Ceritasilat Novel Online

Titisan Dewa Pelebur Teluh 1

Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit
dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 KAKI Gunung Tunggir yang biasanya dilanda
sunyi, kali ini dihiasi dengan suara-suara aneh. Hembusan angin yang menuju ke
barat membawa gelombang suara aneh terasa janggal bagi telinga seorang
pemuda berambut lurus sebatas pundak tanpa ikat
kepala. Pemuda yang menyandang bumbung tuak di
punggungnya itu hentikan langkah sejenak kala telinganya menangkap suara aneh tersebut.
"Suara apa itu sebenarnya" Seperti suara kodok, tapi lebih mirip suara burung gagak" Atau jangan-jangan suara kodok yang sedang mau ditelan burung gagak" Jangan-jangan suara burung gagak yang
sudah ditelan seekor kodok?" pikir si pemuda berbaju coklat dengan celana putih
kusam dililit ikat pinggang dari kain merah.
Pemuda itu tak lain adalah murid sinting si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh ternama paling
disegani di antara para tokoh di rimba persilatan. Pemuda itu dikenal dengan
nama Suto Sinting dengan
gelar kebesarannya: Pendekar Mabuk. Kadang ada
yang menjulukinya dengan nama Tabib Darah Tuak,
sebab ia mampu sembuhkan berbagai macam penyakit
dengan tuak sakti di dalam bumbung bambunya itu.
Namun beberapa orang sering memanggilnya dengan
nama sanjungan 'si tampan', karena memang ia mempunyai wajah tampan dan senyum menawan yang
mampu melelehkan hati wanita sekeras baja mana
pun. Dung, dung, plak.... Dung, dung, plok.
Dung, dung, pak... plak dung, plak dang.
Plak, dung, dung....
Pak dudung, pak dudung, pak dudung....
Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak
tuaknya beberapa teguk segera kerutkan dahinya
mendengar suara aneh itu. Hatinya pun segera membatin dengan nada penuh keheranan.
"Pak Dudung dibawa-bawa..."! Suara apa itu
sebenarnya, sehingga seperti seseorang memanggil Pak Dudung?"
Setelah langkahnya makin mendekati sumber
suara tersebut, telinganya ditelengkan untuk menyimak dengan baik-baik, barulah si murid sintingnya Gi-la Tuak itu menyimpulkan
dalam hatinya, "Sialan! Bukankah itu suara gendang"! Mengapa aku sampai terheran-heran dengan suara gendang
seperti itu" Uuh... dasar kuping kebanyakan tuak
mendengar suara gendang saja sampai seperti mendengar suara kodok atau burung gagak. Kapan-kapan
aku mau periksa kuping, ah! Jangan-jangan karena
kebanyakan minum tuak, gendang telingaku jadi berkarat atau berlapis kerak tuak" Pantas tadi saat di kedai ada orang batuk
kedengarannya seperti memanggil
namaku. Ih, memalukan sekali aku ini, masa' pendekar kok kupingnya 'tulalit' alias rusak sebelah"!"
Padahal yang membuat pendengaran Suto Sinting kurang jelas bukan karena telinganya rusak, melainkan karena suara gendang itu ditabuh seseorang
sedemikian rupa, sehingga secara sepintas dapat menyerupai suara kodok atau suara gagak. Tentu saja si penabuh gendang itu orang
yang cukup piawai dalam
mengatur sentakan tangan di permukaan kulit gendang. Bahkan barangkali juga ia seorang yang berilmu tinggi, sehingga mampu
menabuh gendang dari satu
tempat yang letaknya cukup jauh tapi mampu didengar sampai di balik dinding tebing tinggi.
"Gila! Ternyata suara gendang itu cukup jauh
dari tempatku tadi"!" pikir Suto Sinting sambil mela-cak terus, mendekati sumber
suara gendang yang didengarnya. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk akhirnya tiba di atas sebuah tebing batuan cadas yang
tidak terlalu banyak ditumbuhi oleh pepohonan. Namun di atas tebing itu terdapat gugusan batu yang
menjulang tinggi hingga menyerupai pilar-pilar tak be-ratap. Dari ketinggian
itulah Pendekar Mabuk layangkan pandangannya ke bawah tebing yang berjarak sekitar lima belas tombak itu.
Di dasar tebing yang juga ditumbuhi pepohonan tak begitu banyak itu tampak seorang gadis berkalung tali merah dari bahan
kain tebal. Tali merah itu adalah tali pengikat sebuah gendang kecil yang dapat
ditabuh dua sisi. Gendang itu terbuat dari kayu beru-kir warna coklat tua. Kulit
gendangnya tampak tebal, terbuat dari kulit binatang, entah binatang apa, yang
jelas berwarna putih kekuning-kuningan. Ukuran gendang itu sekitar tiga jengkal,
dengan besar lingkaran bagian sisi kanan seukuran piring makan, dan sisi sebelah
kiri seukuran mangkuk sayur.
Gendang yang mempunyai hiasan benang merah pada kedua ujung pengikat talinya itu ternyata milik seorang gadis berusia
sekitar dua puluh tiga tahun.
Gadis itu kenakan pakaian jubah merah me-nyolok
berlengan panjang. Baju dalamnya berwarna kuning
gading tanpa lengan, sewarna dengan celana ketatnya
yang seukuran sebetis itu. Rambutnya hanya sebatas
tengkuk, lurus dan halus, bagian depannya diponi rata. Poni itu sesuai sekali dengan bentuk kecantikan
wajahnya yang berhidung bangir, bermata bundar bening, dan berbibir mungil menggemaskan.
Rupanya gadis berkulit kuning langsat itu sedang menghadapi pertarungan dengan dua orang lelaki
bertampang angker. Keduanya sama-sama berbadan
besar, yang satu brewokan, yang satu hanya berkumis
lebat tapi bola matanya lebih besar dari bola mata si brewok. Alisnya lebih
lebat, dan bentuk hidungnya lebih besar. Keduanya sama-sama berkulit hitam kusam, mengenakan rompi panjang berwarna biru tua,
tapi celana mereka berbeda. Si brewok kenakan celana warna merah, sedangkan si
kumis lebat kenakan celana hitam. Keduanya sama-sama bersenjata golok lebar,
mirip senjata algojo yang digunakan untuk memenggal
leher para tawanan yang hendak dihukum pancung.
Ketika Suto Sinting tiba di atas tebing itu, suara gendang hilang, karena si gadis tidak menabuh gendangnya. Ia berdiri dengan
kedua kaki sedikit merenggang, mata menatap kalem kepada kedua lawannya
yang sedang terengah-engah. Kedua lawan itu tampak
terkulai, saling duduk beradu punggung dengan tubuh
berkeringat dan tampak lemas, seperti orang habis lari jauh. Namun keduanya
sama-sama masih pegangi
senjata masing-masing.
"Mengapa kedua orang itu terengah-engah kecapekan"!" tanya Suto Sinting dalam batinnya. "Tampaknya gadis itu tak keluarkan
tenaga sedikit pun, sehingga tampak tenang dan tak ada kelelahan pada dirinya. Diapakan kedua orang berwajah angker itu"!"
Dari tempatnya bersembunyi, Suto Sinting
mendengar ucapan si gadis yang ditujukan kepada kedua lawannya dalam jarak sepuluh langkah kurang
itu. "Sebaiknya kalian tak perlu memburuku lagi.
Ku ingatkan pada kalian agar pulang dan temui guru kailan, katakan bahwa aku
bukan gadis kemarin sore
yang mudah ditumbangkan!"
Si brewok berusaha bangkit berdiri dengan sedikit sempoyongan karena kedua kakinya terasa lemas. Ia masih mencoba untuk bersikap angker dan bicaranya masih bernada penuh geram kemarahan. Ia
menuding si gadis dengan pergunakan goloknya.
"Jangan merasa unggul dulu, Gadis Dungu!
Kami belum merasa kalah melawanmu. Kalau kau
sanggup menghindari jurus gabungan kami yang bernama jurus 'Petir Menangis', barulah kau boleh merasa unggul dan kami akui
kekalahan kami!"
"Hi, hi, hi, hi...! Jurus apa itu"! Namanya kok lucu sekali. Hmm... jurus 'Petir
Menangis'"! Apakah
kalian juga punya jurus 'Petir Tertawa' atau jurus 'Petir Cemberut'"!" gadis itu
menertawakan ucapan si brewok, membuat si brewok semakin tampak berang, ia
hanya menggeram dengan tangan kian menggenggam
gagang goloknya dengan kuat. Kejap berikutnya, si
kumis tebal pun bangkit dan merasa tak suka ditertawakan oleh si gadis.
"Gadis Dungu!" serunya dengan napas masih
memburu. "Kau boleh menertawakan kami jika kau
sudah terbukti mampu hadapi jurus 'Petir Menangis'
itu!" "Aku siap menerima jurus kalian asal Jangan sampai melukai ku," kata si
gadis yang agaknya dikenal dengan julukan si Gadis Dungu.
Kedua lelaki yang usianya sama-sama sekitar
empat puluh tahun itu segera saling meneriakkan kata pembangkit semangat
pertarungan mereka.
"Heeeeaaahhh...!"
Mereka saling melompat berjauhan. Golok besar dimainkan dengan berkelebat ke sana-sini bagai
mengelilingi tubuh mereka. Lalu, dalam satu gerakan
menghentak bumi dengan satu kaki, keduanya samasama melesat saling berpapasan.
Wuuut...! Golok mereka pun saling digesekkan dengan
cepat. Srrraaaangngngngng...!
Gesekan itu hasilkan percikan api ke manamana. Yang membuat dahsyat jurus 'Petir Menangis'
bukan terletak pada percikan apinya, melainkan pada
suaranya yang menggema panjang dan bernada tinggi.
Suara itu keluarkan gelombang tenaga dalam yang
mampu membuat tubuh si Gadis Dungu tersentak bagai dicabut nyawanya. Ia terlempar jatuh bersama
gendangnya. Brrrukk...! "Aaaahhg...!" si Gadis Dungu mengerang sambil menyeringai sakit, kedua tangan
pegangi dadanya dalam keadaan mengejang.
Beberapa pohon berukuran sedang bergetar
akibat bunyi gesekan golok tadi. Gema suaranya masih memanjang, mengiang-ngiang
di telinga, membuat beberapa dahan pohon roboh karena terpotong rapi bagai
ditebang dengan pedang yang amat tajam. Bahkan beberapa batu yang terletak tak
jauh dari mereka mengalami keretakan, sebagian ada yang hancur bagaikan
rapuh. Prrus...! Sedangkan daun-daun di sekitar mereka pun menjadi berhamburan bagaikan dipangkas
dalam waktu sekejap.
"Ugh...!" Suto Sinting sendiri merasakan satu sentakan tajam di ulu hatinya. Ia
buru-buru menahan
napas dan menyangga ulu hati dengan telapak tangan
kirinya. "Gila!" gumamnya dalam hati. "Suara gesekan golok mereka bagaikan
mengiris jantung dan menyayat-nyayat urat nadi. Uuuh...! Hatiku terasa perih sekali bagai diiris pelanpelan. Kalau tak segera ditangkal dengan minum tuak bisa putus semua urat
nadiku! Benar-benar gila jurus 'Petir Menangis' itu.
Apa memang beginikah akibatnya jika benar-benar
mendengar suara petir sedang menangis"!"
Glek, glek, glek...! Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya. Dengan meminum tuak tiga teguk,
rasa sakit di sekujur urat nadi, jantung, dan ulu hati itu menjadi berkurang.
Tiga helaan napas kemudian,
seluruh rasa sakit itu lenyap dan kelemasan urat-urat kembali kokoh seperti
semula. Gadis Dungu masih menyeringai menahan sakit walaupun ia sudah berdiri dengan satu lutut di tanah. Pada saat itu, kedua
orang berwajah angker kembali saling kelebatkan golok mereka di sekitar tubuh, lalu kedua golok itu
dipertemukan lagi dalam satu gerakan bergesekan.
Srrrraaaangngngngngng...!
"Haaagghh...!"
Pohon bergetar kembali, dahan-dahan terpotong, dedaunan terpangkas habis, dan si Gadis Dungu
tersentak dan terguling dengan ratapan memanjang.
Getaran gelombang suara dari gesekan kedua golok
membuat kulit mulus di wajah Gadis Dungu menjadi
tersayat merah, bagaikan bilur-bilur akibat cabikan
senjata tajam. Sementara itu, Suto Sinting hanya menahan napas dan tidak rasakan rasa sakit seperti saat mendengar suara gesekan
golok yang pertama tadi. Hal itu dikarenakan dalam tubuh Suto masih dipengaruhi
hawa sakti dari tuak yang baru saja diminumnya itu.
Jika tadi ia tidak segera menenggak tuak, maka ia
akan mengalami rasa sakit dan menderita seperti yang dialami si Gadis Dungu itu.
"Haaah, ha, ha, ha, ha...!" kedua orang berwajah angker itu menertawakan si
Gadis Dungu yang
mulai tampak kewalahan dalam menahan rasa sakit
dan perih di sekujur tubuhnya.
"Sekali lagi kami lepaskan jurus 'Petir Menangis', maka sekujur tubuh montokmu itu akan tercabikcabik, Gadis Dungu!" seru si kumis lebat dengan mata melebar girang.
Suto Sinting membatin, "Siapa pun mereka,
aku harus hentikan pertarungan ini. Karena jika ada
orang lain yang tidak terlibat tapi mendengar desing gesekan kedua golok tadi,
pasti akan mengalami luka
yang cukup berbahaya!"
Si kumis lebat berkata kepada si brewok, "Togayo, jangan biarkan ia bertahan! Kita cabik-cabik tubuh gadis bodoh itu dengan
jurus kita sekali lagi!"
"Aku sudah siap, Gayong! Heeeeaah...!"
Gayong, si kumis lebat, dan Togayo si brewok,
mulai kelebatkan senjata mereka untuk saling digesekkan kembali. Suto Sinting sudah bersiap melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sentilan dari ja-ri tangannya yang
mengandung kekuatan tenaga dalam sebesar tendangan kuda binal itu.
Namun agaknya jurus 'Jari Guntur' si Pendekar
Mabuk terpaksa ditahan untuk sementara. Suto Sinting menjadi penasaran karena ingin melihat sejauh
mana perempuan yang dipanggil Gadis Dungu itu bertahan. Karena beberapa kejap setelah Gayong berseru
membangkitkan tenaga dalamnya, Gadis Dungu tampak bangkit dengan satu lutut masih menapak di tanah. Ia menabuh gendangnya dengan mata terpejam


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena menahan rasa sakitnya. Suaranya terdengar
memekik panjang sebagai tanda melepaskan rasa sakit
dan kemarahannya.
"Hiaaahh...!"
Dung, plak, plak... dung, dung, plak. Dung,
plak, dung, plak, dung, dung, dung, plak...!
Dan mata si Pendekar Mabuk terkesiap dengan
dahi berkerut. Pandangan matanya tertuju pada Togayo dan Gayong.
Kedua orang berwajah angker itu tiba-tiba hentikan gerakan mengadu golok saat suara gendang terdengar. Tubuh mereka gemetar bagai melawan kekuatan tenaga dalam yang gelombangnya menyebar ke
arah mereka. Tubuh yang bertahan itu lama-lama bergerak kaku mengikuti irama gendang. Tampaknya gerakan tersebut tak diinginkan oleh Togayo dan Gayong, sehingga mereka sama-sama
keluarkan suara geram
dengan hati menahan gerakan tangan agar berhenti.
"Haaahhhggrr...!"
Dung, dung, plak, dung, dung, plung plak...!
Gadis dungu tetap menabuh gendangnya. Gelombang tenaga dalam yang keluar dari tabuhan gendang membuat Togayo dan Gayong akhirnya bertandak, mereka berjingkrak-jingkrak dalam lenggokan
tangan dan pantat mirip gerakan sepasang bebek ingin bertelur. Semakin lama
semakin cepat, sampai akhirnya mereka benar-benar tak bisa menahan gerakan
tubuhnya untuk menari-nari jejingkrakan. Mulut mereka pun bagaikan tak sadar keluarkan seruan-seruan
riang, seakan sedang menikmati pesta tarian yang penuh semangat. Dung, dung, plak... dung, dung plung plak...
plung, plak....
"Hiah, hiah... huuurra...!"
"Iaha, syuur, syuur, syuur... goyang terus, Togayoo...! Heah, heah, ser, ser, ser, ser, asyiiik...!"
Karuan saja si Pendekar Mabuk tertawa cekikikan dari tempat persembunyiannya. Tubuhnya sampai
terguncang-guncang karena menahan tawa geli melihat kedua orang angker itu telah berubah menjadi
riang dan menari jejingkrakan.
"Hebat sekali ilmu si Gadis Dungu itu"!" pikir Suto Sinting. "Tabuhan gendangnya
mempunyai kekuatan sihir yang mampu membuat lawan menjadi riang
dan menari penuh semangat. Tapi agaknya... oh, kedua orang itu mulai keluarkan darah dari telinga mereka"! Gelombang tenaga dalam telah kenai bagian dalam tubuh mereka tanpa mereka sadari"!" Gerakan tari mereka semakin cepat,
semakin berkesan acak-acakan
dan mirip tarian liar. Suara mereka berteriak-teriak menyerukan semangat menari
dalam keriangan, tapi
mereka tidak sadar jika bagian dalam tubuhnya telah
dihantam oleh kekuatan tenaga dalam yang terbawa
melalui suara pukulan gendang. Tubuh mereka bertambah melonjak-lonjak dengan cepat. Kepala mereka
tersentak-sentak mirip orang kesurupan. Tapi seruan
suara mereka masih bernada dalam kegirangan. Padahal dari telinga mereka telah keluarkan darah yang semakin lama semakin
membanjiri pundak masing-masing. Napas mereka yang terengah-engah tak dihiraukan lagi. Mereka menari dan terus menari dengan
gerakan liarnya. Bahkan mereka tak sadar bahwa senjata mereka sudah saling buang ke sembarang tempat
demi kebebasan menari dan bergerak.
"Hiiaaahuuu...! Joget terus sampai pagiii...!
Hiah, hiah!" seru Togayo dengan tubuh berlarian ke sana-sini dengan gerakan
menari. Darah yang keluar
dari telinga pun berceceran ke mana-mana. Demikian
pula halnya dengan si kumis lebar; Gayong.
Dung, plak, dung, plang... dung, plak, dung,
plang...! Bunyi gendang masih terdengar semakin tak
berirama. Gadis Dungu menabuhnya dengan gerakan
cepat. Suara yang kian bertempo cepat membuat Togayo dan Gayong pun kian mempercepat gerakan tarinya, bahkan sampai berguling-guling di tanah dengan darah mencucur terus dari lubang telinga, bahkan sekarang ditambah dari
lubang hidung mereka pun
mengucurkan darah segar.
Pendekar Mabuk berdecak kagum, gelenggeleng kepala sambil tertawa dengan suara pelan seka-li.
"Rupanya tidak semua orang yang mendengar
bunyi gendang ikut menari. Pengerahan gelombang tenaga dalam melalui suara gendang ternyata bisa dikendalikan hanya untuk orang-orang yang dituju oleh
si Gadis Dungu. Buktinya biarpun kedua orang berwajah angker itu berjoget segila itu, tapi aku tidak ikut-ikutan bergerak seperti
mereka. Hmmm... suatu ilmu
yang langka dan perlu kuakui kehebatannya."
Mendadak wajah geli si Pendekar Mabuk berubah tegang seketika, karena tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
pepohonan dan menghantam
punggung si Gadis Dungu.
Wuuutt...! Deeeb...!
"Eehg...!" Gadis Dungu tersentak dan terjungkal ke depan, lalu berguling-guling.
Suara gendang lenyap seketika. Kedua orang berwajah angker itu terkulai lemas di
rerumputan. Tubuh mereka terkapar bermandi
darah dengan napas masih ngos-ngosan.
Sementara itu, si Gadis Dungu segera memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Tubuhnya berlutut dengan tangan berpegangan pada sebongkah batu setinggi perut manusia dewasa. Ia memuntahkan
darah beberapa kali dan tampaknya tak bisa bergerak
lagi. Keadaan itulah yang membuat mata si Pendekar
Mabuk menjadi tegang tak berkedip.
"Celaka! Siapa orang yang menghantam si Gadis Dungu dengan sinar merah yang mirip senjata cakra tadi"!" pikir Suto Sinting dengan mata mulai bergerak nanar.
"Pertarungan ini benar-benar pertarungan yang
curang!" geram Suto Sinting, seakan hatinya tak bisa menerima perlakuan si
penyerang gelap yang membo-kong Gadis Dungu itu.
Baru saja ia ingin bergerak terjun ke tengah
pertarungan tersebut, tiba-tiba sekelebat bayangan
melesat dari balik pohon rimbun.
Wuuutt...! Jleeeg...!
Seorang tokoh tua berjubah hijau tanpa lengan,
sehingga tubuhnya yang kurus sekali itu terlihat jelas, tahu-tahu sudah muncul
di antara Togayo dan
Gayong. Tokoh tua berambut putih sepanjang punggung tanpa ikat kepala itu mempunyai kumis putih
dan jenggot putih sepanjang dada. Sorotan pandangan
matanya tampak dingin, dengan ditambah raut muka
yang bertulang pipi menonjol dan berdagu runcing ke
depan, tokoh tersebut semakin tampak bengis.
"Bangun kalian!" sentaknya dengan suara serak kepada Togayo dan Gayong. Kedua
tangannya menyentak dengan kuku-kuku runcing yang hitam mengembang membentuk cakar. Dari telapak tangan itu menyembur sinar putih bagaikan perak. Kedua sinar putih menerpa tubuh Gayong dan Togayo.
Wuuusss...! Sinar itu diiringi semburan asap tipis. Asap itu makin lama semakin membungkus tubuh
Togayo dan Gayong. Kejap berikutnya, sinar itu pun
padam secara serentak. Zrrub...! Lalu, Togayo dan
Gayong bagaikan bangun dari tidur.
"Hah..."! Guru..."!" Togayo terkejut, lalu segera
berlutut satu kaki dengan kepala tertunduk, demikian pula yang dilakukan oleh
Gayong di depan tokoh tua
yang ternyata adalah Guru mereka itu. Sang Guru
hanya memandangi dengan mata cekungnya tampak
menyimpan kemarahan entah kepada kedua muridnya
atau kepada si Gadis Dungu itu.
Sementara itu, pandangan mata Pendekar Mabuk dari balik gugusan batu itu tampak terheranheran. Keheranan itu timbul karena ia melihat Togayo dan Gayong dalam keadaan
sehat tanpa luka apa pun.
Bahkan darah yang berceceran di tubuh mereka lenyap tanpa bekas sedikit pun. Kedua orang yang semula terluka parah dan hampir mati itu dapat sembuh
secara ajaib oleh kekuatan sinar putih perak si tokoh berjubah hijau dan
bersabuk hitam itu. Tentunya pe-nyembuhannya yang ajaib itu merupakan suatu
bukti bahwa ia bukan tokoh berilmu rendah. Usianya yang
sekitar sembilan puluh tahun itu semakin meyakinkan
orang bahwa ia berilmu tinggi dan tidak sebanding jika melawan Gadis Dungu.
"Manusia bodoh!" sentaknya, rupanya ia marah kepada kedua murid yang bertubuh
kekar itu. "Melawan anak ingusan saja tak ada yang becus! Memalukan nama perguruan saja kalian ini!"
"Maaf, Eyang Guru... dia mempunyai...."
"Mempunyai apa"!" sentak sang Guru dengan
berang. "Lihat, cukup sekali pukul dia sudah tak ber-kutik!" seraya tangannya
menunjuk kepada Gadis
Dungu yang kini dalam keadaan duduk terkapar dengan terkulai lemas tanpa daya, bersandar gugusan batu besar. Wajahnya pucat bagai mayat dengan sisa
sayatan merah akibat keganasan jurus 'Petir Menangis'
tadi. "Jika begitu, sebaiknya gadis itu saya bereskan
sekarang juga, Guru!" kata Togayo sambil berdiri dan meraih golok besarnya lagi.
Tetapi tangan sang Guru
menyentak ke samping, segumpal tenaga tanpa wujud
terlepas bagaikan angin badai menghantam lengan Togayo. Wuuut...! Plaaak...! Tangan Togayo tersentak kuat, tubuhnya terpelanting
nyaris jatuh. Golok tak
jadi diraihnya. Sang Guru berkata dengan tegas.
"Percuma jika sekarang kau ingin bertindak!
Gadis itu sudah kuserang dengan jurus 'Racun Jamur
Setan'. Sebentar lagi ia akan mati dalam keadaan men-jamur dan busuk. Tinggalkan
dia, dan kalian kembali
ke perguruan! Cepat!"
"Baik, Guru!" keduanya menjawab serentak.
Wuuuss...! Mereka pun pergi meninggalkan si
Gadis Dungu yang tak berdaya itu.
2 HARI itu tidak ada gadis yang lebih beruntung
daripada si Gadis Dungu. Tepat nyawanya terancam
'Racun Jamur Setan' tuak sakti si Pendekar Mabuk
masuk ke dalam tubuhnya. Dalam keadaan sekarat,
Suto Sinting berhasil paksa mulut Gadis Dungu menelan tuak yang diminumkan secara hati-hati. Akibat
terminumnya tuak Suto, keganasan 'Racun Jamur Setan' pun dapat dikalahkan. Gadis Dungu menjadi sehat, bahkan merasa seperti tidak pernah mengalami
luka apa pun. Bilur-bilur merah akibat jurus 'Petir
Menangis' yang hampir mencabik-cabik kulitnya itu
pun lenyap tanpa bekas seujung jarum pun.
Ketika gadis berjubah merah menyadari keadaannya yang telah pulih kembali, bukan ucapan terima kasih yang terlontar pertama kali dari mulutnya, melainkan sebuah
pertanyaan yang bernada heran ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Mengapa aku masih hidup?" sambil pandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya,
dadanya, lalu buru-buru menatap ke depan. Di sana seraut wajah
tampan terpampang jelas karena jarak mereka hanya
dua langkah. "Kau yang menyelamatkan aku dari 'Racun Jamur Setan' itu"!"
"Entahlah, Nona. Yang jelas aku hanya meminumkan tuakku ke mulutmu, dan kau menelannya, lalu kau sehat!" senyum menawan si murid sinting Gila Tuak itu mekar di akhir
ucapannya. Gadis Dungu pandangi Suto Sinting dengan curiga. Yang dipandang semakin cengar-cengir pamer ketampanan. Yang memandang akhirnya berdebar-debar
karena kagum dan terpesona. Tapi ia masih berlagak
menaruh curiga demi kewaspadaannya.
"Baru sekarang ada murid si Dupa Dewa bersikap baik terhadapku. Apakah ini hanya sebuah jebakan agar aku tunduk padamu dan menyerah pada Perguruan Serikat Jagal?"
"Kau bicara apa, Nona?" sambil dahi Suto Sinting dikerutkan.
"Kau murid si Dupa Dewa, bukan?"
"Aku murid si Gila Tuak."
Mata si gadis berkalung gendang itu terkesiap.
Selama dua helaan napas tak bicara, pandangan matanya semakin tajam menatap wajah Suto Sinting, kemudian memandangi seluruh tubuh Suto Sinting penuh selidik. Akhirnya setelah menatap hingga mengelilingi tubuh Suto Sinting,
Gadis Dungu berlagak sinis
dengan cibiran bibirnya yang menggemaskan.
"Kuakui kau cukup berani mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak. Tapi perlu ku ingatkan padamu agar jangan mengaku-aku
begitu lagi di depan orang
lain. Kalau sampai pengakuanmu itu didengar oleh
Pendekar Mabuk yang menjadi murid si Gila Tuak sebenarnya, kepalamu bisa ditumbuk sampai sehalus
tepung! Pendekar Mabuk akan marah besar jika ada
orang yang mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak.
Sebab menurut cerita guruku sendiri, si Gila Tuak
hanya punya satu murid, yaitu bocah tanpa pusar
yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk." "Aku inilah si bocah tanpa pusar! Aku yang bernama Suto Sinting dengan
gelarku Pendekar Mabuk!" "Hmmm...!" Gadis Dungu mencibir semakin tak percaya.
Senyumannya sangat sinis dan tak enak dira-sakan dalam hati. Ia berkata dengan
tegas-tegas, "Dengar, yang namanya Pendekar Mabuk wajahnya
sangat ganteng, tampan, menawan hati, tidak sekumal
kau! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan pengakuan palsumu itu!"
"Aku berani sumpah disambar seribu ekor beruk, akulah yang bernama Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak!" Suto pun mulai
ngotot dan agak jengkel terhadap gadis cantik bermata bening indah itu. Tapi si
gadis tetap saja pada pendiriannya dan tidak mau
percayai pengakuan Pendekar Mabuk.
"Tak ada gunanya kau bersikeras mengaku-aku
sebagai Pendekar Mabuk. Jujur saja, kau tidak punya


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketampanan seperti yang dimiliki Pendekar Mabuk."
Suto Sinting menggerutu dalam hati, "Barangkali mata gadis ini terbuat dari beling! Masa' dia tidak
mengakui ketampananku"! Seumur hidup selama
menjadi Pendekar Mabuk dan selama dilahirkan tanpa
pusar, baru sekarang kudengar ada gadis yang tidak
mengakui ketampananku. Jangan-jangan otaknya
agak miring"! Gawat kalau begitu, percuma aku ngotot di depannya kalau otak
gadis ini miring ke kiri."
Gadis Dungu menambahkan kata, "Katakan
kepada Dupa Dewa, penyamaranmu tak bisa membuatku terpedaya! Lebih baik Dupa Dewa sendiri yang
berhadapan denganku secara ksatria, jangan menyerang dari belakang. Itu perbuatan seorang pengecut!"
"Aku tidak kenal siapa itu Dupa Dewa."
"Ah, masih juga berlagak bodoh kau ini! Kurasa
kau sudah tahu betul, bahwa Dupa Dewa adalah orang
yang menyerangku dari belakang dengan jurus 'Racun
Jamur Setan' tadi. Kurasa kau tahu, Dupa Dewa adalah si tua licik berjubah hijau tadi!"
"Aku baru tahu kalau orang berambut putih
panjang berjubah hijau itu bernama Dupa Dewa. Kusangka namanya Parmin atau Soleh, atau yang lainnya...!" Suto Sinting sunggingkan senyum canggung karena dongkol dianggap murid
Dupa Dewa. Gadis Dungu tetap mencibir tak mau percaya
dengan pengakuan Suto Sinting. Akhirnya ia sendiri
merasa jenuh dan berkata, "Terserah kau mau mengaku sebagai Pendekar Mabuk atau
Pendekar Teler, yang
jelas aku ingin tahu apa maksudmu menyelamatkan
nyawaku dari 'Racun Jamur Setan'-nya si Dupa Dewa
itu"! Apakah kau punya maksud yang sama dengan
kedua teman-mu itu; Togayo dan Gayong"!"
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam menahan kejengkelannya. Ia tak mau dengar lagi katakata tersebut. Kini ia yang ganti bertanya kepada si Gadis Dungu.
"Kalau aku menolongmu dari luka parah tadi,
berarti aku ingin menanyakan siapa namamu" Kalau
sudah ku tahu namamu, kau boleh terluka dan sekarat seperti tadi."
Mata bulat bening berbulu lentik itu alihkan
pandang dengan sikap angkuh. Bibir mungil menggemaskan masih mencibir sinis seraya berucap kata
dengan nada ketus, "Pura-pura tidak tahu! Bukankah kau sudah mengenal namaku
sebagai Gadis Dungu"!
Kurasa semua murid Perguruan Serikat Jagal mengenal nama Gadis Dungu sebagai namaku! Tak usah berlagak bodoh kau, nanti kalau ada setan lewat kau benar-benar bodoh melebihi seekor kerbau!"
"Aku bukan murid Perguruan Serikat Jagal!"
sentak Suto Sinting dengan menggeram dongkol.
"Kalau begitu kau seorang pengkhianat yang
sudah murtad dari ajaran gurumu; si Dupa Dewa
itu"!" "Terserah! Anggap saja begitu!" jawab Suto Sinting dengan ketus pula,
wajahnya menjadi keruh karena bersungut-sungut.
"Lalu, siapa namamu"!" tanya si gadis dengan acuh tak acuh setelah keduanya
sama-sama diam dua
helaan napas. "Namaku... namaku ya itu tadi; Suto Sinting!"
"Ah, jawab yang benar!" sambil tangannya men-gipas di depan hidung, lalu ia
bersidekap dengan gendang digeser ke pinggul.
"Aku sudah menjawab dengan benar dan jujur!
Namaku memang Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"
Gadis itu melirikkan matanya dengan angkuh.
Ia geleng-geleng kepala tanpa suara. Suto Sinting
mendesah kian dongkol, akhirnya meneguk tuaknya
untuk menenangkan kedongkolan hati.
"Kurasa namamu tak jauh dari Togayo atau
Gayong. Hmm... kurasa namamu: Dogol!"
"Otakmu itu yang dogol!" sentak Suto Sinting dalam geram.
"Ah, mengaku sajalah. Kau bernama si Dogol,
bukan"!"
"Masa bodoh!" geram Suto Sinting sambil hembuskan napas membuang kekesalan
hatinya. Ia berpaling tak mau pandangi Gadis Dungu. Pandangan
matanya dilemparkan ke semak belukar di bawah pohon besar yang telah gundul karena daun-daunnya telah dipangkas oleh bunyi gesekan golok Togayo dan
Gayong tadi. Di celah-celah sisa ilalang yang belum terpangkas oleh jurus 'Petir Menangis' tadi, Suto Sinting menangkap adanya kilatan
cahaya putih. Cahaya itu adalah pantulan sinar matahari yang kenai sebuah logam.
Langsung dalam hati Pendekar Mabuk berkata,
"Ada seseorang yang mengintai di sana! Siapa
yang ia incar"! Aku atau si Gadis Dungu itu"!"
Maka Suto Sinting pun segera dekati Gadis
Dungu yang sedang membersihkan pakaiannya dari
debu dan tanah.
"Apakah kau punya musuh lagi selain orangorang Perguruan Serikat Jagal itu"!"
"Untuk apa menanyakan musuhku" Mau mendaftar jadi musuhku juga"!" ujarnya dengan tengil, bikin hati Suto jadi kesal
lagi. Tapi dengan tarik napas kembali, Suto Sinting
berusaha untuk sabarkan diri. Ia berkata dengan pelan. "Ada orang yang mengintaimu dari balik semak." "Kau ini berlagak jadi dukun juga rupanya."
"Pandanglah ke arah barat. Perhatikan semaksemak di bawah pohon besar yang telah gundul tanpa
daun dan ranting itu," bisik Suto Sinting. Tapi si gadis justru pandangi wajah
Suto Sinting dengan sikap tak
peduli bisikan tersebut.
"Kau ingin menipuku lagi" Kau ingin menjebakku supaya aku berpaling ke barat lalu kau akan
menciumku secara tiba-tiba"! Hmmm...! Aku bukan
anak kemarin sore yang mudah kau jebak dengan
rayuan gombal kumalmu, Dogol!"
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh, Gadis
Dungu! Ada yang mengintai kita dari balik semak itu!"
bisikan Suto Sinting agak ditekan dengan suara berat sebagai tanda kejengkelan
hatinya. Gadis Dungu justru sunggingkan senyum sinis
dan berkata ketus tanpa mau berpaling ke arah yang
dimaksud Suto Sinting.
"Tipu daya seperti itu tak akan berlaku bagi diriku. Aku sudah kebal tipu
muslihat seorang lelaki
macam kau, Dogol!"
"Dasar dungu!" geram Suto Sinting, kemudian serta-merta jarinya menyentil ke
arah semak belukar
tersebut. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan, tenaga dalam berkekuatan seekor kuda
meluncur dari sentilan jari
tersebut. Tees...! Guzrraaak...! "Uuhg...!" terdengar suara orang memekik tertahan. Disusul sekelebat bayangan
terlempar keluar
dari balik semak. Tubuh itu melayang tinggi, bersama rusaknya tanaman semak
belukar yang mirip diterjang
badai itu. Wuuss...! Jleeg...!
Untung orang yang terpekik dengan suara tertahan itu mampu kendalikan keseimbangan tubuhnya,
sehingga ia mampu segera bersalto satu kali, dan
mendaratkan kakinya tepat di depan si Gadis Dungu
dalam jarak lima langkah.
"Paman Comblang..."!" ucap Gadis Dungu bernada kaget sambil matanya pandangi
orang yang berwajah pucat karena perutnya terkena tenaga dalam
yang dilepas Suto Sinting tadi.
"Kau kenal dengan orang itu rupanya," ujar Pendekar Mabuk sambil masih pandangi
lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh agak pendek, sedikit gemuk, tanpa kumis, dan jenggot. Pakaiannya abu-abu dengan rambut pendek tanpa ikat
kepala. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang hitam dengan bentuk kepala ayam jantan.
"Dia pelayan guruku. Comblang Sajak nama
panggilannya," jawab si gadis dengan suara masih kurang ramah.
Orang berkulit gelap itu menghirup napas, menahan rasa mual di perutnya, kemudian sambil masih
pandangi Suto Sinting dengan sikap tak bersahabat, ia bicara kepada Gadis Dungu,
"Siapa pemuda kurang ajar yang bersamamu
itu, Indayani"!"
"Dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman
maut si Dupa Dewa, Paman. Entah apa maksudnya
bersikap begitu, mungkin ingin kupuji atau ingin tunjukkan ilmunya yang cetek
itu padaku. Yang jelas, pa-ra mudi Perguruan Serikat Jagal akan benci jika
melihat si Dogol ini, sebab ia murid murtadnya Dupa Dewa!" "Murid murtad berani nekat. Dia bikin jiwaku hampir sekarat karena
serangannya yang tiba-tiba melesat! Aku perlu membalasnya supaya ia tidak kualat
dan menjadi orang sesat!"
Comblang Sajak mulai kerahkan tenaga dengan
mengangkat kedua tangannya. Tetapi Gadis Dungu segera mencegah dengan satu tangan terangkat ke depan. "Tak perlu, Paman. Dia bukan orang tandingan kita. Paman Comblang Sajak
hanya akan buang-buang
tenaga jika melawan si Dogol. Ada baiknya kita bicara saja, apa perlunya Paman
sembunyi di balik semak ta-di?"
Comblang Sajak hembuskan napas dan kendorkan urat-uratnya. Ia tak berani melanggar larangan si Gadis Dungu. Namun di
belakang si Gadis Dungu,
wajah Suto Sinting tampak bergumpal-gumpal memendam kedongkolan karena masih dianggap murid
murtadnya si Dupa Dewa. Rasa ingin menyanggah keterangan tadi segera dibuang, karena Suto merasa hal itu akan sia-sia belaka.
Namun pandangan mata Suto Sinting masih
belum lepas dari wajah Comblang Sajak yang rupanya
jika bicara selalu menggunakan kalimat bersajak. Kalung bertali hitam dengan bandul logam putih berbentuk kelopak bunga yang dikenakannya itu masih memantulkan cahaya matahari. Rupanya bandul kalung
yang terbuat dari logam putih runcing-runcing sebesar potongan ketimun itulah
yang tadi tampak berkilauan
dari tempat persembunyiannya. Agaknya bandul itu
bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu karena
keruncingannya tampak tajam dan membahayakan
lawan jika dilemparkan dengan kecepatan tinggi.
"Indayani," ucap Comblang Sajak menyebut
nama asli si Gadis Dungu. Diam-diam nama itu dicatat dalam ingatan Pendekar
Mabuk. Lanjut Combang Sajak, "Aku sengaja mengintai
dari sela-sela tangkai, karena kudengar kau berdebat mengurai kata dengan pemuda
santai. Jika kau bentrok badai dengannya dan kau terdesak tak mampu
menggapai, aku akan langsung datang membantai. Tapi ternyata dia lebih dulu membuatku terbang melambai-lambai."
"Mirip bangkai...," timpal Suto dengan geli.
"Diam kau, Anak Kerbau!" sentak Comblang Sajak.
Gadis Dungu tak hiraukan ketegangan Comblang Sajak. Ia ajukan tanya kembali dengan sikap
angkuhnya. "Lalu, apa maksud Paman menyusulku kemari"
Siapa yang izinkan Paman pergi dari padepokan?"
Comblang Sajak tampakkan wajah murungnya.
Ia maju tiga langkah hingga jaraknya lebih dekat lagi dengan Gadis Dungu dan
Suto Sinting yang masih berada di belakang si gadis kira-kira dua tindak
jauhnya. "Berita duka kubawa ke mana raga berkelana.
Aku sengaja mencarimu ke ujung dunia untuk sampaikan berita duka penuh lara," tutur Comblang Sajak dengan kata berirama.
"Berita duka apa, Paman"! Cepat katakan!"
"Nyai Guru Serat Biru terluka Racun Batu Bisu..." "Hahh..."!" Gadis Dungu terkejut seketika. Wajah cantiknya berubah
menjadi tegang, kemudian maju
selangkah dengan penasaran sekali. Ia mengguncang
pundak Comblang Sajak dengan pertanyaan bernada
menyentak. "Apakah Guru diserang oleh Peri Kedung Hantu"!" "Benar, Indayani! Peri Kedung Hantu datang ke padepokan dan menyerang kami
tanpa permisi. Sasaran utamanya adalah membunuh Nyai Guru pelayan
pribadi. Waktu itu aku sempat diperintahkan lari, tapi Bibi Sandami; yang ku
calonkan sebagai istri, terpaksa mati tanpa jampi-jampi."
"Keparat betul si Peri Kedung Hantu itu!" geram Gadis Dungu dengan mata mengecil
memancarkan dendam kesumat dalam hatinya.
"Nyai Guru masih mampu bertahan dengan napas perlahan-lahan. Tapi tubuhnya tak mampu digerakkan, dan mulutnya bisu tanpa ucapan. Keadaannya
sangat kasihan."
"Apakah kau tak pergi hubungi Tabib Awan Putih, Paman"!"
"Tabib sudah coba tolong Guru, tapi akhirnya
mengaku tak bisa lawan Racun Batu Bisu. Menurut
Tabib racun itu hanya bisa dilumpuhkan dengan madu
dari Bunga Salju. Bunga itu hanya ada di puncak Gunung Himalayu...."
"Himalaya!" tak sadar Suto ikut membenarkan ucapan itu.
"Iya, Gunung Himalaya maksud saya. Tapi gunung itu jauh dari pandangan kita. Perjalanannya pun sangat berbahaya."
Gadis Dungu tampak gusar sekali. Tangannya
bergerak-gerak menggenggam bagai meremas-remas
kebencian yang ada. Suto Sinting mencoba bicara dengan sikap tenang.
"Bagaimana jika ku coba untuk mengobati gurumu?" "Ah, kau...! Aku sedang berduka kau malah mengajakku bercanda! Aku tidak
tertarik dengan can-damu!" gertak Gadis Dungu membuat Suto Sinting


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dongkol kembali. Ia hanya menghembuskan napas sebagai penahan kedongkolannya.
"Tabib bilang," kata Comblang Sajak, "Ada orang yang punya Madu Bunga Salju.
Bunganya tak ada tapi ia simpan madunya. Tabib bilang, ada dua
orang yang simpan madu tersayang; Peri Kedung Hantu dan Putri Kunang."
Suto Sinting terperanjat. "Aku kenal dengan
Putri Kunang. Ia tinggal di Pulau Dadap dan berkuasa di sana! Aku bisa
memintakan madu itu jika kau setuju."
"Putri Kunang"! Hmmm...! Kau pikir hanya kau
yang kenal dia" Aku pun kenal dengan si Putri Kunang itu!" kata Gadis Dungu.
"Aku pun tahu bahwa ia menjadi Ratu di Pulau Dadap!"
"Syukurlah kalau begitu," gumam Suto agak
gondok hatinya, lalu terbayang ingatannya kepada seraut wajah cantik milik si Putri Kunang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Cambuk Getar Bu-mi"). "Paman, mana yang lebih baik menurutmu: memaksa
Peri Kedung Hantu untuk serahkan madu
Bunga Salju atau pergi ke Pulau Dadap untuk temui
Putri Kunang?"
"Kita tak akan unggul lawan Peri Kedung Hantu. Ada baiknya pergi ke Pulau Dadap minta bantuan
Putri Kunang sahabatmu itu."
"Baik, kalau begitu, tolong cari tahu di mana letak Pulau Dadap itu, Paman!"
"Baik. Aku akan tanya pada orang yang tahu letaknya." Suto Sinting bersungut-sungut dongkol, "Uuh...
keduanya sama-sama dungu! Mau dibantu malah berlagak sok tahu!"
3 KEDUA orang itu akhirnya ditinggalkan oleh
Pendekar Mabuk. Ia merasa sia-sia menyediakan diri
membantu Gadis Dungu yang tidak pernah mau mempercayai kata-katanya. Namun anehnya, baru beberapa saat Suto Sinting tinggalkan gadis itu dengan pelayan gurunya, tiba-tiba langkahnya terpotong oleh
mereka juga yang datang secara beruntun. Gadis Dungu sengaja berdiri di depan langkah Suto Sinting, lalu Comblang Sajak
menyusulnya dari belakang. Suto
Sinting pandangi Gadis Dungu dengan dahi berkerut
tipis. Suto Sinting sengaja diam dan tak mendahului bicara selain hanya menatap
dengan kalem. Gadis
Dungu dekati Suto, lalu menyapa dengan suaranya
yang masih bernada ketus dan berlagak angkuh, sehingga kecantikannya kian menggemaskan.
"Kudengar tadi kau bicara tentang Pulau Dadap, Dogol! Benarkah kau tahu ke mana arah yang harus kutuju untuk sampai ke Pulau Dadap"!"
"Dasar dungu!" gerutu hati Suto, namun mulutnya lontarkan kata bernada menyindir jengkel.
"Bukankah kau juga tahu jalan menuju Pulau
Dadap" Kau bukan anak kemarin sore, Gadis Dungu,
pasti kau tahu arah ke sana."
"Daya ingatku agak berkurang sejak terkena jurus 'Racun Jamur Setan' tadi. Aku lupa arah menuju
ke Pulau Dadap itu."
Pendekar Mabuk tersenyum kecil, sengaja dibuat sinis untuk membalas sikap si gadis tadi.
"Aku tidak tahu arah ke sana. Aku sendiri menjadi lupa sejak kau merasa tahu tentang Pulau Dadap.
Sebaiknya suruh pelayan gurumu itu untuk mencari
orang yang tahu arah ke Pulau Dadap."
"Paman Comblang Sajak sudah mencarinya ke
mana-mana, namun ia tidak menemukan orang yang
tahu arah ke Pulau Dadap," ujar Gadis Dungu terang-terangan membual. Tak mungkin
Comblang Sajak sudah mencari ke mana-mana, sebab perpisahannya
dengan Suto Sinting belum ada seratus helaan napas.
Karenanya Suto Sinting tertawa geli tanpa suara sambil geleng-geleng kepala, merasa kagum dengan keangkuhan dan kebodohan si Gadis Dungu itu.
"Kalau kau membual sebaiknya yang masuk
akal, jadi bualanmu tidak akan diketahui orang."
"Aku tidak membual! Aku benar-benar mau
menuju ke Pulau Dadap," kata Gadis Dungu, berlagak tak jelas maksud ucapan Suto
Sinting. Kini si pelayan Nyai Serat Biru angkat bicara juga kepada Pendekar
Mabuk. "Kami hanya ingin menguji kau punya janji. Ji-ka kau pemuda terpuji, kau
pasti tak akan menolak
untuk tepati janji tanpa sesaji barang sebiji."
Suto Sinting akhirnya tarik napas dalamdalam, berusaha memaklumi sikap mereka dan tidak
mempermasalahkan.
"Capailah pantai utara lebih dulu, kemudian...,"
ucapan itu terhenti seketika karena Comblang Sajak
berseru dengan suara tertahan berat,
"Aaahhg...! Heeegh...!"
Gadis Dungu yang ada di depan Comblang Sajak cepat palingkan kepala ke belakang. Mata gadis itu terbelalak kaget, raut
wajahnya pun berubah menjadi
tegang. Perubahan itu dialami pula oleh Pendekar Mabuk yang mulutnya ternganga tak bergerak.
Mata mereka berkedip, kesadaran mereka mulai menggerakkan seluruh anggota badan setelah
Comblang Sajak tumbang ke depan dengan tak bernyawa lagi. Brrruk...! "Pamaaann...!" pekik Gadis Dungu segera
memburu ke tubuh yang tumbang ke depan dan sekarang dalam keadaan telungkup di tanah itu. Dalam
keadaan seperti itulah, maka Gadis Dungu dan Suto
Sinting menjadi tahu bahwa Comblang Sajak telah diserang dari belakang dengan pisau kecil bergagang pendek sekali dengan hiasan
rumbai-rumbai benang ungu. Pisau itu berukuran setengah jengkal dan menancap telak di punggung Comblang Sajak hingga gagang
pisaunya hampir terbenam. Di punggung itu terdapat
tiga pisau yang menancap, salah satu pisau tepat kenai tengkuk kepala Comblang Sajak.
Baru saja Suto Sinting ingin membungkuk
mendekati mayat Comblang Sajak, tiba-tiba ekor matanya melihat beberapa kelebat benda melesat ke arah Gadis Dungu. Gerakan benda
itu sangat cepat, sampai-sampai tak ada waktu lagi bagi Suto Sinting untuk
berteriak memperingatkan Gadis Dungu. Tindakan
yang lebih tepat bagi Suto Sinting adalah menyambar
bumbung tuaknya dari punggung lalu menghadangkan
bambu bumbung tuak itu ke depan leher si Gadis
Dungu. Wuuut...! Traaang...! Slaaap...!
Pisau itu menghantam bumbung tuak, gerakannya menjadi berbalik arah dengan lebih cepat dari gerakan semula. Wuuus...!
Pisau itu menembus masuk
ke semak belukar. Sraak...! Kejap berikut terdengar
suara orang berseru tertahan.
"Uugh...!!"
"Apa yang kau lakukan padaku"! Mau menghantamku dengan bambumu itu, hah"!" sentak Gadis Dungu kepada Suto Sinting
dengan wajah berang.
Yang dibentak hanya menggeram dalam hati penuh kejengkelan, hidungnya menyentakkan dengusan napas
yang untung tak sampai menghadirkan kekuatan jurus
'Napas Tuak Setan' yang menjadi jurus sangat berbahaya dan jarang digunakan oleh si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kau selalu mencurigai aku dengan hal-hal
yang buruk, Indayani! Kau sangka aku ini...," kata-kata itu terhenti kembali.
Tiga mata pisau bergerak bagaikan cahaya putih dari tiga arah. Sasarannya adalah tubuh Gadis
Dungu. Rupanya penyerang tersebut bukan hanya satu orang, melainkan lebih dari satu. Sedikitnya tiga orang ada di balik semak
mengintai nyawa Gadis Dungu dan Suto Sinting.
Melihat tiga cahaya mengkerilap datang dari tiga arah, maka tangan Suto Sinting segera menyambar
lengan Gadis Dungu. Tangan itu disentakkan, sehingga tubuh Gadis Dungu bagaikan jatuh dalam pelukan
Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Pluuk...!
"Aih, kurang ajar!"
Plak...! Pipi kanan Suto Sinting ditampar keras
oleh Gadis Dungu, karena gadis itu menganggap sedang ingin diperkosa oleh Suto Sinting. Karuan saja
tamparan itu membuat Suto Sinting menjadi tersentak
seketika dan menggeragap sesaat. Sedangkan tiga pisau dari tiga arah itu saling melesat menemukan tempat kosong. Sasaran ketiganya adalah pohon yang ada
searah dengan kecepatan geraknya. Jrrrub...! Ketiganya sama-sama menancap ke batang pohon tanpa
ada perbedaan waktu sedikit pun. Hal itu menimbulkan dugaan, bahwa penyerang itu dilakukan oleh tiga
orang dengan isyarat tertentu untuk mencapai kesamaan gerak terbang pisau-pisau berbenang ungu itu.
"Lepaskan aku, jangan jamah tubuhku, Setan!"
bentak Gadis Dungu sambil meronta dari pelukan Suto
Sinting walau gerakan merontanya itu cukup lemah,
bagai malas-malasan lepas dari pelukan sang pemuda
berbadan kekar dan tegap itu.
"Lepaskan, Dogol! Kalau kesabaranku hilang,
kuhancurkan wajahmu dengan kuku-kuku jariku ini!"
sambil menunjukkan kelima jari tangan kirinya yang
berkuku tajam. Tiba-tiba dari berbagai penjuru muncul pisaupisau kecil yang melesat serempak ke arah mereka.
Wut, wut, wut, wut, wut...!
Weeesss...! Pendekar Mabuk sentakkan kaki
dan tubuhnya melesat lurus ke atas sambil tetap memeluk Gadis Dungu. Dalam sekejap saja mereka sudah
berada di atas sebuah pohon berdaun rimbun. Si Gadis Dungu terperanjat kaget mengetahui keadaannya
sudah berada di atas pohon yang cukup tinggi. Saat ia dibawa terbang lurus ke
atas oleh Suto Sinting, ia tidak merasakan gerakan itu, karena ia masih
terkesiap oleh datangnya pisau-pisau kecil dari berbagai penjuru itu. Maka
ketika ia sadar dirinya sudah berada di atas pohon dalam dekapan Suto Sinting,
mulutnya tak bisa
terkatup untuk sesaat, lidahnya menjadi kelu tak
mampu berucap kata, bahkan menelan ludah pun terasa sulit. Craaang...! Pisau-pisau yang jumlahnya sekitar sepuluh bilah itu saling beradu pada satu titik, yaitu titik di ma-na tadi Suto Sinting
dan Gadis Dungu berdiri dalam
satu dekapan. Mata si Gadis Dungu sempat melihat
perpaduan pisau-pisau kecil itu dari atas pohon. Berarti gerakan tubuh Suto Sinting melesat ke atas pohon lebih cepat daripada gerakan pisau-pisau terbang ke titik sasaran.
Seharusnya si gadis berkalung gendang kecil
itu dapat menyimpulkan, bahwa gerakan itu adalah
gerakan peringan tubuh yang sangat tinggi dan hanya
mampu dilakukan oleh orang-orang berilmu lebih tinggi darinya. Tetapi nyatanya Gadis Dungu justru menyentak kepada Suto Sinting dengan mata membelalak
berang dan sikap menjengkelkan.
"Lepaskan pelukanmu! Gara-gara ulahmu aku
jadi tak mampu menangkis pisau-pisau itu! Dasar pemuda hidung belang!"
"Bukannya terima kasih, malah ngomel"!" gerutu Suto Sinting dalam hatinya. Maka
ia pun mele- paskan pelukannya dengan mendengus kesal menahan
kejengkelan. Gadis Dungu turun dengan memamerkan kehebatannya dalam bersalto di udara. Wuuut, wuuut...!
Jleeg! Kakinya mendarat ke tanah dengan tegap dan
sigap. Kuda-kudanya langsung terpasang penuh kesiagaan menghadapi serangan lawan. Dengan wajah penuh kemarahan ia berseru lontarkan tantangan kepada lawannya. "Keluar kalian dari persembunyian! Jangan
menjadi pengecut bernyali belut! Jika mau tawuran,
majulah bersama! Aku tak akan gentar hadapi tikustikus licik macam kalian! Keluaaarr...!"
Tak ada yang muncul satu pun dari balik semak dan pepohonan. Suto Sinting memperhatikan dari
atas pohon dengan geleng-geleng kepala. Hatinya pun
membatin kagum, "Keberaniannya patut mendapat
acungan jempol. Tapi kebodohannya sungguh luar biasa! Ia tak sadar kesombongannya itu dapat mencelakakan jiwanya setiap saat. Gadis itu benar-benar
punya otak yang sangat berbahaya bagi keselamatannya sendiri! Hmmm... baru sekarang kutemukan gadis
sedungu dia!"
Karena tak ada yang muncul dari persembunyian, Gadis Dungu yang sudah dibakar dendam karena kematian pelayan gurunya itu segera menabuh
gendangnya dengan dua tangan.
Dung, dung, plak.... Dung, dung, plang.
Plak, dung, plak, dung, blang, plak, dung,
dung.... Suara gendang bertalu membuat semak-semak
makin lama semakin tampak bergerak-gerak. Lalu, dari dalam semak belukar itu muncul sosok manusia
yang menari-nari dengan wajah penuh ceria mengikuti
irama gendang. Mereka muncul dari berbagai arah
sambil bertandak bergoyang pinggul berlenggaklenggok. Jumlah mereka ternyata lebih dari sepuluh
orang. Hal itu membuat Suto Sinting terkejut dan ter-bengong.
"Rupanya aku dan dia telah terkepung sejak
tadi"! Dan... oh, siapa mereka itu"! Manusia dari mana mereka"!"
Hal yang membuat Suto Sinting semakin tambah terheran-heran adalah sosok para pengepung yang
kini sedang berjoget seiring irama gendang bertalu itu.
Mereka adalah orang-orang kerdil berkulit hitam dan
berkilauan. Sepertinya kulit mereka dibalur minyak
sekujur tubuh. Mereka hanya mengenakan cawat dari
kulit binatang tanpa baju atau pakaian lain. Di pinggang mereka mengenakan sabuk


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang penuh dengan
pisau kecil. Mereka adalah para lelaki kerdil yang
mempunyai bentuk wajah beraneka ragam; ada yang
lonjong, ada yang bulat, ada yang mungil, ada pula
yang pletat-pletot dengan tulang rahang tak seimbang besarnya. Rata-rata
berambut pendek dan ikal.
Sungguh lucu memandangi mereka saling berjoget dengan teriakan-teriakan kegirangan, bagaikan
menikmati pesta yang penuh sukacita. Gadis Dungu
sendiri sempat terkesima memandangi mereka dengan
tangan masih tetap menabuh gendang.
Tetapi agaknya ada satu orang yang berilmu
tinggi. Orang kerdil yang berilmu tinggi itu berambut panjang, tapi bagian
depannya botak. Tampak sudah
tua, terbukti rambutnya sudah beruban tak rata, ia tidak terpengaruh oleh suara
gendang, sehingga tidak
ikut-ikutan berjoget. Orang itulah yang segera melemparkan pisau terbangnya ke
arah punggung Gadis
Dungu. Wuuuss...! Tepat pada saat itu tubuh Gadis
Dungu berpaling ke arahnya. Pisau itu langsung menancap di dada, bawah pundak kiri si Gadis Dungu.
Jrrrub...! "Aaagh...!" Gadis Dungu terpekik. Tubuhnya mengejang sesaat, lalu meliuk jatuh
berlutut. Tangannya tak mampu menabuh gendang lagi. Nafasnya pun
tampak memberat. Ia mulai kesulitan bernapas. Itu
pertanda ia terkena racun ganas yang ada pada pisau
berekor benang rumbai ungu.
"Serang dia! Hancurkan!" perintah si rambut panjang kepada para manusia kerdil
yang sudah berhenti berjoget.
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan tegang melihat mata Gadis Dungu mulai sayu
pertanda tak mampu bertahan lagi. Orang-orang kerdil pun segera
menyerangnya dari berbagai arah. Pada saat itulah Su-to Sinting tak banyak
berpikir lagi, segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak melebihi
kecepatan anak panah, menyamai kecepatan hembusan angin badai.
Zlaaap...! Weees...!
Gadis Dungu disambar dan dilarikan oleh Pendekar Mabuk, sehingga para manusia kerdil itu menyerang tempat kosong. Akibatnya mereka saling bertabrakan dalam satu titik.
Brrrus...! "Aaauuh...! Uuuhg...! Heegh...! Waadoww...!"
mereka saling pekik kesakitan. Salah seorang ada yang berseru bernada tegang dan
penuh keheranan.
"Hilang! Gadis itu hilang lenyap begitu saja!"
"Cari! Gali tanah itu, siapa tahu dia menenggelamkan diri ke dalam tanah itu! Lekas cariii...!" teriak si rambut panjang yang
agaknya sebagai ketua para
orang kerdil itu. Maka mereka pun segera menggali tanah tempat Gadis Dungu
berlutut tadi. Mereka menggali dengan cakar tangannya yang bergerak cepat
berkesan liar dan ganas. Mereka tidak melihat gerakan Suto Sinting menyambar
gadis itu karena kecepatan
gerak si Pendekar Mabuk memang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun bagi orang berilmu tinggi
yang telah kuasai indera keenamnya, ia mampu melihat gerakan dari jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk itu. Kecepatan gerak
seperti itu hanya dimiliki oleh beberapa tokoh sakti, termasuk guru si Pendekar
Mabuk yang dikenal dengan nama Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh ini
namanya masih berada
di urutan teratas dari daftar orang-orang sakti di rimba persilatan.
Tak heran jika Suto Sinting mampu kuasai jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam waktu singkat ia sudah berada di suatu
tempat yang jauh dari kerumunan orang-orang kerdil itu.
Di bawah tebing berongga menyerupai goa, Suto Sinting meletakkan Gadis Dungu dalam keadaan
duduk bersandar pada salah satu dinding goa tersebut. Suara debur ombak terdengar dari tempat mereka
berada, karena goa itu memang terletak di tepi pantai yang penuh dengan gugusan
batu karang di bagian
depannya. Tempat itu amat sunyi, sehingga Suto Sinting merasa aman membawa si Gadis Dungu ke tempat
tersebut. Wajah si gadis tampak memucat bagaikan wajah mayat dalam liang kubur. Ia masih berusaha bertahan dengan napas yang sangat berat. Sesekali mulutnya keluarkan desis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Racun pada pisau yang masih menancap di dada kirinya itu membuat bagian dalam tubuh Gadis
Dungu bagaikan dihujam jutaan jarum panas. Dari
ubun-ubun kepala sampai ujung kaki terasa sakit dan
perih sekali. Detak jantungnya pun terasa semakin
melemah, ketegangan urat-uratnya mulai terasa mengendur. Gadis Dungu tak mampu lagi gerakkan anggota tubuhnya kecuali bibir dan lidah. Ia masih mampu
keluarkan suara walau amat pelan.
Matanya yang mengecil sayu berusaha pandangi Suto Sinting yang duduk di atas batu karang datar di depannya. Pemuda tampan
itu tampak tenang, bahkan sempat menenggak tuaknya beberapa teguk. Ia
bersikap acuh tak acuh melihat keadaan si gadis yang amat menderita itu. Sikap
tersebut sengaja dilakukan dengan paksa, walau hati Suto sebenarnya tak tega
melihat penderitaan si Gadis Dungu.
"Dogol...," ucap si gadis dengan lirih, menyedihkan sekali kedengarannya. Tapi
Suto Sinting memaksakan hatinya untuk tabah. Seolah-olah ia tak
berbelas kasihan sedikit pun kepada gadis itu. Sang
gadis memandang dengan penuh harap pertolongan.
"To... tolonglah aku, Dogol...! Saa... sakit sekali sekujur tubuhku. Tolong...
tolong cabutkan pisau ini, Dogol...."
"Cabut saja sendiri," ujar Suto Sinting sambil bangkit dan melangkah ke tepi
goa, memandang ombak di sela-sela tonjolan batu karang. Si gadis merintih pelan,
kepalanya berusaha berpaling dengan susah
payah sekali. Wajahnya dihadapkan kepada Suto Sinting, memandang dengan sangat menyedihkan hati.
"Dogol... tolonglah aku. Ak... aku tak kuat lagi menahan racun pada pisau ini.
Tooo... long... aku, Dogol!" Dengan tanpa memandang si gadis, Suto Sinting
berkata agak keras supaya didengar lawan bicaranya. "Namaku bukan Dogol! Aku adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si
Gila Tuak!"
"Terserah...," ucap si gadis semakin lirih. "Kau boleh mengaku murid siapa saja,
tapi... tolonglah aku, selamatkan jiwaku, Dogol! Usahakan agar aku jangan
sampai mati di sini."
"Maunya mati di mana?" sambil Suto Sinting berpaling memandang dengan keharuan
tersimpan dalam hatinya.
Gadis itu semakin meredupkan mata. Bibirnya
yang ranum bergerak samar-samar, suaranya pun terdengar kecil sekali.
"Aku... tak mau mati.... Aku belum kawin, Dogol. Selamatkan nyawaku ini.... Nyawaku hanya... satu...." "Hmm...!" Suto Sinting tertawa pendek. Hatinya
masih dongkol juga karena si gadis tetap saja tak mau memanggilnya sebagai Suto
Sinting. Padahal sikap
acuh tak acuhnya itu diharapkan dapat meluluhkan
hati si gadis dan mengakui bahwa pemuda yang bersamanya itu adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk
yang menjadi murid si Gila Tuak. Namun ternyata gadis itu tetap keras kepala walau dalam keadaan semenderita itu. "Sembuhkan sendiri lukamu dengan keangkuhanmu, Indayani!" sambil Suto Sinting buang muka kembali, memandang ke arah
ombak laut yang meriak
di pantai. Suasana pun menjadi sepi, karena Gadis
Dungu tak perdengarkan suara lagi. Suto Sinting curi-ga, lalu berpaling menatap
ke arah si gadis.
Indayani pejamkan mata dengan tenang. Seringai penahan rasa sakit tak terlihat di wajah cantiknya.
Gadis itu diam tanpa gerakan apa pun. Bahkan gerakan dada montoknya yang menarik napas tidak ada
lagi. Suto Sinting menjadi tegang dan sangat cemas
melihat keadaan seperti itu. Ia segera menghampiri
dan memeriksa si gadis.
"Gawat! Tubuhnya telah menjadi sedingin balok
es! Wah, kacau berat kalau begini! Dia mati..."!"
Suto Sinting mulai panik, hatinya diliputi rasa
sesal dan cemas. Jantungnya sendiri menjadi berdebar-debar. Ia memeriksa denyut nadi si Gadis Dungu
itu. "Masih ada denyut nadinya walau lemah sekali.
Oh, mungkinkah masih bisa kuselamatkan"!"
Ia buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya sambil membatin,
"Alangkah menyesalnya aku jika gadis ini sampai benar-benar mati. Aku tadi hanya main-main, tidak bermaksud membiarkannya
menderita. Aku hanya ingin memberi pelajaran terhadap keangkuhannya itu.
Tapi... tapi mengapa dia menjadi selemah ini" Jangan-jangan ia benar-benar mati
sebelum aku berhasil meminumkan tuak ke mulutnya"! Adduuh... tumben sekali tutup bumbung tuakku ini sulit dibuka"! Ada apa dengan tutup ini?" Suto
Sinting memeriksa bumbung sejenak.
"Ya, ampuuun... terbalik! Yang kubuka bagian
bawah bumbung. Tentu saja tak akan bisa dibuka, karena bagian yang berlubang terjungkir ke bawah,
dan... yaa, Dewaaa...! Tuaknya tumpah! Pantas sejak
tadi kudengar suara mengucur, kusangka suara air
laut, ternyata suara tuakku yang tumpah! Sial! Benar-benar sial ini namanya!
Lalu bagaimana dengan nasib
Gadis Dungu jika tanpa tuak dari bumbung sakti ini"!"
Pendekar Mabuk menjadi bertambah panik. Gerakannya semakin menggeragap bagaikan serba salah.
4 RUPANYA si cantik yang angkuh itu ke manamana selalu diikuti oleh dewa keberuntungan. Keadaannya yang sekarat dapat dihindari walaupun melalui pertolongan orang lain. Suto Sinting berhasil selamatkan jiwa si Gadis Dungu
dengan sisa tuak yang
masih ada di bumbung. Tuak yang tersisa tinggal sedikit, mungkin tinggal dua
puluh tegukan lagi, dan Suto meminumkan sebagian tuak yang tersisa ke mulut
Gadis Dungu. Tak peduli dengan cara memasukkan tuak
dari mulut Suto Sinting ke mulut si Gadis Dungu seperti orang berciuman mulut dengan mulut, yang penting tuak itu tertelan oleh si gadis, dan nyawa si gadis
pun terselamatkan.
Seandainya gadis itu mengetahui bagaimana
Suto Sinting menuangkan tuaknya hingga tertelan oleh si gadis, tentu gadis itu
akan marah dan merasa tersinggung. Sebab sengaja ataupun tidak, bibir Suto
Sinting menempel di bibir si gadis untuk meniupkan
napas pendorong tuak agar masuk ke tenggorokan.
Tapi sudah tentu hal itu tak akan diceritakan
kepada si gadis. Suto Sinting hanya angkat bahu keti-ka gadis itu bertanya
dengan nada ketus dan sikap
mulai angkuh, "Bagaimana caramu mengobati lukaku!"
"Entah. Aku lupa," jawab Suto membalas dengan keangkuhan.
Si gadis segera tidak peduli dengan bagaimana
cara pengobatan yang dilakukan oleh Suto Sinting.
Baginya ia merasa lega karena kesehatannya telah pulih, kekuatannya telah kembali seperti sediakala, bahkan tubuhnya merasa lebih
segar dari sebelum terkena pisau beracun. Ia juga merasa lega karena luka di
dada kirinya tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Dengan begitu keadaan kulit
tubuhnya tetap mulus tanpa ca-cat seujung jarum pun.
Senja memancarkan cahaya merah di ufuk barat. Matahari yang nyaris tenggelam habis dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang
duduk di atas sebuah batu
karang datar. Ia sengaja membiarkan Gadis Dungu ada
di dalam goa. Ia bingung memikirkan bagaimana harus
bersikap terhadap Gadis Dungu yang angkuh itu.
Senja yang sebentar lagi akan berganti petang
ternyata menghadirkan deru angin agak kencang.
Rambut Suto Sinting murid Gila Tuak meriap-riap disapu angin. Deru angin itu membuat telinganya tak
mendengar langkah kaki Gadis Dungu yang mendekatinya sambil tetap berkalung gendang kecil. Tahu-tahu gadis itu lewat di samping
Suto, memandang ke arah
cakrawala dengan rambutnya yang bergerai-gerai. Ia
berhenti di bagian samping depan Suto Sinting dalam
jarak dua langkah. Suaranya terdengar tanpa berpaling memandang wajah Pendekar Mabuk.
"Dua kali kau pamer kehebatanmu dengan menyelamatkan nyawaku. Sampai sekarang aku tak tahu
apa maksudmu memamerkan ilmu perdukunanmu itu,
Dogol. Apa yang kau harap dariku sebenarnya?"
"Tak ada yang bisa kuharap darimu," jawab Su-to Sinting dengan pelan namun punya
makna dalam bagi orang yang cerdas. Sayang sekali gadis itu agaknya benar-benar dungu,
sehingga ia tidak merasa tersinggung dengan kata-kata yang bersifat merendahkan
dirinya itu. "Syukurlah jika kau tak mempunyai harapan
apa-apa dariku. Sebab jika kau mempunyai suatu harapan dariku, kau akan kecewa besar, karena aku tak
pernah memenuhi harapan seorang lelaki hidung belang seperti dirimu."
Selesai bicara begitu, ia berpaling menatap Suto
Sinting dengan sorot pandangan mata berkesan meremehkan sekali. Namun Suto Sinting berusaha untuk
tidak mengambil hati sikap itu. Ia hanya ter-senyum
tipis, kemudian berkata dengan kalem.
"Seandainya aku tahu banyak tentang dirimu,
aku dapat lebih banyak membantu kesulitanmu, Gadis
Dungu." Setelah membisu beberapa saat dengan tetap
memandang tanpa kedip, gadis itu pun akhirnya ajukan tanya kepada Suto Sinting,
"Apa yang ingin kau tahu dariku" Kau senang
mengorek rahasia pribadi seseorang rupanya."
"Terserah penilaianmu, yang jelas kulihat kau


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terancam bahaya berulang kali. Berarti kau mempunyai banyak musuh. Biasanya orang yang punya banyak musuh, tindak tanduknya dalam bermasyarakat
selalu bikin onar atau merugikan orang lain."
Gadis Dungu mendekatkan wajah dan menatap
lebih nanap lagi.
"Kurobek mulutmu jika sekali lagi mengatakan
diriku sebagai gadis pembuat onar dalam masyarakat!
Aku tersinggung dengan ucapanmu itu, Dogol!"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
tipis namun punya daya pesona yang cukup menggetarkan hati para wanita. Ancaman itu diremehkan,
bahkan Suto Sinting berkata dengan sedikit ketus untuk membalas keangkuhan si gadis.
"Apakah kau mampu merobek mulut orang
yang telah menyelamatkan nyawamu dua kali ini?"
"Jika hai itu perlu, tak ada pekerjaan yang tak mampu kulakukan! Kau pikir aku
takut berhadapan
denganmu" Hmmm... ilmumu belum seberapa, Dogol!
Jangan merasa hebat di depanku."
Suto Sinting tertawa tanpa suara, tubuhnya
bergerak-gerak dengan senyum kian melebar. Hati pun
sempat membatin penuh rasa heran atas sikap angkuh
yang masih saja sekeras baja itu.
"Tak ada ucapan terima kasih apa pun darinya,
tapi ia justru selalu mengecamku dan merasa berilmu
lebih tinggi dariku. Apakah begitu ajaran dari gurunya" Atau... mungkin karena ia seorang wanita, sehingga merasa perlu bersikap seangkuh ini di depan
seorang lelaki agar harga dirinya tak direndahkan?"
Setelah lemparkan pandangan ke cakrawala lagi, Gadis Dungu perdengarkan suaranya yang berkesan dingin itu.
"Dua kali aku hampir mati, dua kali kau menyelamatkan nyawaku. Tapi apalah artinya kau selamatkan jiwaku sementara kau biarkan perutku kelaparan begini"!"
"Kau lapar"! Oh, ya... aku pun Juga lapar."
"Dangkal sekali otakmu, Dogol. Seandainya aku
menjadi seorang lelaki yang mendengar seorang gadis
kelaparan, aku akan berusaha mencari makanan untuk mengisi perut si gadis agar tak kelaparan. Setidak-nya dengan cara begitu si
gadis akan menilai bahwa lelaki itu punya tanggung jawab dan mampu menjamin
kehidupan serta masa depannya."
Suto Sinting geli sendiri mendengar sindiran
seperti itu. Ia segera berdiri sambil menarik napas dalam-dalam.
"Aku akan mencarikan makanan untukmu asal
kau mau berjanji menceritakan siapa orang-orang kerdil yang menyerangmu dan menewaskan si Comblang
Sajak itu?"
Gadis Dungu gelengkan kepala sambil pandangi Suto Sinting.
"Aku tak mau mengikat janji dengan lelaki mana pun. Bagiku, setiap lelaki akan selalu memanfaatkan janji seorang wanita demi kepentingan pribadinya sendiri. Kalau kau mau mencarikan makanan
untukku, pergilah tanpa syarat apa pun dariku!"
"Kalau aku tak mau?"
"Jangan harap kau mendapat cerita tentang
orang-orang kerdil dariku!" jawabnya dengan ketus dan buang muka. Tampak sekali
keangkuhan dan sikap plin-plan yang membingungkan itu. Namun Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum menawan,
seakan tak mau memikirkan permainan kata-kata tadi.
Ketika Pendekar Mabuk bergegas pergi, Gadis
Dungu sempat bertanya dengan suara bernada waswas. "Mau ke mana kau?"
"Mencari kedai untuk mengisi bumbung tuakku!" "Apakah... apakah aku harus tetap di sini menunggumu?"
Suto Sinting angkat bahu, "Terserah...! Aku tak mau menyuruh seorang gadis
menungguku, karena
aku tak mau terikat janji dengan gadis mana pun."
"Hmm...!" gadis itu mendengus kesal, ucapannya tadi dibalikkan oleh Suto
Sinting. Wajah yang bersungut-sungut menahan dongkol cukup menghibur
hati Pendekar Mabuk hingga tawanya terdengar pelan
namun sedikit panjang. Ia pun segera bergegas pergi.
Gadis Dungu melompat ke atas gugusan karang dan
berseru kepada Pendekar Mabuk yang meninggalkannya. "Apakah kau akan kembali membawa makanan
untukku?" "Doakan saja semoga aku berpikiran begitu!"
jawab Suto Sinting sambil teruskan langkahnya. Ia tak pedulikan wajah si gadis
yang cemberut berkesan
manja. Ia pun tak tahu kalau si gadis menjadi bimbang dalam sikapnya dan
batinnya pun bertanya,
"Haruskah aku menunggunya di goa ini"
Uuh...! Untuk apa aku menunggunya, nanti dia besar
kepala. Dan lagi, belum tentu ia kembali ke sini lagi menemuiku. Sebaiknya
kutinggalkan saja. Aku harus
kembali ke padepokan untuk menengok keadaan Guru
yang menurut Paman Comblang telah terkena Racun
Batu Bisu itu. Oh, kasihan nasib Paman Comblang,
aku harus laporkan pada Guru tentang kematian Paman Comblang itu. Tapi...," wajah cantik itu mulai diliputi kebimbangan kembali.
"Tapi jika aku pergi, bagaimana dengan si Dogol jika ia kembali lagi kemari
dengan membawakan makanan untukku" Kasihan makanan itu, tak ada yang
menelannya. Bisa-bisa hanya akan dibuang begitu saja oleh si Dogol!"
Keangkuhan dan kebodohan Indayani telah
membuat rasa penasaran tersendiri di hati Pendekar
Mabuk. Ketika ia menyadari kepergiannya mencari sebuah kedai, ia semakin merasa heran oleh sikapnya
sendiri. "Mengapa aku menuruti keinginan gadis angkuh itu" Hatiku tergerak untuk
mencari makanan baginya. Bukankah itu berarti aku punya perhatian tersendiri kepada si angkuh Indayani" Mengapa aku jadi
memperhatikannya, sedangkan ia tidak peduli sama
sekali dengan jati diriku"! Ah, sial amat nasibku hari ini. Aku jadi diperbudak
oleh perasaanku. Gadis itu pandai membuatku penasaran dan sulit bersikap masa
bodo kepadanya!"
Bumbung tuak diisi penuh ketika Pendekar
Mabuk berhasil temukan sebuah kedai di perkampungan nelayan. Ia sempatkan mengisi perutnya sendiri
sekenyang mungkin.
"Aku akan pulang tanpa membawa makanan.
Biar gadis itu tahu bagaimana cara menghargai seseorang agar orang lain pun menghargainya," pikir Suto Sinting. Tiba-tiba kecamuk
dalam pikirannya itu terhenti oleh pembicaraan tiga orang pengunjung kedai
yang duduk di deretan sebelah kirinya.
"Kalau usaha kita ini berhasil; Gadis Dungu
dapat kita tangkap dan kita serahkan kepada Pangeran Umbardanu, hadiah bagianku
akan kugunakan untuk
melamar Suntini, gadis anak Ki Lurah Mangkat itu."
"Cocok! Aku juga punya rencana begitu. Upah
menangkap si Gadis Dungu akan kugunakan sebagai
mas kawin lamaranku kepada perawan belakang rumahku itu!" ujar lelaki berbaju kuning. Ia tampak lebih tampan dari kedua
temannya. Usia mereka rata-rata
sekitar tiga puluh tahun kurang.
Lelaki yang berbaju hijau garis-garis merah itu
berkata menimpali ucapan kedua temannya tadi,
"Kalian boleh saja berkhayal dan mengatur rencana, tapi terlebih dulu pikirkanlah bagaimana cara
menangkap si Gadis Dungu itu. Kabarnya gadis itu licin bagaikan belut dan sukar dilumpuhkan. Kalau kita tak hati-hati melawannya,
bisa-bisa nyawa kita melayang di tangan gadis murid Nyai Serat Biru itu.
Usahakan juga agar penangkapan ini jangan sampai didengar oleh Nyai Serat Biru, sebab jika sampai hal ini diketahui Nyai Serat
Biru, maka perempuan sakti itu
akan turun tangan dan kita akan semakin kewalahan!"
Kita menangkapnya bukan dengan kekerasan,
melainkan dengan siasat jitu yang pernah kita bicarakan itu! Kalau kita
menangkapnya dengan kekerasan,
pasti kita akan kehilangan nyawa. Bukankah Pangeran
Umbardanu sudah wanti-wanti kepada kita agar lebih
baik menggunakan siasat daripada melakukan pertarungan dengan si Gadis Dungu?"
"Yang kupikirkan seandainya siasat kita gagal,
mau tak mau kita bertarung dengan murid Nyai Serat
Biru itu. Jika sampai terjadi begitu, jagalah nyawa kalian masing-masing. Lebih
baik kita kehilangan upah
dari Pangeran Umbardanu ketimbang kita kehilangan
nyawa. Artinya, kalau keadaan kita terdesak, lebih
baik kita cepat melarikan diri dari pertarungan!"
Yang mengenakan pakaian serba hitam segera
berkata, "Aku yakin siasat kita tidak akan gagal. Tenanglah kalian, jangan cemas. Kita akan berhasil menangkap Gadis Dungu itu dan menyerahkannya kepada Pangeran Umbardanu dalam keadaan hidup ataupun mati."
Pendekar Mabuk diam-diam berkecamuk penuh keheranan dalam hatinya. Percakapan ketiga
orang berbadan kekar itu disimaknya baik-baik. Seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada dirinya untuk
memancing kemarahan. Tetapi Pendekar Mabuk sengaja diam dan tak mau terpancing apa pun oleh percakapan mereka, bahkan ia bersikap seolah-olah tidak
menyimak pembicaraan tersebut, walaupun dalam hatinya diliputi oleh berbagai pertanyaan yang sulit di-perkirakan jawabannya.
"Siapa orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu" Mengapa ia sampai mengupah tiga orang
untuk menangkap Gadis Dungu dalam keadaan hidup
atau mati" Agaknya aku perlu tanyakan hal itu kepada Indayani. Tapi apakah gadis
angkuh itu mau berterus
terang menjelaskan apa sebab ia diburu oleh beberapa orang?"
Orang berpakaian hijau garis-garis merah itu
terdengar berkata lagi kepada kedua temannya,
"Kudengar dari Perguruan Serikat Jagal juga
sedang memburu si Gadis Dungu. Apa benar begitu?"
"Menurut pengakuan salah seorang murid Dupa Dewa yang menjadi sahabatku sejak kecil, memang
begitulah kenyataannya. Pihak Perguruan Serikat Jagal juga memburu si Gadis Dungu. Kabarnya hanya ingin melenyapkan riwayat hidup si Gadis Dungu agar
tak sempat mencapai usia dua puluh lima tahun."
Batin sang Pendekar Mabuk pun bertanya, "Ada
apa dengan usianya" Apa yang terjadi jika gadis itu
sampai berusia dua puluh lima tahun"! Ah, ada-ada
saja masalah ini, bikin pikiranku menjadi bingung. Ta-pi... kasihan juga si
Gadis Dungu itu, menjadi bahan buruan beberapa orang yang agaknya sama-sama
ingin melenyapkan masa hidupnya."
5 RASA ingin tahu membuat Suto Sinting akhirnya membawakan makanan untuk Gadis Dungu. Ketika ia tiba di goa tepi laut, suasana petang sudah berubah menjadi malam. Gadis
Dungu diam di depan goa,
berdiri di atas batu karang runcing yang dapat menembus telapak kakinya jika ia tidak pergunakan ilmu peringan tubuh. Rambutnya
dibiarkan meriap-riap
disapu angin pantai. Wajahnya diam membisu disinari
cahaya rembulan pucat yang hanya tampak sepotong
dari balik mega.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
kecil melihat Gadis Dungu berdiri di atas pucuk karang runcing mirip mata tombak itu. Namun dalam hatinya merasa kagum memandang kecantikan pucat si
Gadis Dungu dalam keadaan berdiri tegak, berkesan
gagah, dengan kedua tangan bersidekap di dada, gendang berada di samping kanannya.
"Dia memang cantik dan menggairahkan. Tapi
aku tak boleh gegabah main cocor saja. Aku sudah
punya calon istri; Dyah Sariningrum. Aku tak mau terlibat hubungan asmara dengan
perempuan mana pun
demi menjaga kesucian cintaku, juga demi menjaga
harga diri Dyah Sariningrum yang sebagai Ratu di Puri Gerbang Surgawi yang
bertakhta di Pulau Serindu itu,"
ucap Suto Sinting dalam hatinya
Sambung batin Suto lagi, "Kalau hanya sekadar
cium-cium, tak apalah. Demi kesegaran jasmani dan
rohani saja." Lalu ia mengikik geli dalam hatinya.
Pendekar Mabuk terpaksa mendongak karena
letak berdiri si Gadis Dungu cukup tinggi. Ia berseru dari bawah si Gadis Dungu
itu sambil mengangkat
bungkusan makanan yang dibawanya.
"Indayani, aku membawa makanan untukmu!
Turunlah sekarang juga selagi makanannya masih
hangat!" Indayani, si Gadis Dungu menjawab, "Naiklah,
Dogol! Bawa kemari makanannya!"
Gadis Dungu tahu, Suto Sinting tak akan bisa
naik mendekatinya, karena bentuk batu karang yang
dipakainya berdiri menyerupai tiang runcing tegak lurus. Tak ada tempat untuk
memanjat, bahkan jika dilakukan dengan sebuah lompatan, tak ada tempat untuk berpijak di dekatnya. Itulah sebabnya Gadis Dungu sunggingkan senyum sinis, melecehkan kebingungan Suto Sinting yang tak punya jalan untuk mendekatinya. Pendekar Mabuk segera sadar dirinya dipermainkan oleh Indayani yang pamer ilmu peringan tubuh itu. Seruan untuk naik mendekatinya merupakan
tantangan bagi Suto Sinting.
"Lekas, naiklah! Jangan bengong saja di situ,
Dogol!" Pendekar Mabuk akhirnya tersenyum kalem.
Bungkusan makanan ada di kedua tangannya. Dan tiba-tiba tubuh Pendekar Mabuk terangkat ke udara
dengan sendirinya. Makin lama bergerak makin naik
hingga mencapai keadaan sejajar dengan tempat berdirinya Gadis Dungu.
Si gadis terperangah memandangi tubuh Suto
Sinting yang mampu berdiri di udara tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan terbang karena
Suto Sinting menggunakan jurus 'Layang Raga' yang
mampu mengangkat tubuhnya ke udara dengan pemusatan tenaga peringan tubuh pada kedua telapak
kakinya. "Kubawakan makanan untukmu, Indayani!"
ujar Suto Sinting dengan kalem dalam keadaan kedua
kaki mengambang di udara.
Indayani masih tertegun bengong karena terkesima dengan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk itu. Kata-kata tadi nyaris tidak didengarnya, sehingga ketika Suto Sinting mengulangi
kata-kata itu, Indayani segera sadar dan segera menggeragap.
"Eh, hmm... ehh... iya.... Makanan, ya" Iya...
eeh...." "Makanlah sekarang juga, mumpung masih hangat," kata Suto Sinting
sambil menyodorkan bungkusan makanan itu. Indayani menerimanya dengan
kedua tangan gemetar, mata menatap lurus pada kedua bola mata Suto Sinting yang terkena sorot rembulan pucat menjadi tampak teduh itu. Senyum Suto
Sinting pun mekar, seakan sebagai ungkapan kata
yang menyatakan bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Indayani. Hai
itu membuat Gadis Dungu
menjadi kikuk. Akhirnya keseimbangan tubuhnya pun
terganggu, ia terpelanting jatuh dari pucuk karang.
"Oooh...!!" pekiknya, bungkus makanan terlempar.
Wuuus...! Suto Sinting bergerak cepat menyambar bungkus makanan, sedangkan tubuh si gadis
dibiarkan jatuh terhempas di pasir pantai.
Brrruss...! "Dasar lelaki tolol!" maki si Gadis Dungu. "Mengapa yang kau sambar makanannya" Seharusnya tubuhku yang kau sambar biar tak jatuh begini! Uuh...
pinggangku jadi sakit gara-gara ketololanmu, Dogol!"
"Maaf, kupikir ilmumu tinggi sekali dan mampu
selamatkan diri dari kejatuhan, sedangkan makanan
ini tidak mempunyai ilmu apa-apa, jadi dialah yang
kuselamatkan lebih dulu," ledek Suto Sinting sengaja memberi sindiran yang akan
menjengkelkan gadis itu.
Pendekar Mabuk tertawa cekikikan sambil mendekati
Indayani yang telah berdiri dengan tangan pegangi
pinggangnya yang sakit. Wajah gadis itu cemberut bak ekor perkutut.
"Manusia tak berperasaan kau, Dogol! Cukup
lama aku menunggumu di sini, terhempas angin dicekam dingin, tapi begitu kau datang dan aku dalam bahaya, kau tidak segera menolongku."
"Aku tahu kau akan jatuh, tapi aku pun tahu
jatuhmu tak akan berbahaya. Jadi yang kuselamatkan
adalah makanan ini, ketimbang berantakan ke manamana tak jadi kau makan," ujar Suto Sinting semakin mendekat dan hentikan
langkah dalam jarak satu tindak di depan gadis itu. Tinggi tubuh si gadis yang
sa-ma dengan tinggi badan Suto Sinting membuat kedua
mata mereka beradu pandang secara lurus dan sejajar.
"Mengapa kau tidak menunggu di dalam goa
biar tidak kedinginan?" ucap Suto Sinting pelan, penuh kelembutan.
"Di dalam goa keadaannya gelap."
"Apakah kau tak bisa menyalakan api unggun?"
"Tak ada kayu di sana."
"Kau bisa mencarinya di luar goa?"
"Kau tidak menyuruhku mencari kayu."
"Aku juga tidak menyuruhmu menunggu, tapi
mengapa kau lakukan juga pekerjaan menunggu itu?"
"Karena aku lapar!" jawab si Gadis Dungu dengan nada ketus.
Senyum Pendekar Mabuk mekar kembali. "Kalau begitu, makanlah makanan ini. Aku akan mencari
Pendekar Sakti Suling Pualam 9 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 21

Cari Blog Ini