Ceritasilat Novel Online

Kutukan Patung Intan 1

Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Bagian 1


1 SI TUA TAWAU, Mahesa Wulung dan rombongannya
kini seolah-olah terkurung oleh tanaman pemakan
daging yang berbelalai, bergerayangan siap mencaplok korbannya.
Suasana yang mengerikan tersebut kini tambah
menyeramkan lagi berbareng turunnya sang senja. Dalam cahaya kemerahan lembayung
itu tampaklah bahwa daun-daun berbelalai tadi, tak ubahnya jari-jari dari tangan setan yang
haus akan mangsa.
Ternyata setelah tumbuh-tumbuhan tadi memakan
tiga orang korbannya, menyebabkan rombongan tersebut menjadi kacau dan panik. Apalagi dengan Pandan Arum dan Sandai. Baru kali
inilah keduanya mengalami peristiwa yang mengerikan. Kalau seandainya mere-ka
melihat seseorang mati akibat suatu pertempuran dengan darah yang bersemburan
ataupun dengan luka
tubuh yang menganga, kiranya mereka tidak akan begitu ngeri melihatnya.
Tetapi kali ini yang mereka lihat, justru sangat di luar dugaan. Yah, sebuah
tumbuh-tumbuhan yang biasanya tampak lemah dan tak berdaya, lebih-lebih
dengan bunganya yang indah mempesona hati, kali ini telah memakan manusia!
Mereka telah menyedot dan
menghisap darah dan daging para korbannya tanpa
belas kasihan, kecuali yang tertinggal hanya tubuh-tubuh kering kerontang, tak
ubahnya tulang kerangka berselaput kulit.
Sesungguhnyalah seluruh rombongan manusia ini
merasa ngeri. Seperti halnya Mahesa Wulung sendiri yang biasanya sering
mengalami peristiwa-peristiwa pertempuran ataupun yang aneh-aneh, namun toh
pendekar gemblengan ini terpaksa bergetar pula hatinya. Kini terasalah oleh mereka, betapa kedahsyatan dari kekuatan alam yang terbentang di hadapan mereka ini. Memang dalam alam yang
kebanyakan masih ter-sembunyi dan terpencil akan sering didapati hal-hal yang
aneh dan menakjubkan.
Tetapi justru hal ini pulalah yang menggugah semangat dan tekad bagi Mahesa Wulung untuk mengenal dan mengatasi kedahsyatan alam rimba Borneo.
"Aaaaaa...!"
Sebuah teriakan ngeri telah terlontar dari mulut seorang anak buah Tawau. Orang
tersebut menggelepargelepar di tanah dengan kedua belah tangannya berpegang erat-erat pada rumpunrumpun rerumputan. Tetapi setiap kali rumput-rumput tadi terbetot lepas bersama akarnya dari
permukaan tanah apabila tubuh
orang itu terseret ke belakang dengan cepat.
Mahesa Wulung bermaksud menolong orang ini, tapi sayang keadaannya tidak memungkinkan. Bukankah ia sendiri tengah melindungi Pandan Arum yang
kini mendekap erat pada lengannya, sedang orang tersebut lebih cepat terseret
oleh daun-daun belalai yang telah membelit kedua belah kakinya dengan keras.
"Eaaach...."
Orang tersebut menjerit lebih keras, tapi juga merupakan jerit yang terakhir,
sebab tubuhnya telah terkurung oleh daun-daun belalai tadi dalam waktu yang
sekejap saja. Meskipun ia meronta-ronta sekuatnya, tapi itu sudah tak ada
gunanya lagi. Duri-duri daun belalai tadi kemudian membenam lebih dalam ke dalam
daging korbannya dan selanjutnya terjadilah perubahan-perubahan yang cukup
mengerikan. Kulit tubuh orang tadi kemudian memucat dan semakin pucat, kemudian mengempis dan mengering.
Bila sudah begitu, maka daun-daun belalai tadi
memperlonggar jepitannya dan selanjutnya terkulailah tubuh kering layu tersebut,
terjelapak ke atas tanah tak bernyawa lagi.
"Tenang, Saudara-saudara! Tenang! Kepanikan akan berarti menambah korban bagi kita sekalian!" Begitulah Mahesa Wulung
berteriak nyaring menyadarkan orang-orang yang tengah kebingungan dan ngeri
hatinya. Teriak peringatan dari Mahesa Wulung tadi berhasil sebagian, tetapi masih lebih
banyak yang belum sadar akan manfaat dan arti seruan itu. Hingga korban pun
masih bertambah juga.
Begitulah, seorang yang menjadi kalap melihat tumbuh-tumbuhan maut tadi, seketika melolos mandaunya serta membabat daun-daun belalai yang tengah
bergoyang-goyang. Akan tetapi daun-daun tadi seperti bermata tampaknya, sebab
begitu tebasan-tebasan
melanda dirinya, ia serentak meliuk-liuk lincah meng-hindari setiap tebasan
senjata tersebut.
Karuan saja si penyerang tersebut terperanjat dan
takjub melihat serangannya kandas dan cuma menebas angin kosong. Dan lebih kaget lagi bila tahu-tahu beberapa buah daun belalai
tadi telah menyambar tangan dan kakinya serta menggeretnya sekali ke arah
pertengahan tetumbuhan tersebut.
Orang ini rupanya tak mau mati dengan cumacuma, maka sekali lagi ia menebaskan pedang mandaunya ke sebuah daun yang tengah membelit tangannya. Terdengarlah suara benda tertebas dan daun tadi terpapas separuh lebih
disertai cairan semacam getah berwarna merah tua menyembur dengan derasnya.
Dengan terluka demikian ini, tumbuhan bunga pemakan daging tadi segera menjadi lebih beringas dan garang. Maka daun-daun
belalai lainnya secepat kilat menyambar tubuh orang tadi sampai tak berdaya sama sekali dan akhirnya ia pun terkurung oleh daundaun belalai tersebut. Maka bertambahlah korban seorang lagi.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung yang tengah melindungi keselamatan Pandan Arum telah menjadi terkejut sebab kekasihnya ini tiba-tiba saja menjerit keras.
"Kakang Wulung! Awas di sebelah kanan!"
Begitu diteriakkan oleh kekasihnya, Mahesa Wulung cepat-cepat bertindak. Sambil berpaling ke kanan ia menebaskan pedangnya
secepat kilat. Ternyata tebasan pedangnya itu adalah tepat waktunya, karena sebuah daun belalai telah siap menerkam leher Mahesa Wulung dari
samping. Craas! Daun belalai tersebut terpapas lepas diiringi oleh cairan getah merah yang
menyemprot keluar.
Daun-daun yang lain segera beraksi menyambar ke
arah Mahesa Wulung. Mereka seolah-olah merasa bahwa sebuah di antara anggota daunnya telah terpotong oleh pedang pendekar muda
ini, sehingga keseluruh
daun tadi secepat kilat menyebar ke arah yang sama.
Namun sekali ini mereka akan kecewa seandainya
bisa berkata, sebab sebelum daun-daun itu sempat
menyinggung tubuh Mahesa Wulung, telah terpenggal
lebih dulu oleh pedang Mahesa Wulung yang berputar secepat baling-baling.
Dalam sekejap saja berjatuhanlah potongan-potongan daun-daun belalai ke atas tanah, tersapu seluruhnya oleh sambaran ujung
pedang Mahesa Wulung.
Kini yang tinggal adalah pangkal-pangkal daun belaka
yang sudah tidak berdaya sama sekali. Pohon pemakan daging itu sekarang telah gundul, kecuali bunga merah yang masih mekar
dengan megahnya di tengah
pangkal-pangkal daun tersebut.
Bermula Mahesa Wulung sudah merasa lega karena
dapat melumpuhkan tumbuhan yang mengerikan ini.
Tetapi kemudian ia menjadi heran pula sebab sisa
pangkal-pangkal daun itu masih dapat bergerak.
Sesaat Mahesa Wulung memaklumi kenyataan bahwa di daerah yang bertanah tinggi serta jarang tersen-tuh oleh sinar matahari
akan memungkinkan terdapatnya tumbuh-tumbuhan pemakan daging, seperti
tumbuhan 'Kantong Semar' yang pernah dilihatnya di lereng Gunung Merapi di tanah
Jawa. Tumbuhan ini
pun dapat menjebak serangga-serangga, seperti lalat, semut, ulat dan sebagainya.
Jika serangga tadi tergelincir dan jatuh ke dalam daun kantung yang berwarna
hijau, maka segera tubuhnya akan menjadi santapan-nya. Dengan demikian maka
tumbuh-tumbuhan tadi
dapat menghisap zat asam yang terdapat di dalam tubuh korbannya.
Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak menjadi
heran bila bunga berdaun belalai yang sedahsyat itu telah tumbuh di hutan ini.
Hanya saja Mahesa Wulung masih belum tahu, mengapa sisa-sisa pangkal daun
tersebut masih mampu bergerak-gerak.
Mendadak saja Mahesa Wulung tertarik oleh bunga
yang masih terdapat di tengah sisa-sisa pangkal daun belalai itu.
"Ah, mungkinkah sumber kekuatan tumbuhan ini
terletak pada bunganya?" demikian Mahesa Wulung
berpikir sendiri. "Aku harus mencobanya dengan segera!" Secepat Mahesa Wulung selesai berpikir, secepat itu
pula ia menghunjamkan ujung pedangnya ke arah
bunga tersebut, dan akibatnya cukup mengagetkan.
Sisa-sisa pangkal daun dan bunga tadi bergetar sesaat untuk kemudian diam tak
bergerak sama sekali.
Kini tahulah Mahesa Wulung akan titik kelemahan
tumbuhan pemakan daging itu. Tetapi sebelum orang
dapat menikam bunga tersebut, kiranya terlalu sulitlah untuk memenggal daun-daun
belalainya. Dan hal inilah yang tak mungkin dikerjakan oleh orang-orang
tersebut, lebih-lebih karena mereka telah dicekam oleh rasa takut dan panik!
Di sebelah lain, Daeng Matoa cepat menebaskan
pedang pendeknya ke sebuah daun belalai yang mencoba membelit tubuh Sandai. Untunglah ia keburu cepat bertindak, sebab serangan
ini datangnya dari belakang tubuh si gadis dari Lembah Sampit ini.
"Saudara Daeng, tikam bunganya itu!" teriak Mahesa Wulung dari sebelah barat.
"Ya!" seru Daeng Matoa pendek sedang pedang pendeknya segera berkelebat menyambar daun-daun tadi.
Bagai sambaran sebuah petir, cepat dan ganas, maka tak perlu heran bila sebentar
kemudian beberapa daun telah berontokkan jatuh ke tanah.
Melihat daun-daun tadi terpapas dan mengeluarkan
getah berwarna merah seperti darah, Sandai menjadi memekik-mekik saking
ngerinya. Daeng Matoa tak memberi kelonggaran waktu bagi
pedangnya untuk berhenti mencercah daun-daun tersebut dan akhirnya ujung pedangnya telah ditikamkan kepada bunga yang berwarna
merah. Dua tumbuhan pemakan daging telah binasa, tetapi
di sebelah utara, terdengar pula sebuah jeritan nyaring dari mulut seorang
anggota rombongan yang telah di-lahap oleh tumbuhan maut tadi. Korbanpun makin
bertambah pula jumlahnya, menyebabkan si tua Tawau bertambah cemas hatinya.
Dalam pada itu Mahesa Wulung pun merasa cemas.
Ia tak tega hatinya melihat korban-korban dari rombongan ini yang telah dihisap
tubuhnya oleh tumbuhan berdaun belalai tersebut. Kalau ia sanggup menghancurkan sebuah tumbuhan ini
dengan pedangnya
seperti halnya Daeng Matoa, seharusnyalah mereka
akan sanggup pula membinasakan tumbuh-tumbuhan
yang lainnya. Tetapi Mahesa Wulung merasa bahwa
hal itu terlalu memakan waktu yang banyak.
Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali ia menya-rungkan kembali pedangnya dan
setelah itu ia melolos cambuk pusaka Naga Geni!
Pandan Arum merasa bersyukur pula bahwa kekasihnya telah mempergunakan senjata ampuhnya. Apa
yang ia lihat selanjutnya sungguh menakjubkan.
Bagaikan anak kijang yang binal, Mahesa Wulung
meloncat ke sebelah utara dimana si tua Tawau tengah mati-matian melawan
renggutan-renggutan daun belalai yang mengancam dirinya.
Orang tua ini terkejut melihat bayangan melesat ke arahnya, apalagi sesaat
kemudian terdengar sebuah lecutan cambuk meledak di dekatnya.
Daaarrrr! Tawau melongo penuh kagum melihat tumbuhan
berdaun belalai yang menjadi lawannya, tahu-tahu
terkulai hangus kehitaman seperti arang dengan asap mengepul ke atas, seperti
habis dibakar oleh kobaran api. Sedang di sampingnya telah berdiri Mahesa Wulung
dengan menggenggam cambuk Naga Geni yang
menyala biru kehijauan dalam cahaya keremangan
ujung malam. "Tuan Mahesa Wulung!" desis si tua Tawau. "Tuan
mempunyai senjata yang hebat. Pantaslah tumbuhan
maut itu telah hangus binasa!"
"Oh, aku terpaksa menggunakan cambuk jelek ini,
Bapak. Mudah-mudahan kita selamat dari bahaya
yang seram ini," ujar Mahesa Wulung. "Bersiap-siaplah Bapak membawa orang-orang
ke sebelah barat. Aku
akan membuka jalan dan menghancurkan pohonpohon itu!"
Si tua Tawau segera mengerjakan apa yang telah
dikatakan oleh Mahesa Wulung. Dengan lincahnya
orang tua ini menghampiri setiap orang serta memberi tahu agar mereka bergerak
ke barat, sementara Mahesa Wulung berloncatan kesana-kemari sambil terus
memutar cambuknya laksana baling-baling maut dan
setiap kali menghajar hancur tumbuh-tumbuhan pemakan daging sampai hangus binasa.
Orang-orang terpaksa tercengang keheranan melihat sepak terjang Mahesa Wulung yang begitu lincah dan cekatan dalam menggunakan
senjatanya. Begitu
pula dengan pendekar Seguntur yang sejak semula
menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, terpaksa
memikirkan kembali maksudnya untuk menantang
adu tenaga dengan pendekar dari seberang itu.
Seguntur yang menatap cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung dengan nyala biru kehijauan
menjadi tergetar hatinya. Selama hidupnya baru kali inilah ia melihat sebuah
senjata ampuh yang sanggup menghanguskan sasarannya.
"Hmmm, memang hebat senjata cambuknya itu,"
pikir Seguntur dalam hati. "Tapi tanpa senjatanya belum tentu ia tahan
menghadapi Seguntur dari Lembah Sampit ini!"
Sementara itu si tua Tawau telah berhasil mengatasi kepanikan orang-orangnya. Mereka segera mengikuti
jalan yang telah diamankan oleh Mahesa Wulung dari ancaman pohon-pohon maut
pemakan daging.
*** SELANGKAH demi selangkah mereka melewati daerah maut tadi. Dan sepanjang perjalanan tampaklah
oleh mereka, bangkai-bangkai pohon maut berdaun
belalai yang berserakan di sana-sini dalam keadaan hangus tak berkutik sama
sekali. Biarpun begitu, di sebelah-sebelah yang lain, beberapa pohon maut ini
masih tinggal hidup karena Mahesa Wulung hanya
membinasakan pohon yang merintangi jalannya saja.
Sedang selebihnya ia tak memikirkan lagi, sebab saat ini yang paling penting
adalah menyelamatkan rombongan orang-orang ini keluar dari daerah maut.


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya berhasillah mereka menjauhi tempat itu
dengan dada yang masih berdebar-debar. Pengalaman
yang baru saja mereka temui tadi adalah pengalaman yang sangat mengerikan dalam
perjalanan hidupnya.
Yah, bahkan merupakan terhebat dari segalanya.
Tiba-tiba sebelum mereka terlalu jauh meninggalkan tempat tersebut, terjadilah sesuatu yang mengejutkan seluruh rombongan itu.
Tidak hanya para anak buah si tua Tawau dan Mahesa Wulung saja, akan tetapi
mereka yang memimpin rombongan itu pun jadi
terkejut karenanya.
Sebuah bayangan melesat dengan cepatnya disertai
teriakan yang amat dahsyat menggetarkan udara malam. Dari cahaya obor-obor yang telah dipasang oleh orang-orang dalam rombongan
itu ataupun dari sinar rembulan yang menerobos celah-celah dedaunan, tampaklah
bahwa bayangan tadi adalah sesosok tubuh
manusia yang meluncur dan langsung menyerang Mahesa Wulung. Tak terkira betapa kagetnya Mahesa Wulung mendapat serangan yang sangat mendadak itu. Untunglah dalam saat yang sekejap itu,
ia masih sempat berkelit meskipun sebuah sambaran sisi telapak tangan si
penyerang sempat menyerempet pundaknya.
Tak ampun lagi tubuh Mahesa Wulung terpelanting
membentur batang pohon di sebelahnya. Nafas pendekar ini terengah-engah serta peringisan menahan ra-sa sakit yang menusuk-nusuk
pada pundaknya akibat
gempuran dari tangan si penyerang.
Kejadian yang hanya sekilas itu sangat memukau
dan begitu cepatnya, sehingga orang-orang lainnya tertegun bagaikan tengah
melihat sebuah khayalan mimpi yang mengerikan.
"Hua, ha, ha. Kalian tak akan bisa lolos dari tempat ini hidup-hidup. Akulah
Longiram! Penguasa taman
bunga maut itu! Ha, ha, ha, haaaa!" teriak si penyerang yang kini berdiri dan
hinggap di atas ujung dahan pohon, membuat orang-orang terhenyak kaget.
"Huh! Longiram"!" desis Tawau. "Tak kukira bahwa
di tempat ini masih ada lagi pendekar yang sehebat itu!"
Belum lagi mereka sempat mengejapkan matanya,
si penyerang kembali menyambar ke arah Mahesa Wulung. "Hiaaaat!"
Dan untuk kedua kalinya serangan ini belum mengenai sasarannya, sebab sambaran tangan Longiram
tertangkis oleh kibasan jari-jari Mahesa Wulung.
Bruuk! Benturan antara kedua tenaga pukulan tangan pendekar itu terjadi dan untuk yang kedua kalinya, Mahesa Wulung terpental jatuh ke
tanah bergulingan, sedang Longiram cuma tergeser beberapa telapak kaki ke
belakang. Sambil bergulingan itu Mahesa Wulung mendesis
kesakitan dan masih merasakan akibat gempuran tangan Longiram pada pundaknya.
"Hua, ha, ha, ha. Rasakanlah hukuman atas kelancanganmu, mengobrak-abrik taman bunga mautku!"
seru Longiram seraya melesat ke samping, ketika tiga orang anggota rombongan
menerjang ke arahnya dengan tebasan mandau dan tombak.
"Heei, tikus-tikus ini ingin turut bermain-main"!
Bagus, terimalah ini! Haaaa!"
Longiram menerjang pesat, menyongsong ketiga penyerangnya dengan gerakan yang cepat dan apa yang
terlihat kemudian sangat menakjubkan. Tiga kali tangan kiri Longiram membuat
lingkaran seraya bergerak menyelusup di antara tubuh-tubuh penyerangnya, dan saat itu pula ketiga
senjata di tangan mereka terpukul lepas oleh benturan sisi telapak tangan
Longiram. Mahesa Wulung yang telah bangun kembali terpaksa kagum pula oleh kejadian itu, lebih-lebih ketika sekali lagi Longiram
menggerakkan tangan kanannya ke arah tubuh ketiga lawannya.
Tiga kali gempuran sisi telapak tangan Longiram
dengan keras melanggar dada ketiga lawannya dan seketika itu pula mereka
menjerit keras serta terpental rebah ke tanah dengan darah merah kehitaman termuntah dari mulutnya.
"Ha, ha, ha, mampus kamu, tikus-tikus!"
Longiram berseru sambil melesat ke atas dan kembali hinggap berdiri di atas ujung dahan pohon, dengan gaya yang ringan bagai
seekor belalang saja. Sementara itu Mahesa Wulung terbeliak melihat ketiga
anggota rombongannya telah terkapar di tanah tak
bernyawa. "Setan! Jangan kira aku tak mampu berbuat macam itu! Tunggulah kedatanganku! Haaaait!" ujar Mahesa Wulung sambil mengerahkan
ilmu meringankan
tubuh serta jurus-jurus ajaran pendekar Bontang.
Maka begitu menggenjotkan kakinya ke tanah, tubuh Mahesa Wulung melenting ke udara menyusul
Longiram yang kini bertengger di dahan pohon.
Sejurus kemudian berlangsunglah perang tanding
di atas dahan-dahan pohon dengan hebatnya, sedang
orang-orang lainnya yang berada di bawah, menyaksikan dengan mulut ternganga.
Mereka kembali disuguhi pemandangan yang menakjubkan mata seakan-akan
sebuah impian khayal saja.
Sekali ini Mahesa Wulung tidak mau bertangan kosong dalam menghadapi Longiram, sebab ia sudah merasakan betapa sakit pundaknya oleh hajaran tangan Longiram.
Kedua orang ini bersambaran dan terjang-menerjang sangat hebat. Pedang Mahesa Wulung yang berputar dan berkelebat dalam jurus-jurus Sigar Maruta atau Membelah Angin dari
ajaran pendekar Ki Camar
Seta. Sedikit demi sedikit, Longiram yang bertangan kosong itupun terdesak oleh serangan-serangan pedang Mahesa Wulung. Pendekar ini
terpaksa mengumpat-umpat apabila pedang lawannya terasa makin santer
mengurung dirinya, bahkan ujung pedang itu seolaholah mempunyai mata dan selalu memburunya kemanapun ia bergerak!
Kini sadarlah Longiram bahwa orang muda yang
menjadi lawannya ini bukan orang sembarangan. Kalau ia tadi dalam dua gebrakan telah berhasil membinasakan tiga orang yang
mengeroyoknya, kini ia telah
menghabiskan sembilan belas jurus dan ia belum berhasil merobohkan lawannya.
"Keparat! Ilmu pedangmu cukup hebat! Tapi kau
belum mengenal tongkat rotanku ini, ya! Sambutlah
ini!" berteriak Longiram berbareng ia mencabut sebilah tongkat rotan mengkilap
yang terselip pada ikat pinggang kirinya.
Begitu meloncat, begitu pula ia menyabetkan tongkat rotannya ke arah leher Mahesa Wulung. Tetapi
pendekar muda ini berhasil menangkis serangan maut tersebut dengan pedangnya.
Traaang! Pertempuran menjadi semakin seru tampaknya, setelah masing-masing memegang senjata di tanganya.
Keduanya bertempur hebat, kadang-kadang meloncat
ke sana ke mari dari dahan pohon yang satu ke dahan lainnya dan ada kalanya
mereka meloncat ke atas
puncak-puncak pepohonan bagaikan dua ekor burung
elang yang tengah berlaga.
Sinar bulan purnama yang terang benderang menyebabkan masing-masing dapat melihat kedudukan
lawannya dengan jelas. Mahesa Wulung makin berhati-hati dalam menghadapi setiap
serangan Longiram yang datangnya bagai ombak badai tak berkeputusan. Sambaransambaran serta tusukan tongkat rotan di tangan Longiram selalu mengancam dan
memburu ke arah
bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung yang lemah,
mengakibatkan pendekar muda ini agak kerepotan
menangkisnya. Biarpun begitu Mahesa Wulung merasa kagum pula
melihat kegesitan lawannya itu. Selama tinggal di hutan Borneo ini, ia telah
mengenal dua orang pendekar berilmu tinggi yakni si liar Bengara dan pendekar
Bontang. Namun hari ini ia telah bertempur dengan seorang pendekar lain yang tak kalah hebatnya dengan
mereka. Orang-orang yang kini menjadi lawannya sesungguhnya berilmu tinggi dengan senjata tongkat rotannya yang mampu memukul hancur
dahan-dahan pohon
yang cukup besar. Tetapi hal utama yang membikin
Mahesa Wulung tak habis mengerti adalah pengakuan
Longiram yang mengatakan bahwa taman pohon-pohon maut tadi adalah miliknya.
Merasa bahwa lawannya yang masih muda ini sanggup mengandaskan serangan-serangannya, Longiram
menjadi semakin menyala matanya. Kemarahannya telah menyebabkan darahnya kian menggelegak sampai
ke kepala, seolah-olah akan meledak rasanya.
Rupanya pendekar rimba yang menyebut namanya
Longiram itu telah mengerahkan segenap tenaga dan
ilmunya, sebab kini Mahesa Wulung melihat bahwa lawannya itu semakin dahsyat
tandangnya. Maka bertambah pula dahsyatnya mereka bertempur. Sedang
batang-batang pohon yang berderak dan berserakan
patah akibat gempuran senjata mereka, sudah tak terhitung lagi banyaknya.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu terpaksa menahan nafas, apalagi dengan Pandan Arum. Gadis ini merasa kecemasan melihat tandang dan gerak Longiram yang dahsyat dan
makin mendesak kedudukan Mahesa Wulung, kekasihnya.
Pada suatu kesempatan, tongkat rotan Longiram
menebas ke kanan ke arah kepala Mahesa Wulung.
Namun Mahesa Wulung masih bertindak cepat dalam
saat yang segenting itu. Ia mengendapkan tubuhnya ke bawah hingga tongkat rotan
lawannya cuma menyambar dalam jarak yang hanya satu jengkal saja dari kepalanya.
Sekonyong-konyong dalam saat yang sama tangan
kiri Longiram telah menyambar punggung Mahesa Wulung, dan tergebloklah akhirnya punggung pendekar
muda itu oleh telapak tangan Longiram.
Blaag! Pandangan mata Mahesa Wulung sesaat berkunang-kunang begitu geblokan telapak tangan tadi
membentur punggungnya bagai sambaran ujung halilintar. Masih untunglah bagi dirinya karena ia masih sempat mengetrapkan sikap
Tugu Wasesa yang sanggup membentengi tubuhnya dari segenap benturan dari luar. Namun sikap tadi ternyata kurang sempurna, dibentuk secara tiba-tiba,
sehingga pertahanan tadi tertembus pula oleh tenaga pukulan tangan kiri
Longiram. Dalam keadaan yang setengah sadar dengan punggung yang sakit bagai terbakar oleh bara api, Mahesa Wulung lalu kehilangan
keseimbangan. Tubuhnya o-leng dan jatuh melayang ke bawah.
Melihat ini, semua orang memejamkan mata, sedang Pandan Arum terpekik ketakutan. Daeng Matoa
cepat-cepat berlari ke arah tubuh Mahesa Wulung
bakal jatuh dari atas pohon. Ia bertindak dengan nekad untuk mencoba menerima
jatuhnya tubuh Mahesa
Wulung agar tidak membentur ke tanah.
Sementara itu dari atas pohon terdengarlah derai
ketawa yang menggetarkan udara malam. Longiram
merasa senang melihat lawannya terpukul roboh.
Akan tetapi, secara tiba-tiba sebuah bayangan dari arah timur telah lebih dulu
menyambar tubuh Mahesa Wulung, sebelum ia benar-benar jatuh membentur tanah.
"Hiaaat!"
Bayangan tadi dengan cekatan membawa tubuh
Mahesa Wulung melesat turun ke atas tanah dan
orang-orang segera menyambutnya. Pandan Arum berjongkok di samping tubuh Mahesa Wulung yang telah
berbaring di tanah dan di sebelahnya tampaklah si tua Tawau tengah memijit-mijit
pundak Mahesa Wulung
dengan seksama.
"Tak perlu kuatir, Nona. Tuan Mahesa Wulung cuma pingsan saja dan sebentar lagi akan sembuh," ujar orang tua itu kepada Pandan
Arum yang menampakkan wajah cemas.
"Apakah ia tidak menderita luka dalam, Bapak Tawau?" bertanya Pandan Arum.
"Menilik pukulan yang dahsyat dari orang tersebut, seharusnya ia terluka dalam.
Tapi anehnya, Tuan Mahesa Wulung tidak menderita apa-apa. Agaknya ia
mempunyai kekebalan diri!"
Dalam pada itu, bayangan yang semula menolong
Mahesa Wulung telah melesat ke atas, menerjang ke
arah Longiram berdiri di atas dahan pohon.
"Akulah yang menjadi lawanmu, keparat!" teriak bayangan tadi yang langsung menerjang Longiram dengan sambaran kapak besar di tangannya.
"Heh, heh, heh. Siapa kau turut campur dengan
urusanku, hah"! Apa perlunya kau tolong anak muda
itu" Sudah sepantasnya ia hancur terlanggar oleh batang-batang pohon di bawah
sana!" "Ngocehlah sepuasmu, setan! Anak muda tadi adalah muridku!" seru bayangan tadi dengan lantangnya.
"Dan akulah si tua Bontang, dedengkotnya rimba sebelah timur!"
"Uuh! Jadi kamulah yang bernama Bontang?"
"Benar! Kau mulai takut rupanya!"
"Takut" Kau bilang aku takut kepada orang yang
bernama Bontang macam tampangmu itu?" ujar Longiram dengan sombongnya. "Ketahuilah, kemunculanmu
justru membuat senang hatiku! Sudah lama aku ingin mengukur tenaga dengan orang
yang bernama Bontang!"
"Bagus! Kini kau telah berhadapan dengan orangnya," sahut Bontang. "Dan kau akan tahu sampai dimana keuletan kulitmu!"
"Hua, hua, ha, ha. Ucapanmu menusuk telinga, keparat! Tapi Longiram tidak akan takut karenanya!"
Habis berkata begitu, Longiram segera membuka serangannya dengan sebuah sabetan tongkat rotannya
ke arah kepala Bontang.
Walaupun serangan ini datang secara mendadak,
tapi si tua Bontang tak kebingungan. Ia memutar kapak hitamnya sejajar kepala
dan tertangkislah tongkat rotan Longiram yang tengah menyambar dengan derasnya.
Praaak! Terjadilah suatu benturan hebat. Longiram yang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya tak menduga
bahwa Bontang pun juga telah menghimpun sebagian
besar tenaganya. Maka akibatnya cukup menggetarkan. Bontang terpental surut beberapa langkah, namun dengan lincahnya pula ia cepat berdiri dan hinggap di atas dahan. Sedang
Longiram pun terlempar pu-la ke belakang beberapa langkah dengan derasnya.
Ternyata Longiram cukup tangkas. Dengan beberapa lompatan jungkir balik di udara, hilanglah tenaga dorong tadi dan kemudian


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan enaknya ia mendarat di atas puncak pohon dengan tertawa memuakkan.
Mengalami hal itu, terpaksalah Bontang menyadari
bahwa Longiram pun berilmu tinggi pula. Maka tak heranlah bila Mahesa Wulung,
muridnya itu, kena tergablok oleh tangan Longiram.
Sebaliknya Longiram pun terkejut sendiri mengalami benturan yang sedemikian serunya. Ia harus berhati-hati menghadapi
lawannya. Kalau saja muridnya yang bernama Mahesa Wulung itu mampu menghadapinya dalam waktu yang cukup lama, maka pastilah
gurunya ini pun lebih hebat pula.
Kembalilah mereka bertempur dengan sengitnya,
saling melibat dan menerjang. Kedua senjata mereka seakan-akan saling berkejaran
dan bila ada pertahanan yang kosong jangan diharap tubuh mereka akan
masih utuh bila kena tersambar oleh senjata-senjata itu. Dalam pada itu, jauh di
bawah sana Mahesa Wulung telah tersadar dari pingsannya. Pendekar muda ini
kemudian duduk bersila serta mengatur nafasnya, dengan mengisap dalam-dalam
udara malam yang sejuk, dan sebentar kemudian berisilah paru-parunya
dengan hawa segar sehingga darahnya kembali mengalir lancar. Rasa panas terbakar pada punggungnya
pun kemudian hilang tak berbekas lagi.
Ketika Mahesa Wulung dan orang-orang lainnya
menatap ke atas, tampaklah pertempuran yang berlangsung semakin seru antara Longiram dan si tua
Bontang. Keduanya bergeser ke arah timur.
Gerakan Longiram yang ganas serta garang itu benar-benar mencemaskan para penonton di bawah. Dan
setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, tiba-tiba saja Longiram mengambil
sesuatu dari ikat ping-gangnya dan kemudian tangan kirinya itu dikibaskan ke
arah lawannya. "Duri-duri racun!" desis si tua Bontang dengan terkejut, sambil memutar kapaknya
memapaki senjata
rahasia yang telah dilempar oleh Longiram ke arahnya.
Ternyata lawan Bontang itu sangat licin. Begitu dilihatnya senjata rahasianya akan ditangkis, Longiram cepat mengulang serangannya.
Sekali lagi tangan kirinya melambai ke arah si tua Bontang dan beberapa
duri beracun terlepas dari tangannya, menyambar ke arah kaki Bontang.
Karuan saja pendekar tua ini terkejut setengah mati sebab dua kelompok duri
beracun tengah menyambar
ke arah dirinya, sementara ia pun melihat bahwa Longiram telah siap menyerang
dengan tongkat rotannya.
Biar mengalami serangan beruntun ini, pendekar
Bontang tidak menjadi takut. Ia bertekad akan melawan Longiram habis-habisan,
demi membela keselamatan rombongan Tawau dan Mahesa Wulung.
Begitulah, ketika kapak hitamnya menangkis duriduri racun yang tengah menyambar kepalanya, di saat itu pula ia merasa bahwa
kakinya akan segera ditem-busi oleh kelompok duri-duri racun yang lainnya.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana maut
tengah mengancam jiwa si tua Bontang, tahu-tahu sebuah bayangan melesat kembali
ke arah mereka dan
sebuah cahaya biru telah menggugurkan duri-duri beracun yang bakal menyambar
kaki Bontang. Bukan main kaget Longiram demi senjata-senjata
rahasianya telah gagal memenuhi tugasnya. Lebihlebih dengan munculnya bayangan yang melesat dari
bawah dan kini berdiri di samping Bontang.
"Heeei. Kau masih ingin bermain-main dengan aku,
ha"!" teriak Longiram dengan mata melotot, sebab
bayangan tadi tidak lain adalah Mahesa Wulung dengan menggenggam cambuk pusaka Naga Geni.
"Haaa, kau mempunyai senjata ampuh juga rupanya!" ujar Longiram dengan sudut mata yang tak berkisar dari arah cambuk Naga
Geni lawannya yang ber-keredapan menyala biru kehijauan.
"Aku datang lagi untuk bertanding melawanmu!"
berkata Mahesa Wulung dengan tenang.
"Jadi kalian berdua akan mengeroyokku"!" teriak
Longiram. "Tak perlu kami berbuat serendah itu!" sahut Mahesa Wulung lantang. "Biarlah Bapak Bontang ini istirahat, sementara aku mencoba
kembali kesaktianmu!"
"Setan alas! Kata-katamu memanaskan telinga!"
bentak Longiram sambil menggeram marah. "Sekali la-gi tubuhmu kena kupukul akan
benar-benar mampus
kamu!" "Hmm, marilah kita buktikan sesumbarmu tadi!"
berkata Mahesa Wulung seraya bersiaga.
Longiram tak berkata lagi, melainkan ia melenturlenturkan tongkat rotannya dan dibarengi teriakan
dahsyat, ia telah menyambar ke arah Mahesa Wulung.
"Hiaaattt!"
Serangan ini akan benar-benar mampu meremukkan sasarannya seandainya Mahesa Wulung tidak bergeser ke samping, sementara Cambuk Naga Geni telah dilecutkan ke arah leher
Longiram. Benar-benar Longiram menjadi terkejut melihat
cambuk yang menyala biru itu menyambar ke arah lehernya. Cepat ia mengendap seraya berkelit ke samping, tapi tak urung ia kaget pula, apabila ujung cambuk itu meledak tak jauh
dari telinganya bagaikan ledakan petir di angkasa.
Kembali Longiram mengumpat dan terasalah bahwa
telinganya berdenging akibat ledakan cambuk tersebut. Cepat-cepat ia menggeram serta menyerang ke
arah Mahesa Wulung. Ujung tongkat rasanya mengancam dada lawannya.
Sekali ini Mahesa Wulung sengaja menyambut ujung tongkat Longiram dengan lecutan ujung cambuknya, hingga sesaat kemudian terjadilah letupan keras.
Blaaarrr! Longiram menjerit kecil begitu ujung tongkat rotannya membentur ujung cambuk
Naga Geni. Seketika itu terasalah satu jilatan rasa panas yang merayapi
tongkatnya, lalu mengalir ke tangan, membuat Longiram
sadar bahwa ia tak akan tahan lama menghadapi
keampuhan cambuk pusaka itu. Maka sambil merasakan tangan kanannya yang terasa bagai dibakar oleh kobaran api, Longiram
berpaling dan melesat ke arah Bontang. Ujung tongkatnya menjalar mematuk ganas
ke wajah pendekar tua itu. Serangan hebat ini sungguh cepat dan tak terduga
datangnya. Si tua Bontang terperanjat melihat serangan tiba-tiba ini. Satu-satunya jalan buat menyelamatkan wajahnya adalah melin-tangkan kapak hitamnya di
depan kepala. Kraaak! Terdengar kembali benturan seru. Dan karenanya
Bontang terpental ke belakang beberapa langkah. Namun dalam saat yang bersamaan
Mahesa Wulung telah meluncurkan pukulan Angin Bisu dari tangan kirinya tepat di saat Longiram
akan menghajarkan kemba-li tongkat rotannya ke arah Bontang.
Akibatnya Longiram terlempar beberapa tombak
dan kemudian meskipun ia telah berusaha bagaimanapun juga, namun ia tak berhasil menguasai dirinya.
Tubuhnya kemudian meluncur, melayang ke bawah
tanpa daya sama sekali, diikuti oleh pandangan mata dari si tua Bontang dan
Mahesa Wulung. Baik mereka berdua maupun orang-orang yang berada di bawah sesaat kemudian terkejut oleh sebuah teriak dan jeritan ngeri dari
mulut Longiram. Mereka serentak terpukau oleh pemandangan yang mengerikan.
Ternyata tubuh Longiram telah jatuh di antara
pohon-pohon maut pemakan daging. Tubuhnya telah
dibelit rapat-rapat oleh daun-daun belalai yang berdiri panjang-panjang.
"Lepaskan! Akulah tuanmu! Lepaskan! Aku bilang
lepaskan!"
Terdengar teriakan Longiram dengan nada kacau,
membuat siapa saja yang melihat menjadi ngeri dan
meremang bulu tengkuknya. Longiram sesaat masih
menjerit-jerit kecil tapi akhirnya tak berkutik lagi. Tubuhnya telah mengempis
dihisap habis oleh pohon
maut itu. "Ia termakan oleh tanamannya sendiri!" desis Bontang kepada Mahesa Wulung pula.
"Senjata rahasianya yang berujud duri beracun itu
ternyata berasal dari daun-daun belalai pohon maut itu."
"Benar," sambung Bontang pula. "Agaknya ia sengaja memelihara pohon-pohon maut tersebut untuk
diambil duri-duri racunnya! Dan Anda tahu, bahwa
duri-duri beracun itu tak kalah hebatnya dengan jarum-jarum sumpit beracun!"
"Aku menghaturkan terima kasih atas pertolongan
yang Bapak berikan kepadaku," ujar Mahesa Wulung
kembali. "Heh, heh, heh. Tapi Anda pun telah menghindarkan duri-duri beracun yang hampir mengenai kakiku,"
jawab Bontang. "Sesudah Anda dan rombongan itu
pergi meninggalkan gubuk pohonku, hatiku tiba-tiba merasa tak enak. Dan ketika
aku tiba di tempat ini, rupanya kalian tengah terlibat dalam pertempuran melawan
Longiram! Kini Anda beserta rombongan ini dapat meneruskan perjalanan kembali."
Ketika itu, datanglah Daeng Matoa dengan tergopoh-gopoh sedang di tangannya menggenggam sebilah
tongkat rotan. "Saudara Wulung, lihatlah! Aku dapat menangkap
tongkat rotan, senjata ampuh milik Longiram yang terjatuh ketika ia terpelanting
dari atas pohon!"
"Hmmm, kau boleh menyimpannya, Saudara Daeng!" ujar Mahesa Wulung. "Mungkin akan berguna
bagimu." Tak lama kemudian seluruh rombongan itu telah
berkumpul dan si tua Bontang pun segera meminta di-ri kepada mereka. Dengan
beberapa loncatan dari pohon ke pohon ke sebelah timur, lenyaplah tubuh pendekar
tua itu di balik kelebatan dedaunan.
Setelah segala sesuatunya siap maka berangkatlah
rombongan itu ke arah barat untuk kembali ke kampung Lembah Sampit.
Orang-orang sekarang telah merasa lega sebab rintangan-rintangan di perjalanan telah berhasil mereka atasi, biarpun untuk ini
beberapa orang telah menjadi korban karenanya.
Sepanjang perjalanan mereka masih teringat kawan-kawannya yang telah menjadi santapan pohonpohon maut pemakan daging ataupun ketiga orang
yang tewas terpukul oleh Longiram. Rasa haru dan se-dih tentu saja merayapi
relung hati mereka. Bukankah orang-orang tadi telah sehidup semati. Seia-sekata
dalam menempuh setiap bahaya yang mereka temui" Sedang kini yang masih tinggal cuma dapat mengenang
jasa-jasa mereka serta akan berceritera kepada sanak keluarga si korban,
bagaimana keberanian orang-orang itu dalam menunaikan tugasnya.
Namun pada barisan paling belakang, masih ada
juga yang berpikir lain agaknya. Sebab kelihatannya wajah pendekar Seguntur
masih saja muram, seperti
ada sesuatu yang mencekam hatinya.
Tak kelirulah dugaan yang demikian itu. Memang
mereka, orang-orang rombongan itu, tak bakal mengira bila Seguntur bakal lebih
senang atau puas seandainya seluruh rombongan ini mati, kecuali dirinya sendiri
serta Sandai ataupun Pandan Arum saja yang masih hidup. Pastilah ia akan segera
memiliki benar-benar dara idaman hatinya.
Kejengkelan serta keirian hatinya terhadap pendekar Mahesa Wulung masih belum reda. Ia tidak menduga bahwa Mahesa Wulung selalu berhasil ikut melenyapkan setiap bahaya serta menyelamatkan rombongan ini dari marabahaya.
Dan lebih-lebih lagi, pada saat kini juga ia selalu melayangkan pandangan
tajamnya ke arah Daeng Matoa, karena gadis Sandai senantiasa berjalan bersama
pendekar ini. "Hmm, kedua pendekar dari seberang itu selalu
membuat kecewa hatiku! Sampai saat ini aku masih
cukup berlapang dada. Tetapi sekali lagi terulang, aku akan membuat perhitungan
dengan mereka! Tunggulah!" demikian pikir pendekar Seguntur dari Lembah Sampit
yang ternyata telah tertutup hatinya oleh rasa cemburu dan iri hati.
Memang kedua sikap itu akan membuat seseorang
akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan yang sehat dalam tindakannya sehari-hari. Sepanjang hidup manusia, rasa cemburu dan iri
hati tadi telah sering terjadi merusak tata pergaulan yang baik dalam segala
sendi kehidupan. Tidak jarang antara dua orang sahabat yang baik, yang katanya
seia-sekata dalam suka dan duka, akhirnya telah bermusuhan akibat salah
seorang di antaranya telah menaruh rasa iri terhadap kedudukan dan kebahagiaan
yang lain. Begitu pula seorang narapraja, kadang-kadang sampai hati untuk menentang atasannya karena rasa iri dan cemburu tadi.
Sesungguhnya, rasa iri dan cemburu kalau disalurkan dalam sikap yang wajar dan bijaksana, bisa juga mendatangkan keberuntungan.
Seperti misalnya seorang yang hidupnya melarat telah melihat seorang temannya
yang kaya. Kalau ia menyalurkan rasa iri tadi dalam bentuk kerja keras dan
rajin, tidak mustahil bahwa iapun dapat menjadi seorang yang kaya pula.
Begitu pula yang berpangkat rendah dapat mencapai
kedudukan yang lebih tinggi apabila ia mau belajar dan berusaha dengan sungguhsungguh untuk itu.
Tetapi untuk melakukan ini semua, tidaklah semudah seperti yang diangankan oleh seseorang. Ia haruslah orang yang bijaksana dan
berpandangan luas. Dan hal inilah justru yang tidak dipunyai oleh Seguntur.
*** 2 PERJALANAN mereka tak terasa jauhnya, dan menjelang munculnya sang matahari pagi, rombongan orang-orang itu telah melihat kemegahan tanah pegunungan di sebelah barat laut yang membayang biru
kehijauan bagai dinding tembok raksasa, membentang dari sebelah utara.
Ketika mereka memasuki daerah kampung Lembah
Sampit dari sebelah timur, beberapa orang penduduk telah melihat kedatangan
rombongan ini. Beberapa
orang berlari ke arah kampung sedang sebagian lagi berlari-lari menyongsong
mereka. Saat itu pula tak terlukiskan betapa bahagia mereka setelah menginjak tanah kampung halamannya
kembali. Para penyambut dan anggota rombongan itu
saling berpelukan dan bersalaman.
Tak antara lama mereka telah memasuki gerbang
kampung sebelah timur dan rupanya orang-orang yang tadi berlari ke arah kampung,
telah memberi tahu
akan kedatangan rombongan Tawau dan Mahesa Wulung. Dan sekarang tampaklah orang-orang yang berderet menyambut mereka.
Si tua Tawau kemudian tampil ke depan dan mengucapkan terima kasih atas sambutan ini, sedang seorang yang berambut putih maju
ke depan serta menyerahkan sebilah mandau yang berukuran keliwat besar dengan
sarungnya yang berukir-ukir indah.
"Ooo, Tawau yang mulia, terimalah kembali mandau


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lambang kekuasaanmu ini. Hamba telah memegangnya sebagai wakil kepala kampung selama kepergianmu dan segala sesuatu telah berjalan baik serta selamat. Kami seluruh penduduk
mengucapkan selamat
datang." Si tua Tawau segera menerima mandau lambang
kekuasaan itu serta mengucapkan terima kasih. Namun suasana segera diliputi pula oleh keharuan serta sedu sedan, di saat ketua
Tawau menceriterakan tentang orang-orang yang tewas di dalam perjalanan
tersebut. Beberapa orang dari sanak keluarga si korban tampak mengucurkan air
mata, menangisi mereka.
Mahesa Wulung pun merasakan pula akan kesedihan mereka. Kadangkala ia pun merasa bahwa semua
itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang bersang-kut-paut, berbelit-belit
dimana dirinya pun terlibat di dalamnya.
Begitulah, kedatangan rombongan ini disamping
membawa rasa keharuan tetapi juga menimbulkan rasa bersyukur bahwa mereka toh akhirnya tidak seluruhnya binasa oleh kedahsyatan alam yang merintangi perjalanan mereka.
Mereka pun merasa beruntung mendapat banyak
pengalaman dan kejadian hebat yang belum pernah
mereka alami sebelumnya. Seperti keanehan taman
pohon-pohon maut pemakan daging dan rasanya seolah-olah sebuah khayalan belaka. Bahkan sekarang
ini, mereka jadi ragu-ragu apakah pohon-pohon itu
benar-benar telah mereka jumpai dan ada. Apakah itu bukan sebuah impian saja"
Tapi mereka pun lalu teringat pertemuannya dengan pendekar yang bernama Longiram. Untuk hal itu, mereka tak bisa menyangkal
ataupun menyangsikan
lagi. Apalagi mereka masih bisa membayangkan ketika tiga orang teman
serombongannya telah dipukul roboh oleh Longiram sehingga binasa.
Upacara penyambutan dan serah terima lambang
kekuasaan kampung Lembah Sampit yang kecil itu telah selesai. Orang-orang pun lalu pulang kembali ke rumah masing-masing. Sedang
si tua Tawau, Mahesa
Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum serta Sandai menuju ke sebuah rumah bertangga yang terletak di sebelah timur.
Setelah mereka berada di atas, si tua Tawau mempersilakan mereka untuk duduk berkeliling di sebuah ruangan yang lebar. Pada
wajah si tua Tawau tampaklah suatu kesan yang sangat mendalam. Sesuatu yang
cukup penting, sehingga mereka berempat yang duduk di hadapannya menjadi sibuk
bertanya serta menebak di dalam hati mereka sendiri, gerangan apakah yang bakal
diutarakan oleh orang tua ini" Suasana pun lalu hening karenanya.
"Tuan Mahesa Wulung," demikian si tua Tawau
membuka percakapan yang memecah tabir kebisuan
suasana di situ, "dan Andika bertiga juga! Pertemuan kita dulu di pantai Teluk
Sampit sungguh membaha-giakanku, sebab sesuatu yang selama ini sangat
mengganggu ketenangan hatiku telah berkurang oleh
hal itu." Si tua Tawau sejenak berhenti berkata, serta melepas nafasnya dalamdalam, dan kemudian ia pun
melanjutkan kata-katanya. "Sebetulnya ada suatu rahasia yang akan kuceriterakan
kepada Andika."
"Sebuah rahasia"!" gumam Mahesa Wulung. "Agaknya penting benar bagi Bapak."
"Tepat. Memang penting benar bagi bapak ini, bahkan bagi seluruh penduduk kampung Lembah Sampit
ini," ujar Tawau.
"Kalau begitu silakan Bapak berceritera. Kami jadi makin tertarik karenanya,"
kembali Mahesa Wulung
berkata. "Baik. Dengarlah. Kalau kita ke utara lurus dari
arah kampung ini, kita akan sampai ke sebuah bukit-bukit batu dan di situ kita
juga akan menemukan sebuah goa yang teramat penting bagi kampung ini."
"Sebuah goa?" ulang Daeng Matoa.
"Begitulah. Sebuah goa yang senantiasa dijaga oleh sepuluh orang pendekar dari
daerah ini."
Mahesa Wulung sangat tertarik oleh keterangan ini, maka ia pun menyela, "Hmmm,
rupanya goa tersebut
berisi sesuatu yang amat berharga, bila sampai dijaga oleh para pendekar
sedemikian kuatnya."
"Heh, heh, heh. Anda berpikir sangat cemerlang,"
ujar si tua Tawau seraya manggut-manggut. "Memang
di situ tersimpan sebuah patung intan yang amat indah dan cantiknya."
"Eh, maksud Bapak, patung tersebut adalah patung
seorang wanita?" Terdengar Pandan Arum ikut bertanya. "Yah, itu benar. Patung tadi berbentuk seorang wanita. Seorang puteri jelita yang bermata redup dan se-luruhnya terbuat dari
intan murni, tingginya kira-kira sekitar tiga jengkal."
"Luar biasa!" desis Mahesa Wulung dengan kagumnya. "Patung intan sebesar itu pastilah banyak yang mengingininya."
"Nah, itulah sebabnya kami telah menaruh pengawal-pengawal untuk menjaganya. Tambahan lagi patung itu merupakan harta
kebanggaan dari kampung Lembah Sampit ini," ujar si tua Tawau. "Namun di samping
kebanggaan, terselip juga suatu kecemasan yang datangnya dari dalam patung itu
sendiri." Oleh kata-kata si tua Tawau yang terakhir ini, baik Mahesa Wulung, Daeng Matoa,
Pandan Arum maupun
Sandai sendiri jadi terkejut karenanya.
"Rahasia ini hanyalah aku sendiri yang tahu. Karena aku merasa telah waktunya untuk memberitahukan
hal ini kepada orang-orang yang aku percayai, maka kepada Anda berempatlah aku
akan membukanya."
"Akh, Bapak Tawau," sela Mahesa Wulung. "Kami
merasa mendapat kehormatan untuk dipercayai rahasia tersebut."
"Sekarang, dengarlah baik-baik. Patung tadi memang sangat indah, tapi juga sangat berbahaya bagi siapa yang menyimpannya,"
ujar Tawau memulai ceriteranya. "Beberapa orang yang telah menyimpannya
terdahulu, telah terkena oleh kutukan Patung Intan tersebut! Mereka mendapat
bencana dan tewas!"
"Kutukan Patung Intan"!" desah Mahesa Wulung
gemetar. "Sungguh mengherankan! Jika hal itu benar-benar, maka berarti bahwa
kampung Lembah Sampit
ini pun akan mendapat bencana pula."
"Begitulah seharusnya. Namun baiknya aku ceriterakan bunyi Kutukan Patung Intan tadi yang menyatakan bahwa, barangsiapa
menemukan dan kemudian
menyimpan Patung Intan ini, akan menemui bencana.
Hanya seorang pendekar dari seberanglah yang dapat melenyapkan bencana itu," si
tua Tawau berhenti sejenak seraya memandang keempat pendengarnya yang
tampak tertegun oleh bunyi Kutukan Patung Intan tersebut. "Nah sejak kami
menyimpan patung itu di kampung kecil Lembah Sampit ini, timbullah bencana yang
telah melanda kami. Beberapa waktu yang lalu orang-orang dari Kapal Hantu selalu
mengganggu dan mengadakan perampokan-perampokan terhadap kami. Sedang kemudian kami baru mengetahui bahwa Kapal
Hantu dan orang-orangnya telah binasa dalam pertempuran melawan Tuan-tuan di
pantai Teluk Sampit.
Dengan begitu berarti bahwa Tuan-tuan telah menyelamatkan kami, bukan" Dan tahulah kami akhirnya,
bahwa Tuan-tuan datang dari tanah seberang!"
"Mmmm, jadi tentunya kamilah yang Bapak anggap
pendekar dari seberang seperti tersebut dalam kata-kata Kutukan Patung Intan
itu"!" sambung Mahesa
Wulung. "Saya harap Tuan-tuan tidaklah keberatan dengan
anggapan kami tersebut," ujar si tua Tawau. "Apakah Tuan-tuan memang benar yang
dimaksud oleh kata-kata itu, atau hanya secara kebetulan saja kami telah bertemu
dengan Tuan, tetapi yang benar adalah Kapal Hantu itu telah hancur oleh Tuantuan. Dengan demikian maka tidak ada salahnya jika kami menganggap
Tuan-tuan sebagai penyelamat kami."
"Baiklah, Bapak. Kami tak akan keberatan dengan
pendapat Bapak itu. Namun kami juga ingin mengetahui, mengapakah Patung Intan tadi sampai memberikan kutukan yang sedemikian menakutkan?" tanya
Mahesa Wulung pula.
"Heeah... tentang itu ada ceriteranya, Tuan. Begini..., berpuluh-puluh tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Kediri di tanah Jawa,
yang waktu itu mempunyai hubungan luas dengan daerah-daerah lain di luar Ja-wa,
hiduplah seorang Pangeran Anom yang tengah melamar seorang putri Kediri. Putri tadi sangatlah cantiknya, bernama Candrasari.
Sesungguhnya beruntunglah Pangeran Anom tadi karena dari sekian banyak pelamar yang mempersunting puteri Candrasari, hanya dialah yang paling
berkenan di hati Candrasari.
Keduanya pun saling mencinta dan berjanji bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi
mereka akan melaksanakan perkawinannya. Untuk itu, Pangeran Anom tadi berkenan
mencari sebuah hadiah untuk mas kawin
bagi calon isterinya, yakni puteri Candrasari tadi. Hal ini sudah layak dan
merupakan kebiasaan di jaman
itu. Secara kebetulan, Pangeran Anom itu adalah seorang yang berbakat dan ahli
dalam memahat dan mengukir patung. "Pada suatu hari, Pangeran Anom tadi menemui kekasihnya untuk mengutarakan isi hatinya. Ia bermaksud membuat sebuah patung
intan yang akan diciptanya berdasarkan wajah dan bentuk tubuh puteri Candrasari. Kelak patung
intan itulah yang akan diha-diahkan kepada kekasihnya sebagai mas kawin. Namun untuk mencari bahan intan pembuat patung tadi, bukanlah hal yang mudah. Maka
Pangeran Anom pun
berkata kepada kekasihnya bahwa ia akan mengunjungi Pulau Borneo atau Kalimantan ini, guna
mencari bahan intan pembuat patungnya.
"Betapa kagetnya puteri Candrasari ketika mendengar keinginan kekasihnya yang hendak berlayar sejauh itu. Puteri tadi kurang menyetujui maksud kekasihnya. Bukannya ia tidak
senang menerima hadiah yang begitu indah dan bermutu itu, tapi justru ia menguatirkan nasib dan keselamatan Pangeran Anom kekasihnya. Ia berpendapat kalau sebaiknya tidak usahlah kekasihnya tadi membuat
patung dirinya dari permata intan. Mas kawin yang berupa apapun akan ia terima
asal Pangeran Anom tidak jadi berlayar ke tanah seberang.
"Tetapi sayang, Pangeran Anom adalah seorang
yang berkemauan keras. Biarpun ia dicegah oleh puteri Candrasari, ia tetap
bertegang leher untuk melaksana-kan maksudnya. Hal itu akan tetap
dilaksanakannya, justru saking cintanya kepada puteri Candrasari.
"Pada akhirnya, puteri Candrasari pun meluluskan
kepergian kekasihnya dengan rasa hati yang amat berat. Ia sadar bahwa perjalanan
Pangeran Anom untuk mencari intan itu pasti memakan waktu yang cukup
lama. Apalagi ia pun pernah mendengar tentang kedahsyatan setiap keliaran tanah rimba Pulau Borneo.
Dan inilah yang terutama dicemaskan oleh puteri Candrasari.
"Yah, berpisah dengan kekasih bagi orang yang tengah berkasih-kasihan adalah suatu hal yang sangat memberatkan. Namun bagi
Pangeran Anom tetap berlayar pula dan ia meninggalkan puteri Candrasari. Mereka
berjanji sebelumnya, betapapun lama atau kesulitan yang merintang di tengah
jalan, keduanya akan
saling tetap setia.
"Begitulah, dengan beberapa orang pengikutnya, Pangeran Anom tadi berlayar menuju ke pulau ini. Mereka mendarat di sebelah tenggara dan mulailah mereka mencari bahan intan.
"Mula-mula Pangeran Anom dan orang-orangnya
mencari intan tadi di daerah Martapura. Akan tetapi mereka hanyalah menjumpai
butiran-butiran intan
yang kecil saja. Maka Pangeran Anom pun bermaksud
mencarinya ke daerah lain.
"Kini Pangeran itu berperahu ke arah utara, menyusuri sungai Barito, sementara sebagian pengikutnya ditinggal di daerah Martapura
tadi untuk meneruskan
perjalanannya, yaitu mencari bahan intan. Dengan
demikian terpecahlah rombongan tadi menjadi dua bagian. Rombongan yang terbesar
bersama Pangeran Anom berangkat ke utara.
"Sementara itu tidak terasalah bagi mereka bahwa
perjalanan mereka sejak meninggalkan tanah Kediri telah makan waktu berbulanbulan. "Setelah menempuh segala kesulitan dan bersusah
payah, mereka tibalah di daerah Purukcahu yang juga terkenal sebagai daerah
intan itu. Di sini pun mereka mula-mula cuma mendapatkan butiran-butiran intan
yang kecil saja, sehingga Pangeran Anom tadi hampir-hampir putus-asa karenanya.
"Tetapi pada hari yang keseratus dari pekerjaan mereka, Pangeran Anom yang saat
itu ikut mencari bahan intan telah berhasil menggali sebuah lapisan tanah yang
berisi gumpalan intan besar. Keruan saja mereka menjadi bergembira atas penemuan
intan yang sebesar itu. "Di tengah kegembiraan tadi, seorang penunjuk jalan yang
berasal dari daerah Martapura telah berkata kepada Pangeran Anom. Orang tadi
memperingatkan bahwa dengan ditemukannya sebuah gumpalan intan
berukuran kelewat besar, menandakan akan timbulnya sebuah bencana.
"Mendengar penuturan orang tadi, Pangeran Anom
terperanjat karenanya. Namun sekali lagi ia menunjukkan kekerasan hatinya. Betapa pun akan ada bencana, patung intan tadi harus selesai dibuatnya.
"Begitulah, karena keahlian dan ketekunannya, Pangeran Anom memulai memahat gumpalan intan besar
tersebut setahap demi setahap. Tanpa merasa lelah
serta lapar, si pangeran muda terus menyelesaikan patungnya.
"Sedemikian tekunnya si pangeran muda tadi menciptakan bentuk patungnya, hingga kadang-kadang ia terlupa untuk beristirahat.
Siang malam ia bertekun sendiri, sampai orang-orang pengikutnya merasa iba dan
terharu. Mereka tahu akan kebesaran cinta pangeran muda itu terhadap kekasihnya,
yakni puteri Candrasari dari Kerajaan Kediri.
"Mula-mula sekali bentuk keseluruhan dari potongan tubuh puteri tersebut telah berhasil diwujudkan pada pahatan patung
intannya. Yah, semula hanya
bentuk yang masih kasar belaka. Akan tetapi pangeran muda ini tidak berhenti
sampai di sini saja. Ia mulai menggosok halus patung intan tersebut, dan makin
lebih berhati-hati ketika menciptakan wajah puteri kekasihnya. Pangeran muda
tadi benar-benar punya daya
cipta yang sangat hebat. Kekuatan daya ingat dan daya bayang serta ilhamnya
telah ia curahkan dengan sepuas hatinya.
"Hal ini membuat orang-orang pengikutnya sampai
terheran serta takjub dibuatnya. Mereka dapat melihat betapa tekun dan telitinya
Pangeran Anom menum-pahkan segala kemampuan untuk melukiskan wajah
sang putri. Mereka menyaksikan ketelitian sang pangeran menyelesaikan bentukbentuk mata, hidung, mulut dan dagu dari wajah patung intan tersebut. Orang-orang tadi menjadi
terpesona menatap hasil karya ini, dan mereka jadi lebih terpesona lagi bila


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Anom belum puas-puasnya menghaluskan wajah dari
patung itu. "Memanglah sang pangeran menjadi terpukau sendiri oleh hasil ciptaannya, sebab kini seolah-olah ia tengah berhadapan sendiri
dengan wajah kekasihnya, sang puteri Candrasari.
"Sebenarnya orang tak perlu heran oleh ketepatan
wajah patung intan tersebut dengan wajah asli sang puteri. Hal itu membuktikan
bahwa sang pangeran benar-benar hafal dan menguasai bentuk wajah kekasihnya. "Berhari-hari sang pangeran masih saja melicin dan menggosok halus wajah patung
intan tersebut, meski pun sebenarnya keseluruhan dari patung itu telah selesai.
"Begitulah ketekunan sang pangeran sampai akhirnya ia merasa puas. Kini orang-orang pengikut Pangeran Anom merasa lebih
terpesona, bahkan kadangkala terselip pula perasaan kagum bercampur ngeri, sebab
mereka seolah-olah berhadapan langsung dengan sang puteri Candrasari.
"Bentuk mata dan hidung dari patung intan itu
sungguh hidup tampaknya. Seakan-akan mereka merasakan bahwa mata tadi dapat berkedip serta menatap mereka, sedang hidungnya
seperti betul-betul ber-kembang kempis menghirup dan menghembuskan nafas. "Tetapi dari keseluruhannya, orang paling merasa kagum bila menatap bentuk
bibirnya yang mungil, dan memang bagian inilah yang paling lama dihaluskan
oleh Pangeran Anom.
"Hampir-hampir para pengikut sang pangeran tadi
tidak dapat mempercayai bahwa itu hanyalah sebuah
bibir dari patung intan saja. Mereka seperti melihat bibir yang sungguh-sungguh dari sang puteri Candrasa-ri, dengan menyunggingkan
senyum yang mempesona
siapa saja. "Akhirnya Pangeran Anom betul-betul merasa puas
setelah patung intan tersebut telah selesai dengan sempurna. Rasa bahagia
bercampur syukur membuat
pangeran muda itu menjadi berwajah cerah dan riang, hingga para pengikutnya pun
ikut merasa gembira pu-la. "Yah, mereka telah sekian lama menunggu pangeran muda itu berdiam diri serta bertekun sampai-sampai ia tidak memperhatikan
keadaan tubuhnya. Kumis serta jenggot Pangeran Anom sudah sekian lama di-biarkan
panjang serta tumbuh melebat tak terurus. Tetapi pada saat ia telah
menyelesaikan hasil kerjanya itu, ia pun lekas-lekas mencukurnya bersih-bersih,
sehingga tampaklah kembali wajah tampannya seperti
sediakala. "Namun pada suatu siang ketika Pangeran Anom
tengah menatapi patung intan tersebut, datanglah seorang pengikutnya yang dahulu
ditinggal di daerah Martapura serta lekas-lekas menghadap kepadanya, membuat sang pangeran berdebar-debar hatinya.
"Pangeran Anom segera bertanya kepada punggawa
tadi, mengapa ia datang menyusul ke daerah Purukca-hu ini" Ketika punggawa tadi
mengatakan bahwa mereka tinggal di pulau ini sampai hampir selama lima tahun, maka terperanjatlah
sang pangeran itu bagai disambar petir rasanya.
"Dan lebih terkejut lagilah Pangeran Anom ketika
orang itu berkata dengan nada tersendat-sendat disertai isakan kecil. Orang
tersebut pun menjadi kian ter-isak-isak sesudah ia menatap wajah patung intan
sang Puteri Candrasari tadi.
"Sang Pangeran menjadi tak sabar karenanya, lalu
diguncang-guncanglah pundak punggawa tadi serta di-minta keterangannya,
mengapakah sampai ia bersikap begitu.
"Akhirnya berkatalah orang tadi dengan nada terputus-putus dan mengatakan bahwa sang Puteri Candrasari telah meninggal dunia setelah ia menunggu serta merindukan Pangeran Anom
hampir selama lima tahun! Suatu masa penantian yang cukup lama dan
memberatkan. "Orang tadi mendapat kabar dari sebuah kapal armada Kediri yang beberapa orang utusan untuk memberikan kabar duka tadi kepada Pangeran Anom.
"Begitu mendengar berita itu seketika sang pangeran rebah ke tanah dan pingsan tak sadarkan diri
sampai beberapa saat lamanya. Pangeran Anom tadi
menjadi sakit sejak itu. Badannya makin kurus dan
lemah, sedang wajahnya kian pucat dan sayu.
"Sehari-hari kerjanya hanyalah melamun serta menatap patung intan sang puteri, tak bosan-bosannya.
Tentu saja tak dapat dipungkiri bila kematian puteri Candrasari adalah pukulan
yang berat bagi dirinya.
"Sakit sang pangeran kian berlarut-larut dan akhirnya ia pun meninggal dunia
pula. Tapi sebelum itu ia sempat berpesan kepada semua pengikutnya agar ia
dikuburkan di tempat itu. Demikian pula dengan patung intan tadi, sang pangeran berpesan pula agar dikubur di dekatnya, disertai
peringatan yang keras merupakan sebuah kutukan, yaitu Kutukan Patung Intan. "Pesan atau kutukan tadi mengatakan, barang siapa menemukan serta menyimpan patung intan tersebut akan mendapat bencana dan hanya seorang pendekar dari seberanglah yang mampu melenyapkan
bencana itu. Begitulah keduanya segera dikubur di
tempat itu pula.
"Pada selanjutnya, ketika para pengikut sang Pangeran Anom bermaksud kembali ke tanah Kediri, ke
tanah tumpah darahnya, timbullah suatu perselisihan seru antara dua orang
pengikutnya dengan orang-orang lainnya. Keduanya bermaksud membawa pulang
saja Patung Intan yang sangat bermutu ke tanah Kedi-ri. Namun orang-orang
lainnya segera menentang kehendaknya, sampai menimbulkan perselisihan serta
pertumpahan darah. Kedua orang tersebut menemui
ajalnya, tewas dalam perkelahian melawan rekan-rekannya sendiri.
"Kesudahannya Patung Intan itu tetap ditinggal ter-kubur di dalam tanah, sebab
orang-orang tadi sudah cukup membawa butiran-butiran intan kecil untuk
bekal pulang. "Orang-orang tadi akhirnya kembali ke kerajaan
Kediri, dan mereka bertolak dengan kapalnya meninggalkan pulau ini.
"Begitulah, Patung Intan tadi telah memakan tiga
orang korbannya, dan segala peristiwa itu telah dipa-hatkan oleh seorang
punggawa pada sebuah dinding
batu terjal, tak jauh dari tempat kuburan Patung Intan.
"Patung tersebut beberapa tahun tetap aman terkubur di dalam lubang tanah, sampai akhirnya aku beserta seorang saudara serta beberapa pengikut telah tidak sengaja menemukan
Patung Intan yang indah itu di saat kami tengah menggali-gali tanah untuk
mencari butir-butiran intan di daerah Purukcahu itu.
"Keruan saja kami bersenang hati menemukan benda berharga itu. Sayangnya, kegembiraan tadi segera lenyap di saat kami
menemukan sebuah tulisan yang
terpahat pada dinding batu terjal di dekat tempat ditemukannya Patung Intan itu.
"Seorang saudaraku tetap berkeras hati untuk
membawa pulang Patung Intan berharga tadi ke daerah ini, ke Kampung Lembah Sampit ini. Sayangnya, saudaraku tadi telah tewas
dalam perjalanan pulang.
Ia tergelincir dan terperosok ke dalam sebuah jurang hingga tewas pada saat itu
juga. "Itulah rupanya akibat kutukan Patung Intan puteri Candrasari. Entah hal itu
sungguh-sungguh atau secara kebetulan saja saudaraku tadi terperosok kesana, aku
tidak tahu. Yang terang, Patung Intan tersebut berhasil aku bawa pulang ke
kampung Lembah Sampit
ini dan nanti dapat Tuan-tuan saksikan sendiri," demi-kianlah si tua Tawau
menyudahi akhir ceritanya tentang Kutukan Patung Intan tersebut, sementara suasana pun lalu jadi hening.
Keempat orang yang mendengar ceritera tersebut
masih terbungkam berdiam diri. Baik Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum
maupun Sandai menjadi
terpesona dan juga terharu oleh riwayat dari Patung Intan tadi.
"Wah, hari telah siang," ujar si tua Tawau. "Maka
sebaiknya kita melihat Patung Intan itu sekarang."
"Baik, Bapak," sambung Mahesa Wulung. "Memang
kami pun agaknya sama-sama ingin secepatnya melihat Patung Intan itu. Seperti apakah gerangan Patung Intan yang telah membuat
ceritera dan lelakon yang begitu mengharukan"!"
"Ayolah kita turun ke bawah," ujar si tua Tawau kepada mereka berempat seraya
bangkit dari duduknya.
Maka sebentar kemudian kelimanya telah turun ke
bawah dan berjalanlah mereka menuju ke arah utara.
Sementara itu, sang matahari telah tinggi. Sinar te-riknya menerpa semua sudut
pepohonan hutan dan lorong-lorong kampung Lembah Sampit.
Mereka berlima telah beberapa saat menuju ke arah
utara dan bukit-bukit batu makin kelihatan jelas dan bertambah dekat.
Si tua Tawau lalu menunjuk ke arah sebuah goa
yang terdapat pada sebuah dinding bukit, dan bertepatan saatnya tiba-tiba
berloncatanlah lima orang berpe-rawakan kekar dengan bersenjata mandau terhunus
siap di tangan, dari balik batu-batu yang besar, bagaikan gerak seekor macan
hutan lincahnya.
Hanya saja mereka serentak terkejut seketika, di
saat mereka tahu bahwa yang datang itu adalah si tua Tawau. Begitu pula lima
orang lagi yang muncul kemudian ikut terkejut pula.
Kesepuluh orang itu serentak mengangguk hormat
ke arah Tawau dan keempat pengikutnya yang tidak
lain adalah Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan
Arum dan Sandai.
"Bagaimana keadaan di sini Tagoh Hulu?" sapa si
tua Tawau kepada pemimpin para pendekar yang berjenggot dan berkumis lebat.
"Semua baik-baik saja, Bapak Tawau. Dan tak seorang pun datang mengusik harta kampung Lembah
Sampit ini," jawab orang yang bernama Tagoh Hulu
dengan suara yang berat.
"Bagus. Kami berlima akan mengunjungi goa itu,"
berkata si tua Tawau, dan pemimpin para pendekar itu pun cepat-cepat
mempersilakan mereka.
"Silakan masuk, Bapak. Kami akan menjaga di luar.
Jika Bapak menghendaki sesuatu, beritahulah kami,"
ujar si Tagoh Hulu pula, sementara Tawau berlima
masuk ke dalam goa.
Segala apa yang dikatakan oleh si tua Tawau tadi
ternyata benar. Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum serta Sandai terpesona
seketika, begitu pandangan mata mereka tertumbuk pada sebuah patung
yang bercahaya putih gemerlapan, tak ubahnya cahaya berpuluh-puluh bintang yang
menggerombol menjadi
satu. Sedang di sekitar tempat Patung Intan tadi berdiri, terdapat pula tempurungtempurung kelapa yang berisi butiran-butiran intan lainnya. Memanglah goa itu
adalah goa tempat menyimpan harta benda, kekayaan
dari kampung kecil Lembah Sampit ini.
Patung Intan yang berwujud seorang puteri cantik
setinggi kira-kira tiga jengkal, berdiri dengan megahnya di tengah ruangan goa
dan merajai suasana di sekelilingnya.
Wajah Patung Intan itu sungguh memancarkan pesona yang kuat, membuat si tua Tawau, Mahesa Wulung dan lainnya terdiam bisu beberapa saat lamanya.
Dalam hati Mahesa Wulung sungguh memuji akan
ketelitian dan ketepatan antara bentuk keseluruhan dari potongan tubuh yang
semampai dengan wajah patung yang jelita. Pendekar muda dari Armada Demak
ini menaruh hormat kepada si penciptanya, yakni Pangeran Anom dari Kerajaan
Kediri. Seandainya pangeran itu masih hidup pada saat ini, tak keberatanlah agaknya bila
Mahesa Wulung akan
berguru dan menjadi muridnya dalam kepandaian
membuat patung.
Kelima orang tersebut sampai agak lama berada di
goa harta itu. Kadang-kadang si tua Tawau menjelaskan segala sesuatu yang ditanyakan oleh Mahesa
Wulung ataupun yang lainnya. Mereka asyik bercakapcakap sedang waktu tak terasa bila sang matahari terus bergeser merayap ke
langit sebelah barat.
Setelah cukup puas, si tua Tawau, Mahesa Wulung
serta yang lainnya pun segera keluar meninggalkan
goa itu lalu kembali ke arah selatan menuju ke kampung Lembah Sampit yang
dilingkupi oleh kelengangan siang.
*** 3 BEBERAPA HARI kemudian, tampaklah kesibukankesibukan di kampung Lembah Sampit. Meskipun
kampung ini cuma kecil saja, namun penduduknya
cukup padat, dan mereka hari ini bekerja keras.
Beberapa orang laki-laki kelihatan baru kembali da-ri hutan. Mereka memanggul
hasil-hasil buruannya,
seperti burung bangau, ikan-ikan yang masih segar
dan juga buah-buahan. Sedang orang-orang perempuan tengah sibuk memasak makanan.
Sementara itu di tengah-tengah kampung, beberapa
orang lainnya tampak membersihkan halaman. Di situ tampaklah batu-batu hitam
yang datar permukaannya
sebagai tempat duduk yang diatur berjejer menghadap ke utara. Di sebelah lain,
anak-anak muda kelihatan tengah mempersiapkan hiasan-hiasan janur atau pohon
kelapa muda. Melihat ini semua, dapatlah dipastikan bahwa di
kampung ini tengah diadakan persiapan pesta. Dan ini dapat pula didengar dari
percakapan mereka yang lagi bekerja itu.
"Malam nanti kita pasti akan makan kenyang!" ujar
salah seorang yang lagi menguliti seekor ular besar hasil buruannya. "Dan siang
ini saya tidak akan makan banyak-banyak, agar malam nanti perutku ini bisa
menampung banyak makanan!"
"Ha, ha, ha, pantaslah kalau kau digelari si raja
makan, sebab seleramu yang selalu lapar akan segala makanan!" ujar seorang teman
di sampingnya seraya
tertawa geli. "Habis, itulah kesempatan yang baik buatku. Kalau
tidak ada pengangkatan seorang pahlawan, belum ten-tu ada masakan-masakan
selezat dan sesedap ini," sahut 'si raja makan' tadi sambil cuping hidungnya
kembang-kempis serta nyungir-nyungir menghirup bau
masakan yang terbawa angin dari rumah sebelah barat. "Hmm, isaplah bau masakan ini. Ah, sedap benar rasanya!"
"Ha, ha, ha, jangan kuatir. Perempuan-perempuan
kita akan memasak makanan yang paling enak dan
kau tak perlu cemas kehabisan masakannya," sambung seorang teman lain yang bertubuh jangkung.
"Tapi jangan lupa ini semua adalah berkat jasa-jasa Pendekar Mahesa Wulung dan
teman-temannya, yang
telah membebaskan kampung kita dari keganasan
orang-orang Kapal Hantu!"
"Benar. Dengan begitu, di kampung ini akan ada tiga pendekar utama, yakni Pendekar Seguntur, Tagoh


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hulu, dan Mahesa Wulung," berkata si tukang makan.
"Hah, pasti akan hebat! Aku kuatir Pendekar Seguntur akan tidak senang oleh pengangkatan Mahesa
Wulung menjadi pendekar utama yang ketiga!" kembali si jangkung berkata. "Mudahmudahan pesta malam
nanti akan lancar dan tidak ada kesulitan apa-apa."
"Ah, kau berpikir yang tidak-tidak!" sahut si tukang makan tadi dengan nada
cemas. "Siapa yang mengharap ada kesulitan datang di tengah-tengah pesta kita?"
"Haai, ayo kembali bekerja, biar lekas selesai. Dan nanti malamlah kita
lanjutkan percakapan ini sepuas-nya," sambung seorang lainnya dan mereka pun
lalu memotong percakapannya serta kembali bekerja.
Demikianlah orang-orang Kampung Lembah Sampit
tadi bekerja dengan giatnya mempersiapkan pesta malam nanti. Mereka seolah-olah
tak sabar untuk menan-ti malam yang bakal tiba ini.
Maka ketika malam pun mulai menjelang, halaman
di tengah-tengah kampung tadi telah bersih serta terhias indah. Orang-orang pun,
penduduk dari kampung Lembah Sampit, berduyun-duyun berkumpul di tempat
tersebut. Pada kursi-kursi batu, duduklah si tua Tawau, Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum, para orangorang tua dan lain-lainnya. Pendekar Seguntur pun
ada pula di situ. Ia duduk bersama-sama para prajurit.
Udara malam itu sangat nyaman terasa, dan langit
yang terang serta bersih dihiasi oleh sang purnama yang bulat penuh dengan warna
peraknya, sedang di
sekelilingnya ribuan bintang berkelip-kelip bertaburan sangat indah.
Sejurus kemudian terdengar pula bunyi-bunyian ditabuh orang. Suaranya merdu mengalun di udara malam itu, menyusuri sudut-sudut kampung dan pepohonan. Beberapa obor serta api unggun terpasang pa-da tempat-tempat yang
strategis, dimana cahaya dan sinar apinya dapat menerangi halaman yang telah
penuh sesak oleh manusia-manusia.
*** SUARA hiruk-pikuk dan keriuhan tiba-tiba saja mereda lalu akhirnya hilang sama sekali, sebab mereka
melihat kepala kampungnya, yaitu si tua Tawau berdiri serta mengacungkan
tangannya ke depan sambil berkata. "Saudara-saudaraku semua, segenap warga
kampung Lembah Sampit ini. Ketahuilah bahwa malam ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan pes-ta selamatan atas
terlepasnya kampung kita dari ancaman gerombolan Kapal Hantu yang telah sekian
la- manya selalu mengganggu ketentraman kita. Kedua
kalinya, kita malam ini akan mengangkat Mahesa Wulung, tamu kita dari seberang, untuk menjadi pendekar utama yang ketiga dari Lembah Sampit ini."
Demikian antara lain kata-kata pertama dari si tua Tawau, sementara dalam waktu
yang bersamaan, Mahesa Wulung menjadi berdebar-debar hatinya.
Ia tidak mengira sama sekali jika bakal mendapat
kehormatan yang begitu besar, dan sebenarnya hal ini pulalah yang membuat
hatinya kerepotan.
Kalau saja ia bukan seorang tamu serta kenalan baru dari orang-orang ini, pasti ia akan menolak jika di-elu-elukan sedemikian
besarnya. Dasar memang Mahesa Wulung bukan termasuk golongan orang yang
suka ditonjol-tonjolkan jasa serta keperwiraannya, ma-ka pengangkatan itu
terpaksa akan diterimanya dengan hati yang berat, hal itu hanya diterimanya dengan maksud untuk menjaga
perasaan serta kebaikan
orang-orang ini di dalam pergaulan selanjutnya.
Terlebih pula Mahesa Wulung sebenarnya menaruh
rasa cemas dengan pengangkatan itu, sebab ia mendu-ga akan terjadi apa-apa dalam
pesta malam ini. Naluriahnya yang tajam seakan-akan telah memperingatkan dirinya agar berlaku lebih hati-hati sekarang.
Oleh peringatan naluriahnya tadi, Mahesa Wulung
seperti digerakkan oleh satu kekuatan dalam yang
kuat dan di saat ia melirik ke arah pendekar Seguntur,
dadanya bagai terguncang oleh gempa hebat. Di situ ia melihat betapa sinar mata
Seguntur menatap ke arah dirinya dengan tajam.
Untunglah Mahesa Wulung lebih cepat menguasai
perasaannya, sehingga kagetnya itu tidaklah nampak benar oleh siapa pun, lebihlebih oleh Seguntur sendiri.
Kemudian tibalah saat yang mereka tunggu-tunggu.
Segenap mata lalu diarahkan kepada si tua Tawau
yang menjunjung pada kedua belah telapak tangannya, sebuah senjata mandau dengan sarungnya yang
berukir indah, terhias pula dengan gigi-gigi binatang dan rambut atau bulu-bulu
yang berumbai panjang
keputihan warnanya.
Oleh seorang tua lainnya, Mahesa Wulung dipersilakan tampil ke depan dan menerima senjata mandau
tersebut diiringi oleh mulut si tua Tawau yang bergumam mengucapkan doa atau
puji-pujian yang sukar
dimengerti oleh Mahesa Wulung. Tambahan lagi suaranya hanyalah bergumam di dalam
mulut saja. Setelah Mahesa Wulung memegang mandau tadi, ia
pun mengucapkan janji yang diulang dari kata-kata si tua Tawau.
"Dengan menerima pusaka ini, saya berarti telah di-angkat sebagai pendekar utama
dan menjadi anggota
keluarga Lembah Sampit, serta berjanji untuk mengu-tamakan kebenaran dan
keadilan serta menentang kejahatan dan tindak angkara murka."
Mahesa Wulung mengucapkan kata-kata dengan
nada bergetar. Sedang Pandan Arum yang ikut menyaksikan upacara tersebut bersama orang-orang
lainnya, tahu-tahu telah melelehkan air mata keharuan bercampur rasa bangga bahwa kekasihnya telah
mendapat julukan pendekar utama Lembah Sampit.
Upacara tadi telah selesai dan Mahesa Wulung telah duduk di tempat semula.
Bermacam-macam hidangan
yang sedap-sedap telah dihidangkan, sementara beberapa orang pemuda menarikan
tari perang dengan
membawa perisai panjang atau telabang di tangan kiri dan sebilah senjata mandau
terhunus tergenggam pa-da tangan kanannya.
Para penari tadi bergerak dengan lincahnya dan gesit. Kilatan-kilatan pedang mandau yang dimainkan
dalam tataran yang cukup sempurna membuat penonton pada kagum karenanya. Kadang-kadang dengan
gerak yang berbareng, senjata-senjata tadi menyambar serta menebas ke atas,
hingga menyebabkan suara
berdesing dan di lain saat mereka menukik ke bawah bersama.
Tarian perang ini berlangsung cukup lama, namun
selalu memikat para penonton, dan memang, para penari tadi melakukan segala geraknya dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak sematamata memperlihatkan
bahwa mereka hanya menari, tetapi lebih dari itu. Pemuda-pemuda tersebut seolaholah tengah menghadapi musuh yang sebenarnya, sehingga gerak-gerik mereka dalam menangkis dan menyerang sangat hebatnya. Pendekar Seguntur yang tengah menatap tarian perang tadi tidak sepenuhnya tertarik hatinya, sebab saat itu ia tengah mengawasi
Mahesa Wulung dengan
sorot mata yang tajam. Nafsu amarah dan iri dalam
dadanya terhadap Mahesa Wulung, masih belum mereda sampai saat ini.
Dan memang rupanya Seguntur kurang tahan terhadap luapan nafsu dendam yang kini melonjak-lonjak dalam dadanya. Sesungguhnya
celakalah manusia yang mudah diperhamba oleh nafsunya, sebab jika sudah
demikian, manusia akan kehilangan kesadarannya.
Begitulah pula dengan Seguntur tadi. Bersamaan
makin kerasnya irama genderang dipalu, yang menimbulkan irama, memukau dan penuh pesona, pendekar
Seguntur tiba-tiba saja melesat dengan sigapnya ke tengah-tengah para penari
tersebut sambil menghunus pedang mandaunya serta memegang sebuah perisai
panjang atau telabang di tangan kiri.
Hampir semua mulut penonton melontarkan teriakan kecil kagum oleh kesigapan Seguntur, tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa
Wulung. Hatinya berdesir melihat Seguntur tadi.
Pendekar itu lalu turut menari bersama para pemuda lainnya. Gerakannya lebih lincah dari para penari tersebut, tetapi juga lebih
garang, menyebabkan mereka menjauh dari gerakan Seguntur. Agaknya mereka
takut kalau-kalau terkena tebasan pedang mandau
Seguntur yang berseliweran bagai sambaran-sambaran seekor ular memburu mangsa.
Malahan lama-kelamaan para penari muda tadi segera menghentikan tariannya lalu mereka berdiri di te-pi bersama para penonton
lainnya. Kini mereka malah menjadi penonton dari tarian pendekar Seguntur.
Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung rupanya
menjadi kenyataan juga. Tarian perang Seguntur akhirnya mendekati ke arah Mahesa Wulung berada, dan tiba-tiba saja pedang
mandaunya tadi menyambar ke
arah ujung kepala Mahesa Wulung.
Wess! Suara berdesing dibarengi oleh jeritan melengking
dari penonton, memenuhi udara malam yang dingin
dan pekat. Mereka sudah dapat membayangkan bila
kepala Mahesa Wulung yang berharga dan cuma satu
itu akan terpenggal dan jatuh menggelinding di tanah!
Pekik para penonton terdengar.
Namun mereka kemudian menarik nafas panjang
Lambang Naga Panji Naga Sakti 12 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Pukulan Naga Sakti 12

Cari Blog Ini