap
seekor kelelawar raksasa siap menyambar mangsanya.
Mahesa Wulung terperanjat! Cepat-cepat ia
menghentikan tiupan serulingnya dan menyelipkan
kembali ke ikat pinggangnya. Semula ia merasa syukur bisa mengalahkan bunyi
lengkingan terompet siput itu, tetapi kini ia dikagetkan oleh serangan musuhnya
yang tiba-tiba meluncur ke arah dirinya dibarengi deraian ketawa yang menggeledek.
"Hah, ha, ha, ha, kau harus mampus di tanganku,
orang muda! Tak seorang pun pernah lolos dari tangan Rikma Rembyak! Ha, ha, ha,
ha!" Wusss! Tongkat si rambut gondrong menyabet kepala
Mahesa Wulung, tapi mendadak satu kilatan sinar
putih menyambutnya.
Tak! Ujung tongkat terbabat putus oleh pusaran pedang
di tangan Mahesa Wulung, membuat Rikma Rembyak
meloncat mundur dan memaki-maki.
"Edan. Orang muda ini luar biasa!"
Kembali ia bersiaga dan menyerang lagi dengan
teriakan tinggi ke arah Mahesa Wulung. Keduanya
segera terlibat dalam pertempuran sengit. Tandang si Rikma Rembyak benar-benar
mengerikan tak ubah
gerak seekor kelelawar setan yang meliuk-menyambar nyamuk-nyamuk untuk
dilalapnya. Tetapi Mahesa Wulung bukanlah nyamuk-nyamuk
yang bisa dianggap enteng begitu saja. Sebagai seorang perwira laut armada Demak
ia tak gampang berputus
asa menghadapi lawan yang bagaimanapun hebatnya.
Bahkan ia makin bersemangat dan bila keringat telah membasahi dadanya, geraknya
menjadi semakin
garang, seperti banteng ketaton yang menghancurkan setiap perintang yang malangmelintang di hadapannya. Debu berkepul beterbangan di tempat kedua orang
yang bertempur semakin hebat. Sementara itu orangorang Iblis Merah telah terbebas oleh pengaruh tiupan seruling Mahesa Wulung dan
mereka pada mengusap
keringat yang banyak bertetesan dari lubang-lubang
kulit. Mereka diam-diam merasa kagum melihat
musuhnya berani bertempur melawan Pendekar Rikma
Rembyak yang dianggap sebagai gurunya itu.
Terutama Lanun Sertung dan Marangsang, yang
menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, sehingga
mereka cepat berlompatan turun mendekati titik
pertempuran itu.
Suatu ketika Rikma Rembyak memutar tongkat
kayunya dan menggempur ke arah Mahesa Wulung
yang telah siap menyambutnya. Dua benturan senjata terdengar dan keduanya
terpental surut ke belakang beberapa langkah.
Betapa kagetnya Rikma Rembyak. Belum lagi ia
bersiaga, tiba-tiba Mahesa Wulung menerjang maju
dengan sabetan pedang yang deras sambil berseru
nyaring. "Jangan kau mimpi dapat merobohkan Mahesa
Wulung! Tak ada jalan kabur untukmu, Rikma
Rembyak!" Pada detik itu juga, di saat pedang Mahesa Wulung
mengancam jiwanya, pendekar Rikma Rembyak yang
namanya telah menghantui sepanjang laut Jawa itu
melesat ke atas, sekaligus memukulkan tongkatnya ke samping ke arah punggung
Mahesa Wulung. Diserang secara demikian, secara cepat dan tibatiba Mahesa Wulung merebahkan badannya lalu
bergulir menjauh dari tempat itu. Karuan saja pukulan maut tongkat Rikma Rembyak
meleset tak mengenai
sasarannya, sebaliknya membentur sebuah batang
pohon tua sampai berderak roboh ke tanah.
Sekali lagi Rikma Rembyak, pendekar yang
rambutnya gondrong serawutan itu, memburu ke arah
Mahesa Wulung dengan tongkatnya yang diputar
seperti baling-baling.
"Ha, ha, ha, telah kukatakan bahwa tak seorang
pun yang bisa lolos hidup-hidup dari tangan Rikma
Rembyak. Nah, ajalmu segera tiba, Mahesa Wulung!"
Sebelum putaran tongkat itu menyentuh tubuhnya,
Mahesa Wulung cepat berdiri kembali menyongsong
tongkat Rikma Rembyak!
Traak! Untuk kedua kalinya ujung tongkat si rambut
gondrong terbabat putus oleh pedang lawan hampir
dua jengkal panjangnya.
Melihat kenyataan ini, Rikma Rembyak melompat
mundur ke arah batu-batu besar sambil berteriak,
"Lanun Sertung! Marangsang! Keroyoklah wong nekad
ini. Aku akan beristirahat sebentar!"
Rikma Rembyak berseru sambil napasnya
berlompatan tak teratur. Selama ini baru sekarang ia menghadapi lawan yang
semuda itu, tetapi
keperwiraan dan ilmunya hampir melebihi dirinya.
Lanun Sertung dan Marangsang yang telah
menunggu saat-saat itu, tak ragu-ragu lagi
berlompatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Begitu pula orang-orang Iblis Merah lainnya segera bergerak mengurung.
Sebelum mereka menyerang, mendadak dari arah
barat dan timur melesat dua bayangan ke arah
mereka. Kedua bayangan itu tak lain adalah Ki Camar Seta dan Pandan Arum yang
muncul dari balik batu-batu besar. Kini keduanya berdiri di dekat Mahesa
Wulung. "Kurang ajar! Ternyata kalian betul-betul sudah
bosan hidup kiranya. Baiklah, kamu bertiga akan
mampus berbareng di Lembah Maut ini!" teriak Lanun Sertung sambil melolos dan
mengelus-elus pedangnya.
"Majulah kalian berbareng! Senjata-senjata kami
sudah siap merenggut nyawamu!" balas Mahesa
Wulung dengan tenang membikin orang-orang Iblis
Merah bertambah jengkel dan serentak mereka
menyerbu dengan teriakan-teriakan yang mengerikan.
Pendekar Rikma Rembyak pun tak ketinggalan. Ia
turut terjun ke arena pertempuran. Dan Lembah Maut itu, kini digetarkan oleh
derapan dan langkah-langkah kaki mereka yang bertempur dengan sengitnya.
Dengan tangkasnya Mahesa Wulung menyambut
serangan Lanun Sertung dan Marangsang yang
datangnya berbareng.
Sekejap saja ketiganya terlibat dalam lingkaran
pertempuran yang seru. Kalau kedua tokoh bajak laut itu bertempur laksana dua
ekor serigala yang lapar dan ganas, sedang Mahesa Wulung bergerak sangat
lincah tapi ujung pedangnya bersambaran seperti
ujung paruh burung garuda yang tajam.
Di bagian lain, Ki Camar Seta yang bercaping itu
sibuk melawan pendekar Rikma Rembyak. Ditambah
empat orang Iblis Merah yang juga mengeroyoknya,
membuat tubuh Ki Camar Seta seperti dikurung oleh
kilatan-kilatan pedang lawan, dan senjata tongkat
Rikma Rembyak yang benar-benar membahayakan!
Maka ia cepat melepas capingnya dan mengagumkan!
Caping itu ternyata juga sebagai sebuah perisai yang mampu menangkis setiap
ujung dan setiap benturan
senjata lawan. Rikma Rembyak dan keempat orang Iblis Merah itu
kaget, sebab setiap kali senjata-senjata mereka
membentur perisai Ki Camar Seta, menjadi terpental seperti ditolakkan oleh
tenaga raksasa! Seandainya mereka tahu, tak perlu mereka heran sebab caping
perisai Ki Camar Seta yang tampaknya sepele, hitam lusuh berdebu itu, dibuatnya
dari kulit ikan hiu yang
dikeringkan dan direndam dalam ramuan-ramuan
daun yang membuatnya sekeras baja, tetapi mudah
melentur seperti karet, dan kesemuanya itu
memerlukan waktu dua ratus hari.
Sementara itu Pandan Arum dengan senjata
cambuk Naga Geni menghadapi Lodan dan enam orang
Iblis Merah lainnya. Kalau mula-mula Lodan dan
teman-temannya mengira mudah berhadapan dengan
seorang gadis dalam pertempuran di Lembah Maut itu, setelah berlangsung beberapa
gebrakan ternyata
dugaan mereka keliru sama sekali. Memang jumlah
mereka lebih banyak dan senjata-senjata di tangan
mereka mengurung rapat Pandan Arum, tetapi tak
sebuah pun mampu menembus putaran cambuk Naga
Geni. Malahan dua orang Iblis Merah tak lama
kemudian terpental beberapa jangkah dengan dada
terbakar hangus ketika ujung cambuk itu
mematuknya. Melihat ini, tandang Lodan dan ke empat teman-temannya semakin
nekad. Dari lingkaran pertempuran yang lain terdengar
pula jeritan parah, dan Ki Camar Seta berhasil
merobohkan tiga orang di antara para pengepungnya.
Diam-diam pendekar Rikma Rembyak menggerundal di
dalam hati. Tadi ia telah merasakan kehebatan ilmu pedang Mahesa Wulung dan kini
ia kembali menghadapi Ki Camar Seta yang mempunyai ilmu
pedang yang sama.
Di utara tampaklah Mahesa Wulung bertempur
dengan gigihnya. Kilatan-kilatan pedangnya benarbenar membingungkan kedua tokoh bajak laut itu,
sementara sarung pedang di tangan kirinya pun
bergerak cukup lincah.
Di saat matahari makin jauh bergeser ke arah
barat, pertempuran di Lembah Maut itu bertambah
seru. Bunyi benturan senjata yang beradu dan
teriakan-teriakan perang yang bergema, membuat
lembah itu seperti neraka. Secara tiba-tiba
Marangsang mengambil senjata rahasia dari ikat
pinggangnya, dan sebentar kemudian puluhan jarum
beracun beterbangan melesat ke arah Mahesa Wulung.
Untunglah di saat ini Mahesa Wulung telah
memiliki ilmu pedang 'Sigar Maruta' yang hebat,
sehingga jarum-jarum beracun itu berpentalan
tersampok oleh kilatan pedangnya yang berputaran.
"Aaahh!" Marangsang menjerit ngeri sebab sebuah
di antara jarum yang berpentalan itu menyasar
mengenai lengannya.
Belum lagi Marangsang menyadari peristiwa yang
baru saja dialaminya, mendadak sebuah sinar kilatan pedang Mahesa Wulung
menyambar kepalanya.
Sraatt! Taak! Sebuah goresan merah merupakan garis, menghias
kepala Marangsang. Sedang kain ikat kepalanya
terpotong lepas, Ia terbeliak seakan-akan tak percaya kepada dirinya. Sesaat ia
terhuyung-huyung. Pedang di tangannya terlepas dan mendadak goresan garis
merah di kepalanya itu menyemprotkan darah dan
rebahlah Marangsang ke tanah dengan luka menganga
mengerikan pada kepalanya.
Melihat tangan kanannya mati itu, Lanun Sertung
benar-benar heran. Selama ini Marangsang dianggap
sebagai wakil dirinya, dan telah bertahun-tahun selalu unggul di medan tempur
yang bagaimanapun
dahsyatnya. Oleh sebab itu, Lanun Sertung menjadi
bertambah marah dan benci menatap wajah Mahesa
Wulung. Demikian juga sebaliknya, Mahesa Wulung
merasa muak memandang wajah Lanun Sertung yang
membayangkan banyak dosa itu. Mereka
berpandangan tajam, seakan-akan ingin saling
melahap tubuh lawannya.
Belum lagi keduanya saling bertempur, secara tibatiba dua orang Iblis Merah menyerang berbareng ke
arah Mahesa Wulung. Namun mereka memang bukan
tandingan pendekar Demak ini, yang gerakannya
laksana bayangan. Sekali pedangnya berkelebat, kedua orang tadi menjerit rebah
ke bumi tanpa berkutik lagi!
"Nah, sekarang kita berdua saja, Lanun Sertung.
Dengan begitu, kita tak terganggu lagi untuk membuat perhitungan."
"Kurang ajar. Kau pendekar bermulut besar! Tak
mungkin kau lolos dari sini hidup-hidup. Bersedialah untuk kematianmu!" seru
Lanun Sertung dengan
Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geram. "Hmm... baik! Baik! Aku pun siap untuk menagih
hutang nyawa sahabat-sahabat dan orang tuaku! Aku
akan menolong mengirimmu ke neraka."
"Jahanam!" teriak Lanun Sertung sambil menerjang
Mahesa Wulung dengan puncak permainan ilmu
pedangnya 'Mata Iblis'.
"Hih, jebol dadamu, Mahesa Wulung!"
Terkaman Lanun Sertung sungguh hebat.
Tubuhnya tampak meluncur seperti loncatan seekor
tupai, untuk kemudian siap mencincang Mahesa
Wulung. Mahesa Wulung mengakui, kalau serangan
Lanun Sertung kali ini yang terhebat. Maka ia pun
cepat mengendap, merendahkan tubuhnya serendah
mungkin dan apa yang terjadi kemudian sukar diikuti oleh mata.
Ketika tubuh Lanun Sertung lewat sejengkal di atas tubuh Mahesa Wulung,
terjadilah bentrokan-bentrokan senjata hebat.
Traak! Sabetan pedang Lanun Sertung tertangkis
oleh sarung pedang Mahesa Wulung, dan kemudian...
Dess! Waaak! Tubuh Lanun Sertung jatuh terjungkir setelah
melewati punggung Mahesa Wulung, namun ia cepat
berdiri dengan pedangnya siap menyerang kembali.
Mendadak pemimpin bajak laut Iblis Merah ini
mengerang hebat dan melototkan mata sebab begitu
tangan kiri meraba perutnya yang terasa pedih, tiba-tiba saja telah basah oleh
darah yang mancur dari
perutnya yang tersobek oleh pedang Mahesa Wulung.
Sesaat, Lanun Sertung masih mencoba berdiri tegak, tapi kemudian oleng dan
ambruk ke bumi tanpa
berkutik lagi. Mahesa Wulung sendiri hampir-hampir tak percaya
dapat menewaskan tokoh hitam bajak laut Iblis Merah ini, yang telah bertahuntahun dengan ganasnya
malang-melintang di sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.
Mahesa Wulung mengucap syukur dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dan ketika ia
mengangkat pedangnya, terlintaslah di mata Mahesa
Wulung bayangan wajah ayahnya, Ki Sorengyudo yang
tersenyum seolah-olah merasa puas atas kematian
tokoh Iblis Merah, si Lanun Sertung yang ganas.
Lodan dan keempat orang-orang Iblis Merah melihat
pemimpinnya kena dirobohkan, seketika merasa ngeri dan hilang semangatnya.
Mereka yakin bahwa mereka
berhadapan dengan tokoh-tokoh jagoan yang tidak
boleh dianggap remeh.
Lodan bersuit keras sebagai isyarat bahwa mereka
harus kabur dari tempat itu. Baru saja mereka
berbalik untuk kabur, mendadak ujung cambuk Naga
Geni di tangan Pandan Arum telah menyambar
mereka. Seketika Lodan bersama kedua orang temannya
terpelanting ke tanah tak bernyawa, sedang kedua
orang Iblis Merah yang lain melarikan diri ke arah pintu gerbang batu.
Melihat orang-orang Iblis Merah telah berkaparan
mati, Pendekar Rikma Rembyak betul-betul kehilangan semangat untuk bertempur
lebih lanjut. Apalagi ketika seorang Iblis Merah yang bertempur di sampingnya
terbacok rubuh oleh tongkat pedang Ki Camar Seta.
"Hmm, kalau orang-orang Iblis Merah telah
mampus semuanya, berarti aku tak punya ikatan apaapa lagi dengan mereka. Baiknya aku lari saja dari tempat ini. Biarlah sementara
aku mengaku kalah di saat ini, tapi di saat yang lain tunggulah. Aku akan
memperdalam ilmuku dan membalas dendam kepada
Mahesa Wulung dan orang-orangnya!" demikianlah
pikir Rikma Rembyak dan tongkatnya bergerak
semakin hebat. Ki Camar Seta terkejut melihat perubahan sikap
lawannya yang tiba-tiba itu. Sekonyong-konyong
Rikma Rembyak melesat mundur sambil melontarkan
tongkat kayunya dengan deras ke arah dada Ki Camar Seta.
Begitu pula dengan Mahesa Wulung dan Pandan
Arum. Betapa kagetnya mereka ketika melihat kilatan sinar tongkat Rikma Rembyak
yang melesat ke arah Ki Camar Seta dengan kecepatan begitu deras seolah-olah
melebihi suara dan hampir-hampir tak mungkin dapat ditangkis oleh pendekar tua
ini. Untunglah gerak naluriah Pandan Arum cepat
bertindak. Hanya dialah satu-satunya yang membawa
senjata dengan kemungkinan jarak jangkauan yang
cukup jauh, yaitu cambuk pusaka Naga Geni.
Maka secepat kilat disertai gerakan meloncat,
Pandan Arum melecutkan cambuk itu. Taarrr!!!
Sebuah kilatan menyambar dan memotong sinar yang
menyambar ke arah Ki Camar Seta dan tongkat Rikma
Rembyak tersedot oleh lilitan cambuk itu kemudian
berderak patah menjadi dua di udara
Ki Camar Seta menahan nafas. Hampir-hampir saja
nyawanya melayang oleh benturan tongkat Pendekar
Rikma Rembyak, jika saja gerakan Pandan Arum
terlambat sedikit saja!
Peristiwa yang baru saja berlalu dan betul-betul
menegangkan urat syaraf itu cukup memberikan
peluang waktu bagi Rikma Rembyak untuk lolos dari
tempat itu secepat mungkin.
Mirip gerak seekor tupai tubuh Rikma Rembyak itu
melesat berloncatan dari batu ke batu sambil berteriak dengan nyaring.
"Ha, ha, ha, ha, kalian memang lebih hebat kali ini.
Nah, selamat tinggal para sobatku. Pertempuran ini cukup sekian dulu. Tapi
tunggulah, kita pasti akan bertemu kembali dan rasakanlah pembalasan
dendamku nanti!"
Sesaat kemudian tubuhnya meloncati sebuah
dinding batu dan loloslah ia dari Lembah Maut.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum mula-mula
bersiap untuk mengejar Rikma Rembyak, tetapi Ki
Camar Seta mencegahnya seraya berkata dengan
tenangnya. "Biarlah dia lari, Angger. Sebab dia sudah mengaku kalah, bukan" Dan lagi jiwa
seorang ksatria tidak
menghendaki kita untuk menyerang lawan yang sudah
tak berdaya, lebih-lebih tanpa senjata...."
Seruan Ki Camar Seta itu benar-benar berpengaruh
dan bagaikan air embun menyusup sampai ke relungrelung hati kedua pendekar muda itu, membuat
mereka mengurungkan maksudnya. Kebijaksanaan Ki
Camar Seta itu benar-benar mengagumkan hati bagi
mereka. "Nah, Angger berdua, kita tidak perlu merasa cemas meskipun si Rikma Rembyak
telah mengancam.
Biarpun seandainya dia memperdalam ilmu untuk
membinasakan kita, namun percayalah bahwa
kebenaran akan menang juga pada akhirnya."
"Terima kasih, Bapak," ujar Mahesa Wulung dan
Pandan Arum berbareng.
Di saat itu dari arah pintu gerbang batu tiba-tiba muncullah beberapa sosok
tubuh menggiring dua
orang yang terikat pada kedua belah tangannya. Di
belakangnya lagi menyusul beberapa orang yang
membawa senjata tombak.
"Eee, Kakang Mahesa Wulung. Bukankah itu
Kakang Jogoyudo dengan anak buahnya" Dan lihatlah
itu, dua orang anak buah Iblis Merah yang melarikan diri telah mereka tangkap!"
Pandan Arum berseru
dengan gembira dan mereka bertiga segera
menyambutnya. "Ooh, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan
Arum, aku telah mencarimu ke mana-mana. Hampir
segenap penjuru pulau ini telah aku datangi. Kiranya kalian berada di Lembah
Maut ini. Ketika kami sedang mencarimu, tiba-tiba kami dikagetkan oleh dua orang
yang berlari sangat mencurigakan. Mereka berhasil
kami tangkap dan atas petunjuknya, sampailah kami
di lembah ini," Jogoyudo berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam. "Cuma aku
merasa heran. Beberapa waktu sebelumnya aku telah mengutus
Sibahar dengan beberapa awak kapal untuk
mencarimu, tetapi sampai saat ini aku belum bertemu dengan mereka."
"Memang, kita tak akan lagi bertemu dengan
mereka, Adi. Ketahuilah, bahwa mereka telah
menunaikan kewajibannya dengan baik. Mereka telah
tewas sebagai ksatria dalam melawan keganasan
orang-orang Iblis Merah," Mahesa Wulung berkata
dengan tenang dan pelan, tetapi cukup mengagetkan
bagi Jogoyudo dan anak buahnya.
"Oooh," Jogoyudo mengeluh sedih mendengar
penuturan Mahesa Wulung, kemudian ia tertunduk
seakan-akan mengheningkan cipta dan mengenang
jasa-jasa Sibahar. Demikian pula segenap anak
buahnya pada menunduk sedih.
Mereka dapat membayangkan betapa susahnya
sanak keluarga Sibahar di Tanjungpinang sana, jika mendengar berita ini.
Tetapi mereka pun sadar bahwa suatu ketika
mereka juga akan tewas sebagai seorang prajurit
armada Demak yang selalu berjuang bagi kejayaan
tanah air, bagi Nusantara yang terbentang indah di khatulistiwa. Mereka berjuang
dengan tulus ikhlas
tanpa pamrih pribadi, sebab sebagai seorang prajurit, dan juga sebagai manusia,
mereka sebelumnya telah
terdidik untuk berbuat sesuatu, selalu dengan sadar dan penuh perhitungan.
Mereka tidak akan menjadi
budak nafsu, terutama nafsu untuk berkuasa dan
menang sendiri.
Sesaat orang-orang itu dicengkam oleh suasana
haru, namun merekapun cepat tersadar ketika Mahesa Wulung memecah kesunyian itu
dengan kata-katanya
"Hmm, hampir-hampir aku lupa. Adi Jogoyudo,
perkenalkanlah. Ini adalah Ki Camar Seta bekas
prajurit armada Demak belasan tahun yang silam.
Beliaulah sahabat mendiang ayahku. Ketika kapalnya pecah diserang orang-orang
Portugis dan Iblis Merah,
ia terdampar di Pulau Karimata ini. Dan ketahuilah, Adi Jogoyudo, ketika aku
tertangkap oleh orang-orang Iblis Merah dan ditawan di Lembah Maut ini, beliau
pulalah yang telah menolong dan menyelamatkan
nyawaku dari keganasan mereka. Juga beliau telah
berbaik hati untuk melatihku dengan ilmu pedangnya, Sigar Maruta yang dahsyat."
Jogoyudo dan anak buahnya seperti orang yang
tersadar dari mimpi. Kalau tadi mereka terharu, kini ganti mereka dibuat kagum
oleh kenyataan yang
mereka hadapi. Mereka memandangi tubuh Ki Camar
Seta, seperti tak akan puas. Wajahnya yang cukup tua tetap berseri, sedang
tubuhnya pun masih tampak
kokoh dan sepintas lalu masih terlihat bekas-bekas keperkasaan di masa
remajanya. Dengan senang dan setengah kagum mereka
berkenalan dengan Ki Camar Seta.
Lembah Maut itu, kini tidak lagi terbakar oleh
panasnya sinar matahari. Angin pun bertiup silir
menyegarkan. Beberapa orang prajurit armada Demak
tampak membersihkan dan membabat semak ilalang
yang menutupi jalan masuk ke sebuah lubang dinding batu dari lembah ini.
Mereka, atas petunjuk kedua orang Iblis Merah
yang tertangkap tadi telah dapat menemukan pintu
terowongan rahasia yang menembus di bawah lantai
warung minum di dekat bandar Karimata.
Setelah diperiksa, ternyata di dalamnya
diketemukan bahan pangan yang tertimbun, juga
beberapa kantong uang emas dan perhiasan yang
cukup mahal harganya.
Kesemuanya itu mereka angkut ke luar, dan
Mahesa Wulung memerintahkan untuk membagikan
sebagian dari harta itu kepada para penduduk Pulau
Karimata yang telah sekian waktu dicengkam oleh
kecemasan dan dirugikan orang-orang Iblis Merah.
Di saat matahari mendekati cakrawala sebelah
barat, mereka telah bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Begitulah, setelah
Mahesa Wulung memberi aba-aba berangkat, rombongan itu beriring-iring
meninggalkan Lembah Maut.
Mereka berjalan mendaki ke arah pintu gerbang
batu. Sesekali ada satu dua orang prajurit yang
berpaling ke arah Lembah Maut di bawah sana.
Mereka kadang-kadang meremang bulu romanya bila
mengingat nama Lembah Maut. Ya, benar-benar
lembah tempat maut berkeliaran, sebab di sanalah
orang-orang Iblis Merah bersarang dan di situ pulalah mereka terkubur untuk
selama-lamanya.
Rombongan itu setelah melewati pintu gerbang batu
segera berbelok ke kanan dan menuruni jalan berbatu-batu.
Sesudah melewati bukit-bukit kecil dan menerobos
sebuah hutan, sampailah mereka di tanah datar.
Deburan ombak yang memecah di pantai telah
terdengar sayup-sayup dibawa angin ke telinga
mereka, seolah-olah sebuah alunan irama lagu dan
membuat hati mereka merasa rindu. Rindu untuk
berlayar dan pulang ke Demak serta bertemu kembali dengan anak istri dan sanak
saudaranya. Oleh sebab itu mereka mempercepat langkah untuk secepatnya
tiba di bandar tempat perahu mereka berlabuh.
Warna langit di sebelah barat dipenuhi oleh
saputan-saputan mega lembayung ungu yang berarak
di antara warna kuning jingga, begitu matahari mulai menyentuh garis cakrawala
barat. Kunang-kunang
mulai beterbangan keluar dari semak-semak-belukar
seperti hendak ikut menonton rombongan orang-orang yang berbaris menuju ke
pantai. Sesudah mereka membelok ke kiri dan melewati
semak bambu, sampailah mereka di bandar. Di muka
warung minum, para penduduk bandar telah
bergerombol menanti kedatangan mereka. Sungguh
mesra sambutan mereka. Para penduduk itu sungguhsungguh merasa berhutang budi kepada orang-orang
armada Demak, yang telah membebaskan mereka dari
tindasan orang-orang Iblis Merah.
Mereka kemudian menjamu para tamunya di
warung itu dengan makan minum secukupnya, dan
Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada kesempatan itulah Mahesa Wulung memberikan
sebagian harta rampasan dari sarang Lembah Maut
kepada mereka. Juga Pandan Arum yang pernah muncul di depan
warung itu yang menyamar sebagai pendekar Barong
Makara menetapi janjinya dengan berkenalan kepada
mereka. Dari para penduduk itu, Mahesa Wulung dapat
mengetahui bahwa dahulu warung itu memang bukan
milik orang-orang Iblis Merah. Tetapi mereka telah merebut dan menduduki warung
itu sebagai sarangnya. Sedang pemilik aslinya telah mereka
bunuh setelah dengan berani dia menolak kemauan
orang-orang Iblis Merah agar menjual warungnya
kepada mereka. Tidak sampai di situ saja tindakan
semena-mena orang-orang Iblis Merah, malahan
mereka mengharuskan kepada penduduk pulau itu
agar semua bahan makanan sebagian diserahkan
kepada mereka dan setiap harinya para penduduk
harus mengunjungi warung itu. Mereka bermaksud
agar penyamaran mereka sebagai orang-orang Iblis
Merah tidak dapat diketahui oleh para lawannya
Di tengah kemeriahan ramah-tamah yang diseling
oleh senda gurau, tiba-tiba muncullah seorang
setengah tua berkumis tebal dengan diantar oleh dua orang prajurit bertombak.
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jogoyudo
terkejut heran melihat orang itu, sebab ia mengenakan pakaian seragam perwira
armada Demak. Demikian
pula semua yang ada di dalam warung itu tak kalah
herannya. "Hei, ini Kakang Ranujaya berada di sini" Kapankah Andika tiba di sini?" Mahesa
Wulung bertanya seraya menjabat tangannya setelah ia bangkit dari duduknya.
Dalam hati Mahesa Wulung dipenuhi oleh tanda tanya.
Mengapa sahabatnya yang juga menjabat sebagai
perwira armada Demak telah berada di tempat ini.
Adakah sesuatu yang penting"
"Adi Mahesa Wulung, aku baru saja tiba di bandar
Karimata ini. Sebelumnya aku telah berlayar dan
mencarimu ke Tanjungpinang. Di sana aku telah
bertemu dengan Bapak Pendekar Prahara dan dari
beliaulah aku mendapat keterangan bahwa Adi telah
berlayar ke pulau ini. Maka aku pun segera
menyusulmu kemari."
"Hmm, agaknya ada sesuatu yang penting jika
Kakang Ranujaya telah berlayar begitu jauh untuk
mencariku."
"Betul, Adi. Kedatanganku kemari memang diutus
oleh Sultan agar memanggilmu kembali ke Demak,
sebab di sana telah terjadi sesuatu yang genting yang benar-benar membuat kami
merasa cemas."
"Sesuatu yang genting, Kakang?" tukas Mahesa
Wulung dengan mengerutkan dahinya.
"Ya. Ketahuilah, Adi, bahwa Empu Baskara telah
hilang dari Demak tak tentu rimbanya!"
"Empu Baskara yang ahli membuat senjata-senjata
ampuh itu telah hilang?" ujar Mahesa Wulung kaget.
"Begitulah. Ia telah menghilang setelah berhasil
menciptakan senjata yang dahsyat. Kami telah gagal mencarinya, sehingga
kepadamulah tugas ini
dipercayakan untuk penyelesaiannya."
"Baiklah, Kakang. Aku selalu dengan senang hati
menerima tugas itu. Kebetulan sekali kami memang
bermaksud untuk berlayar kembali ke Demak besok
pagi. Nah, sekarang apa salahnya jika Kakang
Ranujaya turut makan minum dan beramah-tamah
dengan penduduk disini. Marilah, Kakang. Silahkan
duduk," Mahesa Wulung mempersilahkan perwira
Ranujaya mengambil tempat duduknya.
"Terima kasih, Adi Mahesa Wulung. Mmmm,
memang bau sedap masakan di sini membuat perutku
merasa lapar. Ha, ha, ha, ha."
Suasana di warung itu kembali meriah. Ranujaya
duduk semeja dengan Jogoyudo, Pandan Arum, Ki
Camar Seta dan Mahesa Wulung. Dengan asyiknya ia
menceriterakan hilangnya Empu Baskara dari Demak.
Tak seorang pun yang tahu, entah kemana ia telah
pergi. Sebelum mencapai tengah malam, pertemuan di
warung itu telah berakhir. Mereka kembali ke
tempatnya masing-masing. Juga para prajurit armada Demak kembali ke kapalnya,
yang berlabuh berdampingan dengan sebuah perahu jung lain
kepunyaan perwira Ranujaya.
Di waktu kabut pagi masih mengambang di udara,
kedua perahu jung dari armada Demak itu telah
mengangkat jangkarnya dan bertolaklah mereka dari
bandar Pulau Karimata. Mereka dengan lajunya
membelah air laut menuju ke arah tenggara, kembali
ke Demak. - TAMAT - Yogyakarta Maret 1968.
Sampai di situlah kisah "Badai di Selat Karimata"
ini berakhir. Ingin tahukah para pembaca, siapa Empu Baskara dan mengapa ia
sampai menghilang"
Tunggulah kisah seri NAGA GENI berikutnya yang
akan sampai kepada Anda, yaitu "HILANGNYA EMPU
BASKARA". Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Kenyozz
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** - TAMAT - Pendekar Sakti Suling Pualam 14 Pendekar Cacad Karya Gu Long Serikat Kupu Kupu Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama