Ceritasilat Novel Online

Gundik Sakti 2

Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Bagian 2


menghantam kedatangan sinar merah dari balik semak-semak.
Zuuub...! Blaaarrr...!
Rara Santika berhasil pecahkan sinar merah yang ingin merenggut nyawanya itu.
Ledakan besar terjadi dalam sekejap, namun gemanya masih membahana dan gema itu
mampu getarkan pepohonan besar, bahkan sempat tumbangkan pohon-pohon kecil yang
ada di sekitarnya.
Rara Santika tersentak
ke belakang, tubuhnya melayang bagai terbuang. Namun ia cepat kendalikan keseimbangan tubuh, sehingga
dalam satu gerakan salto ia mampu mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik.
Jleeg...! Ia berdiri tegak menghadap ke arah datangnya sinar merah tadi.
"Keluar kau. Setan! Untuk apa bersembunyi di balik semak, karena aku dapat
membunuhmu dari sini
sekarang juga"!"
Wuuuuusss...! Sesosok tubuh melompat dari balik semak. Orang itu bersalto dua
kali di udara, lalu dalam sekejap sudah berada di depan Rara Santika dalam jarak
empat langkah. Suto Sinting sempat terbelalak kaget melihat kehadiran orang
tersebut, sebab ia merasa kenal dengan tokoh yang baru saja muncul dari semaksemak. "Jejak Setan..."!" gumam Suto pelan sekali. Lelaki bertampang seram yang
mengenakan pakaian serba
hitam itu berusia sekitar lima puluh tahun. Suto Sinting belum lama ini
berhadapan dengan si Jejak Setan, murid dari mendiang Pelacur T ua yang bernama
Nyai Pegat Raga. Sekalipun Jejak Setan bertubuh kekar, namun Suto Sinting sempat
membuatnya lari terbirit-birit ketika Suto melindungi
Resi Pakar Pantun yang nyaris ditumbangkan oleh si Jejak Setan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Sabuk Gempur Jagat").
Untuk menyadap pembicaraan Jejak Setan dengan
Rara Santika, Suto terpaksa gunakan jurus ' Sadap Suara'
yang mampu mendengarkan percakapan dari jarak jauh itu. Pandangan matanya tetap
terarah kepada Rara Santika, sementara hatinya bertanya-tanya,
"Persoalan apa yang membuat Jejak Setan tahu-tahu menyerang Rara Santika" Apakah
ia tahu siapa Rara Santika sebenarnya?"
Jejak Setan tampak menggeram dengan sikap bermusuhan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pancaran matanya menandakan ada
dendam yang menuntut
kematian Rara Santika.
T erdengar si Jejak Setan berkata penuh geram,
"Akhirnya kutemukan juga kau di tempat ini, Iblis Betina!"
"Siapa kau" Aku tidak mengenalmu!" ketus Rara Santika.
"Hmmm...!" Jejak Setan mencibir sinis. "Boleh saja kau berlagak tidak
mengenalku, tapi tentunya kau ingat dengan Sarasati, muridku yang masih muda
belia itu"!
Baru punya satu murid sudah kau ambil sebagai tumbal dengan kelicikanmu! Sebagai
guru seorang murid yang masih
perawan, aku berhak menuntut balas atas kematiannya di tanganmu!"
"Kau salah paham! Aku tidak lakukan apa pun terhadap muridmu, bahkan baru
sekarang kudengar nama
Sarasati sebagai muridmu! Siapa kau sebenarnya"!"
"Jejak Setan!" sentak orang bermata lebar itu sambil menepuk dadanya sendiri
keras-keras. "Kau pasti ingat dengan nama Jejak Setan, murid mendiang Nyai Pegat
Raga!" "Aku tahu tentang Nyai Pegat Raga, si Pelacur T ua Itu. T api aku tak tahu kalau
ia mempunyai murid yang bernama Jejak Setan!"
"T ahu atau tidak masa bodoh! Yang penting sekarang kau harus menebus nyawa
muridku itu!"
"Kuingatkan, jangan berselisih denganku. Kau bisa celaka sendiri, Jejak Setan!"
"Aku bukan anak kecil yang perlu kau takut-takuti dengan gertakanmu! Sekian lama
aku mencarimu. Gundik Sakti, baru sekarang bisa kujumpa dan tak
mungkin akan kubiarkan pergi dalam keadaan hidup!"
Jejak Setan segera menyerang dengan satu lompatan liarnya. "Heeaaat...!"
Rara Santika sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus ke atas mengimbangi
ketinggian lompatan Jejak Setan. T endangan kaki kekar si Jejak Setan ditangkis
dengan telapak kaki Rara Santika, sehingga mereka beradu kaki dua kali berturutturut. Plak, plak...!
Pada saat tubuh mereka bergerak turun, Jejak Setan lepaskan pukulan bertenaga
dalam melalui kepalan tangannya, tapi Rara Santika menahan pukulan itu dengan
sentakkan telapak tangannya.
Plak, plak...! Jleeg...! Keduanya sama-sama mendarat, berdiri
tegak dan saling menyerang kembali. Jejak Setan putar tubuhnya dengan cepat dan
kaki pun berkelebat. Rara Santika
berusaha menangkis pukulan
itu. Plak....! Namun tiba-tiba kaki Jejak Setan yang satu lagi menyentak dalam putaran balik
dan kenai pangkal pundak Rara Santika. Dees. .!
Brrruk...! Rara Santika jatuh terpelanting ke kiri.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Jejak Setan untuk melepaskan pukulan tenaga
dalam tanpa sinar dari jarak dua langkah. Wuuut...!
Beehg...! "Uuhg...!" Rara Santika tersentak dalam pekikan tertahan. Dadanya terkena
gelombang tenaga dalam yang dilepaskan dari telapak tangan Jejak Setan. T
ubuhnya sempat terjungkal ke belakang satu kali.
Jejak Setan tak mau berhenti sampai di situ saja.
Serta-merta ia maju menyerang dengan kakinya. Namun pada saat itu Rara Santika
telah berhasil berdiri dengan satu lutut. T endangan kaki lawan segera ditangkap
dengan tangan kiri. T aaab...! Lalu tangan kanannya menghantam tulang kering
lawan. Beed, kraaak...!
"Aaaoow...!" Jejak Setan memekik kesakitan dengan mata terpejam kuat-kuat.
Rara Santika berdiri dan sentakkan tangan kanannya dalam
keadaan kelima jari mengeras lurus dan menyodok ulu hati lawan. Suuut...! Deeeb...!
"Uuuhhg...!" Jejak Setan melengkung ke depan dengan mata mendelik, mulutnya yang
ternganga segera muntahkan darah kental yang hampir-hampir kenai tubuh Rara
Santika kalau saja perempuan itu tidak segera gulingkan tubuh ke belakang dan
cepat berdiri tegak dalam satu hentakan.
Kedua tangan terangkat dengan jari masih lurus
merapat. Pada saat itu Suto Sinting sengaja datang dengan jurus ' Gerak
Siluman'-nya, bermaksud mencegah pukulan berbahaya selanjutnya. T api ia
terlambat; kedua tangan Rara Santika sudah lebih dulu bergerak cepat menghantam
pelipis kanan-kiri si Jejak Setan. Praaak...!
"Aaaahh...!" Jejak Setan memekik panjang dengan tubuh
terhuyung-huyung,
telinga, hidung bahkan matanya mengeluarkan darah kental. T ulang kepalanya retak
akibat hantaman yang menggencet
ke dua pelipisnya itu.
'Aaahg, aaahg, aaahg...!" Jejak Setan mengejangngejang di tanah. Beberapa saat kemudian segera hembuskan napas panjang-panjang,
lalu diam tak bergerak karena ditinggal pergi oleh rohnya.
Pendekar Mabuk tertegun bengong pandangi kematian Jejak Setan. Rasa sesal timbul dalam hatinya karena ia terlambat
mencegah hantaman Rara Santika.
Semula ia pikir Jejak Setan mampu bertahan dan akan larikan diri sebelum
mengalami luka parah tapi ternyata Rara Santika tak memberi kesempatan kepada
Jejak Setan untuk larikan diri. Serangannya yang beruntun telah membuat lawannya
tumbang dan tak bernyawa lagi.
Ketika pandangan mata Suto dan Rara Santika
bertemu, perempuan itu menampakkan sikap kesalnya, seakan tak mau disalahkan.
Bahkan ia berkata dengan nada dingin.
"Dia menyerangku lebih dulu. Sudah kuperingatkan agar jangan menyerangku tapi ia
nekat. Aku sekadar membela diri untuk selamatkan nyawaku!"
"Kita tinggalkan saja tempat ini! Kau ikut aku ke desa mencari kedai!"
"Aku...," Rara Santika belum selesai bicara, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu
pergi. Mau tak mau perempuan itu mengikutinya, ia berkelebat mengimbangi
kecepatan gerak Suto Sinting. Setibanya di perbatasan sebuah desa, mereka
hentikan langkah karena tangan Suto Sinting ditahan oleh Rara Santika.
"Aku menunggu di ba wah pohon tepi hutan itu saja,"
katanya kepada Suto.
"T idak. Kau harus ikut. Jika kau sendirian kau akan diserang orang lagi."
"Jika aku ikut pun akan lebih banyak yang menyerangku."
"Mengapa kau yakin akan begitu?"
"Karena banyak orang yang menyangkaku sebagai si Gundik Sakti."
"Hahh..."!" Suto Sinting terkejut, bukan karena mendengar nama si Gundik Sakti,
namun karena pengakuan Rara Santika yang seolah-olah merasa
dirinya bukan Gundik Sakti. T ak heran jika mata Suto Sinting pun memandang
tajam kepada Rara Santika dan benaknya mulai diliputi kebimbangan.
Seorang petani lewat tak jauh dari mereka. Petani bertudung anyaman daun pandan
itu dalam perjalanan pulang dari sawahnya. Suto Sinting dekati petani itu,
melakukan percakapan sebentar, menyerahkan sekeping uang, dan petani itu segera
melepas tudung pandannya.
Suto segera kembali temui Rara Santika.
"Kenakan tudung ini jika kau takut dikenali orang sebagai si Gundik Sakti. Kita
bicarakan di kedai saja!"
Kedai itu sepi pembeli. Mungkin karena banyaknya kedai di desa itu, sehingga
tidak semua kedai ramai pembeli. Sebuah kedai yang sepi sengaja dipilih oleh
Suto sebagai tempat mengisi perut mereka, sekaligus mengisi bumbung tuaknya.
Kedai yang sepi merupakan tempat yang baik bagi Suto untuk mengulas tentang
perkataan Rara Santika tadi, yang merasa takut disangka orang sebagai Gundik
Sakti. "Kalau begitu kau bukan Gundik Sakti?" Suto bicara pelan karena tak mau
percakapan itu didengar orang lain.
"Sudah kubilang, namaku Rara Santika. Aku bukan si Gundik Sakti. Selama ini
mereka salah paham padaku."
Walau sebagian wajahnya tertutup tudung pandan, namun Pendekar Mabuk dapat
melihat kesungguhan
wajah Rara Santika dalam menuturkan kata-kata itu.
Wajah cantik itu tampak murung memendam kesedihan, sepertinya ia dipaksa hanyut
dalam penderitaan nasib hidupnya.
"Di mana pun aku berada, aku selalu dimusuhi orang, karena mereka menganggapku
sebagai si Gundik Sakti.
Mereka selalu menuduhku menculik gadis-ga dis perawan untuk dijadikan tumbal di Bukit Sangkur, padahal aku tidak melakukan
tindakan sekeji tuduhan mereka."
"Kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?" pancing Suto.
"Resi Pakar Pantun...?" Rara Santika menggumam lirih, lalu merenung sebentar.
Tak lama kemudian suaranya terdengar lagi dengan pelan.
"Aku pernah mendengar nama itu; kalau tak salah ia pemilik pusaka Pisau T anduk
Hantu." "Ya, memang dia pemiliknya. T api apakah kau tak pernah bertemu dengan Resi
Pakar Pantun?"
"Belum pernah," jawab Rara Santika dengan mata memandang dari balik tepian
tudung pandannya.
"Kau kenal dengan Tembang Selayang?"
"T embang Selayang"! O, kurasa baru sekarang
kudengar nama itu. Siapa T embang Selayang itu?"
Suto sunggingkan senyum tipis berkesan kurang
percaya, "Ia seorang sahabatku."
"Apa maksudmu menanyakan nama-nama mereka
kepadaku?"
"Mereka sedang mencari Gundik Sakti dan ingin bikin perhitungan, karena sahabat
ataupun murid mereka menjadi korban penculikan si Gundik Sakti."
"Yang jelas mereka bukan mencariku. Gundik Sakti bukan Rara Santika."
"Lalu, siapa Gundik Sakti itu sebenarnya jika bukan kau?"
"Gundik Sakti adalah Rara Sumina."
Dahi Suto Sinting berkerut. "Siapa Rara Sumina itu"
Jelaskanlah!"
"Rasa Sumina adalah saudara kembarku," jawab Rara Santika dengan pelan,
sepertinya berat sekali melepas kata-kata tersebut, ia menarik napas satu kali,
kemudian berkata lagi tanpa memandang Suto Sinting yang duduk di depannya.
"Sumina lahir setelah aku keluar dari kandungan Ibu.
Kami anak kembar, tapi karena aku lahir lebih dulu, maka
Sumina-lah yang menjadi adikku dan aku kakaknya. Wajah kami sama persis, bahkan pakaian dan ciri-ciri kami juga sama
persis. Sumina sengaja tampil serupa persis denganku, karena dengan begitu ia
dapat bersembunyi di balik kesamaannya denganku."


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau juga tinggal di Gua T umbal Perawan?"
Rara Santika menggeleng. "Sejak berusia empat
tahun kami berpisah, sebab perkawinan kedua orangtua kami mengalami perceraian.
Sumina diambil Ibu dan aku dibesarkan oleh Ayah. Sayang keduanya kini telah
tiada, sehingga tak bisa dijadikan saksi bahwa aku bukan Sumina, bukan si Gundik
Sakti." "Siapa nama ibumu?" pancing Suto ingin mencocokkan dengan penjelasan Resi Pakar Pantun tempo hari.
"Ibuku dikenal dengan nama Nyai Selir Iblis, sedangkan ayahku dikenal dengan
nama Ki Panjuru Gesang."
"Hmmm... ya, nama ibunya persis seperti nama yang disebutkan Resi Pakar Pantun,"
gumam Suto dalam hatinya.
"Belasan tahun aku dan Sumina tidak pernah saling jumpa, karena Ayah dan Ibu
menjadi bermusuhan. Ayah beraliran putih, sedangkan Ibu tak mau ikut aliran
Ayah, sehingga terjadilah perceraian itu. Sesekali aku mendengar kabar tentang saudara kembarku itu, sesekali pula Sumina mendengar
kabar tentang kemajuanku.
Rupanya Ibu sangat tak suka padaku, sebab aku
mewarisi semua ilmu Ayah bahkan sampai perangai dan sifat
Ayah pun ada padaku. Sikap tak suka itu
menimbulkan permusuhan batin, sehingga Sumina selalu berusaha menggunakan ciriciriku dalam melakukan tindakan maksiatnya. Ia mempunyai mata-mata yang sampai
sekarang belum kuketahui siapa orangnya. Mata-mata itu bertugas mengirim kabar
tentang perubahan dalam penampilanku, sehingga ia pun akan lakukan
perubahan dalam penampilan sepersis diriku. Bagi orang yang sudah pernah bertemu
langsung dengan adik
kembarku, ia akan menganggapku sebagai Sumina jika kami saling bertemu di tempat
lain." "Apakah dari
jenis perhiasan juga
ditiru oleh adikmu?" "Benar. Corak dan warna perhiasan maupun pakaian selalu diusahakan sepersis
diriku. Dengan begitu, aku tak bisa membaur dalam kehidupan di antara sesama,
karena ke mana pun aku berada selalu dimusuhi oleh mereka, dianggap Sumina."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dalam renungannya. Hatinya masih diliputi keraguan atas pengakuan itu. Namun ia justru
penasaran dan ingin mendapat keterangan lebih banyak lagi dari Rara Santika.
"Aku menyangkamu sebagai Gundik Sakti karena kulihat gelangmu sama persis dengan
gelang orang yang ada dalam tandu hitam itu."
Rara Santika diam sebentar, kemudian melepas
gelang berentet batuan merah delima. Gelang itu segera diletakkan di telapak
tangan Suto dan tangan itu dipaksakan untuk menggenggam.
"Bawalah gelang ini, lalu be dakan antara aku dengan Rara Sumina. Sekarang aku
sudah tidak kenakan gelang lagi, Sumina pasti masih kenakan gelang."
Pendekar Mabuk pandangi gelang itu sesaat, kemudian segera berkata kepada Rara Santika, "Apakah kau setuju jika aku melawan
adik kembarmu?"
"T idak," jawab Rara Santika dengan tegas-tegas.
"Kau tak boleh melawannya."
"Kenapa" Apa alasanmu melarangku begitu?"
"Sumina berilmu tinggi, karena ia mendapat kekuatan dari iblis yang bernama
Darahkula. Ia mempunyai ilmu
'Jarum Kemukus', yang bisa membuatnya lolos dari kurungan serapat apa pun, asal
ada lubang sebesar jarum, ia bisa pindah ke tempat yang jauh, selama tempat itu
masih bisa dipandang oleh matanya."
"Hmmm... hampir sama dengan jurus yang dimiliki Datuk Maragam yang bernama ilmu
'Kelana Indera', sejauh mata memandang, sejauh itu pula ia bisa
pindahkan raganya," gumam Suto dalam hati saat teringat tokoh tua bernama Datuk
Maragam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Rara Santika berkata lagi, "Selain itu, jurus andalan yang paling berbahaya dan
sukar ditandingi adalah jurus
'Bayangan Iblis', dapat membunuh lawan dari jarak jauh dengan hanya membayangkan
benda lain sebagai sosok diri si la wan. Kemarin aku sempat melihat Dampak Yogan
dibunuhnya dengan jurus ' Bayangan Iblis', setelah itu aku tak sadar lagi karena
tubuhku merasa disambar
seseorang dan dilemparkan ke
seberang sungai." "Pantas ia dapat lolos dari dalam tandu," gumam Suto Sinting.
"Itulah sebabnya aku tidak setuju jika kau melawan Gundik Sakti. Ilmu yang
diwariskan oleh mendiang Ibu
kepada Rara Sumina bukan ilmu yang bisa dianggap ringan oleh para tokoh rimba
persilatan. Satu-satunya lawan tandingnya adalah aku sendiri. Sebelum ayahku
meninggal, beliau sempat
memberiku tugas untuk
melumpuhkan adik kembarku, jika bisa dilumpuhkan tanpa harus membunuhnya, tapi
jika terpaksa apa boleh buat, semasa kematiannya itu demi keselamatan orang
banyak. T etapi mendiang Ayah pun berpesan, jika aku harus membunuh adikku, Gua
T umbal Perawan harus dihancurkan pula, dan kekuatan si Darahkula harus
dimusnahkan. Itu berarti aku harus sudah siap mati melawan orang-orang Bukit
Sangkur yang berada dalam pengaruh kekuatan si iblis Darahkula."
Pendekar Mabuk diam membisu dalam lamunan.
Namun hatinya masih saja resah dililit keragu-raguan.
Hati pun membatin berbagai pertanyaan yang mengganggu ketenangan jiwa murid sinting Gila T uak itu.
"Benarkah yang kudengar ini sebuah pengakuan dai jiwa yang jujur" Jangan-jangan
hanya sebuah permainan untuk mengelabuiku" Haruskah aku percaya"!"
* * * 6 BERULANG kali Rara Santika menyarankan agar
Suto Sinting tidak coba-coba menantang pertarungan dengan Gundik Sakti. Tetapi
saran itu justru memacu
semangat Suto untuk segera menemui Gundik Sakti dan lakukan
pertarungan. Repotnya, kepercayaan Suto Sinting kepada Rara Santika menjadi semakin tipis setiap kali Rara Santika
memberi saran untuk tidak melawan Gundik Sakti.
"Dulu aku pernah terkecoh oleh saran baik seperti itu.
T ernyata justru orang yang memberiku saran itulah musuh yang harus kuhadapi,"
pikir Suto Sinting sambil mengenang masa pertemuannya dengan Pipit Serindu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan Pelacur T ua"). Rupanya
pengalaman itu yang membuat Pendekar Mabuk bertambah penasaran dan semakin
menaruh curiga kepada Rara Santika.
"Satu hal perlu kau ketahui, bahaya yang akan mengancammu dan sulit kau hindari
jika berhadapan dengan saudara kembarku itu adalah kekuatan ilmu peletnya," kata
Rara Santika ketika mereka melangkah tinggalkan kedai. "Sumina mempunyai ilmu
pemikat sangat kuat. Jika ia berkeliaran, bukan hanya seorang perawan yang
dicarinya untuk tumbal Darahkula, tetapi ia juga mencari seorang lelaki muda dan
tampan untuk dijadikan pemuas gairahnya. Dan apabila lelaki itu sudah tidak
mampu lagi memuaskan hasratnya, orang itu akan dibunuh atau dijadikan budak
penggali terowongan bawah tanah."
"Aku masih bisa atasi hal itu."
"T idak. Aku tidak ingin kau coba-coba mengatasi, kalau kau gagal tak dapat
kubayangkan betapa sedihnya rimba persilatan kehilangan seorang pendekar
sepertimu. Barangkali saat itu pula murkaku timbul dan aku akan mengamuk membabi buta di
dalam Gua T umbal
Perawan." "Mengapa begitu?"
"T ak perlu kau tahu jawabnya, yang jelas, jika kau ingin lakukan pertarungan
dengan adik kembarku, lakukanlah
setelah kau lihat bangkai mayatku dicampakkan oleh Sumina!"
"Itu berarti aku harus melawanmu dulu jika harus melawan Gundik Sakti?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Suto. Kalau aku sudah tiada, aku tak akan melihat
dirimu diperbudak oleh nafsu adik kembarku. Hanya itu maksudku berkata seperti
tadi," Rara Santika bicara dengan lembut dan lirih, seakan penuh resapan di
dalam hatinya. "Jadi...," sambung Rara Santika, "... sebaiknya kita berpisah di sini saja dan
jangan mengikutiku, karena aku akan mencari adikku dengan arah menuju Bukit
Sangkur. Pergilah ke tempat lain, Suto. Jangan teruskan niatmu mendampingiku.
Aku tak ingin kau jatuh dalam pelukan Gundik Sakti itu!"
Kata-kata yang terakhir mempunyai makna lebih
dalam dari sekian kata-kata yang telah terucap. Pendekar Mabuk menangkap adanya
rasa cemas yang berlebihan dalam hati Rara Santika. Rasa cemas itu timbul karena
tunas-tunas kecemburuan mulai menghiasi tepian hati Rara Santika.
"Ah, kurasa itu hanya sebuah permainan rasa yang sangat kuat saja," batin Suto
membantah kata hatinya
sendiri. "Dia pandai berpura-pura, sehingga mampu menutupi kenyataan dirinya.
Aku tak boleh hanyut dalam permainannya."
Rasa cemas perempuan
yang takut kehilangan seorang lelaki semakin ditampakkan oleh Rara Santika melalui ucapannya yang
diiringi tatapan mata dari balik tudung pandan itu.
"Jika kau mau jatuh dalam pelukan perempuan, jatuhlah ke dalam pelukan perempuan
lain. Jangan dalam
pelukan adik kembarku. Itu akan lebih menyakitkan bagiku."
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum kecil,
seakan meremehkan pernyataan hati Rara Santika.
Dalam benaknya segera timbul niat untuk memancing perasaan Rara Santika dengan
menceritakan kejadian aneh saat Suto bangun tidur tadi pagi.
Wajah Rara Santika tersentak kaget dan menegang ketika mendengar cerita Suto
telanjang saat bangun tidur. Wajah itu menjadi semburat merah setelah Suto
mengatakan, "Aroma yang menempel di badanku adalah we wangian yang ada pada tubuhmu."
"Oooh..."! Benarkah begitu"!"
T angan Suto Sinting segera disambarnya. T angan itu dicium oleh Rara Santika
dari telapak tangan sampai ke pangkal lengan. Perempuan itu menjadi tambah
tegang. Hidungnya mengendus-endus di sekitar dada Suto
Sinting, lalu merayap ke leher dan mengelilingi tubuh Suto. Perbuatan itu tak
bisa dihentikan oleh Suto Sinting
sebab ia membutuhkan bukti kebenaran dari ceritanya itu. Mau tak mau ia rela
diciumi Rara Santika. Untung hal itu dilakukan di tempat sepi yang terlindung
dari tanaman rambat cukup rimbun, sehingga Suto tak begitu khawatir akan ada
yang melihat perlakuan mereka.
"Celaka!"
geram Rara Santika setelah selesai menciumi bagian tengkuk Suto Sinting.
"Pahaku pun berbau harum seperti wewangian pada tubuhmu, Santika!"
Perempuan itu segera menciumi paha Suto untuk
membuktikan kebenarannya. Hidungnya mengendusendus dengan se dikit menempel pada paha Suto, bahkan ciuman itu sampai ke
betis, lalu naik lagi ke paha dan naik lagi... ke perut. Baju Suto disentakkan
hingga terlepas dari ikat pinggangnya. Hidung perempuan itu menempel di perut
Suto, lalu menjalar naik ke ulu hati, terus naik ke dada, ke leher, ke dagu, dan
akhirnya mulut perempuan itu tiba di depan mulut Suto Sinting.
"Edan orang ini!" gerutu Suto dalam hati. "Mau apa bibirnya bertolak pinggang di
depan bibirku"! Uuuh...!
Kukecup baru tahu rasa kau!"
Debar-debar hati akibat ciuman Rara Santika tadi membuat Pendekar Mabuk akhirnya
nekat mengecup bibir perempuan tersebut. Namun baru saja kepalanya maju ke depan, kepala Rara
Santika sudah lebih dulu mundur
buang muka sambil mendengus penuh kecemasan. "T ak salah lagi!" katanya dengan nada menggeram.
Suto Sinting yang kecele menjadi malu-malu dongkol, lalu berkata menimpali ucapan itu, "Ya, memang tak salah lagi, akhirnya
yang kudapatkan hanya angin. Hmmm... rasanya lebih nikmat mengecup angin
daripada mengecup bibir seranum delima."
Sindiran itu tak dihiraukan oleh Rara Santika. Dalam benak perempuan cantik itu


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dipenuhi oleh
kecamuk yang menegangkan, sehingga ia bagaikan
kehilangan selera bercinta, bagaikan tak memiliki hasrat untuk bermesraan, ia
pandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata cukup tajam. Suto Sinting jadi
salah tingkah sendiri, akhirnya membuka tutup bumbung tuaknya dan meneguk tuak
beberapa kali. "Berarti semalam ia telah datang ke tempat kita, Suto.
Semalam ia telah... telah merenggut kehangatanmu ketika kau tidur dengan
nyenyak." "Dia atau kau?" pancing Suto dengan kalem.
"Dia!" sentak Rara Santika dengan jengkel, karena ia malu jika dituduh merenggut
kehangatan Suto pada saat si tampan tertidur. "Aku tidak pernah lakukan hal
seperti itu. Jangan rendahkan diriku, Suto!"
"Mengapa aroma wangimu masih tertinggal di kulit tubuhku?"
"Sumina juga mempunyai keringat beraroma wangi seperti yang kumiliki. Ketika
kami masih berusia delapan hari, kami dimandikan oleh Ayah di T elaga Seribu
Bunga, se belum telaga itu kering akibat
kebakaran hutan. Barang siapa semasa bayinya dimandikan dengan air Telaga Seribu Bunga, maka bau keringatnya akan selalu
menyebarkan aroma wangi.
Zaman dulu, T elaga Seribu Bunga dijadikan pemandian para ratu, permaisuri, atau
para selir raja. Telaga itu dalam kekuasaan ibuku, karena Ibu semasa mudanya
adalah dayang perawat pemandian T aman Keputren.
T elaga itu terletak di dalam reruntuhan T aman
Keputren."
Pendekar Mabuk membisu seribu kata, tangan kirinya bersandar pada batang pohon.
Pandangan matanya
menatap lurus ke tanah di depannya. T atapan mata itu jelas sebuah terawang
bayangan mengenang adegan semalam. Jika
benar semalam ia telah
direnggut kehangatannya oleh Gundik Sakti, maka berarti 'kesucian' Suto telah hilang dan tidak layak mengaku sebagai 'perjaka tingting'. Lalu, bagaimana dengan kesucian cintanya terhadap Dyah Sariningrum"
Apakah juga ikut ternoda sementara hal itu terjadi di luar batas kesadaran Suto"
Rara Santika memecahkan kebisuan di antara mereka,
"Kalau aku yang melakukannya, jelas tak mungkin dalam
keadaan kau sedang tertidur.
Aku bukan perempuan bodoh. Aku pernah menikah selama dua
tahun, lalu suamiku serong dengan perempuan lain dan aku jijik melayaninya, kami
pun bercerai dan hidup sendiri-sendiri. Aku bisa merasakan mana yang terbaik
dalam menikmati kemesraan bersama seorang lelaki.
Untuk apa aku merenggut kehangatanmu dalam keadaan tidur, sama halnya aku
mencari pemuas dahaga dengan sebatang gedebog pisang. T ak ada
keindahan di dalamnya."
Sekalipun telah mendengar pernyataan seperti itu, tetapi hati kecil Suto Sinting
masih diliputi keraguan; benarkah
bukan Rara Santika yang merenggut kehangatannya" Satu hal lagi yang masih meragukan Suto ialah kebenaran atas
tindakan itu. Benarkah seseorang telah merenggut kehangatannya"
"Apakah kau tak terasa sedang digeluti seseorang"
Mengapa kau tak terjaga dari tidurmu?"
"Itu yang kupikirkan," kata Suto Sinting. "Aku sama sekali tidak merasa apa-apa.
Biasanya aku mudah terjaga dalam tidur walau hanya mendengar rumput kering
terinjak kaki manusia. T api semalam rasa-rasanya aku seperti mati."
"Sumina telah menggunakan ilmu sirep yang bisa membuat kita tertidur nyenyak
bagaikan mati. Sekalipun begitu, apa benar kau tidak merasakan gerakan apa pun
saat ia menggelutimu?"
"T idak kurasakan apa-apa! Aku tidak merasa dicium, tidak
merasa dipeluk, bahkan tidak merasa mengeluarkan... mengeluarkan anggota badan. T idak sama sekali, Santika!"
"Aneh. Sebegitu kuat daya sirepnya"!" gumam Rara Santika sambil matanya
memandang hampa ke arah
pucuk-pucuk rerumputan di kaki Suto Sinting.
Jaraknya dengan Suto hanya tiga langkah. Hal itu memungkinkan sekali bagi
Pendekar Mabuk untuk
meraih tubuh Rara Santika ke dalam pelukannya.
Dengan sekali gerak, tubuh sekal berdada montok itu telah berada dalam pelukan
Suto Sinting. T entu saja hal itu mengejutkan bagi Rara Santika, hingga secara tak sadar
tangannya bergerak meronta dan hatinya pun dibakar kemarahan.
"Apa-apaan kau ini"!" sentak Rara Santika.
Suto menyodorkan tangannya, Rara Santika terperanjat melihat sekeping logam berbentuk bintang segi enam terselip di sela
jemari Suto. Logam bintang itu tak lain adalah senjata rahasia seseorang yang
melesat dari balik pepohonan seberang. Senjata rahasia beracun itu ditujukan ke
punggung Rara Santika, berarti di sekitar situ ada orang yang menghendaki
kematian Rara Santika.
Perempuan berjubah merah jambu itu segera menjadi tegang dan memasang
kewaspadaan tinggi. Matanya memandang alam sekitarnya dengan nanar, penuh
tekanan amarah yang terpendam di dada.
"Ada yang bersembunyi di balik batu tinggi di ba wah pohon itu," bisiknya kepada
Suto Sinting. "Biar kuperiksa ke sana!" balas Suto, lalu segera melesat
dengan kecepatan tinggi mirip orang menghilang ditelan bumi. Zlaaap...!
"Siapa pun orangnya, tak mungkin kuserang demi membela Rara Santika. Sebab aku
masih kurang yakin dengan pengakuannya. Jika aku berada di pihaknya, bisa-bisa
sikapku itu menimbulkan rasa sesal sendiri seandainya ternyata ia adalah Gundik
Sakti. Kurasa orang yang berusaha membunuhnya pasti punya dendam kepada Gundik
Sakti. Akan kudesak dulu orang itu untuk menjelaskan hal-hal yang belum
kuketahui tentang
Gundik Sakti agar dapat kupakai menilai kebenaran pengakuan Rara Santika tadi."
Kecamuk batin itu akhirnya berhenti karena pandangan mata Suto tak berhasil temukan penyerang gelap. Kejap berikutnya ia
mendengar suara Rara Santika terpekik tertahan dan sangat samar-samar.
"Aaahg...!"
Pekikan pendek itu mengundang perhatian Suto
Sinting dan rasa penasaran yang menggoda hati. Maka dengan cepat ia berkelebat
kembali ke tempat asal.
T ernyata Rara Santika masih berada di tempat itu.
Perempuan tersebut sedang mengusap-usap leher kirinya dengan wajah sedikit
menyeringai. "T ak ada orang yang kutemukan di sana," ujar Suto sambil mendekat. "Kenapa kau
terpekik, Santika?"
"Orang itu menyerangku lagi," ucapnya dengan suara agak parau.
"Ada apa dengan lehermu?" Suto Sinting curiga, kemudian menarik tangan Rara
Santika yang sedang mengusap-usap leher. Dahi Suto Sinting segera berkerut
melihat noda hitam membekas jelas di leher kiri Rara Santika.
"Kau... oh, lehermu terluka, Santika!"
"Membekas merah?"
"Membekas hitam, bagaikan hangus terbakar!"
"Oh, celaka...!" ia tampak tegang. "Besarkah noda hitam ini?"
"Sebesar kacang tanah."
"Keparat orang itu! Ia menyerangku dengan sesuatu
yang tak sempat kulihat. Mungkin seberkas sinar, mungkin pula sebuah benda
kecil. T api... rasanya napasku makin lama semakin sesak."
"Bahaya sekali ini, Santika!" gumam Suto Sinting bernada cemas. "Minumlah tuakku
biar noda hitam itu hiiang."
"T idak, tidak... aku tidak terbiasa minum tuak. Bisa muntah seisi perutku jika
dipaksakan meminum tuak."
"T api...," Suto Sinting terbungkam seketika. Noda hitam yang dipandanginya itu
bergerak bagaikan pindah tempat. Dari keadaan di dekat telinga menjadi turun ke
bawah mendekati pundak.
"T unggu dulu, jangan bergerak...!" sergah Suto Sinting sambil tangannya sedikit
memiringkan kepala Rara Santika. Noda hitam itu dipandanginya tanpa kedip
beberapa saat lamanya.
"Oh, dia bergeser lagi ke belakang"!" gumam hati Suto Sinting penuh keheranan
yang menegangkan.
Biasanya, luka bakar tak akan bisa bergerak ke sana-sini. T api luka bakar yang
satu ini mampu bergeser mendekati tengkuk
bagaikan binatang aneh yang merayap. Suto Sinting teringat sesuatu dalam benaknya.
"Setahuku, luka seperti ini hanya terjadi akibat jurus
'Racun Simalakama'. Racun itu akan menyumbat saluran pernapasan dan jalan darah
secara perlahan-lahan sampai akhirnya si korban menemui ajal. T etapi jika noda
hitamnya dihilangkan dengan cara diberi ramuan obat apa
pun, justru akan mempercepat kematian penderitanya. Hilangnya noda hitam sama saja hilangnya
nyawa penderitanya."
Rara Santika menegur Suto karena terlalu lama
mereka saling membisu.
"Apa yang kau lihat" Kemulusan leherku atau noda itu?"
Pendekar Mabuk hembuskan napas, melepaskan
tangannya hingga kepala Rara Santika tegak kembali.
Wajah perempuan itu tampak sedikit berbeda, agak pucat dari sebelum terjadi
serangan tadi. "Kau terkena jurus 'Racun Simalakama', Santika."
Nada bicara Suto terdengar lemah pertanda ia
semakin dicekam kegelisahan dan kesedihan, ia segera menjelaskan
tentang akibat dari jurus 'Racun Simalakama' yang tak ada obat penawarnya itu. Tapi penjelasan tersebut tidak
membuat wajah Rara Santika berubah menjadi cemas.
"Jika benar aku akan mati, berarti sudah selayaknya aku menikmati keindahan
hidup di dunia sepuas-puasnya, Suto. Keindahan itu hanya bisa kunikmati jika
bersamamu."
"Mengapa kau tak merasa cemas" Mengapa justru tersenyum tenang?"
"Karena aku merasa mampu menawarkan segala jenis racun di seluruh dunia. Kau tak
perlu khawatirkan diriku, Suto Sinting. Aku hanya merasa sedikit sesak napas dan
kurang enak badan. Antarkan aku kembali ke reruntuhan biara itu, Suto. Aku akan
sembuhkan diri di sana."
Pendekar Mabuk dililit kebingungan dan kebimbangan, ia tahu persis bahwa
jurus 'Rac un Simalakama' hanya dimiliki oleh satu orang. Di seluruh dunia tak ada orang yang
memiliki jurus 'Racun
Simalakam' kecuali penguasa negeri Puri Gerbang
Surga wi di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati dan bernama asli
Dyah Sariningrum.
Itulah sebabnya Suto Sinting sempat gemetar dan berdebar-debar hatinya. Karena
jika benar noda hitam itu akibat 'Racun Simalakama', berarti Dyah Sariningrum
ada di sekitar tempatnya berada. Sedangkan Dyah Sariningrum adalah calon
istrinya yang sudah digariskan sesuai kodrat kehidupan sang Pendekar Mabuk,
(Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode : "Pusaka T uak Setan").
Jika bukan urusan yang sangat pribadi dan teramat penting, tak mungkin seorang
ratu keluar dari istananya, bahkan keluar dari pulau tempatnya bertakhta seperti
saat itu. Pendekar Mabuk diguncang perasaan antara percaya dan tidak.
"Mudah-mudahan noda hitam itu bukan akibat Jurus
'Racun Simalakama'. Tapi... menurut cerita Dewa Racun, pengawal
setia calon istriku itu, jurus 'Racun Simalakama' mempunyai ciri yang tidak dimiliki racun lain, yaitu meninggalkan
noda hitam dan noda itu bisa bergerak di permukaan kulit manusia," ujar Suto
dalam hati sambil membayangkan percakapannya dengan
Dewa Racun yang terjadi saat ia berkunjung ke Pulau Serindu be berapa waktu yang
lalu. Dewa Racun-lah yang mengatakan bahwa di dunia ini tak ada orang yang
memiliki

Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus 'Racun Simalakama' selain Dyah Sariningrum; Ratu negeri Puri Gerbang Sur gawi di alam nyata. Gusti Ratu Kartika
Wangi, ibu Dyah Sariningrum yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surga wi di
alam gaib itu pun tidak memiliki jurus 'Racun Simalakama', padahal ia tokoh
terpandang yang paling ditakuti para tokoh tua di rimba persilatan.
"Ciri-ciri orang yang terkena 'Racun Simalakama'
pada awalnya ialah diserang rasa ketakutan yang sangat besar, sehingga ia bisa
menjadi orang yang paling pengecut di dunia ini. Melihat benda apa pun tampak
menyeramkan dan menakutkan baginya. Namun hal itu terjadi selama beberapa saat
saja. Setelah itu, keberanian orang tersebut akan tumbuh kembali dan menjadi
seperti semula.
Pada saat keberanian itu timbul,
'Racun Simalakama' telah menguasai seluruh jaringan darah dan pernapasan. Makin lama
akan semakin mempersempit jaringan
itu, sampai akhirnya menewaskan orang
tersebut, itulah cara membunuh yang tidak sekejam membantai menggunakan pedang."
Begitu kata-kata Dewa Racun yang sempat terngiang di telinga Suto Sinting. Untuk
meyakinkan kebenaran tentang racun yang mengenal leher Rara Santika, Suto pun
segera ajukan pertanyaan ketika Rara Santika mulai meraih lengannya dan
minta diantar kembali
ke reruntuhan biara.
"Perasaan apa yang kau alami ketika serangan itu mengenaimu?"
"Hmmm... perasaan takut. T akut sekali. Melihat batu
saja takut. T api, ah... sudahlah. Perasaan itu sekarang sudah tak ada lagi
padaku. Mengapa harus kau
hiraukan?"
"Karena rasa takut yang timbul itulah ciri khusus pada penderita 'Racun
Simalakama'. Kau akan mati, Santika!"
"T idak mungkin. Kau akan lihat sendiri hasilnya setelah kulakukan semadi di
ruang bawah reruntuhan biara itu! Antarkan aku ke sana. Temanilah aku, Suto,"
Rara Santika bernada manja dengan suaranya yang masih sedikit parau. Suto
menganggap perubahan suara parau itu akibat dari terkena racun tersebut.
"Hei, mengapa tak kau cari penyerangmu itu"!
Se baiknya biarkan aku mencarinya di sekitar sini!"
"T ak perlu. Kulihat ia telah lari terbirit-birit sebelum kau
datang tadi. Aku sempat lepaskan pukulan berbahaya yang dapat membuat raganya menjadi lumer.
Rupanya ia kenali jurus itu, dan ia pun lari sebelum jurus keduaku mengenainya."
"Lelaki atau perempuan penyerangmu itu?"
"Hmmm... mungkin seorang perempuan, sebab kulihat gerakan rambutnya meriap saat melesat pergi dari persembunyiannya,"
jawab Rara Santika sambil semakin bergelayut di pundak Suto. "Sudahlah, jangan
banyak bicara soal penyerang gelap itu. Lekas kita tinggalkan tempat ini, aku
butuh tempat khusus untuk lakukan semadi penyembuhan!"
Pendekar Mabuk menjadi seperti orang bodoh.
Kecamuk hati yang meresahkan membuatnya menuruti
langkah Rara Santika dan membiarkan lengannya
dipeluk erat oleh perempuan itu. Pertanyaan terbesar dalam benak Suto kala itu
adalah, "Benarkah Dyah Sariningrum, kekasihku, ada di sekitar sini"!"
* * * 7 DUA orang berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul dari tikungan kaki bukit
cadas. Kedua orang itu langsung berlutut satu kaki, meletakkan kepalan tangan
kanannya ke tanah sedangkan tangan kirinya memegangi pinggang, keduanya sama-sama tundukkan kepala bagai memberi hormat. Kemunculan
dua lelaki itulah yang membuat langkah Suto dan si perempuan cantik itu
terhenti. Dahi Suto Sinting berkerut ketika salah satu dari kedua orang berpakaian hitam
itu berkata dengan suara lantang dan tegas namun penuh hormat.
"Ketua, kami telah dapatkan seorang calon, sekarang sedang diba wa ke Bukit
Sangkur. Kami harap Ketua segera kembali untuk penyucian sang calon sebelum
purnama tiba."
Mata tajam Suto melirik Rara Santika. Yang dilirik menjadi gusar sesaat, lalu
membentak kedua orang itu dengan maju selangkah.
"Siapa yang kalian panggil 'ketua' di sini"! Jangan bicara sembarangan di depan
kami kalau nyawa kalian tak ingin melayang!"
"Maaf, Ketua... kami hanya memberitahukan tentang calon yang sudah kami
dapatkan."
"Calon apa"!" bentak Rara Santika dengan lebih keras lagi. Ia tampak berang
sekali, terlebih setelah tahu diperhatikan oleh Suto Sinting. Dengan rasa tak
enak hati, ia dekati Suto Sinting dan berkata pelan dalam bisik.
"Mereka pasti orang Bukit Sangkur. Mereka sangka aku si Gundik Sakti, ketua
mereka!" "Kalau kenyataannya memang demikian, mereka tak salah
memanggilmu sebagai ketua," kata Suto memancing sikap perempuan itu.
"Aku tidak mengenal kedua orang itu!" geramnya dengan cemberut. Kemudian ia
segera berbalik arah dan temui kedua orang yang masih berlutut satu kaki itu.
"Perglah kalian, aku bukan Gundik Sakti!"
Kedua orang itu sama-sama mendongak dan memandang dengan mulut terbengong. Mereka berdiri secara pelan-pelan dan mata
mereka tak berkedip pandangi Rara Santika. Salah seorang berkata dengan suara
pelan. "T ak mungkin. Kami kenal betul Ketua kami."
Yang satunya menyahut, "Suara Ketua tak bisa kami lupakan."
"Dasar bodoh!" bentak Rara Santika. "Ini upah kebodohan kalian!" Slaaaap...!
Dua tangan maju ke depan. Lengan dan jarinya lurus dan mengeras. Dari ujungujung jari itu keluar dua sinar hijau muda ber bentuk seperti mata tombak. Sinar
hijau itu mempunyai ekor bersinar merah yang mirip tali kecil.
Kedua sinar hijau itu menghantam dada kedua orang berpakaian serba hitam itu.
Jlab, jlaab...!
"Aaaaahg...!"
Keduanya sama-sama terpekik serempak, tubuh mereka terpental melayang ke belakang, kemudian jatuh berdebum ke bumi. T ubuh kedua orang itu pun
mengepulkan asap. Makin lama semakin tebal. Pemandangan itu diperhatikan oleh
Pendekar Mabuk tanpa berkedip. Sampai asap tebal itu menjadi tipis kembali, lalu
hilang musnah tertiup angin.
Kini yang tinggal adalah kerangka berbaju, tanpa sekerat daging pun. Senjata
mereka masih terselip di pinggang masing-masing.
"Jurus edan!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Perempuan berdada sekal itu kembali temui Suto Sinting dengan senyum kecil.
"Hukuman itu layak mereka terima sebagai imbalan atas penghinaan mereka yang
menganggapku sebagai Gundik Sakti!"
Dengan suara ragu Suto berucap kata, "Seharusnya tidak sekejam itu, Santika. Kau
perlakukan mereka dengan tidak manusiawi sekali. Mereka masih bisa diberi
penjelasan sampai akhirnya percaya bahwa kau bukan Gundik Sakti, melainkan
saudara kembarnya."
"Ah, itu terlalu lama dan bertele-tele. Mereka bisa membuat kita kehabisan
waktu!" Perempuan itu maju selangkah lagi hingga jaraknya tinggal satu langkah dari
depan Suto. Bibirnya yang menggemaskan
sunggingkan senyum menggoda, matanya mengerling sambil berucap kata,
"Jangan buang-buang waktu.
Setelah kulakukan
pengobatan untuk menawarkan racun di tubuhku, kita akan punya banyak waktu untuk
merajut keindahan di ruang bawah reruntuhan biara itu, Suto."
Kling...! Mata kiri perempuan itu berkerling lagi.
Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot. Kaget namun segera merasakan keindahan
mengalir di setiap aliran darahnya. Rasa indah itu telah menimbulkan perasaan
kagum dan bahagia yang menguasai jiwa. Senyum si murid sinting Gila T uak itu
pun segera mengembang mempesona hati lawan jenisnya.
"Kita harus cepat sampai ke tempat kita semalam, lalu kita lewatkan saat-saat
indah di sana."
Suto menjawab dengan debaran hati penuh rasa suka cita tiada terkira. Bahkan
tangannya berani mencubit dagu perempuan cantik itu tanpa canggung lagi.
"Akan kuberikan yang terindah untukmu. T api berikan pula yang paling indah
untukku." "Aku tak bisa menolak tantanganmu, Suto. Hi, hi, hi...." Rara Santika tampak
kegirangan. Mereka segera berlari menuju tepian sungai. Mereka menyusuri tepian
sungai dengan saling bergandengan tangan. Bahkan sesekali mereka berhenti untuk
saling beradu pandangan mata dan berkata dalam bisik, seakan suara hati mereka
saling bertukar rasa.
"Aku sudah tak sabar lagi, Suto."
Pendekar Mabuk berseri-seri, tangan perempuan
cantik itu diangkat dan diciumnya dengan lembut.
Si perempuan sempat mendesah,
"Oh, ya... hangat sekali ciumanmu."
"Akan kuberikan yang terhangat
untukmu, tapi berikan pula yang paling hangat untukku, Santika!"
"Kehangatanku akan mengalir terus untukmu, Suto.
Hanya untukmu, Sayang. Oooh...," perempuan itu menjatuhkan diri dalam pelukan
Suto Sinting, ia sodorkan
wajahnya agar diciumi oleh si tampan bertubuh kekar dan berdada bidang itu.
Namun tiba-tiba Suto Sinting segera memeluk tubuh Rara Santika kuat-kuat dan
membawanya melesat ke udara. Wuuuuss...! T ubuh mereka saling berpelukan di
atas, karena mata tajam Suto sempat
menangkap seberkas sinar sebesar telur puyuh meluncur dengan kecepatan tinggi, lalu
menghantam sebongkah batu di kaki tanggul sungai.
Blaaar...! Batu itu hancur menjadi serpihan kecil, lebih kecil dari batuan kerikil.
Serpihan itu menyebar ke angkasa dan membuat tempat di sekitar situ bagaikan
mengalami hujan batu. Seandainya Suto Sinting tidak membawa tubuh Rara Santika
melesat ke udara, tentunya kedua tubuh mereka akan mengalami nasib seperti batu
sebesar kerbau itu.
"Siapa orang yang menyerang kita, Suto"!" mata perempuan cantik itu menjadi
lebar dan berkesan liar.
"Dia ada di seberang sungai!" kata Suto Sinting dengan
mata mengecil untuk memperjelas penglihatannya.
Se bongkah batu tinggi dipakai bersembunyi seseorang. Kainnya kelihatan sedikit dari tempat mereka berdiri. Rara Santika
segera lepaskan pukulan jarak jauhnya sambil berseru,
"Keluar kau dari situ, Keparat! Hiaah...!"
Slaaaap...! Ia bagaikan melemparkan pisau ke arah seberang
sungai, namun yang keluar dari tangannya adalah seberkas sinar merah berbentuk
menyerupai bintang.
Sinar itu segera menghantam batu besar dengan telak sekali.
Blegaaar...! Batu itu hancur lebur menjadi debu dalam sekejap.
Orang yang ada di balik batu itu melenting ke atas dan bersalto beberapa kali,
lalu hinggap di atas sebuah batu datar yang ada di tengah sungai dangkal itu.
Jleeeg...! Suto Sinting terkesiap pandangi sosok yang berdiri di atas batu. Ia melirik Rara
Santika sejenak, ternyata perempuan
itu menatap dengan mata menyipit. Pandangan matanya memancarkan permusuhan yang
dalam. Sementara Itu Suto Sinting menahan debar-debar ketegangan dalam hatinya,
mencari cara terbaik untuk mengambil sikap dalam keadaan seperti itu.
"Gundik Sakti!" seru orang tersebut, "T ak ada waktu lagi kau untuk sembunyi
maupun lari! Sudah saatnya kau mati menebus dosa-dosamu, Gundik Sakti!"
"Kau salah pandang, Raja Maut. Aku bukan Gundik Sakti! Bukalah matamu lebarlebar supaya nyawamu tidak mati sia-sia!" seru Rara Santika dengan lantang.
Sementara itu Suto Sinting hanya berkata dalam hatinya,
"Sepertinya aku pernah kenal orang itu. Hmmm...


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Maut"! Di mana aku pernah kenal dia" Kapan aku pernah bertemu" Hmmm...
kalau tak salah dia adalah tokoh tua yang tinggal di Bukit.... Bukit... aduh.
Bukit apa namanya" Kenapa aku bisa lupa begini?"
Suto Sinting mencoba mengingat-ingat tokoh tua
yang jenggot dan-rambutnya berwarna abu-abu, berusia sekitar tujuh puluh tahun
kurang sedikit, mengenakan jubah putih kusam dan berbadan kurus dengan mata
cekungnya tampak tajam jika memandang seseorang.
Tokoh tua itu sebenarnya sangat akrab dengan Pendekar Mabuk, karena ia adalah
sahabat dari si Gila T uak, guru sang Pendekar Mabuk. T etapi saat itu ingatan
Suto bagai dikebiri, sehingga tak mampu mengingat dengan baik tentang tokoh
bertongkat hitam yang meliuk-liuk seperti ular itu. Ia bahkan tak mampu
mengingat nama Bukit Semberani sebagai tempat kediaman si Raja Maut itu.
Suara tua si Raja Maut masih terdengar cukup
lantang, wajahnya kelihatan memancarkan kemarahan cukup besar, ia berseru
kembali kepada Rara Santika,
"Gundik Sakti, mata tuaku ini tak bisa ditipu oleh kelicikanmu! Aku masih cukup
jelas mengenalimu
sebagai orang yang membawa lari muridku; Sri Murti, dan menjadikannya sebagai
tumbal tiga purnama yang lalu! Sekarang aku menuntut
balas atas kematian
muridku itu, juga atas kematian para tumbal lainnya!"
"Jika kau masih bersikeras untuk mengadu kesaktian denganku, aku pun akan
melayanimu dengan senang
hati, Monyet T ua!" seru perempuan itu dengan keras dan berkesan kasar, ia
segera dekati Suto Sinting yang sedang bingung dalam mengambil sikap dan
berbisik lirih,
"Menjauhlah sedikit, biar kubereskan dulu si monyet tua ini! Jangan ikut campur,
karena dia berilmu lumayan tinggi."
"Mengapa... mengapa ia bersikeras menganggapmu sebagai Gundik Sakti, Santika?"
"Itulah kebodohannya. Kebodohan itu harus dibantai agar tidak menular kepada
kita dan orang lain."
T iba-tiba Raja Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Suto, apakah kau ada di pihak si perempuan keparat itu"!"
Suto Sinting hanya bisa bungkam mulut dan pandangi Raja Maut dengan hati gundah.
Saat itu, Rara Santika berkata dengan kesan mendesak Suto Sinting untuk mundur,
"Jangan hiraukan kata-katanya. Lekas menjauh, aku akan segera lenyapkan dia
dalam dua jurus!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sebentar, kemudian melangkah menjauhi Rara Santika. Gerakan mundurnya itu diperhatikan
oleh Raja Maut dengan keheranan tersimpan di hati. Bahkan hati sang tokoh tua
itu pun bertanya-tanya,
"Mengapa ia sepertinya tidak mengenaliku" Mengapa ia tak mau memihakku" Apakah
ia telah terkena ilmu pelet si keparat Gundik Sakti itu"! Biasanya ia tak
bersikap demikian!"
"Raja Maut, sekarang apa maumu, hah"!" tantang perempuan itu dengan sikap siap
hadapi pertarungan.
Raja Maut menggeram, genggaman pada tongkatnya
semakin kuat. "Binasalah kau, Manusia T erkutuk! Heeeah...!"
Raja Maut sentakkan tongkatnya ke depan dalam
keadaan kepala tongkat mengarah lurus. Dari kepala tongkat
itu keluar sinar merah terputus-putus membentuk piringan lempengan bundar.
Clap, clap, clap, clap...!
Sinar merah menerjang tubuh Rata Santika. Namun perempuan itu tidak mau
menghindar, melainkan justru menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan
telapak tangan terbuka. Wuuut...! Maka melesatlah sinar kuning kemerah-merahan
dari kedua telapak tangan tersebut. Slaaap, slaap...! Salah satu sinar kuning
menghantam sinar merahnya si Raja Maut.
Blaaarrr...! Ledakan terjadi cukup keras dan sempat mengguncang
tanah di sekitar sungai tersebut. Sementara itu, sinar kuning satunya lagi melesat lurus mengarah ke dada si Raja
Maut. Weess...!
Raja Maut cepat putar tongkatnya bagaikan baling-baling sambil lakukan lompatan
ke arah tepian sungai.
Wuuuungg...! Kecepatan putar tongkat itu hasilkan gelombang tenaga dalam yang
memancarkan sinar
merah besar. Lalu sinar merah besar itu dihantam sinar kuning
hingga timbulkan ledakan yang lebih menggelegar dari yang pertama tadi. Jegaarrr...!
Gelombang ledakan menghentakkan tubuh Raja Maut
yang sedang melayang. T ubuh itu ba gaikan dihempas badai dan terpental jatuh
tanpa keseimbangan badan.
Bruuuus...! Semak di tepi sungai menjadi sasaran jatuhnya tubuh si Raja Maut.
Sementara itu, gelombang ledakan tersebut juga
menghentakkan tubuh Rara Santika, sehingga perempuan itu terdorong ke belakang dengan terhuyung-huyung dan nyaris jatuh ke
sungai. Namun ia se gera sigap kembali setelah sentakkan kaki dan tubuhnya
melenting di udara sambil menjaga keseimbangan tubuh.
"Kelihatannya Rara Santika mulai terdesak oleh serangan Raja Maut. Haruskah aku
turun dengan membantunya" Oh, jangan dulu! Rara Santika belum tampak kewalahan sekali. T api
jika sampai ia kewalahan sekali,
Raja Maut terpaksa kubunuh demi menyelamatkan Rara Santika," pikir Pendekar Mabuk dari tempatnya, ia masih
pandangi pertarungan itu dengan tenang, namun penuh waspada, sehingga kapan pun
bertindak tak akan temui kegagalan.
Perempuan itu memang belum kewalahan, justru Raja Maut yang tampak mulai
terdesak oleh serangan lawan.
Karena saat Raja Maut baru saja bangkit dari semak-semak, ia segera diserang
oleh perempuan cantik itu.
T ubuh si perempuan cantik melesat bagaikan terbang dengan gerakan tubuh memutar
mirip alat pengebor.
Wuuuurrss...! Kecepatan geraknya sangat tinggi, sehingga Raja Maut sendiri sempat terperanjat dan bingung menghadapinya.
Akhirnya Raja Maut sentakkan kaki ke bumi dan tubuhnya melesat tinggi dalam
keadaan tegak lurus. Kemudian ia hantamkan tongkatnya ke arah tubuh lawan yang
berputar cepat itu. Wuuuut...!
Prraak, duaar...!
Tongkat itu belum sampai menyentuh tubuh Rara
Santika namun sudah seperti membentur baja tebal yang beraliran tenaga dalam
tinggi. Ledakan yang timbul membuat tongkat tersebut
patah menjadi beberapa
potong, tinggal bagian kepala tongkat saja yang masih digenggam tangan si Raja
Maut. "Celaka! T ongkatku bisa sampai hancur begini"! Ia mempunyai lapisan tenaga
dalam yang jarang dimiliki orang. Pasti ia telah kuasai jurus 'Perisai
Malaikat', sehingga pada benda apa pun yang mau menyentuhnya akan pecah sebelum
sampai pada sasarannya. Hmm...
jika begitu aku pun harus pergunakan jurus 'Lahar Gegana' untuk melawan jurus
'Perisai Malaikat' itu!"
pikir si Raja Maut sambil perhatikan lawannya yang sedang memainkan jurus dengan
gerakan lamban.
Raja Maut kerahkan tenaganya
dengan tangan membuka ke atas membentuk cakar pada jari-jarinya.
T angan itu segera menyentak ke sana-sini dengan cepat, kemudian berhenti di
pertengahan dada. Seluruh jarinya menggenggam kecuali jari tengah dari kedua
tangan. Jari tengah itu saling merapat, kemudian dengan kaki menghentak ke bumi,
kedua tangan yang jari tengahnya saling merapat lurus itu menyentak ke depan.
Suuut...! Selarik sinar biru tanpa putus melesat dari ujung kedua jari tengah itu. Sinar
itu semakin jauh semakin melebar dan membesar, hingga akhirnya menghantam
tubuh Rara Santika. Namun dalam jarak dua langkah sebelum mencapai tubuh
perempuan montok itu, sinar biru tersebut telah pecah menyebar dan menimbulkan
ledakan yang amat dahsyat.
Blegaaaarrr...!
Air sungai meluap seketika, tanah bagaikan dihentak gelombang dari kedalaman
bumi. Batu-batuan terpental, ada yang pecah seketika, ada pula yang hanyut
terbawa arus sungai. Pepohonan tumbang beberapa bagian.
Daun-daun pohon yang hanya terguncang oleh getaran gelombang ledak tadi menjadi
berhamburan ke mana-mana. Tanggul sungai mengalami jebol pada sisi barat,
tanahnya longsor dan nyaris mengubur Suto Sinting jika pemuda
itu tidak segera pindah tempat dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Rupanya jurus 'Lahar Gegana' tak bisa menembus
jurus 'Perisai Malaikat', sehingga akibatnya Raja Maut sendiri terlempar tinggi
oleh sentakan gelombang ledak tadi. T ubuhnya melayang ke atas tanpa
keseimbangan badan. Dan pada saat itulah, Rara Santika lepaskan pukulan
jarak jauhnya yang berbahaya. T angan kanannya menyentak ke atas dalam keadaan kelima jari lurus merapat. Sinar hijau
bening keluar dari jari-jari tersebut dan menghantam tubuh Raja Maut sebelum
bergerak turun ke bumi. Slaap...! Jroooss...!
T ubuh Raja Maut kepulkan asap ketika bergerak
turun. Brrruk...! T ubuh itu jatuh terbanting di tanah bagaikan gumpalan asap
dari langit. Angin berhembus menerbangkan asap tersebut. Kejap berikut tampaklah
sosok tubuh Raja Maut telah berubah menjadi kerangka berpakaian jubah putih, ia
mengalami nasib seperti dua orang yang memanggil Rara Santika dengan sebutan
'ketua' tadi. Kematian itu hanya membuat Suto bengong di tempat.
Rara Santika hembuskan napas pelan-pelan dari
mulutnya yang meruncing itu. Kedua tangannya bagaikan melepaskan benda dari atas ke bawah secara pelan-pelan juga. Ia
pandangi lawannya yang telah menjadi kerangka hangus namun masih kenakan pakaian
itu. Senyum pun mekar sebagai tanda kemenangan yang sedang dinikmatinya. Lalu,
ia langkahkan kaki untuk mendekati Pendekar Mabuk yang saat itu sudah berada di
dekat tulang-belulang si Raja Maut dengan hati membatin kata,
"Mampus juga kau, Raja Maut. Kau terlalu bodoh, sehingga berani menganggap Rara
Santika sebagai Gundik Sakti. Kau tak tahu kalau Rara Santika itu juga berilmu
tinggi, setara dengan adik kembarnya; si Gundik Sakti itu. Yaaah... salam saja
buat rekan-rekanku yang sudah lebih dulu bermukim di akhirat sana!"
Di wajah Pendekar Mabuk tak ada rona duka sedikit pun melihat kematian Raja
Maut. Padahal dulu ia pernah dibantu Raja Maut dalam ber bagai pertarungan
dengan tokoh sakti lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu T
anpa T apak"). Suto bahkan tampak kagum dan lega memandang kehadiran Rara
Santika yang mendekatinya, ia sunggingkan senyum sebagai penyambut kemenangan si
perempuan cantik itu.
Kedua tangan Suto mengembang dan ia berkata
dengan nada ceria, "Perempuan terhebat, masuklah dalam pelukanku!"
Wajah perempuan itu berseri-seri. Ia segera memeluk Suto
Sinting dan Pendekar Mabuk pun segera memeluknya. Suto sempat bisikkan kata bernada mesra, penuh kelembutan yang
menyentuh perasaan seorang wanita seperti Rara Santika Itu.
"Untung kau selamat. Jika kau sampai tiada, tak tahu harus ke
mana kucurahkan
gairahku yang telah
menggebu-gebu saat ini, Santika!"
"Oh, Suto... gairahmu tak akan tercurah kepada siapa pun kecuali kepadaku
seorang. Bawalah aku ke tempat yang aman jika kau tak sabar menahan hasratmu,
Sayang...!"
"Bagaimana kalau kita bercumbu di balik kerimbunan semak itu, Santika sayang"!"
"Di mana pun aku siap menerima kehangatanmu, Suto-ku tampan!" sambil tangan Rara
Santika mengusap pipi Pendekar Mabuk. Kemudian kedua tangan Pendekar Mabuk
meraih tubuh Rara Santika, menggendongnya dengan kokoh dan membawanya lari ke
arah semak-semak di bawah pohon beringin putih.
Namun sebelum mereka mencapai tempat itu, sebuah suara terdengar berseru dari
belakang mereka dengan lantang.
"Hentikan langkah kalian."
Seruan itu membuat Suto dan Rara Santika tersentak kaget. Langkah pun
dihentikan, tubuh Rara Santika
turun dari gendongan. Keduanya sama-sama pandangi orang yang berseru dengan
lantang itu. "Ooh..."!" Suto Sinting sangat terkejut, bahkan sempat mundur tiga langkah dari
tempatnya. Apa yang dipandangnya saat itu telah membuat hatinya menjadi bimbang
dan segera mengalami keresahan batin cukup besar.
Orang yang berseru lantang tadi adalah seorang
perempuan yang mempunyai wajah serupa persis dengan Rara Santika. Wajahnya,
potongan tubuhnya, warna kulitnya, pakaiannya, semua sama persis dengan Rara
Santika. Akibatnya mata Suto memandang kian kemari dengan bingung. Hatinya
sempat berucap kata,


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Inikah adik kembar Rara Santika"! Hmmm... benar-benar sulit dibedakan antara
Rara Santika dengan Rara Sumina; si Gundik Sakti itu. Keduanya sama-sama cantik
dan menggairahkan. T api agaknya aku harus memihak Rara Santika, supaya
kekejaman si Gundik Sakti tidak merajalela lagi."
Orang yang baru datang berwajah kembar dengan
Rara Santika itu pandangi Suto Sinting dengan tajam.
T api sebelum ia bicara, Rara Santika lebih dulu dekati Suto dan berkata.
"Cantik sekali adik kembarku itu, bukan"! T api sayang dia berada di jalan yang
sesat! Perhatikan kesamaannya denganku. Bukankah hal yang pantas jika setiap
orang menyangka diriku adalah Gundik Sakti"
Padahal dialah orang yang selama ini berjuluk si Gundik Sakti."
"Aku bukan Gundik Sakti!" seru perempuan yang baru datang itu. "Aku adalah Rara
Santika! Kau jangan melemparkan dosa padaku, Sumina!" tudingnya kepada perempuan
yang di samping Suto Sinting. Perempuan itu hanya tersenyum sinis, lalu berkata
kepada Suto dengan nada manja,
"Dia ketakutan kepada kita, sebab dia tahu jika kekuatan kita menjadi satu, dia
akan hancur lebur dalam sekejap saja! T api, aku tak ingin kau ikut celaka.
Kalau tubuhmu luka atau lecet
sedikit saja, nanti masa
bercumbu kita kurang hangat, Suto. Sebaiknya kau menyisi dulu, biar kuhadapi
adikku itu."
Pendekar Mabuk masih bingung mengambil sikap.
Karena perempuan yang baru datang itu segera maju dalam satu lompatan bersalto
dan mendaratkan kakinya dalam jarak empat langkah di depan Suto Sinting.
Wuuut...! Jleeeg...!
"Suto, buka matamu lebar-lebar! Jangan sampai kau salah duga. Perhatikan siapa
diriku sebenarnya dan siapa dirinya. Perhatikan baik-baik, Suto. Aku tak ingin
kau terkecoh oleh kesamaan rupa ini!"
Rara Santika menyambar dagu Suto yang sedang
memandangi orang yang baru datang itu. Wajah Suto dipalingkan hingga menatapnya,
lalu ia berkata dengan suara manja sedikit serak,
"Pandanglah
aku saja. Bukankah aku lebih menggairahkan daripada dia?"
Suto Sinting tersenyum tawar. "Kau memang sangat menggairahkan, Santika!"
"Akulah Santika, Suto!"
"Diam kau!" bentak perempuan di samping Suto.
"Kau yang diam! Kau yang harus berhenti dari kesesatanmu, Sumina! Aku mempunyai
we wenang untuk membunuhmu jika kau tidak kembali ke jalan yang benar!"
"Bocah ingusan mau jual la gak di depan Pendekar Mabuk! Kuhancurkan mulutmu jika
kau masih mencoba mengaku bernama Santika! Akulah yang punya nama itu!"
"Pengecut kau, Sumina! Kau berani berbuat tapi tak berani menanggung akibatnya!
Demi nama baikku aku rela bertarung mengadu nyawa denganmu!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah kemarin sore mau mengadu nyawa denganku"! Apa aku
tak salah dengar, Suto"! Dia pikir setelah namanya dikenal sebagai Gundik
Sakti, lantas akan dengan mudah menumbangkan diriku"! Hik, hik, hik...! Lucu sekali sikap anak kecil itu. Sudah
mengaku bernama Rara Santika, masih saja mau mengadu nyawa denganku!"
"Memang akulah Rara Santika, dan kau adalah Rara Sumina; si Gundik Sakti! Kau
telah menotokku, dan menyembunyikan aku di balik semak belukar kala Suto Sinting
mencari seorang penyerang yang ingin membunuhku dengan senjata rahasianya itu! Sekarang aku tahu, kaulah orang yang
menyerangku dengan
selempeng logam beracun untuk memancing kepergian Suto dari sampingku. Begitu
Suto pergi, kau menotokku dari belakang dan menyembunyikan diriku di semak
belukar. Lalu kau tampil di tempatku berdiri sebagai Rara Santika untuk merebut
perhatian Suto Sinting!"
"Bohong!" bentak perempuan di samping Suto dengan mata mendelik lebar, seakan ia
ingin menelan saudara kembarnya itu.
"Kau pikir mudah memperdaya Suto tanpa diriku, Sumina"! Hmmm, tidak semudah
dugaanmu, Adikku!
Totokanmu mampu kulepaskan dengan jurus 'Panca
Batin' warisan mendiang Ayah. Kau murid mendiang Ibu, tak akan mempunyai jurus
seperti itu!"
"Kurobek mulutmu kalau masih bicara lagi, Jahanam!" ia maju selangkah dengan berang sekali.
"Aku sudah siap mati di tangan adik kembarku sendiri. Untuk apa aku takut
menghadapimu, Sumina!
Biarpun kau telah berhasil membuat Suto terpikat oleh ilmu
pemikatmu melalui kerlingan mata, namun pertarungan ini akan membuka kesadarannya, bahwa kau adalah Gundik Sakti dan aku
adalah Rara Santika!"
"Bangsaaat...!" teriak perempuan yang tadi habis membunuh
Raja Maut itu. Ia segera melompat menerjang perempuan yang baru datang itu. Wuuut....
Lompatan itu disambut oleh lawan dengan gerakan melesat mirip terbang. Kedua
tangan mereka saling berusaha hantamkan pukulan selama dalam lompatan di udara.
Plak, plak, plak, plak...! Blaarr...! Sinar merah menyebar sekejap ketika
telapak tangan mereka beradu.
Hentakan gelombang ledak yung timbul ketika itu membuat tubuh Suto Sinting
terpental ke belakang dan
berguling-guling. Kepalanya sempat membentur batu dan merasa pusing dalam be
berapa kejap. Suto Sinting mengibas-ngibaskan kepalanya, membuang rasa pusing.
T api ternyata yang terbuang bukan saja rasa pusing, melainkan kekuatan pengaruh
ilmu pemikat ikut hilang dari alam pikiran jiwanya.
"Oh, kenapa aku ada di sini"!" Suto Sinting membatin dengan bingung sendiri.
Semakin bingung lagi setelah melihat dua perempuan kembar rupa bertarung dengan
pergunakan kipas gading masing-masing.
"Rara Santika bertarung melawan adik kembarnya; Gundik Sakti. T api... tapi yang
mana yang bernama Gundik Sakti "!" pikir Suto dengan dahi berkerut tajam.
"Aku harus membela Rara Santika untuk menumbangkan si Gundik Sakti! Aduh, yang mana Rara Santika"! Yang mana..."!"
Suto tegang dan jengkel sendiri. Matanya bergerak nanar diburu nafsu bertarung.
Blegaaar.... Kedua perempuan itu mengadu kipas di udara. Ledakan besar terjadi
bersama menyebarnya sinar biru terang dari perpaduan kedua kipas tersebut. Salah
satu kipas terpental dan hancur berkeping-keping. Tapi perempuan yang tanpa
kipas itu masih tampak berani lakukan
penyerangan terhadap lawannya, ia berjumpalitan di tanah beberapa kali, kemudian berhenti dalam
keadaan berlutut
satu kaki dan sentakkan tangannya ke depan. Sinar merah lurus keluar dari ujung jari tangannya yang menguncup itu. Slaaap...! Sinar
lurus dihadang oleh kipas yang dikembangkan di depan dada. Deeb...! Blaaarr...!
Zlaaap...! Orang yang memegang kipas lenyap
seketika. Bukan hancur karena hantaman sinar tadi, melainkan berpindah tempat di
belakang orang yang tidak memegang kipas, ia mampu bergerak luar biasa cepatnya,
hingga tak terlihat ke mana arah gerakannya.
T ahu-tahu ia tebaskan kipasnya ke punggung la wan.
Wuuuut...! Breeett...!
"Aaahg...!" perempuan yang tak berkipas memekik kesakitan, punggungnya robek
lebar bagai dibabat dengan
pedang pemenggal
kepala. Luka tersebut keluarkan asap tipis, makin lama makin melebar dan menjadi
hitam. Penderitanya terhuyung-huyung
menahan rasa sakit yang luar biasa itu, sampai akhirnya ia jatuh terkulai di
atas sebongkah batu dalam keadaan telungkup. Kedua tangannya terjuntai lemas,
napasnya sesak, suara rintihannya semakin pelan. Namun ia tampak berusaha untuk
tetap bisa bangkit dan membalas serangan lawan.
"Aku terpaksa tega padamu! T erimalah kematianmu sekarang juga. Hiaaah...!"
Craaaak...! Ujung kipas keluarkan mata pisau putih tipis yang runcing dan tajam.
Pada saat itu orang yang sudah terluka sedang membalikkan badan menjadi
telentang dengan seringai kesakitan dipaksakan. Pisau di ujung kipas segera
ditebaskan untuk merobek leher lawannya. Wuuut...!
"Hiaah...!" Suto Sinting melesat cepat. Zlaap...! Jurus
'Gerak Siluman' membuatnya bergerak seperti anak panah, menerjang perempuan yang
masih bersenjata
kipas itu. Bumbung tuaknya dihantamkan ke dada
perempuan tersebut pada saat menerjangnya. Buuhhg...!
"Aaahg...!"
perempuan itu memekik tertahan, tubuhnya melayang ke belakang. Suto Sinting mengejarnya dengan lompatan bertenaga 'Gerak Siluman' lagi. Zlaaap...!
Prraak...! Bumbung tuak menghantam kepala.
"Uuhg...!" perempuan itu terpental, terguling-guling dalam keadaan kepala
berlumur darah.
T epat ketika perempuan itu berusaha bangkit, Suto Sinting
lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor seperti mau jatuh, ternyata menyodokkan bumbung tuak ke punggung
lawan. Beehg...! Brrruk...!
Lawan pun jatuh tersungkur, tubuhnya mulai sulit bergerak. Rambutnya menjadi
rontok semua. T ubuh itu menjadi biru legam. Kejap berikutnya perempuan itu tak
mampu bernapas lagi. Ia menghembuskan napas terakhir dengan tubuh menyentak satu
kali. Weesss...! Nyawa pun melayang.
Suto Sinting segera menolong perempuan yang
terluka punggungnya itu. Dengan paksa ia meminumkan tuak saktinya, membuat luka
itu cepat sembuh secara ajaib, dan kesehatan perempuan itu pun pulih kembali.
"Gundik Sakti telah tiada!" ucap Suto Sinting ketika perempuan itu pandangi
mayat tanpa rambut itu. "Dia...
Rara Santika?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Dia bukan Rara Santika, tapi kaulah yang bernama
Rara Santika. Dia adalah Gundik Sakti; Rara Sumina, adik kembarmu itu."
"Dari mana kau bisa membedakan bahwa dia adalah adikku?"
Suto Sinting mengambil sesuatu dari dalam ikat
pinggangnya. Sebuah gelang beruntai batu merah delima dimainkan di telapak
tangannya sambil sunggingkan senyum menawan.
"Kulihat tangannya mengenakan gelang seperti ini, sedangkan
kau tidak mengenakan
gelang. Karena gelangmu kau serahkan padaku saat kita di kedai, dan aku lupa mengembalikannya!
Maka aku yakin, kaulah Rara
Santika. Sedangkan orang yang sejak
tadi bersamaku serta membuatku tega melihat kematian si Raja Maut itu tak lain adalah
si Gundik Sakti. Maka tak ada salahnya jika aku segera menyerangnya demi
selamatkan nyawamu, dan nyawa para calon tumbal lainnya."
Rara Santika yang tadi hentikan langkah Suto saat mau menuju ke semak bersama
Gundik Sakti itu segera sunggingkan
senyum manis, ia memandangi Suto dengan penuh curahan rasa kagum. Se baris gumam lirih terdengar dalam suara
lembut, "Kau memang cerdas, Suto! Ambillah gelang itu selamanya, jadikan milikmu yang
paling berharga. Jika masih kurang, ambillah pemilik gelang itu juga, aku
bersedia menjadi milikmu yang paling berharga."
T iba-tiba terdengar suara, "Kau tak boleh melebihi batas, Rara Santika!"
Mereka terkejut dan menjadi tegang. Suara bergema itu adalah suara perempuan,
namun tak terlihat bentuk
wujudnya. Hanya saja, telinga rindu Suto sangat mengenali suara tersebut,
sehingga ia pun berseru,,
"Kaukah yang mengirimkan suara itu, Dyah Sariningrum"!"
"Ya, akulah yang bicara, Calon suamiku. Aku terpaksa ikut campur karena hampir


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja si Gundik Sakti merenggut kehangatanmu. T ak kuizinkan ia berbuat demikian
padamu, sehingga terpaksa kulepaskan jurus
'Racun Simalakama' sebagai ungkapan murkaku kepadanya. T anpa kau bunuh pun sebenarnya ia akan mati dengan sendirinya akibat
'Racun Simalakama'-ku itu."
"O, jadi kau yang mencegah perbuatan liciknya itu?"
"Kukirimkan 'Racun Simalakama' melalui hembusan sang bayu, dan ia menjadi
ketakutan saat melihat keadaanmu seperti bayi."
"Apakah kau juga melihatku dalam keadaan seperti bayi, Dyah Kasih?" tanya Suto
sambil ingin tertawa.
"Ya, aku melihatmu seperti itu juga," jawab suara bergema.
"Dan kau menjadi takut seperti si Gundik Sakti itu"!"
"Aku... aku menjadi bertambah rindu, Suto!" suara bergema itu kian lirih,
menandakan ada rasa malu saat mengucapkannya.
Suto Sinting tertawa sendiri. "Dyah Kasih..., aku tak melihat
wujudmu. Di mana kau bersembunyi"
Keluarlah, Dyah Kasih...!" bujuk Suto.
"Aku ada di Pulau Serindu sedang menunggumu, Suto sayang...!"
"Kalau begitu aku akan berangkat ke Pulau Serindu sekarang juga, Dyah kasihku."
"T idak harus sekarang. Selesaikan sampai tuntas dulu perkaramu itu. Gua T umbal
Perawan masih dihuni orang-orang sesat bersama iblis sembahan mereka; Darahkula.
Gua dan Darahkula harus kau hancurkan demi keselamatan para gadis lainnya, Suto!
Setelah itu, lekaslah pulang ke Pulau Serindu,
di sana aku menunggumu!"
"Baik, akan kuhancurkan gua itu dengan Napas T uak Setan-ku!" kata Suto penuh
semangat. Kemudian ia memandang Rara Santika yang terbungkam diliputi perasaan
takut. Perempuan itu pun akhirnya berkata,
"Aku akan ikut ke gua itu, tapi... tapi aku tak berani lagi lebih dekat
denganmu. Suara itu membuat jiwaku menjadi sangat ketakutan. Kalau boleh kutahu,
suara siapa itu?"
"Itu suara calon ibunya anak-anak," jawab Suto sambil cekikikan sendiri.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul!!!
TIT ISAN DEWA PELEBUR TELUH
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Ilmu Ulat Sutera 5 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Anak Pendekar 16

Cari Blog Ini