Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana Bagian 2
Wulung berhasil memotong ujung sinar yang meluncur
deras ke arah kepalanya. Selanjutnya terdengar benda berdentang jatuh ke lantai.
"Sebuah tombak!" desis Mahesa Wulung, demi dilihatnya ujung tombak dan tangkainya terhampar di
lantai. "Hmm, Ki Topeng Reges memasang perangkap
untuk menjaga kamar ini. Heh, hampir-hampir aku
tersatai di tempat ini."
Setelah dirasa aman, Mahesa Wulung masuk ke dalam kamar. Matanya segera dapat menangkap sebuah
peti kayu berukir yang tergeletak di balai-balai.
"Sungguh menarik peti itu. Rupanya itu adalah
simpanan penting Ki Topeng Reges. Kentara disimpannya di balai-balai tempat tidur," pikir Mahesa Wulung di dalam hati. "Biarlah
aku ambil benda itu."
Sambil sedikit gemetar Mahesa Wulung meraih peti
kayu berukir itu dari balai-balai. Namun saat itu pula tanpa sengaja kaki
kirinya menyandung sebuah batu
persegi di lantai dan mendadak lantai di bawahnya
terbuka ke bawah.
Untunglah untuk kedua kalinya Mahesa Wulung
tak kurang waspada. Maka sebelum tubuhnya terperosok ke lubang lantai tadi, ia secepat kilat menghunjamkan pedang di tangan kanan
ke dasar balai-balai
hingga terhunjam. Dengan begitu Mahesa Wulung dapat berpegang pada tangkai pedangnya dan selamat
dari perangkap itu.
"Wah, Ki Topeng Reges memang sangat licin!" desis
Mahesa Wulung setengah gemetar. "Agaknya perangkap tadi dipersiapkan untuk siapa saja yang berani
memasuki kamar ini, termasuk orang-orang Ki Topeng
Reges sendiri."
Begitulah, akhirnya dengan susah payah Mahesa
Wulung dapat menyelamatkan diri serta memungut peti kayu berukir tadi. Dan kemudian ketika ia membuka peti itu mulutnya
mengeluarkan desisan kagum.
"Inilah Kaca Sirna Praba dan lembaran-lembaran
Kitab Hijau milik Landean Tunggal. Ooh, agaknya Tuhan telah mengharuskan bahwa benda berharga yang
telah sekian lamanya di bawah cengkeraman Ki Topeng Reges harus kembali kepada
tangan yang bersih."
Tanpa tunggu waktu lebih lama, Mahesa Wulung
segera mengambil Kaca Sirna Praba serta lembaranlembaran Kitab Hijau dari peti tersebut serta menyimpannya di dalam bajunya.
Setelah itu Mahesa Wulung meletakkan kembali peti
kayu tersebut pada tempatnya dan sebelum ia meninggalkan kamar itu, lebih dulu ia membuat goresangoresan huruf pada tiang kayu dengan sepotong arang yang berbunyi sebagai pesan
kepada Ki Topeng Reges,
"Ki Topeng Reges, Kaca Sirna Praba dan lembaranlembaran Kitab Hijau ini bukan hakmu. Oleh sebab itu harus aku ambil. Aku Mahesa
Wulung." Selesai menulis tadi Mahesa Wulung cepat-cepat keluar dari rumah Ki Topeng Reges.
Dalam pada itu, Pakisan dan Sorogenen telah berhasil mendekati gubuk bambu yang dijaga. Kini hanya orang dua saja yang tampak
berjaga. Rupanya yang
seorang ikut menyerbu ke arah selatan bersama Ki Topeng Reges.
Baru saja berhasil mendekat, tahu-tahu kedua penjaga itu telah melihat mereka dan segera berloncatan menyerbu Pakisan serta
Sorogenen. "Berhenti! Siapa kau ha"!" seorang di antara penjaga itu membentaknya, sementara seorang lagi yang
berperawakan tegap dan besar, bersiap dengan tombaknya. "Heei, bukankah kisanak yang bertubuh tegap itu
Kakang Sela Ganden"!" seru Pakisan seraya memandang Sorogenen.
"Ya, benar. Dialah Kakang Sela Ganden. Tapi mengapa berada disini?" Sorogenen berseru pula keheranan.
Dugaan mereka memang tidak keliru, sebab Sela
Ganden pun segera dapat mengenal kedua temannya
itu. Wajahnya sesaat tegang kepucatan, namun kemudian menjadi cerah kembali, sambil berkata kepada
Pakisan dan Sorogenen, "Adi Pakisan dan Sorogenen,
kalian lebih baik bergabung dengan kami. Sebab kita pernah bersama-sama dalam
suka dan duka."
"Terlambat, Kakang Sela Ganden. Itu semua memang benar. Tapi itu hanya pada saat-saat yang lalu, di mana kita bersama-sama
menjadi jagabaya desa ki-ta. Sedang sekarang sudah lain. Kakang berpihak dan
tinggal bersama gerombolan Ki Topeng Reges," jawab
Pakisan dengan tegas, hingga Sela Ganden terperanjat karenanya.
"Lalu apa maksudmu datang kemari ini?" tanya Sela
Ganden kembali. "Mau menangkapku?"
"Yah, kami berdua akan menangkapmu serta membebaskan Endang Seruni!" sahut Sorogenen.
"Ha, ha, ha, ha. Dua ekor tikus masuk ke dalam sarang harimau dan di situ ia berani pentang mulut!"
berkata Sela Ganden sambil ketawa terbahak-bahak.
"Ooo, bicaramu sudah berubah sama sekali, Kakang
Sela Ganden. Lagakmu mirip orang-orang Ki Topeng
Reges!" ujar Pakisan setengah menggeram jengkel.
"Memang aku sekarang berpihak kepada Ki Topeng
Reges, sebab Ki Lurah telah menyingkirkan aku dan
menganak-emaskan Mahesa Wulung."
"Ooo, jadi karena hal tersebut menyebabkan Kakang Sela Ganden menyeberang kepada gerombolangerombolan hitam pengacau negara. Perbuatanmu ini
keblinger, Kakang!" terdengar Sorogenen ikut mencampuri bicara.
"Keparat! Kalian coba-coba berkhotbah di depanku,
ha"! Kalian masih terlalu hijau, dan sebagai pemimpinmu aku harap Adi Pakisan dan Sorogenen bergabung denganku!"
"Hah, kau bukan pemimpin jagabaya lagi! Kau tak
lebih adalah antek begundal Ki Topeng Reges yang su-ka menjilat telapak
kakinya!" Pakisan berteriak marah.
"Bicaramu memerahkan telinga, tikus-tikus! Nih terimalah. Heaaet!" Sela Ganden segera menusukkan
tombaknya ke arah Pakisan dengan tiba-tiba disertai lompatan menerjang.
Mendapat serangan tiba-tiba tadi Pakisan meloncat
mundur kemudian berkelit ke kanan. Namun iapun
terpaksa kaget bila tahu-tahu Sela Gandenpun merobah arah tusukan tombaknya mengikuti arah tubuh
Pakisan berada. Dengan begitu maka Pakisan terpaksa menangkis ujung tombak itu
dengan pedangnya.
Craaang! Kedua senjata itu tergetar sampai ke tangan pemiliknya, hingga Sela Ganden serta Pakisan berloncatan mundur beberapa langkah dan
saling berpandangan
tajam. Setelah itu, akhirnya kedua bekas teman tadi saling menerjang dan bertempurlah
mereka dengan serunya.
Sementara sambil bertempur ini, Pakisan juga memikirkan sahabatnya yakni si Sorogenen. Tetapi hatinya menjadi lega setelah ia
berhasil melirik ke arah utara, si Sorogenen dilihatnya tengah bertempur melawan
penjaga yang seorang lagi. Kedua-duanya sama-sama
menggenggam pedang.
Sorogenen tak tanggung-tanggung mengeluarkan
permainan pedangnya yang betul-betul membuat pedang tersebut seolah-olah terbang mengurung anak
buah Ki Topeng Reges tadi. Dan orang inipun dengan
mati-matian mengarahkan tenaganya, sebab betapapun dirinya akan kalah, ia harus mempertahankan
nyawanya. Maka pedang di tangannya pula bergerak
sangat cepat, menyongsong setiap tebasan dan tusukan pedang Sorogenen.
Dengan demikian maka terjadilah dua lingkaran
pertempuran di depan gubuk bambu itu. Masingmasing mengeluarkan segenap kemampuan ilmunya
guna mengalahkan lawannya secepat mungkin.
Agaknya hal ini tidak mudah. Sebab sepintas lalu
mereka seperti berkekuatan seimbang dan sejajar. Dan kelihatan sekali bahwa
Pakisan dapat bertempur dengan baik melawan Sela Ganden.
Walaupun Pakisan hanya bersenjata pendek yakni
sebilah pedang sedang Sela Ganden menggunakan sepucuk tombak, namun Pakisan memang benar-benar
menguasai pedangnya.
"Kurang ajar kau Pakisan! Ilmu pedangmu memang
hebat. Tapi jangan berbesar kepala kalau belum dapat mengalahkan Sela Ganden!"
seru Sela Ganden.
"Ha, ha, ha, ilmu tombakmu pun tak kalah hebat,
Sela Ganden! Sayangnya ilmu yang sebaik itu berada
di tangan orang yang berotak keblinger!" Pakisan berteriak menjawab.
"Lekas minggat saja dari tempat ini, Pakisan. Aku
tak sampai hati kalau harus bertempur melawan sobat lamaku. Terlalu sayang
bukan, kalau tombak ini harus menembus tubuhmu"!"
"Lebih baik kau saja yang menyerah, Sela Ganden.
Amat menyesal kalau saya harus memenggal lehermu
dengan pedang ini!"
"Keparat! Kau berbicara sangat tajam, Pakisan!
Awas, terimalah permainan puncak tombakku ini!"
Habis berkata begitu, Sela Ganden melompat ke
samping satu langkah serta memegang tombaknya lurus-lurus ke atas. Sesudah itu ia mulai membuka serangan baru dengan sebuah tusukan ke arah dada Pakisan. Melihat serangan ini Pakisan mencoba menangkis
dengan pedangnya, dan sayangnya ia tidak tahu bila
Sela Ganden tiba-tiba memutar tombaknya. Pangkal
tombak berputar ke depan dengan kecepatan kilat dan tanpa dapat ditangkis, tahutahu menyambar bahu
Pakisan. Praak! Tubuh Pakisan terpelanting ke tanah dengan peringisan menahan sakit. Belum lagi ia sempat memperbaiki dirinya, mendadak Sela Ganden telah menghunjamkan tombaknya ke arah tubuh Pakisan yang
masih terhampar di tanah.
"Mati kowe, Pakisan!" teriak Sela Ganden mantap.
Ujung tombaknya meluncur deras ke arah lambung
Pakisan. Untunglah Pakisan tidak terkena, maka iapun menggelindingkan tubuhnya
beberapa putaran, sehingga tombak Sela Ganden itu cuma menghunjam ke
dalam tanah, diikuti oleh kutukan dari Sela Ganden.
Ia tak mengira bahwa pada detik-detik yang berbahaya Pakisan masih sempat menyelamatkan nyawanya. Sela Ganden dalam hati mengagumi kecekatan
gerak Pakisan. Dan tiba-tiba Sela Ganden berteriak kaget, sebab
Pakisan menyerang kaki Sela Ganden dengan tebasan
pedangnya sambil mengendap rendah. Sela Ganden
terpaksa meloncat ke atas sambil menarik tombaknya
yang masih tertancap di tanah. Terlambat sedikit saja, kedua kakinya akan
terbabat putus oleh pedang Pakisan ini.
Walaupun Sela Ganden dapat menghindar, Pakisan
tak putus asa. Ia terus mengejar Sela Ganden dengan tebasan-tebasan pedangnya
sehebat mungkin.
Sambil mendarat itu Sela Ganden memutar tombaknya mengurung tubuh Pakisan dan selanjutnya sebelum Pakisan dapat berbuat banyak, ujung tombak
Sela Ganden berhasil menyambar bahu Pakisan.
Dalam keadaan begini Pakisan masih dapat mengendap sehingga luka yang ditimbulkan oleh ujung
tombak Sela Ganden tidaklah terlalu lebar.
Bahu Pakisan tadi mengeluarkan darah segar mengalir bagai anak sungai. Ketika ia tengah merasakan luka di bahunya itu, sekali
lagi Sela Ganden menggerakkan tombaknya dengan dibarengi teriakan.
"Hyaaat!"
"Eaaakh!"
Sebuah teriakan ngeri dan pilu terlontar dari mulut Pakisan apabila tombak Sela
Ganden telah bersarang
menghunjam ke dadanya. Darah memerah menyemprot dari luka itu dan Pakisan sambil merintih roboh ke tanah. Sesaat kemudian
matilah Pakisan sebagai
seorang jagabaya yang telah berjuang demi kebenaran.
Sela Ganden menatap tajam ke arah mayat Pakisan,
bekas sahabatnya yang telah sekian lama bergaul dalam suka dan duka.
"Sayang sobat, kau terpaksa mati di tanganku!"
gumam Sela Ganden seraya mencabut tombaknya
yang masih menancap di dada Pakisan.
Sementara itu pula Sorogenen makin mendesak si
penjaga. Pedangnya berkali-kali mengancam tubuh lawannya. "Menyerah saja kau, begundal Topeng Reges!" teriak
Sorogenen lantang.
"Huh, menyerah"! Betapapun kau berilmu siluman,
Bedes tak sudi menyerah di tanganmu. Lebih baik mati!" "Bedes"! Jadi itulah namamu" Pantas gerakanmu
mirip seekor kera!" ejek si Sorogenen membuat Bedes terbakar merah wajahnya
saking marahnya yang kelewat sangat.
"Kau boleh mengejek, cecunguk! Tapi sebentar lagi
kau akan mati di tanganku seperti temanmu itu!" teriak Bedes. Demi melihat kematian Pakisan itu, Sorogenen
menjadi semakin hebat menyerang Bedes. Betapapun
jadinya ia harus membalaskan kematian sahabatnya.
Maka tak heranlah bila pedang di tangan kanannya
kemudian menyambar bergulung-gulung laksana ombak badai menghempas setiap rintangan.
Dan Bedes memang merasakan perubahan gerak
pedang lawannya yang dirasanya menjadi berlipatlipat. Namun rupanya Bedes pun berusaha menanggulanginya sekuat mungkin.
Sejurus kemudian Bedes melesat garang menerjang
dengan putaran pedang ke arah Sorogenen. Sementara
itu pula Sorogenen pun telah bersiaga. Ia melesat memapaki terjangan Bedes.
Kedua tubuh tadi bersimpangan dan selanjutnya
terdengar suara berdesing, lalu suara benda tersobek.
"Waah!"
Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuh Bedes tercampak runtuh ke bawah dengan
lambungnya sobek berlumur darah. Sejenak tubuhnya
mengejang-ngejang kemudian diam tak bergerak. Mati!
Sorogenen melirik ke sebelah lain, dan ternyata Sela Ganden pun tengah
menatapnya dengan tajam. Keduanya berpandangan tajam. Kedua bekas sahabat itu
kini berhadapan sebagai seorang musuh!
"Sorogenen! Kau lihat mayat Pakisan ini" Aku terpaksa melakukannya, dan seperti itu aku tak ingin terjadi pada dirimu!"
"Tak perlu kau menyesalinya, Sela Ganden. Kalau
Pakisan telah meninggal itu pertanda bahwa ia tewas sebagai seorang jagabaya
pembela kebenaran. Dan sebaliknya, jika yang meninggal itu engkau, itu tak lebih
kematian seorang begundal Topeng Reges!"
Mendengar tutur kata ini Sela Ganden menjadi semakin terbakar kemarahannya. Lalu dengan secepat
kilat ia menerjang dengan tombaknya ke arah Sorogenen. Sekarang terjadilah pertempuran hebat antara mereka. Keduanya sama-sama memeras kepandaiannya.
Apalagi mereka dulu adalah saling bersahabat, hingga setidak-tidaknya mereka
saling mengetahui akan ilmu gerak senjata lawannya.
Jurus demi jurus mereka lalui, dan sejauh itu keduanya masih saling berimbang. Namun nampaknya
lama-kelamaan Sela Ganden mulai unggul juga daripada Sorogenen.
Ketika pada jurus keduapuluh, Sorogenen nampak
terdesak oleh serangan tombak Sela Ganden. Walau ia mengerahkan kepandaiannya,
toh pikir-pikir masih lebih untung senjata Sela Ganden yang bertangkai panjang. Maka tak heran bila Sela Ganden lebih unggul.
Agaknya pertempuran sudah hampir mendekati selesai, sebab Sorogenen sudah terus-terusan terdesak oleh Sela Ganden yang
nampaknya semakin garang
melihat lawannya tak kuasa menghadapi permainan
tombaknya. Akhirnya ketika tebasan pedang Sorogenen dapat
dielakkan oleh Sela Ganden, tiba-tiba saja lengannya tersambar oleh mata tombak
Sela Ganden, menyebabkan Sorogenen berteriak hebat. Sebuah luka memanjang yang cukup dalam telah menghiasi lengannya itu, sementara darah merah segar
mancur hingga memba-sahi lengan dan bajunya.
Demikian pula pedang di tangan Sorogenen terlempar dari tangannya serta jatuh di atas rumput.
Melihat lawannya sudah tak bersenjata lagi, Sela
Ganden serentak tertawa terkekeh-kekeh, sedang tombak diangkat tinggi-tinggi siap dihunjamkan ke tubuh Sorogenen.
Karuan saja Sorogenen menjadi takut dan beberapa
kali mundur-mundur ke belakang, kemudian jatuh terlanggar oleh sebuah batu.
"Ha, ha, ha, ha, ha. Hari ini adalah kematianmu,
Sorogenen! Tombakku ini akan mengantarmu ke neraka!" berseru Sela Ganden sambil mengangkat tombaknya lebih tinggi lagi siap mengakhiri nyawa Sorogenen.
Tanpa terduga dan sama sekali tiada suara apa-apa
sebelumnya, tahu-tahu sebuah Bayangan berkelebat
cepat memotong arah tombak Sela Ganden yang tengah meluncur tadi.
Prak! Sela Ganden terkejut bila tiba-tiba saja tombak dan tangannya terasa bergetar
pedih, sewaktu tombaknya
tersebut terasa membentur dinding batu.
"Keparat! Tahu-tahu kau muncul, setan!" teriak Sela Ganden, setelah melihat siapa yang berdiri di mukanya, yakni Mahesa Wulung
dengan pedang terhunus. "Yah, sekarang kita berhadapan lagi, Sela Ganden!
Dahulu aku sudah berusaha melupakan perselisihan
kita. Tetapi rupanya kau belum puas!" seru Mahesa
Wulung. "Dia seorang pengkhianat!" teriak Sorogenen seraya
menunjuk ke arah Sela Ganden. "Dia memang sengaja
menghilang dari desa kita untuk bergabung dengan gerombolan Topeng Reges!"
"Diam kau, kunyuk! Aku tak minta kau ikut bicara!"
bentak Sela Ganden kepada Sorogenen yang masih
terduduk di tanah dengan terluka lengannya.
"Dan sekarang dia telah membunuh saudara kita Pakisan, dengan tombaknya itu!" sekali lagi Sorogenen berteriak, membikin Sela
Ganden hilang kesabarannya dan secepat kilat ia menerjang ke arah Sorogenen
dengan tombaknya.
Namun sekali lagi Mahesa Wulung berkelebat cepat
mencegat arah terjangan Sela Ganden dengan menebaskan pedangnya yang telah dilambari tenaga dalam.
Wesss! Traak! Mata tombak Sela Ganden terbabat putus dan tercampak ke tanah, menyebabkan pemiliknya terlongoh
keheranan. Maka secepat kilat Sela Ganden menyerang Mahesa Wulung dengan tangkai
tombaknya. Berbareng
itu pula, Mahesa Wulung telah menyiapkan putaran
pedangnya, sementara tubuhnya dengan lincah melesat ke arah kiri Sela Ganden.
Apa yang terjadi selanjutnya sukar dimengerti. Sebab begitu Mahesa Wulung dua kali menebaskan pedangnya, tahu-tahu tangkai tombak Sela Ganden terpotong menjadi tiga bagian.
Kini Sela Ganden tinggal menggenggam dua potong
tangkai tombaknya, yang seketika itu juga dihempaskannya ke tanah sambil mengutuk-ngutuk.
Begitu merasa dirinya sudah tidak bersenjata lagi,
Sela Ganden mundur ke belakang dengan hati yang
berkecamuk panik.
Agaknya Mahesa Wulung dapat mengerti apa yang
dirasa oleh lawannya. Dasar memang pendekar muda
ini berjiwa ksatria, ia tidak ingin melihat lawannya ma-ti dengan bertangan
kosong. Maka tiba-tiba Mahesa
Wulung mengendap serta memungut sebilah pedang
yang tergeletak di dekat mayat Pakisan, untuk selanjutnya dilemparkan ke arah
Sela Ganden dan tercampak di depan kakinya.
"Ayo, Sela Ganden! Pungut pedang itu, lekas! Aku
tak ingin engkau mati konyol di tanganku!" seru Mahe-sa Wulung.
Sela Ganden yang melihat kesempatan ini tak percuma dilewatkan begitu saja. Maka secepat kilat ia
menyambar pedang itu dari tanah.
"Heh, he, he, he. Kau memang berjiwa ksatria, sobat. Tapi jangan menyesal bila kepalamu nanti terpak-sa lepas dari tubuhmu!"
Habis berkata demikian Sela Ganden menerjang dengan pedangnya. Demikian pula Mahesa Wulung telah
bersiaga dan selanjutnya pertarungan dahsyat tak ter-cegah lagi!
Kedua bekas musuh lama ini bertarung laksana
dua ekor harimau. Masing-masing saling berloncatan
melibat dan terjang-menerjang dengan serunya.
Sebentar saja tempat itu telah dipenuhi oleh desingan-desingan pedang dan derap kaki yang berloncatan kesana-kemari.
Mahesa Wulung memutar pedangnya, menyerang
Sela Ganden dari segenap arah, sedang sebaliknya Se-la Ganden tak dapat berbuat
banyak terhadap lawannya, hingga tak lebih sikapnya hanya bersifat mempertahankan diri. Untuk
membalas menyerang ia sudah
tak mungkin lagi, sebab pedang Mahesa Wulung ini
seperti mempunyai mata, selalu mengikuti gerak tubuh lawannya, tak ubahnya
seekor nyamuk yang meru-bung tubuh manusia untuk mengisap darahnya.
Terpaksa Sela Ganden mengakui kelebihan lawannya yang masih muda itu. Setiap kali pedangnya berhasil menangkis tebasan pedang Mahesa Wulung, terasa selalu seluruh buku-buku dan ruas-ruas tulang
jarinya seperti akan copot berantakan. Hal ini membuat permainan pedangnya semakin kacau.
Pada jurus ketigapuluh satu, Sela Ganden terpekik
kesakitan ketika secara mendadak ujung pedang Mahesa Wulung berhasil menggores bahu kirinya, hingga bajunya pun ikut terobek
disertai darah merah memer-cik deras.
Merasakan lukanya itu, Sela Ganden menggeram
marah. Maka dengan satu serangan nekad, Sela Ganden melesat dengan menendangkan kakinya ke arah
kepala Mahesa Wulung, sementara pedang di tangan
kanannya menebas ke dada lawan!
Hampir saja Mahesa Wulung kelabakan menerima
serangan ini, kalau saja ia tidak cepat-cepat bergerak.
Ia memutar tubuhnya ke kanan setengah mengendap,
sedang pedang di tangannya pun menangkis pedang
Sela Ganden dengan serunya, hingga saling membentur. Craaang! Sesaat terdengar bunyi gemerincing, kemudian disusul bunyi berdebuk, sebab tangan kiri Mahesa Wulung berhasil menghajar lambung Sela Ganden.
Maka seketika tubuh Sela Ganden terpental dan sebelum ia jatuh ke tanah, sekali lagi pedang Mahesa
Wulung menyerangnya.
Crasss! Paha Sela Ganden terbabat pedang Mahesa Wulung
dan tak ampun lagi Sela Ganden terjerembab jatuh ke tanah dengan luka kedua yang
tak kalah dalam dari
luka di bahu kirinya.
Kini Sela Ganden tergeletak di tanah merasakan kesakitan dari kedua lukanya yang mengalirkan darah.
Dengan nafas yang berdengusan bagai sapi akan disembelih, ia menatap ke arah Mahesa Wulung yang
masih saja berdiri tegap tak jauh dari tempatnya.
"Keparat! Kau memang hebat, sobat! Kau telah berhasil merobohkan Sela Ganden dengan dua buah luka.
Tapi kau jangan mimpi bisa menyentuh tubuhku atau
menangkapku hidup-hidup!"
Selesai berkata begitu dengan tiba-tiba Sela Ganden mengangkat pedangnya tinggitinggi, hingga Mahesa
Wulungpun kaget serta bersiaga. Ia mengira kalau Sela Ganden bermaksud
melancarkan serangan balasan.
Ternyata keliru sekali perkiraan Mahesa Wulung,
karena kejadian berikutnya membuat dadanya bergoncang. Pedang yang telah diangkat tinggi-tinggi oleh Se-la Ganden tadi bukannya
untuk menyerang, tetapi sekonyong-konyong meluncur keras ke arah dada Sela
Ganden sendiri dan..., bless! Pedang tadi menembus
dadanya sampai ke punggung belakang, dibarengi pekikan pendek dari mulut Sela Ganden serta semburan
darah. Tak lama kemudian tubuh Sela Ganden tadi rebah tergeletak dan sesudah berkelojotan sesaat, kemudian matilah ia.
"Dia membunuh diri!" desis Mahesa Wulung.
"Biarlah dia berbuat begitu, Kisanak," ujar Sorogenen yang telah berdiri serta mendekati Mahesa Wulung. "Ia sudah sepantasnya menemui kematiannya
sebagai imbalan atas dosa-dosanya."
Sementara itu, Mahesa Wulung segera membalut
luka Sorogenen.
"Hmm, memang begitulah seharusnya," gumam Mahesa Wulung serta menatap ke arah mayat Pakisan.
"Dan bagaimana dengan dia?"
"Biarlah aku nanti yang akan memanggulnya pulang ke desa. Tetapi lebih dulu kita periksa gubuk
bambu ini. Agaknya sangat penting!" ujar Sorogenen.
"Hah, betul. Aku hampir saja lupa!" berkata Mahesa
Wulung, lalu mendekati pintu gubuk itu. Pandangan
matanya menatap tajam ke arah pintu itu seolah-olah ingin mengetahui segenap isi
dan rahasia di balik pintu itu.
Tangan Mahesa Wulung dengan hati-hati segera
membuka pintu itu. Dan begitu terbuka, serentak Mahesa Wulung dan Sorogenen terkejut bukan main, demi sesosok tubuh bertubuh ramping berkelebat cepat
keluar dan langsung menusuk dada Mahesa Wulung
dengan sebuah pisau kecil.
Untunglah Mahesa Wulung bukan anak kemarin
sore yang mudah mati kutu menerima serangan mendadak. Maka sebelum senjata itu sempat menyentuh
dadanya, ia secepat kilat mengegoskan tubuhnya ke
samping kemudian dengan kedua ujung jari tangannya
ia menotok pergelangan tangan si penyerang, menyebabkan pisau itu terlempar lepas dan si penyerang kelihatan lemas tangannya.
"Kakang Mahesa Wulung!" seru si penyerang bertubuh ramping yang tidak lain adalah Endang Seruni.
"Endang Seruni"! Oooh, engkaukah ini"!" desis Mahesa Wulung sambil menatap gadis ini.
"Kakang.... Oh kau telah menyelamatkan aku lagi,
Kakang Wulung...!" desis Endang Seruni seraya memegang tangan Mahesa Wulung dan merebahkan kepalanya ke dada si pendekar muda itu, membuat dada
Mahesa Wulung gemuruh berdegupan.
"Adi Endang Seruni, kau tidak diganggu oleh setansetan itu?" tanya Mahesa Wulung kepada gadis itu.
"Tidak, Kakang Wulung. Mereka takut dengan pisauku tadi. Aku mengancam akan membunuh diri kalau mereka berani menyentuhku!" ujar gadis ini serta melepaskan pelukannya.
"Ah, hebat kau, Adi Seruni," ujar Mahesa Wulung
kagum. "Tapi di sini sangat berbahaya. Marilah kita meninggalkan tempat terkutuk
ini." "Tapi Kakang... tanganku masih belum pulih kekuatannya. Kau tadi menotokku," ujar Endang Seruni
bermanja. "Eh, ya, ya. Marilah kusembuhkan," kata Mahesa
Wulung seraya memegang tangan kanan gadis itu serta
mengurutnya sekali. Sebentar kemudian tangan Endang Seruni telah pulih kekuatannya.
Dalam pada itu di bagian selatan, Ki Topeng Reges
serta anak buahnya dengan serunya bertempur melawan Ki Lurah Mijen beserta orang-orangnya.
Gerak Ki Topeng Reges benar-benar mirip setan.
Serba ganas dan cepat. Ia mengamuk sejadi-jadinya
karena ada orang-orang yang berani merambah daerahnya. Walaupun ia harus menghadapi dua orang tokoh
sakti di pihak Ki Lurah Mijen, seperti Pendekar Bayangan dan Ki Rebab Pandan,
sedikitpun ia tak merasa
Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gentar. Sementara itu pula orang-orang Ki Topeng Reges
bertempur melawan anak buah Ki Lurah Mijen. Mereka
belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi disini kedua belah pihak tadi saling
bertemu dan bermusuhan seolah-olah telah bermusuhan lama.
Bagi orang-orang Ki Lurah Mijen, sekali ini mereka
sungguh-sungguh mengalami pertempuran sebenarnya. Setelah mereka dilatih di desanya oleh ketiga
pendekar sakti itu, setidak-tidaknya mereka telah biasa dan terlatih dalam
menggunakan senjata. Berlainan dengan keadaan semula, mereka lebih terbiasa
memegang alat-alat bertani seperti bajak, garu, pacul dan sebagainya. Namun
sekarang keadaan telah berubah. Mereka terpaksa harus berlatih menggunakan
senjata demi untuk menjaga desanya.
Pertempuran tadi semakin seru jalannya. Ki Topeng
Reges berhadapan dengan Ki Rebab Pandan, sedang
Pendekar Bayangan serta Ki Lurah Mijen melawan
orang-orang Ki Topeng Reges.
"Rebab Pandan! Rupanya kau adalah Rebab Pandan
yang sesungguhnya, murid si tua bangka dari Padepokan Gunung Merapi itu!" seru Ki Topeng Reges.
"Heh, betul terkaanmu tadi. Memang akulah Ki Rebab Pandan yang asli. Sedang temanmu yang menyamar sebagai diriku itu telah mampus. Dan lihatlah,
senjataku yang dirampasnya itu berhasil aku rebut
kembali!" teriak Ki Rebab Pandan seraya mengacungkan senjata rebabnya ke arah Ki Topeng Reges.
"Kurang ajar kau, kunyuk! Hari ini kau harus
mampus sebagai penebus nyawa Ki Jobin Karang tadi!"
seru Ki Topeng Reges.
Selanjutnya dengan tiba-tiba Ki Topeng Reges tadi
melesat ke arah Ki Rebab Pandan menyerang dengan
kedua tangannya menggenggam dua bilah belati yang
menyala seperti bara, yakni Kiai Brahmasakti senjata andalan Ki Topeng Reges.
Ternyata Ki Rebab Pandan tidak bingung diserang
secara demikian. Senjata Rebabnya dilayangkan membabat ke arah lambung Ki Topeng Reges yang pada
waktu itu tengah menerjang ke arah dirinya. Tetapi gerakan tadi kalah cepat dan
sebelum rebabnya berhasil menghajar tubuh pendekar bertopeng setan ini, keburu
lawannya telah melentingkan tubuhnya ke atas
sambil mengumpat-umpat tak karuan.
Agaknya kali ini Ki Topang Reges tidak mau selalu
bertempur secara ringan-ringanan saja. Maka secepat kilat ia telah mengerahkan
segenap tenaga dalam dan ilmu Netra Dahananya.
Sesudah bulatan mata Ki Topeng Reges menjadi
semburat merah, kemudian memancarlah sinar api
yang panas, diiringi ketawa Ki Topeng Reges yang terkekeh-kekeh mengerikan.
"Hi, ha, ha, ha, ha. Senjata rebab tengikmu tak
akan mampu melawan Netra Dahana ini. Rebab Pandan, kubakar kau jadi sate sekarang!" Ki Topeng Reges
secepat itu pula melancarkan serangan Netra Dahananya dan dua buah jilatan lidah api menyambar ganas ke arah Ki Rebab Pandan.
"Mulutmu sangat besar, Topeng Reges. Jangan kira
aku masih seperti dulu, mudah kau takut-takuti dengan gertakanmu!" kata Ki Rebab Pandan sekaligus
meloncat-loncat berputaran tubuhnya, laksana roda
yang menggelinding kesana-kemari menghindari setiap jilatan lidah api Netra
Dahana. Sesudah beberapa kali berhasil menghindari serangan-serangan Ki Topeng Reges, Ki Rebab Pandan secepat kilat menerjang ke arah Ki Topeng Reges dengan pukulan senjata rebabnya.
Dalam saat yang menegangkan, Ki Topeng Reges
sudah menyilangkan kedua belah pisau belatinya di
depan tubuh dan sebentar kemudian terjadilah satu
benturan yang dilambari tenaga dalam hingga mengeluarkan suara letupan dan selanjutnya kedua pendekar tadi masing-masing tergetar tubuhnya dan terpental ke belakang beberapa
langkah. Tetapi Ki Rebab Pandan mencelat lebih jauh daripada Ki Topeng Reges. Dengan begitu sadarlah ia bahwa Ki Topeng Reges masih lebih
tinggi tingkatan ilmunya dibanding dengan dirinya. Tambahan lagi, akibat
benturan itu terasa kepalanya sedikit pening-pening.
Juga Ki Topeng Regespun dalam hati merasakan
bahwa pandangan matanya sesaat berkunang-kunang,
maka tak urung ia diam-diam mengakui ketangguhan
Ki Rebab Pandan.
Selanjutnya sesudah keduanya saling bersiaga, bertempurlah mereka kembali dengan serunya. Begitulah
bila kedua musuh lama telah bertemu, segala ilmu di-kerahkan untuk melawan
musuhnya. Jauh di sebelah lain, Pendekar Bayangan bersama
Ki Lurah Mijen serta orang-orangnya bertempur menghadapi terjangan anak buah Ki Topeng Reges.
Dalam kesempatan ini, Jaramala, Pelang Telu, Dadungrante, dan Caplak mengamuk. Sebagai tokohtokoh andalan dari gerombolan Ki Topeng Reges, mereka memperlihatkan keberaniannya, dan beberapa
saat kemudian mereka jadi terkejut, sebab beberapa
orang teman lainnya telah roboh terkena pukulan
tongkat kayu Pendekar Bayangan.
Malam telah menjelang. Sang purnama dan bintang-bintang telah menerangi buana berkerdipan laksana ribuan kunang-kunang tersebar di langit biru.
Namun suasana yang indah ini tak dihiraukan oleh
mereka yang tengah bertempur di kaki timur Gunung
Muria, kecuali mereka bersyukur bahwa cahaya bulan
dan bintang-bintang itu telah membantu mereka dalam pertempuran tadi.
Entah apakah jadinya bila pertempuran tersebut terus berlangsung lebih lama. Sebab tak sedikit pula
orang-orang Ki Lurah Mijen banyak yang roboh lukaluka oleh amukan anak buah Ki Topeng Reges.
Mereka lebih unggul, terutama mereka bertempur di
tanah sendiri, hingga mereka telah betul-betul mengenal serta menguasai medan tempur ini. Dengan begitu mereka dapat leluasa mengintai dan kemudian
menembakkan panah ataupun senjata-senjata rahasia
ke arah orang-orang Ki Lurah Mijen itu.
Tiba-tiba di tengah kecamuknya pertempuran itu,
terdengar satu suitan nyaring dari arah barat, sehingga Ki Lurah Mijen yang
telah mengenal isyarat itu
mengangkat mukanya ke atas.
"Hmm, inilah tanda yang dijanjikan oleh Anakmas
Mahesa Wulung. Aku harus pergi ke arah suara tadi!"
gumam Ki Lurah Mijen seraya meloncat ke samping, ke
arah barat keluar dari lingkaran pertempuran.
Dalam beberapa loncatan saja, sampailah Ki Lurah
Mijen pada semak-semak bambu, dan mata tuanya
yang masih cukup awas itu dapat menatap adanya tiga sosok tubuh yang berjalan,
sedang seorang di antaranya kelihatan memanggul tubuh manusia.
"Bapak Ki Lurah Mijen"!" seru Mahesa Wulung yang
melihat seorang setengah tua datang ke arah mereka.
"Benar, Anakmas. Akulah ini!" ujar Ki Lurah Mijen
tak sabar. "Bagaimana tugasnya?"
"Inilah Endang Seruni, Bapak. Ia telah berhasil kami bebaskan dari tawanan Ki Topeng Reges," berkata
Mahesa Wulung, dan Endang Seruni segera berlari
mendekap ayahnya.
"Oooh, Endang Seruni. Engkau selamat, Nak!" desah Ki Lurah Mijen seraya mengelus-elus kepala anaknya. "Tapi siapakah orang
yang dipanggul oleh Sorogenen itu dan di mana Pakisan?"
"Itulah dia Pakisan, Ki Lurah. Dia telah tewas dalam menjalankan tugasnya oleh
senjata Sela Ganden!" kata Mahesa Wulung.
"Sela Ganden"!" Ki Lurah Mijen sangat terkejut.
"Jadi dia sengaja menghilang dulu itu" Tapi mengapa dia berada di sana?"
"Dia memihak gerombolan Ki Topeng Reges dan dia
pulalah yang membantu menculik puterimu, Ki Lurah!" jawab Mahesa Wulung. "Tapi jangan kuatir, Ki
Lurah. Dia pun telah mati menebus dosa-dosanya."
"Yah, syukurlah dia telah mati," desah Ki Lurah.
"Jika demikian, apakah sebaiknya kita tarik saja
orang-orang Mijen dari tempat ini, sebelum terlalu banyak jatuh korban di pihak
kita?" "Baik, Ki Lurah. Dan lagi aku pun berhasil mendapatkan senjata pemunah ilmu Netra Dahana!" berkata
Mahesa Wulung, membuat Ki Lurah Mijen cerah wajahnya. "Oh, jadi Anakmas telah berhasil mendapatkannya?" kata Ki Lurah Mijen. "Syukurlah. Kini kita tarik saja orang-orang kita!"
Ki Lurah Mijen segera mendekati seorang pasukan
Desa Mijen yang membawa senjata panah.
"Berikan aku panah sendaren itu," kata Ki Lurah.
"Inilah, Ki Lurah." Orang tersebut cepat memberikan busur dan sebuah anak panah yang ujungnya
berbentuk bulat, merupakan alat bunyi yang mudah
bersuara apabila tertiup angin.
Sesudah Ki Lurah menerimanya, maka dibidikkannya anak panah itu ke arah udara dan sebentar kemudian meluncurlah ia dengan pesatnya dengan mengeluarkan bunyi berdengung yang keras memenuhi daerah pertempuran.
Mendengar suara panah sendaren tadi, orang-orang
Ki Topeng Reges pada terkejut. Sementara orang-orang Ki Lurah Mijen yang tengah
bertempur itu secepat kilat mengundurkan diri dari medan pertempuran sambil
membawa teman temannya yang terluka.
Semula anak buah Ki Topeng Reges akan mengejarnya, tetapi Ki Topeng Reges kuatir kalau pengunduran diri itu hanya sebuah
siasat saja, maka cepat-cepat ia berseru nyaring. "Tahan! Jangan kejar! Biarkan
tikus-tikus itu ngacir, lari kembali ke desanya. Besok pagi kita balas
kekurangajaran mereka!"
Pertempuran selesai dengan kemenangan di pihak
Ki Topeng Reges karena mereka dapat mengusir para
penyerangnya. Ki Topeng Reges dan anak buahnya
berbangga diri atas kemenangannya. Akan tetapi
alangkah kagetnya bila Ki Topeng Reges masuk ke dalam rumahnya, dilihatnya kamarnya berserakan dan
terbuka pintunya.
"Heh, ini hebat!" desis Ki Topeng Reges. "Siapa ini yang telah berani lancang
memasuki kamarku"! Dan
senjata rahasiaku tak berhasil mengenai sasarannya!
Pasti yang berbuat ini orang yang berilmu tinggi!"
Tanpa tunggu lama lagi, Ki Topeng Reges segera
masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang berdebardebar. "Huh, peti kayuku masih pada tempatnya!" gumam
Ki Topeng Reges serta menyambar peti kayu berukir
yang tergeletak di balai-balai, seraya tak sabar peti tadi dibukanya lebarlebar. "Aduuuh! Hilang! Semuanya hilang! Celaka, kaca
Sirna Praba dan lembaran-lembaran kertas ilmu Netra Dahana tidak ada lagi di
sini!" geram Ki Topeng Reges.
"Kurang ajar! Orang yang berbuat ini akan kuremas
batang tubuhnya seperti ini."
Ki Topeng Reges yang masih dalam keadaan marah
dan memegang kotak kayu itu segera meremasnya dengan hati jengkel. Kraaak! Kotak kayu berukir itu seketika pecah hancur
berkepingan. Anak buah Ki Topeng Reges yang mendengar teriakan-teriakan pemimpinnya segera berlarian masuk ke
dalam rumah itu, mendapatkan pemimpinnya.
"Oh, apa yang terjadi, Guru?" bertanya Jaramala.
Dan di samping tampaklah Pelang Telu, Dadungrante,
dan lain-lainnya dengan wajah yang penuh tanda
tanya. "Keparat! Kita telah tertipu! Tertipu mentah-mentah oleh siasat mereka! Dan
gobloklah kita semua!" Ki Topeng Reges mengumpat-umpat.
"Mengapa, Guru" Bukankah mereka telah berhasil
kita usir dari daerah kita?" Kembali Jaramala bertanya. "Itu semua hanya tipuan! Sekarang lihat, selagi kita sibuk bertempur melayani
mereka, seseorang telah
masuk kemari dan mengobrak-abrik barang-barang
serta kamarku ini!" seru Ki Topeng Reges pula.
Jaramala yang mendengar penuturan gurunya ini
seketika menjadi kaget. Ia pun tak mengira bahwa serangan tadi hanyalah satu
pancingan saja. Matanya
yang tajam itupun kemudian menatap ke arah kamar
Ki Topeng Reges. Dan ketika pandangan matanya merayapi dinding dan tiang di situ, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang tercoret
pada tiang. "Guru, lihat tiang ini!" seru Jaramala seraya mendekati tiang tersebut dan memeriksanya. Demikian pu-la dengan Ki Topeng Reges.
Matanya yang setajam pisau pencukur itu sekilas telah membaca coret-coret
tadi. "Hmm, perbuatan Mahesa Wulung!" geram Ki Topeng Reges. "Benar, Guru. Mahesa Wulung yang masuk kemari!"
desis Jaramala menyambung.
Dalam suasana kemarahan dan kejengkelan ini tiba-tiba dari luar pintu masuklah si Caplak dengan tergopoh-gopoh berkeringat
pada dahinya. "Maaf, Guru," kata Caplak, "tawanan kita telah melarikan diri. Sedang kedua penjaganya telah tewas,
termasuk anggota kita yang baru dari Desa Mijen!"
"Hah! Si Sela Ganden juga telah mati"! Hmm, inipun pasti perbuatan si Mahesa Wulung juga. Tak
mungkin kedua orang itu mati oleh tangan gadis halus seperti Endang Seruni," Ki
Topeng Reges berkata dengan suara menggeram. "Heh, sayang, si bergejil Sela
Ganden itu telah mati. Kalau tidak pasti ia akan kita hukum siksa, sebab dialah
yang menjadi sumber ma-lapetaka ini. Dan untuk itu semua, kitapun tidak akan
tinggal diam bermurah hati. Kita harus membalas kepada mereka lebih hebat daripada kekurangajaran mereka saat ini. Desa Mijen itu akan kita serbu dan sapu rata dengan tanah. Bakar
dan cincang setiap orang
yang tidak mau tunduk di hadapan Ki Topeng Reges!
Nah, sekarang kalian boleh mengaso dan besok pagi
siapkanlah dirimu serta senjata-senjatamu! Serangan mereka akan kita balas di
waktu senja pula!"
Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Guru!" seru Jaramala serta orang-orang lainnya, dan kemudian merekapun bergegas keluar.
"Jaramala dan Pelang Telu, kalian berdua jangan
pergi dahulu. Tinggallah disini sebentar, karena ada hal-hal penting yang akan
kita bicarakan," ujar Ki Topeng Reges kepada kedua murid utamanya.
Sesudah Jaramala dan Pelang Telu duduk menghadap gurunya, ketiganya mulai merundingkan rencana
penyerbuan ke Desa Mijen.
Begitulah mereka sibuk berunding sampai jauh malam. Dan sebelum Ki Topeng Reges mengakhiri pertemuan itu, sekali lagi ia berpesan kepada kedua muridnya itu. "Dan yang paling
penting, kita harus merebut kembali kedua benda pusaka yang telah diambil oleh
Mahesa Wulung itu!"
*** 5 DENGAN beriring-iring rombongan orang-orang Mijen yang dipimpin oleh Ki Lurah serta ketiga pendekar sakti itu pergi
meninggalkan daerah Ki Topeng Reges.
Mereka berjalan ke arah selatan melewati hutan-hutan yang lebat.
Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara,
karena masing-masing masih memikirkan pengalaman
yang baru saja ditempuh. Pengalaman yang mungkin
baru pertama kalinya bagi orang-orang Ki Lurah Mijen, namun buat ketiga pendekar
yang berkuda paling depan tidaklah demikian.
Baik buat Ki Lurah Mijen sendiri maupun orangorangnya sungguh merasa bangga bahwa mereka telah
mempunyai keberanian, rasa percaya diri sendiri akan sanggup menanggulangi
segala rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi.
Daerah yang baru saja mereka jelajahi tadi terkenal sebagai daerah angker dan
ditakuti oleh semua orang.
Namun toh akhirnya mereka berani menempuhnya,
tak ubah memasuki mulut macan, dan kini mereka dengan mudah meninggalkannya pula.
"Anakmas Mahesa Wulung," ujar Ki Lurah Mijen
kepada pendekar muda yang berkuda di sampingnya,
"setelah Anakmas berhasil mengambil pusaka-pusaka
yang telah sekian lama dikangkangi oleh Ki Topeng
Reges itu, apakah kira-kira ia masih berani menyerang desa kita?"
"Hmm, soal itu Bapak, ada dua kemungkinan yang
bisa terjadi. Pertama mungkin dia tidak berani menyerang atau malah kemungkinan ia pindah ke daerah
lain. Kemungkinan pula, justru sebaliknya. Ki Topeng Reges akan menjadi marah
dan menyerang kita. Mudah-mudahan ia berada pada kemungkinan pertama,
namun seandainya ia memilih kemungkinan kedua,
itupun kita tidak perlu merasa cemas. Biarlah kita
menyambut serangan mereka. Aku percaya Ki Topeng
Reges dapat kita hancurkan," Mahesa Wulung berkata
dalam nada yang mantap, membuat Ki Lurah Mijen tenang hatinya. "Jika demikian, Anakmas Mahesa Wulung," sahut
Ki Lurah, "akupun ingin pula turut menyambut mereka." "Terima kasih, Bapak," ujar Mahesa Wulung seraya
melirik ke arah kiri Ki Lurah Mijen dimana Endang Seruni tengah berkuda dengan
tenangnya. Di depan mereka tampaklah Pendekar Bayangan serta Ki Lurah Mijen berkuda berdampingan sambil bercakap-cakap pula. Entah apa yang mereka perbincangkan Mahesa Wulung tak mengetahuinya.
Di belakang mereka orang-orang Ki Lurah Mijen.
yang telah terlatih sebagai pasukan penjaga desa berjalan pula dengan tenangnya,
sedang sebagian yang
luka-luka dinaikkan di atas punggung kuda. Semuanya ada enam ekor kuda. Yang berjalan paling belakang adalah Sorogenen dengan pedang yang tergantung di pinggang kirinya. Hatinya masih diliputi oleh kesedihan. Sebab
sahabatnya, Pakisan, telah tewas dalam penyerangan itu.
Iring-iringan tadi setelah berjalan ke arah selatan lalu membelok ke arah barat
daya menuju ke Desa Mijen. Hutan yang mereka lewati semakin tipis, sementa-ra
semak-semak masih tetap lebat. Pohon-pohon besarpun semakin jarang.
Sesekali sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan
dari kejauhan dan udara pagi mengalir dengan segarnya. "Sudah menjelang fajar," gumam Ki Rebab Pandan
yang berkuda berdampingan dengan Pendekar Bayangan. "Untunglah Ki Topeng Reges serta anak buahnya tidak mengejar kita," sahut Pendekar Bayangan. "Agaknya ia kebingungan setengah mati setelah kedua benda pusakanya itu berhasil diambil oleh Mahesa Wulung." "Setelah kita nanti memiliki benda pusaka itu, pasti Ki Topeng Reges akan dapat
kita kalahkan. Dalam
waktu siang Kaca Sirna Praba itu akan mampu memusnahkan segala benda serta membakarnya hangus!"
ujar Ki Rebab Pandan.
"Wah, itu hebat sekali. Tetapi pada waktu malam
tentu kurang sekali manfaatnya. Dan celakalah bila Ki Topeng Reges menyerang
kita pada waktu malam hari,"
sahut Pendekar Bayangan sambil menatap wajah Ki
Rebab Pandan. Keduanya sesaat berdiam diri.
"Mudah-mudahan ada satu keajaiban yang dapat
mengalahkan kekuatan Netra Dahana milik Ki Topeng
Reges itu," gumam Ki Rebab Pandan.
"Mudah-mudahan begitu," ujar Pendekar Bayangan
pula. Rombongan Ki Lurah Mijen terus menempuh jalanjalan yang sebentar naik, sebentar turun. Kini mereka telah berada di daerah
selatan kaki Gunung Muria dan arah mereka masih tetap menuju ke arah barat daya
menuruni lembah yang terakhir untuk kemudian menempuh dataran subur, dialiri oleh sebuah sungai.
Ketika mereka mulai menginjak jalan menuju ke
ujung desa, tiba-tiba saja rombongan itu dikejutkan oleh sebuah cahaya biru
gemerlapan yang meluncur di langit sebelah utara.
"Oh, apakah itu, Bapak?" tanya Endang Seruni kepada ayahnya dengan perasaan takjub.
"Mungkin itu bintang kemukus, pertanda akan
adanya bencana, Ngger," ujar Ki Lurah dalam nada
yang tenang. "Tetapi kita tak perlu kuatir. Kita akan berdoa semoga Tuhan
menjauhkannya dari kita."
Bersamaan mencungulnya sinar fajar yang pertama, Ki Lurah dan rombongannya telah
menginjak pintu
gerbang desa sebelah utara. Beberapa orang peronda
segera dapat melihat kedatangan mereka dan berlarilari menyambutnya seraya berteriak-teriak kegirangan.
Seorang di antaranya segera memukul kentongan tanda berkumpul dan seketika segenap penduduk desa
pada berlarian keluar dari rumah.
"Kertipana, apakah baik-baik saja keadaan desa selama aku pergi?" ujar Ki Lurah Mijen kepada seorang laki-laki yang datang
menyambutnya. "Semuanya selamat, Ki Lurah. Tak ada kejadian
apa-apa yang patut kita cemaskan," ujar Kertipana.
"Syukurlah, Kertipana. Itulah yang kami harapkan."
"Bagaimanakah dengan Nona Endang Seruni, Ki Lurah?" tanya Kertipana pula. "Dan pasukan desa kita?"
"Angger Endang Seruni berhasil kita bebaskan dari
tawanan mereka. Namun untuk itu Pakisan telah tewas," kata Ki Lurah Mijen. "Baiklah untuk hal itu kita bicarakan lebih panjang
di pendapa kelurahan nanti."
"Terima kasih, Ki Lurah," berkata Kertipana, kemudian iapun menyertai rombongan itu menuju ke depan
kelurahan. Sesudah tiba di situ, tampaklah Nyi Lurah berlari
menyambut Endang Seruni. Sesaat keduanya berpelukan dengan mesra dan mengharukan. Nyi Lurah sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa untuk kedua kalinya, putrinya telah terhindar dari bahaya.
Dalam pada itu, orang yang luka-luka segera mendapat perawatan seperlunya, juga mayat Pakisan dirawat sebaik-baiknya untuk
dikubur siang nanti.
Sungguh mengharukan suasana di pendapa itu.
Orang-orang desa lainnya segera menghibur keluarga
Pakisan yang bertangisan memilukan hati. Begitulah
dalam suatu peristiwa, suka dan duka selalu kita jumpai silih berganti. Bagi
orang yang berjiwa lemah pastilah akan tergoncang hatinya menghadapi keduanya.
Tapi bagi orang yang beriman teguh pastilah tidak demikian jadinya. Suka dan
duka adalah wajar dalam
irama penghidupan.
Sementara itu di sebuah rumah dinding desa, Mahesa Wulung, Pendekar Bayangan dan Ki Rebab Pandan tampak duduk berhadapan di sebuah balai-balai
panjang dan di dekatnya terletak sebuah meja berkaki pendek dengan dian minyak
yang menghiasinya. Di
hadapan ketiga pendekar itu tergeletak Kitab Hijau, Kaca Sirna Praba serta
lembaran-lembaran kertas berisi ilmu Netra Dahana.
"Nah, inilah semua yang selalu diincar oleh Ki Topeng Reges untuk dikuasai seluruhnya. Dan Ilmu Netra Dahana telah berhasil dikuasainya," ujar Mahesa Wulung.
"Hmm, untunglah dengan berhasilnya kedua benda
pusaka ini jatuh ke tangan kita, berarti runtuhnya Netra Dahana bagi Ki Topeng
Reges. Untuk menghadapi
ilmu Netra Dahana yang dahsyat itu, haruslah kita
mempergunakan Kaca Sirna Praba ini." Ki Rebab Pandan berkata seraya memegang Kaca Sirna Praba. "Andika berdua tentu telah tahu, bila kaca ini sanggup memantulkan cahaya dan
kekuatan sinar hingga berlipat-lipat kekuatannya. Nah, dapatlah dibayangkan bila
jilatan sinar panas atau lidah api dari mata Ki Topeng Reges itu kita pantulkan
kembali kepadanya!"
"Ah, sungguh dahsyat bila dibayangkan akibatnya.
Tapi apakah kaca ini pernah dicoba terhadap kekuatan Netra Dahana?" bertanya
Mahesa Wulung. "Memang belum pernah, Kisanak," jawab Ki Rebab
Pandan. "Yang pernah dicoba dahulu oleh almarhum
Kakang Landean Tunggal hanyalah terhadap kekuatan
sinar matahari saja. Dan itupun sudah cukup untuk
membinasakan Gombelwadas, tokoh berandal dari lereng Gunung Ungaran."
"Mudah-mudahan perkiraan kita tadi tidak melesat,
Ki Rebab Pandan," sambut Pendekar Bayangan. "Dan
bagaimanakah tentang lembaran-lembaran kertas yang
berisi Ilmu Netra Dahana itu?"
"Hmm, itu saya serahkan pada Andika, Angger Mahesa Wulung," ujar Ki Rebab Pandan. "Saya kira ada
baiknya kertas-kertas tadi kita persatukan pada buku induknya, yakni Kitab Hijau
itu, dan selanjutnya Kitab Hijau itu aku serahkan kepada Andika, sesuai dengan
pesan almarhum Kakang Landean Tunggal. Sedang
Kaca Sirna Praba itu kelak aku minta untuk diperbolehkan kami simpan di Padepokan Gunung Merapi sebagai pusaka lambang perguruan Panembahan Jatiwana." Mendengar ujar Ki Rebab Pandan yang tulus itu,
hati Mahesa Wulung seperti tersiram oleh air embun.
Lega dan terharu. Maka iapun berkata kepada Ki Rebab Pandan, "Betapa saya harus menyusun kata-kata
ucapan terima kasih kepada Andika, terlalu sulitlah kiranya. Namun saya bermohon
semoga Tuhan membalas kebaikan Andika, Ki Rebab Pandan."
"Terima kasih pula aku sampaikan kepada Angger
Mahesa Wulung," kata Ki Rebab Pandan kemudian.
"Sebab Andika pulalah yang telah berhasil merebut
kedua pusaka itu dari cengkeraman Ki Topeng Reges."
Demikianlah kalau ketiga pendekar tadi tengah
asyik berbicara. Sementara itu di luar pun tampak ke-sibukan Ki Lurah Mijen dan
Kertipana mengatur beberapa penjagaan pada keempat penjuru desa. Meskipun
hari telah siang, namun kewaspadaan tetap dijaga, sebab sebenarnya di dalam hati
Ki Lurah Mijen tersimpan pula rasa cemas akan pembalasan Ki Topeng Reges dan anak buahnya.
Sang waktu memang tak terasa terus berjalan dan
matahari telah bergeser jauh memasuki cakrawala barat, hingga senjapun telah tiba. Bintang-bintang malam mulai bermunculan di
langit timur. Bersamaan itu semua, apa yang benar-benar dikuatirkan oleh segenap
penduduk terjadilah sudah.
Dari arah pintu utara desa, terdengarlah gegap
gempita suara manusia yang mirip gemuruhnya air
bah. Tak salah lagi, itulah para anak buah Ki Topeng Reges yang menyerbu desa
Mijen serta langsung dipimpin oleh Ki Topeng Reges sendiri.
Tapi untunglah bahwa pasukan penjaga desa telah
lebih dulu ditempatkan pada tempat-tempat yang kelihatan berbahaya dan lemah,
sehingga ketika pintu
utara diserbu oleh gerombolan dari lereng Muria itu, merekapun segera
menyambutnya dan sebentar saja
terjadilah pertempuran hebat di tempat itu.
"Ayo serbu! Bakar habis desa terkutuk ini!"
Tiba-tiba terdengar suara menggeledek dari arah gerombolan penyerbu itu dan mendadak melesatlah dua
sosok tubuh mendobrak pertahanan pintu utara desa.
Semua orang terkejut dan ngeri seketika, sebab kedua sosok tubuh tadi adalah dua
orang Topeng Reges yang berpakaian dan bertopeng sama serta masing-masing
menggenggam sebilah pisau bersinar kekuningan
membara! Inilah hebat! Dalam saat-saat yang tegang
sebegitu rupa, telah menjadi lebih tegang dengan mun-culnya Ki Topeng Reges
kembar! "Hei, Mahesa Wulung! Lekas keluar melawanku!"
terdengar seorang di antaranya berteriak menantang.
Baru saja selesai tantangan itu, sebuah Bayangan
tahu-tahu berkelebat menyerang mereka dan terjadilah pertempuran seru! Bayangan
tadi yang tidak lain adalah Pendekar Bayangan dengan garangnya menerjang
kedua Topeng Reges kembar.
Rupanya Topeng Reges kembar inipun tidak kepalang tanggung menghadapi Pendekar Bayangan. Maka
sebentar saja mereka telah mengetrapkan ilmu Netra
Dahana-nya serta mengurung Pendekar Bayangan dengan jilatan lidah-lidah api.
Pendekar Bayangan yang berpakaian serta berkedok
kain serba keputihan ini, dengan lincahnya berloncatan di antara celah-celah
lidah api, tak ubahnya Sang Hanoman dibakar oleh orang-orang Alengka dalam kisah
Ramayana.
Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hati, Pendekar Bayangan sibuk mendugaduga siapakah gerangan Ki Topeng Reges yang seorang lagi" Muridnyakah" Jika
benar pasti sangat hebat hal ini. Jika genap ada selusin orang macam Ki Topeng
Reges ini, pastilah cukup buat mengacau Demak!
Siapakah dan mana yang Topeng Reges asli, Pendekar Bayangan sibuk meneliti sambil bertempur itu.
Namun mendadak ia melihat adanya perbedaan di antara Ki Topeng Reges kembar ini. Yang seorang tampak lebih jauh dan panjang
memancarkan lidah-lidah api
daripada satunya lagi. Dan inilah agaknya yang asli.
"Ki Topeng Reges, inilah aku!" sebuah teriakan terdengar menggeledek dan Mahesa Wulung melesat, menerjang Ki Topeng Reges yang terpanjang memancarkan lidah api tadi.
Sekarang terjadilah dua lingkaran pertempuran
yang tak kalah serunya dari yang semula. Mahesa Wulung segera menghunus pedangnya pula apabila ia melihat Ki Topeng Reges telah menggenggam sebuah bela-ti panjang.
Tak jauh dari mereka, Sorogenen berhadapan dengan Dadungrante. Keduanya sangat seimbang dalam
pertempuran ini. Setiap kali Dadungrante menyerang
dengan senjata rantenya, secepat itu pula Sorogenen mengelak sangat gesitnya.
Pelang Telu sementara itu harus memeras tenaganya menghadapi Ki Rebab Pandan yang bersenjatakan sebuah rebab dengan alat penggeseknya. Senjata
aneh tadi berkali-kali mengancam jiwa Pelang Telu dan terpaksa ia menangkis
berkali-kali dengan pedang
panjangnya. Dalam pada itu Caplak yang mengamuk seru, telah
berhasil melukai dua orang pasukan penjaga desa,
namun mendadak saja Kertipana telah menerjangnya
dengan pedang di tangannya.
Dan Mahesa Wulung yang bertempur hebat itu terus mendesak kedudukan Ki Topeng Reges, menyebabkan pendekar bertopeng hantu tersebut cepat melesat ke atas genting pendapa balai desa. Mereka segera bertempur di atas rumah
ini. Mahesa Wulung tidak sadar bahwa yang kini dihadapinya itu adalah Ki Topeng Reges yang sesungguhnya, sebab terlihat bahwa pancaran lidah api lawannya itu jauh lebih panjang
daripada Topeng Reges kedua
yang kini berhadapan pula melawan Pendekar Bayangan. Ki Topeng Reges sendiri merasa heran bila Mahesa
Wulung yang dulu pernah dilumpuhkan itu masih saja
mampu bertempur hebat melawannya. Dilihatnya setiap gerakan tubuh Mahesa Wulung tadi seolah-olah
Bayangan yang berkelebatan cepat setiap ia memancarkan lidah api dari matanya.
Walaupun setiap serangan Mahesa Wulung dapat
menghindari, namun toh keringatnya berleleran dari
lubang kulitnya saking pengaruh hawa panas berbisa
yang keluar dari lidah-lidah api Ilmu Netra Dahana.
Untunglah dalam saat-saat begini maka cincin Galuh
Punar peninggalan mendiang Landean Tunggal itu banyak gunanya. Rasa panas beracun tadi berangsurangsur berubah menjadi tawar dan yang terasa oleh
Mahesa Wulung kemudian adalah rasa segar belaka.
Maka tak perlu heran bila ia masih mampu bergerak
dengan gesitnya. Jurus-jurusnya semakin santer dan
pedangnya berputar bagai pusaran angin.
Sekali-kali pedang itu bergempuran dengan belati
Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges, sampai terge-tarlah keduanya. Ki Topeng
Regeslah yang benar menjadi kagum akan lawannya yang masih muda itu.
Hingga sekarang baru kali inilah ada lawan yang sanggup menanggulangi benturan
dengan senjata pusakanya, sampai bahu dan isi dadanya terasa bergetar
pula. "Eaaaakh!" satu teriakan nyaring terdengar memenuhi udara senja yang semakin kelam dan tergeletaklah mati tubuh Caplak di kaki Kertipana.
Sorogenen yang masih belum sembuh luka-lukanya,
makin terdesak surut oleh sabetan-sabetan rantai dari Dadungrante yang berputar
mematuk-matuk laksana
seekor ular berbisa. Beberapa kali ia telah tersengat oleh ujung rantai tadi
menyebabkan luka-luka kecil
mengucur darah yang amat pedih. Hal ini menyebabkan rasa senang bagi Dadungrante dan akhirnya ia
mengerahkan satu pukulan yang hebat ke arah Sorogenen. Dasar memang sudah terluka, maka Sorogenen
tak begitu cepat mengelak dan ujung senjata rantai lawannya itu menghantam
punggungnya dengan seru.
Sorogenen seketika terhenyak kesakitan dan sebelum ia roboh tak sadarkan diri, ia masih sempat meng-himpun tenaganya yang
terakhir. Pedangnya dikibaskannya mendatar ke arah perut Dadungrante dan
sesaat terdengarlah suara benda terobek.
Waaak! Kemudian penglihatan Sorogenen kabur. Ia masih
sempat melihat Dadungrante menekan perutnya yang
terluka menganga bersiram darah dengan teriak kesakitan. Dan berbareng tubuh Dadungrante ambruk tak
bernyawa, maka Sorogenenpun roboh ke tanah, pingsan. Melihat dua orang kawannya telah mati, Pelang Telu
semakin ganas menyerang Ki Rebab Pandan. Pedang
panjang bergulungan mengerikan, siap membabat tubuh lawan. "Hyaat!"
Pelang Telu tiba-tiba menebaskan pedangnya ke
arah leher Ki Rebab Pandan. Tetapi untungnya Ki Rebab Pandan cepat-cepat mengendapkan tubuhnya rendah-rendah ke bawah.
"Kurang tepat pedangmu, sobat!" desis Ki Rebab
Pandan ketika pedang panjang Pelang Telu sejengkal
lewat di atas kepalanya dengan suara berdesing.
"Kurang ajar! Kau memang gesit! Tapi cobalah terima lebih tebasan pedangku ini!" Pelang Telu sekali lagi memutar arah pedangnya
dan membacok Ki Rebab
Pandan. Keruan saja Ki Rebab Pandan tak mau mati cumacuma oleh senjata lawannya. Maka sebelum ujung pedang lawan menyentuh tubuhnya, ia melenting ke
udara dan terpaksa Pelang Telu mengumpat lagi karena pedangnya hanya menebas angin.
Pelang Telu berusaha memperbaiki kedudukannya,
tetapi Ki Rebab Pandan lebih cepat bergerak kali ini.
Seraya melayang turun, senjata rebabnya menyambar
ke arah lawannya.
Praak! "Aaaakh!"
Suara benturan beriring dengan jeritan dari mulut
Pelang Telu terdengar apabila senjata rebab kepunyaan Ki Rebab Pandan menghajar
batok kepalanya. Maka di
saat itu pulalah Pelang Telu terjungkal ke tanah dengan kepala pecah, dan
matilah murid Ki Topeng Reges yang kedua ini.
Pada saat yang sama, pertempuran antara anak
buah Ki Topeng Reges lainnya melawan pasukan penjaga desa berlangsung semakin hebat.
Beberapa orang pasukan desa tampak rebah ke tanah dengan luka-luka pada tubuhnya. Namun tidak
sedikit pula anak buah Ki Topeng Reges yang mati di situ. Kertipana yang sudah
terbebas dari lawannya
kemudian menerjunkan diri pula ke medan pertempuran untuk memimpin pasukan-pasukan desanya.
Akan tetapi alangkah kagetnya bila sesosok Bayangan tiba-tiba melesat dari atas pohon mencegat loncatan Kertipana, dan tak
dapat dihindari lagi terjadilah tubrukan cukup keras. Kemudian tubuh Kertipana
bergulingan di tanah. Sedang orang tersebut tak tergetar sedikitpun dan seketika
berdiri bertolak pinggang di atas tanah dengan sombongnya.
Kertipana segera berdiri meski kepalanya masih
berputar-putar rasanya.
"Hee, siapakah kau keparat"! Menyerang secara licik!" seru Kertipana serta menatap lawannya.
"Ha, ha, ha, ha. Kau ingin tahu siapakah aku" Nah,
kenalilah, aku bernama Monyong Iblis dari Pulau
Mondoliko!"
"Apa maksudmu kau gentayangan sampai ke sini"!"
"Hmm, aku tengah mencari Ki Topeng Reges dan
ternyata ia berada disini! Dia sahabatku! Maka siapa yang bermusuhan dengan dia
berarti pula sebagai mu-suhku," seru Monyong Iblis.
"Jika demikian kaupun harus binasa!" teriak Kertipana seraya menyerang Monyong Iblis dengan pedangnya. Sayang ia tak mengetahui bila lawannya itu termasuk pendekar gemblengan. Ia cukup berkelit kemudian memukul punggung pedang
Kertipana dengan golok
besarnya, hingga pedang itu terpelanting lepas, disusul tangan kirinya
menghantam tengkuk Kertipana. Maka
terjerembablah seketika tubuh Kertipana di tanah tak sadarkan diri lagi,
diiringi oleh derai ketawa Monyong Iblis.
"Ha, ha, ha. Hanya sebegitu kekuatanmu, sobat"!
Baiknya golokku ini pun harus mandi dengan darahmu!" ujar Monyong Iblis seraya mengangkat goloknya, siap membacok tubuh
Kertipana. Praang! Monyong Iblis terpaksa kaget apabila goloknya kena
benturan senjata rebab milik Ki Rebab Pandan yang
secara cepat turun tangan menolong Kertipana.
"Keparat kau, kepingin turut campur!" teriak Monyong Iblis sekaligus menyerang Ki Rebab Pandan.
Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam pertarungan hebat! Keduanya sungguh-sungguh pendekar
yang tangguh. Dengan demikian pertempuran ini tampak seimbang. Biarpun begitu, Ki Rebab Pandan tidak ingin hanya sampai di situ
pertempuran tadi. Dan selanjutnya, sedikit demi sedikit ia melipat-gandakan
serangan-serangannya.
Demikian pula agaknya dengan Pendekar Bayangan. Tanpa merasa gentar ia melayani setiap serangan Topeng Reges yang kedua. Biarpun Topeng Reges
yang menjadi lawannya itupun mampu menyerang dengan ilmu Netra Dahana, tetapi agaknya kurang sempurnalah ilmu itu. Sebab jilatan lidah api yang memancar dari matanya hanyalah berjarak pendek saja.
Dengan demikian maka Pendekar Bayangan tidak
mendapat kesulitan dengan Ilmu Netra Dahana yang
belum sempurna itu. Yang paling berbahaya adalah pisau yang membara di tangan
Topeng Reges kedua ini.
Pusaka belati Brahmasakti tidaklah boleh dipandang
sebelah mata, dan karenanya pula Pendekar Bayangan
harus berhati-hati.
Akhirnya dalam satu kesempatan yang baik, tongkat Pendekar Bayangan berhasil memukul pisau tadi
sampai terpelanting ke udara. Inilah hebatnya. Karena Pendekar Bayangan
melambari gerakan tongkatnya dengan Pukulan Angin Bisu. Setelah itu secepat
kilat Pendekar Bayangan melesat ke udara serta menyambar wajah bertopeng lawannya itu. Maka tak ampun
lagi Topeng Reges kedua itu tergetar beberapa langkah ke belakang sambil
menjerit hebat.
Diam-diam Pendekar Bayangan kagum akan lawannya itu. Topeng Reges kedua itu ternyata masih mampu berdiri meskipun dari balik topeng di wajahnya tadi menetes-netes darah merah
segar! Di saat itu juga Ki Topeng Reges yang tengah bertempur melawan Mahesa Wulung di atas genting pendapa balai desa menjadi terkejut melihat Topeng Reges kedua kena cedera oleh
pukulan tongkat Pendekar Bayangan.
"Wah, celaka muridku si Jaramala itu," gumam Ki
Topeng Reges setengah menggeram marah.
Maka secara tiba-tiba ia menyampok pedang Mahesa Wulung dengan pusaka belatinya, Kiai Brahmasakti. Crang! Kedua senjata mereka tergetar dan pedang Mahesa
Wulung jatuh berdentang di atas genting.
"Ha, ha, ha, ha. Nah, sekarang kau tak bersenjata
lagi, Mahesa rembes. Kini terimalah ajalmu dengan Netra Dahana ini!"
Habis berkata begitu Ki Topeng Reges mementang
kedua tangannya ke depan, siap melancarkan serangan Netra Dahana.
Mahesa Wulung sadar bahwa sebentar lagi pasti kedua mata Ki Topeng Reges akan memancarkan sinar
panas dan lidah api yang sanggup menghanguskan dirinya. Dan benarlah apa yang diperkirakan oleh Mahesa
Wulung ini. Bersamaan teriakan Ki Topeng Reges, memancarlah sinar panas serta lidah api ke arahnya bergerak dengan kecepatan yang
hampir sukar ditangkap
oleh mata. Dan memang inilah yang diharapkan oleh Mahesa
Wulung! Tangan kanan Mahesa Wulung bergerak cepat
meraba sebuah benda dari balik bajunya, dan langsung dihadapkan pada pancaran sinar panas serta lidah api tadi. "Hah! Oh, kaca Sirna Praba!" desis Ki Topeng Reges
terperanjat! Tapi terlambat sudah. Kejahatan memang ada akhirnya! Sinar panas dan lidah api dari pancaran mata Ki Topeng Reges, seketika
membentur permukaan kaca
Sirna Praba tadi dan kemudian terpantul kembali ke
arah Ki Topeng Reges sendiri!
"Eeeeaaaakh!" Teriakan panjang terlontar dari balik topengnya, dan Ki Topeng
Reges terbakar tubuhnya
oleh ilmunya sendiri!
Sungguh pemandangan yang mengerikan. Ilmu Netra Dahana itu telah membakar tubuh tuannya sendiri, dan Ki Topeng Reges
terhuyung-huyung sempoyongan
dengan menjerit-jerit di atas genting dan sesaat kemu
Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dian jatuhlah ia terpelanting ke bawah!
Walaupun tubuhnya telah terhempas ke atas tanah,
api yang melibat dirinya masih saja menyala. Akhirnya dengan tubuh hangus dan
berkelojotan bagai belut dibakar, matilah Ki Topeng Reges yang telah sekian lama
namanya menggegerkan dunia persilatan.
Mahesa Wulung yang juga telah tiba di tanah segera
mendekati tubuh Ki Topeng Reges yang tergeletak tak bernyawa itu.
Monyong Iblis terkejut melihat Ki Topeng Reges mati, lebih-lebih ketika Mahesa Wulung berhasil membu-ka kedok Ki Topeng Reges
sambil berseru, "Ki Topeng Reges telah mati!"
Monyong Iblis tak melihat pengharapan lagi. Maka
secepat kilat ia melepaskan dari serangan-serangan Ki Rebab Pandan serta
menyambar tubuh Topeng Reges
kedua alias si Jaramala yang masih saja berdiri termangu menyaksikan gurunya
mati terbakar oleh ilmunya sendiri! Maka dalam saat yang sekejap terlihatlah Monyong Iblis memanggul tubuh Jaramala, melesat ke arah utara dan lenyap di balik pepohonan yang gelap.
Ki Rebab Pandan segera dapat mengenali wajah
Umpakan yang kini tak bertopeng lagi.
"Yah, memang benarlah kalau dia Umpakan!" ujar
Ki Rebab Pandan.
Pendekar Bayangan juga mendekat seraya menggenggam kedua pisau belati pusaka Kiai Brahmasakti
milik Ki Topeng Reges.
"Angger Mahesa Wulung, terimalah kedua pusaka
ini. Dan serahkanlah kepada gedung pusaka di Demak
agar tersimpan dengan aman!" Pendekar Bayangan segera menyerahkan kedua belati pusaka itu kepada Mahesa Wulung dan diterimalah oleh pendekar muda ini
disertai satu anggukan kepala.
"Terima kasih, Guru."
Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Topeng
Reges cepat-cepat melarikan diri dan selebihnya telah binasa ataupun terluka
bergeletakan di bekas medan
pertempuran. Orang-orang desa segera keluar dari rumah berbondongan mendekati pintu utara desa. Sementara para
pasukan penjaga desa dan wanita-wanita sibuk mengobati orang-orang yang terluka.
Sedang Ki Lurah Mijen dan Kertipana mendapatkan
ketiga pendekar pembela desanya itu dengan perasaan yang terharu bercampur
gembira. Terharu karena ketiga pendekar itu telah dengan tulus ikhlas membela
mereka. Tidak hanya Ki Lurah dan Kertipana saja, bahkan
segenap penduduk desa berterima kasih kepada Mahesa Wulung, Pendekar Bayangan, dan Ki Rebab Pandan.
"Ooh, kami sangat berhutang budi pada Andika bertiga. Kami tak mengira bila Ki Topeng Reges yang sakti itu dapat kita binasakan
juga. Ah, betapa kami bisa membalas jasa-jasa Andika bertiga yang begitu besar,"
Ki Lurah berkata disertai nada haru.
"Terima kasih pula kami ucapkan Ki Lurah," sambung Pendekar Bayangan. "Semua itu tercapai berkat
bimbingan Tuhan Yang Maha Besar. Manusia hanyalah sebagai pelaku saja. Seperti kematian Ki Topeng Reges serta keruntuhan Netra
Dahana itu, tentulah
sudah digariskan oleh-Nya dan kami bertiga sebagai
perantara."
Kata-kata Pendekar Bayangan tadi benar-benar
menyentuh dasar hati Ki Lurah dan orang-orang lainnya. Mereka tambah kagum terhadap kerendahan hati
ketiga pendekar pembela desanya. Memang, seorang
yang berjiwa ksatria akan selalu mengecilkan arti dari perbuatannya, meskipun
perbuatan tadi sangatlah besar jasa dan manfaatnya bagi segenap kepentingan bebrayan umum, bagi kepentingan semua hidup.
"Apakah rencana Andika bertiga setelah Ki Topeng
Reges berhasil kita binasakan?" kembali Ki Lurah Mijen bertanya.
"Ya, kami selanjutnya akan pergi ke Demak untuk
melaporkan kematian Ki Topeng Reges itu," ujar Mahe-sa Wulung. "Dan tugas-tugas
berikutnya pastilah telah menunggu kita untuk penyelesaiannya."
"Tapi kami tak ingin Anda bertiga terlalu cepat untuk meninggalkan desa ini. Tinggallah barang dua tiga hari lagi, sebab nanti
malam kami bermaksud mengadakan syukuran atas kemenangan kita terhadap gerombolan Ki Topeng Reges. Dan untuk Andika bertiga
akan kami suguh dengan permainan gamelan dan lagu
uyon-uyon oleh para sanak pedesaan sendiri."
Begitulah Ki Lurah meminta agar ketiga pendekar
itu tidak lekas-lekas meninggalkan desanya. Dan sebagai orang-orang yang berbudi
tinggi dan bijaksana, ketiga pendekar itupun tidak sampai hati menolak permintaan Ki Lurah itu.
"Eh, kalau dengan usul Ki Lurah tadi, pasti yang
paling gembira adalah Kisanak Rebab Pandan. Sebab
dengan sendirinya ia berkesempatan mempertunjukkan permainan serta gesekan rebabnya," sambung
Pendekar Bayangan lagi. "Setuju bukan, Ki Rebab
Pandan?" "Heh, heh, heh, heh. Setuju, Kisanak. Memang telah
beberapa lama aku tak berkesempatan menikmati suara gamelan," kata Ki Rebab Pandan dengan senyuman
yang cerah, secerah wajah-wajah mereka yang telah
berhasil dalam perjuangannya menumpas gerombolan
Ki Topeng Reges.
Sampai disini berakhirlah ceritera "Keruntuhan Netra Dahana". Dan seri NAGA GENI berikutnya yaitu
"Misteri Kapal Hantu". Akan Anda temui lagi si Monyong Iblis dan Ki Rikma Rembyak yang telah sekian
lama tak terdengar beritanya.
*** Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
1 *** *** 2 *** 4 *** 5 *** Kisah Si Bangau Putih 4 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Makam Bunga Mawar 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama