Ceritasilat Novel Online

Misteri Kapal Hantu 1

Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu Bagian 1


1 DESA MIJEN kini telah aman kembali setelah tumpasnya gerombolan Ki Topeng Reges dari Watu Semplak. Para penduduk tadi kini dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya guna membangun desanya seperti memperbaiki bangunan dan jalan-jalan
yang rusak, menggarap sawah dan lain sebagainya.
Dan mereka benar-benar menikmati permainan gamelan dan uyon-uyon yang diselenggarakan oleh Lurah
Mijen semula. Namun sore hari itu mereka dikejutkan oleh derapderap kaki kuda yang masuk dari arah selatan desa.
"Oh, prajurit-prajurit Demak!" desis orang-orang de-sa yang kebetulan
melihatnya, sedang dalam hati mereka pun penuh tanda tanya akan maksud kedatangan
kelima prajurit berkuda itu yang langsung menuju ke pendapa kelurahan.
Sesudah kelimanya turun dan menambatkan kudanya, mereka pun berjalan ke arah pintu pendapa.
Tapi belum lagi mereka masuk, sebuah bayangan berkelebat dari arah samping pendapa mendapatkan kelima prajurit itu.
"Adi Jagayuda"!" bayangan tadi berseru.
"Kakang Mahesa Wulung"!" seru salah seorang di
antara kelima prajurit tersebut yang segera menyambut Mahesa Wulung. Keduanya segera berangkulan
saling mengguncangkan bahu seraya tersenyum lebar.
"Oh, aku telah lama tak bertemu Kakang. Tapi syukurlah bila selama ini Kakang dalam sehat-sehat saja."
"Hee, tapi dari mana Adi Jagayuda dapat mengetahui bahwa aku berada di sini?" ujar Mahesa Wulung
setengah heran.
"Itu kuketahui dari kesatuan Nara Sandi, Kakang,"
jawab Jagayuda. "Mereka memberi tahu dan menugaskanku kemari agar Kakang Mahesa Wulung kami
jemput pulang ke Demak."
"Tapi aku belum selesai dengan tugasku, Adi. Baru
sebagian saja yang aku selesaikan," sambung Mahesa
Wulung. "Dan apa nanti kata para Wira Tamtama Demak, bila untuk kesekian kalinya aku belum berhasil menyelesaikan kewajibanku.
Catatan rahasia panah
Braja Kencar masih berada di tangan Rikma Rembyak
dan aku belum dapat mencium jejaknya. Untunglah Ki
Topeng Reges yang merupakan bahaya pertama bagi
Demak telah binasa, dan kini tinggal bahaya kedua da-ri Rikma Rembyak saja yang
harus kita pecahkan."
"Jadi Kakang telah berhasil membinasakan Ki Topeng Reges"!" desis Jagayuda terkejut, sementara Mahesa Wulung menganggukkan
kepalanya pelan.
"Benar Adi, Ki Topeng Reges telah binasa oleh ilmunya sendiri," Mahesa Wulung berkata. "Ia binasa setimpal dengan kejahatan-kejahatannya."
"Hebat kalau begitu. Hal itu tentu akan merupakan
laporan luar biasa bagi kesatuan Wira Tamtama Demak," Jagayuda berkata pula. "Dan mereka pun telah
menanti-nanti kedatanganmu di Demak, Kakang. Sebab ada sesuatu yang telah terjadi di Laut Jawa dan menggegerkan kalangan para
nelayan serta armada
Demak!" "Apakah itu, Adi"!" seru Mahesa Wulung kaget.
"Sebuah kapal hantu telah muncul di laut utara
dan mengacaukan lalu lintas pelayaran!"
"Kapal hantu"! Oh, baru sekali ini aku mendengarnya!" tukas Mahesa Wulung. "Dan mengapa ia disebut
dengan nama kapal hantu?"
"Kapal tersebut tidak berlayar dengan layar, Kakang. Meskipun ada layar yang terpasang di tiangtiang layarnya, tapi tidak lebih dari kain-kain tua yang telah compang-camping
dan tidak mungkin ia mampu
melayarkan badan perahunya. Yang menyebabkan ia
disebut kapal hantu tadi, ialah keadaan kapal yang
tampak seram berwarna agak kehitaman dan sepi. Sepanjang keterangan yang telah terkumpul, di atas geladak kapal tadi tak pernah
seorang pun yang tampak di situ, kecuali dayung-dayung kapal yang bergerak
sendiri di kedua sisi dindingnya, sehingga kapal tadi seolah-olah bergerak
sendiri. Itulah sebabnya orang-orang menamakannya Kapal Hantu!"
"Wah, luar biasa. Aku dapat membayangkan bahwa
kapal itu merupakan pemandangan yang mengerikan!"
sela Mahesa Wulung saking takjubnya.
"Tepat, Kakang. Orang-orang memang merasa ngeri
bila kapal itu muncul. Kebanyakan ia menampakkan
diri di waktu matahari mulai terbenam sampai matahari terbit kembali. Tapi kadang-kadang waktu siang hari yang diliputi kegelapan
mendung ia muncul juga."
"Belum pernahkah seorang yang mendekatinya?"
terdengar Mahesa Wulung bertanya.
"Pernah. Pernah sekali ada sebuah perahu nelayan
berusaha mendekatinya dengan maksud menyelidik.
Tapi belum lagi mendekat, perahu nelayan tadi tibatiba menyala biru terang dan sekejap semua penumpangnya binasa, kecuali seorang yang sempat terjun ke laut dan selamatlah dia."
"Elho, ah ada tamu. Silakan Tuan-tuan masuk!"
Sebuah sapa dari arah pendapa terdengar memecah
keasyikan tadi. Ki Lurah Mijen telah berdiri di ambang pintu.
Baik Mahesa Wulung, maupun Jagayuda ataupun
keempat prajurit lainnya seperti tersadar dari lamunan
oleh sapa Ki Lurah Mijen tadi.
"Maaf, Ki Lurah. Kami memang telah lama tidak saling berjumpa dan bercakap-cakap. Perkenalkanlah, ini adalah Adi Jagayuda dari
kesatuan Armada Demak."
Mendengar perkataan Mahesa Wulung tadi, Ki Lurah segera mengulurkan tangannya kepada Jagayuda
sambil terbata-bata berkata pula. "Saya Ki Lurah Mijen."
Jagayuda pun segera pula menjabat tangan Ki Lurah. "Nama saya Jagayuda, Bapak."
Sesudah itu Ki Lurah juga berkenalan dengan
keempat prajurit Demak lainnya dan sejurus kemudian mereka telah masuk ke dalam
pendapa kelurahan. Mereka bertujuh duduk-duduk dalam balai-balai panjang
beralaskan tikar pandan beranyam halus.
Sesudah mereka saling berkenalan dan minumminum sekadarnya, mulailah Jagayuda mengutarakan
maksud kedatangannya ke Desa Mijen ini, yakni menjemput Mahesa Wulung untuk kembali ke Demak.
"Nah, demikianlah, Ki Lurah. Tugas berat bagi Kakang Mahesa Wulung telah memanggilnya," ujar Jagayuda mengakhiri ceriteranya. "Dan ia harus kembali secepatnya."
"Hmmm, yah. Aku pun dapat memakluminya, Tuan.
Secara kebetulan memang Angger Mahesa Wulung juga bermaksud kembali ke Demak untuk melaporkan
kematian Ki Topeng Reges itu. Jadi dia sudah bersiap-siap untuk berangkat besok
pagi dan saya berharap
kepada Tuan agar Andika berlima sudi bermalam di
desa ini. Dengan begitu maka Andika berangkat besok pagi bersama-sama dengan
Angger Mahesa Wulung."
Jagayuda mengangguk kecil dan berkata, "Baiklah,
Ki Lurah. Kami tidak keberatan untuk tinggal menginap di sini malam ini. Tapi kami pun mengharap agar
Ki Lurah tidak terlalu merepotkan diri dengan kedatangan kami ini."
"Oh tidak, Tuan. Andika tak perlu cemas. Kami justru merasa gembira bisa menjamu tamu dari kota. Silakan Tuan-tuan beristirahat
dengan seenaknya," ujar Ki Lurah Mijen, lalu ia berpaling ke belakang ke arah
dalam seraya berseru. "Bune, Bune! Kemarilah sebentar. Ini ada tamu kita!"
Sebentar kemudian, dari arah dalam terdengar
langkah-langkah kaki dan muncullah Nyi Lurah serta
Endang Seruni mendekat ke balai-balai dengan membawa air minum.
"Nah, Bune. Inilah tamu-tamu dari Demak. Mereka
adalah teman-teman Angger Mahesa Wulung dan bermaksud menjemputnya pulang ke Demak. Maka
siapkanlah tempat bermalam mereka di gandok kulon
dan kita akan makan bersama malam nanti sehabis
maghrib." "Eh, baiklah, Pak. Sekarang juga akan aku siapkan
makanannya," kata Nyi Lurah, sementara Endang Seruni telah menghidangkan minuman tadi yang ditaruh
dalam mangkuk-mangkuk tembikar. Setelah itu keduanya masuk kembali ke dalam.
"Cuma wedang serbat saja, Tuan. Marilah kita minum mumpung masih hangat," ajak Ki Lurah Mijen
dan mereka pun meminumnya dengan senang. Apalagi
mereka sebenarnya telah haus, setelah berkuda dari
Demak sejauh itu.
Tidak hanya itu saja mereka pun telah merasa lapar
pula, maka selewat magrib, setelah tiba saat untuk
makan, kelima orang itu nampak betapa lahapnya mereka menikmati nasi hangat, sayur rebung, sambal pe-tai dan goreng tempe. Yah,
mereka serasa makan di
rumahnya sendiri. Melihat itu semua, Ki Lurah Mijen
justru merasa bahagia bahwa tamu-tamunya tadi
sungguh-sungguh mau menikmati hidangannya.
Kemudian bila tiba waktunya untuk tidur, Ki Lurah
pun segera pula mempersilakan para tamunya untuk
beristirahat. Tapi tidak demikian dengan Mahesa Wulung. Ia tidak segera memejamkan mata. Maka sesaat
kemudian ia membuka pintu kamar gandok kulon.
"Heh, malam terang bulan," gumam Mahesa Wulung
seorang diri. Ditengoknya arah belakang dan terlihatlah betapa Jagayuda serta
keempat prajurit lainnya
terpulas tidur di atas balai-balai. "Biarlah mereka tidur sepuasnya, aku akan
menghirup udara malam di luar.
Ooo..., betapa segarnya malam bermandi sinar perak
sang purnama ini."
Mahesa Wulung melangkah keluar menuju ke halaman samping. Suasana nampak tenang dan tentram,
sedang di langit bintang-bintang bertaburan laksana ribuan permata yang
mengelilingi sebuah bola perak
raksasa. Yang terdengar kemudian adalah bunyi dering jengkerik dan belalang menghimbau malam itu.
Belum lagi Mahesa Wulung selesai mengagumi malam yang indah itu, tiba-tiba terdengarlah bunyi geme-risik daun ilalang di
sampingnya, menyebabkan ia memutar tubuhnya ke samping secepat kilat serta
bersia-ga menghadapi segala kemungkinan.
Namun satu kenyataan membuat Mahesa Wulung
terhenyak kaget, sebab yang berdiri di sampingnya itu adalah Endang Seruni
dengan wajah yang sayu serta
pandangan yang kosong menatap ke arah Mahesa Wulung. Melihat Endang Seruni yang berwajah manis tetapi
menampakkan roman muka yang sayu tadi, menyebabkan pasti pendekar muda ini berdesir seketika.
"Eh, Adi Endang Seruni, mengapakah engkau?" bertanya Mahesa Wulung dengan sedikit tergagap.
Namun Endang Seruni tidak lekas menjawab, kecuali ia tertunduk sesaat, sampai terdengar kembali Mahesa Wulung bertanya pula,
"Mengapa engkau datang
ke tempat ini, Adi?"
"Aku sengaja kemari, Kakang Wulung. Aku ingin
bercakap-cakap denganmu sebelum engkau meninggalkan desa ini," Endang Seruni menjawab. "Bukankah besok pagi Kakang akan
kembali ke Demak?"
"Ya. Adi sudah tahu, bukan?" ujar Mahesa Wulung.
"Dan sekarang, biarlah aku berpamit sekali kepadamu, Adi."
"Sayang Kakang harus pergi meninggalkan kami,
dan aku akan kesepian karenanya," Endang Seruni
berkata lirih. "Dan mungkin kita tak pernah berjumpa lagi."
Mendengar perkataan gadis itu, Mahesa Wulung jadi terpekur. Dan seketika itu teringatlah bahwa seharusnya ia sudah mengawini
Endang Seruni, karena ia
telah memenangkan sayembara sebagai calon suami
Endang Seruni sesudah ia berhasil menyelamatkan
gadis ini dari tangan gerombolan Jaramala, beberapa waktu berselang.
"Mengapa diam saja, Kakang" Aku tahu, Kakang
Wulung akan segera melupakanku. Kini aku sadar
bahwa Andika tidak mencintaiku. Bukankah begitu,
Kakang?" Mahesa Wulung tersentak oleh kata-kata Endang
Seruni yang beruntun bagai hempasan gelombang.
"Maaf, Adi Seruni, aku tak dapat menjawab pertanyaanmu itu."
"Oh, kau tak mau berterus terang kepadaku, Kakang Wulung," sahut Endang Seruni tak sabar. "Katakanlah isi hatimu itu, Kakang, supaya aku menjadi le-ga karenanya."
"Dulu aku pernah mengatakan, bahwa ada seorang
gadis yang telah mencintaiku. Kau tahu bukan, gadis itu telah mendambakan
cintanya kepadaku dan aku
tak dapat meninggalkannya begitu saja. Aku tak ingin mengkhianatinya."
"Tapi... tapi, Kakang telah keluar sebagai pemenang sayembara itu, karena Kakang
Wulung telah membe-baskanku dari tangan-tangan gerombolan Jaramala!"
tukas Endang Seruni mendesak.
"Memang aku telah membebaskanmu, Adi Seruni.
Tapi aku tak tahu bahwa hal itu merupakan suatu
sayembara!" berkata Mahesa Wulung. "Menolong orang
yang kesukaran adalah merupakan satu kewajiban
yang mulia bagiku. Jadi aku tak mengharapkan apaapa dari perbuatanku tadi."
Mahesa Wulung kemudian diam sesaat apabila didengarnya isakan-isakan lembut dari Endang Seruni.
Dan ketika ia menatap ke wajah gadis itu, terlihatlah olehnya beberapa butiran
air mata yang berkilatan ke-timpa sinar rembulan, berderai runtuh ke pipinya.
Dengan begitu sadarlah ia bahwa kata-katanya terlalu tajam.
"Adi Seruni..., maafkan aku, Adi. Barangkali katakataku terlampau keras buatmu...."
"Oh, betul... kata-katamu terlalu keras," isak Endang Seruni. "Kau tak menyukaiku lagi, Kakang" Ah
betapa kejam dunia ini!"
"Jangan berkata demikian, Adi. Aku menyayangimu
sebagai adikku sendiri. Tapi tentang cinta itu, aku tak dapat memikirkannya,
lebih-lebih apabila tugas yang besar belum terselesaikan olehku."


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi aku harus melupakanmu, Kakang" Oh, betapa
dapat aku melupakannya. Betapa dapat?"
"Adi Seruni... aku coba membuatmu mengerti! Keadaan mengharuskan kita berpisah di sini."
Endang Seruni merasa akan meledak tangisnya,
namun tiba-tiba di dalam angan-angannya terbayang,
bahwa dengan berbuat begitu maka orang-orang akan
terbangun dan berdatangan ke tempat mereka dan
akan lebih runyamlah peristiwa itu. Memang ia sebagai gadis desa saja, tetapi
ayah ibunya telah mengajarnya tentang sifat-sifat kebijaksanaan dan keluhuran
budi. Maka betapapun berat goncangan perasaannya, akhirnya, dengan bersusah payah iapun dapat mengatasinya. Iapun kemudian sadar bahwa cinta tak dapat
dipaksakan. Cinta hanya terjadi bila dua hati saling menyentuh dan terpadu
menjadi satu. Sedang kenyataan yang ia hadapi sekarang tidaklah begitu. Ia tidak
dapat mengharapkan cinta dari Mahesa Wulung, pendekar muda yang berdiri di
hadapannya ini, karena hatinya telah terisi oleh cinta gadis lain. Kini sadarlah
Endang Seruni dan dengan tenang kemudian ia berkata, "Baiklah, Kakang Wulung.
Biarlah kita terima saja apa yang telah terjadi dan bakal terjadi. Rupanya
perpisahan antara kita harus terjadi. Tetapi, ijinkanlah aku sekali lagi memohon
sesuatu kepadamu, Kakang
Wulung!" "Apakah permintaanmu, Adi" Katakanlah. Bila aku
kuasa meluluskannya, pastilah aku penuhi dengan senang hati."
Endang Seruni kemudian tampak melepaskan sebuah untaian kalung dari lehernya dan lalu diulurkannya kepada Mahesa Wulung.
"Kakang Wulung, terimalah kalung ini untukmu.
Simpanlah sebagai kenang-kenangan dari seorang gadis yang pernah mencintaimu."
Mahesa Wulung terpukau menatap seuntai kalung
emas yang mempunyai mata sebuah batu hijau berkilat halus dan berbentuk setengah lingkaran dengan
beberapa guratan pada permukaannya. Dengan berdebar ia menggenggam benda itu.
"Betapa aku dapat menerima kalung yang indah lagi
berharga ini, Adi Seruni?" tanya Mahesa Wulung.
"Simpanlah, Kakang Wulung! Itulah permintaanku
satu-satunya. Atau campakkanlah ia ke tanah bila kau menolaknya. Nah, Kakang
Mahesa Wulung, selamat
jalan kuucapkan dan terimalah salam perpisahan dari adikmu ini!"
"Hee, mengapa...?" Mahesa Wulung terkejut bila tahu-tahu gadis ini tiba-tiba mendekapnya, kemudian
terasa sebuah kecupan di pipinya dan selanjutnya Endang Seruni berlari lincah ke
dalam rumah. Dengan
hati masih berdebar, Mahesa Wulung mengusap pipinya dan sesaat kemudian ia mengamat-amati kalung
pemberian gadis tadi.
Di dalam cahaya bulan itu Mahesa Wulung dapat
melihat bahwa guratan-guratan pada permukaan batu
permata tadi bukanlah merupakan sebuah ukiran
penghias. Tetapi lebih mirip sebuah denah atau sebuah peta. Namun Mahesa Wulung tidak terlalu lanjut memikirkannya, maka
disimpanlah kalung tadi ke dalam saku di balik bajunya.
Bulan di langit masih bersinar terang, yang kini telah bergeser lebih ke barat.
Sementara angin malam
makin dingin seakan-akan menusuk ke tulang sumsum. Mahesa Wulung kemudian berjalan, kembali ke
kamarnya di gandok rumah sebelah barat.
*** 2 DI SAAT UJUNG sinar fajar telah menyapu puncakpuncak pepohonan di Desa Mijen, beberapa ekor kuda
telah tertambat di halaman pendapa kelurahan lengkap dengan pelananya. Tak jauh dari kuda-kuda tadi, berdirilah empat orang
prajurit. Mereka tengah menunggu sesuatu, dan tak lama kemudian tampaklah
Mahesa Wulung bersama Jagayuda berjalan ke luar
dari rumah pendapa kelurahan, disusul oleh Ki Lurah Mijen dengan istrinya dan di
belakangnya berjalan pu-la Endang Seruni. Kesemuanya menuju ke arah kudakuda tadi. Dalam pada itu telah tiba pula di pintu gerbang halaman kelurahan, Pendekar Bayangan dan Ki Rebab
Pandan. Keduanya berjalan dengan tenangnya mendekati mereka yang tengah berkumpul tadi.
"Selamat pagi, Ki Rebab Pandan serta Ki Pendekar
Bayangan," sapa Ki Lurah Mijen kepada kedua Pendekar setengah tua yang kini berdiri di dekatnya.
"Selamat pagi, Ki Lurah," jawab mereka hampir berbareng seraya mengangguk hormat.
"Kini tiba saat perpisahan buat kita. Ah, sayang sekali. Rasanya kita telah
berkumpul puluhan tahun lamanya, meskipun cuma beberapa minggu saja," ujar Ki
Lurah parau. "Kami sedesa tak dapat membalas jasa
Andika berdua dan juga kepada Angger Mahesa Wulung. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Pengasihlah
kami bermohon, semoga Andika bertiga mendapat karunia dan pahalanya yang baik, atas jasa Andika yang telah bersusah payah
melepaskan kami dari bahaya
keganasan Ki Topeng Reges dengan gerombolannya."
"Terima kasih, Ki Lurah" berkata Pendekar Bayangan. "Meskipun berpisah dan jauh di mata, tetapi kita akan tetap dekat di hati.
Kami akan senantiasa me-ngenang desa ini serta segenap penduduknya yang
ramah-tamah dan punya semangat kerja."
"Ke manakah Andika akan pergi?" tanya Ki Lurah
kepada Pendekar Bayangan. "Apakah juga akan ke Demak bersama Angger Mahesa Wulung?"
"Tidak, Ki Lurah. Saya akan kembali ke Semarang
dan kemudian ke Ungaran. Sedang Ki Rebab Pandan
akan kembali ke Padepokan Gunung Merapi."
"Ooh, jadi Andika bertiga pun akan berpisah juga?"
tanya Ki Lurah pula.
"Benar. Namun dalam saat-saat yang genting kami
akan saling membantu dan bekerja sama," ujar Pendekar Bayangan.
Demikianlah, sesudah mereka saling berjabat tangan dan berpamit meminta diri, kedelapan orang itu melompat ke atas punggung
kudanya masing-masing.
Mereka menderapkan kudanya ke arah selatan dengan
debu dan kerikil berloncatan kesana-kemari. Sedang
orang-orang di halaman kelurahan, terutama Endang
Seruni, terus mengikuti mereka dengan pandangan
matanya yang berkaca-kaca. Teringatlah ketika ia
menjabat tangan Mahesa Wulung tadi hampir-hampir
saja ia tak mau melepaskan.
Tetapi rupanya tidak hanya Endang Seruni yang
merasa terharu. Begitupun juga Mahesa Wulung yang
kini memacu kudanya ke arah pintu selatan desa, merasakan betapa ia harus menahan perasaannya ketika
ia harus berpisah dengan Endang Seruni. Sungguhpun
gadis itu tak kalah cantiknya dengan Pandan Arum,
tapi ia tak ingin mencintainya, sebab itu berarti
mengkhianati kekasihnya.
Tiba di pintu selatan desa, mereka membelok ke barat daya dan kuda-kuda tadi kini berlari lebih kencang dan leluasa. Mereka
melewati jalan yang kiri kanannya ditanggul dengan batu-batuan, dan juga
dikelilingi oleh daerah persawahan dan kebun-kebun tebu serta beberapa petak
tanaman tembakau.
Bila Mahesa Wulung sesekali menengok ke belakang, kini terlihatlah bahwa desa tadi semakin jauh dan kelihatan mengecil dan
akhirnya hilang dari pandangan mata karena tertutup oleh pepohonan yang
melebat tumbuh di sana-sini.
"Guru, mengapa Andika tidak singgah dulu nanti ke
Demak?" tanya Mahesa Wulung kepada Pendekar
Bayangan yang berkuda di samping kanannya.
"Sebenarnya saya belum dapat singgah sekarang.
Mungkin lain kali saya akan menengokmu ke Demak
atau Jepara." ujar Pendekar Bayangan kepada pendekar muda ini. "Dan saya akan memberi tahu kepada
Adi Panembahan Tanah Putih, bahwa Angger Mahesa
Wulunglah yang dapat membinasakan Ki Topeng Reges. Beliau tentu akan bangga karenanya."
"Ah, terima kasih jika Guru bermaksud demikian.
Ijinkanlah pula aku menyampaikan salam bakti ke hadapan Bapak Panembahan Tanah Putih di Asemarang." "Ya, ya. Jangan kuatir, Angger. Salam baktimu buat
Adi Panembahan Tanah Putih pasti aku sampaikan.
Aku akan singgah dan bermalam di sana barang sehari dua hari sebelum aku kembali
ke Ungaran."
"Guru, mengapakah murid Ki Topeng Reges yang
Andika pukul itu masih kuat bertahan?" Mahesa Wulung bertanya. "Hmm, memang dia cukup hebat, Angger. Tetapi
seandainya ia tidak dilarikan oleh si Monyong Iblis itu, pastilah dia dapat kita
tangkap!" "Kedua orang tersebut pasti akan melaporkan kematian Ki Topeng Reges kepada Ki Rikma Rembyak!
Dan mereka pasti akan lebih hati-hati lagi dalam
menghadapi kita!" sahut Mahesa Wulung.
"Mungkin juga begitu. Tapi Angger jangan lupa
bahwa dengan berita kematian Ki Topeng Reges tadi,
mereka akan keder juga hatinya bila menghadapi kita!"
ujar Pendekar Bayangan dan karenanya Mahesa Wulung mengangguk pelan. "Heh, tetapi siapakah orangnya yang mengenakan topeng mirip Ki Topeng Reges
itu"!"
Mendengar pertanyaan gurunya itu Mahesa Wulung
tidak lekas-lekas menjawab, melainkan sesaat ia berdiam diri memutar ingatannya.
"Oh, ya. Aku dapat mengingatnya, Guru. Seorang
anak buah Ki Topeng Reges yang luka parah, sebelum
sampai ajalnya ia telah mengaku bahwa orang tadi
adalah murid kinasih Ki Topeng Reges. Dia bernama
Jaramala!"
"Jaramala" Mm, namanya cukup perkasa. Aku jadi
teringat dan seolah-olah pernah mendengar nama semacam itu. Yah, dulu ada seorang tokoh hitam bernama Jorengmala di waktu masih muda. Orang tersebut
pada suatu hari dikepung oleh prajurit-prajurit dan tamtama Demak. Sesudah
bertempur dan ia terluka
parah, ia masih sempat melarikan diri dan namanya
lenyap, tak pernah disebut-sebut lagi sejak saat itu!"
"Apakah kedua nama tadi ada hubungannya, Guru?" bertanya Mahesa Wulung dengan menatap Pendekar Bayangan. "Bisa juga mereka masih satu keluarga, Angger.
Atau setidak-tidaknya masih satu perguruan," jawab
Pendekar Bayangan. "Tentang Jaramala itu sendiri,
Angger tidak perlu mencemaskannya, setelah ia kena
terpukul oleh tongkatku. Kalau ia tidak mati pasti ia akan cedera juga
akibatnya, sebab pukulan tongkatku tadi aku lambari dengan pukulan Angin Bisu!"
"Uuh!" desis Mahesa Wulung kagum. Diam-diam ia
mengakui kekuatan Jaramala. "Tapi apakah Guru
memukulnya dengan tenaga penuh?"
"Memang tidak, Angger. Maksudku agar ia dapat kita tangkap segera, seandainya Monyong Iblis tidak
membawanya kabur."
Dengan bercakap-cakap begitu asyik tadi, mereka
tidak merasa bahwa jalan yang ditempuh telah begitu jauh dengan melewati hutanhutan kecil di sepanjang kiri-kanan jalan.
Kemudian menjelang sore hari, sampailah mereka
berdelapan di pintu gerbang kota Demak. Sesudah
membelok sedikit ke selatan, kemudian membelok ke
barat dan melewati pintu gerbang kota Demak, kudakuda mereka tidak lagi berpacu kencang melainkan
menderap-derap kecil serta sekali-sekali melenggoklenggokkan kepalanya seakan-akan merasa gembira
telah sampai ke tempat tujuan, kota Demak yang megah di daerah pantai utara Jawa.
"Nah Angger Mahesa Wulung, sampai di sinilah kita
harus berpisah sekarang. Kami berdua akan terus ke
barat menuju ke Asemarang," berkata Pendekar
Bayangan, ketika mereka telah mendekati pusat kota
di mana pusat pemerintahan berada.
"Selamat tinggal, Mahesa Wulung. Lain kali kita
akan bertemu lagi," Ki Rebab Pandan turut berkata pu-la. "Dan semoga Tuhan
selalu melindungi kita!"
"Selamat jalan, Andika berdua" seru Mahesa Wulung kepada kedua pendekar itu yang terus berpacu ke arah barat meneruskan
perjalanannya ke Asemarang.
Beberapa saat kemudian mereka telah jauh dari
pandangan mata. Mahesa Wulung, Jagayuda dan prajurit-prajurit itu, kemudian membelok ke utara menuju ke sebuah pendapa yang
berhalaman luas dan berpin-tu gerbang yang dijaga oleh dua orang prajurit
bertombak. Mereka memberi hormat ketika rombongan ini
melewatinya. Dalam pada itu di dada Mahesa Wulung terasa keharuan yang tertahan, ketika sepanjang perjalanan di kota ini masih banyak
orang-orang yang mengenal dirinya. Beberapa orang telah mengangguk memberi salam
disertai wajah cerah yang ramah dan tersenyum kepadanya. Di halaman yang luas seperti alun-alun kecil itu kelihatan prajurit-prajurit
tengah berlatih olah keprajuritan. Pada wajah-wajah mereka terbayang semangat
dan kegigihan berjuang, membuat Mahesa Wulung
ikut merasakan bangga. Setelah Mahesa Wulung, Jagayuda dan keempat prajurit berkuda tadi menghentikan kudanya, mereka lalu menambatkan kudanya dalam sebuah kandang di samping pendapa. Kini Mahesa
Wulung bersama Jagayuda menuju ke pendapa tadi,
sementara keempat prajurit tersebut bergabung dengan kelompok prajurit-prajurit yang tengah berlatih keprajuritan di halaman.
Begitu masuk di pendapa Balai Ksatrian tersebut,
keduanya disambut oleh beberapa tamtama, seperti
Ranujaya, Ki Tambakbayan, Sandi Pradangga, Wira
Sengkala dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dengan tergopoh-gopoh dan gembira menyambut kedatangan Mahesa Wulung, seorang Wira Tamtama dan juga
seorang pendekar yang sudah tidak asing lagi namanya bagi orang-orang Demak.
Ki Tambakbayan yang tertua berkata dengan hor

Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matnya, "Angger Mahesa Wulung, kami sekalian mengucapkan selamat datang atas kembalinya Angger ke
Demak setelah sekian lamanya berkelana mengemban
tugas negara."
"Terima kasih, Bapak. Saya pun telah rindu kepada
Demak yang saya tinggalkan begitu saja dan sekarang baru sempat kembali setelah
Ki Topeng Reges berhasil kami hancurkan."
"Syukurlah Angger lekas-lekas kembali, sebab barubaru ini lalu lintas pelayaran terganggu oleh munculnya Kapal Hantu dan tentunya
Armada Demaklah yang
harus menangkapnya. Maka kami akan menugaskan
Angger sebagai seorang Perwira Armada untuk menyelesaikan hal tersebut."
"Baik, Bapak. Saya juga sudah mengetahuinya dari
Adi Jagayuda tentang Kapal Hantu tadi. Dari ceritera tentang sebuah perahu yang
mencoba mendekati kapal
tersebut, dan akhirnya terkena sinar biru hingga semua penumpangnya binasa. Saya
lalu teringat sewaktu kita dahulu membicarakan perihal rahasia Panah
Braja Kencar dan hilangnya Empu Baskara."
Wajah Ki Tambakbayan terangkat dan terperanjat
oleh perkataan Mahesa Wulung tadi. Ia pun lalu teringat pula akan hal itu. "Ah, Angger berpikir dengan cemerlang!"
"Ya, perkataan Adi Mahesa Wulung tidak keliru.
Aku pun dulu pernah berceritera kepadamu bahwa
Panah Braja Kencar dapat membunuh makhluk hidup
sampai korban-korbannya binasa dengan tubuh mengering dan hangus kebiruan!" ujar Ranujaya menyambung pembicaraan.
"Itulah yang aku maksudkan, Kakang Ranujaya.
Jangan-jangan antara Kapal Hantu dan Panah Braja
Kencar serta Ki Rikma Rembyak ada hubungannya antara satu dengan lainnya," sahut Mahesa Wulung segera. "Jika demikian, Kapal Hantu tadi harus secepatnya kita tangkap agar kita
dapat segera mengetahui siapa yang berdiri di balik rahasia Kapal Hantu
tersebut," Ki Tambakbayan berkata.
"Semua akan saya kerjakan, Bapak!" Mahesa Wulung berkata. "Dan Barong Makara akan muncul kembali di lautan. Tetapi lebih dulu saya akan menyerahkan sepasang pisau belati pusaka yang kami rampas dari gerombolan Ki Topeng Reges." Mahesa Wulung kemudian mengambil sebuah
bungkusan dari balik bajunya dan diletakkan di atas meja di hadapan para Wi-ra
Tamtama ini. Kemudian selanjutnya Mahesa Wulung membuka bungkusan kain putih tadi dan terlihatlah dua buah pisau belati berwarna kuning.
Semua yang hadir di situ serentak berdesis kagum
melihat sepasang pisau belati pusaka tadi, yang seolah-olah berpijar kekuningan.
"Pusaka ini namanya Kiai Brahmasakti. Saya mohon agar ia disimpan dalam gudang pusaka," kata Mahesa Wulung kemudian.
"Ooh, jika Angger Mahesa Wulung dapat menambah
jumlah senjata pusaka di sini, rasa-rasanya akan lebih lengkap lagi jika kedua
pusaka kita yang hilang itu telah kita temukan kembali," terdengar Ki
Tambakbayan berkata.
"Dua senjata pusaka kita hilang"!" desis Mahesa
Wulung. "Betul, Angger. Pusaka tadi adalah Kiai Nagasasra
dan Sabukinten. Seorang Wira Tamtama telah pergi
mencarinya, tetapi sampai sekarang belum kembali."
Mahesa Wulung jadi tertarik oleh ceritera Ki Tambakbayan ini, maka bertanya pulalah ia. "Siapakah Wi-ra Tamtama itu, Bapak?"
"Mm, meskipun belum mengenalnya, tapi Angger
setidak-tidaknya pernah mendengar namanya. Karena
memang Wira Tamtama tadi tidak berdiri dalam lingkungan Armada Laut Demak. Dia bergelar Tohjaya
atau dikenal pula dengan nama Mahesa Jenar."
"Hah" Benar, Bapak. Saya memang pernah mendengar namanya," kata Mahesa Wulung. Dalam hati ia
pun mengakui bahwa tidak semua Wira Tamtama yang
ada di Demak ia kenal dengan baik. Sebab mereka
memang terbagi dalam kelompok atau kesatuan yang
berbeda-beda, seperti Wira Tamtama dari kesatuan
prajurit darat, Wira Tamtama dari kelompok Nara San-di, dan Wira Tamtama dari
kesatuan Armada Laut
Demak. Demikianlah, untuk selanjutnya, mereka, para Wira
Tamtama tadi berunding untuk mengatur siasat dan
usaha-usaha guna penangkapan Kapal Hantu tersebut
serta latar belakangnya. Maka tak heran bila mereka menjadi sibuk dan asyik.
*** Tepat di ujung Pulau Mondoliko, berlabuhlah sebuah perahu layar kecil. Pulau ini letaknya berhadapan dengan pesisir utara
Jawa, kira-kira di sebelah utara Gunung Muria.
Pulau yang sunyi dan penuh dengan rimba pohon
kelapa itu memang jarang dijamah oleh manusia, karena mereka menganggap tidak banyak memberi manfaat apapun. Tetapi mereka ternyata tidak bakal menyangka bila
Pulau Mondoliko telah dijadikan tempat persembunyi-an Ki Rikma Rembyak serta
orang-orangnya.
Hari itu ketika Ki Rikma Rembyak mendengar berita
tentang perahu yang mendarat di pulaunya, buru-buru
ia memerintahkan anak buahnya siaga. "Haai, cepat
kalian bersiaga! Bawa senjatamu masing-masing. Ayo ikuti aku menyambut perahu
itu. Kalau itu perahu
Demak yang mencoba mengusik pulau kita ini, akan
kita hancurkan!"
"Yaah! Hancurkan!" serentak anak buah Ki Rikma
Rembyak berseru sambil mengangkat senjatanya ke
atas berbareng, dan selanjutnya mereka mengikuti
pemimpinnya yang berjubah dan berambut gondrong
awut-awutan ke arah selatan.
Rombongan tadi berjalan di keremangan senja dalam sikap siaga. Walaupun mereka telah menduduki
Pulau Mondoliko dan menganggapnya sebagai daerahnya, tak urung mereka merasa cemas juga bila kedatangan oleh prajurit-prajurit Demak. Bukannya mereka takut bertempur, melainkan mereka sengaja merahasiakan sarang ini.
Tiba-tiba Rikma Rembyak memberi isyarat agar
rombongan tadi berhenti, bila matanya yang setajam
mata burung elang itu dapat menangkap sebuah perahu layar yang telah mendarat di atas pesisir.
Hati mereka pada berdebar setelah mereka bersiap
mengepung perahu tadi setengah lingkaran. Mendadak
sebuah teriakan burung camar laut terdengar dari
arah perahu. Amat nyaring dan berkumandang memenuhi tempat itu.
"Kawan sendiri," desis Rikma Rembyak pelan. Kemudian ia mendekati perahu tersebut sambil berteriak,
"Hooi, siapa kalian"! Lekas tunjukkan mukamu kalau
tidak ingin kami tangkap beramai-ramai!"
Rikma Rembyak tahu bahwa itu suara teriakan burung camar laut, merupakan isyarat bagi gerombolannya, bila mereka ingin berhubungan antara satu dengan lainnya. Begitu rampung Rikma Rembyak mengucapkan perkataannya, dari arah perahu tadi meloncatlah sesosok bayangan manusia dengan
memondong tubuh manusia pula.
Rikma Rembyak berdesir dadanya begitu sekilas ia
memandang wajah dari orang yang dipondong ini. Ia
mengenakan topeng yang mirip dipakai oleh gurunya,
Ki Topeng Reges! Dan ia menjadi lebih terkejut lagi bila ternyata orang yang
memondongnya itu tidak lain adalah si Monyong Iblis. Orang ini telah diutusnya
untuk menghubungi Ki Topeng Reges di Watu Semplak.
"Haah! Siapakah yang kau pondong ini, Monyong
Iblis" Bukankah ini Ki Topeng Reges"!" terdengar Rik-ma Rembyak menghujankan
pertanyaan. "Mengapa
dengan guruku ini" Lekas terangkan!"
"Ampun, Ki Lurah. Baiknya kita bawa orang ini ke
sarang lebih dahulu. Nanti aku ceriterakan duduk per-karanya!" Monyong Iblis
berkata. "Dan lagi kami berempat masih lelah setelah bersusah payah lari dari pantai Demak!"
"Hmm, bagus. Sekarang kembali ke sarang kita, cepat!" Seperti juga Ki Rikma Rembyak, maka Monyong Iblis itupun bergegas pula ke arah utara kembali, sedang di belakang mereka anak
buah Rikma Rembyak ber-iring-iring berjalan mengikuti pemimpinnya.
Hutan pohon kelapa dan nipah yang tumbuh liar di
sepanjang pantai bagai memagari pulau itu dari mara-bahaya. Begitu ketatnya
pohon-pohon tadi hingga sisa-sisa warna lembayung senja tidak kuasa menembusnya, dan benar-benar merupakan pemandangan yang
mengerikan. Tapi tidak demikianlah dengan Rikma Rembyak dan
orang-orangnya. Mereka berjalan dengan tenangnya
melalui jalan yang berbelok-belok, di celah batangbatang kelapa. Beberapa orang di antaranya membawa
obor. Mereka semakin jauh dari pantai dan sampailah kini di pusat pulau. Di situ terlihat beberapa rumah be-ratap dan berdinding dari
daun-daun serta kayu-kayu papan dan batang pohon kelapa.
Di depan rumah-rumah itu pun terpasang oborobor yang membuat tempat sekitarnya terang-benderang. Rombongan tadi berhenti di sebuah halaman
rumah terbesar. Sesudah Rikma Rembyak memberi
perintahnya, orang-orang tadi bubar untuk kembali ke tempatnya.
Kemudian Rikma Rembyak diikuti oleh Monyong Iblis yang memondong tubuh orang bertopeng tadi masuk ke dalam rumah.
"Nah, baringkan saja ia di balai-balai ini!" ujar Rikma Rembyak, dan Monyong
Iblis pun mengerjakannya
segera. "Sekarang, lekas ceriterakan apa yang akan
kau ceriterakan, Monyong Iblis!"
"Baik, Ki Lurah!" kata si Monyong Iblis, yang mempunyai mulut lebar dengan gigi atasnya yang menonjol ke depan. Benar-benar
sesuai kalau ia disebut si Monyong Iblis! Kemudian ia pun berceritera. "Ketika
sampai di daerah Watu Semplak di kaki timur Gunung Muria, kudapati perumahan Ki Topeng Reges kosong sama sekali. Dari jejak-jejak kaki yang aku teliti dan aku ikuti, akhirnya
sampailah aku di Desa Mijen. Ternyata Ki Topeng Reges dengan anak buahnya tengah
bertempur melawan orang-orang desa itu. Akhirnya Ki Topeng Reges binasa oleh
senjata si Mahesa Wulung yang be-rujud kaca bulat itu!"
"Kaca Sirna Praba!" desis Rikma Rembyak menyela.
"Yah, mungkin itulah nama senjata tadi. Ki Topeng
Reges binasa oleh ilmunya dan tubuhnya terbakar
hangus. Sayang aku tak sempat menolongnya. Bahkan
ketika Mahesa Wulung membuka topeng Ki Topeng
Reges sambil berseru bahwa itulah wajah Umpakan,
aku tak dapat berbuat apa-apa. Untunglah aku sempat menyelamatkan Topeng Reges
kedua ini. Agaknya iapun murid Ki Topeng Reges."
"Hehh. Sekarang marilah kita buka Topeng orang
ini!" ujar Rikma Rembyak.
Topeng tadi dengan pelan dan hati-hati dibuka oleh
Rikma Rembyak dengan dibantu oleh Monyong Iblis.
Dan akhirnya terbukalah topeng tadi, maka terlihatlah wajah Jaramala yang berlepotan darah membeku.
Rikma Rembyak lalu mengambil air bersih dan sobekan kain untuk membersihkan luka-luka tersebut. Hatinya bagai tersayat melihat wajah ini.
"Wah, matanya yang satu mengalami cedera!" desah
Ki Rikma Rembyak. "Untunglah ia cuma pingsan saja."
"Sayang aku belum mengetahui namanya dengan
pasti!" kata Monyong Iblis kepada pemimpinnya.
"Tak apa. Sebab aku ingat bahwa Ki Topeng Reges
mempunyai dua orang murid. Yang satu bernama Pelang Telu, karena ada tiga buah bekas luka pada kepalanya, sedang seorang lagi
bernama Jaramala. Dan ki-ni, kau lihat kepala orang ini" Tak ada sama sekali
bekas-bekas luka. Dengan begitu aku percaya bahwa
orang ini adalah murid Ki Topeng Reges yang bernama Jaramala."
"Oh, aku kepingin menghajar orang yang bernama
Mahesa Wulung itu!" seru Monyong Iblis dalam nada
jengkel. "Tak perlu tergesa-gesa, hah! Kalian berdua sementara tinggal di sini sampai orang ini sembuh dari luka-lukanya. Kemudian kalian
kembali ke Teluk Sampit!"
"Orang ini akan turut berjuang bersama kita" Bagus! Aku akan membawanya ke Borneo nanti!" ujar
Monyong Iblis senang.
"Mudah-mudahan ia berguna bagi kita!"
Tempat itu sesaat menjadi sunyi. Sementara Rikma
Rembyak dan Monyong Iblis merawat luka-luka Jaramala. Sekali-sekali terdengar rintihan pelan dari mulut Jaramala.
Sedang di luar, beberapa anak buah Rikma Rembyak tetap berjaga-jaga dengan mengelilingi sebuah api unggun untuk pemanas
badan. Mereka akan tetap berjaga-jaga sampai larut malam, bahkan sampai sinar
matahari muncul dari ufuk timur, barulah mereka selesai berjaga. *** 3 UDARA PAGI yang segar melapangkan dada memenuhi jalan yang menuju ke utara, di mana kota Jepara berada. Debu dan batu-batu
kerikil berpencaran ke
udara oleh derapan kaki-kaki kuda yang berpacu kencang ke arah utara.
Dua orang yang berkuda coklat tua ini berpacu berdampingan sambil bercakap-cakap dengan asyiknya.
"Kakang Mahesa Wulung, selama Andika pergi itu,
Adi Pandan Arum selalu menunggu dan sekarang ia
tinggal bersama bibi dan pamannya di lereng Gunung
Muria. Ia sehat-sehat saja selama ini."
"Eh, syukurlah jika begitu, Adi Jagayuda. Aku pun
telah rindu untuk bertemu dengannya," Mahesa Wulung berkata. "Dan satu hal yang selama ini senantiasa menjadi pemikiranku
adalah Ki Camar Seta. Ia telah
dirobohkan ketika kami berdua berkejar-kejaran dengan Ki Topeng Reges dan sampai sekarang aku tak
mendengar lagi tentang dirinya."
"Ki Camar Seta?" sahut Jagayuda. "Itu tak perlu
Kakang risaukan!"
"Mengapa?" kata Mahesa Wulung setengah kaget.


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah kalau Kakang Mahesa Wulung bertanya
lebih dulu. Ini memang akan aku ceriterakan kepadamu. Pendekar bercaping itu ketika terluka telah ditemukan oleh bibi Pandan Arum,
yaitu Nyi Sumekar.
Hingga akhirnya, sembuhlah ia setelah dirawat oleh
kedua suami isteri itu. Namun ia belum bisa bergerak leluasa, sebelum pengaruh
racun senjata Ki Topeng
Reges yang melukainya terhapus sama sekali."
"Eeh, tak mengira bahwa jiwanya akan tertolong,
sebab aku mengira bahwa beliau akan tewas oleh senjata Ki Topeng Reges."
"Yah, memang serba kebetulan jadinya. Ki Camar
Seta itu diketemukan oleh Nyi Sumekar dalam keadaan tergeletak tak berdaya di rerumputan. Benar-benar hal ini seperti dalam
ceritera saja," ujar Jagayuda.
"Mmm," terdengar Mahesa Wulung setengah bergumam sambil tersenyum. "Memang dalam kehidupan
kita hal-hal yang secara dan serba kebetulan itu sering terjadi tanpa diminta
dan tanpa dinyana. Adi Jagayuda tentu pernah mendengar tentang ceritera wayang
Ra-mayana. Nah, tentu Adi tak akan lupa ketika Dewi Sin-ta dilarikan oleh
Rahwana Raja bukan" Waktu itu secara kebetulan pula seekor garuda telah melihatnya
ketika ia terbang di angkasa dan secepatnya berusaha merebut putri itu, meskipun
akhirnya ia binasa oleh senjata sang Rahwana. Hal ini memang serba kebetulan,
sebab semula sang garuda tadi tidak sengaja
menghadang Sang Rahwana."
Mahesa Wulung diam sesaat dan terlihat Jagayuda
manggut-manggut tanda mengarti akan tutur katanya.
"Dan begitu pula dengan diriku, Adi Jagayuda. Di
saat-saat aku jatuh ke Jurang Mati, aku secara kebetulan telah menemukan sebuah
goa di mana tersimpan
sebuah kerangka manusia dengan kitab pusakanya."
"Benar, Kakang. Segala tutur katamu aku dapat
memahaminya dan aku ingin menambahkannya, bahwa kesemuanya yang serba kebetulan tadi, berhubungan erat dengan nasib. Kadang-kadang hampir tidak
masuk akal tampaknya seperti seorang ksatria Kurawa secara diam-diam berusaha
membunuh Raden Parike-sit yang masih bayi pada saat itu. Secara kebetulan bayi
tersebut menangis lalu menjejak-jejakkan kakinya, dan sebuah senjata panah
pusaka yang diletakkan di dekat kaki si bayi tadi kena terdupak oleh kakinya,
hingga melesat dan menghujam tubuh si Kurawa tadi hingga binasa!"
Mahesa Wulung merasa puas dengan kata-kata Jagayuda itu, maka tak heran bila ia menganggukanggukkan kepalanya pula.
Mereka terus memacu kudanya melewati jalan yang
berbatu-batu kerakal, sedang di kiri jalan penuh dengan hutan pohon kelapa.
Ketika matahari semakin tinggi, mereka telah mencapai hampir separuh dari jarak yang harus mereka
tempuh. Di sebuah kelokan jalan terlihatlah oleh keduanya sebuah warung di tepi
kanan jalan. "Adi Jagayuda, lihatlah warung di tepi jalan itu. Bagaimana kalau kita minum
lebih dulu dan singgah sebentar di sana?"
"Aku tak keberatan, Kakang. Ayolah! Tapi agaknya
warung itu masih baru. Lihatlah atap dan dinding
bambunya, semuanya masih baru."
"Tak jadi apa, toh?" Mahesa Wulung berkata ketika
keduanya telah tiba di depan warung.
Mereka menambatkan kudanya lalu masuk ke dalam warung. "Ooo mari, Tuan. Silakan duduk," si pemilik warung
yang bertubuh agak gemuk mempersilakan kedua tamunya ini. "Tuan berdua ini ingin minum?"
"Benar, Pak. Buatkan kami minuman kopi," Mahesa
Wulung mengajukan permintaannya dan si pemilik warung tadi segera menyiapkan dua minuman kopi yang
dituang dalam dua mangkuk tembikar, lalu menghidangkannya sekali kepada kedua tamunya.
"Terima kasih, Pak," kata Mahesa Wulung sambil
menerima mangkuk minumannya dari tukang warung
tadi. Begitu pula Jagayuda, segera menerima minuman kopinya. Maka sebentar saja
mereka berdua telah sibuk menikmati minumannya.
Suasana di situ tampak sangat tenang, meski ketenangan ini terlalu berlebihan. Sebab warung tersebut terletak di pinggir jalan,
jauh dari rumah tempat tinggal ataupun desa. Tentu saja hal ini tidak luput dari
pemikiran Mahesa Wulung.
Belum lagi mereka menghabiskan separuh dari minuman kopinya, tiba-tiba tiga orang lelaki masuk ke dalam warung. Kedatangan
ketiga orang ini mengejutkan Mahesa Wulung dan Jagayuda. Lebih-lebih karena ketiganya tahu-tahu muncul di depan warung
tanpa diketahui dari mana datangnya.
"Beri kami tiga mangkuk kopi!" ujar seorang yang
berwajah garang berikat kepala merah soga.
Oleh permintaan ketiga tamunya yang baru, tukang
warung tadi menampakkan wajah terkejut dan tanpa
diduga ia mengerdipkan mata kanannya. Entah apakah sengaja atau tidak. Mungkin mata kanannya tadi
kemasukan debu atau asap dari tungku di belakangnya. Tapi anehnya, tamu yang berikat kepala merah soga
ini pun mengerdipkan matanya pula. Namun Mahesa
Wulung yang sejak tadi memperhatikan kedatangan
ketiga orang tersebut dapat menyaksikan adegan yang cuma sekejap saja. Adegan
berkedip mata ini sangat menarik bagi Mahesa Wulung.
"Maaf, Kisanak, kopinya baru saja habis. Cuma
tinggal dua mangkuk dan itupun sudah diminum oleh
kedua Tuan ini!" si pemilik warung berkata seraya menunjuk kepada Mahesa Wulung
dan Jagayuda. "Kurang ajar!" desis si wajah garang serta menoleh
kepada kedua temannya. "Kopi kita telah diambil oleh kedua Tuan ini! Bagaimana
kawan"!"
"Suruh kedua orang itu meminta maaf pada kita.
Sebab mereka telah lancang memesan kopi milik kita!"
seorang teman si wajah garang yang berhidung besar berkata dengan keras.
"Baiknya kita beri pelajaran sedikit atas kelancangan mereka!" berkata pula teman si wajah garang
yang seorang lagi. Bibirnya yang tebal itu mencibir meremehkan.
Mendengar ketiga orang tersebut berkata demikian,
Mahesa Wulung serta Jagayuda menjadi berjaga-jaga.
"Heei, wong kurang ajar! Sebut namamu lekas!" teriak si wajah garang seraya menunjuk wajah Mahesa
Wulung, sedang tangan kirinya mengguncang-guncang
sebuah kapak bertangkai pendek. "Kalian tahu, yang
berdiri di hadapanmu ini adalah Sora Gedrug!"
"Hmm, kalau kalian bertanya, akulah Mahesa Wulung!" ujar Mahesa Wulung tanpa tedeng aling-aling.
Mendengar nama itu, Sora Gedrug terperanjat. Demikian juga si pemilik warung meringis menyeringai.
"Hah, apakah kau berkata sebenarnya"! Jangan coba mengaku-aku dengan nama itu!" seru Sora Gedrug.
"Kau takut mendengarnya" Itulah namaku yang sebenarnya!" ujar Mahesa Wulung dalam sikap tenang,
tanpa memperlihatkan rasa takut. Bahkan ia meneguk
air kopinya menyebabkan Sora Gedrug menggeram
jengkel. "Keparat, kau meremehkan aku, ya! Kopi ini harus
kusiramkan ke mulutmu!" teriak Sora Gedrug seraya
menyambar mangkuk kopi kepunyaan Mahesa Wulung. Namun tiba-tiba Sora Gedrug menjerit keras bila
tahu-tahu pergelangan tangan kanannya kena dijepit
oleh jari-jari tangan Mahesa Wulung disertai kata-kata manis.
"Sabar, Kisanak. Kau tidak dapat berbuat kurang
aturan di hadapanku ini! Nah menyingkir kau!"
Mahesa Wulung lalu mengibaskan tangan kanannya
dan tanpa ampun tubuh Sora Gedrug mencelat terpelanting menimpa sebuah bangku bambu yang seketika
hancur berkepingan setelah tertimpa oleh badan si wajah garang tadi.
Dengan mengibas-ngibaskan kepalanya yang masih
pusing dan menggeram, Sora Gedrug berdiri perlahanlahan. Matanya jadi nyalang dan menatap tajam ke
arah Mahesa Wulung, seolah-olah ia ingin menelan lunas lawannya ini.
"Cuh!" Sora Gedrug meludah ke lantai seraya mengumpat-umpat. "Bergejil rembes! Nyawamu rangkap sepuluh ya, berani menghinaku seperti ni"!"
"Itu salahmu sendiri, sobat! Keributan tadi engkaulah yang memulai!" ujar Mahesa Wulung sambil bersiaga karena dilihatnya Sora Gedrug menimang-nimang
senjata kapaknya. "Tambahan lagi persoalannya hanya
air kopi. Sepele saja, bukan?"
"Ngocehlah semaumu! Kubelah semangka kepalamu, hah! Hyaaat!" Sora Gedrug secepat kilat menyabetkan kapaknya ke arah kepala Mahesa Wulung. Begitu cepat gerakannya hampir-hampir sukar tertangkap mata. Untunglah gerak dan naluriah Mahesa Wulung sangat peka. Urat syarafnya yang berada di balik kulit tubuhnya dapat
merasakan adanya desiran angin yang berasal dari sabetan kapak Sora Gedrug.
Maka sebelum kepalanya konyol terbelah oleh kapak Sora Gedrug, Mahesa Wulung menggeser duduknya ke samping beberapa depa dengan cepat. Dalam
hati ia sengaja membuat panas hati lawannya, sebab dengan begitu separuh
pemusatan tenaga lawan akan
terganggu karenanya.
Wuuus! Brooook!
Senjata kapak bertangkai pendek milik Sora Gedrug
meleset dari sasarannya. Tetapi akibatnya meja kayu di depan Mahesa Wulung
terbelah berserakan dan ambruk ke lantai.
"Setan alas!" gerundal Sora Gedrug.
Saat itu Mahesa Wulung masih saja duduk di atas
bangku panjang dan kemudian sekali lagi ia menyeruput minumannya. Hal ini merupakan pemandangan
yang tegang. Melihat sikap ketenangan Mahesa Wulung tadi, kedua teman Sora Gedrug yang berhidung besar dan
yang berbibir tebal kebiruan serentak menyerang berbareng.
"Modar kowe sekarang!"
Keduanya melancarkan serangan pukulan maut beruntun datangnya, menyapu ke arah dada dan kepala
Mahesa Wulung. Tiba-tiba dengan tangkas Mahesa
Wulung telah menyambar sebuah bangku bambu di
sebelahnya untuk kemudian dipakainya memapaki serangan kedua lawannya tadi.
Kraak! "Aauuuuw!"
Kedua teman Sora Gedrug memekik nyaring karena
tangan-tangan mereka telah menghajar bangku tadi.
Sungguh pedih dan sakit rasanya. Kendatipun begitu
bangku tersebut menjadi rusak karenanya dan Sora
Gedrug pun ikut terkejut.
Mahesa Wulung meloncat keluar warung selagi kedua orang tersebut peringisan serta mendesis-desis
meniup tangannya masing-masing. Begitu mereka sadar bahwa lawannya telah berada di halaman warung,
si hidung besar dan si bibir tebal bersama Sora Gedrug sekaligus berloncatan ke
halaman memburu lawannya!
Karuan saja Jagayuda tak bisa berpeluk tangan sebagai penonton saja, jika melihat sahabatnya dan juga sebagai pemimpinnya telah
dikeroyok oleh tiga orang lawan. Itulah sebabnya Jagayuda pun cepat-cepat
melangkah ke halaman untuk membela Mahesa Wulung.
Kalau sesungguhnya Jagayuda berpikir bahwa Mahesa Wulung tidak perlu ditolongnya, karena ia yakin bila Mahesa Wulung akan
dapat memenangkan pertempurannya. Tetapi toh ia tidak akan tinggal diam
dengan pengeroyokan tersebut.
Baru saja ia melangkah tiga langkah, Jagayuda merasakan getaran udara serta derai dengusan nafas di belakangnya, maka cepat pula
ia menoleh. Alangkah
terkejutnya! Sebuah pukulan tangan menyambar ke
arah tengkuknya. Jagayuda terkejut sudah, tapi Jagayuda pun bertindak cepat.
Iapun menarik kepalanya ke belakang sebelum
tengkuknya melerek tertimpa pukulan tersebut. Berbareng itu juga, Jagayuda
memutar kepalan tangan kanannya ke arah luar untuk menangkis serangan tadi.
Dook! Dua benturan terjadi dan saat itu pula kedua tangan tersebut tergetar seperti orang sakit demam,
ndrodog. Jagayuda terkejut, lebih-lebih ketika ia tahu bahwa si penyerangnya ini tidak
lain adalah si pemilik warung yang bertubuh gemuk. Lalu Jagayuda memutar
tubuhnya siap menghadapi serangan yang kedua. Agaknya si tukang warung itu tak
menyia-nyiakan waktunya, dan
berbareng Jagayuda bergerak, kaki kanan si gemuk
secepat kilat beraksi. Sebuah dupakan deras menggempur betis Jagayuda dan seketika itu juga ia terpelanting jatuh ke atas tanah!
"Hua, ha, ha, ha, ha. Terimalah salam perkenalan
dari Wangsa Ginuk!" si pemilik warung berkata dengan bertolak pinggang dibarengi
tertawa yang terkekeh-kekeh.
"Edan kamu! Heei apa maksudmu menyerang diriku
secara tiba-tiba!" teriak Jagayuda sambil meloncat berdiri kembali.
"Masih bertanya pula"! Bagus!" Wangsa Ginuk berkata. "Temanmu dan tiga orang yang berkelahi itu jangan kau campuri! Biarkan
mereka berkelahi karena
mereka punya urusan sendiri. Tetapi ternyata kau
mau mencampuri pertempuran mereka, maka jangan
kaget bila aku pun harus menghajarmu!"
"Ooo, jadi kau senang melihat orang berkelahi. Kau
anggap apa manusia itu, ha" Kau anggap ayam sabungan saja"!" teriak Jagayuda.
"Ha, ha, ha. Memang aku senang melihat orang berkelahi, sebab Anda akan dapat melihat seni geraknya.
Kau akan tahu keindahan dari perkelahian itu sendiri."
"Jadi itulah kesukaanmu, Wangsa Ginuk" Aku tak
senang dengan kesukaanmu. Jagayuda tak dapat menyetujui pikiran tadi!" ujar Jagayuda lantang.
"Persetan dengan larangan Jagayuda. Aku bukan
bawahanmu dan aku tak akan tunduk dengan pendapatmu!" teriak Wangsa Ginuk. "Kau telah merusak kesenanganku, dan seleraku terusak karenanya! Sekarang, kau musti melawanku!"


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh perkataan Wangsa Ginuk tadi, Jagayuda cepat
bersiaga, namun ia menjadi terperanjat seketika bila dilihatnya Wangsa Ginuk
mencabut beberapa daun ilalang.
Jagayuda masih belum mencabut pedang yang tergantung pada pinggangnya, karena dianggap belum
berguna pada saat sekarang. Ia ingin menghadapi lawannya dengan tangan kosong saja. Bahkan ia tidak
menjadi takut sewaktu Wangsa Ginuk menggenggam
daun-daun ilalang tersebut.
"Oh, apakah orang gemuk ini mau main-main dengan diriku" Tak mungkin! Daun-daun ilalang itu pas-ti ada maksudnya," demikian
Jagayuda berkata-kata
sendiri di dalam hatinya.
Benar juga pikiran Jagayuda tadi. Tahu-tahu tangan Wangsa Ginuk yang menggenggam lembaranlembaran daun ilalang berkelebat dengan cepatnya,
dan berbareng itu pula daun-daun ilalang tersebut melesat ke arah kepala
Jagayuda dan juga ke arah dadanya.
"Aaah!" Jagayuda berdesis merebahkan dirinya ke
tanah lalu bergulingan menghindar.
Cap! Cap! Cap! beberapa bunyi tancapan terdengar
dan daun-daun ilalang tadi bertancapan pada sebatang pohon tepat di belakang Jagayuda semula berdiri, tak ubahnya batang-batang
paku baja! Melihat hal itu, terpaksa Jagayuda terlongoh-longoh
keheranan seperti tak percaya, sebab baru sekali ini ia melihat daun-daun
ilalang bisa menancap dan kaku
bagai batang-batang logam.
Begitu pula Mahesa Wulung yang tengah bertempur
menghadapi keroyokan Sora Gedrug dengan kedua temannya itu, sempat pula melihat peristiwa yang dihadapi oleh Jagayuda. Maka tak
urung Mahesa Wulung
pun ikut terperanjat kagum olehnya, dan dapatlah di-bayangkan sampai seberapa
tinggi tenaga dalam yang
dimiliki oleh Wangsa Ginuk.
Tapi Mahesa Wulung tak dapat berpikir lebih jauh,
sebab ia harus mengerahkan seluruh ilmu dan tenaganya guna melayani keroyokan ketiga lawannya. Bagi dirinya yang tengah
bertempur itu, apakah sulitnya
menghadapi mereka.
Memang begitulah kenyataannya, sepintas lalu ketiga pengeroyok tadilah yang seolah-olah mengepung
dan mengurung Mahesa Wulung. Akan tetapi sesungguhnya terbalik. Sora Gedrug dengan kedua temannya
justru merasa bahwa merekalah yang terkepung, sebab gerakan Mahesa Wulung yang berloncatan kesanakemari laksana bayangan menerobos dan menelusup
di antara tebasan senjata-senjata lawannya.
Dengan begitu, maka Sora Gedrug dan kedua temannya yang bersenjata dua bilah golok itu terpaksa harus hati-hati kalau tidak
ingin terjadi saling memba-cok sesama kawan.
Melihat serangan mereka berkali-kali gagal, Sora
Gedrug dengan kedua temannya berloncatan menjauh
dari Mahesa Wulung dan kemudian bersiaga. Ketiganya lalu berdiri sejajar satu baris serta memandang tajam ke arah Mahesa
Wulung. Tentu saja Mahesa Wulung sendiri tercengang melihat sikap mereka ini.
Itulah sebabnya ia pun berhati-hati menghadapi setiap
kemungkinan. Pengalamannya sejak ia terpukul roboh
dan punah ilmunya oleh terjangan Ki Topeng Reges,
sejak itu pula ia senantiasa berhati-hati dalam menghadapi musuh. Setiap lawan
yang tampak sepele pun
tak boleh dipandangnya sebelah mata. Sebab memang
dalam kehidupan sehari-hari, apa yang tampaknya sepele dan sederhana kadang-kadang mempunyai suatu
kelebihan di baliknya.
"Hiaaat!" Teriakan nyaring yang sedemikian mengejutkan terdengar dari mulut Sora Gedrug bersamaan
tubuhnya melesat ke arah Mahesa Wulung sementara
tangan kanannya menyabetkan kapaknya ke arah dada lawannya. Mahesa Wulung tidak lalu terkejut, sebab sejak semula ia telah bersiaga. Sebelum dadanya tersobek oleh kapak Sora Gedrug, Mahesa
Wulung melentingkan tubuhnya ke udara.
"Meleset, sobat! Kau kurang cepat!" seru Mahesa
Wulung ketika tubuhnya mengambang di udara bagai
selembar daun ketiup angin.
"Jangan ketawa dulu, lihat ujung kainmu!" kata Sora Gedrug sambil meloncat ke belakang dan Mahesa
Wulung buru-buru memeriksa kainnya seperti yang
dikatakan oleh lawannya. Dan benarlah bila ujung
kainnya sobek oleh tebasan Sora Gedrug. Sungguh
mengagumkan juga baginya.
"Caat!"
Tiba-tiba kedua teman Sora Gedrug menyerang ke
arah dirinya. Senjata pedang mereka berputaran bagai kitiran mengancam tubuh
Mahesa Wulung dan membuat pendekar muda ini pun terkejut untuk kedua kalinya. Maka secepat kilat ia meloncat ke samping dengan setengah mengendap,
sekaligus menanti serangan kedua lawannya kembali. Tetapi aneh, kedua
orang tadi meloncat mundur, sedang sebuah serangan
hebat lainnya mengancam dirinya datang dari Sora
Gedrug. Sekali ini pun berhasil dihindarkan oleh Mahesa Wulung dan kembali kapak
bertangkai pendek
milik lawannya membelah angin belaka.
Bersamaan Sora Gedrug mundur, kedua temannya
tadi ganti menyerang kembali. Begitulah mereka berti-ga berganti-ganti menyerang
Mahesa Wulung sampai
pendekar ini lama-kelamaan merasa kerepotan juga.
Serangan tadi datangnya bagai ombak lautan yang
bergantian memukul dinding pantai karang. Bagaimanapun teguhnya dia, pasti tergetar pula jadinya.
"Ombak rantai!" desis Mahesa Wulung saking terperanjatnya. Jurus serangan demikian tadi pernah dikenalnya dari sahabatnya, yakni
Pendekar Camar Seta.
Maka ia tak mau lebih lama lagi lalu ia menyiapkan
pukulan maut Angin Bisu ajaran Pendekar Bayangan.
Namun di saat itu pula ia teringat bahwa dengan
pukulan Angin Bisu tadi akan kurang bermanfaat sebab ketiga lawannya tadi selalu bergerak membingungkan.
Dalam ketegangan suasana begitu, Mahesa Wulung
tak punya pilihan lain, lalu dicabutnya cambuk Naga Geninya dari balik bajunya.
Yah, kiranya hanya dengan senjata inilah ia dapat menghadapi mereka.
Tampaknya tidak berbeda dengan Mahesa Wulung,
Jagayuda pun kerepotan menghadapi Wangsa Ginuk.
Ia terpaksa berloncatan kesana-kemari menghindarkan dirinya dari batang-batang
daun ilalang yang dilempar-lemparkan oleh Wangsa Ginuk itu. Dalam hati ia pun
merasa jerih bila seandainya daun-daun ilalang tadi bertancapan menembus
tubuhnya. "Ha, ha, ha, ha. Kau masih akan meremehkan aku
juga. Nah, mintalah maaf kepadaku mumpung aku belum benar-benar marah!" teriak Wangsa Ginuk sambil
terguncang-guncang tubuhnya karena tawanya.
"Keparat! Jangan lekas tertawa begitu girang. Aku
pun masih punya pedang ini!" Seru Jagayuda serta
melolos pedangnya.
Syraat! "Hua, ha, ha, ha. Bagus, bagus! Aku pun tak akan
ketinggalan. Lihatlah apa yang ada di tanganku kini!"
Wangsa Ginuk sekilas menggerakkan kedua tangannya
ke ikat pinggangnya dan terkejutlah Jagayuda karenanya.
Dua bilah sujen atau tusuk satai yang terbuat dari
logam tergenggam di kedua tangan Wangsa Ginuk
dengan eratnya. Belum rampung keheranan Jagayuda,
Wangsa Ginuk telah menerjangnya dengan sepasang
senjata sujen tadi.
Sudah barang tentu Jagayuda buru-buru menangkisnya dengan sabetan pedangnya.
Triiing! Benturan kedua senjata itu terjadi dan Jagayuda
kembali kagum apabila pedangnya tergetar disertai ra-sa panas yang menyengat.
Kini sadarlah dirinya bahwa Wangsa Ginuk berilmu tinggi daripada dirinya.
Waktu Jagayuda menangkis sujen di tangan kiri
Wangsa Ginuk, tak dinyana bila sujen di tangan kanan lawannya ini pun cepat
bergerak menusuk dadanya.
Sungguh-sungguh mengejutkannya!
"Uh!" Seru Jagayuda kaget dan secepat kilat ia
menggelindingkan badannya ke sebelah kiri beberapa
langkah jauhnya dari lawan. Dengan lincah dan tangkas, kini Jagayuda berdiri tegak serta memainkan pedangnya. Suaranya berdesingan
memenuhi udara.
"Ayo kita lanjutkan permainan kita!" Seru Jagayuda
seraya menerjang ke arah Wangsa Ginuk dan kemudian terjadilah pertempuran sengit antara mereka.
Dalam pada itu Mahesa Wulung telah melancarkan
serangan-serangan balasan kepada Sora Gedrug dengan kedua kawannya. Cambuk Naga Geni di tangannya berulang-ulang melecut ke udara memekakkan telinga dengan ledakan-ledakan keras bagai bunyi serentetan mercon.
Sampai saat ini serangan Ombak Rantai ketiga lawannya tadi belum berhasil dibuyarkannya. Namun
Mahesa Wulung tidak lekas berputus asa. Karenanya
ia mencoba menentramkan hatinya serta memusatkan
perhatiannya. Kalau ia memandang bergantian ketiga
lawannya yang bergerak berpasangan, pastilah membingungkan. Betullah, sesaat kemudian Mahesa Wulung berhasil
memusatkan perhatiannya, dan ketika kedua teman
Sora Gedrug yang berhidung besar dan berbibir tebal itu maju menyerang berbareng
ke arah dirinya, Mahesa Wulung terlebih dahulu menyambutnya dengan
putaran cambuk Naga Geni.
Dua lecutan dahsyat terdengar diiringi suara jeritan melengking susul-menyusul,
dan tampaklah kedua lawan Mahesa Wulung tadi jatuh terhempas ke tanah
dengan melontakkan darah hitam kental. Yang seorang kepalanya hangus dan seorang
lagi dadanya mengalami nasib yang sama, hangus merah kehitaman.
Kini terbukalah mata Sora Gedrug bahwa senjata
cambuk pendekar muda itu bukan sembarangan. Sedang hati kecilnya diam-diam ngeri juga menyaksikan kedua temannya binasa dengan
kepala dan dada yang
hangus seperti itu.
Itulah sebabnya hatinya seketika mendadak jadi
ciut, karena dengan kematian kedua temannya tersebut berarti buyarlah jurus serangan Ombak Rantai
yang harus dilakukan berpasangan. Jurus itu tak
mungkin dikerjakan seorang diri saja.
Maka tak ubahnya kapal yang patah kemudi, serangan-serangan berikutnya dari Sora Gedrug sudah tak menentu lagi. Pada dasarnya
serangan-serangan yang
kini dilancarkan hanyalah mengandalkan atas kelincahan gerak senjata kapaknya melulu. Dan beberapa
saat kemudian, ketika sebuah lecutan cambuk Naga
Geni lawannya menyambar dan kemudian melilit kapak dengan jari-jari tangan kanannya sekaligus, Sora Gedrug tak mampu
mengelakannya. Tidak hanya sampai di situ saja kekagetan Sora Gedrug. Tiba-tiba tangan kanannya yang terlibat oleh
cambuk Mahesa Wulung tadi terasa dihentakkan dengan tenaga raksasa. Itu semua akibat hentakan oleh Mahesa Wulung.
Wuuuut! Tubuh Sora Gedrug terangkat ke atas, lalu terlambung ke udara dan kemudian jatuh terhempas menimpa atap warung yang seketika ambruk dan berantakan ke bawah. Sora Gedrug tergeletak di tanah
dengan merintih apabila seluruh tulang-tulangnya serasa remuk. Ia tak dapat lagi
mengharap kemenangan
atas lawannya. Mahesa Wulung cepat-cepat memburu ke arah lawannya yang telah tergeletak di tanah tak berdaya.
"Lekas katakan kau dari gerombolan mana!" sentak
Mahesa Wulung seraya mengguncang-guncangkan
pundak Sora Gedrug. "Cepat kau berkata kalau masih
ingin panjang umurmu!"
"Beb... beb... baik! Tapi... Tuan akan membiarkan
aku hidup?" terdengar Sora Gedrug berkata terputusputus. "Ya. Kau masih boleh hidup jika mau berkata sebenarnya!" ujar Mahesa Wulung serta menghentikan tangannya yang masih mengguncang-guncang pundak Sora Gedrug. "Terima... kasih. Begini Tuan, kami berempat dengan si pemilik warung itu adalah benggol dan jagojago berkelahi. Pada suatu saat kami saling bertaruh, barang siapa di antara
kami berempat dapat mengalahkan Mahesa Wulung, maka dia si pemenang itu,
akan menjadi ketua kami dan menerima taruhan uang
yang telah kami kumpulkan," demikian ujar Sora Gedrug sambil terengah-engah. Tampak wajahnya kian
bertambah pucat dan karenanya Mahesa Wulung pun
keheranan. "Kenapa kau, Kisanak?" bertanya Mahesa Wulung.
"Aku... ak... aku tak kuat lagi... aaaah."
Sora Gedrug terkulai kepalanya sesudah berkata
demikian Mahesa Wulung yang mencoba memeriksa tubuh
orang ini jadi berdesis lirih, "Hmm, tulang belakangnya patah! Ah, kematian yang
sia-sia saja."
Diam-diam Mahesa Wulung menyesal atas kematian
ketiga orang lawannya. Semula ia mengira bahwa ketiganya ada sangkut-pautnya
dengan Ki Rikma Rembyak, sisa-sisa anak buah Ki Topeng Reges ataupun
misteri Kapal Hantu itu. Tetapi ketiga-tiganya meleset.
Mereka bukanlah bersangkut paut. Mereka sematamata adalah empat tukang pukul yang tengah bertaruh. Bertaruh untuk mengalahkan dirinya, dan tiga
orang dari mereka telah binasa dengan sia-sia.
Sungguh perbuatan manusia yang bodoh! Terbodoh
dari semua yang pernah dijumpainya. Namun itu telah terjadi dan yang salah
bukanlah dirinya.
Pada saat itu pula, Jagayuda yang tengah bertempur melawan Wangsa Ginuk kelihatan makin terdesak.
Dan ketika sebuah tebasan pedangnya meleset, ia terhuyung sesaat dan tiba-tiba


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tendangan kaki kanan
Wangsa Ginuk telah bersarang, menghajar pinggangnya. Maka seketika Jagayuda jatuh terjengkang di atas tanah dengan pedang masih
tergenggam erat.
"Heh, heh, heh. Kok ya tidak seberapa kekuatanmu,
sobat. Sekarang terimalah kematianmu dengan senjata sujenku ini!" berkata begitu
Wangsa Ginuk secepatnya mengangkat kedua belah tangannya berbareng, siap
melempar kedua tusuk satai dari logam tersebut ke
tubuh Jagayuda.
Dar! Dar! Wangsa Ginuk melongo dan Jagayuda pun ternganga, sebab kedua belah senjata Wangsa Ginuk tadi ta-hu-tahu lenyap dari
tangannya bersama dua ledakan
keras terdengar di atas kepala Wangsa Ginuk! Cambuk Naga Geni telah merampasnya.
Baik Jagayuda maupun Wangsa Ginuk secepat kilat menoleh ke arah barat, begitu terdengar suara tertawa yang lunak.
"Heeh, heh, heh, Kisanak yang bertubuh gemuk!
Kuakui kau memang jagoan berkelahi, tapi biarkan
sahabatku itu. Sebab bukankah kau ingin mengalahkanku" Nah, tunggu apa lagi kau"! Ayo, lawanlah
aku," seru Mahesa Wulung lantang. "Kalau aku kalah
aku akan menjadi pelayanmu! Tapi sebaliknya, jika
kau yang kalah, kau pun harus bersedia untuk menjadi pesuruhku!" Mahesa Wulung kemudian menyimpan
kembali cambuknya.
"Bagus, keparat! Kaulah yang akan kalah!" teriak
Wangsa Ginuk sambil meraih beberapa lembar daun
ilalang dan sekaligus dilemparnya ke arah Mahesa Wulung dengan dilambari tenaga
dalamnya. Maka persis
seperti semula, daun-daun ilalang tadi berdesingan
bagai batang-batang logam menyambar tubuh Mahesa
Wulung. Sungguh-sungguh hebat. Biarpun ini adalah pemandangan yang untuk kedua kalinya, Jagayuda dan
Mahesa Wulung masih kagum juga. Yang lebih hebat
lagi, ketika batang daun ilalang tadi tengah beterbangan melesat di udara,
Wangsa Ginuk kembali meraup
daun-daun ilalang dan dilemparnya pula ke arah Mahesa Wulung. Agaknya ia mau menghujani lawannya
dengan tanpa memberi kesempatan untuk mengelak.
Mendapat serangan demikian gencar, Mahesa Wulung tak bermaksud menggunakan senjatanya lagi.
Sebab untuk mencabutnya terlalu memakan waktu,
sedang daun-daun ilalang tadi sudah terlalu dekat benar jaraknya. Maka dengan
gerakan yang lincah, kedua tangan Mahesa Wulung membuat gerak melingkar
bersimpang siur sangat ruwet di depan tubuhnya, dan kemudian terlihatlah
pemandangan yang menakjubkan.
Batang daun-daun ilalang yang tengah meluncur ke
arah dirinya itu satu persatu disambarnya dan sebentar saja kesemuanya telah
tertangkap di kedua belah genggaman tangan Mahesa Wulung. Semua itu dikerjakan
dengan mudah dan tampaknya semudah anak
kecil memunguti bunga-bunga dari tangkainya.
Wangsa Ginuk terpaksa melongo melihat serangannya gagal. Tapi cuma sebentar, sebab sejurus kemudian ia terpaksa berloncatan kesana-kemari, apabila Mahesa Wulung mengibaskan
kembali kedua tangannya dan daun-daun ilalang itu pun terbang ke arah si
pemiliknya semula, yakni si Wangsa Ginuk.
Untunglah si tubuh gemuk ini masih punya tenaga
untuk menghindarkan diri dan geraknya sungguh lucu, seakan-akan seluruh dagingnya ikut bergerakgerak pula dalam berloncatan itu.
"Kurang ajar! Kau memang hebat! Tapi coba terima
seranganku berikutnya!" teriak Wangsa Ginuk dan
kemudian ia menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan depakan kakinya yang dahsyat. "Remuuuk kowe.
Haaait!" Tap! Mahesa Wulung mencelat ke udara, namun tak disangka bila Wangsa Ginuk cukup trengginas cepat. Kedua belah tangannya tahu-tahu telah memeluk erat
pinggang Mahesa Wulung dengan jepitan tenaga yang
mematikan. Keduanya kemudian berdiri tegak di atas
tanah. "Kupatahkan tulang-belulangmu, setan!" geram
Wangsa Ginuk sambil terus mempererat jepitan tangannya. Diam-diam Mahesa Wulung bisa mengukur kehebatan tenaga dalam si Wangsa Ginuk ini. Ia tak dapat
membayangkan seandainya yang diserang demikian ini
orang biasa saja, pasti sudah sejak tadi akan binasa setelah patah tulang
pinggangnya. Untunglah ia telah tergembleng berbagai pengalaman dan ilmu yang
tang-guh, maka terheran-heranlah Wangsa Ginuk karenanya. Dirasanya ia tengah memeluk sebuah tonggak baja
dan tak mungkinlah bila ia harus mematahkannya.
"Aduuuh, hyung! Aaach, tobat! Lepaskan!" teriakan
Wangsa Ginuk terdengar bila kedua telinganya tibatiba terasa dipuntir dan ditarik ke atas. Rasanya pedih dan panas, seperti akan
copot dari kepala.
"Akan kulepaskan bila kau lepaskan pula jepitan
tanganmu," seru Mahesa Wulung pula.
Dan sejurus kemudian, ketika tangan Wangsa Ginuk terlepas dari pinggangnya, Mahesa Wulung lalu
menotokkan kedua belah ujung jari-jari tangannya ke
pangkal leher Wangsa Ginuk, dan orang ini pun seketika jatuh terduduk di tanah tanpa daya. Dari mulutnya terdengar desisan bernada
jengkel. "Nah, sekarang aku yang menang, Kisanak. Dan
kau harus menepati janjimu!" seru Mahesa Wulung.
"Ya, ya. Baik. Kau menang, sobat. Dan aku akan
menepati setiap kata-kataku. Sekarang aku jadi pelayanmu dan akan selalu
mengikuti perintahmu!"
"Bagus! Itu namanya benggol ksatria!" ujar Mahesa
Wulung. "Sudahlah. Kau tak perlu betul-betul berlaku sebagai pelayanku. Kalau
kisanak suka, aku akan
mengajakmu serta mengangkatmu sebagai teman seperjalanan!"
"Ooh, teman seperjalanan" Aku tak mengerti maksudmu, sobat."
"Aku akan berlayar dengan kapalku. Dan jika tidak
keberatan, Kisanak kupersilakan menemani kami."
"Wah, itu aku senang. Bukankah aku telah berjanji
untuk menuruti permintaanmu" Hmm, lebih-lebih tentang berlayar. Jelek-jelek aku pun dulu bekas seorang nelayan, dan aku paham
bagaimana bertemu dengan
laut." Begitulah mereka bertiga akhirnya menjadi sahabat,
lalu Wangsa Ginuk mengambil tiga buah mangkuk
tembikar dengan selodong tuak. Ketiganya minum bersama sebagai tanda pengikat persahabatan.
Tak lama kemudian, sesudah membereskan tempat
itu serta mengubur ketiga mayat benggol teman si
Wangsa Ginuk, mereka pun bertolak dari tempat itu.
Ternyata di semak-semak di belakang warung yang baru saja dirobohkan tadi, Wangsa Ginuk serta ketiga
temannya semula menambatkan kuda-kudanya di situ, dan terpaksalah tiga ekor kuda lainnya mereka lepaskan di hutan.
Mahesa Wulung berkuda di depan dan Jagayuda
bersama Wangsa Ginuk di belakangnya. Ketiganya
berpacu terus ke utara melewati jalan yang diapit-apit oleh pohon-pohon munggur
dan pohon-pohon besar
lainnya. Jalan itu sebentar naik dan sebentar pula
menurun. "Bandar Jepara sudah dekat," ujar Wangsa Ginuk
kepada Jagayuda yang berkuda di sampingnya.
"Ya. Sesudah kita melewati hutan kecil di depan sana, kita akan sampai di bandar itu," sambung Jagayu-da seraya menebarkan
pandangan matanya ke depan.
Hutan kecil itu kian bertambah dekat dan Jagayuda
seolah-olah telah membayangkan akan kesibukan bandar Jepara, pusat pangkalan Armada Laut Kerajaan
Demak. Berbagai kapal-kapal besar dan kecil berlabuh di sana dan siap berlayar
ke mana saja, ke tempat-tempat kejahatan dan ketidak-adilan merajalela.
Langit di sebelah timur mulai menggelap, mengiringi matahari yang pelan dan
malas merambat ke arah barat. Ketika ketiga orang itu selesai melewati hutan
kecil tadi, mendadak dikejutkan oleh cahaya biru yang meluncur ke langit dengan
terangnya. Meskipun jaraknya jauh, kira-kira di sebelah utara sana, tapi warna
biru itu sungguh-sungguh menakjubkan!
Mahesa Wulung mendadak teringat bahwa cahaya
itu pun pernah dilihatnya ketika ia masih berada di Desa Mijen. Begitu pula ia
lalu teringat akan ceritera tentang Kapal Hantu. Benarkah ada hubungan antara
cahaya biru tadi dengan kapal tersebut" Begitulah Mahesa Wulung bertanya-tanya
di dalam hatinya sendiri.
Kini ketiganya telah mulai menginjak daerah Jepara
dan mereka dapat menyaksikan lampu-lampu bandar
pelabuhan yang dipasang pada tonggak-tonggak bambu. Demikian pula lampu-lampu kapal yang berkelip
dan bergoyang-goyang dengan indahnya. Maka sampailah mereka setelah melalui gerbang bandar pelabuhan yang dijaga oleh
pengawal-pengawal yang bersenjata tombak. "Berhenti! Siapa kalian! Turun!" teriak seorang prajurit kawal yang bertubuh
tinggi dengan kakinya yang panjang.
Prajurit tadi disertai kawan kawannya sangat terkejut melihat kedatangan ketiga orang berkuda ini. Apalagi wajah-wajah para
penunggang kuda tadi tidak se-penuhnya terkena oleh cahaya lampu dan obor yang
dipasang di gerbang itu. Wajah mereka cuma samarsamar kegelapan, dan inilah yang membuat para prajurit kawal tadi memerintahkan turun kepada mereka.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya,
Mahesa Wulung, Jagayuda dan Wangsa Ginuk berloncatan turun dari punggung kuda. Mahesa Wulung maju ke depan mendekati prajurit kawal yang bertubuh
tinggi tadi, lalu menarik kalungnya serta menunjukkan hiasan kalung yang
berbentuk lingkaran cakra bergigi empat.
"Aah, maaf Tuan. Maaf kami telah membentakbentak Tuan...," ujar prajurit kawal tadi dengan kaget bercampur rasa takut,
sebab betapa malunya ia, sebagai seorang prajurit telah berani membentak seorang
Perwira Laut Kerajaan Demak.
"Tak apalah. Bahkan aku merasa senang, karena
itu menunjukkan ketelitianmu dalam bertugas," ujar
Mahesa Wulung kepada prajurit kawal yang bertubuh
tinggi tadi, dan kawan-kawannya pun ikut mengangguk-anggukkan kepala.
Seorang prajurit lain membawa sebatang obor untuk menerangi tempat itu, dan tiba-tiba saja Mahesa Wulung berseru serta menepuk
pundak si prajurit
kawal yang bertubuh tinggi tadi.
"Heei, bukankah engkau Adi Egrang?"
"Ya, Allah. Jadi Tuan Mahesa Wulungkah ini?" seru
Egrang pula dengan takjub. "Oh, saya merasa bersyukur dapat bertemu dengan Tuan kembali."
Egrang dapat melihat wajah itu dan benarlah bahwa
orang yang kini berdiri di hadapannya itu adalah Mahesa Wulung atau yang dikenal
pula dengan nama Barong Makara. Sesaat, Egrang terkenang akan pengalamannya di
masa lalu, ketika ia bersama-sama Barong Makara dan armada Demak berjuang
menumpas gerombolan bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa. Yah, kenangan
tadi terbayang di ruang matanya, meskipun cuma sesaat saja. Akhirnya, Mahesa Wulung, Jagayuda dan Wangsa
Ginuk diantarkan oleh Egrang menuju ke rumah pendapa yang berhalaman luas, tempat para perwira laut tinggal.
Dalam pada itu, langit di sebelah timur semakin gelap, pertanda sang malam segera merajai daerah ini.
Bunyi hembusan angin yang lembut seakan-akan
mengajak para makhluk untuk tidur, melepaskan lelahnya. *** 4 TELAH DUA HARI Mahesa Wulung tinggal di bandar
Jepara. Sementara itu sebuah kapal jung tengah diper-siapkan untuk bertugas
Mahesa Wulung dalam menyelidiki Kapal Hantu dan menangkapnya.
Serasa kembali ke masa-masa yang lampau sore
itu, tampaklah Mahesa Wulung berdiri termenung di
tepi bandar. Dihirupnya udara pantai dalam-dalam
dan pandangannya ditebarkan ke tengah laut yang
tampak meluas bagai tak bertepi. Jiwa pelautnya seakan bergolak, apabila
telinganya menangkap deru angin dan ombak yang gemercik memecah di pantai.
Kapal-kapal dan perahu-perahu yang berlabuh goyanggoyang di air menambah semarak keindahan bandar
Jepara. Namun tiba-tiba Mahesa Wulung mengerutkan dahinya, bila di antara sela deru angin dan deburan ombak, didengarnya bunyi
langkah-langkah ringan hampir tak bersuara.
"Mmm, agaknya langkah-langkah dari seorang yang
berilmu tinggi. Siapakah dia?" pikir Mahesa Wulung seraya menyelinap di balik
tonggak-tonggak kayu di
tepi bandar. Dengan pelan-pelan ia mengintipkan matanya ke
arah selatan dan tampaklah sesosok tubuh manusia
yang berloncatan dengan lincahnya, mirip sebuah
bayangan di kegelapan senja. Bayangan tadi berhenti sejenak serta menoleh ke
kiri-kanan seperti hendak
mencari sesuatu dan kemudian memandang tajam ke
arah Mahesa Wulung bersembunyi. Melihat hal ini terpaksa Mahesa Wulung berdebardebar hatinya, apalagi ketika bayangan tersebut berjalan ke arahnya.
"Sangat mencurigakan!" desis Mahesa Wulung.
"Baiknya aku tangkap segera orang ini."
Si bayangan semakin dekat dan Mahesa Wulung telah bersiaga. Maka ketika bayangan tadi lewat, mendadak dirinya tahu-tahu telah disergap oleh Mahesa
Wulung sambil berseru.
"Orang asing! Jangan melawan!"


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendapat sergapan tiba-tiba itu, tentu saja ia sangat terkejut dan berusaha melawan Mahesa Wulung.
Namun semakin ia bergerak melawan, dirasanya kedua
tangan Mahesa Wulung yang melingkari tubuhnya semakin bertambah ketat menghimpitnya.
"Lepaskan aku!" seru si bayangan.
"Hee, kau bandel ya! Tapi jangan harap bisa lepas
dari tangan Mahesa Wulung" berseru Mahesa Wulung.
Ketika si bayangan mendengar kata Mahesa Wulung
tadi, sekilas ia melirik ke arah wajah si pendekar muda ini, dan tiba-tiba saja
ia pun berkata. "Baik, aku menyerah. Aku tak akan melawanmu!"
Dalam pada itu, Mahesa Wulung merasakan satu
keganjilan, sebab hidungnya yang tajam tiba-tiba menangkap bau wangi dari orang
yang disergapnya. Karuan saja bulu tengkuknya meremang disertai rasa
berdebar-debar.
"Eeh, jangan-jangan yang aku tangkap ini tidak lain adalah hantu," demikian
Mahesa Wulung berkata dalam hati. "Tapi tidak mungkin! Aku lihat sendiri orang
ini berjalan dengan menginjakkan kakinya di tanah.
Sedangkan orang pernah berkata, bahwa hantu berjalan dengan mengambang di udara, tanpa menapakkan
kakinya." Mahesa Wulung tidak cuma kaget oleh bau wangi
Kemelut Di Majapahit 20 Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Perawan Lembah Wilis 3

Cari Blog Ini