Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara Bagian 2
Tapi kita hanya lewat saja, Adi Pandan, kita tak perlu
singgah karena malam sudah begini larut," kata
Mahesa Wulung. Beberapa saat kemudian mulailah mereka
memasuki jalan desa itu Sepi. Desa itu terasa aman
tampaknya. tak suatu pun yang kelihatan
mencurigakan. Ketika mereka berdua tiba di pintu keluar dari
jalan desa itu, dari sebuah warung yang telah
tertutup pintunya, keluarlah seseorang yang berjalan
sempoyongan menuju ke arah mereka! Orang itu
sambil sempoyongan menyanyi tak karuan,
sementara bau tuak terhambur dari mulutnya.
"Jenang gula, kowe jangan lupa... Hah, hah, hah.
Wong ayu anaknya siapa... Heei, berhenti kamu yang
berkuda! Beri aku uang untuk beli tuak. Aku sangat
haus. Hah, hah, hah," orang itu meskipun
sempoyongan, tapi masih juga bisa mengacungkan
telapak tangannya ke arah Mahesa Wulung. "Ayo
lekas beri aku uang!"
Mahesa Wulung tahu bahwa orang ini sedang
mabuk, maka ia tak mau membuat keributan dengan
orang ini. Cepat ia mengambil beberapa mata uang
dari ikat pinggangnya kemudian diulurkan ke telapak
tangan orang ini. Begitu diterimanya, orang ini
dengan rakus menyimpan uang tadi.
"Terima kasih, hah, hah, hah, terima kasih."
"Kisanak!" sapa Mahesa Wulung kepada orang itu.
"Siapakah engkau, dan tampaknya Kisanak adalah
seorang pelaut yang ulung."
Mahesa Wulung sengaja memuji orang itu agar ia
mau mengoceh lebih banyak. la tahu, bahwa orang
mabuk suka mengoceh tanpa segan-segan tentang
segala pengalamannya.
"Hah, hah, hah, kalian belum kenal aku" Seorang
pelaut yang telah menjelajahi lima lautan di
Nusantara ini" Akulah Rajungan, anak buah Lajur
Terasi!" Bagai sambaran petir nama itu terdengar oleh
telinga Mahesa Wulung, sebab Lajur Terasi pernah
menjadi buronan armada Demak lima tahun yang
lalu. Waktu itu ia berhasil lolos dan sejak itu
namanya tak pernah disebut-sebut lagi oleh orang,
sementara ada yang mengatakan kalau ia telah
tenggelam bersama kapalnya, tapi ada pula yang
mengabarkan kalau ia tengah mendekam di Pulau
Nusakambangan untuk memperdalam ilmunya.
"Oh, jadi Kisanak adalah anak buah Lajur Terasi.
Tentu banyak pula pendekar-pendekar yang
menyertainya?" tanya Mahesa Wulung.
"Hah, hah, tepat kata-katamu itu! Pendekar Rikma
Rembyak dan gurunya, Ki Topeng Reges ikut pula
datang kemari!" jawab orang itu tanpa merasa curiga.
Kalau saja ia tahu kalau yang diajaknya bercakap itu
Mahesa Wulung, musuh utama setiap gerombolan
hitam, pastilah ia tidak akan sudi melayaninya. Dan
yang pasti iapun akan mencincangnya habis-habisan!
"Hmm, kalian memang orang-orang yang hebat,"
puji Mahesa Wulung. "Kalau begitu, siapakah yang
mendapat kehormatan atas kunjungan kalian ini?"
"Heh, heh, heh, kami datang kemari untuk
menjemput Empu Baskara!" ujar Rajungan.
"Menjemput Empu Baskara?" berseru Mahesa
Wulung setengah heran.
"Ya! Menjemput Empu Baskara dari tangan
Jorangas. Kami akan menukarnya dengan uang
panas!" "Ooh," desis Pandan Arum demi mendengar
ucapan Rajungan yang begitu gamblang. "Di mana
Kisanak akan mengadakan tukar-menukar itu?"
"Heh, heh, heh, heh. Wong ayu kepingin tahu"
Baik, aku akan mengatakannya, tapi kau pun harus
memberi uang kepada Rajungan ini! Heh, heh, heh."
Dengan cepat Pandan Arum mengambil beberapa
mata uang dari ikat pinggangnya lalu diberikan
kepada orang itu.
"Hmm, cukup banyak uangku sekarang. Kalau
kalian ingin tahu tempatnya, di sana, di kaki barat
Gunung Muria! Pada Jurang Mati itulah kami akan
bertemu dengan mereka."
Mahesa Wulung merasa cukup akan keteranganketerangan yang diocehkan oleh mulut Rajungan.
Maka ia tak bermaksud lebih lama lagi berada di
tempat itu. Apalagi ia telah mendengar nama
Rajungan dipanggil-panggil dari dalam warung.
"Rajungan! Rajungan! Di mana kamu"! Ayo lekas
kembali!" Segera Mahesa Wulung memberi isyarat kepada
Pandan Arum dan gadis inipun sudah tahu apa yang
harus diperbuatnya. Keduanya segera menghardik
kudanya untuk meninggalkan tempat itu.
"Maaf Rajungan, kami terpaksa meninggalkamu.
Malam sudah sangat larut dan kau dengar tadi,
kawanmu telah memanggilmu kembali!" seru Mahesa
Wulung. "Heh, heh, heh, pergilah sesukamu! Aku berterima
kasih atas pemberian uangmu ini, Kisanak. Mudahmudahan kita akan bertemu kembali." Rajungan
berkata sambil melangkah ke samping dengan
sempoyongan ia berjalan ke arah warung itu kembali.
Sementara itupun Mahesa Wulung bersama
Pandan Arum telah berpacu meninggalkan desa
Pecangakan, menuju ke arah barat laut, menempuh
jalan yang menuju ke kota Jepara.
*** 5 Bila kabut masih menyelimuti kota Jepara, tampaklah kesibukan yang sudah menjadi kebiasaan
penduduk kota itu sehari-hari. Mereka telah bangun
bersamaan kokok ayam jantan yang pertama, untuk
kemudian pergi ke tempat pekerjaannya masingmasing. Yang mempunyai sawah segera menggarap
sawahnya, sedang yang menjadi nelayan, mereka pun
pergi ke laut dengan membawa alat-alatnya. Begitu
pula yang berdagang ke pasar, mereka berbondongbondong menggendong barang dagangannya. Yang
laki-laki memikul dan anak-anak pun ada satu dua
yang mengikuti orang tuanya ke pasar.
Maka pada saat kesibukan itulah dari arah tenggara tampak dua orang berkuda memasuki kota Jepara.
"Adi Pandan Arum, kita akan langsung menuju ke
Balai Ksatrian agar Adi Jagayuda segera mengetahui
kedatangan kita," ujar Mahesa Wulung.
Gadis itu tersenyum. Katanya. "Baik, Kakang
Wulung, tapi apakah kita dapat beristirahat sejenak,
nanti" Aku sudah cukup merasa lapar, Kakang."
Mahesa Wulung agak terperanjat. Baru kali inilah
ia sempat mengingat bahwa semalaman mereka telah
berkuda menempuh jarak yang cukup jauh. Karena
kesibukan tugas itu, rasa lapar seolah-olah terlupakan. Tapi dengan pertanyaan Pandan Arum itu, iapun
sadar dan bahkan perutnya seketika merasa melilitlilit kelaparan. Maka berkatalah Mahesa Wulung.
"Oh, aku pun sudah merasa lapar pula, Adi Pandan. Memang kita akan beristirahat sebentar sambil
mengisi perut, dan yang penting kita pun akan berunding dengan Adi Jagayuda tentang tugas kita ini!"
Setelah keduanya membelok ke timur dan segera
memasuki pintu gerbang rumah yang berhalaman
luas, merekapun cepat-cepat turun serta menambatkan kudanya. Itulah Balai Ksatrian bagi para perwira
dari armada Demak!
Baru saja mereka selesai menambatkan kudanya,
dari arah pendapa keluarlah seseorang yang langsung
datang ke arah mereka.
"Ah, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan
Arum! Aku telah lama menunggu-nunggu kalian.
Nah, mari silahkan segera masuk." Jagayuda mempersilahkan kedua sahabatnya itu, dan ketiganya
masuk ke dalam pendapa.
Maka setelah ketiganya duduk tampaklah betapa
akrabnya mereka bertiga. Maklumlah, hampir dalam
setiap tugas ketiga pendekar ini selalu bersama-sama
mengalami suka dan duka. Mereka tak akan lupa
perjuangan mereka menentang gerombolan hitam
Alas Roban, kemudian, mengejar kawanan bajak laut
Karimun Jawa dan terakhir melawan badai di Selat
Karimata. Sedang kali ini ketiganya berhadapan
dengan tugas yang lebih berat, yaitu menemukan
kembali Empu Baskara yang telah hilang.
"Nah, Adi Jagayuda," ujar Mahesa Wulung sesaat
setelah mereka mengabarkan keselamatan serta
pengalaman mereka masing-masing. "Siang nanti
selewat lohor kita mulailah tugas kita ini. Aku
bersama Pandan Arum akan mencoba menerobos ke
sarang gerombolan Jorangas. Kalau ternyata Empu
Baskara masih berada di situ, kami akan berusaha
membebaskan. Sedang Adi Jagayuda sendiri langsung menuju ke Jurang Mati, untuk menunggu
setiap kemungkinan yang bakal terjadi."
"Baik, Kakang. Kalau begitu marilah sekarang menyiapkan bekal-bekal kita untuk perjalanan nanti,"
berkata Jagayuda. "Apakah kita perlu membawa
senjata jarak jauh, Kakang?"
"Panah maksudmu itu?" potong Mahesa Wulung.
"Ya," jawab Jagayuda.
"Hmm, baik. Bawalah senjata itu. Kita memang
menghadapi musuh yang cukup banyak serta berkekuatan besar. Pasti panah itu akan besar gunanya."
Begitulah, di waktu matahari mulai muncul di
lereng Gunung Muria dan sinarnya merayapi puncakpuncak pohon sawo kecik di halaman pendapa Balai
Ksatrian, ketiga pendekar itu sibuk mempersiapkan
bekal-bekalnya, termasuk senjata-senjata mereka.
Diperiksanya dengan teliti, apakah dalam keadaan
yang baik untuk menghadapi lawan-lawan mereka
yang tidak mustahil bersenjata yang lebih hebat.
Mereka pernah mengenal Pendekar Rikma Rembyak
yang bersenjata tongkat kayu disamping pusaka
terompet kulit siput yang bunyinya mampu
melumpuhkan jiwa dan kesadaran seseorang.
Ditambah dengan pendekar-pendekar lain seperti Ki
Topeng Reges serta orang-orang dari gerombolan
Jorangas, pastilah lawan-lawan yang harus mereka
hadapi tidaklah semudah orang menghalau berandal
yang hanya kecil-kecilan. Berandal yang harus
mereka hadapi kini adalah berandal-berandal yang
jauh lebih besar. Mereka bukan sekedar tukang
mencegat orang yang pergi berdagang ke pasar, tapi
jauh lebih dari itu. Mereka telah berani mengacau
keamanan dan kesentausaan Demak, maka tak ada
pilihan kecuali harus dihancurkan.
Waktu terus bergeser, seperti matahari yang
merayap dari garis edarannya, dari arah timur
perlahan-lahan bergeser ke arah barat, dan bila ia
telah membuat bayang-bayang tubuh condong ke
timur, maka berangkatlah Mahesa Wulung, Jagayuda
dan Pandan Arum meninggalkan pendapa Balai
Ksatrian, mereka menuju ke jalan yang mencapai
kota sebelah timur yang ditempuhnya dalam waktu
hanya sekejap. "Adi Jagayuda, di sinilah kita berpisah. Engkau
harus menuju ke timur menuju Jurang Mati dan aku
bersama Adi Pandan Arum ke arah tenggara," kata
Mahesa Wulung. Dan jangan lupa Adi, kau bersembunyi saja di tempat itu untuk mengawasi apa yang
terjadi di situ. Jangan bertindak lebih sebelum aku
datang." "Baik, Kakang. Aku akan melaksanakan perintahmu sebaik mungkin," jawab Jagayuda.
"Nah, sekarang mari kita segera berpisah di sini
Adi Jagayuda. Selamat dalam tugasmu kali ini dan
semoga Tuhan melindungi kita sekalian," seru
Mahesa Wulung sebelum ia bersama Pandan Arum
memutar dan memacu kudanya ke arah tenggara.
Sedang Jagayuda cepat-cepat melarikan kudanya ke
arah timur menuju ke kaki barat Gunung Muria.
Bagi Mahesa Wulung, tugas kali ini tak dapat
dibayangkan betapa kejadian yang bakal mereka
jumpai. Apakah lebih berat, apakah mereka berhasil
menemukan kembali Empu Baskara yang hilang atau
entahlah. Ia pun tak bisa menemukan jawabannya.
Maka jalan satu-satunya ialah berpasrah kepada
Tuhan Yang Maha Besar akan segala nasib mereka.
Sebab nasib mereka pasti telah tersurat, sehingga
manusia tak akan kuasa merubahnya.
Untuk beberapa lama Mahesa Wulung tak berkatakata dan Pandan Arum pun sibuk pula memacu
kudanya. Mereka segera mencapai daerah perbukitan
di kaki sebelah barat daya Gunung Muria. Pandangan
mata Mahesa Wulung seakan-akan terpaku pada
bukit yang terbujur membentang di hadapannya,
yang berlekuk-lekuk seolah-olah timbul tenggelam
diseling oleh kerimbunannya pohon-pohonan.
Jalan yang mereka lalui semakin menanjak berliku-liku. Udara pegunungan terasa sejuk meresap ke
dalam lobang-lobang kulit meskipun matahari bersinar dengan terik. Awan-awan putih seperti kapas
melayang-layang menyaput ujung dedaunan di atas
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon-pohon yang besar.
Bila mereka telah menempuh jalan yang makin
menanjak itu, kuda-kuda mereka semakin berkurang
larinya. Jauh di sana di sebelah barat laut, terhamparlah dataran rendah yang subur hijau itu seakanakan permadani raksasa yang terhampar sampai ke
tepi pantai Jepara. Genting-genting yang merah dari
rumah-rumah di kota Jepara terlihat sangat indah
dan di pantai tampaklah berderet-deret perahu armada Demak yang berlabuh dengan tenang. Sedang jauh
di tengah, perahu-perahu nelayan sibuk memungut
hasil-hasil laut yang berupa ikan-ikan segar.
Di kiri kanan jalan yang mereka lalui terbentanglah padang rumput luas, diseling dengan semaksemak pohon perdu yang berserakan di sana-sini tak
teratur. Pada lereng-lereng bukit yang cukup curam
tumbuh batang-batang ilalang setinggi dada.
Tiba-tiba Mahesa Wulung melayangkan pandangannya ke lereng sebelah selatan, di mana di bawah
kerimbunan pohon-pohon sarangan dan pakis terlihatlah oleh matanya yang tajam seperti burung elang,
akan bayangan sebuah goa.
"Adi Pandan Arum, lihatlah di sana!" seru Mahesa
Wulung. "Tampakkah olehmu sebuah goa?"
"Sttt!" bisik Pandan Arum. "Memang itulah tempat
yang kita tuju. Di situlah orang-orang Jorangas
bersarang. Baiknya kita turun saja di sini, Kakang
Wulung!" "Setuju," sahut Mahesa Wulung seraya meloncat
turun dari atas kudanya. "Kita tambatkan kuda-kuda
kita di bawah pohon cemara ini, Adi."
Perasaan terbang segera merayapi hati mereka, setelah kuda-kuda selesai ditambatkan pada kerimbunan semak-semak yang cukup tersembunyi. Dengan
mengendap-endap serta menerobos batang-batang
ilalang keduanya sedikit demi sedikit mendekati goa
itu. Mahesa Wulung di sebelah muka dan Pandan
Arum di belakang. Keduanya sangat berhati-hati. Sebisa-bisa mereka jangan sampai menginjak batangbatang dan ranting-ranting yang kering ataupun mematahkan cabang-cabang pohon sedikit pun, sebab
itu semua akan menimbulkan bunyi yang mudah
terdengar oleh telinga-telinga gerombolan Jorangas.
Jarak mereka semakin dekat. Keduanya berhasil
bersembunyi di semak-semak pohon pakis tidak
berapa jauh dari goa. Ketika mereka akan bertindak
lebih jauh lagi, tiba-tiba berloncatanlah orang-orang
bersenjata dari balik batu-batu besar dan dari cabang-cabang pohon sarangan, langsung mengepung
mereka. "Berhenti! Jangan bergerak!" teriak seorang tinggi
kekar bersenjata kapak besar. "Hua, ha, ha, ha.
Suatu kehormatan jika kalian sudi berkunjung ke
tempat yang terpencil ini! Dan kau yang telah
membuat malu kepadaku, kau pasi akan menerima
balasan yang setimpal!" teriak Gogorwana keraskeras sambil menunjuk ke arah Mahesa Wulung.
Mendengar kata-kata itu, Mahesa Wulung cepat
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Tapi ia
terpaksa menggagalkan sikapnya itu karena dari
dalam goa keluarlah Empu Baskara dengan terikat
tangannya ke belakang, dan di sampingnya berdiri
pula seorang yang berperawakan sedang dan kekar.
Pada ikat pinggangnya tergantung dua buah penggada pendek berujung bola besi berduri.
"Awas, berbuat sesuatu, nyawa Empu Baskara ini
akan segera melayang di tanganku!" ancam orang ini
yang tidak lain adalah Jorangas pemimpin dari
gerombolan Jorangas. "Sekarang katakan apa
maksud kalian datang kemari."
"Aku mau menjemput Empu Baskara!" kata
Mahesa Wulung lantang.
"Ha, ha, ha, menjemput Empu Baskara" Sayang,
dia sudah ada yang memesan, Kisanak! Mereka akan
menjemput Empu Baskara di Jurang Mati dan tidak
secara cuma-cuma kami menyerahkannya," ujar
Jorangas sambil ketawa meringis. "Mereka akan menukarnya dengan seperti uang emas! Nah, lumayan
juga, bukan!?"
"Kurang ajar! Kalian memang orang-orang yang
busuk! Sudah sepantasnya kalau kalian dicuci
dengan api neraka!" teriak Mahesa Wulung.
"Ha, ha, ha, kalian memang orang-orang yang
hebat. Berani memasuki sarang harimau!" ejek Jorangas kemudian. Sekarang aku persilahkan kamu
berdua beristirahat dulu dan selamat bermimpi... ha,
ha, ha!" Begitu berakhir kata-katanya, Jorangas menarik
sebuah tambang besar yang terjurai dari sebuah
lobang dinding goa dan seketika tanah yang dipijak
oleh Mahesa Wulung dan Pandan Arum bergetar
oleng dan merekah serta membuka, laksana pintu
maut yang menganga menanti korbannya.
Tubuh Mahesa Wulung dan Pandan Arum serentak
terperosok ke dalam lobang itu, diiringi oleh derai
ketawa yang gemuruh dari mulut-mulut anak buah
Jorangas. "Ha, ha, ha, nikmatilah hidupmu yang terakhir!
Sebentar lagi namamu akan musnah dan tak seorang
pun yang bakal menemukan mayatmu!" Sekali lagi
terdengar ejekan Jorangas.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum melayang terpelanting ke bawah. Untungnya mereka tidak kehilangan akal sehingga mereka masih dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya. Maka merekapun jatuh ke
dasar lobang tanah itu dengan kakinya lebih dahulu
menginjak tanah.
Sesaat kemudian terdengarlah lapat-lapat derap
kaki kuda meninggalkan tempat itu dengan aba-aba
Jorangas yang lantang.
"Cepat! Kita menuju ke Jurang Mati! Biarkan
kedua orang itu mampus di dalam lobang! Ha, ha,
ha!" Sesaat kemudian terasa kesunyian mencengkam
tempat itu. Apalagi bagi kedua makhluk yang malang
itu. Ternyata keadaan lobang perangkap dalam tanah
tersebut cukup tinggi dan dalam. Kira-kira setinggi
tiga tombak lebih sedikit, sedang sisi-sisi dinding dari lobang itu sangat
licin, terdiri dari batu-batu gunung
yang rupa-rupanya telah dipasah halus.
Demikian pula dengan udaranya, terasa sangat
pengap berbau belerang. Semua kejadian ini benarbenar di luar dugaan mereka. Mahesa Wulung dalam
hati mengutuk dirinya sendiri yang begitu kurang
teliti dan mudah kena perangkap musuhnya. Kalau
hanya dialami sendiri akan kejadian yang malang itu,
maka tak seberapalah penyesalannya. Tapi gadis
yang sangat dicintainya, kini terikut pula dalam
lobang perangkap gerombolan Jorangas. Sungguh
sayang. Sayang sekali jika Pandan Arum sampai
menemui bencana di tempat yang terpencil ini.
Kini Mahesa Wulung berdiam diri, sementara
kepalanya berputar mencari siasat untuk melepaskan
diri dari lobang perangkap ini.
Sedang Pandan Arum sendiri melihat Mahesa
Wulung berdiam diri, ia menjadi lebih bingung.
Sekarang timbullah dalam hatinya, satu perasaan
menyesal, karena telah mencampuri tugas kewajiban
Mahesa Wulung dan menyeretnya ke tempat ini,
sehingga mereka sendiri akhirnya terperosok ke
dalam perangkap lawan.
Berpikir begitu, Pandan Arum merasa berputus
asa untuk dapat keluar dari perangkap tersebut.
Nafasnya menjadi kencang tak teratur dan lehernya
serasa tersekat oleh sedu-sedu penuh penyesalan.
Kemudian bersama butir air matanya mulai
menetes dari sudut mata, gadis ini tiba-tiba merasa
cemas. Selanjutnya ia mendekap dada Mahesa
Wulung. "Oh, Kakang Wulung. Apakah kita akan mati
bersama di lobang tanah ini, Kakang?" isak Pandan
Arum berputus asa. Ternyata naluriahnya sebagai
wanita, yang mudah merasa cemas itu timbul secara
cepat. "Tenang, Adi Pandan. Tabahkan hatimu dalam
cobaan yang berat ini. Jika kita tak berhasil lolos dan terpaksa harus mati
disini, biarlah Adi. Bukankah
kita tetap berdua dan akan mati bersama-sama?"
"Benar, Kakang. Benar. Cinta kita akan kekal
selama-lamanya. Tapi Kakang Wulung, aku tak mau
mati dengan cara yang sekonyol ini, bagai tikus-tikus
dalam perangkap," ujar Pandan Arum sambil bersemburan sedu-sedannya. "Aku menyesal telah membawamu ke tempat ini, Kakang!"
"Jangan berkata demikian, Adi. Itu mungkin
sebagai suatu rentetan ujian yang harus kita hadapi
dengan sepenuh tenaga. Jika kita telah berputus asa
di tengah jalan, pastilah kita menjadi lebih cepat
hancur!" "Apakah Kakang menemukan suatu jalan untuk
lolos dari lobang ini?" Pandan Arum bertanya dengan
cemas "Akan aku coba dengan tenagaku, Adi. Nah, berlindunglah di belakangku. Aku akan mencoba merusak
dinding perangkap ini!" ujar Mahesa Wulung.
Dengan cepat Pandan Arum berdiri di belakang
Mahesa Wulung. Sesaat kemudian, Mahesa Wulung
telah mengerahkan dan memusatkan segenap tenaga
lahir batinnya bersamaan tangan kanannya menekuk
ke belakang serta mengepal.
"Hyaaaat!!!"
Glaaar! Suara benturan dahsyat akibat pukulan tangan
Mahesa Wulung yang berlandaskan aji 'Lebur Waja'
menggelegar di dalam lobang itu, hingga Pandan
Arum terpaksa menutupkan kedua belah tangannya
ke telinga. Satu sisi dinding batu gunung yang
merupakan dinding licin perangkap itu telah retak
dan hancur berkeping-keping lembut. Namun mereka
serentak terperanjat setengah mati bila dari lobang
pecahan dinding itu mengalir air yang berkepul
mengeluarkan dan menguapkan bau belerang yang
menyesakkan dada. Pandan Arum terbatuk-batuk
karena uap ini.
"Perangkap!" desis Mahesa Wulung menyaksikan
hal itu. "Mereka sengaja mengatur ini secara terperinci!" "Kakang Wulung, aku tak kuat lagi...," rintih
Pandan Arum diseling dengan batuk-batuk.
"Tahan sebentar lagi, Adi!" seru Mahesa Wulung
sambil melolos cambuknya dari pinggang. "Hanya inilah satu-satunya harapanku!"
Dengan menggenjotkan kakinya ke tanah yang kini
mulai terendam air, Mahesa Wulung melenting ke
atas bersamaan tangannya melecutkan cambuk Naga
Geninya ke arah atas, keluar dari lobang tersebut. Ia
berharap kalau ujung cambuknya berhasil mengait
salah satu benda di sekitar mulut lobang perangkap
itu, pastilah cambuk ini dapat dipakainya sebagai
alat pemanjat yang baik!
Taar! Ujung cambuk itu melesat keluar tapi sesaat
kemudian kembali lagi memantul ke bawah, karena
tak berhasil menemukan pegangan.
Mahesa Wulung menghadap ke arah lain dan sekali lagi melecutkan cambuknya ke mulut lobang itu.
Taar! Sretttt! "Berhasil!" desis Mahesa Wulung gembira, karena
ujung cambuknya terasa menemukan sasarannya
dan cepat-cepat ia mencoba menarik-nariknya, apakah cukup kuat untuk dipakainya memanjat.
Ternyata ujung cambuk Mahesa Wulung telah
melilit akar-akar dari pohon sarangan tua yang tumbuh di sebelah barat dari mulut lobang perangkap
tersebut. Sementara itu terasa kalau kaki mereka seakanakan tercelup dalam air mendidih yang berbau asap
belerang! Maka tanpa menunggu waktu lebih lama,
Mahesa Wulung segera memeluk pinggang Pandan
Arum dengan tangan kiri sedang tangan kanannya
berpegang cambuk. Hampir saja gadis ini jatuh ke air
panas itu karena badannya telah lemas akibat rasa
cemas dan uap belerang yang mematikan.
Untungnya dengan cepat-cepat ia memeluk pinggang gadis itu, Mahesa Wulung berhasil menahan
tubuh Pandan Arum yang mulai merosot ke air beruap belerang panas!
"Adi Pandan! Cepatlah bergantung pada bahuku
dan berpeganglah erat-erat!"
"Baik, Kakang Wulung," ujar Pandan Arum dengan
lemah. "Aku telah siap!"
Dengan susah payah, mereka berdua sedikit demi
sedikit memanjat ke atas melewati dinding yang telah
retak dan berlobang akibat pukulan Lebur Wajanya
Mahesa Wulung. Sambil menghindari dinding-dinding
yang licin, mereka terus memanjat ke atas dan
akhirnya dengan nafas yang lega, keduanya selamat
sampai pada mulut lobang perangkap itu.
Tetapi baru saja mereka selesai keluar dari lobang
tersebut, mendadak Pandan Arum berteriak nyaring.
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas, Kakang Wulung, mereka datang!"
Mata Mahesa Wulung menangkap dua bayangan
yang melesat ke arah mereka dengan bersenjata
pedang. "Kurang ajar! Kalian ternyata bernyawa rangkap.
Tapi jangan harap lolos dari tempat ini!" seru salah
seorang dari mereka. Kedua anak buah Jorangas
menyerang berbareng dengan tebasan pedangnya.
Dalam saat yang menegangkan ini Pandan Arum
cepat bertindak. Ia melolos selendang jingganya.
Sraat! Seleret sinar merah jingga melibat ke arah
pedang-pedang mereka dan langsung membelitnya
dengan keras. Dengan satu sentakan yang keras,
Pandan Arum menarik selendang jingganya ke belakang. Maka tak ampun lagi kedua orang itu bersama
pedangnya terdorong deras ke muka dan langsung
terpelanting ke arah lobang perangkap. Dua jeritan
berbareng terdengar bersama kedua tubuh mereka
lenyap ke dalam lobang itu.
"Senjata makan tuan!" desis Pandan Arum tajam.
Hatinya kini merasa agak puas, karena sebagian
dendamnya telah terbayar!
"Mereka cuma berdua, Adi Pandan! Lain-lainnya
telah pergi ke Jurang Mati!" ujar Mahesa Wulung.
"Marilah kita cepat-cepat menyusul mereka kesana!"
"Baik, Kakang. Mudah-mudahan kuda-kuda kita
tidak mereka temukan!" sela gadis itu.
Mahesa Wulung mengambil kembali cambuknya
yang masih terkait pada akar pohon sarangan.
Setelah itu keduanya menuju ke arah semaksemak pohon pakis dan menerobosnya. Terdengarlah
ringkikan kuda yang panjang, membuat Mahesa
Wulung dan Pandan Arum tersenyum.
"Lihat, Kakang. Kuda-kuda kita selamat."
"Yah, aku bersyukur, Adi. Tapi kita masih harus
memeras tenaga lagi. Kita harus mengejar mereka
secepatnya ke Jurang Mati, sebelum tukar-menukar
itu terjadi!"
Sekarang Mahesa Wulung melepaskan tambatan
kudanya, begitu pula dengan Pandan Arum. Sesaat
kemudian berderaplah langkah-langkah kaki kuda
mereka meninggalkan debu-debu yang berkepul ke
udara di muka goa itu.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum berjalan
beriring, menempuh jalan rintisan yang berkelokkelok seperti ular, menuju ke utara.
Matahari semakin bergeser ke cakrawala barat
dengan malasnya. Angin pegunungan terasa mengusap-usap tubuh mereka dengan segar, bagaikan
usapan seorang ibu yang begitu kasih kepada anakanaknya. Di sana-sini terdengar kicau burung yang
bersahut-sahutan dari sela dedaunan.
"Hari telah sangat siang," desis Mahesa Wulung.
"Dan sebentar lagi senja akan segera menjelma,"
sahut Pandan Arum.
Keduanya berdiam diri kembali. Masing-masing
terbenam dalam angan-angannya sendiri. Jiwa Empu
Baskara akan ditukar dengan seperti uang emas oleh
kawanan bajak Lajur Terasi, sungguh suatu perbuatan yang keterlaluan dan kelewat batas! Mereka
menganggap orang tua itu sebagai barang dagangan
yang bisa diperjual-belikan. Satu perbuatan yang
harus mereka cela dan kutuk habis-habisan.
"Kita harus tiba di sana sebelum gelap, Adi
Pandan," kata Mahesa Wulung. "Ayolah, kita lebih
cepat lagi!"
Langkah-langkah kaki kuda mereka bertambah
cepat melewati jalan yang begitu rumpil dan berbatubatu. Mereka mesti berhati-hati kalau tidak ingin
jatuh ke tebing jurang yang cukup curam, menganga
bagai mulut-mulut raksasa menanti mangsa.
Tempat yang akan mereka tuju adalah sebuah
dataran luas yang tepinya merupakan jurang yang
curam dengan batu-batunya yang bertonjolan runcing. Jauh di dasar jurang, mengalirlah sungai yang
jernih airnya seperti kaca dengan tenang.
Telah beberapa orang yang mati tercampak ke
jurang ketika lewat di situ. Maka tak heranlah bila
orang-orang menyebutnya dengan nama Jurang Mati.
Karena begitu dalamnya jurang itu, kalau orang
berani berdiri di situ serta menatap dasar jurang,
maka pastilah orang tersebut akan terjatuh ke sana
seolah-olah terhisap oleh satu kekuatan ajaib dari
dasar jurang. Mahesa Wulung dan Pandan Arum semakin
berdebar mendekati tempat itu. Entah, kejadian apa
yang bakal mereka hadapi.
*** Sementara itu, Jagayuda dengan tekun dan
hampir tak bergerak terus mengawasi dataran itu
dari sela-sela batu terjal yang terlindung oleh semak
pohon pakis. Bersamaan melayangnya awan putih yang berarakarak mengalir ke arah selatan, terdengarlah derapderap kaki kuda dari arah barat yang mengepullah
debu ke udara. "Hmm, gerombolan Lajur Terasi!" gumam Jagayuda
sendirian. "Tapi siapa yang berkuda di depan itu" Oh
tak salah lagi, itulah dia si Rikma Rembyak! Dan
yang di sampingnya itu, siapakah dia" Mengenakan
topeng yang rusak serta mengerikan, persis wajah
dari hantu. Mungkin inilah Ki Topeng Reges guru
saktinya Rikma Rembyak dari Segoro Kidul. Sekarang
tinggal menunggu orang-orang Jorangas. Mudahmudahan Kakang Mahesa Wulung tidak terlambat
datang di sini!"
Jagayuda sungguh merasa gelisah melihat
kejadian yang harus dihadapinya. Mengintai dua
gerombolan yang akan bertemu di Jurang Mati. Dan
hatinya akan lebih gelisah bila telah sekian lama
Mahesa Wulung dan Pandan Arum belum juga
datang. Ah, memang, menunggu adalah suatu pekerjaan yang berat dan membosankan. Yang dikuatirkan
adalah kelambatan!
Jika kedua gerombolan itu telah bertemu dan
berlangsung tukar-menukar itu, sedang Mahesa
Wulung belum juga datang, apakah gerangan yang
harus diperbuatnya" Merebut Empu Baskara seorang
diri" Salah! Itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab
seberapakah kekuatan dirinya bila dibanding dengan
tokoh-tokoh utama dari kedua gerombolan itu"
Tetapi dari dalam dada Jagayuda menggeloralah
satu perasaan lain. Perasaan tanggung jawab sebagai
seorang perwira Demak! Bagaimana sukar dan
berbahayanya keadaan yang harus dihadapi, ia tak
boleh berputus asa. Ya, ia akan bertekad merebut
Empu Baskara dari tangan mereka seorang diri, jika
kedua sahabatnya itu betul-betul tidak datang.
Belum lagi habis angan-angan Jagayuda, tiba-tiba
dari arah selatan kelihatan debu yang berkepulan
serta ringkikan kuda.
Dan muncullah kini orang-orang Jorangas. Berkuda paling depan adalah Jorangas sendiri, pemimpin gerombolan. Di belakangnya dua orang berkuda
berdampingan, yaitu Gogorwana yang bersenjata
kapak besar dan Empu Baskara dengan kedua
tangannya terikat ke belakang. Kemudian yang paling
belakang adalah tiga orang saudara pendekar pedang
bernama Jurangpitu, Parung dan Growong. Lalu
seorang lagi yang bersenjata tombak dan bernama
Watangan. Rombongan ini masuk ke dataran Jurang Mati
dengan gagahnya. Jorangas berkali-kali memilin
kumisnya yang lebat dan kaku sebagai pernyataan
rasa bangganya karena berhasil menculik Empu Baskara, seorang ahli menciptakan pusaka-pusaka ampuh dari Demak. Dalam matanya, sudah terbayang
gemerlapnya sinar-sinar mata uang emas yang sepeti
penuh, dan sebentar lagi akan diterimanya dari
orang-orang Lajur Terasi sebagai penukar Empu
Baskara. Setelah Jorangas dan orang-orangnya tiba di dataran itu, kini berhadap-hadapanlah kedua rombongan
itu laksana dua kekuatan iblis yang bertemu. Keduaduanya adalah gerombolan hitam yang gemar membuat kekacauan. Merampok dan membunuh adalah
hal yang biasa bagi mereka dalam mencari rejekinya.
Hingga tak jarang sering antara sesama gerombolan
hitam saling berbentrok karena memperebutkan
sasaran korban yang sama. Memang jarang ada
persesuaian paham antara mereka.
Namun kali ini, dua kekuatan hitam bertemu di
Jurang Mati, tidak untuk bertempur ataupun mengadu keunggulan. Kali ini mereka bertemu untuk
berdagang. Dan Empu Baskara yang menjadi barang dagangan itu, merasa sedih sekali. Tak nyana bahwa dirinya diperlakukan serendah ini, berbeda waktu ia
masih berada di Demak. Setiap orang akan mengangguk hormat bila bertemu dengan dirinya di jalan.
Hatinya penuh rasa penyesalan bila memikirkan
itu semua. Sungguh malang nasib dirinya! Kalau
dahulu ia bermaksud menghindarkan ancaman
orang-orang Jorangas dengan cara melarikan diri dari
Demak, sekarang ini malah betul-betul ia jatuh ke
tangan mereka. Sungguh memalukan! Apa kata orang-orang nanti
seandainya mereka tahu bahwa akibat tingkahnya
sendiri, ia telah masuk ke dalam perangkap gerombolan Jorangas.
Sejurus kemudian setelah kedua rombongan itu
berhadap-hadapan, mereka lalu turun dari kudanya
masing-masing. Jagayuda yang melihat hal ini, makin
bertambah gelisah. Namun tiba-tiba terasa pundaknya ditepuk dari belakang, hingga Jagayuda membalik cepat seraya melolos pedangnya.
"Tenang, Adi Jagayuda!" terdengar suara yang
berat. "Oh, Kakang Mahesa Wulung! Kau membuatku
terkejut. Di mana Nimas Pandan Arum sekarang?"
tanya Jagayuda.
"Stt, jangan bicara keras-keras. Tuh, lihat di
semak-semak ilalang di samping pohon kering di
belakangmu," ujar Mahesa Wulung. "Ia menunggu
kita di sana."
Jagayuda melihat ke arah tempat itu dan
tersenyumlah ia, karena dilihatnya Pandan Arum
berdiri di sana sambil melambai kepadanya, sedang
di sampingnya tertambat dua ekor kuda yang
tubuhnya berkilat karena basah oleh keringat.
"Nah, Adi Jagayuda. Sebentar lagi kita akan
melaksanakan siasat kita. Apakah kau telah siap,
Adi?" "Beres, Kakang. Aku paham akan segala tugasku
secara terperinci. Bahkan aku bersedia mempertaruhkan nyawaku untuk itu," jawab Jagayuda.
"Bagus. Kau memang ksatria Demak yang sejati,
Adi. Jasamu akan selalu tercatat dengan tinta emas.
Nah, mudah-mudahan kita akan berhasil kali ini!"
Sementara itu antara Jorangas dan Lajur Terasi
sebagai pemimpin dari rombongan masing-masing
terjadilah serah terima di dataran lembah Jurang
Mati. "Jorangas, terimalah ini satu peti uang emas
sebagai penukar Empu Baskara!" Lajur Terasi menyerahkan peti tersebut dan cepat-cepat disambut oleh
Jorangas dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Ha, ha, ha. Terima kasih, sobat. Terima kasih!
Tapi tunggu dulu! Aku akan melihat lebih dahulu,
apakah uang emas di dalam peti ini betul-betul asli"!"
kata Jorangas kemudian seraya membuka peti itu.
Diambilnya salah satu mata uang emas lalu digigit
serta dibauinya.
"Hmm, emas asli! Kalian memang sobat-sobat yang
baik! Sekarang, terimalah Empu Baskara. Juga
gulungan kertas yang menjadi miliknya ini, terimalah
pula. Itu semua menjadi milik kalian!"
Lajur Terasi menyeringai puas melihat Empu Baskara yang berdiri di hadapannya. Tetapi mendadak
satu alunan nada seruling mengalir ke lembah itu
dengan satu irama yang memukau, menggoncangkan
setiap jiwa! Mereka sesaat terpaku seperti patung, dan dalam
saat yang menegangkan itu, dari balik batu yang
terjal meluncurlah satu bayangan orang berkuda ke
arah mereka dengan cepat bagai angin. Penunggang
kudanya yang tidak lain adalah Jagayuda, dengan
sigap menyambar pinggang Empu Baskara dan
kemudian dibawanya lari ke arah utara sambil
berseru dengan keras-keras!
"Jorangas, Empu Baskara telah kembali ke tangan
kita! Sekarang, cepatlah kamu berlari dengan peti
uang emas itu!"
Mendengar teriakan itu, wajah-wajah mereka
seketika menjadi tegang dan merah. Sebaliknya
wajah Jorangas sesaat tampak pucat, karena ia sama
sekali tak mengerti, bahkan ia menjadi bingung
dengan teriakan orang yang berkuda itu.
Lajur Terasi, Rikma Rembyak dan Ki Topeng Reges
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi marah. Bagi mereka, teriakan orang yang
berkuda serta penyerobotan Empu Baskara itu cukup
memberikan satu pengertian yang gamblang bagi
mereka! Bahwa ada satu tipu muslihat yang diatur
oleh Jorangas. "Kurang ajar! Mereka memang telah mengatur
siasat yang licik! Empu Baskara telah diserobot
kembali oleh kaki tangannya!" desis Laju Terasi
sekaligus menghunus pedangnya.
"Tunggu dulu, sobat!! seru Jorangas. "Kalian salah
paham dengan kami! Orang berkuda tadi bukan..."
Permainanmu benar-benar mengagumkan kami,
Jorangas! Setelah uang itu kau terima, Empu
Baskara kau serobot kembali," teriak Rikma Rembyak
menyahut. "Apakah uang itu masih belum cukup
bagimu"!"
"Iblis kurang ajar! Kata-katamu membikin merah
telinga. Kau orang-orang jahat yang tak patut diampuni lagi!" Jorangas berteriak jengkel.
"Ha, ha, ha, mulutmu memang pintar mengoceh!
Apakah kau lupa, bahwa kau pun orang yang busuk.
Kita semua memang golongan orang-orang jahat! Ha,
ha, ha!" Jorangas menjadi bertambah marah. Demikian
pula para anak buahnya segera bersiap dengan senjata-senjatanya.
Jorangaspun cepat mencabut dua penggadanya
yang berujung bola besi berduri dari ikat pinggang.
Baginya tak ada lagi jalan keluar kecuali dengan
bertempur! Sekonyong-konyong dari semak-semak di belakang
rombongan Lajur Terasi, keluarlah Mahesa Wulung
sambil tertawa.
"Ha, ha, ha, Jorangas memang cukup licik, sobatku Lajur Terasi!"
"Hee, kaulah orangnya yang pernah mencoba
mengambil Empu Baskara dari sarangku!" teriak
Jorangas sambil mengacungkan senjatanya ke arah
Mahesa Wulung. "Lajur Terasi! Kau pun rupanya mempunyai akal
kancil! Orang itu telah kau kirim ke sarangku untuk
menculik Empu Baskara, sebelum tukar-menukar ini
terjadi. Untunglah ia gagal!"
Kalau tadi Jorangas yang kebingungan, tetapi kini
Lajur Terasi yang menjadi bingung. Melihat hal ini,
Jorangas dan anak buahnya sudah tidak sabar lagi.
Maka dengan teriakan gegap gempita mereka serentak menyerbu berbareng ke arah rombongan Lajur
Terasi. Di lembah Jurang Mati itu serentak terjadilah
lingkaran pertempuran yang hebat. Gemerincingnya
senjata yang beradu mengumandang di tebing-tebing
jurang sangat mengerikan.
Gogorwana langsung menyerbu ke arah Rikma
Rembyak dengan sabetan kapaknya yang berdesingdesing. Sedang Ki Topeng Reges menyongsong
serangan pedang dari Jurangpitu dan Parung
berbareng. Di sebelah selatan, Jorangas menyerbu ke arah
Lajur Terasi penuh nafsu. Dua senjata penggadanya
berputaran laksana angin, siap melanda Lajur Terasi
yang bersenjata pedang lebar. Dan tak jauh dari
tempat itu, Rajungan gigih melawan Growong dengan
pedangnya. Keduanya bersenjata sama dan kedua
pedang itu seperti dua pusaran angin yang setiap kali
berbentur hebat.
Di utara, Mahesa Wulung tanpa kesukaran menyambut serangan dari seorang anak buah Jorangas
yang bersenjata tombak. Mula-mula musuhnya ini
hanya melancarkan serangan-serangan yang tidak
berbahaya dan ini semua secara mudah dihindari
oleh Mahesa Wulung. Tetapi secara sedikit demi
sedikit dan pasti tombak lawan itu semakin hebat
geraknya. Ujung mata tombak itu menjadi puluhan
tampaknya dan menusuk serta mematuk ke arah
tubuhnya. "Hi. hi, hi, jangan kira nyawamu bisa selamat dari
tombak Watangan!"
Sesungguhnya untuk kelincahan serta kegesitan
lawannya yang bertombak itu, Mahesa Wulung
terpaksa harus bekerja lebih keras. Kalau mula-mula
ia hanya cukup dengan tangan kosong menghadapi
lawannya, namun sekarang ia tidak boleh terusmenerus mengandalkan kegesitannya melulu, apalagi
serangan tombak dari Watangan itu semakin rapat
mengurung dirinya. Meskipun tidak mengena, ujung
tusukan-tusukan tombak lawan telah memantulkan
angin yang menabrak kulit Mahesa Wulung, dan itu
pun sudah cukup membuatnya merasa perih.
Seharusnya hal itu tidak mungkin terjadi, karena
Mahesa Wulung telah mempunyai ilmu Sikap Tugu
Wasesa yang mampu menahan getaran pukulan atau
pun suara sehebat apapun. Memang, lawan yang
dihadapinya kini bukanlah lawan yang sembarang,
sebab Watangan memang jagoan bermain tombak di
antara anak-anak buah Jorangas lainnya. Sekiranya
Mahesa Wulung tak memiliki cukup tenaga serta
ketangguhan, dalam waktu tidak seberapa lama boleh
dipastikan kalau tubuhnya jebol berlobang-lobang
oleh tusukan-tusukan tombak Watangan.
Mahesa Wulung tidak ingin selalu mengecewakan
Watangan, karena ia telah berkali-kali mendengar
kutukan-kutukan dari mulut Watangan bilamana
setiap tusukan tombaknya tidak berhasil menyentuh
tubuh Mahesa Wulung sedikit pun. Maka segera ia
mencabut cambuk Naga Geni dari pinggangnya dan
diputarnya dengan hebat menyambut serangan
tombak lawan. Demikianlah, pertempuran mereka jadi lebih seimbang jadinya. Masing-masing memiliki ilmu memainkan senjata yang cukup bernilai tinggi, sampai setiap
gerakan senjata-senjata itu selalu menimbulkan
gulungan-gulungan angin yang deras sekali. Meskipun begitu hati Watangan lama-lama berdesir hebat
sebab cambuk lawannya itu mengeluarkan kilauan
sinar yang menyala biru kehijauan. Maka yakinlah ia
bahwa senjata itu bukan cambuk sembarangan,
seperti cambuk penghalau kerbau, tapi pastilah
cambuk pusaka yang ampuh.
Memang perkiraan Watangan tidak meleset, sebab
cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung itu
bergetar semakin hebat seolah-olah seekor naga yang
menari dengan ekornya yang siap menyambar setiap
orang pengganggu.
Sebuah tusukan tombak dengan saru menerobos
ke arah perut Mahesa Wulung dan hampir-hampir
saja mengenai sasarannya bila Mahesa Wulung tidak
keburu melesat ke udara, sekaligus memutar Naga
Geni ke arah bawah!
"Burung seriti meminum embun!" desis Watangan
melihat gerakan silat Mahesa Wulung yang menukik
ke bawah. Apa yang dikuatirkan selama ini benar-benar
terjadi. Ujung cambuk Naga Geni itu meluncur pesat
ke arah kepalanya dan satu suara benturan terjadi
bersamaan mulut Watangan meneriakkan satu jeritan panjang! "Aaargh!" Tubuh Watangan terjengkang ke
belakang dengan kepala hangus bagai dibakar. Ia
rebah tanpa berkutik lagi.
Di pojok lain Growong dan Rajungan bertempur
gigih. Mereka saling menyerang dan menangkis silih
berganti, tapi saat itu keduanya belum berhasil
menyudahi pertempurannya.
Sampai dengan saat ini, Lajur Terasi dengan
gigihnya menyambut setiap pukulan dan sambaran
senjata Jorangas, yang datangnya bagaikan hujan
deras. "Hayoh, Lajur Terasi! Kerahkan segala kesaktianmu untuk menghadapi penggada kembarku ini. Kalau
tidak, pasti kepalamu akan remuk disambarnya,"
seru Jorangas mengejek.
"Kamu boleh ngomong semaumu, Jorangas. Tapi
pedangku ini akan lebih dulu membelah tubuhmu!"
teriak Lajur Terasi sambil memutar pedangnya lebih
hebat lagi. Wess! Week! Sambaran pedangnya mengenai ujung
kain Jorangas yang terjurai pada ikat pinggang belakangnya. Karuan saja Jorangas terperanjat kelabakan melihat kainnya tersobek oleh pedang Lajur
Terasi. Tiba-tiba sebuah tebasan lagi menyambar ke arah
lehernya. Untunglah ia cepat-cepat bertindak! Dengan
mengendap ia berhasil lolos dari tebasan pedang itu.
Tetapi memang Lajur Terasi bukan orang yang
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia mengulang
serangannya! Untuk ketiga kalinya, Jorangas lebih waspada
dalam memperhitungkan siasatnya. Begitu sabetan
pedang Lajur Terasi menyambar kepalanya, cepat ia
berkelit ke samping hingga serangan itu hanya
mengenai tempat kosong. Dalam saat itu juga
Jorangas menggerakkan senjata di tangan kirinya
dengan cepat. Prak! Penggada berujung bola besi berduri itu
memukul tangan kanan Lajur Terasi yang menggenggam pedang lebar. Maka terlontarlah satu jeritan
panjang dari mulut Lajur Terasi dan pedangnyapun
terpelanting lepas. Setelah itu senjata bola besi di
tangan kanan Jorangas sekaligus meluncur ke bawah
dan menyambar kepala Lajur Terasi. Maka untuk
kedua kalinya ia menjerit dengan keras. Sesaat ia
geluyuran, tapi akhirnya roboh ke tanah dengan
kepala yang rengkah menganga dan matilah sudah
Lajur Terasi! Melihat lawannya telah berhasil dirobohkan, Jorangas menjadi lebih beringas, maka matanya nyalang
melihat ke sana-kemari. Kebetulan pandangannya
menatap pada Mahesa Wulung yang telah berhasil
memenangkan pertempurannya melawan Watangan.
Tanpa membuang waktu Jorangaspun melesat ke
arah Mahesa Wulung disertai sambaran-sambaran
penggada bola besi di kedua belah tangannya.
Mahesa Wulung cukup waspada melihat berkelebatnya seseorang yang menuju ke arah dirinya. Segera ia memapaki lawannya itu, dan bertempurlah
keduanya dengan hebat.
Di sebelah lain, Gogorwana memutar senjata
kapaknya yang berdesingan, menyerang tubuh Rikma
Rembyak dari segenap arah. Kalau saja yang menjadi
lawan Gogorwana itu orang biasa saja, pastilah sudah
sedari tadi akan mampus melawannya. Apalagi
senjata kapak Gogorwana itu tidak lumrah besarnya.
Terlalu besar kalau dipergunakan oleh orang-orang
biasa. Tapi bagi Gogorwana, yang tubuhnya tinggi
dan tegap itu, maka kapak tadi memang sangat cocok
serta seimbang untuk dirinya. Sambaran-sambarannya yang sangat berbahaya dan mematikan, setiap
kali mengancam nyawa Rikma Rembyak.
Dalam pada itu, Rikma Rembyak terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya dalam menghadapi
lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Ia sadar
bahwa dengan kekuatan jasmani dan kekuatan
melulu ia tak akan mampu melawan Gogorwana itu,
maka ia menggunakan kelincahannya.
Sehingga tidak heran jika tubuhnya sebentarsebentar melenting ke udara menghindari setiap
tebasan kapak raksasa Gogorwana. Dengan jubahnya
yang berwarna merah darah serta senjatanya tongkat
kayu, Rikma Rembyak terus-menerus mempermainkan lawannya dengan berloncatan kesana-kemari,
persis seekor kelelawar hantu pengisap darah.
Betapa panas hati Gogorwana karena dipermainkan oleh lawannya yang berambut gondrong awutawutan. Dalam matanya, tampaklah seakan-akan
Rikma Rembyak yang berambut gondrong itu adalah
seorang manusia iblis. Gogorwana lebih mempergencar serangannya dan makin bertubi-tubi bagai ombak
yang menyapu ke arah Rikma Rembyak.
Melihat perubahan gerak Gogorwana yang makin
garang itu, Rikma Rembyak tak ingin lebih lama
bersikap loncat sana loncat sini menghindari senjata
lawan. Lalu diputarnya tongkat kayu hitamnya memagari tubuhnya rapat-rapat. Mula-mula tongkat
hitam itu hanya bergerak di sekitar tubuhnya sekedar
untuk menutup dan menangkis serangan kapak si
Gogorwana. Setelah itu gerak tongkatnya bertambah
meningkat, melonjak jauh dari tubuhnya, seolah-olah
gerakan ular menerkam mangsa.
Gogorwana cepat memapaki tongkat Rikma Rembyak dengan tebasan lurus ke bawah. Daar! Dua
senjata yang dilandasi oleh tenaga dalam itu berbentur. Masing-masing tangan mereka bergetar hebat
oleh benturan itu.
"Ha, ha, ha, kau tak akan menang melawan
Gogorwana, setan gondrong! Rasakan nanti tajamnya
kapakku ini!" teriak Gogorwana penuh kesombongan.
"Edan! Baru berhasil membentur senjataku saja
sudah berani menyombongkan mulut! Tunggulah
nanti seranganku berikutnya. Rikma Rembyak tak
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mundur setapak pun!"
Selesai ucapannya, Rikma Rembyak segera menerjang ke arah Gogorwana dengan teriakan hebat.
"Haaaat!"
Tubuhnya meluncur cepat, namun betapa
kagetnya Rikma Rembyak bila Gogorwana dengan
gerakan ke samping kiri sekaligus membacokkan
kapaknya ke arah tubuhnya.
Braat! Jubah merah si Rikma Rembyak kena
tersobek sepanjang tiga jengkal jari.
"Kurang ajar!" kutuk Rikma Rembyak melihat
jubah kesayangannya tersobek oleh mata kapak
Gogorwana. "Ha, ha, ha, jubahmu tersobek, sobat" Maaf, yang
kuincar bukan jubahmu, tapi kulitmulah yang
seharusnya sobek," ejek Gogorwana.
"Keparat! Kau berani merobekkan jubah
kesayanganku!! desis Rikma Rembyak marah. "Kau
mesti bayar dengan nyawamu!"
"Ha, ha, ha, pasti jubahmu hanya laku dijual di
rombengan saja, sobat! Dan itu pun harus ditembel
lebih dulu, bukan" Ha, ha, ha!" Sekali lagi Gogorwana
mengejek hingga wajah Rikma Rembyak menjadi
semerah bara. Tanpa diduga-duga ia menerjang ke arah Gogorwana. Mendapat serangan yang tiba-tiba itu, Gogorwana
meloncat ke samping dan menyelinap di balik batang
pohon kering. Tetapi Rikma Rembyak yang sudah
naik darah itu terus menghajar ke arah Gogorwana.
Braak! Sabetan tongkat hitam Rikma Rembyak membentur batang pohon yang kering itu dan berderak roboh
ke tanah. Gogorwana cepat menghindar, kalau tidak
ingin mati konyol ketimpa pohon yang roboh.
Terbukalah mata Gogorwana betapa hebatnya
kekuatan Rikma Rembyak. Hanya dengan pukulan
tongkatnya saja, sebatang pohon kering yang cukup
besar berhasil dirobohkan begitu mudah.
Begitulah, keduanya bertempur dengan seru,
sampai pada lima belas gebrakan. Masing-masing
saling menunjukkan keunggulan dan keuletannya.
Pada jurus-jurus berikutnya, terlihatlah bahwa
Gogorwana telah mengucurkan keringat dinginnya,
sedang nafasnya berdengusan tak teratur. Itu semua
akibat dari pengerahan segenap tenaga simpanannya,
sebab kapak raksasanya itu membutuhkan tenaga
yang besar dalam menggerakkannya.
Rikma Rembyak tak menyia-nyiakan keadaan
lawannya itu maka cepat ia melancarkan serangan
terakhir dengan menyapukan tongkatnya ke arah
kaki Gogorwana.
Karuan saja lawannya cepat memapaki serangan
itu dengan tebasan kapaknya ke bawah. Tapi
ternyata serangan Rikma Rembyak tadi hanyalah
pancingan saja. Maka, begitu kapak Gogorwana
meluncur ke bawah, sekonyong-konyong tongkat
Rikma Rembyak berganti arah. Tongkat itu tanpa
terduga terus menyambar ke atas, ke arah dada
Gogorwana. Duk! Ujung tongkat Rikma Rembyak membentur
dada Gogorwana yang seketika menjerit hebat!
Wajah Gogorwana menjadi merah kebiruan sedang
bekas ujung tongkat Rikma Rembyak hanya menimbulkan warna biru hangus pada dadanya. Tapi orang
tak akan tahu bahwa bekas yang tampaknya sepele
itu berakibat lebih hebat di dalam rongga dada Gogorwana. Semua isi rongga dadanya telah rontok
akibat benturan tongkat lawannya.
Maka Gogorwana mengerang serta memuntahkan
darah hitam kental. Kedua belah tangannya melepas
kapaknya kemudian menekan dadanya seolah-olah
mencoba menahan isi dadanya yang telah hancur.
Namun sejurus kemudian, ia jatuh terjungkal dan
mati seketika. Dalam saat yang bersamaan, terdengar pula satu
teriakan ngeri dari mulut Rajungan yang termakan
oleh sabetan ujung pedang Growong. Rajungan
menekan lambungnya yang terluka, sedang tangan
kanannya yang masih berpedang itu cepat bergerak.
Dengan sisa tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke
arah Growong. Sayangnya, Growong cukup waspada. Begitu pedang itu meluncur ke arahnya, iapun cepat menangkis dengan satu putaran pedang setengah lingkaran,
sehingga pedang Rajungan terpental dan menghunjam ke tanah. Ketika Growong hendak menyerang
Rajungan kembali ternyata orang ini telah rebah ke
tanah tak bernyawa.
Jorangas yang masih bertempur melawan Mahesa
Wulung, sekilas melihat bahwa Growong berhasil
mengalahkan musuhnya, maka cepat-cepat ia
berteriak kepada anak buahnya itu.
"Growong! Cepat kau ambil gulungan kertas di
dekat Lajur Terasi itu! Surat itu sangat penting bagi
kita!" Begitu mendengar seruan pemimpinnya, Growong
cepat-cepat meloncat ke arah mayat Lajur Terasi yang
menggeletak, dan tidak jauh dari tubuh itu,
tampaklah segulungan kertas dan benda itu segera
disambarnya. "Bawalah lari jauh-jauh dari tempat ini!" terdengar
sekali lagi Jorangas berteriak dan Growongpun melaksanakan perintah itu. Maka berlarilah ia ke arah
selatan, cepat seperti anak panah lepas dari busurnya. Teriakan Jorangas tadi ternyata cukup keras,
sampai telinga-telinga lain pun bisa mendengarnya.
Dan di antara orang-orang yang pada saat itu bertempur di dataran Jurang Mati, Rikma Rembyaklah
yang paling menaruh perhatian terhadap peristiwa
ini! "Hmm, pasti gulungan kertas tadi berisi catatan
penting. Kalau tidak, mengapa Jorangas memerintah
anak buahnya itu untuk membawa kabur gulungan
kertas tadi dari tempat ini?" demikian pikir Rikma
Rembyak. "Aku tidak boleh membiarkan orang itu
minggat dari tempat ini! Gulungan kertas tadi harus
jatuh ke tanganku!"
Rikma Rembyak telah mengambil satu keputusan
dan itu pasti akan dilaksanakan. Maka tak lama
kemudian, melesatlah ia ke arah selatan, untuk
mengejar Growong.
Gerakannya yang dilambari oleh tenaga dalam
serta ilmu meringankan tubuh, membikin larinya itu
seakan-akan tak menyentuh bumi.
Kini, yang masih bertempur di lembah Jurang Mati
itu terdiri dari dua lingkaran. Yang di sebelah barat
ialah Jorangas yang dengan gigih melawan Mahesa
Wulung. Sedang di arah timur, Ki Topeng Reges
melayani Jurangpitu dan Parung dalam satu pertempuran yang teramat seru!
Ki Topeng Reges yang diketahui sebagai guru dari
Rikma Rembyak itu, gerakannya benar-benar mirip
hantu. Sebentar lagi ia melenting dan tahu-tahu
sudah berada di belakang Jurangpitu dan Parung.
Karena gerakannya tadi sangat cepat maka sukarlah
ditangkap oleh pandangan mata. Hingga ia seolaholah bisa menghilang serta kemudian muncul di
sana-sini. Selama itu ia tidak menggunakan senjata sama
sekali dalam menghadapi lawannya yang berpedang.
Baginya, cukup mengandalkan kedua belah tangannya yang ampuh dan untuk ini pun, Jurangpitu serta
Parung sudah mengerti akan kesaktian jari-jari Ki
Topeng Reges. Malah beberapa bagian dari tubuh
mereka selama bertempur itu, merasakan singgungan
jari-jari Ki Topeng Reges yang menimbulkan rasa
panas dan nyeri seperti disengat oleh puluhan lebah
berbisa. Maka kedua orang itu lebih berhati-hati
dalam menghadapi lawannya.
Betapapun hebatnya Jorangas yang memutar
kedua penggada bola besinya, toh belum juga ia
berhasil merobohkan Mahesa Wulung. Kalau tadi ia
telah memukul mati Lajur Terasi, terhadap Mahesa
Wulung pun ia mula-mula berharap demikian pula.
Sedang kenyataannya sekarang, menjadi terbalik!
Bukan ia yang memukul hancur lawannya yang jauh
lebih muda itu, tetapi ia sendirilah yang terusmenerus terdesak oleh putaran cambuk Naga Geni.
Bagi Mahesa Wulung, lawannya yang dihadapinya
kali ini sungguh-sungguh tidak bisa dianggap ringan.
Ia sadar kalau Jorangas termasuk pendekar berilmu
tinggi, dan ini terasa dalam sambaran-sambaran
penggada besinya, yang selalu dibarengi oleh angin
panas. "Ha, ha, ha.... Hai, Mahesa Wulung! Kalau kau
memang seorang pendekar jagoan, hadapilah senjata
kembarku ini yang sebentar lagi akan merencak
tubuhmu!" Jorangas berteriak nyaring dengan
sombongnya. "Ya, tertawa dan menyombonglah sepuasmu, sebelum ajalmu tiba, sobat!" jawab Mahesa Wulung.
"Kurang ajar! Kau bocah cilik yang bermulut besar!
Matilah kau sekarang!" seru Jorangas sekaligus
menyapukan tangan kanannya yang menggenggam
penggada bola besi itu ke arah kepala Mahesa
Wulung, berbareng pula penggada kirinya bergerak
pula menyambar dada lawannya.
Bagi Mahesa Wulung tak mungkin untuk menghindari serangan sedemikian cepat dan tiba-tiba.
Satu-satunya jalan ialah berjungkir balik surut ke
belakang sejauh satu tombak, hingga dirinya terbebas
dari pukulan-pukulan maut Jorangas.
Karuan saja mulut Jorangas menghambur-hamburkan makian, karena calon korbannya itu berhasil
lolos dari sambaran beruntun penggada besinya.
Mahesa Wulung segera berdiri kembali serta bersiaga, sementara Jorangas pun berhenti sejenak untuk
mengatur aliran nafasnya yang tersengal-sengal tak
teratur. Demikian pula dengan Mahesa Wulung.
Kini kedua lawan itu berhadap-hadapan serta
bersiap kembali dengan senjata. Jorangas sekali lagi
memutar kedua penggada bola besinya, siap
merangsang lawannya.
Sekali ini Mahesa Wulung telah matang memperhitungkan siasatnya. Sebelum Jorangas terlalu dekat,
ia terlebih dulu melecutkan cambuk Naga Geninya ke
arah lawan. Hal ini sama sekali di luar dugaan Jorangas, sehingga ia cepat-cepat menyilangkan kedua
penggada bola besinya untuk menangkis ujung
cambuk lawan yang meluncur bagai seekor naga ke
arah dadanya! Sreettt! Ujung cambuk Naga Geni berhasil melilit
kedua senjata Jorangas yang bersilang itu.
Jorangas sendiri meringis gembira melihat tangkisannya berhasil. Tetapi kegembiraan ini hanya sesaat, sebab kedua senjatanya seolah-olah melekat
oleh belitan cambuk Naga Geni.
Jorangas terperanjat, maka cepat-cepat ia menarik
kedua senjatanya itu agar terlepas dari belitan
cambuk lawan. Ia tak ingin kehilangan senjata
kesayangannya yang selama ini telah menjadi
andalannya. Sebaliknya Mahesa Wulung, begitu terasa cambuk
Naga Geni tertarik oleh lawan, iapun mengerahkan
segenap tenaga dalamnya, sehingga terjadilah tarikmenarik antara Mahesa Wulung dengan Jorangas.
Tanpa setahu Jorangas, Mahesa Wulung tertawa
dalam hati, sebab memang hal inilah yang telah
diharapkannya! Maka ketika tarikan Jorangas
semakin keras, Mahesa Wulung pun lebih keras lagi
menggenggam cambuk itu dengan kedua belah
tangannya! Melihat ini, Jorangas menjadi lebih berusaha keras
dengan tarikannya. Dan di saat tarikan Jorangas
sampai pada puncaknya, Mahesa Wulung mengendorkan tarikan cambuknya ke muka, sehingga mau
tak mau Jorangas terhuyung-huyung ke belakang.
Mahesa Wulung tak menyia-nyiakan kesempatan
ini. Dengan meminjam tenaga lawan yang menarik
cambuknya dengan keras, ia melesat ke depan ke
arah Jorangas, sementara kedua tangan masih
menggenggam erat cambuk Naga Geninya.
Gerakan ini sangat mengagumkan! Tubuh Mahesa
Wulung laksana peluru yang melayang di udara dan
langsung menuju ke arah Jorangas.
Untuk ini, lawannya terperanjat bukan main! Ia
tak sempat lagi menghindar ataupun lari. Apalagi
kedua senjatanya itu terbelit ketat oleh cambuk
Mahesa Wulung. Maka kejadian berikutnya sukar ditangkap mata, apabila tangan Mahesa Wulung menghentakkan cambuknya ke belakang dengan beberapa
putaran, sehingga terlepaslah ujung cambuknya itu
dari belitan pada penggada Jorangas. Dan selanjutnya Mahesa Wulung dengan mengerahkan segenap
tenaga serta ilmu pukulan Lebur Wajanya ia melecutkan cambuk Naga Geni ke bawah, ke arah kepala
Jorangas. Cambuk itu meluncur laksana kilat.
Kraak! Terdengar suara benturan keras, disusul
oleh jerit kesakitan yang panjang terlontar dari mulut
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jorangas. Ia masih mencoba berdiri, tapi serentak
tubuhnya bergemetaran lagi terjengkanglah tubuh
Jorangas ke belakang dengan mata melotot liar serta
darah menyembur dari kepalanya yang pecah.
Mahesa Wulung dalam hati mengucapkan syukur,
karena Jorangas yang menjadi lawannya telah mati.
Kematian yang setimpal bagi seorang yang telah
sekian waktu membuat keonaran serta kejahatan
terhadap bebrayan sehari-hari!
Ketika ia melirik ke arah timur, tampaklah Ki
Topeng Reges masih melayani serangan-serangan
Jurangpitu dan Parung.
"Hmm, biarlah mereka menyelesaikan urusannya
sendiri. Aku masih harus menjemput Empu
Baskara!" gumam Mahesa Wulung sambil melesat ke
arah utara, untuk mencari Jagayuda yang telah
berhasil menyerobot lari Empu Baskara.
Dengan berlari cepat dan diseling oleh loncatanloncatan panjang dari batu yang satu ke batu yang
lain, tubuh Mahesa Wulung bergerak persis anak
kijang yang lincah dan binal. Ia berbelok ke arah
barat laut dan sebentar saja lenyaplah di balik batu
terjal dan semak-semak pohon pakis.
Ki Topang Reges melihat pula ke sekeliling tempat
itu. Sepi semua! Kecuali mayat-mayat anak buahnya
sendiri dan juga anak buah Jorangas yang berkaparan bermandi darah.
Ia sudah cukup lama menghadapi kedua lawannya
yang bersenjata pedang itu. Kini tibalah ia mengeluarkan ilmu simpanannya.
"Hee, tikus-tikus! Kalian sudah cukup bermainmain, bukan"! Nah, sekarang hiruplah udara segar
untuk penghabisan kalinya!" Ki Topeng Reges berteriak keras dan suaranya menggema berpantulan
dari tebing ke tebing sangat menyeramkan.
Jurangpitu dan Parung sadar bahwa Ki Topeng
Reges mengeluarkan ilmu simpanannya. Oleh sebab
itu keduanyapun lebih mempergencar serangannya.
Meskipun hal ini tidak banyak gunanya, tapi setidaktidaknya dapat memperpanjang hidupnya sesaat.
Ki Topeng Reges merentangkan kedua belah
tangannya ke depan sambil memusatkan kekuatan
ilmunya. Dan terpekiklah bila mata Jurangpitu dan
Parung melihat ke arah wajah Ki Topeng Reges yang
berkedok seperti hantu.
Mata Ki Topeng Reges itu membara merah dan
makin lama makin menyala mengerikan.
"Ha, ha, ha, tikus-tikus berdua! Lihatlah mataku
ini! Lihatlah! Kalian akan merasakan ilmu simpananku yang tiada bandingannya. Terimalah ilmu 'Netra
Dahana' ini!"
Jurangpitu dan Parung tak sempat lagi melarikan
diri atau menghindari serangan dahsyat ilmu 'Netra
Dahana'. Sebuah sinar merah seperti lidah api memancar dari mata Ki Topeng Reges dan menyambar
ke arah kedua lawannya itu, yang seketika menjerit
hebat. Jurangpitu serta Parung berjingkrakan kesanakemari dengan memegang kepalanya masing-masing,
persis ayam yang disembelih! Sedang kepala mereka
hangus terbakar oleh pancaran api yang keluar dari
mata Ki Topeng Reges!
Kedua orang itu tak lama kemudian roboh ke atas
tanah, diiringi oleh derai ketawa Ki Topeng Reges
yang kepuasan melihat kedua lawannya telah mati.
Ketika ia melihat ke sekeliling, terdengarlah mulutnya
mendesis. "Hah, ke mana muridku si Rikma Rembyak tadi"
Aku harus mencari dia dan kemudian menemukan
kembali Empu Baskara!"
Segera Ki Topeng Reges melesat ke arah selatan
untuk mencari Rikma Rembyak!
*** Di kegelapan senja, sebuah bayangan manusia
berloncatan menuruni tebing-tebing dan berhenti di
sebuah tanah lebar di tepi Jurang Mati. Dilihatnya di
tempat itu telah berdiri tiga sosok tubuh, yang
terkejut melihat kedatangannya.
"Oh, Kakang Mahesa Wulung!" teriakan yang bernada lembut terdengar dari salah satu bayangan itu.
"Adi Pandan Arum, syukurlah kalian selamat! Dan
inikah Empu Baskara?" tanya Mahesa Wulung sambil
mendekati Empu Baskara yang masih berdiri dengan
wajah murung. Jagayuda tersenyum melihat kegembiraan itu.
"Ya, inilah Empu Baskara, pamanku dari Demak!"
ujar Pandan Arum membuat Mahesa Wulung
terbeliak kaget! Demikian pula dengan Jagayuda.
"Pamanmu" Empu Baskara ini masih pamanmu
sendiri, Adi Pandan!?" seru Mahesa Wulung.
"Benar, Kakang Wulung. Maaf, aku tak mengatakan kepadamu sejak dahulu, karena aku kuatir hal
itu akan menambah kesulitan!"
"Kalian telah terlambat!" potong Empu Baskara
lemah. "Gulungan kertasku yang berisi catatancatatan penting rahasia panahku Braja Kencar telah
jatuh ke tangan orang-orang jahat itu!"
"Ooh!" terdengar desis penyesalan dari mulut
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda.
Suasana sesaat menjadi sunyi. Kecuali bunyi
gemericik air sungai yang mengalir di dasar jurang
dan sesekali terdengar alunan suara burung hantu
yang menambah keseraman.
Bagi Mahesa Wulung, pernyataan Empu Baskara
tadi sangat mengejutkan sekali. Bayangkan! Seandainya catatan rahasia panah Braja Kencar tadi terbuka
oleh penjahat-penjahat itu, pastilah akan berakibat
luar biasa. Mereka pasti akan menggunakannya
dalam pekerjaan-pekerjaan jahat mereka!
Sekonyong-konyong, dari puncak tebing
terdengarlah derai ketawa yang menggetarkan udara
senja, membuat keempat orang itu kaget dan
melongok ke atas ke arah puncak tebing.
"Rikma Rembyak!" desis mereka berbareng, ketika
di tebing itu berdiri bertolak pinggang si pendekar
berambut gondrong awut-awutan!
"Ha, ha, ha, kalian sudah tahu namaku" Itu
bagus! Lihatlah sekarang di tangan kiriku ini.
Segulungan catatan rahasia Empu Baskara yang
telah berhasil kurebut dari tangan si Growong, anak
buah Jorangas! Kalau kalian ingin selamat, serahkan
pula Empu Baskara ke tanganku. Nanti boleh aku
tukar dengan uang emas!"
"Keparat! Kami tak serendah itu! Bagi kami nilai
Empu Baskara sama dengan nyawa kami!" teriak
Mahesa Wulung. "Kau boleh membawanya setelah
berhasil melangkahi mayat-mayat kami bertiga lebih
dulu!" Rikma Rembyak menggerundal sendiri, sebab ia
tahu tak akan mampu menghadapi ketiga pendekar
bersama-sama sekaligus.
"Diamlah kalian!" seru Empu Baskara memotong.
"Tak perlu lagi kalian memperebutkan diriku yang
telah begini sengsara. Itu semua memang salahku.
Aku telah menciptakan senjata ampuh, panah sakti
Braja Kencar dan akibatnya, keonaranlah yang
timbul! Aku tak ingin menyesali hal itu sepanjang
hari tuaku. Selama aku masih ada, penyesalanku tak
akan habis. Kini biarlah aku mengambil suatu keputusan," Empu Baskara berkata sambil terseok-seok
melangkah ke arah tepi Jurang Mati.
Semua mata seolah-olah terpaku seperti kena sihir
dan pukau yang hebat!
Tak seorang pun bergerak kecuali Empu Baskara
yang terus melangkah ke jurang dan sesaat ia
berhenti serta menoleh ke belakang!
"Nah, biarlah aku beristirahat di dasar Jurang Mati
ini. Kalian tak perlu lagi ribut-ribut!"
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda
bergerak berbareng untuk memburu dan mencegah
maksud Empu Baskara. Tetapi sebuah sambaran
sinar putih disertai derai ketawa, meluncur dari atas
tebing dan lurus menuju ke arah punggung Empu
Baskara yang tengah berdiri termangu di tepi jurang.
"Aaaakh!" Empu Baskara berteriak lemah ketika
jarum-jarum berbisa menembus punggungnya,
kemudian disusul dengan tubuhnya roboh dan
melayang ke bawah, ke dasar jurang yang dialiri oleh
air sungai sejernih kaca.
"Ha, ha, ha, maaf aku telah menolong kematian
orang tua itu lebih cepat dengan jarum-jarum bisaku!
Nah, sekarang aku akan meninggalkan kalian,"
terdengar Rikma Rembyak berseru dari atas tebing.
Tetapi di saat itu, Jagayuda bertindak lebih cepat!
Ia memasang panahnya dan sebentar itu pula
beberapa anak panah telah ditembakkan serta
meluncur ke arah Rikma Rembyak.
Namun sayang Rikma Rembyak waspada. Maka
begitu anak-anak panah itu meluncur ke arah
dirinya, ia memapakinya. Tak! Tak! Trang!
Semua panah Jagayuda tersampok rontok tanpa
satu pun yang menyentuh tubuh Rikma Rembyak.
Jagayuda sangat marah, demikian pula Pandan Arum
yang masih terisak-isak atas kematian Empu
Baskara, seorang pamannya yang telah sekian tahun
dirindukannya! "Keparat! Aku akan kejar kamu, dan merebut
kembali surat rahasia Empu Baskara!" teriak
Jagayuda sambil meloncat ke arah puncak tebing di
mana Rikma Rembyak berdiri.
Melihat hal itu, Pandan Arum pun tak tinggal
diam. Cepat ia melesat menyusul Jagayuda untuk
mengejar Rikma Rembyak.
Sebentar saja keduanya tiba di puncak tebing, tapi
Rikma Rembyak bukan orang-orang bodoh kalau
masih berdiam diri di tempat itu. Iapun berlari,
sehingga terjadilah kejar-mengejar. Ketiga bayangan
itu bagai tupai-tupai yang lincah berloncatan dan
akhirnya lenyap di balik batu-batu terjal di arah
timur. Mahesa Wulung tinggal sendirian di tempat itu.
Suatu pukulan hebat bahwa tugasnya ini hampir
seluruhnya gagal. Empu Baskara telah tewas,
demikian pula catatan rahasianya lenyap pula
terbawa oleh Rikma Rembyak. Harapan satu-satunya
ialah kepada Jagayuda dan Pandan Arum yang kini
tengah mengejar Rikma Rembyak. Dapatkah mereka
merebut kembali gulungan kertas itu"
Yah, entahlah, Mahesa Wulung cuma bisa berdoa
dalam hati semoga keduanya berhasil. Dalam hati
iapun maklum bahwa sesuatu tidak selalu berhasil
seperti yang diharapkan. Sekali berhasil sekali-sekali
gagal. Begitulah irama kehidupan!
"Hua, ha, ha, ha. Kini berhasillah aku berhadapan
muka dengan pendekar jagoan dari Demak! Hayo,
perlihatkan semua kesaktianmu, kalau tidak ingin
mati konyol oleh tanganku!" terdengar teriakan
sekonyong-konyong dari atas batu sebelah selatan.
"Ki Topeng Reges!" desis Mahesa Wulung bagai
melihat setan di arah puncak batu sebelah selatan.
Ki Topeng Reges tanpa banyak cakap terus terjun
ke bawah, menyerang Mahesa Wulung.
Untuk menghadapi tokoh sakti ini, Mahesa
Wulung tak kepalang tanggung. Maka dikerahkannya
segenap kepandaian serta ilmunya dalam menyambut
serangan Ki Topeng Reges.
Sebentar saja terjadilah pertempuran seru di tepi
Jurang Mati. Keduanya sambar-menyambar, terkammenerkam kadang-kadang melenting ke udara untuk
kemudian mendarat kembali di atas tanah. Debu
berkepulan ke atas dan kerikil-kerikil berpelantingan
kesana-kemari. Putaran cambuk Naga Geni di tangan Mahesa
Wulung ternyata banyak menolong dirinya, sehingga
tak sekali pun jari-jari Ki Topeng Reges mengenai
bagian-bagian tubuhnya yang penting.
Hal ini membuat lawannya yang bertopeng hantu
itu mengumpat sejadi-jadinya. Apalagi beberapa kali
ujung jarinya ketika tersampok oleh cambuk yang
menyala kebiruan itu, terasa seperti terbakar oleh
jilatan api, sampai berakibat bengkak-bengkak kecil
merah lebam. Maka Ki Topeng Reges menggeram serta merentangkan kedua tangannya ke depan, siap melancarkan serangan hantunya.
"Ha, ha, ha, mati sekarang kau tikus!"
Mahesa Wulung terus memutar cambuk pusakanya tanpa berani menatap mata Ki Topeng Reges.
Sebab itu berarti mengundang maut baginya. Ketika
pancaran lidah api menjilat serta menyambar dari
arah mata Ki Topeng Reges, Mahesa Wulung melesat
dan berjumpalitan di udara, sehingga lidah-lidah api
itu hanya mengenai tempat-tempat kosong saja.
Begitulah, maka tubuh Mahesa Wulung berlentingan ke udara, kesana-kemari, seolah-olah menarinari di antara lidah-lidah api yang menyambarnyambar semakin rapat serta bertubi-tubi datangnya.
Keringat Mahesa Wulung mengalir menganak
sungai akibat hawa panas dari lidah-lidah api tersebut, dan setapak demi setapak ia terdesak ke tepi
Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurang. Suatu ketika Mahesa Wulung melenting ke udara
menghindari lidah api, tetapi ketika mendarat kembali, kakinya telah menginjak batu licin berlumut.
Akibatnya tak ampun lagi, Mahesa Wulung terpeleset
dan terpelanting ke arah Jurang Mati disertai iringan
derai ketawa Ki Topeng Reges kepuasan.
Meskipun Mahesa Wulung tak mati terbakar oleh
pancaran api matanya, tapi jurang yang dalam serta
tebing-tebing yang curam cukup untuk menjamin
kematian Mahesa Wulung.
Tubuh Mahesa Wulung melayang ke bawah, ke
arah dasar Jurang Mati yang penuh dengan tonjolantonjolan batu runcing laksana ujung-ujung tombak.
Untunglah ia cepat-cepat bertindak. Selagi ia
melayang ke bawah itu, ia melecutkan cambuknya ke
arah sebuah batang pohon kering yang banyak bertonjolan dari sela-sela dinding jurang.
Sreeet! Ia berhasil! Ujung cambuk itu melilit pohon
kering tadi hingga sesaat ia tergantung-gantung di
situ. Hanya sayang, rupanya pohon kering tersebut
tidak cukup kuat. Dengan suara berderak keras,
patahlah batang pohon kering itu dan tubuh Mahesa
Wulung kembali terpelanting ke dasar jurang.
Dasar Mahesa Wulung bukan orang yang mudah
berputus asa, maka sekali lagi ia melecutkan cambuk
ke arah sebuah batu runcing yang menonjol dari
dinding jurang.
Sraat! Berhasil untuk kedua kalinya! Cambuk
Naga Geni melilit batu runcing tadi sehingga Mahesa
Wulung terayun-ayun di dinding Jurang Mati, seperti
seekor laba-laba yang bergantung pada benangnya.
Ketika Mahesa Wulung melirik ke bawah, tak jauh
dari kakinya, terlihatlah bagian dinding jurang yang
melebar datar, seolah-olah sebuah jalan kecil selebar
setengah depa. Mahesa Wulung melihat tempat itu
dengan menarik nafas lega dan kemudian ia menghentakkan cambuknya, sehingga belitannya pada
batu menonjol di atasnya terlepas.
Buk! Kedua kaki Mahesa Wulung mendarat pada
jalan kecil tersebut dengan sigapnya.
Pertama-tama Mahesa Wulung mengucapkan
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena
dirinya telah terhindar dari maut. Sesudah ia
mengatur ketenangan dirinya, sedikit demi sedikit ia
merayapi dinding jurang itu ke arah kanan sebab di
sebelah kiri, jalan kecil tadi makin menyempit dan
lenyap merupakan dinding curam yang licin.
Tanpa gentar sedikitpun ia bergerak terus ke arah
kanan dengan membelakangi jurang itu, sementara
kedua tangannya bergerayangan pada dinding curam
memilih tempat untuk berpegangan.
Bersamaan lenyapnya cahaya senja yang terakhir,
yang kini diganti oleh munculnya sang purnama serta
tebaran bintang-bintang di langit bersih itu, mata
Mahesa Wulung menangkap adanya bayangan hitam
pada dinding jurang itu, kira-kira sejauh sepuluh
langkah lagi ke kanan.
Bayangan tadi seolah-olah merupakan celah dari
dinding jurang yang menjorok ke dalam sebagai
mulut sebuah goa. Meskipun Mahesa Wulung
berharap untuk dapat beristirahat sejenak di mulut
goa itu, namun tak urung hatinya berdebar-debar
pula mendekati tempat itu.
*** SELESAI Pembaca budiman, sampai di sinilah cerita
"Hilangnya Empu Baskara" kami akhiri. Kemudian
pembaca akan bertemu lagi dengan tokoh kita
Mahesa Wulung yang waktu itu sedang merayap
mendekati sebuah goa. Nah, tunggulah ceritera Seri
Naga Geni yang kelima untuk Anda: ''Diburu Topeng
Reges" Document Outline
HILANGNYA EMPU BASKARA
1 *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** 5 *** *** *** SELESAI Kuil Atap Langit 1 Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama