Ceritasilat Novel Online

Bentrok Di Kali Serang 1

Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang Bagian 1


1 HUTAN-HUTAN di sebelah timur daerah Mata Air
Kembar Tiga telah nampak suram dan agaknya patutlah kalau tempat itu menjadi sarang bahaya dan maut.
Pohon-pohon yang besar, perkasa, tegak dengan
megahnya bagai pencakar-pencakar langit yang menimbulkan perasaan ngeri dan seram bagi siapapun.
Dan maut memang tengah bergulat di situ. Sebab di
tepi tanah tanggul rawa berlumpur hidup, terlihatlah dua orang yang berusaha
mati-matian agar mereka tidak terseret masuk ke dalam rawa maut itu. Kedua
orang itu yang tidak lain adalah Daeng Matoa serta gadis Sandai mencoba menahan
tarikan dari jari-jemari tangan pendekar Seguntur yang telah mengunci pada
pergelangan tangan Daeng Matoa.
Seguntur kini telah tenggelam ke dalam lumpur liat yang menyedot segala sesuatu
yang tercebur di situ.
Apalagi bila benda tadi mempunyai jumlah berat cukup banyak serta bergerak-gerak. Hal ini akan mempercepat daya penyedotan yang hebat oleh lumpur ta-di. Dari keseluruhan tubuh
Seguntur, cuma tangannya saja yang masih berada di permukaan lumpur karena
bergantung pada lengan Daeng Matoa. Rupanya sisasisa tenaga terakhir dari Seguntur masih tersalur pada jari-jari tadi sehingga
benar-benar mengunci pada pergelangan tangan si pendekar Bugis bagaikan bersenyawa dan melekat menjadi satu.
Daeng Matoa sendiri tak dapat berbuat apa-apa oleh hal ini. Pikirannya menjadi
bingung lantaran dua persoalan yang tengah dihadapinya. Pertama ia harus
berusaha melepaskan jari-jari Seguntur bila ia tidak ingin
terseret serta turut tenggelam ke dalam rawa berlumpur hidup. Kedua, ialah
pernyataan gadis Sandai yang mengatakan bahwa dirinya telah dicintai oleh gadis
ini dan bersedia mati berbareng di dalam rawa maut ini.
Nah, kedua hal inilah yang membuat Daeng Matoa
menjadi buntu pikirannya. Kalau toh kematian itu harus dihadapinya seorang diri,
itu tak menjadi soal, sebab sudah menjadi jamak lumrahnya bila seorang pendekar
akan mati pada suatu ketika.
Tetapi jika pada waktu-waktu yang setegang itu ia
mendengar pencurahan cinta seorang gadis, akan
menjadi lain soalnya. Rasa bahagia tapi juga bercampur rasa cemas serta menyesal
bercampur aduk, berputar di dalam benaknya.
Yah, siapa tak bakal merasa bahagia bila dirinya telah dicurahi cinta seorang
gadis yang semanis Sandai ini. Rasa dada akan meledak saking bangganya. Hanya
sayangnya pernyataan cinta tadi terlahir dalam suasana pergulatan dengan maut.
"Sandai, mengapa tidak kau tinggalkan diriku, agar engkau terhindar dari maut
yang bakal merenggut
nyawaku!" ujar Daeng Matoa dengan nada parau serta terharu.
"Tidak, kekasih! Jika kau mati, aku akan tinggal
seorang diri serta merana sepanjang hidupku. Maka jalan yang terbaik adalah ikut
mati bersamamu!" seru Sandai seraya kedua tangannya masih memeluk punggung Daeng
Matoa agar mereka tidak lekas terseret ke dalam rawa itu.
"Ternyata usaha Sandai ini tidak banyak faedahnya, sebab sedikit demi sedikit
bersama tubuh Daeng Matoa, Sandai telah makin terenggut dari tanah tanggul di
tepi rawa dan pastilah sebentar kemudian mereka berdua akan tercebur pula ke
dalam rawa berlumpur
hidup itu. "Demi cintaku padamu, tinggalkanlah aku sendiri,
Sandai!" sekali lagi Daeng Matoa terdengar berseru parau.
"Tidak, Daeng! Tidak!" sahut gadis Sandai dengan
wajah pucat serta dada turun naik terengah-engah.
"Aku lebih senang mati bersamamu, Daeng!"
Sekonyong-konyong dalam saat yang sedemikian tegangnya itu, di mana maut tengah mengancam nyawa
Daeng Matoa serta Sandai, melesatlah satu bayangan manusia dari sebelah barat
rawa maut lalu melintas di depan kepala Daeng Matoa serta Sandai dengan
berteriak nyaring.
"Hyaaaat!"
Dalam saat yang pendek serta kecepatan yang sukar dilihat oleh mata, bayangan tadi menebaskan pedang di tangannya setengah
lingkaran ke bawah disusul oleh bunyi benda terpenggal gemeretak mengagetkan Daeng Matoa serta Sandai.
Craaas! Pergelangan tangan Seguntur terputus lepas dan
darah menyembur ke segala arah, membasahi lumpurlumpur di sekitarnya.
Sebentar kemudian lengan Seguntur yang terputus
tadi telah tersedot seluruhnya ke dalam lumpur dan lenyaplah sudah tubuh
Seguntur bersama Patung Intan tanpa bekas kecuali beberapa gelembung udara
yang timbul di permukaan lumpur, tepat di mana Seguntur tenggelam.
"Oookh!" seru Daeng Matoa kaget dan cepat ia mengibas-ibaskan tangannya disertai perasaan ngeri, sebab telapak tangan beserta
jari-jari Seguntur masih melekat pada pergelangan tangannya.
Dengan bunyi berkecopak, potongan telapak tangan
Seguntur tadi tercebur pula ke tengah rawa berlumpur hidup ini, dan sesaat
kemudian lenyaplah pula benda itu dari permukaan rawa.
Gadis Sandai terpekik serta bersedu-sedan sambil
merebahkan kepalanya ke dada Daeng Matoa yang seketika disambut oleh pendekar ini dengan penuh kasih sayang.
"Oh, kita telah selamat, Daeng. Kita telah terhindar dari maut. Pastilah arwah
nenek moyangku telah
memberikan pertolongan," seru Sandai terisak-isak.
"Terima kasih, Sandai," ujar Daeng Matoa seraya
membelai-belai rambut Sandai dengan mesranya. "Kita telah selamat sekarang dan
ketamakan telah meneng-gelamkan Seguntur ke dalam rawa maut ini."
Kiranya akan betahlah untuk lebih lama menyandarkan kepalanya ke dada pendekar Daeng Matoa, bila saja Sandai tidak terkejut
oleh seruan dari tepi rawa sebelah timur sana.
"Daeng! Haai! Engkau baik-baik saja"!"
Mendengar seruan ini Daeng Matoa serta Sandai
cepat berpaling ke sebelah timur dan terperanjatlah mereka berdua, karena di
tepi rawa sebelah timur, terlihatlah Mahesa Wulung tengah membersihkan pedangnya yang merah oleh darah dengan beberapa lembar daun. Maka seketika itu tahulah mereka bahwa yang memenggal putus pergelangan tangan Seguntur adalah
Mahesa Wulung itu sendiri! Kemudian Daeng Matoa
serta Sandai cepat-cepat melangkah ke arah tepi rawa sebelah timur untuk
mendapatkan sahabatnya.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih kepada
Andika, Saudara Wulung," ujar Daeng Matoa seraya
memegang lengan Mahesa Wulung. "Jika Anda tidak
muncul, mungkin kami akan terkubur di dasar rawa
berlumpur hidup ini."
Sambil bergumam Mahesa Wulung menganggukangguk oleh kata-kata Daeng Matoa tadi. "Yah, aku terpaksa memapas lengan
Seguntur itu, dan rasanya
hal ini agak kelewat kejam. Kemungkinan lain untuk menyelamatkan kalian berdua
dari tarikan jari-jari Seguntur tidak ada dan hanya itulah satu-satunya cara
yang dapat kukerjakan."
"Sudah selayaknya Anda berbuat itu, sebab Seguntur bukanlah orang yang patut kita kasihani," ujar Daeng Matoa.
"Dan lagi, dia telah berkomplot dengan gerombolan
Bengara serta sisa-sisa anak buah Kapal Hantu," sambung gadis Sandai. "Ternyata
dia pulalah yang menda-langi pencurian Patung Intan itu."
"Sayang. Kini lenyaplah Patung Intan itu dan terkubur di dasar rawa maut. Tetapi bersama itu berarti lenyap pula Kutukan Patung
Intan yang selama ini telah menghantui Lembah Sampit," ujar Mahesa Wulung
dengan wajah agak kecewa.
Dalam pada itu, dari sebelah barat muncullah serombongan orang dari balik semak-semak lebat. Mereka adalah pendekar Bontang bersama Goro, kemudian Tagoh Hulu, si tua Tawau dengan dada terbalut, dan Pandan Arum serta
beberapa orang anak buah
Tawau. Sesaat kemudian mereka telah saling menceritakan
pengalaman masing-masing. Ketika mendengar penuturan akan kematian Seguntur yang tenggelam ke dasar rawa bersama Patung Intan itu, si tua Tawau agak terkejut pula.
Mendadak ia lalu teringat akan pengalamannya ketika mereka tersesat di taman bunga maut pemakan
daging. Bukankah waktu itu jalan yang mereka tempuh telah lenyap dan ia telah menduga bila yang berbuat demikian, melenyapkan
jejak-jejak tadi, adalah Seguntur sendiri. Kini percayalah ia sekarang bahwa
dugaan tadi tidak keliru lagi. Segunturlah yang selama ini telah merupakan duri
dalam daging, seorang musuh yang tinggal di dalam selimut. Pada lahirnya ia
seperti kawan, tapi di baliknya ia adalah musuh yang sangat licin!
"Patung Intan itu telah lenyap dan kembali ke asalnya, ke dalam bumi yang telah
mengandungnya semula," ujar si tua Tawau kepada Mahesa Wulung yang
berdiri di sebelahnya. "Kita tak patut menyesalinya la-gi. Anda tahu pegununganpegunungan di sebelah timur sana?" bertanya Tawau seraya menunjuk ke arah
timur. "Mengapa, Bapak?" sahut Mahesa Wulung.
"Di sanalah terletak daerah Purukcahu, tempat asal bahan-bahan permata intan
banyak ditemukan orang.
Dan Anda tentu masih ingat akan ceritaku dulu, bah-wa bahan permata dari Patung
Intan itupun berasal
dari sana."
Mahesa Wulung mengangguk mengerti dan si tua
Tawau berkata pula, "Marilah kita pulang, sebelum
malam tiba."
"Maaf aku tak dapat menyertai kalian," sela pendekar tua Bontang kepada sahabat-sahabatnya. "Kami
berdua mengucapkan selamat jalan dan semoga kalian selamat tak kurang suatu
apa." "Terima kasih, sahabat. Anda telah cukup banyak
membantu kami," ujar Tawau seraya menjabat tangan
si Bontang dengan eratnya. "Kami serombongan mengucapkan selamat jalan pula kepada Anda berdua."
Setelah saling meminta diri, Bontang bersama Goro
melesat ke cabang pohon dan mereka berdua dengan
lincahnya meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain dan lenyaplah sebentar
saja di sebelah selatan. Sedang Tawau dan rombongannya segera bergerak ke arah
barat untuk kembali ke Lembah Sampit.
Tawau bersama Tagoh Hulu berjalan paling depan,
kemudian menyusul Mahesa Wulung serta Pandan
Arum, sedang di belakangnya, berjalan berdampingan, si gadis Sandai bersama
Daeng Matoa. Kemudian paling akhir adalah beberapa anak buah si tua Tawau.
Rombongan kecil itu berjalan beriring menempuh
jalan rintisan dengan enaknya. Mereka kini telah merasa lega setelah pengganggupengganggu keamanan
kampung Lembah Sampit telah binasa.
Meskipun Patung Intan itu turut tenggelam bersama Seguntur ke dalam rawa maut, namun mereka tak
menyesalinya. Sebab dengan begitu berarti lenyap pula Kutukan Patung Intan yang
selalu membawa bencana.
Bila mereka meninjau dari nilai kebendaan, memang Patung Intan tadi sangat berharga, bahkan
mungkin tak terukur jika dinilai dengan mata uang.
Selain bahan patung itu sendiri terbuat dari permata intan yang besar, juga
halnya si pencipta patung tersebut sungguh sangat berharga dan patut terpuji.
Kini kaki-kaki mereka melangkah dengan mantapnya memapaki tanah-tanah hutan itu tanpa merasa
was-was ataupun kuatir lagi. Rasanya buat mereka ini sekarang menjadi lebih
indah daripada dahulu. Kalau dahulu mereka tak sempat menikmati hutan-hutan belantara ini lantaran rasa cemas ataupun takut, kini mereka tidak begitu lagi.
Mereka benar-benar merasa segar menghirup udara
sore yang bercampur bau bunga-bungaan yang mekar
di waktu senja, seperti anggrek-anggrek kelarat dan bunga-bunga liar lainnya.
Maka perjalanan pulang inipun tak terasa melelahkan buat mereka. Dan menjelang sang malam turun ke bumi, si tua Tawau beserta rombongan telah tiba di
kampung Lembah Sampit dengan selamat.
Sekali lagi Mahesa Wulung dapat menyaksikan betapa keakraban serta rasa kekeluargaan yang sangat dalam terjalin di antara
mereka para penduduk Lembah Sampit ini.
Ketika Tawau beserta rombongan kecil itu tiba, tidak sedikit para penduduk yang berbondong, berlarian menyambut mereka dan
akhirnya malam itu pula si
tua Tawau lalu bercerita panjang lebar tentang kisah pencarian Patung Intan
sampai pertempuran mereka
melawan si liar pendekar Bengara serta sisa-sisa anak buah Kapal Hantu. Sewaktu
cerita Tawau sampai pada pengkhianatan pendekar Seguntur, mereka hampir tak mau
percaya akan hal itu, namun setelah orang tua itu menjelaskan panjang lebar
tentang segala sesuatu
yang menyangkut diri Seguntur, barulah orang-orang tadi memakluminya.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang duduk berdampingan bersama Pandan Arum, tampak beberapa
kali saling berbisik sambil melemparkan lirikan ke arah Daeng Matoa yang lagi
asyik bercakap-cakap dengan Sandai. Keduanya tampak sangat mesra dan penuh kasih sayang, sehingga hal itulah yang menyebabkan Mahesa Wulung berbisik-bisik kepada Pandan
Arum tadi. "Stt, Adi Pandan Arum. Lihatlah, betapa mesra dan
asyiknya mereka bercakap-cakap bersama," terdengar Mahesa Wulung berbisik.
"Heh, akupun melihatnya, Kakang. Rupanya hati
mereka mulai bertemu," jawab Pandan Arum dengan
setengah berbisik disertai senyum penuh arti.
"Aku telah lama melihat pendekatan mereka. Sejak
kita dulu tersesat di taman pohon-pohon pemakan
daging itulah aku telah tahu bahwa Sandai telah jatuh hati kepada Daeng Matoa
dan karenanya aku merasa
syukur pula."
"Aku pun ikut gembira, Kakang. Mereka berdua aku
rasa sangat cocok dan sepadan, serta patutlah jika keduanya telah saling
berjodoh."
"Dan aku juga tak perlu cemas lagi, Adi," bisik Mahesa Wulung dan ini membuat
Pandan Arum agak tertegun. "Eh, apa yang Kakang cemaskan semula"!"
"Heh, heh, heh. Semula aku cemas, bahwa Adi Pandan Arum akan mencemburukan aku dengan si gadis
Sandai ini!"
"Eeh... mmm... hih! Ini rasakan, kalau orang suka
menggodaku!" desah Pandan Arum seraya jari-jari tangannya beraksi mencari
sasaran ke lengan Mahesa
Wulung serta mencubitnya.
"Usss... aduh... aduuuuh! Ah, jangan diulang, Adi
Pandan. Cubitanmu bagai bara api panasnya dan


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat dadaku bergoncang," ujar Mahesa Wulung
seraya tangan kanannya cepat-cepat mencegah serta
menggenggam jari-jari Pandan Arum tadi, hingga kekasihnya ini tak dapat
mengulang cubitannya kembali, kecuali diam tak berdaya serta membiarkan jarijarinya tetap dalam genggaman tangan Mahesa Wulung. Dan kemudian pendekar muda ini tergetar pula dadanya ketika Pandan Arum
menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Mahesa Wulung.
"Kakang Wulung, kapankah kita pulang ke Demak"!" terdengar tiba-tiba Pandan Arum bertanya lirih.
"Aku rasa tak lama lagi, Adi Pandan. Bukankah
persoalan di sini telah selesai, Adi" Dan tentunya Adi
Jagayuda serta orang-orangnya telah cukup lama menunggu kita di Teluk Sampit di selatan sana."
Sementara Mahesa Wulung serta Pandan Arum bercakap-cakap itu, tak antara lama si tua Tawau pun telah rampung mengakhiri
ceritanya kepada para penduduk tadi. Dengan demikian, sejurus lagi menjadi
sunyilah kembali tempat itu. Si tua Tawau serta para penduduk kembali ke rumah
mereka masing-masing.
Begitu pula dengan Mahesa Wulung, Pandan Arum,
Daeng Matoa serta Sandai.
Semenjak malam itu dan hari-hari berikutnya, hubungan Daeng Matoa serta Sandai kian bertambah
erat dan agaknya di antara keduanya telah ada kata sepakat untuk membina
keluarga dan perkawinan mereka. Hal itu tentu saja sangat menggembirakan bagi
seluruh penduduk kampung Lembah Sampit.
*** Selang beberapa hari, kelihatanlah kesibukan di
pantai Teluk Sampit. Sebuah kapal jung berbendera
Makara kuning emas di atas dasar biru laut tengah
bersiap untuk bertolak ke tengah laut. Sedang di pantai, berpuluh-puluh orang
manusia berderet memandang kapal jung itu dengan asyiknya.
Di antara puluhan manusia itu, si tua Tawau, Tagoh Hulu, Sandai, Mahesa Wulung, Pandan Arum serta Daeng Matoa dan juga Jagayuda
tampak saling berja-bat tangan dengan mesranya.
Yah, hari itu adalah saat perpisahan yang mengharukan setiap orang yang berada di pantai itu. Si tua Tawau yang menahan perasaan
harunya tadi berkali-kali menghapus butir-butir air mata yang meluncur
dari sudut matanya.
Begitu pula Sandai tiba-tiba saja memeluk Pandan
Arum dengan terisak-isak dan berkata dengan nada
bergetar. "Nona Pandan Arum, Anda akan pergi... kita akan berpisah. Aku akan
selalu mengenang kebaikan
Anda selama kita bergaul sebagai dua orang saudara di pulau ini."
Pandan Arum terharu pula oleh kata-kata itu dan
membuat pelukannya kepada gadis Sandai semakin
erat. Lalu jawabnya, "Aku pun akan senantiasa menge-nangmu, Sandai. Aku turut
berdoa semoga perkawinanmu dengan Saudara Daeng, akan selamat dan berbahagia serta terimalah salamku." Pandan Arum kemudian mengecup pipi Sandai.
"Sayang, jika Anda tak dapat menghadiri perkawinan kami nanti," ujar Sandai dengan manja.
"Yah, memang sayang. Tetapi bukankah itu masih
sebulan lagi" Sedang kami harus segera kembali ke
Demak," ujar Pandan Arum seraya mengelus-elus
punggung Sandai. "Sebab kami telah cukup lama tinggal di sini"
Dalam pada itu terdengarlah hiruk-pikuk sebentar,
dan ketika beberapa orang tampak menepi, muncullah pendekar tua Bontang beserta
sahabatnya si Goro,
seekor orang utan yang berperawakan kekar dan selalu menemaninya ke mana saja.
Mahesa Wulungpun cepat menyambut Bontang serta merangkulnya dengan kata yang bernada haru untuk meminta diri kepada bekas gurunya itu. Keruan
saja orang tua inipun ikut terharu pula dan ia meni-tikkan air matanya.
"Selamat jalan, anakku," ujar Bontang pelan. "Kami berterima kasih kepadamu,
sebab kedatanganmu ke
mari telah menjernihkan suasana, menghancurkan setiap tindak kejahatan. Pergilah anakku, tugas-tugas lainnya tentu telah
menantimu. Pergilah dan kami
akan menantimu setiap masa. Kita berpisah di sini, tetapi hati kita akan tetap
bertaut selamanya."
Perpisahan yang mengharukan itupun berakhir ketika Mahesa Wulung bersama Pandan Arum dan Jagayuda serta para anak buah kapal satu demi satu
naik ke atas kapal.
Sesaat kemudian dayung-dayung kapal mulai bergerak berbareng seirama membelah air laut dengan
lincahnya, dan kapal jung itu sedikit demi sedikit makin merenggang dari pantai
Teluk Sampit, diiringi lambaian tangan serta teriakan-teriakan selamat jalan
yang sambung-menyambung memenuhi udara pagi di
pantai. Beberapa burung camar dan bangau terkejut
dan terbang dari balik rumpun-rumpun pohon bakau,
dan di bawah, ikan gelodogpun berlarian masuk ke dalam lubang-lubang rumahnya
saking kaget akan sorak-sorai dari mulut orang-orang di pantai Teluk Sampit. Mahesa Wulung, Jagayuda
dan Pandan Arum berdi-ri di buritan kapal serta memandang ke arah pantai Teluk
Sampit yang kelihatannya semakin mengecil dan menjauh.
Agaknya di pantaipun si tua Tawau, Daeng Matoa,
Sandai serta yang lain-lainnya masih berdiri pula memandang ke arah laut,
mengikuti Kapal Barong Makara yang semakin mengecil dan seolah-olah menjadi ti-tik hitam untuk kemudian
lenyap di cakrawala selatan bagai ditelan oleh ujung laut yang menganga luas tak
bertepi itu. Kapal jung berbendera Makara kuning emas itu kini
telah berlayar dengan laju, sementara layar-layarpun telah dikembangkan
sepenuhnya. Mahesa Wulung yang masih berdiri di buritan itu,
tiba-tiba saja terkejut oleh permata kalung milik Pandan Arum yang tersembul dari balik bajunya.
Permata kalung itu berbentuk setengah lingkaran
terbuat dari batu permata hijau yang diikat dengan logam emas berukir sangat
indahnya. Ya, ia pernah pula melihatnya beberapa waktu yang lalu. Pandangan mata Mahesa Wulung tak hentinya terpaku pada benda
itu sampai akhirnya Pandan Arum merasa resah dipandang secara demikian oleh kekasihnya.
"Idiiih, mengapa Kakang Wulung memandang dadaku seperti itu" Apakah aku keliru memakai baju?"
"Eh... uh... tidak, Adi Pandan," sahut Mahesa Wulung dengan tergagap-gagap saking kaget dan tersadar dari sikapnya.
"Aku... eh... bukan bajumu yang membuatku tercenung sedemikian itu, tetapi permata kalungmu itulah sebabnya."
"Mengapa, Kakang"!" sambung Pandan Arum keheranan. "Aku ingat pula bahwa beberapa waktu yang la-lu, Kakang Wulung pun pernah
terpesona oleh permata kalungku ini, bukan"!"
"Benar, benar," ujar Mahesa Wulung. "Sebab ada
suatu keganjilan yang aku lihat pada permata kalung-mu itu."
"Keganjilan"!" seru Pandan Arum lebih kaget. "Aku
rasa biasa saja, Kakang Wulung. Kalung ini adalah
pemberian ayahku dari Asemarang."
"Adi Pandan Arum tak percaya?" sela Mahesa Wulung pula. "Bagaimana kalau aku dapat menunjukkan
keganjilan itu"!"
"Silakan, Kakang Wulung," ujar Pandan Arum seraya mengikuti sikap Mahesa Wulung yang memasukkan
tangannya ke balik bajunya sendiri dan kemudian
tampaknya menggenggam sesuatu yang diambil dari
balik baju tadi.
"Nah, Adi Pandan Arum, sekarang cobalah lihat serta perhatikan baik-baik, apa yang engkau lihat pada telapak tanganku ini!"
berkata Mahesa Wulung seraya membuka genggaman tangannya dengan segera dan
karenanya Pandan Arum terpekik saking herannya,
sebab pada telapak tangan kekasihnya itu terdapat
seuntai kalung emas dengan permata hijau setengah
bulat persis kepunyaan Pandan Arum itu sendiri.
"Oookh! Kalung itu!" seru Pandan Arum takjub. "Kalung itu persis kepunyaanku ini." Berkata demikian gadis ini seraya melepaskan
kalung yang sama dari lehernya lalu diulurkan kepada Mahesa Wulung.
"Luar biasa!" desis Mahesa Wulung seraya menjajarkan kedua kalung tersebut masing-masing dengan
tangan kiri dan kanannya, lalu bagian permata kalung hijau yang merupakan irisan
garis tengah lurus dan rata ditempelkan pada bagian yang sama dari kalung yang
sebuah lagi sampai kedua permata kalung itu betul-betul sekarang berbentuk satu
lingkaran penuh."
"Lihatlah, Adi Pandan Arum! Perhatikan baik-baik.
Bukankah hal ini benar-benar merupakan satu keganjilan yang tiada taranya"!" ujar Mahesa Wulung.
"Dari mana Kakang Wulung memperoleh kalung seperti ini?" tanya Pandan Arum segera. "Tentu permata kalung ini berasal dari
batu yang sama, yakni sebuah bulatan yang kemudian dipecah atau dipotong menjadi
dua bagian."
"Tak salah lagi, Adi Pandan Arum," ujar Mahesa
Wulung sambil mengamati permata dua kalung itu.
"Guratan-guratan pada permukaan permata hijau inipun saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Aku rasa, guratanguratan ini pasti ada artinya bagi kita. Dan ketahuilah Adi Pandan, bahwa kalung
ini aku terima dari Endang Seruni."
"Siapa Endang Seruni itu, Kakang Wulung"!" tanya
Pandan Arum setengah curiga terhadap keterangan
kekasihnya. "Dia adalah putri dari Ki Lurah Mijen yang aku selamatkan dari tangan para penjahat dan ia menyerahkan kalung permata hijau ini sebagai pernyataan terima kasihnya," demikianlah
Mahesa Wulung bercerita kepada kekasihnya, Pandan Arum, dan selanjutnya diceritakan pula segala pengalamannya ketika ia tinggal di Desa Mijen
beberapa waktu yang lewat.
"Mmm, aku ingin berkenalan dengan dia," ujar Pandan Arum. "Tentu Kakang tidak akan berkeberatan untuk mengajakku ke Desa Mijen
kelak." "Ah, dengan senang hati aku akan membawamu ke
sana, Adi Pandan Arum," kata Mahesa Wulung kepada
kekasihnya. "Sebab memang sedari semula, ketika aku melihat permata kalungmu
itu, aku bermaksud menye-lidiki serta menanyakannya kepada Ki Lurah Mijen."
"Ooh, itu bagus, Kakang Wulung! Aku sangat setuju
dengan pikiranmu tadi. Semoga persoalan kalung
kembar bermata hijau ini segera dapat dipecahkan."
Tampak wajah Pandan Arum bersinar.
"Begitulah harapanku, Adi Pandan," sambung Mahesa Wulung pula. "Aku kira, guratan-guratan pada
permukaan permata kalung ini mengandung suatu rahasia." "Suatu rahasia"!" ulang Pandan Arum dengan kagetnya demi mendengar penuturan kekasihnya ini.
"Maksud Kakang, goresan-goresan ini mengandung sesuatu arti?"
"Tepatnya begitu, Adi," jawab Mahesa Wulung seraya memberikan kalung milik Pandan Arum kembali.
"Seolah-olah guratan-guratan ini merupakan sebuah
peta atau tulisan-tulisan tersembunyi."
Pandan Arum yang telah menerima kalungnya kembali segera mengamati permata kalung hijau tersebut, sementara hatinya dapat
membenarkan ketajaman
otak Mahesa Wulung.
"Hmm, hatiku kini seperti terbuka oleh pendapatmu, Kakang Wulung," berkata Pandan Arum kepada
pendekar muda di sampingnya. "Tetapi jika demikian, sama artinya bahwa kedua
kalung ini saling melengkapi dan membutuhkan antara yang satu dengan yang
lain." "Nah, jika demikian maksud Adi Pandan, itu berarti bahwa menguasai sebelah
kalung hijau saja, tak akan ada manfaatnya bagi si pemakai," ujar Mahesa Wulung.
"Kalau begitu, kita harus menjaga baik-baik kalung kembar ini sampai kita tiba
di Desa Mijen serta menanyakan rahasia kalung ini kepada Ki Lurah," Pandan Arum berkata seraya memakai kalungnya kembali.
Kapal jung Barong Makara kini berlayar ke arah
tenggara dan angin bertiup dengan derasnya mengembangkan layar-layar dengan penuh, hingga kapal mela-ju dengan lancarnya.
Sesekali beberapa ikan terbang muncul ke permukaan air dan mencutat lalu melayang-layang di atas gelombang laut bagaikan ingin
berlomba dengan kapal ini. Betapa rindunya seluruh awak kapal terhadap sanakkeluarga yang telah beberapa waktu berpisah, tak dapat terlukiskan. Namun kini
mereka merasa lega setelah tugas-tugas mereka berhasil dan kembali berlayar menuju Demak.
*** 2 MUARA KALI SERANG yang bertemu dengan Laut
Jawa kelihatan amat tenangnya. Air sungai yang mengalir ke utara lalu bersatu dan bercampur dengan air laut. Sore itu udara amat
panasnya terasa di pori-pori kulit. Untunglah angin pantai bertiup cukup
menyegarkan. Tetapi di balik ketenangan muara Kali Serang itu
terlihatlah dua sosok bayangan yang berkelebatan
amat serunya. Gerakan mereka sedemikian gesit hing-ga kadang-kadang sampai sukar
ditangkap oleh mata
dan merupakan bayang-bayang atau sinar hitam yang
bergulung-gulung saling melibat.
Kedua manusia ini sesungguhnya tengah bertempur
dengan tangan-tangan kosong belaka, sebab setiap kali cuma telapak-telapak
tangan atau totokan-totokan ja-ri-jari tangan yang kelihatan saling beradu atau
ber-benturan. Setiap kali mereka menangkis dan memukul, setiap
kali pula mulut mereka berdua meneriakkan jeritan
yang dahsyat memantul dan menggetarkan udara dari
muara Kali Serang.
Yang seorang masih kelihatan cukup muda dan bertubuh kekar dengan kumis tebal melintang di atas bibir, sedang dagunya dihiasi
pula oleh bulu-bulu janggut yang hitam legam. Sedang lawan yang seorang lagi,
sudah agak tua, yang terlihat dari kumis dan jenggot-nya yang sudah agak
keputihan kelabu. Rambutnya
yang tanpa ikat kepala itu cuma tumbuh pada sisi kepala serta bagian belakang
saja. Bagian kepala sebelah atas gundul, tanpa selembar rambutpun yang tumbuh
di situ. Orang tua ini bersenjatakan sebilah gada pemukul yang ujungnya berduri-duri runcing tajam, dan tergantung pada pinggang
kirinya. Agaknya mereka telah bertempur mengadu tenaga
dalam puluhan jurus, dan keduanya mencucurkan keringat berleleran di tubuhnya.
Ketika matahari makin merendah ke cakrawala barat, dan keduanya masih bertempur sengit tanpa me

Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nunjukkan tanda-tanda adanya pihak yang kalah atau yang menang, sekonyongkonyong meloncatlah si
orang botak tadi surut ke belakang hampir sepuluh langkah jauhnya.
"Hyaaat!" teriakan nyaring terdengar dan kedua kaki si botak tadi mendarat di tanah dan berdiri dengan kokohnya bagai tugu
karang. Taaap! Begitu pula si orang muda menghentikan gerakannya dan berdiri dengan tangguh dalam sikap yang sa-ma dengan si botak tadi.
"Hua, ha, ha, ha kowe memang bocah hebat, Lawunggana! Tak kecewa aku mengangkatmu sebagai
murid tunggal Bango Wadas!"
"Terima kasih, Guru!" ujar si orang muda yang dipanggil dengan nama Lawunggana tadi. - Namun,
mengapa guru menghentikan latihan kita ini"!"
"Hua, ha, ha, ha, kau memang cukup tangguh, Lawunggana. Tetapi kita selama ini hanya bertempur dengan tangan kosong belaka.
Maka jurus berikutnya,
pakailah sepasang pisau cagakmu sebagai senjata untuk melawanku!"
Lawunggana sejenak merasa ragu-ragu oleh katakata Ki Bango Wadas ini, sehingga sesaat iapun tak bi-sa berkata-kata.
"Lawunggana!" bentak Bango Wadas dengan marahnya. "Kau dengar kata-kataku tadi"! Cabutlah senjatamu itu!" "Maksud Guru, aku harus melawanmu dengan senjata andalanku ini"!" berkata Lawunggana setengah
ragu seraya meraba kedua hulu senjatanya yang tersembul dari ikat pinggangnya. "Apakah ini berarti bahwa aku harus pula melukaimu
dengan senjataku"!"
"Berbuatlah sesuka hatimu, Lawunggana!" sahut
Bango Wadas dengan meringis garang. "Hadapilah aku, seperti engkau betul-betul
menghadapi seorang lawan yang bakal mengganyangmu! Hua, ha, ha, ha."
Lawunggana tanpa ragu-ragu lagi segera mencabut
kedua senjata pisau cagaknya sambil berkata, "Baiklah, Guru. Aku terpaksa
menggunakan senjataku ini
atas permintaanmu. Semoga saja tidak akan benarbenar menggores kulit dagingmu, Ki Bango Wadas."
"Keparat! Ha, ha, ha, ha. Jangan terlalu manja Lawunggana! Sebab sesungguhnya tak ada seorang musuh yang betul-betul menaruh belas kasihan terhadap lawannya," seru Bango Wadas
seraya melototkan mata.
"Kalau kau tak bersedia menggores kulit dagingku,
maka giliran senjataku inilah yang bakal menyobek tu-buhmu!"
Bango Wadas kemudian mencabut gada berduri dari pinggang kirinya serta memutar-mutar dengan tangan kanannya, sampai menimbulkan suara berdesau
serta cahaya berkeredipan dari ujung-ujung duri senjata yang terbuat dari baja
runcing. "Majulah Lawunggana, kata-kataku adalah juga perintahku dan tak ada alasan buat menolaknya!"
Lawunggana mulai membuka jurus serangannya.
Kedua tangannya yang masing-masing bersenjata pisau bercabang dua itu bergerak dengan lincah bagai cakar-cakar rajawali yang
menyerang mangsanya. Mu-la-mula gerakan tersebut adalah setempat dan kedua
kaki Lawunggana tanpa berubah dari tempatnya.
Namun, bersamaan teriakan dahsyat yang keluar
dari mulut Lawunggana, melesatlah ia ke arah Ki Bango Wadas dan langsung
menyerangnya dengan dahsyat. Laksana terkaman seekor harimau kelaparan, Lawunggana melesat, tapi bersamaan itu pula Bango
Wadas telah bersedia. Direndahkannya tubuhnya serendah mungkin sementara senjata gada berduri di tangan kanannya berputar tak
kalah hebat. Kedua sosok bayangan tadi saling berbentrok dan
senjata-senjata mereka saling bergempur dengan bunyi gemerincing dibarengi
lidah-lidah api bertebaran meloncat ke udara sore.
Traaang! Lawunggana kemudian melesat ke samping setengah terpental oleh tenaga benturan tadi, sedang Bango Wadas masih tetap berdiri
tegak pada tempatnya
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Melihat kenyataan ini, Lawunggana tidak menjadi
berkecil hati. Dan selagi gurunya tadi masih tertawa panjang, ia kembali
berteriak seraya melesat menyerang kembali ke arah Bango Wadas.
Sekali lagi si botak ini berkelit ke samping seraya menyabetkan penggadanya ke
arah kedua senjata pisau cagak yang terjulur menyambar ke tubuhnya.
Crang! Kembali Lawunggana terpental, tapi ia dengan lincahnya melenting ke udara tiga putaran dan cepat
mendarat kembali ke tanah.
"Bagus! Bagus! Kini giliranku menyerang!" seru
Bango Wadas dengan berseru hebat. "Hyaaaat!"
Lawunggana yang baru saja mendarat itu sangat
terkejut, begitu penggada berduri logam runcing itu
menyambar lambungnya dalam kecepatan tak terduga.
Untunglah Lawunggana adalah murid gemblengan
dari si botak Bango Wadas yang sakti, maka sebelum perutnya tersobek oleh
sambaran senjata gurunya, ia terlebih dulu melontarkan diri ke atas sebuah pokok
kayu yang kering dan hinggap berdiri di atasnya, laksana seekor elang.
Tentu saja si botak Bango Wadas tidak mau memberi hati kepada muridnya ini. Biarpun ia telah berhasil lolos dari serangannya
ia masih tetap ingin menguji kemampuan muridnya, si Lawunggana.
Penggada berdurinya sekali lagi menghajar ke arah
pokok kayu yang kering tadi dan menimbulkan suara
berderak keras hingga Lawunggana yang berdiri di atas pokok kayu tadi sangat
terkejut. Pendekar berkumis lebat ini melihat bahwa pokok kayu kering yang dihinggapinya ini bergoyang keras dan kemudian roboh ke bawah.
Sangat mujur bahwa Lawunggana ini telah bersiaga,
maka begitu pokok kayu kering itu roboh ia cepat meloncat ke belakang beberapa
jauhnya. Bango Wadas secara diam-diam mengagumi segala
ketrampilan muridnya, meski ada beberapa kekeliruan kecil yang tidak berarti.
Lawunggana terpaksa mengerahkan segenap tenaganya, sebab dirasanya bahwa gurunya benar-benar
menyerangnya dengan pukulan-pukulan dan jurusjurus maut. "Benarkah Ki Bango Wadas ingin membunuhku?"
pikir Lawunggana setengah ragu. "Hmm, bagaimanapun juga aku harus menghadapinya. Memang ia kadang-kadang berwatak aneh dan keras."
Itulah sebabnya maka Lawunggana mengerahkan
segenap tenaga dan ilmu serta jurus-jurus ajaran gurunya, maka tak heran bila tubuhnya kadang-kadang
melesat menerkam bagai seekor harimau tetapi mampu pula berloncatan dengan lincah menghindari setiap serangan gada berduri logam
milik Ki Bango Wadas.
Benar-benar Lawunggana dapat bergerak selincah tupai. Namun betapapun pandainya seorang murid, toh
dia akan masih selalu di bawah kemampuan gurunya
beberapa tingkat jauhnya. Ini terlihat pada jurus-jurus berikutnya.
Sambaran-sambaran gada berduri logam dari Bango
Wadas semakin rapat mengurung serta mencecar Lawunggana, sehingga sebentar saja pendekar berkumis tebal tadi telah dikurung
oleh gumpalan sinar putih gemerlapan yang mengandung hawa maut.
Bagaimanapun kedua pisau cagaknya bergerak untuk mengimbangi sambaran-sambaran senjata gurunya, namun Lawunggana semakin jauh dan tenggelam
oleh lawannya. Dalam setiap benturan senjata, setiap itu pula Lawunggana terkejut, sebab jarijarinya terasa pedih dengan rasa yang menyengat-nyengat ke segenap bagian
tubuhnya. Lawunggana jadi berkeringat. Peluhnya mengalir
menganak sungai dan badannya mulai terasa penatpenat. Entah, selama bertempur ini ia telah mengha-biskan beberapa puluh atau
ratusan jurus, ia tak sempat menghitung lagi.
Kini ia tak mampu lagi membalas serangan-serangan gurunya, jadi semua jurusnya hanyalah jurus mempertahankan diri atau
menangkis saja. Lebih daripada itu ia tak tahan, serta tidak mampu.
Demikianlah, pada suatu saat ketika gada berduri
logam itu meluncur deras ke arah dadanya, Lawunggana cepat memapaki dengan kedua pisau cagaknya
dan terjadilah benturan paling dahsyat.
Craaang! "Aaaakh!"
Sebuah jeritan kecil terlontar dari bibir bersamaan tubuh Lawunggana ini
terpental dan rebah ke tanah.
Saat itu pula Lawunggana tak dapat berkutik lagi.
Sambil duduk di atas rumput, ia masih tetap menggenggam kedua pisaunya dan siap menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi.
Melihat itu semua, Bango Wadas jadi tertawa terkekeh-kekeh panjang.
"Hua, ha, ha, ha. Bagus, Lawunggana! Bagus! Aku
puas melihatmu dan aku tak kuatir lagi seandainya
kamu betul-betul bertempur melawan seorang musuh."
"Jadi, Guru tidak betul-betul bermaksud membunuhku"!" seru Lawunggana ragu-ragu.
"Hah, kau jangan terlalu bodoh, Lawunggana! Mana
ada seekor macan memakan anaknya sendiri!" bentak
Ki Bango Wadas dengan wajah tegang dan menyebabkan Lawunggana tertunduk ke tanah dengan hati kecut dan berdebar-debar.
Ya, memang sudah sepatutnya bila Ki Bango Wadas
menjadi marah oleh perkataan muridnya itu. Masakan seorang guru dapat sampai
hati membunuh muridnya
yang baik dan tunggal itu.
Entah kalau dengan murid yang murtad dan menyeleweng, pasti seorang guru akan menghajarnya
sendiri. Akan tetapi, Lawunggana bukan terbilang dalam golongan itu. Ia adalah murid yang patuh dan setia pada gurunya. Dengan demikian,
maka perkataannya yang
gegabah serta sembrono itu membuat Bango Wadas
menjadi marah. Kendati demikian, Ki Bango Wadas adalah seorang
yang berpengetahuan luas, dan ia dapat memaklumi
bila perkataan Lawunggana tadi keluar berdasarkan
dorongan rasa takut maupun panik. Maka betapapun
marahnya Bango Wadas yang botak itu, dapat memaafkan kesalahan muridnya ini.
"Maaf, Guru. Aku memang murid yang tolol dan Andika sudah patut memberi hukuman kepadaku!" ujar
Lawunggana seraya masih tertunduk ke bawah.
"Tak apa, Lawunggana," sahut Ki Bango Wadas.
"Aku telah memaafkanmu, dan marilah kita beristirahat sejenak." Demikian ajak si
botak itu kepada muridnya.
Kedua orang itu kemudian berjalan menuju ke pohon kering yang roboh oleh penggada Bango Wadas
beberapa saat yang lewat, dan selanjutnya mereka duduk berdampingan.
Dalam pada itu, langit di sebelah barat telah disepuh oleh warna merah kelam, sedang awan kehitaman beberapa gumpal tampak mengalir ke selatan dengan malasnya. "Lawunggana," ujar Bango Wadas sambil menoleh
ke arah muridnya, "kau telah cukup aku beri ilmu dan kau telah aku pandang cukup
untuk menghadapi lawan yang bagaimanapun tangguhnya."
"Terima kasih, Guru," sahut Lawunggana seraya
menghela nafas. "Dan kini aku telah rindu benar dengan desaku, Mijen."
"Hmmm, yah, yah. Aku masih ingat benar. Kau
hampir empat tahun tinggal bersamaku sejak pertemuan kita yang pertama. Bahkan aku masih ingat sewaktu kau datang dengan babak belur dan bercerita
kepadaku, bahwa dirimu habis dihajar oleh Sela Ganden, pendekar jagoan dari Desa
Mijen." "Hehhh," desah Lawunggana dengan mata memandangi langit senja di sebelah barat. "Itu semua terjadi, sebab aku masih sangat
hijau di waktu itu, sehingga aku tak berdaya melawan Sela Ganden." Lawunggana
sejenak berhenti berkata dan matanya menatap terus ke langit barat, seakan-akan
mencoba mengingat seluruh kejadian yang telah dialaminya.
Warna langit barat yang merah kelam, semerah
warna darah yang dulu pernah keluar dari mulutnya
ketika ia dihajar oleh Sela Ganden beberapa tahun
yang lalu. Waktu itu ia ingat betul dan kini gambaran-gambaran peristiwa yang silam seolah-olah bangkit dan terpancang di ruang matanya
kembali. *** Saat senja hari di Desa Mijen, dan lebih tepatnya di
pekarangan belakang rumah Ki Lurah Mijen. Dengan
asyiknya ia tengah asyik bercakap-cakap dan bercanda dengan Endang Seruni, si
gadis mungil dan lincah putri dari Ki Lurah Mijen. Ia mengenal gadis ini sejak
ma-sa kecil, dan sampai besarpun ia masih mengenalnya dengan baik.
Kalau dahulu Lawunggana selalu menganggap Endang Seruni sebagai teman bermain saja, kini tidak begitu lagi. Wajah dan tubuh
Endang Seruni yang makin meningkat ke alam dewasa itu membuat Lawunggana berpikir lain.
Yah, ia tak tahu, mengapa tiba-tiba pandangannya
terhadap Endang Seruni berubah dengan sendirinya.
Ia heran bila setiap kali bertemu dan bercakap-cakap dengan gadis itu hatinya
seolah-olah berdebar-debar dan bersorak dengan gemuruhnya.
Namun lama-kelamaan sadarlah Lawunggana bahwa ia telah jatuh cinta dan kasmaran terhadap Endang Seruni itu.
Senja telah turun dan kedua muda-mudi ini tengah
asyik bercakap-cakap. Apa yang terasa oleh Lawunggana kemudian adalah keindahan yang begitu sempurna. Langit senja yang berwarna lembayung itu, begitu
indah dan kini bersatu dengan keindahan wajah Endang Seruni, menjadikan Lawunggana terasa bagai ter-lambung oleh alam mimpi.
Hanya saja, Lawunggana tidak sadar bahwa di balik
dedaunan rumpun pisang, beberapa pasang mata tengah menatap mereka berdua dan inilah pangkal utama bahwa senja itu, adalah senja yang terakhir bagi Lawunggana di Desa Mijen.
Demikianlah, sesudah senja makin menggelap, maka iapun meminta diri kepada Endang Seruni dan sejurus kemudian gadis inipun berlari ke dalam rumah.
Lawunggana segera meninggalkan pekarangan itu
dan berjalan dengan tenangnya tanpa menaruh rasa


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemas ataupun curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa dirinya tengah diintai.
Ketika kemudian Lawunggana sampai di dekat pepohonan rindang, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdesing yang menuju ke
arahnya disertai seleret sinar putih yang menyambar cepat sekali.
"Oh, apa ini?" keluh Lawunggana seraya mengendap
ke bawah. Sebagai pemuda yang masih kurang berisi di dalam ilmu persilatan tentu
saja ia merasa gentar menghadapi hal ini.
Craaaap! Terdengar bunyi menancap dan alangkah kagetnya
demi mata Lawunggana melihat sebuah pisau belati
panjang menancap hampir separuh lebih pada batang
pohon di dekatnya.
Seketika Lawunggana bergemetaran dan cepat-cepat ia bangkit serta kemudian berlari menjauhi tempat itu. Akan tetapi, belum
lagi dua tombak jauhnya ia be-lari, mendadak berlompatanlah tiga bayangan tubuh
manusia dari balik rumpun-rumpun pisang yang gelap. "Berhenti, pengecut!" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kekar menghadang di tengah jalan dengan berkacak pinggang. "Kau berani memasuki pekarangan Ki Lurah
Mijen dalam waktu yang
tidak semestinya, haah"!"
"Dan lagi dia berani bercanda dengan Endang Seruni secara sembunyi-sembunyi!" seorang lainnya dari mereka, ikut berbicara
pula. "Akan kita apakan dia, Kakang Sela Ganden?"
"Heh, heh, heh, heh. Baiknya kita beri pelajaran se-cukupnya kepada bocah
ingusan ini!" seru si tubuh
kekar yang dipanggil dengan nama Sela Ganden itu!
"Adi Pakisan dan Sorogenen, bersiaplah jangan sampai cecunguk ini dapat lolos
dari tangan kita!"
"Bagus!" seru kedua orang lainnya hampir berbareng, sambil memperdengarkan suara gigi-gigi mereka yang bergemeretak berkerotkerot menakutkan.
Lawunggana masih saja bergemetaran tanpa dapat
berbuat apa-apa. Makin lama makin dekatlah jarak ketiga manusia tadi menghampiri
ke arah dirinya.
Yang paling tengah adalah Sela Ganden yang melangkah dengan tegapnya seraya menatap tajam dengan mata yang berapi penuh kemarahan.
"Ooh, berhenti kalian!" ujar Lawunggana dengan
paniknya. "Endang Seruni adalah sahabatku dan aku
tak berbuat kurang sopan kepadanya."
"Hiah, hah, hah, hah," Sela Ganden terdengar lagi
tertawa serta melangkah terus ke arah pemuda tadi
berdiri. "Kau boleh menangis minta ampun serta mencium telapak kakiku supaya aku
menaruh belas kasihan kepadamu, cecunguk!"
Lawunggana tak dapat berbuat apa-apa. Untuk melawan ketiga orang ini tak bakal mungkin terlaksana.
Bukankah ia telah mengenal bahwa ketiga orang ini
adalah jagoan-jagoan dari desanya yang juga merupakan pengawal Ki Lurah"
Biarpun begitu akhirnya Lawunggana tak punya pilihan lain dan ia telah bersiap-siap untuk berbuat seperti apa yang diminta oleh
Sela Ganden tadi, yakni meminta ampun kepadanya. Namun dalam hati kecilnya
timbullah bisikan yang menentang keputusannya
tadi. "Ah, aku laki-laki dan tak berbeda dengan mereka. Aku tak sudi meminta
ampun ataupun menyembah di hadapannya. Itu adalah perbuatan yang hina!
Bagaimanapun aku akan menolaknya!"
"Hei, lekas meminta ampun kepadaku!" bentak Sela
Ganden dengan garang. "Atau kau pilih aku hajar"!"
Lawunggana tak berkata-kata lagi, kecuali ia meloncat ke arah Sela Ganden dengan
mengirim satu tendangan kaki yang mengancam kepala orang ini.
Ternyata Sela Ganden memang bukan orang yang
sembarangan serta mudah diremehkan, maka serangan tiba-tiba tersebut ditangkisnya dengan kibasan tangan kirinya ke arah luar
dan saat itu pula terdengarlah benturan cukup keras dibarengi suara mengaduh. Bruuk! "Aduuuh!"
Lawunggana terpental dan jatuh ke atas tanah cekakaran sambil peringisan menahan rasa sakit dan
pedih pada kakinya.
Kini iapun sadar betapa hebatnya tenaga Sela Ganden ini. Rasa takut, patah semangat serta nekad berge-lut di dalam dadanya.
Memang sebagai seorang lelaki tidak boleh mundur setapak bila menghadapi bahaya
yang timbul di hadapannya. Maka melesatlah kembali Lawunggana ke arah Sela
Ganden yang masih saja
berdiri dengan tenangnya serta melirik ke arah Sorogenen yang mengangguk-angguk
sambil tersenyum penuh arti. Begitu loncatan Lawunggana tadi mencapai separuh
tujuan, sekonyong-konyong kaki Sorogenen menyelonong ke depan dan tepat mengait kaki Lawunggana.
Dengan disusul sebuah hentakan kecil maka sudah
cukup membuat loncatan pemuda tanggung ini kehilangan keseimbangan serta terjungkal ke tanah.
Tubuh Lawunggana seperti menghunjam ke bawah
dengan kepala lebih dulu, sesaat kemudian disusul
bunyi berkecopak serta air lumpur yang berterbangan muncrat ke mana-mana.
"Ha, ha, ha, ha," terdengar ledakan ketawa menggema di udara malam. "Lihat! Ada celurut mandi lumpur!" Lawunggana tertelungkup di atas tanah, tepat di
atas kubangan lumpur dengan muka yang kehitaman
coklat karena tertutup lumpur. Pandangan matanya
terasa kabur, serta berkunang-kunang.
Ketika ia melongok ke atas, tampaklah ketiga mulut lawannya terbuka lebar serta
tertawa terbahak-bahak.
Melihat ini, Lawunggana sangatlah marahnya. Suara
tertawa serta hinaan seperti merasuk sampai ke otaknya melalui kedua telinga,
membuat Lawunggana makin marah. "Heh, heh, heh, bocah ingusan! Kalau kau belum
pandai bersilat jangan sekali-kali berani mendekati
seorang gadis, apalagi yang cantik seperti Nyi Endang Seruni tadi!" kata Sela
Ganden sambil memilin kumis-nya. "Lekas berlalu dari tempat ini sebelum hilang
ke-sabaranku!"
"Hi, hi, hi, hi! Lucu! Sangat lucu! Bocah ini betul-betul sekarang mirip dengan
hantu penjaga sawah! Hi, hi, hi," terdengar pula Pakisan mengejek kepada
Lawunggana yang kini masih terhenyak di atas kubangan lumpur itu dengan tubuh
yang masih lemas dan kesakitan.
"Keparat!" teriak Lawunggana dengan geram seraya
kedua belah tangannya meraup lumpur di dekatnya,
serta sekaligus dilemparkannya ke arah ketiga orang lawannya. "Ini, makanlah
olehmu!" Bukan main terkejutnya Sela Ganden beserta kedua
temannya, sebab serangan Lawunggana tadi sangatlah tiba-tiba datangnya, sehingga
ketiganya tak sempat mengelak lagi dan tahu-tahu muka mereka telah berlepotan
oleh lumpur. Bahkan lebih dari itu, mulut Sela Gandenpun terkena lumpur pula, dan karenanya pendekar jagoan ini
mengumpat-umpat serta meludah-ludahkan lumpur
yang sedikit masuk ke dalam mulutnya.
"Kurang ajar! Setan ingusan! Bocah tidak tahu dikasih belas kasihan! Sorogenen dan Pakisan! Ayo,
tangkap celurut edan ini!" teriak Sela Ganden, dan sejurus kemudian mereka
bertiga telah berloncatan ke arah Lawunggana.
Sebagai seorang pemuda, sudah barang tentu Lawunggana tidak mau begitu saja menyerah pada keadaan. Maka sebelum ketiga lawannya terlalu dekat, ia secepat kilat bangkit
berdiri serta menerjang ke arah mereka bertiga.
Baik Sela Ganden, Pakisan ataupun Sorogenen jadi
terperanjat melihat terjangan Lawunggana itu, meskipun cuma sesaat saja. Mereka bertiga sadar bahwa Lawunggana itu adalah pemuda
yang bandel, tak takut oleh ancaman mereka.
"Haaaet!" Lawunggana setengah meloncat serta mengirim pukulan tangannya ke arah kepala Sela Ganden sedang kakinya menerjang ke
bahu Pakisan. Maka sesaat kemudian terjadilah benturan-benturan seru dan
menggentarkan hati siapa saja yang menyaksikan.
Tubuh Pakisan tergetar beberapa langkah ke samping, terkena tendangan kaki Lawunggana. Tapi bersamaan itu pula Sela Ganden dengan dahsyatnya menangkis pukulan pemuda ini dan disusul ia melancarkan pukulan sisi telapak
tangannya ke lambung Lawunggana. Plaaak! "Heekkk!"
Keluhan pendek terdengar dari bibir Lawunggana
disusul oleh tubuhnya terpelanting ke samping dan
terhempas kembali ke tanah becek dengan nafas tersengal-sengal. Tubuh Lawunggana sekarang kelihatan lemas bagaikan tak bertenaga sama sekali. Dengan susah
payah akhirnya ia berusaha untuk bangun, tetapi tiba-tiba Sela Ganden menyambar
leher bajunya serta men-cengkeramnya sekali dan menggoncang-goncang dengan keras, tak ubahnya seorang petani yang tengah menggoncang buah kelapa yang
baru saja dipetiknya.
"Tahu rasa kau, hah!" teriak Sela Ganden dengan
geramnya dan kemudian tangan kanannya beraksi
menampari pipi pemuda yang dalam cengkeramannya
tadi dengan geramnya berkali-kali sampai kepala Lawunggana ini tergolek ke kiri
dan ke kanan berulangulang.
Sejurus kemudian, dari sudut mulut Lawunggana
mengalir darah merah dan ini membuat Sela Ganden
makin beringas. Tamparannya makin ganas bertubitubi melanda kepala Lawunggana.
Mengalami hal ini, Lawunggana yang sudah tak
berdaya itu lalu meludahkan cairan darah mulutnya
ke arah muka Sela Ganden. Keruan saja pendekar jagoan ini bukan kepalang marahnya, setelah mukanya
berlepotan darah akibat semprotan dari mulut Lawunggana. "Kurang ajar!" teriak Sela Ganden sangat marah.
"Pakisan dan Sorogenen! Ayo jangan tinggal diam! Kita buat pesta bocah bandel
ini!" Sela Ganden berteriak seraya memukul dagu Lawunggana hingga pemuda itu terhuyung-huyung dan
secepat itu pula Pakisan menyongsongnya dengan sebuah tendangan telapak kakinya dan akibatnya Lawunggana terpelanting ke samping.
Sekali ini Sorogenen mengambil bagian. Begitu tubuh pemuda tersebut terhuyung-huyung pula, ia menyambutnya pula dengan sebuah kibasan telapak tangan dan tepat menghajar pelipis Lawunggana.
Tak ampun lagi pemuda ini terjajar ke samping sementara dari mulutnya keluar kata-kata yang terputus-putus. "Aaakh... bagus, kau main keroyok, pengecut busuk. Awas suatu waktu aku akan membalas...."
Kata-kata ini meskipun terucap dengan terputusputus, sudah cukup membuat telinga ketiga orang itu menjadi merah!
"Celurut bandel! Sudah tak berdaya begitu masih
berani mengancam, ha"! Ayoh teman-teman, hajar celurut ini lebih hebat!" seru Sela Ganden dan kembali Lawunggana menjadi bulanbulanan pukulan serta
tendangan ataupun dupakan dari Sela Ganden, Pakisan dan Sorogenen.
Tubuh Lawunggana kini tak ubahnya sebuah bola
mainan yang sebentar tercampak ke sana dan sebentar pula terpelanting ke mari,
tanpa berdaya untuk mengelak ataupun lari.
Sebentar kemudian Lawunggana tergeletak rebah ke
tanah. Tubuhnya babak-belur dan ia cuma sempat
mengeluh lemah. Sementara itu ketiga orang tadi tertawa terkekeh-kekeh
mengelilingi tubuh Lawunggana
yang terkulai di tanah becek berlumpur.
Agaknya Sela Ganden masih belum reda dendamnya, sebab meski tubuh pemuda itu telah tak berdaya, beberapa kali ia masih
menyepak Lawunggana tersebut dengan ujung kakinya, sampai korbannya menggeliat-geliat kesakitan.
"Nah, kau tahu rasa sekarang, hah"! Bocah ingusan
yang sombong!" seru Sela Ganden kembali seraya meludah ke bawah, ke tubuh Lawunggana.
"Pakisan dan Sorogenen! Mari kita tinggalkan celurut ini. Biar dia mengenangkan kehangatan pukulanpukulan kita tadi!"
Ketiga orang tersebut segera berlalu meninggalkan
tempat itu serta membiarkan tubuh Lawunggana tergeletak di comberan berlumpur.
Mereka lenyap di sebelah timur, menerobos semak-semak bambu sambil tak
ketinggalan memperdengarkan suara tertawanya yang
terkekeh-kekeh memuakkan.
Sampai beberapa saat Lawunggana tak sadarkan diri dan malampun berlalu dengan tenangnya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa
di situ. Udara dingin mulai merayap ke segenap sudut pepohonan dan seluruh
Desa Mijen yang telah membisu, sepi.
Perlahan-lahan dan sangat lemahnya, Lawunggana
mulai sadar dan bergerak-gerak lalu mencoba bangkit.
Tapi karena saking lemah dan rasa sakit yang masih menyengat-nyengat pada
lambungnya, maka rebahlah
ia kembali ke atas comberan lumpur dengan merintih kesakitan.
Dengan sangat bersusah payah, pemuda ini merayap bangkit, sementara kepalanya dipenuhi rasa dendam yang menyala-nyala
berkobar bagai api tersiram minyak.
Wajah Sela Ganden serta kedua temannya tadi masih tergambar dengan jelasnya di ruang matanya dan setiap kali pula ia bersumpah
untuk membalas dendam kepada mereka atas pengeroyokan terhadap dirinya ini! Akhirnya Lawunggana dapat berdiri dan berjalan
dengan sempoyongan ke arah barat laut. Ia tiba di tepi Sungai Serang dan
berhenti sejenak di atas sebuah ba-tu besar.
"Hmmm, aku tak akan kembali ke Desa Mijen. Aku
akan pergi entah ke mana. Biarlah aku menyusuri
Sungai Serang ini sampai ke muaranya sana. Aku belum akan kembali, sebelum aku mempunyai kesaktian
dan ilmu silat yang dapat mengalahkan Sela Ganden
bertiga!" demikian kata Lawunggana di dalam hatinya.
Di kala itu, malam makin bertambah larut sedang
bintang-bintang di angkasa bertaburan memancarkan
sinarnya yang berkedip-kedip. Bulan yang cuma separuh bulat itu menyinarkan


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cahayanya yang lemah menerangi muka bumi dengan suasana yang samarsamar redup. Lawunggana terus berjalan menyusuri aliran Sungai
Serang ke arah muara sambil terhuyung-huyung serta sebentar-sebentar terpaksa
istirahat. Telah beberapa jauhnya ia berjalan, tak dapatlah ia mengetahuinya dengan pasti, dan apa yang bakal menimpa dirinya ia tak perduli lagi. Bahaya
apapun ia tak akan takut. Binatang buas" Atau hantu pemakan manusia barangkali,
ia tak gentar menghadapinya.
Langkah-langkah kaki Lawunggana makin sempoyongan dan pandangan matanya sebentar-sebentar
kabur kembali. "Ah, apakah aku akan pingsan kembali?" desis Lawunggana seraya terus melangkahkan kakinya. Telinganya masih mendengar aliran air Sungai Serang
yang gemercik merdu, namun suara gemercik air sungai itupun akhirnya lenyap pula, bersamaan tubuhnya makin terhuyung lemah. Dan di saat itulah Lawunggana melihat dalam kekaburan pandangannya,
sebuah bayangan berkelebat ke arah tubuhnya yang
hampir rebah disertai suara ketawa yang terkekehkekeh menyeramkan.
Maka selanjutnya terasalah bahwa tubuhnya dipondong oleh orang ini, serta dibawanya melesat ke arah muara. Dan selanjutnya
sampai sekarang ia mengenal bahwa si penolong ini tidak lain adalah Ki Bango
Wadas yang sekarang menjadi gurunya sendiri.
*** Lawunggana masih duduk di samping gurunya, Ki
Bango Wadas. Mereka saling berdiam diri, dan Ki Bango Wadas yang telah banyak
pengalaman itu tahulah agaknya bahwa murid tunggalnya tengah melamun.
"Apa yang engkau lamunkan, Lawunggana"!" bertanya si botak itu kepada muridnya. "Mengenang masamasa yang lalu?"
Lawunggana seperti tersentak dari mimpi oleh pertanyaan Ki Bango Wadas, lalu segera menjawabnya.
"Maaf, Guru. Memang benar bahwa aku tengah melamunkan pengalaman yang silam. Aku ingin benar menengok desaku, Mijen. Telah cukup lama aku tinggalkan."
"Hmm, aku maklum akan hal itu, Lawunggana,"
ujar Bango Wadas. "Aku tak akan menghalang-halangimu, sebab tak akan ada bahaya yang perlu engkau kuatirkan. Engkau sudah cukup
mendapat ilmu dari-ku dan aku percaya, bahwa segala persoalan akan dapat engkau
pecahkan sendiri."
"Beribu-ribu terima kasih, Guru," sambung Lawunggana. "Kini aku akan dapat membalas sakit hati-ku kepada Sela Ganden,
Pakisan dan Sorogenen."
"Yah, jadi kau sungguh-sungguh akan menghajar
mereka bertiga"!" seru Ki Bango Wadas dengan girangnya. "Bagus, bagus. Aku
sangat gembira mendengar
maksudmu tadi dan semoga engkau akan berhasil. Dengan begitu mereka akan segera tahu, siapakah engkau ini. Yakni si Lawunggana murid tunggal Ki Bango Wadas ini! Dan mereka kita
gentarkan dengan segera.
Yah, nama Bango Wadas akan segera menggoncangkan dada mereka dan muncul kembali setelah hampir
tujuh tahunan lenyap dari otak mereka!"
Mendengar kata-kata itu, sudah barang tentu kalau
Lawunggana terperanjat dan pikirannya yang tajam
segera dapat mengambil kesimpulan bahwa gurunya
ini pasti mempunyai satu rahasia. Mengapakah Ki Bango Wadas telah mengasingkan
diri selama hampir tujuh tahun, seperti yang baru saja dikatakannya tadi"!
"Lawunggana, berangkatlah engkau besok pagi ke
desa itu dan engkau pasti akan dapat menemui gadis-mu lagi, yakni si Endang
Seruni!" Ki Bango Wadas berkata lagi seraya menepuk-nepuk pundak Lawunggana,
murid tunggalnya ini.
Mendengar kata-kata gurunya, Lawunggana seketika menjadi berseri-seri wajahnya dan roman muka
Endang Seruni seperti terbayang di hadapannya dengan wajah cantik dan menggairahkan.
"Ah, hampir empat tahun ia tak kulihat lagi," begitu bisik Lawunggana dalam
hati. "Pasti sekarang ia lebih cantik."
Dari wajah yang cerah itu, Ki Bango Wadas tahulah
akan keadaan muridnya, dan tak lama kemudian iapun bangkit berdiri serta berkata pula - Lawunggana, bersabarlah untuk menjumpai
kekasihmu itu. Sekarang, ayolah kita pulang dulu. Hari telah cukup gelap!"
"Eh... baik, Guru," berkata Lawunggana agak tergagap dan cepat-cepat ia bangkit serta melangkah mengikuti gurunya ke arah barat.
Mereka berjalan beriring melewati semak-semak belukar dan sesudah melewati ladang kecil bertanaman jagung, merekapun tiba di
sebuah hutan kecil dengan pepohonan-pepohonan yang rindang dan lebat.
Akhirnya setelah sampai pada sebuah batu besar,
keduanya berjalan melingkar ke utara dan tibalah ke sebuah pondok bambu yang
kecil tapi cukup rapi dan kelihatan bersih.
Sementara Ki Bango Wadas membuka pintu, Lawunggana segera menyalakan dian minyak dengan batu apinya, maka terang-benderanglah ruangan itu. Pa-da dinding-dinding bambu,
tergantunglah beberapa
macam senjata, seperti tombak, golok dan keris serta beberapa kantong kain putih
yang berisi obat-obatan, selembar kulit yang berisi tulisan-tulisan terpasang
pula pada dinding tadi dengan rapi.
Sesudah Ki Bango Wadas serta Lawunggana membersihkan diri, mereka berdua menyiapkan makan malamnya yang terdiri dari nasi jagung dengan lauknya ikan sungai yang telah
dibakar disertai sejumput cabai
dan garam. Terasalah oleh Lawunggana betapa lelah dan laparnya setelah ia menempuh latihan tataran terberat dari gurunya. Hidangan malam
tadi dilahapnya dengan segera, sesuap demi sesuap.
"Segeralah engkau tidur, Lawunggana," ujar Ki Bango Wadas kepada muridnya. "Agar engkau bisa bangun pagi-pagi besok, sebab perjalananmu cukup
jauh." Lawunggana mengangguk perlahan sambil menyelesaikan makannya, demikian pula Ki Bango Wadas.
Di luar, malampun semakin larut dan embun menghiasi dedaunan berbutir-butir gemerlapan laksana permata intan, sedang kabut
malam perlahan-lahan merayapi permukaan tanah seolah-olah hendak menelan
hutan kecil muara Kali Serang ini.
*** 3 PULUHAN KAPAL dan perahu-perahu berlabuh di
Bandar Jepara dengan tenangnya. Terkadang satu dua kapal bertolak dan ada juga
yang datang untuk berlabuh.
Suara gemericik ombak-ombak kecil yang memecah
ke tepi pantai terdengar silih-berganti diseling jeritan-jeritan burung camar
laut yang terbang merendah dan berputar di angkasa.
Di pendapa Tamtama yang terletak tidak jauh dari
Bandar Jepara, duduklah Mahesa Wulung, Pandan
Arum dan Jagayuda serta beberapa tamtama lainnya
seperti Ki Tambakbayan dan Ranujaya. Juga Wira
Sengkala serta Sandi Pradangga tampak pula dudukduduk bersama mereka.
"Angger Mahesa Wulung," ujar Ki Tambakbayan dengan hormatnya, "syukurlah bahwa Angger telah berhasil menghancurkan Kapal Hantu itu. Laporan telah aku kirimkan ke Demak dan
lengkap menceritakan segala pengalaman Angger ketika berada di pulau Borneo." "Terima kasih, Bapak," jawab Mahesa Wulung. "Ki
Rikma Rembyak belum terdengar kabar beritanya sedang Kapal Hantu tadi memang menggunakan senjatasenjata panah Braja Kencar dalam setiap pengacauannya, seperti yang telah berhasil aku rampas serta kuserahkan kepada Bapak
kemarin." "Yah, memang Ki Rikma Rembyak sukar dicari jejaknya. Tapi Angger tak usah kuatir, sebab suatu ketika pastilah ia akan dapat
kita bekuk batang lehernya!"
demikian kata Ki Tambakbayan. "Sekarang Angger boleh beristirahat beberapa saat, sampai ada tugas baru bagimu nanti."
"Ke manakah rencana Andika sekarang?" tanya
Sandi Pradangga yang bermata tajam tapi berwajah
ramah itu. "Mmm, kami akan berkunjung ke Desa Mijen untuk
menengok Ki Lurah Mijen. Di samping itu, ada sesuatu hal yang perlu aku tanyakan
kepada Ki Lurah tadi."
Sandi Pradangga agak berkerut oleh penuturan Mahesa Wulung, namun kemudian iapun tersenyum. "Ke
Desa Mijen" Ah, agaknya ada urusan pribadi"!"
Mahesa Wulungpun tersenyum seraya berkata, "Benar, Kakang Sandi. Aku bersama Adi Pandan Arum
akan datang menemui Ki Lurah Mijen, selama waktu
istirahat itu."
"Itu pilihan yang baik," ujar Sandi Pradangga pula.
"Semoga liburan Andika akan menyenangkan."
"Terima kasih," kata Mahesa Wulung pula. "Kami
akan berangkat besok pagi dengan berkuda ke sana."
Demikianlah, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Jagayuda dan Ki Tambakbayan serta yang lain-lainnya
masih asyik bercakap-cakap di Pendapa Tamtama itu
sampai sang matahari condong ke langit barat.
Tepat sang senja mulai hadir, selesailah sudah percakapan mereka dan masingmasing lalu kembali ke
tempat tinggalnya. Mereka boleh dikatakan telah merasa puas dengan hancurnya
Kapal Hantu itu, sebab
sejak itu pula terasalah bahwa pelayaran serta lalu-lintas perniagaan di lautan
telah lancar kembali, pulih seperti sediakala. Nama Kapal Hantu telah lenyap
dari percaturan dan dilupakan untuk selama-lamanya seperti juga nama Monyong
Iblis yang pernah menggegerkan kalangan tamtama serta prajurit Demak sebagai seorang golongan hitam yang telah berkali-kali mengacau keamanan.
Keesokan harinya, di pagi yang berhawa segar, berpaculah dua ekor kuda ke arah selatan meninggalkan Pendapa Tamtama dengan
derapan yang cepat.
Ketika mereka berdua melewati pintu gerbang selatan kota Jepara, beberapa prajurit kawal segera mengangguk dan memberi hormat
kepada kedua penunggangnya yang tidak lain adalah Mahesa Wulung serta Pandan Arum.
Debu serta kerikil berloncatan ke tepi jalan oleh derapan kaki-kaki kuda mereka.
Di sepanjang jalan terlihatlah para petani yang berangkat untuk menggarap
sawahnya di daerah selatan kota Jepara.
Semula mereka agak terkejut melihat dua orang
berpacu tadi. Tapi setelah dekat, orang-orang inipun seketika melambai-lambaikan
tangannya serta mengangguk hormat kepada kedua penunggang kuda ini.
Yah, siapakah yang tidak mengenal Mahesa Wulung, pendekat utama, serta Perwira Laut dari Armada Demak ini"
Mereka terus berpacu menuruti jalan yang menuju
ke selatan, menyusuri pantai Jepara dengan hiasan
ombak berdebur memecah ke pantai.
Sementara itu pula, jauh lebih ke sebelah selatan
sana, sebuah perahu sampan yang kecil dan cukup
hanya ditempati oleh seorang penumpang tengah meluncur menentang arah aliran Kali Serang menuju ke arah tenggara.
Air sungai yang tenang mengalir menuju ke muara
di sebelah barat laut, tidaklah merupakan halangan bagi si pendayung. Pemuda
yang berdayung dan berkumis tebal ini tidak lain adalah Lawunggana, si murid
tunggal dari si botak sakti Ki Bango Wadas. Tangan yang kokoh dan cekatan itu
dapat berdayung dengan
lincah dan silih berganti dari sisi kiri dan kanan.
Pantulan cahaya matahari yang menimpa permukaan air, bergemerlapan menambah keindahan suasana
pagi. Lawunggana kadangkala tersenyum sendiri bila memikirkan Desa Mijen yang
akan ditujunya. Wajah
Endang Seruni berkali-kali melintas di depan pelupuk matanya, sehingga
Lawunggana semakin cepat men-dayung sampannya ini, sedang hatinya berkata-kata
sendiri. "Endang Seruni... hampir empat tahun aku tak melihatnya. Tapi cintaku kepadanya terasa makin subur dan mendalam. Ohh, mudahmudahan iapun demikian
pula tidak mengkhianati prasetya cintanya kepadaku."
Sangat lajunya sampan pendekar berkumis tebal ini
mengarungi air, ringan bagaikan selembar daun kering dan cepat laksana ikan
berenang. Peluhpun mengalir dari dahi Lawunggana kemudian
mengalir ke bawah bercucuran, namun kesemuanya
itu tidaklah mengurangi semangat Lawunggana. Malahan boleh dikata bahwa keringat-keringat tadi mempersegar tubuhnya.
Tiba-tiba saja, sewaktu ia sampai pada bagian sungai yang kiri-kanannya bertebing pepohonan semak
ilalang, bambu dan gelagah, hatinya merasa berdentang-dentang dan seolah-olah
ada beberapa pasang
mata yang tengah mengawasinya.
Tebing pepohonan bambu, gelagah dan ilalang itu
ternyata cukup panjang, dan inilah yang membuat Lawunggana semakin berdebardebar dadanya. Suara gemercik air yang terdengar sepanjang perjalanan Lawunggana mendadak dipecahkan oleh suara
berdebur dari tepi sungai sebelah kiri disusul oleh air memercik beberapa saat
ke atas. Mata Lawunggana yang tajam segera dapat melihat
adanya bahaya yang mendatang.
"Hemm, inilah agaknya makhluk-makhluk yang
mengintaiku sejak tadi," gumam Lawunggana seorang
diri. Ia melihat sebuah benda bergerak cepat, sedikit di bawah permukaan air
dengan menimbulkan arus dan
gelombang kecil ke arah sampannya.
"Buaya!" desis Lawunggana. "Sekarang aku harus
berhati-hati menghadapinya!" Selesai berkata, ia cepat melolos pedangnya. "Aku
harus mendahului menyerangnya lebih dulu sebelum ekornya memukul badan
perahuku yang kecil ini."
Byuuur! Sekali lagi terdengar suara dari tebing sebelah kanan. Pendekar berkumis tebal
itu segera dapat melihat tubuh seekor buaya terjun ke dalam air, sedang buaya
lainnya yang masih bermalas-malas acuh tak acuh kepada temannya yang terjun ke dalam air tadi.
Lawunggana terperanjat bukan main, ketika dua
ekor binatang air itu dengan cepat berenang ke arah perahunya dari samping kiri
dan kanan. "Serangan berbareng!" desah Lawunggana seraya


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meletakkan pedang yang telah dilolosnya tadi dan cepat-cepat ia berdayung
kembali disertai pengerahan seluruh tenaga. Maka sejurus kemudian, perahu sampan
Lawunggana meluncur ke depan lebih cepat dan akibatnya, kedua ekor buaya tadi
cuma menerkam air belaka dan saling bertubrukan.
Buaya-buaya lainnya agaknya melihat bahwa serangan kedua temannya tadi menemui kegagalan dan
mereka berterjunan ke dalam air, menimbulkan gelombang-gelombang kecil dan riak
air bergejolak menyeramkan.
Sepintas lalu Lawunggana teringat akan cerita Jaka Tingkir yang bertempur
melawan buaya-buaya di Ke-dung Srengenge. Tetapi apakah itu cerita sesungguhnya
atau hanya cerita kiasan saja, ia tidaklah tahu dengan pasti.
Alangkah terkejutnya pendekar berkumis tebal ini
apabila dari sebelah depanpun terlihat beberapa ekor buaya mencegat arah
sampannya, sehingga sesaat Lawunggana seperti orang linglung terbengong-bengong
tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Dan waktu sesaat ini cukup bagi binatang air itu
melakukan serangannya. Seekor di antaranya segera
menabrakkan tubuhnya yang berkulit keras bergerigi sampai sampan Lawunggana yang
kecil itu bergoncang hebat.
Untunglah pendekar muda ini tidak kehilangan keseimbangan dan ia cepat-cepat menyambar pedangnya
dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya
menggenggam dayung.
Kembali seekor buaya menyerangnya dari sebelah
kiri dengan benturan punggung dan kali ini Lawunggana tidak tinggal diam. Cepat ia menyabetkan
dayungnya ke bawah, ke arah punggung si penyerang
dan buaya menggeliat serta berputar di air, tetapi dayung di tangan kirinya
seketika patah menjadi dua.
Tepat di saat itu seekor buaya lain tiba-tiba menyabetkan ekornya yang kokoh dan
tebal dari sisi kanan perahu. Maka akibatnya sampan perahu kecil ini bergoncangan keras dan oleng ke kiri lalu terbalik! Dan di sekitarnya beberapa ekor
buaya telah mengapung.
"Hyaaat!" Lawunggana berteriak keras dan ia melenting ke atas berbareng perahu kecilnya itu terbalik. Dengan sebuah loncatan yang
manis, ia melayang turun dan mendarat di atas sebuah punggung seekor buaya.
Merasa punggungnya kena injak ini, si raja air segera menyabetkan ekornya. Tetapi Lawunggana yang
selalu waspada secepat kilat melesat dari punggung buaya tersebut sambil tak
lupa menghunjamkan pedangnya ke lekukan leher sebelah belakang binatang air ini.
Buaya tadi menggeliat hebat dan dari punggungnya
menyembur darah merah pekat ke permukaan air sungai dan menyebar bercampur dengan raungan dari
mulut lebarnya.
Tap! Kedua kaki Lawunggana mendarat pula pada punggung buaya yang lain, untuk kemudian melenting pula ke arah punggung buaya
lainnya sambil memutar pedangnya secepat angin lesus serta sekali-sekali dihunjamkan ke punggung si raja air ini. Sebentar saja beberapa ekor buaya telah
berhasil dilukainya.
"Aku harus menepi selekasnya!" desis Lawunggana
seraya bergerak ke arah tepi sungai sebelah kanan.
Demikianlah, dengan meloncat dari satu punggung
buaya ke punggung buaya yang lainnya, Lawunggana
segera tiba di tepi sungai sebelah kanan.
Ketika tiba di darat, ia masih melayangkan pandangannya ke tengah sungai dan terlihatlah beberapa
ekor buaya berputar menggeliat-geliat akibat luka-luka tikaman pedang Lawunggana
tadi, sedang buaya-buaya lainnya rupanya telah membenamkan diri dalamdalam ke dasar sungai.
Akhirnya Lawunggana bergegas meninggalkan tebing sungai itu serta mendaki ke arah tanggul. Di depannya, jauh di antara hutanhutan kecil di sebelah sana, terhamparlah petak-petak sawah yang kehijauan
subur. "Di sanalah terletak Desa Mijen!" desis Lawunggana.
Iapun berjalan menuju ke arah petak-petak sawah itu.
Di langit matahari bersinar dengan teriknya dan beberapa awan putih bagaikan
gumpalan-gumpalan kapas raksasa mengalir ke arah selatan.
Hutan kecil makin bertambah dekat dan Lawunggana masih ingat betul-betul akan masa-masa kecilnya. Di tepi hutan kecil itulah terdapat sebuah mata air yang jernih, tempat ia
dahulu bermain-main bersama Endang Seruni di masa kecil dahulu.
Sebuah dorongan batin yang kuat, seolah-olah memerintahkan agar ia menengok mata air itu dan karenanya Lawunggana kemudian
membelok ke barat, ke
tepi selatan hutan kecil.
Tiba-tiba saja telinga Lawunggana menangkap sebuah alunan tembang, lagu Asmarandana yang menyayat, menggayut-gayut melambangkan sebuah hati
yang rindu dan jatuh cinta tapi kemudian menceritakan kepatahan, hati yang
hancur dan rusak. Hal ini
membuat Lawunggana terhenyak, sampai ia terhenti
langkahnya. Ia sendiri seperti terkena dan dapat merasakan isi dari nyanyian yang
mengharukan tadi. Akan tetapi,
yang lebih membuat heran Lawunggana, adalah suara
si penembang itu. Yah, ia seperti pernah mendengar suara itu, tapi siapakah
orang itu"
Maka, secepatnyalah Lawunggana berlari ke arah
mata air di sebelah selatan hutan kecil ini.
Ia ingin mengetahui, siapakah kiranya si penembang ini, dan itulah sebabnya ia menguakkan beberapa dedaunan semak belukar di depannya. Sama sekali ia tak bermaksud membuat kaget orang ini, sehingga Lawunggana mengambil keputusan untuk
mengintip terlebih dahulu.
Bersamaan terkuaknya dedaunan itu, tampaklah
olehnya seorang gadis duduk membelakang berambut
hitam bersanggul kecil dan ujungnya terurai ke bawah sampai ke punggung.
Lehernya yang jenjang berkulit sawo matang itu, berkilatan terkena pantulan
cahaya matahari yang menimpa air sendang.
Gadis tersebut duduk di atas sebuah batu hitam
yang besar, dan menjorok di atas permukaan mata air ini, sedang tangannya
memegang serta mempermain-kan setangkai bunga mawar merah.
Lawunggana semakin berdebar hatinya dan ia ingin
mengenal serta melihat wajah gadis itu. Dengan melangkah perlahan-lahan serta hati-hati sekali ia, mengambil arah memutar dan
berjalan mengendap-endap
ke arah samping gadis itu duduk. Sebentar berhenti dan sebentar melangkah
kembali. Namun entah apa sebabnya bila tahu-tahu kakinya
telah salah memilih jalan sehingga terinjaklah sebatang dahan kering yang
seketika patah berderak!
Maka seketika itu pula si gadis berpaling ke arahnya dengan pandangan mata yang tajam sesaat, dan
kemudian terbeliak lebar. Begitu pulalah dengan Lawunggana sendiri. Ia menatap
gadis itu dengan mata tak berkedip seperti seorang yang terkena sihir dahsyat.
Kedua orang itu saling berpandangan beberapa lama tanpa kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Lawunggana mulai melangkahkan kakinya ke depan, sementara gadis itupun telah bangkit dan berjalan ke arah Lawunggana
mendatang. Keduanya masih
saja saling berpandangan.
Ketika jarak antara mereka berdua semakin dekat
dan kira-kira tinggal tiga tombak lagi, keduanya segera berlari saling
menyongsong. "Endang Seruniiii!" seru Lawunggana dengan suara
bergetar parau.
"Kakang Lawunggana!" teriak lirih gadis itu dengan suara yang bergetar pula.
Jarak semakin dekat dan seperti digerakkan oleh
tenaga yang sama, mereka berdua sama-sama mengembangkan kedua belah tangannya ke depan.
Sesaat kemudian terjadilah adegan yang mesra, tapi juga mengharukan. Endang
Seruni, yakni gadis yang
bermain-main dengan setangkai bunga mawar merah
tadi kini mendekap Lawunggana dan memeluknya sangat erat. Begitu juga pendekar berkumis lebat itupun tak ketinggalan. Dipeluknya pula gadis bertubuh sintal dan padat ini dengan mesranya,
seolah ia ingin menjadi sa-tu dan tak berpisah lagi. Yah, empat tahun perpisahan
bukanlah waktu yang pendek bagi dua orang yang
berkasih-kasihan.
"Kakang Lawunggana, oookh," desah Endang Seruni
seraya merebahkan kepalanya ke dada pendekar berkumis lebat ini, dan di situ merasakan ketenangan
yang mendalam. "Adi Endang Seruni," bisik Lawunggana sambil
membelai rambut gadis itu dengan usapan yang penuh kemesraan. "Aku selalu
merindukanmu selama empat
tahun ini."
Endang Seruni menengadahkan kepalanya menatap
wajah Lawunggana.
"Aku pun begitu... Kakang," ujar gadis ini dan tangannya menahan jari-jari
pendekar muda yang menarik dagunya ke atas. "Mmm engkau mulai nakal,
Kakang." "Kau semakin cantik saja, Adi Seruni," bisik Lawunggana setengah menggoda, membuat gadis itu tersenyum dan memejamkan matanya yang berbulu hitam melengkung. Iapun tak tahu bahwa Lawunggana
menundukkan kepalanya dan alampun seperti impian
bagi kedua kekasih itu.
Sesaat kemudian, Endang Seruni berontak, melepaskan pelukan pendekar muda itu serta meraba bibirnya yang baru saja merasakan kehangatan mesra
dari kekasihnya.
Gadis itu berpaling membelakangi Lawunggana disertai isakan-isakan kecil dengan tiba-tiba. Pikirannya menjadi bingung karena
pertemuannya dengan Lawunggana yang telah berpisah sekian lama tanpa kabar beritanya. Memang sebenarnya ia masih mengharap akan pertemuannya dengan Lawunggana ini. Tetapi bukankah
ia belum lama sembuh dari kepatahan hatinya serta
cintanya kepada Mahesa Wulung beberapa waktu yang
lalu" Lawunggana menjadi terperanjat oleh perubahan
sikap Endang Seruni yang tiba-tiba, dan iapun berkata pelan.
"Adi Seruni," ujarnya, "mengapakah engkau, Adi"
Adakah seseorang yang telah merebut cintamu kepadaku?" Oleh pertanyaan tadi, Endang Seruni tak dapat berkata apa-apa, melainkan membisu saja sampai didengarnya kembali Lawunggana berkata pula.
"Adi Seruni, ketahuilah bahwa aku tak pernah melupakanmu selama ini. Aku masih tetap mencintaimu, Adi!"
"Cinta"!" desis Endang Seruni dengan setengah mencibir dan bernada sumbang. "Huh, aku tidak sudi mengenal cinta lagi! Cinta
telah membuatku hidup seng-sara!"
Sehabis berkata demikian, Endang Seruni kemudian berlari meninggalkan mata air itu, menuju ke
arah jalan ke Desa Mijen, meninggalkan Lawunggana
seorang diri terbengong keheranan.
"Seruni! Adi Seruni... tunggu dulu!" teriak Lawunggana serta berusaha menahan
Endang Seruni, tetapi
gadis ini segera berseru dengan lantangnya.
"Jangan sentuh aku lagi! Biarlah aku merasakan
kehancuran hatiku. Pergilah engkau, Kakang Lawunggana. Biarkan aku seorang diri!"
Lawunggana terhenyak antara sadar dan ragu-ragu.
Apa yang ditemuinya, adalah peristiwa yang mulamula menyenangkan, mesra, penuh harapan hidup
kemudian hancur oleh kenyataan yang penuh tanda
tanya dan kegelisahan hidup, bercampur-aduk menjadi satu, membuat kepalanya seperti pusing dan akan meledak!
Ia masih dapat melihat arah lari gadis itu yang menuju ke arah gerbang Desa
Pendekar Latah 12 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Laron Pengisap Darah 7

Cari Blog Ini