Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Bagian 2
"Kita tidak mengenal jalur berbahaya!"suara Siluman Tujuh Nyawa menyentak sambil
hentakkan kakinya ke lantai geladak! Kapal terguncang, beberapa orang yang
berdiri sempat terpelanting jatuh. Kemudian mereka
saling tundukkan kepala dengan rasa takut.
Siluman Tujuh Nyawa ucapkan kata lagi dengan nada
lebih tenang, "Kita juga harus selamatkan Pulau Beliung agar tidak dikuasai oleh siapa pun
kecuali oleh kita sendiri. Di sana sudah ada istana, dan bisa dijadikan pos
pertahanan bagi kita di wilayah barat!"
'"Saya sangat setuju," kata Nakhoda Salju, ia berusaha ambil hati agar tak kena
bentak dan murka sang ketua.
"Untuk itu aku akan tugaskan orang ke sana!"
Kini semua mata pandangi Siluman Tujuh Nyawa.
Masing-masing hati bertanya siapa gerangan yang akan diutus untuk merebut Pusaka
Tombak Maut dan
mempertahankan Pulau Beliung. Mata Siluman Tujuh
Nyawa pun memandangi orang-orangnya satu persatu.
Kejap berikut Siluman Tujuh Nyawa lontarkan kata,
"Aku akan mengutus Doma dan Damu!"
Kedua pengawal kembar itu saling pandang.
Wajahnya tidak kelihatan kecewa atau gembira. Wajah itu wajah kaku dan datar.
Mungkin terbawa sikap orang yang dikawalnya setiap hari itu.
Siluman Tujuh Nyawa melangkahkan kaki menjauhi
dua pemuda kembar yang semula ada di kaan-kirinya.
Setelah itu, Siluman Tujuh Nyawa pan-dangi wajah
kembar itu sambil ucapkan kata,
"Kalian yang kuutus merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan Hantu Laut. Jika
Hantu Laut dan Dadung
Amuk melawan, bantai mereka!"
"Baik, Ketua!" jawab Doma dengan tegas.
"Ingat, jangan sampai keduluan Jangkar Langit atau orang lain. Kalian harus
lebih cepat merebut pusaka itu dari tangan Hantu Laut, dan tetaplah di sana
untuk pertahankan Istana Cambuk Biru! Beri kabar lewat ilmu
'Rambah Angin' jika kalian sudah berhasil kuasai pusaka dan pulau itu! Kami akan
datang memperkuat
pertahanan kalian!"
"Kami paham, Ketua!" jawab Doma lagi dengan sedikit membungkuk.
"Kalian akan kubekali Pusaka Cermin Benggala
Kembar! Pergunakan cermin kembar itu untuk
menghancurleburkan siapa saja yang menghalangi
langkah kalian! Jangan tanggung-tanggung, dan jangan ragu-ragu! Tak boleh ada
lawanmu yang lari dalam
keadaan hidup-hidup. Siapa pun yang halangi kalian
harus dibunuh! Tak ada kenal ampun sedikitpun,
sekalipun terhadap lawan perempuan! Mengerti?"
"Mengerti, Ketua!" jawab Doma dan Damu
bersamaan. Lalu, sepasang pusaka yang dinamakan Cermin
Benggala Kembar diserahkan oleh Siluman Tujuh
Nyawa kepada Doma dan Damu. Cermin itu berupa bola
kaca yang bertangkai satu jengkal warna hitam
tangkainya. Bola kaca itu licin, mulus dan dapat untuk bercermin. Pada bagian
atas tengah bola kaca sebesar satu genggaman tangan orang dewasa itu mempunyai
lubang. Dari lubang itu bisa keluarkan senjata seperti mata tombak yang jika
melesat dan mengenai lawan
akibatnya sangat berbahaya. Cermin Benggala Kembar
itu juga bisa keluarkan sinar maut apabila mendapat saluran tenaga dalam dari
pemegangnya. Dan jika kedua bola kaca itu diadukan, maka bola kaca itu tidak
akan pecah melainkan mengeluarkan cahaya pelangi yang
membias lebar dan jika terkena tubuh lawan, bisa
membuat orang tersebut berubah menjadi patung batu
untuk selama-lamanya.
Semua anak buah Siluman Tujuh Nyawa tahu, bahwa
sang ketua memiliki pusaka-pusaka hebat, satu di
antaranya adalah Cermin Benggala Kembar. Tapi baru
kala itu, saat diserahkan kepada Doma dan Damu,
mereka melihat wujud Pusaka Cermin Benggala
Kembar, yang konon hanya bisa digunakan oleh orang
yang lahir kembar saja.
"Dulu aku anak kembar seperti kalian," kata Siluman Tujuh Nyawa kepada Doma dan
Damu. "Tapi kakakku tewas di tangan gurunya sendiri, dan gurunya segera
tewas di tanganku. Karena aku sudah kehilangan saudara kembarku, maka Cermin
Benggala Kembar ini tak bisa
kugunakan. Hanya bisa kusimpan untuk suatu keperluan di kemudian hari. Dan
ternyata keperluan itu datang juga, kalianlah yang berhak menggunakan Cermin
Benggala Kembar ini!"
"Terima kasih, Ketua," jawab Damu sambil
tundukkan kepala penuh hormat. Siluman Tujuh Nyawa
menyukai sikap hormat itu, hingga kedua bocah kembar itu ditepuk-tepuk
punggungnya seraya Siluman Tujuh
Nyawa ucapkan kata,
"Berangkatlah! Aku percaya kalian pasti akan
berhasil, karena kalian pasti tak ingin pulang
menghadapku untuk serahkan nyawa!"
Kata-kata itu mempunyai arti yang membuat bulu
kuduk merinding. Semua orang-orangnya Siluman Tujuh Nyawa tahu arti kata-kata
tersebut, bahwa Doma dan
Damu harus berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan siapa pun
pemegangnya. Jika mereka tidak
berhasil dan pulang kepada sang ketua, maka sang ketua akan membunuh mereka
berdua. Itu berarti tugas
tersebut taruhannya nyawa mereka.
Sehari setelah keberangkatan Doma dan Damu, kapal
berbendera hitam itu berpapasan dengan perahu berlayar hijau. Perahu itu juga
memakai lambang gambar
tengkorak dengan tujuh mata rantai mengelilingi kepala tengkorak tersebut.
Mereka terkejut, bahkan wajah mereka menjadi
tegang, karena saat itu Nakhoda Salju berseru kepada
orang-orang di geladak.
"Perahu berlayar hijau mendekat! Siapkan semua senjata!"
Anak buahnya segera berkata, "Mengapa siapkan
senjata, Nakhoda" Bukankah perahu itu bersimbol
seperti simbol layar kita" Berarti perahu itu adalah sekutu kita juga, teman
kita juga...!"
Plakkk...! Nakhoda Salju menampar keras wajah anak
buahnya, lalu lontarkan bentak keras, "Bodoh! Itu perahunya Dadung Amuk!"
"Siafa yang datang"!" Sumbing Gerhana cepat muncul dari dalam lambung kapal.
"Dadung Amuk! Perahunya mendekati kita!" seru Nakhoda Salju.
Sumbing Gerhana memandang baik-baik perahu
berlayar hijau itu. Setelah yakin betul bahwa perahu itu adalah perahunya Dadung
Amuk, dan terlihat Dadung
Amuk berdiri di haluan, maka Sumbing Gerhana segera kerahkan anak buahnya untuk
siap-siap melawan
Dadung Amuk. "Cefat amwil senjatamu! Jangan wengong saja!"
bentak Sumbing Gerhana. Orang itu menggeragap dan
cepat-cepat ambil tombak serta perisai di tempatnya.
Kepada bagian urusan senjata Sumbing Gerhana
membentak pula, "Mengafa kamu tidak fegang
senjata"!"
"Saya tidak dapat bagian, Tuan. Kehabisan senjata!"
"Jadi kamu welum dapat senjata?"
"Welum!"
Plokk...! "Jangan ikut-ikutan wicaraku, Setan! Cefat cari senjata afa saja! Lindungi
dirimu dari amukan Dadung Amuk itu!"
"Waik, Tuan!"
Plokk...! "Kuwilang, jangan ikut-ikutan wicaraku! Wisa
kuwunuh kau!"
Dadung Amuk segera melompat ke kapal dengan
hanya satu kali hentakan kecil kakinya. Jleg...! Ia tiba di tepian geladak, tapi
segera dikurung oleh mereka yang sudah siap dengan senjata masing-masing. Dadung
Amuk asli menjadi heran dan pandangi mereka masingmasing dengan tajam. Orang yang mudah tersinggung
itu segera membentak salah satu anak buah Sumbing
Gerhana, "Apa-apaan ini"! Kau pikir aku ini maling"! Pakai dikepung segala"! Ayo
bubar...! Bubar...!"
Tapi tak satu pun ada yang mau bubar. Dadung Amuk
menggeram. "Sumbing Gerhana"! Apa maksudmu menyuruh
orangmu mengepungku, ha"!" Mata Dadung Amuk
mendelik menyeramkan.
"Aku yang wertanggung jawaw atas keamanan di
kafal ini!"
"Aku tahu! Tapi kenapa sikap kalian menyerangku"!"
"Jangan werfura-fura wodoh, Dadung Amuk! Ini
menunjukkan wahwa kami lewih siaf dari fada kamu!
Sewelum kamu wertindak, kami sudah lewih dulu
tangkaf kamu!"
"Tangkaf, tangkaf...! Gundulmu itu yang ditangkaf!"
sentak Dadung Amuk dengan mata makin melotot.
"Bubar semua! Bubar!"
"Tangkaf...!" teriak Sumbing Gerhana.
"Bubar!"
"Tangkaf dulu waru wuwar...!"
Melihat orang-orang pengepung mulai bergerak,
Dadung Amuk cepat meraih tali tambang yang
digantungkan di pundak kirinya. Werrt...! Tali tambang tiga gulungan itu segera
digelar siap disabetkan ke arah siap saja yang bergerak maju.
Orang-orang pengepung itu tahu betul seberapa tinggi ilmunya Dadung Amuk. Mereka
sempat gentar juga
melihat mata Dadung Amuk jelalatan ke mana-mana,
penuh nafsu untuk membunuh siapa pun yang mendekati dirinya. Tapi mereka ngeri
juga jika kena labrak
Sumbing Gerhana yang tidak pernah pandang bulu itu.
Akibatnya, para pengepung hanya bergerak memutar,
memutar, memutar, dan begitu seterusnya sambil siap-siap dengan senjata masingmasing. "Ayo, maju!" bentak Dadung Amuk dalam
ancamannya. "Majulah kalau ada yang ingin pecah kepalanya!"
Mereka terus bergerak memutar setindak demi
setindak, berganti-ganti jurus siaga, berganti-ganti sikap kuda-kuda,
memandangkan matanya penuh keragu-raguan. Sebagian besar para pengepung itu
berharap Sumbing Gerhana batalkan perintah menangkap Dadung
Amuk, sebagian lagi berharap agar sang ketua cepat
menengahi ketegangan itu.
Tapi agaknya Sumbing Gerhana tidak mau mencabut
perintahnya, ia bahkan makin keraskan suaranya yang tak beres dalam
pengucapannya itu,
"Tangkaf...! Cefat tangkaf!"
Salah seorang memberanikan diri segera melompat
dengan satu tebasan golok ke arah pundak Dadung
Amuk. Wuttt...!
Tapi Dadung Amuk lebih cepat gerakan tangannya
menyabetkan tambang sebesar ibu jari kakinya itu, dan tambang tersebut
menghantam tepat di pertengahan
kepala orang tersebut. Plakkk...!
Trakk...! Terdengar suara kepala pecah bagai dihantam dengan
besi baja. Lalu disusul suara berdebam dari jatuhnya tubuh orang itu ke lantai
geladak yang terbuat dari papan tebal itu. Bruakk...!
Semua mata tertuju ke arah orang yang jatuh itu.
Semua mata terkesiap melihat orang itu tak mau
berteriak sedikit pun, hanya menggelepar sebentar untuk kemudian diam tak
bergerak lagi. Kepalanya remuk
tanpa bentuk, bagai semangka jatuh dari pucuk pohon yang paling tinggi.
"Siapa lagi yang mau seperti dia"!" sentak Dadung Amuk sambil mata lebarnya
melirik ke sana-sini dengan buas.
"Jangan takut!" seru Sumbing Gerhana kepada para pengepung. "Serang dia wersamasama! Serwu...!"
"Apa itu serwu?" bisik seseorang.
"Serbu, Goblok!" jawab temannya. Tapi perintah serbu itu tetap hanya sekadar
perintah. Tak satu pun para pengepung yang berani maju satu tindak dari batas
lingkar kepungan. Karena Dadung Amuk mulai putarputarkan tambangnya di atas kepala bagai ingin menjerat seekor banteng liar.
Putaran tambang itu menimbulkan percikan-percikan api di bagian ujung tambang,
pertanda kekuatan tenaga dalam telah siap menggempur lebih
hebat dan lebih dahsyat lagi dari yang tadi.
"Lepaskan tambangmu, atau kau menghadapi aku!"
Suara datar tanpa tekanan itu terdengar jelas. Dadung Amuk segera palingkan
wajah. Ternyata Siluman Tujuh Nyawa telah berdiri di belakangnya, masuk dalam
lingkaran kepungan tersebut, ia berdiri dengan tegak, wajah mudanya yang putih
berbibir biru itu terlihat jelas walau tetap mengenakan kerudung jubah hitam
dari atas kepala sampai kaki. Tongkat Pusaka El Maut ada di
tangan kanannya, berdiri sebatas tinggi tubuh
pemegangnya. Melihat kemunculan sang ketua, Dadung Amuk
surutkan kemarahannya, ia tak berani menentang wajah beku itu. Tambangnya pun
berhenti berputar, tapi masih dalam genggamannya. Kebuasan sorot pandangan
matanya pun redup, bagai lilin tertiup badai.
"Kataku tadi, lepaskan tambangmu atau kau hadapi aku!" ulang sang ketua tetap
dengan nada dingin.
Dadang Amuk belum melepaskan tambang, tapi
sudah kendor pegangannya. Mulutnya sulit untuk
mengucapkan sesuatu di dapan sang ketua. Sinar mata dingin dari sang ketua
bagaikan membekukan darahnya, membuat kejang urat-urat di mulutnya. Lidah pun
terasa sangat kaku, sulit untuk digerakkan.
Kejap berikutnya, Dadung Amuk tersentak kaget.
Sang ketua melompat ke arahnya begitu cepat. Bergerak mengelilinginya bagai
kilasan cahaya petir. Wu wu wu wu wuttt...!
Sang ketua segera kembali ke tempatnya tanpa napas
terengah. Tetap tenang dan dingin. Tetapi tubuh Dadung Amuk telah terjerat
tambangnya sendiri. Tambang itu melilit dan mengikat kedua tangannya sehingga
tak bisa digerakkan lagi. Bahkan kedua kakinya pun jadi merapat dan terikat
kuat. Bukan hanya Dadung Amuk yang terbengong
melompong dalam keheranan yang amat tinggi, tetapi
para pengepung, termasuk Sumbing Gerhana dan
Nakhoda Salju, juga tertegun bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Nakhoda Salju membatin di
hatinya, "Edan betul! Begitu cepat gerakan sang ketua. Tak sempat aku berkedip dua kali,
tahu-tahu tubuh Dadung Amuk sudah terikat tak bisa bergerak sedikit pun!
Sungguh merupakan gerakan tercepat dari seluruh
gerakan manusia yang pernah kulihat!"
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dadung Amuk gemetar setelah mengetahui tubuhnya
telah terikat. Wajah buasnya menjadi pucat bagai
selembar kertas putih. Karena ketika ia mencoba untuk bergerak melepaskan
tambang pengikat dengan
hentakkan tenaga dalamnya, ternyata tambang itu tak bergeming dari tempatnya.
Tambang itu mengikat
sekujur tubuh bagai ingin menembus kulit dan
dagingnya. "Apa salahku, sang Ketua" Mengapa aku diikat
begini"!"
Sang ketua tidak menjawab, tapi justru memerintah
kepada Sumbing Gerhana,
"Siapkan tali gantungan!"
"Waik, Ketua," jawab Sumbing Gerhana, lalu cepat-cepat ia perintahkan kepada
anak buahnya untuk
menyiapkan tali gantungan.
Dadung Amuk makin tersentak kaget. Kakinya
gemetaran sehingga mulutnya tak bisa dipakai bicara dengan lancar.
"Ap... ap... ap... apa salah... saa... saya..." Meng...
mengapa saya mau di... di... digantung" Sssa... saya...
saya tidak bersalah apa-apa. Kal... ka lau... kalau memang saya ada salah, mohon
di... di. diadili secara adil!"
"Pengadilanku hanya ada di atas tiang gantungan!"
kata sang ketua dengan cepat dan tegas. Lalu segera perintahkan kepada para
pengepung yang masih
melingkari Dadung Amuk,
"Seret dia!"
"Ketua...!" teriak Dadung Amuk, tapi tubuhnya sudah lebih dulu rubuh didorong
tiga pengepung, kemudian
tubuh itu diseret ramai-ramai mendekati tali gantungan yang sudah disiapkan.
Tali gantungan yang sudah biasa
untuk menggantung orang itu berada di atas sebuah
kotak papan. Kotak papan itu mempunyai penutup yang sewaktu-waktu bisa terbuka
turun ke bawah jika besi pengaitnya disentakkan ke bawah. Dengan begitu orang
yang berdiri di atasnya akan tergantung karena tidak mempunyai lantai berpijak
lagi. Di atas peti penggantungan, di bawah tali gantungan, Dadung Amuk masih mencoba
membela dirinya dengan
berkata, "Ketua, saya... saya memang belum mendapatkan
Kitab Wedar Kesuma itu dan... dan memang belum
membunuh Suto Sinting. Tapi... tapi saya sudah tahu di mana adanya kitab itu!
Saya sudah tahu, siapa orang yang bernama Suto Sinting itu! Tugas akan saya
jalankan secepatnya setelah saya minta izin kepada
Ketua untuk mencegatnya ke Pulau Serindu!"
Tali gantungan segera dikalungkan dileher Dadung
Amuk. Namun masih saja Dadung Amuk membela diri
dengan suara ngotot.
"Saya bukan tidak mampu menjalankan tugas yang diberikan oleh Ketua. Saya cuma
mau minta izin dulu dalam menentukan langkah saya. Jadi, mohon Ketua
tidak gegabah dalam mengadili saya. Saya...."
"Tutup mulutmu!" bentak sang ketua, dan Dadung Amuk diam seketika bagaikan suara
jangkrik terinjak kaki manusia.
"Sayang sekali Hantu Laut tidak ikut menyaksikan penggantungan ini. Kalau Hantu
Laut ikut saksikan
hukumanmu ini, maka dia akan berpikir dua kali untuk
mencoba melawanku!"
"Saya... saya tidak tahu maksud kata-kata ketua. Saya tidak tahu tentang Hantu
Laut, dan...!"
Jrekk...! Sang ketua sentakkan besi pengait kebawah.
Lantai yang diinjak Dadung Amuk itu terbuka. Kaki
Dadung Amuk tidak mendapatkan tempat berpijak,
sedangkan tali yang melingkar di lehernya itu tersentak membentuk jeratan yang
amat kuat. Kaki Dadung Amuk
menggelinjang-gelinjang beberapa saat, setelah itu diam tak bergerak lagi dengan
mulut sedikit terbuka dan lidah terjulur keluar. Dadung Amuk mati di tiang
gantungan karena wajahnya mirip dengan Singo Bodong yang
pongah, lugu, dan tidak mempunyai ilmu apa-apa itu.
* * * 5 ORANG pertama yang melesat menuju Pulau
Beliung bertolak dari kapal Siluman Tujuh Nyawa
adalah Dayang Kesumat. Perempuan cantik jelita itu
mengarungi samudera lepas dengan mengendarai
sebatang pelepah daun kelapa. Jika bukan orang berilmu tinggi, hal itu sangat
tidak mungkin bisa dilakukan.
Pelepah daun kelapa itu bergerak dengan cepat. Baju jubah sutera warna biru
transparan itu berkelebat-kelebat menyingkap bagai selembar bendera indah, atau
bagai sayap kupu-kupu cantik. Hal itu sangat mengagumkan
bagi orang yang melihatnya. Apalagi pelepah daun
kelapa itu membawa sosok perempuan cantik yang
wajah dan potongan tubuhnya menggiurkan setiap lelaki.
Dan laki-laki yang terkesima dan kagum dengan
keindahan itu berada di sebuah kapal berbendera naga warna merah. Kapal itu sama
besarnya dengan kapal
Siluman Tujuh Nyawa, tetapi hanya mempunyai dua
tiang layar. Setiap satu tiang layar mempunyai dua
lembar layar dengan warna putih kusam. Di atas layar-layar itulah terpancang dua
bendera merah bergambar naga. Itulah kapal yang dikenal oleh tokoh rimba
persilatan sebagai Kapal Bajak Naga.
Kapal itu dipimpin oleh seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh tahun
dengan rambut abu-abu tanpa ikat kepala. Rambut itu pendek dan lurus lemas.
Orang itu berpakaian serba hitam, badannya sedang, matanya lebar, kumisnya turun
sampai ke dagu. Orang itulah
yang dikenal dengan julukan si Tua Rakus.
Di antara jajaran tokoh tua rimba persilatan, nama
Tua Rakus sudah bukan hal asing lagi bagi mereka. Dia tokoh yang paling
menyebalkan. Matanya hanya satu,
yang kiri ditutup dengan sesobek kulit warna hitam. Tapi matanya yang masih utuh
itu sangat liar dan rakus jika melihat harta, wanita, dan kejayaan. Tua Rakus
punya sifat iri yang berlebihan, sehingga dalam memimpin
rombongan bajak laut itu, Tua Rakus selalu berusaha untuk lebih kondang dari
Siluman Tujuh Nyawa.
Pelayarannya dan keganasannya hanya semata-mata
untuk mencari nama, agar ia lebih dikenal dan lebih ditakuti dari Siluman Tujuh
Nyawa. Wilayah jelajahnya meliputi perairan laut timur tanah
Jawa. Tetapi kali ini agaknya ia sengaja berlayar di perairan laut utara. Sejak
berusia enam belas tahun, si Tua Rakus sudah mempunyai kesenangan memperkosa
perempuan. Sampai seusia sekarang, kegemaran itu
masih berkelanjutan. Cukup banyak perempuan di
wilayah timur yang menjadi korban keganasan nafsu si Tua Rakus itu. Dan agaknya
ia sedang melarikan diri dari kejaran dendam seseorang yang merasa dirugikan
oleh kegemaran memperkosa nya itu.
Bukan hal aneh lagi jika si Tua Rakus tak mau
kedipkan matanya ketika melihat Dayang Kesumat
melesat di atas belarak, atau pelepah daun kelapa kering.
Bukan ketinggian ilmu Dayang Kesumat yang menjadi
pusat perhatian si Tua Rakus, melainkan kecantikan dan bentuk tubuh Dayang
Kesumat yang membuat mata si
Tua Rakus lupa berkedip. Bahkan lidahnya beberapa kali menyapu bibirnya yang
sudah mulai dihinggapi keriput pada bagian sudut dan tepiannya.
"Waduuuk...!" serunya memanggil sang anak buah.
Orang kurus yang berjuluk Waduk Kebo itu cepat
menyahut dari samping haluan dan segera berlari
menghadap si Tua Rakus.
"Saya di sini, Yang Mulia!"
"Waduk, coba kau perhatikan perempuan yang
melintas di sebelah sana itu! Apakah menurutmu dia
cantik"!"
"Cantik, Yang Mulia!" jawab Waduk Kebo dengan cepat.
Si Tua Rakus mendorong kepala Waduk Kebo
dengan keras sambil sentakkan kata, "Dilihat dulu baru dijawab...!"
Waduk Kebo tersentak kepalanya, kemudian ia
sipitkan matanya ke arah yang dituding Tua Rakus,
setelah itu dia menjawab ulang,
"Cantik, Yang Mulia!"
"Menggairahkan?"
"Sangat menggairahkan, Yang Mulia!"
"Bagus! Kalau begitu, panggil dia supaya kemari!"
perintah si Tua Rakus.
Waduk Kebo cepat berdiri dengan kaki merapat.
Matanya terpejam, kedua tangannya bersidekap di dada.
Cukup lama Waduk Kebo mengheningkan cipta. Tua
Rakus menunggu dengan rasa tak sabar, hingga ia
terpaksa berjalan mondar-mandir di belakang Waduk
Kebo. Dayang Kesumat bukan tidak tahu ada kapal di
dekatnya. Ia sangat paham, kapal itu adalah Kapal Bajak Naga yang diketuai oleh
si Tua Rakus. Tapi Dayang
Kesumat tidak mau mengusik kapal itu. Ia lebih
mementingkan diri untuk cepat temui Dadung Amuk di
Pulau Beliung, ia tidak tahu bahwa Dadung Amuk yang asli sudah mati digantung
sang ketua. Laju pelepah daun kelapa itu terasa tersendat-sendat.
Dayang Kesumat mulai curiga, ia semakin kerahkan
ilmu 'Lancang Bumi', yaitu ilmu yang mendorong
telapak kakinya untuk bergerak sendiri dengan satu
dorongan kuat. Tetapi ilmu 'Lancang Bumi" itu bagaikan tidak berguna lagi. Laju
pelepah daun kelapa justru
terhenti, bahkan sekarang bergerak mundur, dari lambat makin lama makin cepat.
"Setan alas! Pasti orang-orang di Kapal Bajak Naga itu yang menggangguku dengan
menggunakan ilmu
'Rantai Batin'!"
Dayang Kesumat bergerak mundur. Tapi ia segera
pejamkan mata dengan menarik napas dalam-dalam dan
menahannya. Kedua tangannya menggenggam kuatkuat. Gerakan mundurnya terhenti, tapi tak bisa maju lagi. Sepertinya telah
terjadi saling tarik-menarik melalui kekuatan batin yang membuat tubuh Dayang
Kesumat tak bisa bergerak. Waduk Kebo menarik ke belakang,
Dayang Kesumat mendorong diri agar maju ke depan.
Makin lama sikap berdiri Waduk Kebo makin
bergeser maju. Telapak kakinya yang merapat di lantai geladak itu bagaikan
terseret maju sedikit demi sedikit.
Si Tua Rakus terkesiap ketika melihat keadaan Waduk Kebo. Bahkan semakin lama
tubuh Waduk Kebo
semakin mendekati pagar pembatas geladak.
Dayang Kesumat tetap pejamkan matanya dengan
kedua tangan menggenggam kuat di samping kanan-kiri.
Ia membelakangi Kapal Bajak Naga. Ia berusaha
bertahan diri agar tidak tertarik oleh kekuatan ilmu
'Rantai Batin'.
Pagar pembatas geladak terbuat dari kayu jati. Kayu itu retak ketika tubuh Waduk
Kebo semakin terseret ke depan dan menekan kayu pagar. Hampir saja tubuhnya
terjungkal ke lautan jika ia tidak segera kembangkan tangannya. Tangan yang
semula bersidekap di dada itu
kali ini dilepaskan, lalu keduanya menghadap ke depan dengan telapak tangan
terbuka. Kedua tangan itu
gemetar dan bergerak ke belakang sedikit demi sedikit.
Keringat Waduk Kebo mulai bercucuran di bagian
kening, pelipis, dan lehernya.
Pada saat itu, Dayang Kesumat semakin tertarik ke
belakang dalam keadaan mundur. Makin lama makin
dekat dengan lambung kapal. Menyadari kekuatan
'Lancang Bumi'-nya kalah dengan kekuatan 'Rantai
Batin' milik lawan, Dayang Kesumat cepat sentakkan
ujung jempol kakinya ke pelepah daun kelapa, dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke
atas dengan bersalto dua kali. Wuhgg...! Wuhhg...! Jlegg.....I
Dayang Kesumat hinggap di kedua pundak Waduk
Kebo. Lalu, dengan sentakan keras tangannya
menghantam ubun-ubun Waduk Kebo. Bett...! Waduk
Kebo cepat menadahkan satu tangannya ke kepala.
Tapp...! Pukulan Dayang Kesumat ditangkap cepat oleh
Waduk Kebo, lalu tangan itu disentakkan ke atas dan Dayang Kesumat bagaikan
terpental naik. Tapi
perempuan itu dengan lincahnya berjungkir balik di
udara dua kali, tahu-tahu hinggap di lantai bawah tiang layar.
Jlegg...! Para anak buah si Tua Rakus terkagum-kagum
melihat gerakan lincah dan kekuatan batin perempuan cantik itu. Tapi mereka
merasa lega setelah melihat jelas bahwa Waduk Kebo bisa mengatasi perlawanan
yang diberikan oleh Dayang Kesumat.
"Cukup hebat pula ilmumu, Nona manis," sapa si Tua Rakus, ia tersenyum penuh
rasa bangga, karena Waduk Kebo, anak buahnya, mampu mengalahkan kekuatan
batin Dayang Kesumat. Bahkan si Tua Rakus tambahkan kata,
"Tapi betapapun hebatnya ilmumu, tak akan bisa mengalahkan kekuatan yang ada
pada anak buahku yang satu itu!"
Si Tua Rakus memuji sekaligus membanggakan
Waduk Kebo. Tapi pada saat ia menuding Waduk Kebo
dalam pujiannya, tiba-tiba mata si Tua Rakus terkesiap melihat Waduk Kebo jatuh
berlutut. Kepalanya
tertunduk, tangannya terjuntai lemas. Dan orang-orang kapal yang ada di
sekelilingnya juga terkejut melihat Waduk Kebo tertunduk, jatuh berlutut dalam
keadaan badan tetap tegak.
"Kenapa dia?" tanya si Tua Rakus.
Salah seorang dari mereka yang berkerumun
menjawab, "Mungkin mengantuk!"
Memang keadaan Waduk Kebo seperti orang
mengantuk. Tunduknya kepala dengan terkulai lemas,
juga kedua tangannya yang bagai tak bertulang lagi itu.
Tetapi mata si Tua Rakus segera menyipit curiga. Ia melihat ada kepulan asap di
kedua pundak Waduk Kebo.
Cepat-cepat ia memeriksa pundak itu dengan membuka
sebagian baju Waduk Kebo.
"Jahanam...!" si Tua Rakus menggeramkan suara dengan mata terbelalak lebar, ia
melihat kulit pundak
kanan-kiri Waduk Kebo itu melepuh biru. Bagian
tengahnya sedikit mengeluarkan busa yang berasap.
Tiba-tiba tubuh Waduk Kebo itu rubuh ke depan.
Brukk...! Semua orang yang memandang segera
sentakkan badan mundur ke belakang. Waduk Kebo
terkulai tak berkutik. Si Tua Rakus semakin belalakkan mata dengan dahi berkerut
kuat. Lalu, ia cepat berdiri dan palingkan wajah beringasnya setelah memeriksa
sebentar keadaan Waduk Kebo. Dengan suara berat ia
ucapkan kata yang membuat semua orang di kapal itu
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergumam serempak,
"Kau telah membunuh Waduk Kebo...!"
"Hahhh...!" seru semua orang serempak.
Suara mereka berubah saling kasak-kusuk dan
bergemuruh seperti sejuta lebah. Si Tua Rakus serukan kata keras-keras,
"Perempuan Iblis kau rupanya, hah"!"
Seruan itu membuat suara gemuruh diam seketika.
Sepi tercipta selama tiga helaan napas. Dayang Kesumat sunggingkan senyum sinis
kepada si Tua Rakus yang
memancarkan kemarahan besar. Lalu dengan suaranya
yang tenang, Dayang Kesumat ucapkan kata,
"Aku tahu, Waduk Kebo adalah anak mas bagimu,
olang unggulanmu dalam soal memanggil pelempuan!
Waduk Kebo adalah tangan kananmu dalam hal
menjinakkan pelempuan. Dia punya segudang ilmu pelet dan penyilep sukma,
sehingga setiap pelempuan mau
tunduk padamu dan mau melayani nafsumu. Tapi jangan samakan aku dengan kolbankolbanmu, Tua Lakus! Kau
salah alamat jika ingin mempelkosaku, seperti kau
mempelkosa pelempuan-pelempuan lainnya!"
Diam-diam si Tua Rakus membatin, "Aneh betul
perempuan ini! Dia tahu namaku! Dia juga tahu nama
Waduk Kebo dan jabatannya. Dia juga tahu bahwa
selama ini Waduk Kebo-lah yang bertugas menjinakkan perempuan yang ingin
kutiduri! Siapa dia sebenarnya"
Aku merasa belum pernah melihatnya"! Bertemu pun
rasanya baru kali ini!"
Dua orang ingin membuktikan kebenaran kata-kata si
Tua Rakus tentang kematian Waduk Kebo itu. Mereka
lalu memeriksanya. Salah satu ada yang menyentuh busa di tengah luka memar
membiru itu. Tiba-tiba orang
tersebut memekik kesakitan. Jari telunjuknya melepuh.
Orang itu melompat-lompat seperti tersundut api yang amat panas. Bahkan ketika
diperiksa oleh si Tua Rakus, ternyata jari telunjuk orang itu menjadi hitam,
membusuk pada bagian ujungnya. Cepat sekali gerakan busuknya itu, sehingga dalam
beberapa kejap jari itu putus dalam satu ruas. Pluk...! Jatuh di lantai geladak,
membuat semua mata yang memandangnya tersentak
lebar-lebar. Si Tua Rakus merasa semakin dilecehkan dengan
kejadian itu. Ia cepat pandangi Dayang Kesumat dan
menggeram kata,
"Rupanya kau murid dari si Jejak Setan! Aku tahu, hanya si Jejak Setan yang
mempunyai ilmu beracun
seperti ini, yang dinamakan jurus 'Tapak Peri'!"
"Aku Dayang Kesumat, bukan mulid si Jejak Setan!"
"Bohong! Kau pasti murid si Jejak Setan!" bentak si Tua Rakus.
"Jejak Setan sudah mati dalam peltalungan dengan Swaladipa!" kata Dayang
Kesumat. Makin berkerut-kerut dahi si Tua Rakus mendengar
perempuan muda yang cantik jelita itu mengenal nama Swaladipa, penguasa Tanjung
Keramat itu. Hanya
tokoh-tokoh tua saja yang mengenal nama Swaladipa.
"Jadi, murid siapa perempuan cantik menggairahkan itu?" pikir Tua Rakus dalam
ketermenungannya.
"Persetan murid siapa kau sebenarnya, yang jelas kau telah berhutang nyawa
kepadaku atas kematian anak
buahku ini!"
"Siapa yang mengawali pelsoalan ini" Kau yang bikin pelkafa lebih dulu! Pasti
kau yang suluh Waduk Kebo untuk menalik diliku!"
"Aku hanya ingin mengajakmu bersenang-senang di atas kapal ini! Bukan untuk
maksud jahat!" sangkal Tua Rakus.
"Belsenang-senang sambil mempelkosaku?"
"Kalau kau bersedia, aku tidak keberatan!"
"Galilah celmin dan mengacalah. Tua Lakus!" ejek Dayang Kesumat. "Aku masih bisa
cali hibulan dan kehangatan dali plia yang muda dan lebih tampan lagi dali
cecongolmu!"
Seorang berpakaian merah dengan kumis melintang
tebal membentak Dayang Kesumat.
"Hei, bicara yang sopan dengan Yang Mulia! Jangan seenak bacotmu saja!"
Dayang Kesumat hanya sunggingkan senyum tipis
dan sinis, ia segera ucapkan kata, "Jangan coba-coba menghaldikku, Laja Tebas!
Jika Waduk Kebo saja bisa kubunuh secepat itu, apalagi kamu. Aku tahu, ilmumu
masih di bawah Waduk Kebo, Laja Tebas! Kau hanya
unggul di pelmainan pedangmu saja! Tapi ilmu tenaga dalammu masih nol!"
"Setan kurap!" geram Raja Tebas. Cepat-cepat ia mencabut pedangnya untuk menebas
kepala Dayang Kesumat. Tapi, Tua Rakus angkat tangannya tanda
melarang Raja Tebas menyerang Dayang Kesumat.
Dalam hati Tua Rakus pun berkata, "Aneh sekali. Dia juga tahu nama Raja Tebas
dan kekuatannya dalam
bermain pedang. Dia bisa mengerti seberapa tinggi ilmu Raja Tebas dibandingkan
Waduk Kebo! Siapa
perempuan ini sebenarnya" Aku benar-benar tak bisa
menerkanya!"
Terdengar Dayang Kesumat bicara dengan Tua
Rakus, "Jika kau memang punya niat mau pelkosa aku, sebaiknya batalkan saja
niatmu itu, Tua Lakus. Bialkan aku teluskan peljalanan. Jangan bikin pelsoalan
denganku. Nanti anak buahmu habis di tanganku!"
"Tidak bisa! Kau harus menebus nyawa Waduk Kebo dengan menyerahkan kemesraanmu
dua malam bersamaku di kapal ini!"
"Aku kebelatan!"
"Aku tidak peduli! Tinggal pilih, kau layani aku di kapal ini dua malam atau kau
mati di tanganku?"
"Kupilih, kau yang mati di tanganku, Tua Lakus!"
"Keparat!" geram Tua Rakus sambil menggeletakkan giginya. Lalu, ia keluarkan
perintah kepada anak
buahnya, "Serang dia...! Bunuh!"
"Heaaa...!" Mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan melompat menyerang
Dayang Kesumat.
Wuurrr...! Dayang Kesumat segera lompat dengan berpegangan
pada seutas tambang layar yang menggantung. Dengan
tambang itu, ia laksana terbang di atas kepala orang-orang yang menyerangnya
secara bersamaan.
Dalam keadaan melayang begitu, Dayang Kesumat
kelebatkan tangannya seperti orang menaburkan sesuatu dengan cepat. Lalu dari
tangan itu keluarlah ratusan ekor kunang-kunang. Kunang-kunang itu jatuh dan
hinggap di kepala mereka, sehingga kepala mereka menjadi
berpijar-pijar nyala hijau kekuningan. Mereka seperti memakai mahkota, dan
kelihatan indah. Namun
beberapa kejap berikutnya mereka saling menjerit,
berteriak kesakitan, bahkan saling berguling-gulingan di lantai geladak.
Ratusan kunang-kunang itu meresap masuk di kepala
mereka bagai bersarang ke dalam kepala. Setiap satu kepala, jumlahnya lebih dari
lima puluh kunang-kunang.
Dan kepala mereka menjadi bengkak, kulitnya bergerak-gerak bagaikan ada binatang
yang saling berdesak
menggerogoti apa saja yang ditemukan di dalam kepala itu. Mereka menggelepargelepar dalam tujuh hitungan, kemudian mengejang dan selanjutnya terkulai lemas
tak berkutik lagi. Mereka mati dengan kepala bagian dalam
bagaikan digerogoti binatang aneh itu.
Dayang Kesumat sudah berdiri di atas atap barak. Ia menyaksikan mereka yang
meregang nyawa dengan
senyum sinis kemenangan. Sebagian dari mereka,
termasuk Tua Rakus, cepat melarikan diri masuk ke
dalam barak, atau bersembunyi di dalam tong-tong kayu.
Mereka yang bersembunyi, lolos dari maut. Raja Tebas dan beberapa orang yang
ilmunya sejajar dengannya,
juga lolos dari maut.
Mereka yang sempat mendengar Tua Rakus berteriak,
"Awaaas...! Racun Mahkota...!" segera cepat mengerti adanya bahaya. Tapi bagi
yang tidak mendengar, tidak mengerti adanya bahaya maut yang tak bisa ditangkis
kecuali dihindari dengan cara sembunyikan kepala.
Sebab, Tua Rakus tahu, bahwa jurus ilmu 'Racun
Mahkota' berbentuk ratusan bahkan bisa ribuan kunang-kunang yang hinggap di
kepala dan memakan habis isi kepala orang yang dihinggapi. Tapi Tua Rakus sama
sekali tidak menduga bahwa Dayang Kesumat juga
mempunyai jurus 'Racun Mahkota', yang sebenarnya
hanya dimiliki oleh seorang tokoh sakti yang berjuluk Permeswari Bayangan.
Lebih dari lima belas anak buah Tua Rakus tergeletak mati dengan kepala keropos.
Tua Rakus semakin murka kepada Dayang Kesumat, tapi ia tak mau gegabah
menyerang, ia hadapi kembali Dayang Kesumat dan
cepat berseru dalam suara marahnya,
"Perempuan liar...! Rupanya kau memang bukan
murid si Jejak Setan, tapi murid Permeswari Bayangan!
Karena aku tahu, jurus 'Racun Mahkota' hanya dia yang memilikinya!"
"Pelmeswali Bayangan telah dilobohkan oleh Ki
Gendeng Sekalat, penguasa Pulau Mayat itu!"
"Hah..."!" Tua Rakus terkejut. "Kau kenal pula dengan Ki Gendeng Sekarat yang
menguasai Pulau
Mayat itu"!"
Bibir indah itu hanya sunggingkan senyum sinis dan
berkesan angkuh. Lalu, ia ucapkan kata sombongnya.
"Aku sangat kenal dengannya, kalena aku masih
punya ulusan yang belum selesai dengan Ki Gendeng
Sekalat itu! Tak lama lagi, dia pun akan mati di
tanganku, semudah aku membunuhmu, Tua Lakus!"
Tiba-tiba Dayang Kesumat terdiam, matanya
memandang tajam ke mata kanan Tua Rakus. Pandangan
mata itu jelas beraliran tenaga dalam, seperti kala dilakukan terhadap Siluman
Tujuh Nyawa. Dayang
Kesumat ingin robohkan Tua Rakus lewat kekuatan
matanya, tapi tiba-tiba ia tersentak mundur. Tua Rakus buka mata kirinya yang
tertutup kulit hitam itu, dan mata kiri itu memancarkan sinar biru dengan cepat.
Zuttt...! Arahnya ke bola mata kanan Dayang Kesumat. Tapi
Dayang Kesumat segera sadar bahwa lawannya
menggunakan kekuatan ilmu 'Sinar Naga Birawa'. Maka, cepat ia melesat ke atas
untuk menghindari sinar biru dari lubang mata yang bolong tanpa bola mata itu.
Wuttt...! Jebbb...!
Gerakannya kurang cepat. Sinar biru dari lubang mata yang sejak tadi tertutup
itu mengenai lambung Dayang
Kesumat. Tubuh itu pun terpental jatuh dari atap barak.
Dayang Kesumat segera menarik napasnya dengan
cemas. Ternyata mulai terasa panas di bagian perut dan dadanya. Itu pertanda
kekuatan daya hancur dari sinar biru itu mulai bekerja.
"Bisa mati kalau tidak segera kuobati sendiri!" pikir Dayang Kesumat setelah
menyadari bahaya yang dapat
merenggut nyawanya dalam waktu singkat itu. Maka,
tanpa ragu-ragu lagi, Dayang Kesumat cepat melompat dan meceburkan diri ke laut.
Brasss...! Ia jatuh di atas pelepah daun kelapa yang menjadi
kendaraannya itu. Maka secepat kilat ia sentakkan
tenaga dari ilmu 'Lancang Bumi'. Pelepah daun kelapa kering itu bergerak dengan
cepat membawa lari Dayang Kesumat yang menderita luka cukup parah itu.
Sekalipun Tua Rakus mempunyai jurus handal yang
dinamakan 'Sinar Naga Birawa' itu, tetapi ia tidak bisa mengejar Dayang Kesumat.
Karena tenaga dalam
Dayang Kesumat yang dilancarkan melalui pandangan
matanya itu telah membuat Tua Rakus keluarkan darah hitam dan mulut dan
hidungnya, sekejap setelah Dayang Kesumat melarikan diri.
Raja Tebas cepat membawa masuk Tua Rakus ke
kamar dan memanggil Wisoguno, tabib unggulan
rombongan Kapal Bajak Naga itu. Tapi bisakah
Wisoguno sembuhkan Tua Rakus jika tenaga dalam
Dayang Kesumat itu telah menghanguskan paru-paru
Tua Rakus"
* * * 6 GELOMBANG lautan cukup tenang, walau
bergulung-gulung namun tidak sampai segunung. Di atas sebuah perahu berlayar
satu, tapi mempunyai dua barak, yaitu di buritan dan haluan, tiga penumpangnya
terasa nyaman menikmati pelayaran tersebut. Ketiga orang itu adalah murid
sinting si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting, atau yang dikenal dengan julukan
Pendekar Mabuk, kemudian utusan dari Pulau Serindu yang
pernah mendapat kehormatan dan gelar Duta Terpuji
dari Ratu Kartika Wangi, dan orang itu dikenal dengan nama Dewa Racun. Bertubuh
kerdil tapi berjiwa besar.
Dan, satu lagi penumpang perahu itu yang bertubuh
gemuk, besar, berkepala gundul mengkilap, bermata
besar dengan hidung bulat dan perut buncit yang tidak pernah mau pakai baju,
yaitu Hantu Laut. Orang agak budek ini, adalah bekas anak buah Siluman Tujuh
Nyawa. Dialah yang menimbulkan banyak korban sejak
berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan
nakhoda Kapal Neraka, yaitu Tapak Baja. Dialah yang membunuh Tapak Baja sendiri
dan mengobrak-abrik
Pulau Beliung dengan Pusaka Tombak Maut itu. Tetapi, pada akhirnya ia
ditaklukkan oleh Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk yang ke mana-mana selalu membawa
bumbung tempat tuak di punggungnya. Tombak pusaka
itu sirna begitu saja setelah Suto menerjang Hantu Laut dengan menggunakan jurus
tuak yang bernama jurus
'Sembur Siluman'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa
Kepala" dan "Pusaka Tombak Maut").
Hantu Laut ditaklukkan Pendekar Mabuk, dan kini
justru menjadi pelayannya Suto, yang siap membantu
dalam perjalanan laut. Karena Hantu Laut memang lebih menguasai tentang kelautan
ketimbang Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.
Sedangkan Singo Bodong, orang yang selama ini
digembar-gemborkan sebagai kembarannya Dadung
Amuk, lebih memilih tinggal di Pulau Beliung, karena Ratu Pekat ingin mengangkat
Singo Bodong sebagai
muridnya. Singo Bodong yang polos dan tidak
mempunyai ilmu kanuragan sedikit pun itu, merasa lebih senang mendapat ilmu dan
menjadi muridnya Ratu
Pekat, ketimbang mengikuti Pendekar Mabuk ke Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu, tanpa ada kepastian kapan ia akan bisa menjadi
seorang pendekar. Singo
Bodong memang sangat berkeinginan untuk menjadi
seorang pendekar seperti Suto Sinting.
Karena di Pulau Beliung ada Hantu Laut yang
mengamuk dengan Pusaka Tombak Maut, dan ada Singo
Bodong yang mirip Dadung Amuk, maka Tabib Akhirat
memberi kabar yang salah tentang Dadung Amuk. Itu
sebabnya, Siluman Tujuh Nyawa menggantung Dadung
Amuk karena dianggap akan menggulingkan kekuasaan
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan memberontak bersama Hantu Laut.
Sejak Hantu Laut tidak lagi memiliki Pusaka Tombak
Maut, niatnya untuk memberontak dan mengalahkan
Siluman Tujuh Nyawa menjadi batal. Bahkan ia selalu dibayang-bayangi perasaan
takut bertemu dengan
Siluman Tujuh Nyawa. Merasa dirinya berilmu tak
seberapa tinggi dibandingkan orang-orang utusan dan sekutunya Siluman Tujuh
Nyawa, Hantu Laut sering
berada tak jauh dari Pendekar Mabuk. Maksudnya, jika sekali waktu ia bertemu
dengan orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka Suto Sinting pasti akan membelanya.
Pelayaran yang tenang dan damai itu tiba-tiba saja
dikejutkan oleh teriakan Hantu Laut yang melompat
tinggalkan haluan.
"Dadung Amuk...! Dadung Amuk datang...!" Ia buru-buru mendekati Suto yang sedang
berbincang-bincang
dengan Dewa Racun di bagian buritan. Mata Hantu Laut menjadi tegang, napasnya
terengah-engah, dan ia
kembali sebutkan,
"Daung, eh... Dadung...! Dadung Amuk datang!"
"Mana dia?" tanya Suto sambil memandang
sekelilingnya, ia tak melihat ada perahu atau kapal mendekat.
"Mana Dadung Amuk"!" tanya Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Ada... ada di haluan. Di bawah sana...!"
Dewa Racun cepat sentakkan kakinya dan melesat
pindah tempat ke haluan. Ketika ia menengok ke bawah, ke perairan yang biru
bening itu, matanya terkesiap sekejap. Suto Sinting pun segera datang
mendekatinya. "Mayat...!" gumam Pendekar Mabuk, ia menatap mayat Dadung Amuk yang habis
digantung dibuang
begitu saja oleh Siluman Tujuh Nyawa. Wajahnya masih tampak membuka mulut dan
menjulurkan lidah.
Matanya putih. Tubuhnya masih terikat tali tambangnya sendiri. Mayat itu belum
membusuk dan masih tampak
segar. Dewa Racun picingkan mata menatapi mayat yang
mengambang itu. Lalu, ia berkata dengan suara
gagapnya, "Sep... sep... sepertinya dia mati digantung. Ad... ada bekas jerat tali memerah
di lehernya!"
"Ya. Dia mati digantung," jawab Suto. "Tapi oleh siapa dan mengapa dia
digantung?"
"Apakah dia benar-benar sudah mati?" tanya Hantu Laut.
"Sudah!"
"Matinya dengan meludah"!" Hantu Laut salah dengar.
"Sudah...!" suara Suto diperkeras, barulah Hantu Laut paham maksud Pendekar
Mabuk itu. "Meng... meng... meng... mengapa kau takut kepada Dadung Amuk" Bukankah waktu
Singo Bodong kau
anggap Dadung Amuk, kau bilang bahwa Dadung Amuk
orang yang paling baik denganmu, dan kebaikannya
seperti saudara sendiri" Bahkan kau mau ajak kerja sama menggulingkan Siluman
Tujuh Nyawa. Lalu, mengapa
sekarang kkka... kaaau... kau ketakutan melihat Dadung Amuk yang ternyata sudah
menjadi bangkai itu?"
"Dadung Amuk memang baik padaku. Tapi jika aku menentang kekuasaan sang ketua,
belum tentu dia
bersikap baik padaku. Sebab...."
"Sebab apa?" desak Suto setelah Hantu Laut berhenti bicara dan agak ragu
melanjutkannya.
"Sebab... menurut kabar kasak-kusuk tak pasti...
katanya Dadung Amuk adalah anak dari Siluman Tujuh
Nyawa." Suto dan Dewa Racun kernyitkan alisnya,
memandangi Hantu Laut. Kemudian Suto ajukan tanya,
"Dari mana kau pernah mendengar kabar itu?"
"Dari seorang tokoh tua, teman baiknya Jangkar Langit yang bernama Begawan
Sangga Mega. Dalam
percakapannya dengan Tapak Baja, sebelum Begawan
Sangga Mega akhirnya dibunuh Tapak Baja sendiri,
Begawan Sangga Mega mengatakan tentang hubungan
anak dan bapak antara Dadung Amuk dengan Siluman
Tujuh Nyawa."
"Mengapa Begawan Sangga Mega menceritakan hal
itu kepada Tapak Baja?" tanya Suto yang merasa tertarik sekali dengan kabar
tersebut. "Karena...," kata Hantu Laut sambil mengingat-ingat peristiwa lama yang pernah
dialami bersama Tapak
Baja. "Karena..., pada waktu itu Tapak Baja ingin hak waris atas pusaka Pedang
Guntur Biru. Tapi Begawan
Sangga Mega tidak mau memberikan pusaka Pedang
Guntur Biru kepada Tapak Baja. Sebab, menurut
Begawan Sangga Mega, pedang itu memang warisan
dari leluhurnya Siluman Tujuh Nyawa, dan akan
diserahkan kepada Siluman Tujuh Nyawa jika ia sudah genap berusia tiga ratus
tahun. Sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun...."
"Edan...!" cetus Dewa Racun terheran-heran. Ia geleng-gelengkan kepala mendengar
usia Siluman Tujuh Nyawa. "Ternyata sud... dah... sudah sangat tua Durmala Sanca
itu." "Berarti usia guruku, si Gila Tuak, kurang lebih segitu!"
"Ck ck ck..."!" Dewa Racun berdecak keheranan.
Perahu tetap melaju seirama angin lautan. Mereka
bicara di haluan sambil Hantu Laut pegang kemudi.
Mayat Dadung Amuk sudah ditinggalkan oleh mereka,
tak diurusnya lagi. Mereka lebih tertarik dengan
keterangan yang diperoleh Hantu Laut kala masih
menjadi orang bawahannya Tapak Baja.
"Teruskan ceritamu itu!" kata Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya tiga kali.
Maka, Hantu Laut pun melanjutkan ceritanya lagi.
"Setahuku, Tapak Baja mencoba membujuk Begawan Sangga Mega untuk bisa
mendapatkan Pedang Guntur
Biru itu. Tapi Begawan tetap tidak berikan, dan tidak kasih tahu di mana dia
simpan Pedang Guntur Biru itu.
Menurut Begawan, jika bukan Durmala Sanca atau
Siluman Tujuh Nyawa yang terima pedang itu, harus
keturunannya Durmala Sanca. Menurut Begawan,
Durmala Sanca mempunyai dua anak, walau bukan anak
kembar, tapi dia punya dua anak dari dua perempuan
yang tidak dikawininya secara resmi."
"Apakah Begawan Sangga Mega juga sebutkan nama anak itu?"
"Seingatku, Begawan Sangga Mega menyebutkan
nama anak itu ialah Sugolo yang kemudian dikenal
dengan nama Dadung Amuk, dan Sugali, yang tidak
diketahui di mana tinggalnya."
Tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
serempak kerutkan dahi serta saling pandang bernada heran. Kejap berikutnya,
Suto berkata kepada Dewa
Racun, "Seingatku, Sugali itu nama asli Singo Bodong!
Ingatkah kau pada saat Singo Bodong ceritakan siapa namanya, siapa ibunya, dan
mengapa ia disebut Singo Bodong, serta...."
"Iiyyy... iya, iya... aku ingat!" jawab Dewa Racun dengan bersemangat. "Sugali
itu nama asli Singo Bodong, dan... dan... dan dia bilang ibunya sering sebutsebut nama Arjuna sebagai ayah Singo Bodong, dan
dijuluki Siluman oleh ibunya Singo Bodong, karena sang Arjuna itu tak pernah
punya waktu tetap untuk
menjenguk ibu Singo Bodong yang bekas... beka... bekas sinden zaman dulu!" (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Siluman Tujuh Nyawa").
"Kalau begitu, Singo Bodong itu kakak beradik
dengan Dadung Amuk, hanya lain ibu tapi satu bapak"!"
ujar Suto menyimpulkan keterangan itu.
"Tap.... tapi mereka seperti anak kembar saja?" kata Dewa Racun.
Hantu Laut segera menyahut, "Menurut keterangan
Begawan Sangga Mega, Durmala Sanca adalah anak
kembar. Ia mempunyai kakak yang namanya aku tak
ingat, tapi yang jelas dia sendiri yang bunuh kakaknya!
Dia tak mau ada orang yang menyamainya, baik ilmunya maupun ketampanannya."
"O, bisa jadi darah keturunan kembarnya ada di wajah Singo Bodong dan Dadung
Amuk!" kata Pendekar Mabuk.
"Jaa... ja... jadi, kalau Siluman Tujuh Nyawa mati, yang berhak menerima pusaka
warisan leluhur berupa
Pedang Guntur Biru itu Dadung Amuk atau Singo
Bodong?" "Ya," jawab Hantu Laut. "Tapi jika Siluman Tujuh Nyawa belum mati, hak waris
masih ada di tangan
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Llla... la... la...."
"Lama?"
"Bukan! Llla... lalu, Begawan Sangga Mega itu
sebenarnya siapa?"
"Paman dari Siluman Tujuh Nyawa!" jawab Hantu Laut. Tambahnya lagi, "Tapi
Begawan Sangga Mega tidak suka dengan tingkah laku keponakannya yang sesat itu,
sehingga ia tidak mau akui Durmala Sanca adalah keponakannya, ia malu kepada
tokoh putih di rimba
persilatan!"
"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut sebentar.
"Ter... terr... terus, apakah sampai sekarang tak ada yang tahu, di mana Pusaka
Pedang Guntur Biru itu disimpan oleh Begawan Sangga Mega?"
"Seingatku, Begawan Sangga Mega tidak sebutkan di mana letaknya kepada Tapak
Baja, yang membuat Tapak Baja menjadi marah dan membunuhnya. Seingatku,
Begawan hanya katakan, bahwa Pedang Guntur Biru tak bisa dilihat oleh sembarang
orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya!"
Dewa Racun termenung sambil menggumam,
"Jauh dari hati pewarisnya" Tak bisa dilihat oleh sembarang orang...?" Lalu, ia
segera menegur Suto yang seperti orang melamun sejak tadi,
"Ada se... se... sesuatu yang teringat di benakmu tentang arti kata-kata Begawan
itu, Suto?"
"Entahlah," jawab Suto. "Yang kupikirkan, sekarang Dadung Amuk sudah mati, entah
siapa yang menggantungnya, tak jelas buat kita. Lalu, kalau suatu saat nanti, aku berhasil
membunuh Siluman Tujuh
Nyawa karena urusan pribadiku yang menyangkut calon istriku dan yang menjadi
ratumu itu, berarti tinggal Singo Bodong ahli waris yang berhak menerima Pedang
Guntur Biru...."
Dewa Racun bertanya kepada Hantu Laut, "Apakah menurutmu ber... ber... berarti
Singo Bodong harus
berusia tiga ratus tahun juga?"
"Setahuku, Begawan Sangga Mega mengatakan
bahwa umur tiga ratus tahun itu hanya berlaku untuk Durmala Sanca, karena
dikutuk oleh kakeknya untuk
menjalani hidup sesat selama tiga ratus tahun."
"Meng... mengapa... mengapa ia dikutuk oleh
kakeknya begitu?" tanya Dewa Racun semakin ingin
tahu. "Katanya... ini menurut cerita Begawan...! Katanya, Durmala Sanca telah
memperkosa neneknya sendiri."
"Ooo..."!" Dewa Racun manggut-manggut.
"Karena itu, ilmu kesaktian dari kakek dan neneknya tidak pernah diturunkan
kepada Durmala Sanca. Satu
pun tak ada yang diturunkan, kecuali Pedang Guntur
Biru yang memang sudah warisan turun-temurun dari
kakek buyutnya!"
"Sssi... si... siapa kakek dan neneknya Durmala Sanca itu?"
"Hmmm... namanya, kalau tidak salah... hmm...
Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Duaarrr...! Kilat menyambar di angkasa bagaikan
merobek langit. Suara petir yang menggelegar bagai
mengguncangkan alam semesta itu, membuat Suto
Sinting tersentak kaget dan terbelalak matanya. Wajah Pendekar Mabuk menjadi
tegang dan memerah.
"Suto, tahan...! Tahan napasmu...! Kuasai amarahmu, Suto!" kata Dewa Racun
dengan cemas dan ketakutan.
Sebab dia tahu, Pendekar Mabuk pernah menceritakan
tentang Pusaka Tuak Setan yang terminum olehnya dan bisa mengakibatkan napas
Suto menjadi badai topan jika sedang diliputi kemarahan. Seperti yang terjadi di
Pulau Hitam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
Kalau saja Suto belum pernah menceritakan tentang
Pusaka Tuak Setan kepada Dewa Racun, maka Dewa
Racun tidak akan membujuk Suto untuk menahan napas
dan menguasai diri dari kemarahan. Kalau saja Pendekar Mabuk tidak pernah
menceritakan siapa gurunya dan
siapa guru dari gurunya sendiri, Dewa Racun tidak akan tahu bahwa saat itu
Pendekar Mabuk menjadi terbakar kemarahannya.
Mata Pendekar Mabuk yang memandang Hantu Laut
itu cepat-cepat dipejamkan, ia tenangkan diri dengan bernapas hati-hati. Hantu
Laut menjadi ketakutan
melihat wajah Suto merah padam begitu, ia bingung,
mengapa Pendekar Mabuk memandangnya dengan suatu
kemarahan yang besar. Apalagi langit menjadi mendung, cahaya petir berkilap di
angkasa bagai memburu mangsa dengan liar. Angin pun berhembus lebih kencang,
seperti tanda-tanda akan datangnya badai topan yang amat
dahsyat. Hantu Laut jadi pucat wajahnya.
Pendekar Mabuk tinggalkan haluan, ia berdiri di
samping barak yang ada di bagian buritan. Matanya
memandang jauh ke cakrawala yang sudah menghitam
karena mendung dan hujan badai. Sementara itu, Hantu Laut punya kesempatan
membisikkan kata kepada Dewa
Racun, "Mengapa dia sepertinya marah padaku?"
"Kar... kar... karena kamu sebutkan...."
"Diam, Dewa Racun!" sentak Suto dari tempatnya, ia kembali tundukkan kepala dan
pejamkan mata. Dewa
Racun tak berani melanjutkan kata-kata apa pun kepada Hantu Laut.
Gemetar sekujur tubuh Suto Sinting mendengar
Purbapati dan Nini Galih adalah kakek dan neneknya
Siluman Tujuh Nyawa. Padahal Eyang Purbapati dan
Nini Galih adalah gurunya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sedangkan Pendekar
Mabuk adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tapi selama menjadi
murid mereka, Suto tidak pernah mendengar cerita
tentang kutukan hidup sesat dari Purbapati kepada
Durmala Sanca. Apakah si Gila Tuak merahasiakannya, atau memang tidak tahu" Jika
si Gila Tuak tidak tahu, mengapa Hantu Laut yang sebagai budak Kapal Neraka,
orang bawahannya Tapak Baja, bisa mengetahui urutan silsilah tersebut" Mengapa
Hantu Laut bisa hafal semua nama dan kejadian leluhur Siluman Tujuh Nyawa"
Benarkah ia mampu mengingat segala yang pernah
didengarnya dari Begawan Sangga Mega"
Hantu Laut berdebar cemas ketika Pendekar Mabuk
melangkahkan kaki mendekatinya. Kemudian Pendekar
Mabuk menepuk-nepuk pundak Hantu Laut sambil
ucapkan kata,
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lupakan tentang sikapku baru saja tadi! Aku tidak bermaksud marah kepadamu! Aku
hanya kaget karena
kamu sebutkan nama Eyang Purbapati dan Eyang Nini
Galih." "Eyang... Eyang siapa"!" Hantu Laut ajukan tanya dengan heran.
"Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih!"
Hantu Laut tampak bingung, lalu bicara pada Dewa
Racun, "Apa aku tadi sebutkan kedua nama itu"'
Dewa Racun kerutkan dahinya lalu bertanya, "Apa...
apa... apakah kamu tidak ingat, bahwa kamu telah
menyebutkan kedua nama itu?"
"Ak... ak... aku hanya katakan, bahwa menurut kabar kasak-kusuk yang tak pasti,
Dadung Amuk itu adalah
anak dari Siluman Tujuh Nyawa. Aku hanya bilang
begitu!" Suto dan Dewa Racun kembali saling pandang
bernada heran. Ada sesuatu yang aneh yang mereka
temukan pada perubahan wajah Hantu Laut. Wajah itu
tampak polos dan mengakui apa yang diingatnya.
"Kau tadi sebutkan pula tentang pusaka leluhur Siluman Tujuh Nyawa," kata
Pendekar Mabuk mencoba ingatkan kembali kata-kata Hantu Laut tadi.
"Pusaka apa?" tanya Hantu Laut benar-benar bingung.
"Sebuah pedang," jawab Dewa Racun.
"Pedang..."! Pedang apa"!" Hantu Laut tambah bingung.
Dewa Racun dan Suto Sinting saling pandang
sekejap, lalu Suto berbisik pelan di telinga Dewa Racun,
"Tadi sepertinya ada yang tak beres pada dirinya."
Hantu Laut berkata, "Aku... aku sungguh tak bilang soal pedang pusaka. Aku cuma
bilang, Dadung Amuk
anak Siluman Tujuh Nyawa. Setelah itu aku diam,
karena kulihat bumbung tuakmu keluarkan sinar putih melesat masuk menyilaukan
mataku." "Sinar..."!" Pendekar Mabuk sedikit tegang. "Sinar dari mana?"
"Dari ujung bumbung tuakmu itu!" sambil Hantu Laut menuding bumbung tuak di
punggung Suto dengan
rasa takut, ia ucapkan kata lagi,
"Sinar itu kecil tapi menyilaukan mataku. Aku jadi takut. Lalu, aku diam saja
tak berani bicara padamu!
Tapi... tiba-tiba aku mendengar suara ledakan petir, dan kutemukan wajahmu sudah
memandangku dengan
marah! Aku tak tahu salahku!"
"Bbe... benar," bisik Dewa Racun pada Suto. "Pas...
pasti ada yang tak beres pada dirinya, sehingga dia bicara di luar kesadarannya.
Tap... tap... tap... tapi, siapa yang bicara melalui mulutnya tadi jika bukan
dia?" Suto diam tertegun, memperhatikan gerakan air yang
menyibak karena dibelah perahu, ia jadi teringat tentang cerita bocah kecil
telanjang yang menemui si Gila Tuak sewaktu Gila Tuak masih muda dan bernama
Sabawana. Bocah itu ternyata jelmaan dari gurunya Eyang
Purbapati yang bernama Wijayasura, dan bocah itulah yang menjelma menjadi
bumbung dari sebuah pohon
bambu di dalam gua tempat Sabawana tersesat. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").
"Apakah Eyang Buyut Wijayasura yang berbicara
melalui mulut Hantu Laut tadi?" pikir Pendekar Mabuk.
"Dengan maksud apa Eyang Buyut Wijayasura
membeberkan sejarah Siluman Tujuh Nyawa melalui
mulut Hantu Laut" Apakah aku ditugaskan untuk
mencari Pedang Guntur Biru" Untuk diriku sendiri atau untuk kuserahkan kepada
Singo Bodong" Atau untuk
mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa?"
Suto terpaku diam karena tenggelam dalam renungan
misteriusnya. * * * 7 TIBA-TIBA perahu berguncang ketika melewati
sebuah pulau kecil bertanah tandus. Guncangan itu
terasa aneh, karena Suto dan kedua temannya tahu,
bahwa air laut tidak bergelombang besar. Ombaknya
mengalun dengan tenang. Tapi mengapa perahu bagai
ada yang mengguncangnya dari bawah" Bahkan Hantu
Laut sempat terpelanting nyaris terlempar keluar dari kapal. Untung Dewa Racun
cepat menangkap lengan
Hantu Laut. Dewa Racun yang berdiri di atas barak untuk
memandang keadaan di pulau tandus yang mereka lewati itu segera berkata kepada
Suto, "Ad... ad... ada yang mengganggu kita!"
"Sial! Mungkin badai akan datang, sehingga
Munculnya Sang Pewaris 1 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama