Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk Bagian 3
adalah menjadi pertapa suci jika ia telah berhasil melebur dosa-dosanya selama
ini. Sebagai murid, Pendekar Mabuk perlu curigai
maksud pertanyaan Dayang Kesumat itu, sehingga ia
pun segera ajukan tanya,
"Apa maksudmu mencari bibi guruku, Dayang
Kesumat"!"
"Sudah saatnya aku membalas dendamku kepada dia, Suto!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar jawaban
polos seenaknya itu. Terlalu sembrono Dayang Kesumat
berkata menurut Suto. Karenanya Pendekar Mabuk pun
segera berkata,
"Jadi kau ingin balas dendam dan membunuh bibi guruku?"
"Betul!"
"Itu sulit, Dayang Kesumat!" Suto sunggingkan senyum tipis.
"Mengapa sulit?"
"Seperti kau ketahui, Bidadari Jalang punya murid, tentunya muridnya tidak akan
rela jika gurunya dibunuh orang seenaknya saja! Jadi sebaiknya kau harus bunuh
dulu muridnya, baru kau temui gurunya dan lawanlah
gurunya!" Dayang Kesumat tertawa pelan bernada meremehkan.
"Itu altinya aku halus membunuhmu dulu, Suto!"
"Kurasa memang sebaiknya begitu, Dayang
Kesumat," jawab Suto dengan tenang, sepertinya tidak merasa dalam ancaman maut
perempuan sakti itu.
"Sayang sekali kalau wajah tampanmu mati di
tanganku, Suto!"
"Lebih sayang lagi kalau wajah cantikmu berubah menjadi tua dan kempot seperti
saat kau dalam wujud si Mawar Hitam!"
"Suto...!" sentak Dayang Kesumat dengan mata tegas dan tajam. Rupanya ia mulai
tersinggung jika ada yang membicarakan masa lalunya.
"Sekali lagi kau bicala sepelti itu, kuhabisi nyawamu saat itu juga!" ancamnya
dengan sungguh-sungguh, tapi Suto menertawakannya.
"Kalau kau tersinggung, kau tak usah mengancamku segala, Dayang Kesumat! Kalau
kau memang berani
melabrak bibi guruku, kau harus berani menghadapiku!"
"Tak ada yang membuatku tak belani menghadapimu, Suto Sinting! Sekalipun dulu
kau pelnah menolongku, menyelamatkan lukaku akibat setangan dali si Tua
Lakus di Pulau Padang Peluh, tapi semua itu kuanggap tidak pelnah teljadi.
Buatku tak ada balas budi. Sekali aku beltekad membunuh olang, tak peduli olang
itu punya kebaikan padaku atau tidak, maka olang itu tetap halus kubunuh!"
"Aku tak menuntut balas jasa dari perbuatanku tempo hari! Aku pun sudah lupa,
dan tak pernah ingat-ingat tentang kebaikanku! Yang kuingat hanyalah, pembelaan
terhadap Guru!"
"Gulumu itu olang sesat dan jahat! Untuk apa kau bela"!"
"Kau sendiri apakah orang baik-baik, Dayang
Kesumat"!" balas Suto Sinting sambil tersenyum kalem.
"Membela orang yang ingin bertobat dari kesesatan hidupnya di masa lalu itu
adalah hal yang baik, daripada membela orang sesat yang tidak pernah mau
bertobat seperti dirimu, Dayang Kesumat!"
"Bocah kemalin sole sudah belani gului aku, kamu ya"! Lupanya kau memang pellu
dikasih pelajalan bial tahu adat, Suto! Hihh...!"
Dayang Kesumat segera mencengkeram jari
telunjuknya sendiri, itu pertanda Dayang Kesumat
mencengkeram 'seekor burung' peliharaan Suto. Namun
dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan napasnya dan
tertahan beberapa saat, sehingga ia masih tetap bisa tersenyum dan berdiri
dengan tenang, sementara itu
Dayang Kesumat kerutkan dahi dengan wajah heran. Jari telunjuk itu diremasremas, bahkan dipelintirnya sendiri dengan ibu jari. Tapi Dayang Kesumat seperti
tidak menemukan apa-apa yang dicari.
Suto bahkan bertanya dengan nada geli, "Apa yang kau cari, Dayang Kesumat"!!"
Perempuan itu belum mau menjawab, tapi masih
mencari-cari lewat jari telunjuknya yang diremas-remas.
Kejap berikutnya Dayang Kesumat berucap kata pelan
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Tak ada..."! Apakah... apakah kau memang tak
punya?" Semakin geli Suto Sinting menghadapi tingkah
perempuan cantik yang agaknya punya kegemaran
meremas-remas 'peliharaan' orang itu. Lalu, Pendekar Mabuk pun berkata,
"Kau tak akan temukan apa yang kau cari, Nyai
Mawar Hitam! Aku telah menariknya ke dalam dan tak
akan bisa dijamah oleh siapa pun!"
"Jahanam!" geram Dayang Kesumat antara malu dan jengkel. Maka, segera ia meremas
jari kelingkingnya, itu pertanda Dayang Kesumat mencekik leher Pendekar
Mabuk. Segera Pendekar Mabuk menahan napasnya dan
Dayang Kesumat bagai mencekik tempat kosong. Dalam
bayangan batin tangannya menggapai-gapai leher Suto,
namun tidak pernah sampai pada tujuan, karena ada
hawa yang membatasi dan membuat tangan tak bisa
menembusnya. "Setan!" geram Dayang Kesumat, lalu cepat-cepat ia meremas jari tengahnya.
Terasa ia meremas tempat
kosong juga. Tak bisa menyentuh bagian perut Pendekar Mabuk. Dan ia meremas
jempol tangannya sendiri.
Itulah remasan untuk jantung. Tapi ia kembali tidak menemukan sesuatu dalam
bayangan batinnya. Jantung
itu seakan berpindah tempat. Padahal Suto Sinting
melapisi tubuhnya dengan tahanan napas Tuak Setan
yang membuat dirinya tidak bisa dijangkau oleh
kekuatan batin siapa pun.
"Kau sungguh-sungguh membuatku mulka, Suto!
Kau pamelkan kehebatan ilmumu di depanku! Sekalang
telimalah julus 'Gempul Sukma'! Hiaaah...!"
Prokk...! Dayang Kesumat bertepuk tangan satu kali
dengan sentakan kuat. Jurus 'Gempur Sukma' itu bisa membuat lawan pecah
kepalanya dalam satu tepukan
tangan yang membutuhkan kerahan tenaga dalam sangat besar. Tetapi ternyata
Pendekar Mabuk segera
menggenggamkan kedua tangannya kuat-kuat, sehingga
kekuatan batin itu membalik dan tenaga dalam yang
dikerahkan itu mengamuk dalam diri Dayang Kesumat
sendiri. Wengng...! Bruss...! Grusak...!
Tubuh Dayang Kesumat bagai terlempar tinggi-tinggi
dan jatuh di sembarang tempat. Kali ini ia jatuh di semak-semak dalam keadaan
punggung menyentuh
tanah lebih dulu. Tubuh Dayang Kesumat dibanting oleh kekuatan batin dan hawa
murninya sendiri. Terasa sakit sekujur tubuhnya, tak mampu ia memekik karena
napas terasa menggumpal di ulu hati, kerongkongan terasa mau pecah akibat
sentakan balik tenaga dalamnya itu.
Pendekar Mabuk tersenyum, ia cepat ambil bumbung
tuaknya dari punggung, kemudian menenggaknya
beberapa teguk dengan santai. Glek glek glek...!
Dayang Kesumat bergegas bangkit dengan menahan
rasa sakit. Suto Sinting sedikit berkerut dahi melihat wajah Dayang Kesumat
menjadi merah kebiru-biruan.
Itu pertanda Dayang Kesumat dihajar oleh kekuatannya sendiri hingga babak belur
begitu. "Urungkanlah niatmu, Dayang! Karena jika kau
nekat, maka kau akan mati di tanganku!"
Dayang Kesumat menggeram dengan napas terengahengah. Tapi tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada
gerakan cepat meluncur dari arah belakangnya. Gerakan cepat itu adalah sesuatu
yang akan mengancam bahaya jiwa Pendekar Mabuk. Maka dengan tanpa menoleh ke
belakang, Pendekar Mabuk segera kelebatkan bumbung
tuaknya ke punggung. Blehkk...!
Tak lama kemudian terdengar suara, crap crap...!
Suto Sinting tersenyum kepada Dayang Kesumat dan
berkata, "Rupanya kau tidak sendirian, Dayang Kesumat!"
"Aku sendilian!"
"Tapi ada yang menyerangku dari belakang!"
Pendekar Mabuk memperlihatkan bumbung tuaknya.
Di bumbung tuak itu terdapat senjata rahasia berbentuk lingkaran bergerigi,
bentuknya pipih, menancap kuat di bumbung tuak itu. Warna benda tersebut hitam
legam. Pasti dimaksudkan oleh pemiliknya agar benda itu tak terlihat mata jika
dilemparkan dari kejauhan. Logam yang dipakainya adalah baja murni dengan
mengandung kadar racun yang berbahaya.
"Lihat, temanmu menyerangku dari belakang dengan senjata rahasia ini!" kata Suto
kepada Dayang Kesumat.
"Rupanya, meskipun kau merasa orang sakti, kau masih suka main keroyokan, Dayang
Kesumat!" "Setan! Jangan melendahkan aku begitu, Suto! Aku bukan olang belwatak pengecut!
Tak pelnah aku main
keloyokan dalam peltalunganku! Jangan kau bicala
seenaknya, Suto!"
"Kalau begitu ada orang lain yang membelamu!"
"Aku tak peduli! Yang penting hadapilah aku, sebagai jalan kematian buat
gulumu!" "Kau masih belum jela... eh, jera"!"
Tiba-tiba dari arah belakang Suto terdengar suara,
"Dayang Kesumat, biarkan aku yang menghadapi dia!
Kau beristirahatlah!"
Baik Pendekar Mabuk maupun Dayang Kesumat
sama-sama memandang ke arah orang yang berseru
dalam jarak sepuluh langkah di belakang Suto itu.
Keduanya sama-sama heran karena tidak kenal dengan
orang itu. Maka ketika orang itu menghampiri Suto dan berhenti dalam jarak lima
langkah, Suto segera bertanya,
"Siapa kau" Dan ada hubungan apa dengan Dayang
Kesumat?" Sedangkan Dayang Kesumat berseru, "Aku tak kenal siapa kamu, untuk apa kamu mau
membelaku" Pelgilah
sana!" Orang berbadan tegap dan lumayan tampan itu
berkata, "Aku teman dari Prahasto, Dayang. Namaku Rakawuni! Aku salah satu orang
yang sering perhatikan dirimu, Dayang Kesumat. Dan aku memendam
kebanggaan akan kecantikanmu, ketinggian ilmumu dan caramu bersikap tegas! Tak
rela hatiku jika kau dilukai oleh siapa pun, Dayang Kesumat!
Hati Dayang Kesumat menjadi berdebar-debar
mendapat pujian seperti itu. Ia tak jadi menggeram dan mengusir orang itu. Tapi
Suto tertawa terkekeh-kekeh dengan mulut ditutup tangan.
"Wahai, rayuan yang begitu maut, sungguh melebihi sebilah pedang tajam! Dapat
untuk memotong sehelai
benang kasur!"
"Tutup mulutmu! Sudah bukan waktunya kau
berhadapan dengan Dayang Kesumat, tapi hadapilah
aku, Rakawuni dari Jenggala!" ujar Rakawuni dengan beraninya. Rupanya dalam
pelariannya menuju Jenggala, ia sempat bertemu Dayang Kesumat dan Suto Sinting.
Sejak ia bertemu dan melihat Dayang Kesumat bertarung melawan Prahasto, hatinya
mulai tertarik dengan
kecantikan dan keindahan tubuh Dayang Kesumat.
Bahkan sebelum itu, ia pernah bertemu dengan Dayang Kesumat dalam satu pertemuan
tokoh sakti, tapi Dayang Kesumat tak pernah memperhatikan dirinya.
Semakin Rakawuni melihat dari dekat wajah itu,
semakin hatinya tertarik. Lalu dia gunakan satu
kesempatan baik saat itu untuk menunjukkan rasa bela patinya terhadap Dayang
Kesumat, sekalipun ia tahu
bahwa Dayang Kesumat sudah berusia banyak. Sikapnya ini mempunyai dua tujuan,
pertama memiliki kecantikan Dayang Kesumat dan kedua berlindung dari kejaran
Ratu Teluh Bumi di balik Dayang Kesumat. Rakawuni
pun segera lepaskan serangan kepada Pendekar Mabuk
berupa pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wukk...! Suto Sinting segera melesat naik
dengan satu sentakan kaki.
Ia menghindari pukulan jarak jauh itu. Akibatnya,
Dayang Kesumat yang di belakangnya menjadi terpental melayang ke belakang karena
terkena pukulan yang
dihindari Suto itu.
Buhgg...! Bruss...!
Dayang Kesumat kembali
terpelanting jatuh di semak-semak yang tadi. Ia menjadi geram kepada Rakawuni
dan Rakawuni menjadi
terbengong menyesal.
"Jahanam kau, Iblis!" bentak Dayang Kesumat yang merasa seperti dipermainkan
oleh Rakawuni. "Maaf, maafkan aku...! Aku tak sengaja
menyerangmu, Dayang!"
Rakawuni menjadi kebingungan sendiri. Tapi segera
ia menyerang Suto kembali dengan jurus bersinar merah dari ujung kedua jarinya.
Suitt...! Sinar itu melesat, panjangnya satu jengkal dan lebarnya seukuran jari
kelingking. Sinar itu menghantam dada Pendekar
Mabuk. Tapi dengan cepat bumbung tuak yang masih
dengan kuat digenggam Pendekar Mabuk itu
dihadangkan ke depan dada. Sinar merah yang mirip
tongkat kecil itu menghantam bumbung tuak, dan
membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat
bergeraknya. Wutt...!
Duarrr...! Rakawuni terlempar ke samping dan berguling-guling
ketika sinar merahnya dihindari dan menghantam
sebongkah batu. Batu itu menjadi pecah, memercik
lembut ke segala arah. Rambut Rakawuni menjadi kotor, sementara Pendekar Mabuk
sendiri cepat menjauhi
percikan yang sudah diperkirakan akan sampai ke
dirinya. "Keparat kau, Kunyuk! Pandai kau kembalikan
seranganku! Tapi demi orang yang kukagumi, terimalah jurus 'Gentar Gundala' ini!
Hiaaat...!"
Suto buru-buru menghentakkan tangannya memukul
bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu masih dipakai
menancap dua senjata bergerigi. Dan ketika disentakkan, dua senjata bergerigi
milik Rakawuni itu melesat cepat ke arah Rakawuni. Zingng, zingng...!
Crass...! Senjata itu dihindari oleh Rakawuni yang tak jadi melepaskan jurus
'Gentar Gundala'-nya. Tetapi gerakannya kurang cepat sehingga lengan kirinya
terserempet senjata bergerigi itu, dan koyaklah lengan itu. Brett...! Kain pun
robek, darah pun keluar, sedang senjata itu tetap melesat menghantam tempat
kosong. Rakawuni mengerang dengan mata memejam kuat.
Lukanya itu kelihatan mengeluarkan busa. Itulah racun
yang berbahaya, yang dipasang oleh Rakawuni sendiri pada senjata rahasianya.
Suto Sinting tidak segera
menyerang Rakawuni, karena dilihatnya Dayang
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesumat telah menghilang. Timbul kecemasan di hati
Suto, takut kalau Dayang Kesumat pergi ke
persinggahan gurunya, si Gila Tuak, dan memaksa si
Gila Tuak untuk menunjukkan tempat pengasingan
Bidadari Jalang. Suto tahu bahwa Dayang Kesumat pasti mengetahui tempat tinggal
si Gila Tuak, karena dari dulu hingga sekarang, si Gila Tuak tidak pernah
berpindah tempat tinggal, yaitu di sebuah gua di balik air terjun yang ada di
Jurang Lindu. "Rakawuni...! Perempuan yang kau bela itu pergi meninggalkanmu! Itu tandanya
kamu tidak disukai dan tidak dianggap ada di bumi ini! Pembelaanmu hanya
sesuatu yang sia-sia saja! Sebenarnya saat ini bisa saja aku membunuhmu dengan
mudah! Tapi sengaja
kubiarkan kau hidup, supaya kau bisa menarik hikmah dari peristiwa ini, agar
bisa berguna untuk hidupmu di masa mendatang. Aku terpaksa harus pergi juga dan
tak akan melayanimu lagi...!"
Zlapp...! Pendekar Mabuk pergi berkelebat.
Rakawuni sempat tertegun melihat gerakan Pendekar
Mabuk yang begitu cepat, mirip angin setan lewat. Tak sempat mata Rakawuni
melihat ke mana dan sampai di
mana gerakan lari Suto itu. Sehingga di dalam hati
Rakawuni pun berkata,
"Manusia atau setan dia itu sebenarnya"! Melihat gerakan dan perlawanannya dalam
menghadapi jurus
jarinya Dayang Kesumat, dia pasti lebih tinggi ilmunya dari Dayang Kesumat!
Hmm...! Bagaimana jika aku
minta bantuan dia untuk menghadapi Ratu Teluh Bumi"
Kira-kira apakah dia bersedia kujadikan pembunuh
bayaran demi membela rakyat Jenggala?"
* * * 8 SERAUT wajah bundar berhidung bulat dan mata
besar itu tampak kebingungan menghadapi tebasan
kapak panjang yang begitu cepatnya. Wajah bundar
bertubuh sedikit gemuk dan agak pendek itu cepat
melompat dengan satu kali sentakan kaki ke tanah.
Wutt...! Dan kapak bergagang panjang itu melesat cepat di bawah kakinya. Andai
si mata besar tidak cepat
melompat, maka kakinya akan menjadi santapan lezat
bagi kapak bergagang panjang.
Orang bersenjata kapak gagang panjang itu
menggeram gemas karena pukulannya meleset terus.
Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, ia berdiri dengan mata cekungnya yang
memandang angker.
Tubuhnya yang kurus dibiarkan dihempas angin lereng gunung, membuat rambutnya
yang panjang terlepas
disapu angin sampai meriap di depan matanya, ia masih menunggu kesempatan
menyerang lagi. Orang itu
dikenal dengan nama Campak Garang.
"Majulah kalau kau memang masih merasa tangguh di depanku, Mahesa Lola!" ujar
Campak Garang kepada
si wajah bulat yang bernama Mahesa Lola itu.
"Jangan merasa menang dulu, Campak Garang! Aku sedang pelajari jurus-jurusmu!"
"Kalau kau mau bertarung, bertarunglah dengan
ksatria. Kalau mau pelajari jurus-jurusku, datanglah sebagai muridku!"
"Mana aku sudi menjadi murid pencuri sebusuk
kamu!" "Hei, jaga bicaramu kalau tak ingin kubelah
kepalamu, Mahesa!"
"Nyatanya sejak tadi kau tak bisa lakukan angan-anganmu! Mana kau bisa membelah
kepala orang sakti seperti aku!" ejek Mahesa Lola semakin tampak masih berani,
walau nyalinya sudah ciut sebenarnya.
"Hiaaat...!" Campak Garang melompat bagaikan terbang. Mahesa Lola hanya bersifat
menunggu, untuk kemudian segera berguling ke samping dalam satu
lompatan. Campak Garang kecele lagi. Kapaknya
membelah udara kosong.
Satu kesempatan bagus pada saat itu karena Campak
Garang dalam posisi membelakangi Mahesa Lola. Maka
segera Mahesa Lola melepaskan pukulan tenaga
dalamnya yang tak seberapa besar itu. Wutt...!
Beggh...! Campak Garang tersentak, namun tak sampai jatuh.
Hanya melengkung sedikit tubuhnya, kemudian segera
berbalik dengan pandangan mata angkernya. Tiba-tiba tangannya berkelebat dan
kapak panjangnya itu terbang dengan cepat ke arah kepala Mahesa Lola.
Mahesa Lola terkesiap melihat kapak begitu cepat
melayang ke arahnya, ia baru akan menghindar dengan harapan tipis, tapi tibatiba kapak itu berbelok arah dan tahu-tahu menancap ke sebuah pohon. Beloknya
arah kapak itu sungguh tidak masuk akal. Kapak yang
terbang datar itu tahu-tahu melesat naik dengan
sendirinya. Tinggi sekali sampai menancap pada dahan pohon. Dan keadaannya
sekarang jelas tak terjangkau lagi oleh pemiliknya. Campak Garang hanya bisa
terbengong memandangi kapaknya karena tak tahu
bagaimana cara mengambilnya lagi.
Campak Garang yakin ada orang yang membela
Mahesa Lola dalam pertarungannya itu. Pembela
Mahesa Lola, pasti orang berilmu tinggi. Jika bukan karena kekuatan orang
berilmu tinggi, tak mungkin
kapak bisa melesat ke atas dan menancap di dahan
pohon yang begitu tinggi.
Campak Garang segera menyusuri sekelilingnya
dengan pandangan mata cekung yang angker itu. Lalu, ia temukan seraut wajah
cantik yang berdiri di belakangnya dengan sikap tenang namun dingin. Campak
Garang segera melompat ke samping, dan kini ia bisa
memandang antara Mahesa Lola dan sang pembelanya
yang berwajah dingin itu.
"Apa yang teljadi, Mahesa Lola"!" tanya orang itu yang agaknya sudah cukup kenal
dengan Mahesa Lola.
"Dia pencuri! Dia yang bantu Ratu Teluh Bumi
mencuri kitab pusaka milik pamanku, yaitu kakeknya
Sumping Rengganis!"
"Aku hanya membantu menunjukkan arah rumah Ki
Bayan saja! Bukan ikut mencuri kitab itu, Goblok!"
sentak Campak Garang.
"Kalau tidak salah kau yang belnama Campak
Galang!" kata Dayang Kesumat. "Aku kenal kau sebagai anggota kawanan Penculi Gua
Maksiat! Kau teman
Wilduto, bukan"!"
"Aku tidak punya urusan denganmu, Perempuan
cadel!" Terkesiap mata Dayang Kesumat. Marah hatinya
dihina seperti itu. Maka dengan cepat ia meremas jari kelingkingnya. Srett...!
Dan tiba-tiba Campak Garang mendelik. Kepalanya bergerak-gerak ke belakang
dengan kedua tangan memegangi lehernya. Campak
Garang tercekik kuat-kuat. Wajahnya menjadi merah.
Mulutnya ternganga dengan lidah mulai terjulur keluar.
Bahkan sekarang tubuhnya terangkat, kedua kakinya
tidak menyentuh tanah lagi.
Mahesa Lola terbengong-bengong memandanginya,
ia menatap Dayang Kesumat juga menatap Campak
Garang, begitu terus bergantian karena ia bingung. Apa yang dilakukan Dayang
Kesumat tak dapat dimengerti
oleh Mahesa Lola. Ia hanya melihat Campak Garang
terangkat tubuhnya dalam keadaan tercekik. Sampai
akhirnya kaki Campak Garang tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak
bergerak lagi. Dan tubuh
Campak Garang pun segera roboh ke tanah, seakan
dilepaskan oleh pencekiknya. Sementara itu, Dayang
Kesumat tampak hembuskan napas lega dengan
mengembangkan tangannya yang dari tadi
menggenggam kuat-kuat.
Mahesa Lola semakin tertegun bingung melihat
Campak Garang ternyata mati dalam keadaan mata
mendelik dan mulut ternganga. Batin Mahesa pun
berkata, "Pasti Dayang Kesumat yang mencekiknya dengan
ilmu tinggi yang dimiliki! Ck ck ck...! Benar-benar hebat ilmu perempuan itu!"
Dayang Kesumat menghampiri Mahesa Lola, lalu
ucapkan kata, "Kulasa ulusanmu dengan olang itu sudah selesai, Mahesa! Pulanglah
dan aku akan teluskan
peljalananku membulu musuh lamaku!"
"Eh, hmm... tunggu sebentar, Dayang Kesumat! Kau masih punya janji padaku yang
belum kau penuhi!"
"Janji apa?"
"Aku sudah membantumu membangun istana di
Pulau Hantu. Aku ikut membangun istana itu tanpa
upah. Tapi kau berjanji akan mengangkatku menjadi
muridmu, Dayang Kesumat! Lupakah kau?"
Dayang Kesumat diam sebantar. Ia memang pernah
keluarkan janji seperti itu kepada Mahesa Lola. Tapi setelah dipikir-pikir
hatinya merasa berat jika ada orang yang memiliki ilmu sama dengannya. Karena
itu, Dayang Kesumat bermaksud membatalkan janjinya.
Dayang Kesumat pun segera berkata kepada Mahesa
Lola, "Aku belum punya waktu untuk angkat mulid,
Mahesa!" "Aku bersedia mendampingimu ke mana saja sambil kau menjadi guruku. Aku bersedia
pelajari ilmu darimu sambil jalan ke mana saja, Dayang Kesumat"
"Tak bisa, Mahesa! Aku tak belsedia jadi gulumu sambil jalan ke mana-mana! Kalau
aku tulunkan ilmu
kepada mulidku, aku halus punya tempat dan diam di
tempat itu, tanpa ada ulusan lain-lain!"
Mahesa Lola bersungut-sungut dengan nada kecewa.
"Dari dulu kau selalu bilang belum ada waktu. Lantas kapan kau punya waktu untuk
mengangkatku sebagai
murid?" "Aku tidak bisa pastikan, Mahesa!"
Mahesa Lola tundukkan kepala dengan wajah
sedihnya, "Sudah lama aku mengagumi ilmu
kesaktianmu. Sudah lama aku mengidam-idamkan untuk
menjadi muridmu. Tapi sampai sekarang harapan itu
bagaikan sebuah mimpi rakyat jelata saja!"
Kasihan wajah Mahesa Lola sebenarnya. Tapi
Dayang Kesumat segera ingat pengalaman pahitnya, ia pernah punya murid tunggal,
yaitu Peri Malam. Tetapi akhirnya sang murid menjadi murtad hanya gara-gara
jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Peri Malam
menjadi memberontak dan menentang segala keputusan
gurunya. Hal itu sungguh menyakitkan buat Dayang
Kesumat, ketika ia masih menjadi perempuan bungkuk
bernama Mawar Hitam, ia tak ingin mengulangi
pengalaman pahitnya itu, sehingga ia tak pernah punya niat untuk mempunyai
seorang murid lagi.
"Kalau waktunya telah tiba aku akan cali kamu dan
akan angkat kamu sebagai mulidku, Mahesal"
"Nanti aku keburu mati, Dayang Kesumat!"
"Belalti memang bukan jodoh kita menjadi gulu dan mulid!"
Mahesa Lola berdecak dan semakin tampakkan rasakekecewaannya. "Harapanku siang dan malam hanya ingin menjadi muridmu, Dayang
Kesumat. Tapi sekarang harapan itu rasa-rasanya pudar dan
meninggalkan luka di hatiku, Dayang Kesumat...!"
Wusss...! Tiba-tiba melesat sinar merah membara berbentuk
bola kecil. Sinar itu melesat dan menghantam punggung Dayang Kesumat. Jrubb!
"Ahhg...!"
"Dayang..."!" pekik Mahesa Lola dengan kaget, ia terbelalak melihat Dayang
Kesumat mendelik dengan
tubuh melengkung ke depan dan akhirnya rubuh.
Punggungnya menjadi hangus dan kepulan asap tampak
jelas dari luka hangus sebesar buah duku itu.
Mahesa Lola ingin membantu Dayang Kesumat, tapi
perempuan itu mengibaskan tangan Mahesa Lola. Ia
berdiri dengan sempoyongan. Lalu berbalik memandang ke belakang. Wajahnya telah
pucat pasi, menandakan ia dalam keadaan luka berat.
Dengan geram Dayang Kesumat sentakkan dua
tangannya berturut-turut yang memancarkan sinar biru dan merah secara
bergantian. Yang jadi sasaran adalah semak-semak, kerimbunan pohon, dan gundukan
batu atau tanah yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Blarr.. blarrr... blarrr... blarrr..!
Lebih dari sepuluh pukulan hebat dilepaskan oleh
Dayang Kesumat, ia bagaikan melepaskan serangan
secara membabi buta. Pohon tumbang dan batu pecah
terjadi beberapa kali, sehingga bumi bagai mengalami gempa yang begitu
mengerikan. Sebagian tanaman
semak terbakar dengan kobarkan api yang cukup besar.
Apa yang dicarinya ternyata berhasil ditemukan.
Seseorang melesat dari salah satu pohon terakhir yang mau dihantam dengan sinar
biru. Orang itu berkelebat dalam gerakan salto yang ringan dan cepat. Tahu-tahu
ia sudah berdiri di depan Dayang Kesumat dalam jarak
antara lima tombak.
"Ratu Teluh Bumi...!" geram Dayang Kesumat dengan mata menyipit.
Mahesa Lola berseru, "Itu dia pencuri kitab pamanku yang dibantu oleh Campak
Garang!" Tapi Dayang Kesumat tidak melayani ucapan itu.
Matanya menyipit dan sedikit cemas, karena Ratu Teluh Bumi yang dianggapnya
telah mati di dasar Jurang
Petaka itu, ternyata masih hidup dan segar bugar.
Dayang Kesumat berpendapat, kalau bukan orang
berilmu tinggi sekali, tak mungkin dapat lolos dari kematian Jurang Petaka.
Wajah Dayang Kesumat makin pucat karena luka
dalamnya itu. Mahesa Lola memandang cemas kepada
Dayang Kesumat, ia berbisik,
"Kau makin pucat, Dayang! Pasti lukamu parah!"
"Hadapi dia, Mahesa. Aku akan menjauh untuk
sementala. Aku pellu waktu untuk mengobati luka dalam ini! Kau akan segela
kuangkat jadi mulidku setelah
hadapi dia!"
"Sungguh?"
"Aku beljanji!"
"Baik. Pergilah sana! Biar kuhadapi dia, Dayang Kesumat!"
Zlapp...! Dayang Kesumat pergi dengan gerakan
cepat. Ratu Teluh Bumi segera mengejarnya. Tapi
Mahesa Lola cepat cabut pisaunya dan melemparkan
pisau itu ke arah Ratu Teluh Bumi. Zingng...! Jrubb...!
Langkah Ratu Teluh Bumi terhambat oleh pisau yang
menancap di betisnya. Ratu Teluh Bumi pun jatuh
tersungkur. Pisau itu segera dicabut dengan cepat,
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian dilemparkan kembali ke arah Mahesa Loia.
Zingng...! Mahesa Lola melompat tinggi-tinggi, dan pisau itu
melesat di bawah kakinya dalam jarak kurang dari
sejengkal. Kemudian pisau itu menancap kuat di dahan sebuah pohon yang rubuh
akibat amukan Dayang
Kesumat. Jrabb...!
"Keparat kau, Mahesa Lola!" geram Ratu Teluh Bumi dengan mata memandang angker.
Mahesa Lola justru
merasa bangga karena bisa menghambat pengejaran
Ratu Teluh Bumi, juga bisa melukai perempuan itu
dengan senjatanya yang kini tinggal dua di pinggang.
"Sakit?" ejek Mahesa Lola dengan sikap seakan sudah memperoleh kemenangan.
Ratu Teluh Bumi menggeram sebentar memandangi
Mahesa Lola. Lalu ia menahan napas dan memandangi
lukanya di betis sambil berkata,
"Sembuh...!"
Blarrr...! Petir menyahut dengan satu sentakan kuat.
Mahesa Lola kerutkan dahi dan matanya memandang
luka di betis Ratu Teluh Bumi tanpa berkedip sedikit pun. Mahesa Lola hampir tak
percaya melihat luka itu bergerak-gerak dan darahnya menyebar hilang, lalu
dalam kejap berikutnya luka tersebut sudah kembali
mengatup, dan hilang bagai tak pernah ada luka sedikit pun. Bekas sebesar jarum
pun tak terlihat lagi. Rasa sakit di betis pun tidak lagi terasa oleh Ratu Teluh
Bumi. Mahesa Lola melangkah mundur tiga tindak sambil
masih termangu-mangu melihat keajaiban yang di luar dugaan sama sekali itu. Ratu
Teluh Bumi berdiri tegak dengan mata tertuju tajam kepada Mahesa Lola.
"Berani kau melukaiku, Mahesa" Apakah kau sudah bosan hidup menjadi manusia
terburuk sejagat ini,
hah"!"
Mahesa Lola tak berani menyahut atau menjawab apa
pun. Ia ketakutan dan merasa sedang berhadapan dengan seorang siluman.
"Jangan kamu, Mahesa..., Dayang Kesumat pun lari terbirit-birit melihat
kemunculankul Karena dia tahu, aku mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari
dirinya!" Kemudian, Ratu Teluh Bumi memperlihatkan
kesaktiannya, ia pamerkan kehebatan ilmu barunya yang bisa menyebar kutuk ke
mana-mana, dengan cara
menuding sebatang pohon besar yang masih berdiri
dengan kokohnya, kemudian dengan menahan napas ia
ucapkan kata, "Rubuh...!"
Blarrr...! Petir menyambar di siang hari. Angin besar datang, dan pohon yang
kokoh itu bagaikan diguncang gempa yang hebat pada bagian tanah di bawahnya.
Lalu, tiba-tiba pohon itu pun rubuh dengan tidak tanggung-tanggung lagi.
Brrukkk...! Akarnya terangkat naik,
tanahnya memercik ke satu arah. Pohon itu kini dalam keadaan rebah di tanah
bagai seorang ksatria tangguh yang lumpuh secara mendadak.
Mahesa Lola mulutnya ternganga bengong dengan
mata besarnya yang melotot, lupa untuk berkedip. Ia berdiri di tempatnya tanpa
bergerak sedikit pun, menjadi patung hidup yang tak punya seni keindahan sedikit
pun. Plakk...! Tangan Ratu Teluh Bumi menampar kuat
wajah Mahesa Lola. Menggeragap Mahesa Lola
dibuatnya sambil terlempar jatuh ke samping karena
kerasnya tamparan itu. Di pipi Mahesa Lola membekas empat jari Ratu Teluh Bumi
yang habis menamparnya.
Tentu saja tamparan itu disertai kekuatan tenaga dalam sehingga bisa membekas
memar cap telapak tangan.
Wajah Mahesa Lola bagai dibakar api dalam sekejap,
terasa sangat panas dan perih di sekujur kepalanya.
"Ingat, kalau kumau, sekarang juga kau bisa kubunuh seperti aku menumbangkan
pohon itu, Mahesa! Tapi
terlalu murah ilmuku jika membunuhmu! Tanpa
kubunuh pun kau sebentar lagi akan mati sendiri!"
Napas ditariknya, lalu ditahan di dada, Ratu Teluh
Bumi pun ucapkan kata kutukan kepada Mahesa Lola.
"Ingat, setelah kepergianku, kau akan mati bunuh diri!"
Blarrr...! Kembali sang petir terkejut mendengar
kutukan itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Ratu Teluh Bumi segera
tinggalkan tempat itu, mengejar ke arah kepergian Dayang Kesumat. Kebetulan arah
itu adalah arah yang akan ditempuhnya menuju ke Jenggala.
Mahesa Lola hanya diam saja pandangi kepergian
Ratu Teluh Bumi. Ia merasa sedih, sebagai manusia tak berilmu tinggi, sehingga
dapat dikalahkan dengan
mudah oleh orang-orang seperti Ratu Teluh Bumi. Ia
pun segera membatin dalam hatinya,
"Beginilah nasibnya jadi orang berwajah buruk. Tak pernah ada yang mau
perhatikan aku. Untuk mengangkat murid saja tak ada yang mau. Bahkan pamanku
sendiri menolak untuk mengangkat murid. Sampai kubela-bela
mengabdi jadi pelayannya, mencuri-curi ilmunya
mengejar pencuri kitabnya, tapi sampai sekarang paman tak mau mengangkatku
sebagai muridnya! Ia lebih
sayang kepada cucunya Sumping Rengganis! Mengapa
aku dilahirkan jika menjadi bahan bencian manusia lain.
Dayang Kesumat yang sudah kubantu sedemikian
banyak, masih saja tak berminat menurunkan separo
ilmunya untuk diriku. Sepertinya Dayang Kesumat malu mempunyai murid seburuk
aku! Oh, apakah setiap orang pandai dan sakti selalu malu mempunyai murid
seperti aku?"
Mahesa Lola melangkah pelan-pelan mendekati
pohon berakar seperti rambut-rambut raksasa itu. Jenis pohon beringin tapi
bercabang renggang dan mempunyai dahan yang besar, serta akar yang alot. Di sana
Mahesa Lola diam, pandangi pohon itu dengan mata berkaca-kaca ingin menangis,
dan hati terus berucap kata,
"Rupanya aku memang tak pantas hidup! Memalukan bagi orang lain! Jadi ada
baiknya kalau aku mati saja, biar tak jadi beban orang lain. Karena memang sudah
tak ada lagi orang yang punya rasa kasihan kepadaku selain kedua orangtuaku,
Sedangkan kedua orang-tuaku telah meninggal dunia sejak dulu. Ada baiknya kalau
aku menyusul mereka dan menemukan kasih sayang di sana!
Aku yakin, mereka tak akan merasa malu hidup
bersamaku...!"
Mahesa Lola segera memanjat pohon itu. Ia menarik
satu akar gantung yang tidak terlalu besar, kemudian membuat jerat ia mengikat
lehernya sendiri dengan akar itu. Dengan air mata meleleh di pipi, segera Mahesa
Lola melompat dari dahan pohon itu, jregg...! Kkkrrrk...!
Tergantunglah Mahesa Lola dengan kaki berkelejotan
meregang nyawa. Matanya terbeliak-beliak, mulutnya
ternganga dengan lidah menjulur. Untuk beberapa saat kemudian, tubuh itu pun
menjadi lemas. Diam tak
bergerak. Tergantung-gantung tanpa napas sedikit pun.
Biru wajahnya karena darah terputus di bagian leher.
Maka, seperti apa yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi
dalam kutukannya, Mahesa Lola pun mati bunuh diri
setelah Ratu Teluh Bumi pergi tinggalkan tempat itu.
Sang petir di langit tertegun bengong memandangi
mayat Mahesa Lola yang tergantung bukan akibat
keinginannya sendiri.
* * * 9 PENDEKAR Mabuk berhenti dari langkahnya ketika
melihat seorang lelaki pendek tergantung di pohon.
Dihampirinya mayat Mahesa Lola yang tergantung itu, ia perhatikan dari bawah,
sambil pandangi keadaan
sekeliling di mana batuan hancur, semak terbakar,
pohon-pohon tumbang.
"Jelas habis ada pertempuran hebat di tempat ini,"
pikir Suto Sinting. "Tapi siapa yang melakukan pertempuran hebat itu" Apa Dayang
Kesumat" Siapa
lawannya. Apa orang yang tergantung ini...?"
Suto hanya menduga apa yang terjadi di situ. Tapi
yang menjadi sasaran pemikirannya adalah arah
kepergian Dayang Kesumat, ia harus bisa menahan
perempuan itu agar jangan sampai datang ke Jurang
Lindu dan berhadapan dengan si Gila Tuak. Suto tak
mau gurunya kerepotan menghadapi Dayang Kesumat.
Ketika Suto sedang tertegun, tiba-tiba seekor serigala berbulu hitam melompat ke
arahnya. Suto terkejut dan ingin melepas serangan bertenaga dalam ke arah
serigala bertelinga panjang itu. Tapi binatang tersebut segera rendahkan kepala,
kakinya terlipat, kepalanya merapat dengan tanah, satu kaki depannya bagai
menutup kepala.
Serigala itu sepertinya merasa takut, bahkan seakan ia
berkata, "Jangan serang saya, Tuan...!"
Pendekar Mabuk tak jadi lepaskan pukulan yang
mematikan untuk serigala itu. Ia bahkan menaruh rasa iba hati ketika serigala
itu menggeram-geram dengan suaranya yang kecil bagai menangis. Dan satu hal lagi
yang membuat Suto terkejut, ternyata binatang itu
memang melelehkan air mata. Mulanya binatang itu
memandang mayat Mahesa Lola sebentar, lalu pandangi wajah Suto, setelah itu
merendahkan kepala lagi hingga menempel di tanah, dan melelehkan air matanya.
"Serigala aneh," gumam Pendekar Mabuk. "Biasanya jenis serigala bertelinga
panjang begini sangat buas dan galak, ia punya keberanian menyerang manusia,
apalagi jika bersama rombongannya! Tapi serigala yang ini
justru kelihatannya jinak, ia bisa melelehkan air mata!
Mungkinkah dia mengalami kesedihan yang dalam"
Atau merasa kasihan melihat orang yang digantung itu?"
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sejenak.
Kemudian membatin lagi, "Kalau serigala saja tahu belas kasihan melihat orang
digantung, mengapa sesama
manusia tak punya belas kasihan, sehingga tega
menggantung sesamanya"!"
"Aauuuu....!" Serigala itu meraung. Raut wajahnya terlihat memelas. Suara
raungannya mengiris hati.
Setelah ia melolong, ia kembali merundukkan kepala
dan melelehkan air mata lagi.
"Apa maksud binatang ini?" pikir Suto mencoba menerka-nerka kemauan binatang
tersebut. Suto pun
jongkok dan memberanikan diri mengusap-usap kepala
binatang itu. Ternyata tangan Suto tidak digigit atau dicakarnya. Binatang itu
justru melelehkan air mata semakin banyak. Semakin sering tengkuknya diusap-usap
oleh Suto sepertinya semakin terharu hati binatang itu.
Tiba-tiba terdengar derap suara langkah kuda yang
berlari dengan cepat. Suto Sinting segera berpaling ke belakang. Ternyata seekor
kuda tanpa penunggang
sedang berlari ke arah sekitar tempat itu. Suto agak heran melihat kuda lari
sendiri tanpa penunggang.
Sementara tali kekang kuda juga tak kelihatan.
Mungkinkah kuda liar itu sedang mengamuk mencari
betinanya"
"Oh, sepertinya kuda itu... kuda itu...," Suto menjadi ragu meneruskan
ucapannya, ia bergegas meninggalkan bawah pohon itu untuk melihat lebih jelas
lagi kuda yang akan lewat. Sebab Suto mengalami penglihatan
yang meragukan dirinya sendiri.
Derap kaki kuda makin mendekat. Suto Sinting
makin terperangah melihat keanehan pada kuda tersebut.
Bahkan batinnya pun tak mampu ucapkan satu kata
untuk keanehan yang dilihatnya itu.
Kuda itu berhenti di depan Suto. Makin jelas lagi apa yang membuatnya terpaku di
tempat. Kuda itu ternyata berkepala manusia. Dan manusia itu dikenal oleh Suto.
Tanpa sadar mulut Suto Sinting segera berucap kata
menyebut nama orang itu,
"Rakawuni..."!"
Ya. Kuda berkepala manusia itu adalah Rakawuni.
Orang yang hampir membunuh Suto karena membela
Dayang Kesumat. Segera Rakawuni menunduk sedih
ketika sudah beradu pandang dengan Suto beberapa
helaan napas. Suto pun segera mendekati kuda berbadan coklat dan berekor hitam
itu. "Kaukah Rakawuni...?"
"Ya, aku Rakawuni...!" jawab kuda berkepala manusia itu. Suaranya sangat lirih,
seakan bercampur dengan segumpal tangis yang dipendamnya kuat-kuat di dalam
dadanya. "Mengapa kau menjadi begini, Rakawuni" Bukankah saat kutinggalkan kau dalam
keadaan luka oleh senjata rahasiamu sendiri?"
"Luka itu bisa kuatasi. Karena aku punya penawar racun tersebut. Tapi... aku
segera bertemu dengan Ratu Teluh Bumi."
"Siapa" Ratu Teluh Bumi..."!" Suto segera teringat peristiwa di Kuil
Swanalingga. Terbayang wajah tua yang masih cantik dan tampak kencang kulitnya
itu. Ratu Teluh Bumi sempat dikenal Suto pada saat
perempuan itu berhadapan dengan Raja Nujum
almarhum. Itulah saat pertama Pendekar Mabuk
mengenal Ratu Teluh Bumi. Tapi ia tidak tahu kalau
perempuan itu bisa membuat seseorang berubah wujud
menjadi seperti Rakawuni saat itu. Ia tak sangka kalau perempuan itu mempunyai
ilmu teluh yang sebegitu
tingginya, sehingga Rakawuni yang gagah dan tegap itu bisa menjadi Rakawuni yang
berbadan kuda. "Apa yang dilakukan oleh Ratu Teluh Bumi?"
"Dia sengaja menyiksaku dengan ilmu kutuknya! Dia
bermaksud menyerang Jenggala. Padahal aku prajurit
sandi praja dari Jenggala. Ia punya maksud, jika aku kembali ke Jenggala, maka
orang-orang Jenggala akan jatuh nyalinya lebih dulu sebelum ia datang dengan
melihat perubahanku seperti ini."
"Aku benar-benar tak sangka kalau dia bisa
mengubah wujudmu menjadi seperti ini, Rakawuni!"
"Dia mempunyai ilmu kutuk, yang sekali diucapkan bisa menjadi kenyataan!"
"Setahuku dia mempunyai ilmu teluh saja!"
"Tidak. Dia juga mempunyai ilmu kutuk yang aku sendiri baru mengetahui
belakangan ini! Entah belajar dari siapa, dia bisa mempunyai ilmu kutukan
sedahsyat itu!"
Kemudian Rakawuni pun menceritakan bagaimana ia
melihat Prahasto temannya berubah menjadi seekor ular berkepala dua. Karena ia
menceritakan Prahasto, maka ia pun menuturkan kisah adu dombanya Prahasto antara
Ratu Teluh Bumi dengan Dayang Kesumat, ia juga
membeberkan siapa sebenarnya Ratu Teluh Bumi dan
hubungannya dengan Kerajaan Jenggala.
"Maksudmu, Jenggala di tanah Jawa Wetan itu?"
"Bukan. Yang kumaksud Kerajaan Jenggala Medang!
Dulu ayahnya Ajeng Prawesti adalah Raja Jenggala,
yang terlalu banyak memeras keringat rakyat dengan
meninggikan pajak dan terlalu menekan kehidupan
rakyat jelata. Karena itu, ia ditumbangkan oleh
kelompok kami. Sekarang ia sedang berusaha menuju ke Jenggala untuk menyerang
dengan ilmu kutukannya itu.
Aku merasa, Jenggala tidak bisa berbuat banyak jika diserang oleh kutukan itu.
Karenanya, terus terang saja aku butuh pertolongan darimu, Suto!"
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang bisa kubantu, sehingga kau minta
pertolongan padaku?"
"Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat kau berhadapan dengan Dayang
Kesumat, aku bisa
mengukur ilmumu dan kudengar semua percakapanmu.
Aku percaya, kau punya kesaktian yang bisa kalahkan Ajeng Prawesti, Pendekar
Mabuk!" "Jangan terlalu berharap padaku, Rakawuni!"
"Sebagai prajurit sandi praja, aku sangat bertanggung jawab atas segala serangan
dari pihak luar istana, Suto!
Aku harus bisa menahan serangan itu. Tapi aku merasa tidak bisa mengalahkan Ratu
Teluh Bumi, sehingga
usaha yang kulakukan adalah mencari bantuan dari pihak yang mau membantuku!"
Pendekar Mabuk kembali menenggak tuaknya
beberapa teguk. Kemudian ia diam termenung
mempertimbangkan langkahnya, ia bayangkan kekuatan
dahsyat dari ilmu kutukan yang dimiliki Ratu Teluh Bumi itu. Dalam waktu
sekejap, perempuan itu bisa
menjadi orang paling kejam di seluruh permukaan bumi.
Bahkan dengan sekali ucap bisa jadi kenyataan, berarti Ratu Teluh Bumi bisa
menjadi seorang pembunuh yang
mendatangkan bencana alam dan malapetaka lainnya
dari satu ucapannya saja. Sungguh membahayakan ilmu kutukan yang dimilikinya.
Sebab itu, Suto Sinting pun akhirnya berkata,
"Kau tahu ke mana arah perginya Ratu Teluh Bumi itu"!"
"Pasti ke arah Jenggala!"
"Baiklah, Raka, kita kejar dia!"
"Naiklah ke punggungku, Pendekar Mabuk!"
"Apakah tak terlalu memberatkan dirimu?"
"Tidak. Aku mempunyai kekuatan sebagaimana
seekor kuda biasa! Yang membuat berat adalah hatiku.
Tapi demi membawamu ke Jenggala, hatiku tak merasa
keberatan jika kau menunggang ke punggungku!"
Rakawuni rendahkan kaki belakangnya, seakan
mempersilakan Suto untuk menunggang ke atas
punggungnya. Maka, Suto pun segera menunggang kuda
tersebut tanpa berpegangan tali kekang kuda yang
memang tidak ada itu. Suto mampu duduk di atas kuda tanpa merasa terganggu walau
kuda berlari cepat dan ia tidak memegang tali kekang kuda sebagai
keseimbangan. Dengan memegangi bumbung tuaknya,
ia merasa sudah seperti mempunyai keseimbangan
sendiri dalam menunggang kuda.
Seekor serigala yang tadi melelehkan air mata
ternyata mengikuti lari kuda tersebut. Suto memandang ke belakang, memperhatikan
serigala itu, ia merasa aneh dan tak enak hati diikuti serigala itu. Tapi
akhirnya ia biarkan binatang tersebut mengikutinya selama tidak mengganggu kuda
berkepala Rakawuni itu.
"Rakawuni!" seru Suto. "Cobalah membelok ke arah kanan, kulihat di sana ada
seseorang yang sedang
berkelebat bersembunyi di balik gundukan tanah!"
"Aku juga melihatnya. Tapi kurasa dia bukan Ratu Teluh Bumi, karena kelebatan
sosok bayangannya bukan berwarna hitam!"
"Kita tengok dulu saja, Rakawuni!"
"Baik!"
Kuda berkepala Rakawuni membelokkan arah ke
kanan. Kecepatan larinya dikurangi. Dan apa yang
dikatakan Suto memang benar, ada seseorang yang
tergolek di bawah pohon rindang, di balik gugusan
tanah. Orang itu dalam keadaan pucat membiru
wajahnya. Rakawuni tersentak kaget dan buru-buru
palingkan wajah, tak berani memandang orang itu. Ia merasa malu dan makin sedih
hatinya, karena orang itu adalah Dayang Kesumat.
Perempuan tersebut dalam keadaan terengah-engah,
matanya terpejam karena merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuhnya akibat
serangan Ratu Teluh Bumi tadi.
"Suto, kalau bisa tak usah menghampiri orang itu."
"Kenapa?"
"Aku malu, keadaanku seperti ini! Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita
memburu Ajeng Prawesti!"
Suto mempertimbangkan keputusan sejenak.
Agaknya usul Rakawuni memang benar. Toh seandainya
ia datang dan menolong Dayang Kesumat, maka
keselamatan bibi gurunya akan terancam. Setidaknya
tempat tinggal gurunya si Gila Tuak, akan
disambanginya dengan ketidaksopanan. Dengan
menderita sakit begitu, setidaknya Pendekar Mabuk
punya waktu luang untuk ke Jenggala dan tidak perlu
cemaskan keadaan kedua gurunya.
Kuda berkepala Rakawuni pun kembali berlari
dengan derap kakinya yang perkasa. Rakawuni
membawa Pendekar Mabuk menyusuri jalan menuju
Kerajaan Jenggala dengan harapan dapat temui Ratu
Teluh Bumi di perjalanan.
Tetapi keadaan justru sebaliknya. Ratu Teluh Bumi
berpapasan dengan rombongan berkuda yang membawa
panji-panji Kerajaan Jenggala Medang. Rombongan
berkuda itu dipimpin oleh dua orang perwira istana yang usianya sama-sama
sekitar lima puluh tahun. Dua orang perwira itu adalah Rumakso dan si Tangan
Syiwa. Rumakso berpakaian biru dengan rompi putih.
Rambutnya pendek, berikat lempengan logam kuning
emas sebagai tanda keperwiraannya. Badannya besar,
kumisnya tebal.
Tangan Syiwa juga mengenakan ikat kepala logam
kuning emas seperti yang dikenakan Rumakso.
Rambutnya panjang, berpakaian abu-abu tanpa rompi.
Tangan Syiwa berbadan kurus, matanya cekung
berkesan angker, kumisnya melengkung ke bawah, ia
bersenjata pedang di punggung, sedangkan Rumakso
bersenjata pedang di pinggangnya. Sementara itu,
sejumlah lebih dari tiga puluh orang lainnya
mengenakan pakaian campur-baur, karena mereka ada
yang menjabat sebagai prajurit istana, ada yang menjadi masyarakat biasa.
Tangan Rumakso diangkat ke atas ketika melihat
seorang perempuan berdiri menghadang di depan
langkah mereka. Sekalipun jaraknya masih cukup jauh, tapi Rumakso menangkap
adanya gelagat tak beres
dengan perempuan itu.
Melihat tangan Rumakso diangkat, kuda mereka pun
diperlambat larinya, kemudian mereka berhenti tepat dalam jarak tujuh tombak
dari tempat perempuan
berpakaian hitam itu berdiri.
"Kalau tak salah lihat, dia adalah Ajeng Prawesti, Tangan Syiwa!"
"Ya. Kau tak salah lihat! Tapi apa maksudnya
menghadang langkah kita! Coba kau yang ajukan tanya pada perempuan itu!"
Rumakso tetap di atas punggung kuda. Kudanya
bergerak dua langkah, lalu terdengar suaranya berseru lantang dan besar,
"Kaukah itu, Ajeng Prawesti..."!"
Ratu Teluh Bumi menjawab, "Kau tak salah lihat, Rumakso! Apa pangkatmu
sekarang"!"
"Aku seorang perwira!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir. "Perwira penjilat, maksudmu"!"
"Hei, Perempuan Iblis...! Hati-hati kau bicara di depan kami!" seru Tangan
Syiwa. Kemudian ia segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri Ratu
Teluh Bumi dengan nafsu untuk menghajar. Rumakso
menyusulnya untuk menahan temannya yang tak bisa
tersinggung sedikit pun. Tangan Syiwa adalah perwira istana yang paling galak
dan kejam terhadap musuh. Tak boleh tersentuh sedikit perasaannya.
"Tahan, Tangan Syiwa...!" ucap Rumakso sambil tangannya sendiri memegang pundak
Tangan Syiwa. "Aku akan hancurkan mulut perempuan itu,
Rumakso!" "Tahanlah! Ingat, kita sedang dalam keadaan
berkabung, Tangan Syiwa. Jangan mengumbar nafsu
murkamu!" Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan itu, maka
segera ia ajukan tanya dengan nada tetap sinis,
"Apa yang terjadi, Rumakso" Mengapa kau pergi
secara rombongan begitu"! Apakah ada bencana alam di Kerajaan Jenggala?"
"Ya. Ada bencana di negeri kami! Orang-orang Atas Angin menyerang. Raja
tertawan, dan rakyat dibantai habis! Istana dikuasai oleh orang-orang Atas
Angin! Kami melarikan diri untuk cari bantuan. Mungkin kau bisa membantu kami untuk
mengusir orang-oraang Atas Angin itu, Ajeng Prawesti!"
Ratu Teluh Bumi lepaskan tawa terkikik-kikik. Lalu
katanya, "Kalian dan orang-orang Atas Angin adalah sama. Artinya, sama-sama
pihak yang akan
kumusnahkan!"
"Keparat kau, Ajeng!" geram Tangan Syiwa. Srett...!
Ia mencabut pedangnya dari punggung. Tapi tangan
Rumakso menghadang, pertanda tidak izinkan Tangan
Syiwa menyerang Ajeng Prawesti.
"Tahan dulu, Tangan Syiwa...!" kata Rumakso.
"Ajeng, kau adalah orang Jenggala juga. Seharusnya kau tidak bicara begitu
kepada kami!"
"Dalam keadaan terdesak lawan begini kalian
mengakui aku sebagai orang Jenggala! Tapi ingatkah
kalian saat mengusirku dari Jenggala, mengejar-ngejarku untuk dibunuh, hah"!
Tidak! Aku bukan orang Jenggala yang ada dalam kekuasaan kalian! Aku orang
Jenggala asli yang tidak mengenal kalian! Karena itu, kalian datang kemari
adalah suatu hal yang sangat kebetulan, karena aku memang akan menyerang ke sana
untuk melenyapkan kalian semua!"
"Kau seorang diri, kami cukup banyak, Ajeng! Kau cari mati kalau menentang
kami!" "Majulah semua, aku tak akan mundur setindak pun!"
tantang Ratu Teluh Bumi. Maka dengan geram Tangan
Syiwa segera maju dengan memainkan pedangnya.
Begitu cepat ia memainkan jurus pedang hingga
tangannya seperti terlihat ada empat, dan suara gerakan pedangnya menggaung
mengerikan. Kapan ia menebas
lawan, tak bisa dipastikan. Karena dengan memainkan kibasan-kibasan cepat
pedangnya yang berpindah tangan terus-terusan itu, lawan dibuat bingung dan tak
bisa melihat gerakan pedang yang menyerang secara tiba-tiba itu.
Tetapi Ratu Teluh Bumi hanya diam, pandangi
gerakan pedang Tangan Syiwa yang melangkah
mengelilinginya. Napas segera ditarik dan ditahan di dada oleh Ratu Teluh Bumi,
kemudian ia ucapkan kata,
"Buntung tanganmu, Tangan Syiwa!"
Blarr...! Petir memekik mengagetkan mereka. Dan
semakin kaget lagi setelah mereka melihat Tangan
Syiwa tahu-tahu kehilangan tangannya. Kedua tangan itu bagai terpotong oleh
kibasan pedangnya sendiri dan
jatuh ke tanah tanpa darah sedikit pun.
"Tanganku..."! Tanganku"! Gggrrr...!" Tangan Syiwa menggeram dengan mata melotot
tegang. "Ilmu setan apa yang kau pakai, Jahanam!" geram Rumakso yang segera mendidih
darahnya melihat
Tangan Syiwa buntung kedua tangannya, ia segera
mencabut pedang dari pinggangnya, lalu menyerang
Ratu Teluh Bumi dengan satu lompatan murka.
"Heaaah...!"
Ratu Teluh Bumi melompatkan diri, melenting di
udara dan bersalto dua kali untuk jauhi lawan. Jleggg...!
Ia mendaratkan kakinya di atas sebuah batu besar. Dari sana ia sebarkan kutuk
kepada Rumakso dengan berseru,
"Buntung pula tanganmu, Rumakso!"
Blarr...! Petir menjerit. Tangan Rumakso pun
terpotong keduanya tinggal bagian pundaknya saja.
Tangan itu tergeletak di sana dengan sangat
menyedihkan. Lalu, mata liar Ratu Teluh Bumi
memandang ke arah para prajurit yang menggarang
geram sambil cabut senjata masing-masing. Ratu Teluh sebarkan kutukannya,
"Hancur semua kepala kalian!"
Blarrr...! Kejap berikutnya, suatu pemandangan mengerikan
terjadi. Kepala mereka, para prajurit dan orang-orang pengungsi, pecah secara
bersamaan. Memercikkan darah ke mana-mana, sehingga jalanan itu menjadi kuburan
masal yang amat mendirikan bulu roma. Hanya Tangan Syiwa dan Rumakso yang masih
kelihatan berkepala
utuh, tapi sudah tidak mempunyai tangan lagi. Mereka hanya tertegun bengong
melihat apa yang terjadi di
depan mata. "Tangan Syiwa dan Rumakso...! Kalianlah yang dulu memerintahkan orang-orangmu
untuk mengejarku dan
membunuhku. Tapi aku bisa melarikan diri dengan
cepat. Dan sekarang, kalian tak akan bisa melarikan diri seperti aku dulu!" Ratu
Teluh Bumi menarik napas dan berkata,
"Sekarang, buntung semua kaki kalian, dan kalian akan mati dimakan anjing!"
Blarrr...! Terdengar bunyi petir menggelegar, dan saat itu pula Rumakso dan
Tangan Syiwa kehilangan kaki
masing-masing. Makin terkejut mereka melihat keadaan diri yang begitu
mengenaskan. Namun toh mereka tak
bisa berbuat apa-apa.
Derap suara kuda datang dari arah munculnya Ratu
Teluh Bumi tadi. Dari kejauhan sana, seberkas sinar hijau telah melesat dengan
cepatnya. Sinar hijau itu bukan hanya satu bias, namun memancar menjadi lebih
dari sepuluh larik yang membentuk seperti kipas raksasa.
Sinar hijau yang dahsyat itu keluar dari lengan kanan Suto yang ada di atas
punggung kuda Rakawuni.
Brrrasss...! Melesatlah percikan sinar membentuk
kipas besar itu, dan Ratu Teluh Bumi tak sanggup
menghindarinya. Tiga sinar hijau mengenai tubuhnya.
Menghantamnya dengan telak, membuat tubuh itu
terlempar tinggi dan jauh sekali, membentur sebuah
pohon di tepi mulut jurang, lalu tubuh itu pun jatuh ke jurang dengan suara
jerit yang menggema panjang.
"Aaaa...!"
Kuda Rakawuni segera mendekati Rumakso dan
Tangan Syiwa. Keduanya terkejut melihat kuda
berkepala Rakawuni.
"Rakawuni...! Tolonglah aku dan Tangan Syiwa ini!"
kata Rumakso. "Bagaimana aku mau menolong kalian. Aku sendiri dalam keadaan seperti ini!
Perempuan itu telah
mengutukku. Tapi aku telah membawa seorang
penolong. Pendekar Mabuk, Suto Sinting namanya...!
Dia orang berilmu tinggi!"
"Aku melihat serangannya yang dahsyat tadi, tapi...
apakah dia bisa pulihkan keadaan kita ini"!"
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu, Pendekar Mabuk sedang memeriksa ke
tepian jurang. Dari sana dia berseru, "Rakawuni...! Aku akan turun ke jurang
untuk pastikan apakah Ajeng
Prawesti mati atau melarikan diri!"
"Hati-hati, Suto...!" teriak kepala kuda itu.
Suto Sinting melesat turun ke jurang dengan
lompatan tenaga peringan tubuhnya. Hilangnya Suto,
muncul seekor serigala berbulu hitam. Serigala itu
meraung, melolong panjang di tepi jurang, seakan
mengkhawatirkan keadaan Pendekar Mabuk. Lalu,
serigala itu nekat turun ke jurang dengan merayapi
tanaman di tebingnya.
Tetapi lolongan serigala itu telah mendatangkan
rombongan serigala lainnya. Jumlahnya lebih dari
sepuluh serigala. Mereka tampak buas, rakus, dan ganas.
Rombongan serigala itu langsung menyerang Rumakso
dan Tangan Syiwa, sedangkan Rakawuni segera
melarikan diri setelah ia tak herhasil menghalau
rombongan serigala lapar itu.
Maka habislah Rumakso dan Tangan Syiwa dimakan
dan dicabik-cabik oieh serigala liar dengan tanpa ampun lagi. Dengan begitu,
genap sudah kutukan Ratu Teluh Bumi, bahwa mereka mati dimakan anjing.
Sungguh berbahaya mulut perempuan itu. Banyak
orang yang akan bersyukur jika perempuan itu mati.
Tapi apakah benar Ratu Teluh Bumi mati di dasar
jurang" Bagaimana jika ia belum mati" Bagaimana jika Suto yang terkena kutukan
seperti mereka" Apakah Suto mampu menghindari atau melawan ilmu 'Sabda Iblis'"
PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!
PEMBANTAI BERDARAH DINGIN
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Dendam Empu Bharada 32 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Pedang Angin Berbisik 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama