Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga Bagian 1
1 Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 07. Gadis Tanpa Raga
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 ALUN-ALUN kadipaten dikelilingi orang banyak.
Pandangan mata mereka tertuju di tengah alun-alun.
Bukan karena di tengah alun-alun ada tumpeng raksasa, tapi karena di sana sedang
terjadi pertarungan antara tokoh sesat yang mengancam keselamatan warga
kadipaten dengan seorang pemuda tampan bercelana putih dan bajunya yang tanpa
lengan itu berwarna coklat.
Pemuda yang memiliki rambut lurus sepanjang pundak tanpa ikat kepala itu
berwajah tampan menawan menggoda perawan. Pemuda yang
menenteng bumbung tuaknya itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, si murid sinting
Gila Tuak yang punya nama Suto Sinting. Sedangkan tokoh sesat yang berambut
panjang lebat dan berwajah angker itu adalah Malaikat Kabut Gamping.
Pendekar Mabuk diminta bantuannya oleh sang Adipati untuk mengatasi kekacauan di
kadipatennya yang ditimbulkan oleh ulah si Malaikat Kabut Gamping. Setelah
melalui pertarungan sengit, akhirnya Malaikat Kabut Gamping tumbang di tangan
Suto Sinting. Para warga kadipaten bersorak kegirangan, sang Adipati pun merasa
lega dan selanjutnya mengikat tali persahabatan dengan Suto Sinting lebih erat
lagi. Dalam perjalanan pulang dari kadipaten itulah,
tiba-tiba langkah Suto Sinting terhenti karena seruan seseorang yang berlarilari mengikutinya dari belakang.
"Kaaang... Kang Suto...! Suto Kang...!"
Seruan itulah yang membuat Pendekar Mabuk
akhirnya berhenti dan berpaling ke belakang.
"Oh, Panji Klobot..."! Mau apa dia berlari-lari menyusulku" Tampaknya tegang
sekali?" pikir Suto Sinting. "Bukankah urusan dengan Malaikat Kabut Gamping
sudah selesai" Ada apa lagi Panji Klobot menyusulku"!"
Panji Klobot adalah seorang pemuda yang
melayani Suto Sinting selama Suto tinggal di kadipaten. Tubuhnya kurus,
rambutnya kucai memakai ikat kepala merah. la suka mengenakan pakaian biru tua,
bajunya tanpa lengan dan terikat oleh kain merah yang melilit di pinggangnya.
Panji Klobot mengaku berusia dua puluh tahun, tapi cara berpikirnya masih sangat
polos dan lugu.
"Kang, berhenti sebentar, Kang...!" Panji Klobot terengah-engah. Keringatnya
membanjir di sekujur tubuh pertanda ia terlalu kecapekan karena berlari mengejar
Suto yang jaraknya sudah cukup jauh dari kadipaten.
"Ada apa, Panji Klobot"!" tanya Suto dengan kalem. "Bukankah urusanku dengan
Malaikat Kabut Gamping sudah selesai?"
"Memang, Kang. Memang urusanmu dengan Malaikat Kabut Gamping itu sudah selesai.
Tapi urusanmu dengan Murbiah bagaimana?"
"Lho, bukankah yang naksir Murbiah itu kau sendiri, Panji Klobot."
"Memang aku yang naksir Murbiah, tapi dia sukar dijinakkan, Kang" Padahal kau
berjanji kalau urusanmu dengan Kanjeng Adipati sudah selesai, kau akan membantuku menjinakkan
Murbiah?" ujar Panji Klobot dengan bersungut-sungut, seakan merasa kecewa dan
perlu menagih janji. Pendekar Mabuk jadi tertawa melihat sikap Panji Klobot yang
cemberut mirip perawan tergoda asmaranya.
"Bukankah kemarin kau telah memberinya setangkai bunga saat Murbiah membersihkan
taman keputrian?"
"Iya. Tapi Murbiah tidak merasa bangga atas pemberian bunga itu, Kang." Panji
Klobot berlagak manja.
"Kenapa dia tidak bangga?"
"Katanya, kalau cuma bunga dia sudah sering melihat, soalnya dia kan termasuk
perawat taman. Jadi dia sudah tidak merasa aneh lagi dengan bunga, Kang."
"Jadi yang diminta Murbiah apa?"
"Kata Murbiah, kalau aku memang benar-benar cinta padanya, aku harus bisa
mengalahkan Pangkar Soma."
"Siapa itu Pangkar Soma?"
"Ketua perampok yang dulu membantai habis keluarganya Murbiah. Waktu itu Murbiah
selamat, sebab sedang buang hajat di jamban kebun belakang rumah."
"Jadi gara-gara buang hajat dia selamat?"
"Iya. Tapi sampai sekarang dia masih dendam kepada Pangkar Soma. Dia bersumpah
pada dirinya sendiri, sebelum Pangkar Soma mati, dia tidak ingin jatuh cinta
pada pria mana pun. Lha, kalau aku kepingin dicintai dia, syaratnya ya harus
bisa membunuh Pangkar Soma!"
"Kalau begitu, ya sudah... bunuh saja si Pangkar
Soma." "Bunuh, bunuh, bunuh...," Panji Klobot cemberut kesal. "Apa kau kira Pangkar
Soma itu seekor kutu yang mudah digites lalu habis perkara"! Jangankan
membunuhnya, baru mendekatinya saja mataku sudah bengkak mendadak, Kang!"
Pendekar Mabuk tertawa geli. Panji Klobot
semakin cemberut jengkel.
"Kang, tolong ajari aku jurus-jurus yang kau pakai untuk mengalahkan Malaikat
Kabut Gamping itu,"
bujuk Panji Klobot.
"Itu tidak mudah, Panji Klobot!"
"Ya dibuat mudah gimana caranya, gitu Kang!
Kalau terpaksa harus pakai puasa, akan kujalani juga kok, Kang. Asal selama
puasa aku boleh makan ubi sama minum wedang jeruk."
"Itu namanya bukan puasa, tapi rakus!" ujar Suto Sinting sambil tertawa.
"Ayolah, Kang... ajari aku jurus-jurus mautmu itu.
Dua jurus saja, yang penting bisa dipakai untuk membunuh Pangkar Soma. Jurus
lainnya tak perlu kau ajarkan padaku. Cukup dua saja," sambil dua jari si Panji
Klobot berdiri tegak di depan hidung Suto Sinting.
"Maaf, Panji... aku tidak berani menurunkan ilmuku kepada siapa pun sebelum
mendapat izin dari guruku; si Gila Tuak."
"Kalau begitu, mari kita menghadap gurumu dulu, Kang. Minta izinlah dulu kepada
Kang Gila Tuak supaya...."
"Husy! Enak saja kau panggil guruku Kang Gila Tuak."
"Habis bagaimana seharusnya aku memanggil beliau, Kang?"
"Eyang! Eyang Gila Tuak dan Eyang Bidadari Jalang!"
"Iya, iya... aku sanggup memanggil gurumu Eyang Maha Eyang, asal aku mendapat
dua ilmu dahsyatmu itu."
"Ilmuku tidak untuk membunuh orang dan membalas dendam."
"Tapi kenapa si Malaikat Kabut Gamping kau bunuh?"
"Karena dia melawan saat kusuruh untuk meninggalkan jalan sesatnya. Jika dia
melawan dan mengajak beradu nyawa, yaaah... apa boleh buat, mau tak mau aku
rampungkan masa hidupnya
ketimbang aku yang kehilangan nyawa"!"
"Jadi...," Panji Klobot semakin murung. "... kau keberatan jika menurunkan
ilmumu untukku, Kang?"
"Panji Klobot," Pendekar Mabuk menepuk punggung pemuda itu,"... untuk apa kau
menuntut ilmu kalau hanya untuk membalas dendam kepada seseorang. Belajarlah
berbagai macam ilmu untuk menjaga kedamaian di dunia, bukan untuk membalas
dendam." "Tapi ini ada hubungannya dengan soal cinta lho, Kang!" Panji Klobot membela
diri. "Iya, aku tahu...," Suto mengangguk-angguk.
"Aku cinta banget sama si Murbiah, Kang. Kalau cintaku tidak kebangetan, aku
tidak akan memburu Pangkar Soma. Habis, yang diminta Murbiah adalah mengalahkan
Pangkar Soma. Lha nanti kalau
Pangkar Soma dikalahkan orang lain, Murbiah bisa jatuh cinta sama orang lain.
Kalau Murbiah jatuh cinta sama orang lain, lantas aku jatuh cinta sama siapa,
Kang?" "Murbiah kan punya kambing?"
"Masa aku kau suruh jatuh cinta sama kambing"!"
Panji Klobot semakin cemberut, mulutnya menjadi runcing mirip ujung tombak.
"Maksudku, Murbiah kan punya kambing, kau minta kambingnya lalu kau jual, kau
pakai uangnya untuk kau jadikan mas kawin buat melamar gadis lain. Begitu...!"
"Ah, kalau tidak sama Murbiah, aku tidak mau kawin."
"Panji Klobot, bukalah mata hatimu dan pikiranmu.
Di dunia ini bukan hanya Murbiah sendiri yang jadi perempuan...." .
"Lha, ya jelas!" potong Panji Klobot. "Kalau di dunia ini perempuannya cuma
Murbiah, nanti Murbiah jadi istrinya orang banyak, Kang! Aku sudah tidak
bergairah lagi sama Murbiah."
"Maksudku, jangan kau jatuh cinta secara sempit.
Jatuh cintalah secara lebar...."
"Jatuh cinta kok disuruh lebar, apa kau pikir jatuh cinta itu sejenis tikar buat
kendurian?" potong Panji Klobot lagi sebagai ciri sifatnya yang suka ngotot jika
dinasihati seseorang. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum menahan geli.
"Mungkin kau kurang wawasan, sehingga belum tahu bahwa di luar kadipaten, banyak
perempuan yang lebih cantik dari Murbiah. Kalau kau gagal dapatkan Murbiah, kau
bisa berburu perempuan lain yang sama dengan Murbiah atau lebih tinggi nilai
kecantikannya dengan Murbiah."
"Untuk apa dapatkan perempuan yang lebih tinggi dari Murbiah. Tinggi-tinggi
nanti malah disambar petir, hangus semua!" ujarnya dengan bersungut-sungut.
Tiba-tiba mereka mendengar suara, "Jangan takut, Panji Klobot. Aku akan
mengajarimu beberapa jurus
maut!" Pendekar Mabuk dan Panji Klobot sama-sama
terkejut. Mereka memandang sekeliling, tapi tak terlihat siapa pun di sana
selain mereka berdua. Panji Klobot jadi takut, lalu bergeser mendekati Suto.
"Suara siapa itu tadi, Kang?"
"Entahlah, yang jelas suara itu suara seorang perempuan."
"Wah, jangan-jangan peri penunggu hutan ini, Kang"!" sambil Panji Klobot
bergidik merinding.
"Mudah-mudahan neneknya peri," kata Suto Sinting seenaknya sambil masih mencoba
mencari si pemilik suara tadi dengan mempertajam pandangan matanya.
"Aneh, di mana perempuan itu berada" Coba kugunakan jurus 'Lacak Jantung'-ku
untuk mencarinya," ujar Suto membatin. Lalu, ia menggunakan jurus 'Lacak Jantung' yang
bisa mendengarkan suara detak jantung orang lain.
"Hmmm... tak ada suara detak jantung orang lain kecuali jantungnya Panji Klobot
dan jantungku sendiri"!" Suto kian berkerut dahi pertanda semakin heran.
Sementara itu Panji Klobot semakin mendesak Suto karena ketakutan.
"Aduh, celaka!" sentak Suto.
"Ada apa, Kang" Kau melihat peri itu" Di mana dia, Kang"! Di mana..."!"
"Bukan melihat peri! Kakiku kau injak seenaknya!
Minggir!" "Oh, maaf, Kang... maaf...! Anggap saja yang menginjak si peri itu, Kang!"
"Maaf, maaf... kalau sudah lecet begini baru maaf!"
Suto Sinting menggerutu. Panji Klobot ingin tertawa, tapi rasa takut membuatnya
menjadi tetap tegang
dan berdebar-debar, sehingga sulit tertawa.
Suara perempuan itu terdengar lagi, "Hik, hik, hik, hik... kalian seperti tikus
mendengar suara kucing.
Kalau saja kalian punya kumis, aku yakin kumis kalian akan melengkung ke bawah,
bahkan mungkin pada rontok berjatuhan. Hik, hik, hik...!"
Panji Klobot menyeringai menahan rasa takutnya.
la tak berani jauh-jauh dari Suto Sinting, sementara si murid sinting Gila Tuak
itu semakin mempertajam indera pendengarannya untuk menentukan di mana letak si
pemilik suara itu. Karena suara tersebut kadang terdengar di depan mereka,
kadang di belakang, sesekali terdengar di samping kanan atau kiri mereka.
"Kang, cepat kita pergi dari sini saja, Kang!" bisik Panji Klobot.
"Tenang saja. Aku jadi penasaran dengan suara itu. Kita cari sampai ketemu siapa
yang bicara dengan pamer ilmu di depanku itu!"
Lalu, suara perempuan itu terdengar kembali, terasa semakin dekat dengan mereka.
"Panji Klobot, kalau kau ingin dapatkan ilmu dahsyat dariku, carikan aku
setangkai Bunga Kecubung Dadar. Hanya itu syarat yang harus kau penuhi, maka
beberapa kesaktianku akan
kuturunkan kepadamu, Panji Klobot!"
Pendekar Mabuk dan Panji Klobot saling
berpandangan dengan dahi berkerut. Suara yang kedengarannya renyah dan merdu itu
hilang untuk beberapa saat. Hutan jati mengalami kesunyian yang amat mencekam.
Yang ada hanya suara desau angin dan gemerisiknya dedaunan.
Setelah menunggu beberapa saat ternyata suara perempuan itu tak terdengar lagi,
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Panji Klobot dengan berbisik pelan sekali.
"Jangan hiraukan suara itu. Dia sengaja mempermainkan kita, Panji!"
Tetapi suara Suto yang begitu pelan dan membisik itu ternyata dapat didengar
oleh perempuan misterius itu.
"Kau tak perlu mempengaruhi Panji Klobot, Sahabatku itu, Bocah Sinting!"
Pendekar Mabuk terperanjat, ternyata suaranya yang sepelan itu masih bisa
didengar oleh perempuan misterius. Tapi kali ini Pendekar Mabuk mencoba
menanggapi kata-kata si pemilik suara tadi.
"Tunjukkan dirimu di depan kami jika kau bermaksud baik kepada Panji Klobot!"
"Itu bukan urusanmu. Aku tidak punya urusan denganmu, Bocah Sinting! Aku hanya
punya urusan dengan Panji Klobot!" ujar suara aneh itu.
"Aku juga sahabatnya Panji Klobot. Jika kau ingin mencelakakan Panji Klobot,
sama halnya kau punya urusan denganku, Nona!" Suto bicara sambil memandang ke
sana-sini seakan bingung
mengarahkan suaranya.
"Panji Klobot," kata suara perempuan itu. "Jangan hiraukan kata-kata si bocah
sinting itu. Pergilah dan cari Bunga Kecubung Dadar secepatnya. Aku ingin segera
turunkan ilmuku kepadamu agar kau bisa membunuh Pangkar Soma!"
Tapi Suto Sinting menyahut, "Tidak! Jangan pergi ke mana-mana, Panji Klobot!
Kuntilanak itu akan menyesatkan dirimu dan memperdayamu supaya dia memperoleh
keuntungan tapi kau sendiri tidak mendapatkan apa-apa kecuali bencana!"
"Bocah sinting!" suara itu bernada keras. "Kuharap
kau tidak mencampuri urusanku, karena aku tak ingin marah padamu!"
"Silakan marah padaku, aku ingin tahu seberapa tinggi ilmumu sehingga berani
memperdaya sahabatku; si Panji Klobot ini!" tantang Suto dengan sengaja agar sosok
perempuan itu menampakkan diri.
Tetapi tiba-tiba punggung Suto Sinting seperti dihantam dengan sebatang balok
kayu yang cukup besar. Bhuueek...!
"Uuhk...!" Suto Sinting terpekik dan tubuhnya tersentak ke depan hingga jatuh
tersungkur di tanah.
"Kaaang...!" Panji Klobot kaget dan terpekik dengan semakin ketakutan.
Pendekar Mabuk menyeringai menahan rasa sakit yang terasa seperti mematahkan
tulang punggungnya. la menggeliat bangkit pelan-pelan.
Tetapi tiba-tiba lagi wajahnya bagai ada yang menendang dari depan. Ploook...!
"Aauh...!" Pendekar Mabuk tersentak dan berguling ke kiri setelah wajahnya
terdongak dengan keras.
Sementara si pemilik kaki yang menendang tadi tetap tidak kelihatan. Panji
Klobot sendiri dicekam rasa heran dan kebingungan karena ia tidak melihat siapasiapa di situ kecuali mereka berdua.
"Kang, ada apa" Kenapa kau pura-pura jatuh, Kang?"
"Pura-pura dengkulmu!" gerutu Suto Sinting sambil menyeringai kesakitan. la
memegang tulang pipinya yang tadi terasa mendapat tendangan cukup keras.
Ternyata tulang pipi itu memar dan terasa bengkak.
Disentuh sedikit saja sakitnya bukan main.
"Kang Suto..., mengapa wajahmu jadi biru begitu"
Kau bedaki pakai blau pemutih pakaian, ya"!"
Kepala Panji Klobot didorong oleh Suto Sinting dengan sentakan agak keras
sebagai tanda kejengkelan Suto mendengar pertanyaan seperti itu.
"Aku seperti ada yang menendangnya. Bukan sengaja membedaki wajah pakai blau!"
sentak Suto Sinting sambil masih duduk di tanah dan sesekali menyeringai menahan
rasa sakit. la buru-buru menenggak tuaknya. Tuak dari dalam bumbung itu
mempunyai khasiat penyembuhan yang sangat
Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mujarab, sehingga dalam beberapa kejap saja rasa sakit Suto menjadi berkurang
dan lama-lama hilang.
Warna biru memar di wajahnya pun segera lenyap, lalu tubuh Suto Sinting merasa
segar kembali. "Panji, berlindunglah di balik pohon. Agaknya peri edan ini mau main-main
denganku!" kata Suto sengaja dikeraskan supaya didengar oleh si pemilik suara
perempuan tadi.
Tetapi suara perempuan itu terdengar
menertawakan ucapan Suto dengan suara tawa mengikik seakan terbang dari pohon ke
pohon, mengelilingi Panji Klobot dan Suto Sinting.
"Hik, hik, hik...! Cacing pita mau melawan naga raksasa, uuh... mana
mungkiiiin...!"
Suto Sinting semakin penasaran. la segera
menyodokkan bumbung tuaknya dengan memainkan jurus mabuknya yang sempoyongan ke
sana kemari. Tetapi sodokan bambu tuaknya tidak mengenai apa-apa. Bahkan suara tawa perempuan
tanpa wujud itu semakin berderai terkikik-kikik. Panji Klobot sendiri merasa
tambah bingung melihat Suto mencak-mencak tanpa lawan.
"Kang, Kang... sadar, Kang! Jangan kumat di sini, Kang. Hoi... sadar, kita dalam
bahaya, jangan malah gila sendiri begitu, Kang!"
Plaaak...! Suto jengkel, akhirnya Panji Klobot ditamparnya dengan pelan.
"Aku bukan kumat gilaku. Aku mencoba
menyerang suara itu. Siapa tahu salah satu jurus seranganku ada yang kenai
tubuhnya!" sentak Suto Sinting sambil terengah-engah sedikit.
"Ooo... kukira kau tiba-tiba kumat gilanya dan mencak-mencak sendiri," ujar
Panji Klobot pelan.
"Hik, hik, hik, hik...! Dasar bocah sinting, sudah dikasih tahu tak akan bisa
melawanku masih ngotot!
Sebaiknya biarkan Panji Klobot mencari Bunga Kecubung Dadar untukku. Tak perlu
kalian buang-buang waktu dan tenaga. Lekas cari dan aku akan memberinya upah
beberapa jurus saktiku untuk si Panji Klobot!"
"Bunga Kecubung Dadar itu seperti apa, Yu"!"
tanya Panji Klobot kepada si pemilik suara dengan nada ragu. "Dan lagi, di mana
aku bisa mendapatkan bunga itu, Yu?"
"Mana kutahu! Kalau aku tahu sudah kuambil sendiri. Untuk apa menyuruhmu,
Tolol!" sentak suara perempuan itu dengan nada jengkel.
Suara itu datang dari arah kiri. Suto Sinting segera melepaskan pukulan tenaga
dalam jarak jauh ke arah kiri. Wuuut...! Bruuus...! Pukulan tanpa sinar itu
hanya mengenai serumpun semak. Padahal yang
diharapkan pukulan tanpa sinar itu dapat mengenai si pemilik suara misterius
itu. Namun kenyataannya Suto Sinting justru ditertawakan oleh perempuan tanpa
wujud dengan mengikik bagaikan terbang dari pohon ke pohon berkeliling di tempat
itu. "Hik, hik, hik, hik...! Bocah sinting masih penasaran dan ingin coba-coba
menyerangku! Terimalah
serangan balasanku ini, hiiah...!"
Tiba-tiba pohon di belakang Suto Sinting patah dan tumbang ke arah Suto.
Krrrak...! Brruuukk...!
Wees, zlaaap...! Suto Sinting lakukan lompatan cepat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah lepas dari busurnya itu. Tapi ia
juga sempat menyambar Panji Klobot, disahut ketiak kirinya dan dibawa pergi
bagai menenteng bangkai kucing.
"Ooh..."! Apa yang terjadi, Kang Suto"!" Panji Klobot terbengong dengan wajah
tegang sambil memandang pohon yang tumbang itu. Seandainya ia tak disambar Suto,
mungkin tubuhnya akan menjadi sele gepeng kejatuhan pohon sebesar itu.
Pendekar Mabuk hanya menarik napas dan
membatin, "Perempuan itu agaknya benar-benar menginginkan Panji Klobot mencari
bunga tersebut.
Hmmm..., tapi siapa dia sebenarnya"! Bagaimana kalau kutengok dengan menggunakan
mata gaibku?"
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya
dengan tangan kiri. Slaab...!
Seharusnya Pendekar Mabuk dapat melihat
perempuan tanpa rupa itu jika memang perempuan tersebut berada di alam gaib.
Sebab, di kening Suto terdapat noda merah kecil sebiji jagung. Noda merah itu
tak dapat dilihat oleh setiap orang, kecuali yang berilmu tinggi dan bisa
menggunakan indera ketujuhnya.
Noda merah itu pemberian Ratu Kartika Wangi, yaitu ibu dari Dyah Sariningrum,
calon istri Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
Jika titik merah di kening Suto diusap dengan dengan kiri, maka ia akan dapat
melihat kehidupan di
alam gaib. Jin, siluman dan tetek bengeknya dapat dilihat dengan mata Suto. Tapi
jika diusap dengan tangan kanan, maka Suto akan dapat masuk ke alam gaib, atau
berada di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang menjadi kekuasan Gusti
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.
Tetapi kali ini ternyata Suto Sinting tidak menemukan sesosok wanita yang
menjadi pemilik suara tersebut. Malahan ia melihat beberapa sosok makhluk
tinggi-besar, berkulit hitam dengan mata sebesar cangkir dan kepala gundul
bertanduk. "Huaah...!" Suto memekik ketakutan sambil menahan tawa geli sendiri. Lalu ia
buru-buru mengusap titik merah di keningnya untuk menutup penglihatan gaibnya.
"Ada apa, Kang"!" tanya Panji Klobot setelah ikut terlonjak kaget
"Aku melihat beberapa jin di seberang sana.
Hiiih...! Ngeri!"
"Jadi yang bersuara itu tadi jin, ya Kang?"
"Bukan. Jin-jin yang ada di sana pada bungkam dan memandangi kita yang
kebingungan. Mungkin malah mereka sangka aku ini orang gila, menyerang sendiri,
jatuh sendiri, sembuh sendiri..! Sial! Cepat tinggalkan tempat ini, Panji! Kau
ikut aku!'' Tiba-tiba suara perempuan itu terdengar lagi, "Hik, hik, hik.... Jangan lupa
Bunga Kecubung Dadar ya, Panji"!"
"Diam kau!" bentak Suto yang menjadi semakin jengkel.
"Aku tidak ngomong apa-apa kok, Kang!"
"Bukan kau yang kusuruh diam!" bentak Suto kepada Panji Klobot, dan yang
dibentak hanya garuk-garuk kepala dengan wajah cemberut sedih.
* * * 2 LUPAKAN tentang suara perempuan itu tadi," kata Suto Sinting kepada Panji Klobot
ketika mereka berada di sebuah kedai.
"Ya, Kang," Panji Klobot bersikap patuh kepada Suto Sinting.
"Pesan makanan sesukamu! Aku habis dapat pesangon dari Adipati, jangan takut
makananmu tidak kubayar! Berapa pun akan kubayar, asal kau benar-benar melupakan
kata-kata dari suara tanpa rupa tadi."
"Suara yang mana, Kang?" Panji Klobot berlagak benar-benar lupa. Pendekar Mabuk
hanya tersenyum sedikit dongkol, karena ia tahu bahwa Panji Klobot sebenarnya
tidak lupa dengan suara perempuan tadi.
Karena mendapat izin untuk memesan apa saja, Panji Klobot segera memesan ingkung
bakar dan nasi liwet dua piring. Padahal harga ingkung bakar cukup mahal. Hanya
para saudagar atau orang-orang kaya yang memesan ingkung bakar untuk santap
makan mereka. Bahkan Panji Klobot bukan saja memesan ingkung bakar, melainkan
juga beberapa makanan lainnya, sehingga di mejanya penuh dengan berbagai macam
makanan yang nyaris tidak punya tempat untuk meletakkan piring tempat nasi.
Pendekar Mabuk yang ada di meja sampingnya hanya geleng-geleng kepala melihat
pesanan Panji Klobot. la segera menggumam dengan suara yang didengar oleh Panji
Klobot sendiri.
"Kau mau makan apa mau kenduri"!"
Panji Klobot tertawa cengengesan.
"Sebelum aku menyusulmu, aku sudah pamit keluar dari pekerjaanku di kadipaten.
Jadi, belum tentu di hari-hari mendatang aku dapat menikmati santapan selezat
ini, sebab sudah tidak bekerja di kadipaten lagi."
Salah seorang pembeli ada yang menegur Suto sambil ingin membayar biaya makannya
kepada si pemilik kedai.
"Kang, temanmu itu perutnya terbuat dari apa, kok makanannya sebanyak itu?"
Suto menjawab, "Itu tidak dimakan semua.
Makanan yang lainnya hanya sesaji untuk para dewa.
Dia sebenarnya termasuk keponakan Dewa Maruk."
"Ooo... keponakan dewa"! Wah, maaf ya... tolong mintakan maaf pada temanmu itu,
Kang. Aku takut dikutuk karena disangka menghinanya...." Orang tersebut buruburu menyerahkan uang kepada si pemilik kedai dan langsung ngacir tak berani
menengok ke arah kedai lagi.
Pendekar Mabuk hanya tertawa cekikikan dengan mulut ditutup tangan. Panji Klobot
yang mendengar ucapan Suto tadi juga ikut tertawa sambil
memperhatikan kepergian orang tersebut.
"Bagus, Kang. Kau melindungi nama baikku, kupikir-pikir... aku ini sepertinya
memang keponakan dewa, Kang!"
"Jangan banyak omong! Makan dan habiskan semua pesananmu itu! Kalau tidak habis
kujejalkan ke mulutmu!" kata Suto Sinting sambil menghitung berapa kira-kira
biaya yang harus dikeluarkan untuk jumlah pesanan Panji Klobot itu. Dalam
hatinya sang Pendekar Mabuk menggerutu bernada canda.
"Kalau begini caranya bisa bangkrut, ludes semua
uangku masuk ke perutnya!"
Bumbung tuak ditambah isinya hingga penuh, tapi Suto masih pesan tuak sendiri
satu guci kecil. Selain tuak, ia juga memesan makanan untuk mengisi perutnya.
Sepotong ketan bakar diambilnya, lalu dimasukkan dalam mulut. Namun sebelum
ketan itu masuk ke mulut, tiba-tiba tangan Suto Sinting seperti ada yang
menampelnya. Plaaak...! Ketan pun jatuh ke lantai.
Pluk! "Sial!" gerutu Suto Sinting, lalu melirik ke kanan-kiri, pelan-pelan badannya
membungkuk tangannya terjulur ke bawah mau mengambil ketan bakar.
"Sayang kalau tak diambil. Belum ada lima kedip, masih sah untuk dimakan!" pikir
Suto. Tetapi ketika ketan mau diraih tangan, tiba-tiba pemilik kedai menegur Suto
Sinting, "Ada yang bisa kubantu, Nak?"
Suto buru-buru tegak dengan setengah kaget, "Oh, hmmm... anu... tidak ada apaapa kok, Pak."
"Agaknya ketan bakarmu jatuh, ya?"
"Iya, tapi memang sengaja kujatuhkan, sebab tadi kulihat ada seekor kucing yang
berkeliaran di sini.
Aku sengaja memberi makan kucing itu."
"O, itu kucing kesayangan anakku. Terima kasih atas kebaikanmu memberi makan
kucing kesayangan putriku, Nak."
"Sama-sama, Pak Tua...," sambil Suto anggukkan kepala dan tersenyum ramah.
Akhirnya ia urung mengambil ketan bakar itu dengan hati menyimpan rasa malu.
Kini ia mencomot ketan bakar lagi. Ketika ketan mau masuk ke mulut tiba-tiba
tangannya seperti ada yang menamparnya kembali. Plak...!
Pluk! Ketan pun jatuh kembali ke lantai. Suto Sinting tarik napas dan melirik ke
kanan-kiri. "Sial! Jatuh lagi!" gerutunya dalam hati.
Sementara itu, Panji Klobot sibuk menikmati santapannya tanpa mau melirik ke
arah Suto sedikit pun. Hal itu membuat Suto semakin dongkol, namun hanya bisa
dipendam dalam hati.
Kini Suto Sinting mengambil sepotong tempe goreng untuk lauk nasi yang sudah
siap di depannya.
Tetapi baru saja tempe goreng mau digigitnya, tiba-tiba tempe itu melesat
terbang dan jatuh di piring orang lain. Pluk...!
"Bah..." Rezeki dari mana ini" Ah, lumayan! Embat sajalah!" ujar orang itu
kepada temannya sambil tertawa lalu memakan tempe goreng itu.
Suto Sinting menarik napas. "Pasti pekerjaan perempuan yang tak mau tunjukkan
rupanya itu!"
geram Suto Sinting dalam hati. Lalu, tangan yang habis memegang tempe itu
dimasukkan ke dalam mulut.
"Hmmm... lumayan, tidak dapat tempenya dapat rasa asinnya," pikir Suto Sinting,
kemudian menyuap nasi ke mulutnya.
Tapi baru saja nasi mendekati bibir, tiba-tiba tangan Suto seperti ada yang
menyenggolnya. Plok...!
Weerrs...! Nasi pun tumpah menyebar di meja, berantakan ke mana-mana. Bahkan
sebagian melekat di wajah Suto Sinting.
"Edan!" geram Suto dalam hati dengan sikap diam menahan kejengkelan.
"Lho, Kang..." Kau makan apa mandi nasi"!" tegur Panji Klobot yang kebetulan
memandang ke arah Suto.
"Jangan banyak bicara kau, Panji! Makan saja
sesuai jatahmu!" ucap Suto dengan nada geram.
Pendekar Mabuk yakin perbuatan itu pasti
keusilan si pemilik suara yang tak mau tunjukkan wajahnya itu. Pendekar Mabuk
mencoba melirik kesana-sini mencari perempuan itu. Tapi di kedai tersebut tak
ada tamu perempuan. Satu-satunya perempuan adalah gadis anak pemilik kedai. Tapi
gadis itu ada di dapur, jauh dari jangkauan Suto. Tak mungkin gadis itu yang
melakukannya. Pendekar Mabuk akhirnya hanya menenggak tuak dari guci sebagai obat kecewa.
Tetapi tiba-tiba guci itu pun pecah saat dituang ke mulut. Praaak...!
Pyuuur...! Tuak dari dalam guci menyiram wajah Suto Sinting. Suara pecahnya guci
menjadi perhatian para tamu di kedai tersebut. Akhirnya Suto Sinting menjadi
bahan tertawaan para tamu.
"Hoi, Sobat... kau mau minum tuak apa mau mandi"!" tegur seorang tamu sambil
terbahak-bahak.
Suto berseru dengan berlagak tersenyum girang.
"Beginilah caraku meminum tuak. Kalau tidak sekalian mengguyur wajah, rasarasanya kurang puas!"
Tapi Suto pun berkata dengan suara geram, "Hei, Perempuan Gila...! Kalau kau
menggangguku lagi, aku tak akan mau membantu Panji Klobot mencarikan Bunga
Kecubung Dadar!"
Tiba-tiba Suto seperti mendengar suara
perempuan berbisik di dekatnya.
"Akan kuganggu kau kalau tak mau membantu mencarikan itu!"
"Maksudmu mencarikan bunga itu"!"
"Benar!"
"Baik, akan kubantu mencarikan bunga itu, tapi kumohon kau tidak menggangguku,
Nona!" "Hik, hik, hik...!" suara tawa itu membisik bagai berada di gendang telinga
Suto. Suto pun bergidik geli sambil menyeringai. Tanpa sadar ia dipandangi oleh
para pembeli yang ada di kedai tersebut. Mereka saling berkasak-kusuk menyangka
Suto gila. "Mengapa kau memanggilku Nona?" tanya suara aneh itu.
"Karena suaramu masih kedengaran seperti suara seorang gadis. Bukan suara
seorang nenek," jawab Suto Sinting sambil mengeringkan wajahnya memakai baju.
"Aku memang masih gadis, tapi sudah tidak perawan lagi. Hik, hik, hik...!"
"Kau pelacur, ya?"
Plaaak...! Tiba-tiba kepala Suto tersentak ke samping dan beberapa orang mendengar suara
tamparan keras.
Pipi kanan Suto pun menjadi merah. Orang-orang yang memandangnya menjadi
terkejut dan terheran-heran. Suto Sinting sadar kalau sedang diperhatikan orang
banyak. la menjadi malu, dan buru-buru menutup rasa malunya dengan berlagak
menampar pipinya yang kiri. Plaaak...!
Lalu ia bicara kepada si pemilik kedai yang juga memperhatikan dengan heran.
"Di sini banyak nyamuk! Sudah dua kali aku digigit nyamuk. Dan ternyata nyamuk
di sini pandai silat semua. Buktinya dua kali kutampar, ia pandai menghindar,
malah wajahku sendiri yang kena tampar!"
"Hah, hah, hah, hah...!" mereka menertawakan kata-kata Suto, menganggap Suto
sedang melucu di depan mereka.
"Kau pantas menjadi pelawak, Anak Muda!" ujar
seorang lelaki berkumis berusia sekitar lima puluh tahun.
"Terima kasih. Itu memang cita-citaku sejak kecil,"
jawab Suto Sinting walau hatinya memendam
kedongkolan yang ingin dilampiaskan dengan menggebrak meja.
"Cepat tinggalkan kedai ini dan carilah bunga itu!"
Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisik suara perempuan yang aneh itu.
"Lihat, gara-gara ulahmu aku jadi ditertawakan orang banyak begini! Setan juga
kau!" "Hik, hik, hik...! Aku bukan setan dan juga bukan pelacur, Bocah Sinting. Aku
punya nama sendiri."
"Siapa namamu"!" tanya Suto sambil memandang ke arah kiri, karena suara itu
datang dari kiri.
Di sebelah kiri ada seorang pemuda yang sedang menikmati nasi pecel. Pemuda
berbaju merah itu segera perdengarkan suaranya.
"Namaku: Wigata! Mau apa kau tanya-tanya namaku segala"!"
"Aku bukan tanya padamu, Sobat!" kata Suto dengan malu bercampur dongkol.
"Tapi kenapa kau bertanya sambil memandang ku"!"
Pendekar Mabuk sulit menjelaskan. Akhirnya hanya menarik napas dan diam
termenung. Sementara itu, Panji Klobot masih giat menyantap hidangannya sambil sesekali
memandang kepada Suto Sinting. Panji Klobot mulai mengetahui bahwa saat itu Suto
Sinting sedang diganggu oleh suara perempuan yang tak mau menampakkan wajahnya
itu. Karenanya, beberapa kejap kemudian Panji Klobot berkata kepada Suto,
"Kang, lupakan suara itu! Jangan diingat-ingat lagi!"
"Kau menyindir anjuranku tadi, ya"!"
"Bukan begitu, Kang. Kalau kau melayani suara perempuan tadi, kau seperti orang
gila. Dan mereka akan menganggapmu gila!"
Pendekar Mabuk serba salah. Mau melayani suara aneh itu, dia akan dianggap gila
oleh orang-orang di situ. Mau diam saja, tapi suara aneh itu membisik terus di
telinganya, seakan gadis itu ikut duduk di samping Suto dan berjarak tak ada
satu jengkal. "Bocah sinting... kalau kau ingin memanggilku, panggillah aku dengan nama Tenda
Biru. Panggillah aku dengan nama itu."
"O, kalau begitu kau gadis panggilan, ya?"
Plaaak...! Sekali lagi Suto ditampar hingga wajahnya
terbuang ke samping. Orang-orang memandang Suto dengan terperanjat dan terheranheran. Suto Sinting mencoba mengibaskan tangannya ke samping,
seakan menampar balik perempuan yang ada di sampingnya. Wuuus...!
Tapi ia seperti menampar angin dan tidak
mengenai apa-apa. Justru kibasan tangannya yang secara tak sadar mengandung
kekuatan tenaga dalam itu menghadirkan angin kencang, Weees,..!
Angin kencang itu menyapu barang-barang di meja samping, tempat si pemuda
berbaju merah itu menikmati makanannya. Barang-barang itu tumpah berantakan, si
baju merah sendiri tersentak ke belakang dan jatuh terjengkang. Brrruk...!
"Hei, mau cari gara-gara kau, hah"!" bentak si baju merah.
"Maaf, maaf... aku tidak sengaja. Maafkan aku!
ujar Suto Sinting merasa bersalah.
Ploook...! Pemuda berbaju merah itu
menghantamkan tinjunya dan wajah Suto menjadi sasaran telak. Suto terlempar ke
belakang dan terpelanting jatuh. Kakinya berkelebat mengenai pinggang Panji
Klobot. Buuukh...! "Uukh...!" Panji Klobot mendelik, makanan yang sedang dikunyahnya tersembur
keluar. Bruuwws...!
Kerasnya semburan membuat makanan dari mulut Panji Klobot menghambur mengenai
wajah orang yang ada di depannya. Tentu saja orang itu menjadi berang dan segera
menampar Panji Klobot.
Ploook...! "Bocah edan! Wajah orang dianggap lantai kamar mandi, dipakai buat tempat
muntahan! Dasar kambing dungu kau, hah"!" bentak orang itu sambil memaki-maki
Panji Klobot. "Wah, kalau begitu caranya bisa kacau dan malu sekali aku!" pikir Suto Sinting.
Kemudian ia segera menemui pemilik kedai dan membayar semua biaya makan
tersebut. "Uang ganti guci yang pecah belum, Nak."
"Oh, ya... hmmm... ini uang pengganti guci yang pecah itu!" sambil Suto
menambahkan uang kepada si pemilik kedai.
"Panji, lekas tinggalkan tempat ini!" perintah Suto Sinting sambil bergegas
pergi, sementara orang-orang memperhatikan dan melontarkan hinaan macam-macam
yang membuat wajah Suto menjadi merah menahan marah.
Sampai di luar kedai, Panji Klobot segera ajukan tanya kepada Suto Sinting.
"Kang, kenapa buru-buru pergi. Makananku belum habis semua, Kang!"
"Tenda Biru bikin kacau segalanya! Daripada kita
menderita malu lebih banyak lagi, mendingan kita cepat-cepat hindari tempat
itu!" "Tenda Biru..."! Aku tidak melihat orang buka tenda biru di situ, Kang!" kata
Panji Klobot dengan lugunya karena ia tak tahu maksud Suto. Si Pendekar Mabuk
membiarkan ucapan Panji Klobot, karena tiba-tiba langkahnya terhenti seketika.
Seseorang telah menghadang di depannya dengan berdiri tegak dan kakinya sedikit
merentang. Orang itu memandang Suto Sinting dengan mata tajam dan bersikap
bermusuhan. Panji Klobot sendiri segera hentikan langkah dan memandang orang
yang menghadang dengan dahi berkerut.
"Siapa orang itu, Kang?" bisik Panji Klobot.
"Entahlah. Mungkin orang linglung yang mau cari gara-gara kepada kita, Panji!
Bersiaplah untuk berlindung agar tak menjadi tempat salah sasaran,"
bisik Suto Sinting yang membuat Panji Klobot segera menepi secara perlahanlahan. Orang yang menghadangnya itu adalah seorang lelaki berusia sebaya dengan Suto
Sinting. la tampak kekar dan berotot juga, seperti Suto Sinting.
Rambutnya panjang diriap sepunggung, kepalanya mengenakan kain penutup warna
merah dengan ikatan sampul di belakang. Pemuda sebaya Suto itu mempunyai kumis
tipis dan wajah yang lumayan ganteng dengan pakaian serba hijau cerah.
* * * 3 MENGAPA kau berdiri menghadangku, Sobat?"
tegur Suto dengan tenang. Pemuda berpakaian serba
hijau itu menjawab dengan nada dingin.
"Aku ingin menantangmu. Kau yang bernama Suto Sinting; si Pendekar Mabuk itu,
bukan?" "Memang benar. Tetapi mengapa kau ingin menantangku?"
"Aku punya dendam padamu."
"Mengapa kau punya dendam padaku, Kawan?"
"Karena kau telah melenyapkan seluruh ilmu milik adikku."
"Siapa adikmu itu?"
"Naga Langit!" jawab pemuda itu dengan tegas.
Pendekar Mabuk berkerut dahi. Dalam benaknya segera muncul pemuda bernama Naga
Langit yang pernah berhadapan dengannya. Pemuda itu
mempunyai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' pemberian Nyai Mata Binal. Ilmu itu dapat
untuk menyedot seluruh ilmu lawan dengan cara berhubungan mesra bersama lawan
jenisnya yang berilmu tinggi. Salah satu korban Naga Langit adalah Gadis Dungu,
yang kehilangan seluruh ilmunya setelah kencan dengan Naga Langit.
Pada waktu itu, Suto Sinting berhasil menemukan kelemahan pemilik ilmu 'Lintah
Tambak Cumbu'. Bayangan orang tersebut jika dihantam akan pecah, hilang, dan muncul lagi.
Setelah begitu orang tersebut akan kehilangan seluruh ilmunya, termasuk ilmu
'Lintah Tambak Cumbu'-nya. Dan, Suto Sinting berhasil menghantam bayangan Naga
Langit, sehingga Naga Langit menjadi seperti Gadis Dungu atau para korban lainnya, yaitu
kehilangan seluruh kekuatan dan ilmunya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Perempuan Jahanam").
"Ya, aku ingat tentang Naga Langit," kata Suto Sinting. "Tapi aku belum tahu
siapa namamu, Sobat"
Mana mungkin aku mau melayanimu karena aku tak percaya kalau kau adalah kakaknya
si Naga Langit"!"
"Buka matamu lebar-lebar dan buka telingamu yang congek itu! Akulah yang bernama
Taring Naga, juga murid mendiang Begawan Girimaya dari Gunung Pantura!"
"O, ya... kudengar si Naga Langit juga murid Begawan Girimaya dari Gunung
Pantura. Tetapi seandainya mendiang guru kalian masih hidup, kurasa guru kalian
juga mengecam dan tidak setuju dengan tindakan Naga Langit yang menerjang
pranata kesusilaan itu, Taring Naga!"
"Persetan dengan kemungkinanmu! Sekarang aku harus membalas kekalahan Naga
Langit, adikku itu!
Heeeeat...!"
Taring Naga tiba-tiba menerjang Pendekar Mabuk dengan jurus tendangan bertenaga
dalam. Pendekar Mabuk menggeloyor seperti orang kebanyakan minum tuak mau jatuh.
Gerakan menggeloyor itu membuat tendangan Taring Naga meleset, tetapi tangan
yang mengibas ke samping itu sempat kenai wajah Suto Sinting. Plook...!
Pendekar Mabuk terpelanting nyaris jatuh. Untung ada pohon, sehingga tangan Suto
Sinting buru-buru berpegangan pada pohon tersebut.
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk menjadi tegak, tiba-tiba tendangan kaki Taring
Naga melesat mengarah ke wajah. Beeet...!
Plak! Suto Sinting menangkisnya. Lalu dengan cepat tubuh Suto berputar dengan
kaki berkelebat menendang cepat. Wuut, bet...!
Duuukh...! Punggung Taring Naga terkena
tentangan tumit Suto Sinting. Pemuda berbaju hijau itu tersentak hingga
bungkukkan badan.
Panji Klobot ikut-ikutan menyerang. la segera penendang pantat Taring Naga yang
sedang terbungkuk itu. Duuukh...!
"Jebol...!" Panji Klobot berseru setelah menenang.
"Aaakh...!" Taring Naga tersentak sambil pegangi pantatnya, lalu tubuhnya
terguling ke depan dan jatuh duduk menyeringai. Panji Klobot sendiri cepat lari
sembunyi di balik pohon.
"Hati-hati kau...!" hardik Pendekar Mabuk kepada Panji Klobot yang menganggap
telah lakukan tindakan dapat membahayakan diri sendiri.
Taring Naga cepat bangkit dan mencabut
pedangnya. Sreeet...!
"Kubunuh kalian berdua sekarang juga! Tak akan kuberi... aduh"!"
Taring Naga menjadi tegang dan berkerut dahi. la memegangi pantatnya kembali.
Wajahnya tampak menyeringai dengan bingung.
"Celaka! Kenapa tiba-tiba perutku sakit sekali"!
Aduuuh... ada yang ingin keluar, uuh... uuh... masuk angin apa, ya?"
"Hi, hi, hi...!" Panji Klobot tertawa cekikikan di balik pohon. Pendekar Mabuk
justru berkerut dahi dengan heran melihat Taring Naga kebingungan memegangi
pantatnya. "Aduh, mules sekali rasanya! Sial! Aku... aku... aku tidak kuat kalau begini!"
sambil Taring Naga semakin menyeringai menahan sesuatu yang ingin keluar dari
pantatnya. "Tunggu!" serunya kepada Suto. "Pertarungan kita tunda dulu! Kita lanjutkan
setelah... setelah... aduh, tak kuat lagi aku! Siaaal...!"
Taring Naga terpaksa lari ngibrit dengan mendekap pantatnya memakai kedua tangan
setelah pedangnya
dimasukkan ke dalam sarung pedang, ia berlari dengan terkekeh-kekeh mencari
sungai atau WC untuk melepaskan hajatnya. Sementara itu, Pendekar Mabuk akhirnya ikut tertawa
geli setelah Panji Klobot berkata kepadanya sambil tertawa juga.
"Kugunakan satu-satunya jurus pemberian almarhum pamanku. Namanya jurus
'Tendangan Cuci Perut'. Siapa pun tak bisa menahan untuk tetap di tempat jika
terkena jurus 'Tendangan Cuci Perut'-ku itu. Pasti akan lari cari WC atau sungai
untuk mengulas isi perutnya! Heh, he, he, he...!"
Pendekar Mabuk dan Panji Klobot mengikuti
kepergian Taring Naga. Beberapa penduduk desa yang melihat pertengkaran itu juga
ikut-ikutan menyusul Taring Naga. Rupanya pemuda berbaju hijau itu menuju sungai
kecil yang sering dipakai untuk memandikan sapi atau kerbau mereka. Dari
kejauhan, para pengikut Taring Naga segera mendengar suara histeris.
Brebeeet, breeet, breeettt... treet, teet, te, te, te, tet, breeebet...!
"Huah, hah, hah, hah, hah...!" mereka saling tawa terbahak-bahak, sementara
Taring Naga hanya bisa cemberut dengan wajah ngotot. Bukan saja menahan rasa
malu, namun juga menahan rasa heran karena
'setorannya' tidak berhenti-berhenti walau sudah banyak yang dikeluarkan.
Pendekar Mabuk dan Panji Klobot akhirnya
meninggalkan desa itu. Perjalanan mereka teruskan untuk menemui si Gila Tuak,
guru utama Pendekar Mabuk. Selain sudah lama Pendekar Mabuk tidak menengok
keadaan gurunya itu, ia juga berkeperluan ingin menanyakan tentang adanya Bunga
Kecubung Dadar itu.
"Sekalian aku ingin menanyakan kepada Guru, bolehkah aku menurunkan ilmuku
sejurus dua jurus kepada seseorang, seperti misalnya kepada si Panji Klobot
ini," ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Tiba-tiba langit mendung datang dan angin
berhembus kencang. Rintik hujan turun sebutir demi sebutir. Hujan bagai tak niat
turun, sehingga menyangsikan si Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu, sebuah
suara terdengar lagi bagai berada tepat di depan telinga Suto Sinting.
"Di sebelah barat ada gua. Meneduhlah dulu di sana!"
"Tenda Biru... kau masih mengikutiku rupanya,"
ucap Suto Sinting yang membuat Panji Klobot berpaling memandangnya, merasa
diajak bicara oleh Suto.
"Tentu saja aku masih mengikutimu, Kang. Habis aku benar-benar ingin punya ilmu
seperti yang kau punyai itu!"
"Aku tidak bicara padamu, Panji."
"Lalu, bicara kepada siapa" Oh... suara perempuan itu lagi, ya?"
Suara itu terdengar lagi, "Lekas ke gua! Hujan akan deras!"
"Kau tak perlu cemas. Aku akan menolak hujan ini!"
"Kau tak akan bisa menolaknya, Bocah Sinting!"
"Kenapa kau bilang begitu"!"
"Karena hujan ini bukan sembarang hujan."
"Apa maksudmu?"
"Hujan ini adalah hujan kiriman yang mengandung racun pembusuk tulang!"
Pendekar Mabuk terbungkam seketika.
Langkahnya pun terhenti bersamaan dengan
berhentinya langkah Panji Klobot yang juga mendengar suara si Tenda Biru secara
samar-samar. Panji Klobot dan Suto saling berpandangan sejenak.
"Dari mana kau tahu kalau hujan ini adalah hujan yang mengandung racun?" tanya
Suto dengan pandangan mata tak mengerti harus menatap ke arah mana.
"Di sebelah utara ada pertarungan. Salah satu tokoh yang bertarung melepaskan
jurus mautnya yang menembus mega mengundang mendung. Jurus mautnya itu
mengandung racun yang hanya dia pemilik penangkal racunnya. Racun itu akan
bersatu dengan gumpalan mendung dan turun sebagai hujan yang dapat membusukkan
tulang manusia dalam beberapa saat. Karena itulah, hindari hujan ini sebelum kau
dan Panji Klobot kehujanan. Jika kalian kehujanan, berarti kalian keracunan!"
Panji Klobot cepat-cepat bersembunyi di bawah pohon talas yang berdaun lebar,
tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Hei, ada apa kau nongkrong di sana"!" seru Suto.
"Aku takut kena hujan beracun, Kang!"
"Kalau mau sembunyi jangan di situ! Lihat, di belakangmu ada ular sedang
bertelur!"
Panji Klobot menengok ke belakang.
"Huaaaa...!" ia menjerit sambil berlari ketakutan, karena di sana memang ada
seekor ular hitam berbelang-belang kuning sedang melingkar dan bertelur.
Mereka segera bergegas ke gua yang ada di
sebelah barat. Panji Klobot segera masuk ke dalam gua itu. Tapi Pendekar Mabuk
masih memandang ke arah utara. la tertarik dengan berita tentang pertarungan dua
tokoh sakti itu. Pendekar Mabuk
paling suka melihat suatu pertarungan karena ia dapat pelajari jurus-jurus
mereka yang belum pernah dilihatnya.
"Panji, kau tetap di dalam gua dulu, aku mau ke utara sebentar!"
"Kang, apa kau tak dengar suara aneh itu memberitahukan tentang hujan beracun
itu" Tulangmu bisa busuk, Kang! Kalau sudah busuk nanti tak bisa dipakai untuk bikin
pipa tembakau!"
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya. la yakin tuaknya dapat menolak kekuatan
racun tersebut. la segera melangkah setelah tinggalkan pesan kepada Panji
Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Klobot. "Lindungi dirimu dari air hujan nanti! Jangan keluar ke mana-mana sebelum aku
datang kembali."
Namun tiba-tiba tubuh Suto tersentak ke belakang.
Sepertinya ada sepasang tangan yang menghentak dadanya dengan kuat. Beeekh...!
Brrus...! Tubuh Suto terhempas masuk ke dalam gua dan jatuh terhempas di sana. Ketika itu,
hujan pun segera turun. Bresss...!
"Kang, lihat hujannya! Lihat...! Hujannya berwarna merah, Kang!" seru Panji
Klobot tanpa pedulikan Suto yang jatuh itu. Matanya memandang tegang dari depan
pintu gua tersebut.
Pendekar Mabuk menyeringai sekejap, lalu segera bangkit. la tahu tubuhnya
didorong oleh Tenda Biru, karena perempuan itu pasti tak setuju jika Suto pergi
ke utara dalam keadaan hujan-hujanan.
Kini mata Pendekar Mabuk pun memandang
hujan dengan terbelalak kagum. Hujan yang turun benar-benar berwarna merah
seperti darah disiramkan ke bumi.
Tenda Biru kirimkan suaranya lagi di samping Suto.
"Lihat, aku tak bicara bohong padamu! Hujan beracun itu benar-benar turun. Kalau
kau nekat ke utara, kau akan kehujanan dan tulangmu menjadi busuk!"
"Omong kosong!" sentak Suto Sinting. la meneguk tuaknya lagi tak begitu banyak.
Kemudian tangannya diulurkan keluar dari pintu gua. Tangan itu menjadi basah
oleh air hujan seperti berlumur darah.
"Kau benar-benar sinting!" geram suara Tenda Biru. Sementara itu, Panji Klobot
menjadi tegang melihat tangan Suto basah oleh air hujan darah.
"Lihat, aku tidak mengalami luka atau pembusukan tulang apa pun. Aku masih sehat
dan tanganku juga tak menjadi cacat!" ujar Suto Sinting, seakan bicara kepada
Panji Klobot, tetapi sebenarnya ditujukan kepada Tenda Biru.
Suara perempuan itu terdengar lirih, seperti menggumam.
"Mestinya sekarang kulit tanganmu telah melepuh dan kemudian seluruh tulang
tanganmu menjadi busuk."
"Buktinya tidak!" sangkal Suto Sinting.
"Kau memang bocah sinting. Sulit aku memahami ilmumu!" ujar suara Tenda Biru.
"Aaaa...!" tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan seseorang di kejauhan.
Jeritan itu berasal dari arah timur.
"Aaaaow...! Tolooong...!" Jeritan terdengar lagi berasal dari arah selatan.
"Dengar, Bocah Sinting... mereka yang kehujanan menjerit kesakitan. Dalam waktu
beberapa kejap mereka akan mati dalam keadaan menjadi busuk seperti bubur!" ujar
suara Tenda Biru.
"Panji, aku akan ke utara. Kau jangan sampai
terkena tetesan air hujan sedikit pun! Tapi... o, ya...
sebaiknya kau minum tuakku dulu sebagai bekal penolak racun jika hujan itu
sampai memercik mengenai kulit tubuhmu!"
Setelah Panji Klobot menenggak tuak dari
bumbung bambu sakti itu, Pendekar Mabuk pun segera keluar dari gua. Tubuhnya
memang basah oleh guyuran air hujan merah yang dikenal dengan hujan berdarah,
walaupun hujan itu sebenarnya tidak mengandung bau amis darah. Tetapi keadaan
Pendekar Mabuk sama sekali tidak bernasib seperti orang-orang yang tadi menjerit
dan sekarang sudah tak bernyawa dalam keadaan busuk dan menjadi lembek
menyerupai bubur.
Langit masih tampak hitam. Mendung bergumpal-gumpal. Pendekar Mabuk segera
lepaskan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa', yaitu seberkas sinar hijau melesat dari tangan Suto
Sinting ke arah mendung di langit. Claaap...! Sinar hijau itu langsung kenai
gumpalan mega hitam, lalu terjadilah ledakan yang menggetarkan bumi.
BIegaaarrr...! Mendung itu tiba-tiba pecah dan langit menjadi hijau dalam
sekejap. Ketika cahaya hijau yang menyebar luas bagai membakar langit itu
lenyap, maka mendung hitam sudah tiada. Langit menjadi cerah dan hujan darah pun
berhenti total.
Tetapi tanah, pohon, dan alam sekitarnya masih dilumuri oleh cairan merah
bagaikan lautan berdarah.
"Benar-benar jurus sinting!" gumam suara Tenda Biru di samping kiri Suto.
"Justru aku ingin bertanya padamu, siapa yang punya jurus dapat mendatangkan
hujan darah beracun ganas ini"!"
"Pergilah ke utara! Akan kujelaskan di sana!"
Zlaaap...! Suto Sinting melesat dengan kecepatan sangat tinggi, sukar dilihat
dengan mata telanjang. la bagaikan menghilang dari tempatnya karena
kecepatan jurus 'Gerak Siluman' memang sukar ditandingi oleh siapa pun.
Tiba di utara, Pendekar Mabuk melihat sebuah pertarungan yang dilakukan oleh dua
tokoh berambut putih. Pertarungan itu terjadi di sebuah lembah yang tanah dan
alam sekitarnya sudah menjadi merah semua karena diguyur air hujan berdarah.
"Aku kenal dengan salah satu dari mereka!"
gumam Suto Sinting sambil memandang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun
yang mengenakan jubah dan celana abu-abu.
"Yang mana yang kau kenal?" tanya suara Tenda Biru.
"Yang tubuhnya pendek dan membawa tongkat berujung ketapel itu!"
"Hmmm... siapa dia?"
"la berjuluk si Kapas Mayat. Aku pernah jumpa dengannya ketika kapalnya Ratu
Dayang Demit mendarat di Tanah Jawa," jawab Suto pelan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gairah Sang Ratu").
Suto pun tambahkan kata, "Dia juga sahabat baik guruku!"
"Kalau begitu, lekas selamatkan si Kapas Mayat.
Dia akan kewalahan melawan si Pangkar Soma!"
Pendekar Mabuk agak terkejut. "Oh, jadi... pak tua yang memakai jubah merah dan
celana merah berambut abu-abu itu adalah si Pangkar Soma"!"
"Benar! Semakin tua ilmunya semakin tinggi.
Apalagi sejak gurunya tewas dan seluruh ilmu diwariskan kepadanya, ia menjadi
tokoh yang tak mudah dikalahkan."
Pendekar Mabuk menggumam sambil matanya
memandang tokoh tua berusia sekitar enam puluh lima tahun, berwajah dingin dan
mempunyai tubuh sedikit gemuk. Rambutnya yang panjang putih itu tidak mengenakan
ikat kepala, sehingga jika tertiup angin sering meriap menutupi wajahnya,
membuatnya semakin sangar.
"Tak kusangka Pangkar Soma sudah setua itu.
Kukira masih sebayaku atau sekitar berusia empat puluh tahun. Rupanya lelaki itu
yang membantai seluruh keluarga Murbiah, sehingga Murbiah menyimpan dendam
kesumat kepadanya. Tentu saja Panji Klobot tak mungkin bisa mengalahkan Pangkar
Soma, karena Panji Klobot tidak memiliki ilmu apa-apa kecuali satu ilmu warisan
dari mendiang pamannya itu: 'Tendangan Cuci Perut'," pikir Suto Sinting sambil
masih diam di kejauhan jarak.
Kapas Mayat sebenarnya bukan tokoh berilmu rendah. Kemunculannya selalu diawali
dengan datangnya angin ribut dan bau wewangian setanggi dari tongkatnya itu.
Tetapi, agaknya kali ini Kapas Mayat memang terdesak oleh serangan Pangkar Soma.
Walaupun Pangkar Soma telah mampu
hadirkan hujan beracun, dan tubuh Kapas Mayat seperti lilin yang tak dapat
menjadi basah oleh guyuran hujan, namun Pangkar Soma mempunyai jurus berbahaya
lagi yang dapat melenyapkan jiwa Kapas Mayat.
Terdengar Pangkar Soma berseru kepada Kapas Mayat dari jarak delapan langkah.
"Sekaranglah saatnya kau tebus kematian guruku akibat racun 'Balsam Tengkorak'mu itu, Kapas Mayat! Huaaah...!"
Rupanya Pangkar Soma ingin balas dendam atas kematian gurunya. Gurunya mati
karena pertarungan dengan si Kapas Mayat. Kapas Mayat berhasil melukai guru
Pangkar Soma dengan jurus 'Balsam Tengkorak' yang amat ganas itu.
Kali ini Pangkar Soma yang bersenjata cambuk merah itu segera mencabut
senjatanya dan melecutkan ke arah atas kepala Kapas Mayat.
Ctaaar...! Ujung cambuk itu memancarkan sinar biru lebar bagai menyorot ke bumi.
Tubuh Kapas Mayat tersiram sinar biru lebar.
Srraab...! Zlaaap...! Wuuut...! Andai saja Pendekar Mabuk tidak pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya nyaris melebihi kecepatan cahaya, mungkin Kapas Mayat sudah menjadi
serbuk lembut seperti seonggok batu yang terkena sinar biru dari cambuk itu.
Pendekar Mabuk bergerak cepat dan menyambar tubuh Kapas Mayat. Tetapi batu yang
semula berada di samping Kapas Mayat itu berubah menjadi seonggok tumpukan
serbuk lembut berwarna hitam.
Tanah tempat berdirinya Kapas Mayat tadi juga berubah menjadi hitam dan berpasir
seluas lima langkah sekeliling.
Pangkar Soma mengejar lawannya, tapi ia
kehilangan arah, sehingga makin lama justru semakin jauh dari si Kapas Mayat.
Kapas Mayat terkejut ketika tahu-tahu dirinya sudah berada di tempat jauh dari
pertarungannya. Ia lebih terkejut lagi setelah diturunkan dari gendongan Suto
Sinting. "Lho, kalau tak salah dugaanku, kau adalah si
Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak"!"
"Betul, Pak Cilik!" jawab Suto yang selalu memanggil Kapas Mayat dengan sebutan
Pak Cilik, karena tinggi tubuh Kapas Mayat hanya sebatas perut Suto.
"Untung kau segera menyambarku. Aku tak sangka kalau cambuk itu akan keluarkan
cahaya biru. Kupikir, si Tengkuk Cadas tidak menurunkan jurus
'Cambuk Iblis' kepada muridnya; Pangkar Soma itu!
Kalau tak salah dugaanku, ternyata jurus itu diturunkan juga oleh si Tengkuk
Cadas kepada muridnya."
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pak Cilik ini bagaimana, melawan gurunya bisa
unggul, masa melawan muridnya nyaris mati?"
"Kalau tak salah dugaanku, aku terlalu mengangap ringan si Pangkar Soma,
akhirnya aku terjebak oleh anggapanku sendiri. Tapi... lupakan tentang itu.
Anggap saja aku belum pernah bertarung melawan Pangkar Soma."
Kapas Mayat berlagak tenang, seperti tak pernah melakukan pertarungan yang
berbahaya. Pendekar Mabuk segera berkerut dahi karena ia mendengar suara Tenda
Biru berbisik kepadanya.
"Tanyakan tentang Bunga Kecubung Dadar kepadanya. Siapa tahu dia mengetahui
tentang bunga itu."
"Pak Cilik, maukah kau menolongku?"
Kapas Mayat menguap, "Hoooaaam...! Kalau tak salah dugaanku, aku ngantuk,"
ujarnya. "Dua hari dua malam aku tak tidur."
"Kenapa sampai tak tidur, Pak Cilik?"
"Kalau tak salah dugaanku, aku mencari cucuku si Kelambu Petang. Sudah empat
hari dia tak pulang.
Entah hilang ke mana."
"Ah, bosan aku mendengarnya. Lagi-lagi kau selalu kebingungan karena kehilangan
cucu. Kelambu Petang itu sudah besar, sudah dewasa, Pak Cilik.
Kalau dia pergi bukan berarti hilang. Mungkin ada keperluan pribadi yang belum
dijelaskan kepadamu.
Jangan setiap cucumu pergi selalu dianggap hilang."
Suto bernada gerutu, karena dulu dia pernah membantu Kapas Mayat yang merasa
kehilangan cucu. Ternyata sang cucu yang bernama Kelambu Petang hanya sekadar
pergi untuk membalas dendam kepada Ratu Dayang Demit, setelah itu tanpa bantuan
Suto pun sebenarnya Kelambu Petang akan pulang sendiri. Dulu, Suto merasa ikut
cemas mendengar cucunya Kapas Mayat hilang. Tapi sekarang dia tak mau ikut cemas
lagi. "Ikutlah aku ke sana, di sana ada gua dan temanku menunggu di dalamnya. Kau bisa
istirahat di dalam gua itu, Pak Cilik! Jangan pikirkan cucumu dulu. Anggap saja
si Kelambu Petang itu memang gadis yang gemar minggat! Kalau capek akan pulang
sendiri." "Soalnya... kalau tak salah dugaanku, kitab pusakaku dibawa pergi."
"Kitab pusaka apa"!" Suto Sinting bersungut-sungut. "Kitab pusaka 'Tanggul
Murka' yang dulu kan kau berikan padaku sebagai hadiah itu" Hmmm...! Itu kitab
berisi pelajaran membaca bagi yang buta huruf!
Biar saja dibawa oleh si Kelambu Petang!"
"Kalau tak salah dugaanku, bukan kitab itu yang dibawanya, tapi kitab 'Kidung
Bencana' yanrg dibawa Kelambu Petang."
"Hahhh..."!" Suto Sinting terkejut, karena ia pernah terlibat perkara kitab
pusaka 'Kidung Bencana' belum
lama ini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam Episode
: "Hilangnya Kitab Pusaka").
"Setahuku Kitab Kidung Bencana itu milik Ki Perak Porong dan Nyai Tawang
Sangit!" "Siapa bilang" Kalau tak salah dugaanku, kitab itu milikku. Porak Porong dan
Tawang Sangit hanyalah sahabatku."
Pendekar Mabuk tertegun, hatinya mulai cemas.
Sebab dia tahu Kitab Kidung Bencana itu berisi mantra-mantra gaib yang dapat
mendatangkan bencana besar jika diucapkan oleh orang yang tidak bertanggung
jawab. "Tapi benarkah kitab itu milik si Kapas Mayat"!
Benarkah yang dibawa Kelambu Petang adalah Kitab Kidung Bencana yang sebenarnya"
Jangan-jangan Kelambu Petang salah bawa"!"
* * * 4 MALAM itu Pendekar Mabuk beristirahat di dalam gua yang tak begitu lebar. Gua
itu tidak mempunyai jalan tembus ke mana-mana, dan agaknya sering digunakan
bermalam bagi para pengelana yang kemalaman.
Panji Klobot sudah mendengkur sejak tadi. la mudah tertidur karena siangnya
terlalu banyak makan di kedai. Tinggal Suto Sinting sendirian yang masih melek
mendiang di dekat api unggun
buatannya sendiri.
Kapas Mayat tak mau diajak bermalam. Tokoh tua yang pendek berambut abu-abu itu
tetap pergi mencari cucunya; si Kelambu Petang. Pendekar
Mabuk sengaja tak mau membantu mencarikannya karena sudah tahu watak Kapas Mayat
yang selalu membesar-besarkan masalah, padahal ia hanya mengkhawatirkan
keselamatan cucunya. la memang sangat sayang kepada Kelambu Petang, sebagai cucu
tunggal semata wayang, entah wayang golek atau wayang kulit.
Tetapi sebelum Suto berpisah dengan si Kapas Mayat, tokoh tua itu tadi sempat
ditanya tentang Bunga Kecubung Dadar oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah kau tahu tentang Bunga Kecubung Dadar, Pak Cilik?"
"Kalau tak salah dugaanku," Kapas Mayat selalu mengawali ucapannya dengan katakata itu, kemudian menyambungnya lagi.
".... Bunga Kecubung Dadar belum pernah kulihat, tapi kalau telur dadar sering
kumakan!" "Aku sedang mencari Bunga Kecubung Dadar, Pak Cilik. Tolong bantu aku."
"Kalau tak salah dugaanku, sebaiknya carilah telur dadar saja. Itu lebih mudah
dan aku bisa membantumu."
Suto mendesah jengkel. "Aaah...! Yang kubutuhkan bunga itu, Pak Cilik!"
"Kalau begitu kau harus menemui sahabatku; si Kusir Hantu."
"Apakah dia tahu tentang bunga tersebut?"
"Kalau tak salah dugaanku, Kusir Hantu semasa mudanya pernah menjadi pedagang
kembang. Jadi pengetahuannya tentang bunga bisa diandalkan. Di samping itu,
kalau tak salah dugaanku... Kusir Hantu semasa mudanya juga sering meminjam uang
yang berbunga. Pinjam seratus mengembalikannya seratus sepuluh. Jadi, kalau tak
salah dugaanku, soal bungaberbunga itu memang sudah makanan sehari-hari si Kusir Hantu semasa mudanya."
Di dalam gua yang hangat oleh cahaya api unggun itu, Suto Sinting berkecamuk
sendiri di dalam hatinya.
la agak ragu dengan penjelasan si Kapas Mayat karena berkesan main-main. Tetapi
hati kecil Pendekar Mabuk pun punya pendapat sendiri untuk langkahnya.
"Coba-coba saja. Siapa tahu si Kusir Hantu benar-benar mengetahui tentang bunga
itu. Tapi... perlukah aku bersungguh-sungguh dalam mencari bunga tersebut"
Mengapa aku harus pusing
memikirkannya" Bukankah itu urusan si Tenda Biru"!" Renungan demi renungan,
akhirnya suara Tenda Biru pun hadir di malam yang hening itu.
Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget ketika telinganya menangkap suara pelan
seorang perempuan yang cukup dekat dari tempat duduknya.
Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa orang yang berjuluk Kusir Hantu itu, Bocah Sinting"!"
Setelah melepaskan napas mengusir rasa
kagetnya, Pendekar Mabuk pun memberi jawaban dengan suara pelan juga. Suara itu
sengaja dipelankan supaya Panji Klobot tidak terganggu dari tidurnya.
"Kusir Hantu itu juga sahabat guruku, dan sahabatku sendiri. Aku kenal baik
dengannya dan pernah membantunya dalam sebuah peristiwa
berdarah." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Cendana Sutera").
"Mengapa kau tak mencobanya untuk temui si Kusir Hantu?"
"Aku takut ucapan si Kapas Mayat hanya kelakar belaka."
"Tak ada buruknya jika mencobanya, Bocah Sinting."
"Mengapa kau bersifat mendesakku?"
"Karena aku sangat membutuhkan bunga itu!"
jawab suara Tenda Biru.
"Kau yang membutuhkan, mengapa aku yang kerepotan"!"
Suara perempuan itu tidak terdengar. Hening malam menguasai gua tersebut. Hanya
kemertas suara kayu bakar yang menjadi pengisi keheningan itu. Pendekar Mabuk
menenggak tuaknya lagi. Tak banyak, namun cukup melegakan hati dan
menyegarkan tubuh.
"Bocah sinting...," suara Tenda Biru terdengar lagi bernada pelan. "... aku tak
punya sanak saudara lagi di dunia ini. Semuanya telah tiada, tinggal aku seorang
diri berkelana di permukaan bumi. Tak ada orang yang bisa kumintai bantuannya
untuk mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu. Ketika aku melihatmu bertarung dengan
Malaikat Kabut Gamping, aku menaruh harapan padamu."
"Harapan apa?"
"Harapan bisa membantuku mendapatkan bunga itu."
"Bukankah kau menyuruh Panji Klobot?"
"Itu hanya sebagai jembatan untuk mendekatimu, Bocah Sinting."
Pendekar Mabuk tertawa pelan dan pendek.
"Aku yakin si Panji Klobot tak mungkin bisa temukan Bunga Kecubung Dadar itu.
Tetapi jika ia merengek padamu, tentunya sebagai sahabat kau akan membantunya
mencari bunga tersebut."
"Mengapa tak bicara langsung padaku kala itu"
Hening sejurus, kemudian terdengar suara lirih si
Tenda Biru. "Aku... aku malu padamu."
"Mengapa malu?" desak Suto sambil menggoda suara merdu itu.
"Kau... kau pasti akan melecehkan diriku sebagai gadis bodoh dan tak punya
kemampuan apa-apa. Aku takut kau mengecamku dan tak mau membantuku jika harus
kujelaskan siapa diriku sebenarnya."
Pendekar Mabuk tertawa lagi, tapi kali ini tanpa suara. Hanya saja senyumnya
tampak mekar menawan dalam cahaya api unggun.
"Jelaskan siapa dirimu sebenarnya, dan mengapa kau sangat membutuhkan Bunga
Kecubung Dadar itu."
"Kau janji tidak akan mengecam atau
membenciku?"
"Ya, aku berjanji, asal kau tidak mengganggu diriku dan Panji Klobot!"
"Aku tidak akan mengganggu siapa pun. Aku sudah bersumpah dalam hatiku untuk
tidak melangkah di jalan yang sesat lagi."
"Jalan sesat bagaimana" Jelaskanlah!"
"Kau pun janji akan menolongku jika sudah kujelaskan segalanya"!"
Pendekar Mabuk ambil napas dan
menghembuskannya panjang-panjang.
"Baik, aku berjanji akan menolongmu!"
Sreeek...! Tanah berbatu di samping Suto berjarak.
Sepertinya Tenda Biru bergeser untuk lebih dekat lagi dengan Suto. Dan ketika
suaranya terdengar lagi, ternyata memang lebih dekat dan lebih jelas dari yang
tadi. "Aku adalah salah satu dari murid Nyai Garang Sayu...."
Suto memotong, "Siapa itu Nyai Garang Sayu, sepertinya aku pernah dengar nama
itu"!"
"Tentunya kau masih ingat Hulubalang Iblis!"
"Oooh... ya, ya... sekarang aku ingat. Nyai Garang Sayu adalah ibu dari
Hulubalang Iblis!"
"Benar...!"
Pendekar Mabuk segera membayangkan
pertarungan yang pernah dilakukan dengan Nyai Garang Sayu demi membebaskan
Pematang Hati, cucu dari si Kusir Hantu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Hulubalang Iblis").
Suara si Tenda Biru terdengar lagi di samping Suto Sinting.
"Aku termasuk orang keempat murid kepercayaan Nyai Garang Sayu. Ketika guruku
kau kalahkan bersama si Bocah Kolok, dan Hulubalang Iblis kau bunuh, aku segera
melarikan diri dan tak mau terlibat peristiwa itu. Sekalipun pada waktu itu aku
tidak melihat sendiri pertarunganmu dengan guruku, tapi aku mendengar cerita
tentang kesaktianmu dari teman-teman yang menyaksikan."
"Kau takut padaku?" sambil Suto tersenyun menggoda.
Keheningan terjadi sekejap. Lalu terdengar suara si Tenda Biru menjawab
pertanyaan Suto tadi.
"Aku tak terlalu takut padamu. Karena ilmuku pun sudah bertambah sejak tewasnya
mendiang Nyai Garang Sayu. Aku sempat berguru dengan seorang pertapa dari Gunung
Rangkas. Namun belum lama ini beliau meninggal setelah sebagian besar kekuatan
tenaga dalam dan mantra kesaktiannya diturunkan padaku dalam waktu singkat. Oleh
sebab itu aku berani menantang pertarungan dengan tokoh sakti dari Pulau Siluman
yang bernama Nyai Ronggeng
Iblis." "Mengapa kau menantangnya?"
"Pesan dari guruku, si pertapa sakti dari Gunung Rangkas, bahwa aku harus bisa
membunuh Nyai Ronggeng Iblis, karena menurut Guru, kekuatan Nyai Ronggeng Iblis
kelak akan mengalir ke dalam tubuh Pangkar Soma."
"Mengapa begitu?"
"Sebab Nyai Ronggeng Iblis adalah kekasih dari si Tengkuk Cadas. Cintanya yang
diabaikan oleh Tengkuk Cadas membuat Nyai Ronggeng Iblis tak mau kawin dengan
lelaki mana pun. Kesetiaan cinta itulah yang kelak akan melebur menjadi satu
dengan seluruh ilmu yang dimiliki si Tengkuk Cadas.
Sedangkan seluruh ilmu Tengkuk Cadas sekarang ada di dalam diri Pangkar Soma.
Maka seluruh kekuatan gaib Nyai Ronggeng Iblis akan menyatu di dalam diri
Pangkar Soma. Itu berarti si Pangkar Soma akan menjadi tokoh terkuat di seluruh
rimba persilatan."
"Ooo... jadi karena itulah kau mendapat tugas dari pertapa sakti itu untuk
membunuh Nyai Ronggeng Iblis?"
"Benar. Sebenarnya guruku bisa saja membunuh Nyai Ronggeng Iblis dengan
kesaktiannya."
"Mengapa tidak dilakukan?"
"Karena guruku itu adalah kakak dari Nyai Ronggeng Iblis. la tak tega membunuh
adiknya sendiri, walau hati kecilnya bertentangan dengan aliran sesat yang
dianut Nyai Ronggeng Iblis. Maka, akulah yang diutus menyelesaikan pekerjaan
itu, dan sebagai jaminannya aku mendapatkan warisan kekuatan Guru."
"Lalu, sekarang Nyai Ronggeng Iblis sudah kau
bunuh"!"
Terdengar ada napas yang menghembus bersama suara desah kecil. Walau tak
terlihat, namun Suto yakin kala itu Tenda Biru sedang menghembuskan napas,
seperti membuang kesesakan di dalam dadanya. Karena tak lama kemudian, suara
Tenda Biru terdengar lagi dengan nada duka yang amat memprihatinkan.
"Ternyata Nyai Ronggeng Iblis bukan tokoh yang mudah dikalahkan. Aku terkena
mantra kutukannya dan menjadi hilang, tak bisa dilihat dan disentuh siapa pun.
Aku juga tak bisa menyentuh Nyai Ronggeng Iblis, tapi sewaktu-waktu dia bisa
melihatku dan bisa membunuhku."
"Mengapa kau tidak dibunuhnya saja?"
"Karena Nyai Ronggeng Iblis tak berani membunuhku sebab dia tahu bahwa aku
adalah murid dari kakaknya. Aku sendiri tak memberi tahu Nyai Ronggeng Iblis
bahwa kakaknya itu sudah tewas beberapa waktu yang lalu. Oleh sebab itu aku
hanya dikutuk menjadi Gadis Tanpa Raga."
"Apakah itu berarti kau mati?" tanya Suto Sinting.
"Tidak. Aku masih hidup. Namun tak bisa dijamah dan dilihat oleh siapa pun,
kecuali oleh Nyai Ronggeng Iblis."
"Sampai kapan kau menjadi Gadis Tanpa Raga begitu?"
"Selamanya, selama Nyai Ronggeng Iblis belum mati, atau selama aku belum memakan
Bunga Kecubung Dadar!"
"Dari mana kau tahu kalau wujudmu bisa menjelma kembali jika sudah memakan Bunga
Kecubung Dadar?"
"Roh dari guruku pernah menemuiku. Tapi roh
Eyang Tapak Lintang tidak memberi tahu di mana bunga itu berada."
"Eyang Tapak Lintang itu pertapa sakti yang menjadi gurumu?"
"Benar. Dan aku tidak bisa menemui roh Guru, sebab aku tidak berada di alam gaib
atau alam kematian."
Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi. Sebelum ia bicara, suara si Tenda Biru sudah
terdengar kembali bagai membisik di telinga kiri Suto Sinting.
"Tolonglah aku, Bocah Sinting. Aku akan mengabdi kepadamu selamanya jika kau mau
menolongku mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu. Aku
bersumpah ingin masuk dalam aliran putih dan ikut memerangi kejahatan para tokoh
aliran hitam. Aku sudah bosan menjadi orang sesat, Bocah Sinting!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa kecil.
"Biarkan aku menjadi abdimu. Biarkan aku mengabdi sebagai budakmu, asal kau bisa
kembalikan wujudku sebagai gadis yang mempunyai raga dan rupa."
"Bukanlah lebih baik kau tanpa raga, bisa melayang ke sana-sini dan mencelakai
orang tanpa bisa dicelakai?"
"Jiwaku telah berubah sejak aku diangkat sebagai murid Eyang Tapak Lintang.
Entah mengapa tiba-tiba aku tidak ingin mengikuti langkah sesat yang diajarkan
oleh bekas guruku; Nyai Garang Sayu itu."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sambil
memainkan api dengan sebatang ranting panjang.
Tenda Biru perdengarkan suaranya lagi.
"Aku sudah kehilangan segala-galanya; keluarga, saudara, kekasihku pun sudah
tiada, guru pun tiada, kini aku kehilangan ragaku... ooh, haruskah aku
kehilangan jiwa suciku juga?"
Nada sendu terdengar menggelitik hati Suto Sinting. Pendekar tampan itu merasa
Sang Ratu Tawon 2 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Kilat 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama