Ceritasilat Novel Online

Ladang Pertarungan 3

Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Bagian 3


"Hajar dia!" kata Ragajampi kepada dua orang bertampang keji itu. Maka keduanya
segera menyeret Mahendra Soca dan mengikat pemuda
yang sedang kesakitan akibat pukulan jarak jauh
Ragajampi. Mahendra Soca diikat disebuah pohon
tanpa bisa berkutik lagi. Tapi ia tak pernah ucapkan kata 'ampun' sedikit pun
kepada Ragajampi. Seakan
ia siap menerima akibat dari hubungannya dengan
Yayi. Tarrr.. ! Sebuah cambuk melecut di tubuh
Mahendra Soca, dan membuat Mahendra Soca
memekik kesakitan dengan suara tertahan.
Ragajampi tetap duduk di atas kudanya, demikian
juga Sulaya. Dari punggung kuda, Ragajampi berseru kepada Mahendra Soca,
"Sudah kuingatkan berapa kali padamu,
Mahendra, jauhi Yayi! Jangan dekati gadis itu! Tapi mengapa kau masih nekat,
Mahendra"!"
"Karena aku suka pada dia!" jawab Mahendra
Soca polos dan dengan berani ia melontarkan hal
itu. Tar...! Tarr...!
Dua orang mencambuk Mahendra Soca,
membuat bilur-bilur di tubuh Mahendra Soca. Untung Mahendra Soca di kat dalam
keadaan masih memakai baju putihnya. Tapi baju itu tidak
berlengan sehingga lengannya itulah yang banyak
menjadi sasaran cambuk dua orang berwajah
bengis. "Kau terlalu bodoh, Mahendra! Kau belum tahu
siapa Yayi!"
"Aku tahu, dia putri seorang adipati!" jawab Mahendra Soca sambil napasnya
terengah-engah.
"Bukan itu saja!" bentak Ragajampi. "Yayi adalah kekasihku!"
"Dia tidak suka padamu, Ragajampi!"
"Karena ada kamu, maka dia jadi tidak suka
padaku! Kaulah penghalang cintaku kepada Yayi,
karena itu kau pun harus kulenyapkan, jika kau tidak mau menjauhi Yayi!"
"Aku rindu padanya jika tidak bertemu dia!" ucap Mahendra Soca.
Tarrr....! "Auh. .!" Mahendra Soca memekik kesakitan karena kali ini yang dicambuk adalah
wajahnya. Ragajampi tampak semakin geram, hingga ia turun
dari punggung kuda dan mencambuki sendiri tubuh
Mahendra Soca. Tebb...! Dugggh...!
Suto mengirimkan pukulan jarak jauh melalui
sentilan jemarinya. Pukulan itu mengenai punggung
sebelah kiri Ragajampi. Orang itu tiba-tiba jatuh tersungkur dan sudah berdiri
lagi. Tubuhnya menjadi kaku, tak bisa bergerak. Tapi ia bisa bicara dan
kepalanya saja yang bisa berpaling ke kanan-kiri.
"Apa yang terjadi ini"! Sulaya. .! Cepat bantu aku, tubuhku tak bisa bergerak!"
seru Ragajampi.
Sulaya mencabut goloknya. Dengan cepat ia
melemparkan golok itu dan gagangnya menghantam
punggung Ragajampi. Duggh. .! Keras dan kuat
hantaman gagang golok tersebut, tapi membuat
tubuh Ragajampi menjadi lemas dan bisa bergerak
lagi. "Ada yang menotok peredaran darahku tadi!" kata Ragajampi.
"Ya. Tapi aku sudah bebaskan totokan itu!"
"Yang kupikirkan, siapa orang yang mengirim
totokan padaku?"
Mahendra Soca ikut bicara, "Yayi pasti tak rela melihat aku diikat begini,
Ragajampi! Wajar jika Yayi kirimkan totokan padamu!"
Cemas juga Ragajampi mendengar hal itu, walau
sendiri belum yakin betul apakah memang Yayi yang
menotoknya atau orang lain. la mendengus kesal
sambil memandangi wajah Mahendra Soca penuh
kebencian. Lalu ia menggeram dalam berkata,
"Ingat. . peristiwa saat ini adalah peringatan
terakhir dariku! Kalau kau masih tetap mendekati
Yayi, kulihat kau masih berduaan dengannya, tak
kuberi tahu bagaimana caraku membunuhmu, yang
jelas kau pasti mati!"
Merasa takut perbuatannya kepergok Yayi, maka
Ragajampi pun segera lompat ke atas punggung
kuda dan memerintahkan orang-orangnya untuk
segera pergi. Sebelumnya, Ragajampi menyuruh
satu dari dua orang berwajah bengis itu untuk
melepas tali pengikat Mahendra Soca.
Mahendra Soca segera mengambil blandong dan
mau dihantamkan ke orang yang tadi melepaskan
tali pengikatnya itu. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh datang lagi
menghantam dadanya.
Buhgg...! Tubuh Mahendra Soca terpental ke belakang
membentur pohon yang tadi dipakai mengikatnya.
Mahendra Soca menyeringai kesakitan dan tak
berani menyerang dengan blandongnya lagi. Tapi
dari tempatnya berdiri bersandar di pohon itu, ia
sempat berseru,
"Ragajampi. .! Kalau kau memang ingin berebut cinta Yayi denganku, kita
bertarung di arena
pertarungan dua minggu mendatang!"
Ragajampi kaget, ia buru-buru berpaling
memandang Mahendra Soca.
"Kau menantangku, Mahendra?"
"Ya. Tapi di arena sana! Kalau kau memang jago dan seorang pengawal istana, kita
bertarung di arena resmi itu! Kalau kau tidak berani, lebih baik kau jadi penjaga kuburan
saja! Jangan berharap
mendapatkan Yayi! Sebab Yayi benci laki-laki yang
banci!" Ragajampi merasa terhina dengan ucapan itu.
Tapi la berusaha tersenyum sesinis mungkin dan
berkata, "Ilmumu belum cukup untuk melawanku di arena
seperti itu, Mahendra! Kalau memang kau berani,
kita tentukan di sini saja! Siapa yang mati, kau atau aku!"
"Maksudmu, kalau kita bertarung di sini, kalau kamu kalah denganku, maka kamu
bisa kabur tanpa
menderita malu terhadap orang banyak" Oh,
alangkah rendahnya nyalimu sebenarnya,
Ragajampi! Aku berani bertarung denganmu di
arena, disaksikan orang banyak, supaya orang
banyak juga tahu, siapa di antara kita yang pantas mendapatkan Yayi! Walaupun
aku pasti akan kalah
padamu, tapi siapa tahu kamu punya kelemahan di
situ dan aku bisa manfaatkan kelemahanmu"! Kau
takut?" "Setan!" geram Ragajampi.
"Kalau takut jangan kejar-kejar Yayi!"
"Aku tidak takut! Kusanggupi tantanganmu! Kita bertemu di arena dua minggu
lagi!" Mahendra Soca tertawa pendek, "Mudahmudahan kau selamat, Ragajampi!"
Sulaya ingin turun dan sudah mencabut goloknya,
tapi ditahan oleh Ragajampi. Mereka segera pergi
setelah Ragajampi memacu kudanya lebih dulu
dengan hati panas dan dada mau pecah rasanya.
Mahendra Soca sempat berteriak keras-keras,
"Beritahukan hal ini kepada Yayi, biar dia melihat siapa yang kuat di antara
kita berdua, Ragajampi. .!
Suruh dia nonton pertarungan kita!"
Setelah berseru begitu, Mahendra Soca
menjatuhkan diri ke rerumputan. la terengah-engah sambil pandangi luka cambuk di
lengannya. la menggerutu tak jelas, namun segera tersentak kaget setelah mendengar suara orang
meluncur turun dari
atas pohon dan menapak di tanah yang ada di
depannya. Jlegg...!
"Suto.. "!" ia sedikit terpekik. la pun bangkit dan menghampiri Pendekar Mabuk,
namun Pendekar Mabuk sudah lebih dulu mendekat.
"Minumlah tuakku ini! Lukamu bisa memborok
jika tak segera terobati!" kata Pendekar Mabuk.
"Ragajampi yang melakukan semua ini!" ujar Mahendra Soca setelah dia meneguk
tuak Suto. "Ya, aku melihatnya sejak tadi!"
"Edan! Kau melihatnya sejak tadi" Mengapa kau tidak mau segera menolongku?"
"Karena kau selalu menolak saranku untuk
belajar ilmu silat! Dengan begini kau tentunya akan sadar, bahwa kau membutuhkan
ilmu silat yang bisa
untuk mempertahankan diri dari serangan lawan!"
Mahendra Soca hempaskan napas. la diam
beberapa saat dan duduk di atas sebuah batu
setinggi betis.
"Setiap aku menganjurkan agar kau mempelajari ilmu silat, kau selalu keberatan!
Mengapa, Mahendra?"
"Aku bukan seorang pendekar," jawabnya agak ketus.
"Tapi kau perlu jaga diri!"
"Aku bisa jaga diri."
"Dengan babak belur begini kau namakan jaga
diri?" "Yang penting aku tidak mati, dan bisa
membunuh Ragajampi di pertarungan nanti!"
Pendekar Mabuk tertawa. "Bagaimana mungkin
kau bisa kalahkan Ragajampi kalau menghadapi
serangan sekecil tadi pun kau sudah dibuat babak
belur begitu?"
Tawa Pendekar Mabuk diteruskan sebentar,
kemudian ia geleng-geleng kepala. Sambungnya
lagi, "Mahendra, terus terang saja, aku kagum sama keberanianmu. Kau memang siap
menderita sakit,
modal badan besar, dan berotot. Tapi kau tidak bisa menyerang lawan dan
menumbangkannya! Apalagi
kau menantang Ragajampi bertarung di arena, itu
sungguh tantangan yang amat bodoh!"
Mahendra Soca tersenyum. "Kau tidak tahu jalan pikiranku, Suto!"
Berkerut dahi Suto menatap Mahendra, dan
bertanyalah ia,
"Jalan pikiran yang bagaimana, maksudmu?"
"Kupancing Ragajampi untuk masuk ke arena itu.
Karena aku yakin, dia tidak akan bisa mengalahkan
si Wajah Hitam."
"Tapi dia bisa mengalahkan kamu, Mahendra! Dia bisa membunuh kamu!"
"Aku tak akan hadiri"
"Apa..."!"
Mahendra Soca tertawa. "Aku hanya
melemparkan Ragajampi ke tengah arena, tapi aku
tidak akan muncul pada saat itu. Mau tak mau dia
harus menghadapi para peserta lainnya. Kalau toh
dia bisa kalahkan para pesei ta, maka ia tidak akan bisa kalahkan si Wajah
Hitam." "Kalau dia bisa kalahkan si Wajah Hitam,
bagaimana?"
"Aku kabur. Dan tak akan muncul lagi!"
Suto termenung sebentar, lalu dia tertawa sendiri,
"Ha ha ha. .! Ternyata otakmu tak sebodoh
dugaanku, Mahendra! Ha ha ha. .!"
"Dan kalau Ragajampi mati, orang-orang
kadipaten tidak bisa menuntutku, tapi Yayi bisa
menjadi milikku!"
"Ha ha ha. .! Edan betul otakmu, Mahendra! Aku suka, aku suka dengan caramu
berpikir," kata Suto Sinting sambil manggut-manggut.
* * * 8 DALAM taman keputren, biasanya Yayi duduk
menikmati bunga-bunga warna-warni dan curahan
air kolam yang segar. Tapi sudah beberapa hari
belakangan ini, Yayi tidak pernah berada di taman
keputren, bahkan pagi ini ternyata ia sudah berada di hutan tepi sungai. Di sana
ia berlatih ilmu pedang pemberian Ki Argapura. Si Penggal Jagat agaknya
sangat sayang kepada Yayi. Dengan tekun dan
penuh kesabaran, Ki Argapura menunggui gadis
cantik itu berlatih pedang. Yayi sudah dianggap
seperti cucu sendiri, sehingga diam-diam Ki Argapura punya kecemasan terhadap
niat Yayi yang ingin
maju ke pertarungan itu.
Dalam satu kesempatan, ketika mereka
beristirahat, Ki Argapura sempat berkata kepada
Yayi, "Beberapa jurus pedang maut telah kau pelajari, Yayi. Dan perkembanganmu cukup
pesat. Kau cepat
menyerap ilmu yang kuajarkan padamu. Sungguh
kau satu-satunya murid yang bisa menerima jurusjurusku dengan waktu sesingkat ini! Tapi aku yakin, itu semua karena kemauan
kerasmu yang ingin
melawan si Wajah Hitam."
"Agaknya memang begitu, Ki. Tak ada pikiran lain dalam benakku kecuali ingin
membalas kematian
adikku di arena itu!"
"Aku mengerti jiwamu, Yayi. Tapi alangkah
baiknya jika kau tak perlu turun ke arena."
Yayi memandang Ki Argapura dengan wajah
cemberut. "Dulu, Ki Arga setuju aku turun ke arena, sekarang Ki Arga
kelihatannya melarangku untuk ke
sana!" "Dulu aku hanya memberi semangat padamu
agar kau cepat kuasai ilmu pedangku. Sekarang
setelah kau menguasai ilmu pedangku, aku takut
kehilangan dirimu, Yayi. Aku bisa mengamuk kepada
si Wajah Hitam dan pengelola Ladang Pertarungan
itu jika kau sampai celaka. Padahal aku sudah
berjanji pada diriku sendiri untuk tidak turun lagi di rimba persilatan!"
"Jadi, kalau begitu, Ki Arga tidak yakin kalau ilmu pedang yang diturunkan
padaku bisa kalahkan ilmu


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya si Wajah Hitam"!"
"Yang kukhawatirkan bukan kekuatan jurus
pedangku, tapi dendam yang ada dalam hatimu,
Yayi." Ki Argapura pandangi keadaan sekeliling sambil
berkata, "Dendam adalah pedang yang paling tajam buat diri kita! Dendam yang
tidak terkuasai akan
membuat kelemahan seseorang, sekalipun orang itu
mempunyai ilmu setinggi apa pun. Buat lawan yang
pandai, dia akan memanfaatkan dendam orang lain
kepadanya sebagai pembunuh naluri orang itu
sendiri. Ingat, Yayi.. kalau kau bertarung
berdasarkan dendam, maka nalurimu akan kurang
peka. Indera keenammu akan dikalahkan oleh sang
nafsu. Tapi kalau kau bertarung demi suatu
pertahanan diri, maka nalurimu akan menjadi
setajam pedang, dan indera keenammu akan
menjadi setajam silet cukur."
Yayi diam merenungi kata-kata Ki Argapura. la
beri pikir, apakah ia harus membuang dendamnya
kepada si Wajah Hitam" Jika dendamnya telah
terbuang, maka ia tak punya keinginan bertarung
dengan orang itu. Jika ia tidak punya keinginan
bertarung dengan orang itu, maka sia-sia saja ia
pelajari ilmu pedang Ki Argapura dengan tekun,
hingga dilakukan siang-malam tanpa mengenal
lelah. Kalau ia berhasil berhadapan dengan si Wajah
Hitam, apakah ia bisa menghilangkan dendamnya,
jika kematian Abiyasa selalu membayang di pelupuk
matanya" Rasa-rasanya Yayi tak akan sanggup
membuang dendamnya kepada si Wajah Hitam.
Kecuali jika orang itu telah mati di tangan orang lain, maka dendam Yayi pun
akan hilang dengan
sendirinya. Saat itu, datang tiga ekor kuda yang berlari tak
terlalu cepat ke arah tepian sungai. Mereka tak lain adalah Ragajampi, Sulaya,
dan seorang berwajah
bengis yang mencambuki Mahendra Soca beberapa
waktu yang lalu. Melihat kehadiran mereka, Yayi
mendengus kesal, wajahnya makin cemberut. Ki
Argapura hanya meliriknya sekejap dan berlagak
tidak tahu-menahu tentang sikap Yayi.
"Selamat pagi, Ki Arga," sapa Ragajampi dengan
keramahan yang kaku. Senyumnya pun terlihat
kurang enak dipandang mata. Namun Ki Argapura
membalasnya dengan keramahan sejati.
"Yayi aman dalam pengawalanku, Ragajampi!
Rasa-rasanya tak perlu kau mencemaskannya!" kata Ki Argapura tetap tersenyum.
"Aku percaya, Ki Arga. Aku hanya ingin melihat sejauh mana Yayi sudah kuasai
ilmu pedangmu!"
"Tidak terlalu jauh. Masih pelajaran dasar saja,"
sahut Ki Argapura.
Tapi Yayi segera menyahut dengan ketus,
"Apakah kau ingin mencobanya, Ragajampi"!
Turunlah dari kudamu jika kau ingin mencobanya!"
Ragajampi sunggingkan senyum sinis dan
berkata, "Tidak kepadamu ilmu pedangku harus
kucoba, tapi mungkin kepada Mahendra!"
Terkesiap mata Yayi mendengar ucapan itu. Mata
itu pun kini kembali menatap dengan tajam dan
penuh keberanian.
"Jika kau sentuh dia, kucabut nyawamu kapan
saja, Ragajampi!" geram Yayi mengancam.
"Dia yang membuka tantangan!" sanggah
Ragajampi. "Dia yang menantangku agar bertarung di arena pertarungan itu, dua
minggu lagi!"
"Apa. ."!" Yayi terkejut dan mulai berdebar-debar.
"Dia menantangmu" Oh, tak mungkin! Tak mungkin hal itu ia lakukan! la tidak
mempunyai ilmu pedang sedikit pun. la tidak bisa berkelahi!"
"Tapi ia punya kesombongan, Yayi!" kata
Ragajampi menyahut. "Kesombongan itu akan
dipamerkan di depanmu! Kuakui, dia memang punya
keberanian! Tapi dia juga punya kebodohan!"
Yayi mendekat dan berkata lebih geram lagi,
"Kuharap kau tidak melayani tantangannya,
Ragajampi!"
"O, harus! Aku harus melayani tantangannya
supaya dia tidak menjadi orang sombong dan orang
bodoh lagi! Dia yang menghendaki hal itu untuk
menentukan siapa orang yang berhak menjadi
kekasihmu, Yayi!"
"Gila!" sentak Yayi jengkel sendiri.
"Dia memang gila! Tapi untuk mempertahankan
rasa hatiku kepadamu aku akan lebih gila lagi dari dia, Yayi!"
Ragajampi tertawa pelan tapi panjang, kemudian
kudanya dipacu pelan hingga kuda itu melangkah
meninggalkan Yayi yang tertegun dalam cekaman
berbagai rasa. "Ki Arga, aku pamit dulu dan tolong tetap jaga dia dengan baik!"
Ki Argapura hanya sunggingkan senyum dan
mengangguk. Sikapnya tetap tenang, tidak
menunjukkan sikap permusuhan sedikit pun. Lalu,
Ragajampi masih sempat bicara kepada Yayi yang
terakhir, "Jangan lupa, Yayi. . Dua minggu lagi datanglah ke Ladang Pertarungan dan
tontonlah pertarungan
yang sangat mengagumkan nanti!"
Ragajampi pun pergi tinggalkan Yayi bersama
tawanya yang makin lama makin menghilang.
Sementara itu, Yayi semakin menggeletakkan gigi
menahan kebencian terhadap Ragajampi. Matanya
memandang dengan menyipit, pertanda tumbuh
dendam lain di hati Yayi, yaitu dendam kepada
Ragajampi. "Siapa Mahendra itu, Yayi?" tanya Ki Argapura dengan suara pelan dan tampak
hati-hati sekali, ada rasa takut menyinggung perasaan Yayi. Tapi Yayi
menerima pertanyaan itu dengan baik-baik dan
berkata, "Mahendra adalah penebang kayu yang polos,
tapi punya keberanian tinggi, la pernah
menyelamatkan aku dari serangan Nyai Gayung
Demit, walau untuk itu ia hanya pasang badan
sebagai perisai yang melindungiku. Tapi ia sendiri mengalami luka dan sakit yang
ditahannya."
"Apakah kau menaruh hati padanya?"
Yayi bimbang menjawabnya, akhirnya ia hanya
berkata, "Mungkin begitulah maksud hatiku, tapi...
tapi aku tak berani memastikan apakah dia
menaruh hati padaku atau tidak!"
"Kalau benar apa yang dikatakan Ragajampi tadi, berarti Mahendra bukan saja
menaruh hati padamu,
tapi sudah jatuh cinta padamu. Buktinya dia berani menantang Ragajampi di arena
pertarungan itu!"
"Dia memang orang bodoh!" gerutu Yayi.
"Biarkan dia membuktikan cintanya padamu,
Yayi!" "Tapi dia hanya akan mati konyol jika harus
bertarung di arena itu" Yang akan dihadapi bukan
hanya Ragajampi! Uuh. .! Benar-benar tolol otak si Mahendra Soca itu! Apakah dia
tak berpikir bahwa
seandainya dia bisa menang dengan Ragajampi, toh
dia akan berhadapan dengan sang pembantai si
Wajah Hitam itu!"
Yayi tampak gemas sekali membayangkan
kelancangan mulut Mahendra Soca, sehingga pada
akhirnya ia berkata kepada Ki Argapura,
"Bisakah Ki Arga menolongku sekali lagi?"
"Apa maksudmu?"
"Tolong, ajarkan ilmu pedang pada Mahendra
Soca sebelum ia nekat tampil ke arena itu, Ki!
Tolonglah bekali dia!"
Ki Argapura hanya menjawab, "Lanjutkan dulu
latihanmu. Sementara kau berlatih, aku akan
mempertimbangkan permohonanmu itu, dan
mencari cara terbaik untuk semua ini!"
Pada waktu itu, Ragajampi bersama Sulaya dan
satu orang berwajah bengis sedang menuju ke
sebuah desa. Karena ia mendengar kabar bahwa
Nyai Gayung Demit bikin onar di desa yang masih
dalam wilayah kekuasaan kedipaten itu. Kabar itu
diterima mereka semalam, dan sang Adipati
mengutus Ragajampi untuk membunuh Nyai Gayung
Demit agar rakyat yang berada dalam wilayah
kekuasaan kadipaten merasa tenteram.
Tanpa mereka sadari, saat mereka beristirahat
sebentar di bawah pohon rindang, karena kuda
Sulaya mengalami gangguan pada bagian kakinya,
ada sepasang mata yang memperhatikan mereka
dan mencuri dengar percakapan mereka dari atas
pohon. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting si
Pendekar Mabuk.
Dari tempatnya bersembunyi, Suto mendengar
Sulaya berkata,
"Kenapa kita tidak manfaatkan Nyai Gayung
Demit untuk membunuh Mahendra saja,
Ragajampi?"
"Aku ingin Mahendra mati di tanganku sendiri!
Karenanya aku sangat bersyukur dia berani
menantangku bertarung di arena itu!"
"Bagaimana jika pada saatnya ternyata dia tidak muncul di arena pertarungan?"
"Kau yang menjalankan tugas!"
Sulaya memandang Ragajampi, "Jalankan tugas
bagaimana?"
"Kalau Mahendra Soca menjebakku di arena, dan dia tidak datang ke pertarungan
itu, sementara aku sendiri mati di tangan si Wajah Hitam, maka
tugasmu adalah membunuh Yayi dengan jarum
beracun!" "Aku harus membunuh Yayi?"
"Ya. Supaya Mahendra Soca sendiri tidak
mendapatkan Yayi setelah kematianku!"
"Tetapi orang akan tahu kalau Yayi mati karena
jarum beracunku! Aku bisa dicurigai sang Adipati,
Ragajampi!"
"Pakailah jarum beracun milikku, toh aku sudah mati! Maka orang akan menduga
akulah pembunuh
nona manis itu, sedangkan aku sendiri sudah mati di pertarungan! Kau akan bebas, Sulaya!"
"Begitukah maumu?"
"Ya. Karena itu siapkan jarum beracunku dan
incar terus Yayi, jangan sampai terhadang oleh siapa pun! Pilih lima orang yang
membantumu untuk
melepaskan jarum beracun itu, untuk menjaga
kalau-kalau kau gagal, maka satu dari kelima orang itu akan berhasil membunuh
Yayi. Tapi ingat, kalau keadaanku menang terus sampai pertarunganku
dengan si Wajah Hitam juga menang, jangan kau
bunuh Yayi. Nanti kau sendiri yang bisa kubunuh!
Mengerti?"
"Ya. Mengerti! Akan kusiapkan lima orang sesuai rencanamu itu!" kata Sulaya
dengan tegas dan patuh.
Pendekar Mabuk memegang kunci adanya
sebuah persekongkolan untuk membunuh Yayi.
Kunci ini sangat berharga. Karena itu, Suto sangat berhati-hati dalam
persembunyiannya, agar jangan
sampai diketahui oleh mereka. Sampai akhirnya
Suto berhasil tetap dalam persembunyiannya ketika
mereka meneruskan langkah ke sebuah desa untuk
memburu Nyai Gayung Demit.
"Nyawa Yayi terancam!" pikir Suto. "Mahendra
Soca harus tahu hal ini, supaya dia membatalkan
tantangannya kepada Ragajampi. Sebab jika
Mahendra Soca tetap menggunakan tipu
muslihatnya itu untuk menjebak Ragajampi, maka
nyawa Yayi yang akan jadi sasaran berikutnya.
Barangkali kalau hanya Sulaya yang harus
kulenyapkan demi menyelamatkan nyawa Yayi, itu
mudah saja. Tapi bagaimana dengan lima orang
pilihan Sulaya yang akan diberi tugas membunuh
Yayi" Aku tidak tahu siapa-siapa mereka. Tak
mungkin aku mengawal Yayi sampai ke dalam
istananya! Jadi langkah yang terbaik adalah
membatalkan tantangan Mahendra Soca! Aku harus
bisa segera menemui Mahendra Soca sebelum tiba
saat pertarungan!"
Sayangnya Suto tidak berhasil menemui
Mahendra Soca hari itu juga. la bahkan bertemu
dengan Yayi yang sedang melakukan latihan dengan
tekun di tepi sungai, dengan dibantu oleh Ki
Argapura yang bertindak sebagai lawan berlatih.
Suto diam beberapa saat memandangi gerakan
pedang Ki Argapura yang selalu dapat ditangkis dan dihindari oleh Yayi. Dalam
hati Suto berkata,
"Cukup lincah juga Yayi rupanya. Tebasantebasannya tak pernah goyah sedikit pun. Andai
bukan gurunya yang menjadi lawan berlatih,
mungkin orang itu sudah cedera sejak tadi. Tapi
kurasa, si Wajah Hitam masih dapat mematahkan
jurus-jurus Yayi dengan jurus simpanannya. Aku
yakin, si Wajah Hitam pasti punya jurus simpanan
yang belum digunakan jika tidak dalam keadaan
sangat mendesak!"
Tiba-tiba Ki Argapura berhenti dari semua
gerakannya. Matanya melirik ke samping. Yayi
memandang dengan heran. Kemudian bertanya
kepada Ki Argapura,
"Ada apa, Ki Arga" Mengapa berhenti?"
"Ada yang mencuri jurus-jurus kita!"
"Hahh..."!" Yayi kaget. Segera ia putarkan pandangan matanya menyusuri tiap
semak, batu, dan pohon yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Mendengar ucapan Ki Argapura, Pendekar Mabuk


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi tak enak hati. Dia tak mau dikatakan
sebagai pencuri jurus. Karena itu ia segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Tapi bersamaan itu
ia sempat menangkap sekelebat bayangan yang
melesat melarikan diri dari tempat persembunyian di seberang sungai. Suto curiga
dan ingin mengejar
untuk mengetahui siapa orang itu. Tetapi suara Yayi telah memanggilnya lebih
dulu, sehingga Suto mau
tak mau menghampiri Yayi dan membatalkan niat
mengejar sesosok bayangan, yang menurut Suto
adalah seseorang yang sedang mencuri jurus
pedang, seperti yang dikatakan Ki Argapura. Jadi
mungkin bukan Suto Sinting yang dimaksud oleh Ki
Argapura tadi, melainkan orang lain yang memang
sengaja mencuri jurus pedang Ki Argapura.
Dalam hati Suto berkata, "Melihat kelebatan
warna putihnya, aku curiga, jangan-jangan pencuri
jurus tadi adalah Mahendra Soca sendiri"! Warna
pakaiannya yang putih, seperti pakaian sehari-hari Mahendra kelihatannya, tapi
aah. . sebaiknya
kubicarakan nanti saja!"
Yayi menyambut kedatangan Suto dalam senyum
keramahan. Tapi Ki Argapura terkesiap melihat
Pendekar Mabuk dan diam di tempat.
"Kau memang nakal, Suto! Mengapa harus
mencuri jurus-jurus kami" Datang saja dan
bergabung dengan kami, kurasa Ki Argapura tidak
keberatan melatih jurus pedangnya kepadamu.
Bukankah begitu, Ki Arga?"
Buru-buru Ki Argapura tersadar dari tertegunnya
dan segera tersenyum menutupi kekakuannya tadi.
Kemudian, Yayi memperkenalkan Suto kepada Ki
Argapura dengan berkata,
"Ini temannya Mahendra, Ki. Namanya. . "
Ki Arga menyahut, "Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan punya gelar Pendekar
Mabuk!" Suto tertegun mendengar Ki Argapura
menyebutkan dirinya secara lengkap. Suto juga
memandang Yayi yang ternyata sama-sama
terbengong mendengar apa yang dikatakan Ki
Argapura. "Dari mana Ki Arga bisa tahu namaku dan nama
guruku?" "Namamu sudah cukup kondang. Ciri-cirimu
sudah banyak dikenali oleh para tokoh di dunia
persilatan. Jadi tak sulit lagi bagiku untuk
mengenalimu dengan hanya memandang bumbung
tuakmu itu!"
Yayi mendekati Ki Argapura saat Pendekar Mabuk
tersenyum malu. Yayi berkata dengan suara pelan,
tapi didengar oleh Suto,
"Apakah dia orang hebat, Ki?"
"Jangan bertanya begitu, Yayi! Yang perlu kau ketahui adalah, dia juga punya
guru yang bernama
Bidadari Jalang. Dan yang bernama Bidadari Jalang
itu jago pedang! Ilmunya jauh di atas ilmuku. Jadi kau bisa terka sendiri apakah
Suto itu bisa memainkan pedang atau tidak! Tapi jangan kau
mencobanya dengan pedang sungguhan, kau bisa
kehilangan kelima jari tanganmu dalam satu kejap
saja!" "Ki Arga terlalu berlebihan," sahut Suto semakin tersipu malu. "Kedatanganku
kemari bukan untuk membicarakan soal itu, Ki. Aku hanya ingin ingatkan sekali
lagi kepada Yayi, supaya ia melupakan arena pertarungan itu. Karena ada bahaya
yang menunggunya di sana jika ia nekat ingin turun ke
pertarungan."
"Aku sudah ingatkan dia, Suto. Tapi agaknya hati Yayi semakin keras dan
dendamnya tambah
membaja. Aku bingung mengatasi dendam yang
sudah membaja itu!"
"Usahakanlah, Ki. Kasihan dia! Hanya itu yang ingin kusampaikan kepada Yayi
sebenarnya, tapi
karena di sini ada gurunya, maka kusampaikan
kepada gurunya! Aku harus pergi sekarang juga, Ki!"
Sebenarnya Yayi kecewa karena kedatangan
Pendekar Mabuk hanya sebentar. la mencoba
menahan Pendekar Mabuk, tapi Suto tak bisa
ditahan. la terburu-buru harus pergi, karena ia sudah tak sabar ingin segerai
temui Mahendra Soca yang
tadi menurut dugaannya sedang mengintip Yayi.
Gubuk dikelilingi pohon kelapa itu disambangi
oleh Suto dan ternyata Mahendra Soca ada di sana
sedang telentang di atas balai-balai. la agaknya
sedang melepas lelah dalam renungan panjangnya.
Ketika Suto datang, ia sedikit terkejut, lalu
tersenyum kepada Suto.
Suto pun segera berkata nyeplos. "Kau tadi
mencuri jurus pedang Ki Argapura dan Yayi! Betulkah begitu, Mahendra?"
Tertawa nyengir orang muda berikat kepala putih
itu. Lalu ia berkata, "Memang. Habis aku malu jika ingin ikut belajar dengan
Yayi. Padahal, setelah aku merenung beberapa saat, rasa-rasanya memang aku
perlu mempelajari jurus pedang, untuk sewaktuwaktu jika kepergok Ragajampi, aku sudah siap
menghadapinya dengan jurus pedang yang
mematikan!"
"Mengapa tidak bilang padaku saja" Aku bersedia mengajarkan ilmu pedang padamu!"
"Aku malu. Karena aku sudah pernah menolak
tawaranmu berulang kali. Takut kau menertawakan
aku jika aku minta diajarkan jurus-jurus pedang
padamu. Dan. . jujur saja kukatakan padamu, aku
agak ragu apakah kau bisa jurus pedang seperti Ki
Argapura itu, karena aku tak melihatmu membawa
pedang. Yang kau bawa selalu bumbung tuak, jadi
kupikir kau hanya menguasai jurus-jurus minum
tuak agar tak sampai mabuk!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar
kepolosan berpikir Mahendra Soca. Kejap berikutnya ia berkata,
"Apakah kau punya pedang" Jika kau punya, akan kuajarkan beberapa jurus pedang
yang mematikan saja!" "Aku tidak punya pedang," jawab Mahendra Soca.
"Bagaimana kalau kita pakai pedang-pedangan dari kayu saja?" Mahendra Soca
tersenyum dan Pendekar Mabuk semakin geli dibuatnya.
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
9 ORANG-ORANG kadipaten bersorak girang ketika
Ragajampi pulang dengan menenteng kepala Nyai
Gayung Demit. Keberhasilan Ragajampi membuat ia
semakin dipuji-puji oleh orang-orang kadipaten.
Pujian itu pun membuat Ragajampi merasa bangga
dan selalu busungkan dada. Bahkan di depan Yayi,
pada saat mereka bertemu berdua di samping
taman keputren, Ragajampi sempat berkata,
"Kelak yang kubawa bukan kepala Nyai Gayung
Demit lagi, tapi kepala Mahendra sendiri!"
Yayi hanya menggeram dan mendengus kesal.
Kemudian cepat-cepat masuk ke taman keputren
dan tak mau melayani kata-kata Ragajampi. Di
dalam benaknya, Yayi hanya punya satu pilihan,
yaitu berusaha mencegah Mahendra Soca agar tidak
datang ke arena pertarungan. Tetapi sudah beberapa hari ini, Yayi tidak pernah
bertemu dengan Mahendra Soca. la tidak tahu pondok Mahendra Soca, sehingga ia
hanya bisa menyusuri hutan untuk mencari
pemuda itu. Kalau saja Yayi menemukan pondok Mahendra
Soca yang penuh dengan tumpukan kayu itu, maka
ia akan tercengang girang melihat Mahendra Soca
mau mempelajari ilmu silat, terutama ilmu pedang.
Dan semakin girang jika Yayi tahu, Pendekar Mabuklah orang yang mengajarkan ilmu pedang kepada
Mahendra Soca. Pemuda berlengan kekar itu tampak dengan
tekun mengikuti latihan yang diberikan Suto Sinting memakai pedang-pedangan dari
kayu. Suto yang
mencarikan berat kayu sesuai dengan berat pedang
pada umumnya. Sayangnya, Mahendra Soca
termasuk lamban dalam perkembangannya. la
masih sering salah melakukan gerakan tebas, dan
kuda-kudanya sering terlihat lemah.
Sering sekali kakinya diserampang oleh kaki
Pendekar Mabuk karena lemahnya kuda-kuda,
sehingga Mahendra Soca terpelanting jatuh dan
mengaduh. Pendekar Mabuk membentak tak sabar,
"Kalau kuda-kudamu lemah, maka nyawamu
tidak akan betah tinggal di ragamu! Lawan dapat
dengan mudah mencabut nyawamu pakai
pedangnya! Tolol amat kau ini!"
Mahendra Soca terengah-engah, kejap berikut dia
berkata, "Sudahlah, kuputuskan tak perlu belajar ilmu silat lagi! Ternyata
mempelajari ilmu silat justru membuat badan jadi bonyok sendiri!"
"Jangan patah semangat, Mahendra! Ingat, kau
harus berhadapan dengan Ragajampi di arena nanti!
Kau...." "Eh, itu kan hanya muslihatku saja! Aku tidak benar-benar akan hadir di tengah
arena pertarungan, Suto! Apa kau lupa?"
"Kau harus hadir!" kata Suto dengan tegas. "Kalau kau tak hadir, maka Ragajampi
merasa tertipu.
Kalau dia mati di tangan si Wajah Hitam, maka Yayi akan dibunuh oleh orangorangnya Ragajampi!
Dengan begitu, kau tetap tidak akan mendapatkan
Yayi!" Terkejut Mahendra Soca mendengar hal itu. "Yayi akan dibunuh...?"
Suto menceritakan apa yang didengarnya dari
hasil mencuri percakapan Ragajampi di sebuah
pohon. Mahendra Soca menjadi tertegun bengong
mendengar cerita tersebut. Suto segera berkata,
"Ada satu jalan lain yang bisa kau tempuh untuk selamatkan Yayi dari ancaman
maut jarum beracun
itu." Mahendra Soca menatap Suto Sinting, tapi
Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya
sebentar, setelah itu baru berkata lagi,
"Temui Ragajampi dan mintalah maaf, lalu
batalkan pertarunganmu dengannya, dan tinggalkan
pula Yayi!"
"Tinggalkan Yayi. ."! Rasa-rasanya itu sulit kulakui kan, Suto!"
"Kalau memang sulit, yah. . kamu harus bertarung dengan Ragajampi di Ladang
Pertarungan itu!"
"Ak... aku... aku... aku tak mungkin kalahkan dia, Suto!"
"Karena itu, pelajarilah tiga jurus pedang yang mematikan ini! Jangan patah
semangat! Pelajari
terus buat bekalmu menghadapi Ragajampi dan si
Wajah Hitam nanti!"
Ya. Memang hanya tiga jurus pedang yang
diajarkan pada Mahendra Soca oleh Suto Sinting si
Pendekar Mabuk itu. Tiga jurus pedang itu konon
sukar dicari tandingannya, dan sulit ditangkis
ataupun dilawan. Tiga jurus pedang itu adalah, jurus
'Cakra Maut', jurus 'Ekor Petir', dan jurus 'Pedang Buta'. Tapi untuk
mempelajari tiga jurus pedang itu susahnya setengah mati buat Mahendra Soca. Ini
mungkin disebabkan karena Mahendra Soca tidak
memiliki jurus dasarnya, atau karena batin
Mahendra Soca menolak. Sementara itu, Mahendra
Soca menolak untuk mendapatkan satu lagi jurus
pedang maha dahsyat yang dinamakan jurus
'Pedang Siluman'. Alasan Mahendra Soca,
mempelajari tiga jurus pedang saja sudah
kewalahan, apalagi ditambah satu lagi 'Pedang
Siluman', jelas Mahendra Soca tak akan mampu
melakukannya dengan baik.
Sampai pada batas waktu yang sudah ditentukan
untuk dimulainya pertarungan, Mahendra Soca
masih tidak menampakkan kemajuannya sedikit
pun. Suto sendiri merasa cemas akan keselamatan
jiwa Mahendra Soca. Satu-satunya jalan ia harus
menemui Ragajampi dan mengatakan bahwa
Mahendra Soca tidak sanggup melakukan
pertarungan dan tentangan itu dibatalkan. la harus segera ke istana menemui
Ragajampi. Tetapi di pertengahan jalan ia berpapasan dengan
Ki Argapura yang kelihatan menyimpan ketegangan.
Ki Argapura menyapa lebih dulu dan mengatakan
kepada Suto, "Sangat kebetulan sekali aku bisa bertemu
denganmu di pagi ini!"
"Mengapa begitu, Ki Arga?"
"Tunjukkan padaku di mana tempat pertarungan
itu. Kau mau menolongku, Suto?"
"Itu hal yang mudah, Ki. Tapi mengapa Ki Arga ingin ke sana dan tampaknya
menyimpan kegundahan hati?" tanya Pendekar Mabuk.
"Yayi nekat ke sana, dan ada kabar yang
mengatakan, Yayi sudah mendaftarkan diri sebagai
peserta!" "Celaka!" gumam Suto menjadi tegang juga.
"Padahal Ragajampi sendiri sudah mendaftarkan diri sebagai peserta sejak kemarin
sore!" "Gawat itu berarti Ragajampi akan bertemu Yayi juga! Sekarang di mana Yayi
berada, Ki?"
"Hilang. Tak tahu di mana dan sedang dalam
pencarian beberapa orang! Sejak kemarin sore dia
sudah tinggalkan istana tanpa pengawalan. Pedang
milik Abiyasa yang dibawanya, sedangkan
pedangnya sendiri ditinggalkan."
Pantas jika Ki Argapura cemas. Suto sendiri jadi


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelisah memikirkan nasib gadis keras kepala itu.
Terbayang dalam ingatan Suto jika sampai Yayi
berhadapan dengan si Wajah Hitam, orang yang
berbadan kekar, berotot, tak pernah pakai baju,
mempunyai tato pedang dililit ular di sepanjang
punggungnya, mengenakan selubung dari kain hitam
dan semua itu membuat Suto semakin cemas,
sebab ia pun masih ingat gerakan cepat si Wajah
Hitam dalam menebas lawannya. Suto yakin, Yayi
tidak bisa mengimbangi gerakan cepat itu.
"Lalu, apa yang ingin Ki Arga lakukan di sana nanti?" kata Pendekar Mabuk.
"Aku akan mendaftarkan diri untuk menjadi
peserta. Aku akan lindungi Yayi dari belakang!"
"Itu berarti Ki Arga akan berhadapan dengan Yayi sendiri, Ragajampi, dan
Mahendra!"
"Aku bisa bikin Yayi kalah tanpa mati!"
"Kalau begitu, tak perlu Ki Arga yang lakukan, saya pun bisa! Kalau boleh, saya
pinjam pedangnya
Yayi. Saya sendiri yang akan turun dan
menggantikan nama Mahendra!"
"Apakah aku harus menuruti saranmu jika
begini?" "Kurasa memang ada baiknya begitu, Ki Arga.
Sebab, pertarungan ini sudah tidak hanya
berdasarkan dendam saja, namun juga berdasarkan
cemburu dan cinta."
Ki Argapura manggut-manggut. "Kalau begitu,
kupinjamkan pedang Yayi kepadamu, tapi kau yang
harus bertanggung jawab akan keselamatannya!"
Setelah mendapat pinjaman pedang Yayi melalui
Ki Argapura, Suto pun segera melesat ke gubuk
Mahendra Soca. Ada sesuatu yang ingin dilakukan
Suto secara diam-diam. Tetapi sayang sekali
Mahendra Soca tidak ada di tempat. Sampai lama
Suto menunggu, Mahendra Soca tidak muncul juga.
Maka, Suto pun melesat pergi ke Rumah Busuk
untuk mencari Mahendra Soca di sana. Sebab
menurut dugaannya, Mahendra Soca pasti sudah
pergi ke sana untuk mendaftarkan diri.
Suto teringat kata-kata Mahendra Soca yang
terakhir yang diucapkan kemarin lusa. Mahendra
Soca berkata di sela napasnya yang ngos-ngosan.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap harus hadir di pertarungan itu, supaya Yayi
tahu siapa aku sebenarnya, dan bagaimana cintaku kepadanya. Aku
tak mau dikatakan sebagai laki-laki pengecut lagi!"
Tekad itu dilihat Pendekar Mabuk telah menjadi
bulat di hati dan jiwa Mahendra Soca. Padahal
Pendekar Mabuk tahu Mahendra Soca sama sekali
belum menguasai betul tiga jurus pedang yang
diberikan padanya itu.
Tiba-tiba dalam perjalanan menuju Ladang
Pertarungan, Suto melewati sebuah sungai yang
mempunyai gua di bagian tebingnya. Gua itu cukup
rindang karena di bagian depannya tumbuh pohon
berjajar. Di sela-sela kerindangan pohon itu, ia
melihat Mahendra Soca sedang berlatih jurus tiga
pedang pemberian Suto. Gerakannya masih lamban
juga, namun kesungguhan belajarnya terlihat cukup
tinggi. Pendekar Mabuk segera melompat dan tahu-tahu
mendarat di depan Mahendra Soca. Pada waktu itu
Mahendra Soca sudah berkeringat, bajunya tidak
dilepas dan rambutnya diikat dengan kain putih.
Mahendra Soca sempat kaget sebentar melihat
Pendekar Mabuk tahu-tahu muncul di depannya. la
masih memegangi pedang-pedangan. Sebelum
berkata sepatah kata pun, Suto sudah lebih dulu
bergerak maju dengan cepat dan. . dess dess.. !
Dua totokan tangan Suto mengenai bawah ketiak
kanan-kiri. Totokan itu membuat Mahendra Soca
seperti patung seketika. Bahkan berkedip pun tak
bisa. Bicara juga tak bisa. Tapi telinganya masih
mendengar ucapan Suto yang berkata,
"Maaf, Mahendra. .! Karena Yayi ternyata sudah mendaftarkan diri sebagai
peserta, maka aku harus
menggantikan dirimu untuk melindunginya dari
dalam. Sebab aku tahu, ilmu pedangnya belum
seberapa dibandingkan gerakan pedang si Wajah
Hitam. Aku tidak mau ia mati di tangan si Wajah
Hitam. Semoga kau tidak sakit hati dengan
tindakanku ini, Mahendra! Sampai jumpa setelah
pertarungan selesai...!"
Wuttt.. ! Suto pun cepat menghilang dan
membiarkan Mahendra Soca tetap menjadi patung
hidup. Ketika tiba di rumah kuno yang sekarang
menjadi Ladang Pertarungan itu, Suto mendaftarkan
diri dengan nama Mahendra Soca. Tetapi beberapa
tokoh persilatan ada yang tahu dan menegurnya,
"Bukankah kau bernama Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu?"
"Bukan. Aku hanya mirip dengan Suto Sinting;
Namaku Mahendra Soca!"
"Apakah kau turut dalam pertarungan kali ini?"
Tapi orang itu masih memandang dengan curiga.
Suto bergegas pergi dengan tetap menyandang
bumbung tuak di punggungnya, sementara itu
pedang milik Yayi diselipkan di pinggang kiri. la
segera dibawa masuk ke ruang peserta. Dan
ternyata Yayi sudah ada di sana, Ragajampi juga
sudah ada di sana sedang mendekati Yayi.
Ragajampi pun kaget ketika melihat Yayi ada di
ruang peserta. la jadi menyesal mendaftarkan diri di situ jika toh akhirnya ia
pun harus berhadapan
dengan Yayi. "Kalau tahu begini aku tidak mau menuruti
tantangan Mahendra!" kata Ragajampi. "Bangsat kurap orang itu! Dia memancingku
masuk kemari sementara dia sendiri tidak hadir di sini!"
"Tak perlu berang, Ragajampi!" kata Yayi dengan tenang. "Aku lebih senang jika
kita bisa saling berhadapan, sehingga aku bisa membunuhmu dan
melampiaskan kebencianku kepadamu!"
"Bagaimana jika kau yang mati?"
"Kuterima dengan senang hati juga!" jawab Yayi tersenyum sinis.
"Oh, tapi buatku itu tak bisa, Yayi!"
Kemudian Yayi tersentak kaget ketika Suto
Sinting pun datang mendekatinya. Ragajampi curiga
dan menjadi cemburu melihat Yayi bangkit dari
duduknya dan berlari menyambut Suto dengan
akrab. "Suto, kau datang juga"!"
"Ya," jawab Suto tersenyum tipis. "Aku mencarimu, Yayi!"
"Aku menghilang dari kemarin. Kalau tidak
begitu,! Ki Argapura pasti menghalangiku. Hmmm...
eh, kau ke sini untuk apa" Ikut sebagai peserta juga atau. ." Hei, kau membawa
pedangku"!"
"Ki Argapura yang meminjamkannya!"
"Ja... ja... jadi kau sebagai seorang peserta juga"
Kau. . kau nanti tampil di arena itu?"
Suto menganggukkan kepala dengan kalem. "Aku
terpaksa menggantikan Mahendra."
Terperangah Yayi memandangi Suto. Kejap
berikutnya, Ragajampi ikut bicara dengan ketusnya,
"Kebetulan kau sebagai peserta. Aku berharap
kita bisa saling jumpa di arena, supaya Yayi bisa
tahu bahwa tak sepantasnya dia bersikap ramah dan
akrab denganmu seperti itu!"
Suto hanya tersenyum mendengar nada cemburu
itu. Lalu, terdengar Yayi bicara sambil menggenggam tangan Suto,
"Kau.. akan bertarung denganku nantinya,
Suto...!" "Sudah kuperhitungkan segalanya, Yayi.
Percayalah, ini pertarungan terakhir. Ladang
Pertarungan ini akan kuhancurkan dan tak akan ada
lagi perjudian nyawa seperti ini!" bisik Pendekar Mabuk semakin pelan.
Terdengar suara Luhito berteriak keras membuka
pertarungan hari itu. Sorak-sorai penonton
memenuhi ruangan tersebut. Hati Yayi berdebardebar sambil ia tetap duduk di samping Suto,
membuat Ragajampi semakin iri dan cemburu.
Namun ia terpaksa harus menahannya sampai nanti
di arena akan dilepaskan habis-habisan.
Ragajampi mendapat giliran maju ke arena
setelah tiga peserta ditumbangkan oleh seorang
berbadan kurus yang menamakan dirinya si Golok
Tengkorak. Pertarungan menjadi seru. Sorak-sorai
penonton lebih menggelegar bagai ingin
meruntuhkan gedung. Entah apa yang membuat
mereka bagai tak sabar menyaksikan pertarungan
Ragajampi dengan si Golok Tengkorak.
Golok Tengkorak akhirnya kalah. Mati di tangan
pedang Ragajampi. Sejak itu, Ragajampi menguasai
arena. Tiap lawan yang maju selalu berhasil
ditumbangkan. Sampai akhirnya, tinggal dua peserta di dalam ruangan itu, yakni
Suto Sinting dan Yayi.
Wajah Yayi sempat berubah menjadi murung sekali.
la berkata kepada Suto,
"Kau menggantikan Mahendra Soca untuk
menyelamatkan dia dari Ragajampi, tapi tak kau
pikir bahwa kita pun akhirnya akan bertarung dan
saling membunuh, Suto!"
"Semuanya sudah kuatur. Jangan sedih!"
Ragajampi berhasil menumbangkan lawannya
lagi. Ketika ia masuk ke ruang peserta, wajahnya
berseri-seri walau bermandi keringat.
"Sekarang tinggal kita bertiga!" katanya, lalu
memandang Suto, "Kuharap setelah ini aku
berhadapan denganmu! Dan akan kucincang
tubuhmu karena berani-beraninya menggantikan
Mahendra Soca!"
"Tidak," kata Yayi menyahut, "Setelah ini kau berhadapan denganku dulu, dan aku
akan membunuh mu Ragajampi!"
Ragajampi diam. Mengusap keringatnya dengan
kain yang ada di situ, entah milik siapa. la pun
berpikir jika habis ini dia berhadapan dengan Yayi, berarti dia harus membunuh
Yayi. Jika Yayi yang
berhasil membunuhnya, berarti dia tak bisa
membunuh orang yang menggantikan Mahendra
Soca. Terdengar suara Luhito berseru dari arena,
"Pertarungan berikutnya adalah Ragajampi melawan Maaa. . hennn... draaa...!"
Ragajampi tersenyum lega. Yayi tegang, tapi Suto
tetap kalem. Hanya saja, Suto segera berkerut dahi karena heran mendengar seruan
para penonton yang meneriakkan nama secara bersama-sama:
"Suto, Suto, Suto, Suto, Suto.. !"
Dalam hati Suto menggerutu, "Sial! Rupanya
orang yang tadi bertanya namaku itu tak yakin kalau aku bernama Mahendra Soca.
Dia yakin bahwa aku
adalah Suto, lalu dia sebarkan kepada penonton
lainnya"! Gila orang itu!"
Ketika Suto muncul setelah Ragajampi muncul
lebih dulu, Suto mendapat sambutan sangat meriah
dan suasana menjadi lebih menggelegar lagi.
Mereka saling berdesak maju ke tepi pagar batas
lantai penonton. Bahkan Brahmana Gada sempat
berdiri dengan tegang tapi berwajah ceria, sebab ia tahu siapa orang yang
bernama Suto Sinting itu. Dan satu hal yang mengejutkan Suto maupun Ragajampi
adalah, orang-orang kadipaten ternyata ada di sana, di antara penonton biasa.
Wajah Ki Argapura pun
tampak jelas tanpa suara memandang ke arah
arena. Bahkan seorang berpakaian kerudung merah
pun kelihatan di sana. Hanya Ragajampi yang tahu
siapa wajah orang berkerudung merah itu. Tak lain
adalah sang Adipati sendiri yang menyamar menjadi
rakyat jelata. Bongngng.. ! Pertarungan dimulai. Ragajampi mencabut
pedangnya, tapi Suto masih tenang dan belum
mencabut pedang. Justru ia berdiri di tengah dan
menenggak tuaknya beberapa teguk ketika
Ragajampi mencari kesempatan untuk menyerang.
Pada saat Suto meneguk tuaknya itulah kesempatan
emas buat Ragajampi. Maka ia pun segera maju
satu langkah dan menebaskan pedangnya. Wuttt. .!
Suto tiba-tiba berkelebat berputar dengan cepat.
Bumbung tuaknya menangkis tebasan pedang
Ragajampi hingga pedang itu terpental jauh sampai
ke depan pintu peserta. Lalu, bumbung itu ditarik dalam genggaman tangan kanan,
dan tangan kiri
Suto menghantam dada Ragajampi dengan
sentakan cepat tak terlihat mata. Plasss...! Debb...!
Brusss. .! Darah menyembur dari mulut
Ragajampi yang terdongak itu. Bahkan dari lubang
hidung, telinga, dan mata, mengeluarkan darah
kental akibat pukulan tak terlihat tadi.
Brukk. .! Ragajampi jatuh terkapar, tubuhnya
kejang-kejang sebentar, kemudian tersentak satu
kali dan diam untuk selamanya.
"Horeeee. .!" teriak penonton bersorak dengan keras dan kegirangan. Mereka
mengacung-acungkan
tangan yang mengepal tanda sangat puas melihat
pertarungan orang yang dikenal oleh mereka
sebagai Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.
Ketika pintu peserta dibuka, Yayi memandang
tegang, siapa yang masuk. Ternyata Suto Sinting
yang masuk, itu berarti Suto yang menang. Yayi
menjadi lega, namun segera murung dan tertunduk
sedih. "Jangan sedih. Serang aku dengan sungguh

Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh, supaya mereka tidak kecewa dengan
permainanmu!" kata Suto. "Aku tidak akan mempergunakan pedangmu!"
"Gunakanlah," kata Yayi dengan wajah
memandang sedih. "Aku sudah siap mati di ujung pedangku sendiri!"
"Baiklah!" jawab Suto tegas.
Kejap berikutnya terdengar lagi suara Luhito yang
mengumumkan pertarungan berikutnya. Penonton
tetap bersorak mendukung Suto Sinting ketika
Pendekar Mabuk dan Yayi masuk ke arena
pertarungan itu. Wajah Ki Argapura terlihat tegang, demikian pula wajah sang
Adipati. Namun mereka
sama-sama diam tak memberi suara apa pun.
Bongngng.. ! Pertarungan dimulai. Yayi siap
dengan pedangnya. Suto belum mau mencabut
pedang walaupun Yayi berkata, "Cabut pedangmu, atau aku tega menebas kepalamu"!"
"Seranglah aku!"
Maka, dengan satu sentakan cepat, Yayi
menggunakan jurus pedang pemberian Ki Argapura
yang bernama 'Rembulan Menebas Bintang'. Tapi
Suto cepat membalikkan badannya, sehingga
tebasan itu mengenai bumbung tuak di punggung.
Trangngng. .! Suaranya nyaring sekali. Padahal
seharusnya bumbung itu patah terpotong beberapa
kejap berikutnya, tapi ternyata tidak. Juga ketika Yayi menggunakan jurus 'Mata
Malaikat'. Seharusnya dada Suto bolong dalam satu tusukan
pedang dengan kecepatan tinggi. Tapi nyatanya
ujung pedang itu justru dijepit dengan dua jari
Pendekar Mabuk tepat di depan dada. Tabb.. !
Pedang itu bagaikan terkunci, lalu dengan satu
kekuatan tenaga dalamnya, Suto sentakkan jepitan
pedang itu ke samping, dan pedang itu pun terpental lepas dari tangan Yayi.
Trangng. .! Jatuh di lantai, jauh dari jangkauan Yayi.
"Hiaaat. .!" Yayi nekat menyerang dengan pukulan tangannya.
Tapi Suto segera jongkok dengan kaki lebar dan
kedua tangannya mematuk pinggang Yayi dari
kanan-kiri, bagaikan dua ular kobra menyerang satu lawan. Dess, dess...!
Brukkk. .! Yayi langsung jatuh bagai kain sutera
dilepas dari pegangannya. Ternyata totokan itu
membuat lumpuh kedua kaki Yayi untuk beberapa
saat. Sementara kedua tangan Yayi masih bisa
digunakan untuk menyerang, tapi kekuatannya
sudah tak ada. Yayi akhirnya tertunduk bagaikan
pasrah dalam kematiannya.
"Bunuh...! Bunuuuh...!" teriak Brahmana Gada dengan berapi-api. Suto memandangi
penonton sekelilingnya. Mereka saling berteriak kata 'bunuh'
menirukan Brahmana Gada. Sedangkan wajah Ki
Argapura terlihat tegang, sama seperti wajah sang
Adipati. Lalu, Suto berseru,
"Tidak ada keharusan membunuh lawan! Yang
ada peraturan mengalahkan lawan!"
Brahmana Gada berseru, "Kau bisa dibunuhnya
dari belakang jika tak mau membunuh dia!"
"Aku tidak mau membunuh dia, karena dia
perempuan! Aku pantang membunuh perempuan
yang sudah tak berdaya!" seru Suto. Rupanya
Brahmana Gada pengelola arena tersebut menjadi
berang dan jengkel sendiri kepada Suto, akhirnya ia berseru kepada Luhito,
"Luhito.. ! Panggil sekarang juga si Wajah Hitam!
Tak ada masa istirahat! Panggil Wajah Hitam. .!"
Pintu selatan masih kosong. Si Wajah Hitam sejak
tadi belum kelihatan. Namun ketika Luhito
memanggil nama si Wajah Hitam dan pintu selatan
dibuka, tahu-tahu muncul ah sang pembantai yang
selama ini belum pernah terkalahkan.
Pendekar Mabuk sempat meminumkan tuak
sebentar kepada Yayi, lalu Yayi dibawa oleh petugas keluar arena. la
memperhatikan si Wajah Hitam dari sela-sela jeruji pintu sebentar, lalu maju ke
tengah arena. Si Wajah Hitam pun maju melangkah mendekati
Pendekar Mabuk. Badannya berminyak karena
memang diberi minyak supaya licin bila dipegang
lawan. Wajahnya masih tertutup selubung hitam,
hanya bagian kedua mata dan mulut saja yang
tampak. Punggungnya tampak bertato pedang dililit
ular. Punggung itu kekar dan kokoh kelihatannya,
sama dengan urat-urat lengannya yang bertonjolan
keras itu. Jarak mereka hanya dua langkah. Pendekar
Mabuk berkerut dahi ketika memandang mata si
Wajah Hitam. Dan tiba-tiba gong pun berbunyi
dengan keras, bongngng.. !
Wuttt.. ! Wajah Hitam menarik selubung penutup
kepalanya, dan Suto menjadi terperanjat kaget,
karena wajah itu adalah wajah Mahendra Soca.
"Kaaau. .!" teriak Yayi yang terpekik dari pintu utara.
Suto diam tanpa senyum, Mahendra Soca pun
diam tanpa senyum. Bahkan Mahendra Soca lebih
dingin menatap Suto, sementara itu Suto hanya
diam dalam kebimbangan. Hatinya berkata,
"Ini benar-benar gila! Luar biasa gilanya! Aku menggantikan dia tampil di sini
untuk menyelamatkan dirinya, ternyata justru dialah orang yang selama ini digelari
sang pembantai!"
Terdengar Mahendra Soca berkata, "Cabut
pedangmu, Suto!"
"Aku tak bisa."
"Lupakan Mahendra Soca penebang kayu. Itu
hanya sebagai latihan pengumpulan tenagaku saja!
Aku mencintai Yayi, tapi aku tetap harus penuhi
tugasku di sini! Tugasku di luar sudah kupenuhi,
yaitu memancing orang untuk masuk dalam
pertarungan ini!"
"Berhentilah hidup begini, Mahendra! Yayi
menunggumu!"
"Dia menunggu membalas dendam padaku!
Sekarang, kau yang ada! Serang aku dan cabut
pedangmu, Guru!"
Terharu hati Pendekar Mabuk mendengar
Mahendra Soca memanggilnya guru. Dan hal itu
hanya diatasi oleh Suto dengan menelan ludah
menahan haru. Terbayang saat ia memberi pelajaran
jurus tiga pedang mematikan menggunakan pedangpedangan dari kayu. Sungguh tak bisa terbayangkan
sebelumnya, mengapa akhirnya ia harus berhadapan
dengan orang yang menerima pelajaran tiga pedang
mematikan itu. "Jurus tiga pedang telah kugabungkan khusus
untuk melayani tokoh-tokoh sakti. Ternyata kaulah
tokoh sakti yang pertama kali kulayani demi tugasku ini!"
"Kenapa kau mau lakukan tugas begini,
Mahendra"!"
"Adikku tertawan di tangan Brahmana Gada!
Kalau tak mau, aku akan kehilangan adikku! Dia
adik perempuanku satu-satunya!"
"Kubantu kau melepaskan adikmu!" bisik Suto.
"Terlambat. Dia sudah mati saat aku menolak
pertarungan ini, beberapa waktu yang lalu! Aku tak menyesal jika harus mati di
tanganmu, karena aku
akan menyusul adikku!"
"Baiklah, Mahendra! Kau membuatku tak punya
pilihan. .!" kata Pendekar Mabuk dengan lemah.
Lalu, Mahendra Soca mengangkat pedangnya ke
pertengahan dada lurus ke atas, siap ditebaskan
dengan gerakan cepat dan menggunakan kedua
tangan. Suto hanya diam tak bergerak dengan kaki
merenggang ke belakang, tangan memegang
gagang pedang yang belum dicabut dari sarungnya.
Lama mereka saling diam. Lama suasana menjadi
sepi menegangkan! Sampai pada kejap berikutnya,
Mahendra Soca bergerak maju dengan cepat sekali,
dan Suto menggunakan jurus 'Pedang Siluman'-nya
yang dapat bergerak cepat. Wusss... wusss...!
Zrattt.. ! Mereka saling memunggungi. Samasama diam tak bergerak. Posisi mereka tetap dalam
kuda-kuda kokoh. Semua mata memandang tak
berkedip. Tak bersuara. Dan tiba-tiba terdengar
suara tetes air menggema di ruangan yang sunyi itu.
Tes... tes... tes...!
Mata mereka pertama-tama memandang ke arah
pedang yang tahu-tahu sudah dicabut Suto dan tak
ada yang melihat kapan Suto mencabut pedang
tersebut. Pedang itu berlumur darah. Tapi tidak
menetes ke lantai darahnya.
Mata mereka segera memandang ke arah bagian
kaki Mahendra Soca. Ternyata di sanalah darah
menetes dari kain celana bagian tengah. Dan
mereka semakin terbelalak setelah menyadari,
ternyata tubuh Mahendra Soca terbelah dari pusar
sampai dada, terus ke leher dan mencapai
pertengahan wajah Mahendra Soca. Tepat di kening,
belahan pedang itu berhenti dan sekarang
merembeskan darah.
Blakkk. .! Mahendra Soca jatuh terkapar dengan
mata mendelik, mulut ternganga, dan tubuh terbelah rapi.
Suasana masih hening, masih sunyi, seakan
mereka masih tak percaya bahwa si Wajah Hitam itu
telah mati dalam keadaan terbelah bagian
tengahnya. Tapi mereka tidak melihat seperti apa
dan bagaimana jurus Pendekar Mabuk sehingga
dapat membelah tubuh si Wajah Hitam itu.
Suto menghadap Brahmana Gada dan berseru,
"Bubarkan tempat ini, atau kuhancurkan seluruh kepala anak buahmu! Sekarang juga
akan kulakukan, Brahmana Gada!"
Orang gemuk itu pucat wajahnya, bingung
menjawabnya. Lalu, sesosok tubuh kurus berwajah
tua melompat turun ke arena dari tempat penonton.
Orang itu adalah Ki Argapura yang segera berseru,
"Aku akan ikut menghancurkan orang-orangmu,
Brahmana Gada! Kecuali jika kau bubarkan
perkumpulan ini dan jangan ada lagi perjudian
nyawa yang tidak manusiawi ini!"
Sekelebat orang berpakaian kerudung merah itu
melompat pula dari atas lantai penonton. Jlegg...!
Kerudungnya dibuka, dan Brahmana Gada terpekik,
"Sang... sang Adipati..."!"
"Bubarkan tempat ini atau kugulung habis sampai tujuh turunanmu"!"
Hening tercipta mencekam sekali. Dan akhirnya
Brahmana Gada menyerah. Ladang Pertarungannya
pun tak pernah ada lagi sejak saat itu.
SELESAI Segera Terbit!!! serial Pendekar Mabuk
Suto Sinting dalam episode:
TITISAN ILMU SETAN
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pedang Keadilan 27 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Raja Penyihir Sinting 2

Cari Blog Ini