Ceritasilat Novel Online

Hilangnya Empu Baskara 1

Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara Bagian 1


(Seri Naga Geni ke 4)
HILANGNYA EMPU BASKARA
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Hilangnya Empu Baskara benar-benar membikin
cemas siapa saja di daerah Demak ini. Sebagai
seorang ahli pembikin senjata-senjata ampuh, ia
sangat dihormati dan dibanggakan oleh negara dan
segenap rakyatnya. Maka tak heranlah jika
menghilangnya Empu Baskara ini menyebabkan
kesuraman mereka di dalam kehidupannya seharihari. Di Balai Ksatrian di kota Demak, hari itu kelihatan
kesibukan-kesibukan. Beberapa perwira tampak
berkumpul dan bercakap-cakap, antara lain Mahesa
Wulung, Ranujaya, Jagayuda, Ki Tambakbaya, serta
beberapa orang lainnya. Sedang Ki Camar Seta,
pendekar tua itu pun tampak ikut duduk bersama
mereka. "Kiranya Andika semua sudah tahu, siapa Empu
Baskara ini. Beliau telah menghilang dari rumahnya
tanpa seorang pun yang tahu," kata Ranujaya
memulai bicaranya. "Kita telah gagal mencari jejakjejak beliau. Yang membuat kita heran dari peristiwa
ini, ialah saat-saat menghilangnya Empu Baskara
dari Demak. Beliau telah hilang sepekan kemudian
setelah ia berhasil menemukan sebuah senjata
ampuh yang baru pertama kali ini pernah diciptakan
oleh para empu di tanah Jawa."
"Sebuah senjata ampuh, kata Kakang tadi"
Apakah ia berujud keris, tombak, pedang atau macan
lainnya?" Mahesa Wulung berkata menyela.
"Bukan! Ia tidak berbentuk benda pusaka yang
dapat dipegang untuk bertempur, tetapi bentuknya
lebih aneh lagi dan sangat sederhana. Nah, sebaiknya
aku akan menceriterakan selengkapnya tentang
Empu Baskara dan hasil-hasil penemuan yang telah
dibuatnya secara tekun dan menakjubkan.
Kita kembali beberapa bulan yang lewat di tahun
yang telah lalu. Hampir saja bencana paceklik
melanda daerah Demak dan juga daerah-daerah
sekitarnya. Bencana yang ditimbulkan oleh ribuan
belalang yang ganas dan rakus telah menghabiskan
berpetak-petak tanaman jagung dan berbahu-bahu
tanaman padi serta tanaman palawija lainnya. Jika
bencana ini tak teratasi, maka bahaya kelaparan
akan muncul di mana-mana.
Masalah bencana kelaparan atau pun gangguan
hama belalang tadi tidak dapat dihadapi dan
ditanggulangi oleh kuatnya prajurit yang bersenjata
lengkap. Hama tadi datang secara bergelombang dan
tiba-tiba datang di sebuah tempat tanpa tanda-tanda
yang dapat kita ketahui terlebih dulu. Nah, di dalam
saat yang sangat genting inilah Empu Baskara telah
menunjukkan suatu hasil ramuannya yang benarbenar menakjubkan kita semua. Ia telah berhasil
mendapatkan senjata ampuh guna membinasakan
belalang-belalang yang rakus tadi. Sesudah mengunci
diri dalam kamar kerjanya berhari-hari, iapun
berhasil dan telah pula mencoba senjata ampuhnya
itu. Pada suatu hari aku telah berkunjung ke
rumahnya untuk melihat senjata itu. Ternyata
senjata itu terbentuk serbuk-serbuk putih seperti
tepung halusnya, yang dipasang pada mata anak
panah." "Hanya serbuk-serbuk putih saja?" Mahesa
Wulung berseru kaget.
"Begitulah, Adi. Hanya serbuk-serbuk putih saja.
Aku pun heran mula-mula, tetapi setelah aku
diajaknya mencoba, keherananku tadi berubah
menjadi kekaguman yang tak ada habisnya. Di
sebuah ladang yang luas dan diserang oleh ribuan
belalang pada saat itu, aku dan Empu Baskara telah
mencoba pusaka baru itu. Serbuk-serbuk putih tadi
telah dimasukkan ke dalam mata anak panah yang
dibuat seperti tabung bulat yang runcing dan
berlobang. Sesaat kemudian anak panah bermata aneh tadi
aku tembakkan ke udara, di atas hamparan ladang
yang diserang oleh ribuan belalang itu. Begitulah,
anak panah tadi melesat ke udara dengan
kencangnya. Sesaat kemudian setelah bergeser
dengan udara, anak panah yang bertabung berisi
serbuk putih itu menyala biru dan mengeluarkan
asap yang selanjutnya menyebar di udara di atas
ladang tersebut.
Apa yang terjadi kemudian sungguh-sungguh
mengerikan. Asap putih tadi kemudian bercampur
udara dan bagaikan kabut embun, turun ke bawah
secara pelahan-lahan. Mendadak belalang-belalang
tadi menjadi biru hangus lalu mengering dan mati.
Dalam pada itu terbayang angan-anganku sendiri,
jika kabut dari serbuk putih tadi menimpa
segerombolan manusia, maka pastilah orang-orang
tersebut akan menjadi biru hangus dan mati dengan
tubuhnya yang mengering, serupa dengan belalangbelalang itu. Hih, apa yang aku bayangkan ini pastilah tidak
hanya membuat ngeri diriku sendiri, tapi juga Andika
semua pastilah berperasaan yang sama."
"Hmmm, memang hebat pusaka yang telah dibuat
oleh Empu Baskara itu. Sebatang anak yang pada
ujung matanya diisi oleh serbuk-serbuk putih dan
mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup
dalam waktu yang tidak lama," ujar Ki Camar Seta
saking kagumnya.
"Justru kehebatan pusaka itulah yang membuat
kami cemas setelah Empu Baskara hilang dari
Demak. Kami menguatirkan seandainya Empu
Baskara diculik oleh orang-orang dari gerombolan
hitam yang telah sekian kali mencoba merongrong
kewibawaan Demak. Pastilah mereka tidak akan
kepalang-tanggung menggunakan pusaka itu untuk
melawan kita," Ranujaya berkata dengan tenangnya,
namun wajahnya membayangkan perasaan hatinya
yang cemas. "Maka kepada Adi Mahesa Wulung kami harapkan
untuk segera mencari Empu Baskara yang hilang
itu." "Daerah manakah yang telah Kakang Ranujaya
selidiki untuk mencari jejak-jejak Empu Baskara ini?"
terdengar Mahesa Wulung bertanya.
"Daerah selatan dan barat Demak sampai ke
daerah Asemarang telah kujelajahi, tetapi tak ada
petunjuk dan tanda-tanda di mana Empu Baskara
berada. Sedang daerah utara dan timur sampai ke
Gunung Muria baru kami mulai untuk
menyelidikinya. Kemungkinan besar di daerah inilah
Adi Mahesa Wulung dapat memulai dengan
penyelidikannya."
"Baiklah, Kakang Ranujaya. Aku akan berusaha
mencari Empu Baskara dengan sebaik-baiknya.
Kapankah aku dapat memulai dengan tugasku ini?"
"Sekarang juga dapat kau mulai dengan tugasmu,
Adi Mahesa Wulung. Dan semua keperluan untuk
tugasmu ini telah disiapkan. Kami berdoa dan
berharap semoga tugas Andika ini berhasil dengan
baik dan memuaskan. Ingatlah, bahwa Empu
Baskara sangat penting artinya bagi keselamatan
negara." "Terima kasih, Kakang. Ijinkanlah aku berangkat
sekarang juga." Mahesa Wulung mengangguk hormat
kepada semua sahabatnya dan mereka pun
membalasnya berbareng.
Ki Ranujaya pun rupanya sudah tidak ada
keperluan lain untuk pertemuan di hari itu, maka ia
pun segera berdiri. "Nah, kiranya tugas telah selesai
kita bagikan, dan pertemuan ini kita akhiri sampai di
sini. Adi Jagayuda, Andika boleh berangkat bersamasama Adi Mahesa Wulung. Bantulah ia sebaikbaiknya." "Baik, Kakang. Aku siap berangkat bersama
Kakang Mahesa Wulung."
"Dan Kakang Camar Seta, Andika baru saja tiba
dari Pulau Karimata setelah bertahun-tahun
mengembara di sana. Maka untuk sementara waktu,
Kakang Camar Seta aku persilahkan untuk
beristirahat di Demak."
"Terima kasih, Adi Ranujaya. Memang aku telah
lama meninggalkan kota Demak, sehingga keadaan
yang sekarang pastilah sudah jauh berbeda dengan
keadaan waktu aku tinggalkan dahulu."
"Ha, ha, ha. Aku merasa senang jika Ki Camar Seta
bersedia aku antar berkeliling melihat-lihat
keindahan kota Demak sekarang ini."
Mereka, para perwira Demak yang berunding itu,
telah meninggalkan Balai Ksatrian. Dengan langkah
yang tegap penuh kepercayaan diri sendiri, mereka
memulai tugasnya yang baru yang benar-benar harus
diselesaikan dengan sempurna.
Mahesa Wulung dan Jagayuda segera mengambil
kudanya dan tak lama kemudian merekapun telah
memacu kudanya ke arah timur. Matahari bersinar
dengan ganas, namun awan-awan mendung hitam
telah berarak-arak menghalangi sinarnya, sehingga
suasana menjadi gelap suram, seperti suramnya
kehidupan di Demak akibat menghilangnya Empu
Baskara yang mereka bangga-banggakan.
Debu dan kerikil berloncatan terkena derap kaki
kuda Mahesa Wulung dan Jagayuda yang dipacu
seperti angin. Sebentar saja mereka melewati pintu
gerbang timur kota Demak dan semakin jauh,
keduanya tampak semakin kecil, seolah-olah dua titik
hitam yang berkejaran.
Menjelang senja temurun dengan perlahan-lahan,
Mahesa Wulung dan Jagayuda telah mendekati
daerah Kudus. Keduanya menghentikan kudanya
yang masih berlari dengan kencang. Kini kedua orang
berkuda berdampingan dan berjalan dengan
seenaknya. "Adi Jagayuda, apakah Adi akan terus langsung ke
Jepara atau singgah bersama saya di kota Kudus
nanti?" "Saya kira akan lebih baik jika saya meneruskan
perjalananku ke Jepara, agar tugas ini dapat kita bagi
berdua. Kakang Mahesa Wulung sementara tinggal di
Kudus dan memulai penyelidikannya dari kota ini,
sedang saya akan memulai dari sebelah utara, dari
kota Jepara," ujar Jagayuda sambil menatap Mahesa
Wulung seperti meminta persetujuan. "Bagaimana,
Kakang?" "Itu bagus. Aku setuju sekali dengan siasatmu, Adi
Jagayuda. Dan selanjutnya, tunggulah aku di kota
Jepara." "Baik, Kakang. Kita berpisah saja di pertigaan jalan
itu. Saya terus menuju ke utara dan Kakang masuk
ke kota Kudus," Jagayuda segera melecutkan
cemetinya ke perut kudanya dan kuda itupun segera
menderap. "Selamatlah, Kakang Mahesa Wulung!"
"Selamat jalan, Adi".
Mahesa Wulung melambaikan tangannya ketika
sahabatnya itu telah berpacu mendahuluinya, dan
membelok ke utara pada pertigaan jalan di mukanya.
Kepulan debu yang timbul akibat derapan kaki kuda
Jagayuda semakin menjauh, dan sebentar kemudian
lenyaplah ia dari pandangan mata Mahesa Wulung
setelah Jagayuda menerobos pohon kenari yang
menaungi jalan ke utara itu.
kini Mahesa Wulung berkuda sendirian. Kesunyian
segera terasa mencengkam dirinya, ketika ia berkuda
seorang diri di gelap senja dan memasuki kota
Kudus. Beberapa orang tampak berjalan membawa
pikulan dan sesekali lewat pula orang-orang yang
berkuda di jalan itu. Hampir setiap kali ia berpapasan
dengan orang yang lewat, Mahesa Wulung
memperhatikan wajah-wajah mereka. Namun tak
seorang pun yang mirip dengan tanda-tanda serta
ciri-ciri yang menunjukkan bentuk tubuh Empu
Baskara. Mahesa Wulung benar-benar merasa kesulitan
dalam tugasnya kali ini, meski ia sudah diberi
keterangan-keterangan tentang bentuk tubuh dan
wajah Empu Baskara dari Ki Ranujaya. Bahkan lebih
dari itu, Mahesa Wulung sendiri pernah berkenalan
dengan Empu Baskara beberapa tahun yang telah
lalu. Setelah Mahesa Wulung melewati menara masjid
Kudus yang terkenal itu, sampailah ia di sebuah
warung penginapan. Segera ia turun dari punggung
kudanya dan menambatkannya pada sebuah tonggak
kayu yang terpancang di depan warung.
Mahesa Wulung segera masuk ke dalam dan
menyewa sebuah kamar untuk ditempatinya
beberapa hari lamanya. Warung penginapan ini


Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata banyak sekali pengunjungnya, dan mereka
satu per satu diawasi oleh mata Mahesa Wulung yang
tajam. Namun tak seorang pun yang tampak
mencurigakan. Sampai saat itu Mahesa Wulung
belum menemukan petunjuk dan jejak-jejak dari
menghilangnya Empu Baskara. Tetapi pada malam
berikutnya, ketika ia berjalan-jalan menghirup udara
malam, Mahesa Wulung secara tiba-tiba berhenti
pada sebuah sudut rumah yang gelap. Tidak jauh
dari tempat ia bersembunyi, berdirilah dua orang
yang bercakap-cakap amat pelan dan menimbulkan
kesan yang mencurigakan bagi Mahesa Wulung.
"Kakang Kalapati, kita sekian lama mencari jejak
Empu Baskara, tetapi sampai saat ini kita belum
menemukannya. Apakah usaha ini akan kita
teruskan?"
"Hah, kau jangan lekas putus asa, Adi
Dandangmala. Apakah kau sudah lupa dengan katakata pemimpin kita. Jorangas" Bukankah kau sendiri
telah mendengar bahwa tugas ini dipercayakan
kepada kita" Dengarlah, aku siang tadi telah
menjelajahi segenap warung penginapan di kota ini,
dan aku mulai mencium jejak Empu Baskara di
daerah timur kota."
"Tunggu dulu, Kakang Kalapati. Dengarlah! Angin
malam yang bertiup dari selatan telah membawa
dengus nafas manusia," terdengar oleh Mahesa
Wulung seorang yang bertubuh pendek berkata
memperingatkan temannya. Mahesa Wulung tambah
berhati-hati. "Yah, benar pula, Adi Dandang. Aku juga
mendengar dengus nafasnya. Rupanya di sudut gelap
itu ada yang mendengar dan memata-matai
percakapan kita."
"Hmm, mereka betul-betul bertelinga tajam!"
Mahesa Wulung mengeluh karena tempatnya
bersembunyi itu memang searah dengan tiupan
angin, maka tak bahwa kedua orang yang tengah
diawasi itu dapat mendengar dengus nafasnya.
"Jangan takut, Adi Dandangmala. Biarlah aku
yang akan memberi pelajaran kepada si mata-mata
itu." Sambil berkata, orang yang dipanggil Kalapati
dan bertubuh kekar itu secara tiba-tiba menyabetkan
tangannya dan untunglah Mahesa Wulung telah
bersiaga sejak tadi. Begitu ia berkelit ke bawah, lima
buah sinar menancap di dinding kayu itu.
"Paku-paku baja!" desis Mahesa Wulung.
"Heh, heh, heh, heh," Mahesa Wulung
memperdengarkan ketawanya yang bernada seram.
"Permainan paku bajamu kurang cermat dan terlatih,
teman. Nah, sekarang terimalah kembali milikmu
ini." Mahesa Wulung mencabut dua batang paku
yang menancap di dinding kayu, kemudian
melemparkannya kepada kedua orang yang masih
tertegun. Begitu dua batang paku itu menyambar, kedua
orang itu telah lebih dulu mengambil langkah seribu
sambil memaki-maki, dan membuat Mahesa Wulung
tersenyum geli melihatnya.
*** Ketika matahari bertambah tinggi, kota Kudus
makin bertambah ramai. Seorang bertubuh pendekar
dan gemuk dengan mengenakan sebuah caping,
tampak memasuki sebuah warung penginapan.
Sepintas lalu orang akan tersenyum bila melihat
orang bercaping ini. Mengapa" Ya, orang ini berkumis
terlalu tebal dan tidak seimbang dengan bentuk
tubuhnya. Terlalu tebal dan lebat, ditambah lagi
jenggotnya yang panjang membuat orang merasa
ragu-ragu, jika itu semua adalah barang asli.
Tanpa menggubris orang-orang di situ, setelah ia
memesan kamar, orang inipun cepat melangkah ke
arah kamarnya. Begitu sampai di dalam kamarnya,
dengan cepat-cepat ia menutup pintu kamar serapatrapatnya dan sekaligus merebahkan dirinya di balaibalai. Butir-butir peluh menitik pada dahinya, dan
sebelum ia mengalir, buru-buru diusapnya dengan
lengan bajunya. Si gemuk pendek ini menghela nafas
dalam-dalam, seolah-olah baru terbebas dari bahaya.
"Hmmm, baru kali ini aku sempat beristirahat
dengan tenang," gumam si gemuk pendek. "Mereka
memang mengejar-ngejarku agar menyerahkan
senjata ciptaanku ke tangan mereka. Akh, sebetulnya
aku dapat melaporkan dan meminta bantuan dari
prajurit-prajurit Demak agar melindungi diriku dari
gerombolan Jorangas itu. Tetapi aku tak ingin
merepotkan mereka, apalagi sampai jatuh korban
karena membelaku. Biarlah kali ini Empu Baskara
akan minggat dari daerah Demak agar hidupku lebih
tenang dari ancaman penjahat-penjahat itu."
Orang yang gemuk pendek itu kemudian duduk
kembali dan mengusap mukanya dengan selembar
saputangan. Setelah itu ia meraba kumisnya dan
menariknya lepas, lalu janggutnya pun
ditanggalkannya!
"Hehh, untunglah kumis dan jenggot palsu ini
cukup sempurna untuk menyembunyikan mukaku
yang sesungguhnya, sehingga orang-orang tak satu
pun yang mengenalku sebagai Empu Baskara yang
terkenal itu. Heh, heh, heh, Persetan! Aku kadangkadang benci dengan diriku sendiri yang telah
berhasil menciptakan senjata panah 'Braja Kencar'.
Senjataku yang mula-mula kuciptakan untuk
membasmi belalang ternyata menimbulkan gagasan
lain dan aku yakin bahwa penjahat-penjahat itu
bermaksud menyelewengkan kedahsyatan senjataku
tadi untuk pekerjaan-pekerjaan mereka yang
terkutuk. Melawan kekuasaan Demak, inilah tujuan
mereka yang pasti."
Sekali Empu Baskara menarik nafas lega, lalu
dituangkannya air kendi yang dingin ke dalam
cangkir tembikar yang telah tersedia.
"Hmm, dadaku kini menjadi tenang setelah minum
air sejuk ini. Mudah-mudahan mereka tak akan
mengejarku lagi."
Meskipun telah merasa aman, Empu Baskara tetap
berhati-hati menjaga dirinya. Seluruh kamar
diperiksanya satu persatu, tetapi ternyata tak ada
yang mencurigakan. Lubang-lubang dinding yang
memungkinkan orang mengintai dirinya dari luar tak
ditemukannya pula. Kini ia merebahkan dirinya ke
atas balai-balai.
Rasa penat dan pegal-pegal tubuhnya sedikit demi
sedikit mulai berkurang setelah ia berhari-hari
menempuh perjalanan yang jauh.
Ia berjalan dari Demak ke Kudus untuk
menghindari pengejaran kaki tangan gerombolan
Jorangas. Hutan-hutan dan semak-semak liar telah
diterobosinya selama perjalanan itu agar tak seorang
pun yang melihat kepergiannya dari kota Demak yang
dicintainya. Mengenang-ngenang kejadian-kejadian yang telah
lewat itu, terasa matanya semakin bertambah berat
dan mengantuk, maka sebentar kemudian Empu
Baskara itupun tertidur dengan pulasnya. Wajahnya
yang penuh keramahan itu kelihatan sangat tenang
dengan aliran nafasnya yang teratur.
*** 2 Pada suatu sore, Empu Baskara duduk di ruangan
warung itu menghadapi sebuah meja yang berisi
sepiring ketela rebus dan secangkir kopi panas.
Ia baru merasa aman sungguh-sungguh setelah
tiga hari ia bermalam di warung itu dan tidak seorang
pun yang mencurigainya.
Juga ia tak merasa curiga sedikitpun ketika dua
orang yang berkuda berhenti di warung itu. Selain
kuda tunggang, kedua orang ini membawa pula dua
ekor kuda beban yang dimuati beberapa karung.
Kedua tamu baru itu tampak olehnya memesan
kamar kepada si pemilik warung penginapan. Setelah
menambatkan kuda-kuda itu di kandang belakang,
mereka masuk kembali sambil membawa karungkarung itu ke dalam kamar.
Empu Baskara terus saja mengawasi kedua tamu
itu, serta karung-karung yang dibawanya. Beberapa
butir putih tercecer dari lubang karung itu.
"Eh, mereka itu pedagang-pedagang beras
rupanya," pikir Empu Baskara karena melihat butirbutir putih yang tercecer tadi. Kini, kopi panas di
depannya direguknya beberapa kali.
Beberapa saat kemudian, dilihatnya seorang di
antara tamu-tamu baru tadi keluar kembali dan
duduk di ruangan warung, tidak jauh dari tempat
duduknya. Suatu ketika, Empu Baskara melihat ke
arah orang baru yang bertubuh pendek dan kali ini
betul-betul membuat Empu Baskara terkejut, bahkan
ia merasa ingin menjerit, karena orang baru itu pun
ternyata mengawasi dirinya pula.
Empu Baskara cepat-cepat berusaha menguasai
dirinya, sambil menyeruput lagi air kopinya. Tapi
dasar sial, saking tergesa-gesanya ia minum kopi itu
membuatnya tersedak dan batuk-batuk sampai
belepotan membasahi kumis dan jenggot palsunya.
Lebih sial lagi bagi Empu Baskara, sebab ketika ia
berusaha membersihkan kumis dan jenggotnya dari
air kopi itu, tiba-tiba dilihatnya orang baru yang
bertubuh pendek itu melongo mulutnya.
Empu Baskara pun menjadi kaget. Cepat ia
meraba kumis palsunya. "Ah, persetan! Kurang ajar."
Kumis palsunya ternyata menjadi miring letaknya.
"Asem tenan!"
Cepat-cepat ia membetulkan kembali letak kumis
palsunya itu. Dan tiba-tiba hati Empu Baskara
merasa berdebar-debar, karena si orang pendek itu
terus saja mengawasi dirinya. Maka iapun segera
bangkit dari tempat duduknya serta melangkah
cepat-cepat ke kamarnya.
Makin mendekati kamarnya, terasa jantungnya
menjadi semakin berdetak keras. Dan betapa
kagetnya ketika pintu kamar itu dijumpainya dalam
keadaan terbuka. Seseorang tampak olehnya sedang
menggeledah-geledah isi kamar. Ya, orang itu yang
bertubuh kekar adalah pedagang beras yang
dilihatnya tadi.
Empu Baskara melihat perbuatan orang itu
menjadi naik darahnya. Betapa tidak, kamar itu telah
dikuncinya dan tak seorang pun yang berhak
menggeledah apalagi
membongkar-bongkarnya.
Perbuatan itu sama saja dengan menginjak-injak
harga diri dan kehormatannya. Maka tanpa sadar
akan bahaya yang tengah mengintai dirinya, Empu
Baskara melompat ke dalam kamarnya serta
menggertak orang itu dengan keras.
"Heei keparat, kowe! Apa maksudmu masuk
kemari serta membongkar barang-barangku di dalam
kamar ini, ha"!"
Persis kera yang kena lempar, orang yang kena
gertak itu menjadi geragapan menoleh kesana kemari
dengan wajah yang kepucatan. Namun kekagetannya
itu hanyalah berjalan sesaat saja, sebab orang ini
yang bertubuh kekar dan bernama Kalapati adalah
salah satu tokoh gerombolan hitam Jorangas yang
sangat berani dan kejam.
"Nah, kebetulan sekali kau cepat datang disini,
munyuk tua. Aku butuh beberapa keterangan dan
harus kau jawab beberapa pertanyaan yang akan
kuberikan kepadamu!" Kalapati ganti membentak
Empu Baskara sambil melolos pedang dari sarungnya
yang terikat pada pinggangnya sebelah kiri.
Mendapat gertak balasan itu, Empu Baskara
mengeluh cemas seperti orang yang terjaga dari
mimpi buruknya. "Ooookh!"
Empu Baskara mundur berbalik, hendak
mengambil langkah seribu dan lari dari kamarnya,
tetapi betapa kagetnya di saat ia membalikkan diri itu
sebab di belakangnya telah berdiri sambil
menyeringai kejam si orang baru yang bertubuh
pendek dengan sorotan matanya penuh keganasan.
"Hi, hi, hi, hi, hi, kau merasa kaget, Pak?"
Empu Baskara bermaksud untuk berteriak
meminta tolong dan belum lagi maksud itu
dilaksanakan, mendadak satu benda keras terasa
membentur batok kepalanya, sehingga pandangan
matanya menjadi berkunang-kunang serta berputar.
Tubuh Empu Baskara sesaat masih berusaha untuk
tetap tegak, namun akhirnya menjadi oleng dan
kemudian roboh ke lantai kamar tak sadarkan diri.
"Ha, ha, ha, Adi Dandangmala. Akhirnya dia jatuh
juga ke tangan kita, ya. Sekarang ayo cepat kita
gotong ke dalam kamar kita!"
"Dan kemudian kita akan membawanya kepada
Kakang Jorangas dengan hati lega," terdengar
Dandangmala menyela.
"Betul, Adi Dandangmala. Jangan lupa, Empu
Baskara ini harus kita larikan dengan memakai
siasat yang telah kita rencanakan!"
Dandangmala cepat melongok keluar. Sepi-sepi
saja.

Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, aman ini!"
Kemudian ia memberi isyarat kepada Kalapati dan
kedua penjahat itu dengan tenang dan hati-hati
menggotong tubuh Empu Baskara ke dalam kamar
mereka. "Nah, letakkan dulu tubuhnya di dekat karungkarung beras ini, Adi. Biar aku siapkan karung
kosong untuknya," ujar Kalapati sambil menyiapkan
sebuah karung yang cukup besar.
Sementara itu Dandangmala pun bekerja dengan
cermatnya. Mula-mula ia membungkam mulut Empu
Baskara ini dengan selembar sapu tangan. Setelah itu
mereka cepat-cepat memasukkan tubuh orang tua itu
ke dalam karung.
"Nah, Adi Dandangmala, hari ini pula kita harus
segera meninggalkan tempat ini sebelum orang-orang
mengetahui hilangnya seorang tua itu dari kamarnya.
Karung-karung itu harus kita bawa satu persatu ke
kandang kuda dan sekaligus kita muatkan semuanya
ke atas kuda."
"Siap Kakang!" Dandangmala berkata dan
tangannya yang kokoh telah mengangkat dua karung
beras, lalu dipindahkannya ke atas bahunya dengan
mudah. Melihat kekuatan sahabatnya itu, Kalapati
tersenyum-senyum, apalagi jika ia teringat akan
sepak terjang sahabatnya itu, ketika dikeroyok oleh
empat orang penjaga pesisir Rembang beberapa
waktu yang lalu. Mereka itu dengan mudahnya
dibanting oleh Dandangmala satu persatu berkaparan
di atas tanah. Ketika itu Dandangmala sudah tiba di pintu
warung penginapan dan mendadak seorang pemuda
bergegas masuk ke dalam warung. Tanpa sengaja
pemuda ini telah membentur tubuhnya dan betapa
kagetnya bila kemudian terasa tubuh oleng dan
hampir terjatuh bersama karung yang dipikulnya itu.
Untunglah pemuda ini cepat-cepat menahan tubuh
Dandangmala yang hampir jatuh, dan disertai
permintaan maaf.
"Ooh, maaf, Pak. Aku tak sengaja menabrakmu,"
ujar pemuda itu yang tidak lain adalah Mahesa
Wulung. "Perlu aku bantu, Pak?"
"Tidak usah! Sialan kau! Lain kali matanya dipakai
yang benar!" umpat si Dandangmala disertai matanya
yang melotot marah ke arah Mahesa Wulung. Tetapi
di dalam hati, Dandangmala penuh pertanyaan
terhadap pemuda yang baru saja menabraknya.
Benar-benar dirinya dibuat heran oleh kekuatan
dahsyat si pemuda. "Uh, siapa bocah ini. Kalau
sampai orang tak berhasil merobohkanku, tapi
pemuda ini dengan benturan tubuhnya yang tidak
keras, hampir-hampir saja membuatku jatuh
tersungkur!"
Sebaliknya Mahesa Wulung sendiri terkejut bukan
main, sebab ia merasa pernah mengenal suara orang
yang bertubuh pendek ini. Otaknya cepat. "Eh,
rupanya aku terlalu berprasangka dengan kedua
orang ini. Ternyata mereka adalah orang-orang
pedagang beras dan tak perlu aku mencurigainya."
Tetapi mendadak hati Mahesa Wulung menjadi
bergoncang keras, apabila telinganya menangkap
getaran aneh di dalam karung yang dipikul oleh
Kalapati yang bertubuh kekar tinggi itu. Ketajaman
telinganya menangkap dengus nafas manusia yang
berbareng tapi berlainan nadanya. Mata Mahesa
Wulung kembali lagi mengawasi karung itu.
"Oh, berisi manusia" Nah, sekarang aku betulbetul merasa curiga terhadap mereka," desis Mahesa
Wulung seraya melangkah mengikuti Kalapati.
Ia bermaksud mencegah kepergian kedua orang
itu. Tetapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya,
ketika hati kecilnya mencegah maksudnya tadi. Ia
berpikir dan dalam kepalanya melintas kepada
peristiwa beberapa malam yang telah lalu di saat ia
memergoki dua orang di tempat gelap, tengah
membicarakan akan hilangnya Empu Baskara.
Belum lagi hilang kagetnya, Mahesa Wulung
berpapasan dengan Kalapati yang juga memanggul
sebuah karung dari kamar.
"Mereka rupanya adalah pedagang-pedagang
beras," pikir Mahesa Wulung dengan cepat, sebab
dari lubang kecil karung itu tercecer beberapa butir
beras. Maka iapun menarik nafas lega karenanya.
"Kalau aku mencegah maksudnya, pastilah akan
menimbulkan keonaran di daerah ini. Biarlah mereka
pergi lebih dahulu dan mereka akan kuikuti terus ke
mana perginya!" Mahesa Wulung berbalik dan
mendekati si pemilik warung penginapan.
"Bapak, siapakah mereka itu?"
"Oh, mereka adalah pedagang-pedagang beras
yang singgah di sini, Kisanak. Apakah Kisanak
bermaksud membeli beras-beras mereka itu?"
"Aku tak bermaksud begitu, Bapak. Malahan
sebenarnya aku menaruh curiga terhadap mereka!"
"Curiga terhadap orang-orang itu!" si pemilik
warung mengerutkan dahinya, karena terkejut
dengan kata-kata ini. "Apa maksud Kisanak yang
sebenarnya?"
"Maaf, Bapak. Aku tak sempat berceritera panjang
lebar di sini. Dan sekarang, aku sekali lagi ingin
bertanya kepada Bapak. Semoga Bapak tidak
keberatan sekali ini."
Si pemilik warung ternyata mempunyai hati yang
cukup baik dan bahkan ia menjadi tertarik dengan
tamunya yang masih muda dan berwajah tampan ini,
sehingga ia dengan senang hati menjawab pertanyaan
Mahesa Wulung. "Silahkan bertanya, Kisanak. Bapak akan
berusaha menjawabnya sebisa mungkin."
"Apakah Bapak pernah kedatangan seorang yang
bertubuh gemuk pendek dan sudah tua?"
"Orang yang bertubuh pendek dan sudah tua"
Hmm, ya, ya, aku ingat sekarang. Memang ada
seorang tamuku berperawakan demikian itu. Ia telah
menginap di sini beberapa hari lamanya dan dialah
satu-satunya tamuku yang paling aneh!"
"Aneh?" potong Mahesa Wulung kaget.
"Ya. Ia memang tamu yang aneh, sebab ia jarang
berkata-kata dengan tamu lainnya dan juga dengan
aku sendiri."
Mahesa Wulung yakin bahwa ia mulai mencium
jejak Empu Baskara, dan ia lalu ingat bahwa Empu
Baskara adalah seorang pendiam. Jarang ia
mengobrol dengan orang lain. Ia hanya suka
berbicara seperlunya saja.
"Bolehkah aku bertemu dengan dia, Bapak?"
"Tentu saja boleh, Kisanak. Tapi... nanti dulu! Ia
pernah berpesan kepadaku kalau sedang di dalam
kamarnya ia tak mau diganggu. Baiklah aku tengok
dulu kamarnya, mungkin ia tak berkeberatan jika
Kisanak menemuinya."
"Baiklah, Bapak. Aku akan tunggu di sini saja."
Si pemilik warung itu cepat melangkah ke dalam,
menuju ke kamar Empu Baskara. Sesaat kemudian ia
berlari-lari keluar sambil berseru kepada Mahesa
Wulung. "Wah, celaka, Kisanak. Celaka!"
"Mengapa, Bapak"!" seru Mahesa Wulung tak
kalah kagetnya dengan si pemilik warung yang
berwajah pucat penuh tanda tanya.
"Celaka. Orang tua itu telah menghilang dari
kamarnya, dan lihatlah sendiri, isi kamarnya telah
berantakan!"
Mendengar kata-kata itu, tanpa menunggu lebih
lama lagi, Mahesa wulung segera berlari ke kamar
Empu Baskara yang telah ditunjukkan oleh pemilik
warung. Keduanya masuk ke dalam. Isi kamar itu
ternyata memang berserakan menunjukkan bekas
dibongkar atau digeledah oleh tangan-tangan jahil.
Mahesa Wulung cepat memeriksa barang-barang
yang banyak terhampar di lantai.
Dipungutnya sebuah kitab yang terbuat dari kertas
merang kemudian dibuka-bukanya. Tampak Mahesa
Wulung terperanjat apabila di antara halamanhalaman kitab itu berisi gambar-gambar bentuk
pamor dan hiasan dari mata tombak, panah dan
keris-keris. "Empu Baskara!" desis Mahesa Wulung seraya
menutup kitab itu. Hanya Empu Baskaralah yang
selalu pergi kemana-mana dengan membawa kitabkitab berisi model-model dan keterangan-keterangan
tentang bermacam-macam senjata pusaka.
"Maaf, Bapak. Aku yakin bahwa tamumu itu telah
diculik oleh kedua orang pedagang beras tadi."
"Tapi, Kisanak, aku tak melihatnya ia keluar dari
kamarnya!" ujar si pemilik warung bingung.
"Bukankah mungkin kalau salah satu dari karungkarung yang dibawa mereka tadi berisi tubuh
tamumu, si orang tua yang pendiam dan aneh itu?"
"Eh, ya, ya, mungkin juga demikian, Kisanak," ujar
si pemilik warung.
"Nah, sekarang aku meminta diri, Bapak. Akan
mengejar mereka," kata Mahesa Wulung sambil
melangkah cepat-cepat keluar warung.
Si pemilik warung tak berkata sepatah pun, dan ia
melangkah cepat-cepat ke pintu depan. Dilihatnya
pemuda tadi meloncat dengan cekatan ke atas
punggung kudanya dan bagaikan kilat, ia berpacu ke
arah utara. *** Mahesa Wulung terus melarikan kudanya dengan
kencang, tetapi matanya yang tajam itu tak hentihentinya mengawasi jejak-jejak kaki kuda yang
tampak masih baru. Kepandaiannya mencari jejakjejak dan berburu, sudah digemarinya sejak masa
kecil ketika ia tinggal di Asemarang. Itu semuanya
berkat didikan Ki Sorengrana, pamannya yang amat
dikasihi. Matahari makin condong ke barat ketika ia telah
agak jauh meninggalkan kota Kudus. Sekali-sekali ia
berhenti dan bertanya kepada orang-orang yang lewat
tentang dua orang berkuda yang membawa karungkarung dengan kuda bebannya. Dan ternyata dari
jawaban yang diperolehnya, jelaslah bahwa arah
pengejarannya itu tidak keliru. Kedua orang
buruannya itu berlari ke arah utara.
Jalan yang dilalui bertambah mendaki dan orangorang yang lewat makin jarang dijumpai, sebab jalan
itu mulai menerobos hutan-hutan kecil dan daerahdaerah semak ilalang yang amat pekatnya. Angin
bertiup dengan kencang, terasa menampari wajahnya
dan melambai-lambaikan rambut suri kudanya.
"Jalan ini akan sampai di desa Bae. Tapi aku tidak
akan membiarkan buruanku lolos bersama Empu
Baskara," Mahesa Wulung bergumam sendirian
ketika ia sudah tiba di kaki bukit selatan dari
Gunung Muria yang menjulang tinggi bersaput awan
putih. Jejak-jejak kaki kuda di depannya masih
tampak dengan jelas. Meskipun jejak-jejak tadi amat
banyak, namun Mahesa Wulung dapat menebak
jumlahnya. Sedang seekor di antaranya pasti
bermuatan cukup berat karana terlihat dari jejakjejak kakinya yang amat jelas dan agak dalam di atas
tanah. Keadaan akan bertambah gelap bila matahari telah
tenggelam di cakrawala barat dan pengejaran itu
akan bertambah sulit bagi Mahesa Wulung.
Karenanya Mahesa Wulung lebih mempercepat lari
kudanya agar ia dapat segera mengejar mereka.
Sedang jauh di muka, Kalapati dan Dandangmala
rupanya tahu pula bahwa mereka diikuti oleh
seseorang. Keduanya pun memacu kudanya yang
berlari seperti kilat.
"Adi Dandangmala, cepat kau mendahuluiku dan
mintalah bantuan kepada Kakang Gogorwana di
ujung desa itu!" seru Kalapati kepada sahabatnya.
"Baik, Kakang. Aku berangkat sekarang!" ujar
Dandangmala seraya memacu kudanya lebih cepat ke
arah utara mengikuti arah yang berbelok-belok.
Setelah mendekati pohon beringin tua yang
tumbuh di tepi kanan jalan, Dandangmala
membelokkan kudanya ke kanan menerobos semaksemak bambu dan sebentar kemudian sampailah ia
di depan sebuah gubuk ilalang. Begitu turun dari
kudanya, Dandangmala langsung mendekat gubuk
itu. "Eh, kemana si Gogorwana itu?" terdengar
Dandangmala menggerundal. "Di saat yang
berbahaya ini, tenaganya sangat kuperlukan."
"Kau mencariku, Adi"!" mendadak terdengar suara
yang parau disertai satu gerakan yang mengejutkan
Dandangmala, membuat ia terhuyung ke kanan.
"Ha, ha, ha, ha. Maaf kalau aku telah
mengagetkanmu!" terdengar lagi suara yang parau
dan ketika Dandangmala menoleh ke belakang,
dilihatnya seorang yang bertubuh tegap dan
tangannya memegang sebuah kapak yang berukuran
tidak lumrah besarnya.
"Terlalu! Kau membuatku kaget, Kakang Gogor!"


Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seru Dandangmala disertai mukanya yang masam
berkerut. "Sampai sekarang kebiasaanmu itu tidak
hilang juga!"
"Ha, ha, ha, ha. Kau pun masih suka cepat
menjadi marah, Adi Dandangmala. Nah, lupakanlah
hal itu tadi. Sekarang apa maksud kedatanganmu
kemari itu?"
"Aku dan Kakang Kalapati sedang menuju ke
Pecangakan dan kami dikejar oleh seorang yang
belum kami kenal. Ia mengikutiku sejak dari Kudus.
Bagaimana, Kakang?"
"Hah! Jadi kalian takut menghadapi musuh yang
hanya seorang diri saja?" jawab Gogorwana. "Di mana
letak keberanianmu yang telah sekian tahun selalu
kau perlihatkan itu?"
"Takut" Kau bilang kami berdua tak berani
menghadapi orang itu" Hah! Anak buah Jorangas tak
pernah mempunyai rasa takut dalam menghadapi
musuhnya! Kami memang sengaja tidak ingin
tertunda dalam perjalanan ini, sebab kami membawa
barang yang penting untuk pemimpin kita, Jorangas.
Nah, kiranya Kakang Gogorwana sudah tahu tugas
yang harus kau kerjakan, toh?"
"Mencegat orang itu," ujar Gogorwana.
"Ya, mencegat orang yang mengejar kami itu dan
jika perlu Kakang Gogor boleh...."
"Membunuhnya"!" potong Gogorwana disertai
tertawanya yang berderai memenuhi halaman gubuk
ilalang itu. "Bagus! Memang kebetulan sekali. Sudah lama
tanganku ini gatal untuk bertempur. Tapi jangan lupa
Adi Dandangmala, aku tak pernah mengerjakan
suatu pesanan secara cuma-cuma! Meskipun yang
menyuruh tadi sahabatku sendiri, ha, ha, ha."
"Kau memang mata duitan, Kakang Gogor!
Baiklah, nih terimalah untukmu!" kata Dandangmala
seraya melempar kantong kecil yang diambil dari ikat
pinggangnya. Dengan sigap Gogorwana menangkap kantong itu
dan segera membukanya serta menghitung isinya,
seikat mata uang logam.
"Heh, heh, ini sudah cukup, Adi Dandangmala.
Sekarang kau boleh pergi meneruskan perjalananmu.
Biarlah aku hadapi orang itu!"
"Terima kasih, Kakang Gogor. Aku pergi sekarang,"
ujar Dandangmala dan iapun meloncat ke atas
punggung kudanya serta dipacu ke arah jalan yang
semula, menuju utara dan ternyata dilihatnya
Kalapati sudah berpacu agak jauh di depannya.
Kini keduanya berkuda berdampingan dengan hati
lega karena orang yang mengejar mereka telah
dipasrahkan kepada Gogorwana. Sekali-sekali mereka
menoleh ke belakang untuk melihat kuda bebannya
yang digandeng kuda Kalapati. Mereka mencemaskan
karung-karung yang diikat di punggung kuda beban
itu, sebab satu di antaranya berisi tubuh Empu
Baskara yang terikat, tak sadarkan diri dan sangat
berharga bagi gerombolan Jorangas!
*** 3 Mahesa Wulung terus mempercepat lari kudanya
menuju ke utara mengikuti jalan yang berbelok-belok
dan menanjak. Tiba-tiba di antara desiran angin
senja yang bertiup itu terdengarlah oleh telinga
Mahesa Wulung bunyi orang menebang pohon yang
berdentang-dentang menggema di arah utara dari
jalan yang akan ditempuhnya.
"Hmm, sungguh aneh bunyi itu. Kalau saja orang
menebang pohon, itu sudah biasa. Tetapi dalam senja
begini ini, bukanlah waktunya yang tepat untuk
menebang pohon! Aku mesti hati-hati mengambah
daerah ini," Mahesa Wulung berpikir keras untuk
menduga-duga siapakah orangnya yang berbuat itu,
menebang pohon dalam waktu yang tidak semestinya.
Maka ditariknya kekang kudanya agar berkurang
kecepatan larinya.
Dari jauh tampak olehnya puncak-puncak pohon
beringin yang tumbuh subur menaungi jalan yang
berseling-seling dengan pohon kenari. Satu pertanda
bahwa ujung Desa Bae sudah bertambah dekat.
Sesaat kemudian bunyi berdentang-dentang orang
menebang pohon itu berhenti. Mahesa Wulung makin
berhati-hati. Kaki kudanya melangkah terus dan
sekali-kali dari mulut kuda terdengar bunyi
meringkik yang kecil. Hal ini membuat Mahesa
Wulung merasa curiga.
"Kuda ini telah mencium sesuatu yang asing dan
mungkin bahaya yang besar sedang mengintai di
depan!" Belum habis Mahesa Wulung berpikir itu, tiba-tiba
kudanya mengeluarkan ringkikan yang keras disertai
kepalanya yang sebentar mengangguk serta ditariktarik ke belakang.
"Heeee, kuda ini tidak mau melangkah maju!" desis
Mahesa Wulung ketika dilihatnya kuda itu hanya
berdiri sambil menderap-derapkan kaki depannya ke
tanah. Mahesa Wulung melihat sekeliling. Sepi! Hanya
pohon-pohon kenari dan beringin yang menaungi
serta memagari jalan itu, bagaikan setan-setan alas
yang berbaris menantikan mangsanya. Mendadak
satu bunyi berderak terdengar amat keras dan satu
pohon kenari bergoyang dan bergerak ke bawah ke
arah Mahesa Wulung bersama kudanya.
Kejadian itu amat mendadak seperti memukau
kesadaran pikiran. Namun Mahesa Wulung bukan
anak kemarin sore, maka melihat batang pohon
kenari yang melayang roboh siap menghancurkan
tubuhnya itu, ia cepat-cepat menarik tali kekang
kudanya. Ternyata kuda Mahesa Wulung itupun
mencium bahaya yang sedang terjadi. Dengan satu
ringkikan keras, begitu ia merasa mulutnya tertarik
oleh tali kekang, iapun mendongak ke samping
kemudian membuat satu loncatan berbalik ke
belakang yang cukup jauh.
Bunyi berderak dari robohnya batang pohon kenari
yang melintang ke jalan, terdengar sangat keras
memenuhi tempat sekelilingnya. Untunglah Mahesa
Wulung dengan kudanya telah bertindak dengan
cepat Kalau sedikit saja terlambat, pastilah mereka
akan hancur lumat ditimpa oleh batang pohon kenari
itu, yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan.
Mahesa Wulung merasa bersyukur, bahwa dirinya
telah terhindar dari maut. Sementara itu tangan
kanannya berkali-kali menepuk-nepuk leher kudanya
agar menjadi tenang kembali
Dalam hati Mahesa Wulung terpesona melihat
besarnya batang pohon kenari yang telah roboh itu.
Dapatlah dibayangkan sepintas lalu, betapa hebatnya
tenaga yang telah mampu menebang putus batang
kenari dalam waktu yang sesingkat itu.
Belum habis rasa kagumnya, tiba-tiba hati Mahesa
Wulung berdesir melihat satu sosok tubuh manusia
yang melesat dari kerimbunan semak-belukar dan
langsung berdiri tegak laksana patung perkasa di
atas batang pohon kenari yang telah roboh melintang
di tengah jalan.
"Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kowe pancen gesit! Tapi jangan lekas membusung dada
sebelum bisa menghadapi Gogorwana!" seru orang tegap yang baru
muncul disertai sorot matanya yang kemerahan.
"Ooo, jadi kaulah yang bernama Gogorwana dan
bergelar Blandong Nyawa"!" ujar Mahesa Wulung
kaget, sebab ia pernah mendengar nama tokoh ini,
yang dikenal sebagai seorang pendekar liar dengan
senjata kapaknya. Kepandaiannya menebang dan
membelah batang pohon sama baiknya jika ia
menebas dan membelah tubuh lawan-lawannya.
"Jadi kau sudah tahu nama gelarku" Ha, ha, ha,
itu lebih baik, agar kau mati dengan kepuasan. Nah,
sekarang hadapilah kematianmu dengan tenang
supaya pekerjaanku menjadi lebih mudah!"
"Tunggu dulu, Kisanak! Kau boleh membunuh
Mahesa Wulung, asal lebih dahulu kamu sebutkan
sebab-musababnya mengapa sampai kau berminat
menghalangi perjalananku ini?"
Sekali ini Gogorwana atau yang bergelar Blandong
Nyawa serentak terperanjat mendengar nama Mahesa
Wulung. Ia telah mendengar nama itu, nama dari
seorang pendekar Demak yang menjadi musuh dari
setiap gerombolan hitam hampir di segenap
Nusantara. Tapi memang dasar Gogorwana seorang pendekar
liar yang keras kepala serta membanggakan segenap
kekuatannya, maka perasaan cemas dan
terperanjatnya segera lenyap dari sudut-sudut
hatinya, lalu berubah menjadi rasa bangga karena
dapat berhadapan dengan Mahesa Wulung. Satu
tokoh yang selalu menghantui orang-orang
gerombolan hitam.
"Hah, kebetulan sekali jika musuhku kali ini
seorang yang sudah mempunyai nama tenar! Mahesa
Wulung, ketahuilah bahwa kau harus kulenyapkan
dari muka bumi ini, karena telah berkali-kali
menghancurkan teman-temanku dari gerombolan
hitam dan juga kau telah berani mengejar-ngejar
kedua sahabatku!"
"Keparat, kau ternyata antek begundal gerombolan
Jorangas! Kalau begitu, bukan aku yang harus mati,
tapi kamulah yang harus kuantarkan ke neraka!"
teriak Mahesa Wulung sambil bersiaga dan meloncat
turun dari atas kudanya.
"Setan! Memang tanpa tedeng aling-aling, akulah
anak buah gerombolan Jorangas! Makanya kamu
harus mampus!" teriak menggeram Gogorwana
menggema di sekeliling tempat itu dan tahu-tahu ia
bergerak seperti kilat melancarkan serangannya
dengan satu tebasan membujur ke bawah, ke arah
kepala Mahesa Wulung. Mata kapak berkilat
merupakan sinar putih yang siap membelah kepala
Mahesa Wulung dengan cepatnya, namun secepat itu
pula Mahesa Wulung membungkuk menghindari
serangan ini dan tubuhnya berguling ke samping
beberapa langkah jauhnya, kemudian disusul bunyi
menggegar akibat mata kapak raksasa si Gogorwana
melesat dan kemudian membalah hancur batu hitam
di bawahnya. Mahesa Wulung cepat-cepat berdiri bersiaga
kembali. Demikian pula Gogorwana pun bersiaga,
dibarengi mulutnya yang menggerundal memaki-maki
karena serangannya tadi dengan mudah dielaki oleh
lawannya. Tanpa berkata-kata lagi ia menekap
giginya, dikerahkannya segenap kekuatannya untuk
kemudian sambil berteriak keras ia mengayunkan
kapaknya mendatar, melintang dengan derasnya ke
arah dada Mahesa Wulung yang telah bersiaga.
Sekali lagi Gogorwana dibikin terkejut oleh gerakan
lawannya yang cepat selincah burung sikatan. Begitu
mata kapaknya hampir merobek dada Mahesa
Wulung, lawannya ini membungkukkan tubuhnya
serendah mungkin dan... Wesss! Bunyi berdesir dari
kapak Gogorwana yang melesat dan lewat di atas
kepala Mahesa Wulung terdengar menyerikan telinga,
disusul suara berderak keras. Sebatang pohon dadap
yang cukup basar terbabat putus!
Untuk kedua kalinya serangan Gogorwana gagal,
sedang tubuhnya yang terbawa oleh arah ayunan
kapaknya yang begitu deras, dipergunakan oleh
Mahesa Wulung sebaik-baiknya. Dengan sedikit
tendangan sisi telapak kaki kanannya pada pinggang
Gogorwana, membuat orang ini terhuyung ke depan
dan kemudian jatuh terjungkal ke semak ilalang!
Gogorwana berdiam diri mengatur nafasnya yang
mengalir berdesakan tak teratur. Setelah agak
tenang, ia mengangkat kedua tangannya yang masih
menggenggam kapak itu melintang ke depan
dadanya. Sejurus kemudian dengan pelan-pelan
kapak itu bergerak ke atas dan berhenti setelah
sejajar dengan tubuh Gogorwana, sedang mata kapak
itu menghadap lurus ke arah Mahesa Wulung.
Dan dugaan itu ternyata tidak meleset. Sekejap
saja kapak di tangan Gogorwana telah berputar
seperti angin badai, berdesing-desing dibarengi
kilatan-kilatan mata kapak yang menyilaukan mata
meskipun senja makin menggelap. Bersamaan
Gogorwana mengeluarkan ilmu kapaknya yang
dahsyat itu, Mahesa Wulung pun memutar
pedangnya yang berkelebatan mengerikan hati.
Maka di saat sang purnama mulai muncul di
cakrawala timur, kedua pendekar itupun bertempur
dengan hebatnya. Masing-masing telah mengerahkan
segenap tenaga dan siasatnya guna merobohkan
lawannya dengan secepat mungkin. Beberapa batang
pohon kecil-kecil di sekitar mereka terbabat dan
tersambar putus oleh kedua senjata pendekar itu
yang bersambaran saling mengejar.
Menginjak jurus yang ke lima belas terasa oleh
Gogorwana bahwa kedudukannya sedikit demi sedikit
mulai tergeser oleh Mahesa Wulung yang tandangnya
persis banteng ketaton dengan ujung pedangnya yang


Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak cepat laksana ujung-ujung tanduk, siap
menjebol setiap lawannya.
Sementara itupun Mahesa Wulung berpikir keras
dalam menghadapi Gogorwana yang bertenaga luar
biasa. Setiap pukulan dan ayunan kapaknya selalu
disertai oleh sambaran angin panas! Pikirannya
melayang ke arah Empu Baskara yang telah dibawa
lari oleh kedua penculiknya. Ya, jika ia semakin lama
bertempur di tempat ini, pastilah jarak kedua
penculik itu akan lebih jauh dan mungkin tidak akan
terkejar lagi. Bahkan mungkin pula ia tidak bisa
menyelamatkan Empu Baskara dari tangan
gerombolan Jorangas!
Mengingat itu semua, Mahesa Wulung mengambil
keputusan untuk menyudahi pertempurannya. Tetapi
bagaimana" Sedang serangan Gogorwana bertubitubi datangnya. Tiba-tiba sekilas senyum tersungging
di bibir Mahesa Wulung, satu pertanda bahwa ia
telah menemukan suatu cara terbaik guna
menyudahi pertempuran itu.
Maka di saat ia melihat satu kesempatan yang
kecil, yang tampaknya tak mungkin dapat ditembus,
Mahesa Wulung telah menggunakannya dengan
sebaik-baiknya. Sebuah tebasan pedangnya yang
mendatar dan amat lincah bergerak dengan manisnya
ke arah perut Gogorwana.
Dess! Gogorwana terpekik kecil sambil mengutuk
sedang tangan kirinya cepat bergerak ke bawah.
Ternyata ujung pedang Mahesa Wulung telah
membabat putus ikat pinggang Gogorwana sampai ke
sebelah dalamnya sekali, sehingga celana beserta
kain Gogorwana melotrok ke bawah karena tidak ada lagi yang menekan.
Gogorwana menjadi serawutan. Sementara tangan
kirinya menahan celana dan kainnya agar tetap pada
pinggang, tangan kanannya bergerak separo tenaga
dalam mengobat-abitkan kapaknya yang besar itu.
Geraknya menjadi tak karuan, sebab disamping rasa
marah, ia pun menjadi malu karena harus bertempur
dengan cara yang demikian. Maka Gogorwana
meloncat ke belakang dua langkah kemudian berbalik
dan meloncat panjang ke arah semak-semak yang
rimbun dan gelap. Tubuhnya lenyap seolah-olah
ditelan oleh kegelapan malam.
Mahesa Wulung membiarkan lawannya lari. Ia
cukup puas dapat menyudahi pertempuran itu
dengan cara yang mudah, tanpa menimbulkan
korban. Segera pedangnya disarungkan kembali dan cepat
ia meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan satu
sentakan tali kekang pada mulutnya serta depakkan
kecil dari kaki Mahesa Wulung pada perutnya, maka
kuda itupun tahu apa yang dikehendaki oleh
tuannya. Mulutnya mengeluarkan ringkikan panjang
melengking dengan satu loncatan yang manis. Ia
melangkahi batang pohon kenari yang melintang
roboh di tengah jalan itu. Mahesa Wulung
memacunya kembali ke arah utara.
Setelah menanjak dan sekali lagi menurun, tibalah
ia di Desa Bae. Keadaan desa itu tampak sepi, sedang
semua pintu ditutup rapat-rapat, seperti dicengkam
oleh suasana ketakutan. Mahesa Wulung merasa
heran sebab pada umumnya, jika suasana cerah dan
bulan telah timbul, pastilah setiap orang akan
menjadi senang. Mereka biasanya lalu bergerombol
atau duduk-duduk di halaman rumahnya untuk
mengobrol dan bergurau dengan keluarga atau pun
sahabat-sahabatnya. Sedang anak-anak kecil akan
bermain-main sambil bertembangan ataupun berlari
berkejar-kejaran.
Tetapi kali ini bukan suasana begitu yang
dijumpainya, malahan sebaliknya, sepi dan tanpa
suara orang yang bercakap-cakap. Mahesa Wulung
melambatkan lari kudanya untuk sekedar meneliti
suasana desa tersebut.
"Hmm, sayang sekali tak seorang pun yang
tampak. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada salah
seorang penduduk desa ini untuk mengetahui ke
mana larinya buruanku tadi?"
Rumah-rumah desa itu berapitan memanjang ke
arah jalan yang tengah dilaluinya. Belum seorang
pun yang tampak! Mahesa Wulung makin mendekati
ujung desa yang sebelah utara dan sebentar lagi
pastilah ia akan tiba di luar desa.
"Berhenti!" teriak seorang yang bertubuh jangkung
bersenjata tombak. Sedang laki-laki bertubuh kekar
di sampingnya, mengacung-acungkan sebilah keris ke
arah Mahesa Wulung.
"Ini pasti orangnya! Pateni bae! Jangan kasih lolos dia, Kang Joran!" teriak
yang bersenjata keris kepada
si jangkung. "Ya, pasti kita sikat dia. Tapi jangan tergesa-gesa.
Biar aku tanya orang ini lebih dahulu!" seru orang
yang disebut Joran oleh si tubuh kekar itu. "Dan
siapkan orang-orangmu, Adi Siwalan!"
"Baik, Kakang!" teriak si tubuh kekar yang
bernama Siwalan, kemudian ia melambaikan
kerisnya. Serentak beberapa orang lagi muncul dan
mengepung Mahesa Wulung.
"Ooh, ini pasti terjadi salah paham dengan diriku.
Aku mesti hati-hati menghadapinya!" desis Mahesa
Wulung sambil menghentikan kudanya yang masih
meringkik-ringkik kecil.
"Apa maksudmu lewat di desa ini, Kisanak"!"
teriak Joran dengan lantang.
"Maaf, kalian sebenarnya menghalangi jalanku.
Aku tengah mengejar buruanku yang berkuda,
sebanyak dua orang serta membawa kuda beban
yang bermuatan karung-karung!" ujar Mahesa
Wulung. "Oooo, jadi Kisanaklah yang mengejar-ngejar kedua
orang pedagang beras itu dan bermaksud merampas
harta bendanya!" seru Joran memotong.
"Kisanak telah salah paham!" ujar Mahesa Wulung
dengan tenang, sementara otaknya berpikir keras
menghadapi keadaan yang kini terjadi dan cukup
gawat. Segera ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
sesuatu telah terjadi sebelum ia tiba di sini. Dan juga ia yakin kalau orangorang ini tidak mempunyai
maksud-maksud yang jahat. Mereka sudah
sepantasnya kalau mencurigai dirinya, sebagai orang
asing di tempat ini, ia tidak akan berbuat sesuatu
yang bisa membikin keadaan bertambah panas.
"Memang aku sedang mengejar kedua orang tadi
yang dikenal sebagai pedagang-pedagang beras,"
Mahesa Wulung berkata pelan. "Tetapi ketahuilah
bahwa mereka sebenarnya adalah anak buah
gerombolan Jorangas!"
Mahesa Wulung kebingungan juga menghadapi
keyakinan mereka yang keliru itu. Kalau jalan baik
dan musyawarah tak dapat dicapai, pastilah satusatunya jalan ialah dengan kekerasan. Ia akan
menerobos kepungan orang-orang itu dan
meneruskan pengejaran.
"Begitulah kenyataannya seperti yang telah aku
katakan tadi. Percaya dan tidaknya terserah kepada
saudara-saudara semua. Tetapi lebih dulu berilah
aku jalan untuk meneruskan perjalananku!"
"Ha, ha, ha, itu tidak mungkin! Aku adalah kepala
keamanan desa ini, dan segala kepentingan disini ada
di bawah naunganku, termasuk kedua orang
pedagang beras itu. Mereka telah meminta tolong
kepadaku agar mereka diselamatkan dari orang yang
mengejarnya, yaitu Kisanak sendiri!" Joran berkata
dengan nada yang tajam setengah mengancam. Maka
sebaiknya Kisanak menurut saja untuk kami tahan!"
Kata-kata Joran itu sungguh mengejutkan bagi
Mahesa Wulung dan mengguntur bagai guruh di
telinganya. "Menahanku disini"!"
"Ya! Kisanak akan kutahan disini. Dan setelah
kami periksa serta terbukti kalau Kisanak orang yang
baik-baik, pasti kami akan bebaskan kembali!"
"Aku menolak maksudmu itu!" seru Mahesa
Wulung lantang, sampai membuat orang-orang itu
terperanjat. Baru kali ini ada orang yang berani
menantang keputusan laskar pagar desa, di tempat
mereka sendiri. Maka bagi mereka, itu terasa sebagai
satu penghinaan yang amat besar. Sungguh-sungguh
keterlaluan! Betapa akan hilangnya kewibawaan
mereka, karena di tempat mereka sendiri ada orang
yang berani menentangnya! Beberapa orang tampak
menjadi merah mukanya, sedang Joran dan Siwalan
menggertakkan gigi karena jengkelnya.
"Cincang saja orang ini! Jadikan bergedel!" teriak
Siwalan ganas. "Keparat, kau minta dipaksa orang asing!"
sambung Joran sambil menyiapkan tombaknya.
"Silahkan, kalau kalian mau menangkapku!" teriak
Mahesa Wulung dan sekali lagi mereka benar-benar
dibuat terperanjat, tapi juga membikin mereka
kehilangan kesabarannya! Kesabaran yang terakhir!
"Hyaaaat!"
Sebuah teriakan nyaring terdengar, berbareng
melesatnya Joran dengan satu tusukan tombaknya
ke arah dada Mahesa Wulung. Serangan itu begitu
cepat dan hampir-hampir saja mengenai sasarannya,
jika Mahesa Wulung tidak keburu merobohkan
tubuhnya ke belakang. Mata tombak itu lewat
sejengkal di depan dadanya dan dengan sigap, tangan
kanan Mahesa Wulung menangkap tombak.
Joran terperanjat melihat Mahesa Wulung
menangkap tangkai tombaknya dan lebih kaget lagi
bila terasa olehnya bahwa ia tak dapat menggerakkan
sama sekali tangkai tombaknya. Seolah-olah telah
dijepit oleh dua dinding baja!
Kemudian dengan tenaga yang tidak begitu besar,
Mahesa Wulung mendorongkan ke belakang tombak
Joran, dan berakibat cukup hebat! Orang ini jatuh
terjengkang ke belakang beberapa langkah di atas
tanah. Orang-orang lain terpekik kecil, seolah-olah
tak percaya melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
Joran cepat berdiri dan menyerang kembali,
sementara pada saat itu juga, Siwalan pun
melancarkan serangan kerisnya ke arah Mahesa
Wulung. Dua serangan itu datang berbareng dan
sebagai air bah siap melanda Mahesa Wulung
bersama kudanya.
Mahesa Wulung mengeluh dalam hati. Ia tak
mengira sama sekali bahwa keadaan berkembang ke
arah yang demikian itu. Tetapi segala sesuatu telah
terlanjur dan ibarat orang yang menyeberang sungai,
kalau kainnya sudah dijinjing tinggi-tinggi tapi masih
juga basah, maka lebih baik kalau ia
mencelupkannya sama sekali, agar penyeberangan
tidak terganggu olehnya!
Maka begitu pun dengan Mahesa Wulung. Ia tak
mau mati konyol di tangan orang-orang ini, yang
bukan seharusnya menjadi musuhnya. Dengan satu
kecepatan yang hampir tak terlihat oleh mata,
Mahesa Wulung melolos pedangnya dan sekaligus
diputarnya untuk menghadapi serangan Joran dan
Siwalan yang datangnya berbareng.
Tak! Trang! Dua suara benturan terdengar dan
mata tombak Joran terbabat putus, sedang keris
Siwalan terpental lepas dari tangannya disusul
tubuhnya jatuh terpelanting ke tanah!
"Maaf, Kisanak!" terdengar satu suara lembut,
seolah-olah mempunyai satu perbawa dan membuat
Mahesa Wulung serta orang-orang itu tersadar dari
nafsu amarahnya, nafsu yang bisa menyeret manusia
ke dalam perbuatan yang di luar batas kesadarannya.
Dari sela-sela orang-orang itu, muncullah ke
depan, seorang yang berwajah damai dengan
rambutnya yang keputihan.
"Maaf, Kisanak!" terdengar sekali lagi orang tua itu
berkata dengan lembutnya. "Orang-orangku ini
terlalu kasar, tapi percayalah bahwa mereka bukan
orang-orang kejam yang suka membunuh dan
mencincang!"
"Ooh, Ki Lurah Bae!" desis orang-orang itu,
terdengar oleh telinga Mahesa Wulung.
Cepat-cepat ia meloncat turun dari atas kudanya.
"Tak apalah, Bapak. Aku pun tak mempunyai
maksud yang buruk. Maaf, jika aku telah
merusakkan senjata-senjata mereka!" ujar Mahesa
Wulung sambil menyarungkan pedangnya.
"Kisanak," Ki Lurah Bae melanjutkan. "Apakah
Kisanak mempunyai kalung?"
"Kalung?" Mahesa Wulung kaget. "Betul aku
membawa sebuah kalung. Tapi apa maksud Bapak?"
"Aku ingin melihatnya, jika Kisanak tak
berkeberatan," kata orang tua itu.
"Mmm, baiklah, Bapak."
Mahesa Wulung segera melepaskan untaian
kalungnya dan kemudian menunjukkan sekali
kepada Ki Lurah Bae.
Serentak terdengar suara bergumam dari mulut
orang-orang itu, yang kaget setengah ketakutan!
Sebab hias kalung itu berbentuk lingkaran bergerigi
seperti mata senjata cakra Sang Prabu Kresna, dan
mereka mengenalnya sebagai lambang keperwiraan


Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari seorang tamtama Demak!
"Nah, kalau begitu tak salah dugaanku bahwa
Kisanak adalah salah seorang perwira dari Demak,
dan bolehkah aku mengenal nama Tuan?" orang tua
itu berkata lebih hormat. Sedang Joran dan Siwalan
tersirap darahnya setelah mendengar bahwa orang
yang baru saja dilawannya itu tidak lain adalah
seorang perwira dari Demak. Hukuman apakah yang
akan dijatuhkan kepada dirinya, kalau orang-orang
seperti dia telah berani melawan bahkan mengancam
seorang perwira dari Demak.
"Aku biasa dipanggil Mahesa Wulung, Bapak,"
terdengar suara lemah dari mulut Mahesa Wulung,
tapi cukup terasa sebagai sambaran geledeg pada
telinga orang-orang itu, terutama dengan Joran dan
Siwalan. Mereka telah mendengar nama itu, nama seorang
perwira Demak yang telah berkali-kali mengamankan
serta menjaga Demak dari gangguan-gangguan
kejahatan yang sering kali ditimbulkan oleh
gerombolan hitam, dalam usahanya meruntuhkan
kejayaan Demak.
Maka serentak Joran dan Siwalan melangkah maju
serta membungkuk hormat.
"Maafkan kami, Tuan. Kami orang-orang picik dan
tak berarti ini siap menerima hukuman...."
"Ah sudahlah, Kisanak! Kalian berdua tak
bersalah, sebab aku telah katakan tadi bahwa ini
semua terjadi karena salah paham," Mahesa Wulung
berkata dengan pelan tapi jelas, bagaikan seorang tua
yang tengah menasehati anaknya karena telah
berbuat kurang baik."
"Tetapi, mengapakah Bapak Lurah Bae dapat
menduga kalau aku seorang punggawa Demak?"
lanjutnya. "Aku merasa telah pernah berjumpa dengan Tuan
beberapa tahun yang lalu di alun-alun Demak, dalam
latihan keprajuritan," ujar Ki Lurah Bae. "Waktu itu
aku tengah menghadap ke Demak dan sempat
menyaksikan latihan itu."
Mahesa Wulung segera dapat mengenal kembali
wajah Ki Lurah Bae, yang dahulu pernah berkenalan
dengan dirinya. "Untunglah Bapak lekas turun
tangan. Kalau tidak, pastilah menjadi lebih hebat
peristiwa tadi."
"Begitulah, Tuan. Memang rupanya Tuhan Yang
Maha Besar masih mengulurkan tanganNya, hingga
pertumpahan darah antara sesama sahabat tidak
perlu terjadi. Dan sekarang aku persilahkan Tuan
beristirahat sejenak," ujar Ki Lurah Bae dengan
ramahnya. "Terima kasih, Bapak. Tetapi aku masih harus
cepat-cepat melanjutkan pengejaranku. Aku harus
menangkap kedua orang itu, sebelum mereka kabur
terlalu jauh," ujar Mahesa Wulung. "Nah, selamat
tinggal Ki Lurah dan para kisanak. Aku menyesal
sekali tak dapat bercakap-cakap lebih lama lagi."
Mahesa Wulung setelah mengangguk hormat
kepada orang-orang itu, dengan lincah dan sigap ia
meloncat ke atas punggung kudanya.
"Selamat jalan, Tuan!" seru mereka hampir
berbareng, ketika Mahesa Wulung mulai memacu
kudanya ke arah utara.
Cahaya purnama menerangi jalan yang
ditempuhnya yang sebentar-sebentar turun naik dan
berbelok-belok bagaikan ular yang melilit kaki
Gunung Muria. *** 4 Kuda Mahesa Wulung berlari dengan kencang,
seakan-akan mengerti akan kesulitan yang dihadapi
oleh tuannya. Jalan yang naik turun serta berbelokbelok itu dengan enaknya ditempuh tanpa kesulitan.
Bila Mahesa Wulung melihat ke langit di atas
Gunung Muria dan melihat bintang-bintang yang
bertaburan amat banyak, dapatlah ia segera
mendapatkan gugusan bintang Waluku yang bisa
dipakainya untuk mencari arah utara.
"Hmm, jalan kecil ini menuju ke arah barat laut!"
desis Mahesa Wulung sendirian. "Mungkin sampai ke
Pecangakan!"
Kini Mahesa Wulung melalui jalan yang agak
menurun, sedang di sebelah kiri tampaklah dataran
subur yang terhampar luas. Setelah menyeberangi
sungai kecil, ia menghentikan kudanya, sebab ia
ragu-ragu, apakah kedua orang yang sedang diburu
itu tetap pada jalan yang ditempuhnya.
Cepat-cepat ia turun serta mengambil sesuatu dari
kantong kulit yang tergantung pada pelana kudanya.
"Mudah-mudahan batu api dan kawul ini dapat
menolongku untuk mengetahui jejak kaki kuda
mereka!" Setelah beberapa kali memukul-mukulkan batu
api itu, memancarlah percikan bunga-bunga api ke
kawul itu dan terbakar menyala. Dengan sebuah
dahan kering, dapatlah ia segera membuat api yang
cukup terang menerangi permukaan tanah.
"Yah, jejak-jejak mereka masih tetap pada
arahnya, menuju ke barat laut," gumam Mahesa
Wulung sambil meraba-raba jejak kaki kuda itu.
"Jejak-jejak ini masih baru dan pastilah mereka
belum begitu jauh larinya!"
Bagi Mahesa Wulung, soal mencari jejak-jejak serta
mengetahui seluk-beluknya, bukanlah pekerjaan
yang sukar. Tak terasa oleh Mahesa Wulung, berapa lamanya
ia telah berkuda, sebab perasaannya dipenuhi oleh
ketegangan yang luar biasa. Perhatiannya
sepenuhnya tertumpah pada kedua orang yang
tengah dikejarnya itu. Mereka telah menculik Empu
Baskara. Justru, hal inilah yang telah menjadi
tugasnya! Mencari dan membawa kembali Empu
Baskara ke Demak.
Tetapi sampai saat ini ia tak habis mengerti
mengapa orang tua ini secara diam-diam
meninggalkan Demak. Malahan sekarang ia telah
diculik oleh anak buah gerombolan Jorangas yang
mulai memperlihatkan kegiatannya. Mereka telah
sekian tahun menghilang, tetapi sekarang muncul
kembali. Jalan yang dilewati semakin menurun, melewati
lembah yang subur, penuh oleh pohon yang besarbesar dan rumpun pohon pisang yang tumbuh liar.
Di antara sela-sela daun, beberapa ekor kunangkunang tampak terbang dengan tenangnya, bagaikan
lentera-lentera kecil yang berkedip-kedip amat
indahnya. Di antara deru tiupan angin yang kencang itu,
tiba-tiba Mahesa Wulung mendengar getaran-getaran
dari senjata yang beradu, dan arahnya kira-kira dari
barat laut, tepat pada jalan yang kini tengah
ditempuhnya! Untuk ke sekian kalinya pula Mahesa Wulung
terpaksa berpikir keras. Betapa tidak" Halanganhalangan dan berbagai peristiwa telah datang saling
susul-menyusul dan ini dirasanya sebagai satu
cobaan, satu ujian yang harus dihadapinya dengan
gigih, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam jurang
kehancuran. Demikianlah, semakin cepat Mahesa
Wulung memacu kudanya, semakin jelas suara
senjata-senjata yang berbenturan itu terdengar oleh
telinganya. "Ah, siapakah yang telah bertempur di sana pada
malam-malam sedingin ini?" Mahesa Wulung
dipenuhi tanda tanya dalam hatinya, apalagi
telinganya yang tajam itu mendengar suara lecutan
yang meledak berkali-kali.
Sekonyong-konyong setelah membelok ke kiri dan
kudanya berlari pada jalan yang telah mendatar, di
tengah jalan ia melihat tiga orang yang terlibat dalam
satu lingkaran pertempuran. Mereka tampak sebagai
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelahi,
sambar-menyambar, incar-mengincar.
Seketika Mahesa Wulung tersirap darahnya bila
melihat kepada mereka, sebab salah seorang di
antaranya adalah seorang gadis! Ini dapat
diketahuinya dari bentuk tubuh serta gerakangerakannya yang menarik dan lincah. Meskipun ia
menghadapi dua orang lawan, tapi ia dengan tangguh
melawannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah
senjata yang dipergunakan oleh gadis itu yaitu ia
menggenggam sehelai selendang yang berwarna
jingga merah. Selendang itu dipergunakannya sebagai
senjata yang berputaran amat hebat seperti kitiran,
sedang ujung selendang itu sesekali mematuk ke
arah dua orang lawannya.
"Hee, itu kalau tidak keliru adalah Adi Pandan
Arum. Tapi mengapa ia berada di sini?" desis Mahesa
Wulung saking herannya.
Ketika ia semakin dekat dengan mereka, mata
Mahesa Wulung seketika terbelalak,
sebab dugaannya tadi ternyata benar. Gadis yang
bertempur itu adalah Pandan Arum, sedang kedua
orang lawannya tidak lain adalah Dandangmala dan
Kalapati. Dua orang anak buah Jorangas yang tengah
dikejarnya! Maka Mahesa Wulung tak menunggu lebih lama
bagi. Dengan cepat dan cekatan ia meloncat dari atas
kudanya dan langsung terjun ke tengah arena
pertempuran! "Adi Pandan Arum, biar yang seorang ini menjadi
bagianku!" teriak Mahesa Wulung seraya menerjang
Kalapati yang bertubuh kekar. Sebaliknya, Pandan
Arum kaget tapi juga bercampur gembira sebab
kedatangan Mahesa Wulung itu benar-benar tidak
diduganya sama sekali. Memang, dalam hatinya pun
gadis ini telah merasa kangen kepadanya, sebab telah
beberapa waktu ia terpaksa berpisah dengan Mahesa
Wulung. Ia selama itu tinggal di daerah Jepara untuk
menemani bibinya, Nyi Sumekar. Seketika itu
terjadilah dua lingkaran pertempuran yang cukup
hebat, di bawah naungan sinar terang sang purnama.
"Kakang Wulung! Cepat selesaikan musuh-musuh
kita ini. Mereka telah menculik Empu Baskara!" seru
Pandan Arum lantang sampai membuat Mahesa
Wulung terkejut seketika.
"Adi Pandan Arum, dari mana kau tahu hilangnya
Empu Baskara?" seru Mahesa Wulung pula.
"Dari Kakang Jagayuda. Aku telah bertemu dengan
dia di Jepara!"
"Bagus! Kalau begitu, kau pun harus cepat
membereskan lawanmu!" sekali lagi Mahesa Wulung
berseru dan merekapun bertempur semakin gigih.
Dalam pertempuran itu, setelah berjalan beberapa
jurus Kalapati terpaksa mengucurkan keringat
dinginnya. Diam-diam ia mengutuk sejadi-jadinya
karena kedatangan Mahesa Wulung itu. Untuk
menghadapi lawannya, Kalapati tidak kepalang
tanggung mengeluarkan ilmu pedangnya yang
dahsyat. Maka tak heran jika pedang di tangannya itu
bersambaran dengan bunyi mendesing, mengurung
tubuh Mahesa Wulung yang kini menjadi lawannya
itu ternyata pula mempunyai ilmu pedang yang tak
kalah hebatnya, yaitu 'Sigar Maruta', yang telah
diajarkan oleh Ki Camar Seta dari Selat Karimata.
Jika dua senjata orang itu beradu, maka
berloncatanlah percikan-percikan bunga pi dan
menerangi tempat itu laksana cahaya siang.
Sementara itu Dandangmala tampak menjadi
kewalahan karena semakin terdesak oleh serangan
selendang Pandan Arum yang menyambar dan
mematuk-matuk seperti ular. Pedang di tangannya
hampir sama sekali tak berarti untuk melawan ilmu
selendang 'Sabet Alun' dari Pandan Arum ini. Maka
iapun dengan segera mengambil senjata rahasianya
dari ikat pinggang dan sekaligus melemparkannya
dengan tangan kirinya ke arah Pandan Arum.
Serentak berhamburanlah puluhan paku baja
beracun menuju ke tubuh gadis itu! Bersamaan
dengan teriakan Mahesa Wulung yang
memperingatkan gadis itu terhadap serangan senjata
rahasia yang amat tiba-tiba, Pandan Arum pun
secepat itu pula bertiarap ke tanah.
Sebenarnya ia dapat menangkis serangan itu
dengan senjata selendangnya, tapi serangan paku
beracun itu amat mendadak, sehingga satu-satunya
jalan ialah bertiarap menghindari maut itu.
Ternyata Dandangmala cukup cerdik. Berbareng
Pandan Arum bertiarap menghindari serangannya
itu, cepat-cepat ia melesat ke samping meninggalkan
arena pertempuran dan langsung menuju ke arah
kuda beban. Sebuah karung yang terbesar
disambarnya dan kemudian dipanggul serta
dibawanya kabur.
"Aaaaakh!" terdengar teriakan ngeri keluar dari
mulut Kalapati, ketika sebuah kilatan pedang Mahesa
Wulung menebas lambung kirinya. Dengan mulut
yang menganga seakan tidak percaya, ia masih
mencoba mengerahkan sisa tenaganya untuk


Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membacok Mahesa Wulung yang dengan tenangnya,
kini berdiri di hadapannya. Tetapi tangannya yang
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan siap
membacok itu, ternyata tidak tahan lagi, Pedangnya
terlepas jatuh ke tanah bersamaan darah merah
segar menyembur dari lambung kirinya. Seketika itu
pun ia terguling rebah dan mati.
"Adi Pandan Arum, cepat bangun! Lawanmu telah
kabur dan membawa lari Empu Baskara. Ayo, kita
kejar dia! Cepat!"
Teriakan Mahesa Wulung itu ternyata berpengaruh
besar bagi Pandan Arum. Bagai orang yang sadar dari
mimpi iapun cepat bangun dan melesat bersamasama Mahesa Wulung untuk mengejar Dandangmala
yang telah lari.
Kejar-mengejar terjadi dengan serunya. Mereka
seperti tiga ekor ayam hutan yang saling berkejaran
menyusup menerobos segala semak belukar yang
rimbun dengan amat lincah dan pesatnya. Namun
Mahesa Wulung kepandaiannya berlari lebih unggul
dari Pandan Arum ataupun Dandangmala sendiri.
Maka sebentar kemudian tersusullah Dandangmala
oleh Mahesa Wulung.
Dengan satu loncatan yang manis, Mahesa Wulung
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan ia
meloncat melayang ke udara untuk kemudian
menubruk Dandangmala. Satu totokan jari-jarinya ke
arah pangkal telinga Dandangmala, sudah cukup
untuk merobohkan orang ini ke tanah bersama-sama
karung yang dipanggulnya.
Bagaikan selembar kain, tubuh Dandangmala
terkapar tanpa daya. Semua anggota badannya
seolah-olah lumpuh, kecuali mata dan mulutnya.
"Nah, Adi Pandan Arum, kini berhasillah tugas
kita! Empu Baskara kembali ke tangan kita!" ujar
Mahesa Wulung sambil mendekati karung yang
tergeletak di tanah.
Pandan Arum pun mendekat, rupanya ia sudah
tidak sabar lagi. Maka cepat-cepat ia membuka talitemali yang mengikat karung itu, sementara Mahesa
Wulung mengikutinya dengan pandangan mata serta
hatinya yang berdegup-degup keras.
"Ooooh, apa ini"! Kakang Wulung, lihat!" seru
Pandan Arum keras. Demikian juga Mahesa Wulung
terbelalak matanya demi melihat isi karung yang
telah dibuka itu.
"Kurang ajar! Isinya hanya daun-daun kering
belaka," seru Mahesa Wulung sambil mengaduk-aduk
isi karung. "Kita tertipu mentah-mentah!"
"Kakang Wulung, mari kita tanyai orang itu.
Mungkin ia tahu kemana mereka menyembunyikan
Empu Baskara!" tukas si Pandan Arum terdengar.
"Ya, aku setuju hal itu," Mahesa Wulung berkata
seraya mendekati tubuh Dandangmala. Meskipun
setengah lumpuh, orang ini masih juga memancarkan
sinar matanya yang tajam menatap Mahesa Wulung
dan Pandan Arum.
"Hei, Dandangmala! Cepat kau katakan di mana
Empu Baskara kau sembunyikan"!"
Tak menjawab si Dandangmala. Benar-benar ia
mengunci mulutnya. Mahesa Wulung mulai tak
sabar. "Ayo, lekas katakan, setan! Di mana Empu
Baskara berada!"
Belum juga terdengar jawaban dari mulut
Dandangmala, kecuali dengus nafasnya yang naik
turun amat kencangnya. Hal ini membuat Mahesa
Wulung kehabisan sabarnya.
"Taar! Tar! dua" tamparan tangannya telah singgah
di pipi Dandangmala. Tapi ia masih tetap bungkam
dan Mahesa Wulung betul-betul marah kali ini.
Segera ia menghunus pedangnya.
"Cepat berkata! Kalau tidak, nyawamu akan
melayang di ujung pedangku ini!" Bentak Mahesa
Wulung. "Di mana Empu Baskara!"
Melihat mata pedang menempel dadanya,
Dandangmala menjadi ketakutan. "Baik! Baik...! Aku
akan katakan kepadamu. Tapi jangan... bunuh aku.
Empu Baskara telah dibawa oleh.... Aaaakh!"
Teriakan panjang memilukan terdengar dari
mulutnya, bersamaan sebuah leretan sinar putih
yang menyambar cepat ke arah lehernya dan
menancap di situ! Dandangmala mati seketika.
"Paku baja beracun!" desis keduanya berbareng,
kemudian meloncat berdiri serta bersiaga.
"Ha, ha, ha, ha! Kalian betul-betul goblok! Akulah
yang membawa Empu Baskara! Nah, selamat tinggal
sobat!" teriakan itu terdengar bersamaan sebuah
bayangan berkelebat amat cepat. Gerakannya bagai
hantu. Bayangan itu memanggul sebuah karung pada
bahu kirinya sedang tangan kanannya menjinjing
sebuah kapak besar!
"Tahan, Kakang Wulung! Jangan kejar sekarang
juga. Biarkan ia berlari," seru Pandan Arum sambil
memegang lengan kanan Mahesa Wulung.
"Mengapa, Adi Pandan?"
"Berbahaya jika dikejar sekarang pula," jawab
Pandan Arum. "Jangan kuatir, Kakang, aku tahu
sarang mereka, orang-orang gerombolan Jorangas itu!
Kita akan ke sana dan mencari Empu Baskara."
"Hmm, benar juga katamu itu, Adi," ujar Mahesa
Wulung. "Tapi kita harus singgah dulu ke Jepara.
Kita akan menjemput Adi Jagayuda disana dan
selanjutnya kita bertiga akan menerobos ke sarang
mereka." Tak lama kemudian, Mahesa Wulung telah
menyiapkan kudanya, juga Pandan Arum pun
mengambil salah seekor kuda dari kedua orang
gerombolan Jorangas yang telah mati itu. Keduanya
segera meloncat ke atas punggung kudanya masingmasing serta berpacu ke arah barat laut dengan
kencangnya. Bila rembulan semakin bergeser ke arah langit
barat, Mahesa Wulung dan Pandan Arum
mempercepat lari kudanya, mereka ingin lekas-lekas
sampai di Jepara, dan kemudian mencari Empu
Baskara. Dalam berkuda itu Mahesa Wulung berpikir
dengan heran tentang munculnya Pandan Arum
dalam saat-saat yang tepat. Bukannya ia tidak
merasa senang dengan kedatangan gadis ini. Tetapi
masalah yang kini harus dihadapinya cukup berat
dan berbahaya. la sebenarnya merasa cemas jika
Pandan Arum turut melibatkan dirinya dalam hal ini.
Mahesa Wulung pun tersenyum bila mengingat
sifat gadis yang kini berkuda di sampingnya. Pandan
Arum seorang gadis yang berkemauan sekeras baja
dan kadang-kadang suka menentang bahaya
dimanapun saja. Telah beberapa kali saja, Pandan
Arum bersama dirinya berjuang melawan kejahatan,
melawan gerombolan-gerombolan hitam, dan selama
itu tak sebuah bahaya pun yang mampu menyeret
apalagi sampai memusnahkannya.
Namun kali ini tugas yang dipikulnya jauh lebih
berat dari yang sudah-sudah. Kalau dahulu dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya ia dibantu oleh
sahabat-sahabat dan juga oleh anak-anak buahnya
dari Armada Demak, sekarang ini hanya boleh
diselesaikan secara diam-diam oleh dirinya bersama
Jagayuda. Hanya berdua saja! Maka kedatangan
Pandan Arum ini lebih memperberat tugasnya,
karena ia harus menjaga keselamatan gadis yang
dicintainya itu.
"Adi Pandan Arum, mengapakah Adi begitu
berminat dalam tugasku untuk mencari Empu
Baskara ini?" sapa Mahesa Wulung sambil menoleh
ke samping. "Oh, aku juga ingin turut mencarinya, Kakang.
Bukankah Empu Baskara penting artinya bagi
Demak" Dan terutama pula dengan tugas ini, aku
akan selalu berada di samping kakang." Pandan
Arum berkata demikian sekaligus melemparkan
lirikan matanya yang indah itu ke arah Mahesa
Wulung. Karuan saja pendekar ini menjadi
berdegupan jantungnya setengah mati, karena lirikan
gadis yang menjadi tambatan kasihnya, seperti panah
yang menembus ke dada.
"Eh, eh, kalau begitu dan itu benar, aku pun tak
keberatan, Adi Pandan. Sebab jika Adi selalu berada
di sampingku, aku tak kuatir Adi akan hilang
digondol orang," ujar Mahesa Wulung menggoda
sambil tersenyum.
"Wiiii, yang menggondol ya Kakang Wulung sendiri,
to?" Pandan Arum menyindir dan mencibirkan
bibirnya yang tipis dan merah delima itu, hingga
sekali lagi membuat Mahesa Wulung kelabakan
hatinya. Memang terasa indah perjalanan itu. Sinar bulan
yang condong di langit barat bersinar dengan
terangnya, dan jauh di arah barat laut sana, berkelipkelip cahaya-cahaya lampu minyak dari rumahrumah yang bertebaran di dekat sawah-sawah yang
hanya beberapa bahu saja. Pohon-pohon besar
tumbuh pula disana-sini dengan suburnya.
"Kakang Wulung, lihatlah di sana. Bukankah itu
Desa Pecangakan?"
"Tak salah, Adi. Memang, itulah Desa Pecangakan.
Pendekar Bloon 10 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Golok Maut 1

Cari Blog Ini