Ceritasilat Novel Online

Cermin Pemburu Nyawa 1

Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN laut berhembus cukup besar. Ini membuat
peluang baik bagi kapal layar untuk bergerak dengan cepat. Tapi kenyataannya
kapal itu justru berhenti tak bergerak sedikit pun, kecuali hanya timbul
tenggelam dipermainkan oleh ombak.
"Aneh. Banyak angin, tak ada karang penghalang, layar berkembang, tapi mengapa
kapal ini berhenti
sendiri" Apa yang menghambat lajunya kapal ini"
Kandas juga tidak, kedalaman laut cukup. Kenapa kapal jadi berhenti?"
Nakhoda Salju terheran-heran. Matanya yang lebar
memandang sekeliling haluan lewat ruang nakhoda.
Nakhoda Salju adalah pengemudi kapal itu. Orangnya
berbadan kekar, berwajah bengis tanpa kumis.
Rambutnya panjang bagian belakang, sedang rambut
depan botak mulus hingga jidatnya kelihatan sangat
lebar. Ia mengenakan anting bulat sebelah kanan.
Usianya sekitar lima puluh tahun, berpakaian biru laut, berikat pinggang merah
tua. Sekalipun berwajah lonjong tapi dia punya suara
berat, namun gerakannya gesit. Dari depan ruang
nakhoda yang ada di bagian haluan, ia serukan suara ke arah geladak,
"Sumbing Gerhana! Sumbing Gerhana...!"
"Ya. Aku di sini!" teriak seseorang bertubuh kurus, berbibir sumbing bagian
atasnya, sehingga ia sulit mengucapkan huruf 'P'. "Ada afa, Nakhoda"!'
sambungnya. "Cepat kemari!"
Orang berpakaian rompi hitam dan celana merah itu
bergegas menuju ruang nakhoda. Rambutnya yang
panjang melewati pundak itu tidak diikat sehingga
meriap-riap dipermainkan angin, ia datang mendekati Nakhoda Salju sambil tetap
menggenggam cambuk yang
terlipat ujungnya, tanda tidak sedang digunakan.
"Apakah ada yang turunkan jangkar?"
"Tidak ada! Kenafa...?"
"Bodoh! Tidakkah kau rasakan bahwa kapal berhenti, tidak bergerak maju kecuali
diayun-ayunkan ombak dari tadi"!"
"Kafal werhenti"!" ucap Sumbing Gerhana dengan heran, dengan kata-kata yang aneh
bagi orang yang baru mendengarnya, sebab ia tidak bisa menyebutkan huruf
'P' dan 'B'. Jika ia menyebutkan huruf 'P' diganti 'F', dan
huruf 'B' diganti 'W', karena bibir atasnya yang sumbing sukar dipertemukan
dengan bibir bawahnya. Sekalipun dia sumbing, tapi dia menjabat sebagai keamanan
kapal tersebut, sehingga galak sikapnya kepada para awak
kapal lainnya. Setelah Sumbing Gerhana memandangi
sekelilingnya, barulah ia berkata kepada Nakhoda Salju,
"Wenar juga afa katamu, kafal tidak wergerak!
Fadahal wanyak angin, layar fun werkemwang wagus!"
"Wagus, wagus!" omel Nakhoda Salju. "Periksa sekitar kapal, siapa tahu ada yang
lego jangkar!"
"Waik, waik...!" kemudian Sumbing Gerhana memeriksa buritan dan sekitarnya, ia
melihat jangkar masih ada di tempatnya, tidak bergerak turun.
"Dayuuung...!" teriak Sumbing Gerhana.
"Dayuuung...! Kafal tidak wergerak! Ayo, lekas dayuuung...!"
Tarr...! Tarrr...!
Sumbing Gerhana melecutkan cambuknya. Maka,
dua puluh budak tanpa baju segera mendayung kapal itu dengan serempak. Mereka
ada di kanan kiri kapal, duduk di tempat pendayung.
Para budak pendayung paling takut jika Sumbing
Gerhana marah. Cambukannya lebih sering ngawur.
Sumbing Gerhana tak pernah pikirkan cambukannya
mengenai hidung atau mata mereka, yang penting
dengan melecutkan cambuk dan membentak-bentak, itu
adalah tugas utama baginya, disamping menjaga
keamanan sekitar geladak kapal.
Sumbing Gerhana kembali menghadap Nakhoda
Salju dan berkata,
"Tak ada hamwatan! Para fendayung sudah wekerja!"
"Tapi kapal sudah bergerak apa belum" Lihat!"
sentak Nakhoda Salju yang lebih galak dari Sumbing
Gerhana. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata kapal masih belum bergerak. Padahal dua
puluh tenaga budak
pendayung telah dikerahkan. Mereka juga mendayung
dengan penuh semangat. Tapi kapal masih belum mau
bergerak. "Iya. Kenafa welum wergerak juga?" Sumbing Gerhana garuk-garuk kepalanya dengan
bingung. "Periksa bagian bawah kapal. Jangan-jangan ada karang menjepitnya! Terutama
periksa bagian buritan dan haluan!"
Sumbing Gerhana tidak segera terjun ke laut untuk
memeriksa bagian bawah kapal. Dia memerintahkan dua orang anak buahnya untuk
memeriksa keadaan dasar
kapal. Kedua orang itu melakukan tugas dan cepat
kembali menghadap Sumbing Gerhana sambil memberi
laporan, bahwa tak ada satu karang pun yang menjepit dasar kapal. Maka, Sumbing
Gerhana cepat menghadap
Nakhoda Salju lagi.
"Tidak ada karang menjefit kafal ini! Keadaan di wawah kafal aman!"
"Hmmm... lalu, kenapa kapal tidak mau bergerak?"
"Mana aku tahu?"
"Di mana sang ketua?"
"Ada di dalam kamarnya. Sedang tidur!"
"Celaka! Kalau sang ketua tahu, kita yang
disalahkan!"
"Afa woleh wuat..."!" Sumbing Gerhana angkat bahunya.
Kapal itu tergolong jenis kapal besar. Mempunyai
tiang layar tiga, yang utama ada di depan. Layar lebar itu berwarna merah dengan
gambar tengkorak dikelilingi
tujuh mata rantai dan di atas gambar tengkorak dari warna putih itu ada gambar
mahkota yang juga berwarna putih. Setiap ujung tiang layar mempunyai bendera
segi tiga warna hitam dengan gambar tengkorak dan mahkota warna putih. Warna
lambung kapal juga merah tua. Di ujung haluannya mempunyai balok panjang ke
depan dengan hiasan tujuh tengkorak bersusun dari atas ke bawah. Tiap tiang layar
mempunyai tempat pengintai
dan di sana ditempatkan tiga petugas pengintai yang selalu berada di pertengahan
tiang layar. Bagi para tokoh dunia persilatan yang tergolong tua, mereka sangat kenal dengan
kapal berciri-ciri seperti itu.
Mereka tahu, bahwa kapal itu adalah kapal Siluman
Tujuh Nyawa, yang menguasai perairan laut utara, ia mempunyai banyak sekutu yang
menguasai beberapa
pulau dan wilayah tertentu. Bagi mereka yang tidak mau bersekutu atau menolak
kerja sama dengan Siluman
Tujuh Nyawa, maka maut pun menjemput mereka tanpa
ampun lagi. Tetapi kali ini kapal milik tokoh sesat yang terkenal sakti dan berilmu tinggi
itu terhenti tanpa sebab-sebab
yang pasti. Nakhoda Salju dan Sumbing Gerhana merasa cemas. Sebab jika Siluman
Tujuh Nyawa yang dipanggil mereka dengan sebutan sang ketua itu mengetahui dan
murka, habislah nyawa mereka berdua. Selama ini sudah lebih dari dua puluh
nakhoda berganti karena mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Hanya Nakhoda Salju
itulah pengemudi kapal yang punya masa jabatan cukup lama dibanding nakhoda
lainnya. "Afa yang harus kita lakukan kalau wegini?" tanya Sumbing Gerhana dengan hati
cemas. "Jaga supaya sang ketua jangan bangun dari
tidurnya!"
"Akan kusuruh felayannya untuk tidak memwuat
kegaduhan!" kata orang yang bergigi tonggos itu.
Tapi sebelum Sumbing Gerhana bergerak masuk ke
lambung kapal untuk menemui pelayan dan penjaga
kamar Siluman Tujuh Nyawa, tiba-tiba ia mendengar
suara seruan dari petugas pengintai di tiang layar
belakang. "Ada sesuatu yang bergerak kemari! Ada yang
mendekat kemari!"
Sumbing Gerhana bergegas ke belakang, ia
tengadahkan wajah dan berseru kepada petugas
pengintai di tiang itu,
"Afa wujudnya" Kafal atau ferahu"!"
"Tak jelas! Gerakannya cepat!"
"Ikan faus..."!"
"Tak jelas juga!" Orang itu menutupkan tangannya untuk menghalau silau cahaya
matahari agar bisa
memandang dengan jelas apa yang dilihatnya bergerak, ia bahkan sempat kelihatan
bingung pada waktu
Sumbing Gerhana bergegas menaiki tangga tiang yang
terbuat dari anyaman tambang itu.
"Hilang...!" teriak petugas pengintai.
"Afanya yang hilang! Aku di sini, wodoh!"
"Bukan kamu yang hilang, tapi sesuatu yang aneh dan yang bergerak kemari itu
yang hilang!" seru petugas pengintai.
"Kenafa bisa hilang"!" bentak Sumbing Gerhana.
"Mana aku tahu"! Dia hilang sendiri! Bukan aku yang hilangkan!"
"Cari! Cari...!"
"Cari ke mana"!" sambil petugas pengintai memandang sekeliling, diikuti oleh
petugas pengintai di tiang kedua dan tiang pertama. Yang ada di tiang kedua
berseru, "Tidak ada apa-apa!"
Yang di tiang pertama juga berseru, "Mungkin hanya punggung ikan besar!"
"Ikan wesar"! Mengafa ikan wesar kemari"!" seru Sumbing Gerhana.
"Yang jelas bukan mau menjadi anggota kapal kita!"
jawab pengintai di tiang kedua.
Nakhoda Salju menyuruh anak buahnya untuk
menjaga kemudi, ia bergegas keluar dari ruang nakhoda.
Tapi baru sampai di depan ruang nakhoda, tiba-tiba
matanya terkesiap melihat sesuatu yang melompat dari laut ke tepian geladak.
Jlegg...! "Sumbing Gerhana! Ada tamu tak diundang butuh
cambukanmu!" seru Nakhoda Salju.
Semua mata tertuju pada tamu tak diundang itu.
Bahkan Sumbing Gerhana sempat ternganga mulutnya
karena bengong melihat sesuatu yang mengagumkan,
juga para pengintai di atas tiang itu memandang tak berkedip. Ada pula yang
bersuit dan menggoda dari sisi lain. Para pendayung serentak hentikan gerakan
dayungnya dan tertegun memandang perempuan cantik
yang muncul bagaikan setan.
Perempuan itu tampak cantik luar biasa, ia berpakaian penutup dada warna hijau
dengan hiasan benang emas
yang ketat dengan bentuk pinggang sampai dadanya
yang montok itu. Ia juga mengenakan celana hijau
beludru ketat berhias benang emas. Pakaian itu
dirangkapi baju jubah warna biru muda transparan
terbuat dari sutera halus.
Rambutnya sebagian digulung kecil di atas kepala,
tapi bagian belakang dan sisanya dibiarkan terurai
panjang sebatas punggung, ia mengenakan mahkota
emas kecil sebagai penghias bagian depan rambutnya, juga mengenakan kalung
lempengan emas berhias
mutiara susun dua, juga gelang keroncong yang
jumlahnya lima buah tiap tangan. Tak lupa senjata
pedang bersarung tembaga berukir tersandang di
punggungnya. Gagang pedang dari tembaga itu
mempunyai hiasan benang warna merah.
Hidungnya bangir, bibirnya indah dan
menggemaskan. Matanya tidak terlalu lebar tapi
membulat indah dengan bulu mata yang lentik, alis mata yang tidak terlalu tebal
tapi terlihat hitam berbentuk indah. Kulitnya kuning langsat dengan potongan
dada dan pinggul yang sekal, menantang gairah lelaki.
Sumbing Gerhana cepat turun tangga dan menemui
perempuan cantik beraroma wangi bunga melati itu.
Sumbing Gerhana memperlihatkan senyumnya yang tak
jelas karena bibirnya sumbing. Perempuan itu
memandang Sumbing Gerhana dengan wajah ketus,
tanpa senyum sedikit pun di bibirnya yang tampak
merah ranum itu.
"Rufanya kaulah orang yang tahan laju kafal ini!"
kata Sumbing Gerhana sambil matanya memandang
penuh selidik, bertolak pinggang sebelah tangan,
sedangkan tangan yang satu masih memegangi cambuk
hitam yang dilipat melingkar.
"Memang aku yang menahan kapal ini!" sahut perempuan itu ketus.
"Mengata kau tahan kafal ini" Wutuh hiwuran hangat, hah"!"
Ledekan dari Sumbing Gerhana membuat awak kapal
lainnya tertawa, tapi Nakhoda Salju diam saja sambil tetap pandangi perempuan
itu. Sementara itu, anak buah yang ditugaskan menjaga kemudi kapal berbisik dari
belakang, "Kemudi tidak bisa digerakkan dari tadi, Nakhoda!"
"Tinggalkan dulu soal kemudi. Nikmati dulu
pemandangan indah yang jarang kita temukan itu!" kata
Nakhoda Salju sambil tetap pandangi perempuan itu, dan sang anak buah ikut
memandang dengan senyum yang
gembira. Bahkan ia bersuit kecil tanda kagum, lalu
berkata seperti bicara pada diri sendiri.
"Luar biasa cantiknya!"
"Ya. Tapi dia pasti berilmu tinggi."
"Dari mana Nakhoda tahu?"
"Dia yang menahan kapal ini dan membuat kemudi tidak bisa digerakkan. Pasti dia
bukan perempuan
sembarangan!"
Sementara itu, di geladak terdengar Sumbing
Gerhana berkata,
"Mana yang mau kau filih untuk menghangatkan
tuwuhmu" Aku lebih dulu, atau nakhoda di atas sana?"
"Kau lebih dulu!" jawab perempuan itu. Sumbing Gerhana tertawa kegirangan. Tapi
tawanya tiba-tiba
terhenti seketika.
Mereka heran melihat Sumbing Gerhana mendelik
sambil menahan rasa sakit. Hanya Nakhoda Salju yang tahu, bahwa perempuan itu
menggerakkan tangan


Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanannya ke samping, meremas telunjuknya sendiri, tapi Sumbing Gerhana yang
merasa diremas, ia tak bisa
memekik atau bersuara karena sangat kesakitan.
Wajahnya menjadi merah pertanda menahan rasa sakit
yang luar biasa. Wuttt wuttt...! Jlegg...!
Nakhoda Salju bersalto dari depan ruang nakhoda.
Dua kali berjungkir balik di udara, tubuhnya segera sampai di depan perempuan
itu, agak lebih ke belakang Sumbing Gerhana.
"Lepaskan dia! Aku tahu kau telah meremasnya
melalui remasan telunjuk jarimu itu!" kata Nakhoda Salju.
"Kau cukup jeli ketimbang Sumbing Gelhana," kata perempuan itu sambil melepaskan
remasan tangannya
sendiri. Sumbing Gerhana jatuh dan terengah-engah. Sisa rasa sakit masih terasa menjalar
di sekujur tubuhnya, ia melirik perempuan itu dan bergeser menjauh. Tak berani
untuk berdiri karena masih terasa lemas di sekujur
tubuhnya. Keringat pun jadi membersit di kening.
"Agaknya kau telah mengenal kami, sehingga bisa sebutkan nama Sumbing Gerhana!"
kata Nakhoda Salju.
"Sangat kenal," jawab perempuan itu. "Bahkan aku kenal kamu sebagai manusia
dingin yang berjuluk
Nakhoda Salju!"
Terkesiap mata Nakhoda Salju, merasa heran
namanya bisa disebutkan oleh perempuan yang belum
dikenalnya. Kemudian Nakhoda Salju ajukan tanya,
"Siapa kau sebenarnya?"
"Dayang Kesumat!" jawab perempuan itu.
Makin berkerut dahi Nakhoda Salju, karena merasa
asing dengan nama Dayang Kesumat.
"Baru sekarang kudengar namamu, Dayang
Kesumat!" "Memang balu sekalang kusebutkan nama itu di
depanmu!" "Aneh," Nakhoda Salju tertawa pendek berkesan sinis dan dingin.
Pada waktu itu, Sumbing Gerhana sudah memperoleh
kekuatannya kembali, ia cepat berdiri dan menggeram sambil melepas ujung
cambuknya, siap untuk dilecutkan.
"Feremfuan setan! Seenaknya saja kau remas aku, hah"! Kau harus terima
walasanku, hiihh...!"
Traepp...! Cambuk yang dilecutkan melilit di tangan Dayang
Kesumat yang digerakkan ke atas. Dengan cepat cambuk itu digenggamnya. Sumbing
Gerhana mencoba menarik
dengan kekuatan penuh, Dayang Kesumat makin kuat
meremas cambuk. Dan tiba-tiba tubuh Sumbing Gerhana tersentak ke belakang dengan
kerasnya. Cambuknya
terlepas dari tangan, tubuhnya mental jauh hingga
membentur dinding barak. Brakkk...!
Cambuk yang masih digenggam oleh Dayang
Kesumat itu segera dilemparkan ke arah Sumbing
Gerhana. Wusss...! Dan tiba-tiba cambuk itu terbakar dengan sendirinya. Beberapa
pendayung segera
memadamkan cambuk itu dan mundur menjauhi Dayang
Kesumat. Tetapi orang-orang kapal lainnya segera
mengurung Dayang Kesumat yang kini berhadapan
dengan Nakhoda Salju.
Tetap tenang dan angker wajah Nakhoda Salju walau
ia mendengar Sumbing Gerhana menggerutu
berkepanjangan. Dayang Kesumat pun belum bergerak
dari tempat berdirinya semula. Padahal ia berada di tepian geladak, satu kali
dorong saja tubuhnya akan jatuh ke laut. Tapi Nakhoda Salju tidak mau melakukan
hal itu. Ia tahu, perempuan yang di depannya bukan
orang lemah yang bisa didorong dan diceburkan ke laut dengan begitu saja.
"Apa maksudmu datang kemari" Mau membuat
kekacauan di kapal ini" Apa ingin mengadu nyawa
dengan seseorang di sini"!"
"Mana Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi ketua
kalian"! Aku mau beltemu dengan dia!" jawab Dayang Kesumat dengan bahasa cadel,
tak bisa sebutkan huruf
'R'. "Ada perlu apa kau ingin bertemu dengan sang
ketua?" "Itu ulusanku!"
"Aku harus tahu, karena aku nakhoda di kapal ini!
Aku bertanggung jawab atas keselamatan jiwa para
penumpang dan awak kapalku!"
"Jangan banyak mulut, Nakhoda Salju! Kau tak akan bisa belnapas lagi jika
kesabalanku habis!" ancam Dayang Kesumat.
"O, kau mau menggertakku, Dayang Kesumat?" kata Nakhoda Salju dengan mata tajam
memandangnya. "Ketahuilah, Dayang Kesumat... aku orang yang tidak pernah mempan dengan
gertakan ataupun ancaman! Aku
tahu kau punya ilmu, tapi aku bisa ukur ilmumu tak akan lebih dari ilmu yang
kumiliki!"
Tiba-tiba Dayang Kesumat menggenggam jari
tengahnya sendiri, sementara ketiga jari lainnya
mengeras lurus. Jempol tangan itu menekan kuat jari tengahnya, dan Nakhoda Salju
cepat-cepat sentakkan
tangannya ke bawah. Kedua tangan ada di depan
pusarnya, menekan sesuatu yang terasa ingin menggapai keluar. Dengan tenaga
dikerahkan Nakhoda Salju
menekan tangannya ke bawah. Tubuhnya menjadi
gemetar, ia tampak menguras tenaga melawan kekuatan yang ditolaknya itu.
Tiba-tiba Dayang Kesumat sentakkan jari tengahnya
bagai disentilkan ke depan, dan wuttt...! Tubuh Nakhoda Salju terlempar jauh
hingga membentur dinding sebuah barak di bagian buritan. Brakkk...! Tubuh itu
memantul ke depan karena kerasnya dan jatuh tersungkur di lantai geladak.
Kayu papan dinding barak jebol sebagian karena
benturan keras tubuh Nakhoda Salju. Sementara itu,
Dayang Kesumat hanya tersenyum tipis, dan orangorang di sekitarnya memandang bingung ke arah
Nakhoda Salju. Para pendayung menjadi cemas dan
segera menjauhkan diri dari Dayang Kesumat.
* * * 2 DUA orang pemuda berwajah kembar keluar lebih
dulu dari dalam lambung kapal. Matanya langsung
menatap Dayang Kesumat. Lalu kedua orang kembar itu berhenti di depan tangga
yang menuju ke dalam
lambung kapal. Seperti ada yang ditunggu mereka untuk dikawal jalannya.
Tak berapa lama, muncul seorang berkerudung hitam
dari atas kepala sampai kakinya. Orang itu membawa
senjata panjang berupa sejenis tombak yang punya mata panjang membengkok sedikit
dengan ujung yang
runcing. Panjang mata senjata itu antara dua jengkal.
Ketajamannya berkilauan terkena sinar matahari.
Melihat pakaian hitam yang dilapisi jubah kerudung
hitam dari atas kepala sampai kaki, dan memegang
pusaka El Maut, Dayang Kesumat tak salah duga lagi, dia adalah Siluman Tujuh
Nyawa yang selalu tampil di mana-mana dengan sosok sebagai El Maut.
Wajahnya pucat pasi, mirip kertas putih. Hidungnya
mancung, tampak masih muda belia. Bibirnya biru bagai bibir mayat, matanya
bertepian hitam kebiru-biruan, menambah kepucatan wajah itu. Sebenarnya wajah
pucat berlapis semacam bedak putih itu adalah wajah yang
tampan. Tapi kesan dingin dan keji terlihat jelas di wajah itu, sehingga
perempuan yang melihatnya akan menjadi merinding kehilangan rasa kagumnya.
Ketika orang berkerudung jubah hitam itu muncul,
semua yang ada di kapal membungkukkan badan,
memberi hormat. Dayang Kesumat makin yakin, orang
itulah sang ketua yang bergelar Siluman Tujuh Nyawa.
Durmala Sanca, nama asli Siluman Tujuh Nyawa,
sangat dikenal oleh Dayang Kesumat. Tak ada hormat
sedikit pun yang dilakukan oleh perempuan itu, walau ia sudah berhadap-hadapan
dengan Siluman Tujuh Nyawa
yang didampingi pengawal pribadinya yang kembar rupa itu, dan dikenal oleh
Dayang Kesumat dengan nama
Doma dan Damu. Sepasang pengawal kembar itu sulit
dibedakan jika mereka tidak berbeda rompi. Doma
mengenakan rompi kuning, dan Damu memakai rompi
merah. Keduanya sama-sama memakai celana hitam dan
ikat kepala sama dengan warna rompi masing-masing.
Rompi itu panjang, mencapai bawah perut dan diikat
dengan kain hitam.
Siluman Tujuh Nyawa memandangi wajah Nakhoda
Salju dan Sumbing Gerhana yang tampak menahan sakit itu. Pandangan mata orang
berwajah putih itu sangat dingin, tak ada kesan heran, sedih, marah, atau apa
pun. Wajah itu adalah wajah datar yang beku bagai balok
salju. Sinar matanya pun bagai membekukan darah bagi orang yang dipandanginya.
Nakhoda Salju dan Sumbing Gerhana sama-sama tundukkan kepala.
"Apakah aku mengenalmu?" tanya Siluman Tujuh Nyawa kepada Dayang Kesumat.
"Telgantung kepekaan nalulimu!" jawab Dayang Kesumat.
"Sebutkan namamu!"
"Dayang Kesumat!"
"Nama yang aneh dan asing bagiku. Mau apa kau
bikin perkara di atas kapalku?"
"Aku menuntut ganti lugi atas tindakan anak buahmu yang belnama Dadung Amuk!"
"Dadung Amuk..."!"
"Ya! Dia telah mempolak-polandakan tempatku gala-gala menuduhku menyembunyikan
Kitab Pusaka Wedal
Kesuma! Aku tidak melasa memiliki pusaka itu, tapi
melasa banyak dilugikan oleh tingkah lakunya yang
konyol!" "Apakah Dadung Amuk mendapatkan kitab itu?"
"Aku tidak tahu!"
Siluman Tujuh Nyawa diam sebentar, lama
dipandanginya Dayang Kesumat. Kejap berikut ia segera perdengarkan suaranya yang
sedikit serak, "Jadi, apa maumu sekarang?"
"Selahkan Dadung Amuk padaku! Atau kau hukum
gantung dia di depanku! Jika kau tetap sembunyikan dia, akan kuhanculkan kapal
ini!" "Lancang mulutmu!" sentak Doma, lalu ia kibaskan tangannya bagai menebarkan
sesuatu. Dayang Kesumat
cepat sentakkan kaki dan melesat ke udara, pindah
tempat di tengah geladak. Sedangkan hasil tebaran
tangan Doma itu melesat berupa serbuk berkerlip-kerlip merah dan jatuh di
lautan. Air laut tiba-tiba menyentak muncrat ke atas dengan menimbulkan suara
seperti api disiram air. Josss...!
Damu segera mengejar Dayang Kesumat. Tapi
Dayang Kesumat cepat-cepat menggenggam
kelingkingnya yang ditekan dengan ibu jari, sementara ketiga jari lainnya
mengeras tegang. Tangan itu tetap berada di samping, bagai setengah
disembunyikan. Damu terhenti langkahnya dan lehernya terjulur-julur ke atas dengan suara
tercekik. Mata Damu pun
mendelik-mendelik, sukar bernapas. Dan tiba-tiba tangan Dayang Kesumat
disentakkan ke depan sambil melepas
kelingking yang diremasnya, kemudian tubuh Damu
terlempar jatuh di bawah tiang. Brukkk...!
Melihat saudara kembarnya diperlakukan demikian,
Doma cepat bergerak maju. Tapi tangan sang ketua cepat pula mencengkeram pundak
Doma, lalu menyeretnya
mundur. Sang ketua maju dua tindak berhadapan dengan Dayang Kesumat.
"Cukup tinggi ilmu 'Jemari Mayat'-mu, Dayang
Kesumat! Setahuku ilmu 'Jari Mayat' hanya milik
Pengemis Sakti, si Lalang Buana!"
"Sekalang sudah menjadi milikku! Si Lalang Buana sudah tak ada!" jawab Dayang
Kesumat dengan rasa bangga.
Wajah Siluman Tujuh Nyawa tetap dingin dan datar
saat ia berkata,
"Tapi ilmu 'Jemari Mayat'-mu itu tidak berlaku untukku, Dayang Kesumat. Jadi,
sebaiknya cepatlah
minggat dari kapalku sebelum murkaku tiba dan
mencelakakan jiwamu!"
"Aku tidak akan pelgi, sebelum Dadung Amuk kau selahkan padaku, atau kaugantung
dihadapanku!"
"Dadung Amuk tidak ada di sini. Dia belum pulang!"
"Kalau begitu, aku halus pastikan kebeladaannya di kapal ini dengan cala
menggeledahnya!"
"Bangsat!" teriak Nahkdoa Salju yang cepat bergegas maju. Ia menuding Dayang
Kesumat dengan geram
kemarahan. "Tak kuizinkan kau menggeledah kapal ini! Karena itu sama saja kau menginjakinjak wibawa dan
kehormatan orang-orang di kapal ini!"
Plakkk...! Tiba-tiba tangan Damu berkelebat dan
menampar mulut Nakhoda Salju. Orang berusia sekitar
lima puluh tahunan itu tak berani membalas tamparan Damu. Ia bahkan menjadi
takut dan cepat mundurkan
diri. Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi Nakhoda
Salju sebentar, lalu kembali palingkan wajah menatap Dayang Kesumat.
Tapi mata Dayang Kesumat tertuju pada Nakhoda
Salju, ia sempat merasa heran, mengapa Nakhoda Salju yang terkenal galak dan
bertampang angker itu tak
berani melawan Damu yang jauh lebih muda dari
usianya. Apakah kedudukan pengawal kembar itu lebih tinggi daripada Nakhoda
Salju" Atau memang ilmunya
yang lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki si nakhoda galak itu"
Cepat-cepat Dayang Kesumat memandang Siluman
Tujuh Nyawa, karena orang bertampang muda dan
ganteng tapi beku itu, segera ucapkan kata kepadanya,
"Di mana kau tinggal, Dayang Kesumat?"
"Kau tak pellu tahu, Dulmala Sanca!"
"Maksudku, kalau kutahu di mana kau tinggal, jika Dadung Amuk pulang dan
menghadapku, dia akan
kukirimkan kepadamu!"
"Dengan membawa puluhan olang-olangmu" Dengan
maksud menggempul pulauku" O, tidak! Aku tidak bisa telkecoh oleh kelicikanmu,
Dulmala Sanca! Aku kenal kau cukup lama, dan tahu pelsis tipu muslihatmu. Tapi
aku bukan olang yang mudah kau peldaya, Dulmala
Sanca!" Siluman Tujuh Nyawa diam, mata tajamnya
memandang mata Dayang Kesumat. Perempuan itu balas
menatap mata Durmala Sanca. Kain jubah mereka samasama dikibarkan oleh angin lautan. Mereka sama-sama bungkamkan mulut beberapa
saat lamanya. Tak ada
orang yang berani bersuara sedikit pun kala itu.
Tangan kanan Siluman Tujuh Nyawa itu


Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggenggam kuat-kuat tongkat berujung seperti sabit lengkung itu. Senjata
pusaka El Maut tetap berdiri
tegang dalam genggamannya yang makin lama semakin
kuat. Sedangkan Dayang Kesumat menggenggamkan
tangan kirinya dengan kuat juga. Makin lama semakin keras genggamannya.
Semua mata memandang tegang antara tangan
Siluman Tujuh Nyawa yang menggenggam tongkat
pusaka El Maut itu, dan tangan Dayang Kesumat yang
tanpa menggenggam benda apa pun. Makin lama makin
jelas ada sesuatu yang berubah. Mulut para penonton itu mulai ternganga.
Mereka melihat tangan Siluman Tujuh Nyawa yang
menggenggam tongkat El Maut itu mulai merembeskan
darah, bagai keluar dari telapak tangannya. Darah itu mengalir ke tongkat
hitamnya. Jelas terlihat oleh mereka warna merah yang mengalir walau tak banyak.
Sedangkan dari genggaman tangan kiri Dayang Kesumat juga terlihat darah merembes
dan menetes di lantai
geladak satu kali.
Rupanya kedua tokoh sakti itu saling serang secara
batin. Keduanya kerahkan tenaga dalam lewat
pandangan mata, dan sama-sama bertahan hingga
cucurkan darah dari telapak tangan masing-masing.
Heningnya suasana yang menegangkan itu tiba-tiba
dipecah oleh suara petugas pengintai dari layar kedua yang berseru,
"Perahu layar kuning mendekat!"
Semua bergegas palingkan wajah ke lautan. Saat itu
pula, Siluman Tujuh Nyawa dan Dayang Kesumat
melepaskan diri dari serangan masing-masing. Mereka ikut pandangkan mata ke
lautan. Dan tampak perahu berlayar kuning dengan simbol tengkorak tujuh mata
rantai mulai mendekat. Terdengar suara Nakhoda Salju berseru,
"Tabib Akhirat...!"
Sumbing Gerhana ikut berseru, "Tafi dia sendirian!
Tidak wersama Gagak Neraka"!"
Sebelum perahu layar kuning mendekat rapat, Tabib
Akhirat segera sentakkan kaki, dan bagaikan terbang ia melayang pindah ke kapal
utama. Perahunya segera
diurus oleh para budak pendayung.
Tabib Akhirat datang dalam keadaan kaki habis
terluka, tapi sudah tampak mengering. Agaknya ia
melakukan pengobatan untuk luka kakinya itu selama
dalam perjalanan di atas perahunya. Tabib Akhirat yang berjubah hijau dengan
pakaian hitam itu segera ditemui oleh Sumbing Gerhana dan mendapat pertanyaan
dari orang itu, "Mengata tidak wersama Gagak Neraka" Ke mana
dia?" "Mati," jawab Tabib Akhirat yang segera
melangkahkan kaki menemui sang ketua, lalu sedikit
membungkuk hormat pada sang ketua. Setelah itu, sang ketua ajukan tanya kepada
Tabib Akhirat, "Siapa yang bisa melukai kakimu, Tabib Akhirat?"
"Hantu Laut, sang Ketua!" jawab Tabib Akhirat dengan rasa takut.
"Hantu Laut itu budaknya Tapak Baja! Kenapa kau sampai bisa dilukai oleh dia"
Apakah kau sudah bosan hidup denganku?"
"Perlu Ketua ketahui, Tapak Baja pun mati di tangan Hantu Laut!"
Nakhoda Salju terpekik, "Apa..."! Tapak Baja mati di tangan si Hantu Laut"!"
"Betul, Nakhoda Salju! Gagak Neraka pun mati di tangan Hantu Laut! Kalau aku tak
cepat melarikan diri untuk kasih laporan kepada sang Ketua, aku pun mati di
tangannya!"
"Aku tak percaya dengan penjelasanmu ini," kata sang ketua dengan suara pelan
dan lembut. Tapi tiba-tiba tangannya menyentak, punggung tangan itu menghantam
dada Tabib Akhirat. Begggh...!
Wussst...! Tabib Akhirat terpental ke belakang
bagaikan terbang. Tubuhnya yang kurus itu membentur dua pendayung yang sedang
menambatkan tambang
perahu layar kuning ke tepian pagar kapal itu.
Byurr...! Satu dari dua orang yang tertabrak Tabib Akhirat itu terjungkal masuk
ke laut. Untung ia bisa berenang dan segera mencapai tepian perahu layar
kuning. Sedangkan yang satu lagi mendelik matanya
karena seperti merasa ditabrak seekor banteng dalam
keadaan perut tergencet pagar geladak.
Tabib Akhirat meringis sebentar, lalu cepat-cepat
bangkit dan kembali menghadap sang ketua. Wajah sang ketua tetap tak ada
perubahan, dingin dan datar. Seakan tak pernah memukul Tabib Akhirat dengan
kekuatan tenaga penuh. Wajah Tabib Akhirat pun menjadi pucat.
"Jelaskan yang sebenarnya!" perintah sang ketua dengan tegas.
"Tapak Baja berhasil mencuri Pusaka Tombak Maut milik Jangkar Langit! Pusaka itu
akhirnya berhasil
direbut Hantu Laut dan dipakai membunuh Tapak Baja
dan Gagak Neraka. Semua orang berilmu di Pulau
Beliung, termasuk putri bungsunya Ratu Pekat juga
dihabisi Hantu Laut dengan Pusaka Tombak Maut itu,
Ketua!" "Pusaka Tombak Maut..."!"
"Betul. Bahkan Hantu Laut merencanakan untuk
memberontak melawan kita. Dia bersekongkol dengan
Dadung Amuk dan berdiam di Pulau Beliung! Mereka
mau membunuh sang ketua dengan menggunakan
Pusaka Tombak Maut itu!"
"Dadung Amuk dan Hantu Laut bersekongkol mau
bunuh aku?"
"Betul, Ketua!"
"Dan mereka sekarang bercokol di Pulau Beliung?"
"Tidak salah lagi, Ketua! Karena saya dari sana, dan Gagak Neraka pun mati di
sana!" Siluman Tujuh Nyawa maju satu tindak mendekati
wajah Tabib Akhirat, ia tatap mata tabib tua itu dengan
tajam dan dingin. Lalu dengan suara lirih sang ketua berkata datar,
"Lain kali kubunuh kau jika pulang hanya
melaporkan kekalahanmu!"
"Ampun, Ketua. Pusaka di tangan Hantu Laut itu sangat sakti dan...."
Buhgg...! Sang ketua sentakkan pangkal telapak
tangannya ke depan. Dada orang berambut abu-abu itu jadi sasaran hingga
terdorong kuat ke belakang. Walau tak sampai jatuh, tapi mulut Tabib Akhirat
sentakkan napas dan keluar darah kental dari mulutnya. Kepalanya merasa pusing,
badannya jadi lemas tiba-tiba, kemudian ia jatuh terduduk dengan bersandarkan
dinding barak. Siluman Tujuh Nyawa cepat palingkan wajah ke arah
Dayang Kesumat. Tetapi ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempat. Di
sekeliling kapal pun tak ada.
Siluman Tujuh Nyawa segera ajukan tanya kepada anak buah Nakhoda Salju yang
masih berdiri di depan ruang nakhoda,
"Ke mana perempuan itu tadi?"
"Pergi, Ketua! Dia mengendarai sebatang belarak pelepah daun kelapa!" jawab
orang tersebut.
"Mengendarai pelepah daun kelapa"!" kata Nakhoda Salju.
"Betul, Nakhoda. Begitu dia dengar Dadung Amuk bersekongkol dengan Hantu Laut
dan bermukim di
Pulau Beliung, dia langsung melompat dari buritan, dan berdiri di atas pelepah
daun kelapa yang berjalan cepat di atas permukaan air, melebihi kecepatan kapal
kita ini, dan... hei... Nakhoda, kapal kita sudah mulai bergerak lagi!"
Memang, kapal mulai bergerak lagi. Seolah-olah
kapal itu baru saja bebas dari hambatan. Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak
menghiraukan kata-kata anak buah
Nakhoda Salju itu. Ia cepat memanggil Sumbing
Gerhana dan ajukan tanya,
"Kau percaya dengan kata-kata Tabib Akhirat?"
"Yang saya tahu, kawar tentang Tatak Waja memiliki fusaka Tomwak Maut itu memang
wenar, Ketua! Dia
welum lama ini werhasil curi itu fusaka dari tangan Ki Jangkar Langit, saudara
seferguruan Dewi Kencana
Langit, yang werkuasa di fesisir selatan tanah Jawa, sang Ketua."
"Yang kutanyakan, apakah kau percaya dengan kabar dari Tabib Akhirat tentang
persekongkolan Hantu Laut dengan Dadung Amuk itu" Bukan soal Tapak Baja!"
"Mmm... maaf, Ketua. Saya kurang wisa fercaya.
Karena waru Tawiw Akhirat yang wilang wegitu! Kalau saja...."
Ucapan Sumbing Gerhana terhenti karena seruan
seorang pengintai yang berada di tiang layar pertama,
"Ada seseorang yang berenang kemari! Dia mengejar kapal kita!"
Semua orang bergegas ke lambung kiri, karena arah
yang ditunjuk oleh pengintai itu ada di sebelah kiri.
Mereka sama-sama picingkan mata menatap seseorang
yang berenang dengan lemas mendekati kapal yang
sedang berjalan.
Siluman Tujuh Nyawa segera perintahkan kepada
Nakhoda Salju untuk hentikan kapal sebentar. Nakhoda Salju segera perintahkan
pada bagian jangkar untuk
membuang jangkar ke laut. Orang yang berenang dengan susah payah itu makin
dekat. Lalu terdengar cetusan kata dari mulut Nakhoda Salju.
"Sumbing Gerhana! Orang itu sepertinya Loh Gawe!"
"Loh Gawe..."! Loh Gawe..."!" semua bergumam sebutkan nama Loh Gawe. Lalu,
Siluman Tujuh Nyawa
perintahkan Sumbing Gerhana untuk memberikan
bantuan kepada Loh Gawe. Sumbing Gerhana segera
perintahkan kepada dua budak untuk menjemput Loh
Gawe. Dalam waktu singkat, Loh Gawe sudah diangkat dan
dibaringkan di atas geladak. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi, kulit
tubuhnya banyak yang
terkelupas karena terlalu lama di perairan. Setelah diberi minum arak sedikit
oleh Sumbing Gerhana, Loh Gawe
mulai bisa bicara dan napasnya tidak terengah-engah lagi. Dengan bantuan Sumbing
Gerhana, Loh Gawe
berdiri lalu menghadap sang ketua yang menunggunya
dengan wajah tanpa perubahan apa pun.
"Kau dan Golok Makam kutugaskan menyusul Kapal Neraka dan menyuruh pulang Tapak
Baja! Bagaimana
hasilnya?"
"Tapak Baja telah tewas di tangan Hantu Laut, sang Ketua!"
Siluman Tujuh Nyawa tidak terkejut, demikian pula
yang lainnya, karena berita itu tadi sudah didengarnya
dari Tabib Akhirat. Siluman Tujuh Nyawa hanya
berkata, "Teruskan bicaramu!"
"Hantu Laut berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dan membunuh kakak saya Tapak
Baja. Hantu Laut juga menguasai Kapal Neraka. Ketika Jangkar Langit hendak
merebut pusaka itu, saya dan Golok Makam datang
membantu Hantu Laut, dan Jangkar Langit tewas oleh
kami. Tapi ternyata Hantu Laut justru menyerang kami.
Dia tak mau menerima perintah pulang, dan bersikeras pergi ke Pulau Beliung
untuk menguasai pulau itu dan mengawini Ratu Pekat! Bahkan, Hantu Laut berhasil
membunuh Golok Makam dengan senjata tombaknya.
Dia juga mengancam akan menggulingkan sang ketua
dengan menggunakan tombak pusaka itu!" ucapnya panjang lebar.
Plakkk...! Siluman Tujuh Nyawa menampar wajah Loh Gawe
keras-keras, hingga Loh Gawe memutar tubuhnya dua
kali. Sambil tahan napas dan tahan sakit, Loh Gawe
kembali menghadap sang ketua, lalu sang ketua berkata dengan suara pelan penuh
murka yang tertahan.
"Mengapa kau tak bunuh tikus gundul itu, hah"!"
"Saya... saya sudah coba, tapi dia cukup tangguh dengan tombaknya itu, Ketua.
Lalu, saya melarikan diri untuk kasih kabar kemari!"
Plakkk...! Kembali tamparan itu melayang cepat dan keras. Pipi Loh Gawe merah membekas
telapak tangan Siluman
Tujuh Nyawa. Dengan tahan napas dan tahan sakit, Loh Gawe kembali menghadap sang
ketua. Tapi ia segera
rubuh, pingsan di depan sang ketua.
* * * 3 TABIB Akhirat salah duga. Sebenarnya Hantu Laut
tidak bersekongkol dengan Dadung Amuk. Pada waktu
pertarungannya dengan Hantu Laut, Tabib Akhirat
terpaksa melarikan diri karena merasa terluka parah oleh Pusaka Tombak Maut di
tangan Hantu Laut itu. Pada
waktu ia melarikan diri, ia melihat Singo Bodong ada di pulau itu juga. Singo
Bodong punya wajah persis
Dadung Amuk, juga potongan tubuhnya, apalagi Ratu
Pekat mendandani Singo Bodong agar serupa betul
dengan Dadung Amuk. Tujuannya untuk membujuk
Hantu Laut agar serahkan Pusaka Tombak Maut (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala"). Tapi usaha itu tak
berhasil. Bahkan Pendekar Mabuk atau Suto Sinting dan Dewa Racun nyaris
terkecoh dengan penyamaran Singo Bodong yang mirip
betul dengan Dadung Amuk.
Penglihatan Tabib Akhirat yang salah duga itu
membuat gelisah pikiran Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan setiap mulut awak kapal
membicarakan persekongkolan Dadung Amuk dengan Hantu Laut. Karena
pemberontakan seperti itu baru pertama kali terjadi selama Siluman Tujuh Nyawa
menjadi ketua kelompok
sesat yang ingin menguasai lautan dan pulau-pulau di utara tanah Jawa. Kabar
tersebut membuat mendidih
darah orang muda yang tampan namun pucat itu, yang sebenarnya usianya sudah
sangat banyak. Lebih tua dari Tabib Akhirat.
"Panggil Nakhoda Salju!" perintahnya ketika manusia berwajah putih itu bangun di
pagi hari. Nakhoda Salju pun segera menghadap sang ketua di kamarnya.
"Putar haluan! Arahkan kapal ke Pulau Beliung!'
perintahnya. "Baik, Ketua," jawab Nakhoda Salju sambil sedikit bungkukkan badan. "Tapi
bolehkah saya ajukan usul, sang Ketua?"
"Apa usulmu?"
"Apakah untuk membunuh dua kecoa, sang Ketua
akan turun tangan sendiri?"
"Hantu Laut punya senjata Pusaka Tombak Maut!
Sudah lama kudengar pusaka itu memang sangat sakti!
Kalau tidak aku sendiri yang turun tangan memenuhi
tantangannya, tak akan ada yang bisa merampungkan
nyawanya!"
"Begitu kecilkah orang-orang di sekeliling sang Ketua, sehingga tidak ada yang
mampu kalahkan Hantu Laut" Bukankah Hantu Laut hanya budak kapal
kesayangan Tapak Baja" Ia tidak punya kedudukan apa-apa karena memang ia tidak
punya kemampuan apaapa!" Siluman Tujuh Nyawa diam dan merenungkan diri
beberapa saat. Nakhoda Salju berkata lagi,
"Untuk apa sang Ketua punya banyak algojo dan anak buah kalau hanya untuk
tangani Hantu Laut harus turun tangan sendiri" Apakah itu tidak akan menjatuhkan


Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wibawa dan harga diri sang Ketua, sebagai tokoh sakti yang dikenal dengan
sebutan Siluman Tujuh Nyawa"
Apa nanti kata orang-orang rimba persilatan jika
mendengar kabar, seorang keroco bernama Hantu Laut
mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa" Bukankah hal itu akan menjadi bahan cemoohan
mereka saja?"
"Kalau begitu, panggil Tabib Akhirat, aku ingin dengar sarannya!"
"Baik, Ketua. Akan segera saya panggilkan Tabib Akhirat!" kemudian Nakhoda Salju
pun cepat tinggalkan kamar sang ketua yang tidak boleh sembarang orang
masuk, kecuali orang-orang berkedudukan tinggi di
dalam kelompoknya itu.
Namun ketika Nakhoda Salju keluar dari dalam
lambung kapal, ia melihat Tabib Akhirat sudah terkapar di lantai geladak tanpa
nyawa lagi. Sehelai daun kecil menancap di leher belakang telinganya. Daun kecil
itu masih hijau, masih segar, tapi punya ketajaman melebihi mata pisau cukur.
Dua puluh pendayung itu dengan tekun mendayung
kapal tersebut. Sumbing Gerhana sebentar-sebentar
lecutkan cambuknya ke tubuh para budak pendayung
agar semakin bersemangat mendayungnya. Sesekali
terdengar bentakan Sumbing Gerhana yang membuat
budak pendayung sangat ketakutan.
"Sumbing Gerhana!" sentak Nakhoda Salju. "Coba
lihat kemari!"
Dengan perasan heran, Sumbing Gerhana hampiri
Nakhoda Salju, ia terkesiap dan berdebar-debar
jantungnya melihat Tabib Akhirat sudah terkapar beku tak bernyawa. Sumbing
Akhirat melihat pula selembar daun kecil menancap di leher mayat Tabib Akhirat,
ia segera dongakkan kepala memandang Nakhoda Salju
sambil ajukan tanya,
"Siafa yang wunuh dia"!"
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu,
karena kau sebagai kepala keamanan di atas geladak
ini!" sentak Nakhoda Salju.
"Tafi aku tidak lihat dia mati! Tadi dia masih werdiri di tefian geladak ini!"
Nakhoda Salju tarik napas sambil kelilingkan
pandangan matanya. Lalu ia berkata kepada Sumbing
Gerhana, "Periksalah seluruh geladak. Pasti ada orang asing yang datang dan lemparkan
daun bertenaga dalam ini!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari pengintai di tiang
kedua, "Ada perahu layar biru mendekati kita!"
Sumbing Gerhana kaget dan menjadi dongkol kepada
ketiga pengintai, karena perahu layar biru bergambar tengkorak dengan tujuh mata
rantai itu berada sudah dalam jarak yang sangat dekat dengan kapal tersebut.
Sumbing Gerhana segera serukan kata kemarahan,
"Wodoh! Kenafa waru sekarang kau weritahukan
tentang ferahu itu"!"
"Tadi tidak kulihat. Baru saja kulihat secara
mendadak!"
Nakhoda Salju bergumam, "Panggil Loh Gawe,
karena itu perahunya Loh Gawe! Aku akan perintahkan petugas jangkar untuk
turunkan jangkar. Siapa tahu yang ada di perahu itu adalah Golok Makam!"
Loh Gawe segera dipanggil, dan ia menjadi sangat
terkejut melihat Tabib Akhirat mati tertusuk daun kecil yang masih hijau segar.
Lebih terkejut lagi ketika
melihat perahu berlayar biru mendekati kapal tersebut, sedangkan dia tahu perahu
berlayar biru itu adalah
perahu miliknya.
Hantu Laut melepaskan perahu itu setelah mayat
Jangkar Langit dibuangnya ke dalam perahu tersebut.
Itulah sebabnya Loh Gawe pulang ke kapal itu dengan berenang, karena ia telah
kehilangan perahunya saat bertarung di atas Kapal Neraka. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala").
Ketika perahu itu merapat, Loh Gawe semakin
tambah kaget, juga yang lainnya menjadi terperangah, karena perahu itu ternyata
kosong tanpa penumpang satu pun. Mayat Jangkar Langit tidak ada di perahu itu.
Lantas siapa yang mengemudikan perahu itu hingga
merapat ke kapal utama tersebut" Begitulah pikiran
mereka saat itu.
"Periksa bagian bawah perahu itu! Pasti ada orang yang bersembunyi di sana
sambil mendorong perahu
untuk merapat kemari!" perintah Nakhoda Salju kepada Sumbing Gerhana. Dan segera
Sumbing Gerhana
perintahkan kepada dua anak buahnya untuk memeriksa
bagian bawah perahu berlayar biru itu. Tapi mereka
tidak menemukan siapa-siapa di bawah perahu tersebut.
Bahkan bagian dalam perahu diperiksa dengan teliti
ternyata tidak ada benda lain yang mencurigakan,
kecuali sekumpulan daun kecil yang menyerupai daun
beringin. Daun-daun kecil itulah yang salah satunya menancap di leher Tabib
Akhirat dan membuatnya mati tanpa secuil nyawa pun.
"Berarti perahu biru ini ada penunggangnya. Orang yang berada di perahumu itu,
pasti orang yang
melemparkan daun bertenaga dalam ke leher Tabib
Akhirat," kata Nakhoda Salju kepada Loh Gawe.
"Jika benar begitu, lantas siapa orang yang
menggunakan perahuku sampai datang kemari?"
Tiba-tiba terdengar jawaban dari arah buritan,
"Aku penumpang perahu itu!"
Semua mata memandang ke arah buritan, termasuk
Loh Gawe. Dan entah untuk yang keberapa kalinya Loh Gawe tersentak kaget melihat
orang tua berambut uban rata dikonde kecil di tengah kepala, sisanya dibiarkan
meriap, berjenggot dan berkumis putih rata pula. Orang itu mengenakan pakaian
biksu warna putih, bertubuh
kurus, membawa tongkat kayu yang masih segar.
Tongkat itu bercabang dua di bagian atasnya dengan dua helai daun segar
berukuran kecil ada di cabang tongkat tersebut. Daun itu sama ukuran dan
jenisnya dengan
daun yang menancap di leher Tabib Akhirat, juga yang terkumpul di perahu
berlayar biru itu.
Loh Gawe hampir-hampir tak bisa bicara lagi, karena
dia tahu, bahwa orang misterius yang tahu-tahu muncul di buritan itu tak lain
ialah Jangkar Langit, pemilik Pusaka Tombak Maut. Pada awalnya, Loh Gawe hampir
tak mempercayai penglihatannya sendiri. Karena setahu dirinya, Jangkar Langit
sudah tewas di tangannya.
Bahkan sudah hancur tubuh mayat Jangkar Langit
karena dikeroyok oleh Golok Makam, Hantu Laut, dan
Loh Gawe sendiri. Tapi mengapa orang tua yang serba putih itu kini muncul lagi
dalam keadaan segar bugar tanpa ada bekas luka atau noda darah sedikit pun di
pakaiannya yang putih bersih itu"
Tentu saja Loh Gawe terheran-heran, sebab dia tidak tahu bahwa Jangkar Langit
mempunyai aji 'Banyu Jiwa'.
Apabila dia mati, dan terkena air, maka dia akan hidup lagi dan semua lukanya
akan sembuh secara gaib. Dan pada waktu mayatnya dibuang di perahu tersebut,
perahu itu terombang-ambing tanpa kendali. Hujan turun di
waktu malam. Hujan membasahi tubuh Jangkar Langit,
dan Jangkar Langit pun hidup kembali dalam keadaan
segar bugar. Lalu, ia pergunakan perahu itu untuk
mencari lawannya, memburu pencuri Pusaka Tombak
Maut yang memang miliknya itu.
Nakhoda Salju cepat maju mendekati Jangkar Langit.
Wajahnya tampak menahan kemarahan, ia berkata
dengan suara beratnya,
"Tua bangka tak tahu sopan! Datang tanpa permisi!
Apa maksudmu bertingkah semaunya di atas kapalku,
hah"!"
"Aku mau bertemu dengan Hantu Laut!" jawab
Jangkar Langit dengan tenang, tapi matanya bergerak memandang dengan tajam.
"Hantu Laut tidak di sini!"
"Suruh keluar Durmala Sanca, aku mau bicara
dengannya!"
"Sumbing Gerhana! Hadapi dia!" sentak Nakhoda Salju sambil menyingkir beberapa
langkah dari tempatnya, lalu Sumbing Gerhana maju, menggantikan
tempat Nakhoda Salju tadi. Dengan cambuk terjulur di tangan kanan, Sumbing
Gerhana berdiri tegak di depan Jangkar Langit, kedua kakinya sedikit merenggang,
berkesan siap menghadapi pertarungan.
"Kau funya hutang nyawa fada kami! Sewelum kau wayar nyawa Tawiw Akhirat itu,
jangan haraf kau wisa wertemu dengan sang ketua!"
"Bukan salahku, karena temanmu itu mau
menyerangku dari jarak jauh! Maksudku mau datang
secara baik-baik, tapi dia memulai pertarungan lebih dulu! Terpaksa aku membela
diri!" Dengan tangan kiri menunjuk dan mata sedikit
menyipit, Sumbing Gerhana ucapkan kata,
"Sekarang kau werhadafan denganku!"
"Aku ke sini bukan untuk cari musuh, aku hanya ingin minta kembali pusakaku,
Pusaka Tombak Maut!
Ketua kalian yang harus bertanggung jawab, karena
pusakaku dicuri oleh anak buahnya!"
"Kau wisa wertemu dengan sang ketua kalau sudah langkahi mayatku!"
"Dengan senang hati akan kulangkahi tujuh kali
mayatmu!" "Hiaat...!"
Tarrr...! Cambuk dilecutkan, Jangkar Langit
miringkan badan sehingga cambuk menghantam lantai
geladak dengan keras. Darrr...!
Sekali lagi Sumbing Gerhana melecutkan cambuknya
yang panjang itu ke badan Jangkar Langit. Dengan
sedikit angkat kaki dan miringkan badan, Jangkar Langit menghindari cambuk itu.
Cambuk kembali menghantam
lantai geladak di samping kaki Jangkar Langit. Dengan cepat kaki itu menginjak
ujung cambuk. Tapp...!
Sumbing Gerhana menarik cambuk itu sekuatnya
agar terlepas dari injakan kaki Jangkar Langit. Tapi sampai semua uratnya
menegang, Sumbing Gerhana tak
berhasil menarik cambuknya. Bahkan dengan satu
sentakan keras dan tenaga tinggi, Sumbing Gerhana
mencoba lagi menarik cambuknya itu.
"Hiaaah...!"
Tapi cambuk tetap tak dapat lepas dari pijakan kaki Jangkar Langit. Padahal
Jangkar Langit tidak sampai kerahkan tenaga dalam menginjak cambuk itu. Jangkar
Langit tetap kelihatan tenang, seakan berdiri seperti biasa tanpa menginjak
cambuk. Tapi sampai wajah
Sumbing Gerhana memerah karena ngotot, cambuk itu
tetap tidak dapat ditarik dari pijakan kaki Jangkar Langit.
Melihat Sumbing Gerhana bagai dipermainkan oleh
lawan, Loh Gawe cepat mencabut senjatanya, yaitu
rantai berbandul bola berduri dari baja keras, ia
sentakkan kaki hingga tubuhnya melayang dan
menghantamkan rantai bandulnya dengan kuat ke arah
kepala Jangkar Langit. Wussst...!
Dengan cepat Jangkar Langit sentakkan tongkat
bercabangnya ke samping kiri, tempat datangnya
pukulan itu. Zrappp...! Rantai bandul berduri itu
ditangkis dengan cabang yang ada di ujung tongkat.
Rantai tersebut menyangkut di cabang tongkat dan sukar ditarik kembali. Loh Gawe
kerahkan tenaga untuk
menarik rantai bandulnya, tapi hingga matanya terpejam kuat-kuat rantai bandul
itu tak bisa lepas dari sela-sela cabang tongkat. Sedangkan Sumbing Gerhana
sejak tadi masih berusaha menarik cambuknya, tapi tak pernah
berhasil. "Tua bangka pamer ilmu kau, hah!" bentak Nakhoda Salju. Lalu ia cepat kirimkan
pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kanannya. Pukulan itu dihantam
pula oleh Jangkar Langit dengan sentakkan tangan
kirinya. Wusss...! Debb...! Blarrr...!
Suara ledakan mengguncangkan kapal. Tubuh
Nakhoda Salju terlempar ke belakang akibat gelombang hentakkan kedua pukulan
yang bertabrakan tadi. Tubuh Nakhoda Salju seperti didorong kuat-kuat hingga
keseimbangannya tak terjaga lagi. Ia jatuh terduduk, lalu terjungkal ke
belakang. Tapi segera cepat bangkit dan berdiri tegak menatap lawannya.
"Bangsat kau, Tua Bangka!" geram Nakhoda Salju.
Sementara itu, Loh Gawe yang berusaha melepaskan
rantai bandul berduri itu masih belum berhasil, demikian pula halnya dengan
Sumbing Gerhana. Tapi mereka
berdua masih tetap berusaha dan pantang menyerah.
Sampai akhirnya, Loh Gawe gunakan rantai bandul yang menyangkut di cabang
tongkat itu untuk bergelayutan dan tubuhnya menerjang Jangkar Langit dengan kaki
direntangkan ke depan.
Wuttt...! Tendangan itu sedikit dihindari Jangkar Langit, lalu kaki Jangkar Langit
menyepak ke kiri dengan kuat.
Plokk...! Wajah Loh Gawe terkena telak sepakan kaki Jangkar Langit, membuat
tubuh Loh Gawe terpelanting berputar sambil masih pegangi gagang rantai
bandulnya. Lalu rantai bandul itu disentakkan dengan tongkat
bercabang. Wett...!
Rantai bandul lepas dari cabang tongkat, tapi
membuat tubuh Loh Gawe ikut tersentak kuat bagai
terbawa angin lemparan bandul berduri itu. Akhirnya Loh Gawe terjungkal dan
jatuh ke laut. Byurr...! Tak berapa lama terdengar suara maki-makinya yang tak
dihiraukan lagi oleh Jangkar Langit. Sedangkan cambuk Sumbing Gerhana masih ada
dalam pijakan kakinya dan sulit ditarik lepas oleh pemiliknya.
Kegaduhan di atas membuat Siluman Tujuh Nyawa
keluar dari dalam kamarnya dengan didampingi
pengawal kembarnya Doma dan Damu. Melihat Jangkar
Langit berdiri dengan tenang di buritan, Siluman Tujuh Nyawa segera mendekati
orang tersebut. Tongkat pusaka El Maut tetap ada di tangan kanannya dan dipakai
bertumpu di lantai geladak, sehingga bila berjalan
terdengar duk duk duk duk...!
"Selamat datang di kapalku, Jangkar Langit! "sapa Siluman Tujuh Nyawa tanpa
senyum sedikit pun, tapi juga tidak menampakkan wajah sinisnya. Wajah berlapis
putih itu terlihat datar-datar saja.
"Cukup lama kita tidak bertemu, sekali bertemu kau buat gaduh suasana di
kapalku," lanjut Siluman Tujuh Nyawa.
"Karena anak buahmu bikin ulah di depanku!" jawab Jangkar langit.
Siluman Tujuh Nyawa mengalihkan pandang
sebentar kepada Sumbing Gerhana yang masih berusaha menarik lepas cambuknya dari
pijakan kaki Jangkar Langit. Lalu, dengan cepat dan hampir tak terlihat, Siluman
Tujuh Nyawa tebaskan ujung tongkat El Maut-nya kebawah. Wuttt...!
Tass...! Cambuk sebesar ibu jari kaki itu putus dalam sekejap.
Sumbing Gerhana terpental karena tenaganya sendiri.
Gubrakkk...! Sedangkan sisa cambuk yang ujung masih dalam pijakan kaki Jangkar
Langit. Sisa cambuk itu tiba-tiba berubah dari hitam menjadi abu-abu, lalu
berserakan tertiup angin. Ternyata sisa cambuk itu telah menjadi abu, dan abu
itu terjadi dari tenaga dalam Jangkar Langit yang baru saat itu disalurkan
melalui telapak kakinya.
Sumbing Gerhana kaget melihat sisa cambuknya
menjadi abu halus. Tak terbayangkan olehnya jika


Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dalam itu tersalur pada saat ia berusaha menarik cambuk itu. Sudah tentu
tubuhnya akan ikut menjadi abu seperti sisa ujung cambuknya itu. Sedangkan sisa
cambuk yang masih bersama gagangnya itu tetap utuh tanpa ada perubahan, kecuali
bertambah pendek sekitar tiga jengkal.
Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi sisa cambuk
yang jadi abu itu, tanpa ada senyum meremehkan atau rasa kaget. Lalu, ia cepat
tatapkan mata pada Jangkar Langit dan ucapkan kata,
"Aku tahu kau datang kemari untuk mencari
pusakamu. Tapi ketahuilah, Jangkar Langit, bahwa aku tidak tahu-menahu tentang
pencurian pusaka itu!
Apalagi sekarang Tapak Baja kabarnya telah mati!"
' Tombak itu ada di tangan Hantu Laut!"''
"Tapi Hantu Laut belum pulang bersama Kapal
Neraka-nya."
"Aku harus mendapatkan pusakaku, dan kau harus bertanggung jawab atas ulah anak
buahmu!" "Jangkar Langit," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan melangkahkan kaki ke tepian
pagar geladak, ia
memandang cakrawala yang masih ada sisa merah pada
langitnya sambil ucapkan kata,
"Yang bisa kubantu hanya memberitahukan padamu, bahwa Hantu Laut sekarang ada di
Pulau Beliung. Dengan modal pusakamu itu, dia bersekongkol bersama Dadung Amuk untuk
memberontak padaku. Dia susun
kekuatan di Pulau Beliung! Kalau kau mau dapatkan
pusakamu, pergilah ke Pulau Beliung. Kuserahkan
padamu apa pun nasib Hantu Laut di tanganmu! Jika kau mau bunuh dia, bunuhlah.
Aku tidak akan menuntut
balas padamu, Jangkar Langit!"
"Baik. Tapi bagaimana jika Dadung Amuk turut
campur?" "Kau bunuh pun dia, aku tak akan banyak bicara!"
"Jadi kau rela anakmu si Dadung Amuk itu mati di tanganku?"
"Jika ia ingin menentang kekuasaanku, sebagai ayah aku harus tega membunuh anak
sendiri!" Siluman Tujuh Nyawa palingkan pandang ke arah Jangkar Langit, lalu
ucapkan kata lagi.
"Mulutmu terlalu sembrono ucapkan kata itu, Jangkar Langit. Tapi biarlah, toh
Dadung Amuk akan mati, entah di tanganmu atau di tanganku. Tak apalah orangorangku kini tahu siapa Dadung Amuk dan siapa diriku! Supaya mereka yang ada di
sini pun menjadi tahu, sekalipun Dadung Amuk sebenarnya anakku, tapi jika
sikapnya menentangku, dia akan kubunuh juga!"
Mata dan mulut orang-orang kapal itu terlolong
bengong. Mereka baru tahu bahwa Dadung Amuk itu
ternyata anak dari Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa. Tak pernah ada yang
menyangka sama sekali
bahwa kedua orang itu ternyata punya tali darah
keturunan yang kuat. Sebagai anak dan sebagai bapak.
Walaupun sang Bapak kelihatan jauh lebih muda dari
wajah sang awak, tapi kenyataan itu tak bisa dipungkiri lagi.
* * * 4 DAPAT dibayangkan suasana di Pulau Beliung.
Dayang Kesumat, tokoh perempuan sakti yang
sepertinya baru muncul di rimba persilatan itu sedang dalam perjalanan menuju
Pulau Beliung. Jelas dia akan mengamuk disana untuk membuat perhitungan dengan
Dadang Amuk. Juga tokoh tua yang yang dikenal sakti dan usianya masih di bawah
usia Durmala Sanca itu, Jangkar Langit juga pergi ke Pulau Beliung dan akan
mengamuk ke sana kepada Hantu Laut. Setidak-tidaknya, Pulau Beliung akan
diguncang dua pertempuran hebat yang mungkin akan memakan korban
pihak lain. Ditambah lagi, Siluman Tujuh Nyawa merasa geram
terhadap perkara Pusaka Tombak Maut itu. Maka di
depan orang-orangnya yang dikumpulkan di atas
geladak, Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Pusaka Tombak Maut sebaiknya ada di tanganku
saja, supaya tidak ada pihak lain yang berani
menentangku dengan mengandalkan pusaka itu!"
Sumbing Gerhana menyahut, "Jadi, sang ketua mau sufaya tomwak fusaka itu jatuh
ke tangan kita"!"
"Betul! Karena itu aku akan mengutus orang untuk merebutnya dari tangan Hantu
Laut! Lebih baik merebut pusaka itu dari tangan Hantu Laut, ketimbang dari
tangan Jangkar Langit. Karena jika pusaka itu sudah sampai di tangan Jangkar
Langit, maka kita akan lebih sulit lagi merebutnya!"
"Jika begitu, kita harus lebih cepat sampai di Pulau Beliung sebelum Jangkar
Langit tiba di sana, Ketua!"
kata Nakhoda Salju.
"Ya. Kita bisa potong jalur pelayaran melalui celah-celah Samudera Karang!"
"Samudera Karang..."!"
Sumbing Gerhana
menggumam sendiri, lalu berkata kepada sang ketua,
"Itu jalur yang werwahaya untuk dilewati sewuah kafal, Ketua!"
Kisah Bangsa Petualang 9 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Iblis Sungai Telaga 10

Cari Blog Ini