Ceritasilat Novel Online

Darah Pemuas Ratu 2

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Bagian 2


kalau kakaknya kubawa kabur"! Hmmm... kurasa Buyut Batara belum tahu kalau aku
adalah calon suami Ratu negeri Puri Gerbang Surga wi yang bernama Dyah
Sariningrum itu! Calon istriku juga cantik, tapi... tapi Rembulan Senja punya
kecantikan yang berbeda dengan Dyah Sariningrum.
Nilai kecantikannya sama, hanya coraknya yang berbeda...."
Gerutuan yang hanyut ke dalam sebuah renungan
panjang itu segera buyar, karena Rembulan Senja segera perdengarkan suaranya
yang sudah tak seangkuh tadi, namun masih punya nada-nada tegas. Mungkin nada
tegas itu sudah menjadi bagian dari sifatnya sebagai wanita cantik yang punya
keberanian cukup besar.
T erbukti ia berani melawan si wajah angker bertubuh tinggi besar tadi.
"Mengapa adikku bisa diba wa lari orang"! Apakah kau tidak bersamanya?"
"Kami sedang dalam perjalanan ke T anah Leluhur.
T iba-tiba kutahu ada orang yang menguntit kami...," ujar Suto Sinting, kemudian
menceritakan peristiwa yang membuat hatinya dongkol sekali itu.
Rembulan Senja menarik napas, menekan kesedihan ke dasar hatinya. Wajah
cantiknya memang tampak bersedih, namun tak begitu kentara jika tak diperhatikan
dengan cermat. "Dugaanku, salah satu dari prajurit Istana Kematian
yang punya ilmu lebih tinggi dari prajurit
yang melawanmu tadi, telah melarikan Buyut Batara ke Istana Kematian," ujar Suto
Sinting. "Karenanya, aku ingin menuju ke Istana Kematian, tapi aku tak tahu di
mana tempat itu berada!"
Rembulan Senja memandang ke arah selatan dengan mata sedikit menyipit karena
menyimpan kemarahan membayangkan
adiknya menjadi tawanan Ratu Kehangatan. Mulut wanita yang berbibir sensual itu tetap terkatup rapat, membuat
Suto Sinting terpaksa perdengarkan suaranya lagi setelah meneguk tuaknya
beberapa kali. "Maukah kau menjadi pemanduku menuju istana Kematian itu"!"
Kejap berikut terdengar suara Rembulan Senja yang sedikit datar itu.
"T erlalu berbahaya jika hanya berdua!"
"Oh, jangan khawatir. Aku bukan pemuda kurang ajar. Kujamin kau tak akan
terganggu oleh keusilanku, baik tanganku maupun mataku. Aku sangat...."
"Yang kumaksud, berbahaya dalam menghadapi orang-orang Istana Kematian itu!"
potong Rembulan Senja sedikit dongkol kepada Suto karena salah tanggap.
"Ooo...," Suto Sinting nyengir malu. Pandangan matanya dibuang ke arah lain.
"Ratu Kehangatan mempunyai prajurit-prajurit
pilihan. Jika kita hanya berdua dan terkepung para prajurit pilihan itu, maka
nyawa kita tak akan lama di tangan mereka!"
"Kalau begitu, kau sebagai penunjuk jalan saja.
Setelah dekat dengan Istana Kematian, aku akan masuk sendiri ke istana itu untuk
membebaskan Buyut Batara, syukur bisa membebaskan para tawanan lainnya. Kau bisa
langsung pulang sebelum aku mendekati istana itu!"
"Kau akan masuk ke sana sendirian"!" ujar Rembulan Senja
bernada tak percaya. "Itu sama
saja kau mengantarkan nyawa secara cuma-cuma, Suto Sinting.
Mereka tak bisa diserang dengan satu orang saja!
Mereka harus diserang secara serentak dari berbagai penjuru! Menembus benteng
pertahanannya saja sangat sulit,
apalagi sampai membongkar tembok-tembok
penjara"!"
Pendekar Mabuk tarik napas, ia mencoba memaklumi pendapat Rembulan Senja yang
belum tahu persis
setinggi apa ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk.
Sekalipun Suto merasa mampu menghadapi orang-orang Istana Kematian dengan hanya
seorang diri, tapi wanita cantik itu tak bisa dipaksa untuk percaya. Mau tak mau
Pendekar Mabuk menyimpan rencana itu di dalam
hatinya, dan akan bertindak sendiri setelah tahu di mana letak Istana Kematian
itu. "Lalu, sekarang apa yang harus kita
lakukan, Rembulan Senja"!"
"Kita menyusun rencana dengan rekan-rekanku di T anah Leluhur!" jawab Rembulan
Senja dengan mata memandang tegas kepada Suto Sinting.
Rasa-rasanya tak ada jeleknya jika mengikuti gagasan Rembulan
Senja itu. Pendekar Mabuk juga memperhitungkan waktu. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Setidaknya ia
butuh tempat untuk beristirahat sambil menyusun rencana untuk gerakannya
sendiri. Maka ia pun mengikuti langkah Rembulan Senja yang menuju ke Tanah Leluhur.
Untuk sementara, masalah Buyut Batara mereka
singkirkan dulu. Rembulan Senja merasa yakin bahwa adiknya masih hidup, hanya
saja di bawah pengaruh dan kekuasaan hukum Ratu Kehangatan. Jika kesepakatan
hasil rundingan orang-orangnya dengan Pendekar Mabuk sudah didapatkan, Rembulan Senja pun yakin adiknya akan berhasil
dibebaskan. Ia tak tahu bahwa Buyut Batara bukan berada di
dalam Istana Kematian, melainkan berada di dalam sebuah gua. Seseorang yang
membawanya lari ke dalam gua tersebut ternyata seorang perempuan muda, berusia
sekitar dua puluh empat tahun. Perempuan itu berambut cepak seperti lelaki, tapi
mempunyai raut wajah yang cantik,
berhidung mancung, bermata tajam, bulu matanya lentik, bibirnya sedikit tebal tapi menggairahkan sekali, ia dikenal dengan nama: Denaya.
Ia mengenakan gaun bawah semacam rok yang
sangat pendek, hanya sebatas separo paha. Rok itu bersulam benang tembaga,
sehingga mempunyai berat cukup lumayan. Tapi cukup lemas, seperti kain tebal
biasa. Rok itu berwarna merah tembaga.
Sa buknya juga terbuat dari serat besi anti senjata tajam. Bagian atasnya adalah
baju tanpa lengan, juga terbuat dari bahan yang sama dan anti senjata tajam.
Baju itu dilengkapi dengan pisau-pisau kecil yang sewaktu-waktu dapat dicabut
dan dilemparkan. Karena pada umumnya prajurit Istana Kematian dilengkapi dengan
pedang dan pisau beracun berukuran kira-kira satu jengkal.
Denaya yang bertubuh sintal dan mempunyai dada
montok namun tidak membengkak besar itu memang
prajurit wanita dari Istana Kematian. Ilmunya lumayan tinggi, karena sejak usia
tujuh tahun ia sudah berguru pada seorang pendeta dari T ibet. Ditambah lagi, ia
memperoleh beberapa ilmu dari Ratu Kehangatan dan berhasil diangkat menjadi
prajurit pilihan sang Ratu.
Kulitnya yang berwarna sedikit gelap itu, membuatnya tampak alot dan bertulang keras. Dari pandangan matanya, seseorang
dapat menilai, Denaya adalah gadis cantik yang punya keberanian tinggi dan tahan
bantingan. Karenanya, ia berani berhasil melumpuhkan pemuda bertubuh kekar dan berhasil
membawanya lari. Agaknya memang Buyut Batara yang diincarnya, bukan Suto
Sinting. Sebab ia belum tahu siapa orang yang berjalan bersama Buyut Batara.
Tetapi terhadap Buyut Batara, ia sudah mengenalnya.
Denaya melepaskan totokannya tanpa merasa takut dengan datangnya perlawanan dari
Buyut Batara. Ketika totokan itu sudah dibebaskan, Buyut Batara sedikit tegang
pandangi wajah cantik Denaya itu. Napasnya terengah-engah dah pemuda itu mencoba
untuk segera bangkit dengan penuh waspada.
"Kau.... Denaya..."!" ucap Buyut Batara dengan suara sedikit bergetar, ia
melangkah mundur jauhi gadis itu.
Si gadis tetap tenang. Seulas senyum tipisnya
tersungging di bibir menggemaskan itu. Senyum tersebut memang berkesan sinis,
tapi begitulah senyum yang dimiliki Denaya sebagai seorang prajurit pilihan sang
Ratu. Sreet...! Buyut Batara mencabut pedang pendeknya.
Pedang itu lebih pendek dari pedang milik Denaya, juga berukuran lebih kecil
dibandingkan pedangnya Denaya.
T etapi agaknya Buyut Batara punya andalan sendiri dengan pedangnya itu dan tak
merasa gentar berhadapan dengan orang-orang berpedang panjang.
Denaya tidak mencabut pedangnya, ia justru melemparkan pedang yang masih bersarung itu ke tanah samping susunan ilalang
kering itu. Prrang...! Wajahnya tetap memandang lurus dan tajam ke arah Buyut
Batara. T api senyumnya semakin menampakkan sikapnya yang tidak akan melakukan
perlawanan apa-apa jika Buyut Batara menyerang dengan pedangnya.
Sikap itu membuat Buyut Batara heran dan berkerut dahi tajam-tajam. T ubuh yang
sedikit membungkuk, otot lengan yang mengeras, kedua tangan yang terangkat penuh
siaga, akhirnya mengendur sedikit demi sedikit.
Badan pemuda itu menjadi tegak kembali, kedua
tangannya diturunkan, otot
lengannya tampak tak
sekeras tadi. T api pandangan mata Buyut Batara masih setajam tadi.
"Ambil pedangmu, Denaya! Kita tentukan siapa yang
mati di antara kita berdua, selagi tak ada pihak yang membantuku dan tak ada
pihak yang membantumu!"
ujar Buyut Batara dengan suara menggeram. Napasnya masih memburu, dadanya naik
turun, semua itu akibat ia menaruh dendam kepada pihak Istana Kematian, dan ia
tahu bahwa Denaya adalah orang Istana Kematian.
T etapi tantangan itu tidak dilayani oleh Denaya.
Gadis itu melangkah ke sisi lain, mendekati batu setinggi pinggul, ia pun duduk
di tepian batu setinggi pinggul dengan kaki kirinya dinaikkan ke batu sampingnya
yang setinggi betis itu. Ia duduk dengan tegak dan gagah, seperti seorang
lelaki. Satu tangannya bertolak pinggang, sedangkan tangan yang satunya lagi
jatuh di pahanya.
"Kalau aku mau, kau sudah mati sejak tadi, Buyut!
T ak perlu kulepaskan totokanku, langsung saja kupenggal lehermu. Apa susahnya"! Dan kau tak perlu kubawa ke gua ini. Mayatmu
yang tanpa kepala itu akan kubuang di sembarang tempat, kalau bisa di jalanan
yang kau lewati tadi setelah kugoreskan namaku di dadamu dengan ujung pedang.
Dengan begitu, orang-orang Tanah Leluhur yang menemukan mayatmu akan tahu bahwa
Denaya adalah orang yang memenggal
kepalamu!"
"Mengapa tak kau lakukan"!"
"Carilah jawabannya dalam hatimu!" tegas Denaya sambil menatap tajam tak
berkedip. Kejap berikut, Denaya melangkah ke satu sisi lagi. Ia mendekati tiga batu besar
berhimpitan, ia ke belakang batu besar itu. Sesaat kemudian kembali tempat
ilalang kering yang disusun dijadikan alas tidur itu. Dari balik batu tadi, ia membawa
sebuah tempat minum dari kulit binatang. T empat minum itu berisi air bening, ia
menenggaknya sedikit, sebagai pembasah kerongkongannya.
"Minum..."!" ia menawarkan kepada Buyut Batara.
Pemuda itu hanya hembuskan napas panjang sambil memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. Karena tak ada jawaban dari Buyut Batara, maka tempat minum itu ditutup
dan diletakkan di samping kanannya.
Buyut Batara memandang ke arah pintu gua. Ia
mendekati pintu itu. Denaya diam saja. Hanya memandang sekilas, lalu tundukkan kepala dengan posisi duduk sedikit melebarkan
kaki, seperti duduknya seorang lelaki.
Buyut Batara hentikan langkah sampai di pintu gua.
Se benarnya ia bisa saja lolos, melarikan diri. Tapi kesempatan itu tak
dilakukan, karena Denaya sendiri tampak tidak berusaha menahannya.
"Sepertinya kalau aku lari, dia tak akan mengejarku,"
ujar Buyut Batara dalam hati. "Lalu, apa maksudnya membawaku ke gua ini"!"
Akhirnya pemuda itu kembali mendekati Denaya. Ia berdiri di depan Denaya dengan
kedua kaki sedikit merenggang dan posisi tubuh tegak. T ampak gagah dan perkasa.
Jaraknya yang hanya empat langkah dari Denaya membuatnya dapat
menatap wajah cantik
Denaya yang datar tanpa senyum dan tanpa kemarahan sedikit pun.
Sesaat setelah mereka saling bungkam, dan Buyut Batara cukup lama pandangi
Denaya, prajurit wanita itu segera mengangkat wajahnya dan menatap Buyut Batara
dengan mata mulai berisi, tidak sehampa saat merenung tadi.


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kau tidak melarikan diri"! Mengapa kau kembali menemuiku"!"
Buyut Batara tak bisa menjawab, karena ia sendiri tak tahu,
mengapa ia tidak melarikan diri, padahal kesempatan itu sangat memungkinkan. Kini Buyut justru duduk
di tanah bertangga yang dipakai membaringkannya tadi. Ia duduk di samping kiri Denaya dalam jarak satu setengah
jangkauan. Jarak itu sengaja dijaga agar sewaktu-waktu ada bahaya dari Denaya,
ia dapat segera menghindarinya.
"Masih ingat pertempuran di Pantai Ladam?" tanya Denaya dengan nada datar,
sepertinya ia bicara pada diri sendiri. T api Buyut Batara tahu, kata-kata itu
ditujukan padanya.
"Ya, aku ingat kala itu kita berhadapan saling beradu pedang.
Kau melukai lenganku. T api segera meninggalkan diriku, padahal kau punya kesempatan membunuhku saat aku jatuh
tengkurap!"
Sambil berkata demikian, Buyut Batara teringat
pertempuran di Pantai Ladam. Ketika itu, Buyut Batara dan tiga orang kawannya
sedang mengejar seorang pencuri pusaka yang bernama Barak Soca. Mereka
berpapasan dengan orang-orang Istana Kematian, lalu terjadilah pertarungan
antara empat orang Tanah Leluhur
melawan tujuh orang Istana Kematian, termasuk Denaya sendiri. Karena pada saat
itu, Barak Soca meminta perlindungan kepada kakaknya yang menjadi prajuritnya
Ratu Kehangatan.
Dua orang T anah Leluhur itu tewas di ujung pedang mereka. T etapi Buyut Batara
dan seorang temannya lagi, berhasil meloloskan diri setelah membunuh Barak Soca
dan merampas kembali keris pusaka yang dicurinya.
Padahal waktu itu Denaya punya kesempatan emas
untuk membunuh Buyut Batara, namun gadis itu justru meninggalkannya dengan
alasan menyelamatkan Barak Soca yang terluka parah, walau akhirnya Barak Soca
tewas setelah diangkat oleh kakaknya sendiri.
Lamunan masa lalu itu terputus, karena Denaya
segera perdengarkan suaranya lagi sambil melirik ke arah kirinya, menatap Buyut
Batara yang sedang
menerawang itu.
"Apakah kau juga masih ingat peristiwa di Bukit Merah?"
Ingatan pemuda itu segera melayang ke masa dua
tahun yang lalu, ketika terjadi pertarungan di Bukit Merah. Pertarungan itu
terjadi antara Buyut Batara dengan sang penantang yang dikenal dengan nama Iblis
Darah Hitam. Dendam si Iblis Darah Hitam kepada keluarga Buyut Batara akan berakhir jika
salah satu dari anggota keluarga tersebut melayani tantangan pertarungan di
Bukit Merah. Semula Rembulan Senja yang akan tampil sebagai
la wan Iblis Darah Hitam. Tetapi segera digantikan Buyut Batara, karena Rembulan Senja sedang sakit.
Pertarungan itu disaksikan dari berbagai pihak, termasuk orang yang tidak
berkepentingan. Beberapa tokoh rimba persilatan pun hadir di Bukit Merah, dan
Denaya ada di sana juga bersama seorang teman, sesama prajurit wanita juga.
Waktu itu, Buyut Batara nyaris tewas di tangan Iblis Darah Hitam, karena
pedangnya terpental dan jatuh di depan kaki Denaya. Pedang si Iblis Darah Hitam
juga telah lepas dari tangannya.
Buyut Batara terpental jatuh akibat tendangan lawan.
Lawan segera menerkam dengan pisau simpanannya.
Pada saat itu, pedang Buyut Batara meluncur mendekati tangannya. Pedang itu
segera disambar, dan se gera dihujamkan ke perut lawan. T anpa pedang itu, Buyut
Batara kemungkinan sudah mati di tangan lawannya.
Pedang itu meluncur akibat ditendang oleh Denaya yang berpura-pura didorong
temannya. Buyut Batara menarik napas panjang setelah membayangkan pertarungan di Bukit Merah itu. Hatinya mulai menyadari tentang
sikap Denaya yang mempunyai maksud-maksud
tertentu padanya. Dengan tanpa menatap Denaya, pemuda itu mulai perdengarkan
suaranya kembali yang juga bernada datar.
"Sudah dua kali kau biarkan aku punya kesempatan hidup. Sekarang ketiga kalinya.
Kau tak membunuhku selagi aku tertotok olehmu. Padahal kau adalah musuhku dan
aku musuhmu!"
"Adakah seorang musuh yang membiarkan lawannya tetap hidup?" suara Denaya agak
parau, walaupun ia bicara juga tanpa memandang Buyut Batara.
T api kali ini pemuda itu sengaja berpaling menatap Denaya. T atapan itu membuat
Denaya tertarik dan ikut berpaling melemparkan pandangan matanya yang tidak
berkesan bermusuhan. Pandangan mata itu dirasakan Buyut
Batara sebagai pandangan seorang sahabat,
bahkan lebih dari seorang sahabat.
Gadis itu berkata lirih, namun masih bernada tegas.
"Sekarang kuberi kau kesempatan untuk membunuhku."
Buyut Batara diam saja, masih memandang.
"Lakukanlah sekarang juga!" desak Denaya.
"Aku tak sanggup," jawab Buyut Batara dengan suara pelan.
"Mengapa tak sanggup" Bukankah aku musuhmu dan kau lawanku"!" sambil Denaya
bergeser mendekat, kini jaraknya
tinggal setengah jangkauan lagi. Adu pandangan mata itu semakin lekat, namun punya
ketajaman tersendiri. Seakan ketajaman itu tidak menggores hati, melainkan menciptakan desir-desir aneh yang terasa indah untuk
dinikmati. "Mengapa kau menatapku begitu?" tanya Buyut Batara dengan suara lirih.
Denaya juga menjawab dengan lirih, "Inilah gunanya kuberi kesempatan hidup
padamu. Aku ingin dapat memandangmu."
Buyut Batara mulai sunggingkan senyum walau
canggung, ia tak tahan beradu pandang, kemudian alihkan pandangan matanya ke
arah pintu gua. Denaya akhirnya ikut-ikutan alihkan pandangan mata ke arah
pedangnya yang masih tergeletak di tanah.
"Aku memang seorang prajurit," suara Denaya memecah kebisuan mereka. "Tapi kali
ini aku terpaksa memberontak terhadap ratuku yang gila darah itu."
"Gila darah"!" Buyut Batara melirik Denaya.
"Melihat pertarungan berdarah hingga salah satu ada yang mati, merupakan hiburan
yang amat disenangi Ratu Kehangatan. Kami diperintahkan untuk menculik para
pemuda Lembah Badar, termasuk kaum lelakinya yang kekar dan perkasa. Mereka
diadu dalam satu arena.
Salah satu harus ada yang mati, tak peduli mereka sahabat atau saudara. Mau
tidak mau mereka saling bunuh. Kematian salah satu dari mereka merupakan
kepuasan tersendiri bagi Ratu Kehangatan."
Denaya menuturkannya dengan pandangan mata
menerawang, seakan membayangkan pertarungan berdarah yang hampir setiap hari terjadi di Istana Kematian itu. Buyut Batara
sengaja diam, tanpa tanya sedikit pun, karena ia ingin menyimak apa sebenarnya
yang terjadi di dalam Istana Kematian itu.
"Orang-orang
Lembah Badar akhirnya habis, terutama kaum lelakinya. Mereka mati semua dalam arena pertarungan. Saling bunuh
sesama teman sendiri.
Demikian pula nasib orang-orang Bukit Sabang. Kaum lelakinya nyaris habis dia
du, dipakai tontonan untuk menghibur hati sang Ratu."
Denaya menarik napas. Kini pandangan matanya
lurus ke arah di depannya.
"Namun ketika tiba
giliran orang-orang T anah
Leluhur yang dijadikan mangsa Ratu Kehangatan, aku mulai berpikir untuk
memberontak. T api itu tak mungkin kulakukan. Apalah artinya diriku yang sendiri
jika harus memberontak menentang perintah sang Ratu. Akhirnya aku melarikan diri
dari Istana Kematian."
"Mengapa kau melarikan diri?" sela Buyut Batara.
"Karena aku tak setuju jika orang T anah Leluhur dijadikan korban pemuas hati
sang Ratu. Aku tak setuju jika orang Tanah Leluhur diculik dan mereka diadu di
arena sampai salah satu ada yang mati."
"Mengapa kau tak setuju?" kejar Buyut Batara.
"Karena di T anah Leluhur ada seseorang yang menggetarkan hatiku dan membuatku
ingin sekali memilikinya. Pemuda itu, cepat
atau lambat akan
tertangkap dan diadu di arena sampai akhirnya ia akan mati juga. Daripada aku
melihat kematiannya, lebih baik aku lari dari pemerintahan sang Ratu. Aku harus
menyelamatkan pemuda itu, sebelum darahnya dijadikan pemuas hati Ratu Iblis
itu!" "Siapa pemuda yang kau maksud itu?"
"Kau...!"
tegas Denaya tanpa ragu-ragu, dan pandangan matanya pun segera menatap ke arah mata Buyut Batara.
"Untuk apa kubiarkan dua kali kau hidup kalau akhirnya kematianmu dijadikan
hiburan bagi ratuku"!
Untuk apa aku mengabdi penuh kesetiaan kepada Ratu
Indudari, kalau akhirnya pemuda yang menjadi buah impianku harus mati demi
kepuasan batin sang Ratu"
Lebih baik aku keluar dari pemerintahannya, bergabung dengan
orang yang kucintai untuk lakukan pemberontakan terhadap kekuasaan di Istana Kematian Itu"!"
Buyut Batara diam membisu. Hatinya seakan semakin terbuka oleh ketukan-ketukan halus yang nyaris tak didengarnya, ia sama
sekali tak menduga kalau dirinya diperhatikan oleh seorang gadis dan gadis itu
adalah lawannya sendiri. Sekerat hati yang keras seperti baja sedang menaruh
harapan pada dirinya. Buyut Batara rasakan harapan itu lebih murni daripada
datang dari seorang gadis berhati lembut dan menyukai rayuan.
Denaya perdengarkan suaranya kembali.
"Sejak sang Ratu keluarkan perintah pertama kali kepada para prajurit untuk
pindah sasaran ke T anah Leluhur, aku sudah lari darinya dan hidup di dalam gua
ini. Aku tak berani bergabung dengan orang-orangmu, karena
mereka tahu aku adalah
musuh mereka. Ucapanku tak akan mudah dipercaya. Bisa-bisa justru aku mati di Tanah Leluhur
tanpa dapat selamatkan dirimu dari keganasan Ratu Indudari! Karenanya, setelah
kupertimbangkan beberapa hari di dalam gua ini, maka kuputuskan untuk menculikmu
demi kepentinganku
sendiri. Lebih baik aku kehilangan ratuku, jabatanku, kesejahteraanku,
daripada aku harus kehilangan impianku."
Pemuda bertubuh kekar itu menatap Denaya lagi.
Mereka saling beradu pandang kembali. Sorot pandangan mata Denaya semakin menguasai hati Buyut Batara. Ingin rasanya tak
mudah mempercayai kata-kata itu. T api hati kecil Buyut Batara tak bisa
mengingkari rasa percayanya kepada Denaya. Sorot pandangan mata itu merupakan
sebentuk ketulusan yang tak bisa dibantah lagi.
Buyut Batara akhirnya sentuhkan jemarinya di pipi Denaya. Sentuhan itu merayap
hingga ke tepian rambut di kening si gadis. Mata si gadis tampak berkaca-kaca.
Ada tangis di hatinya. Ada haru di kalbunya.
Denaya akhirnya pejamkan mata, resapi sentuhan
lembut yang menggetarkan seluruh tubuhnya itu. Pada saat kelembutan itu hadir
menguasai dirinya, seakan ketangguhannya
sebagai prajurit wanita lumpuh seketika. Denaya tak ubahnya seperti gadis tanpa senjata dan ilmu apa-apa. Ia
hanya bisa menahan debar-debar kebahagiaan
yang

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama ini hanya ada dalam impiannya. Se bagai seorang wanita, akhirnya mata yang terpejam itu melelehkan butiran air
bening. Air mata itu semakin menghancurkan darah permusuhan Buyut Batara.
Rasa iba dan haru timbulkan rasa kasih di hati Buyut Batara. Sebagai ungkapan
rasa kasihnya, pemuda itu akhirnya mencium kening si gadis dengan pelan-pelan.
Cuup...! Ciuman itu membekas sampai di dasar hati Denaya.
T angan gadis itu pun mulai meraih lengan Buyut Batara.
Diremasnya lengan itu ketika bibir Buyut
Batara merayapi batang hidung si gadis, kemudian menyentuh bibir yang menggemaskan itu.
Dikecupnya bibir Denaya dengan pagutan pelan sekali. Terasa deras darah Denaya
mengalir di seluruh tubuhnya.
Kerinduan yang selama ini hadir dalam impian,
ternyata mampu terwujud dalam kenyataan. Denaya ingin wujudkan mimpinya tentang
cumbuan hangat dengan Buyut Batara. Maka, seperti yang dilakukannya dalam mimpi, kecupan bibir
Buyut Batara dibalasnya.
Kini bibir pemuda itu dilumat oleh Denaya dengan kedua tangan merayap dan
meremas ke mana saja
sebagai curahan rasa rindu dan hasrat yang menggebu.
Denaya menekan kepala Buyut Batara ke lehernya.
Kepala gadis itu menggeliat sambil keluarkan erangan dan
napas mendesah manakala
bibir pemuda itu memagut-magut kulit leher dengan hangat sekali.
"Aaah.... Buyut, ooouuh...," erangan itu bagai tangis yang terbendung di ujung
lidah. Hati Denaya disiram oleh segunung kebahagiaan, sehingga gadis itu memberi
kecupan balasan di sekitar leher Buyut Batara. Bahkan kecupan itu lebih berani,
yaitu merayap ke dada Buyut Batara dan memagut-magut dada bidang itu dengan
kedua tangan menelusup di balik rompi dan merayapi punggung si pemuda.
Kehangatan itu memancing hasrat, dan hasrat itu membakar gairah. Buyut Batara
tak mampu memendam gairah
bercintanya, karena Denaya memberikan sentuhan yang luar biasa nikmatnya menggunakan bibir dan lidahnya.
Akhirnya Buyut Batara tak mampu menolak segala
kehangatan yang diberikan oleh Denaya. Pemuda itu terbaring pasrah, sementara
Denaya membuktikan cinta kasihnya dengan ciuman-ciuman yang menggelora.
* * * 5 KEDAT ANGAN Pendekar Mabuk ke Tanah Leluhur
disambut hangat oleh masyarakat T anah Leluhur.
Wilayah yang tak begitu luas itu menjadi gempar dengan adanya berita tentang
Rembulan Senja pulang membawa Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Mereka bersorak kegirangan mengelilingi Pendekar Mabuk. Ada yang hanya sekadar
bersorak, ada yang sambil lonjak-lonjak, lalu berteriak karena kakinya terkena
beling. Mereka yaqg bersorak dan melonjak pada umumnya
adalah masyarakat awam yang terlalu sering berandai-andai
membayangkan kehebatan Pendekar
Mabuk. Se dangkan bagi mereka yang berilmu, hanya menyambut dengan senyum keramahan dan tegur sapa penuh persahabatan.
Se buah rumah panggung menjadi tempat pertemuan para sesepuh dan orang-orang
yang menjadi benteng pertahanan T anah Leluhur. Kebanyakan mereka yang menjadi
benteng bagi masyarakat T anah Leluhur masih tergolong muda. Paling tua berusia
tiga puluh dua tahun,
menurut ingatan ibunya.
Rembulan Senja pun mendapat pujian dari masyarakat Tanah Leluhur. Karena dari sekian banyak orang yang mencoba mencari
Pendekar Mabuk, justru Rembulan Senja yang berhasil membawa pulang si
pendekar tampan dan gagah perkasa itu. Rupanya Suto Sinting merupakan sosok
pendekar yang menjadi Idola mereka,
sehingga kehadirannya di T anah Leluhur
bagaikan seorang aktor kondang singgah di sebuah perkampungan kumuh.
"Kang minta cap jempolnya buat kenang-kenangan,"
ujar seorang remaja sambil membawa kulit
kitab bersampul kulit lontar. Dengan menggunakan getah pohon pisang, Pendekar Mabuk
akhirnya memberikan cap jempol di atas kitab tersebut, yang merupakan kitab
pelajaran silat kelas rendah.
Seperti halnya pendekar tampan jika berkunjung ke sebuah kota selalu dikerumuni
penggemar cewek,
demikian pula Pendekar Mabuk yang lebih banyak
dikerumuni para gadis daripada para pemuda. Maklum, para pemudanya banyak yang
diculik oleh pihak Istana Kematian.
Hati si wanita cantik; Rembulan Senja, menjadi
dongkol melihat banyak gadis dan kaum wanita lainnya mengerumuni Pendekar Mabuk.
Bahkan ada yang
mencolek-colek lengan atau pinggang Suto dengan maksud menggelitik dalam canda.
Rembulan Senja bagaikan seorang bodyguard yang selalu memberi
batasan kepada kaumnya agar tak berlebihan meluapkan
kegembiraannya kepada Pendekar Mabuk.
"Biarkan kami bercanda sebentar dengan pemuda tampan itu, Rembulan Senja. Apakah
kau tak pernah semuda kami?" ujar seorang gadis yang kesehariannya menjadi teman
dekat Rembulan Senja.
Seorang wanita lain pun berkata, "Iya. Kami cuma ingin bercanda dan sekadar
hanya ini-itu kok, bukan mau macam-macam. Kau kan sudah pernah bercanda
dengan pria yang menjadi idaman hatimu, ketika
suamimu masih hidup. Sekarang berilah kami kesempatan seperti itu, Rembulan Senja."
"Iya, ya..."! Pokoknya kujamin wajah pemuda itu tak akan ringsek, karena kami
tak akan meremas-remasnya,"
ujar yang lain.
Kegembiraan mereka menjadi surut ketika Pendekar Mabuk menceritakan nasib Buyut
Batara. Malam itu mereka membuat api unggun dan membentuk lingkaran.
Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Buyut Batara sampai hilangnya
pemuda yang menjadi utusan mereka itu.
"T api percayalah, aku akan membebaskan Buyut Batara secepatnya! Esok aku akan
berangkat ke Istana Kematian dan menantang pertarungan antar pribadi dengan Ratu
Kehangatan!"
Suara gemuruh terdengar bagai pasukan lebah.
Mereka berkasak-kusuk dengan suara gemuruh. Ada yang
memuji keberanian Suto, ada yang mengungkapkan rasa kagumnya, ada pula yang mencemaskan rencana Suto itu.
"T etapi aku butuh seorang pemandu untuk sampai ke Istana Kematian! Pemandu itu
tak perlu harus ikut sampai ke Istana Kematian, cukup sampai di perjalanan saja.
Asal tempat itu sudah kuketahui, maka aku akan datang sendiri menemui Ratu
Kehangatan dan pemandu itu boleh pulang atau menunggu di tempat yang jauh dan
tersembunyi!" ujar Suto membuat suara gemuruh itu terhenti seketika.
"Kurasa itu akan berbahaya, Nak!" ujar seorang sesepuh yang memang sudah 'sepuh'
alias sudah tua.
Usianya sekitar tujuh puiuh tahun. T api ia bukan seorang tokoh berilmu tinggi,
ia hanya dikenal sebagai seorang ahli siasat pertempuran.
"Ratu Kehangatan atau si
Indudari itu bukan perempuan lemah yang mudah dilumpuhkan, ia cukup tangguh dan sukar ditumbangkan,
karena ilmunya termasuk tinggi juga."
"Sebaiknya," ujar sesepuh lain yang berkepala botak,
"Beberapa orang kita mendampingi Pendekar Mabuk dari belakang dan secara
sembunyi-sembunyi. Panah, pisau, jarum, bisa dijadikan senjata yang bersifat
melumpuhkan mereka dari kejauhan. Ratu Kehangatan tak mungkin turun tangan
sendiri. Pasti mengajukan prajurit-prajuritnya."
Suto Sinting menyahut, "Aku ingin menantang pertarungan pribadi. Kurasa Ratu
Kehangatan mengerti arti pertarungan pribadi. Jika ia menolak, maka ia akan malu
di hadapan para prajuritnya. Harga dirinya, martabatnya, akan jatuh di depan
anak buahnya jika ia
menolak pertarungan pribadi denganku."
Banyak yang tidak setuju dengan rencana pertarungan duel antar pribadi itu.
Mereka tidak setuju karena pertarungan itu dianggap sangat membahayakan jiwa
Pendekar Mabuk. Sedangkan mereka tidak ingin Pendekar Mabuk binasa dengan hanya lakukan pertarungan pribadi.
Sementara itu, hati Suto Sinting sendiri tak setuju jika lakukan penyerangan
bersama. Karena hal itu akan menimbulkan korban baru bagi masyarakat Tanah
Leluhur, ia ingin melumpuhkan pihak Istana Kematian tanpa timbulkan korban baru
bagi T anah Leluhur.
Karenanya, pertarungan duel antar pribadi merupakan alternatif yang diandaikan
dan dianggapnya baik.
"Beri kami waktu untuk berunding, Nakmas Pendekar. Sekarang sudah malam. Kami persilakan Nakmas Pendekar beristirahat
dulu. Esok kita sambung lagi perundingan ini," ujar sesepuh yang berkepala botak
itu. Pendekar Mabuk dibawa ke rumah Rembulan Senja.
Se buah kamar telah disiapkan oleh Rembulan Senja yang ternyata sudah menjanda
selama tiga tahun itu.
Rupanya para sesepuh pun tak keberatan jika Pendekar Mabuk beristirahat di rumah
Rembulan Senja, karena hal itu dianggap sesuatu yang menyenangkan bagi si
Rembulan Senja yang telah berhasil mendapat bantuan dari Pendekar Mabuk.
"Aku belum ingin tidur, Rembulan Senja," ujar Suto Sinting dibawa masuk ke
sebuah kamar tidur.
"Kau harus beristirahat jika esok ingin pergi ke Istana Kematian," ujar Rembulan
Senja. "Kau harus menjaga tubuhmu agar tak lelah dan tetap segar."
"T uakku cukup mampu mengatasi hal itu, Rembulan Senja."
"Jangan membantah. Ini demi kesehatanmu," sergah Rembulan Senja sambil merapikan
seprai penutup ranjang berkasur itu.
"Selamat beristirahat, Pendekar T ampan!"
ucap Rembulan Senja, lalu melangkah keluar kamar. Tapi langkahnya terhenti di pintu
kamar begitu mendengar seruan Suto Sinting.
"Mau ke mana kau?"
"Aku tidur di kamar adikku, di sebelah!"
"Dan aku tidur sendirian?"
"Aku juga tidur sendirian. T ak usah takut, rumah warisan ini bukan rumah
angker." "Barangkali keangkerannya bukan dalam bentuk kengerian," ujar Suto sambil
tersenyum menggoda, karena senyuman wanita cantik itu juga sejak tadi sudah
menggoda. "Kalau bukan angker kengerian, lalu angker bagaimana?"
"Kesepian," jawab Suto semakin tebarkan senyum.
Mata si Rembulan Senja semakin berbinar-binar, ia tahu maksud Pendekar Mabuk,
tapi ia tak mau mudah terpikat oleh kenakalan seperti itu.
Rembulan Senja baru saja ingin berbalik untuk
melangkah keluar, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu
maju mendekatinya. Kini mereka saling pandang dalam jarak satu jengkal. Aroma
wangi mawar tercium Suto.
Aroma wangi mawar itu menyebar dari tubuh Rembulan Senja yang mungkin waktu
mandi pakai sabun cap
Mawar, atau berendam dalam bak mandi berisi air bunga mawar. Yang jelas aroma
wangi mawar itu menggoda hati, membangkitkan hasrat kemesraan si Pendekar Mabuk.
Ketika mata indah si Rembulan Senja mulai meredup, Suto Sinting segera dekatkan
wajah dan bibir ranum itu dikecupnya dengan sejuta kelembutan. Bibir itu dilumat
dengan penuh sentuhan mesra dan remasan tangan kekar yang punya kehangatan
membakar gairah.
Rembulan Senja tidak nolak, karena kemesraan


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti itu sudah lama tak dirasakan. T angan perempuan cantik itu segera
melingkar di pinggang Suto Sinting, kemudian
merayap ke punggung, meremas-remas lembut dengan bibir memberi balasan tak kalah hangat.
Pendekar Mabuk ingin melepaskan kecupan bibir,
tapi agaknya Rembulan Senja masih betah menikmatinya dan gerakan tubuh Suto yang ingin
mundur ditekan maju lagi hingga semakin rapat dengan tubuh sekal si Rembulan
Senja. T angan perempuan itu merayapi tubuh Suto Sinting, bahkan sempat
menelusup masuk ke dalam baju tanpa lengan itu dan meraba kulit punggung
Suto dengan remasan-remasan
berkesan lembut. Bukan berkesan liar.
Sementara itu, Suto Sinting juga menelusupkan kedua tangannya ke balik jubah
kuning dan menemukan kulit
punggung yang halus. Lumatan bibir Rembulan Senja mendapat balasan lagi dengan
tarian lidah Suto yang sangat mendebarkan hati. Rembulan Senja memburu agar
memperoleh desiran indah lebih banyak lagi.
Namun akhirnya napas mereka mulai memberat.
Mereka harus melepas kecupan, entah sesaat atau sekian lama. Rembulan Senja dan
Suto Sinting sama-sama hembuskan napas panjang, saling menatap, lalu saling
tersenyum. Rembulan Senja tampak malu. Mencubit hidung Suto sambil mendesahkan
sepatah kata. "Nakal...!"
kemudian ia buru-bur u melepaskan pelukannya dan bergegas keluar tanpa pedulikan Suto Sinting yang tertegun di
tempat, kejap kemudian baru tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Panas, haus, tapi tak mau mengakuinya, itulah Rembulan Senja!" ujar Suto
Sinting dalam hatinya.
Rembulan Senja merasa tak yakin dengan apa yang telah dilakukan terhadap seorang
pemuda tampan. Bahkan hatinya bertanya-tanya dalam keadaan berbaring di ranjangnya.
"Benarkah itu tadi Pendekar Mabuk yang kesohor sebagai pendekar penakluk hati
wanita itu"! Jangan-jangan dia Pendekar Mabuk palsu"! Andai benar ia Pendekar
Mabuk asli, ooh... alangkah beruntungnya aku pada malam ini"! Aku diciumnya,
dipeluk, dan... dan...
aduhai, indah sekali kecupan bibirnya. Sungguh tak bisa kupercaya bahwa diriku
ternyata berhasil mendapat kecupan hangat dan menggelora dari seorang pendekar
yang namanya sangat dikenal di seluruh pelosok penjuru
dunia ini. Aduuh... mimpi apa aku malam ini, belum-belum sudah mendapat kecupan
seindah itu. Sampai sekarang bibirku masih merasa dilumatnya dengan lembut.
Aaiih... indah sekali!"
Kesan indah yang amat membanggakan hati itulah
yang akhirnya membuat Rembulan Senja mendukung
rencana Suto Sinting, ia sendiri yang akan menjadi pemandu perjalanan Pendekar
Mabuk menuju ke istana Kematian. Dalam benaknya terbayang akan selalu
bersama Suto Sinting dengan segala keindahannya jika ia menjadi pemandu tunggal
si Pendekar Mabuk itu.
Perjalanan yang memakan waktu cukup lama dapat
membuat kemungkinan terulangnya keindahan seperti malam itu.
Di balik debar-debar kebahagiaan berjalan bersama Pendekar Mabuk, ternyata
Rembulan Senja masih
menyelipkan kecemasan di relung hatinya. Kecemasan itu tak bisa hilang, karena
ia tahu siapa orang yang akan ditantang oleh Pendekar Mabuk, ia khawatir jika
Pendekar Mabuk tewas di tangan Ratu Kehangatan.
Karena jika hal itu terjadi, maka keindahan yang baru malam itu didapatkan
sepanjang hidupnya, tentu akan lenyap
pula dan tak mungkin
diperolehnya lagi. Rembulan Senja yakin, tak akan ada keindahan seperti malam itu yang dapat
diperolehnya dari lelaki lain.
"Itu baru kecupan bibir, belum kecupan... kecupan yang lainnya. Hiik, hiik,
hiik, hik...!" Rembulan Senja tertawa sendiri dalam batinya.
T iba-tiba ingatan Rembulan Senja terlempar kembali
ke wajah adiknya; Buyut Batara, setelah ia mendengar Pendekar Mabuk berkata
kepadanya. "Pertama-tama akan kulihat
dulu apakah Buyut
Batara dan tawanan lainnya dalam keadaan selamat. Jika mereka masih dalam
keadaan selamat, maka aku akan lakukan tantangan pribadi dengan sang Ratu. T api
jika para tawanan telah tewas, termasuk Buyut Batara pun tewas, maka Istana
Kematian itu akan kuhancurkan tanpa peduli siapa pun yang menjadi korban
kehancuran itu!"
Kekhawatiran akan keselamatan jiwa adiknya membuat Rembulan Senja kehilangan keceriaan. Alangkah pedih dan menderitanya hati yang telah ditinggal kedua orangtua jika
harus ditinggalkan oleh seorang adik tunggalnya itu" Rembulan Senja tak ingin
hal itu terjadi, sehingga ia sangat menaruh harap kepada Pendekar Mabuk agar
mengutamakan menyelamatkan
Buyut Batara begitu tiba di Istana Kematian.
Padahal saat itu Buyut Batara berada di dalam gua keindahan bersama Denaya.
Setelah mereka menikmati pelayaran cinta yang membuat tubuh mereka bercucuran
keringat, akhirnya Buyut Batara ajukan gagasan kepada Denaya.
"Kita harus pulang ke T anah Leluhur dan menyusun kekuatan dari sana!"
"Aku... aku tak berani! Karena orang-orangmu akan membunuhku. Mereka tahu kalau
aku prajurit Istana Kematian," ujar Denaya dengan polos.
"Nyawamu adalah nyawaku, Denaya! Kau tak perlu
takut," Buyut Batara berkata dengan suara lirih sambil menciumi pipi Denaya.
Gadis itu menerima ciuman tersebut dengan hati bertaburan bunga indah. T
angannya ikut mengusap lembut kepala si pemuda yang dicintainya. "Jika mereka akan membunuhmu, mereka harus membunuhku lebih dulu, Denaya!
"Benarkah kau siap mati untuk membelaku, Buyut"!"
"Bukan kau yang kubela,
tapi cintamu yang kurasakan begitu tulus padaku, namun kau sembunyikan sekian lamanya."
Denaya mendesah dalam tawa lirih ketika Buyut
Batara menciumi lehernya dan merayap ke dada, lalu menyambar
pucuk-pucuk yang merentang penuh tantangan itu. "Buyut, sudahlah! Kita bicarakan dulu persoalan kita tadi. Setelah kita peroleh
kesepakatan dan kebulatan tekad, kau dapat menikmati seluruh tubuhku seperti
tadi." "T ekadku hanya satu, pulang ke Tanah Leluhur bersamamu, dan susun rencana
penyerangan!"
Denaya meraih wajah Buyut Batara. Wajah itu
sengaja dihadapkan kepadanya, ditatap dalam-dalam.
Lalu, sebaris kata diucapkan penuh ketegasan,
"Aku siap mati bersamamu, sekalipun mati di tangan ratuku sendiri!"
Hati Buyut Batara kian berbunga indah. Lalu gadis itu
pun dipeluknya kuat-kuat, seakan ia ingin membenamkan dirinya menjadi satu raga dengan Denaya. * * * 6 PADA mulanya orang-orang T anah Leluhur memandang Denaya penuh kebencian. Salah seorang pemuda mulai mencabut pedang
ketika melihat Denaya hendak memasuki pintu gerbang Tanah Leluhur itu.
Sreet...! Buyut Batara mencabut pedangnya juga. Sreet...!
Pemuda temannya sendiri itu dipandang dengan sorot mata yang tajam.
"Apa maumu, Sambawa"!" seru Buyut Batara.
"Apakah kau tak sadar telah membawa penyakit sebesar itu, Buyut Batara"! Dia
harus dimusnahkan!
Dibunuh!" "Silakan! Tapi kau harus membunuhku lebih dulu!"
tegas Buyut Batara. Orang-orang mulai berkumpul dengan tegang. Denaya tetap
berada di belakang Buyut Batara. Gadis itu tidak menunjukkan sikap perlawanan,
ia diam, tak mencabut senjata, namun tetap penuh kewaspadaan.
Salah seorang sesepuh T anah Leluhur muncul dan berseru kepada Buyut Batara.
"Apa yang kau lakukan, Buyut Batara"! Kau ingin membunuh kami semua dengan
membawa perempuan
itu"!"
"Pak T ua! Denaya bukan musuh kami. Dia ingin
bergabung untuk melawan Ratu Kehangatan!"
"T api dia orang Istana Kematian, Buyut! T idakkah hal itu kau sadari"!"
"Dia sudah keluar dari Istana Kematian sejak keluarnya perintah penangkapan
orang-orang kita. Dia satu-satunya prajurit yang tidak ingin orang T anah
Leluhur dijadikan pemuas hati sang Ratu! Dia mencintaiku, Pak T ua! Karenanya dia lebih baik tinggalkan segala yang
dimilikinya di Istana Kematian itul"
Suasana sempat ricuh sesaat. Mereka saling berkasak-kusuk dan sepakat untuk
membunuh Denaya. Para
sesepuh pun agaknya terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama setuju untuk menghabisi nyawa
Denaya, kelompok kedua tidak setuju.
Samba wa, wakil Buyut Batara selama Buyut Batara tidak berada di tempat, tampak
bernafsu sekali untuk membunuh Denaya. Dengan pedangnya ia menuding
Denaya sambil berseru kepada Buyut Batara.
"Buyut! Kalau kau ingin mati bersama perempuan itu, dengan sangat terpaksa kami
merelakan kematianmu!"
"Baik! Bunuhlah kami berdua!" seru Buyut Batara lalu membuang pedangnya. Denaya
pun mencabut pedang bersama sarungnya, lalu pedang itu dibuang ke tanah. Praang...! Mereka
berdua saling berpegangan tangan, saling menggenggam, dan saling menatap ke arah
Sambawa. "Bunuhlah kami bersama-sama, Sambawa! Kami sudah tidak membawa senjata lagi!"
seru Buyut Batara.
Sesepuh berkepala botak itu berseru, "T unggu...!"
Sesepuh itu maju ke pertengahan Sambawa dan
Buyut Batara. "Apalah artinya nyawa perempuan itu jika dibandingkan nyawa Buyut Batara"! Kematian Buyut Batara sama halnya kematian
sepuluh orang kita! Lalu apakah seimbang jika diganti dengan nyawa perempuan
ini"!"
"Apa maksudmu, Paman"!" seru seorang pemuda lain yang juga sudah menghunus
pedang. "Cinta dapat mengalahkan pedang setajam apa pun!
Cinta dapat memadamkan kobaran api gunung berapi!
Layakkah sebuah cinta hancur karena kepicikan kita semua"!"
Suasana menjadi sepi. Sepi sekali. Seperti tak punya napas semua. Suara batuk
atau bengek pun tak ada.
Sesepuh botak itu berkata lagi, "Beri dia kesempatan untuk membuktikan cintanya
kepada Buyut Batara! Jika benar perempuan ini mencintai Buyut, maka ia akan
berangkat sekarang juga untuk membunuh Ratu Kehangatan!"
Denaya cepat menyahut dengan suara keras, "Akan kulakukan sekarang juga!"
Pedangnya segera disambar dan ia bergegas pergi tanpa Buyut Batara. T etapi
pemuda itu segera berseru dan mengejarnya.
"Denaya! Kau tak bisa mati sendirian, baik di sini maupun di sana! Kita akan
hadapi ratumu bersama-sama!"
"Buyut!" bentak Sambawa yang tak setuju jika Buyut Batara ikut ke Istana
Kematian. "Kalian hanya punya dendam!" teriak Buyut Batara.
"Kalian hanya punya murka, tapi tak punya nyali! T ak ada yang berani menyerang
Istana Kematian sampai saat ini juga! T api aku dan Denaya akan tunjukkan bahwa


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami lebih punya nyali daripada kalian!"
"Siapa bilang tak ada yang punya nyali"!" seru Samba wa. "Salah satu dari kami
sudah ada yang berangkat ke Istana Kematian!"
"Siapa"!" sentak Buyut Batara.
"Rembulan Senja; kakakmul"
"Hahh..."!" Buyut Batara mendelik. T egang sekali.
"Mengapa tak ada yang melarang kakakku berangkat ke sana"! Kalian ingin
korbankan kakak perempuanku itu, hah"!"
Sesepuh botak segera dekati Buyut Batara dan
menepuk pundak pemuda itu.
"Kakakmu pergi bersama Pendekar Mabuk!"
"Suto Sinting"!" pekik Buyut Batara lebih keras dan lebih mendelik.
Plook...! Sesepuh itu menampar pelan wajah Buyut Batara, ia bersungut-sungut.
"Diberi tahu malah melototi orang tua dan membentak-bentak! Kurang ajar!"
"Maaf, Paman...!" suara Buyut Batara gemetar. "Aku dan Denaya pamit sekarang
juga!" Sungguh merupakan kabar yang benar-benar mengejutkan bagi Buyut Batara, ia sama sekali tak
pernah berpikir bahwa Pendekar Mabuk akhirnya sampai juga di T anah Leluhur,
bahkan menjadi akrab dengan kakak perempuannya. Sepanjang perjalanan menuju
Istana Kematian, tiada habisnya Buyut Batara bercerita tentang Pendekar Mabuk
dan Rembulan Senja kepada Denaya.
"Kita harus bisa menyusul mereka sebelum mereka tiba di perbatasan Lembah
Prahara!" ujar Denaya, karena Istana Kematian itu berada dalam wilayah Lembah
Prahara. Denaya berkata lagi, "Temanmu, si Pendekar Mabuk itu,
harus diberi tahu bahwa Ratu Kehangatan mempunyai banyak jebakan yang sulit ditebak di dalam istananya. Setiap orang tak
dikenal mencoba masuk ke istana Kematian, maka ia akan kehilangan nyawa,
termakan jebakan itu!"
"Pendekar Mabuk mempunyai kecepatan yang sulit dikejar! Aku pernah melihat
kecepatan geraknya yang membuatku hanya bisa tercengang."
"Kalau begitu aku harus menotokmu supaya mudah kubawa lari! Huup...!"
"Eh, eh, eeh...! Jangan main totok sembarangan!"
sentak Buyut Batara sambil melompat mundur, ia
tertawa geli ketika Denaya pun akhirnya tersenyum.
"Sekarang aku ada di tanah, bukan di atas pohon! Jadi kau tak boleh menotokku,
Denaya!" "Kalau begitu, naiklah ke atas pohon!" ujar Denaya menggoda. Kemudian ia
menyerang dengan jurus
totokan. "Hei, hei...! Denaya! Aku tak mau, Denaya...!" Buyut Batara
melarikan diri, Denaya mengejar. Begitu seterusnya, sehingga tanpa sadar mereka saling kejar dan saling beradu kecepatan
lari. Sebenarnya Denaya dapat menangkap Buyut Batara dengan mudah, karena ia
mempunyai jurus peringan tubuh yang dapat berlari lebih cepat lagi jika tenaga
dalamnya dipusatkan ke kakinya. Tapi Denaya tetap berlagak tak bisa menyusul
Buyut Batara, supaya pemuda itu tetap berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi.
Wees, wees, wees, wees...!
Zlaaap...! Sebuah bayangan melintas di depan Buyut Batara. Langkah pelarian
Buyut Batara terhenti karena kaget. Denaya sendiri juga hentikan langkah dan
matanya memandang sekeliling dengan curiga.
"Kita sudah berada di perbatasan wilayah Lembah Prahara," bisik Denaya. "Kurasa
sekelebat bayangan tadi adalah gerakan si Bragawa, penjaga perbatasan!"
"Kalau begitu, bersiaplah hadapi Bragawa! Kau lebih tahu tentang dia."
Zlaap...! Brruus...!
Bayangan itu tiba-tiba berkelebat lagi dan menerjang Buyut
Batara. Pemuda tersebut terpental dengan berguling-guling di tanah. Denaya terperanjat dan segera mencabut pedangnya
untuk bikin pembalasan kepada si bayangan cepat tadi.
"Buyut..."! Buyut, kau cedera"!" Denaya segera menolong
kekasihnya dengan mata liar mulai menampakkan keganasannya.
"T idak. Aku tidak cedera apa-apa. Lenganku yang tersambar
dan ditendangnya. T api... tapi kurasa tendangannya tidak terlalu berat, ia tidak menggunakan tenaga dalam saat
menendangku!"
"Jaga dirimu! Akan kucari orang itu!" geram Denaya sambil membungkuk, memegangi
pedang dengan kedua tangan, matanya jelalatan ke mana-mana.
"Setan! Iblis! Keluar dari persembunyianmu! Hadapi aku!" teriak Denaya dengan
berang. Zlaap...! Jleeg...!
Bayangan itu muncul dari balik semak di belakang Buyut Batara dan Denaya. T
ernyata dia adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan bertubuh kekar seperti
Buyut Batara. Senyumnya segera mekar setelah Buyut Batara dan Denaya
memandangnya. "Suto..."!" sentak Buyut Batara sambil melebarkan senyum juga.
"Heeeaaat...!" Denaya memekik dengan pedang ingin diayunkan ke tubuh Pendekar
Mabuk. T api tangan Buyut Batara segera mencekal lengan gadis itu.
"T ahan! Dia temanku; Pendekar Mabuk!"
Denaya segera hembuskan napas panjang dan
kendurkan ketegangannya. T api hatinya masih merasa dongkol karena sempat naik
darah melihat Buyut Batara tadi terjungkal.
"Kalian masih kurang waspada!" ujar Suto Sinting.
"T erbukti aku masih bisa membuatmu jungkir balik, Buyut!"
"T entu saja, sebab kau punya gerakan gila!" geram
Buyut Batara sambil menahan senyum.
"Mengapa kau lakukan terhadap kekasihku"! Salah-salah kau bisa kehilangan
nyawamu, Pendekar Mabuk!"
ketus Denaya melampiaskan kekesalannya. Pendekar Mabuk hanya tertawa.
Namun dari semak-semak seberang terdengar suara yang segera berseru dengan
lantang. "Aku yang menyuruhnya menyerang adikku!"
"Rembulan..."!" sapa Buyut Batara dengan wajah berseri melihat kakaknya dalam
keadaan sehat. T etapi sang kakak menatap benci kepada Denaya, dan Denaya
sendiri juga memandang sinis kepada Rembulan Senja.
"Siapa perempuan itu, Buyut"!"
"Denaya! Prajurit pilihan Ratu Indudari yang keluar dari Istana Kematian hanya
untuk selamatkan nyawaku!
Sekarang dia ada di pihak kita dan siap membantu kita, Rembulan."
"Jangan mudah tergiur oleh mulut manis perempuan!
Lidah perempuan bisa berubah menjadi pedang yang memenggal lehermu, Buyut!"
Pendekar Mabuk segera menyahut. "Kalau begitu, aku pun harus hati-hati
terhadapmu, Rembulan! Jangan-jangan karena terlalu percaya dengan kata-katamu,
leherku menjadi buntung mendadak!"
Buyut Batara dan Suto Sinting sama-sama tertawa.
Rembulan Senja dan Denaya masih bersitegang dalam beradu pandangan. Akhirnya
Suto Sinting berhasil meredam permusuhan batin di antara kedua perempuan itu,
terutama setelah Buyut Batara menceritakan alasan
Denaya menculiknya saat berjalan bersama Suto Sinting.
"Denaya mendesakku agar menyusul kalian," kata Buyut Batara. "Karena Denaya tak
ingin Pendekar Mabuk masuk ke dalam Istana Kematian sebelum
mendapat penjelasan tentang jebakan-jebakan yang ada disana!"
"T erlalu sulitkah mempelajari jebakan-jebakan itu, Denaya"!" tanya Suto
Sinting. "Cukup sulit! Yang jelas butuh
waktu untuk mempelajarinya.
T ergantung kecerdasanmu dalam mengingat dan mengatasi jebakan tersebut," jawab
Denaya dengan nada sudah tidak bermusuhan lagi.
"Bagaimana kalau sang Ratu kupancing keluar"!"
tanya Pendekar Mabuk. "Aku akan meledakkan Istana Kematian itu dari luar
benteng!" "Bagaimana nasib para tawanan yang masih hidup?"
sela Rembulan Senja.
Denaya segera berkata, "Kalau begitu,
alihkan perhatian mereka ke bagian depan. Aku akan masuk lewat
belakang dan menjebol pintu rahasia. Para
tawanan yang ada
di ruang ba wah tanah akan kubebaskan dan kubawa lari keluar istana lewat pintu rahasia itu! Setelah para
tawanan kubawa menjauhi benteng istana, aku akan bergabung denganmu dan ledakkan
semua bangunan yang ada di sana!"
Buyut Batara menimpali, "Itu gagasan yang bagus!"
"Ya, kurasa memang harus begitu!" gumam Suto Sinting.
"Jika berhadapan dengan Ratu Kehangatan jangan
memandang di bagian tengah keningnya, diantara kedua alisnya itu."
"Mengapa harus kuhindari?"
"Bagian di antara kedua alisnya itu dapat keluarkan cahaya merah kecil, seukuran
benang jahit. Jika kau terkena sinar merah kecil itu, kau akan bergairah dan
pasrah kepada sang Ratu. Kau akan tergila-gila dan hasrat bercumbumu
berlebihan!" ujar Denaya.
Rembulan Senja memandang arah lain sambil berkata, "Aku ingin punya cahaya merah itu. Bagaimana caranya, ya?"
Buyut Batara menjawab dengan bersungut-sungut,
"Rendam tubuhmu di kawah gunung berapi selama delapan tahun!"
"Bonyok, Tolol!" Rembulan Senja cemberut. Denaya dan Suto Sinting sunggingkan
senyum geli. Mereka pun akhirnya bergegas menuju ke benteng
Istana Kematian. Tanpa setahu Rembulan Senja dan Buyut Batara, Denaya dan Suto
Sinting bersepakat untuk menotok kedua orang itu. Ketika keduanya sudah
tertotok dan menjadi lemas, Denaya memanggul Buyut Batara, dan Suto Sinting
memanggul Rembulan Senja.
Wees, wess...! Zlaaaap...!
Mereka berkelebat dengan kecepatan tinggi. Walaupun Denaya masih kalah cepat dibanding gerakan Suto Sinting, namun ia
tertinggal tak terlalu jauh.
Mereka bahkan mampu menerobos pertahanan Bragawa dengan
kecepatan tinggi masing-masing, sehingga Bragawa dan anak buahnya yang mengetahui gerakan
mereka tak dapat mengejarnya. Bragawa dan anak
buahnya tertinggal jauh di belakang Denaya.
Benteng batu hitam akhirnya terlihat dari kejauhan.
Saat itulah Denaya dan Suto Sinting sepakat untuk melepaskan totokan kakakberadik itu. "Setan kurap! Kau apakan aku, hah"!" bentak Buyut Batara kepada Denaya. Denaya
hanya menjawab,
"Suto yang menyuruhku begitu. Marahlah kepadanya!"
Rembulan Senja pun menggerutu berkepanjangan.
Namun Suto Sinting segera memutus gerutuan itu.
"Lihat, benteng hitam itu sudah berada di depan kita.
Bersiaplah menghadapi bahaya sewaktu-waktu. Aku akan melepaskan pukulan jarak
jauhku untuk hancurkan pintu gerbang dan bagian depan Istana!"
"T unggu, biarkan aku sampai ketiga pohon cemara berjajar itu. Aku akan
menghancurkan pintu rahasia di belakang benteng! Setelah aku tiba di tiga pohon
cemara, segeralah lakukan penghancuran di bagian depan, supaya perhatian mereka
beralih ke depan!" ujar Denaya, lalu ia bergegas pergi setelah Suto Sinting
anggukkan kepala.
"Rembulan, bantulah dia! Aku akan membantu Suto di bagian depan!" ujar Buyut
Batara. Rembulan Senja kurang setuju usul adiknya. T api karena Suto Sinting membenarkan
usul itu, mau tak mau Rembulan Senja berlari mengikuti Denaya, membayang-bayangi
gadis itu. Karena ia tahu, jika gadis itu celaka, maka Buyut Batara akan marah
besar kepadanya.
"Kita maju sampai di batu tinggi itu se belum Denaya
tiba di tiga pohon cemara tersebut!" Buyut Batara ajukan usul lagi. Pendekar
Mabuk setuju, kemudian mereka bergegas maju sampai ke batu besar yang menjulang


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi melebihi tinggi tubuh mereka.
"Kau punya jurus penghancur"!" tanya Suto.
"Ya, tentu saja aku punya!"
"Pergunakan jurus penghancur itu! Arahkan ke pintu gerbang. Aku akan mengarahkan
jurus 'Pecah Raga'-ku ke
atap bangunan istana itu. Jika para prajurit berhamburan keluar, hantam terus dengan jurus penghancurmu!"
"Baik! T api bagaimana dengan para penjaga di menara sudut benteng itu"!"
Baru saja kedua pemuda itu memandang ke arah
menara di sudut benteng, tiba-tiba menara yang kiri meledak karena sinar kuning
berkelok-kelok dari bawah.
Blegaaarr...! "Sial! Siapa yang menghancurkan menara itu"!"
gerutu Suto Sinting.
"Itu jurus ' Surya T idar'-nya Rembulan Senja!" ujar Buyut Batara.
"Berarti Denaya sudah sampai di belakang benteng!
Kita bergerak sekarang juga, Buyut!"
Zlaaap...! Wuuus...!
Kedua pemuda itu berkelebat ke arah tanah lapang di depan benteng. Pada saat
itu, beberapa prajurit keluar dari gerbang yang pintunya segera dibuka. T etapi
sinar biru dari tangan Buyut Batara menyerang mereka
bertubi-tubi. Claaap, claap, claap, claap...!
Blegaar...! Blaaar...! Jegaaar...! Glaaarr...!
Pendekar Mabuk sentakkan tangannya dan dari
tangan itu keluar sinar hijau yang dapat memecahkan raga lawan, karenanya
dinamakan jurus 'Pecah Raga'
alias 'Lebur Jiwa'. Sinar hijau itu mengarah ke bagian atap istana yang tampak
mencuat melebihi tembok benteng. Clralap...!
Bleggggaaarrr...!
Istana itu hancur bagian depannya. Suto Sinting melepaskan jurus yang sama lagi.
Kali ini diarahkan ke menara sebelah kiri. Clraaap...!
Bleggaaarrr...!!
Suasana menjadi gempar, kacau balau. Para prajurit berpakaian anti senjata tajam
itu menyebar ke mana-mana dalam keadaan tidak bernyawa. Namun sebagian besar
tampak panik dan saling tabrak sendiri karena dihujani sinar birunya Buyut
Batara. Ledakan dahsyat terjadi berkali-kali membuat
tanah sekitar mereka
bergetar terus, sampai akhirnya benteng depan roboh dalam keadaan hancur
terhantam jurus 'Pecah Raga'-nya Pendekar Mabuk.
Beberapa prajurit menyerang dari arah samping
dengan pedangnya. Buyut Batara menghadapi dengan tebasan pedang pendeknya yang
dapat keluarkan cahaya putih berkilauan dan menghanguskan
lawan yang terkena cahaya tersebut. Suto Sinting juga menghadapi serangan lawan dengan
bumbung tuaknya. Sesekali tangannya menyentak dan keluarkan sinar penghancur
ke arah munculnya para prajurit itu.
T iba-tiba di sela ledakan demi ledakan, terdengar suara
perempuan yang menjerit lengking dan menggeram ke mana-mana. Suara itu jelas dilontarkan dengan bantuan tenaga
dalamnya. "Hentikaaaaaann...!! Hentikaaaaann...!!"
Para prajurit mundur walau tetap bersiaga lakukan penyerangan
sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk
dan Buyut Batara saling beradu punggung.
T iba-tiba angin panas datang menerjang mereka tanpa diduga-duga. Angin panas
itu datang dari arah samping mereka. Pendekar Mabuk terlambat menghadang angin
panas itu dengan kibasan bumbung tuaknya. Akibatnya ia pun terhempas dan
menjerit kepanasan. Demikian juga Buyut Batara yang memekik bagai tersiram
cairan besi panah. "Aaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk jatuh berguling-guling
dalam keadaan tubuhnya menjadi merah matang. Rasa panas menyelimuti seluruh tubuhnya,
ia buru-buru sempatkan diri menenggak tuaknya walau hanya satu teguk.
"Buyut, cepat minum tuak ini!" sambil Suto menyodorkan bumbung tuak ke mulut Buyut Batara.
Dengan gerakan cepat dan terburu-buru, Buyut Batara akhirnya berhasil meneguk
tuak tersebut, sehingga rasa panas dan luka bakarnya pun lenyap dalam beberapa
kejap kemudian.
Wuuus...! Jleeeg...!
Seorang perempuan bertubuh sekal dan berda da
montok muncul dari kobaran api yang membakar bagian
depan istana serta pintu gerbangnya. Perempuan itu mengenakan jubah merah jambu
dengan parasnya yang ayu
menawan hati. T etapi kedua bola matanya memandang tajam penuh dendam dan murka.
"Siapa kalian, hah"!"
bentaknya dengan suara nyaring. "Dia yang berjuluk Ratu Kehangatan!" bisik Buyut Batara.
"Menjauhlah!" balas Suto Sinting, lalu segera maju beberapa langkah.
"Aku si Pendekar Mabuk, sengaja datang mewakili orang-orang T anah Leluhur untuk
bikin perhitungan sendiri denganmu! Aku menantang pertarungan satu lawan satu
denganmu, Ratu!"
Beberapa saat setelah mata sang Ratu memandangi Suto Sinting, terdengarlah suara
tawanya yang mengikik serak.
"Pertarungan
yang mana, Pemuda T ampan"! Pertarungan di atas ranjangkah, maksudmu"!"
"Lebih baik aku bertaruh nyawa di sini daripada bertaruh keringat di atas
ranjang denganmu, Ratu!"
"Ooh..."! Hebat sekali tantanganmu! T api coba dulu hadapi pengawalku!"
"T idak!" sergah Suto Sinting. "Pertarungan dengan pengawalmu hanya membuangbuang waktu saja! Kalau kau tak mau menghadapi tantanganku, berarti kau adalah
seorang Ratu yang tak punya nyali! Kau hanya berani mengajukan prajuritmu, tapi
kau sendiri tidak punya keberanian menghadapi pertarungan! Mungkin juga
dengan orang lain kau tak akan berani melakukan pertarungan! Sungguh seorang
Ratu pengecut kau sebenarnya, Indudari!"
Hinaan tersebut sengaja dilontarkan oleh Suto untuk memancing kemarahan Ratu
Kehangatan. T ernyata
pancingan Suto Sinting berhasil. Sang Ratu menggeram dengan menampakkan wajah
bengisnya. "Mulut lancanganmu harus kurobek sampai ke
tengkuk, Bocah Ingusan! Jika kau ingin menantangku, terimalah dulu jawa ban
dariku ini! Hiaaah...!"
Ratu Kehangatan lakukan lompatan ke atas. T angan kirinya menyentak ke depan dan
mengeluarkan cahaya Jingga menyerupai pedang pemenggal leher. Wuuus...!
Cahaya Jingga itu menyerang Pendekar Mabuk, makin dekat
makin besar, dan ketika ditangkis dengan
bumbung tuak, cahaya Jingga itu sudah berubah tiga kali lebih besar dari
pedangnya Denaya. Blegaaaarrr...!
Benturan itu menimbulkan ledakan yang sangat
dahsyat. Pendekar Mabuk terlempar dan jatuh berguling-guling dalam jarak sepuluh
langkah. Tetapi bumbung tuaknya masih utuh, tak mengalami lecet sedikit pun.
Hanya saja, wajah Pendekar Mabuk menjadi memar
membiru dengan sudut mata keluarkan cairan merah kental. Darah.
"Edan! T enaganya besar sekali! T enaga manusia atau tenaga jin tadi"!" gerutu
hati Suto Sinting sambil menahan rasa sakit di seluruh wajah dan dadanya.
Rupanya dada Suto pun menjadi biru legam akibat gelombang ledakan dahsyat tadi.
"Hupp, haap, hiaaah...!"
Ratu Kehangatan memainkan jurusnya, lalu satu kakinya menghentak ke bumi.
Bruuus...! T ubuh perempuan itu lenyap bagaikan ditelan
bumi. Pendekar Mabuk kebingungan mengarahkan pukulan jarak jauhnya.
Namun tiba-tiba dari dalam tanah yang dipijak Suto, keluar sepasang tangan yang
menyentak dan menarik kedua kaki Suto Sinting.
Bruuuusss...! Zruuuubb...!
"Aaaahk...!" Suto Sinting bagai ditenggelamkan ke bumi. T arikan kedua tangan
Ratu Kehangatan itu cukup keras dan kuat. Pendekar Mabuk akhirnya terbenam
sebatas perut. Tapi bumbung tuaknya masih di atas dan menjadi penyangga tubuh.
"Aaahk...!" Suto Sinting mengerang dengan wajah menyeringai kuat-kuat.
Sesuatu yang menarik tubuh Suto dari dalam tanah itu nyaris sukar dilawan.
Bahkan pergelangan kaki Suto terasa dijepit dengan tang besi sangat kuat.
"Heeahh...!"
Akhirnya Suto Sinting sentakkan bumbung tuaknya ke tanah. Duuh...! Sentakan itu
mengeluarkan tenaga besar yang mendorong tubuh Pendekar Mabuk melesat ke atas
dengan kecepatan tinggi. Wuuus...! Brruull...!
T ernyata tubuh
Ratu Kehangatan
ikut terbawa terbang ke atas dalam keadaan kedua tangan berpegangan pada kedua kaki Pendekar Mabuk. Semua mata yang memandangnya menjadi
kagum. "Heeeeaaahhh...!!"
teriak Ratu Kehangatan mengencangkan kedua genggamannya.
"Aaaaahk...!" Suto Sinting memekik keras, karena tulang kakinya terasa menjadi
remuk oleh genggaman kedua tangan bertenaga dalam itu.
T ubuh mereka melayang turun. Pada saat itu Suto Sinting memutarkan bumbung
tuaknya dan menyabet ke bawah kakinya dalam keadaan membungkuk.
Wuuus...! Prrraak...!
Suara berderak keras terdengar oleh semua prajurit yang menyaksikan pertarungan
itu. Suara tersebut datang dari benturan bumbung tuak dengan kepala Ratu
Kehangatan. Kepala itu berhasil dihantam dengan bumbung tuak. Kepala tersebut
pecah, menyemburkan darah ke mana-mana. Genggaman kedua tangan itu pun terlepas,
dan Suto Sinting jatuh terjungkal karena tak mampu lagi menjaga keseimbangan dan
rasa sakit. Kedua kakinya tak bisa dipakai berdiri lagi. Bruuuk...!
" Aaaaaaaaahhhkk... !"
Pendekar Mabuk meraung panjang, ia buru-buru
menenggak tuaknya untuk atasi rasa sakit.
T api keadaan Ratu Kehangatan sudah terkapar tak bernyawa
lagi karena kepalanya pecah
dihantam bumbung tuak yang kerasnya melebihi besi baja.
"Ratu tewas...! Ratu tewaaass...!" teriak seorang prajurit, lalu prajurit yang
lain pun berhamburan melarikan diri. Mereka takut menghadapi Pendekar Mabuk, tak
ingin mengalami nasib seperti ratunya.
"Heeeaaah...!!"
T eriakan itu berasal dari Denaya yang baru saja muncul bersama Rembulan Senja,
ia menyerang para prajurit
dengan pedangnya secara membabi-buta. Rembulan Senja melepaskan cahaya penghancur ke arah para prajurit yang
bertebaran. T api tindakan mereka buru-buru dicegah Suto, hingga tak telanjur
makan korban. Kemudian Istana Kematian pun segera dihancurkan oleh Pendekar Mabuk dengan
jurus-jurus maut bersinar warna-warni itu, pada saat sudah ditinggal oleh para
prajurit. Bleggaaaaarrrrrr...!!
Istana Kematian itu meledak dan api berkobar
membubung tinggi seba gai pertanda berakhirnya masa kekejaman Ratu Kehangatan.
Suara ledakan itu menggema sampai ke mana-mana
dan mengguncangkan tanah dengan keras, seakan bumi akan kiamat dalam waktu
dekat. "Denaya!" seru Buyut Batara, lalu ia segera berlari hampiri gadis itu dan
memeluknya. Rembulan Senja berharap Suto Sinting berseru seperti adiknya.


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ternyata Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum sambil melangkah mendekati
Rembulan Senja. Langkahnya masih sedikit pincang karena proses penyembuhan pada
tulang kaki belum sempurna.
"Kita harus segera pulang. Ada beberapa tawanan yang menderita sakit akibat
tebasan pedang temannya sendiri," ujar Rembulan Senja.
"Aku setuju dengan usulmu!"
Maka mereka pun bergegas pulang ke Tanah Leluhur.
T ernyata dari sekian pemuda yang diculik oleh pihak Ratu Kehangatan, hanya
tujuh orang yang masih
selamat. T iga di antaranya terluka akibat pertarungan di arena.
"Kami dipaksa bertarung dengan teman sendiri sampai ada yang mati. Darah kami
merupakan hiburan dan kepuasan bagi Ratu Kehangatan itu!" tutur salah seorang
tawanan. "Jika kami tidak mau membunuh lawan yang sudah kalah, kami berdua akan
dibunuh oleh para pengawal
Ratu. Jadi mau tidak mau kami
membunuh teman sendiri demi mempertahankan nyawa kami masing-masing."
"Menyedihkan sekali!" gumam Suto Sinting dengan lirih, lalu la pun menundukkan
kepala. T ernyata ketika mereka tiba di Tanah Leluhur, dua orang tamu sedang berada di
sana. Mereka adalah Perawan Sinting dan Mahesa Gibas. Walau kedatangan Perawan
Sinting termasuk terlambat, tapi Suto tetap menyambutnya dengan senyum
kemenangan. Senyum
itu membuat Rembulan Senja cemberut dan tak mau menatap Suto yang telah berada
dalam genggaman
tangan Perawan Sinting.
"Repot! Serba salah kalau be gini jadinya!" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya
dengan mata sesekali melirik Rembulan Senja, sesekali melirik Perawan Sinting
yang sudah terang-terangan menyimpan cinta kepadanya.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul:
PERT ARUNGAN DEWI RANJANG
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Cinta Pembawa Maut 2 Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat Dewi Penyebar Maut V I 2

Cari Blog Ini