Ceritasilat Novel Online

Berakhir Di Ujung Fajar 2

Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar Bagian 2


pengaruh pukulan kedua manusia iblis itu benarbenar telah lenyap dari tubuhnya."
Dalam pada itu, si Tunjungpun menatap ke arah
Ngurah Jelantik dengan perasaan kagum dan penuh
keheranan. Malahan di dalam hatinya tergetar satu perasaan aneh yang sudah
terasa sejak ia berjumpa pertama kalinya dengan pendekar ini. Sebab itu pula,
Tunjung tiba-tiba tertunduk malu dengan warna merah jambu membayang pada pipinya. Untung saja ia
dapat cepat-cepat menguasai perasaan hingga getaran dadanya tadi cuma sekilas.
"Uh, apa ini" Kau membikin malu!" begitu damprat
si Tunjung dalam hatinya sendiri. "Tapi... mungkinkah ini pertanda bahwa aku
jatuh cinta kepadanya"! Tunggu dulu! Bukankah ia tinggal di kota besar" Siapa
tahu ia telah memiliki gadis. Sebagai pendekar kerajaan seperti Ngurah Jelantik,
di mana putri-putri istana banyak tinggal di sana, apakah tidak mungkin bila ia
telah mencintai seorang di antaranya"!" Demikianlah perasaan hati si Tunjung
saling berperang sendiri. "Ta-pi... tapi... siapa tahu bahwa dia akan menjadi
jodoh-ku, seperti kata pepatah asam di gunung garam di
laut, bertemu dalam belanga. Hmm, tapi apakah ini
pantas pula" Aah..., sudahlah... sudahlah. Aku terlalu banyak merancang dan
bermimpi! Manusia boleh merancang, tapi Dewata Yang Maha Kuasa yang akan
menentukan. Sekarang aku harus memperhatikan
kembali keadaan yang ada di depanku!"
Sampai saat ini, ternyata Ngurah Jelantik masih saja berendam diri dalam kolam mata air. Hingga tak
mengherankan bila si Tunjung menjadi cemas dan
menguatirkan, jangan-jangan pendekar Ngurah Jelantik telah kedinginan dan beku untuk menggerakkan
tubuhnya" Benarkah hal ini"
Ki Tutur tersenyum-senyum serta menganggukangguk, selaku tanda kepuasan hatinya melihat Ngurah Jelantik yang telah mampu membajakan diri. Maka tak lama kemudian iapun berseru, "Angger Ngurah
Jelantik! Latihan jurus 'Kura-kura Bertapa' telah cukup. Andika boleh naik ke
darat!" Pendekar Ngurah Jelantik mengangguk, dan dengan
sebatnya ia meloncat dari kolam dan melesat ke atas darat, tak jauh dari Ki
Tutur berada. Sambil tunduk memberi hormat. Ngurah Jelantik
berkata hormat, "Terima kasih kepada Andika, Guru.
Tapi apakah tenagaku dapat saya andalkan kembali?"
"Jangan kuatir, Angger. Kau telah memperoleh banyak kemajuan. Mudah-mudahan dalam waktu singkat, tenaga dalammu akan pulih seluruhnya!" ujar Ki Tutur pula. "Besok adalah
latihan berikutnya. Maka
siapkanlah dirimu bersama Angger Tawes dan Paria."
"Baik, Ki Tutur," ujar Ngurah Jelantik. "Kami akan
berusaha untuk tidak mengecewakan Andika."
"Heh, heh, heh. Bagus, Angger. Nah, sekarang matahari telah tinggi. Kita beristirahat saja. Biarlah cucuku si Tunjung menyiapkan
minuman hangat!"
Sang surya mulai muncul dari balik pepohonan di
sebelah timur dan menyebar sinarnya ke setiap penjuru yang mampu dicapainya. Hawa dingin perlahanlahan menarik diri dari suasana, seperti ketakutan
atau memberi kesempatan kepada sinar matahari untuk menggantikan tempatnya.
*** Siang hari pada keesokan harinya, terlihatlah kesibukan-kesibukan di dekat pondok Ki Tutur. Mereka tidak lain adalah Ki Tutur
sendiri, Ngurah Jelantik,
Tawes, Paria dan si Tunjung. Suasana senyap. Mereka berlima berdiri di atas
dataran batu hitam yang seperti meja-meja lebar terbentang hampir rata dengan
tanah. Sesuatu telah berkepul dari atas dataran batu-batu hitam tadi dan semua mata
menatap kepulan asap tadi
dengan pandangan nanar.
Sesungguhnya 'sesuatu' yang berada di atas dataran batu hitam tadi, tidak lain adalah tiga buah lingkaran bara api mengonggok
dengan dahsyatnya, tak ubahnya lingkaran-lingkaran maut yang mengerikan!
"Angger Ngurah Jelantik bertiga! Sekarang adalah
latihan 'Sikap Arca' untuk menanggulangi hawa panas.
Jika kalian telah mampu berlatih melawan dingin, ma-ka kali ini adalah pelengkap
latihan guna memulihkan ketahanan tubuhmu! Nah mulailah, Angger!" begitu
ujar Ki Tutur kepada ketiga muridnya yang telah bersedia.
Ngurah Jelantik, Tawes dan Paria hanya memakai
kain pendek sebatas lutut, sedang dada mereka terbu-ka sama sekali. Mereka cepat
melompat ke dalam lingkaran bara api dan duduk bersila dengan kedua telapak tangan menempel pada lutut. Sikap mereka ini
benar-benar menyerupai sikap arca, sehingga tak salah bila Ki Tutur menyebutnya demikian.
Latihan yang diajarkan Ki Tutur ini ternyata tidak
tanggung-tanggung diberikannya. Seperti sikap arca
yang duduk di tengah lingkaran bara api tersebut bukanlah pekerjaan ringan yang
setiap orang mampu.
Sebab orang yang duduk bersila tadi sekaligus menghadapi banyak tantangan dan ujian berat. Pertama ra-sa panas datang menyerang
dari dua sumber, yakni
bara api dan sinar matahari siang. Kedua adalah rasa haus yang sudah barang
tentu bakal menyerang ke-rongkongan dan mulut. Dan yang ketiga adalah ketahanan untuk tetap bertahan duduk di tengah lingkaran bara tadi, sampai saat yang ditentukan oleh Ki Tutur!
Itulah yang semuanya harus dihadapi oleh Ngurah
Jelantik bertiga. Dengan sekuat tenaga, mereka duduk bersila tanpa memperdulikan
serangan hawa panas
yang mulai menyentuh kulitnya.
Hawa lengas dan panas segera menyengat lubanglubang kulit mereka, hingga beberapa saat kemudian
butir-butir air keringat bermunculan keluar untuk kemudian mengalir ke bawah,
menganak sungai dengan
menetes-netes. Waktu terus berjalan dengan selalu diawasi oleh Ki
Tutur. Ngurah Jelantik bertiga telah beberapa saat ber-gelut melawan serangan
hawa panas. Tunjung menjadi kecemasan dan mendekati Ki Tutur seraya berkata lirih, "Kakek... bagaimana nanti...."
"Tenanglah, Cucu. Mereka tak akan apa-apa!" ujar
Ki Tutur seraya tersenyum ramah. "Kau kuatir kalau
mereka hangus"!"
Tunjung menggeleng ragu, dan tepat di saat itu, si
Paria meloncat keluar dari cincin lingkaran bara api, disusul oleh Tawes pula.
Wajah-wajah mereka tampak
kemerahan. Dengan demikian, untuk kedua kalinya, Ngurah Jelantik telah mampu berada dalam tingkatan di atas
kedua rekannya, si Tawes dan Paria.
Keduanya ganti mengawasi Pendekar Jelantik dengan perasaan kagum. Hampir-hampir mereka tidak
mempercayai bahwa keadaan yang ada di hadapan mereka ini bukan sekadar mimpi dan khayalan belaka.
Sikap mematung seteguh arca batu membuat tubuh
Ngurah Jelantik membisu tanpa bergerak sedikitpun
kecuali alunan napas teratur dari lubang hidungnya.
Sedang keringatnya berkilat-kilat membasahi kulit tubuhnya yang berwarna sawo
matang dan segar itu.
Di saat yang sama, Ki Tutur mengangguk-angguk
kagum terhadap ketahanan tubuh Ngurah Jelantik
yang mampu bertahan sampai sejauh itu. Dan ketika
dirasanya telah lebih dari cukup, Ki Tutur segera berseru kepada Ngurah
Jelantik, "Nah, Angger Jelantik.
Andika telah lebih dari cukup melaksanakan 'Sikap
Arca'. Sekarang selesailah sudah latihanmu ini."
Ngurah Jelantik mengangguk, lalu meloncat keluar
dari lingkaran bara api dengan gerakan yang gesit, disambut oleh Tawes dan Paria
seraya berseru, "Anda
memang hebat! Kami berdua mengaku kalah!"
"Aahh! Ini bukan satu pertandingan untuk menang
dan kalah!" seru Ngurah Jelantik seraya menepuknepuk bahu kedua rekannya ini. "Jika sekarang Anda
berdua belum menyamaiku, pastilah di lain saat kalian akan sanggup pula
mencapainya."
Ki Tutur dan Tunjungpun segera mendekati Ngurah
Jelantik. Dengan gembira Ki Tutur menjabat tangan
pendekar Singaraja ini dan mengguncang-guncangkan
sebagai pertanda senang dan rasa puasnya.
"Ayo, Tunjung. Berikan ucapan selamat kepada
Pendekar Jelantik," ujar Ki Tutur disertai ketawa lebar, membuat dua pihak yang
bersangkutan terdiam kebingungan dalam sifat kaku menggelikan. Keduanya
berkeringat dingin.
Dasar Ki Tutur yang pintar menggoda dan berkelakar, maka ia berkata lagi dengan enaknya ketika Tunjung masih saja membisu dan
mengeluh ah uh saja.
"Heh, heh, heh. Ternyata asmara dahana lebih hebat dari lingkaran bara api itu. Dahimu berkeringat, Tunjung!" ujar Ki Tutur
seraya berpaling ke samping, ke arah cucu gadisnya.
"Huh, huh, huh. Kakek menggodaku lagi. Kakek
nakal!" seru Tunjung seraya menggebrak-gebrakkan
kedua kakinya ke tanah silih berganti, tak ubahnya
seorang bocah manja yang lagi jengkel dan cemberut.
Habis begitu, Tunjung berlari ke dalam pondok
sambil menahan warna merah jambu yang membayang
di pipinya, akibat kata-kata Ki Tutur. Biarpun ia berlari meninggalkan kakeknya
beserta ketiga muridnya,
tak urung hatinya terguncang pula menahan gejolak
gembira yang membersit amat dalam. Memang sudah
beberapa saat ini Tunjung selalu tergetar hatinya bila bertemu dan berhadapan
muka dengan Ngurah Jelantik. Dalam pada itu, Pendekar Jelantik berdehem untuk
mengusir kekakuan yang mengganggu dirinya. Sedang
Tawes dan Paria cuma tersenyum-senyum penuh arti.
Sementara Ki Tutur sendiri mengelus-elus janggutnya yang putih.
"Heh, heh, heh, si Tunjung lagi ngambek. Tapi biarlah begitu, dan Angger bertiga boleh beristirahat sekarang. Marilah, kita dudukduduk di bawah beringin itu. Aku telah menyediakan selodong madu lebah putih-ku,
dan ini akan menyehatkan tubuh kalian."
Mereka berempat lalu melangkah ke arah akarakaran pohon beringin yang berlekuk-lekuk untuk
kemudian merebahkan diri dan melepaskan lelah.
Pendekar Ngurah Jelantik yang berbaring tidak jauh
dari Ki Tutur, sibuk dengan memikirkan perihal si
Tunjung beberapa saat lamanya. Selain tak habis herannya, Ngurah Jelantik selalu mencoba untuk menebak-nebak, apakah latar belakang kecemberutan gadis manis seperti Tunjung yang
telah berlari meninggalkan mereka" Marahkah barangkali, atau malu karena kelakar si Kakek Tutur ini"
Dengan menghela napas panjang, Ngurah Jelantik
berusaha menghapus kekalutan pikirannya tentang si
Tunjung yang kenyataannya telah banyak mendapat
tempat di dalam hatinya! Ditatapnya kemudian ke
atas, ke arah sela-sela dedaunan yang menampakkan
biru langit, bergerak kesana-kemari oleh gerakan angin siang.
*** 5 RUANG PENDAPA rumah Wayan Arsana tampak
sepi senyap, walaupun di situ terdapat beberapa orang manusia yang duduk dengan
menundukkan kepala ke
bawah. Kedukaan memang tengah melanda manusiamanusia ini, sehingga masing-masing seperti tenggelam dalam arus yang sama. Terdiam dan membisu.
Lebih-lebih bagi yang termuda di antara mereka itu.
Sejak tadi, tak henti-hentinya ia menatap ke lantai pendapa, sementara pada
kedua sudut matanya me-ngembang bencah air mata kedukaan.
Tapi siapakah yang menyalahkan sikap pemuda ini,
kalau sebagai pengantin baru mendadak saja istrinya telah diculik oleh penjahat,
sedang ia sendiri tak mampu membela dan melindungi istrinya" Apakah ini bukan sikap memalukan serta tercela bagi semua orang, sebab sesungguhnya peristiwa
itu menyangkut harga
diri dan martabat keluarganya" Jika menuruti keputus-asaan, rasanya lebih baik kalau ia mati membunuh diri, daripada hidup menanggung malu seperti sekarang ini. Untunglah
baginya, bahwa nasehatnasehat dari orang-orang tua banyak memberikan penerangan bagi hatinya yang gelap dan dilanda kedukaan. Pemuda ini tidak lain adalah Sunutama, putra Ki
Selakriya yang kini telah menjadi menantu dari saudagar Wayan Arsana, orang
terkaya di daerah itu.
Selain Sunutama, duduk pula di situ Kakek Wiku
Salaka, Wayan Arsana sendiri, Ki Selakriya, Putu Tantri dan Ki Sukerte. Beberapa
orang punggawa dan penjaga, hadir pula di ruang pendapa tersebut.
"Hehh, sekarang akan kita lanjutkan pembicaraan
kemarin," ujar Kakek Wiku Salaka melancarkan kebekuan suasana. "Kita harus berbuat sesuatu secepat
mungkin. Sebab aku sendiri merasa cemas jika Pendekar Ngurah Jelantik dan beberapa orang pengawalnya belum kembali hingga saat ini. Semenjak mereka
mengejar para penculik Made Maya pada peristiwa malam naas itu, tak sedikitpun kabar yang tiba. Jangan-jangan mereka mendapat
halangan di jalanan. Oleh
sebab itu, aku bermaksud untuk menyelidiki kedua
hal tersebut secara diam-diam."
"Bapak Wiku Salaka, aku setuju gagasan Andika
tadi. Namun tentang waktu yang dikatakan oleh para
penculik dalam surat ancamannya, apakah kepergian
Bapak tidak akan memakan waktu, dan disesuaikan
dengan tanggal bulan purnama penuh?" bertanya saudagar Wayan Arsana kepada ayah mertuanya, yakni
Kakek Wiku Salaka.
Sambil mengangguk-angguk, Kakek Wiku Salaka
berkata pula, "Memang benar, Angger Arsana. Bulan
purnama penuh masih cukup lama, dan ini cukup
memberiku waktu untuk melakukan penyelidikan ke
daerah hutan di sebelah timur. Aku akan kembali secepatnya sebelum bulan purnama penuh."
"Dengan siapakah Bapak akan pergi?" kata Wayan
Arsana lagi. "Saya yakin bahwa pekerjaan tersebut
akan menemui banyak bahaya, dan ananda minta
maaf, sebab ini saya kemukakan bukan berarti ananda menyangsikan kesanggupan
Bapak Wiku, tetapi terdo-rong oleh kecintaan ananda kepada Andika."
Sambil tersenyum, Wiku Salaka yang berambut putih itu mengelus-elus janggutnya, lalu ujarnya, "Terima kasih, Angger Wayan


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arsana. Jika boleh menunjuk
siapa orangnya yang akan mengikutiku, baiklah aku
ajak Angger Sunutama, disertai seorang pengawal. Sedang lainnya agar tetap
tinggal di rumah ini untuk ber-jaga-jaga terhadap bahaya yang bakal mendatang."
"Saya sependapat dengan Andika, Bapak," sahut
Sunutama serta merta. "Sebab aku merasa bertanggung jawab pula atas keselamatan Made Maya."
"Nah, bagus. Jika semuanya telah jelas, maka siang
nanti juga aku akan berangkat," berkata Kakek Wiku
Salaka seraya berpaling ke arah Sunutama. "Cucu Sunutama, persiapkanlah dirimu sekarang juga. Inilah
kesempatan yang paling tepat untuk menerapkan apaapa yang telah kuajarkan kepadamu!"
Sunutama mengangguk dan segera mengundurkan
diri dari pendapa itu untuk mempersiapkan perjalanan itu nanti. Sesaat kemudian,
pertemuan itupun berakhir.
Maka di siang hari itu juga, Kakek Wiku Salaka,
Sunutama, dan seorang pengawal yang bernama Jeprok, telah berangkat meninggalkan rumah saudagar
Wayan Arsana, menuju ke arah selatan, kemudian
membelok ke timur dengan memacu kudanya seperti
kabur berpacu melawan angin.
*** Sementara itu di tempat lain, yakni di tengah hutan kaki Gunung Merbuk, terdapat
satu kesibukan dalam
pondok-pondok darurat. Beberapa orang tengah mengasah pedangnya, sedang beberapa kelompok lain sibuk pula membersihkan serta
memeriksa senjata-senjata
tajamnya. Salah seorang bertubuh gemuk berkata kepada kedua teman di sebelahnya, "Kali ini kita akan bertempur habis-habisan, sebab itu
aku telah menajamkan pedang lebarku! Sobat Dregil dan Arje, apakah Anda juga
telah selesai menyiapkan diri?"
Dregil dan Arje segera menatap ke arah tokoh yang
bertubuh gemuk dan berkata pula, "Kau terlalu buruburu, Parse. Bukankah saat bulan purnama penuh itu
masih cukup lama datangnya?"
"Memang begitu!" ujar Parse si tubuh gemuk. "Namun bagiku, saat itu sudah sangat aku nantikan dan
rasanya seperti tak sabar lagi!"
"Sssttt. Kau tahu kan, bahwa pemimpin kita telah
menangkap seorang gadis cantik dari daerah Gilimanuk. Dengan inilah kita berharap untuk mendapat penukaran dengan beberapa peti berisi penuh emas permata dan uang!" sambung Dregil. "Hebat sekali, bukan?" "Hmmm, rupanya pemimpin kita ingin membuat
perhitungan dengan saudagar kaya Wayan Arsana,"
menambah si Arje. "Siapa tahu, bahwa penukaran itu
hanya sebagai siasat belaka?"
"Maksudmu bagaimana?" sahut Parse dengan terbengong-bengong mendengarkan ucapan Arje.
"Kalau harta emas dan uang itu telah kita terima, si gadis tidak akan
dikembalikan oleh Tangan Iblis kepada keluarganya! Nah, itulah maksudku!"
"Huss, kau selalu membuat pengkhayalan sendiri!"
bentak Dregil setengah marah. "Apakah kau yakin
bahwa pemimpin kita akan berlaku demikian"!"
"Hih, hih. Jangan keburu marah, sobat. Tentu ada
sebabnya sampai saya berkhayal sedemikian aneh!
Apakah kau lupa bahwa pemimpin kita adalah ahli
siasat yang ulung"!" berkata si Arje sambil tersenyum.
Karenanya pula, Dregil dan Parse terdiam sesaat,
sebab mereka melihat pula kebenaran dari kata-kata si Arje tadi.
"Ah, sudahlah. Kita tak usaha memusingkan lebih
lanjut hal itu," potong si Arje kemudian. "Apapun yang akan diperbuat oleh
pemimpin kita, tinggallah kita
mengikutnya saja!"
"Nah, memang begitulah sebaiknya!" berkata Parse.
"Sekarang kita lanjutkan pekerjaan masing-masing!"
Ketiga orang itupun bekerja kembali seperti semula, mempersiapkan dan
membersihkan senjata-senjatanya, seperti halnya dengan kelompok-kelompok lainnya. Di depan pondok yang terbesar, Tangan Iblis tengah
duduk bersama Nyi Durganti di atas potongan-potongan balok kayu dan di sebelah mereka pula, tampaklah Jimbaran serta Jembrana. Nampaknya mereka
lagi membicarakan hal yang penting, seperti terungkap pada wajah-wajah mereka
sendiri. "Saat bulan purnama penuh masih berhari-hari lagi
datangnya," ujar Tangan Iblis. "bukankah demikian,
Ibu?" "Benar. Tapi persiapan itu harus dimulai sejak sekarang." Nyi Durganti tertawa kecil. "Rupanya kau sudah tak sabar lagi, Nak!"
"Sesungguhnyalah, Ibu. Aku sudah tidak sabar untuk membuat perhitungan dengan si tua bangkotan
Wiku Salaka!" Tangan Iblis berkata dalam nada geram.
"Hmm, tapi kau harus ingat, Angger. Bahwa itu di
luar perhitungan tukar-menukar yang telah kita ancamkan kepada mereka! Kau harus menyelesaikan
perhitungan tersebut di luar persoalan pokok. Jadi, setelah tukar-menukar kau
boleh menantang lawanmu
tadi di bawah lindunganku. Jika perlu nantilah aku
yang merobohkannya!"
"Terima kasih, Ibu."
"Aku ingin menanyakan tentang gadis tawanan kita
itu. Apakah ia mendapat perawatan yang semestinya
dan baik-baik?" begitu ujar Nyi Durganti.
"Ooo, tentang itu Ibu jangan kuatir," ujar Tangan
Iblis. "Ibu nanti boleh melihatnya sendiri."
"Memang aku ingin memeriksanya, setelah beberapa hari kau kurung dalam gubuk di pojok utara itu."
"Baiklah, Ibu akan segera melihatnya," sahut Tangan Iblis lagi seraya menatap ke arah kelompok Dregil dan memanggilnya. "Hai,
Dregil! Kemari lekas!"
Dregil yang lagi sibuk membersihkan goloknya, seketika kaget tak ubahnya disengat lebah. Dengan serta merta dan gesit ia
meloncat berdiri seraya meletakkan senjatanya, lalu berlari tergesa ke arah
Tangan Iblis. "Saya datang, Tuan!"
"Bagus!" seru Tangan Iblis. "Lekas ke pondok di pojok utara itu. Dan bawa kemari gadis tawanan kita!"
Tanpa menjawab lagi, Dregil lalu bergegas ke arah
pondok yang dimaksud di sebelah utara. Hatinya seketika jadi berdebar-debar
ketika perlahan-lahan ia telah mendekati pintu gubuk tersebut.
Semula ia ragu-ragu sejenak, namun ketika semua
mata menatap ke arah dirinya, terpaksalah Dregil me-neguhkan hatinya dengan
memasuki pintu pondok
tersebut. Di pojok ruangan di atas bangku bambu si Made
Maya duduk tercenung sewaktu Dregil masuk ke gubuk tersebut serta berkata. "Nona silakan lekas keluar dari ruangan ini!
Begitulah perintah Tangan Iblis serta
kehendak Nyi Durganti!"
Mendengar ini, Made Maya buru-buru bangun dan
melangkah keluar seraya menunduk, sedang Dregil
mengawalnya di belakang. Seketika itu hatinya menja-di berdebar-debar tak
menentu dan rasa takutnya mulai muncul. Langkahnya lunglai bagai tak bertenaga
sama sekali, apalagi ia tahu bahwa semua tenaganya
seperti terkuras ketika ia terkena sentuhan tangan Nyi Durganti beberapa hari
yang lalu. Meskipun ia telah sembuh, namun pengaruh itu
masih sangat mempengaruhinya dengan rasa kepayahan, tak bertenaga, dan tidak mempunyai kemauan.
Maka siapa tidak menjadi heran, termasuk Made Maya
sendiri, bukankah ia mempunyai kepandaian bersilat, malahan pernah merobohkan
beberapa orang lawan"
Tetapi sekarang ini semua kepandaiannya seolah-olah telah tertelan dan punah
tanpa bekas apapun.
Made Maya makin sadar bahwa nenek tua berwajah
kaku itu pasti memiliki kesaktian yang maha hebat.
Mungkin sejajar atau bahkan melampaui kesaktian
kakeknya sendiri yakni Wiku Salaka!
"Hmm, apa yang akan dilakukan terhadap diriku"
Mengadiliku barangkali, atau mereka menghendaki sesuatu keterangan tentang diriku?" berkata dalam hati si Made Maya dan langkahnya
sangat perlahan. Setiap langkah kakinya seakan-akan betul-betul diperhitung-kan
agar tidak jatuh ataupun terperosok.
"Heei, lekas! Jangan seperti cacing, jalannya!" bentak Tangan Iblis dengan tak
sabar kepada Made Maya.
Sebentar kemudian, Made Maya telah tiba di depan
pondok Tangan Iblis, di tempat mana Nyi Durganti dan lain-lainnya tengah duduk
di atas balok-balok kayu.
"Ayo lekas duduk di rumput itu! Jangan berdiri mematung seperti orang tak tahu aturan!" kembali Tangan Iblis membentak dengan suara marah.
"Jangan terlalu keras kepadanya, Angger Tangan Iblis. Bukankah ia seorang wanita"! Dan kau berkata
bahwa ia harus kita perlakukan secara baik," Nyi Durganti berkata memperingatkan
si Tangan Iblis yang telah berlaku kasar terhadap Made Maya.
Dampratan Nyi Durganti ini ternyata mengagetkan
Tangan Iblis, tapi saat itu pula ia mengetahui kesala-hannya, maka iapun berkata
pelan kepada ibunya,
"Maaf, Ibu. Tapi aku teringat bahwa dialah yang membunuh Wasi Bera!"
"Benar. Tapi tentunya dalam satu pertempuran jujur satu lawan satu, bukan?" sahut Nyi Durganti. "Justru kau sendirilah yang
seharusnya merasa malu
bahwa Wasi Bera dapat dirobohkan oleh seorang gadis!
Apakah kau kurang melatih dan membimbingnya"!"
Tangan Iblis mengangguk pelan dan tak bersuara
lagi, sebab bagaimanapun juga kata-kata ibunya tadi memang benar. Ia kurang
melatih Wasi Bera karena
pada perkiraannya mereka tidak akan menghadapi
perlawanan dan lawan-lawan yang setangguh itu.
Tubuh Made Maya yang dasarnya masih dalam
keadaan lemah, begitu mendengar bentakan Tangan
Iblis, lalu mendeprok ke rumput dengan ketakutan.
Hatinya kian berdebar-debar serta kacau. Dilihatnya bahwa semua pandangan
terarah kepadanya. Nyi Durganti, Tangan Iblis, Jembrana, Jimbaran, Dregil pada
duduk di atas balok-balok kayu. Dengan begitu ia merasa seperti orang yang
tengah diadili perkaranya!
Made Maya seolah-olah seperti seorang pesakitan yang menunggu hukuman yang bakal
dijatuhkan oleh orang-orang itu.
Made Maya tertunduk dan butir air mata mengembang di sudut matanya. Rambutnya yang hitam menggelombang dan semula menutup telinganya, lalu tersingkap sewaktu kepalanya terkulai ke kiri berbareng
tubuhnya hampir rebah saking lemahnya.
Tiba-tiba saja Nyi Durganti mendesis kaget begitu ia melihat subang emas pada
telinga Made Maya! Subang
tadi berbentuk kulit kerang dengan beberapa permata putih yang mengkilat.
Nyi Durganti meloncat dan menubruk bahu Made
Maya, membuat Tangan Iblis serta lain-lainnya terkejut bukan kepalang. Mereka
penuh keheranan....
"Ibu! Mengapa dengan dia"!" seru Tangan Iblis.
"Kau lihat ini, Tangan Iblis"!" ujar Nyi Durganti seraya menyingkapkan rambutnya
yang putih, sehingga
telinganya terlihat oleh anaknya, si Tangan Iblis, serta beberapa orang lainnya.
Mata mereka seketika membe-lalak dengan mulut yang melongo, sebab pada telinga
Nyi Durgantipun terlihat subang emas yang serupa
dengan subang milik Made Maya!
"Subang Ibu... sama dengan subangnya!" seru Tangan Iblis takjub sambil berdiri kebingungan. Dengan terpukau ia melihat Nyi
Durganti memeriksa kedua telinga Made Maya dan ternyata kedua telinga itu memakai subang kerang emas!
Sambil memeriksa, Nyi Durganti mengelus-elus kedua subang di telinga Made Maya, kemudian ganti ia
mengelus-elus kedua subang yang ada di telinganya
sendiri. "Ooh!" desis Nyi Durganti, dan tiba-tiba pula ia
mengangkat dan memondong tubuh Made Maya dengan kedua belah tangannya!
"Hee, apa maksud Ibu"!" ujar Tangan Iblis terkejut, sementara yang lain-lainpun
menjadi terkejut pula melihat sikap Nyi Durganti yang agak aneh itu.
Bersama tubuh Made Maya yang dipondongnya, Nyi
Durganti lalu bangkit berdiri dengan wajah tegang seperti menahan satu perasaan
tertentu yang berat seka-li! Tanpa memperdulikan semua mata yang menatapnya, Nyi Durganti bergegas melangkah ke selatan dalam langkah yang tenang dan perlahan.
"Ibuuu! Turunkanlah tawanan itu. Apakah Ibu lagi
bermimpi"!" berseru kembali si Tangan Iblis dengan
gugupnya. Suaranya keras mesti ditujukan kepada
ibunya. "Aku tak bisa menerangkan panjang lebar sekarang!" jawab Nyi Durganti pendek. "Tapi kau telah lihat bukan, bahwa subang
gadis ini sama dengan subang
yang aku pakai ini"! Yakni subang kerang emas!"
"Apa pula hubungannya" Bukankah setiap orang
boleh memiliki subang seperti ini pula"!" sahut Tangan Iblis dengan mendongkol.
"Kau berpikir sesempit daun asam, Nak! Ketahuilah,
bahwa sampai saat ini hanya ada dua pasang subang
kerang emas! Satu di antaranya adalah yang aku pakai ini dan gadis inipun
memakainya! Maka aku harus
mengusutnya! Nah, aku belum bisa berceritera panjang lebar sekarang, maka jangan kau ganggu lagi
aku!" demikian selesai dengan kata-katanya, Nyi Durganti melesat ke arah barat
daya sangat cepatnya dan benar-benar di luar dugaan siapapun.
"Ibu!" seru Tangan Iblis kebingungan.
"Tunggu saja kalian di situ!" berteriak Nyi Durganti lantang. Setelah itu
tubuhnya lenyap di balik pepohonan bersama tubuh Made Maya yang dipondongnya,
tak ubahnya gerakan hantu yang menyelinap di antara celah-celah dedaunan.
Hampir semuanya terpukau melihat gerakan kilat
tadi, termasuk Tangan Iblis serta lain-lainnya. Sehingga dengan demikian, mereka
tak mampu berbuat apapun. *** Kembali Nyi Durganti merasakan keanehan atau keganjilan perasaan di hatinya, apabila ia telah memondong tubuh Made Maya di
depan dadanya. Bukankah
dahulu iapun pernah merasakan hal yang serupa yaitu sewaktu ia menculik kabur si


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Made Maya dari pertamanan rumahnya"
Dalam pada itu, Made Maya menjadi lebih sadar
dan mendapati dirinya dalam pelukan Nyi Durganti
yang melesat dari pohon ke pohon, dari tebing ke tebing dan seterusnya.
Gerakannya sangat ringan menakjubkan, hingga Made Maya sendiri merasa seolaholah tubuhnya bagaikan segumpal kapas yang diterbangkan oleh angin santer.
Sudah barang tentu bila Made Maya bingung, sebab
ia tidak mengetahui maksud nenek berwajah kaku ini.
Seingatnya, ia hampir roboh di depan Tangan Iblis dan pengikut-pengikutnya, dan
kemudian ditolong oleh
Nenek Durganti ini.
Yang lebih heran adalah jika nenek tersebut lalu
meraba-raba subang kerang emas di telinganya. Bahkan iapun lebih heran waktu ternyata si nenek itupun memakai subang kerang emas
yang sama! "Nenek, akan ke mana diriku ini kaubawa?" bertanya Made Maya disertai nada yang hendak menangis.
"Pulang ke rumahmu, Nak!" ujar Nyi Durganti.
"Ohh," desis Made Maya heran. "Mengapa Nenek
merubah pendirian" Bukankah aku akan dikembalikan ke rumah, setelah ditukar dengan emas pada bulan purnama penuh"!"
"Itu memang benar! Tapi ada hal lain yang lebih
penting yang menyangkut kita berdua!" berkata Nyi
Durganti seraya menatap ke wajah Made Maya. "Ketahuilah, bahwa kita ternyata memiliki subang kerang
emas yang sama. Nah, dari manakah engkau mendapat barang perhiasan seindah itu, Nak"!"
"Aku diberi oleh ibuku, sebagai hadiah perkawinanku! Kata beliau, karena aku sudah berumah tangga,
maka bolehlah aku memakainya."
Nyi Durganti mengangguk-angguk mendengar tutur
kata Made Maya tadi, kemudian bertanya lagi, "Jika
demikian, siapakah nama ibumu, Nak?"
"Nama ibuku adalah Candrasasi."
"Heeih"! Coba ulang lagi, Nak! Apakah aku tidak salah mendengar dengan nama yang kau sebutkan tadi"
Sebutkan lagi nama ibumu, Nak!" seru Nyi Durganti.
"Ibuku bernama... Candrasasi!" ujar Made Maya lebih pelan dan lebih keras, sebab ia tidak ingin jika nenek tua ini tidak sampai
mendengarnya untuk yang
kedua kalinya! Tapi rupanya Nyi Durganti telah cukup jelas.
"Yah, sudah cukup! Sudah cukup aku mendengarnya. Namanya Candrasasi, bukan" Aku ingat benar
nama itu. Bahkan mungkin aku lebih banyak mengenalnya daripada engkau sendiri, Nak! Coba ingat baik-baik, bukankah pada dagu
ibumu ada tahi lalat yang
menambah kecantikan parasnya?"
Mendengar kata-kata Nenek Durganti tadi, Made
Maya tersentak kaget, sebab itu semua memang benar!
Karenanya iapun bertanya, "Jadi Nenek telah mengenalnya"!"
"Jangan kita teruskan pembicaraan ini, Nak!" berkata Nyi Durganti. "Cukup sampai di sini saja, sebab ada teka-teki besar yang
kelak akan dapat kau pecah-kan!"
Seketika Made Maya seperti terkunci mulutnya dan
kembali satu keheranan berkecamuk di dalam dadanya. Mengapakah tiba-tiba nenek ini menghentikan
pembicaraannya, sewaktu ia telah mendengar nama
ibunya" "Kau harus kembali ke rumahmu secepat mungkin.
Tapi ingatlah, sesudah engkau tiba di sana, katakan
kepada keluargamu, bahwa pada saat bulan purnama
penuh, kami serombongan akan tetap datang ke rumahmu untuk menagih tiga peti harta emas dan uang
sebagai penukaran dirimu!" demikian kata Nyi Durgan-ti. Kembali Made Maya
tersentak oleh kata-kata Nyi
Durganti itu. Nenek tersebut memang berperangai
aneh, menurut pendapat Made Maya yang tidak bisa
memahaminya. Kalau toh ia masih tetap ingin menuruti uang tebusan, mengapa ia membebaskan Made
Maya sekarang juga" Bukankah hal ini cukup aneh"
Apakah ia tidak mengkuatirkan jika pihak saudagar
Wayan Arsana akan mengingkari janji dari uang penebusan" Mungkinkah ada maksud-maksud yang tersembunyi" Atau justru ia malah menganggap remeh
terhadap pihak Wayan Arsana" Jika demikian, itu berarti bahwa Nenek Durganti telah bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Dan ini berarti pula kalau Nyi Durganti siap untuk
bertempur menghadapi lawan-lawannya yang ada. Satu hal yang membuat Made Maya berdebar-debar.
Nyi Durganti rupanya tidak mau berbicara lagi, sesudah ia mengucapkan kata-katanya bahwa pada waktu bulan purnama penuh ia bersama Tangan Iblis dan
anak buahnya akan datang untuk menagih janjinya
kepada saudagar Wayan Arsana.
"Baiklah, semuanya akan kusampaikan kepada
ayahku. Segala pesan Nenek pasti sampai kepadanya!"
ujar Made Maya seraya melirik ke wajah kaku Nyi Durganti yang cuma mengangguk
perlahan, tanpa katakata apapun. Gerakan Nyi Durganti memang sebat luar biasa.
Dan ini diakui oleh Made Maya sendiri, yang merasa
bahwa tubuhnya seolah-olah meluncur atau mencelat
di atas permukaan tanah tak ubahnya sebuah bola
yang ditendang oleh kaki raksasa. Meluncur dan meloncat-loncat, sehingga rambut mereka berdua berkibaran melambai-lambai terguncang oleh angin.
"Nah, itulah rumahku!" pikir Made Maya sewaktu ia
melirik ke arah tujuan lari Nyi Durganti, yakni ke arah barat. Tampaklah atap
rumah dan gapura serta dinding halaman rumahnya, bagaikan barang mainan
yang kecil dan indah, tersaput oleh cahaya merah ke-kuningan dari matahari yang
telah mencium cakrawala di sebelah barat.
Makin lama makin dekat dan bertambah dekat,
sampai Made Maya merasa mampu untuk seakanakan sekali loncat akan tiba di sana, di halaman rumahnya yang tercinta.
Nyi Durganti sebentar kemudian telah tiba di dekat
pagar dinding rumah Wayan Arsana dari arah samping. Ia memang menyengaja hal ini, supaya tidak
sampai terlihat oleh para penjaga yang ada di situ.
Sesaat kemudian, sambil memondong tubuh Made
Maya, Nyi Durganti melesat ke atas melewati pagar halaman dan langsung tiba di
atas genteng atap rumah
tersebut. Kembali si nenek berwajah kaku ini berloncatan dengan enaknya dari
genteng atap yang satu, ke
genteng lainnya, menuju daerah pertamanan di sebelah utara. Beberapa orang di dalam lingkungan tembok rumah
saudagar Wayan Arsana sempat melihat mereka berdua dengan mulut yang melongo, hampir-hampir tidak
dapat mempercayai apa yang baru dilihatnya. Palingpaling mereka cuma mengacung-acungkan tangannya
ke atas, ke arah Nyi Durganti yang memondong tubuh
Made Maya. Satu dua orang mencoba mengikuti arah
yang dituju. Dalam sekejap saja Nenek Durganti telah melesat
turun ke dalam pertamanan. Didekatinya sebuah pohon kenanga yang tumbuh di situ, lalu dengan perlahan-lahan ia menurunkan Made Maya untuk bersandar pada batang pohon tersebut.
"Kini kau telah tiba, Nak. Ini terimalah beberapa butir obat yang tersimpan di
dalam tabung bambu kecil ini. Kesehatanmu akan pulih kembali," demikian ujar Nyi
Durganti. "Terima kasih, Nenek!" berkata Made Maya.
Nyi Durganti mengangguk kecil sambil mengusap
wajah Made Maya dengan berkata penuh perasaan,
"Kau cantik sekali, Nak. Wajahku pun sehalus ini ketika aku masih muda."
Made Maya terharu mendengar ini, karenanya ia
membiarkan diri ketika nenek tersebut mencium pipinya. Malahan butir-butir air matanya menitik kemudian, seperti halnya Nyi Durganti sendiri.
Sesaat kemudian, Nyi Durganti bangkit berdiri seraya berkata, "Aku tak boleh terlalu lama di sini, Nak.
Kini aku harus cepat-cepat kembali ke kaki Gunung
Merbuk. Kau tak perlu mencariku, sebab beberapa hari lagi, pada saat bulan purnama penuh, aku serombongan akan kemari!"
Nenek itu secepatnya mencelat ke atas dinding halaman timur dan meloncat dengan gaya manis melewatinya untuk kemudian lenyaplah tubuhnya.
Kini tinggallah Made Maya seorang diri di dalam
pertamanan sambil mengenangkan segala kejadian itu
semua, yang terasa baginya seperti sebuah impian!
Beberapa orangpun masuk dengan tergopoh-gopoh
ke dalam pertamanan. Antara lain tampak Wayan Arsana, Ki Sukerte, Putu Tantri, dan ibunya sendiri, Candrasasi, yang seketika
merangkulnya seraya berseru
sebagai ledakan rasa gembira dan bersyukur.
"Ooh, anakku Maya. Kau telah kembali, Nak! Aduh,
Angger sayang...."
Made Maya buru-buru mendekap ibunya seraya terisak-isak kecil, sementara yang lain-lainpun telah mengerumuninya. Akhirnya
dengan singkat diceritera-kan segera peristiwa yang telah dialaminya, mulai ia
diculik di pertamanan tersebut, sampai akhirnya dipu-langkan kembali ke tempat
ini oleh Nyi Durganti.
Keruan saja ceritera Made Maya itu sangat menarik
perhatian para pendengarnya. Lebih-lebih bagi saudagar Wayan Arsana sendiri,
yang seketika berkata perlahan, "Hmm, jadi mereka akan tetap datang kemari
pada saat bulan purnama penuh! Heh, mudah-mudahan saja, Bapak Wiku Salaka telah tiba kembali sebelum saat tersebut. Jika
tidak, entah apa yang bakal terjadi nanti. Aku tak mampu membayangkan sekarang!"
"Ooh!" desah Made Maya dengan kagetnya. "Jadi
Kakek Wiku Salaka tidak berada di rumah" Ke manakah beliau pergi?"
"Mmm, tentunya kau belum tahu, Nak. Beberapa
hari yang lalu, Kakek Wiku Salaka bersama Angger
Sunutama telah pergi ke arah hutan di sebelah timur, untuk menyelidiki dan
mencari dirimu. Begitu pula
mereka berusaha menemukan jejak kepergian Tuan
Ngurah Jelantik yang sampai hari ini belum kembali!"
demikian kata Wayan Arsana kepada putrinya si Made
Maya. Hampir saja ia rebah tak sadarkan diri. Begitu mendengar penuturan ayahnya, semakin bertambah ruwet
pikirannya. Namun untunglah bahwa Made Maya telah
cukup terlatih menghadapi hal-hal yang di luar dugaan. Dengan menarik napas panjang, ia menguatkan
perasaannya, sehingga pulihlah kesadarannya yang
semula hampir lenyap itu. Kepada ayah ibunya serta
yang lain-lain, Made Maya menunjukkan tabung bambu pemberian Nyi Durganti yang berisi obat pemulih
kekuatan. Akhirnya mereka memapah tubuh Made Maya ke
dalam rumah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Satu kegembiraan telah menyelinap ke dalam dada
segenap penghuni rumah saudagar Wayan Arsana. Tapi rasa kekuatiran yang lain, seperti penyerbuan Tangan Iblis dan kepergian Wiku
Salaka, masih belum hilang dari diri mereka.
*** 6 TIGA SOSOK TUBUH manusia tampak mengendapendap seraya menuntun kudanya, menerobos kelebatan hutan di kaki selatan Gunung Merbuk. Kelebatan
hutan membuat mereka turun dari punggungpunggung kudanya, sebab hal ini terasa lebih menguntungkan daripada tetap di
atas, tapi sebentar-sebentar harus merundukkan kepala sedalam-dalamnya, kalau
tak ingin lehernya tersangkut serta terjirat oleh sulur dan akar pepohonan di
sepanjang jalan.
Ketiga orang ini mengenakan caping lebar dari anyaman bambu yang halus. Yang paling depan berusia
lanjut seperti terlihat pada kumis dan janggutnya yang memutih, sedang yang dua
orang masih berusia muda.
"Sekarang kita harus berjalan pelan-pelan," bisik si tua kepada kedua orang muda
di belakangnya. "Aku
telah mencium getaran-getaran udara aneh dari sebelah selatan!"
"Jadi kita harus masuk ke daerah selatan, Kakek?"
bertanya salah seorang lelaki muda tadi. "Sekarang
ijinkanlah aku bersama Ki Jeprak yang membuka jalan." "Baiklah, Cucu Sunutama. Mari kita bergerak dengan lebih hati-hati, tetapi cepat!" sahut si kakek yang sebenarnya adalah Ki
Wiku Salaka. Maka sebentar kemudian mereka bertiga telah menerobos ke arah selatan, mengarungi kelebatan hutan di depannya tanpa merasa
gentar, sekalipun bahaya
yang tak nampak sewaktu-waktu dapat menerjang mereka. Apa yang sesungguhnya didengar oleh Kakek Wiku
Salaka tadi benar-benar di luar dugaan Sunutama dan Jeprak. Getaran suara yang
telah ditangkap oleh si kakek ini ternyata berasal dari sumber yang lebih jauh,
sehingga Sunutama dan Ki Jeprak masih belum menemukan apa-apa, meskipun mereka
telah lebih jauh
masuk ke daerah selatan. Dan apa yang terjadi di sa-na, memang belum diketahui
sama sekali, betapapun
hal itu merupakan sesuatu yang bisa menakjubkan
siapa saja. Begitulah... di daerah selatan sana, tampaklah tonggak-tonggak kayu runcing yang
dipancangkan luruslurus ke atas, di depan halaman pondok rumah sederhana di tepi sebuah mata air jernih.
Dua orang laki-laki berdiri di tepi arena tonggaktonggak kayu runcing dengan wajah tegang, mengawasi ke arah dua bayangan manusia yang berkelebat dan bersambaran di atas tonggaktonggak kayu tersebut.
Meskipun kedua kaki-kaki mereka sebentar-sebentar


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpijak mendarat di ujung tonggak runcing tersebut, tak satupun yang mendapat
cedera. "Lihatlah, Kakang Tawes! Aku hampir sukar membedakan mana yang Ki Tutur dan mana si Ngurah Jelantik. Mereka bergerak cepat sekali!" ujar Paria sambil terlongoh keheranan.
"Tentu saja! Mereka telah menggunakan jurus-jurus
'Srigunting Merindukan Capung'. Hanya bila kita
mampu bergerak cepat, barulah kita dapat melihat mereka!" "Bergerak cepat" Aku tak mengerti maksudmu, Kakang!" berkata Paria sambil menatap si Tawes.
"Nah, perhatikanlah, Adi Paria. Kau pernah melihat
batu dilemparkan" Tentu hanya kau lihat sebagai ber-kelebatnya satu bayangan
saja. Tetapi coba, seandainya engkaupun bisa bergerak secepat batu itu melayang, pastilah engkau akan tetap melihatnya sebagai batu!"
Paria mengangguk paham atas keterangan sahabatnya, dan sesaat kemudian mereka telah mengawasi
kembali gerakan-gerakan Ki Tutur dan Ngurah Jelantik. Dengan diam-diam Ngurah Jelantik kagum melihat kemampuan Ki Tutur dalam
melatih pertempuran di
atas tonggak-tonggak kayu tersebut. Maka iapun merasa beruntung dapat menjadi murid Ki Tutur, si
penggembala lebah putih yang dahsyat itu. Apa-apa
yang diajar dan dipetuahkan dari kakek itu, dipelaja-rinya dengan sungguhsungguh serta tekun!
Gerakan mereka berdua sangat cepat tapi menakjubkan. Sebentar-sebentar mereka bergulung-gulung
di udara, untuk kemudian mendarat di ujung tonggak.
Di lain saat, mereka sambar-menyambar dan terkam
menerkam. "Kau telah maju, Jelantik!" seru Ki Tutur di tengah gerakannya. "Tenagamu telah
pulih kembali!"
"Terima kasih, Guru!" berseru pula Ngurah Jelantik
dengan gembiranya.
Sekonyong-konyong, di tengah kesibukan mereka
yang lagi berlatih pada tonggak-tonggak kayu tadi, terdengarlah satu jeritan
melengking dari arah utara, me-mecah kesunyian dan kesadaran. "Aaauuuhhh...!"
"Itu suara si Tunjung!" seru Ki Tutur.
"Permisi, Guru! Aku harus menengoknya!" teriak
Ngurah Jelantik seraya meloncat keluar dari arena
tonggak kayu. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh sehingga tubuh Ngurah Jelantik seolah-olah melambung-lambung ke arah utara, mengejar arah suara
si Tunjung! Ngurah Jelantik seperti tak sabar lagi untuk mengetahui apakah sesungguhnya yang membuat Tunjung
sampai ia menjerit begitu keras. Kalau diingatnya bahwa gadis ini mampu
bertempur, maka satu teriakan
dari mulutnya, berarti ada bahaya yang tak teratasi tengah mengancamnya!
Sebentar saja ia telah sampai di daerah utara di
tempat mana si Tunjung sering mencari dedaunan untuk ramuan obat serta dibuat sayur makanan.
Bukan main kagetnya Ngurah Jelantik ketika dilihatnya si Tunjung tengah diseret dan didekap-dekap
oleh seorang laki-laki! Tanpa berkata, ia terus saja menyambar dan menerjang
laki-laki kurang ajar itu.
"Heit!" seru laki-laki berwajah licin sambil melepaskan tubuh si Tunjung, sekaligus menghindari serangan Ngurah Jelantik. "Heh,
heh, ada juga yang sudi melawanku!"
"Kau laki-laki tua tak tahu aturan! Mengapa kau seret gadis ini, haa"!" teriak Ngurah Jelantik seraya menyerang bertubi-tubi
dengan pukulan dan tendangan
yang dilandasi tenaga dalam.
"Hmm, kau banyak mulut! Perlu apa kau mencampuri urusanku ini?" Si wajah licin berkata. "Bukankah engkau tamu dari si kakek
edan penggembala lebah
itu?" "Memang aku cuma seorang tamu. Tapi karena Ki
Tutur juga menjadi guruku, maka aku harus membela
segala bencana yang menimpa keluarganya!" begitu
Ngurah Jelantik berkata dengan lantang.
"Bagus! Jika begitu tekadmu, berarti engkau mencari mati!" berkata si wajah licin sambil bersiaga. "Heh, rupanya engkau berilmu
pula, anak muda!"
"Lekas! Tinggalkan secepat mungkin tempat ini!
Dan jangan lagi mengganggu gadis ini!"
Si wajah licin menggeram marah begitu mendengar
kata-kata pengusiran dari pendekar Ngurah Jelantik.
Wajahnya seperti bernyala merah. Lalu terdengar ben-taknya, "Keparat! Anak
ingusan berkepala besar! Agaknya kau mencintai gadis ini, hah"! Baiklah, jika
demikian kita mempunyai kepentingan yang sama. Maka
barang siapa yang menang, dialah yang berhak atas
gadis ini! Ha, ha, ha!"
Mendengar hal ini, Tunjung menggeram jengkel. Tapi sayang ia tak dapat berbuat apa-apa karena tubuhnya seakan-akan telah lemas
tanpa daya, sesudah disentuh oleh si wajah licin beberapa saat yang lalu.
"Hyaat!" teriak si wajah licin seraya melesat ke arah Ngurah Jelantik dengan
terjangan kaki yang dahsyat.
Dalam saat yang demikian genting itu, Ngurah Jelantik tidak kurang waspadanya. Secepat kilat ia membuang diri ke samping untuk
selanjutnya melesat menjauh.
Braaakk! Daaarrr!
Dua batang pohon besar tergempur sempal terkena terjangan kaki si wajah licin.
Tentu saja Ngurah Jelantik terperanjat menyaksikan kehebatan lawannya yang
sedemikian tadi. Buru-buru ia memperbaiki diri sambil mendesis, "Luar biasa!
Untunglah aku sempat menghindar! Jika tidak mungkin telah hancur tubuhku ini."
"Ehh, hah, hah, hah. Keberanianmu telah mengkerut, bocah ingusan"!" seru si wajah licin. "Itulah sa-lahmu, kalau berani
meremehkan Bogal Respati. Sekarang terimalah kematianmu!"
Si wajah licin menyerang lagi ke arah Ngurah Jelantik dan pertarungan seru segera berlangsung sangat
sengitnya. Sekarang ini sadarlah Ngurah Jelantik bahwa semua bimbingan serta pelajaran yang diberikan oleh Ki Tutur banyak sekali
menolong dirinya. Seperti apa
yang terjadi sekarang ini, bila ia belum mendapat bimbingan si kakek penggembala
lebah ini, mustahil ia
sanggup menghadapi Bogal Respati yang berilmu hebat. Setahap demi setahap, Ngurah Jelantik mampu
menanggulangi serangan-serangan Bogal Respati yang
mengalir bagaikan air bah datangnya. Kendatipun pada mulanya ia banyak terdesak oleh Bogal Respati,
namun Ngurah Jelantik secara gigih terus melayani serangan lawannya.
Sementara itu, Tunjung merasa cemas pula melihat
pertempuran antara Ngurah Jelantik dengan Bogal
Respati. Ia bermaksud memanggil lebah-lebah piaraan kakeknya untuk menolong
Ngurah Jelantik. Akan tetapi Tunjung menjadi kaget bukan buatan, ketika mulutnya yang telah mecucu itu tidak mampu mengeluarkan bunyi siulan seperti
biasanya! "Tenaga dalamku telah dilumpuhkan!" desis Tunjung dengan nada menyesal. "Pasti ini perbuatan Bogal Respati! Oh, celaka. Aku
tak bisa menolong Kakang
Ngurah Jelantik!"
Apa yang dikuatirkan oleh Tunjung ternyata beralasan juga. Sebab makin tampak bahwa Bogal Respati
semakin dahsyat olah geraknya, seperti pada setiap
pukulan-pukulan tangannya yang berhawa maut. Sedang tendangan kakinyapun terbukti sanggup mendobrak batang-batang pohon di sekitar tempat itu. Pada jurus yang keempat puluh,
secara tiba-tiba si Bogal Respati melesat dengan melancarkan pukulan maut ke
arah Ngurah Jelantik.
Melihat ini, pendekar Singaraja, si Ngurah Jelantik,
secepat kilat memapaki serangan lawannya dengan
menyilangkan kedua tangannya di depan kepala. Sesaat keduanya saling berpapasan, disusul benturan
dahsyat yang berasal dari beradunya dua tenaga dalam. Daaarr! Seketika Tunjung ikut menjerit ketika ia melihat
kedua lawan tadi saling terpental ke belakang sesudah berbenturan.
Dengan gerakan lincah Bogal Respati dua kali berputar di udara dan kemudian mendarat ke tanah disertai derai ketawa yang tertahan. Sedang Ngurah Je-lantikpun mampu menguasai
dirinya, meskipun sesaat
setelah kakinya menginjak tanah, ia jatuh terduduk!
Dadanya terasa agak sesak untuk bernapas dan dengan perlahan iapun berdiri kembali.
"Ehh, heh, heh, heh. Cukup hebat juga kau, Nak!
Tapi apabila genap lima kali engkau terbentur oleh pu-kulanku, jangan menyesal
kalau tubuhmu akan berantakan!" ujar Bogal Respati dengan suara menakutkan.
Ngurah Jelantik tahu akan hal ini. Sebab ia telah
merasakan, bahwa untuk benturan yang pertama saja
telah cukup membuat sesak pada dadanya, di samping
rasa seperti mau pecah yang melanda rongga dada.
"Keparat! Aku akan tetap melawanmu. Biarpun akhirnya aku harus mati, tapi setidak-tidaknya akupun sanggup membuatmu cacad!
Dengan demikian engkaupun tidak akan sempat menyentuh sahabatku ini!"
ujar Ngurah Jelantik seraya melirik kepada Tunjung.
Bogal Respati mengertakkan giginya kemudian berseru lantang, "Setan jorok! Belum pernah aku menghadapi lawan yang bermulut besar seperti tampangmu
itu! Sekarang bersiap-siaplah untuk menerima pukulanku yang kedua!"
Baik Ngurah Jelantik sendiri ataupun Tunjung menjadi berdebar-debar melihat Bogal Respati telah bersiaga menerjang ke arah
sasarannya, yakni Pendekar Jelantik. Wuuusss! Sebuah pukulan angin secara tiba-tiba telah melanda wajah Bogal Respati dari samping, membuat tokoh
tua berwajah licin ini meloncat surut ke belakang seraya mengutuk, "Kurang
ajar!" Saat berikutnya, melesatlah sesosok bayangan orang
tua yang tidak lain adalah Ki Tutur, disusul oleh si Tawes dan Paria.
"Bogal Respati. Manusia berotak kotor seperti tampangmu ini masih berani muncul di hadapanku"! Apakah kau lupa bahwa aku telah mengampunimu beberapa tahun yang lalu"!" berseru Ki Tutur yang kini telah berdiri di samping
Tunjung. "Apakah kau belum
puas pernah mengganggu ketentraman keluargaku"!"
"Heh, heh, heh, silakan mengomel, Ki Tutur," ujar
Bogal Respati seraya tertawa liar. "Aku masih belum bosan mendengarnya!"
"Apakah kau belum puas membunuh anakku si
Candrasa bersama istrinya Ni Pendet" Kau telah merampas kebahagiaan dan rasa kasih sayang orang tua
kepada cucuku si Tunjung ini!" demikian teriakan Ki Tutur yang mengumandang di
segenap sudut hutan,
membuat kaget siapapun yang mendengarnya, termasuk si Tunjung sendiri yang selama ini tidak tahumenahu sebab-sebab kematian orang tuanya.
Bogal Respati terpekur sejenak, seperti merasakan
kata-kata Ki Tutur tadi. Tetapi sebentar itu pula ia mendongak dan berkata
sambil tertawa. "Heh, heh,
heh. Itu memang dikehendaki oleh mereka berdua.
Bukankah aku telah berterus terang untuk meminta Ni Pendet dengan baik-baik"!
Tetapi hal itu tidak dipi-kirkannya. Telah aku katakan, bahwa aku mencintai
Ni Pendet dan ingin menjadikannya sebagai istriku.
Nah, satu hal yang menyenangkan, bukan" Sayang
bahwa mereka berdua justru melawanku! Maka tak
ada salahnya bila keduanya tewas di ujung senjataku!"
"Manusia keji!" seru Ki Tutur geram.
"Kau berkata aku keji"!" sahut Bogal Respati. "Kau
lihat sekarang, bahwa aku ingin mengambil cucumu, si Tunjung itu sebagai
istriku. Rupanya sangat mirip
dengan ibunya, Ni Pendet. Wajahnya bagaikan pinang
dibelah dua dengan mendiang Ni Pendet! Nah sekarang berikanlah Tunjung kepadaku
sebagai ganti Ni Pendet yang telah mati! Dengan begitu, aku ingin memperbaiki
kesalahanku!"
"Iblis bertopeng manusia!" seru Ki Tutur lebih marah. "Langkahi dulu mayatku sebelum engkau mengambil cucuku. Kau ternyata hanya berani dengan
anak-anak muda seperti muridku, si Ngurah Jelantik
itu! Sekarang marilah kita berhadapan kembali sebagai musuh lama! Kiranya kau
jauh-jauh mengikuti dari
tanah Gresik hanyalah untuk mengumbar pekertimu
yang jahat!"
Bogal Respati tertawa besar. "Bagus! Ada empat pasang telinga yang ikut menjadi saksi atas tantanganmu tadi! Sekarang juga aku
tantang kau! Ayo, bertempur dan mengadu tenaga! Siapa yang menang, dialah yang
tetap memiliki si Tunjung ini!"
"Mari ke halaman rumahku! Kita bertanding di sana!" sahut Ki Tutur seraya menunduk ke sebelah selatan. Di saat itu pula, orang
tua ini mengurut leher si Tunjung serta menghembus ubun-ubunnya untuk
menghilangkan pengaruh sentuhan Bogal Respati.
Seketika itu pula, mereka bergegas melangkah ke
arah halaman pondok Ki Tutur dengan sikap yang selalu waspada. Rupanya saja, Bogal Respati akan berusaha benar-benar untuk mengalahkan Ki Tutur dalam pertarungan ini nanti. Dengan demikian, kemenangannya tidak akan ada yang mengganggu gugat lagi! Dan itulah kemenangan mutlak dikehendakinya!
"Heh, heh, heh. Jadi bertarung di atas tonggaktonggak usang inilah sebagai tantanganmu"!" berkata Bogal Respati secara
sombong, ketika ia telah sampai di halaman rumah Ki Tutur.
"Tak perlu bertingkah sombong kau, Respati!" berkata Ki Tutur menahan marah. "Buktikanlah kegagahanmu di atas tonggak-tonggak ini. Setelah itu barulah kau boleh menyombong di
hadapanku!"
"Bagus! Aku naik ke atas sekarang. Hup!"
Bogal Respati melesat ke arah tonggak-tonggak
kayu dan bertenggerlah ia di sana dengan sombongnya! Melihat ini, Ki Tuturpun melesat ke atas menyusul
Bogal Respati. Tak tahunya, pada saat yang sama lawannya yang berwajah licin telah menyerang! Gerakan serangan Bogal Respati
sangat mengejutkan orang-orang yang melihatnya.
Ki Tutur cuma terperanjat sesaat, sesudah itu ia


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendap ke kanan menghindari serangan lawannya,
sambil berseru keras, "Heh, jangan berharap sanggup merobohkan aku, dalam
keserakahan nafsu! Salah-salah engkau sendirilah yang roboh oleh tanganku!"
Dengan menggeram marah, Bogal Respati memutar
gerakan tubuhnya dan sesaat kemudian kedua orang
lawan itu telah berdiri tegak di atas tonggak-tonggak runcing. Mereka harus
lebih berhati-hati sekarang. Selain menghadapi lawan yang tentunya tidak ringan,
mereka harus pula berhati-hati terhadap tonggaktonggak tersebut. Sedikit kurang berhati-hati saja, tidak mustahil mereka akan
terperosok dan tubuhnya
pasti terhunjam oleh ujung-ujung runcing tonggak
kayu di bawahnya! Tenaga dalam yang digunakan oleh
mereka hanyalah untuk menjaga agar kakinya tidak
cedera, meski berdiri di atas ujung tonggak yang runcing. Tapi jika tubuh mereka
terperosok serta jatuh, jangan harap mereka bisa selamat dari tonggak tadi.
Pertempuran hebat segera terjadi di atas pancangan
tonggak-tonggak yang menganga, siap menanti korban.
Semua mata menyaksikannya tanpa berkedip, seperti
Ngurah Jelantik, Tunjung, Tawes dan Paria. Dadadada mereka berdebaran keras. Yang tampak kemudian hanyalah dua bayangan yang berkisar berpusingpusing dan bergulung-gulung sangat cepatnya dari sa-tu titik ke titik lainnya di
atas tonggak-tonggak itu.
Bagaimanapun juga, Ngurah Jelantik serta yang
lainnya merasa cemas juga melihat pertarungan antara Ki Tutur melawan Bogal
Respati. Kalau semula mereka juga pernah berlatih di atas tonggak-tonggak ini,
dari itupun sudah dapat dirasakan betapa mereka harus
membagi perhatian antara lawan yang dihadapi dengan ujung-ujung tonggak di bawahnya. Sedang sekarang ini, mereka telah melihat sendiri pertempuran
dahsyat di situ.
Pertempuran terus berlangsung hebat, menghabiskan puluhan jurus tanpa menunjukkan tandatanda siapa yang bakal kalah. Baik Bogal Respati
maupun Ki Tutur tetap bertangan kosong, sebab itupun sudah cukup berbahaya. Setiap terjangan kaki
ataupun pukulan tangan mereka, berarti maut bagi
lawan-lawannya.
Tepat pada jurus yang keenam puluh, keduanya
masing-masing meloncat surut saling menjauh dan
meloncat. Hal ini membuat kaget Ngurah Jelantik serta lain-lainnya. Ki Tutur
membuat sikap menyilangkan
kedua belah tangannya di depan dada dan kedua kakinya mementang ke samping, berpijak pada dua ujung
tongkat kayu. Di depannya, Bogal Respati menekuk
kedua tangannya ke belakang siap melancarkan pukulan ke depan, ke arah Ki Tutur yang telah bersiaga sejak semula.
Sesaat mereka memusatkan pikiran dan tenaga, selain keduanya saling mengawasi dengan seksama. Detik-detik ini adalah yang paling menegangkan bagi
orang-orang yang mengikuti pertempuran dua tokoh
angkatan tua itu.
Sejurus kemudian....
"Hiaaat!" Blaaar!
Kedua tokoh ini telah saling melancarkan pukulan
ke depan. Meskipun tidak sampai membenturkan tangan masing-masing, tapi pukulan tenaga dalam tersebut cukup hebat, menimbulkan getaran udara di sekitarnya. Bet! Bett! Untuk kedua kalinya mereka melancarkan pukulan
tenaga dalam. Kini terlihatlah kedua tubuh Ki Tutur dan Bogal Respati tergoyanggoyang, namun mereka
masih tetap tegak di atas ujung tonggak-tonggak kayu.
Ketika mereka melancarkan pukulan yang ketiga,
terdengarlah bunyi benturan-benturan lemah, tetapi
sesungguhnya inilah yang terhebat, sebab sekejap kemudian tubuh Ki Tutur dan
Bogal Respati berguncang
dengan hebat. Dari gerakan Ki Tutur, dapatlah diketahui bahwa orang tua ini
telah banyak kehilangan tena-ga, sedang Bogal Respati sendiri masih tampak lebih
segar dengan wajahnya yang kemerahan.
Tetapi detik itu pula terjadilah perubahan yang sangat mengagetkan, ketika tiba-tiba Bogal Respati terbatuk-batuk sambil
mengucurkan darah kental dari
sudut mulutnya. Ia telah terluka dalam dengan parahnya.
Seraya menggeram marah, Bogal Respati dengan
cepat mencabut sebilah belati panjang dan siap dilemparkan ke arah Ki Tutur yang lagi kelelahan berdiri di atas tonggak kayu.
"Sekarang terimalah ajalmu!" desis Bogal Respati.
"Sudah waktunya kau roboh olehku dan hidupmu pasti berakhir di ujung fajar nanti!"
Ngurah Jelantik berempat sangat terperanjat, sebab
mereka melihat bahwa Ki Tutur dalam bahaya. Sayangnya, mereka masih kebingungan untuk menolong
gurunya itu. Bukankah ini merupakan pertandingan
mereka berdua" Malahan Ngurah Jelantik berempat
masih ingat akan pesan Ki Tutur, bahwa tak seorangpun di antara mereka berempat boleh membantunya!
Sekonyong-konyong, selagi Bogal Respati bersiap,
melesatlah seleret sinar dari balik dedaunan di sebelah selatan.
Wess. "Eaarrch!"
Alangkah kagetnya Ngurah Jelantik berempat, sebab tahu-tahu Bogal Respati menjerit parau dan tubuhnya menggeliat. Pada punggungnya menancap
tembus sebuah caping bambu pada sisinya, tak ubahlah sebilah cakram yang telah memakan korbannya.
Bogal Respati masih mencoba bertahan, tapi keadaan tubuhnya tidak lagi memungkinkan. Maka sesaat
kemudian iapun terguling roboh dan tubuhnya tertancap oleh ujung-ujung tonggak kayu yang telah menunggunya di bawah!
Ki Tutur segera meloncat turun dari atas tonggak,
disambut oleh Ngurah Jelantik, untuk menjaga agar
orang tua ini tidak jatuh karena tubuhnya yang telah kelewat lemah akibat
bergempur dengan tenaga dalam.
"Ohhh... siapakah yang membantuku tadi"!" desah
Ki Tutur seraya menatap ke wajah Ngurah Jelantik,
Tunjung, Tawes dan Paria. Namun mereka sama-sama
menggelengkan kepala serta mengangkat bahu sebagai
tanda ketidak-tahuannya.
Mereka berlima mencoba menebarkan pandangannya, tapi tak satupun yang patut memberi jawaban
atas pertolongan yang telah datang dengan tiba-tiba dan begitu cepatnya!
Pangkal keheranan mereka adalah sebilah caping
bambu yang kini masih menancap pada punggung
Bogal Respati itu. Jika barang sederhana tersebut
mampu menembus punggung Bogal Respati yang sakti
dan tangguh itu, pastilah yang melemparkannya memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang sempurna!
Sekali lagi mereka menebar pandangan, kemudian
Ki Tutur berseru, "Hooii...! Siapakah yang telah meno-longku"! Unjukkanlah
dirimu, supaya aku dapat menghaturkan terima kasih di hadapan Anda!"
"Maaf, sobat! Akulah yang menolongmu dengan
membinasakan si Bogal Respati itu!" terdengar seruan lantang mengiringi sesosok
tubuh tua yang melayang
ke arah mereka, disusul oleh dua bayangan lain di belakangnya.
Tentu saja Ki Tutur berlima sangat terkejut, tetapi sekejap itu pula Ngurah
Jelantik berseru, "Heei, itu Bapak Wiku Salaka, Sunutama dan Jeprak!"
Mereka segera menyambut ketiga orang pendatang
tadi dan kemudian saling berkenalan dengan akrabnya. Kakek Wiku Salaka beramah tamah dengan Ki
Tutur dan Tunjung. Dan sebaliknya pula, kakek penggembala lebah inipun mengucapkan terima kasihnya
atas pertolongan Kakek Wiku Salaka tadi.
"Akh, untung Andika datang menyelamatkanku. Jika tidak, pastilah tubuhku telah terhampar tanpa nya-wa."
"Ah, janganlah Andika terlalu merendahkan diri, Ki
Tutur," kata Kakek Wiku Salaka seraya tersenyum.
"Caping bambuku tadi hanyalah sebagai alat pamungkas saja, sebab pukulan tenaga dalam Anda telah lebih
dahulu menghajar dan menggempur tubuh Bogal Respati!" Mendengar ini Ki Tuturpun tersenyum pula, sebab
dalam hati ia telah maklum bahwa Kakek Wiku Salaka
ini tidak mau menonjolkan diri, seperti terbukti dari ucapannya yang baru lalu.
Padahal sesungguhnya,
bantuan Kakek Wiku Salaka sangatlah besar artinya.
Suasana sepi dan tenang telah melingkupi pondok
kediaman Ki Tutur sesudah terjadi pertarungan matimatian antara si kakek penggembala lebah itu melawan Bogal Respati.
Masih duduk-duduk dan beromong-omong mereka
di dekat pondok tersebut. Ki Tutur, Tunjung, Ngurah Jelantik, Tawes, Paria, dan
di sebelahnya pula tampak Kakek Wiku Salaka, Sunutama serta Jeprak. Sesaat
kemudian, Tunjung telah menyiapkan selodong tuak
yang kemudian dihidangkan dengan cangkir-cangkir
dari potongan-potongan ruas bambu hitam.
Napas Ki Tutur sekarang telah teratur kembali, sesudah beberapa saat agak sesak akibat benturan dari tenaga dalam Bogal Respati
yang hebat itu. Beruntung-lah ia dapat menandinginya dan sekarang ini tak perlu
ia merasa cemas, sebab Bogal Respati telah mati.
Satu kekaguman yang tak kunjung habis dari Ki
Tutur adalah dalam mengenali Kakek Wiku Salaka. Biarpun sama-sama tuanya, Ki Tutur dapat merasakan
bahwa Kakek Wiku Salaka ini mempunyai beberapa
kelebihan di atas dirinya. Seperti cara Kakek Salaka yang sanggup melemparkan
capingnya sehingga menembus punggung Bogal Respati dan mengakhiri hidupnya. "Akh, sekarang telah mati durjana itu!" ujar Ki Tutur seraya menghela napas. "Si Bogal Respati memang memiliki kepandaian serta
ilmu yang tinggi."
"Agaknya permusuhan Andika dengan Bogal Respati
itu sudah cukup lama," sahut Kakek Wiku Salaka pula. "Seperti yang telah Andika singgung tadi."
"Memang benar, Ki Salaka," jawab Ki Tutur. "Bogal
Respati adalah musuh lamaku. Tapi sebenarnya aku
telah berusaha melupakannya, dan itu adalah peristiwa sedih yang telah melanda keluargaku. Tepatnya
adalah keluarga anakku!"
"Sungguh menarik keterangan Andika tadi. Aku jadi
kepingin tahu, siapakah dia sebenarnya," tanya si Kakek Salaka.
"Dia adalah saudara muda seperguruanku, dan juga sahabat karib anakku laki-laki yang cuma seorang.
Namanya adalah Candrasa. Ia kemudian kawin dengan
gadis dari Bali dan akhirnya inilah pangkal bencana, sebab ternyata Bogal
Respatipun menaruh cinta yang
sama pada Ni Pendet. Perselisihan hebat segera terjadi antara Bogal Respati di
satu pihak melawan Candrasa dan Ni Pendet.
"Perselisihan dan pertarungan telah pecah ketika
Bogal Respati terang-terangan menantang Candrasa
untuk mempertahankan Ni Pendet yang bakal direbutnya. Sangatlah sayang bahwa sesungguhnya pula, Ni
Pendet lebih mencintai Candrasa daripada Bogal Respati. "Hal ini menyebabkan Bogal Respati seperti kehilangan pengamatan dan gagasannya yang sehat, sebab
wanita yang akan direbutnya, kenyataannya tidaklah
begitu mengacuhkannya. Malahan Ni Pendet telah bertekad untuk menghadapi tantangan Bogal Respati bersama suaminya Candrasa.
"Begitulah, pertempuran segera terjadi antara mereka bertiga dengan serunya. Sayang sekali, bahwa
saat itu aku sedang bepergian, sehingga tidak mengetahui kalau di rumah tengah
terjadi satu bencana.
"Tahu-tahu ketika aku tengah dalam perjalanan pulang ke rumah, seorang anak perempuan kecil telah
muncul dari semak belukar dan langsung menubrukku sambil menangis. Rasa kagetku tak terkira sebab
ternyata bahwa anak perempuan tadi adalah cucuku
sendiri, ialah si Tunjung, seperti yang sekarang duduk di sebelahku ini! Dialah
satu-satunya anak dari Candrasa dan Ni Pendet.
"Dia menceriterakan bahwa di rumah telah terjadi
pertempuran seru. Maka sambil memondongnya, aku
berlari cepat-cepat ke rumah.
"Sedihku bukan kepalang! Aku mendapati Candrasa
dan Ni Pendet telah berkaparan mandi darah. Detikdetik itu aku berusaha menolongnya. Mereka masih
dapat berkata-kata dengan suara yang lemah. Diceriterakan bahwa Bogal Respati
telah menantang mereka
untuk bertempur. Namun malang bagi mereka berdua,
sebab Bogal Respati ternyata jauh lebih sakti, apalagi ia telah dijangkiti rasa
marah dan cemburu buta. Maka tak ada pilihan lain bagi Bogal Respati selain
harus merobohkan Candrasa dan Ni Pendet bersama.
"Akhirnya, Candrasa dan istrinya tak dapat kuselamatkan. Mereka tergeletak mati berdampingan dengan mengharukan. Kemudian aku dan cucuku meninggalkan Banyuwangi dan menyeberang ke Pulau
Dewata ini. Si Tunjung kubesarkan dan aku didik sendiri di tengah hutan di sini
hingga menjadi gadis yang tangkas, yang selalu membantuku dalam meng-gembalakan
lebah-lebah putih seperti yang dapat Andika lihat bersarang pada pohon-pohon di sekitar pondokku ini.
"Tiba-tiba pada suatu hari, Bogal Respati muncul
kembali dan bermaksud merampas si Tunjung, karena
wajahnya yang mirip dengan mendiang ibunya Ni Pendet. Agaknya saja secara diam-diam Bogal Respati telah mengintai kami dan
melaksanakan maksudnya,
sampai akhirnya terjadi pertarungan antara diriku melawan Bogal Respati,"
demikian ceritera Ki Tutur yang didengarkan oleh Kakek Wiku Salaka dan lainlainnya dengan perasaan yang mengharukan.
Di langit, awan berarak-arak tertiup angin siang ke arah barat. Dedaunan pada
bergoyang-goyang berge-sekan bagaikan bersenda-gurau dan menari-nari,
menghibur mereka yang lagi berbincang-bincang di
dekat pondok Ki Tutur.
Nah, para pembaca, sampai di sini selesailah seri
Naga Geni "Berakhir di ujung Fajar". Segera menyusul seri Naga Geni berikutnya
yaitu "Laki-laki di Atas Bu-kit", merupakan puncak kisah tragedi di pulau Dewata, yang tak kalah hebat ataupun mengasyikkan dari
yang sudah-sudah. Salam buat pembaca semuanya.
TAMAT

Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** 3 *** 4 *** *** 5 *** *** *** 6 TAMAT Eng Djiauw Ong 8 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kereta Berdarah 11

Cari Blog Ini