Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Bagian 3
gelombang besar terjadi di bawah permukaan laut," kata Hantu Laut.
"Buk... bukan karena gelombang lautan! Ada yang sengaja mengguncangkan perahu
kita!" "Apa" Mengencangkan celana kita"!"
"Mengguncangkan perahu kita!" seru Dewa Racun memperjelas ucapannya, dan Hantu
Laut yang tuli segera angguk-anggukkan kepala dengan wajah mulai
tampak cemas. "Jangan-jangan kita berpapasan dengan orangnya Durmala Sanca!" katanya dengan
rasa waswas. "Kita tak perlu bikin perkara jika memang berpapasan dengan mereka. Tapi kalau
mereka mengganggu kita,
aku tak akan tinggal diam!" kata Suto Sinting sambil membuka tutup bumbungnya,
lalu menenggak tuaknya
beberapa kali. "Bagaimana jika mereka mengancam nyawaku?" kata Hantu Laut memancing perasaan
Pendekar Mabuk.
"Tak akan sempat mereka mengancammu, aku akan
bertindak lebih cepat dari mereka!" jawab Suto.
"Mengapa kau mau membelaku, Suto?" tanya Hantu Laut lagi setelah ia bungkamkan
mulut beberapa kejap, lalu Pendekar Mabuk pun menjawab,
"Karena kau sudah berjanji untuk menjadi Hantu Laut yang sekarang, bukan Hantu
Laut yang dulu! Dulu
memang kau jahat dan sesat, tapi sekarang kau punya niat untuk bertobat! Niat
itulah yang kulindungi dan kubelai"
Hantu Laut diam, merasa bersyukur menemukan
lawan seperti Suto, yang bukan hanya bisa
menundukkan kekerasannya, namun juga bisa
menundukkan hatinya hingga kini ia menjadi seorang
sahabat. Andai ia menemukan lawan bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang
bijaksana itu, sudah tentu ia akan mati dikalahkan lawannya atau hancur tak
berbentuk lagi. Tak akan ia punya kesempatan untuk
membuktikan niat tobatnya di mata dunia.
Suto ucapkan kata lagi kepada Hantu Laut,
"Seharusnya kau memang menjalani hukuman mati
karena dosamu terlalu banyak. Tapi menurutku, lebih baik mati kejahatanmu
daripada mati jiwamu. Karena
mati jiwa tidak bisa menebus dosa, tapi mati
kejahatanmu bisa membuatmu punya kesempatan
menebus dosa! Dan sekarang ini kau sebenarnya sedang menjalani hukuman dari
dosamu, yaitu menjadi pembela kebenaran dan pelindung kebaikan, itulah hukuman
yang harus kau jalani seumur hidupmu, Hantu Laut!"
Belum selesai Pendekar Mabuk bicara, perahunya
kembali terasa diguncangkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang membuat ketiga
orang itu hampir terlempar ke laut. Suto Sinting cepat perintahkan kepada Dewa
Racun. "Lacak suara yang ada di sekitar sini, Dewa Racun!"
Maka, Dewa Racun yang punya keahlian menyadap
pembicaraan dari jarak jauh itu segera pejamkan mata dan kedua telunjuknya
menekan pelipis kanan kiri. Si kerdil berpakaian putih bulu itu berdiam diri
beberapa saat. Kejap berikutnya dia serukan kata kepada Suto,
"Akkk... akkk... akkk...."
"Akik..."!"
"Bukan!" sentak Dewa Racun kepada Hantu Laut.
"Ak... aku hanya bisa mendengarkan suara napas yang berat. Tak ada suara
percakapan orang!"
Pendekar Mabuk diam sekejap, dan tiba-tiba Hantu
Laut tudingkan tangan ke arah pulau tandus itu sambil serukan kata,
"Lihat, ada seseorang yang terkapar di pantai sana!"
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun cepat lemparkan
pandang ke arah pantai pulau tandus. Mereka melihat sesosok tubuh terkapar di
pantai sana dengan kepala sedikit terangkat karena bersandarkan sebuah batu
setinggi mata kaki. Suto segera perintahkan Hantu Laut untuk mengarahkan perahu
ke pantai. Makin dekat makin jelas orang yang terkapar itu
adalah seorang perempuan berpakaian hijau ketat berhias benang emas. Terlihat
pula warna jubahnya yang biru muda membayang tipis.
"Siapa perempuan itu, Dewa Racun?"
"Entahlah. Ak... ak... aku masih belum jelas dengan raut wajahnya," jawab Dewa
Racun. Kemudian ia segera melompat turun dari perahu setelah Pendekar Mabuk
mendului turun dari perahu itu. Hantu Laut mencari tambatan untuk tambang
perahunya. Setelah
mendapatkan batu runcing untuk tambatan tali
perahunya, ia segera menyusul dua rekannya yang sudah mendekati perempuan yang
terkapar itu. Dayang Kesumat gagal sembuhkan luka dalamnya
akibat pukulan "Sinar Naga Birawa' dari si Tua Rakus itu. Tubuhnya sangat lemas
dan wajah cantik-nya
memucat pasi. Matanya yang indah berat untuk dibuka kelopaknya. Namun ia
paksakan membuka kelopak mata
setelah tahu ada yang mendekatinya.
"Kau mengenalinya, Dewa Racun?" tanya Pendekar Mabuk pelan.
"Tid... tid...tid... tidak!" jawab Dewa Racun sambil pejamkan mata karena sukar
sekali menyebut sepotong
kata itu. Lalu ia buka matanya kembali dengan rasa lega dan sambungkan
jawabannya, "Aku hanya kenali dia sebagai perempuan muda yang cantik jelita, walau tak
secantik calon istriku sang Ramu.
Tap... tap... tapi aku tidak tahu siapa namanya. Baru sekarang aku melihat wajah
cantik ini."
"Aku juga! Kau mengenalinya, Hantu Laut?"
Mata Hantu Laut yang terbuka lebar dengan mulut
bengong karena kagum melihat kecantikan dan
kebesaran dada perempuan itu, segera berkedip
menggeragap saat mendapat pertanyaan dari Pendekar
Mabuk. Lalu, cepat ia menjawab,
"Tidak... tidak! Aku tidak mengenalinya."
"Hmmm... tampaknya ia terluka parah di bagian
dalam!" kata Suto seperti bicara pada diri sendiri.
Dayang Kesumat ucapkan kata lemah dan lirih,
"Tolong aku...!"
"Kau terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, Nona?"
"Ya. Uuh...!" Ia berusaha menggeliat tapi tak mampu banyak berbuat, ia hanya
ucapkan kata lirih, "Sakit...!"
Suto bersiap menuangkan tuak ke dalam mulut
Dayang Kesumat, tapi lebih dulu ia ajukan tanya,
"Kau bisa minum tuak?"
"Ya," jawab Dayang Kesumat pendek.
"Kalau begitu, bukalah mulutmu dan minumlah tuak ini...!"
Pelan-pelan Dayang Kesumat membuka mulutnya.
Mulut ternganga kecil dan Suto Sinting tuangkan tuak pelan-pelan. Tuak mengucur
masuk ke dalam mulut
berbibir indah itu. Diteguk beberapa kali oleh Dayang Kesumat. Sete1ah itu, Suto
ucapkan kata, "Jangan banyak bergerak dulu, Nona. Diamlah
beberapa saat biar tuak saktiku ini melawan kekuatan yang merusak bagian dalam
tubuhmu. Jika memang
bisa, usahakanlah untuk tidur. Kami akan menunggumu di sini sampai kau sembuh."
Dewa Racun melangkahkan kakinya mendekati
gundukan batu yang menjulang tinggi hingga bisa
menjadi peneduh pada bayangannya. Di sana Dewa
Racun duduk di bongkahan cadas yang ada di bawah
batu itu. Saat Pendekar Mabuk mendekati batu itu, Dewa
Racun ucapkan kata, "Pu... pu... pu... pu...."
"Puser!"
"Pulau!" sahut Dewa Racun, sebab jika belum disentakkan arti kata yang ingin
diucapakan, Dewa
Racun masih kesulitan ucapkan kata yang dimaksud.
"Pulau ini tandus, seperti padang pasir. Tak mungkin perempuan itu asli penduduk
pulau ini. Setahuku, pulau ini tidak berpenghuni. Karen... ka-ren... karena
tidak ada yang didapat dari pulau ini!"
Suto pandangi sekelilingnya. Pulau itu memang
tandus. Perbukitan cadas membentang di tengahnya
tanpa tanaman jenis pohon, kecuali tanaman jenis
rumput yang termasuk jarang tumbuhnya. Disana-sini
banyak bongkahan batu cadas dan karang yang
menjulang bagaikan pilar-pilar hias alami. Tanah
berpasir, lebih ke dalam lebih berbatu cadas. Apabila
seseorang berjalan dari pantai seberang sana melewati pertengahan pulau, akan
kelihatan jelas dari tempat Suto berdiri karena tak ada banyak penghalang dari
tanaman. "Pulau apa ini namanya, Dewa Racun?"
Hantu Laut yang ada di belakang Suto menyahut,
"Namanya Pulau Padang Peluh!"
Pendekar Mabuk palingkan wajah kepada Hantu
Laut, "Kau pernah datang ke pulau ini?"
"Ya. Sewaktu mengantar pertarungan Tapak Baja dengan Nagadipa, murid Iblis Pulau
Bangkai. Tapak Baja berhasil hancurkan Nagadipa hanya dengan tiga
jurus." "O, jadi Nagadipa telah mati?"
"Mungkin saja mati," jawab Hantu Laut. "Sebab, sebelum jelas kematiannya,
Nagadipa telah diserobot oleh tokoh tua yang punya ilmu lebih tinggi dari Tapak
Baja, lalu Nagadipa dibawanya lari. Tapi menurut Tapak Baja, lawannya itu pasti
mati karena ia menyebarkan racun ganas di dalam tubuh Nagadipa!"
Tertegun Suto mendengar kabar itu. Ia sangat kenal
dengan Nagadipa, karena orang itu memang musuhnya.
Nagadipa sebenarnya musuh bebuyutan Bidadari Jalang, bibi guru-nya Pendekar
Mabuk. Nagadipa selalu
berusaha membalas kematian gurunya Iblis Pulau
Bangkai, yang dikalahkan oleh Bidadari Jalang. Bahkan ia pernah berhadapan muka
dengan Pendekar Mabuk
ketika hendak membalas kekalahan Putri Alam Baka,
bekas istrinya itu. Tetapi, Nagadipa terkena pukulan napas Tuak Setan yang
membuatnya terlempar ke sana
kemari dalam keadaan luka parah. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
Tetapi pada waktu itu, Nagadipa masih bisa bernapas sedangkan Putri Alam Baka
mati karena dilemparkan
badai maut dari napas Pendekar Mabuk. Nagadipa
diselamatkan oleh Maharani, teman dari Putri Alam
Baka. Dan sejak itu tak terdengar lagi kabarnya. Baru sekarang Pendekar Mabuk
mendengar nama Nagadipa
disebutkan oleh Hantu Laut. Tapi siapa tokoh sakti yang waktu itu menyelamatkan
Nagadipa dari pertarungannya dengan Tapak Baja" Hantu Laut tidak mengenalnya,
karena waktu itu Hantu Laut hanya memandang dari
haluan Kapal Neraka yang dijaganya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan mereka adalah,
siapa perempuan yang terluka dalam itu" Menurut Dewa Racun, perempuan itu bukan
berasal dari Pulau Padang Peluh. Pasti dari tempat lain. Tetapi, mereka tidak
melihat sebuah perahu terdampar di pantai.
"Apakah ia dibuang dari sebuah perahu atau kapal?"
duga Hantu Laut sambil memandang perempuan yang
berjarak sepuluh langkah dari tempat mereka berkumpul itu.
"Di... di... di... ddiiii...."
"Dicolok?"
"Aaah, bukan! Dddi... dilihat! Dilihat dari
pakaiannya, sepertinya dia bukan perempuan biasa. Dia perempuan yang punya
kedudukan di dalam sebuah
perkumpulan. Paling tidak dia perempuan ter... terrr...
terrhormat. Ya. Dia perempuan terhormat. Bukan
sekadar seorang murid atau anak buah tingkat rendahan."
"Pedang di punggungnya menampakkan dia
perempuan yang punya ilmu," kata Suto. "Tapi seberapa tinggi ilmunya kita belum
tahu pasti."
Dayang Kesumat mulai bisa menangkap pembicaraan
ketiga lelaki itu walau samar-samar. Agaknya luka
dalam akibat pukulan 'Sinar Naga Birawa' mulai
membaik. Dayang Kesumat sempat membatin dalam
hatinya, memuji kehebatan tuak Pendekar Mabuk yang
mampu menyembuhkan luka dalam dengan sangat cepat.
Kejap berikutnya, Dayang Kesumat sudah mampu
berdiri dan pandangkan mata ke arah Suto Sinting yang mendekat bersama Dewa
Racun serta Hantu Laut.
Badannya terasa mulai segar kembali, bahkan makin
lama terasa semakin lebih segar dari biasanya.
"Keadaanmu sudah membaik, Nona?" tanya Pendekar Mabuk basa-basi.
"Sudah! Kau yang mengobati lukaku?"
"Ya, aku."
"Bagus!" kata Dayang Kesumat mulai tampak sikap angkuhnya, ia tak mau ucapkan
terima kasih, melainkan justru berkata,
"Kau pantas jadi tabib saja, Suto!"
Terkesiap Suto mendengar namanya disebutkan.
Terkesiap pula Dewa Racun dan Hantu Laut karena
ucapan perempuan itu.
"Kau tahu namaku" Dari mana kau mengetahuinya, Nona" Sedangkan aku sendiri tidak
tahu namamu"!"
"Dayang Kesumat, namaku!" jawabnya dengan mata
tajam memandang Pendekar Mabuk, bercampur
perasaan kagum dan terpikat oleh ketampanan Pendekar Mabuk. Sementara yang
dipandang hanya gumamkan
nama itu sambil kerutkan dahi, merasa asing dengan
nama tersebut. Demikian pula hal yang dialami oleh
Dewa Racun dan Hantu Laut.
Dayang Kesumat bahkan ucapkan kata, "Hantu Laut ada denganmu, Suto! Itu tandanya
kau buka tantangan adu nyawa dengan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Kau mengenal Hantu Laut juga, rupanya" Hmm...
lantas mengapa kau berkata begitu jika Hantu Laut ada padaku?"
"Dia sedang dalam ancaman mati oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sang Ketua sudah tahu
Hantu Laut mau membunuh dia dengan tombak pusaka!"
"Tap... tapi... tapi aku sekarang sudah tidak
mengancam mau membunuh dia lagi, Nona! Ak... aku
sudah tidak punya tombak pusaka itu dan... dan...!"
"Itu masalahmu!" sahut Dayang Kesumat, lalu sunggingkan senyum tipis melihat
Hantu Laut cemas.
Kembali ia menyambung.
"Yang ingin kutahu kini, di mana temanmu Dadung Amuk"! Aku akan mencabut
nyawanya cepat-cepat!"
"Da... Da... Dadung Amuk sudah mati!" sahut Dewa Racun.
"Omong kosong!" Dayang Kesumat sedikit
menggeram dan mulai tampak sikap permusuhannya.
Dewa Racun berbisik kepada Suto,
"Dddii... dia bersikap tak bersahabat dengan kita."
Rupanya Dayang Kesumat mendengar bisikan itu dan
ia menjawab, "Memang! Yang kutahu, Hantu Laut sekongkol
dengan Dadung Amuk untuk melawan Siluman Tujuh
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyawa. Jika Dadung Amuk tidak ada di sini, itu
tandanya kalian menyembunyikan Dadung Amuk. Hantu
Laut pasti tahu di mana Dadung Amuk belada!"
"Sum... sumpah! Dadung Amuk sudah mati, Nona!"
kata Hantu Laut agak ngotot. "Kami temukan mayatnya mengapung di laut sebelah
sana!" "Aku bukan bocah bodoh! Dadung Amuk lebih tinggi ilmunya ketimbang kamu, Hantu
Laut! Tak mungkin dia mati, sedangkan kamu masih hidup! Itu sebabnya aku
tadi menyedot kekuatan kalian supaya datang ke sini, sebab kusangka kalian
belsama Dadung Amuk!"
Suto segera bicara setelah meneguk tuaknya,
"Dayang Kesumat, kami sudah tolong kamu dari
lukamu, jadi tak perlu ada perselisihan tanpa arti di antara kita!"
"Hantu Laut pasti mau sebutkan di mana Dadung
Amuk belada. Kalau tak mau sebutkan, mulutnya akan
kupaksa bicala dengan pedangku!"
"Mulutnya akan kau apakan?" pancing Pendekar Mabuk.
"Akan kupaksa bicala dengan pedangku!" sentak Dayang Kesumat. Tapi Suto dan Dewa
Racun saling memandang. Lalu Suto bergumam,
"Bicala..."!"
"Mmmung... mungkin maksudnya bicara!"
"Ya, aku tahu. Tapi mengapa dia bilang bicala dua kali"!"
Dayang Kesumat cepat serukan kata, "Hantu Laut, katakan di mana Dadung Amuk
belada"!"
"Aku sudah katakan tadi, Dayang Kesumat!"
"Katakan yang sebenalnya!" bentak Dayang
Kesumat. Hantu Laut kebingungan, ia memandang ke arah
Pendekar Mabuk, tapi waktu itu Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun sedang kasak-kusuk.
"Sebenalnya! Maksudnya, sebenalnya!"
"Diii... dia... dia ternyata cadel! Tak bisa sebutkan huruf 'R'."
"Tapi mengapa baru sekarang dia cadel" Sejak tadi bicaranya lancar-lancar saja."
"Kar... kar... karena omongannya sejak tadi tidak memakai huruf 'R'. Dia bisa
hindari huruf 'R', sehingga tak kelihatan cadelnya!"
"Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu dengan
tokoh cadel. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, Peri Malam pernah punya guru
yang cadel bicaranya, yaitu Mawar Hitam. Penguasa Pulau Hantu! Tapi... dia tidak
secantik dan semuda ini, Dewa Racun!"
Dayang Kesumat mendengar kasak-kusuk itu, lalu ia
serukan kata, "Ya. Telnyata ingatanmu masih tajam, Pendekat
Mabuk! Akulah si Mawal Hitam dali Pulau Hantu!"
Terkejut Suto mendengar pengakuan itu. Terpana ia
tatap wajah cantik yang sulit dipercaya pengakuannya
itu. Tapi Dewa Racun cepat ucapkan kata,
"Kkka... kkka... kakkk... kal."
"Kalang kabut"!" sentak Pendekar Mabuk.
"Bukan! Kal... kalau begitu, kau telah kuasai ilmu
'Rias Renggana', Dayang Kesumat"! Aku tahu ilmu 'Rias Renggana' bisa membuat
wajah tua menjadi cantik jelita seperti kau sekarang!"
"Bukan hanya ilmu 'Lias Lenggana' yang kukuasai, melainkan kugunakan pula ilmu
'Selap Kawekas' untuk menyedot semua ilmu olang-olang sakti, hingga bisa
kumiliki dalam waktu singkat dan cepat, tanpa susah payah menempuhnya dengan
latihan. Ha ha ha...!"
Tawa itu memberi kesempatan bagi Suto untuk
membatin kata, "Luar biasa perubahannya! Kalau saja bicaranya tidak cadel, aku
tidak mungkin bisa tahu
bahwa dia adalah si Mawar Hitam, musuh bebuyutan
dari Bibi Guru Bidadari Jalang!"
Dewa Racun bisikkan kata kepada Pendekar Mabuk,
"Ber... ber... berbahaya! Dia sudah kuasai ilmu 'Serap Kawekas'!"
"Apa itu ilmu 'Serap Kawekas'?" tanya Hantu Laut yang mendengarnya.
"Sebuah ilmu yang dipakai untuk menyerap ilmu
milik orang lain, sehingga ilmu milik orang lain itu menjadi miliknya, dan...
dan... orang itu kehilangan semua ilmunya. Berr... berr... berarti di dalam
dirinya banyak tersimpan ilmu milik orang-orang sakti yang
nyaris mati. Sebelum mati diserapnya ilmu oor... orang itu!"
"Hantu Laut!" seru Dayang Kesumat. "Aku tak punya kesabalan lagi menunggu
pelundingan kalian! Akan
kupaksa mulutmu membeli tahu di mana Dadung Amuk
belada! Heaaah...!"
"Tahan dulu!" cegah Pendekar Mabuk tiba-tiba. "Ada sebuah kapal menuju kemari!
Barangkali Dadung Amuk
ada di kapal itu!" Pendekar Mabuk sengaja mengulur waktu agar tidak terjadi
bentrokan antara dirinya dengan Dayang Kesumat.
Tapi memang benar, ada sebuah kapal bergerak
merapat ke pantai Pulau Padang Peluh itu. Beberapa
orang-orangnya turun menyerbu ke pantai. Wajah
mereka tampak buas dan tidak bersahabat.
* * * 8 KAPAL berbendera naga itu ternyata dalam sebuah
kejaran perahu berlayar hijau yang mempunyai gambar tengkorak bermata rantai
tujuh butir itu. Hantu Laut mengenali perahu berlayar hijau itu sebagai perahu
milik Dadung Amuk. Ia sempat menjadi takut, karena
menurutnya Dadung Amuk sudah ditemukan dalam
keadaan mati dan mayatnya mengambang di lautan
lepas. Tapi mengapa sekarang perahunya bisa mengejar kapal besar milik Bajak
Naga" Suto Sinting segera perintahkan Dewa Racun dan
Hantu Laut untuk sembunyikan diri. Ternyata Dayang
Kesumat ikut pula sembunyikan diri, setelah dia tahu
kapal Bajak Naga sedang dalam pengejaran perahunya
Dadung Amuk. Ia mengincar Dadung Amuk, tapi juga
membiarkan terjadi pertempuran antara kedua awak
kapal tersebut.
Si Tua Rakus tampak melompat tinggalkan kapalnya,
melewati pundak demi pundak anak buahnya yang
berlarian ke pantai. Rupanya Wisoguno telah berhasil menyembuhkan luka pukulan
dalam Tua Rakus,
sehingga manusia yang bermata satu itu dapat bergerak dengan lincah. Dari sekian
banyak anak buahnya, tinggal sepuluh orang yang tersisa. Dan kesepuluh orang itu
pun sedang dalam pelariannya untuk menghindari maut yang mengancam atau karena
suatu hal lain.
"Pancing mereka supaya bergerak ke pulau ini!"
teriak si Tua Rakus kepada anak buahnya yang masih
tertinggal di dekat kapal.
"Saya mau serang mereka dari atas menara intai, Yang Mulia!" kata Raja Tebas.
"Jangan bodoh kau! Bisa rusak kapal kita oleh
serangan balik dari mereka! Cepat giring mereka kemari, supaya kapal kita tidak
rusak seperti tempo hari!"
Rupanya si Tua Rakus bukan lari karena takut
serangan musuhnya, melainkan sengaja memancing
pertarungan di daratan supaya kapalnya tidak ikut rusak akibat pertarungan
mereka. Tetapi agaknya musuh Tua Rakus itu tidak bodoh seperti dugaan si Tua
Rakus. Sebelum mereka mencapai pantai, lebih dulu mereka
menggempur kapal Bajak Naga itu dengan kekuatan
tenaga dalam hingga tiang layar patah dan tumbang
menghancurkan geladak. Lambung kapal dihantam pula
dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat
hingga kapal menjadi bolong. Bunyi ledakan dan
percikan api berkali-kali datang dari kapal Bajak Naga, hingga akhirnya kapal
itu sendiri meledak terbakar oleh satu pukulan yang maha hebat.
"Bangsat kurap!" teriak si Tua Rakus. "Hancurkan kembali perahu mereka! Kita
bisa lari memakai perahu yang ada di sebelah sana!" sambil Tua Rakus menuding
perahu milik Suto yang ditambatkan jauh dari
tempatnya. Dan di sana, di balik gundukan batu-batu serta bukit cadas tak
seberapa tinggi, Pendekar Mabuk serta kedua sahabatnya bersembunyi memperhatikan
pertarungan tersebut. Dayang Kesumat berada tak jauh dari mereka, antara tujuh
langkah di samping kanan
Pendekar Mabuk.
Anak buah Tua Rakus bermaksud menghancurkan
perahu layar hijau, tetapi usaha mereka selalu dapat digagalkan. Dan satu hal
yang membuat Dewa Racun,
Hantu Laut, serta Suto Sinting terheran-he-ran adalah kemunculan lawan Tua Rakus
dari perahu layar hijau.
Ternyata bukan sosok Dadung Amuk seperti dugaan
Hantu Laut, melainkan dua anak muda kembar rupa,
yaitu Doma Damu. Mereka menggunakan perahu milik
Dadung Amuk dalam perjalanan menuju Pulau Beliung.
Tetapi bertemu dengan kapal Bajak Naga di perjalanan dan terjadilah pertempuran
itu, sebab kapal Bajak Naga memang bermusuhan dengan kapal Siluman Tujuh
Nyawa. Entah apa yang menyulut api pertarungan lebih
dulu, yang jelas mereka bertarung dengan sengit, walau dengan jumlah tak
seimbang, dua melawan lebih dari
sepuluh. "Siapa dua anak kembar itu?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. Tetapi,
Hantu Laut yang segera
beri jawaban, "Mereka Doma dan Damu, pengawal pribadi sang
ketua yang ilmunya paling tinggi dari sekian banyak anak buah sang ketua. Tapak
Baja pun takut jika
berhadapan dengan kedua anak kembar itu!"
Dalam hati Pendekar Mabuk membenarkan
keterangan Hantu Laut. Karena dengan mata kepalanya sendiri Pendekar Mabuk
melihat gerakan Doma dan
Damu begitu cepat dan gesit, pukulannya tak ada yang lolos dari sasaran. Sekali
pukul pasti mengenai lawan dan lawan pasti mati seketika. Tak heran jika Doma
dan Damu dijadikan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa yang dihormati dan
disegani anak buah lainnya.
Dalam waktu singkat pertarungan di pantai itu
membuat enam anak buah si Tua Rakus terkapar tanpa nyawa. Tinggal beberapa
gelintir anak buah Tua Rakus yang punya ilmu cukup lumayan dibandingkan yang
sudah lebih dulu mati itu.
Raja Tebas mengamuk dengan ilmu pedangnya yang
punya kecepatan tebas melebihi kilatan cahaya petir.
Tetapi sayangnya kedua lawan cukup gesit dalam
bergerak sehingga sulit ditebas tubuhnya. Apalagi dari mulut Doma dan Damu
selalu menyemburkan nyala api
bagai semburan gunung murka, Raja Tebas dan yang
lainnya sering dibuat terdesak.
Dalam satu kesempatan baik, Tua Rakus sempat
kirimkan pukulan 'Sinar Naga Birawa' dari matanya
yang tertutup itu, dan sinar biru melesat cepat ke arah Damu. Zuuttt...!
Debb...! Sinar biru itu tepat mengenai tengkuk kepala Damu. Anak muda berpakaian
rompi merah itu tersentak melengkung ke depan dan akhirnya rubuh dalam sekejap.
Sementara itu, Doma masih
menyerang Wisoguno menggunakan pukulan jarak
jauhnya. Wisoguno berhasil menghindari serangan sinar kuning dari Doma, tapi
seorang anak buah lainnya yang berdiri di belakang Wisoguno menjadi sasaran
berikut. Sinar itu memecahkan isi perut orang yang sedang
berdiri di belakang Wisoguno itu.
"Hancurkan dia! Tinggal satu, hancurkan dia!" teriak Tua Rakus dengan garangnya,
penuh nafsu untuk
membunuh Doma. Tetapi pada kejap lain, Doma sempat menyerang Raja
Tebas dengan menggunakan Cermin Benggala Kembar
itu. Dua hal terjadi dengan sangat mengejutkan bagi mata para penonton gelapnya
itu. Sebuah lompatan Doma di atas tubuh Damu telah
membuat Damu yang mati menjadi hidup kembali.
Senjata cermin Doma mengeluarkan sinar putih
menyilaukan, melesat ke arah Raja Tebas. Dengan
kegesitannya Raja Tebas bersalto ke samping kanannya, membuat sinar itu
menghantam nakhoda kapal Bajak
Naga yang dikenal dengan nama Wiloka.
Wettt...! Sreppp...!
Wisoka tersentak diam tak bergerak. Kejap
selanjutnya, tubuhnya jatuh menjadi serpihan-serpihan tanpa bentuk lagi.
Prolll...! Wujud dari Wiloka hilang, yang ada hanya gundukan daging-daging kecil
dari tubuh yang hancur itu.
Hantu Laut terbelalak lebar matanya dengan perasaan ngeri di hatinya. Sementara
itu, Dewa Racun
terbengong-bengong memperhatikan Damu yang mati
menjadi hidup kembali. Bahkan dalam pertarungan
berikutnya, Doma berhasil ditebas punggungnya oleh
pedang andalan Raja Tebas. Punggung itu koyak besar, menyemburkan darah. Doma
jatuh tersungkur dan diam
untuk selamanya. Melihat Doma mati, Damu cepat
melangkahi mayat Doma. Lalu, kejap selanjutnya Doma telah bangun kembali. Hidup
dengan lebih ganas dan
segera menyerang Wisoguno yang ada di depannya.
"Or... or... orang itu bisa hidup lagi dengan luka menjadi rapat kembali"!"
gumam Dewa Racun terheran-heran. Hantu Laut berkata,
"Itulah kehebatan Doma dan Damu. Si Kembar itu sulit dibunuh. Jika yang satu
mati, maka yang satunya segera berusaha melangkahi mayat saudaranya. Dan
mayat yang dilangkahinya itu akan hidup kembali.
Berapa kali pun mereka mati, jika masih saling
melangkahi akan bisa hidup kembali!"
Pendekar Mabuk menggumam, "Ilmu 'Bayangbayang Hantu' itu namanya."
"Ya, benar," jawab Hantu Laut. "Dan hanya Doma dan Damu yang mempunyainya."
Sekarang kedua anak kembar itu sama-sama sudah
menggenggam cermin bertangkai yang bentuknya seperti bola kaca itu. Dewa Racun
yang merasa heran segera
bertanya kepada Hantu Laut,
"Senjata apa yang mereka pegang itu?"
Tapi yang menyahut Dayang Kesumat, sepertinya ia
bicara kepada diri sendiri, bukan kepada Dewa Racun.
"Celmin Benggala Kembal..."!"
"Betul," kata Hantu Laut kepada Dewa Racun,
"Mereka dijamin tak akan sabar!"
Dewa Racun kerutkan dahi, "Apa hubungannya
omonganmu de... de... dengan jawaban Dayang
Kesumat" Dia bilang Cermin Benggala Kembar! Bukan
bicara tak sabar!"
"O, kalau begitu aku salah dengar. Tapi memang benar, senjata itu bernama Cermin
Benggala Kembar,
milik Siluman Tujuh Nyawa. Biasanya, jika seorang
utusan pergi dengan dibekali pusaka dari sang ketua, itu berarti utusan tersebut
tak boleh pulang tanpa membawa hasil. Dia hanya boleh pulang dengan membawa
hasil, jika tidak punya hasil, dia boleh pulang raganya saja!
Nyawanya harus cepat pergi tinggalkan raga!"
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kkka... kalau begitu, Doma Damu dapat tugas yang amat penting sekarang ini,
sehingga dibekali pusaka tersebut?"
"Ya. Mestinya begitu. Tapi tugas sepenting apakah sampai Doma dan Damu dibekali
pusaka seperti itu"
Dengan dibekali pusaka saja, sudah menandakan ciri
yang amat penting dari tugas yang diembannya, apalagi
sekarang yang turun tangan adalah Doma Damu sendiri, itu berarti ada tugas yang
maha penting dari seluruh tugas lainnya!"
Percakapan mereka terhenti karena melihat Doma
semburkan api panas membara kepada salah seorang
anak buah Tua Rakus. Orang tersebut menjadi terbakar sekujur tubuhnya dan
berteriak-teriak kelimpungan.
Walau sudah merendam dalam air laut, tapi nyala api masih berkobar, ia akhirnya
mati hangus seperti empat orang lainnya.
"Bah... bah... bahhh... bahaya sekali! Bahaya sekali mulut kedua anak kembar
itu!" kata Dewa Racun entah kepada siapa.
Kini tinggal empat orang berdiri menghadapi Doma
dan Damu. Mereka adalah Raja Tebas, Wisoguno,
Dampu Samak, dan Tua Rakus sendiri. Mereka
menghentikan pertarungan sejenak, karena Tua Rakus serukan kata kepada ketiga
orangnya yang tersisa,
"Mundur kalian! Munduuur...!"
Tua Rakus berdiri di depan ketiga anak buahnya yang tersisa itu. Doma Damu masih
siap dengan senjata
pusaka Cermin Benggala Kembar. Cermin pemburu
nyawa itu siap digunakan sewaktu-waktu.
Terdengar Tua Rakus serukan kata, "Doma Damu...!
Sesungguhnya aku malas turun tangan dalam
pertarungan ini! Karena lawanku bukanlah kalian,
melainkan Siluman Tujuh Nyawa! Tetapi, karena kalian telah membantai habis anak
buahku, terpaksa aku turun tangan menghadapi kalian, kecuali jika kalian merasa
sudah puas dan mau pergi tinggalkan kami! Kuberi
kesempatan pada kalian untuk menghindari maut dari tanganku!"
Damu yang menjawab, "Kami akan tinggalkan kau, jika kau tinggal raga tanpa
nyawa, Tua Rakus! Jangan bermimpi dapat mengungguli kekuatan orang-orang dari
Kapal Siluman!"
"Kekuatan tahi kucing yang dimiliki Kapal Siluman!"
geram Tua Rakus, lalu Damu menjawab,
"Buktinya kapalmu sekarang hancur! Bukan lagi sebagai Kapal Bajak Naga, tapi
Kapal Bajak Cacing!"
"Grmrr...!" Tua Rakus makin terbakar amarahnya, sehingga ia cepat-cepat
sentakkan kedua tangannya ke arah perahu berlayar hijau itu. Kedua tangannya
mengeluarkan cahaya merah menyala bagaikan piringan yang melesat ke perahu layar
hijau. Wuutttt...! Tetapi Doma cepat sentakkan Cermin Benggala
Kembarnya hingga mengeluarkan sinar putih
menyilaukan. Sinar putih itu melesat lebih cepat dari sinar merah bagai piringan
itu. Lalu, sinar tersebut menghantam sinar merah itu di udara. Blarrr...!
Terjadi ledakan yang timbulkan gelombang angin cukup
kencang. Perahu layar hijau sempat terguncang sejenak.
Pada saat semua mata tertuju pada benturan kedua
sinar tadi, diam-diam Dampu Samak melemparkan pisau terbangnya ke arah Damu.
Wuttt...! Tetapi pisau itu segera ditangkis dengan kibasan Cermin Benggala
Kembar. Trringngng...! Pisau itu melesat ke arah lain.
Tapi Damu cepat sentakkan Cermin Benggala Kembar di depan. Dari cermin itu
keluar sinar merah yang membuat Dampu Samak tersentak mundur, lalu tubuhnya
tiba-tiba jatuh satu persatu menjadi potongan tiap ruasnya.
Telinga jatuh, jari jatuh, pergelangan tangan jatuh, pangkal lengan pun jatuh,
dan akhirnya Dampu Samak
mati dalam keadaan terpotong-potong menjadi banyak, termasuk kepalanya sendiri
yang menggelinding dalam keadaan mata tetap terbelalak kaget.
"Bangsat kau!" bentak Raja Tebas. "Kau bunuh adikku dengan sekeji itu! Sekarang
giliranmu yang harus kubunuh, Babi Kurap! Heaah...!"
Raja Tebas sentakkan kaki dan melesat terbang di
udara dengan pedang siap menebas leher lawan. Tetapi dengan gerakan gesit Damu
segera bersalto ke belakang satu kali. Jlegg...! Kemudian ia sentakkan Cermin
Benggala Kembar ke arah Raja Tebas.
Zlaappp...! Bagian lubang di tengah bola kaca itu mengeluarkan semacam mata tombak yang
pipih berwarna putih
mengkilap. Begitu cepat gerakannya tak sempat
dihindari Raja Tebas. Maka, leher kiri Raja Tebas
menjadi sasaran empuk senjata tersebut. Crapp...!
Logam putih mengkilat itu masuk terbenam habis di
leher Raja Tebas.
Tua Rakus memandang Raja Tebas yang berdiri
dengan oleng dan tidak bisa bicara apa pun walau
mulutnya telah ternganga. Bahkan sekarang Raja Tebas berdiri dengan bersandarkan
batu tinggi. Tapi kejap
berikutnya tangannya menjadi panjang, jari-jarinya
mulur ke bawah bagaikan lem kental yang ingin jatuh.
Plukk...! Akhirnya jari-jemari itu jatuh ke tanah, dan tubuh Raja Tebas menjadi
lumer menjijikkan. Warnanya hitam kehijau-hijauan.
"Llu... luar... luar biasa ganasnya Cermin Benggala Kembar itu," ucap Dewa
Racun, entah siapa yang diajaknya bicara.
Dengan matinya Raja Tebas, kini kedudukan mereka
menjadi seimbang. Dua melawan dua. Tua Rakus
menghadapi musuhnya dibantu dengan Wisoguno. Tapi
Suto cepat berkata kepada Dewa Racun,
"Kasihan Tua Rakus. Temannya yang satu itu tidak akan mampu bertahan satu jurus
pun dari kesaktian
Doma Damu."
"Apakah kita akan membantu Tua Rakus?" tanya Hantu Laut.
Tiba-tiba Dayang Kesumat ucapkan kata,
"Kulemukkan tengkolak kepala kalian kalau ada yang membela meleka!"
Pendekar Mabuk palingkan wajahnya kepada Dayang
Kesumat, "Maksudmu, kau keberatan jika kami
membela Tua Rakus?"
"Sangat kebelatan jika kalian membela salah satu pihak. Kedua pihak itu memang
layak untuk hancul! Tua Lakus tukang pelkosa, halus hancul, dan Doma Damu
anak buah Siluman Tujuh Nyawa, memang ada baiknya
juga hancul! Jika dia tidak hancul, aku yang akan
hanculkan meleka! Dengan begitu kekuatan Siluman
Tujuh Nyawa akan semakin belkulang! Suatu saat nanti akulah yang akan kuasai
lautan utala ini!"
"Itu ulusanmu...!" ledek Dewa Racun.
Merasa diledek dengan ikut-ikutan cadel, Dayang
Kesumat cepat meremas kelingkingnya sendiri. Tiba-tiba Dewa Racun tersentak
dengan kepala terdongak,
suaranya tak bisa keluar, matanya mendelik. Pendekar Mabuk segera tanggap bahwa
Dewa Racun sedang
dicekik oleh Dayang Kesumat melalui gerakan tangan
yang meremas itu. Takkk...!
Pendekar Mabuk tidak tinggal diam. Lalu, ia
sentilkan tangannya ke arah tangan yang meremas itu.
Takkk...! "Ahhg...!" Dayang Kesumat tersentak dan terpekik lirih sambil melepaskan
genggaman tangannya. Lalu
tangan itu dikibas-kibaskan karena terasa sangat sakit mendapat pukulan 'Jari
Guntur' dari Pendekar Mabuk
itu. Ia segera memandang Pendekar Mabuk dengan
cemberut. Suto hanya ucapkan kata, "Jangan coba-coba ganggu kami!"
Dayang Kesumat tidak ucapkan kata apa pun. Ia
kembali palingkan pandang ke arah pertarungan Doma, Damu, dan Tua Rakus.
"Heaaat...!" Wisoguno bersalto di udara sambil kibaskan senjata goloknya yang
lebar itu. Tapi Damu yang diserangnya bersalto mundur dua kali, kemudian dengan
lutut merendah satu ke tanah Damu sentakkan
cerminnya dan dari cermin itu keluar sinar hijau bertubitubi. Hantaman terlihat jelas ke tubuh Wisoguno. Sinar hijau itu membungkus
Wisoguno yang telah
mendaratkan kakinya di atas sebuah batu. Sinar hijau itu membuat si Wisoguno
tidak bisa bergerak maupun
berteriak. Kejap berikut, sinar hijau itu lenyap. Tapi Wisoguno telah menjadi putih bagai
diliputi salju. Salju itu makin lama makin mencair bersama hilangnya bentuk
wujud Wisoguno. Di sisi lain, Tua Rakus berhasil menghantamkan
pukulannya ke arah dada Doma. Dada itu menjadi
berasap dan Doma jatuh dengan tubuh kejang-kejang.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, saudara
kembarnya segera melompati tubuh Doma.
Kejap lainnya, Doma kembali bangkit berdiri dalam
keadaan segar seperti semula, ia berdiri berdampingan dengan Damu, siap
menghadapi Tua Rakus. Saat itu,
Damu berbisik, "Serang dia bersama!"
"Baik...!"
Baru saja selesai bicara bisik mereka, tiba-tiba Tua Rakus membuka penutup
matanya dan sinar biru melesat ke arah perut mereka.
"Pergi kau ke neraka sana, hiaaaah...!"
Suttt...! 'Sinar Naga Birawa' menyerang berturutturut. Tapi Doma Damu cepat sentakkan kaki mereka
dan melesat naik ke atas dengan cukup tinggi. Kedua cermin itu segera mereka adu
di udara. Trringngng...!
Gemanya berdenging memenuhi pulau itu. Beradunya
dua cermin kembar itu memancarkan sinar warna
pelangi yang indah dipandang mata. Sinar itu melesat tanpa putus-putus langsung
mengenai tubuh Tua Rakus yang sempat berlari mundur tiga tindak. Zzzrrubbb...!
"Aaaahhg...!" Masih sempat terdengar suara pekik Tua Rakus. Selanjutnya sepi.
Sinar pelangi itu hilang, yang ada hanya kepulan asap membungkus Tua Rakus.
Kepulan asap itu berwarna-warni. Memang sangat indah menakjubkan dipandang
mata, namun sangat berbahaya bagi orang yang
menerimanya. Angin laut membawa pergi asap tebal warna-warni
itu. Dan segera terlihat nasib Tua Rakus yang diam, berdiri sambil memegang
penutup matanya yang tadi
akan dibuka lagi namun tak sempat itu. Tua Rakus
berdiri dengan tegak dan kekar, tapi membuat Dewa
Racun dan Hantu Laut terperangah bengong melihatnya.
Sebab, kulit Tua Rakus menjadi hitam keabu-abuan.
Tua Rakus menjadi patung batu untuk selamalamanya! * * * 9 "CERMIN Benggala Kembar, merupakan sepasang
pusaka yang amat berbahaya bagi orang-orang yang
tidak tahu cara mengatasinya. Bahkan Dayang Kesumat pun mengakui kehebatan
pusaka itu, terbukti dengan
kagetnya wajah cantik jelita tersebut ketika melihat
Doma Damu mengeluarkan Cermin Benggala Kembar.
Cermin itu bukan hanya mengeluarkan sinar saja,
namun juga memburu lawan ke mana pun dia lari. Itulah bahaya cermin pusaka
tersebut. Kalau cermin itu
sinarnya tak bisa memburu, pasti Tua Rakus terhindar dari maut yang membuatnya
berubah menjadi batu.
Karena saat sinar pelangi yang melesat dari hasil
perpaduan dua cermin itu, Tua Rakus sudah melompat
mundur beberapa tindak, namun masih saja terburu oleh sinar pelangi maut itu.
Doma Damu merasa sudah menyelesaikan
permusuhan besar selama ini antara pihak kapal Siluman Tujuh Nyawa dengan kapal
Bajak Naga. Mereka tampak
cukup bangga dengan hasil pertarungan itu. Tetapi,
langkah mereka tertahan karena sesosok tubuh segera menyerangnya dari belakang.
Dengan dua tendangan
sekaligus, Dayang Kesumat berhasil membuat Doma
Damu terguling ke depan dengan menggeragap.
"Bangsat!" geram Doma yang berdiri lebih dulu.
"Rupanya kau lagi yang cari perkara!"
"Pelkalaku belum selesai dengan olangmu si Dadung Amuk!" kata Dayang Kesumat
dengan mata indahnya yang pancarkan permusuhan. Sekali lagi ia ucapkan kata,
"Aku tahu, pelahu itu adalah pelahu layal hijau yang ditunggangi oleh Dadung
Amuk dali Pulau Hantu. Pasti Dadung Amuk kalian sembunyikan! Selahkan dia, dan
selesai sudah pelkala kita!"
"Dayang Kesumat," kata Doma setelah ia
meredamkan kemarahannya akibat serangan tadi.
"Ketahuilah, bahwa orang yang kau cari itu telah mati digantung oleh sang ketua
di atas kapal kami!"
"Omong kosong!"
"Tidak! Ini bukan omong kosong!" sahut Damu.
"Beberapa saat setelah kami berdua diutus untuk mencari Dadung Amuk dan Hantu
Laut, kami terpaksa
kembali lagi ke kapal, karena perahu yang kami pakai dalam keadaan bocor. Saat
kami tiba kembali ke kapal, ternyata sang ketua baru saja selesai menggantung
Dadung Amuk. Dadung Amuk datang sendiri ke kapal
kami tanpa Hantu Laut. Lalu, kami pun segera pergi
kembali dengan menggunakan kapal milik Dadang
Amuk, setelah kami melihat sendiri mayat Dadung
Amuk dibuang ke laut!"
Doma tambahkan kata, "Dan ketika kami mengejar kapal Bajak Naga tadi, kami
melihat mayat Dadung
Amuk yang masih terikat tubuhnya dan terapung-apung dibawa gelombang di perairan
sebelah timur pulau ini.
Carilah sendiri dan kau akan temukan mayat itu!"
Dayang Kesumat diam sesaat, menghubungkan
pengakuan dua kembar itu dengan pengakuan Hantu
Laut. Ia menemukan titik kebenaran, mengingat Hantu Laut dan Suto tidak punya
hubungan dengan Doma
Damu. Jadi tidak ada kesepakatan untuk sama-sama
membual cerita seperti itu.
"Sampai petang akan kucali mayat itu. Jika tidak kutemukan, aku akan kembali
temukan kalian untuk
menghanculkan mulut kalian!" ancam Dayang Kesumat, lalu cepat sentakkan kaki
pergi dengan mengendarai
pelepah daun kelapanya yang sejak tadi ada di pasir pantai.
Mendengar kata-kata Doma Damu, Hantu Laut
menjadi ciut nyalinya. Walaupun dia mempunyai senjata yoyo sakti, yang bisa
menggores tubuh lawan dengan
gerigi beracunnya, tapi dia merasa tidak akan bisa
menghadapi Doma Damu. Melihat wajah Hantu Laut
pucat, Pendekar Mabuk pun segera berkata.
"Cepat kita tinggalkan pulau ini! Setelah...."
Belum selesai Pendekar Mabuk bicara Hantu Laut
cepat-cepat tinggalkan tempat persembunyian, ia berlari menuju perahunya.
Padahal Suto bermaksud mengatakan akan pergi dari pulau itu setelah Doma Damu
tinggalkan pulau itu lebih dulu. Tapi rasa takut yang meliputi diri Hantu Laut
begitu besar, maka ia ingin menghindar lebih dulu dari kedua temannya itu.
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dikarenakan dia lari di tempat terbuka tanpa ada
pohon membuat sepasang mata Damu melihat Hantu
Laut menuju perahu sebelah sana. Ia segera berkata,
"Doma, lihat...! Dia Hantu Laut yang kita buru!"
"O, benar! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak perlu jauh-jauh memburunya, ternyata
dia ada di sini!"
"Mungkin sedang mencari tempat untuk perlindungan diri sewaktu-waktu ia terdesak
oleh kita!"
"Cepat, kejar dia sebelum mencapai perahunya!"
Hantu Laut semakin ketakutan melihat Doma Damu
mengejarnya. Dewa Racun menggeram gemas sambil
pukulkan tangannya ke paha.
"Bod...! Boood...! Bodoh! Bodoh amat anak itu!"
"Cepat kita bertindak, dia dalam bahaya!" kata Pendekar Mabuk sambil lebih dulu
melesat, lalu Dewa Racun menyusulnya.
Gerakan lari Doma Damu pun cukup cepat. Dalam
waktu singkat keduanya sudah sampai di belakang
Hantu Laut. Damu berseru,
"Berhenti! Atau kusembur kau dengan 'Bromo Seribu Api'!"
Mendengar jurus 'Bromo Seribu Api' yang amat
ganas itu disebutkan, Hantu Laut pun cepat hentikan langkahnya, ia merasa tak
akan mungkin bisa berlari jauh jika 'Bromo Seribu Api' itu telah disemburkan.
Karena sifat jurus 'Bromo Seribu Api' itu berupa
gumpalan hawa panas yang keluar dari mulut Doma
Damu dan bersifat mengejar lawan sampai dapat.
Kabarnya, gumpalan hawa panas itu bisa mendidihkan
baja dalam waktu dua helaan napas.
Hantu Laut balikkan badan, memaksakan diri
menghadapi Doma Damu. Ia sembunyikan rasa takutnya
itu dengan berkata,
"Untuk apa kau mengejarku, Doma Damu"!"
"Membunuhmu!"
"Membasuhku?"
"Membunuhmu, Tuli!" sentak Doma Damu
bersamaan. Itu pun secara tak sengaja. Hantu Laut
sebenarnya kaget, tapi ia bisa tahan diri. Matanya
melihat ada Dewa Racun berdiri lima belas langkah di belakang Doma Damu. Hantu
Laut menjadi lega, rasa
takutnya terhenti, sebab Dewa Racun sudah mulai
mengacungkan anak panahnya yang siap lepas ke arah
Doma Damu. Sementara itu, Suto berjalan pelan sambil menenggak tuaknya dari arah kanan Doma
Damu. Waktu itu Doma
Damu belum melihat Suto dan Dewa Racun, sehingga
mereka tak tahu apa yang membuat Hantu Laut berdiri tegar di depannya tanpa
memegang Pusaka Tombak
Maut. "Siapa yang suruh kalian membunuh aku?"
"Sang Ketua!" jawab Damu. Lalu, Doma
menambahkan. "Tapi jika kau serahkan Pusaka Tombak Maut, sang ketua akan ampuni kamu!"
"Tidak ada tombak pusaka di tanganku! Kau lihat sendiri!" Hantu Laut
menggembangkan kedua
tangannya. "Kau pasti telah sembunyikan Pusaka Tombak Maut itu!" geram Damu dengan tak
sabar. "Aku memang tidak mempunyai tombak pusaka itu!"
sanggah Hantu Laut.
"Bohong!"
"Dia bicara dengan sebenarnya!" tiba-tiba Pendekar Mabuk menyahut. Doma Damu
cepat palingkan wajah
ke kanan. Mereka memandang heran.
"Siapa kamu"!" tanya Doma kepada Pendekar Mabuk.
Hantu Laut yang menjawab dengan rasa bangga, "Dia Pendekar Mabuk yang punya ilmu
lebih tinggi dari
kalian berdua!"
"Betul apa kata Hantu Laut itu?" tanya Damu kepada Suto.
Suto menjawab dengan santai, "Tidak. Ilmuku tidak lebih tinggi dari kalian.
Hanya tak seimbang dengan ilmu kalian!"
Panas hati Damu mendengar jawaban merendah yang
sebenarnya tinggi itu. Maka Damu pun segera ucapkan kata,
"Kuingatkan sebelumnya, kau jangan ikut campur urusanku dengan Hantu Laut! Kami
orang-orang Siluman Tujuh Nyawa!"
"O, mengerikan sekali julukannya!" kata Pendekar Mabuk. "Dulu aku punya sapi
juga kunamakan Siluman Tujuh Nyawa!"
Semakin mendidih darah Doma Damu mendengar
ejekan halus dari mulut Pendekar Mabuk itu. Doma
segera berkata kepada saudaranya,
"Jangan hiraukan dia! Dia pasti sedang mabuk! Desak saja Hantu gundul itu agar
mau serahkan tombak pusaka itu!"
Lalu, Damu segera membentak Hantu Laut, "Kau
pilih serahkan tombak itu, atau mati di tangan kami"!"
"Makan jerami"!"
"Mati di tangan kami, Budek!" bentak Doma.
"O, tentu saja aku tidak pilih keduanya, karena aku memang tidak pegang tombak
itu! Mintalah pada
Pendekar Mabuk!"
"Jangan alihkan persoalan antara kita! Sudah
kudengar kau mau bersekongkol dengan Dadung Amuk
untuk mengadakan pemberontakan terhadap sang ketua!
Sang ketua hanya kasih kamu kesempatan untuk
mencabut hukuman mati dengan menyerahkan tombak
pusaka itu!"
"Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak punya!"
bentak Hantu Laut dengan berani.
"Berani-beraninya kau membentak kami, hah"!
Kurang ajar! Hiaah...!"
Damu melancarkan pukulan tangan kanannya ke arah
wajah Hantu Laut. Tapi oleh Hantu Laut ditepiskan dan ia cepat mencabut senjata
yoyonya. Serrr...! Trak...!
Gerigi tajam keluar dari tepian yoyo yang berputar dan melayang ke wajah Damu.
Tapi Damu cepat mencabut
cermin, lalu dihantamnya yoyo tersebut dengan cermin itu. Trangng...!
Wurrsss...! Tiba-tiba Doma menyemburkan napasnya yang
berupa gumpalan api menyerang Hantu Laut. Dengan
cepat pula Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak
tuaknya segera disemburkan ke arah api itu. Bruss...!
Sssrrrappp...! Jrrasss...!
Api padam seketika. Asap mengepul, menyentak ke
atas. Doma terperanjat melihat Suto ikut campur. Ia menggeramkan kata,
"Apa boleh buat, kau pun terpaksa kumusnahkan!
Hiaaat...!"
Cermin Benggala Kembar sudah ada di kedua orang
kembar itu. Doma mau sentakkan cermin itu kepada
Hantu Laut. Tapi Dewa Racun mendului melepaskan
anak panahnya dari kejauhan. Zuitt...! Jebb! Anak panah itu menancap di leher
Doma. Padahal yang diincar Dewa Racun adalah lengan Doma. Tapi karena gerakan
Doma begitu cepat, sehingga yang terkena justru lehernya.
Padahal anak panah itu berbulu merah, pertanda beracun ganas.
Doma pun akhirnya rubuh dengan keadaan
mengejang kaku, matanya mendelik dengan mulut
ternganga. Cepat sekali wajahnya menjadi biru,
walaupun sebelumnya ia sudah sempat menarik anak
panah yang menancap di lehernya. Dalam kejap
berikutnya, ia sudah tidak bernapas lagi. Tergeletak dalam jarak lima langkah
dari Hantu Laut. Tapi hanya tiga langkah dari belakang Damu.
Melihat saudaranya mati membiru, Damu segera
melompati mayat tersebut. Kejap selanjutnya, mayat
Doma mulai bergerak-gerak dan ia pun hidup kembali, kemudian sama-sama melompat
mundur untuk mengatur
jarak dengan lawannya.
"Tahan semua serangan!" seru Suto Sinting, baik ditujukan kepada kedua temannya
maupun kepada kedua lawannya. Ia bermaksud membicarakan masalah itu
secara baik-baik, tanpa melalui pertarungan.
Buat kedua teman Pendekar Mabuk hal itu bisa
diterima, tapi bagi kedua musuh kembarnya, hal itu tak bisa diterima. Damu
segera sentakkan cermin ke atas dan keluarkan sinar hijau ke arah Suto,
sedangkan Doma juga sentakkan cerminnya ke atas dan memantulkan
sinar merah menyerang Pendekar Mabuk. Pendekar
Mabuk agak kebingungan menghindarinya. Badannya
limbung ke kanan dan ke kiri seperti orang mabuk. Tapi dalam kejap berikutnya ia
sudah terpental terbang ke atas dan bersalto dua kali ke arah depan hingga
melintasi kepala Hantu Laut. Dua sinar itu menghantam batu, dan batu setinggi
dua tombak itu hancur menjadi kepingan-kepingan salju.
"Cepat sembunyi!" sentak Suto kepada Hantu Laut.
Maka dengan lompatan kuatnya, Hantu Laut mencapai
celah dua batu besar. Pendekar Mabuk juga berseru
kepada Doma Damu,
"Jangan serang aku! Aku ingin bicara secara damai!"
Damu berseru, "Tidak ada ampun bagi penghalang kami! Hiaaah...'"
Clappp...! Sinar hijau kembali menyerang Pendekar
Mabuk, tapi segera Pendekar Mabuk melimbungkan
badannya hingga nyaris jatuh, seperti orang mabuk
kehilangan keseimbangannya. Namun sebenarnya Suto
menghadapkan bumbung tuaknya ke arah datangnya
sinar hijau. Dan sinar itu pun mengenai bumbung tuak, lalu membalik ke arah
datangnya tadi dengan lebih cepat dan lebih besar lagi.
Ssszzruuppp...!
Sinar hijau membungkus tubuh Damu. Tubuh itu
menjadi es yang beku, bagai patung manusia yang
dilumuri salju.
"Damu..."!" Doma berseru kaget melihat saudaranya menjadi patung es yang
sebentar lagi mencair. Maka, segera ia mendorong patung es itu dan
melangkahinya. Wusss...! Warna putih pudar. Kini Damu mulai tampak sebagai
sosok manusia utuh. Kemudian bangkit dengan satu
sentakan kaki ringan dan berdiri kembali menghadap
Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha...! Kau tak akan bisa membunuhku.
Pendekar Mabuk! Lebih baik kau menyingkir dari
urusan ini, atau serahkan diri untuk kami penggal
kepalamu!"
"Kalian salah anggapan. Aku perlu meluruskan
anggapan kalian!" kata Suto.
"Serang bersama! Jangan kasih kesempatan hidup!"
kata Doma kepada saudara kembarnya. Lalu, mereka
sama-sama melesat naik dengan satu sentakan kaki
lembutnya, dan kedua Cermin Benggala Kembar itu
diadukan di udara. Trringngng...!
Zzzuesss...! Sinar pelangi indah melesat menghantam Pendekar Mabuk. Dengan cepat
Pendekar Mabuk melompat ke udara dan bersalto hingga mencapai
puncak batu tinggi. Tapi sinar pelangi itu masih saja mengejarnya dengan
berkelok ke arah Suto Sinting.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk melompat dari batu ke
batu yang lainnya.
Tiba di tempat datar, Pendekar Mabuk cepat
mengambil bumbung tuaknya dan dihadangkan ke arah
datangnya sinar pelangi itu. Dubbb...! Blarrr...!
Sinar Pelangi menghantam tabung bumbung tuak.
Sinar itu tidak memantul balik seperti sinar lainnya jika terkena bumbung tuak.
Sinar itu pecah dan menimbulkan
ledakan yang membuat Pendekar Mabuk terpental tujuh langkah jauhnya. Bumbung
tuaknya terlepas dari tangan.
Dewa Racun tegang dan terkejut melihat bumbung
lepas dari tangan Suto. Ia cepat mengambil anak
panahnya lagi untuk melancarkan serangan dari jauh.
Tetapi, niatnya itu terhenti, sebab ia melihat Doma Damu berlari bersamaan
memburu Pendekar Mabuk dan
siap menyentakkan Cermin Benggala Kembar itu. Hanya saja, gerakannya terlambat.
Suto sudah lebih dulu sentakkan tangan kanannya
yang bertato pedang kecil dan bintang itu. Tangan kanan itu terbuka telapaknya,
miring posisinya dengan jari merapat. Menyentak ke depan dengan satu tekanan
napas tertentu. Maka dari telapak tangan itu melesatlah sinar emas yang
membentuk pedang kecil berkecepatan tinggi. Sinar emas itu melesat berturutturut dan memecah menjadi dua jurusan. Satu ke arah dada Doma, satu lagi menjurus ke arah
Damu. Jrabb jrab jrab jrab...!
Masing-masing lawannya tertusuk pedang kecil
berwarna emas. Itulah jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi, sebagai
tanda kehormatan Pendekar
Mabuk yang diangkat menjadi Manggala Yudha Kinasih
di Puri Gerbang Surgawi, yaitu istana di alam gaib.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Jurus 'Manggala' itu mengenai Doma dan Damu.
Kedua orang itu tidak segera rubuh. Pedang kecil-kecil berwarna emas yang masuk
ke dalam tubuh mereka
tidak membuat luka dan darah mengucur. Mereka hanya diam memandang Suto dengan
tidak berkedip dan tidak bergerak sedikit pun.
Tapi ketika angin pantai berhembus sedikit lebih
kuat, tubuh mereka berhamburan dan akhirnya buyar.
Ternyata pada waktu mereka diam tak bergerak
memandang Suto, mereka telah menjadi debu yang
sangat halus. Sehingga ketika angin pantai menyapunya, debu itu pun beterbangan
dan lari dari susunannya.
Hantu Laut tak habis rasa herannya melihat jurus
yang digunakan Pendekar Mabuk. Baru sekarang ia
melihat seseorang terkena pukulan maut menjadi habis tanpa sisa apa pun kecuali
debu yang sudah bertebaran ke mana-mana itu. Bahkan pusaka Cermin Benggala
Kembar yang sebagai cermin pemburu nyawa itu, ikut
lenyap menjadi debu.
Pendekar Mabuk ucapkan kata ketika Dewa Racun
dan Hantu Laut mendekatinya,
"Aku sudah mengajak dia untuk damai, tapi keduanya tidak mau damai, apa boleh
buat dia kukirim ke alam kedamaian abadi di sana!"
Hantu Laut hanya bisa pandangi Suto tak berkedip
dengan sejuta rasa kagum dan terheran-heran tiada
habisnya. Hanya dalam hatinya Hantu Laut membatin,
"Pendekar Mabuk ini benar-benar sinting ilmunya...!
Edan-edanan! Sulit aku mempercayai kenyataan ini!"
sambil ia melangkah mengikuti Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun menuju perahunya.
SELESAI Pendekar Mabuk
Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera terbit!!! serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PRAHARA PULAU MAYAT
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 15 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama