Ceritasilat Novel Online

Gadis Tanpa Raga 2

Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga Bagian 2


terharu dan menjadi kasihan kepada nasib si Tenda Biru. Namun rasa ibanya itu
tidak ditonjolkan dalam raut wajahnya.
Rasa iba itu hanya dipendam dalam hati, walau wajah tetap tampilkan senyum tipis
yang menambah ketampanan si murid sinting Gila Tuak itu.
Tiba-tiba Suto merasakan ada sesuatu yang
menempel di pundak kirinya. Sebuah kepala
menempel di sana. Terasa hangat dan bergetar. Suto dapat membayangkan, pada saat
itu Tenda Biru meletakkan kepalanya di pundak Suto dengan wajah duka. Karena
beberapa saat kemudian, Suto pun merasakan tetesan air hangat di lengan kirinya.
Air hangat itu pasti air mata kesedihan si Gadis Tanpa Raga. Anehnya, air mata
itu bisa dilihat membasahi lengan, tapi wajah yang mencucurkan air mata itu
tidak bisa dilihat dan diraba oleh Suto Sinting.
"Aku merasakan sentuhan tanganmu," terdengar suara si Tenda Biru sedikit parau
karena tangis. "Kau sedang mengusap pipiku, Bocah Sinting."
"Aku tidak merasa menyentuh apa-apa."
"Memang, tapi... tapi peluklah aku. Aku hampir kehilangan semangat lagi.
Peluklah aku, Bocah Sinting...! pinta suara Tenda Biru dengan nada kian
mengharukan. Isak tangisnya pun mulai terdengar samar-samar. Kepala yang
bersandar di pundak Suto terasa berguncang-guncang. Kepala itu sekarang pindah
ke dada. Suto Sinting mencoba memeluk tubuh Tenda Biru, tapi ia tetap tidak
merasakan sedang memeluk sesuatu.
Rupanya pengaruh kutukan itu cukup aneh.
Kehandak hati orang lain tidak bisa dirasakan oleh
orang lain itu namun bisa dirasakan oleh Tenda Biru.
Tapi kehendak hati Tenda Biru bisa dirasakan oleh orang lain dan oleh Tenda Biru
sendiri. Kehendak hati Suto ingin memeluk, bisa dirasakan oleh Tenda Biru. Gadis itu
merasa sedang dipeluk Suto. Tetapi Suto tidak bisa merasakan sedang memeluk
Tenda Biru. Sebaliknya, sekarang kehendak hati Tenda Biru ingin memeluk Suto.
Pelukan itu dapat dirasakan oleh Suto dan dapat dirasakan pula oleh Tenda Biru
sendiri. "Aneh sekali kutukan ini," gumam Suto lirih.
"Kalau tak aneh bukan kutukan orang sakti," jawab Tenda Biru di ujung sisa
tangisnya. Pelukan hangat itu terasa menjalar ke leher.
Pendekar Mabuk hanya bisa merasakan debar-debar kehangatan yang mengusik
gairahnya. Tetapi ia tak bisa memberi balasan yang dapat dirasakan oleh dirinya
sendiri. Hanya saja, Gadis Tanpa Raga itu selalu berbisik menuntun gerakan
tangan Pendekar Mabuk.
"Oh, indah sekali rabaan tanganmu di punggungku, Bocah Sinting...."
"Apakah aku menyentuh punggungmu?" bisik Suto dengan suara pelan, karena takut
membangunkan Panji Klobot.
"Ya, kau merabanya. Ooh... gerakanmu lembut sekali. Uuhmm...!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk merasakan kecupan di lehernya. Kecupan itu merayap
semakin lama semakin ke dagu kemudian menyentuh bibirnya. Suto Sinting merasakan
bibirnya sedang dipagut dan dilumat lembut oleh seorang gadis. Kehangatan yang
mengalir pada saat itu semakin menyulut gairah cintanya. Bahkan Suto pun
merasakan usapan
tangan Tenda Biru yang merayap di kepala, di punggung, lalu meraba dada, meraba
perut, dan tangan tanpa wujud itu semakin nakal, sehingga Suto Sinting mendesis
kecil ketika telinganya merasa disusuri oleh mulut Tenda Biru.
Tangan Suto sendiri bergerak-gerak bagai meraba udara kosong. Tapi si Gadis
Tanpa Raga mengaku merasakan belaian tangan Suto di bagian dadanya.
Bahkan ia sempat meringkik seperti kuda betina pada saat Suto Sinting menyentuh
gumpalan peka di bagian dada. Gadis itu berbisik penuh desah kasmaran,
"Remas pelan-pelan... remaslah, karena kau telah menyentuh ujung dadaku, Bocah
Sinting.... Ooh, ya...
aku bisa merasakannya. Indah sekali, Bocah Sinting...."
Suto semakin terlena, karena gadis itu agaknya semakin berani berbuat. Bahkan
ciumannya kian membara di sekujur tubuh Suto, seakan menantang sang pendekar
untuk bertarung di ladang
kenikmatan. "Bocah sinting... oh, nakal kau! Jangan hentikan tanganmu. Terus... terus turun
ke bawah.... Oooh, Nikmat sekali, Bocah Sinting... Hmmmhh...," rengekan
bercampur desah semakin membakar semangat Suto untuk melayang-layang di langitlangit kemesraan.
Sayang sekali saat itu Panji Klobot terbangun karena mendengar suara gaduh di
atas kepalanya.
Suto tak tahu kalau Panji Klobot terbangun dan memandang ke arahnya. Suto masih
menggelinjang bergolek sendirian. Di mata Panji Klobot, Suto bagai sedang menari
dalam keadaan setengah berbaring.
Kepalanya terdongak ke atas sambil tangannya bergerak-gerak di depan dada.
"Tarian apa yang dilakukan Kang Suto itu?" pikir Panji Klobot dengan terheranheran. Mata anak muda itu mengerjap-ngerjap karena merasa sangsi dengan
penglihatannya.
"Jangan-jangan Kang Suto kesurupan?" kata hati si Panji Klobot.
Ketika mata Suto Sinting sedikit terarah kepada Panji Klobot, ia terkejut dan
segera membenahi diri.
Panji Klobot yang masih bingung, karena terbangun dari tidurnya segera bertanya
dengan suara parau.
"Sedang apa kau sebenarnya, Kang?"
"Hmmm... eeh... anu, sedang menirukan gerakan seorang penari ular yang pernah
kulihat dulu...."
"Ooo... kukira kau kesurupan."
"Ah, kau mimpi, ya" Sudah tidur lagi sana!"
Tapi Suto segera berbisik, "Ssst...! Hentikan dulu, si Panji Klobot bangun!"
"Ooh... aku sudah semakin panas, Bocah Sinting"
"Pergilah ke luar gua biar dingin!" bisik Suto Sinting sambil bergerak-gerak
bagai menyingkirkan tangan yang ingin menjamahnya.
Panji Klobot justru bangun dan duduk,
"Minta tuaknya, Kang. Aku haus sekali."
"Minumlah, tapi habis ini tidur lagi, ya?"
"Kalau sudah bangun begini, biasanya susah tidur lagi, Kang," lalu Panji Klobot
menenggak tuak Suto.
Panji Klobot tak tahu bahwa Suto mengeluh dalam hati. Panji Klobot juga tidak
tahu kalau Suto masih merasakan ada tangan yang meremas-remas
tubuhnya dengan sesekali ciuman hangat terasa di tengkuk dan leher, kadang juga
menghangat di dadanya. Tetapi Suto tak berani mendesah karena takut mencurigakan
Panji Klobot. "Suruh dia tidur lagi!" bisik suara Tenda Biru.
"Dia tak mau tidur lagi. Hentikan dulu, lain waktu kita lanjutkan lagi," Suto
ganti berbisik.
"Aaah...!" Tenda Biru merengek kesal. "Bagaimana kalau Panji Klobot kubuang ke
luar gua saja?"
"Husy...!" Suto tertawa geli walau tanpa suara. Tapi Panji Klobot segera
berkerut dahi dan bertanya,
"Kau menertawakan aku, ya Kang?"
"Hmmm... bukan! Eh, iya... eeh... bukan kok, ih...
tapi iya..." Suto Sinting jadi salah tingkah dan malu sendiri dalam hatinya.
* * * 5 AKHIRNYA Suto Sinting memutuskan untuk
mencoba bertanya kepada si Kusir Hantu, ia pergi ke Lembah Seram, menuju ke
sebuah pondok di dalam hutan yang banyak ditumbuhi pohon liar itu. Panji Klobot
yang mengikutinya tampak ketakutan
memasuki hutan rimbun itu. Karenanya ia berjalan merapat dengan Suto Sinting,
agar jika terjadi sesuatu dapat segera berlindung di balik tubuh kekar sang
Pendekar Mabuk.
Dalam perjalan itu, Gadis Tanpa Raga sebenarnya ikut bersama mereka. Hanya saja,
mereka tidak bisa melihat dengan jelas di mana gadis itu berada.
Mungkin di samping mereka, di depan atau di belakang mereka.
Namun ketika mereka melewati gugusan tanah cadas yang membentuk bukit kecil,
tiba-tiba Suto Sinting mendengar bisikan suara si Tenda Biru.
"Ada yang mengikuti kalian di belakang!"
Langkah Suto Sinting menjadi pelan, ia berlagak tenang walau sebenarnya mulai
meningkatkan kepekaan rasanya. Bahkan ketika ia balas berbisik, suaranya diusahakan agar
tidak didengar oleh Panji Klobot.
"Di mana orang itu?"
"Sekarang sedang mengintai di atas bukit cadas sebelah kananmu itu."
"Berapa orang yang ada di atas sana?"
"Cuma satu orang."
"Kau mengenalinya?"
"Kurasa aku pernah melihatnya ketika kau dan Panji keluar dari kedai."
"Berpakaian hijau?"
"Benar," jawab suara Tenda Biru.
"Hmmm... ya, ya... terima kasih, Tenda Biru!" Kata Suto lirih sekali sambil
manggut-manggut. Dalam benaknya segera terbayang wajah si Taring Naga, yang
agaknya penasaran sekali kepada Suto dan ingin membalaskan kekalahan adiknya;
Naga Langit. "Panji," kata Suto saat langkahnya dihentikan.
"Kau bisa mengambilkan dua buah kelapa muda di atas sana untuk membasuh
wajahku?" "Kelapa muda untuk membasuh wajah?" Panji Klobot heran.
"Jangan banyak tanya dulu. Ambilkan dua buah untukku. Kau bisa memanjatnya,
bukan"!"
"Hmmm... tidak. Aku tidak pernah bisa memanjat pohon, Kang!"
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang memanjatnya.
Sebab aku merasa kita akan dihadang oleh beberapa ekor harimau. Kita perlu
wewangian yang dapat membuat binatang-binatang buas itu enggan
mendekati kita. Wewangian itu antara lain adalah air kelapa muda. Dengan
membasuh muka memakai air kelapa muda, harimau-harimau itu tidak mau
mendekati kita."
"Harimau..."!" Panji Klobot mulai tegang. "Apakah...
apakah kau mendengar suara harimau, Kang?"
"Kudengar suara itu ada di belakang, agak jauh dari kita. Tapi sebentar lagi
akan datang mendekati kita."
"Oh, kalau begitu... kalau begitu biar aku saja yang memanjat pohon kelapa itu,
Kang!" "Katanya kau tak pernah bisa memanjat pohon?"
"Kalau ada harimaunya pasti bisa!" jawab Panji Klobot sambil lari menuju ke
pohon kelapa dan memanjatnya. Pendekar Mabuk hanya tertawa dalam hati, merasa
geli mendengar alasan malas si Panji Klobot tadi.
Pada saat Panji Klobot memanjat pohon kelapa, Suto Sinting segera memandang ke
arah atas bukit cadas. Pada gugusan batu coklat yang menjulang tinggi itu tampak
bayangan dari seseorang yang ada di balik batu itu. Suto Sinting membenarkan
bisikan Tenda Biru tadi. Kemudian ia segera melepaskan jurus 'Turangga Laga'
yang tidak terlalu berbahaya.
Kedua jari Suto dikeraskan, lalu ditempelkan di kening sebentar, setelah itu
disentakkan ke depan.
Claaap...! Seberkas sinar ungu melesat dari ujung jari.
Sinar ungu kecil itu menghantam batu tinggi yang dipakai bersembunyi seseorang.
Blaaar...! Batu itu retak seketika. Sebagian sisinya gompal dan sesosok bayangan segera
berkelebat dengan satu lompatan bersalto.
Wuuuuk...! Jleeeg...! Taring Naga berdiri di depan Suto Sinting dengan wajah memancarkan permusuhan.
Pendekar Mabuk tetap tenang, bahkan sempat sunggingkan senyum tipis kepada lawannya.
"Mengapa harus bersembunyi di sana, Taring Naga"!" ujar Suto setengah meledek si
Taring Naga. Pemuda berpakaian serba hijau itu segera
menggeram penuh kejengkelan.
"Hmmm...! Aku hanya menguji kewaspadaanmu, Sapi Ompong!" ujar Taring Naga dengan
mencibir sinis, menutupi rasa malunya. Katanya lagi,
"Sekarang keadaanku sudah sehat. Kurasa sudah waktunya kau menerima pembalasan
dariku! Aku akan menebus kekalahan adikku; si Naga Langit!
Terimalah jurus 'Pedang Sutera'-ku ini! Hiaaaah...!"
Sraaang...! Pedang dicabut, kemudian ditebaskan ke kanan, kiri, dan depan.
Gerakan menebasnya cukup lembut, bagai selembar kain sutera melambai
dipermainkan angin. Namun rupanya gerakan pedang itu menyebarkan serbuk-serbuk
beracun yang menyatu dengan udara.
Pendekar Mabuk melangkah mundur beberapa
tindak dan segera tahu bahwa udara di depannya mengandung racun. Karena ketika
itu ia melihat rumput ilalang dan daun-daun muda yang tumbuh di batang pohon
menjadi layu seketika. Beberapa kejap kemudian daun-daun hijau itu menguning dan
berkeriput. Pendekar Mabuk segera memutar bumbung
tuaknya di atas kepala dengan tali bumbung sebagai pegangannya. Gerakan memutar
itu dilakukan dengan cepat, hingga menimbulkan suara dengung yang menggelitik
gendang telinga.
Wuuung, wuung, wuung, wuung, wuung...!
Angin berhembus kencang akibat putaran
bumbung tuak itu. Akibatnya, serbuk racun yang
keluar dari kibasan pedang membalik ke arah Taring Naga sendiri. Hal itu
disadari oleh Taring Naga, sehingga ia buru-buru hentikan gerakan pedangnya dan
melompat berpindah tempat dengan gerakan berjungkir balik di udara.
Wut, wut, wutt...! Jleeg...!
Suto Sinting pun hentikan gerakan bumbungnya.
Kini ia berdiri tegak sambil tersenyum lega. Tapi si Taring Naga semakin
menggeletukkan giginya pertanda kian benci kepada Suto Sinting.
"Keparat busuk kau, hiaaah...!"
Baru saja Taring Naga ingin lakukan satu lompatan bersama pedang diarahkan ke
dada Suto Sinting, belum-belum ia sudah terpental ke belakang dengan suara pekik
tertahan. Karena pada saat itu, jari tangan Suto menyentil dan sentilan itu
adalah sentilan bertenaga dalam cukup besar. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan Suto
Sinting dengan tidak kentara.
Tesss...! Dada si Taring Naga menjadi sasaran telak
gumpalan padat tenaga dalam itu. Buukh...!
"Heegh...!" Taring Naga bagaikan ditendang kuda jantan yang sedang mengamuk.
Tubuhnya terlempar ke belakang dan berguling-guling di udara, lalu membentur
sebatang pohon besar dengan keras.
Brruuss...! "Oouh...!" ia mengerang lagi sambil berusaha bangkit dengan cara merangkak.
Namun pada saat ia merangkak, Panji Klobot muncul di belakangnya dengan membawa
dua butir kelapa muda. Melihat pakaian serba hijau si Taring Naga, Panji Klobot
ingat tentang orang yang menggadang langkahnya dengan Suto saat keluar dari
kedai. Maka, dengan keras kaki Panji Klobot menendang pantat Taring Naga.
Duuuukh...! "Jebol lagi kau!"
Jurus 'Tendangan Cuci Perut' dilepaskan kembali oleh Panji Klobot. Akibatnya,
perut si Taring Naib segera merasa mules dan ingin buang hajat, la menahannya
mati-matian, tapi sang hajat tetap mendesak keluar.
"Oouh...! Sial betul! Lagi-lagi perutku jadi mulas begini!"
Panji Klobot segera berlari mendekati Suto dan berlindung di belakang murid
sinting si Gila Tuak itu.
Ia tertawa-tawa cekikikan di belakang Suto Sinting, membuat Suto menghardiknya.
"Diam kau, Panji! Gara-gara ulahmu dia akan penasaran terus terhadapku!"
Taring Naga menyeringai bukan menahan sakit, tapi menahan sesuatu yang ingin
keluar dari belakang. Tangannya meremas pantat sendiri kuat-kuat, kemudian
clingak-clinguk ke sana-sini mencari tempat untuk membuang sang hajat. Tapi ia
sempat menggeram sambil menuding ke arah Panji Klobot dengan pedang di tangan
kirinya. "Lagi-lagi kau yang bikin ulah! Awas kau, kalau sudah... kalau sudah... aduuuuh,
biyuuung... mana tahan kalau begini caranya. Uuuuhhf...!"
Taring Naga berlari tertatih-tatih sambil


Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegangi pantatnya. la segera melompat di balik semak setinggi pundak manusia
dewasa. Tak berapa lama, dari balik semak itu terdengar suara yang mirip petasan
berondong. Treeet, tret, tret, tret, brooot...!
Mau tak mau Pendekar Mabuk akhirnya tertawa geli sambil bergegas pergi
meninggalkan tempat itu.
Panji Klobot ikut tertawa dan berlari mendahului Suto
Sinting karena tak ingin disambar penciumannya oleh udara tak sedap itu. Bahkan
suara tawa perempuan pun terdengar mengikik. Suara tawa itu tak lain adalah
suara si Gadis Tanpa Raga yang kali ini berada di samping kiri Suto Sinting.
Menjelang sore, mereka tiba di pondok si Kusir Hantu. Kala itu tokoh tua
berambut kucai warna merah jagung seperti warna jenggotnya itu sedang melatih
kedua cucunya di samping pondok. Dua gadis cantik yang menjadi cucu si Kusir
Hantu itu tak lain adalah Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Mereka gadis-gadis
cantik yang punya potongan tubuh menggiurkan setiap lelaki. Pakaian mereka
sungguh menantang gairah, membakar hasrat lelaki, dan membuat Suto Sinting lupa
berkedip. Panji Klobot terbengong melihat kecantikan Pematang Hati dan Mahligai Sukma.
Bahkan mulut Panji Klobot seakan mengalami kram, tak bisa ditutup kembali,
karena kedua gadis itu mengenakan baju ketat berbelahan dada lebar, sehingga
gumpalan daging menonjol di dada mereka tampak tersembul sebagian. Hati Panji
Klobot menjadi berdebar-debar, dan lututnya mulai terasa bergetar.
"Kang... Kang... itu apa, Kang?" suara Panji Klobot pelan sekali, karena detak
jantungnya yang kuat membuat pernapasannya pun bagaikan tersumbat.
"Husy...!" Suto Sinting meraup wajah Panji Klobot.
Jika tidak begitu, Panji Klobot akan melotot terus tanpa bisa berkedip lagi.
Pendekar Mabuk segera berseru memberi salam kepada si Kusir Hantu. Pada waktu
itu, Pematang Hati dan Mahligai Sukma sedang duduk bersila di atas dua batu
datar. Kedua tangan mereka saling bergerak pelan penuh curahan tenaga dalam dari
dada ke depan. Tubuh mereka pun mulai
mengambang di udara walau hanya sedikit sekali, tingginya tak sampai setinggi
kelingking mereka.
"Salam sejahtera, Pak Tua...!"
Begitu mendengar salam sapaan dari Suto Sinting, ternyata yang menyambut sapaan
itu bukan hanya si Kusir Hantu, melainkan kedua cucu si Kusir Hantu segera
membuka mata, tubuh mereka yang
mengambang segera terhempas ke tempat duduk semula. Lalu, keduanya sama-sama
berseru kegirangan. "Sutooo...!"
"Tak ada angin tak ada badai, tahu-tahu seorang tamu agung datang padaku.
Duhai... perlambang apa ini sebenarnya," ujar si Kusir Hantu lalu terkekeh-kekeh
dan segera hampiri Suto Sinting. Tetapi ternyata gerakannya kalah cepat dengan
gerakan kedua cucunya.
Pematang Hati dan Mahligai Sukma segera berlari bagai berebut Suto Sinting.
Wuuut...! Kemudian kedua gadis itu sama-sama memeluk Suto dalam hamburan tawa
keceriaan. Keakraban kedua gadis itu dengan Suto Sinting membuat keduanya tak canggungcanggung untuk menciumi si pendekar tampan. Keakraban mereka membuat wajah-wajah
angkuh dan mahal senyum yang dimiliki mereka menjadi sirna seketika.
Panji Klobot diam saja, terbengong melompong manakala melihat Suto Sinting
diciumi dua gadis cantik yang menggiurkan hati itu. Panji Klobot hanya mengusap
pipinya sendiri sambil berkata pelan,
"Kenapa aku tidak ikut diciumi mereka"! Hmm...
mereka pilih kasih! Tidak adil!"
"Tenang saja, Panji!" bisik suara Tenda Biru.
"Mereka memang perlu mendapat pelajaran tersendiri."
Panji Klobot berkerut dahi. "Hei, apa yang ingin kau lakukan pada mereka"!"
Tiba-tiba tubuh Pematang Hati dan Mahligai Sukma sama-sama terpental ke belakang
dan jatuh berbeda arah. Mereka merasa ada suatu kekuatan yang melemparkan tubuh
mereka dengan kasar. Hal itu membuat Pendekar Mabuk menjadi terkejut dan mulai
tak enak hati. "Suto..."! Kenapa kau kasar sekali padaku"!" seru Pematang Hati.
"Apakah kau jijik padaku, Suto"! Mengapa kau melemparkan aku dan kakakku"!"
kecam Mahligai Sukma, dan semua itu membuat Suto Sinting menjadi menggeragap.
Tapi si Kusir Hantu justru terkekeh-kekeh tampak kegelian melihat kedua cucunya
terlempar begitu saja.
"Kang..., bukan aku yang melakukan lho. Itu... si Tenda Biru!" bisik Panji
Klobot ketika kedua gadis itu memandangi Suto dengan sorot pandangan mata penuh
kekecewaan. Pendekar Mabuk segera berkata kepada kedua cucu si Kusir Hantu.
"Maaf, maafkan aku.... Aku lupa mengatakan kepada kalian, bahwa sekarang aku
punya jurus baru.
Sebuah ilmu yang kudapatkan dari guruku belum lama ini, memang sering membuat
aku menjadi bingung sendiri."
"Ilmu apa"!" Mahligai Sukma mulai bernada ketus.
"Hmmm... eeh... namanya ilmu 'Raga Sembrani', jika hatiku sedang susah hati,
lalu ada seseorang mendekatiku, maka orang itu akan terpental dengan sendirinya.
Yah, seperti yang kalian alami tadi," ujar
Suto menutupi keadaan yang sebenarnya sambil cengar-cengir.
"Benarkah hatimu sedang susah?" tanya Pematang Hati yang mulai mendekat lagi.
Mahligai Sukma juga mendekat sambil berkata,
"Sedang susah kok cengar-cengir"!"
"Hmmm... eeh..., iya. Soalnya aku sebenarnya tak ingin kalian mengetahui
kesusahanku. Aku takut kalian ikut-ikutan menjadi susah hati."
Pendekar Mabuk buru-buru bicara dengan suara rendah dan bernada bisik, "Tenda
Biru, jangan bikin ulah yang menjengkelkan! Aku akan batalkan niatku menolongmu
jika kau bikin ulah yang bukan-bukan!"
"Aku tak suka dengan mereka. Rakus lelaki!" suara Tenda Biru bernada ketus,
menandakan ia sedang dibakar oleh rasa cemburu.
"Tenanglah! Mereka adalah sahabatku. Jangan berprasangka yang bukan-bukan!"
"Sahabat jalang!" geram suara Tenda Biru dengan sangat pelan. "Kalau tidak
mengingat kau butuh keterangan dari kakek mereka, sudah kuhajar mereka berdua!"
"Kalau kau tak bisa tenang, aku benar-benar tak mau peduli lagi dengan Bunga
Kecubung Dadar itu!"
ancam Suto Sinting membuat suara Tenda Biru terdengar mendesah kesal dan
menjauh. Setelah memperkenalkan Panji Klobot kepada Kusir Hantu dan kedua cucunya, Suto
Sinting segera berkata kepada si Kusir Hantu yang usianya sekitar enam puluh
lima tahun itu.
"Aku butuh bantuanmu, Pak Tua."
"Heh, heh, heh... pasti kau ingin minta bantuanku berupa pelajaran ilmu 'Timbal
Rasa' seperti dulu!" ujar si Kusir Hantu sambil cengengesan. Kedua cucunya
memandang Suto, mengikuti setiap gerakkan bibir si pendekar tampan itu.
"Bukan soal itu, Pak Tua."
"Soal apa lagi kalau bukan soal ilmu yang kau inginkan itu" Seorang pendekar
seperti kau memang selalu ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya, pepatah
mengatakan: 'Ke mana angin bertiup, ke situ pula baunya'. Artinya, seorang
pendekar tidak mungkin mengejar uang, pasti mengejar ilmu."
"Kau salah terka, Pak Tua. Aku hanya ingin pendapat keterangan darimu tentang di
mana tumbuhnya Bunga Kecubung Dadar!"
"Hahh..."!" Kusir Hantu terkejut. Mahligai Sukma dan Pematang Hati juga tampak
terperanjat. Mereka bertiga memandangi Suto Sinting dengan dahi berkerut dan
wajah menegang. Pendekar Mabuk menjadi bingung dan terheran-heran.
"Mengapa mereka memandangku dengan cara seperti itu"! Mengapa Kusir Hantu
terkejut saat kusebutkan nama Bunga Kecubung Dadar itu"! Ada apa sebenarnya
dengan bunga tersebut?"
* * * * 6 AGAKNYA Kusir Hantu menganggap pembicaraan yang akan terjadi benar-benar
penting, sehingga Pendekar Mabuk dan Panji Klobot dibawa masuk ke pondoknya.
Sementara itu, Pematang Hati dan Mahligai Sukma diperintahkan untuk melakukan
latihan jurus peringan tubuh yang mirip jurus 'Layang Raga'-nya Suto Sinting.
Tetapi kedua gadis cucu Kusir Hantu itu merasa penasaran, maka diam-diam mereka
menguping dari balik dinding.
"Pepatah mengatakan: 'Ikan belum dapat airnya sudah keruh'. Berbahaya sekali!"
"Arti pepatah itu apa, Pak Tua?" tanya Suto.
"Ikan belum dapat airnya sudah keruh, artinya...
nelayan kecemplung comberan," jawab Kusir Hantu seenaknya saja jika
menerjemahkan arti peribahasa.
Tapi ia segera menyambung ucapannya tadi.
"Apakah kau tak tahu bahwa belum lama ini para tokoh rimba persilatan sedang
geger membicarakan tentang Bunga Kecubung Dadar?"
"Aku tidak tahu. Pak Tua. Apa sebenarnya yang terjadi di rimba persilatan
belakangan ini?"
"Beberapa tokoh aliran putih telah dibunuh oleh seseorang yang mencari Bunga
Kecubung Dadar."
Pendekar Mabuk terkejut, karena benaknya
langsung terbayang tuntutan si Tenda Biru. Batin Suto langsung mengatakan bahwa
Tenda Biru sudah memakan korban para tokoh aliran putih untuk dapatkan Bunga
Kecubung Dadar.
"Tetapi benarkah Tenda Biru yang lakukan?" pikir Suto, lalu ia bertanya kepada
Kusir Mantu. "Siapa orang yang mencari bunga itu dan membunuh beberapa tokoh aliran putih
itu, Pak Tua?"
"Justru pembunuhnya belum diketahui dengan jelas. Empat tokoh aliran putih yang
sedang sekarat ditemukan oleh dua orang kenalanku: si Tongkat Papak dan Lembu
Serak. Masing-masing menemukan dua tokoh aliran putih yang sedang menjelang
ajal. Para korban umumnya terluka karena pukulan beracun yang mematikan. Saat sebelum
mereka hembuskan napas terakhir, mereka sempat ceritakan bahwa mereka habis
bertarung dengan orang yang mencari Bunga Kecubung Dadar. Tetapi sebelum mereka
sebutkan ciri-cirinya kepada Lembu Serak
maupun si Tongkat Papak, nyawa mereka melayang lebih dulu. Lembu Serak dan
Tongkat Papak selalu terlambat temui korban, sehingga yang diperoleh mereka
hanya keterangan tentang keganasan
seseorang yang mencari Bunga Kecubung Dadar."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut sambil menggumam lirih. Panji Klobot
hanya diam membisu tapi tampak mendengarkan setiap kata yang
dilontarkan oleh si Kusir Hantu.
"Siapa saja yang tewas oleh si pencari Bunga Kecubung Dadar itu, Pak Tua?"
"Antara lain: Burik Wetan, Nyai Suling Buntu, Jantur Gundul, Ki Pangguwelas, dan
berita terakhir yang kuterima, Dewa Semprong tewas dalam keadaan tubuh beracun."
"Dewa Semprong..."!" Suto Sinting terkejut, karena ia mengenal tokoh sakti yang
berjuluk Dewa Semprong itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tapak
Siluman").
"Orang yang menemukan keadaan Dewa
Semprong sedang sekarat adalah Ki Porak Porong.
Tetapi keterangan yang diperoleh dari Porak Porong hanyalah tujuan musuh yang
menyerang si Dewa Semprong, yaitu menuduh Dewa Semprong
membunyikan letak tumbuhnya Bunga Kecubung Dadar. Tetapi saat ditanyakan ciriciri pembunuhnya, Dewa Semprong tergesa-gesa mati, sehingga Porak Porong tidak
mau mengajaknya bicara lagi. Pepatah mengatakan: 'Patah tumbuh hilang...
nyawanya'. Tak ada yang tahu siapa pembunuh sebenarnya."
Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat. Panji Klobot duduk bersila di atas balaibalai bambu, juga ikut termenung sambil bersandar pada dinding kedua tangan
bersedekap di dada.
Agaknya kedatangan Suto Sinting sempat
menimbulkan keheranan bagi si Kusir Hantu, terlebih setelah Suto terang-terangan
mencari Bunga Kecubung Dadar. Jika para korban dari aliran putih itu mati oleh
orang yang mencari Bunga Kecubung Dadar, tak heran jika Suto Sinting menjadi
bahan kecurigaan kedua cucu Kusir Hantu yang
mendengarkan dari luar pondok itu, sebab pelaku pembunuhan itu adalah orang yang
mencari Bunga Kecubung Dadar dan belum diketahui ciri-cirinya.
Hal itu membuat Suto Sinting menjadi tak enak hati. la terpaksa memikirkan nasib
dirinya agar jangan sampai menjadi bahan kecurigaan mereka, dan tidak dituduh
sebagai pembunuh Dewa
Semprong dan yang lainnya.
"Ke mana saja kau sudah mencari bunga itu, Nak?" tanya Kusir Hantu. Pertanyaan
itu sedikit menyinggung hati Suto Sinting yang merasa dipancing dan sedang
diselidiki kebenaran sikapnya.
Langsung saja Suto berkata, "Kau tak perlu mencurigaiku sebagai pembunuh mereka,
Pak Tua. Memang aku mencari Bunga Kecubung Dadar, tapi baru kepadamu dan kepada Pak Cilik
Kapas Mayat aku menanyakannya."
"Heh, heh, heh, heh..., mengapa kau berkata begitu, Nak" Aku tidak mencurigaimu
sebagai pembunuh para korban itu, tetapi aku bertanya telah sampai di mana saja
kau mencari bunga tersebut?"
"Belum sampai di mana-mana," jawab Suto dengan tegas. "Begitu aku bertanya
kepada si Kapas Mayat, dan Kapas Mayat menyarankan agar aku
menanyakannya padamu, maka aku datang kemari, Pak Tua."
"Pepatah mengatakan: 'Buruk cermin di muka,
lebih buruk kalau muka tak pernah bercermin'.
Artinya, aku khawatir jika orang-orang menyangkamu sebagai pembunuh mereka.
Lebih baik batalkan saja niatmu mencari bunga itu, Nak."
Panji Klobot berbisik kepada Suto, "Apa hubungannya antara pepatah dengan
artinya tadi, Kang?"
"Tidak ada. Memang begitulah si Kusir Hantu jika bicara. Kadang pepatah yang
dilontarkan berbeda jauh dengan arti yang dimaksudkan," balas Suto dalam
bisikan. Kemudian ia kembali memandang si Kusir Hantu dan ajukan pertanyaan
lagi. "Apakah Bunga Kecubung Dadar itu memang ada, Pak Tua?"
"Memang ada, Nak! Bunga itu tumbuh di danau, seperti bunga teratai tapi kecil,
agak empuk dan berwarna kuning, menyerupai telur dadar. Pepatah mengatakan...."
"Bagai telur di ujung tanduk," sahut Suto agak jengkel.
"Artinya apa, Nak?"
"Artinya... telur itu pasti telur dadar. Kalau bukan teIur dadar mana mungkin
bisa di ujung tanduk. Pasti menggelinding jatuh, Pak Tua."
"Kok tidak ada hubungannya dengan kata-kataku tadi?"
"Yang jelas ada hubungannya dengan soal dadar tadi, Pak Tua."
"Heh, heh, heh... kau mau balas ikut-ikutan bikin patah ngawur, ya?" Kusir Hantu
tertawa pendek, kemudian ajukan tanya kembali kepada Suto Sinting.
"Untuk apa kau mencari Bunga Kecubung Dadar itu?"
"Seorang sahabatku terkena kutukan. Raganya
lenyap dan tak bisa muncul lagi jika belum memakan Bunga Kecubung Dadar. Aku
diminta bantuannya untuk mencarikan bunga itu, Pak Tua."
"Siapa nama sahabatmu itu, Nak?"
"Tenda Biru, bekas muridnya Nyai Garang Sayu...."
"Ooo...," Kusir Hantu manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar nama itu?"
"Belum," jawabnya polos sambit menggeleng.
Pendekar Mabuk tarik napas menghilangkan rasa dongkolnya melihat lagak Kusir
Hantu yang seolah-olah sudah kenal Tenda Biru.
"Lalu... siapa yang mengutuknya sampai dia kehilangan raganya itu"!"
"Nyai Ronggeng Iblis, Pak Tua!"
"Ronggeng Iblis..."!" Kusir Hantu tampak terkejut, wajahnya sedikit menegang.
Lalu dia diam dan termenung sambil berdiri di depan pintu, matanya menatap ke
arah luar. "Kau mengenalnya, Pak Tua?" tanya Suto.
Kusir Hantu masih diam sesaat, setelah menarik napas dan menghempaskannya lepaslepas, suaranya pun terdengar kembali dengan tanpa senyum dan tanpa kesan santai.
"Ronggeng Iblis penguasa Pulau Siluman...."
"Memang benar," sahut Suto Sinting.
"Ternyata dia belum mati. Kupikir dia tak dapat obati lukanya ketika kuserang
dengan jurus 'Badai Birahi', ternyata... sekarang namanya masih kudengar sebagai
orang yang menyebar kekuatan kutuknya.
Agaknya kau harus hati-hati dulu, Pematang Hati dan Mahligai Sukma!"
Pendekar Mabuk agak kaget. Kusir Hantu bicara dengan cucunya. Padahal Suto tidak


Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kedua cucu Kusir Hantu ada di situ. Tapi rupanya Kusir
Hantu sejak tadi tahu bahwa kedua cucunya
menguping di balik dinding kayu tersebut. Sang cucu pun saling terperanjat, dan
menjadi malu karena diketahui sedang menguping pembicaraan kakeknya.
"Kau bicara dengan cucumu, Pak Tua?"
"Ya. Mereka mendengarkan percakapan kita di samping rumah."
"Hebat! Rupanya ilmu kepekaan rasamu cukup tinggi, Pak Tua, sehingga kau bisa
tahu kalau cucumu ada di samping rumah."
"Tentu saja, sebab bayangan mereka kelihatan dari pintu sini!" kata Kusir Hantu,
dan Suto segera membuktikan, ternyata memang benar. Bayangan kedua gadis itu
tampak dari pintu. Suto akhirnya menertawakan dugaannya tadi.
Panji Klobot tidak ikut tertawa. Anak muda itu duduk bersila dengan wajah
tertunduk dan napas teratur.
"Uuuh... tidur!" gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi ia sengaja membiarkan
Panji Klobot tertidur. "
Kurasa, orang yang membunuh beberapa tokoh aliran putih itu adalah Ronggeng
Iblis sendiri."
"Dari mana kau tahu kalau dia yang
melakukannya, Pak Tua?"
"Mudah saja! Dia telah melepaskan jurus kutukannya yang dinamakan jurus 'Sabda
Sirna' itu. Dia tahu kutukannya itu akan lenyap jika korbannya memakan Bunga Kecubung Dadar.
Maka dicarinya bunga itu, dan dia harus mendapatkan bunga tersebut sebelum orang
yang dikutuknya lebih dulu memperoleh Bunga Kecubung Dadar."
"Pepatah mengatakan...," pancing Suto.
"Tidak pakai pepatah dulu!" sahut Kusir Hantu dengan serius. "Jika si Dewa
Semprong sampai tewas
karena luka pukulan beracun ganas, maka aku yakin si Ronggeng iblis itu yang
melukainya. Sebab si Ronggeng Iblis juga mempunyai pukulan beracun ganas yang
dinamakan jurus 'Sapulama'...."
"Jurus apa itu" Namanya kok aneh?" sahut Suto dalam tanya.
"Jurus 'Sapulama', artinya sekali pukul lawan mati, disingkat menjadi
'Sapulama'."
"Kalau sapu baru bagaimana?"
"Dijual," jawab Kusir Hantu seenaknya, tapi ia tidak tersenyum sedikit pun dan
justru tampak bersungguh-sungguh dalam tiap katanya.
Pendekar Mabuk menjadi ikut-ikutan serius dan tak berani bercanda lagi.
"Pak Tua, bagaimana caranya agar aku bisa dapatkan Bunga Kecubung Dadar itu?"
"Cari sebuah danau yang berair kuning. Biasanya danau atau telaga yang berair
kuning ditumbuhi tanaman liar yang mengapung. Tanaman liar itu mempunyai bunga
kuning, mirip teratai. Itulah yang dinamakan Bunga Kecubung Dadar. Pepatah
mengatakan: 'Lain lubuk lain belalang'...."
"Artinya apa, Pak Tua?"
"Lubuk dan belalang memang lain jenis! Tak ada artinya!" jawab Kusir Hantu
sambil bersungut-sungut.
Kemudian ia mendekati Suto Sinting dan bicara dengan pelan.
"Telaga berair kuning pernah kulihat di lereng Bukit Ketapang. Letaknya di
sebelah selatan dari ini!"
"Bukit Ketapang itu seperti apa?"
"Ya, seperti bukit!" Kusir Hantu menjawab agak jengkel.
"Maksudku, apa ciri-cirinya untuk menandai bahwa bukit itu adalah Bukit
Ketapang"!"
"Di puncak bukit itu ada batu bersusun tiga. Cukup tinggi dan dapat dilihat dari
kaki bukit. Pepatah mengatakan: 'Tak ada bukit yang retak'. Artinya, tak ada
bukit yang tak tampak."
"Kalau begitu, Pak Tua...," Suto berbisik, "Aku titip sahabatku si Panji Klobot
ini. Biar dia di sini dulu sementara aku mau ke Bukit Ketapang mencari bunga
itu." Kusir Hantu manggut-manggut sambil
memperhatikan Panji Klobot yang sedang tidur sambil duduk itu.
"Boleh saja, tapi... bagaimana cara memberi makan anak itu?"
"Dia termasuk manusia aneh. Dia jarang makan.
Kalau dia bilang 'lapar' artinya dia masih kenyang.
Tapi kalau dia bilang 'kenyang', artinya dia merasa sangat lapar. Dia kalau
bicara penuh sindiran yang arti ucapannya selalu bertentangan dengan isi hati
sebenarnya."
"Hmmm...," Kusir Hantu manggut-manggut lagi.
"Baiklah! Berangkatlah sekarang juga ke Bukit Ketapang dan hati-hati, siapa tahu
Ronggeng Iblis mendahuluimu atau menghadangmu di tengah jalan.
Pertahankan bunga itu agar jangan sampai jatuh ke tangannya. Kasihan sahabatmu
yang bernama Tenda Biru-itu."
"Benar. Aku pun kasihan padanya. Sebab dia sekarang sudah menjadi muridnya Eyang
Tapak Lintang dan ingin masuk dalam aliran putih."
"O, apalagi dia muridnya Tapak Lintang. Aku kenal betul dengan Kakang Tapak
Lintang itu," ujar Kusir Hantu menampakkan sikapnya sebagai orang yang lebih
muda dari Eyang Tapak Lintang.
"Pergilah dan jangan pikirkan sahabatmu yang
tidur itu. Aku akan menjaganya dan memberinya makan sesuai keteranganmu itu!"
"Terima kasih, Pak Tua," ujar Suto sambil menyembunyikan senyum. Karena ia
membayangkan betapa jengkelnya Panji Klobot nanti jika perutnya lapar, pasti
Kusir Hantu tak akan memberinya makan karena menganggap Panji Klobot masih
kenyang. Pendekar Mabuk segera tinggalkan Lembah
Seram. Namun, sebelumnya kedua cucu si Kusir Hantu saling ribut untuk ikut
mendampingi Suto Sinting.
Akhirnya, Kusir Hantu membentak sang cucu.
"Tidak ada satu pun yang ikut Suto!"
"Tapi kalau Suto dalam bahaya bagaimana, Kek"!"
Pematang Hati agak ngotot.
"Dia bisa kuasai dirinya walau dalam bahaya apa pun! Pepatah mengatakan..."
"Cukup, Kek. Kalau tak boleh ya sudah, bilang saja tak boleh. Tak perlu pakai
pepatah segala!" sahut Mahligai Sukma dengan cemberut.
Pendekar Mabuk hanya tertawa kecil. Kusir Hantu memarahi kedua cucunya. Sang
cucu tak ada yang berani nekat pergi walau secara diam-diam. Karena Kusir Hantu
menceritakan tentang Nyai Ronggeng Iblis yang berilmu tinggi dan pernah menjadi
lawannya itu. Pematang Hati maupun Mahligai Sukma merasa perlu mematuhi larangan
kakeknya, sebab jika kakeknya saja tak berhasil mengalahkan Nyai Ronggeng Iblis,
apalagi diri mereka, pasti lebih tak mampu lagi.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya hampir menyamai
kecepatan cahaya itu, Suto Sinting melesat menuju ke arah selatan untuk
menemukan telaga berair kuning di Bukit
Ketapang. Setiap bukit selalu dipandangi puncaknya.
Tapi tak satu pun dari sekian bukit yang sudah dilaluinya mempunyai puncak
berbatu susun tiga.
"Jangan-jangan Kusir Hantu salah memberi arah"!"
pikir Suto dengan cemas.
Zlaaap...! Suto segera berkelebat ke balik pohon besar, ia bersembunyi di sana,
karena melihat dua orang berlari-lari menuju ke arahnya.
Untung di situ ada dua pohon besar yang tumbuh bersebelahan nyaris berdempet,
sehingga Suto dapat segera sembunyikan diri. Tetapi ia menjadi cemas, karena dua
orang itu agaknya juga sedang menuju ke pohon tersebut. Mau tak mau Pendekar
Mabuk segera pindah ke tempat lain.
"Sial! Tak ada tempat yang lebih rapi lagi untuk bersembunyi selain kedua pohon
ini. Hmmm...! Sebaiknya aku haik ke atas pohon saja!"
Zlaaap...! Suto tahu-tahu melesat ke atas tanpa suara, dan hinggap di salah satu
dahan dengan menapakkan kakinya tanpa suara juga. Bahkan getaran sedikit pun tak
dialami oleh dahan tersebut, menunjukkan bahwa Suto Sinting saat itu
menggunakan Ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Daun-daun pohon yang rindang membentuk semak cukup rapi. Dengan bersembunyi di
balik daun-daun pohon rindang itu, Pendekar Mabuk tak mudah dilihat dari bawah
pohon. Di sana ia dapat nongkrong dengan santai sambil memperhatikan kedua orang
yang memang benar-benar mendekati pohon
tersebut. Pendekar Mabuk sempat terbelalak ketika
mengetahui bahwa kedua orang yang mendekati pohon itu ternyata sepasang mudamudi berusia sebaya dengan Suto sendiri. Lebih terkejut lagi
setelah Suto mengenali si pemuda itu berambut panjang digulung ke atas, pada
gulungan rambutnya terdapat hiasan perak bermanik-manik warna-warni.
Pemuda itu mengenakan rompi biru bersisik perak, demikian juga celananya, ia
pemuda yang tinggi, gagah, berbadan kekar dan berwajah cukup tampan, walau tak
setampan Suto. Kulitnya sawo matang, tangannya berbulu lembut, juga dadanya
banyak ditumbuhi dengan bulu-bulu halus.
Suto mengenalnya sebagai murid mendiang
Begawan Girimaya, yang pernah mengabdi kepada Nyai Mata Binal dan menerima ilmu
'Lintah Tambak Cumbu'. Pemuda itu tak lain adalah si Naga Langit, yang telah
kehilangan seluruh ilmunya karena bayangannya dihantam oleh Suto, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Perempuan Jahanam).
"Lalu, siapa si gadis berjubah kuning sutera itu"!"
Suto Sinting bertanya pada dirinya sendiri, sebab ia masih merasa asing dengan
gadis berbadan sekal dan berdada montok sekali itu.
Jubah kuning suteranya itu tak dikancingkan bagian depannya, sehingga dadanya
yang besar dan tampak sekali hanya ditutup dengan kutang tipis tembus pandang
warna ungu. Ketipisan kainnya telah membuat benda yang ditutupi tampak jelas
bentuk ujungnya yang mancung meruncing indah. Sementara pakaian bawahnya juga
dari kain tipis warna ungu muda yang mempunyai belahan tengah dari bawah sampai
batas pusar. Gadis itu berambut panjang digulung sebagian, sisanya meriap ke samping kanankiri. Wajahnya cantik, hidungnya mancung, matanya agak besar serta sayu,
bibirnya sedikit tebal tapi membentuk
kesan menggairahkan. Siapa pun memandangnya akan gemas dan berkhayal ingin
memagutnya berhari-hari. "Oh, rupanya mereka datang ke sini karena mau kencan"! Sialan!" gerutu Suto
Sinting sambil bersungut-sungut, namun matanya tetap memandang ke bawah.
Terdengar pula suara Naga Langit berkata kepada gadis yang tampak sudah matang
dalam bercinta itu.
"Aku akan menuruti keinginanmu, Nyai. Tapi kumohon kau jangan menipuku. Kau
harus mau carikan Bunga Kecubung Dadar itu untuk
mengembalikan ilmuku yang telah dilenyapkan oleh si Pendekar Mabuk itu!"
"Percayalah padaku. Tak ada sejarahnya yang namanya Nyai Ronggeng Manis menipu
seseorang. Setiap orang yang berbuat baik padaku, pantang kutipu dan kusakiti, Naga
Langit." Sambil berkata demikian, Nyai Ronggeng Manis merayapkan tangannya ke dada Naga
Langit. Dada berbulu itu diusap-usapnya dengan mata semakin sayu. Wajah cantik
berbibir ranum itu semakin dekat dengan wajah Naga Langit. Mereka saling pandang
sejenak, lalu Nyai Ronggeng Manis pejamkan mata pelan-pelan setelah tangan Naga
Langit menelusup ke dadanya.
Begitu mata Nyai Ronggeng Manis terpejam, bibir setengah disodorkan dalam
keadaan merekah, Naga Langit pun segera memagut bibir itu dengan hangat.
Sang Nyai membalas pagutan tersebut tak kalah hangat, sehingga bibir Naga Langit
dilumatnya habis-habisan. Gadis itu agaknya bergairah tinggi, sehingga Naga
Langit sedikit kewalahan menghadapi
cumbuannya yang bersifat mencecar lawan jenis itu.
"Nyai Ronggeng Manis itu siapa?" pikir Suto Sinting. "Ah, sebaiknya tak usah
dipikirkan dulu siapa perempuan itu. Tapi dinikmati saja tontonan gratis ini
mumpung ada kesempatan emas," pikir Suto Sinting sambil tetap memperhatikan ke
bawah, walau jantungnya berdebar-debar dan badannya sedikit gemetar karena
terpancing dengan adegan mesra yang begitu panas.
Nyai Ronggeng Manis membiarkan jubahnya
dilepas oleh Naga Langit. la bahkan bersandar di batang pohon itu sambil
mengerang dan mendesis-desis karena merasakan nikmatnya kenakalan mulut Naga
Langit yang menyerang dadanya. Kain penutup dada itu pun telah terlepas dan
jatuh terkulai di atas rerumputan.
"Naga Langit, oooh... pintar sekali kau membuatku melayang-layang. Hik, hik,
hik...!" Naga Langit merayapkan ciumannya sampai ke bawah. Nyai Ronggeng Manis semakin
mengerang dan membuka diri, sehingga Naga Langit lebih leluasa dalam bergerak.
Kepalanya diremas-remas oleh kedua tangan Nyai Ronggeng Manis, kadang ditekan
bersama jeritan kecil yang melambangkan
kenikmatan tiada tara.
Akhirnya, Nyai Ronggeng Manis tak mampu
bertahan menerima kecupan-kecupan mesra itu. la melepaskan rompi yang dipakai
Naga Langit. Bahkan pemuda itu kini disentakkan agar bersandar ke pohon, lalu
Nyai Ronggeng Manis menciumi sekujur tubuh pemuda itu dari atas sampai bawah.
Naga Langit yang telah menjadi seperti bayi baru lahir itu dilahap habis oleh
keganasan cinta sang Nyai.
Pemuda itu memekik-mekik dengan mata terpejam kuat, menikmati sentuhan cinta
sang Nyai yang tiada
bandingnya itu.
"Oh, Naga Langit... aku tak sanggup lagi bertahan.
Lakukanlah... lakukanlah sekarang juga, Sayang....
Aku ingin segera mencapai puncak keindahan cinta kita, Naga Langit...!" pinta
sang Nyai dengan suara terengah-engah dan berkemas merebahkan diri di
rerumputan. Hanya beralaskan kain jubahnya, sang Nyai segera memeluk Naga Langit
yang menikamnya dengan segumpal kehangatan yang dibutuhkan gadis itu.
"Ooh...!" Nyai Ronggeng Manis memekik panjang ketika menerima kehangatan tubuh
Naga Langit. Gerakannya menjadi ganas, suaranya menjadi liar, seakan ia mengamuk memburu
puncak keindahannya. Bahkan Naga Langit sempat
digulingkan ke kanan, sehingga kini sang Nyai yang menguasai pelayaran cinta
mereka. Suto Sinting tiba-tiba terkejut ketika tengkuk kepalanya seperti ada yang
mencium, lalu dadanya ada yang meremas-remas dari belakang, la buru-buru
berpaling, ternyata tak ada orang. Tetapi ia segera mendengar bisikan suara
lembut yang dikenalinya.
"Bocah sinting... ooh, gairahku terbakar pemandangan di bawah itu, Sayang...."
"Tenda Biru," bisik Suto bernada desah. Suto Sinting menengadahkan kepalanya.
Dari belakang seperti ada yang mengecup bibirnya, lalu bibir itu terasa dilumat
dengan hangat. Darah mengulir deras karena gairah semakin terbakar oleh kecupan
si Gadis Tanpa Raga itu.
Namun tiba-tiba cumbuan Suto Sinting dan Gadis Tanpa Raga terhenti bersama
sentakan mengejutkan.
Karena tiba-tiba mereka mendengar suara orang memekik bagai di ambang ajal.
"Aaaakh...!"
Mereka sama-sama memandang ke bawah pohon.
"Ooh..."! Pemuda itu... pemuda itu dibunuhnya"!"
bisik suara Tenda Biru terdengar menegang di telinga Suto Sinting.
Mata Pendekar Mabuk sendiri terbelalak tak berkedip melihat Naga Langit
mengejang dalam keadaan tanpa busana. Dadanya menjadi bolong dan terbakar
hangus. Pada saat itu, selarik sinar merah dari ujung jari tengah sang Nyai baru
saja padam. Mata Suto pun tahu bahwa Naga Langit dibunuh oleh Nyai Ronggeng Manis dengan
sinar merah dari jari tengahnya,
Luka di dada Naga Langit merambah menjadi
besar. Itu menandakan luka tersebut sangat beracun.
Naga Langit tak bisa berbuat apa-apa kecuali terkapar dengan mulut ternganga
seperti ingin ucapkan sesuatu. Namun beberapa kejap kemudian, mata Naga Langit
yang mendelik itu menjadi sayu, lama-lama terkatup rapat bersama hembusan napas
yang penghabisan.
"Hih, hih, hih, hih...!" Nyai Ronggeng Manis tertawa kegirangan sambil
mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau benar-benar pemuda bodoh, Naga Langit! Mana mungkin aku akan serahkan Bunga
Kecubung Dadar kepadamu, jika aku sendiri membutuhkan bunga itu untuk kutanam di
taman istanaku! Hih, hih, hih, hih...!
Rupanya kau tidak tahu, Naga Langit, bahwa aku sengaja ingin menghancurkan
tanaman itu agar tak tumbuh di tempat lain, dan hanya aku yang
memilikinya, karena aku tak ingin seseorang memakan bunga itu untuk pulihkan


Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan dirinya!"
"Kejam..,!" geram Suto Sinting nyaris tanpa suara.
"Hih, hih, hih...! Selamat tinggal, Naga Langit. Aku
sudah puas menghisap madu kehangatanmu,
sekarang nikmatilah masa perjalananmu menuju akhirat. Bergabunglah dengan Dewa
Semprong dan orang-orang yang mati di tanganku karena berlagak tidak tahu menahu
tentang Bunga Kecubung Dadar!
Hih, hih, hih, hih...!"
Weess,..! Nyai Ronggeng Manis melesat pergi meninggalkan pemuda yang telah
memberinya kepuasan batin itu. Sementara, si Gadis Tanpa Raga segera berkata kepada Suto
Sinting dengan suara lebih tegang lagi.
"Ikuti dia! Bila perlu cegah dia agar jangan sampai temukan Bunga Kecubung
Dadar!" "Ha... haruskah... haruskah aku
menghiraukannya?"
"Tentu saja, sebab dia itulah yang bernama Nyai Ronggeng Iblis!"
* * * 7 PENGEJARAN dilakukan oleh Suto Sinting walau senja mulai berangsur-angsur
menjadi petang.
Agaknya Nyai Ronggeng Iblis mempunyai gerakan yang kecepatannya menyamai dengan
jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting, sehingga perempuan yang sebenarnya
berusia lebih dari enam puluh tahun itu sukar disusulnya.
"Tenda Biru...! Tenda Biru, di mana kau"!" Suto Sinting memanggil dengan suara
tak seberapa keras.
la sengaja hentikan langkah karena alam telah menjadi gelap dan arah pelariannya
mulai tak jelas.
"Tenda Biru...!" panggilnya lagi.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Tenda Biru menjawab, "Aku di sini...!"
Pendekar Mabuk menoleh ke arah samping
kanannya. Ternyata di sana ada sebuah gubuk yang menyalakan api kecil di bagian
depannya. Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa ragu dengan
penglihatannya sendiri.
"Bocah sinting, aku menemukan gubuk
persinggahan para pencari kayu bakar," ujar suara Tenda Biru. "Kau melihat nyala
api kecil itu, Bocah Sinting"
"Ya, aku melihatnya!"
"Aku yang menyalakannya."
"Apa maksudmu?"
"Istirahatlah dulu, hemat tenagamu untuk lanjutkan pencarian besok. Kurasa, Nyai
Ronggeng Iblis tidak mungkin lanjutkan perjalanan malam seperti sekarang ini."
"Aku tahu kau ingin mencumbuku lagi, bukan?"
"Jangan beranggapan begitu. Aku merasa sudah dekat dengan kemenanganku. Aku tak
terlalu berpikir tentang kemesraan. Tadi kalau tak terpancing oleh percumbuan
Naga Langit dan Nyai Ronggeng Iblis, aku tak mengganggu ketenanganmu."
"Maaf kalau begitu," ujar Suto Sinting sambil melangkah dekati gubuk tersebut.
"Sementara kau beristirahat, aku akan mencari di mana Nyai Ronggeng Iblis
beristirahat."
"Kau tidak ikut beristirahat pula?"
"Aku tanpa raga. Tak punya rasa lelah dan kantuk.
Aku melayang dengan ringan, sejauh mana pun akan kutempuh tanpa harus
beristirahat."
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya,
kemudian duduk di balai bambu yang sudah reot
tanpa tikar atau alas lainnya.
"Pergilah kalau kau ingin mencari tempat sang Nyai. Beri tahu padaku jika kau
sudah menemukannya!" ujar Pendekar Mabuk kepada si Gadis Tanpa Raga yang tak diketahui
kala itu ada di sebelah kanannya.
Perjalanan terhenti sepanjang malam. Pendekar Mabuk tertidur di atas balai bambu
itu. Bumbung tuak yang masih berisi separuh lebih itu berada di sampingnya,
bagaikan seorang istri yang setia.
Lelapnya tidur membuat Suto Sinting tak sadar jika hari sudah pagi. Matahari
kian menampakkan cahayanya menjauhi cakrawala timur.
Pendekar Mabuk hanya merasakan sesuatu telah menyentuh keningnya. Sesuatu yang
hangat itu merayap di pipi, sesekali mengecup bibirnya.
Kecupan dan sentuhan hangat itulah yang membuat Pendekar Mabuk terbangun dari
tidurnya. Namun ia tidak melihat siapa-siapa di sampingnya.
"Hmmm... kau, Tenda Biru"!" gumam Suto Sinting.
"Bangun, Sayang... hari sudah pagi," bisik Gadis Tanpa Raga di samping Suto. la
masih menciumi telinga Suto, leher, dagu, dan dada. Caranya membangunkan sungguh
mesra dah menyentuh hati Suto, menciptakan debar-debar keharuan kecil.
"Kutemukan Nyai Ronggeng Iblis di atas pohon sebelah selatan tempat ini."
"Jauhkah tempatnya?"
"Agak jauh, tapi yang penting, Bukit Ketapang sudah kutemukan juga. Tak seberapa
jauh dari tempat istirahatnya Nyai Ronggeng Iblis ada bukit yang puncaknya
terdapat tiga batu bersusun tinggi."
"Ya, itulah Bukit Ketapang."
"Sebaiknya kau segera temukan telaga dan bunga
itu sebelum Nyai Ronggeng Iblis terbangun dan menemukannya lebih dulu!"
"Gagasanmu cukup bagus, tapi... sebentar, aku meneguk tuakku dulu biar badanku
segar." Sementara Suto menenggak tuaknya, Tenda Biru berkata,
"Kutaburkan kabut pembius di sekitar pohon tempat beristirahatnya Nyai Ronggeng
Iblis. Kurasa ia sekarang masih tertidur nyenyak karena pengaruh kabut pembiusku
itu." Pendekar Mabuk tersenyum. "Kau benar-benar gadis yang cerdik, Tenda Biru!"
Setelah berkata begitu, Suto segera berkelebat pergi ke arah selatan. Jurus
'Gerak Siluman' membuat Suto cepat tiba di kaki Bukit Ketapang. la pun segera
memasuki hutan di lereng bukit itu yang ditumbuhi pepohonan tak begitu padat.
"Aku melihatnya!" seru sebuah suara tanpa rupa di depan Suto. Suara itu adalah
suara Tenda Biru yang berjalan mendahului Suto Sinting. "Ke arah sini, Bocah
Sinting...!"
Pendekar Mabuk segera mengikuti arah suara tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap ia sudah tiba di tepi sebuah telaga berair kuning.
Telaga itu cukup lebar, garis tengahnya sekitar dua puluh lima langkah kaki
orang dewasa. Bentuknya tidak bulat rapi, tapi mempunyai tepian yang berlikuliku. "Kita sudah temukan telaga berair kuning, Tenda Biru."
"Iya, tapi... tapi tak ada bunga yang mengapung di permukaan airnya, Bocah
Sinting!" kata suara Tenda Biru dengan nada sedih.
"Lihat tanaman yang tumbuh di tepian sebelah
sana!" sambil Suto menuding ke arah seberang. Ia pun bergegas menggelilingi
telaga untuk mencari tepian seberang sana.
"Tanaman ini mengambang di air, tapi tak ada bunganya, Bocah Sinting!" seru
suara Tenda Biru yang sudah lebih dulu tiba di seberang sana.
Pendekar Mabuk sempat kecewa melihat tanaman berdaun lebar seperti daun bunga
teratai. Tanaman itu selain merambat di tepian telaga juga
mengambang di permukaan air telaga kuning. Daun itu cukup rimbun, hingga
tumbuhnya berdempetan, Suto mencari-cari bunga yang tumbuh pada tanaman itu,
karena hanya tanaman itu yang sebagian mengambang di permukaan air telaga.
Sekalipun mereka yakin tanaman itu adalah
tanaman Bunga Kecubung Dadar, namun mereka tidak menemukan sekuntum bunga tumbuh
di sana. Pendekar Mabuk mengawasinya dengan teliti, dan tetap tidak mendapatkan sekuntum
bunga pada tanaman tersebut.
"Jangan-jangan sekarang belum musim bunga, sehingga tanaman ini tidak berbunga!"
ujar suara Tenda Biru.
"Berarti kita harus menunggu sampai tanaman ini berbunga."
"Uuh...! Berapa lama menunggunya, Bocah Sinting"!" suara Tenda Biru terdengar
merengek manja seakan ingin menangis karena sedih dan kecewa.
Seekor nyamuk hinggap di kening Suto. Tanpa sadar Suto Sinting mengusap
keningnya dengan tangan kiri. Pada saat itulah penglihatannya menjadi berubah,
ia telah mengusap titik merah di keningnya, dengan begitu ia dapat melihat alam
gaib di sekelilingnya. "Hahh..."!" Suto Sinting terkejut. Matanya terbelalak lebar, karena sekarang ia
dapat melihat bahwa tanaman berdaun lebar itu mempunyai bunga-bunga berwarna
kuning. "Ternyata banyak bunga yang tumbuh pada tanaman ini". Mengapa aku tadi tidak
melihatnya?"
pikir Suto Sinting. "Ooh... ya, ya, sekarang aku tahu, aku telah mengusap
keningku dengan tangan kiri, sehingga penglihatanku dapat menembus alam gaib.
Berarti bunga ini hanya bisa dilihat oleh seseorang yang berada di alam gaib
atau mampu menembus kehidupan alam gaib. Sungguh ajaib bunga ini! Pasti bungabunga yang tumbuh subur inilah yang
dinamakan Bunga Kecubung Dadar!"
Rupanya walaupun Tenda Biru tanpa raga, namun ia tetap tidak bisa melihat bunga
berwarna kuning lebar tengahnya berbintik-bintik ungu itu. Karenanya, gadis itu
tetap ribut melontarkan kekecewaannya.
Pendekar Mabuk tidak hiraukan kata-kata Tenda Biru. la memetik setangkai bunga
tersebut. Tesss....!
"Hahh..."!" Suto terkejut begitu melihat bunga-bunga lainnya menjadi layu, kian
lama kian mengering dan daun-daunnya pun menjadi
membusuk. Ternyata bunga aneh itu mempunyai keajaiban terdiri.
Jika salah satu bunga dipetik, maka seluruh tanaman itu menjadi layu dan
membusuk. Tetapi bunga yang sudah ada di tangan seseorang itu tetap tumbuh segar
dan dapat dilihat oleh mata siapa saja.
Saat Pendekar Mabuk mengusap kembali keningnya dengan tangan kiri, maka
penglihatannya kembali kepada penglihatan semula yang tidak bisa melihat alam
gaib. Dalam keadaan seperti itu, ternyata Suto
masih tetap bisa melihat setangkai bunga kuning di tangannya.
"Yaaah... tanaman ini bahkan menjadi busuk, Bocah Sinting! Aduuuh... bagaimana
ini kalau...,"
rengekan Tenda Biru terhenti. la pun segera bersuara dengan nada kaget.
"Hei, kau dapatkan dari mana bunga itu"! Buk...
buk... bukankah itu Bunga Kecubung Dadar"!"
"Kurasa memang inilah bunga yang kau cari," ujar Suto Sinting dengan senyum
bangga. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dan menerjang Suto Sinting.
Wuuuut...! Bruuuss...!
Suto Sinting terpental terbang, bunga itu terlepas dari tangannya. Bunga
Kecubung Dadar melayang-layang di udara. Pada saat itu Suto Sinting segera sadar
bahwa Nyai Ronggeng Iblis telah datang dan ingin merampas bunga tersebut.
Tubuh sang Nyai segera melayang mengejar bunga kuning itu. Tetapi, Suto Sinting
segera lepaskan sentilan mautnya ke arah pinggang sang Nyai. Dees...!
Buukh...! "Uukh...!" Nyai Ronggeng Iblis terkena jurus 'Jari Guntur' dan tubuhnya melayang
ke arah lain. Brruk...!
la pun jatuh nyaris masuk ke telaga kuning itu.
Bunga Kecubung Dadar tiba-tiba berhenti di udara.
Suto Sinting segera ingin menangkapnya dengan satu lompatan. Tetapi Nyai
Ronggeng Iblis segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa sinar merah
lurus dari jari tengahnya yang dipakai membunuh Naga Langit itu. Claaap...!
Suto Sinting melihat datangnya bahaya tersebut, kemudian segera mengibaskan
bumbung tuaknya untuk menangkis sinar merah itu. Deeb...!
Sinar merah menghantam bumbung tuak dan
berbalik arah menjadi lebih besar serta lebih cepat dari gerakan semula.
Wees...! Sasaran sinar merah itu ke arah dada Nyai Ronggeng Iblis. Akibatnya
perempuan berjubah kuning itu segera lakukan lompatan pindah tempat dengan
terburu-buru. "Monyet...!" makinya, lalu ia melesat ke arah kiri dan mendarat di balik pohon.
Suto Sinting segera melakukan lompatan untuk menangkap bunga yang tadi berhenti
di udara itu. Tapi ternyata bunga tersebut telah lenyap entah ke mana. Pendekar Mabuk
kebingungan mencari bunga itu dengan pandangan mata tampak panik.
Pada saat itulah, Nyai Ronggeng Iblis menghantam punggung Suto Sinting
menggunakan pukulan sinar hijau patah-patah.
"Kuhancurkan kau kalau berani menyentuh bunga itu, Keparat!"
Weeers...! Telapak tangannya keluarkan sinar hijau patah-patah. Suto cepat balikkan badan.
Sinar itu sudah ada di depannya. Bumbung tuak kembali berkelebat menangkis sinar
hijau patah-patah itu. Trrraap...!
Ledakan dahsyat yang terjadi sungguh
mengerikan. Air telaga bergolak hebat bagai ingin dituangkan dari tempatnya.
Tanah pun bergetar seakan dilanda gempa mendadak. Pohon-pohon tumbang tak tentu
arah. Gelombang ledakan dahsyat itu juga
menerbangkan Suto Sinting hingga menghantam sebatang pohon yang belum tumbang.
Bruuuk...! Krraaak...! Bruuuss...!
Pohon yang ditabrak tubuh Pendekar Mabuk
menjadi patah dan tumbang beberapa kejap
berikutnya. Hal itu menandakan betapa kerasnya
lemparan tubuh Suto akibat gelombang ledakan itu, Tetapi bumbung tuak yang
dipakai menangkis sinar hijau lawan masih tetap utuh tanpa lecet sedikit pun.
"Hooeek...!" Suto Sinting memuntahkan darah kental dari mulutnya. la terluka
dalam akibat gelombang ledakan tadi. Wajahnya menjadi pucat pasi, tenaganya
menjadi berkurang, tubuh terasa lemas sekali.
Tetapi Nyai Ronggeng Iblis masih tampak segar dan segera berkelebat menghampiri
Suto Sinting. Wuuut...! "Serahkan bunga itu!" bentaknya di depan Suto yang masih belum bisa berdiri itu.
Wajah Suto mendongak dengan mata memandang sayu kepada sang Nyai. Pandangan
matanya ternyata menjadi buram, namun ia masih bisa menangkap samar-samar
bayangan kuning dari jubah sang Nyai.
"Kuhitung tiga kali kalau bunga itu tak kau serahkan padaku, kuhancurkan
kepalamu!" hardik sang Nyai dengan wajah cantik memancarkan
kebengisan. Pendekar Mabuk berdiri dengan bantuan sebatang pohon. Bumbung tuaknya masih
tetap ada di tangan kanan.
"Satu...!" seru sang Nyai yang menyangka bunga itu ada di tangan Suto. "Dua...!"
Tubuh Nyai Ronggeng Iblis berubah menjadi merah membara. Kedua tangannya telah
terangkat ke atas, dari ujung jari-jarinya keluar kuku-kuku runcing berwarna
hitam. "Tigaaa...! Hiaaahh...!"
Suto Sinting segera lepaskan bumbung tuaknya.
Lalu tangan kanan itu menyentak dalam keadaan telapak tangan melebar rapat.
Suuut...! Maka dari
tangan itu keluar sinar-sinar emas berbentuk pisau-pisau kecil.
Clap, clap, clap, clap....!
Sinar-sinar kuning berbentuk pisau melesat secara beruntun. Kecepatannya sungguh
luar biasa, tak bisa dihindari maupun ditangkis lagi. Maka, dada sang Nyai yang
juga telah memancarkan cahaya merah bara itu dihantam beberapa sinar berbentuk
pisau emas. Jrruub...! Pisau-pisau emas itu bagai menyergap dada secara
berebutan. Akibatnya, Nyai Ronggeng Iblis diam bagaikan patung tak mau bergerakgerak lagi. Tubuh yang memancarkan cahaya merah bara itu lama-lama redup menjadi
pucat keabu-abuan.
Jurus 'Manggala' yang menjadi salah satu jurus andalan Pendekar Mabuk telah
membuat Nyai Ronggeng Iblis tetap mengangkat kedua tangannya dan membuka mulutnya lebarlebar. Tiga helaan napas lamanya ia masih diam tanpa gerakan apa-apa. Pendekar
Mabuk membiarkannya dan justru segera menenggak tuak untuk mengobati luka
dalamnya. Glek, glek, glek, glek...!
Napas terhempas dari mulut, menandakan Suto merasakan kelegaan dalam tubuhnya.
Tuak itu telah membuat tubuh menjadi segar dan rasa sakitnya hilang.
Kejap kemudian, ketika Suto memperhatikan Nyai Ronggeng Iblis, angin berhembus


Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak kencang. Hembusan angin itu membuat tubuh Nyai Ronggeng Iblis menjadi beterbangan.
Rupanya perempuan itu sejak tadi sudah menjadi debu-debu halus yang begitu
lembutnya sampai-sampai masih membentuk sosok tubuh perempuan cantik dalam
beberapa helaan napas. Angin yang berhembus agak kencang itu kini membuat debu itu berhamburan dan
sosok Nyai Ronggeng Iblis pun hilang dari pandangan mata. Yang tinggal hanya
debu-debu lembut yang semakin berhamburan ke mana-mana.
Pendekar Mabuk menghempaskan napas dengan
perasaan lega. Tetapi tiba-tiba ia tersentak kaget ketika mendengar suara orang
bertepuk tangan pelan di belakangnya.
Plok, plok, plok, plok...!
"Ooh..."!" Suto Sinting semakin terkejut ketika melihat seraut wajah cantik
sudah berdiri di belakangnya dalam jarak empat langkah.
Raut wajah cantik itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Matanya membelalak indah, hidungnya mancung, bibirnya ranum
menyegarkan. Rambut depan gadis itu pendek, tapi rambut belakangnya panjang
selewat tengkuk. la menyunggingkan senyum dan senyuman itu
mempunyai lesung pipit yang selalu membuat jantung Suto berdebar-debar jika
melihat gadis berlesung lipit.
Mata Suto masih belum bisa berkedip pandangi gadis yang mengenakan jubah tanpa
lengan warna biru tua, pinjung penutup dadanya dari kain tipis berwarna biru
muda, sama dengan warna kain penutup bagian bawahnya yang mempunyai dua belahan
kanan dan kiri. Penutup dadanya yang tipis itu memuat gumpalan daging yang
ditutupi tampak menonjol kencang penuh tantangan. Gadis itu memang bertubuh
sekal, padat berisi, dan sangat menggiurkan gairah seorang lelaki.
Pendekar Mabuk kini berkerut dahi ketika
mendengar gadis itu berkata sambil melangkah
mendekatinya. "Ilmu yang gila-gilaan! Kasihan Nyai Ronggeng Iblis, belum sempat mengeluarkan
jurus-jurus andalannya, belum sempat keluarkan jurus 'Sabda Sirna' ataupun jurus
'Sapulama'-nya, terpaksa sudah harus menjadi abu yang tak bisa dikenali lagi
sebagai bangkainya."
"Siapa kau..."!" ucap Suto Sinting sambil pandangi gadis itu dengan mata tajam
dan wajah terheran-heran.
Gadis itu sunggingkan senyum, lesung pipitnya membuat jantung Suto tersentak
cepat. Gadis itu berhenti dalam jarak satu langkah, mata indahnya menatap Suto
Sinting dengan kelembutan yang punya arti tersendiri.
"Kau memang luar biasa, Bocah Sinting...."
"Tenda Biru..."!" Suto Sinting kian berdebar dan merinding begitu mendengar
dirinya dipanggil 'Bocah Sinting', karena hanya Tenda Biru, si Gadis Tanpa Raga
itulah yang memanggilnya dengan sebutan
'Bocah Sinting'.
"Benarkah kau... kau Tenda Biru"!"
Gadis itu sunggingkan senyum kian lebar.
"Kutangkap bunga itu saat melayang, dan kumakan semuanya sampai ke tangkaitangkainya segala. Lalu... tahu-tahu aku bisa memandang tubuhku sendiri, dan...
ternyata aku sudah terbebas dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis sebelum perempuan
jahat itu kau hancurkan menjadi debu!"
"Oooh... jadi... jadi kau yang selama ini mengikutiku dan...."
"Dan menciummu," bisik Tenda Biru dengan mata berkerling nakal dan senyum
semakin mendebarkan hati Suto. Gadis itu segera melingkarkan tangannya ke leher
Suto Sinting, kemudian Suto segera
memeluknya dengan hati bahagia. Mereka saling berciuman beberapa saat. Kecupan
bibir Tenda Biru dirasakan merayap di sekujur tubuh Suto, walau kenyataannya
hanya saling melekat di batas bibir.
"Kau memang Tenda Biru. Aku hafal sekali dengan caramu melumat bibirku," bisik
Suto Sinting dengan senyum menawan.
Gadis itu masih melingkarkan kedua tangannya di leher Suto dan pandangi Suto
dengan mata sedikit sayu.
"Seperti janjiku, sekarang aku menjadi abdimu.
Aku akan setia mengikuti perintahmu, Pangeranku!"
Suto Sinting tersenyum malu. Tenda Biru
tampahkan kata lagi bernada membisik.
"Apa yang harus kulakukan, Tuanku tersayang..."
Hamba siap melayani Tuanku kapan saja tuan inginkan."
"Aku hanya ingin kau mengantarku pulang ke rumah Kusir Hantu, karena kau harus
menepati janjimu untuk mengajarkan beberapa jurus ilmu kepada Panji Klobot!"
"Hanya itu?" sambil pandangan dan senyum Tenda Biru semakin menantang.
Suto mengangguk. "Ya, hanya itu, Sayang...."
Cup, sebuah ciuman menempel cepat di pipi Suto.
Tenda Biru pun segera melangkah mengiringi sang Pendekar Mabuk untuk temui Kusir
Hantu dan Panji Klobot.
Di sana mereka merayakan pesta kemenangan
Suto dengan membakar beberapa jagung sebagai hidangan malam. Hadir pula di situ,
si Kelambu Petang dan kakeknya; Kapas Mayat, yang ikut mendengarkan cerita
pertarungan Suto dengan Nyai Ronggeng Iblis.
"Kau mencuri Kitab Kidung Bencana milik kakekmu itu, ya?" bisik Suto kepada
Kelambu Petang.
"Jangan percaya dengan omongan Kakek. Dia suka bikin kejutan. Kitab itu milik Ki
Porak Porong, Kakek hanya mendengar nama kitab itu. Dan aku pergi hanya membawa
kitab ramalan nasib, karena
sahabatku minta diramal nasibnya!" jawab Kelambu Petang yang didengar oleh
mereka, lalu mereka pun menertawakan si Kapas Mayat. Pak Tua itu hanya
bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas.
SELESAI Segera terbit!!!
MISTERI TUAK DEWATA
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Jodoh Rajawali 2 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Senopati Pamungkas 10

Cari Blog Ini