Ceritasilat Novel Online

Bentrok Di Kali Serang 2

Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang Bagian 2


Mijen. "Apakah yang menyebabkan Endang Seruni menderita perasaan seburuk itu"! Heh, bagaimanapun juga aku harus mengetahui sebab
musababnya!" desah Lawunggana. "Dan satu-satunya jalan untuk mengetahuinya ialah bertanya langsung kepada Ki Lurah Mijen sendiri. Pasti ayah Endang
Seruni itu akan bersedia menjelaskan duduk perkaranya!"
Dan akhirnya Lawunggana menyadari bahwa apa
yang dialaminya saat ini adalah kejadian yang benar-benar ada dan bukanlah cuma
sekadar mimpi belaka.
Pendekar muda inipun segera berlari ke arah jalan
yang baru saja dilewati oleh Endang Seruni menuju ke gerbang Desa Mijen dengan
cepatnya. Beberapa orang yang melihat kejadian ini agak tercengang-cengang. Mereka merasa janggal bahwa seorang gadis seperti Endang Seruni ini, apalagi dia sebagai putri seorang kepala
desa telah berlari-lari di sepanjang jalan desa, ketika pulang ke rumahnya.
Tetapi orang-orang desa tadi akan lebih terkejut
apabila ia melihat pula seorang pemuda berkumis teb-al dan berjenggot tampan
juga berlari-lari kecil agak jauh di belakang Endang Seruni. Beberapa orang yang
agak tertarik segera membuntuti mereka.
Demikianlah, tak lama kemudian Endang Seruni telah memasuki halaman pendapa kelurahan dan beberapa orang yang tengah duduk di situ segera terkejut karenanya.
Ki Lurah Mijen dan istrinya serta beberapa abdi pelayan yang berada di situ
dengan tergopoh-gopoh menyambut putrinya seraya berseru.
"Endang Seruni... lho mengapa engkau berlari-lari, Nak"!"
Yang ditanya tidak lekas menjawab, melainkan ia
merangkul ibunya dan merebahkan kepalanya pada
pangkuan Nyi Lurah.
"Karena aku terkejut, Ibu," ujar Endang Seruni dengan manja. "Ketika aku main-main di sendang, tiba-tiba datanglah Kakang
Lawunggana menemuiku."
"Lawunggana"! Pemuda yang telah sekian lama
menghilang itu muncul kembali?" ujar Ki Lurah Mijen sambil tersentak kaget. "Di
mana dia sekarang, Nak?"
"Aku lihat dia juga berlari mengikuti dan mungkin
akan ke mari, Bapak," kata Endang Seruni pula.
Nyi Lurah dapat merasakan bahwa anak gadisnya
ini terengah serta berdebar-debar hatinya. Maka iapun mengajak putrinya ini
untuk masuk ke dalam. "Ayo,
Nduk. Marilah minum air dulu, biar hatimu tenang."
"Baik, Bu," kata Endang Seruni serta melangkah ke
dalam rumah dalam rangkulan mesra ibunya, Nyi Lurah Mijen. Ki Lurah segera bergegas ke luar halaman untuk
menyatakan cerita putrinya, Endang Seruni. Jika
seandainya benar bahwa Lawunggana datang ke rumahnya, ia akan menyambutnya dengan baik, sebab
sebagai orang tua yang bijaksana ia telah tahu bahwa sejak kecil mula, antara
Lawunggana dan Endang Seruni telah terjalin persahabatan yang erat, bahkan orang
tua inipun tahu bila persahabatan mereka berdua ini telah berkembang menjadi
jalinan cinta yang pertama.
Sejak semula, Ki Lurah Mijen telah cocok dengan
pemuda Lawunggana yang berperangai halus, lagi sopan itu. Tetapi sayang beberapa tahun yang lalu, ia telah pergi meninggalkan
desa ini tanpa ia tahu sebab mulanya.
Dalam penuh tanda tanya itu, serta ketidak-tahuan
itu, Ki Lurah telah mengira bila antara Lawunggana dengan Endang Seruni, terjadi
suatu pertengkaran.
Namun dugaan inipun akhirnya keliru sama sekali.
Sebab Endang Seruni sendiri telah berkata kepadanya bahwa antara mereka berdua
tidak ada pertengkaran
ataupun perselisihan.
Lebih heran lagi Ki Lurah Mijen, demi Endang Seruni bercerita pula kalau sesungguhnya ia telah bercakap-cakap di pekarangan
rumah pada suatu sore, sebelum Lawunggana, akhirnya menghilang sama sekali
beberapa tahun lamanya. Nah, jika demikian, pastilah terjadi sesuatu yang
menyebabkan pemuda itu pergi
dari desa ini! Begitulah, kejadian yang telah hampir empat tahun
terjadi itu membuat Ki Lurah Mijen teringat kembali akan segala kejadian dan
peristiwa yang silam.
"Permisi, Ki Lurah!" terdengar suara yang bergetar dari luar halaman, menjadikan
orang tua ini geragapan bagai terbangun dari mimpi.
"Eh, ooo... engkau adalah Lawunggana, bukan?"
bertanya Ki Lurah Mijen seraya mempersilakan tamu
mudanya ini masuk ke halaman. "Marilah masuk, Nak.
Wah, engkau sekarang amat gagah."
Yang dipuji sangat berdebar dan tertunduk malu,
kemudian berjalan di samping Ki Lurah menuju ke
pendapa rumah. Mereka kemudian duduk di ruang
pendapa dan Ki Lurah yang telah tidak sabar itu lekas-lekas membuka percakapan.
"Angger Lawunggana," ujar Ki Lurah Mijen, "kedatanganmu sangat mengejutkan kami, tetapi kamipun
merasa senang pula."
"Terima kasih, Ki Lurah. Tapi harap dimaafkan kalau aku telah mengejutkan orang-orang di desa ini."
"Tak apa, Ngger. Tak apa. Meskipun Andika telah
pergi menghilang dari desa ini beberapa tahun lamanya, bagi kami Angger masih kami anggap penduduk desa ini," berkata Ki Lurah Mijen dengan ramah.
"Sekarang, katakanlah kepadaku, Angger Lawunggana.
Agaknya ada sesuatu yang amat penting, menilik kedatanganmu langsung ke mari
dengan peluh yang bercucuran." "Memang penting, Bapak," jawab Lawunggana. "Sebelum di desa ini, aku telah melewati sebuah mata air.
Di situ aku bertemu seorang gadis yang ternyata adalah Adi Endang Seruni.
Pertemuan kami yang tiba-tiba itu sangat menggembirakan bagi kami. Tetapi
sayang, suasana gembira tadi berubah ketika aku berkata kepadanya bahwa aku
masih tetap mencintainya. Dengan tiba-tiba saja Adi Endang Seruni berlari mening-galkanku seorang diri
seraya berkata bahwa ia tidak ingin mendengar kata-kata cinta lagi."
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk oleh keterangan dan tutur kata Lawunggana tadi. Setelah berdiam sesaat kembali ia berkata,
"Angger Lawunggana, semoga Angger tidak lantas terkejut oleh sikap Endang Seruni
tadi, dan maafkanlah dia seluas-luasnya. Memang, sudah agak beberapa lama Endang Seruni sering bersikap begitu dan suka melamun, menyendiri di tempat-tempat yang sunyi.
Hal ini tentu menyusahkan kami sekeluarga, dan orang-orang kampungpun juga
turut berprihatin karenanya."
"Eh maaf, Bapak. Adakah sebab-sebabnya sampai
Adi Endang Seruni bersikap demikian itu?"
"Memang, Angger. Ada sebab-sebabnya, namun persoalan ini tidak dapat dipersalahkan terhadap orang lain semata-mata. Sebab
begitu sulit dan menyusahkan."
"Jika diijinkan, aku ingin mengetahuinya, Bapak,"
ujar Lawunggana pula. "Sebab bagaimanapun juga,
aku masih mengharapkan Adi Endang Seruni."
"Sekarang dengarlah, Angger. Beberapa waktu yang
lalu, di daerah ini pernah dikacau oleh orang-orang jahat dari gerombolan Topeng
Reges. Mereka sering mengacau dan membuat bencana di sana-sini. Malah akhirnya dengan kurang ajar mereka berani menculik
Endang Seruni."
"Jadi Adi Endang Seruni pernah diculik"!" ujar Lawunggana. "Benar, Angger. Secara kebetulan seorang perwira
dari Demak telah menolongnya. Dan dengan begitu,
seharusnya dialah yang menjadi calon suaminya. Sebab sejak diculiknya Endang Seruni, Bapak telah me-ngadakan sayembara, bahwa
siapa yang berhasil
membebaskan Endang Seruni dari tangan orang-orang
Topeng Reges itu, ia akan kujadikan suaminya."
"Tetapi, mengapakah selanjutnya, Bapak?" potong
Lawunggana dengan hati berdebar-debar.
"Perwira Demak tadi ternyata menolak keputusan
sayembara tadi, sebab ada dua hal yang membuatnya
bersikap begitu. Pertama, ia tidak sengaja memasuki sayembaraku itu dan
pertolongannya tadi hanyalah
terdorong oleh suatu kewajiban belaka. Kedua ia telah dicintai oleh seorang
gadis lain dan iapun telah mencintainya pula. Nah, kedua hal itulah yang
menyebabkan Endang Seruni tidak jadi kawin dengan perwira
Demak tadi, sehingga selanjutnya menyebabkan Endang Seruni berkelakuan pemurung dan pelamun. Kadang-kadang ia lekas marah dan mudah tersinggung."
"Heh, keterlaluan si Perwira Demak itu," ujar Lawunggana setengah jengkel. "Seharusnya ia tak menolak keputusan sayembara itu. Meskipun hal tadi ju-ga berarti bahwa aku akan
kehilangan Adi Endang Seruni. Namun toh aku tak akan menyesal, karena Endang Seruni akan mendapatkan seorang suami yang
berpangkat."
"Memang benar. Akan tetapi kami juga tidak bisa
menyalahkan dia. Dia punya alasan-alasan yang dapat kita pahami, Angger."
"Siapa nama Perwira Demak itu, Bapak?"
"Dia bernama Mahesa Wulung," ujar Ki Lurah Mijen. "Dan dia pulalah yang dapat membinasakan Ki
Topeng Reges!"
"Hebat! Luar biasa!" desis Lawunggana kaget setengah kagum. "Nama kedua orang tadi telah terkenal di daerah sekitar Asemarang,
Demak dan Jepara. Mereka adalah orang-orang yang sakti, Ki Lurah."
"Memang benar, Angger Lawunggana."
"Itulah sebabnya aku ingin bertemu dengan Mahesa
Wulung." "Apakah perlunya, Angger?" Ki Lurah Mijen berkata
dengan suara yang mengandung rasa cemas. "Apakah
Angger...."
"Aku kepingin mengukur tenagaku dengan dia, Bapak," sahut Lawunggana tajam. "Supaya aku tahu
sampai dimanakah kesaktian seorang Perwira Demak
yang telah berani menolak seorang gadis secantik Endang Seruni!"
"Ah, janganlah menambah kesulitan sendiri, Angger," desah Ki Lurah Mijen. "Kami sendiri telah mencoba melupakan kejadian itu
dan lagi alasan-alasan Mahesa Wulung dapat kami pahami. Andapun pasti mengerti, bahwa cinta dan perkawinan tidak selalu harus dipaksakan."
"Itu benar. Tetapi apakah kedudukan Bapak tidak
merasa diremehkan oleh sikap Mahesa Wulung tadi?"
"Sebagai seorang yang berpikir dangkal, sikap Mahesa Wulung tadi memang membuatku marah. Namun
sebagai seorang kepala desa dan seorang tua yang berpikir luas aku tidak merasa dihinakan olehnya."
"Itu pendapat Bapak! Akan tetapi pendapatku lain
lagi," kata Lawunggana dengan suara keras. Agaknya pengaruh didikan Ki Bango
Wadas yang keras dan tajam benar-benar telah merasuk dan meresap ke tulang
sumsum dan hatinya. "Ketahuilah, Ki Lurah. Sebagai seorang yang mencintai Endang
Seruni, perbuatan serta sikap Mahesa Wulung tadi sangat menyakitkan hatiku. Maka aku wajib membalaskan perbuatannya itu."
"Janganlah kau turuti bisikan hati dendammu itu,
Angger Lawunggana. Sangat berbahaya, dan lagi tidak akan membawa faedah bagimu,"
ujar Ki Lurah Mijen
kecemasan. Meskipun telah dibujuk-bujuk, Lawunggana tidak
mau mengerti akan kemauan orang tua ini. Bahkan
dengan jengkelnya ia telah menggenggam sebuah
cangkir tembikar yang ada di sampingnya dan kemudian meremasnya sekali, sehingga hancur dengan sua-ra berkeretakan lalu
ditaburkan ke lantai dalam bentuk taburan serbuk tanah hitam kemerahan.
Keruan saja Ki Lurah Mijen terkejut bukan main
melihat hal ini. Tidak dikiranya sama sekali Lawunggana mampu berbuat sehebat
begitu dan mengerikan
hatinya. Jika seandainya cangkir tadi adalah tangan manusia, pastilah bisa
dibayangkan kalau tangan tersebut akan lumat!
"Biar, aku akan mencari Mahesa Wulung serta
mengadu kekuatan dengan dia. Aku akan menghajarnya!" teriak Lawunggana seraya bergegas melangkah
ke luar halaman.
"Tunggu, Angger Lawunggana!" seru Ki Lurah Mijen,
sehingga Lawunggana terhenti langkahnya di ambang
pintu. "Engkau jangan berbuat menuruti kehendak
nafsu amarah, Angger. Itu tidak akan baik jadinya dan
engkau akan menyesal nantinya!"
"Menyesal" Tidak! Aku tidak akan-menyesal!" bentak Lawunggana dengan suara keras. "Apa yang aku
ucapkan akan betul-betul kulaksanakan!"
"Ingatlah, Angger Lawunggana. Mahesa Wulung
adalah seorang Perwira Kerajaan dan dia bukan orang sembarangan!"
"Justru itulah, Bapak. Seorang Perwira Kerajaan
harus betul-betul berlaku bijaksana!"
"Tak ada seorang manusia yang bersifat sempurna,
Angger. Baik Mahesa Wulung, aku sendiri ataupun
Angger Lawunggana pula. Sebagai seorang ayah aku
telah bersalah karena menyayembarakan anakku, dan
Angger sebagai seorang yang mencintai Endang Seruni, terlalu lama Angger
meninggalkannya tanpa kabar berita apapun. Nah, itulah sekadar contoh kecil akan
kesalahan-kesalahan kita."
"Betul! Memang semua itu benar!" sahut Lawunggana. "Tak ada manusia yang sempurna. Akan tetapi ketidak-sempurnaan jangan
terlalu menghalangi manusia untuk berbuat bijaksana!"
"Angger Lawunggana, apakah maksudmu yang sebenarnya" Apakah maksudmu untuk mengadu tenaga
dengan Mahesa Wulung tidak semata-mata didorong
oleh nafsu amarahmu saja?"
"Itu bukan menjadi soal! Pokoknya dia akan kusuruh meminta maaf kepadaku dan kepada Adi Endang
Seruni. Dan kemudian dia harus mengembalikan cinta Adi Endang Seruni kepadaku!"
Lawunggana sangat jengkel dan marah tampaknya,
maka segera ia akan bergegas ke luar. Namun tepat di saat itu pula dari dalam
rumah muncullah Endang Seruni serta Nyi Lurah.
"Kakang Lawunggana, janganlah kau turuti kemarahan hatimu itu!" seru Endang Seruni seraya menahan lengan Lawunggana. Dan untuk kedua kalinya pula Lawunggana terhenti langkahnya. "Engkau ingin
membuatku lebih bingung dan lebih menderita lagi"!"
"Mengapa engkau berkata demikian, Adi Seruni"
Apakah itu berarti engkau melarangku untuk bertarung melawan Mahesa Wulung?"
"Yah, memang aku melarangmu, Kakang!"
"Nah, kalau begitu artinya engkau masih mengharapkan cinta dari Mahesa Wulung!" bentak Lawungga

Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na. "Salah! Engkau terlalu kejam jika berkata demikian.
Memang mula-mula aku mengharapkan begitu karena
kekosongan hatiku dan mengingat jasa-jasanya. Tetapi sekarang tidak lagi," ujar
Endang Seruni sambil terisak-isak. "Sekarang antara aku dan Mahesa Wulung
tidak ada apa-apa lagi, sebab sesungguhnya dia telah mempunyai seorang kekasih
dan sudah sepantasnya-lah bila ia menolakku. Kami menghargai sikapnya itu."
"Jadi engkau sendiri tidak merasa dihinakan olehnya, Adi Seruni"!" potong Lawunggana dengan setengah heran. "Sama sekali tidak! Jika ia menerimanya, itu berarti Kakang Mahesa Wulung
mengkhianati kekasihnya,"
ujar Endang Seruni.
"Hmmm!" desah Lawunggana manggut-manggut
dan mulai memahami keadaan yang dihadapinya.
Meskipun demikian, dia adalah murid Ki Bango Wadas yang beradat keras dan tidak
suka mengalah, lebih-lebih lagi dia adalah murid tunggalnya. Maka dengan
sendirinya dia tidak mau begitu saja mencabut mak-sudnya dan berkatalah
Lawunggana kemudian. "Baiklah Adi Seruni, aku berjanji tidak akan mencari Mahesa Wulung. Akan tetapi jika
aku sampai berjumpa
dengan dia, di suatu tempat di mana saja, aku akan tetap membuat perhitungan
serta mengadu tenaga dengan dia."
Mendengar keterangan Lawunggana ini, baik Ki Lurah Mijen, istrinya maupun Endang Seruni sendiri merasa sedikit lega. Dalam hati
mereka berharap, semoga antara Mahesa Wulung dan Lawunggana tidak akan
pernah saling berjumpa. Terutama dengan Endang Seruni yang tidak menginginkan terjadinya bentrokan di antara mereka berdua.
Ia telah tahu bahwa Mahesa Wulung adalah seorang
Perwira Demak yang sakti, sedang Lawunggana pun
juga seorang yang berilmu tinggi. Telah dilihatnya betapa dengan mudahnya
Lawunggana meremas sebuah
cangkir tembikar sampai hancur. Ini sudah cukup sebagai bukti akan kehebatan
tenaga dalam Lawunggana. Pendapa kelurahan ini sesaat menjadi lengang, sepi dan masing-masing manusia
yang ada di situ terdiam membisu seperti tenggelam dalam renungannya sendirisendiri. Angin sejuk bertiup dengan lembut menyapu pucuk-pucuk pepohonan di halaman Kelurahan Mijen
dan udara panas segera tersapu bersih. Kini hawa segar terasa melonggarkan dada
dan menyegarkan kulit.
Dalam hati kecil Endang Seruni merasa gembira juga oleh kedatangan kembali Lawunggana di Desa Mijen ini. Hanya saja ia masih
bercemas hati pula, jika mengingat akan tekad Lawunggana yang ingin mengadu
tenaga dengan Mahesa Wulung.
Sementara itu Ki Lurah Mijen sendiri merasa agak
senang dengan munculnya kembali si Lawunggana, sebab ia berhadap mudah-mudahan dengan jalan inilah
Endang Seruni dapat menjadi sembuh dari penyakit
murung dan melamunnya. Bukankah semasa dulu kedua anak muda ini saling bergaul erat dan saling mencinta"
Kebisuan tadi tidak berlangsung lama, sebab tibatiba saja dari arah jalanan di muka halaman kelurahan, terdengarlah suara
menggeledek keras, membuat semua orang yang berada di pendapa kelurahan terkejut
semuanya. "Cecunguk Lawunggana! Kau berani menginjak tanah pedesaan Mijen ini serta membuat keributan di si-ni hee!?" terdengar
teriakan seorang berperawakan kekar yang ternyata adalah Sorogenen.
"Oooh, ayah! Lihatlah, Paman Sorogenen telah mengetahui kedatangan Kakang Lawunggana!" ujar Endang Seruni dengan sangat cemasnya.
"Tenang sajalah, Nak. Engkau tak perlu cemas dengan hal ini. Serahkan semuanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa," ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
"Benar, Pak. Semoga tidak akan ada korban apaapa serta tidak terjadi pertumpahan darah," desah Endang Seruni kecemasan.
Tiba-tiba saja Lawunggana telah meloncat ke luar
halaman sambil berteriak garang. "Sorogenen! Heh,
heh, heh, heh. Ternyata engkau masih mengingatku
dengan baik dan engkau tentunya masih mengingat
ketika engkau menghajar serta menjebloskanku ke dalam lumpur comberan!"
"Memang aku tak pernah melupakanmu, cecunguk!
Meskipun engkau telah berhias kumis tebal serta jenggot yang bagus, tetapi aku
tak pernah lupa akan tam-pangmu! Sayang, kedua temanku telah tidak ada lagi.
Kalau masih ada, pasti mereka akan bersenang hati
menghajarmu kembali!" teriak Sorogenen.
"Bah! Engkau jangan menganggap seperti dulu-dulu
lagi! Sekarang engkau boleh mencoba tenagaku dan
jangan menyesal bila engkau akan segera dapat aku
robohkan!"
"Heh, besar sangat mulut kosongmu itu! Sebelum
bermain-main denganku coba lihat dulu permainan
pedangku ini!" teriak Sorogenen sekaligus melolos pedangnya serta melihat ke
atas sebuah pohon mangga
di mana buahnya tengah melebat tumbuh.
"Hyaaat!" Sorogenen meloncat ke atas dengan sigapnya seraya melibatkan pedangnya dan berbareng
tubuhnya tiba di tanah kembali, berjatuhlah sebutir buah mangga dengan terbelah
menjadi empat bagian
dan terserak di atas tanah.
"Heh, heh, heh, aku kagum akan kepandaianmu,
sobat! Tapi jangan keburu berbangga sebelum melihat jurus pedangku pula!"
demikian Lawunggana berkata
seraya memetik tiga lembar daun mangga sekaligus di-lemparnya ke udara. Setelah
itu dengan secepat kilat tangannya bergerak mencabut pedangnya, disusul oleh
tebasan yang dilakukannya amat cepat.
"Hyaaaat!"
Sebuah sinar kilatan pedang Lawunggana melintas
di udara, kemudian ketiga lembar daun tadi melayang ke atas tanah, masing-masing
terpotong tiga bagian!
Melihat ini semua, orang-orang di halaman kelurahan serentak terperanjat kagum. Begitu pula Sorogenen sendiri ikut terperanjat
pula, sedang dalam hatinya ia mengumpat-umpat oleh pameran yang dilakukan oleh Lawunggana ini.
Namun Sorogenen sama sekali tidak mau menunjukkan kekalahannya dalam hal olah senjata ini. Sebagai seorang yang pernah
bersahabat serta berjuang
bersama-sama dengan Mahesa Wulung, sedikit banyak
ia telah banyak mengetahui serta belajar dari permainan pedang Mahesa Wulung yang terkenal dengan
nama Sigar Maruta.
"Lawunggana!" sekali lagi Sorogenen berteriak.
"Tunjukkan semua kepandaianmu supaya aku bisa
mengukur sampai di mana aku harus mengatasi kesaktianmu!"
Mendengar kata-kata ini, wajah Lawunggana seketika berubah menjadi warna merah membara, menunjukkan betapa ia marah dan geramnya. Ia melangkah ke samping sedikit lagi, lalu berhenti tepat di bawah sebuah dahan pohon.
"Sorogenen!" terdengar Lawunggana berteriak nyaring. "Lihatlah kecepatan pedangku ini untuk terakhir kalinya. Setelah itu kau
akan merasakan sendiri kehe-batannya!"
Semua orang berdebar-debar mendengar kata-kata
Lawunggana ini, lalu disusul sebuah teriakan melengk-ing dibarengi tubuh
Lawunggana melesat ke atas, sementara pedangnya sekaligus menebas ke atas dengan
bunyi berdesing.
Sejurus kemudian, Lawunggana melayang turun
sambil menyarungkan pedangnya kembali dan orangorang di situ masih saja terpesona melihatnya. Tampaknya pedang Lawunggana tak
mengenai apa-apa.
"Nah, sekarang lihatlah ke atas dahan pohon di
atasku ini," Lawunggana berkata kepada Sorogenen.
"Aku kuatir kau tidak akan dapat menyamainya, sobat!" Sorogenen serta orang-orang yang berada di halaman itu serentak terhenyak kaget demi sesaat kemudian mata mereka melihat bagaimana daun-daun hijau dahan tersebut satu demi
satu, selembar demi selembar, jatuh melayang ke bawah dengan tangkai daunnya berbekas irisan terpotong oleh mata pedang Lawunggana, tidak kurang dari lima belas lembar daun jumlahnya!
Sorogenen mendesis penuh kagum. Ia tak mengira
bahwa anak muda yang dulu pernah dihajar oleh Sela Ganden habis-habisan, kini
telah mencapai kepandaian yang begitu luar biasa hebatnya. Sesungguhnya saja
Sorogenen tidak ingin mengungkap-ungkapkan
peristiwa yang lama. Jika ia menegur Lawunggana, itu hanyalah sekadar untuk
memperingatkan agar pemuda ini tidak membuat keributan-keributan. Benarbenar ia menguatirkan akan hal ini dan agaknya saja ia telah menduga kalau
peristiwa ini akan berlarut-larut.
Bagaimanapun saja kekuatiran Sorogenen, sebagai
seorang jagabaya atau penjaga keamanan desa ia tidak mudah dipertakuti oleh
permainan senjata dari seorang anak muda seperti Lawunggana ini. Itulah sebabnya
iapun berseru kepada Lawunggana dengan kerasnya, "Heh, Lawunggana! Kau kira aku tak mampu berbuat seperti itu pula"!"
"Hah, ha, ha, ha. Panas hatimu ya!?" ejek Lawunggana kepada Sorogenen. - Sekarang, tunjukkanlah
kemampuanmu pula!"
"Bagus! Akan kutunjukkan permainan yang tidak
kalah baiknya, supaya kaupun sadar dengan siapa
engkau berhadapan!"
Sorogenen mengakhiri kata-katanya dan tahu-tahu
ia dengan sebat melenting ke atas seraya menyabetkan pedangnya.
Wesss! Trak! Terdengarlah sebuah benturan, disusul kemudian
tubuh Sorogenen tiba kembali di tanah dengan enaknya. Beberapa saat kemudian tidak juga terlihat adanya
kejadian apa-apa. Maka Lawunggana seketika berteriak mencemoohkan. "Hah, mana, Sorogenen" Mana
kehebatan ilmu pedangmu itu"! Kalau tak becus, janganlah sekali-sekali mencoba beraksi di depan hidungku!" "Bersombonglah sesukamu, Lawunggana. Akan tetapi, lihatlah lebih dulu dahan pohon di atasku ini!"
sahut Sorogenen tajam. "Setelah itu kau boleh tertawa semaumu!"
Lawunggana terpaksa melihat ke atas, ke arah dahan pohon yang tumbuh menjulur tepat di atas Sorogenen, sedang orang-orang lainpun juga memperhatikan dahan itu. Tiba-tiba.... Pletaaak!
Dahan pohon itu terbelah menjadi dua, dengan masing-masing bagian membuka keluar dan bergetar.
"Ookh!" Orang-orang di situ termasuk Lawunggana
terguman lirih melihat dahan yang mula-mula tampak tidak apa-apa, tahu-tahu
telah terbelah.
Dengan begitu tahulah mereka bahwa sebenarnya
dahan tadi telah beberapa saat terbelah, tetapi baru saat inilah ia kelihatan
dengan jelas dan gamblang!
Dada Lawunggana bergoncang pula oleh kejadian
itu dan ia mengakui diam-diam bahwa ilmu pedangnya dengan ilmu pedang Sorogenen
ini tidaklah terpaut terlalu banyak. Tetapi tentang ilmu silat bertangan kosong,
belum tentulah demikian.
"Nah, kau bisa lihat, Lawunggana, bahwa ilmu pedangku tidak terlalu jauh ketinggalan dari ilmu pedangmu! Maka lebih baik kau
lekas berlalu saja dari Desa Mijen ini!"
"Kurang ajar!" teriak Lawunggana demi mendengar
kata-kata pengusiran dari Sorogenen tadi. Serentak marahnya meluap bagaikan air
bah yang tak terbendung lagi dan kemudian meledaklah kata-katanya.
"Sorogenen! Kau tak dapat memperlakukanku seperti
dulu-dulu lagi. Kalau kau masih ingin juga mencobanya, marilah lakukan maksudmu itu!"
"Haaa, jadi dengan kata-kata kau tak dapat aku peringatkan, hee! Rupanya kau menghendaki kekerasan"!" teriak Sorogenen dengan marahnya.
"Yah, dengan kekerasan sekalipun aku tak akan takut menghadapimu!" seru Lawunggana menantang.
"Celurut busuk!" Sorogenen berteriak sekaligus melesat ke arah pendekar muda berkumis lebat ini.
"Matilah engkau, Lawunggana!"
Tak ubahnya sebuah kitiran maut, pedang Sorogenen berputar sangat cepatnya melanda ke arah Lawunggana diiringi bunyi suitan nyaring mengiris hati.
"Hyaaat!"
Lawunggana terperanjat bukan main! Pedang Sorogenen itu dilihatnya sangat cepat meluncur ke arah dirinya. Namun Lawunggana
masih sadar dan secepat
pedang itu meluncur, ia mengendap serendah mungkin ke samping.
Syraaat! Trak! Tak! Tak!
Terdengar bunyi serentetan yang mengejutkan dan
tiba-tiba tiga potongan dahan pohon di dekat Lawunggana tertebas patah.
Melihat demikian hebat serangan Sorogenen, Lawunggana sambil mengendap melolos pedangnya sekaligus menyabetkan ke arah kaki Sorogenen.
"Haap!" Dengan lincah Sorogenen melenting ke atas
hingga pedang Lawunggana berlalu menebas angin dan kedua kakinya selamat!
Akan tetapi Lawunggana cepat merubah serangannya lagi. Pedangnya yang tadi mengancam kaki Sorogenen bergerak ke atas, menusuk ke dada lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan terpekik berbareng
melihat betapa ujung pedang itu meluncur deras kedada Sorogenen. Mereka membayangkan bahwa sebentar lagi dada Sorogenen akan berlubang tembus sampai ke punggung! Tampaklah Endang Seruni memejamkan mata kengerian.
"Uuuh!"
Desah terkejut keluar dari mulut orang-orang yang
ada di halaman kelurahan, sampai Endang Seruni terpaksa membuka matanya kembali.
Mereka melongo ketika tubuh Sorogenen berjumpalitan ke belakang beberapa kali dan kini giliran kedua kalinya pedang Lawunggana
menusuk udara kosong!
Oleh serangan-serangannya yang gagal, Lawunggana segera menjadi lebih meluap marahnya dan menerjanglah ia menyerbu ke arah Sorogenen.
Tentu saja Sorogenen amat terperanjat melihat desakan Lawunggana yang tanpa memberi kesempatan
kepada dirinya, maka secepat kilat ia menangkis tebasan pedang lawannya.
Traaang! Terdengar sebuah benturan nyaring dan terasa
bahwa pedang Sorogenen tergetar, memedihkan jarijemarinya dan hampir-hampir saja pedangnya terlepas!


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang Lawungganapun terhenyak kaget oleh benturan tadi. Ia merasa kalau tebasan pedangnya seolah-olah menghantam sebuah
tembok karang, sehingga ia
terpental ke belakang beberapa langkah.
Sekarang, mereka berdua masing-masing sadar, kalau kekuatan mereka hampir seimbang dan sama
kuatnya. Itulah sebabnya Lawunggana tidak lekas-lekas menyerang kembali, sementara Sorogenen dengan cepat
bersiaga kembali. Keduanya berhadapan sesaat tak
ubahnya dua ekor jago yang tengah bersiap-siap untuk berlaga, sementara kedua
mata mereka saling tentang-menentang dengan tajamnya.
Lawunggana sadar bahwa Sorogenen mempunyai
kekuatan yang luar biasa dan untuk selanjutnya ia harus berhati-hati.
Sebaliknya, Sorogenen tahu kalau Lawunggana mempunyai tenaga dalam yang hebat
juga. Hal ini terasa ketika ia berbentur pedang dengan dia, seluruh buku jari-jarinya
menjadi pedih dan hampir saja pedangnya terlempar jatuh!
Sejurus kemudian sesudah keduanya saling bersiaga, mendadak Lawunggana menerjang ke arah Sorogenen, langsung dengan tusukan mematikan ke arah
tenggorokannya.
Hampir saja Sorogenen terlengah bila ia tidak mendengar bunyi desing pedang lawannya yang deras meluncur ke arahnya. Untungnya ia cepat berkelit dan ganti pedangnya dengan cepat
menebas ke arah lengan Lawunggana.
Tentu saja pendekar berkumis tebal ini secepat kilat menarik lengannya kembali
seraya mengutuk jengkel.
"Setan alas!"
Selanjutnya ia membalasnya dengan sebuah sabetan mendatar ke arah lambung Sorogenen membuat
lawannya ini cekakaran bergulingan ke belakang menyelamatkan perutnya. Dengan begitu mereka menjadi lebih beringas dan
pertempuran berlangsung tambah
sengit. Suatu kali Lawunggana berhasil melenting ke udara
menghindari tebasan pedang Sorogenen, meskipun
akhirnya ujung pedang itu sempat menyobek kain batiknya. Alangkah marahnya Lawunggana dan tiba-tiba pula
ia menyambar ke bawah sekaligus menetakkan pedangnya menuju kepala Sorogenen.
Claaang! Sorogenen buru-buru menangkis dengan pedangnya
pula dan sekali ini celakalah dirinya, sebab oleh geta-ran pedang-pedang itu,
kembali jari-jemari menjadi pedih dan terlepaslah pedangnya, terpelanting jatuh
ke tanah. Maka terdesaklah Sorogenen dan sebelum sempat ia
bergerak lebih lanjut, tahu-tahu ujung pedang Lawunggana ini telah menempel di dadanya.
"Heh, heh, heh, nyawamu sudah berada di ujung
pedang ini, Sorogenen! Tahu kau, hah"! Tapi aku bukan seorang pengecut yang suka
membunuh orang tak
bersenjata ataupun suka main keroyok seperti tampangmu itu!"
"Jangan cerewet! Kalau mau bunuh aku, bunuhlah!" seru Sorogenen keras-keras.
"Hah, tak perlu kau berkaok-kaok, Sorogenen," ujar Lawunggana seraya
menyarungkan kembali pedangnya, dan secepat kilat ia menyabetkan sisi telapak
tangannya ke arah kepala Sorogenen.
Plaaak! Demikian cepatnya serangan ini sampai ia tak sempat menghindar sama sekali dari serangan Lawunggana, maka terkaparlah Sorogenen jatuh ke tanah setelah pelipisnya kena hajaran
Lawunggana tadi.
Seluruh pandangan mata Sorogenen seketika berkunang-kunang dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, kepalan tinju Lawunggana telah menyambar dagunya. Praak! Sorogenen terpelanting kembali ke atas tanah dan
dari sudut bibirnya mengalirlah setetes darah segar, diiringi rintihan pelan.
Pandangan matanya sebentar
kabur, sebentar jelas menatap ke arah Lawunggana
yang meringis kepuasan melihat dirinya terhampar di tanah, di halaman Kelurahan
Mijen. "Nah, begitulah rasanya kalau orang dihajar, Sorogenen!" seru Lawunggana geram. "Kau masih ingat ketika engkau mengeroyok serta
menghajarku"!"
Duuk! Habis berkata itu, Lawunggana sekali lagi melancarkan tendangan kaki ke pundak Sorogenen, sehingga tubuhnya terjerembab
terguling di tanah dengan merintih-rintih. Tetapi rupanya Lawunggana masih
menganggap belum cukup balasan yang diterima oleh Sorogenen. Itulah sebabnya
beberapa pukulan lagi yang
sangat deras bersarang pada kepala dan tubuh Sorogenen, sampai orang ini berlepotan darah dan megap-megap.
"Tahan kemarahanmu, Kakang Lawunggana!" tibatiba terdengar ucapan lembut bernada cemas dari arah belakang tubuh Lawunggana,
membuat pendekar mu-da ini seperti terbangun dari mimpi buruknya, lalu ia lekas
berpaling ke belakang.
"Janganlah kau teruskan perbuatanmu ini, Kakang," ujar Endang Seruni yang berada di belakang Lawunggana seraya memegang
pundaknya. "Bukankah ia
telah tak berdaya sama sekali"!"
"Mmm, memang benar, Adi Seruni," ujar Lawunggana kemudian. "Urusan pribadiku dengan Sorogenen
telah selesai. Aku telah puas dengan menghajarnya, dan aku minta maaf karena
telah membuat keributan
di sini." "Ya, aku dapat memaklumi maksudmu, Kakang Lawunggana," ujar Endang Seruni dengan nada sedih.
"Kini, biarlah aku berlalu dari sini, Adi Seruni," berkata Lawunggana. "Aku akan
kembali ke pondokku, di
muara Kali Serang."
"Kau akan pergi?" tanya Endang Seruni.
"Mudah-mudahan aku bisa menengokmu kembali."
Lawunggana kemudian mengangguk hormat kepada
Ki Lurah Mijen serta orang-orang desa yang telah
menggerombol di situ.
"Bapak Ki Lurah Mijen, serta para kisanak sekalian," ujar Lawunggana halus, "sekali lagi aku minta maaf, bahwa perbuatan
lancangku menghajar Kisanak
Sorogenen ini adalah sekadar memenuhi sumpahku
untuk membalas perbuatannya beberapa tahun yang
lalu. Sekarang ijinkanlah aku meminta diri."
Mendengar ini, Ki Lurah Mijen menganggukkan kepala, namun beberapa orang yang menggerombol di
halaman kelurahan ini, tampak bergegas untuk mengepung serta menghalang-halangi Lawunggana. Untunglah Ki Lurah Mijen cepat melihat gelagat yang kurang baik ini dan lekaslekas ia berseru, "Kertipana, dan Kisanak-kisanak sekalian! Janganlah menambah
keributan lagi. Biarlah Angger Lawunggana segera berlalu dari tempat ini."
Kertipana serta orang-orang lainnya lalu menyingkir serta memberi jalan kepada
Lawunggana yang berjalan dengan enaknya meninggalkan halaman kelurahan.
Biarpun begitu ia masih tetap berwaspada menghadapi setiap kemungkinan yang bisa
terjadi. Setelah keluar dari halaman, Lawunggana berbelok
ke barat dan dengan beberapa lompatan panjangnya ia telah lenyap di balik pohonpohon besar. *** 4 HALAMAN KELURAHAN Desa Mijen sepi kembali.
Beberapa orang yang ada di situ satu demi satu meninggalkan halaman, sedang Kertipana dan tiga orang lainnya lalu menggotong
tubuh Sorogenen dan dibawanya ke pendapa kelurahan.
Ki Lurah Mijen, Nyi Lurah serta Endang Seruni bergegas untuk masuk ke dalam. Akan tetapi, mendadak
terdengar derap-derap kaki kuda dari arah utara.
Keruan saja mereka yang ada di halaman terperanjat melihat di sebelah utara. Dalam cahaya matahari sore yang telah sangat
rendah itu, terlihatlah debu-debu putih berkepul-kepul naik ke atas dan dua
sosok bayangan kuda dengan penunggangnya berderap menuju ke arah pendapa
kelurahan. Ki Lurah Mijen serta orang-orang lainnya menanti
serta ingin melihat, siapakah gerangan yang berkuda menuju ke arah mereka ini"
Perlahan-lahan kedua penunggang kuda tadi makin
mendekat dan bertambah dekat. Kuda-kuda mereka
tidak berpacu lagi melainkan berlari-lari kecil.
Ki Lurah Mijen kelihatan mengangkat dahi seperti
berusaha mengingat akan kedua penunggang kuda itu.
Salah seorang di antaranya, ia seperti pernah mengenalnya. Bentuk tubuh serta
gerakan tubuhnya seolah-olah ia pernah melihatnya.
Oleh keremangan senja, wajah kedua penunggang
kuda itu tidak dikenalnya, namun tak lama kemudian wajah Ki Lurah Mijen berseri
dan mulutnya mendesis,
"Angger Mahesa Wulung!"
Memang benarlah terkaan Ki Lurah Mijen itu. Pikirannya yang tajam dan daya ingatnya yang baik tidak
keliru lagi. Kedua penunggang kuda itu adalah Mahesa Wulung dan Pandan Arum.
Ketika mereka tiba di depan halaman kelurahan, Ki
Lurah telah datang menyambutnya sementara itu di
belakangnya, tampaklah Endang Seruni berlari-lari kecil ikut menyambut kedua
tamu itu. "Selamat sore, Ki Lurah Mijen," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari punggung kudanya,
demikian pula dengan Pandan Arum yang dengan
amat lincahnya turun dari kuda.
"Ooh, Angger Mahesa Wulung, selamat datang ke
Desa Mijen, Angger," sapa Ki Lurah dengan ramah dan hormatnya.
"Terima kasih, Bapak," ujar Mahesa Wulung. "Kami
berdua datang ke mari karena ada sesuatu perkara
dan sesuatu hal yang akan kutanyakan kepada Bapak." "Eeeh, tentulah itu sangat penting bagi Angger," Ki Lurah Mijen berkata. "Dengan
senang hati tentulah
Bapak akan membantumu, Angger. Baiklah nanti akan
kita bicarakan di dalam."
"Kakang Mahesa Wulung, lama benar Kakang tidak
mengunjungi kami?" berkata Endang Seruni dengan
nada manja. "Agaknya ada kesibukan-kesibukan tugas di Demak?"
"Benar, Adi. Banyak tugas-tugas yang harus kami
rampungkan di sana."
Dalam pada itu, Pandan Arum merasa berdebar-debar hatinya. Melihat sikap manja dan lincah dari Endang Seruni tadi, ia sedikit
merasa cemburu kepadanya. Apalagi jika ia mengingat bahwa kekasihnya, Mahesa
Wulung pernah tinggal cukup lama di Desa Mijen ini. Tetapi yang membuat Pandan
Arum lebih berdebar
lagi adalah wajah gadis itu. Wajah itu seolah-olah adalah cermin dari wajahnya
sendiri. Entah mengapa ia merasakan ada sesuatu rahasia yang tersembunyi pa-da
diri Endang Seruni ini. Terutama kalung permata hijau yang telah diberikan gadis
itu ternyata sama dan kembar dengan kalungnya sendiri.
Begitulah maka keganjilan-keganjilan itu membuat
Pandan Arum lebih tertarik akan gadis tersebut.
Ketika itu pula rupanya Endang Seruni merasakan
apa yang dirasakan oleh Pandan Arum, yakni kemiripan wajah mereka berdua. Bedanya, Pandan Arum kelihatan lebih tua sedikit daripadanya.
Mahesa Wulung memahami kekakuan ini, maka ia
berkata dengan ramahnya kepada Endang Seruni. "Adi Endang Seruni, mari aku
perkenalkan dengan gadis
ini. Ia bernama Pandan Arum."
Pandan Arum tersenyum, begitu pula Endang Seruni. "Nama yang bagus," gumam Endang Seruni seraya
mengulurkan tangannya kepada Pandan Arum. "Perkenalkan, namaku Endang Seruni."
"Nama Andika pun sangat bagusnya," kata Pandan
Arum. "Bagaimana kalau aku memanggil yunda kepada
Nona?" tanya Endang Seruni seraya tersenyum manis.
"Dengan senang hati aku terima dan tentunya aku
juga menyebut Andika sebagai Adi Seruni."
"Terima kasih," Endang Seruni berkata sambil menatap Pandan Arum dari kepala sampai ke bawah.
"Ooh, rupanya Yunda seorang pendekar pula agaknya,"
berkata pula Endang Seruni karena ia melihat sebilah pedang tergantung di
pinggang kiri Pandan Arum.
"Ooo, ini cuma sekadar untuk menjaga diri saja, Adi Seruni," Pandan Arum berkata
dengan merendahkan
diri. "Dan seseorang yang bersenjata bukan berarti ia seorang pendekar."
Endang Seruni tersenyum gemas mendengar katakata Pandan Arum, dan tiba-tiba saja ia mencubit lengan gadis itu. "Mmm, Yunda
Arum memang pintar
mengelak, tapi aku yakin Andika adalah seorang pendekar."
Mereka berempat segera melangkah masuk ke pendapa kelurahan dan kemudian mereka duduk di sebuah balai-balai besar di ruangan itu.
"Bapak Ki Lurah Mijen," Mahesa Wulung membuka
percakapan, "aku tadi melihat dari jauh ada kesibukan orang-orang di halaman
kelurahan ini. Aku seperti melihat seseorang digotong-gotong dan dibawa ke dalam
rumah." "Aaakh, itu cuma peristiwa kecil, Angger Mahesa
Wulung," berkata Ki Lurah Mijen. "Yang digotong tadi adalah Sorogenen. Ia
kepayahan setelah berkelahi
mengadu tenaga dengan Lawunggana dan ia dikalahkan." "Lawunggana"!" ulang Mahesa Wulung kaget. Siapakah dia, Ki Lurah?"
Oleh pertanyaan ini, terpaksalah Ki Lurah Mijen
bercerita secara singkat tentang Lawunggana, tentang Sela Ganden, Pakisan,
Sorogenen serta segala peristiwa dan persoalan mereka.
Tampaklah Mahesa Wulung manggut-manggut penuh pengertian, lalu berkata, "Jangan kuatir, Ki Lurah.
Biarlah nanti aku membantu mengobati Sorogenen."
"Terima kasih, Angger Mahesa Wulung," sambung
Ki Lurah Mijen. "Sekarang silakan Angger mengatakan apa-apa yang harus aku
bantukan kepada Angger Mahesa Wulung."
Mahesa Wulung segera merogoh sesuatu dari balik
bajunya dan terlihatlah seuntai kalung dengan perma-ta hijau di atas telapak


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. "Lihatlah, Ki Lurah Mijen. Kalung ini diberikan oleh Adi Endang Seruni beberapa
waktu yang lalu."
"Yah, aku pun telah diberitahu oleh Nini Endang
Seruni tentang kalung tersebut, dan aku tak keberatan bahwa kalung itu sekarang
berada di tangan Angger."
"Terima kasih, Ki Lurah. Namun karena kalung itu
pulalah yang membawaku sampai ke mari."
"Mengapa, Angger Mahesa Wulung?"
"Ternyata kami berdua merasa ada sesuatu yang
ganjil dalam kalung ini. Nah, sekarang Adi Pandan
Arum pun akan menunjukkan kalungnya, Ki Lurah."
Pandan Arum segera membuka untaian kalung dari
lehernya dan diserahkannya kepada Mahesa Wulung.
Lalu kedua kalung itu ditimang di atas kedua telapak tangannya.
"Inilah kalung milik Adi Endang Seruni dan Adi
Pandan Arum. Kedua-duanya ternyata kembar, Ki Lurah!" "Kalung itu"! Ookh, kalung Soca Wilis yang telah
sekian lama hilang dan terpisah kini bertemu kembali!"
seru Ki Lurah Mijen dengan mata terbelalak keheranan dan mulut ternganga.
Demikian pula Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
Endang Seruni sendiri ikut terperanjat oleh kata-kata Ki Lurah Mijen itu.
Ki Lurah Mijen kemudian menatap wajah Pandan
Arum lama-lama dan lalu bertanya kepada gadis itu.
"Benarkah Angger yang memiliki kalung permata hijau tadi?"
"Begitulah sesungguhnya, Bapak Ki Lurah Mijen."
"Apakah kalung ini tidak Angger peroleh dari pembelian?" bertanya kembali Ki Lurah Mijen.
"Ooooo, tidak, Bapak Ki Lurah. Kalung ini aku teri-ma dari ayahku sendiri," ujar
Pandan Arum. Ki Lurah Mijen menjadi berseri-seri wajahnya dan
kembali bertanya, "Kalau begitu, siapakah ayahmu itu, Nona?"
"Beliau bernama Ki Soratani."
"Ki Soratani"! Tidak keliru lagi! Yah tidak keliru la-gi!" seru Ki Lurah Mijen
dengan gembira, membuat
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni terperanjat serta ingin mengetahui apakah sebab-sebab yang membuat Ki Lurah Mijen
segembira itu. "Kami tidak mengetahui, Ki Lurah Mijen, apakah
yang membuat Bapak juga sangat tertarik oleh kedua kalung kembar ini?" ujar
Mahesa Wulung. "Dan tadi
Andika menyebutnya dengan nama Soca Wilis"!"
"Hmm, ketahuilah, Angger Wulung. Sesungguhnya
kedua kalung itu berasal dari diriku sendiri!"
"Berarti kedua kalung itu adalah kepunyaan Ki Lurah"!" Pandan Arum bertanya pula dengan wajah penuh tanda tanya.
"Bagaimanakah itu bisa terjadi, Bapak?" bertanya
pula Endang Seruni. "Bukankah Yunda Pandan Arum
telah bercerita bahwa kalung itu pemberian ayahnya sendiri"!"
"Nah, kalian bertiga, ketahuilah pula. Sebelum permata kalung ini dibuat sebagai
perhiasan untuk kedua kalung ini, semula adalah berasal dari sebuah batu yang
sama, dari sebuah permata yang tadi aku sebut dengan nama Soca Wilis, artinya
Mata Hijau. Permata tadi kemudian dipecah menjadi dua bagian dan kami
jadikan permata untuk kalung tersebut."
"Tetapi mengapakah kalung yang sebuah tadi sampai berada di tangan Ki Soratani?" bertanya Mahesa Wulung.
"Aakh, itu ada ceritanya, Angger Wulung! Dan sangat panjang serta ada hal-hal yang pasti bakal membuat kalian bertiga akan
terkejut dan mungkin tidak percaya," ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
"Kalau demikian, dapatkah kami bertiga mendengar
cerita atau riwayat kalung kembar Soca Wilis itu?" bertanya kembali Mahesa
Wulung. "Ya, berceritalah, Bapak!" Endang Seruni mendesak
pula. "Aku ingin tahu siapakah Ki Soratani dan siapakah Yunda Pandan Arum ini
sesungguhnya!"
"Baiklah, Angger Wulung, Pandan Arum dan kau
Endang Seruni. Dengarlah baik-baik ceritaku ini supaya jelas dan kalian
memahaminya," Ki Lurah Mijen berkata membuka ceritanya.
Dahulu kala adalah seorang saudagar kaya yang
terkenal ramah, berbudi baik dan suka menolong sesamanya. Ia berdagang emas intan dan perhiasan yang berharga tinggi. Kekayaannya
yang banyak serta kelu-huran budinya ternyata membawa dirinya banyak dikenal oleh orang-orang dari kalangan pemerintahan
kerajaan Demak dan daerah-daerah lainnya.
Ia sering keluar masuk daerah-daerah untuk memperdagangkan perhiasan emas intannya tadi. Tidak jarang untuk perjalanan yang
jauh itu ia membawa serta keluarga serta pengawal-pengawalnya. Ia telah menjelajah hampir seluruh pesisir utara Jawa serta kota-kota besar yang terdapat di
situ. Agaknya memang ia mempunyai darah pengembara yang mengalir dalam
tubuhnya. Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang
waktu itu masih mungil-mungil dan manis. Kedua
anak itu dibawanya serta dalam pengembaraannya ke
mana-mana. Pada suatu kali, aku sempat berjumpa dengannya
di kota Jepara dalam perjalanannya ke daerah timur.
Begitu berkenalan, kami segera menjadi akrab dan ia lalu memintaku untuk
menyertainya selama perjalanan itu serta bersedia membayarku dengan layak.
Agaknya iapun tahu bahwa aku banyak berpengalaman serta mengetahui perihal permata dan batu-ba-tu mulia. Hal itu tentu
penting bagi perdagangannya.
Untuk penawarannya itu, aku menyatakan bersedia
dan ini membuatnya ia menjadi senang. Begitulah ka-mi akhirnya bekerja sama dan
kami terus menyusuri
pantai Jepara ke utara dan selanjutnya akan mengitari pantai daerah Jepara tadi
ke timur dan akan terus
mengembara sampai ke daerah Surabaya.
Selama perjalanan itu, kami bersahabat semakin
erat dan akhirnya ia telah menganggapku sebagai saudara ataupun keluarganya
sendiri. Yang paling menarik hatiku ialah kedua anak perempuannya yang masih kecil itu.
Kedua anak itu sangat manja dengan aku. Mereka
kadang-kadang aku gendong ke mana-mana dan sering aku ajak bermain-main. Meskipun aku masih belum berkeluarga pada waktu itu, namun kesayanganku pada kedua anak kecil tersebut tidak berbeda dengan anak kandungku sendiri.
Entah mengapa sebabnya, terkadang aku telah
menganggap mereka sebagai anakku sendiri. Dan karena kasih sayangku kepada kedua anak kecil itu, aku menghadiahkan sebuah
permata hijau yang aku sebut
dengan nama Soca Wilis tadi kepada saudagar kaya
tersebut. Aku meminta agar permata tadi menjadi milik kedua anak perempuannya
yang mungil. Atas persetujuan kami, akhirnya permata Soca Wilis itu kami potong menjadi dua
bagian dan berbentuk setengah lingkaran. Begitu baiknya permata hijau tersebut yang menurut kata orang tergolong batu permata giok berasal dari tanah
seberang utara, menjadi sangat indahnya meskipun telah terpotong dua bagian.
Oleh saudagar kaya sahabatku itu, kedua permata
bagus yang kini telah menjadi dua bagian, dipasang pada dua buah kalung emas
sebagai hiasannya.
Kalung kembar tadi lalu dikalungkan pada leher
kedua anak perempuan mungilnya yang masing-masing bernama Pandan Arum dan Pandan Sari.
Saudagar kaya tadi di samping banyak mempunyai
sahabat-sahabat, tak jarang pula mempunyai musuhmusuh yang selalu mengintai harta bendanya. Dan
memang begitulah kehidupan di dunia ini, selalu disertai dua kemungkinan. Makin
banyak seseorang mempunyai harta atau pangkat, makin banyak pula ia
mempunyai musuh atau saingan. Dan seharusnya
memang manusia tidaklah boleh begitu lakunya.
Seorang bijaksana dan berbudi luhur seharusnya
akan senang bila melihat seseorang atau sahabatnya memperoleh kekayaan atau
pangkat yang baik. Tapi
manusia begini memang jarang dicari. Biasanya ia
akan malah menjadi iri atau dengki karenanya.
Nah, sesungguhnya itulah yang biasa pula menjadi
sumber bencana bagi ketentraman dan kehidupan bebrayan manusia. Karena dengki dan iri tadi kadangkadang sebuah negeri menyerang dan menghancurkan
negeri lain. Seorang pendekar membinasakan pendekar lainnya dan begitu masih banyak contohnya.
Begitulah pada suatu ketika, kami telah tiba di daerah Tanjung Jati yaitu
pesisir utara daerah Jepara. Di situ kami merasa akan adanya seseorang yang
selalu membayangi rombongan kami. Hal itu telah dilaporkan oleh beberapa orang
pengawal kepada kami.
"Bahaya!" desis saudagar tadi. "Lagi-lagi bahaya selalu membuntuti kita, sahabat!"
"Tapi Andika tak perlu kuatir. Bukankah kita mempunyai pengawal-pengawal yang cukup tangguh"!"
"Memang, itu benar. Hanya saja kita harus mengingat bila sampai terjadi sesuatu keributan atau pertumpahan darah akibat harta
bendaku ini, pastilah
aku akan sangat menyesal karenanya."
"Hmm, Andika mempunyai pendapat yang benar, Ki
Saudagar. Akan tetapi Ki Saudagar harus pula mengingat bahwa bukanlah semata-mata kesalahan kita kalau orang sampai mengiri atau
dengki karena melihat harta benda kita. Seharusnya kesalahan itu berasal dari
diri mereka sendiri, Ki Saudagar, yaitu kesalahan mereka yang tidak dapat
mengatur nafsunya."
"Sahabat," ujar saudagar kaya tadi kepadaku, "adakalanya aku ingin berhenti sebagai pedagang harta
perhiasan emas intan dan beralih sebagai seorang petani saja."
Mendengar pendapat Ki Saudagar itu, aku sesaat
menjadi kaget, namun akupun dapat memakluminya
pula. "Ki Saudagar," aku berkata kepadanya. "Pikiran Andika itu sangat bijaksana. Tapi di manakah Ki Saudagar akan menetap sebagai
petani kelak?"
"Aku belum tahu, sahabat," ujar Ki Saudagar tadi.
"Biarlah akan aku pikirkan lebih dahulu. Dan kelak aku memilih nama Soratani."
Begitulah percakapanku dengan Ki Saudagar sahabatku, dan dari situlah aku tahu betapa luhurnya dia.
Perjalananpun kami teruskan ke timur dan rombongan Ki Saudagar ini tidak
mendapat rintangan sesuatu
apa. Walaupun begitu, sesungguhnya bahaya selalu
mengancam kami serombongan, dan akhirnya kami
mendapat laporan bahwa di belakang kami terlihat pu-la segerombolan manusia yang
kami duga adalah
orang-orang jahat!
Berita ini sangat mengejutkan kami. Akan berbalik"
Itu tak mungkin, sebab berarti akan langsung berhadapan dengan gerombolan tadi!
Lari ke selatan" Itu sama sulitnya, sebab di selatan terdapat tanah pegunungan
dan Gunung Muria yang menjulang tinggi dan
merupakan dinding penghalang yang sukar ditembus!
Maka jalan satu-satunya adalah terus menempuh
jalan ke timur menyusuri pantai utara Jawa. Kami
berharap setelah tiba di Juwana akan mendapat pertolongan dari laskar keamanan
di kota itu. Dalam pada itu rombongan orang-orang yang mengikuti kami rupanya punya siasat pula. Terkadang jarak mereka terlalu dekat dan
kadang-kadang pula mereka menghilang seperti berhenti menguntit kami. Namun
besoknya mereka muncul pula jauh di belakang kami.
Akhirnya tibalah kami di daerah Tanjung Bugel, dan Ki Saudagar mempunyai
keputusan yang tiba-tiba. Ia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga
sedang sebagian pengawal lainnya membantu kami untuk menanam barang dagangan kami yang berujud
benda-benda perhiasan emas intan yang kami taruh di dalam sebuah guci berukir
indah. Setelah harta benda tadi kami tanam, kemudian
kami memberi tanda serta membuat peta rahasia pada kedua permata kalung hijau
tadi secara cepat dan se-derhana.
Nah, itulah sebabnya kalian akan mendapatkan
goresan-goresan pada permukaan kalung permata hijau kembar ini. Kedua batu hijau tadi masing-masing berisi sebuah bagian dari
peta harta itu. Jika kedua batu permata hijau ini disatukan tepat pada sisi yang
semula, maka akan kita dapatlah peta harta yang se-lengkapnya.
Malam itu kami selesai menanam harta perhiasan
tersebut di pantai Tanjung Bugel dan secepatnya kami meneruskan perjalanan ke
arah selatan. Malampun makin bertambah larut dan beberapa
orang telah ada yang menguap karena lelah dan mengantuk. Namun apa daya, kami harus secepatnya
berjalan dan tiba di daerah Juwana.
Ki Saudagar berkuda sambil mendukung Pandan
Arum dan di belakangnya berkuda Nyi Saudagar dengan wajah cemas dan murung. Sedang aku sendiri
berkuda pula sambil mendukung si kecil - Pandan Sari. Kedua anak perempuan mungil inipun telah tertidur kelelahan di punggung kuda
pada dukungan kami
masing-masing. Suatu bencana memang tidak dapat diperkirakan
datangnya. Kami cuma membawa kuda enam ekor dan
pengawal-pengawal lainnya berjalan kaki mengiringi kami.
Di pagi buta, menjelang subuh, mendadak kami telah dikepung dan diserang oleh segerombolan orangorang bersenjata. Kami dapat memastikan bahwa para penyerang itu adalah orangorang yang selalu menguntit rombongan kami.
Pertempuranpun berlangsung dengan seru. Dentang
senjata dan percikan bunga api dari senjata-senjata yang beradu memenuhi udara
di situ. Kadangkala terdengar jeritan menyayat hati dari
arah yang tidak aku ketahui. Udara masih terlalu gelap bagi kami sehingga
pertempuran menjadi sangat kalut.
Sambil berkuda dan mendukung si kecil mungil
Pandan Sari tadi, akupun menebaskan pedangku ke
kiri-kanan untuk menangkis setiap senjata yang menyerang kami. Beberapa orang yang berhasil aku robohkan dengan
pedangku, aku tak tahu dengan pasti, kecuali terasa dalam pedangku telah
membentur beberapa benda lu-nak diiringi jerit kesakitan.
Di samping itu terdengar pula olehku kuda yang
meringkik-ringkik dan berpacu menjauhi tempat pertempuran ini. Sedang aku sendiri tak bisa bertahan terus-terusan begini. Di
samping merepotkan, juga sangat membahayakan si kecil mungil yang aku dukung
ini. Lebih-lebih lagi setelah si mungil Pandan Sari ini terbangun dan menangis


Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketakutan. Saat itulah aku merasa bahaya telah benar-benar
mengancam diri kami berdua. Segera aku derapkan
kudaku ke arah selatan sementara pedangku terus
berputar sebagai baling-baling menghalau setiap penghalang.
Kudaku terus kupacu ke arah selatan. Aku tak tahu
bagaimana nasib Ki Saudagar beserta istri dan si kecil mungil Pandan Arum
ataupun para pengawal kami.
Tetapi dalam hati kecilku aku berdoa dan berharap
semoga bunyi derap kaki-kaki kuda yang semula aku
dengar tadi adalah derap kuda-kuda Ki Saudagar dan istri serta ketiga
pengawalnya. Yah, aku mencemaskan sekali nasib mereka. Namun aku tak dapat
berbuat banyak kecuali menyelamatkan si kecil Pandan Sari
yang berada dalam dukunganku ini.
Dalam udara subuh itulah aku terus berpacu dan
berpacu ke arah selatan sampai akhirnya tiba di daerah Juwana. Dengan segera aku
melaporkan kejadian
itu kepada pasukan pengawal kota dan pagi itu juga bersama-sama pasukan tadi
kami memeriksa tempat
terjadinya pertempuran semalam.
Ternyata di situ cuma menggeletak beberapa mayat
pengawal rombongan kami serta orang-orang dari pihak penyerang. Adapun mayat Ki
Saudagar, istrinya, ataupun si mungil Pandan Arum tidak kami temukan.
Dengan demikian yakinlah kami bahwa Ki Saudagar
masih selamat dan inilah yang benar-benar kami harapkan. Tetapi ke manakah mereka ini"
Setelah kejadian itu, aku mengembara mencari jejak hilangnya Ki Saudagar tadi.
Tetapi sampai sekian lama kami tak menemukannya, sehingga akhirnya kami menetap
di Desa Mijen ini.
Adapun nama si mungil Pandan Sari telah kuganti
dengan Endang Seruni dengan maksud agar kenangan
pahit dan memilukan itu lenyap dari benak kepalaku, dan sejak itu pula Endang
Seruni telah kuanggap sebagai anak kandungku sendiri sampai sekarang.
Begitulah Ki Lurah Mijen menyudahi ceritanya seraya memandang ke wajah Endang Seruni dan berkata
pula kemudian, "Maaf, Angger Seruni. Maafkanlah bila akhirnya aku telah
menceritakan hal ini kepadamu.
Bukan maksudku untuk melukai hatimu, Nak. Bukan.
Aku menceritakan hal itu karena aku merasa gembira bila sesungguhnya Pandan Arum
masih selamat dan
sekarang duduk bersamamu ini!"
Mata Endang Seruni berkaca-kaca sambil mencoba
menahan isak tangisnya lalu katanya, "Tap... tapi, Bapak, bagaimana aku dapat
yakin bahwa Yunda Pandan
Arum ini adalah kakakku yang sesungguhnya, kakak
kandungku sendiri?"
"Aku masih ingat dengan gamblang, Angger Seruni,
bahwa pada lekukan lengan kiri si mungil Pandan
Arum terdapat sebuah tahi lalat hitam."
Begitu mendengar kata-kata Ki Lurah Mijen ini,
Pandan Arum seperti digerakkan oleh tenaga batinnya dan secepat kilat ia
menyingsingkan lengan baju kirinya serta menatapnya dengan tajam.
"Oooh, ada tahi lalat di sini!" desis Pandan Arum
tertegun. Ia melihat sendiri dan juga Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung dan Endang Seruni juga
menatap sebuah tahi
lalat yang terdapat pada lelukan lengan kiri Pandan Arum itu.
"Jadi... jadi kau adalah adikku sendiri, Endang Seruni"!" seru Pandan Arum
seraya memeluk Endang Seruni yang segera itu pula disambut oleh Endang Seruni dengan dekapan mesra dan
disertai isak tangis keharuan.
"Yunda... Pandan Arum... akulah adikmu si Pandan
Sari.... Ooh...," rintih Endang Seruni seraya mendekap tubuh Pandan Arum lebih
erat. "Adikku sayang...," terdengar isak Pandan Arum
sambil mengusap membelai-belai kepala Endang Seruni dan kemudian menciumi pipi gadis itu. "Ooh, aku sudah merasakannya sejak
semula, Adi Seruni. Sejak aku melihat wajahmu yang sangat mirip dengan wa-jahku
sendiri." Di tengah saat yang mengharukan ini, Nyi Lurah keluar dari ruang dalam diiringi seorang wanita memba-wa talam berisi cangkircangkir tembikar berisi minu-man dan sepiring ketela rebus. Iapun semula
terkejut melihat anak gadisnya bertangis-tangisan dengan gadis tetamu ini. Namun
iapun akhirnya terharu serta terisak-isak setelah mendapat penjelasan singkat
dari Ki Lurah Mijen tentang duduk perkara yang sesungguhnya dan terpendam selama
ini. "Syukurlah bila Ki Saudagar sekeluarga masih selamat," ujar Ki Lurah Mijen bersyukur.
Sekonyong-konyong di tengah keharuan ini, Mahesa
Wulung secara tiba-tiba telah mencabut pisau belati
kecil dari balik bajunya serta sekaligus melemparkannya ke atas langit-langit
genting sirap. Claaap! "Aaaaakh!"
Semua orang di situ terkejut dan telinga mereka
mendengar langkah-langkah pincang di atas genting
atap dan berlari menjauh dan kemudian lenyap tak
terdengar lagi!
Pisau belati yang menancap pada langit-langit atas itu sesaat kemudian menetesneteskan cairan darah
segar ke atas lantai membuat mereka terpekik ngeri.
"Percakapan kita telah didengar oleh si pengintai gelap, Ki Lurah!" ujar Mahesa
Wulung. "Dengan begitu maka berarti kedua kalung Soca Kumala ini berada dalam
bahaya!" "Ooh, celaka! Kata-katamu benar, Angger Wulung.
Maka, aku minta agar Andika menjaga keduanya!"
"Jangan takut, Ki Lurah. Akan kujaga baik-baik kedua kalung ini!" berkata Mahesa Wulung dengan tenangnya, membuat mereka menjadi tenang pula serta
hilang cemasnya.
Malam makin larut, dan sunyi senyap penuh keheningan segera menelan suasana Desa Mijen.
*** 5 DI PAGI CERAH, tampaklah tiga sosok tubuh manusia tengah berjalan-jalan di tepi Kali Serang tak jauh dari Desa Mijen. Mereka
adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni atau Pandan Sari itu.
Ketiganya tampak berwajah cerah, secerah sinar matahari pagi yang memanahkan sinar-sinarnya.
"Kakang Wulung," ujar Pandan Arum dengan tenangnya, "siapakah kiranya si pengintai gelap pada malam yang lalu itu"!"
"Hmm, pasti dari gerombolan yang bermaksud jahat
dan menaruh minat pada persoalan kita, lebih-lebih terhadap kalung kembar ini,"
berkata Mahesa Wulung.
"Serta rahasia yang tersembunyi di belakangnya."
"Dan sekarang, kalung yang telah aku berikan kepada Kakang Wulung, juga harus aku pakai kembali?"
bertanya Endang Seruni. Mengapa Kakang Wulung?"
"Aku ingin supaya kedua kalung itu tetap berada
pada masing-masing pemiliknya semula, dan aku cukup menjaganya dari luar saja," Mahesa Wulung berkata. "Terima kasih, Kakang Wulung," ujar Endang Seruni. Mereka bertiga meneruskan perjalanannya, berjalan-jalan menghirup udara pagi yang masih segar ini.
Pohon-pohon besar yang banyak bertumbuhan di sepanjang jalan itu daunnya beriak-riak tersapu angin pagi yang sejuk. Dan ketika
mereka tiba di depan sebuah pohon asam yang sangat lebatnya, tiba-tiba Mahesa
Wulung berhenti serta memberi isyarat pula kepada Pandan Arum dan Endang Seruni
supaya berhen- ti. "Hati-hati!" ujar Mahesa Wulung. "Aku merasa bahwa di atas pohon asam di
depan kita itu ada gerakan-gerakan manusia!"
"Oookh," desah Pandan Arum dan Endang Seruni
berbareng. Keduanya berdebar-debar oleh perkataan
Mahesa Wulung. "Heeei, sobat!" seru Mahesa Wulung dengan lantangnya. "Apakah maksudmu yang sebenarnya"! Apakah perlumu pagi-pagi begini memanjat-manjat pohon asam"!"
Tepat selesainya kata-kata Mahesa Wulung, sebuah
bayangan tiba-tiba pula melesat turun dari atas pohon asam tersebut dan mendarat
di tanah. "Lawunggana!" berdesis Endang Seruni dengan cemasnya. "Eeeh, dialah orang yang bernama Lawunggana
itu?" bertanya Mahesa Wulung kepada Endang Seruni.
"Benar, Kakang Wulung. Berhati-hatilah!"
Suasana menjadi tegang. Lawunggana berdiri bertolak pinggang di hadapan mereka bertiga. Sorot matanya tajam mengawasi Mahesa
Wulung dan Endang Seruni berganti-ganti.
"Sobat, apakah engkau yang bernama Lawunggana?" "Hah, engkau sudah tahu namaku, kisanak!" ujar
Lawunggana. "Bagus! sekarang sebutlah pula namamu!" "Aku Mahesa Wulung!"
"Mahesa Wulung" Ha, ha, ha, ha. Pucuk dicinta,
ulam tiba!" seru Lawunggana gembira sambil tertawa terbahak-bahak kesenangan.
"Kebetulan sekali. Aku
telah lama menunggu-nunggu saat pertemuan ini! Aku ingin mengukur tenaga
melawanmu!"
"Apakah ini berarti sobat berusaha mencari kesulitan?" bertanya Mahesa Wulung. "Dan apa alasan-alasan Anda dalam hal ini"!"
"Engkau pernah membuat kecewa terhadap Endang
Seruni kekasihku itu! Kau tahu, itu sama artinya dengan menghina diriku!" teriak
Lawunggana dengan kerasnya serta bersinar-sinar sorot mata kemarahannya.
"Kakang Lawunggana! Jangan kau teruskan maksudmu!" Seru Endang Seruni kecemasan. "Hal itu telah berlalu dan selesai."
"Tapi bagi diriku belum berarti selesai, Adi Seruni,"
seru Lawunggana. "Aku telah bersumpah untuk bertempur melawan Mahesa Wulung! Maka janganlah
menghalangi maksudku!"
Mahesa Wulung yang pernah mendengar perihal
Lawunggana dari Ki Lurah Mijen segera bersiaga dan ia tidak terkejut ketika
Lawunggana itu melesat ke arah dirinya.
"Haaaet!"
Sambaran pedang di tangan Lawunggana bagai kilat
menyambar leher Mahesa Wulung. Tapi pendekar Demak ini dengan tenangnya mengegoskan bahunya ke
kanan, dan lalulah pedang lawan tadi dengan menebas angin. Dalam waktu yang
sependek itu pula, secara kilat Mahesa Wulung mencabut pedangnya sekali menetak ke punggung pedang Lawunggana tadi.
"Craaaang!"
Bukan main terkejutnya Lawunggana akibat benturan pedang Mahesa Wulung itu. Seakan-akan ia dibentur oleh satu pukulan tenaga
raksasa yang membuatnya seketika terpental ke samping beberapa langkah, tunggang-langgang.
Meskipun begitu Lawunggana tidak lupa mengetrapkan ilmu mengentengkan tubuh sehingga iapun
berjumpalitan tanpa menyinggung tanah dan selamatlah kepalanya. Sambil bersiaga kembali, Lawunggana menggeram
marah, bagaikan seekor harimau melihat mangsanya.
Sementara itu Mahesa Wulung berdiri dengan tangguhnya laksana tonggak besi yang tak goyah oleh gem-pa sedahsyat apapun.
Dengan sebuah teriakan dahsyat, Lawunggana menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung, lalu berulanglah pertarungan sengit. Terkadang tubuh mereka
berdua hanya tampak sebagai bayang-bayang hitam
yang berputaran dengan dua gulungan sinar pedang
yang putih kebiruan berkilatan ditimpa sinar matahari pagi yang kini mulai
bergeser meninggi. Pertempuranpun semakin bertambah lebih hebat lagi.
Pada suatu ketika Mahesa Wulung berhasil mendesak kedudukan Lawunggana yang kini telah bermandi
peluh itu. Sebuah tebasan pedang Mahesa Wulung
yang disertai segenap himpunan tenaga dalam telah
berhasil menggetarkan pedang lawannya dan akhirnya dengan bacokan ke bawah
secara tiba-tiba membuat
Lawunggana cekakaran menangkis serangan tersebut.
Claaang! Terdengar sebuah benturan yang amat keras dan
terpental lepaslah pedang Lawunggana dari jari-jemarinya disertai jerit
kesakitan dari mulutnya.
"Eaaakh!"
Namun begitu senjatanya lepas, si pendekar kumis
lebat segera meloncat ke samping sekaligus melolos kedua pisau bercabang dari
ikat pinggangnya.
Dengan senjatanya ini, Lawunggana seperti menjadi
lebih bergairah dan lebih beringas dalam melancarkan serangan-serangannya
terhadap lawannya. Kedua pisau cagak atau bercabang tadi seperti benar-benar
hidup bersambaran susul-menyusul seperti cakar rajawali yang tengah kelaparan menyerang mangsanya.
Kini Mahesa Wulung terpaksa terkejut melihat kedua senjata Lawunggana itu. Kekagetannya itu ternya-ta ada benarnya pula, sebab
pada jurus-jurus berikutnya terasa olehnya bahwa kedua pisau bercabang itu
selalu mencecar dan mengurung dirinya.
Bila saja yang diserang itu bukan Mahesa Wulung,
mungkin sudah sejak jurus yang pertama orangnya
akan pecundang atau paling sedikit sudah bertekuk
lutut. Akan tetapi lawan Lawunggana kali ini adalah Mahesa Wulung, seorang
perwira laut dari Armada
Demak yang telah sekian kali bertempur, bertualang mengarungi laut-laut serta
menghadapi berbagai-bagai rintangan serta bahaya. Maka pertempuran antara kedua
pendekar ini kelihatan seimbang dan seru.
Gulungan sinar pedang Mahesa Wulung berdesir
mengerikan siapa saja, termasuk Pandan Arum dan
Endang Seruni yang menonton pertempuran mereka
dengan dada berdegupan. Keduanya melihat bahwa
kedua senjata pisau bercabang milik Lawunggana ber-desingan di antara gulungan
sinar pedang Mahesa Wulung, tak ubahnya dua ekor burung seriti yang berloncatan
di antara gulungan tubuh seekor ular yang hendak mencaploknya.
"Uuh, ini berbahaya!" desis Mahesa Wulung sambil
berloncatan menindas setiap serangan Lawunggana
yang semakin ganas.
Pada jurus yang keempat puluh dan jurus-jurus be

Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rikutnya, Mahesa Wulung mau tak mau harus mengakui bahwa senjata pisau bercabang yang sangat aneh milik Lawunggana itu benarbenar luar biasa ampuh
dan hebat gerakannya.
Kalau semula kedua pisau bercabang itu cuma menyerang ke arah bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung
saja, sekarang lebih meningkat lagi dengan menyerang pedang pendekar Demak ini.
Maka justru hal inilah
yang lebih berbahaya lagi.
Begitulah, pada suatu ketika tebasan pedang Mahesa Wulung berhasil ditangkis oleh pisau bercabang tadi tepat jatuh di antara
sela-sela cabang pisau tersebut. Dengan begitu terjepitlah pedang Mahesa Wulung
tadi! Mahesa Wulung segera sadar akan bahaya yang kini
telah mengancam di depan hidungnya. Maka secepat ia berusaha menarik pedangnya,
namun belum lagi berhasil pisau cabang yang sebuah lagi segera menjepit pula
terhadap pedangnya! Sekali lagi Mahesa Wulung terkejut karenanya.
"Hia, ha, ha, ha," terdengar Lawunggana terkekehkekeh kegirangan. "Kau kaget, sobat"! Kasihan! Itulah jurus Kepiting Menjepit
Bulan yang tak terkalahkan!"
Habis berkata demikian, Lawunggana kemudian
memutar dan memelintir kedua pisau cabangnya, sehingga pedang yang berada di sela-sela jepitan itu tergetar hebat!
Dengan sekuatnya Mahesa Wulung berusaha menahan pedangnya yang ikut terputar itu, tapi alangkah sukarnya. Kemudian
tangannya terasa ikut bergetar
dan jari-jarinya merasa kesemutan.
"Lepaaas!"
Terdengar Lawunggana membentak dengan suara
menggeledek diiringi hentakan dan pelintiran sepasang pisau cabangnya berbareng.
Akibatnya, terlepas dan terbetotlah pedang Mahesa
Wulung itu dari tangannya, membuat pendekar Demak
ini terkejut bagai orang mimpi di siang bolong. Ia hampir-hampir tak percaya
begitu melihat pedangnya te-rampas serta kemudian tercampak di atas rerumputan. "Heei, sobat Mahesa Wulung!" seru Lawunggana seraya mengangkat muka menyombong. "Berhati-hatilah
kowe! Mungkin sebentar lagi kedua lengan atau kaki-mu akan terbetot lepas oleh
pisau cabangku ini! Ha, ha, ha, ha!"
"Hyaaat!" Lawunggana kemudian berteriak seru
sambil melesat menyerang ke arah Mahesa Wulung.
Kedua pisau cabang Lawunggana tersebut menyerang
kembali, mengurung seluruh bagian-bagian lemah dari tubuh Mahesa Wulung.
Melihat ini Pandan Arum serta Endang Seruni menjadi kecemasan. Pandan Arum bermaksud menolong
Mahesa Wulung itu, tapi bagaimana caranya serta apa yang harus diperbuatnya, ia
tidaklah tahu. Mahesa Wulung segera terpaksa berloncatan, melenting kesana-kemari menghindari serangan-serangan pisau bercabang di tangan
Lawunggana itu, karena ia tak berpedang lagi.
"Berhenti, Kakang Lawunggana! Sudahilah pertempuran ini!" Terdengar Endang Seruni berseru kepada Lawunggana, sementara dalam
hati ia merintih penuh sesal, sebab semua peristiwa ini tidak sedikit ber-sumber
pada dirinya. "Ha, ha, ha, jangan turut campur, kekasih. Lihatlah saja nanti. Aku bersedia
berhenti serta berdamai asal sobat Mahesa Wulung bersedia meminta maaf serta
bertekuk lutut kepadamu, wong ayu!"
"Perkataanmu itu tak mungkin, Kakang Lawunggana! Kau lihat aku sekarang berdiri di samping gadis ini"! Dialah kekasih Mahesa
Wulung sendiri. Di antara kami tidak ada lagi persoalan dendam ataupun
bersalah!" kembali Endang Seruni berseru.
"Haaah, aku belum puas dengan ceritamu saja, Adi
Seruni. Aku ingin lihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa sobat Mahesa Wulung
benar-benar berlutut di
depanmu dan di depanku sekarang!"
Mahesa Wulung sedikit tersinggung mendengar kata-kata Lawunggana yang sangat tajam ini. Tiba-tiba saja ia meloloskan sebuah
cambuk berwarna biru kehijauan dari balik bajunya seraya menggumam.
"Hmmm, biarlah aku pakai cambuk pusaka ini lebih
dulu. Aku kepingin mencobanya di depan Lawunggana.
Namun aku harus berusaha agar pendekar ini tidak
sampai celaka oleh cambuk Naga Geniku!"
"Lawunggana, marilah kita lanjutkan permainan kita tadi secepatnya!" seru Mahesa Wulung lantang.
"Haaaet!" Lawunggana tanpa berkata-kata lagi lalu
melesat ke depan menerjang Mahesa Wulung kembali.
Tapi sekali ini Lawunggana ganti terkejut pula, apabila ia terpaksa mundur
karena ia melihat bahwa Mahesa Wulung telah memutar cambuk Naga Geninya
sampai lawannya cuma melihat sebuah lingkaran mendesis-desis berwarna biru kehijauan.
Dan lebih terkejut lagilah Lawunggana, sebab sekonyong-konyong ujung cambuk Naga Geni menyambar
dan melilit pada lengan kirinya. Saat itu terasa lengannya seperti dirambati
oleh aliran hawa panas me-nyerikan sendi-sendi tulang, dan apabila ujung cambuk
tadi ditarik oleh Mahesa Wulung, membekaslah
pada kulit lengannya lingkaran-lingkaran merah seperti bekas terbakar.
Lawunggana menyerang kembali, tapi tak ada faedahnya lagi. Keampuhan kedua pisau cabangnya seperti tertelan oleh kehebatan perbawa dan kesaktian cambuk Naga Geni.
Akhirnya ujung cambuk itu menyambar dan membentur kedua ujung pisau cabang Lawunggana dengan
dua ledakan berturutan.
Daar! Daaar! "Eeeaah!"
Lawunggana melepaskan kedua pisau cabangnya,
yang tiba-tiba saja terasa sebagai bara api panas dan terpelanting ke atas
tanah. Belum lagi ia sempat mem-perbaiki sikap, tiba-tiba ujung cambuk Mahesa
Wu- lung meledak-ledak di sekitar kepalanya dengan suara
yang sekeras petir mengurung dengan rapatnya.
"Aaaaduh!" Lawunggana merintih serta menutup
kedua belah telinganya dengan tangan, namun suara
ledakan cambuk itu terasa masih saja menyengatnyengat telinganya. Hingga pendekar ini rebah bergulingan di tanah, cambuk Naga
Geni masih saja meledak-ledak.
"Kakang Wulung, jangan kau celakai dia! Kasihan
Kakang Lawunggana itu!" ujar Endang Seruni seraya
memeluk lengan Mahesa Wulung dengan eratnya.
"Jangan kuatir, Adi Seruni. Ia tak akan celaka atau mati. Aku tahu kau masih
mencintainya, bukan" Syukurlah! Tapi aku harus memberi sedikit pelajaran
kepadanya, agar sifat keras kepala dan mau menang
sendiri itu terkikis habis dari relung hatinya!" ujar Mahesa Wulung dengan
tenang. "Oh, jika begitu aku berterima kasih!" ujar Endang Seruni dengan hati lega.
Sementara itu Mahesa Wulung segera menyimpan
kembali cambuk pusaka Naga Geni ke dalam bajunya
serta iapun lalu memungut kembali pedangnya yang
tadi tercampak jatuh di atas rumput.
Sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh sesosok
tubuh yang berkelebat cepat dari sebelah utara dan langsung menerjang Mahesa
Wulung dengan sambaran-sambaran penggada berduri.
Wesss! Wees! Syaaat!
Penggada berujung duri-duri tersebut mengurung
Mahesa Wulung dengan bertubi-tubi. Untunglah pendekar Demak ini cukup tangkas dan iapun menebaskan pedangnya ke sana-ke mari menyambut setiap
serangan lawan dengan gigih dan tangkas.
"Busyet! Keparat!" teriak si penyerang yang berkepala botak mirip burung bangau itu dan berputaran di
udara lalu mendarat di atas tanah dengan ringannya.
"Setan! Kau mencampuri urusan kami"!" seru Mahesa Wulung. "Mengapa tidak! Kau telah mencelakai muridku! Belum tahu kau, haa"! Akulah si Bango Wadas dari Mua-ra Serang!" teriak si
penyerang itu membuat Mahesa Wulung setengah kaget dan cemas. "Sekarang kau
harus mati di tanganku, keparat!"
Ki Bango Wadas melesat dan menerjang kembali ke
arah Mahesa Wulung dan terjadilah pertempuran dahsyat untuk kedua kalinya di tepi Kali Serang ini. Masing-masing menumpahkan
segala ilmu dan kepandaiannya, membuat pertempuran tersebut semakin
hebat serta mencemaskan siapa saja yang melihatnya.
Sampai di sini, berakhirlah cerita seri Naga Geni
"Bentrok di Kali Serang" dan segera akan sampai kepada Anda, seri Naga Geni yang
berikutnya yakni "Harta Tanjung Bugel". Di sini para pembaca akan tahu
siapakah sesungguhnya Ki Bango Wadas dan bagaimana dengan Lawunggana serta Harta Tanjung Bugel
itu! TAMAT Scan & Edit; Clickers
E-Book by Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** *** 3 *** 4 *** 5 TAMAT Han Bu Kong 2 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Makam Bunga Mawar 13

Cari Blog Ini