Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Bagian 3
kecewa sekali mendengar muridmu bertindak sekejam itu kepada orang seperti
Empu Sakya itu, Gila Tuak!"
"Saksi mata hanya menyebutkan ciri-ciri orang yang membunuh Empu Sakya. Di dunia
ini ada banyak orang
yang punya ciri-ciri sama, apalagi ciri-ciri penampilan.
Wajah yang hampir serupa pun banyak dijumpai di
permukaan bumi ini, padahal mereka bukan saudara
sedarah kandung," sanggah Gila Tuak.
"Kalau sekiranya kalian berdua sudah tak mampu
mengajar murid kalian, serahkan saja padaku untuk
menanganinya! Suto Sinting harus kalian jatuhi
hukuman supaya tidak melakukan tindakan seperti itu
lagi!" kata Jangkar Langit dengan tegasnya.
"Jangkar Langit benar," sahut si Penggal Jagat, Ki
Argapura. "Aku menyesal mengajarkan ilmu pedangku kepada Suto Sinting jika
ternyata jiwanya tak sebersih ilmu-ilmu
yang dimilikinya! Kusarankan untuk
melepaskan gelar pendekarnya sebagai hukuman atas
tindakan itu, Gila Tuak!"
"Ya, ya, ya....," celoteh mereka seperti gaung lebah.
Kemudian Tabib Awan Putih pun berkata,
"Mencabut kependekarannya adalah tindakan yang
lebih bijaksana! Aku setuju!"
"Aku juga setuju sekali untuk mencabut gelar
pendekar pada diri muridmu itu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" timpal Ki
Sonokeling. "Aku tidak setuju!" sentak gadis cantik yang tak lain adalah Sumbaruni, bekas
istri jin itu. Semua mata memandang Sumbaruni. Semua mulut
menjadi berhenti berucap. Sumbaruni atau Pelangi
Sutera melangkah pelan mendekati Gila Tuak, tetapi
pandangan matanya tertuju kepada mereka, ia tampak
tegas dan berwibawa di depan para tokoh tua itu, sebab mereka tahu Sumbaruni
punya ilmu dari tokoh sakti
yang lebih tua dari mereka, yaitu Eyang Bayudana.
Nama Bayudana adalah nama sejajar dengan Purbapati
dan Nini Galih, gurunya Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Tentu saja Sumbaruni lebih berwibawa dari mereka.
Kedudukannya sejajar dengan Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, Embun Salju, dan seorang tokoh lain yang
kehadirannya di situ diwakili oleh utusannya bernama
Kelana Cinta. "Gelar kependekaran Suto Sinting tidak layak dicabut
sebelum kalian bisa buktikan secara nyata bahwa dia
bersalah!" tegas Sumbaruni.
"Tapi saksi mata yang...."
"Saksi mata itu telah mati!" sahut Sumbaruni cepat dan keras, membuat Ki Darma
Paksi tak jadi lanjutkan kata.
"Aku yakin Suto tidak bersalah!" tambah Sumbaruni setelah semua diam selama satu
helaan napas. "Siapa di antara kalian yang mau bangkitkan jenazah Empu Sakya
dan tanyakan langsung siapa pelakunya"! Siapa yang
mau"!"
Tak ada suara lagi yang terdengar. Ki Madang Wengi
hanya mengunyah makanannya tanpa mau berikan
jawaban apa pun. Ki Sonokeling pandangi Ki Argapura
yang hanya diam termenung memandang tanah di
depannya. "Kalian tak bisa mengecam Gila Tuak dan Bidadari Jalang seenaknya sendiri!
Kalian juga harus mampu
buktikan secara nyata, bukan secara kabar burung bahwa Suto Sinting memang
bersalah. Kalau kalian mau
berolah pikir," kata Sumbaruni si Pelangi Sutera itu, "...
coba kalian renungkan, mengapa saksi mata itu mati"
Dan kematiannya itu menurut para penduduk desa
Kukusan, tetangga-tetangga Ki Empu Sakya, adalah
disebabkan karena ada seseorang yang membunuhnya.
Mbok Wiji dilenyapkan, itu pertanda seseorang tak mau rahasianya terbongkar jika
Mbok Wiji terlalu banyak
bicara tentang kesaksiannya. Cukup dengan kesaksian
tentang tabung bambu tempat tuak saja yang diharapkan
oleh seseorang, selebihnya ia tak ingin Mbok Wiji bicara misalnya tentang
wajahnya, rambut si pembunuh, warna
bajunya atau yang lainnya! Jelas ini adalah fitnah yang bermaksud untuk
menjatuhkan nama harum Pendekar
Mabuk dan suatu tujuan untuk menjatuhkan nama harum
para gurunya!"
Gila Tuak segera berkata kepada Embun Salju,
"Embun Salju, kau tentunya dapat melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh
melalui ketajaman Indera
keenammu yang dinamakan Ilmu 'Jalur Gaib'. Coba kau
gunakan ilmu itu untuk mengetahui kebenaran peristiwa itu."
Embun Salju tarik napas dengan tetap bersikap
tenang, "Ilmu 'Jalur Gaib' sepertinya ada yang menutup, sehingga sudah kucoba
berulang kali untuk melihat
kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh, tapi selalu
gagal." "Itu berarti orang yang membunuh Empu Sakya
punya Ilmu 'Perisai Sukma'!" sahut Sumbaruni dengan cepat dan keras.
"Benar pendapatmu, Sumbaruni," kata Embun Salju.
"Setahuku orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma' adalah Empu Sakya sendiri."
"Yang lain?"
Embun Salju angkat pundak dan bentangkan tangan
pertanda tidak tahu jawabannya. Lalu, terjadilah masa bungkam beberapa saat.
Mereka saling berpikir dan
berkecamuk sendiri-sendiri.
Tiba-tiba Bidadari Jalang, memecah kesunyian di
antara mereka dengan ucapan yang jelas didengar oleh
semua pihak. "Seingatku, Tabib Awan Putih mempunyai ilmu
'Perisai sukma'.'
Tabib Awan Putih sedikit menggeragap. "Hmm...
eeh... iya, benar."
Pusat pandangan tertuju pada Tabib Awan Putih.
Semakin gugup tabib tua dari Tiongkok itu dipandangi
oleh mereka. "Tapi... tapi aku tidak menutup 'Jalur Gaib'-mu, Embun Salju!"
"Ya, aku merasakan bukan tenagamu yang menutup
'Jalur Gaib'-ku ini. Tapi tenaga orang lain yang sulit kukenali, karena mirip
tenaga Empu Sakya sendiri."
Gila Tuak segera berkata, "Suto, muridku, tidak
mempunyai Ilmu 'Perisai Sukma'. Dia tidak mempunyai
ilmu itu karena aku tidak memilikinya."
"Jadi, pembunuh Empu Sakya adalah orang yang
punya ilmu 'Perisai Sukma'," simpul Sumbaruni.
"Menurut Embun Salju, ilmu "Perisai Sukma' itu bukan dari kekuatan Tabib Awan
Putih. Jika begitu, dari siapa ilmu itu datangnya" Jika kita bisa kenali pemilik
'Perisai Sukma' yang bukan dari Tabib Awan Putih, maka kita
akan dapatkan titik terang tentang siapa pembunuh
Empu Sakya sebenarnya! Tapi aku tidak setuju dengan
pendapat kalian yang memojokkan Suto, sebab Suto
Sinting tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi itu cukup seru.
Menegangkan juga. Jika tidak ada sumbang saran dan
pemikiran dari Sumbaruni, jelas Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan terdesak oleh
tuntutan mereka. Tidak
menutup kemungkinan akan hadirnya pertikaian di
antara gurunya Suto dengan para tokoh tingkat tinggi itu.
Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun, masih cantik dan berambut cepak seperti
potongan lelaki, tapi mengenakan rantai emas berbatu
merah delima di tengahnya, segera unjuk bicara. Tokoh ini mewakili seseorang.
Dan ia dikenal oleh beberapa orang dengan nama Kelana Cinta. Ki Jangkar Langit
mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengelana,
Madang Wengi mengenal Kelana Cinta sebagai gadis
pengembara yang tidak pernah terlibat persoalan
memalukan. Sedangkan Embun Salju mengenal Kelana
Cinta sebagai wanita yang melakukan tapa berkeliling dan berbicara tentang
cinta, namun sikap dan
perilakunya bukan binal atau jalang. Melainkan justru selalu menjaga harga diri
dan martabat kaum wanita.
Kelana Cinta berkata, "Aku kenal seseorang yang
punya ilmu itu, tapi aku tak bisa sebutkan. Aku akan
temui dia dan menanyakan kebenarannya. Orang itu
selain mempunyai ilmu 'Perisai Sukma' ia juga
mempunyai ilmu 'Jalur Gaib'."
Embun Salju terkejut, karena merasa kesaktiannya
diungguli oleh orang yang diceritakan oleh Kelana
Cinta. Ia penasaran, dan segera bertanya dengan sifat sedikit mendesak.
"Siapa orang itu" Katakan saja sekarang juga. Aku ingin menemuinya juga untuk
perkara lain. Katakan saja,
Kelana Cinta."
Gadis berpakaian merah jambu segar dengan pedang
di punggung itu hanya tersenyum ramah. "Maaf, aku tak bisa, karena ini memang
sumpahku. Tapi aku berjanji
akan secepatnya membawa kabar kepadamu, Embun
Salju. Yang jelas, orang yang kukenal itu tidak mungkin orang yang membunuh Empu
Sakya. Sebab ia pun
berteman baik dengan Empu Sakya."
Kita tinggalkan dulu persidangan di Jurang Lindu itu.
Ada sesuatu yang menarik untuk disimak, karena punya
hubungan dengan soal cinta, tapi tidak ada kaitannya
dengan Kelana Cinta.
Dengan susah payah, Mega Dewi memang
bermaksud mencari Jurang Lindu. Ia ingin bertemu
dengan Gila Tuak dan mengadukan kekejaman Suto
menurut anggapannya. Tetapi di perjalanan ternyata ia dicegat oleh seorang
pemuda tampan yang cukup
dikenalnya. Pemuda itu mengenakan pakaian bagus,
bercorak bangsawan, berambut rapi, dan bersenjata
pedang dengan sarung emasnya. Pemuda itu tak lain
adalah Raden Udaya. Ia sendirian, karena memang ia
ingin bertemu empat mata dengan Mega Dewi untuk
utarakan persoalan cintanya.
"Sudah beberapa kali kukatakan, Raden... aku tidak bersedia menerima cintamu!"
tegas Mega Dewi dengan wajah tak ada senyum sedikit pun.
Tetapi Raden Udaya masih bersikap sabar dan tidak
tersinggung, ia mendekat lagi dan berkata dengan
suaranya yang dibuat semesra mungkin.
"Mega Dewi, apakah kau melihat aku lakukan suatu kesalahan yang menyakitkan
hatimu, sehingga aku tak
layak menjadi pendamping mu?"
"Tidak. Kau sangat baik padaku, Raden Udaya.
Selama ini kita bersahabat tanpa ada pertengkaran apa pun. Tapi hanya sebatas
bersahabat saja."
"Apakah persahabatan yang manis tak layak berlanjut ke jenjang perkawinan, Mega
Dewi?" "Tidak semua persahabatan harus berakhir di
perkawinan. Ada yang menjadi langgeng dan sama-sama
terkubur di dalam tanah, namun tetap bersahabat di alam sana. Kumohon kau tidak
menjadi pemuda yang picik
dan mengartikan sebuah persahabatan sebagai alasan
untuk jatuh cinta, Raden."
Pemuda yang sebenarnya tampan juga itu segera tarik
napas dalam-dalam. Kini ia merasakan perih di tepian
hatinya. Wajah tampannya tertunduk murung. Mega
Dewi kasihan, tapi tak mau memberi hati kepada
pemuda itu, takut disalahartikan lagi.
"Mega Dewi," kata Raden Udaya pelan sekali.
"Tahukah kau, bahwa kau telah sangat mengecewakan hatiku yang amat sayang
kepadamu ini?"
"Aku tahu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mencintaimu.
Haruskah aku berdusta
untuk sebuah cinta palsu" Banggakah dirimu jika
mendapat cinta palsu?"
"Memang tidak. Tapi siang malam yang terbayang
dalam benakku hanya dirimu, Mega Dewi. Siang malam
yang ada di hatiku hanyalah senyummu, tawamu, dan
candamu. Sayang sekali sejak kau mengenal Pendekar
Mabuk itu kau tidak punya tawa dan canda padaku
seperti dulu. Mungkinkah kau telah perbandingkan
diriku dengannya dan menganggapnya lebih unggul
dariku?" "Udaya!" ketus Mega Dewi mulai tersinggung
hatinya "Hubungan kita tak ada sangkut pautnya dengan Pendekar Mabuk! Kau sangka
aku jatuh cinta padanya"
Kau sangka aku mudah tergiur dengan ketampanannya?"
"Jika tidak, mengapa kau menjauhiku, Mega Dewi"!"
"Karena ayahmu itu, sang Adipati, adalah orang yang pernah melukai ibuku.
Melukai hati Ibu semasa Ibu
masih seusiaku. Untung Ibu bertemu dengan ayahku,
dan menjadi terobati luka hatinya. Ketahuilah, Udaya...
sang Adipati pernah mempermainkan cinta ibuku,
sehingga Ibu hampir-hampir menjadi gila karena
kekejian cintanya. Dan sekarang aku membalaskan sakit hati almarhumah ibuku itu
melalui dirimu, yaitu putra sang Adipati!"
Raden Udaya tertegun bengong. Matanya
memandang tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya
mereka saling pandang, sehingga akhirnya Raden Udaya
pun berkata dengan nada menggeram jengkel.
"Kalau begitu kau memang punya niat jahat padaku tanpa kusadari sebelumnya!"
"Kalau kau anggap begitu, aku tak keberatan.
Sekarang apa maumu?"
"Tak ada kemauan lain kecuali hanya ingin mengisap madumu!" jawab Raden Udaya,
kemudian segera
menyergap memeluk Mega Dewi dan menciuminya
dengan kasar. Tentu saja Mega Dewi berontak dengan
sengit, ia sadar dirinya akan diperkosa oleh pemuda itu.
Maka ia tak tanggung-tanggung menghantamkan telapak
tangannya ke dada pemuda tersebut. Duuuhg...!
Craaas...! Raden Udaya terpental jauh. Dadanya hangus karena
pukulan bertenaga panas cukup tinggi itu. Untung ia
kenakan baju pelapis dari baja, sehingga kulit dadanya tidak mengalami hangus
berat, tapi pakaian bagusnya
menjadi terbakar sebatas lebar pukulan telapak tangan Mega Dewi.
Malaikat Beku muncul dan segera melompat dari
punggung kuda. Cambuknya disambar dan hendak
dilecutkan ke tubuh Mega Dewi. Tetapi Mega Dewi
segera larikan diri, tak mau layani persoalan itu.
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedangkan Raden Udaya berseru melarang Malaikat
Beku yang ingin mengejar Mega Dewi dengan
cambuknya. "Biarkan dia! Suatu saat akan kubuat bertekuk lutut di hadapanku!"
"Kita sudah gagal mengejar Suto dan bocah itu, aku jadi muak sendiri! Aku ingin
melampiaskan murkaku
kepada gadis itu, Raden!"
"Jangan! Dia masih bisa berguna bagi hidupku
kelak!" kata Raden Udaya, dan sebagai orang
sewaannya, Malaikat Beku tak berani membantah
larangan itu. Walau hatinya dongkol karena gagal
mengejar Suto dan Angon Luwak, namun agaknya ia
harus menelan kedongkolan itu dengan sangat terpaksa.
Suto Sinting memang berhasil selamatkan Angon
Luwak dari penculikan anak buah Raden Udaya yang
bernama Kromosudo itu. Kegagalan menculik Angon
Luwak membuat Kromosudo dihajar habis oleh cambuk
Malaikat Beku. Bahkan sekarang disuruh Raden Udaya
untuk pulang ke kadipaten dan mengurus kuda-kuda
piaraan yang ada di istal kadipaten. Padahal semula
Kromosudo adalah prajurit pengawal kepercayaan Raden
Udaya. Sejak Raden Udaya memperoleh pengawal
pribadi yang berilmu tinggi yakni Malaikat Beku, tenaga dan kepandaian Kromosudo
terbuang begitu saja, karena memang tidak sebanding dengan kesaktian Malaikat
Beku. Walaupun Kromosudo sakit hati, namun ia tak
bisa berbuat apa-apa.
Raden Udaya maupun Malaikat Beku tidak tahu
bahwa Suto membawa Angon Luwak ke gua tempat
mereka bertemu Ki Gendeng Sekarat yang membawa
Raja Maut dalam keadaan luka parah itu. Di gua itu,
Suto Sinting memarahi Angon Luwak yang tak mau
pulang ke rumah dan tetap mengikuti Suto.
"Kalau kau menguntitku terus, kau akan mati sia-sia karena bisa dijadikan umpan
bagi musuh-musuhku. Kau
akan dijadikan pelampiasan kemarahan mereka.
Sedangkan kau tidak punya ilmu setinggi mereka. Lebih baik kau tinggal di
rumahmu, atau kau bermain dengan
Logo, nanti toh aku akan ke gua di pantai Semberani
itu." "Aku mengikutimu karena ada sesuatu yang ingin
kukatakan kepadamu, Kang," kata bocah berambut lurus itu.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" Suto berkerut dahi.
"Kau dicari orang banyak karena dituduh membunuh Ki Empu Sakya."
"Aku tahu! Aku sudah mendengar berita itu."
"Kau dituduh merampas pusaka milik Ki Empu
Sakya, yaitu Keris Setan Kobra, Kang! Mereka banyak
yang berkeinginan untuk merebut keris itu darimu!"
"Itu pun aku sudah tahu, Angon Luwak!"
"Tapi aku yakin keris itu tidak ada di tanganmu, Kang. Karena aku tahu di mana
tempat persembunyian
keris itu. Apakah kau juga sudah tahu, Kang?"
Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Suto
Sinting berwajah tegang karena sedikit terperangah.
Pendekar Mabuk bahkan sempat cemas, lalu
memandang ke sana-sini, takut percakapan itu didengar orang.
"Apa benar kau tahu tempat penyimpanan keris itu"!"
Angon Luwak yang lugu itu mengangguk. "Ketika
kudengar kabar orang mencarimu dan menganggap keris
itu ada di tanganmu, aku menengok tempat penyimpanan
keris itu. Ternyata masih ada di tempat. Lalu kubiarkan di tempatnya dan aku
ingin mencari cara untuk
meyakinkan mereka, bahwa kau tidak mempunyai keris
itu. Tapi aku sudah lebih dulu dikejar-kejar oleh dua orang kadipaten."
Suto sedikit bimbang. "Jangan-jangan kau
membohongiku?"
"Tidak, Kang."
"Bagaimana kau bisa mengetahui tempat
penyimpanan keris itu?" suara Suto semakin lirih.
"Ki Empu Sakya pernah bercerita padaku tentang
pohon yang punya kesaktian besar. Namanya pohon
Kenari Raja. Pohonnya besar, daunnya rindang,
batangnya ditumbuhi duri runcing-runcing. Menurut
cerita Ki Empu Sakya, pohon itu menyimpan kekuatan
sakti yang sampai sekarang tak diketahui orang. Letak kekuatan sakti ada di
dalam batang pohon itu. Suatu saat kutemukan pohon itu tak berapa jauh dari
hutan di belakang rumahnya. Aku heran dan ingin tahu kekuatan
apa yang ada di dalam pohon itu. Ternyata pohon itu
berongga dan di sisi luarnya mempunyai pintu bikinan
manusia. Waktu kubuka, ternyata berisi keris. Aku takut, dan kututup lagi. Tapi
aku yakin, itulah keris pusaka Setan Kobra. Karena kulihat sepintas saja,
gagangnya seperti kepala ular kobra!"
Suto Sinting menjadi berdebar-debar. "Benarkah
cerita bocah ini?" pikirnya.
* * * 8 POHON Kenari Raja salah satu jenis pohon langka
pada masa itu hingga masa sekarang. Di seluruh hutan Tanah Jawa hanya ada
beberapa batang pohon Kenari
Raja yang tumbuh mendekati kaki bukit. Bahkan
namanya pun tak banyak yang tahu. Pohon itu memang
besar, mirip pohon beringin. Daunnya lebat, cabangcabangnya kekar, batang pohon ditumbuhi duri-duri
runcing. Keistimewaan pohon itu terletak di bagian
tengah batang yang berongga menyerupai cerobong
asap. Sekalipun begitu kayu pohon Kenari Raja sangat
keras, melebihi kerasnya kayu pohon jati.
Pendekar Mabuk ingin membuktikan kata-kata bocah
penggembala itu. Sang bocah sendiri ingin menunjukkan kebenaran omongannya. Maka
mereka pun pergi ke
hutan yang letaknya searah bagian belakang rumah Ki
Empu Sakya. Suto Sinting sempat berkata dalam
hatinya, "Hutan ini sepertinya hutan yang pernah dilewati pada waktu kami
berurusan dengan Iblis Naga
Pamungkas" Hmmm... ya, ya. Aku ingat betul. Bahkan
di bawah pohon inilah aku bertarung melawan
Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, sebelum Ki
Empu Sakya ingin melawannya." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga
Pamungkas").
"Benarkah ini pohon yang kau maksud, Angon
Luwak?" "Benar, Kang. Ki Empu Sakya membuat pintu di
batang pohon itu dengan memotong sebagian batangnya.
Potongannya tidak dibuang, tapi ditutupkan kembali dan dikunci memakai pantek
besi. Itu pantek besinya. Coba kau geser sedikit pantek besinya, pasti sebagian
batang yang terpotong bisa kau lepas."
Bocah berusia sepuluh tahun mengenakan baju tanpa
lengan warna abu-abu dengan celana hitamnya sebatas
betis, ternyata bukan bocah pendusta. Apa pun yang
dikatakannya memang benar. Suto menggeser pantek
besi menyerupai paku, dan kulit pohon seakan terkelupas dalam ukuran besar.
Ternyata itulah pintu ynng
dimaksud Angon Luwak sebagai penutup rongga batang
pohon. Suto Sinting berhasil melepas potongan batang yang
dikatakan 'pintu' itu, dan ternyata di dalam batang pohon tersebut terdapat
sebilah keris bergagang kepala seekor ular kobra yang mengembangkan cuping di
kanan kirinya. Warna gagang berbentuk kepala ular itu hitam keling, mengkilat. Suto
Sinting terperanjat sejenak, lalu dengan hati-hati mengambil keris tersebut
setelah lebih dulu memberi sikap hormat agar tak kualat.
Jantung Pendekar Mabuk berdetak-detak keras ketika
memegang keris yang menjadi bahan rebutan dan
incaran orang banyak itu. Hatinya berdebar-debar,
perasaan senang dan bangga tersirat lewat senyuman di wajahnya.
Sarung keris terbuat dari ukiran logam emas.
Panjangnya dua jengkal lebih sedikit, tapi tak sampai tiga jengkal. Ketika Suto
Sinting melolos keris itu dari sarungnya, tampaknya cahaya merah api yang
memercik-mercik di sekeliling mata keris. Keris itu
berkelok-kelok dan membentuk badan ular kobra hingga
ekor. Bagian ekornya itulah yang runcing dan tajam,
warna hitam perunggu.
Angon Luwak memandang dengan mulut
melompong. Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
senyum kebanggaannya. Andai kata saat itu ia mau
bayangkan wajah seseorang lalu menusukkan keris itu
ke batang pohon apa saja, maka orang yang dibayangkan itu akan mati pada saat
keris ditusukkan ke pohon.
Tetapi Suto tidak ingin mengotori bayangan otaknya.
Suto hanya merasa perlu menyelamatkan keris tersebut
dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti Nila Cendani, si
Ratu Tanpa Tapak itu.
"Pantas kalau keris ini menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak. Percikan
sinar merah ini
menunjukkan kesaktian yang selalu ada di dalam keris
ini, Angon Luwak."
"Kalau memiliki keris ini bisa jadi pendekar ampuh, Kang?"
"Memang. Tapi kalau jiwanya tak kuat, ia bisa
menjadi orang paling jahat. Sebab dengan
membayangkan wajah seseorang, keris ini bisa untuk
membunuh orang tersebut dari jarak sejauh apa pun."
"Ck, ck, ck, ck..., sakti sekali keris ini, ya Kang"
Mengapa Ki Empu Sakya tidak mau menggunakannya"
Dia bisa menjadi pendekar tanpa tanding, Kang."
"Ki Empu Sakya bukan orang jahat. Beliau tidak
ingin melukai siapa pun, tidak mau memusuhi siapa pun, karena ingin mencapai
kesempurnaan hidup," kata Suto sambil memasukkan keris tersebut ke sarungnya.
Kini keris yang sudah berada dalam sarungnya digenggam
erat, masih dipandangi beberapa saat.
"Kau ingin memegangnya?" tanya Suto kepada
Angon Luwak. Bocah itu menggeleng. "Tidak, Kang. Nanti kalau
aku tak sadar malah keris itu remuk dalam genggaman
tanganku," katanya, karena Angon Luwak tahu ia
mempunyai ilmu 'Genggam Buana' pemberian Ki
Gendeng Sekarat yang bisa meremukkan apa saja yang
digenggamnya kuat-kuat.
Suto Sinting tersenyum geli mendengar jawaban
polos bocah itu. Tapi senyum itu hilang seketika karena kemunculan seseorang
yang melompat dari balik semak
belukar di seberang sana. Rupanya perjalanan Suto dan Angon Luwak ada yang
menguntitnya sejak tadi. Orang
tersebut tak lain adalah Jejak Iblis, yang tubuhnya telah terluka bagai
tercabik-cabik binatang buas. Pakaiannya rusak mirip gelandangan. Separo
wajahnya memar membiru lantaran dihajar habis-habisan oleh Rindu
Malam yang ketika itu mengejar pelariannya. Rupanya
Jejak Iblis masih belum jera dan tetap mengincar keris pusaka tersebut.
"Wah, Kang... dia datang lagi, Kang," kata Angon Luwak dengan cemas.
"Tenanglah.
Cari tempat yang aman buat
persembunyianmu. Aku akan menghadapi orang itu,
Angon Luwak," bisik Suto Sinting dengan mata tetap memandang Jejak Iblis yang
kehadirannya tadi membuat
tanah bergetar. Kini ia melangkah mendekati Suto.
Langkahnya itu membuat tanah bergetar dan daun
berguncang. "Akhirnya kupergoki juga kebusukanmu, Suto
Sinting. Kau benar-benar memiliki keris itu," kata Jejak Iblis dengan nada datar
dan dingin. "Aku baru sekarang memegang keris ini dan
menemukannya di sini!" kata Suto.
"Bagus. Jika begitu, serahkanlah padaku sebelum
kesabaranku hilang."
Orang ini benar-benar ngotot, menurut pikiran Suto.
Sudah babak belur masih saja mengejar dan
menginginkan keris tersebuL Suto sangat prihatin
dengan watak Jejak Iblis yang tak pernah bisa
menghargai nyawanya itu.
"Keris ini tidak akan kuserahkan ke tangan orang-orang seperti mu, Jejak Iblis.
Apa pun yang akan kau
perbuat terhadapku, aku akan melayanimu!"
Jejak Iblis mulai menggeram. Kedua tangannya
menggenggam kuat-kuat. Tapi pada saat itu pula
melesatlah sebuah bayangan yang menerjangnya dari
samping. Bruss...! Jejak Iblis kaget bukan kepalang. Ia terlempar tujuh
langkah dari tempatnya berdiri. Bayangan yang
menerjangnya itu ternyata seorang gadis cantik
berpakaian putih yang tak lain adalah Rindu Malam.
"Dia lagi..."' gumam Suto dalam hatinya.
Rindu Malam menatap Suto sebentar, ia berkata,
"Selamatkan keris itu, akan kutumbangkan orang ini!"
Luka-luka Jejak Iblis semakin parah, tapi orang itu
tak ada kapoknya, ia bangkit dan mengambil sikap siap menghadapi pertarungan
dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Suto Sinting yang ingin segera pergi
terpaksa batalkan niatnya karena dari sisi lain muncul tiga orang brewok yang
mempunyai wajah kembar.
Semuanya berambut botak bagian depan, tapi
brewoknya lebat. Wajahnya angker dan matanya garang.
Badan mereka besar, kekar, senjata mereka sama-sama
tombak bermata pedang. Di bawah ujung tombak itu
terdapat ronce-ronce benang merah.
"Agaknya aku harus menghadapi mereka," pikir Suto sambil menyelipkan Keris Setan
Kobra ke pinggangnya.
Sementara itu, Suto Sinting sempat melihat gerakan
Rindu Malam yang bersalto cepat sekali di udara
menyerang tubuh Jejak Iblis yang sedang melompat
menyerangnya pula.
Dalam sekejap Suto melihat Rindu Malam dan Jejak
Iblis beradu telapak tangan di udara. Plak...! Blaaar...!
Ledakan dahsyat terdengar mengguncangkan tempat itu.
Cahaya api merah berpendar bersamaan bunyi ledakan
tadi. Jleeg...! Rindu Malam mendaratkan kakinya ke tanah
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sigap, tanpa luka apa pun. Sementara itu, Jejak Iblis kehilangan dua
tangannya. Terpotong tepat di
pergelangan tangan. Wajahnya yang tadi tampak biru
separo bagian, kini menjadi hitam hangus, tinggal
kelopak matanya yang tampak merah. Rambutnya pun
mengepulkan asap dan akhirnya rontok semua. Lelaki itu masih berdiri dengan
sedikit limbung dan gemetaran.
"Jurus apa yang digunakan Rindu Malam itu"
Dahsyat sekali?" pikir Suto.
Agaknya kali ini Jejak Iblis mengakui kekalahannya.
Ia sudah kehilangan tenaga cukup banyak, ia sudah
merasakan dirinya amat lemah dan parah. Suto yakin
kali ini Jejak Iblis tak sanggup lagi melawan Rindu
Malam karena sudah kehilangan kedua tangannya.
Keyakinan Suto itu menemui kebenarannya. Karena
kejap berikutnya Jejak Iblis segera larikan diri dalam keadaan tak mampu
melompat secepat dulu. Ia berlari
terhuyung-huyung sambil meninggalkan ancaman bagi
Rindu Malam. "Aku akan menuntut balas kekalahan ini! Ingat!"
Rindu Malam tidak mengejarnya, hanya
menghempaskan napas lega. Tapi ia segera berbalik
arah, karena ia tahu ada tiga orang brewok yang sedang berhadapan dengan Suto
Sinting. Gadis itu melenting ke atas dan bersalto dua kali, lalu mendarat tepat
di samping Suto Sinting. Jleeg...! Tegap dan kokoh sekali berdirinya. Matanya yang
indah menatap tajam pada tiga orang brewok itu.
"Ilmumu cukup hebat, Nona Cantik," ujar brewok berbaju merah. "Tapi ilmu itu
hanya bisa untuk
mengalahkan si Jejak Iblis. Jangan harap kau bisa
mengalahkan Tiga Jagal dari Utara."
Rindu Malam tersenyum sinia. "Apa maksud kalian
datang kemari?"
Brewok berbaju hitam menjawab, "Untuk apa lagi
kami datang kalau bukan untuk keris pusaka itu" Kami
telah menyadap pembicaraan Pendekar Mabuk dengan
bocah kumal itu, dan kami sengaja biarkan mereka
menemukan keris itu lebih dulu. Buat kami lebih mudah merebut keris itu daripada
menemukan tempat
penyimpanannya! Hea, ha, ha, ha, ha...I"
Brewok baju hijau juga tertawa dan berkata, "Jangan kalian khawatirkan kami.
Kami tidak akan seganas
dugaan kalian jika berhasil merebut keris itu. Kami
sudah cukup sakti tanpa keris itu. Kami hanya ingin
menjualnya kepada seseorang, dan menukarnya dengan
separo harta karun yang dipendam di daerah Teluk
Sumbing itu! He, he, he, he...!"
"Nila Cendani yang kau maksud"!" seru Suto.
"Benar, Pendekar Tampan! Rupanya kau telah
mengetahui si cantik bertangan besi itu," jawab brewok berbaju hitam.
Rindu Malam berbisik, "Mundurlah, biar kuhadapi
mereka!" "Mereka agaknya berilmu tinggi dan ganas-ganas!
Biar aku saja yang menghadapinya."
"Jangan buang-buang tenagamu," kata Rindu Malam kepada Suto. "Aku mampu kalahkan
mereka dalam satu gebrakan."
"Jangan sombong, Rindu Malam."
"Aku bicara karena aku punya bukti! Mundurlah dulu ke bawah pohon. Jadilah
penonton yang baik, Suto."
Suto Sinting akhirnya angkat pundak pertanda
terserah apa maunya si gadis cantik itu. Pendekar Mabuk menepi ke bawah pohon
Kenari Raja. Di sana ia
meneguk tuaknya. Santai sekali sikapnya dalam suasana seperti itu.
"Kalahkan aku jika kau ingin menghadapi Suto
Sinting, Pendekar Mabuk itu!" kata Rindu Malam.
"Hei, Nona... tidakkah kau sayang dengan kecantikan dan kehangatan tubuhmu itu,
hah" Daripada kau
bertarung melawan kami, lebih baik menjadi istri kami bertiga, kau akan
mendapatkan kepuasan sepanjang
hidupmu." "Iya, benar! He, he, he...!" brewok berbaju hijau menimpali dengan tawanya yang
memuakkan Rindu
Malam. Sreet...! Rindu Malam cabut pedangnya dari
punggung. Tiga Jagal dari Utara segera persiapkan diri menghadapi lawannya
dengan berjajar masing-masing
sejarak dua langkah. Mereka mulai memainkan jurus
kembar tiga. Mengibaskan tombak pedangnya ke
beberapa arah, lalu sama-sama berhenti bergerak dalam keadaan tombak diarahkan
ke depan dengan kaki
merendah. "Serang!" teriak brewok berbaju merah. Lalu ketiganya menyatuhkan ujung tombak.
Traak...! Mata tombak berbentuk pedang putih itu saling menempel.
Dari perpaduan pedang itu melesat sinar biru sebesar gagang tombak itu.
Slaaap...! Rindu Malam rendahkan kaki, pedangnya berdiri di
depan dengan ujungnya ditahan memakai telapak tangan
kiri. Selarik sinar biru besar itu menghantam
pertengahan pedang Rindu Malam. Traang...! Seperti
tombak menancap pada dinding cadas, sinar biru itu
ditahan oleh Rindu Malam. Pedangnya menjadi menyala
biru terang. Tiga Jagal dari Utara kerahan tenaga dalam lebih kuat lagi agar
sinar birunya bisa mematahkan
pedang Rindu Malam dan mengenai dada gadis itu.
Tetapi sampai tubuh mereka gemetaran, keringat mereka mengucur, sinar biru itu
tetap tidak mampu mematahkan pedang Rindu Malam.
Tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam yang menempel di
balik ujung pedang disentakkan bagaikan memukul
pedang sendiri dengan pangkal telapak tangan.
Dees...! Tiba-tiba sinar biru itu berubah menjadi ungu dan
putus dari larikannya. Sinar ungu bagaikan membalik ke senjata Tiga Jagal dari
Utara dan meledakkan senjata
mereka di sana.
Blaaar...! Traaaang...! Tombak mereka hancur berkeping-keping, gagangnya
terpotong-potong menyebar ke sana-sini. Tiga Jagal dari Utara saling terpental
terbang ke belakang. Mereka jatuh terbanting dengan kerasnya. Bruuuk...!
Rindu Malam merubah posisi kuda-kudanya dengan
sedikit tegak dari semula. Pedangnya dimainkan ke
kanan, kiri, depan, dan belakang. Lalu gerakan pedang yang menimbulkan suara
dengung segera berhenti dalam
keadaan terangkat di atas kepala bagian samping kanan.
Tangan kiri Rindu Malam terjulur ke depan sedikit
ditekuk dalam keadaan menggenggam kuat-kuat.
"Jurus apa lagi yang digunakan si manis ini?" pikir
Suto masih tetap tidak mau ikut campur pertarungan itu.
Sebab ia merasa bahwa Rindu Malam ingin unjuk
kebolehan ilmu di depannya. Dan Suto tak mau
mengecewakan gadis itu dengan ikut campur dalam
pertarungan satu melawan tiga itu. Ia hanya akan berbuat jika Rindu Malam
terdesak dalam bahaya.
Tiga Jagal dari Utara masih bisa bangkit walaupun
masing-masing dada mereka telah kepulkan asap. Suto
tahu, mereka luka di bagian dalam akibat ledakan sinar ungu tadi. Tetapi agaknya
mereka semakin murka dan
penasaran untuk membalas sarangan Rindu Malam.
Kini ketiganya sama-sama melompat maju
melakukan serangan dengan jurus yang sama. Telapak
tangan mereka yang digunakan menjadi andalan sebagai
ganti senjata, karena telapak tangan mereka kini menyala biru terang. Suto
menyimpan kecemasan, karena ia tahu tiga brewok itu kini menggunakan pukulan
maut yang tentunya punya kekuatan dahsyat.
"Heaaat...!" mereka berteriak keras bersama-sama.
Rindu Malam berguling di tanah bagaikan bola.
Menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu sudah berdiri tepat pada saat tiga
brewok mendaratkan kaki mereka di tempat Rindu Malam berdiri tadi. Jrreg...!
Pada saat itulah Rindu Malam yang beradu punggung
dengan tiga lawannya segera berbalik cepat, pedangnya ditebaskan menyamping.
Craaas...! "Ahhhg...!"
Tiga Jagal dari Utara sama-sama memekik tertahan.
Pedang Rindu Malam berhasil melukai mereka dalam
satu sabetan cepat. Bekas luka sabetan pedang itu
menyala, mengeluarkan lidah api yang membakar luka
tersebut. Tak heran jika Tiga Jagal dari Utara saling berkelojotan meraung-raung
di tanah, berguling-guling dirajang rasa sakit yang luar biasa. Api yang menyala
akibat tebasan pedang itu sukar dipadamkan walaupun
sudah dipakai berguling-guling. Bahkan api itu semakin lama semakin berkobar
membakar separo tubuh mereka
bagian bawah. Teriakan histeris memilukan hati.
Suto Sinting tak tega. Ia segera meneguk tuak,
menyimpannya di mulut, lalu melakukan satu lompatan
panjang sambil menyemburkan tuak dari mulutnya.
Wuuurrsss...! Api itu padam, tapi tubuh mereka telah hangus dan
berasap. Mereka masih hidup, sedang merasakan sakit
yang tiada taranya. Bagian perut ke bawah dalam
keadaan luka bakar yang amat parah. Mereka tak mampu
berdiri lagi. Rindu Malam terperanjat melihat tindakan Suto
Sinting yang memadamkan api dengan semburan
tuaknya tadi. Dalam gumamannya yang didengar Suto,
Rindu Malam berkata dengan nada kecewa.
"Baru sekarang ada orang yang mampu memadamkan
api pedangku. Jurus 'Pedang Lahar' selama ini tak pernah ada yang mampu
mengalahkannya. Sekali orang itu
terbakar, akan selamanya terbakar. Tapi sekarang
ternyata ada orang yang mampu memadamkan api
pedangku itu. Luar biasa!"
"Aku kasihan. Terlalu menyiksa jika membiarkan
mereka terbakar dan akhirnya mati. Kalau memang kau
ingin bunuh mereka, bunuhlah dengan cepat, jangan
membiarkan mereka tersiksa lama baru menemui
ajalnya," kata Suto Sinting.
"Aku tak berani lakukan jika kau tidak menghendaki demikian," kata Rindu Malam.
"Sebenarnya aku bisa memulihkan luka bakar itu, tapi biarlah luka itu sebagai
pelajaran bagi mereka agar tidak berpihak kepada yang jahat dan tidak rakus
dengan harta harapannya."
Rindu Malam mengangguk-angguk. Seakan ia tak
berani menentang keputusan Pendekar Mabuk. Matanya
memandang Suto dalam kebeningan yang meneduhkan.
"Apa rencanamu sekarang?"
"Menyerahkan keris ini kepada guruku, entah mau
diapakan," jawab Suto.
"Bolehkah aku ikut?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan. Setelah itu ia
berkata, "Baiklah...." Baru sampai di situ kata-kata Suto, tiba-tiba ia
mendengar suara pekikan Angon Luwak di
persembunyiannya. Suto cepat palingkan wajah
memandang ke arah suara pekikan Angon Luwak yang
sepintas itu. Firasatnya mengatakan, bahwa anak itu
dalam bahaya. Ternyata sekelebat bayangan terlihat membawa lari
Angon Luwak. Rindu Malam dan Suto sama-sama
tercengang. Pendekar Mabuk bergegas mengejar
bayangan yang membawa lari Angon Luwak. Tapi
tangan Rindu Malam menahan.
"Biar kukejar dia dan kubebaskan anak itu. Kau
pergilah ke tempat gurumu, kita akan bertemu di Pantat Semberani!"
Suto menghempaskan napas, lalu anggukkan kepala.
Slaaap...! Rindu Malam tak banyak bicara, segera lari kejar bayangan yang
menculik Angon Luwak. Gerakan
larinya sangat cepat, menyamai gerakan Pendekar
Mabuk yang juga berlari menuju Jurang Lindu.
Zlaaap...! Pertemuan para tokoh tingkat tinggi masih terjadi di
Jurang Lindu. Mereka bukan lagi memperdebatkan
kesalahan Suto Sinting, melainkan menyingkap tabir
rahasia mengenai siapa orang yang telah membunuh Ki
Empu Sakya itu. Jangkar Langit mempunyai pendapat,
"Empu Sakya pasti dibunuh pada saat sedang tidur.
Sebab kelemahannya memang dalam keadaan tidur."
Ki Madang Wengi menyahut, "Benar. Setahuku
Empu Sakya punya kelemahan pada saat tidur. Di saat
itulah seluruh kesaktian dan kekuatannya pergi dan ia menjadi orang yang kosong
ilmu. Karenanya Empu
Sakya termasuk manusia yang jarang tidur."
"Siapa saja yang tahu kelemahan Empu Sakya?"
tanya Bidadari Jalang.
"Kurasa tidak banyak," jawab Ki Argapura. "Hanya sahabat dekatnya, seperti kitakita ini yang mengetahuinya."
"Mungkinkah satu di antara kita ini yang telah
membunuh Empu Sakya?" kata Ki Sonokeling sambil
memandangi mereka satu persatu. Mereka pun menjadi
saling pandang bernada curiga.
Pada saat itulah, Pendekar Mabuk muncul di antara
mereka. Kehadirannya membuat semua mata tertuju
kepada Pendekar Mabuk. Mata mereka pun tertuju pada
Keris Setan Kobra yang terselip di ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu.
Pendekar Mabuk tak
pedulikan pandangan mereka, tapi ia segera tundukkan
kepala memberi hormat kepada sang Guru, juga
menghormat kepada para tokoh tua lainnya.
"Aku melihat senjata terselip di pinggangmu,
Muridku," tegur Gila Tuak.
"Apakah itu Keris Setan Kobra?" tanya Bidadari Jalang memancing kejujuran.
"Benar, Bibi Guru. Saya menemukan keris ini di
penyimpanannya dan segera membawa kemari untuk
diselamatkan dari tangan para angkara murka."
Suto Sinting mengambil keris itu, lalu dengan kedua
tangan diserahkan kepada Gila Tuak. Ia dalam keadaan
merendah, satu lututnya menempel tanah. Gila Tuak
menerima keris itu dengan bingung dan punya rasa tak
enak kepada para tokoh lainnya.
' Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tanganmu,
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muridku?" Maka, Suto Sinting pun menceritakan perjalanan
menemukan keris bersama bocah desa yang menjadi
tetangga Ki Empu Sakya itu. Semua yang hadir di situ
mendengar cerita Suto tanpa ada yang memotong dengan
pertanyaan apa pun.
"Banyak orang yang menghadang saya, memaksa
saya menyerahkan keris
itu sebelum saya
mendapatkannya. Pada umumnya mereka adalah orangorang yang disewa oleh Nila Cendani, si Ratu Tanpa
Tapak yang sangat bernafsu untuk mendapatkan keris itu guna membalas
kekalahannya dalam pertarungan dengan
saya." Ki Parandito segera menyahut, "Ya, aku dengar
sendiri saat ia lari meninggalkan ancaman dan
menyebut-nyebut niatnya untuk membalasmu setelah
mendapatkan Keris Setan Kobra. Tapi apakah mungkin
Nila Cendani yang membunuh Empu Sakya?"
"Mungkin saja!" jawab Ki Darma Paksi.
Embun Salju segera berkata, "Tapi Nila Cendani
tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'. Dari mana ia
menutup ilmu 'Jalur Gaib'-ku selama ini?"
Semua saling bungkam dan saling pandang. Gila
Tuak segera membuka kebungkaman dengan
mengajukan tanya,
"Mau kita apakan keris ini?"
Ki Madang Wengi menjawab, "Lenyapkan saja
supaya tidak jadi bahan rebutan. Salah-salah bisa jatuh ke tangan orang-orang
seperti Nila Cendani dan
kehidupan di bumi bisa dirusaknya dengan Keris Setan
Kobra itu."
"Aku setuju. Lenyapkan saja keris itu," kata Ki Argapura.
"Baiklah," ujar Gila Tuak. Ia meletakkan keris itu diatas sebuah batu. "Suto,
lenyapkan dengan tuakmu!"
perintah Gila Tuak.
Maka, Suto pun segera melaksanakan perintah
tersebut, ia menenggak tuak, tapi tidak ditelan
semuanya. Sebagian disimpan di mulut, lalu tuak di
mulut disemburkan ke keris tersebut.
Wuuurrsss...! Jurus 'Sembur Siluman' digunakan oleh Suto Sinting.
Keris itu lenyap, seperti halnya benda lain jika disembur tuak dengan jurus
'Sembur Siluman' akan hilang seketika itu juga. Tetapi sebenarnya sewaktu-waktu
Suto bisa memunculkan keris itu lagi dengan menggunakan ilmu
'Jelma Siluman' dengan kekuatan pandangan matanya.
Lenyapnya keris itu membuat mereka menghela
napas lega. Tetapi tiba-tiba terdengar langkah kaki
berlari-lari menuju tempat mereka. Suara meratap pun
terdengar makin mendekat.
"Kang Sutooo...! Kaaang...!"
"Angon Luwak!" teriak Suto dengan kaget sekali, sebab Angon Luwak dalam keadaan
terluka parah. Suto
Sinting menyongsongnya, lalu mengangkat bocah itu
yang terkulai lemas sebelum sampai di antara para tokoh tua. Suto Sinting segera
membawa Angon Luwak ke
depan gurunya. Yang lainnya ikut memandangi bocah
itu dengan iba hati.
"Agaknya ia terkena pukulan tenaga dalam yang tidak semestinya dilepaskan untuk
bocah sekecil dirinya," ujar Ki Argapura, entah bicara kepada siapa.
Pendekar Mabuk segera berusaha meminumkan
tuaknya ke mulut Angon Luwak. Setelah ia menunggu
kesembuhan Angon Luwak dengan menceritakan
tentang Raden Udaya yang waktu itu ditemuinya sedang
mengejar-ngejar Angon Luwak. Suto Sinting juga
menceritakan keadaan Tiga Jagal dari Utara yang
dikalahkan oleh seorang gadis pengagumnya, tapi Suto
tidak sebutkan nama gadis itu. Karena menurut Suto,
nama Rindu Malam tidaklah terlalu penting bagi mereka.
Yang terpenting adalah sikap gadis itu sebagai
pengagumnya yang mau korbankan nyawa demi
membela dirinya dan ikut menyelamatkan Keris Setan
Kobra itu. "Jangan-jangan dia jatuh cinta padamu?" kata Sumbaruni bernada cemburu.
Embun Salju tersenyum tipis, Bidadari Jalang juga
tersenyum, Nyai Punding Sunyi pun tersenyum.
Malahan Ki Madang Wengi pun berkata,
"Ingat, Sumbaruni... usiamu sudah di atasku. Jangan main cemburu begitu."
Sumbaruni tersinggung dan bicara dengan lantang,
"Apa pedulimu kalau aku jatuh cinta pada pemuda
seperti Suto, Madang Wengi"! Toh keadaan diriku masih tetap muda dan membutuhkan
pasangan yang seimbang."
Beberapa tokoh tua terkekeh geli. Tapi mereka tidak
lanjutkan kata-kata, sebab Angon Luwak mulai sadar
dan bocah itu agaknya sudah mulai bisa diajak bicara.
Luka-lukanya memang belum sembuh keseluruhan, tapi
sudah lebih baik daripada semula.
"Apa yang terjadi padamu, Angon Luwak"' tanya
Suto di depan mereka.
"Orang kadipaten itu... mau membunuhku, Kang,"
jawab Angon Luwak. "Tapi Rindu Malam datang
selamatkan aku, dan menyuruhku lari mencarimu ke
arah timur, lalu... kulihat dirimu ada di sini."
"Sekarang di mana Rindu Malam?"
"Sedang... sedang bertarung melawan pengawalnya
orang kadipaten itu."
Suto mengerti maksudnya. Orang kadipaten yang
dimaksud pasti Raden Udaya. Pengawalnya adalah
Malaikat Beku. Tapi ada sesuatu yang ingin diketahui
oleh Suto melihat Raden Udaya tampak bernafsu sekali untuk membunuh Angon Luwak.
"Sebenarnya, persoalan apa yang membuatmu selalu dikejar-kejar oleh Raden Udaya
itu, Angon Luwak?"
"Persoalannya...," Angon Luwak diam sebentar, memikirkan jawabannya. Yang lain,
para tokoh tua tingkat tinggi itu, menunggu jawaban dengan tanpa ada yang bersuara. Bocah itu
pun akhirnya berkata lagi,
"Persoalannya karena aku punya nyawa dan orang itu akan lenyapkan nyawaku.
Tentunya aku tak mau karena
nyawaku cuma satu, Kang."
Beberapa dari mereka ada yang tertawa dalam
gumam mendengar kepolosan Jawaban Angon Luwak.
Yang lainnya hanya tersenyum, termasuk Bidadari
Jalang. Suto Sinting menjelaskan maksudnya.
"Benar. Mereka akan melenyapkanmu karena kau
punya satu nyawa. Tapi apa sebabnya sehingga ia ingin melenyapkanmu, Angon
Luwak?" "Karena... karena saya waktu itu melihat
pengawalnya orang kadipaten itu membunuh Mbok Wiji
di tanggul sungai, Kang."
"Raden Udaya membunuh Mbok Wiji?"
"Pengawalnya, Kang. Raden Udaya hanya
memerintahkan."
"Mbok Wiji"!" gumam mereka satu persatu.
Sumbaruni berkata, "Mbok Wiji adalah saksi mata
yang melihat pembunuh Empu Sakya. Mengapa ia
membunuh Mbok Wiji?"
"Melenyapkan sakai mata!" jawab Bidadari Jalang.
"Bukankah tidak ada hubungannya dengan dirinya?"
kata Ki Argapura.
"Mbok Wiji yang sebarkan cerita tentang ciri-ciri pembunuh itu, yakni tentang
bumbung tuak dari bambu.
Dan semua orang tahu, pembawa bambu tuak adalah
Suto. Maka tersebarlah berita, bahwa Suto adalah
pembunuh Empu Sakya," kata Sumbaruni. "Tetapi jika Mbok Wiji bicara lebih banyak
atau dihadapkan pada
Suto, maka mungkin Mbok Wiji akan menyatakan
bahwa wajah pembunuh bukan wajah yang dimiliki
Suto." "Berarti Raden Udaya-lah pembunuhnya?" Ki
Sonokeling ambil kesimpulan begitu.
"Tapi Udaya tidak punya ilmu tinggi, dan tidak punya ilmu 'Perisai Sukma'."
"Aku curiga pada pengawalnya, si Malaikat Beku
itu!" kata Suto bagaikan bicara sendiri. "Sebaiknya kutemui mereka. Angon Luwak,
di mana Rindu Malam
bertarung dengan pengawalnya Raden Udaya itu"'
"Di pantai, Kang...," jawab Angon Luwak. Suto Sinting pun pamit kepada gurunya
untuk menyusul Raden Udaya ke pantai. Ki Madang Wengi
mengikutinya. * * * 9 PANTAI itu termasuk jajaran wilayah Pantai
Semberani, walau letak pertarungan mereka jauh dari
kaki Bukit Semberani. Tak heran jika di situ ternyata telah berdiri pula seorang
tokoh tua berambut abu-abu yang tak lain adalah Raja Maut. Tokoh tua itulah yang
menyaksikan pertarungan Rindu Malam dengan
Malaikat Beku. Ledakan-ledakan yang terjadi akibat
pertarungan ilmu Rindu Malam dengan Malaikat Beku
mengguncang tanah pantai, menggetarkan Bukit
Semberani, sehingga memancing Raja Maut keluar dari
pondoknya, ingin melihat apa yang terjadi di sekitarnya.
Agaknya Rindu Malam terdesak oleh kekuatan
Malaikat Beku. Tubuhnya berulang kali terjungkal
akibat hentakan gelombang tenaga dalam yang dahsyat
dari cambuk si Malaikat Beku. Cambuk itu bukan
sembarang cambuk. Kenyal dan alot. Mempunyai
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga sejak tadi sulit dipotong oleh
pedang Rindu Malam.
"Kurasa gadis itu akan terdesak dan celaka jika aku tak segera turun tangan,"
pikir Raja Maut. "Tapi
haruskah aku ikut campur tangan dengan urusan
mereka" Ah, kurasa jika hanya menyelamatkan gadis itu, tak seberapa berat ikut
campurku terhadap urusan
mereka." Malaikat Beku memutar-mutar cambuknya di udara.
Kejap berikut cambuk itu dilecutkan ke tanah berpasir.
Taaar...! Ujung cambuk menghantam tanah berpasir.
Lalu dari dalam tanah itu menyembur puluhan jarum
warna merah yang melesat ke arah Rindu Malam,
Zraaaak...! Rindu Malam masih terjatuh dari satu sentakan kuat
tadi. Ketika ia bangun separo berdiri, tiba-tiba ia
diserang pukulan jarum tersebut. Zrubb...!
"Ahhg..."!" Rindu Malam terkejut, tak sempat menghindar. Tubuhnya segera
mengejang di tempat.
Kepalanya terdongak dengan wajah menyeringai
menderita. Tubuh gadis itu segera berasap, menyebarkan bau busuk, seperti bau
mayat yang sudah terkubur satu minggu lamanya.
"Sudah kuingatkan agar kau lari dariku, Nona. Tapi agaknya kau memang ingin
lekas modar! Sekarang
terimalah jurus 'Cambuk Pembelah Raga' ini!
Heeaaaat...."
Cambuk itu melayang di udara. Saat itu seluruh tali
cambuk berubah menjadi membara merah dan berasap.
Cambuk itu pun dilecutkan ke tubuh Rindu Malam yang
mengejang kaku karena jarum beracun tadi.
Taaar...! Glegaaar...!
Suara ledakan membahana terdengar menyeramkan.
Gelombang air laut naik setinggi atap rumah, bergulung-gulung menuju ke tengah
samudera. Mestinya tubuh
Rindu Malam akan hancur terpotong-potong menjadi
beberapa puluh bagian. Tetapi pada saat cambuk sedang dilecutkan, Raja Maut
bergerak lebih dulu dan lebih
cepat, ia menyambar tubuh Rindu Malam. Wuuut...!
Tahu-tahu sudah ada di balik gugusan batu karang.
Jauhnya lebih dari lima belas langkah dari tempat
Malaikat Beku berdiri. Sedangkan Raden Udaya hanya
terperangah bengong, masih duduk di atas kudanya di
belakang Malaikat Beku, berjarak lewat dari dua puluh langkah. Sejak tadi ia
menyaksikan pertarungan hebat itu, dengan senyum kebanggaan, karena Malaikat
Beku yang dijagokan ternyata mampu menunjukkan kehebatan
ilmu dan jurus-jurusnya.
Bukan hanya Raden Udaya yang kecewa melihat
Rindu Malam terselamatkan oleh gerakan cepat Raja
Maut, tetapi Malaikat Beku pun sangat kecewa dan
murkanya kian bertambah.
"Keparat kau, Tua Bangka!" teriaknya penuh luapan amarah. "Kuhancurkan sekalian
tubuhmu dengan Cabuk Urat Setan-ku ini! Heaaah...!"
Malaikat Beku berlari mengejar Raja Maut yang
menunggu dengan siap. Tetapi gerakan Malaikat Beku
itu dipatahkan oleh sebuah serangan yang datang dari
arah samping kirinya. Dees...! Sebuah sentilan jari
tengah membuat Malaikat Beku terlempar hampir masuk
ke perairan laut. Jurus 'Jari Guntur' mengawali kehadiran Suto di pantai itu.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur lagi, hah"!"
teriak Malaikat Beku.
"Aku...!" jawab Suto, lalu muncul dari
persembunyiannya. Hal itu membuat Raden Udaya
terkejut dan cemas. Tapi membuat Raja Maut tersenyum
lega. Sementara Rindu Malam terkapar dengan tubuh
membiru dan tak bisa berbuat apa-apa. Raja Maut
mencoba menawarkan racun di tubuh Rindu Malam
dengan menyalurkan hawa dingin ke tubuh gadis itu.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting melompat dan berdiri tegak tak jauh dari Malaikat Beku. Di ujung
sana, Raden Udaya yang
menjadi takut menyimpan kecemasannya. Lalu ia
putuskan untuk menyingkir sementara dari tempat itu,
menunggu hasil akhir pertarungan yang bakal terjadi
dengan seru itu.
Tetapi ketika Raden Udaya membelokkan arah
kudanya, tiba-tiba seseorang telah melemparkan batu
kerikil sekecil kacang tanah. Wuuut...! Teeb...! Raden Udaya jatuh dari punggung
kuda, tapi ia tak bisa
bergerak lagi, sekujur tubuhnya menjadi kaku. Rupanya seseorang telah menotok
jalan darahnya memakai batu
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerikil itu. Kini yang dapat dilakukan oleh Raden Udaya hanya menggerakkan
kepala saja, termasuk mulut dan
matanya. Tapi bagian tubuh lainnya kejang seperti tubuh patung batu.
"Siapa ini yang menotokku"!" teriaknya dengan berang.
Suara tawa seperti menggumam terdengar. Seorang
lelaki bertubuh agak gemuk muncul sambil mengunyah
makanan. Ki Madang Wengi itulah orang yang telah
menotok jalan darah Raden Udaya untuk menahan agar
anak Adipati itu tidak pergi dari tempatnya. Ki Madang Wengi hanya terkekehkekeh mendengar sebaris cacian
dari Raden Udaya yang minta dibebaskan dari
totokannya. Ki Madang Wengi bahkan duduk di atas
batu sambil memperhatikan ke arah pertarungan
Malaikat Beku dan Suto Sinting.
Sebelum itu, Suto Sinting yang tampak tenang sempat
menenggak tuaknya, menelannya beberapa teguk.
Membiarkan Malaikat Beku melecutkan cambuknya ke
arah tubuh Suto. Tubuh Pendekar Mabuk itu melesat
lompat ke samping menghindari cambuk tersebut dengan
tetap menenggak tuaknya. Setelah selesai menenggak,
barulah ia memandang dengan senyum penuh tantangan.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara Raja
Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Habisi saja dia, Suro! Dia adalah
Kalatandu, cucu sesat Empu Sakya
yang banyak mengetahui rahasia dan kelemahan Empu
Sakya!" Suto manggut-manggut memandangi Malaikat Beku
sambil menyunggingkan senyum sinis. Malaikat Beku
tempak berang kepada Raja Maut. Tetapi jaraknya yang
jauh membuat ia tak berani menyerang, karena takut
diserang Suto dari belakang. Hatinya hanya membatin,
"Busuklah mulut si tua bangka itu! Dia tahu siapa diriku!"
Sedangkan Suto Sinting segera perdengarkan
suaranya yang kelem, "Ooo... jadi kau yang bernama Kalatandu?"
"Ya! Memang aku Kalatandu!" sentak Malaikat Beku.
"Kurasa kau yang membunuh Mbok Wiji!"
"Memang. Perempuan itu kubunuh supaya tidak
banyak bicara tentang diriku. Sebab hanya dialah yang mengetahui saat aku
membunuh Empu Sakya, kakekku
sendiri itu. Tapi dia hanya tahu ciri-ciri yang ada padaku.
Sengaja kubawa bumbung tempat tuak seperti
bumbungmu itu, supaya orang akan menyangka kaulah
pelakunya. Ternyata rencanaku itu berhasil. Tapi aku
jadi khawatir kalau Mbok Wiji bicara tentang wajahku
dan ciri-ciri lainnya!"
"Dugaan para tokoh pun begitu, Kalatandu."
"Persetan dengan dugaan para tokoh. Sekarang sudah telanjur terbuka. Tapi kau
tak bisa menyalahkan aku
saja, sebab anak Adipati itulah yang memerintahkan
diriku dan mengupahku untuk menjatuhkan namamu!
Dengan begitu kau akan dibenci oleh Mega Dewi dan
Mega Dewi akan mencintai Udaya! Anak Adipati itulah
yang mengatur siasat dengan menggunakan bambu tuak
pada saat aku membunuh kakekku yang sedang tidur
itu." "Kenapa kau tega membunuh kakekmu sendiri."
"Karena aku sudah tak sabar lagi menunggu keris
pusaka itu belum juga diwariskan padaku. Sayangnya
waktu Kakek sudah kubunuh, aku tidak menemukan
letak penyimpanan keris itu. Tapi aku cukup puas dapat
membunuh Empu Sakya dengan keris peninggalan
Ibuku. Kurasa Mbok Wiji juga tahu kalau aku keluar
dari belakang rumah Empu Sakya sambil membawa
keris, ia pasti akan menceritakan kepada orang-orang
tentang keris yang kubawa itu, sehingga orang sangka
kaulah pembunuhnya dan berhasil membawa keris
pusaka!" "Terima kasih atas pengakuanmu, Kalatandu," kata Suto kalem sekali.
"Sengaja kubeberkan supaya kau tidak penasaran
dalam perjalanan menuju ke alam baka, Suto Sinting!
Tentunya kau pun tahu bahwa bocahmu itu perlu
kubunuh karena dia mengetahui saat aku membunuh
Mbok Wiji. Jika tidak kubunuh dan ia buka rahasia itu, maka orang cerdas akan
bisa menyimpulkan siapa
pembunuh Empu Sakya sebenarnya. Tapi sayang...
bocahmu itu licin seperti belut dan selalu dinaungi dewa keberuntungan, sehingga
sampai sekarang masih belum
berhasil kulenyapkan!"
"Kau tak akan berhasil membunuhnya semasa
Pendekar Mabuk masih hidup."
"Kalau begitu sekaranglah saatnya untuk minggat ke neraka! Heaaat...!"
Taaar...! Cambuk dilecutkan, ujungnya melepaskan sinar api
yang berkerilap menyambar tubuh Suto Sinting. Tapi
Pendekar Mabuk berhasil bersalto dua kali ke belakang dengan gerakan cepat.
Gerakan itu membuat cambuk
Kalatandu mengenai tempat kosong. Kalatandu menjadi
sangat penasaran, ia menggeram sambil segera lakukan
lompatan menyerang. Cambuknya diputar di atas kepala
menimbulkan bunyi dengung yang amat kuat, lalu
dilecutkan ke arah Suto kembali.
Taaar...! Suto Sinting menangkis cambuk itu dengan bambu
tuaknya. Cambuk menjadi terjerat bambu tuak. Lalu
Suto sentakkan dengan keras, penuh kekuatan tenaga
dalam, sehingga tubuh yang melayang itu tersentak maju ke arahnya, kemudian
ujung bambu disodokkan ke
depan. Wuuuk...! Buuuhg...! Tepat mengenai dada
Kalatandu. "Uhhg...!" tubuh Kalatandu belum sampai menyentuh tanah sudah terlempar lagi ke
belakang. Wajahnya
menjadi merah dan mulutnya keluarkan darah akibat
sodokan bambu tuak yang bernama jurus 'Mabuk
Pelebur Gunung'. Tubuh Suto pun melangkah dua tindak
dengan menggeloyor seperti orang mau jatuh karena
mabuk. Tapi itulah jurus mautnya yang membahayakan
lawan. Kalatandu masih bisa bangkit. Padahal wajahnya
sudah biru legam, demikian pula bagian lengannya.
Rambutnya rontok dan menjadi beterbangan tertiup
angin pantai. Suto menganggap Kalatandu berilmu
tinggi, karena biasanya lawan yang terkena jurus 'Mabuk Pelebur Gunung' akan
mati beberapa saat setelah
rambutnya rontok.
"Rupanya ia punya baja pelapis jiwa di dalam
tubuhnya!" pikir Suto, namun ia masih menampakkan
ketenangannya. Kalatandu menepukkan tangannya di atas kepala.
Plaaak...! Claaap...! Sinar putih melesat menghantam
Suto Sinting. Dengan cepat Suto berguling ke tanah
menyambar cambuk yang jatuh, lalu cambuk itu
dilecutkan ke arah datangnya sinar tersebut. Taaar...!
Kilatan cahaya biru keluar dari ujung cambuk dan
menghantam sinar putih.
Blegaaar...! Ledakan terjadi dengan dahsyat. Gugusan batu
karang setinggi rumah menjadi rontok berjatuhan
menutup sebagian tepian pantai. Tetapi Kalatandu masih tetap berdiri tegak tanpa
bergeser dari tempatnya sedikit pun. Bahkan kedua tangan yang tadi bertepuk satu
kali di atas kepala itu ditarik turun sampai ke dada secara pelan-pelan,
kemudian disentakkan ke depan dengan
kaki merenggang rendah. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar merah meluncur selarik lurus dari ujung dua
tangan yang menyatu itu. Suto Sinting menangkisnya
dengan bumbung tuak. Taaas...! Sinar merah itu menjadi besar dan bentuk besarnya
bergerak makin mendekati
ujung tangan Kalatandu. Akhirnya Kalatandu ketakutan
sendiri dan melepaskan kedua tangannya sambil
melompat menghindar. Wuuut...! Blaaar...! Sekali lagi gugusan batu karang
menjadi sasaran sinar itu. Dihantam kuat dalam bentuk satu ledakan, dan tahutahu gugusan batu karang itu lenyap, tinggal setumpuk pasir putih
kecoklatan sebagai tanda batu karang itu lebur menjadi selembut itu. Kalatandu
sempat terperangah heran dan
tegang. Tapi pada saat itu, Suto Sinting masih memanfaatkan
senjata Kalatandu itu dengan melecutkan cambuk
tersebut ke udara tiga kali. Tar, tar, tar...! Dan kilatan cahaya api merah
kebiru-biruan melesat menghantam
tubuh Kalatandu.
Duaaar...! Ketiganya menghantam bersama, tubuh
Kalatandu terlempar jauh. Ketika ia jatuh ke tanah,
ternyata satu kakinya sudah tak ada, satu tangannya jatuh di sebelah sana, dan
daun telinganya pun entah jatuh di mana. Kalatandu masih mencoba berdiri untuk
lakukan serangan dengan satu tangan. Namun Pendekar Mabuk
segera melompat dan lecutkan cambuk ke arah
punggung lawan.
Taaar...! Craas...!
Tenaga dalam yang dimiliki Suto membuat ujung
cambuk bagaikan pedang tajam. Punggung Kalatandu
koyak lebar. Tak diduga ujung cambuk itu mengenai
jantung dari belakang, jantung itu pecah dan Kalatandu pun tak mampu berkutik
lagi. Ia rebah tanpa nyawa
dengan tubuh berlumur darah.
Kejadian itu dilihat jelas dengan mata Raden Udaya,
tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih dalam
pengaruh totokan Ki Madang Wengi. Sedangkan Ki
Madang Wengi segera membawanya ke tempat para
tokoh yang berkumpul di Jurang Lindu. Mereka sepakat
menyerahkan Raden Udaya kepada sang Adipati untuk
dihukum karena kesalahannya mengupah Kalatandu
membunuh Ki Empu Sakya.
"Katakan kepada sang Adipati, jika ia tidak bisa menghukum secara adil, kita
yang akan mengadili sesuai cara kita sendiri!" kata Jangkar Langit kepada Ki
Madang Wengi dan Ki Sonokeling yang ditugaskan
membawa Raden Udaya ke kadipaten.
Suto Sinting pun berhasil mengobati luka racun
Rindu Malam, yang apabila terlambat sedikit lagi akan menewaskan nyawa gadis
cantik itu. Raja Maut
tersenyum tipis, wajahnya tampak ceria.
"Sekarang namamu sudah bersih dari para tokoh
aliran putih, Suto. Kurasa Madang Wengi mampu
membuka mulut Raden Udaya untuk mengakui segala
tindakannya bersama Kalatandu, si cucu sesat itu."
Suto Sinting tersenyum lega. Tapi ia segera
membawa Rindu Malam melangkah agak jauh dan
bertanya kepada si cantik itu,
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani
mengorbankan nyawa untuk persoalanku ini" Katakan
sejujurnya, Rindu Malam."
Gadis itu menatap sebentar, lalu tundukkan kepala
sambil berkata,
"Aku seorang utusan yang ditugaskan membantu
menyelesaikan perjalanmu, setelah itu membawamu ke
negeriku."
"Utusan dari mana?"
"Negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam pelan tapi jelas. Sangat mengejutkan
Suto. "Ratu Asmaradani mengutusku menjemputmu, Suto!
"Asmaradani"! Bukankah wanita itu hanya ada dalam
mimpiku"! Tapi kenapa ternyata ada dalam kenyataan"!"
pikir Suto dengan terheran-heran.
Lalu terbayang dalam ingatan Suto tentang
mimpinya, seorang wanita cantik yang mengaku
bernama Asmaradani memberikan setangkai mawar
warna pelangi. Mawar itu tanpa duri, dan punya aroma
wangi yang amat lembut, membekas di hati. Saat
terbayang mawar yang mirip dengan hiasan di ujung
gagang pedang Rindu Malam itu, Suto mendengar suara
gadis itu berkata,
"Kami punya kesulitan, dan hanya kau yang bisa
melepaskan kesulitan itu."
"Kesulitan apa"!"
Rindu Malam belum menjawab, segera muncul gadis
yang rambutnya cepak seperti lelaki, tapi mempunyai
rantai emas berbatu mirah delima di keningnya. Gadis
itu tak lain adalah Kelana Cinta, yang hadir di pertemuan para tokoh tingkat
tinggi di Jurang Lindu tadi.
Rindu Malam merunduk memberi hormat. Ternyata
Kelana Cinta mempunyai jabatan lebih tinggi dari Rindu Malam.
"Persoalannya sudah selesai, Rindu Malam.
Pelakunya adalah Raden Udaya dengan menggunakan
kesaktian seseorang yang mempunyai ilmu 'Perisai
Sukma'." "Ia bernama Kalatandu, Perwira Kelana Cinta," kata Rindu Malam, yang ternyata
seorang perwira, jabatan
tinggi bagi mata-mata Negeri Ringgit Kencana, yang
punya hak mewakili ratunya untuk kepentingan apa pun.
"Baik. Sekarang sudah tiba saatnya menjemput
Pendekar Mabuk karena kurasa sang Ratu sudah
menunggunya terlalu lama."
"Suto, mari ikut kami ke Negeri Ringgit Kencana,"
kata Rindu Malam.
"Aku... hmmm... baiklah, aku bersedia. Tapi jelaskan dulu kesulitan apa yang
harus kuhadapi untuk menolong kalian?"
"Ratu Asmaradani bisa jelaskan padamu. Jika kau
ingin tahu kesulitan itu, cepatlah temui ratu kami!" kata Kelana Cinta dengan
sikap sopan dan tampak
menghormat kepada Pendekar Mabuk. Si tampan Suto
Sinting itu hanya tertegun bengong dengan dahi berkerut tajam.
SELESAI Pendekar Mabuk Segera terbit!!!
BANDAR HANTU MALAM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Kunang Kunang 9 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pedang Pelangi 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama