Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Bagian 3
mencari tanaman yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan
obat. Itulah sebabnya ia dikenal dengan nama Jongos Daki.
Sekali pun orangnya agak gemuk dan pendek, tapi kerjanya
cepat, gerakannya gesit dan lincah. Kirana mengenal Jongos
Daki, dan memanggil nya dengan sebutan Paman. Kepada Tabib
Cawan Maut pun, Kirana cukup kenal baik, karena dulu ia
sering disuruh oleh gurunya, si Punding Sunyi, untuk memesan
berbagai macam obat -obatan yang di perlukan. Seringnya
datang memesan obat-obatan, membuat hubungan mereka menjadi
baik. Tak heran jika kehadiran Suto dan Kirana ke rumah itu
disambut dengan baik oleh Tabib Cawan Maut dan Jongos
Daki. "Cukup lama kau tidak kemari, Kirana"! Apakah orang-orang
Mawar Seruni dalam keadaan sehat semuanya?" kata Tabib Cawan
Maut kepada Kirana.
"Untuk sementara ini, kami dalam keadaan baik dan sehat-sehat saja, Tabib! Hanya... Guru yang..."
"Ada apa dengan gurumu?" sergah lelaki tua yang sudah kempot
dan keriput wajahnya itu. Badannya kurus, matanya cekung,
punggungnya sedikit bungkuk, rambutnya panjang beruban
rata. Suto mengira-ngira usia tabib itu sekitar delapan
puluh tahunan. "Katakan apa sebenarnya yang terjadi pada gurumu, Kirana?"
desak Tabib Cawan Maut dengan suara tua yang bergetar itu.
"Guru telah tewas, Tabib!" Jawab Kirana dengan sedih.
"Punding Sunyi tewas..."!" mata tabib itu menjadi sayu saat
memandang Kirana. Dan gadis berambut poni yang cantik itu
hanya menganggukkan ke palanya. Kemudian menceritakan siapa
pembunuhnya dan bagaimana saat bertemu dengan gurunya yang
terluka itu. "Sebenarnya kalau belum terlambat, bisa kutawarkan racun
itu! Sedayu punya racun berbahaya dari kakeknya dulu, dan
nama racun itu adalah Racun Lintah Merah. Aku punya obat
penawarnya, "kata tabib. "Tapi rupanya semua itu sudah
digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kematian tetap saja
harus terjadi dan tak bisa dielakkan lagi! Kesembuhan pun
datangnya dari dia, yang menguasai kita sekalian.Cuma
kadang-kadang orang salah mengartikan, bahwa kesembuhan
datangnya dari tanganku, atau tabib lain! Padahal aku dan
tabib-tabib lainnya itu ha nya semata-mata sebagai perantara
dari penyembuhan-Nya."
Banyak yang dibicarakan oleh Kirana dan Tabib Cawan Maut.
Karena asyiknya mereka bicara, Suto keluar menikmati
pemandangan dan udara malam, karena saat itu rembulan muncul
separo bagian di balik awan bermega putih perak. Memandang
malam, menikmati sunyi, merupakan sesuatu yang berarti
sekali bagi jiwa Pendekar Mabuk itu. Setidaknya ia
memperoleh sebentuk ketentraman jiwa yang begitu
menyegarkan. Sesaat kemudian, Jongos Daki muncul dan mendekati Suto yang
duduk di pelataran dekat pagar tebing samping. Suto duduk
di sebuah bangku dari kayu gelondongan, hanya dikemas
bagian atasnya supaya enak dipakai duduk. Jongos Daki membawa kan empat potong jagung rebus yang konon diambilnya dari
ladang petani yang sudah kenal baik dengannya, beberapa
waktu yang lalu.
Di bangku itu, mereka duduk menghadap ke tebing tinggi dan
laut yang menggelora. Suara debur ombaknya terdengar jelas
dari tempat mereka berada. Tanpa sadar percakapan mereka
sampai pada Kirana.
"Dia gadis yang cantik dan menggairahkan. Kalau dulu aku
tidak dikebiri oleh seseorang yang berjiwa binatang,
mungkin aku juga merasa tertarik dengan perempuan secantik
Kirana. Dan, kurasa kau sendiri sependapat denganku, Suto,
bahwa Kirana sudah cukup umur dan layak untuk bersuami!"
"Ya, saya sependapat dengan Paman Jongos Daki. Tapi siapa
lelaki yang akan menjadi suami Kirana, kita tak tahu. Atau
mungkin Paman tahu siapa kekasih Kirana?"
"Dia tak pernah bercerita tentang seorang kekasih sejak
aku mengenalnya! Bahkan membawa seorang teman lelaki, baru
sekarang. Kaulah orangnya. Dan, kusangka kau adalah
kekasihnya! Aku merasa kagum saat dia datang bersamamu, dan
hatiku berkata, sungguh serasi Kirana memilih calon suami.
Ternyata..." Jongos Daki tertawa sendiri sambil menikmati
jagung rebusnya. Suto pun jadi ikut tertawa sambil
melemparkan bonggol jagung yang sudah habis termakan
bulir-bulirnya.
"Tapi apa benar kau bukan kekasihnya?" Jongos Daki
menyatakan kesangsiannya yang dipendam sejak tadi.
"Bukan, Paman!"
"Mengapa kau tidak mengambil dia sebagai istrimu saja"
Kurasa tak ada ruginya beristrikan wanita secantik Kirana
itu! Keberaniannya pun membuatku kagum."
"Saya sudah punya kekasih sendiri, Paman," jawab Suto jujur.
"Boleh tahu siapa wanita yang beruntung menjadi kekasihmu?"
Jongos Daki tersenyum- senyum. Suto agak tersipu walau
akhirnya ia berkata,
"Seseorang yang tinggalnya jauh dari sini. Ada di sebuah
pulau." "Sebutkan nama pulaunya, maka aku akan mampu menebaknya!"
Suto berpaling memandang Jongos Daki, "Paman punya banyak
pengalaman mengarungi lautan?"
"Dulu aku ikut sebuah kapal. Ayolah, sebutkan nama pulau
itu! Setidaknya aku bisa menebak siapa kekasihmu itu. Suto."
"Baiklah, Pulau itu bernama Pulau Serindu!"
"Hah,.."!" Jongos Daki terperanjat kaget, mulutnya sampai
ternganga lebar, matanya mendelik dan wajahnya menjadi
tegang, ia mengusap kedua lengannya yang terasa merinding
mendengar nama Pulau Serindu. Hal itu membuat Suto menjadi
terheran-heran dan segera mengajukan tanya bernada bimbang,
"Kenapa..., kenapa Paman kelihatan kaget?"
"Setahuku, Pulau Serindu adalah tempat berdirinya Istana
Puri Gerbang Surgawi, dan aku tahu penguasa di Pulau Serindu
itu adalah Gusti Mahkota Sejati, yang mempunyai nama asli
Dyah Sariningrum!"
"Dialah kekasihku, Paman," Jawab Suto sambil tersenyum.
'Edan! Tak mungkin!" Jongos Daki agak ngotot.
"Mengapa tak mungkin?"
"Dyah Sariningrum adalah perempuan yang di incar oleh
Siluman Tujuh Nyawa, tak ada orang yang berani
mendekatinya! Kalau kau ingin menjadi kekasih atau bahkan
suami dari Gusti Mahkota Sejati, itu berarti kau harus
berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Maksud Paman, orang yang bernama asli Durmala Sanca itu"!"
"Benar! Benar sekali! Apakah... apakah kau kenal dia?"
"Aku sedang memburunya untuk memenggal kepalanya!"
"Eh, Jangan begitu bicaramu! Hati-hatilah! Kalau ada yang
mendengar, kau bisa celaka diamuk oleh murkanya!"
Jongos Daki tampak bersunguh-sungguh dalam kecemasannya.
Tetapi Suto Sinting tetap tenang dan berkata,
"Kalau Paman bisa mempertemukan saya dengan dia, saya akan
kasih hadiah kepada Paman Jongos!"
"Kau... kau benar-benar sedang memburunya?"
Tidak dijawab oleh Pendekar Mabuk, melainkan Pendekar Mabuk
ganti bertanya, "Paman tahu betul tentang Siluman Tujuh Nyawa itu?" Paman Jongos Daki terbungkam mulutnya. Seperti ada rasa
sesal terhadap apa yang pernah diucapkan tadi. Setelah diam
beberapa saat dan sadar jawabannya ditunggu oleh Suto,
Jongos Daki pun menjawab dengan suara pelan,
"Dulu aku adalah anak buahnya!"
"Oh..."!" kini Pendekar Mabuk yang terperanjat kaget.
"Tapi aku melarikan diri, tak tahan hidup sesat dengan
kelompoknya. Bahkan, seperti yang kukatakan tadi, aku
dikebiri oleh manusia berjiwa binatang,sehingga aku tidak
punya selera lagi terhadap perempuan secantik apa pun dia.
Dan orang yang mengebiri aku itu adalah Durmala Sanca
keparat!" Jongos Daki menuturkan kisahnya dengan mengenang
penuh duka. Suto Sinting tidak memotong ucapan demi ucapan
dari Jongos Daki. Ia sengaja membiarkan mantan anak buah
Siluman Tujuh Nyawa itu membeberkan rahasia Siluman Tujuh
Nyawa. "Durmala Sanca adalah orang yang sulit dibunuh. Ia punya
otak penuh dengan kelicikan dan kekejaman. Tak pernah ada
anak buahnya yang bisa lari dengan selamat kecuali aku. Itu
pun karena aku ditolong olah seorang tokoh sakti yang bernama
Ki Padmanaba."
Kembali Suto tersentak kaget begitu Jongos Daki
menyebutkan nama Ki Padmanaba. Cepat-cepat Pendekar Mabuk
bertanya kepada Jongos Daki, "Apakah Paman banyak mengetahui
tentang Ki Padmanaba"'
"Hmmm.. yah, sedikit banyak tahulah! Dulu aku pernah
mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia mengangkat
murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak
tahan melihat tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya
sendiri itu."
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut.
"Kakek dan cucunya sangat bertolak belakang sifatnya. Ekayana itu sombong dan berjiwa kejam. Kakeknya kebalikannya dan
..." "Tunggu, Paman!" kali ini Suto baru memotong pembicaraan
karena dirasakan ada yang perlu ditanyakan sebelum
percakapan menginjak ke masalah lain.
"Apakah Paman tahu, bahwa Ki Padmanaba mempunyai sebuah
pusaka yang sangat dirahasiakan?"
"Hmmm... ya, memang dia punya! Dia pernah bercerita padaku
tentang pusaka tersebut. Tapi tak pernah ditunjukkannya
kepadaku."
"Kalau boleh saya ingin tahu, apa jenis pusaka-nya itu?"
"Sebuah pedang."
"O, sebuah pedang!" Suto manggut-manggut lalu merenung
beberapa kejap. Jongos Daki menambahkan kata,
"Pedang itu bernama... kalau tak salah ingatan ku... pedang
itu bernama Pedang Wukir Kencana."
"Wukir Kencana"!" Pendekar Mabuk mengejanya ulang.
"Kabarnya, ini menurut cerita Ki Padmanaba, pedang itu
terbuat dari emas murni yang cukup berat. Seluruhnya dari
emas. Bagian tengahnya berukir gambar seekor naga. Kedua
sisinya sangat tajam. Kata dia, pedang itu bisa membelah
benda apa pun juga, termasuk pilar baja, juga bisa dipakai
memburu lawan. Ke mana pun lawan bersembunyi pedang itu akan
bergerak dengan sendirinya menunjukkan tempat lawan yang
bersembunyi. Tangan kita yang memegangnya hanya bisa
mengikuti saja ke mana kemauan pedang tersebut bergerak."
"Hebat sekali," gumam Suto memuji. Jongos Daki menambahkan
kata setelah ia mengingat-ingat cerita yang didengar dari
mulut Ki Padmanaba sendiri.
"Bahkan Ki Padmanaba pernah bilang padaku, bahwa pedang itu
bisa membuat orang sebodoh apa pun bisa main pedang dengan
dahsyat jika memegang pedang tersebut. Karenanya, dulu Ki
Padmanaba pernah berjuluk Dewa Pedang Pamungkas!"
"Lalu... kenapa tidak digunakan terus oleh Ki Padmanaba?"
"Ia sudah bersumpah pada diri sendiri agar tidak menggunakan
pedang warisan gurunya itu, karena pernah terjadi suatu
peristiwa menyedihkan buat si Dewa Pedang Pamungkas itu."
"Peristiwa apa?" desak Suto Sinting.
"Pedang dipakai oleh istrinya, dan istrinya itu membunuh
orangtua Ki Padmanaba sendiri! Sejak itu, sejak Ki
Padmanaba akhirnya membunuh istrinya sendiri ketika tidur
malam, Ki Padmanaba tidak mau menggunakan pedang tersebut."
"Apakah istrinya Jago pedang?"
"Konon, Istrinya perempuan biasa yang lemah dan
penurut.Tapi ketika cekcok dengan mertuanya, ia mengambil
pedang itu dan bisa jago bermain pedang, padahal mertuanya
juga sangat tinggi ilmu pedangnya, tapi bisa dikalahkan
oleh istri Ki Padmanaba. Karena seperti yang kukatakan
tadi, Pedang Wukir Kencana bisa membuat seseorang menjadi
jago pedang jika membawa atau menggunakan pedang tersebut!
Itulah bahayanya Pedang Wukir Kencana jika jatuh ke tangan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, Ki
Padmanaba menyimpan pusaka tersebut, entah di mana tempat
penyimpanannya!"
Kini mulai jelas teka-teki yang selama ini meresahkan
pikiran Suto, bahwa ada pusaka yang disimpan oleh Ki
Padmanaba di Cemara Tunggal, yang ada di Bukit Canang itu.
Pusaka itu adalah sebuah pedang sakti. Pantas kalau dalam
pesan terakhirnya sebelum wafat, Ki Padmanaba menyebutkan
kata-kata 'selamatkan'. Mungkin yang dimaksud agar jangan
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai pedang itu jatuh ke tangan orang-orang sesat.
Renungan itu dibawa oleh Suto sampai ke peraduan. Tempatnya
tidur, bersebelahan dengan tempat tidurnya Jongos Daki.
Mereka tidur di ruangan terbuka, dalam arti tanpa dinding
penyekat .Tabib Cawan Maut pun tidur di dipan sebelah kanan,
sementara itu Kirana berada di dipan lain, jauh dari Suto.
Sebenarnya tadi Kirana ingin menempati tempat tidur yang
dipakai oleh Jongos Daki, namun ia tak enak hati karena
Jongos Daki lebih dulu membaringkan badan di tempat
tersebut. Sementara itu, di tempat lain, terjadi sebuah pesta yang
tidak terlalu mewah, namun cukup meriah. Perguruan Kobra
Hitam yang mengadakan pesta mabuk-mabukan. Pasalnya, mereka
menyambut gembira atas berita terbunuhnya Sedayu, si
penyebar racun maut itu.
Pada mulanya, berita tersebut tidak dipercayai oleh Logayo,
si Dewa Murka yang menjadi ketua perguruan tersebut.
Terlebih kedatangan Ekayana membuat suatu kegaduhan lebih
dulu. Ekayana datang dalam keadaan tangan masih kaku
tertotok ja lan darahnya, dan tak bisa membungkuk
sedikitpun. Pada waktu ia ingin menemui Logayo di serambi belakang,
Ekayana datang dari arah belakang Logayo. Ketika ia menyapa
Logayo, orang itu berpaling. Tapi karena melihat kedua tangan Ekayana menggenggam pedang di pundak kanan, Logayo merasa
mau diserang oleh Ekayana. Maka dengan cepat kakinya
menendang empat kali berturut-turut ke arah dada, perut,
leher, dan wajah Ekayana. Tendangan itu adalah tendangan
yang mematikan. Gerakannya cepat, beruntun dan bertenaga
dalam tinggi. Tentu saja hal itu membuat Ekayana terpental dalam keadaan
berdarah dari mulut dan hidungnya. Suaranya menjadi serak,
dan bibirnya jontor ke depan. Untung tak sampai rompal
giginya. Kalau Ekayana bukan orang berilmu tinggi, pasti
sudah mati terkena tendangan beruntun yang dinamakan jurus
"Patuk Kobra Liar".
"Apa maksudmu mau membunuhku. hah"!" bentak Logayo dengan
murka. Pada waktu itu, beberapa orang sudah mengepung Ekayana dengan senjata masing-masing, termasuk Pancakana dan
Brajawisnu. Tetapi ketika mereka memaksa bangun Ekayana, dan tangan
Ekayana masih tetap seperti orang mau membabatkan pedangnya,
mereka menjadi berkerut dahi dan terheran-heran. Logayo
berseru, "Sarungkan pedangmu atau kusuruh mereka merajangmu sekarang
juga, Ekayana!"
"Tid.. tidak bisa..."
"Bangsat! Jadi kau benar-benar menghendaki kematianku" Kau
mau membunuhku, hah"!"
Ekayana menggeleng-geleng dengan sedih, menahan marah dan
jengkel yang tak tersalurkan. Lalu, ia berkata,
"Aku kena totok dalam keadaan begini! Tanganku sejak dari
sana tidak bisa turun!"
Setelah dijelaskan lebih rinci lagi maka meledaklah tawa
Logayo bersama yang lainnya. Rupanya Logayo salah duga dan
menyangka mau dibabat pedang oleh Ekayana, padahal Ekayana
mau memberi laporan dan meminta tolong tentang tangannya
yang kaku itu. Andai Ekayana datangnya tidak dari
belakang Logayo dan menyapanya tidak dari jarak dua langkah
di belakang Logayo, tentunya Logayo tak akan berpikiran
buruk. Peristiwa salah paham itu sungguh menggelikan bagi mereka,
tapi memalukan bagi Ekayana. Untuk menghibur hati Ekayana,
Logayo membuat pesta kecil-kecilan dengan beberapa guci arak
yang paling bagus dan berharga mahal. Apalagi setelah
Brajawisnu dan beberapa orang membuktikan mayat Sedayu
terkapar di samping Pranawijaya, mereka semakin yakin dan
mengelu-elukan Ekayana, memuji dan menyanjung-nyanjung
Ekayana. Bahkan Logayo berkata,
"Tak ada lagi yang perlu dicemaskan oleh kita sekarang ini!
Dua orang itu sudah mati. Sedayu dan Pranawijaya! Dan kalau
bukan karena kehebatan Ekayana, tak mungkin dalam waktu
sesingkat ini mereka bisa terbunuh!"
Malam menyusup di antara sunyi. Pesta minum, pesta perempuan
jalanan, pesta judi terbeber luas di balik tembok tinggi
yang disebut bentang itu. Malam yang pekat, hadirkan gelap
karena cahaya rembulan tak bisa menerobos masuk melewati
celah dedaunan yang merapat, menutupi jembatan bambu yang
menghubungkan Lembah Kabut dengan Tanah Merah.
Tapi di tengah malam, seseorang meletakkan lentera di ujung
jalan jembatan bambu itu. Lentera itu terletak di atas batu
pada sisi ujung jembatan yang akan menuju ke Lembah Kabut.
Dua orang lewat, mereka habis membeli makanan dari sebuah
desa dan sedang menuju pulang ke lembah tersebut. Sebelum
melewati jembatan bambu yang gelap, orang yang berpakaian
biru segera menyuruh temannya yang berpakaian kuning untuk
membawa lentera itu.
"Bawalah lentera itu! Kurasa memang disediakan untuk
penerang jalan di tengah jembatan!"
Si baju kuning merasa tidak keberatan, karena membawa
lentera tidaklah terlalu sulit, tidak pula berat. Lentera
itu mempunyai kawat lengkung ke atas sebagai tempat
menjinjing. Namun seperti yang sudah sudah orang berpakaian
kuning itu tiba-tiba jatuh begitu selesai meletakkan
lentera di ujung jembatan, dengan maksud jika ada yang mau
menyeberang jembatan dari arah Lembah Kabut ke Tanah Merah,
lentara itu bisa dibawa menyeberang lagi.
Peristiwa sama seperti malam sebelumnya. Orang berpakaian
kuning tiba-tiba mengejang,keringatnya mengucur
keluar dan berbau amis, temannya menolong, kemudian keduanya sama sama
mati. Hanya saja kali ini muncul sesosok bayangan hitam yang
mendekati kedua mayat tersebut. Orang itu mengenakan kerudung ketat di sekujur tubuhnya, memakai pakaian hitam, bertutup
kepala hitam, hanya bagian matanya yang tampak. Kakinya
dibungkus alas kaki hitam, tangannya mengenakan sarung
tangan kulit binatang warna hitam pula. Orang itu menyeret
dan menyembunyikan mayat kedua orang itu ke semak semak
pinggir jalan menuju jembatan. Lentera masih diletakkan di
tempatnya. Beberapa saat kemudian, muncul empat orang. Rupanya mereka
rombongan tamu yang diundang pesta oleh Logayo. Mereka mau
pulang, dan menyeberangi jembatan. Salah seorang berkata,
"Bau amis daerah sini, ya?"
"Air Jurang itu mungkin menguap dan karena tak pernah
mengalir deras, maka comberan di dasar jurang itu
menyebarkan bau amis," kata temannya.
"Wah, gelap sekali lewat tengah jembatan! Bisa-bisa kita
kejeblos di tengah jembatan sana!"
"Bawa saja lentera itu, nanti letakkan di ujung jembatan
sana!" kata yang satunya lagi.
Dalam beberapa saat saja, empat orang itu sudah terkapar
mati di Tanah Merah dalam keadaan berkeringat dan berbau
amis. Orang berpakaian serba hitam itu segera memindahkan
lentera ke tanah wilayah Lembah Kabut. Ketika itu, tiga
orang tamu mau lewat jembatan untuk pulang. Ketiganya pun
akhirnya meninggal karena membawa lentera tersebut, tanpa
diketahui bahwa tubuh yang mati itu pun menularkan racun
ganas, yang jika disentuh tangan orang, maka orang itu akan
terbunuh oleh racun tersebut.
Setelah mendapat mangsa kira-kira sepuluh orang lebih, manusia berpakaian hitam-hitam itu segera menjejer-jejerkan mayat
tersebut di ujung jembatan pada wilayah Lembah Kabut.
Beberapa orang keluar dari benteng, mereka mau menyeberang
ke Tanah Merah. Melihat mayat-mayat itu, mereka terkejut
dan segera menyingkirkan mayat-mayat, membawanya ketepian.
Maka, jatuhlah beberapa orang itu, mati tak bernyawa serupa
dengan mayat-mayat yang disingkirkan oleh mereka sendiri.
Logayo tertegun dengan wajah memerah memandang mayat mayat
yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu, setelah pagi
hari jumlahnya dihitung dengan tepat. Murka Logayo tak bisa
dilampiaskan kepada siapa pun saat itu, karena penjaga pintu
gerbang pun kedua duanya mati karena racuntersebut.
Logayo tak tahu, bahwa orang berpakaian serba hitam itu telah
memindahkan lenteranya di dekat jalanan menuju pintu
gerbang. Hal itu dilakukan setelah ia melihat sendiri banyak
korban yang berjatuhan di ujung jembatan. Dan kali ini
pancingannya kembali mengenai sasaran. Satu dari petugas
pintu gerbang itu tertarik dengan lentera tersebut, lalu
mengambilnya dan membawanya kepada teman satu tugas itu.
Kemudian, orang tersebut jatuh tak bernyawa, temannya
menolong dan jatuh pula tak bernyawa. Dari dalam muncul
beberapa orang dan tanpa sadar langsung saja menolong kedua
penjaga tersebut. Akibatnya, jatuh lagi korban Racun Getah
Tengkorak itu. Sedangkan si pemasang jerat yang menggunakan
lentera itu, lebih dulu meninggalkan tempat dengan meniup
lentara dan api lentara menjadi padam.
"Setan Alas!" geram Logayo sambil mengepalkan kedua
tangannya. "Sedayu sudah dibunuh, Pranawijaya juga sudah,
tapi ternyata masih saja ada orang yang menyebarkan racun
itu kepada kita! Lama-lama habislah orang-orangku dimakan
racun ganas itu."
Mereka yang dipanggil menghadap Logayo, menundukkan kepala
dengan rasa takut menghadapi murka Logayo. Segera orang itu
berseru dengan urat leher sebesar jari bertonjolan keluar,
"Brajawisnu! Tugasmu cari pelakunya dan bunuh seketika itu
juga memakai racun andalanmu!"
"Baik!" kata Brajawisnu. Tapi dalam hatinya ia bertanya pada
diri sendiri, "Siapa pelakunya itu"! Sulit sekali
memastikannya!"
8 SUTO merencanakan untuk mencari pusaka itu di Cemara Tunggal.
Ia akan mendesak Kirana agar mau mengantarkan ke Bukit Canang.
Tetapi, ketika bangun di pagi hari, ternyata Kirana sudah tidak
ada di tempat tidurnya. Sementara itu, Tabib Cawan Maut dan
Jongos Daki belum bangun. Suto bangun lebih dulu karena tiba
tiba hatinya tersentak kaget tanpa tahu apa sebabnya.
"Kirana hilang"! Pasti dia mau menghindar dari janjinya! Aku
sudah tolong dia, tapi dia tidak mau tunjukkan di mana Bukit
Canang dan Cemara Tunggal itu! Kurang ajar!"
Suto meneguk tuaknya sebentar, kemudian bergegas pergi walaupun
hari masih terlalu pagi. Ia tak sempat membangunkan Jongos Daki
atau Tabib Cawan Maut karena tergesa-gesa. Hatinya diliputi rasa
jengkel dan ia berharap bisa mengejar Kirana. Karena
tergesa-gesa itulah maka Pendekar Mabuk pun lupa menutup pintu
kembali. Namun, baru saja ia melangkah tiga tindak dari depan pintu,
ia melihat Kirana berjalan santai dengan kedua tangan berada
di belakang dan tampak sedang menikmati udara pagi yang segar.
Pendekar Mabuk menghembuskan napas lega. Ternyata Kirana bukan
lari melainkan sudah bangun sejak tadi, dan sedang menikmati
udara segar di pagi yang cerah. Gadis itu melangkah memasuki
pekarangan berpagar balok-balok kayu setinggi satu dada.
Kirana justru berkerut dahi melihat Suto Sinting sudah
menyelempangkan bumbung tuaknya ke punggung, itu pertanda
Suto mau pergi. Maka ketika ia mendekati Suto, mulutnya ingin
mengajukan sebuah pertanyaan, tapi Suto Sinting sudah lebih
dulu memperdengarkan suaranya,
"Rupanya kau sudah bangun dari tadi, Kirana"!"
Dengan tenang, Kirana menjawab, "Aku tak bisa tidur!"
"Kenapa?"
"Karena tidur sendirian," Jawab Kirana acuh tak acuh. Ia
melangkah mendekati pagar samping dan memandang ombak laut
di pagi hari yang bergulung gulung dengan indahnya. Suto
Sinting menenggak tuaknya sebentra, lalu memperdengarkan
suaranya kembali.
"Apakah biasanya kau selalu mempunyai teman tidur?"
Kirana memandang Suto dengan cepat, agak cemberut. Lebih
berkesan melirik sewot. Kemudian ia berucap kata pelan,
"Hati hati kalau bicara! Jangan membuatku ter singgung! Aku
bukan perempuan murahan yang setiap malam berganti ganti
teman tidur!"
Suto tertawa menyepelekan kecemberutan itu. "Aku tidak
berprasangka begitu, Kirana! Siapa tahu setiap malamnya kau
punya teman tidur wanita yang bisa diajak ngobrol sebelum
lelap tertidur. Itu maksudku!"
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kirana tahu bahwa Pendekar Mabuk hanya mengalihkan praduga
saja, ia tidak memberi ucapan tentang apa yang ia tahu dari
nada bicara Suto tersebut, tapi ia hanya berkata,
"Karena aku susah tidur, maka kugunakan jalan jalan begitu
kulihat cahaya matahari mulai tiba."
"Kusangka kau pergi, sehingga aku ingin menyusulmu.
Maksudku, mengejar kepergianmu!"
"Mengejarku"! Apa kau mau mengejarku kalau aku pergi
meninggalkan kamu"!" pancing Kirana.
"Kenapa tidak?"
"Sungguh?" gadis itu mulai sunggingkan senyum manis walau
tipis. "Ya, sungguh!"
"Kenapa kau mau mengejarku?" pancing Kirana dengan hati
makin berdebar-debar.
"Karena aku membutuhkan kamu, Kirana," jawab Suto pelan.
"Membutuhkan.... dalam arti bagaimana?" pancing Kirana
lagi. "Aku harus ke Cemara Tunggal, dan aku butuh bantuanmu untuk
mencapai ke sana!"
Kirana menarik napas panjang panjang, kemudian dihembuskan
dengan lepas. Tampak ada rona kecewa di wajah cantik itu.
Suto Sinting tahu, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan
Kirana, tapi Suto merasa tak bisa memberikan jawaban yang
diharapkan oleh gadis itu. Maka, Suto pun bertanya pelan,
"Apakah kau menolak dan keberatan kuminta bantuanmu
mengantar ke Cemara Tunggal?"
"Kalau aku keberatan, kau mau apa?" ketus Kirana bernada
dongkol. "Aku akan mencarinya sendiri, biar susah payah bagaimanapun
juga! Mungkin aku bisa bertanya dan minta tolong perempuan
lain yang tahu letak Cemara Tunggal."
Mendengar kata-kata itu, Kirana melirikkan matanya dengan
masih berwajah cemberut tipis, lalu berkata. "Aku yang antar
kau!" Ada rona cemburu kali ini di wajah Kirana. Pendekar Mabuk
hanya tertawa sambil membuang pandangan ke arah laut, tak
mau memandang gadis yang tersipu dongkol itu.
Menginjak sedikit siang, mereka berangkat ke Cemara
Tunggal. Perjalanan hampir mencapai setengah hari. Bukit
Canang terletak di antara dua gunung besar. Bukit itu
sebenarnya tidak terlalu tinggi. Untuk mendaki puncaknya
hanya membutuhkan waktu beberapa saat saja, tak sampai lima
ratus langkah. Pada satu lereng bukit, memang terlihat tanah kosong yang
ditumbuhi oleh rumput dan beberapa batu besar. Tapi di bagian
tengah tanah kosong itu, terdepat sebatang pohon cemara
tinggi. Pucuknya meliuk-liuk dipermainkan angin. Hanya satu
pohon cemara yang ada. Dan itulah yang dinamakan Cemara
Tunggal oleh setiap orang.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sini?" tanya Kirana yang
sebenarnya tidak mau tahu urusan Pendekar Mabuk itu.
Akhirnya ia tak kuat menahan rasa ingin tahunya, hingga
terlontar pertanyaan seperti itu.
"Sebelumnya aku ingin tahu, apa yang dicari oleh gurumu saat
kau temukan tewas di sini"!"
"Aku tidak tahu! yang jelas, dulu semasa mudanya, Guru punya
tempat tinggal di daerah ini. Tepatnya di lereng sebelah
selatan sana, di balik bukit ini!"
"Apakah sekarang tempat tinggalnya itu masih ada?"
"Tinggal petilasannya saja. Semua bangunan telah roboh
diamuk badai yang datang kala itu."
"Hmmm...!"
Sambil memandang sekeliling, Suto mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi diam-diam hatinya
bertanya, mana tempat yang memungkinkan untuk menyimpan
sebuah pedang"
"Menurutmu, apa yang dicari gurumu di petilasan tempat
tinggalnya dulu itu"!"
"Sudah kubilang, aku tak tahu!" sentak Kirana. "Tapi sebelum
guruku pergi, sudah pamit kepada salah satu temanku bahwa
dia mau ke Cemara Tunggal. Lalu aku menyusulnya kemari dan
menemukan Guru sudah terkapar di batu sebelah sana itu!"
sambil Kirana menuding ke arah dua batu yang berjejeran,
masing-masing tingginya sebatas dada manusia dewasa.
"Mari kita ke sana!" ajak Pendekar Mabuk dan hal itu semakin
membuat Kirana terheran-heran.
Sampai di batu dua jajar itu pun, Kirana bertambah kerutkan dahi melihat Suto berusaha
mendorong batu itu dengan tenaga biasa. Suto juga
memandangi sekeliling batu tersebut. Kirana tidak tahu
bahwa Suto menduga ada lubang atau ruangan di bawah tanah
yang pintunya melalui tempat sekitar batu tersebut. Suto
menyangka cara membuka pintu ruangan itu dengan menggeser
batu tersebut. Tapi ternyata, Suto segera menghapus dugaan
itu. Karena menurutnya, tak ada pintu apa-apa, sebab rumput
di sekelilingnya tak memberi tanda bekas diinjak manusia
atau terdapat satu garis aneh. Tak ada hal itu. Jadi Suto
berkesimpulan, mungkin di tempat lain pusaka itu
disembunyikan. "Suto, kalau kau tak mau jujur padaku, aku akan pergi dan
tak mau menemanimu di sini!" ancam Kirana. "Apa yang kau
cari di sini sebenarnya"!"
"Sebuah pusaka," jawab Pendekar Mabuk setelah diam beberapa
saat. Jawaban itu tidak membuat Kirana kaget namun justru
menyunggingkan senyum dan sekarang malahan tertawa geli.
Suto-lah yang menjadi terheran-heran melihat sikap Kirana.
"Maksudmu pusaka milik Ki Padmanaba"!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar Kirana
menyebutkan nama itu. Ia segera berkata lirih, seperti
ditujukan pada dirinya sendiri,
"Kau mengenal nama itu rupanya"!"
"Ki Padmanaba adalah teman dari guruku Nyai Punding Sunyi.
Dan kabar tentang Ki Padmanaba punya pusaka ampuh itu sudah
lama beredar, tapi tak satu pun ada yang menemukannya. Karena
itu, kabar tentang pusaka Ki Padmanaba itu dianggap omong
kosong belaka!"
"Omong kosong"!" Pendekar Mabuk berkerut dahi makin tajam.
"Kalau kau mau tanya soal pusaka, tanyalah kepada Ekayana!
Karena dia adalah cucunya Ki Padmanaba!"
"Dari mana kau tahu?"
"Sudah lama!" jawab Kirana acuh tak acuh, kadang gadis ini
memang menjengkelkan, kadang menggelikan juga.
"Kalau memang pusaka itu hanya omong kosong, mengapa gurumu
datang ke sini" Pasti dia saat itu sedang mencari pusaka
tersebut!"
"Setahuku guruku tak pernah tertarik dengan pusaka Ki
Padmanaba! Bahkan diajak bicara tentang hal itu pun beliau
tak mau. Sudah bosan membicarakannya dari dulu!"
"Sudah bosan, atau menutup diri supaya orang tak banyak
membicarakan dan mengincarnya?" Siapa tahu diam-diam gurumu
mempelajari tentang rahasia pusaka tersebut, sampai suatu
saat menemukan rahasia penyimpanan pusaka itu, dan akhirnya
datang sendiri untuk mengambilnya secara diam-diam"!"
Sambil berkata begitu, Suto melangkah mendekati pohon cemara
yang seperti anak sebatang kara itu. Kirana mengiringi di
samping kiri Suto sambil merenungkan penjelasan Suto Sinting
tadi. "Orang pintar," kata Pendekar Mabuk lagi. Jelas tak akan
banyak bicara tentang rahasia pusaka itu. Ia akan bersikap
tenang, kalau perlu bersikap masa bodoh dan tidak
mempercayai adanya pusaka ampuh milik Ki Padmanaba. Tapi
diam-diam ia mencari dalam hatinya, dengan begitu ia merasa
sebagai pemburu pusaka sendirian tanpa ada orang lain yang
menjadi saingannya!"
"Mungkinkah Guru begitu"!" gumam Kirana, setelah mereka
berhenti tepat di bawah cemara.
Pendekar Mabuk tidak melayani kata-kata Kirana untuk
sejenak. Suto sibuk memeriksa batang pohon cemara tersebut.
dari atas sampai bawah ia pandangi dengan baik-baik.
Batangnya dipukul pukul pelan, karena ada kemungkinan
pedang pusaka itu disimpan dalam batang cemara. Jika memang
benar, berarti batang itu berongga di dalamnya. Melalui
pukulan pukulan, Pendekar Mabuk dapat mendengarkan bunyi
gema jika memang ada bagian dalam batang yang berongga. Tapi
nyatanya tidak ada.
Suto Sinting membatin kata. "Cemara Tunggal dalam purnama"
Apa maksudnya"! Pedang itu tersimpan di Cemara Tunggal dalam
purnama. Apakah yang dimaksud bentuk lingkaran yang ada di
sekitar pohon cemara ini"!" Suto pun berkeliling memandangi
tempat-tempat tertentu, mencari bentuk lingkaran. Tapi
bentuk itu sendiri tak ada, bagaimana mungkin bisa menemukan
pusaka tersebut"
Suto duduk di bawah cemara itu. Kirana pun ikut duduk di
sebelahnya. Mereka sama-sama merenung, dan agaknya Kirana
mulai tertarik dengan kemungkinan Suto, bahwa Nyai Punding
Sunyi agak-nya mulai mengetahui letak pusaka tersebut
setelah sekian lama memikirkan tempat penyimpanannya. Andai
kata benar, lalu mengapa Nyai Punding Sunyi dibunuh oleh
Sedayu" Benarkah gara-gara saling tersinggung dengan
ucapan yang terjadi setahun yang lalu" Apakah bukan berarti
Nyai Punding Sunyi telah rnenemukan pedang pusaka itu, lalu
dicuri oleh Sedayu" Tapi mengapa Sedayu tidak menggunakannya
untuk melawan Ekayana" Mengapa Sedayu mati di tangan
Ekayana" Pemikiran seperti itu, ada di dalam benak Suto Sinting.
Tetapi sampai hampir menjelang senja, mereka masih saja duduk di situ, dan Suto belum menemukan jawaban yang pasti.
Sampai akhirnya Kirana berkata, "Kelihatannya ada orang
sedang berlari kemari, Suto!" seraya ia menatap ke arah kanan. Suto ikut memandang jauh. Dan ternyata benar, ada seseorang
yang berlari menuju ke arah Cemara Tunggal itu. Orang
tersebut mengenakan pakaian abu-abu dan berbadan sedikit
pendek dan agak gemuk. Semakin dekat semakin jelas bentuk
wajahnya, "Paman Jongos Daki!" gumam Kirana.
"Benar! Kelihatannya memang dia. Tapi mengapa dia menyusul
kita kemari" Pasti ada sesuatu yang penting."
Mereka berdua bergegas menyongsong kedatangan Jongos Daki
yang tampak berwajah tegang. Kirana yang menyapa lebih dulu
dengan cemas, karena firasatnya mengatakan ada yang tak
beres telah terjadi di kediaman Tabib Cawan Maut itu.
"Ada apa, Paman"!"
Jongos Daki menjawab dengan napas terengah-engah. Agaknya
ia melarikan diri terus-menerus tanpa berhenti dari bukit
karang itu sampai ke Bukit Canang.
"Tabib... tewas!"
"Hahh..."!" Suto dan Kirana sama-sama terkejut dan
terbelalak. "Apa yang terjadi sebenarnya, Paman"!" "Orang...
orang-orang Kobra Hitam menyerang. Tabib tewas dan aku
melarikan diri dalam pengejaran mereka."
"Mengapa tabib dibunuh?" tanya Pendekar Mabuk, sementara
Kirana termenung sambil menggumam lirih,
"Kobra Hitam...!"
Jongos Daki menjawab, "Permasalahannya tak begitu jelas,
Suto. Tapi kudengar salah seorang bicara menuduh kepada
tabib, dan karena Tabib Cawan Maut menyanggah tuduhan itu,
maka diseranglah tabib oleh mereka yang berjumlah tiga
orang itu!"
"Tuduhan apa yang dilemparkan pada Tabib Cawan Maut"!"
"Tuduhan... meracuni orang orang Kobra Hitam! Mereka
menyangka tabib mempunyai Racun Getah Tengkorak dan dipakai
membunuh banyak orang Kobra Hitam! Padahal, tabib merasa
tidak memiliki racun Getah Tengkorak yang amat jarang
terdapat di sembarang tempat itu. Tabib hanya merasa, racun
seperti itu memang ada. Tapi ia tak menyimpannya walau
sedikit pun!"
Napas Jongos Daki masih terengah-engah sewaktu Pendekar
Mabuk termenung sedih membayangkan kematian Tabib Cawan
Maut. Kirana pun menundukkan kepala, tanda ikut berkabung
atas meninggalnya tabib yang dikenalnya dengan baik itu.
"Tolong aku...! Mereka mengejarku dan juga menuduhku orang
yang menyebarkan racun itu!" kata Jongos Daki.
"Mengapa Paman tidak melawannya?" tanya Kirana.
"Tak mungkin. Mereka yang datang berilmu tinggi semua.
Ekayana, Brajawisnu, dan Pancakana! Mereka orang-orang kuat
di Kobra Hitam!"
"Ya. ya... aku paham. Tapi seharusnya mereka tidak
membabi-buta begitu!" kata Kirana dengan menggenggamkan
tangannya kuat-kuat.
Kepada Pendekar Mabuk yang tertegun. Kirana bertanya.
"Maukah kau lari bersembunyi bersama kami" Mereka pasti
mengejar sampai kemari!"
" Akan kuhadapi mereka! Tak perlu lari!" kata Pendekar Mabuk
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tenang. Kemudian ia meneguk tuaknya beberapa kali.
9 TIGA orang berkuda mendekati Cemara Tunggal. Dari kejauhan
sudah kelihatan mereka bertiga tampak bernafsu sekali untuk
membunuh orang yang mereka duga sebagai penyebar Racun Getah
Tengkorak. Wajah mereka tampak beringas dan buas.
Seolah-olah tiga ekor singa yang kelaparan dan memburu
mangsa siapa saja yang ditemuinya.
Melihat tiga ekor kuda berderap menuju Cemara Tunggal,
Jongos Daki mulai tampak cemas dan bergeser berdirinya ke
belakang Suto Sinting. Kirana sendiri kelihatan memendam
kegelisahan, hatinya waswas, sehingga ia berlagak
mendekati Jongos Daki ke belakang Suto Sinting.
Berbeda dengan Pendekar Mabuk, ketika melihat tiga ekor
kuda menuju tempat mereka berada, ia justru meneguk tuaknya
beberapa kali dan dengan tenang melangkah ke tanah yang
datar. Jongos Daki dan Kirana bergegas mengikuti Suto dari
belakang. Ketika itu Pendekar Mabuk segera membalikkan
badan dan berkata kepada mereka,
"Jangan dekat-dekat. Menjauhlah dan carilah tempat
bersembunyi!"
"Kau sendirian, Suto!" bisik Kirana.
"Dari dulu memang aku sendirian," jawab Suto.
Jongos Daki ikut bicara, " Mereka bukan orang sembarangan.
Mereka pasti orang-orang pilihan dari Kobra Hitam yang
kusaksikan sendiri ilmu mereka begitu tingginya."
Kirana menimpali, "Mereka bersenjata, sedangkan kau tidak,
Suto. Pakailah pedangku!"
"Bawalah buat menjaga dirimu sendiri," kata Suto Sinting.
"Mana yang paling berbahaya dari ketiga orang itu?" tanyanya. "Ekayana lebih berbahaya dari keduanya itu," jawab Kirana.
"Baiklah, kalau begitu kulumpuhkan Ekayana lebih dulu!
Lekas menjauhlah. Mereka mulai semakin dekat kemari!
Bersembunyilah di balik dua batu besar itu, supaya jangan
sampai kalian menjadi sasaran pukulan tenaga dalam mereka
jika meleset mengenaiku! Pergilah ke sana, Kirana. Jangan
bengong saja!"
Ada kebimbangan di hati Kirana. Ada kecemasan untuk
meninggalkan Pendekar Mabuk sendirian menghadapi tiga orang
ganas itu. Tak tega hati Kirana sebenarnya membiarkan Suto
bertarung sendirian. Tapi karena Suto mendesaknya terus,
akhirnya Kirana pun mengikuti saran Pendekar Mabuk yang
masih kelihatan tetap tenang itu.
Setelah Kirana dan Jongos Daki bersembunyi di balik dua batu
berjajar yang dipakai tempat bersandarnya Nyai Punding
Sunyi pad a saat sebelum ajal tiba, Pendekar Mabuk maju
beberapa tindak menyambut kedatangan tiga orang ganas itu.
Kuda kuda mereka berhenti dalam jarak antara sepuluh tombak
dari tempat Pendekar Mabuk berdiri, Suto berdiri di dekat
gugusan batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Di
sana ia sedikit bersandar punggung pada batu tersebut, kedua
tangannya terlipat di dada. Ia sengaja menunggu ketiga orang
itu mendekatinya. Tapi ketiga manusia beringas itu masih
tetap berada di punggung kuda.
Ekayana sudah terbebas dari totokan pada tangannya. Logayo
sendiri yang membebaskan totokan darah tersebut. Kini ia
kelihatan tampak siap bersama pedangnya di pinggang,
kepalanya diikat kain putih bagai seseorang yang sudah siap
mati dalam pertempuran. Ia berada di tengah, di antara
Brajawisnu dan Pancakana yang berwajah lonjong, beralis
tebal, dan kumisnya turun ke bawah sampai dagu itu. Pancakana
juga berambut panjang, tapi diikat kain merah sebagai lambang berani mati. Ia bersenjatakan cambuk berujung mata pisau.
Sedangkan Brajawisnu yang berjubah ungu tua dengan usia
sekitar enam puluh tahun itu, kelihatan tak sabar ingin
segera turun dan menyerang pemuda tampan di depannya itu.
Brajawisnu yang bermata cekung dan dingin itu berambut
panjang pula tapi tak diikat. Orang yang tak pernah
tersenyum itu menyimpan beberapa pisau terbang di balik
jubahnya, karena memang pisau-pisau terbang itulah senjata
yang paling diandalkan. Karena pada pisau-pisau itulah
Brajawisnu yang ahli racun itu membubuhkan berbagai macam
jenis racun untuk setiap mata pisaunya.
Ketiga manusia yang masing-masing berjuluk Malaikat Maha
Pedang, untuk Ekayana, Iblis Maha Racun untuk Brajawisnu,
dan Hantu Naga Belah untuk Pancakana, segera turun dari
punggung kuda setelah diberi aba-aba oleh Ekayana. Tali
kekang kuda ditambatkan begitu saja di rimbunan semak
yang menggerombol tak jauh dari mereka. Kemudian dengan
langkah pelan dan menegangkan mereka bertiga mendekati
Pendekar Mabuk yang tetap berdiri dengan tenang, memandang
dengan kalem, bahkan terhias senyum tipis membayang di
bibirnya. Saat itu, Ekayana sempat berbisik kepada kedua temannya,
"Itu yang kubilang pemuda setan kurap! Dia yang menotokku
dengan cara yang tak kuketahui."
"Sikapnya sengaja menunggu kedatangan kita," gumam
Brajawisnu. "Apakah dia berpihak pada Jogos Daki?"
"Entahlah. Tapi tadi kulihat Jongos Daki bersama Kirana,
orang Perguruan Mawar Seruni!"
"Kalau begitu, jelas sudah pemuda mabuk itu pasti berpihak
kepada Jongos Daki. Atau, mungkin saja dialah orangnya yang
menyebarkan Racun Getah Tengkorak di tempat kita," kata
Pancakana. Brajawisnu menggeram, "Habisi dia sekalian!"
Ekayana berkata, "Biarkan aku dulu yang maju melawannya.
Kalian berdua jagai aku dari kejauhan!"
"Baik," jawab Pancakana sedangkan Brajawisnu hanya
menggumam. Ekayana meneruskan langkah lebih mendekati Pendekar Mabuk,
sementara Brajawisnu dan Pancakana diam di tempat. Tapi
keduanya saling berjaga-jaga. Pancakana sudah kelihatan
mulai mengambil cambuk mautnya dari pinggang. Cambuk itu
masih tetap digulung tiga lilitan, dan digenggam dengan
tangan kanannya.
"Kita bertemu lagi, bangsat!" kata Ekayana sengaja
memancing kemarahan Suto dengan makian. Tapi Pendekar Mabuk
tetap tenang dan bahkan menyunggingkan senyum berkesan
meremehkan. "Terlalu lama aku menunggumu di pantai, jadi aku pindah ke
sini untuk menunggumu, Ekayana."
"Bagus. Tapi aku ke sini juga mengejar Jongos Daki."
"Untuk apa kau mengejar lawan yang lebih rendah ilmunya dari
mu?" "Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut bekerja sama menyebarkan
Racun Getah Tengkorak untuk membunuh sekian banyak
orang-orangku! Mereka layak mendapat anugerah kematian dari
tangan kami!"
"Apakah mereka sudah terbukti bersalah?"
"Hanya Tabib Cawan Maut yang mengetahui adanya racun itu!
Hanya saja, entah siapa yang disuruhnya menaburkan racun
itu ke tempat kami, mungkin Jongos Daki, mungkin juga kau!
Atau mungkin kalian berdua bekerja sama!"
"Tak perlu pakai alasan macam-macam tuduhan! Aku tahu apa
yang kamu inginkan datang kemari, Ekayana!"
"Benar! Kau pasti tahu kalau aku ingin mencabut nyawamu.
Bangsat Kurap! Jika kau tak sabar, bersiaplah menghadapi
pedangku! Kali ini tak kubiarkan kau bergerak sedikit pun!"
Srett...! Ekayana mencabut pedangnya sambil melompat dan
menyabetkan ke dada Pendakar Mabuk.
Tapi serangan yang cepat itu segera dihindari oleh Suto
dengan gerak silumannya.
Zlapp...! Tahu-tahu Suto berada di samping Ekayana, sementara itu
Ekayana menyabetkan pedangnya dari atas ke bawah dan
mengenai batu yang tadi dipakai sandaran Pendekar Mabuk.
Tringngng...! Percikan api keluar akibat kecepatan tebas pedang di permukaan
batu keras itu.
"Gerakan jurus pedangmu belum sempurna, Ekayana!" kata Suto
Sinting sengaja memancing luapan amarah lawannya. Ternyata
pancingan itu termakan oleh Ekayana, sehingga ia bergerak
semakin tanpa perhitungan. Nafsunya untuk membunuh Pendekar
Mabuk meluap-luap dan tak terkendali lagi.
"Terima jurus "Pedang Pembelah Petir" ini, Mo-nyet busuk!
Hiaah!" Wuttt...! Wes wes wes wes wwukk...!
Ekayana bergerak dengan cepat. Kelihatannya hanya satu kali
menebaskan pedangnya, padahal beberapa kali gerakan tebas
pedang telah dilakukan, kurang dari satu helaan napas.
Tetapi akhirnya Ekayana bingung sendiri, karena ternyata ia
menebas tempat kosong bebarapa kali. Sedangkan orang yang
dijadikan sasaran tahu-tahu sudah berada dalam jarak lima
tombak di belakangnya, sedang menengadahkan kepalanya,
meminum tuaknya beberapa teguk.
Brajawisnu berbisik kepada Pancakana, "Dia punya gerakan yang
tak bisa dilihat mata kita! Dia cukup berbahaya!"
"Kalau kau takut, mundurlah! Biar aku yang hadapi dia!"
"Setan kau! Jangan bicara begitu! Dia boleh punya gerakan
secepat setan, tapi belum tentu bisa mengimbangi gerakan
pisau terbangku! Lihat...!"
Wuttt...! Tiba-tiba tangan Brajawisnu berkelebat ke depan. Rupanya
dia telah mencabut pisau dan melemparkannya ke arah Pendekar
Mabuk yang baru saja selesai meneguk tuaknya. Gerakan pisau
terbang yang amat cepat itu masih bisa ditangkis oleh
bumbung tuak Suto dalam keadaan Suto melimbungkan diri
seperti gerakan orang mabuk.
Trakkk....! Pisau itu mengenal bumbung tuak, dan bumbung
itu dibelokkan sedikit oleh Pendekar Mabuk dalam gerakan
cepat. Akibatnya pisau itu memantul tapi tidak berbalik ke
arah penyerangnya, melainkan meluncur dengan kecepatan
tinggi ke arah Ekayana.
Zuttt...! Crabb..!
"Aaah...!" Ekayana terpekik, pisau itu menancap di bawah
pundak kirinya. Brajawisnu dan Pancakana mendelik kaget
melihatnya. "Ekayana..."!" pekik Pancakana segera melompat menghampiri
Ekayana yang menjadi merah bagian pundak, dada serta lengan
kirinya itu. Racun ganas pada pisau tersebut membuat
Ekayana menjadi lemah.
Brajawisnu merasa bersalah, menyesal sekali Ekayana bisa
terkena pisau beracun itu. Hatinya menjadi panas kepada Suto
Sinting yang seenaknya saja menangkis pisau terbangnya.
Brajawisnu merasa
diremehkan. Karenanya, setelah melemparkan sebutir obat kepada Ekayana dan menyuruh Ekayana
menelan butiran sebesar tahi kambing itu, Brajawisnu
segera menghadapi Pendekar Mabuk.
"Keparat kau! Terlalu meremehkan kami dengan kesombonganmu!
Hadapi aku si Iblis Maha Racun ini!"
"Baik. Kulayani permintaanmu!" kata Pendekar Mabuk.
Brajawisnu segera menyerang dengan menyentakkan tangannya
dalam keadaan telapak tangan terbuka mekar dan menghadap
ke bawah, lalu dari dalam tangan jubahnya melesatlah dua
mata pisau kecil yang berwarna putih mengkilat, bercahaya
karena pantulan sinar matahari.
Zlaapp, zlappp...!
Pendekar Mabuk sentakkan kakinya pelan ke tanah, tubuhnya
melesat naik dan bersalto maju dua kali. Jlegg...! Ia sudah
ada di depan Brajawisnu dalam jarak hanya dua langkah,
sedangkan dua pisau tadi meluncur terus mengenai pohon di
tempat jauh. Pohon itu tumbang dengan menimbulkan suara
gemuruh yang mengerikan.
Hadirnya Suto Sinting di depan mata membuat Brajawisnu
terkejut. Saat terkejut itulah Suto segera melepaskan
tendangan beruntun ke wajah dan tubuh Brajawisnu. Tendangan
beruntun itu sangat cepat. Sepertinya tendangan satu kali
lepas saja, tapi sesungguhnya punya lima tendangan yang
mengenai sasaran dengan cepat. Dari wajah sampai ke perut
Brajawisnu rata mendapat bagian tendangan ber tenaga dalam
tinggi itu. Jeb jeb jeb jeb jeb.....!
"Hiaaaah....!" pekik Pendekar Mabuk untuk tendangan yang
terakhir kalinya, yaitu melompat dan memutar tubuh dengan
cepat. Kakinya melayang kuat menghantam wajah kiri
Brajawisnu, Plokkkk...!
Telak sekali tendangan yang terakhir itu, membuat Brajawisnu
terlempar dan jatuh menabrak Ekayana yang sudah siap
menyerang Suto kembali itu. Akibat tabrakan tersebut,
Ekayana jadi ikut terpental dan jatuh tertindih Brajawisnu.
"Braja....!" pekik Pancakana yang hampir saja tadi ikut
tertabrak tubuh Brajawisnu. Mata Pancakana menjadi
terbelalak karena ia melihat dengan jelas pedang Ekayana
menembus lambung Brajawisnu dan tembus ke pinggang
sebelahnya. "Ekayana! Kau telah membunuh Brajawisnu!" teriak Pancakana
dengan panik. Ekayana sendiri terkejut luar biasa setelah
menyadari pedangnya menembus tubuh teman sendiri.
"Bangsaaaattt....!" teriak Ekayana dalam amukannya yang
meledak-ledak. Ia sangat menyesal karena merasa sepertinya
dialah yang membunuh teman sendiri.
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malaikat Maha Pedang itu segera menyerang Pendekar Mabuk
bersama-sama dengan Pancakana. Cambuk berujung pisau itu
dilecutkan, tak ada suara yang keluar dari cambuk itu.
Wutt...! Hanya itu yang didengar dari lecutan cambuk, Suto
menghindarinya dengan melompat ke kiri.
Wutt...! Kembali cambuk dilecutkan, Suto menghindar ke depan dan
bersalto. Begitu mendaratkan kaki, pedang Ekayana
berkelebat dengan cepatnya.
Wesss....! Trakkk! Suto menangkis dengan bumbung tuak, lalu dengan
cepat bumbung tuaknya dihantamkan ke wajak Ekayana.
Duarrrr...! Terdengar suara ledakan ketika bumbung tuak menghantam
kepala Ekayana. Setetah itu, Ekayana tak berkutik lagi.
Rubuh dalam keadaan hancur kepalanya.
"Jahanam kau!" geram Pancakana dengan mata makin melotot..
Ia mengamuk melihat Ekayana mati dengan keadaan sangat
menyedihkan. Maka cambuknya pun dilecutkan beberapa kali
ke tubuh Suto Sinting.
Wuttt, wutt, wutt, wuttt ...!
Zrattt...! Cambuk melilit di bumbung tuak yang ditangkiskan
Pendekar Mabuk. Pancakana berusaha menarik cambuknya, tapi
dengan mengerahkan tenaga sebesar apa pun, cambuk itu tetap
melilit ke bumbung tuak. Maka, dengan kedua tangannya Suto
pun menyentakkan bumbung tuak itu ke belakang, dan satu
kali sentak tubuh Pancakana melayang terbang karena tarikan
cambuknya. Begitu tubuh Pancakana mendekat, bumbung tuak
segera dimiringkan dan kini bagian bawah bumbung disodokkan
ke dada Pancakana dengan kuat.
Duhggg....! "Ughh....!" Pancakana terpental balik dengan cambuk
terlepas. Tubuhnya melayang dan jatuh sejauh lima tombak.
Ia jatuh di bawah kaki kuda dalam keadaan wajah menjadi biru
legam, rambutnya mulai rontok tertiup angin.. Sedikit demi
sedikit akhrirnya rambut itu habis dari kepala Pancakana.
Kepala orang itu menjadi plontos dan berwarna biru legam.
Rupanya sodokan bumbung tadi mempunyai kekuatan dahsyat
yang tak diduga-duga oleh siapa saja. Pancakana sendiri tak
menyangka kalau akan tersodok bumbung tuak pada saat Suto
Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Rupanya
itulah jurus "Mabuk Pelebur Gunung" yang dimiliki oleh
Pendekar Mabuk.
Pancakana merasa seperti ada jutaan semut yang
menggerayangi dan menggerogoti bagian dalam dadanya.
Jantungnya terasa sakit, demikian pula paru parunya bagai
mulai kropos. Cepat-cepat ia berusaha melomnpat ke punggung
kuda. Dengan sikap sedikit telungkup menahan sakit, ia
memacu kuda untuk meninggalkan tempat tersebut. Orang
berkepala pelontos gundul itu melarikan diri dari
pertarungannya, karana ia merasa jiwanya tak akan bisa
tertolong lagi tapi perlu memberi laporan kepada sang ketua
Perkumpulan Kobra Hitam.
Kirana segera berlari dan melompat, tahu-tahu ia sudah duduk
di atas punggung kuda. Suto segera berseru,
"Kirana! Mau apa kau?"
"Mengejar setan busuk itu!"
"Tak perlu! Dia akan mati begitu tiba di tempat, atau mungkin
dalam perjalanannya!"
Akhirnya Kirana pun turun dari kuda, tak jadi mengejar
Pancakana. Tiba-tiba terdengar suara letupan keras.
Tar tarrr...! Suto Sinting tegang dan bersiap menghadapi serangan lagi.
Matanya memandang sekeliling dengan tajam. Tapi Kirana
segara berkata dengan tenang.
"Tak ada apa-apa. Suto! Itu hanya suara lecutan cambuk
Pancakana yang tertinggal!"
"Yang tertinggal"!" Suto heran.
"Cambuk itu tadi melebihi kecepatan suara. Dan itulah
kehebatan cambuk Pancakana, bisa meredam suara pada saat
dilecutkan ke lawan, sehingga lawan akan merasa menyepelekan
kekuatan cambuk itu"
Jongos Daki muncul dari balik batu. Pada saat ia mendekati
Suto dan Kirana, suara cambuk Pancakana yang tadi dilecutkan
empat kali tanpa suara itu, kali ini terdengar lagi.
Tar tar tar tarrrr...!
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala. Ia mengguman,
"Cukup dahsyat sebenarnya, cambuk itu, tapi sayang digenggam
tangan sesat, jadi tak berguna bagi hidupnya sendiri.!"
"Logayo pasti akan murka mendapat kabar dua orang kuatnya
kau rubuhkan, Suto " kata Kirana.
"Lebih murka lagi melihat Pancakana seolah-olah kau kirim
kembali sebagai bangkai! Dia pasti akan mencari kita!"
"Aku siap menghadapinya kapan saja. Yang penting bagiku
sekarang adalah mencari tahu, di mana pusaka Ki Padmanaba
disimpannya?"
Jongos Daki berkata, "Aku sendiri tak tahu. Tapi yang jadi
buah pikiranku sekarang ini adalah, siapa orang yang
menabur racun di antara orang orang Kobra Hitam itu"! Siapa
pemilik Racun Getah Tengkorak yang langka dan sulit diperoleh
itu?" Kirana berkata. "Barangkali untuk mencari tahu tempat
penyimpanan pusaka Ki Padmanaba, kita bisa tanyakan kepada
Nyai Embun Salju, ketua Perguruan Elang Putih, yang nama
aslinya tak boleh disebutkan oleh siapapun karena bisa
mendatangkan hujan petir dan amukan badai!"
"O, begitu dahsyatnya nama itu sendiri?" kata Suto dengan
kagum. "Kalau begitu, cepat bawa aku kepada Nyai Embun Salju!
Kita perlu mengetahui dimana Ki Padmanaba menyimpan pusaka
tersebut."
Jongos Daki bertanya kepada Kirana, "Mengapa harus kepada
Nyai Embun Salju kita bertanya"!"
"Karena Nyai Embun Salju adalah kakak dari Ki Padmanaba,
tapi mereka hanya satu ibu lain bapak!" jawab Kirana "Yang
kutakutkan kalau Nyai Embun Salju tidak mengetahui tempat
pusaka itu di simpan, tapi justru kakak ipar Ki Padmanaba
mengetahuinya."
"Kakak ipar"! Maksudnya kakak dari istrinya Ki Padmanaba?"
tanya Suto Sinting dengan semakin ingin tahu.
"Benar! Karena ketika Ki Padmanaba membunuh istrinya, kakak
iparnya mengancam akan merebut pusaka itu! Dan kakak iparnya
itulah yang mem pengaruhi istri Ki Padmanaba untuk membunuh
mertua sang istri, yaitu membunuh orangtua Ki Padmanaba!"
"Siapa kakak iparnya Ki Padmanaba itu"!"
"Logayo, ketua perguruan Kobra Hitam!" jawab Kirana dengan
tegas. Pendekar Mabuk berkerut dahi dan memandang ke arah jauh.
Sebenarnya ia tak ingin terlibat dalam masalah pusaka, yang
bukan hak miliknya itu. Tapi amanat dari Ki Padmanaba saat
menjelang ajalnya tiba itu, membuat Suto semakin merasa
bertanggung jawab untuk menyelamatkan pusaka itu agar tidak
jatuh ke tangan orang sesat. Sementara itu se buah pertanyaan
masih menyelinap di dalam hati Suto tentang siapa penyebar
Racun Getah Tengkorak itu sebenarnya"
TAMAT Segera menyusul:
RAHASIA PEDANG EMAS
Pedang Berkarat Pena Beraksara 14 Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur Pendekar Pemetik Harpa 31
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama