Ceritasilat Novel Online

Maut Di Lembah Sampit 2

Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit Bagian 2


dikenainya dalam waktu yang tidak
lebih dari setengah hari. - tutur
Sandai dengan kata2 yang masih
gemetar. - Kau telah menyelamatkan diriku,
Sandai! - - Tuanpun telah menyelamatkan
kami dari orang-orang Kapal Hantu! ujar Sandai. - Sandai! - kata Mahesa Wulung
seraya berdiri diikuti oleh Sandai
yang telah menyelamatkannya dari
bahaya. - Sekarang sebaiknya engkau
pulang dan jangan ceriterakan kepada
siapapun, tentang peristiwa sumpitan
ini! - - Baik tuan, dan anda akan
kemana" - tanya Sandai.
- Aku akan mencari
jejak sipenyumpit gelap tadi! - Hati-hatilah tuan! - Terima kasih Sandai! - berkata
Mahesa Wulung seraya membalikkan diri
dan meloncat dengan sebatnya kearah
barat, sedang sigadis Sandai cepatcepat berlalu menuju ke jalan pulang
kekampung. Mahesa Wulung terus berloncatan
kearah barat dimana dijumpainya
sebatang pohon tua dan cepat memeriksa
sekitar tempat itu dengan seksama.
- Hmmm, jejak2 kaki manusia gumam Mahesa Wulung - Agaknya dari
sinilah sipenyumpit gelap tadi
mengintai dan menembakku! Mahesa Wulung terus memeriksa
lebih teliti dan dijumpainya jejak2
kaki tadi berbalik kearah utara. Maka
diturutinya jejak tersebut dengan
seksama, setapak demi setapak, dengan
mudahnya. Apalagi bagi Mahesa Wulung
yang telah berpengalaman, hal ini
tidak menjadi kesukaran baginya. Namun
setelah kurang lebih mencapai jarak
seratus langkah lebih dari mata air
tadi, Mahesa Wulung berhenti dengan
tiba2. - Heh, cerdik juga sipenyumpit
gelap ini! Ia telah menghilangkan
jejaknya diair dan berjalan disungai
kecil ini kearah timur! Dengan begitu,
berarti aku kehilangan jejaknya. Namun
orang ini akan keliru jika menyangka
Mahesa Wulung akan berputus asa
karenanya - berpikir Mahesa Wulung
seorang diri. - Tunggulah aku akan
mengikuti aliran sungai ini ke timur!
- Kembali Mahesa Wulung meneruskan
penyelidikannya. Ia terus menyurusi
aliran sungai kecil ini dengan
sebentar2 berhenti untuk memeriksa.
Dengan begitu, tanpa terasa Mahesa
Wulung telah jauh dari kampung Lembah
Sampit. Tetapi dasar ia seorang yang
ulet, maka ia tidak merasa cemas akan
kesasar. Yang dipikirkannya hanyalah
sipenyumpit yang tahu dan hal inilah
yang harus dicarinya.
4 ANAK SUNGAI itu semakin deras
alirannya, dengan suara gemericik dan
busa-busa gelembung disana sini.
Hutanpun semakin
bertambah rapat
tampaknya. Sampai sejauh itu jejak2 yang
tengah dicari belum ditemui oleh
Mahesa Wulung, menimbulkan keheranan
bagi pendekar muda ini. - Belum juga
ada petunjuk-petunjuk yang kuperoleh!
- gumam Mahesa Wulung. - Mungkinkah
orang itu tetap berjalan diair hingga
sejauh ini" Ah, sungguh hebat lawan
gelapku ini! - Tapi, uh tunggu dulu,
Benda apakah ini"! Mahesa Wulung cepat membungkuk
dan memungut sebuah gelang akar bahar
yang tergeletak ditepi sungai, tak
jauh dari kakinya berdiri.
- Gelang akar ini telah retak dan
terbuka keluar. Agaknya tersangkut
pada sesuatu benda sehingga terlepas
dari tangan atau kaki pemiliknya. Mahesa Wulung berpikir dan kembali
meneliti tempat itu. - Heh, tak ada
apa-apa yang menarik perhatianku dh
sini. Kalau begitu mengapa gelang ini
tertinggal ditempat ini" Ahh, itu ada
sulur dan dahan pohon yang menjulur
tepat diatas sungai kecil ini. Hmm
inilah yang boleh aku curigai. Namun
aku harus lebih dulu mencoba
perkiraanku ini terlebih dahulu! Karena itu Mahesa Wulung lalu
mencebur kedalam air yang ternyata
dalamnya cuma setengah betis saja.
Perlahan-lahan ia melangkah kesebelah
bawah dari sulur dan dahan-dahan pohon
tadi, dan akhirnya berdirilah ia tepat
dibawahnya! - Nah, kini aku telah berdiri
dibawahnya dan akan mulai! - Mahesa
Wulung cepat bersiaga dan dengan
sekali menggenjotkan kakinya kedasar
sungai yang terdiri dari batu-batuan,
maka melentinglah tubuhnya keatas
berbareng tangannya menyambar sulur
dan dahan2 pohon, lalu bergayutan dan
berpindah dari pohon yang satu kepohon
yang lain. - Yah, agaknya dugaanku tidak
meleset dan dengan cara inilah
sipenyumpit gelap tadi melarikan diri!
- Dengan hati lega Mahesa Wulung
telah berhasil memecahkan rahasia
jejak yang menghilang tadi. Tetapi
kini timbullah pertanyaan baru.
Siapakah sebenarnya orang itu"
Beberapa saat Mahesa Wulung masih
meneruskan loncatan-loncatannya sampai
kemudian terlihat olehnya dua bayangan
berkelebat dari arah timur berloncatan
dari dahan kedahan, dari cabang
kecabang, membuat hatinya berdegupan.
- Uuh, Bengarakah itu" - desah
Mahesa Wulung seorang diri. - Aku
lihat, mereka mempunyai kecakapan yang
sama. Berjalan diatas pohon! Mahesa Wulung cepat berputar dan
bersembunyi dibalik dedaunan sementara
bayangan tersebut tiba-tiba berhenti
berloncatan. Keduanya lalu bertengger,
duduk berjuntai diatas dahan pohon
besi. Mata Mahesa Wulung hampir tak
percaya melihat pemandangan yang
berada didepannya, sebab yang duduk
didahan tadi tidak lain adalah seorang
manusia berpakaian kulit berbulu dan
disampingnya duduk pula seekor Orang
Utan yang besar.
Melihat itu semua, Mahesa Wulung
hampir saja memastikan bahwa orang itu
tidak lain adalah sipendekar liar
Bengara. Tapi setelah ia meneliti
lebih sek-sama lagi, ternyata bukan.
Orang ini berwajah jauh lebih tua dan
tampaknya tidak segarang Bengara yang
dijumpainya dulu.
Yang membuat heran Mahesa Wulung,
ialah pakaian orang ini. Sungguh mirip
dengan pakaian sipendekar liar
Bengara. Keduanya terbuat dari kulit
berbulu coklat kehitaman dan
mengkilat. Pada tali ikat pinggang orang
ini, terselip sebuah kapak batu hitam,
berkilat dengan bertangkai kayu.
Sebentar-sebentar kedua makhluk itu
melayangkan pandangannya kearah Mahesa
Wulung bersembunyi, sampai sipendekar
muda dari Demak ini lebih berdetak
keras hatinya. Maka ia mengatur
napasnya agar teratur dan tidak
mengalir dengan semaunya, sementara
iapun berharap agar kedua makhluk tadi
tidak mendengar nafasnya.
Ketika Mahesa Wulung menghela
nafasnya, tiba2 orang tua tersebut
berkata kepada Orang Utan yang duduk
disampingnya. - Goro, biarkan saja
orang yang duduk dibalik dedaunan itu.
Kalau ia ternyata seorang baik, kita
tak perlu mengganggunya. Namun jika ia
berani mengganggu kita, pastilah kau
kuperbolehkan untuk membunuhnya! Alangkah terkejutnya Mahesa
Wulung mendengar kata2 orang itu.
Dirasanya kata2 tadi ditujukan kepada
dirinya, hingga Mahesa Wulung sadar
bahwa orang tersebut mengetahui kalau
dirinya bersembunyi dibalik dedaunan.
Inilah yang mengagumkan bagi
Mahesa Wulung tentang orang tadi.
Setidak-tidaknya ia berilmu tinggi
pula, karena dapat membedakan suara.
- Hee, tukang sembunyi! Ayo
muncullah di hadapanku dan terangkan,
mengapa sampai kesasar ke daerahku
ini, ha" - terdengar orang berbaju
kulit itu berseru dengan lantang
seraya menghadap kearah Mahesa Wulung
bersembunyi. Mendengar seruan itu, Mahesa
Wulung lekas-lekas keluar dari tempat
persembunyiannya. Toh orang berbaju
kulit itu telah mengetahuinya pula.
- Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus!
Ternyata kau masih muda juga. Nah
sekarang apa maksudmu menginjak hutan
ini" - - Aku tengah mencari seseorang
yang telah memenyumpitku dengan cara
yang pengecut! Kalau boleh, akupun
ingin bertanya kepada bapak, adalah
seseorang yang lewat disini sebelum
aku tiba ditempat ini" - Hee, anak muda! Kau belum
lengkap menjawab pertanyaanku, malah
sekarang engkau ganti bertanya
kepadaku pula! Kau jangan membuatku
gusar, ha! - ujar sibaju berbulu
dengan nada tinggi dan wajah yang
marah. - Kau belum sebutkan namamu! - Aku Mahesa Wulung! Aku orang
asing ditanah ini, sehingga tak
mengetahui bahwa tempat ini adalah
daerahmu - berkata Mahesa wulung.
- Dimana engkau tinggal" - Aku menjadi tamu situa Tawau
dari kampung Lembah Sampit ini. - Hemm, engkau sahabat
situa Tawau" dan juga tamunya" Kalau begitu,
pastilah engkau termasuk orang yang
penting" - ujar siorang, tua berbaju
kulit. - Aku tak merasa begitu, bapak.


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bukan orang penting, tetapi orang
biasa saja, seperti halnya bapak
sendiri - kata Mahesa Wulung - Dan
sekarang akupun ingin bertanya kepada
bapak! - - Kau pandai bersilat lidah, anak
muda. Tapi tak apalah! - sibaju kulit
berbulu berkata geram. - Bertanyalah
sepuas hatimu! - Sebelum aku tiba dikampung
Lembah Sampit, ditengah perjalanan,
kami telah dicegat oleh seorang
pendekar liar yang berteman dengan
orang orang Utan dan ia menyebutkan
namanya, yakni Bengara! Sedang
sekarang aku telah pula berjumpa
dengan seorang manusia yang berteman
seekor Orang Utan, Nah, apakah bapak
juga termasuk sahabat dengan Bengara
tadi" - - Kurangajar! Setan! - terdengar
orang tua berbaju kulit itu mendamprat
dan mengutuk uring-uringan disertai
tangannya menunjuk-nunjuk kearah
Mahesa Wulung. Demikian pula Orang
Utan yang bernama Goro itu turut
menyeringai hingga terlihat barisan
giginya yang tajam mengerikan. Agaknya
binatang inipun mengetahui kemarahan
tuannya. - Kau lancang, anak muda! Kau
berani menyamakan diriku dengan
silaknat Bengara itu, hee"! Memang dulu ia sahabatku dan semua ilmu serta
kepandaiannya adalah berkat ajaran si
Bontang ini! - berkata sibaju kulit
itu seraya menunjukkan jari
telunjuknya - Tetapi sayang ia telah
berkhianat, dengan menggunakan semua
ilmu dan kepandaiannya guna maksudmaksud jahat! - Maafkan bapak. Kalau begitu aku
telah keliru sangka.
- Hee, tak semudah itu kau
menyesali sikapmu, anak muda! - seru
Bontang dengan marah. - Terlebih dulu
aku harus memberimu sedikit pelajaran!
Goro, berilah anak muda itu
kegembiraan. Ajaklah ia bermain-main
untuk melemaskan urat-uratnya! Orang Utan yang dinamai Goro
tadi, mengangguk-angguk dan kemudian
melesat menerkam kearah Mahesa Wulung
berada, disertai jerit yang memekakkan
telinga. Serangan yang mendadak dan
mengejutkan itu sungguh diluar dugaan
bagi Mahesa Wulung yang tak bersiaga
sama sekali. Maka sesaat ia seperti
terpesona. Untunglah, teriakan kedua
dari mulut Goro seperti menggugah
kesadarannya. Maka sebelum kedua tangan berjari-jari kokoh dan panjang
dari binatang itu sernpat menerkam
tubuhnya, Mahesa Wulung telah mengelak
kekiri seraya bergantung pada sebuah
dahan. Sebuah teriakan kecil pertanda
kagum terloncat dari bibir Bontang,
siorangtua berbaju kulit tadi, ketika
ia mtelihat betapa Mahesa Wulung
sempat menghindar kekiri dan
bergantung pada dahan pohon dalam gaya
yang sangat manis. Setelah itu
pendekar muda tadi memutar tubuhnya
keatas dan dengan sigap ia telah
berdiri diatas dahan tadi.
- Setan! Sungguh tangkas anak
muda itu. Pantas kalau ia menjadi tamu
situa Tawau! - gumam Bontang tak
habis-habisnya. Selama ini belum
pernah si Goro gagal dalam
serangannya. Begitu serangannya gagal, Orang
Ulan itu dengan lincahnya
menjangkaukan kedua tangannya kesebuah
dahan dan tubuhnya berputar keatas
lalu berbalik dan telah bersiaga untuk
mengulangi serangannya. Namun Mahesa
Wulung bukan anak-anak lagi yang
tengah berlatih silat. Itulah sebabnya
ketika Goro menerjang kembali. Mahesa
Wulung cepat melentingkan tubuhnya
keatas sehingga orang Utan itu cuma
menerjang angin kosong.
Binatang ini menggeram marah,
tetapi Mahesa Wulung tak mau memberi
kesempatan lagi kepada Goro. Maka
disaat tubuhnya melesat turun, kedua
kakinya menerjang kearah kepala Goro.
- Grrrr. - binatang ini menggeram
kaget dan cepat-cepat ia mengendapkan
tubuhnya dan akibatnya, tendangan
Mahesa Wulung jadi meleset.
Oleh gerak binatang ini. Mahesa
Wulung diam-diam merasa kagum. Goro,
siorang utan dari rimba Borneo ini
seolah-olah mempunyai kepandaian
seperti seorang manusia biasa.
Meskipun begitu, Mahesa Wulung
tidak sudi memberi hati kepada binatang itu. Dan sebelum Goro sempat
memperbaiki kedudukannya, Mahesa
Wulung telah melesat kembali dan
menerjang Orang Utan tersebut dengan
kecepatan bagai kilat yang menyambar.
Bontang melihat bahaya yang
mengancam sahabatnya tapi sayang ia
tak dapat berbuat apa-apa. Lebih-lebih
gerakan Mahesa Wulung sangat cepatnya
dan tidak mungkin lagi ia memberi
peringatan kepada Goro.
Dalam saat yang tegang itu, lawan
Mahesa Wulung masih juga sempat
menangkiskan tangannya yang berjarijari panjang, hingga terjadilah
benturan keras. - Praaak! Sebuah jeritan keras melengking
dari mulut binatang itu disusul
tubuhnya terhempas kebawah begitupun
Mahesa Wulung tergetar tubuhnya,
sedang kepalanya berkunang-kunang
sangat pusing. Untungnya ia sempat
menyambarkan tangannya kesebuah dahan
pohon hingga sesaat ia memeluk dahan
tersebut, sampai pusingnya mereda.
Dibawah, si Orang Utan tergeletak
ditanah setelah ia terhempas dengan
kerasnya. Tak berapa lama kemudian,
Goro bangkit dan berdiri kembali.
Kedua matanya menjadi kemerahan, satu
tanda kalau binatang ini telah benarbenar marah. Sebuah teriakan parau
disertai kedua tangannya berserabutan
keatas, seolah ia tengah menantang
Mahesa Wulung untuk turun kebawah
serta bertempur kembali dengannya.
Sekali lagi Mahesa Wulung
molompat kebawah, melesat turun untuk
memenuhi tantangan si Orang Utan Goro.
Sebentar pula ia telah tiba ditanah
saling berhadapan.
Dalam pada itu, situa Bontang
yang masih berada diatas pohon
mengikuti pertempuran tadi dengan hati
yang cemas. Ia melihat kemungkinan
bahwa pendekar muda itu akan lebih
unggul dari pada si Goro.
Lagi pula ia melihat dengan jelas
betapa pemuda itu dapat bergerak
sangat lincah, selincah binatang si
Orang Utan yang menjadi lawannya.
Seolah-olah iapun pernah mendapat
didikan secara rimba.
Karena rasa cemasnya yang mulai
timbul itu, Bontang cepat-cepat
melolos senjata kapaknya dari ikat
pinggang dan kemudian dilemparkan
kebawah kearah Goro, setelah lebih
dulu ia berteriak nyaring kepada
binatang itu - Goro pakailah kapak
hitamku ini! Mahesa Wulung terkejut dengan
teriakan dari atas pohon itu. Tetapi
lebih terkejut lagi bila ia melihat
gerakan yang lincah dan cepat dari
Orang Utan ini, yang dengan sebat
menangkap kapak tersebut.
Begitu memegang senjata kapak
tersebut ditangannya, Goro tampak
menyeringai meringis dan sorot matanya
lebih bersinar garang. Senjata tadi
ditimang-timang dan diputarnya,
seperti membayangkan bahwa hatinya
lebih mantap sesudah ia bersenjata.
Kapak itu diputarnya semakin
santer sampai menerbitkan suara
berdesing, sedang dari atas pohon
terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh
dari mulut situa Bontang. Itu semua
membuat hati Mahesa Wulung berdetak
semakin keras. Tiba-tiba senjata ditangan
binatang itu menyambar kearah kepala
Mahesa Wulung, menyebabkan pendekar
muda ini mengelak kesamping dengan
cekakaran. Kali ini Mahesa Wulung terpaksa
menanggung malu, sebab sambaran kapak
tadi hanyalah gerak tipuan belaka dari
Goro, yang secara tiba-tiba pula
menarik serangan kapaknya kembali
ditengah sambarannya itu.
Sekali lagi terdengar derai
ketawa dari atas pohon dan teriakan
dari Bontang - Bagus, Goro! Bagus!
Berilah ajaran lebih banyak kepada
orang muda itu!! Sebuah teriak lengkingan
terdengar dan Goro tahu-tahu telah
menebaskan kapaknya kearah Mahesa
Wulung, dan sekali ini betul-betul
serangan yang berbahaya.
Mahesa Wulung yang sejak semula
telah berwaspada dan bersiaga, secepat
kilat melenting keudara tepat disaat
kapak hitam itu menghancur sebuah batu
besar didekat Mahesa Wulung berdiri
semula. Hal ini membuat Bontang melongo
keheranan, demikian pula dengan Orang
Utan ini yang menyeringaikan mulutnya,
sangat kecewa Binatang ini tambah
beringas lagi dan segera mengulang
serangan-serangannya lebih rapat,
sehingga partempuran itupun segera
menjadi lebih sengit.
Binatang ini ternyata memiliki
kukuatan tenaga yang luar biasa.
Gerakannya kian garang dan setiap
sambaran kapaknya menimbulkan getaran
yang mengerikan. Bunyi berdesing dari
angin sambaran kapak ditangan Goro
seakan-akan sebuah irama beralun yang
melagukan kematian dan maut.
Senjata diujung tangan Goro
setiap kali menyambar dan menebas
mengeluarkan angin maut, susulmenyusul tanpa memberi kesempatan
kepada lawannya untuk balas menyerang.
Sampai disini terlihatlah kalau
pertempuran makin berjalan seru, dan


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Wulung semakin mandi keringat!
Ia tak menyangka sama sekali bila
binatang yang menjadi lawannya mampu
bertempur sehebat manusia. Baru kali
inilah ia menjumpai lawan yang aneh.
Karena itu Mahesa Wulung berusaha
mengerahkan segala kemampuan dan
ilmunya guna menghadapi lawan anehnya
itu. Sekali-sekali ia membalas
menyerang Orang Utan itu, dan sedikit
demi sedikit ia berhasil mengatasi
kerepotannya. Ia tak memperdulikan
lagi bagaimana dahsyatnya kapak hitam
ditangan Goro merombak, menumbangkan
semak-semak dan dahan pohon disekitar
mereka. Bontang yang masih berada diatas
pohon melihat pertempuran itu dengan
detak jantung yang kencang, seperti
kencangnya angin sore yang mulai
menjelang. Matahari telah condong
kesebelah barat, tetapi sinarnya masih
benderang dan panas dilangit yang biru
tak berawan. Ketika pada suatu saat Goro
menebaskan kapak hitamnya, Mahesa
Wulung untuk kesekian kalinya mengelak
kekanan. Sayangnya, disaat itu pula
tangan kiri Goro menyambar leher
Mahesa Wulung sampai pendekar muda ini
terhenyak kaget. Ia tak sempat
mengelak dan segera jari-jari yang
mencekik lehernya itu terasa makin
mengunci. Betapapun ia berusaha melepaskan
tangan ganas si Goro yang mencekiknya,
ia tak berhasil sedikitpun, bahkan
bahaya lain segera akan tiba.
Dilihatnya tangan kanan Goro yang
memenang kapak telah siap meluncur
kebawah, kearah kepalanya.
Melihat keadaan yang kritis ini,
Bontang segera berteriak keras-keras.
- Goro! Berhenti! - Baginya, ia tak
ingin adanya pembunuhan. Ia cuma
bermaksud mencoba dan memberi
peringatan kepada pendekar muda ini.
Akan tetapi agaknya si Goro telah
gusar dan kehilangan pengamatannya.
Maklumlah ia tetap seekor binatang
walaupun telah bergaul dan dididik
oleh manusia seperti situa Bontang
itu. Ia tak memperdulikan kata-kata
Bontang sama sekali dan tetap
menghantamkan kapaknya
itu kearah kepala lawannya.
Mahesa Wulung merasa semakin
sesak nafasnya, tambahan lagi sebentar
kemudian agaknya akan pecahlah
kepalanya terhajar oleh kapal hitam si
Goro. Dalam saat yang benar2 tegang
tadi. Mahesa Wulung secepat kilat
menotokkan ujung jari jari tangan
kanannya kesisi leher Goro, sehingga
binatang ini menjerit seketika sambil
melepaskan jari-jari tangannya dari
leher Mahesa Wulung. Begitu pula kapak
hitam tersebut tiba-tiba telah jatuh
terlepas dari tangannya. Seluruh
kekuatannya seperti hilang lenyap dan
tak bertenaga sama sekali.
Orang Utan itu sejurus kemudian
rebah ketanah seperti setumpuk daging
tak bertulang. Itu semua adalah akibat
totokan jalan darah dari Mahesa Wulung
yang sangat hebat.
Bersamaan itu pula Mahesa Wulung
jatuh terduduk diatas tanah dengan
lemasnya. Lehernya masih terasa sakit
dan sesak. Situa Bontang sebentar itu pula
telah meluncur turun ketanah lalu
mendekati tubuh Mahesa Wulung yang
tergeletak disamping Goro. Orang Utan
ini tampak menggeleng-gelengkan
kepalanya dibarengi sorot mata yang
mengharap belas kasihan dari situa
Bontang. - Nah, Goro. Aku tadi sudah
melarangmu supaya berhenti, tetapi kau
telah nekad dan inilah akibat nya!
Sekarang aku tak dapat menolongmu,
Goro. Yang tahu cara2 menolong
kelumpuhanmu ini adalah pendekar muda
itu sendiri. Bersabarlah dulu, Goro.
Aku harus menolong pendekar itu lebih
dahulu. - ujar situa Bontang serta
mendekati tubuh Mahesa Wulung yang
masih terduduk ditanah. - Maaf anak
muda. Sahabatku tadi terlalu kasar
kepadamu! - Situa Bontang berkata
kemudian duduk didepan Mahesa Wulung.
- Tak apa, bapak. Justru aku
merasa gembira dapat bermain-main
dengan Orang Utan itu. Aku telah
mendapat pengalaman-pengalaman yang
berguna dalam menambah ilmu silatku. - Syukurlah anak muda. Sejak
semula aku telah mengagumi gerak ilmu
silatmu dan akupun ingin bersahabat
denganmu. - kata Bontang. - Sekarang
ijinkanlah aku menolongmu, anak muda.
- - Terima kasih bapak. - sahut
Mahesa Wulung dan ia membiarkan kedua
tangan orang tua itu mengurut-urut
pundak dan lehernya dengan hati-hati.
Dalam pada itu, sambil merasakan
pijitan dan usapan tangan situa
Bontang, Mahesa Wulung melemparkan
pandangan matanya kearah Goro, Si
Orang Utan yang tergeletak ditanah
tanpa daya. Rupanya binatang inipun tengah
mengawasi Mahesa Wulung sehingga kedua
pandangan mata mereka bertemu
seketika. Dan disini Mahesa Wulung
melihat pandangan mata Goro yang
lembut, seakan akan ia menyatakan
penyesalannya. Bahkan segera tampak
oleh Mahesa Wulung kalau binatang itu
mencoba tersenyum kepadanya.
Perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit tubuh Mahesa Wulung terasa
segar kembali dan rasa sesak serta
sakit pada lehernya berangsur-angsur
hilang, sehingga sebentar kemudian ia
dapat bernapas dengan lega.
- Nah, aku lihat engkau telah
sembuh kembali, Mahesa Wulung. Kini
aku minta agar si Goro engkau bebaskan
dari totokan jarimu. - ujar situa
Bontang. - Tentu, pak. Jangan kuatir. Aku
akan menolong sahabatmu ini! terdengar Mahesa Wulung berkata dan
mendekati binatang itu. Kemudian ia
meraba leher si Goro dan dengan tibatiba menotokkan ujung jari-jarinya
keleher Goro tepat ditempat semula ia
menotoknya. Suatu jeritan terlontar dari
mulut Orang Utan ml dan kemudian
binatang itu sudah dapat menggerak
gerakkan kedua tangannya dan kaki.
Sebentar kemu dian Goro tersenyum
dengan sorot mata berterima kasih
kepada Mahesa Wulung seraya menepuknepukkan kedua tangannya kepundak
pendekar muda ini.
Mahesa Wulung tersenyum melihat
kelucuan Goro, demi kian pula dengan
situa Bontang. Orang Utan ini setelah
merasa dirinya sembuh kembali, lalu
berjingkrakan dengan gembira dan
kesannya bahwa ia seekor binatang yang
pandai bertempur dan bersilat seperti
manusia telah lenyap.
- Ah, anda telah membuatnya
gembira, Mahesa Wulung - berkata situa
Bontang seraya memungut kapak hitamnya
yang masih tergeletak ditanah, dan
menyelipkan sekali keikat pinggangnya.
- Aku sangat berterima kasih
karenanya. Maka aku harap sudilah anak
muda singgah kegubukku lebih dulu. - Baiklah, bapak. Dan kebetulan
senja telah tiba - ujar Mahesa Wulung.
- Jika pulang kekampung Lembah Sampit
sekarang juga, mungkin aku akan
tersesat. - - Itu betul, anak muda. - sahut
Bontang. - Berjalan malam seorang diri
ditengah rimba Borneo ini sangatlah
berbahaya. Kalau tidak tersesat, maut
pun yang akan mengancamnya. - Kearah mana kita pergi bapak" tanya Mahesa Wulung.
- Ikutlah kami, anak muda. Kita
pergi kearah timur dan sebaiknya
berjalan diatas pohon saja agar lebih
cepat! - Sejurus kemudian, Bontang bersama
Mahesa Wulung dan si Goro telah
berloncatan keatas pohon. Mereka
bergayut dan bergantung pada sulur dan
dahan2 pohon, melesat dari tempat satu
ketempat lain, dan dari pohon yang
satu kepohon berikutnya.
Yang kelihatan kemudian adalah
merupakan tiga bayangan hitam yang
berloncatan diantara dahan pohon pohon
dengan gesitnya menuju kearah timur.
Sisa sinar matahari senja masih
temarang dilangit barat yang telah
disepuh oleh warna merah kekuningan.
Kelelawar-kelelawar dan kunang-kunang
mulai keluar dari sarangnya
beterbangan dengan riangnya.
Ketiga sosok bayangan tadi terus
berloncatan kearah timur dan sebentar
kemudian mereka telah lenyap dibalik
pepohonan dan kegeiapan udara senja.
Bagi Mahesa Wulung sendiri,
perjalanan ini dirasanya seperti
sebuah impian saja. Berloncatan dari
pohon kepohon bersama dua makhluk yang
baru saja dikenalnya dan masih sangat
asing baginya. Biarpun begitu ia tak
menaruh kecurigaan kepada mereka berdua, sebab ia yakin bahwa keduanya
bukanlah termasuk golongan sipendekar
liar Bengara. Bahkan menurut situa
Bontang, mereka justeru
bermusuhan karena perbedaan sikap dan tujuan.
Kini mereka telah semakin jauh
dari sungai kecil, tempat mereka bertemu semula. Ternyata hutan di
sebelah timur ini tak kalah lebatnya
dengan hutan- hutan yang pernah
dilalui oleh Mahesa Wulung selama
tinggal dirimba pulau Borneo ini.
Tak antara lama situa Bontang
memberi isyarat Mahesa Wulung serta
berkata dengan senangnya. - Nah, anak
muda. Lihatlah dengan pohon besar
didepan kita itu. Kau lihat sebuah
rumah gubuk berdiri di antara celah
celah dahan pohon itu"

Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Benar, bapak. Dan aku kagum
karenanya - sahut Mahesa Wulung kepada
situa Bontang. - Ha, ha, ha, ha. Terima kasih,
anak muda. Terimakasih. Baru kali
inilah aku mendengar sebuah pujian
atas gubuk buatanku! - seru Bontang
dengan hati yang bangga.
Mereka bertiga telah semakin
dekat dengan gubuk itu dan sesaat
kemudian tibalah mereka didepannya.
Ketiganya segera mengakhiri loncatanloncatannya dan berhenti pada dahan
dahan pohon didekat rumah gubuk itu.
Mahesa Wulung segera dapat
melihat keadaan rumah gubuk itu.
Dinding dan atapnya terbuat dari
kulit-kulit pohon dan anyaman daun
kelapa yang dipasang berlapis-lapis.
Situa Bontang segera masuk
terlebih dulu dan menyalakan sebuah
pelita yang terbuat dari damar, getah
pepohonan dengan batu apinya. Sesudah
itu barulah ia mempersilakan Mahesa
Wulung memasuki gubuk itu, diikuti
oleh Goro di sebelah belakang.
- Nah, anggaplah seperti
dirumahmu sendiri, Mahesa Wulung.
Maaflah kalau ternyata kurang
memuaskan bagi anda. - Lebih dari memuaskan, bapak.
Aah, ternyata ruangan gubuk ini cukup
luas. Cukup untuk tinggal lima orang.
- ujar Mahesa Wulung.
- Heh, heh, heh. Ya memang cukup
luas, tetapi selama ini cuma kami
berdua saja yang mendiami - sahut
Bontang. Ketika mereka tengah bercakapcakap dengan asyiknya tadi, si Goro
mendekat seraya membawa sebuah pinggan
dari tanah liat yang berisi burung
panggang dan buah-buahan, kemudian
diletakkannya keatas lantai yang
beralaskan tikar anyaman kasar.
- Anak muda, sayang sekali
panggang burung ini telah dingin. Tapi
tak apalah. Rasanya tetap gurih dan
sedap. Nah makanlah hidangan sederhana
ini dan tunggu nanti minumannya. - Terima kasih, bapak, - ujar
Mahesa Wulung. Sejurus kemudian Goro kembali
kehadapan mereka sambil membawa seruas
bambu yang berisi tuak dan cangkircangkir,dari potongan-potongan bambu.
Oleh hidangan-hidangan tersebut,
Mahesa Wulung jadi menelan air liur
sebab seketika perutnya merasa
bergejolak minta diisi. Maka mereka
bertiga segera menikmati hidangan tadi
dengan lahapnya, terutama Mahesa
Wulung yang dasarnya sudah merasa
lapar sekali. Demikianlah sesudah mereka
bersantap, maka Bontang pun lalu
mempersilahkan tamunya untuk
beristirahat. - Tentu anda telah
kelelahan setelah memeras tenaga sore
tadi. Maka beristirahatlah secukupnya
agar pulih kembali. Mahesa Wulung mengangguk pelan
dan sebentar kemudian ia menguap
sementara matanya terasa berat,
mengantuk. Sedang situa Bontang
sendiri telah mengatur tikar-tikar
untuk alas tidur bagi mereka berdua.
Didekat pintu gubuk, si Orang
Utan berbaring pada dinding. Matanya
sebentar-sebentar menatap kearah
Bontang dan Mahesa Wulung yang telah
berbaring tidur dan sebentar pula ia
melihat kearah tangga
naik yang terbuat dari tali-temali, terjuntai
sampai jauh kebawah tanah. Bagi Goro,
menjaga tuannya adalah kewajiban yang
utama, sebagaimana situa Bontang
pernah menolongnya dari sergapan
seekor ular ketika ia masih kecil
beberapa tahun yang telah silam.
Ketika malam telah semakin larut,
suasana sunyi-senyap telah menelan
tempat itu, dan sekitarnya. Hanya
sekali-sekali terdengar suara burung
hantu dan derai nafas teratur dari
dalam gubuk itu.
5 BEBERAPA ORANG dengan membawa
obor api ditangannya tampak menyuluhi
tempat-tempat disegala pelosok kampung
Lembah Sampit. Bahkan merekapun telah
sampai di luar daerah tersebut. Semua
itu untuk mencari Mahesa Wulung, yang
sampai saat sisa-sisa malam ini belum
kembali. Situa Tawau, kepala kampung
Lembah Sampit dan juga Pandan Arum
serta Daeng Matoa menjadi cemas
karenanya. Mereka sudah menyangka bila
Mahesa Wulung akan tersesat bila
terlalu jauh pergi dari kampung ini.
Ketiga orang inipun ikut beramai-ramai
bersama orang-orang kampung menyuluhi
tempat-tempat yang gelap dan
tersembunyi, untuk mencari jejak dan
petunjuk-petunjuk dari kepergian
Mahesa Wulung. Terlebih cemas adalah Pandan Arum
sendiri. Ia masih ingat akan
pertempuran sipendekar liar Bengara
melawan kekasihnya beberapa waktu yang
lalu dan kini, tiba-tiba saja Mahesa
Wulung telah menghilang.
Pikiran Pandan Arum lalu menjadi
semakin kacau setelah mengingat hal
itu dan rasa takutnya lalu bermunculan
dari hati kecilnya. Bukankah ia kini
berada ditengah daerah asing dan
terpencil, disebuah kampung ditengah
rimba liar pulau Borneo.
Sementara itu disebuah rumah
panjang diantara gerombolan rumah
rumah kampung Lembah Sampit, sigadis
manis Sandai selalu membolak balikkan
tubuh diatas tempat tidurnya. Sebentar
sebentar ia terbangun karena mimpimimpinya yang buruk dan gelisah.
Setiap matanya sudah terpejam
tidur setiap kali pula ia dibayangi
oleh bayangan wajah Mahesa Wulung yang
mula mula tampak kecil, lalu besar dan
semakin besar seakan-akan memenuhi
rongga matanya.
Ketika ia terbangun untuk
kesekian kalinya, Sandai terkejut
mendengar suara-suara ribut di bawah
sedang cahaya terang dari obor-obor
telah masuk kedalam kamarnya melalui
celah-celah lubang lantai dan dinding
rumah. Semula Sandai agak terkejut,
tetapi setelah ia mengintai beberapa
saat ke arahluar, iapun lalu teringat
bahwa sejak senja menjelang malam
tadi, orang-orang telah sibuk mencari
Maluisa Wulung sampai saat kini pada
sisa-sisa malam menjelang subuh.
Sayup-sayup Sandai mendengar
kokok ayam hutan dengan merdunya tapi
kemudian telah ditelan oleh suara
ribut dan gumam manusia yang tengah
menyuluhi segenap tempat disudut rumah
dan semak-semak.
Waktu itu Sandai juga ikut
gelisah, sebab mungkin hanya dia
sendirilah yang tahu, kemana Mahesa
Wulung telah pergi. Sedang selama ini
ia tetap bungkam dan berdiam diri
pura-pura tidak tahu, sebab memang hal
itulah yang telah diminta dan
dikehendaki oleh Mahesa Wulung
kepadanya. Maka terpaksalah dengan hati yang
berat dan tertekan, ia tetap memenuhi
permintaan Mahesa Wulung, sehingga
dibiarkannya saja orang-orang itu
nencari Mahesa Wulung kesana kemari
tanpa arah tujuan yang pasti.
Demikianlah Sandai masih bisa
menahan perasaannya dan membiarkan
mereka kalang-kabut mencari pendekar
muda dari pantai Seberang itu yang
seolah-olah menghilang tanpa jejak dan
bekas! Akan tetapi sesudah pencarian
itu berjalan dua hari lewat, Sandai
sudah tidak bisa menahan perasaannya
lagi. Cepat-cepat sigadis manis ini
berlari-lari menuju rumah kepala
kampung, membuat orang-orang terkejut
heran karenanya.
Disana, dihalaman bawah rumah
berpanggung situa Tawai, Sandai telah
sampai dan dilihatnya bahwa disitu
telah berkumpul beberapi orang
memegang senjata. Diantara mereka
terlihat pula bapak Tawau, Daeng Matoa
dan Pandan Arum serta keenam orang
anak buah Mahesa Wulung. Juga pendekar
Seguntur pun terlihat pula diantara
mereka. Agaknya situa Tawau tengah
memberi petunjuk pada kelompokkelompok orang itu, yang sebentar lagi
akan pergi keluar kampung. Dan
kemudian, orang tua itupun terkejut
melihat Sandai berlari-lari kearah
dirinya. - Sandai! Mengapa wajahmu begitu
pucat dan berkeringat" Apakah yang
telah terjadi dengan dirimu! terdengar Tawau berseru kaget.
- Maaf, bapak, Aku telah
bersalah! Aku memang orang yang tak
berbudi! Aku telah berdosa kepada
kalian! - - Tenanglah Sandai, tenangkan
hatimu dan kemudian ceriterakanlah
kepada kami dengan jelas - ujar Pandan
Arum Serta merangkul pundak Sandai
dengan manisnya. Apakah yang menyebabkan kekalutanmu ini" - Tentang Pendekar Mahesa Wulung,
nona. Aku sebenarnya tahu tentang
kepergiannya dari kampung ini! Perkataan Sandai ini bagai
sambaran petir bagi orang2 ini dan
mereka terhenyak kaget seketika.
- Hah! Jadi kau sudah tahu
tentang kepergian Mahesa Wulung selagi
kami kalang kabut mencarinya" - seru
Tawau. - Oooh. - desah Pandan Arum. Kalau engkau sudah tahu sejak semula,
mengapa tak engkau ceriterakan kepada
kami, Sandai" Sandai sesaat tertunduk tak
berani menatap w-jah orang orang
disekitarnya dan iapun sadar, bahwa
sikapnya ini menyebabkan rasa jengkel


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada hati mereka. Tak lama kemudian
berkatalah Sandai. - Maaf, nona. Itu
semua kulakukan atas permintaan tuan
Mahesa, agar aku tak berceritera
kepada siapapun bahwa ia tengah
mengejar dan mencari seorang penyumpit
gelap yang menyerangnya, dua hari yang
lalu didekat mata air. - Seorang penyumpit gelap" Dan
menyerang pendekar Mahesa Wulung" ulang situa Tawau dengan suara
bergetar. - Begitulah bapak sambung Sandai pula - Kemudian tuan Mahesa
Wulung memintaku agar pulang kembali
kekampung, dan berpesan seperti yang
telah aku ceriterakan diatas. - Kearah mana ia pergi, Sandai"
- ikut bertanya Daeng Matoa. - Hari
ini juga kita harus menyusulnya! - Kira-kira kearah barat, tuan
Daeng - jawab gadis Sandai. - Dan jika
andika semua akan pergi mencarinya,
ijinkanlah aku turut serta. Siapa tahu
aku dapat memberi keterangan
keterangan yang berguna. - Baiklah, Sandai - kata situa
Tawau. - Sebentar lagi kita akan
berangkat! - Kepala kampung ini segera
menyiapkan segala sesuatu yang perlu
bagi perjalanan nanti dan ketika
matahari sudah cukup tinggi, mereka
berangkatlah kearah utara lebih dulu.
Tampak situa Tawau berjalan
bersama Sandai di sebelah muka,
kemudian Daeng Matoa bersama Pandan
Arum dan dibelakang mereka berjalan
orang-orang anak buah Tawau serta
keenam anak buah Mahesa Wulung.
Sandai mula-mula membawa
rombongan tersebut kemata air
disebelah utara kampung dan mereka
masih bisa melihat sebuah jarum
sumpitan yang menancap pada batu
ditepi mata air. Situa Tawau
mengangguk-angguk melihat benda itu
dan kemudian rombongan itupun
meneruskan perjalanannya kearah barat
seperti petunjuk dari Sandai.
Didekat sebatang pohon tua,
mereka dapat melihat jejak-jejak kaki
menuju kearah utara. Mereka pun segera
menuruti jejak2 tersebut dengan teliti
dan sampailah mereka pada sebuah
aliran sungai kecil yang mengalir
kearah timur. - Nah, kita menemukan jejak lagi,
Sandai! - ujar Tawau seraya menunjuk
kebawah dan tampaklah jejak-jejak kaki
di sepanjang tepian sungai tadi terus
menuju kearah timur.
- Tapi, bapak - Sela Daeng Matoa
- Apakah kita yakin bahwa jejak2 ini
adalah jejak kaki saudara Mahesa
Wulung" - Aku bisa memastikan begitu
tuan, karena jejak-2 ini masih sama
dengan jejak yang terdapat dimata air
pertama tadi - ujar Tawau seraya
meraba-raba bekas2 jejak kaki
tersebut. - Dan kira-kira ini berbekas
pada dua hari yang lalu., Daeng Matoa dan Pandan Arum
terperanjat juga mendengar penuturan
Tawau. Mereka tidak menyangka kalau
orang tua itu mempunyai pengetahuan
yang sedemikian dalamnya.
- Ooh, mudah-mudahan kita dapat
segera menemukannya. Bapak - ujar
Pandan Arum menyambung.
- Begitulah harapan kita semua,
nona - sahut situa Tawau. - Dan
sekarang, marilah kita lanjutkan
perjalanan kita. Maka sejurus kemudian,
berjalanlah kembali rombongan tadi
menyusuri sepanjang tepi sungai kecil
menuju kearah timur. Mereka sebentarsebentar berhenti untuk meneliti
jejak-jejak tadi, sehingga perjalanan
cukup memakan waktu yang banyak.
Maklumlah, mereka tak berani
serampangan untuk tujuan yang tengah
mereka kejar. Apalagi mencari orang
yang tersesat didalam hutan, seperti
pekerjaan mereka sekarang ini. Semua
benda yang dapat memberi petunjuk
sangat berguna sekali, seperti jejakjejak kaki, ranting-ranting terpatah,
semak yang roboh dan sebagainya.
Cukup jauh sudah jarak yang
tengah mereka tempuh dan tiba-tiba
saja mereka berhenti karena Tawau yang
berjalan paling depan telah menemukan
jejak yang terputus dan sebuah jejak
tampak menuju ketengah sungai.
- Hmm, jejak ini terputus dan
hilang disungai! - desis situa Tawau
sambil pandangan matanya memeriksa
tempat sekeliling. Dan tiba-tiba ia
melihat sebuah dahan pohon yang besar
menjorok diatasnya. Hal ini membuat
situa Tawau sibuk berpikir dengan
kerasnya. Semua pengalamannya sebagai
kepala kampung Lembah Sampit dan telah
puluhan kali keluar masuk menjelajah
hutan pulau Borneo ini, membuat ia
kaya akan seluk beluk dan tanda-tanda
sekecilpun, yang terdapat di dalam
hutan. - Ranting pohon yang terpatah itu
telah kering. Pastilah ini terjadi
beberapa hari yang lalu dan disebelah
timurnya lagi, ada sebuah cabang pohon
lain yang terpatah. Ehh, agaknya
pendekar Mahesa Wiiliing
telah berjalan diatas pohon menuju kearah
timur! - demikian pikir situa Tawau.
- Jejak-jejak kaki telah
terputus bapak - ujar sigadis Sandai
kepada situa Tawau - Dan apa tindakan
kita selanjutnya" - Kita menyeberang sungai kecil
ini dan terus berjalan ketimur - ujar
Tawau seraya memberi isyarat kepada
rombongan tadi dan perjalananpun
diteruskan kearah timur, menyeberangi
sungai tersebut kemudian menerobos
hutan yang lebat.
Beberapa waktu kemudian,
rombongan Tawau tadi celah semakin
jauh dari sungai itu dan tibalah
dihutan yang lebat. Namun itu bukanlah
rintangan yang berat bagi mereka,
sehingga dalam waktu yang singkat
terbukalah semak-semak yang merintangi
jalan oleh tebasan mandau dan pedang
orang orang itu.
Tak antara lama, Tawau memberi
tanda berhenti kepada rombongan tadi,
sebab didepan tnereka terlihatlah
semak-semak dan pepohonan kecil yang
berebahan dan terserak disana-sini.
Sebagian dari semak-semak tadi juga
telah kering. Itu semua menandakan
bahwa hal ini terjadi pada waktu-waktu
yang lewat. - Ooh, apakah yang terjadi
disini, kiranya" Agaknya seperti habis
dipakai untuk tempat bertempur! gumam Daeng Matoa yang berdiri
disebelah Tawau.
- Benar, Daeng! Tempat ini telah
dipakai untuk medan pertempuran
beberapa hari yang lalu - sambung
Tawau - lihatlah batu-batu yang
berserakan pecah ini! - Tapi tidak ada tanda-tanda
berdarah ataupu mayat yang kita
temukan - berkata pula Panda Arum yang
ikut memeriksa. - Dan disebelah timur
kami dapati lagi beberapa cabang pohon
yang terpatah dan sulur-suluran pohon
yang terputus. - Nah, itu satu tanda lagi bahwa
kita harus berjalan kesebelah timur! sahut Tawau pula. - Ayolah, jangan
lagi kita buang-buang tempo disini. Serentak mereka meneruskan
perjalanannya, menempuh hutan yang
kian lebat dan sulit untuk ditempuh.
Hutan didaerah timur ini lebih rapat,
seakan-akan pagar benteng yang
berlapis-lapis, menghalangi siapa saja
yang berani memasukinya.
Tetapi rintangan alam itu tidak
ada artinya bagi putera-putera Borneo
ini. Kelebatan hutan tidak menjadikan
mereka takut, tapi justeru membuat
semangat mereka bertumbuh untuk
menjelajahinya.
Biarpun begitu, toh mereka tidak
meninggalkan kewaspadaan diri. Mereka
tetap berhati-hati dan senantiasa siap
dengan senjatanya, sebab dengan semakin rapatnya hutan tadi, pastilah
lebih banyak binatang-binatang liar
dan berbisa yang tinggal didalamnya.
Tawau yang berjalan disebelah
muka selalu dengan teliti memeriksa
jalan yang bakal ditempuhnya.
Pandangan matanya yang setajam elang
itu selalu jauh mendahului langkah
langkah kakinya, jauh kedepan, seakan
akan ingin menerobos kelebatan hutan
dan semak-semak yang terbentang
dihadapannya. Rombongan tadi terus berjalan
kearah timur, bagai semut beriringiring dan sebentar berbelok-belok
menurut langkah, situa Tawau yang
menjadi pemimpinnya.
Tidak antara lama, rombongan tadi
dikejutkan oleh suara berisik dan
teriakan-teriakan yang menggema dari
sebelah timur. Keruan saja mereka
berhenti dengan serentak disertai oleh
hati yang berdebar-debar penuh tanda
tanya. Situa Tawau segera berseru Saudara-saudara, siapkanlah senjatamu
dan ikuti aku untuk mengintai sebab
sebab suara tadi. Rombongan tadi kemudian bertebar
dan mereka mengendap-endap maju dan
mendekati arah suara yang berisik
disebelah timur, setapak demi setapak.
Daeng Matoa dan Pandan Arum telah
menghunus pedangnya masing-masing,
sedang Tawau, pendekar Seguntur dan
orang-orang lainnyapun telah bersiap
dengan senjatanya. Ujung tombak,
mandau dan pedang berkilatan tertimpa
cahaya siang, sementara yang
bersenjata sumpitan, telah pula siap
dimulutnya untuk menembak.
Suara berisik semakin jelas dun


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombongan situa Tawau telah sampai
pada tempot itu. Mereka sudah tak
sabar lagi tampaknya untuk mengetahui
apakah yang menyebabkan ramai-ramai
sedemikian gaduhnya. Namun alangkah
kagetnya mereka setelah menguakkan
daun semak-semak didepannya. Ternyata
suara gaduh tadi berasal dari dua
sosok tubuh yang tengah bertempur dan
bergerak dengan cepat, laksana dua
bayangan yang saling melibat dan
berpusaran. Tak jauh dari tempat itu, diatas
sebuah dahan pohon yang terlindung
kelebatan daun-daun dan kegelapan,
tampak pula sesosok tubuh yang
nongkrong dengan enaknya serta
menonton pertempuran tersebut.
Sebentar-sebentar ia bersorak serta
berteriak-teriak dengan lantangnya. Ayo jangan tunggu lawanmu sampai
menerjang lebih dulu! Tangkis! Yah,
bagus. Itulah yang aku maksudkan.
Awas, jangan lengah terhadap sambaran
kaki lawan! Ha, ha, ha, ha! Nah,
begitu. Ayo ulang sekali lagi! Situa Tawau dan orang-orang
lainnya menjadi terkejut oleh suara
tersebut. Rupanya orang yang tengah
nongkrong di datas dahan tadi sedang
memberi petunjuk petunjuk kepada dua
sosok tubuh yang lagi bertempur.
Orang-orang yang bersembunyi
dibalik semak-semak, termasuk Tawau,
Daeng Matoa, Pandan Arum dan lain
lainnya seperti terpukau melihat
pertempuran tersebut.
Mereka tak tahu lagi apakah yang
musti dikerjakan, lantaran saking
takjub dan kagumnya. Dan lagi kedua
sosok tubuh yang lagi bertempur seru
tadi tak dapat mereka kenal wajahnya
sebab selalu bergerak dengan cepat.
Begitulah, mereka kadang-kadang
saling berpandangan tapi sama-sama
diam tanpa berbuat apa-apa. Apalagi
situa Tawau yang menjadi pemimpin rombongan, juga berdiam diri tanpa
memberi perintah2 kepada mereka.
Entah sampai berapa lama mereka
berlaku sebagai penonton diluar
gelanggang pertempuran yang begitu
seru. Tak seorangpun berkata-kata.
Semua pandangan mata dicurahkan kepada
dua sosok bayangan yang tengah
berlibatan saling menyerang dan menerjang. Namun tiba-tiba semuanya
terperanjat, sebab orang yang
menongkrong didahan pohon itu mendadak
berseru dengan nyaring.
- Berhenti!! Ha, ha, ha, ha.
Kalian berdua telah mencapai apa yang
aku inginkan, dan aku puas karenanya.
Tapi waspadalah rupanya beberapa
pasang mata telah mengintai kita! Kedua bayangan makhluk yang kini
telah mengakhiri pertempurannya,
seketika itu juga menebarkan pandangan
matanya kearah tempat sekeliling serta
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Maka tak mengherankan
bila sesaat tempat tersebut menjadi
sunyi-senyap, kecuali derai napas
pelahan dari orang-orang rombongan
Tawau yang bersembunyi dibalik
dedaunan. Mendadak, saja, kesunyi-senyapan
tadi dipecahkan oleh teriakan bernada
gembira dan sesosok tubuh meloncat
dari balik dedaunan, menuju kearah dua
makhluk yang baru saja selesai
bertempur tadi. Kakang Mahesa Wulung!! - - Pandan Arum ! seru salah seorang makhluk tadi yang tidak lain
adalah Mahesa Wulung. Pendekar ini
segera menyambut Pandan Arum yang
berlari kearahnya dan ia segera
menerima dekapan mesra dari gadis itu.
Dalam hati, Pandan Arum mengucap
syukur dan berterima kasih kepada
Tuhan, bahwa kekasihnya ternyata
selamat tak kurang suatu apa.
Ia kini merasa aman kembali dan
perasaan cemas yang semula menghantui
hatinya kini telah lenyap. Bahkan ia
tidak lagi menjadi takut, bila
ternyata makhluk yang satunya itu
adalah seekor Orang Utan yang besar
dan kokoh. - Siapakah teman kakang ini" bertanya Pandan Arum.
- Ooo, dia adalah sahabat baruku.
Namanya adalah Goro. - Mahesa Wulung
berkata kepada kekasihnya. - Dan tadi
kami baru saja selesai berlatih. - Dan aku memperkenalkan diri
pula, nona!! - seru sebuah bayangan
yang meluncur dari atas dahan pohon,
tepat mendarat didekat Mahesa Wulung
dan Pandan Arum.
Hampir saja Pandan Arum ini
terpekik kuget melihat bayangan tadi.
Dikiranya pula adalah seekor Orang
Utan yang pandai berbicara, tak
tahunya adalah manusia juga yang
berbaju kulit, berbulu
hitam mengkilat. - Maaf, jika aku telah
mengejutkan nona. Nama saya adalah
Bontang - ujar siorang tua yang
berbaju kulit itu.
Selagi mereka asyik bercakapcakap itu, situa Tawau dengan orangorang lainnya telah bermunculan dari
balik semak-semak dan mendekati
mereka. - Kakang Mahesa Wulung,
kepergianmu telah membuat kami bingung
dan akhirnya mencarimu sampai ketempat
ini, - berkata Pandan Arum.
- Nah, nona Pandan Arum - ujar
situa Tawau yang telah berdiri didekat
mereka. - Bukankah benar kata-kataku,
bahwa Tuan Mahesa Wulung pasti
selamat" - Eh, benar bapak.
Terimakasih. - He, he, he, heh. Begitulah
tuan Mahesa Wu lung. Memang kepergian
anda itu menyebabkan orang-orang
sekampung kebingungan mencarimu
kemana-mana. Lebih-lebih dengan nona
Pandan Arum ini, yang hampir setiap
harinya merindukan anda serta tak
doyan makan sedikitpun. - berkata
situa Tawau setengah menggoda,
sehingga membuat Pandan Arum tertunduk
malu dengan wajah kemerahan disertai
warna merah jambu membayang dipipinya
yang montok. - Aaah, bapak ini ada-ada saja! desah Pandan Arum seraya melirik
kearah wajah kekasihnya yang
tersenyum-senyum.
- Tapi bapak, darimanakah andika
dapat menge-tahui arah kepergianku
ini" - tanya Mahesa Wulung dengan
perasaan heran, sebab hanya Sandailah
yang tahu peristiwa penyerangan gelap
itu. - Semua itu adalah atas petunjuk
Sandai. Bukankah begitu Sandai" - kata
Tawau. - Nah, nona Pandan Arum ujarnya situa Tawau yang telah berdiri
di dekat mereka. - Bukankah benar
kataku, bahwa tuan Mahesa Wulung pasti
selamat" - Aku terpaksa berceritera kepada
bapak Tawau dan lain-lainnya, tuan sahut Sandai yang berdiri dibelakang
Tawau - Sebab aku tak sampai hati
melihat orang-orang ini kalangkabut
mencari tuan, sedang sebenarnya aku
mengetahui kepergianmu. Mahesa Wulung mengangguk-angguk
penuh pengertian, dan iapun tak bisa
menyalahkan sikap Sandai yang telah
mengingkari pesannya. Dalam hati
malahan ia mengucapkan syukur atas
sikap Sandai yang penuh rasa tanggung
jawab dan persaudaraan. Ia dapat
membayangkan sendiri, bagaimanakah
jadinya, seandainya gadis manis itu
tetap bungkam dan tak mau berceritera
tentang kepergiannya tersebut.
Yah, pastilah orang-orang ini
akan kalang kabut dan kebingungan
seperti yang telah dikatakan oleh
Sandai sendiri.
- Bapak Tawau, aku mengucapkan
terima kasih atas perhatian andika
semua yang begitu besar
terhadap diriku ini. - berkata Mahesa Wulung. Dan selama itu aku telah tinggal
dipondok pendekar Bontang ini. Situa Tawau segera memperkenalkan
diri kepada pendekar Bontang, juga tak
ketinggalan kepada si Orang Utan yang
bernama Goro itu. Binatang tersebut
sungguh membuat gembira dan tertawa
bagi Situa Tawau dan orang-orangnya.
Kelakuannya yang mirip-mirip dengan
manusia itu sungguh menakjubkan orangorang disitu, seperti bersalaman,
tertawa, menggaruk-garuk kepala dan
sebagainya lagi.
- Jadi, andalah yang bernama
pendekar Bontang - ujar situa Tawau. Kami sering mendengar nama anda yang
terkenal diseluruh sudut rimba Borneo.
- - Uh, itu kurasa terlalu
berkelebihan buat diriku, sobat. kata situa Bontang kepada Tawau - Aku
cuma sedikit bisa bersilat dan itupun
telah aku ajarkan kepada pendekar muda
Mahesa Wulung ini.
- Situa Tawau merasa kagum atas
sikap merendah dari pendekar Bontang
tadi, terlebih lagi situa Bontang
berkata pula. - Setelah aku ajarkan
kepandaianku kepada Mahesa Wulung,
maka terlihatlah bahwa pendekar muda
ini dengan mudahnya menguasai segala
ajaranku dan ternyata dia lebih pandai
dari pada diriku. Agaknya patutlah
bila sebaliknya aku menjadi murid
Mahesa Wulung ini. - Ha, ha, ha, ha. Kalau andika
bermaksud begitu, maka tak ada


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salahnya bila akupun mencalonkan diri
untuk menjadi muridnya - sambung situa
Tawau yang tak ketinggalan ikut
berkelakar. menjadikan suasana
pertemuan ini tambah cerah dan
semarak. Sementara itu matahari telah
membuat bayangan pepohonan condong
kearah timur. Pertanda kalau hari
telah kelewet siang. Maka situa
Bontang segera memerintahkan kepada
Goro agar menghidangkan buah-buahan
dan minum kepada orang2 itu semua,
yang dengan senang hati menyambutnya.
Sesaat mereka beristirahat, tak
jauh dari rumah gubuk milik Bontang
yang terpasang diatas pohon. Sedang
situa Tawau tampak bercakap-cakap
dengan pendekar Bontang, disebelah
lain kelihatan Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Daeng Matoa dan Sandai duduk
duduk bersama dibawah sebuah pohon
rindang. Dipojok barat, keenam anak
buah Mahesa Wulung dan orang orang
Tawau sibuk pula bercakap-cakap.
Diantara mereka, tampaklah
pendekar Seguntur yang sebentarsebentar melirik tajam kearah bawah
pohon rindang dimana Sandai dan ketiga
orang sahabatnya dari seberang tengah
asyik bercakap-cakap.
Tetapi hal itu jangan dikira tak
mendapat perhatian dari Mahesa Wulung
sendiri. Ia tahu bahwa pendekar
Seguntur, tengah mengawasi mereka
dengan mata tajam.
- Hmm, apakah gerangan yang
membuat Seguntur bersikap begitu" pikir Mahesa Wulung semula dan tibatiba ia sadar, bahwa gadis manis
Sandai ada bersama mereka. - Ah,
agaknya sikap cemburu yang berlebihlebihan yang menyebabkan sikap Seguntur bersikap demikian. Rupanya
belum sembuh penyakit cemburunya sejak
pertama aku datang dikampung Lembah
Sampit. - - Kakang Mahesa Wulung, - Pandan
Arum berkata. Aku heran bahwa
pendekar liar Bengara yang dulu
mencegat kita ditengah perjalanan,
sangat mirip dengan bapak tua Bontang
itu. - - Memang mereka dulu adalah dua
bersahabat yang kemudian berpisah
karena masing-masing berbeda pendapat
- tutur Mahesa Wulung kepada ketiga
rekannya. - Kalau sipendekar liar
Bengara akhirnya menggunakan
kepandaian dan ilmunya untuk
kepentingan diri sendiri bahkan tidak
jarang menyeleweng kearah kejahatan,
maka adalah sebaliknya dengan Bontang.
Orang tua itu banyak mengamalkan
ilmunya untuk kebajikan sesama
makhluk. Demikian pula jika kita
memperhatikan kehidupan manusia
sehari-harinya, maka tak luput dari
nafsu berbuat baik dan berlaku jahat.
Pada dasarnya, kedua nafsu tadi
ada bersarang dihati kita masingmasing dan selanjutnya kitalah yang
harus menguasai dan mengendalikan
mereka, seperti halnya dengan kereta
berkuda. Manusia harus menekan dan
rnengendalikan nafsu jahatnya, sampai
akhirnya ia betul-betul menguasainya
dan syukur kalau ia malah berhasil
melenyapkannya sama sekali dari lubuk
hatinya. - Oleh penuturan Mahesa Wulung itu,
Daeng Matoa, Pandan Arum dan Sandai
terdiam sesaat seraya mengangguk
mengerti. Tutur kata Mahesa Wulung
tadi sungguh tepat dirasanya.
Tetapi lain agaknya jika yang
mendengar itu adalah pendekar
Seguntur. Pastilah dia tidak akan
senang karenanya. Dalam pada itu,
Daeng Matoa agaknya merasa ada sesuatu
hal yang masih kurang jelas, maka
cepat-cepatlah ia bertanya kepada
Mahesa Wulung. - Saudara Mahesa Wulung, sudilah kiranya andika
menerangkan sekali lagi perumpamaan
kereta berkuda tadi" - Mmm, baiklah Daeng. Kereta itu
aku umpamakan tubuh manusia dan
kehidupannya, sedang diri pribadi
adalah kusirnya. Adapun kuda kuda
tersebut ialah semua nafsu-nafsu. yang
ada pada manusia. Nah maka tugas kusir
atau sais tadi adalah menguasai
jalannya kereta dengan mengatur dan
mengendalikan arah lari kuda kuda itu
semua. Ia harus benar-benar bijaksana
dan tegas, janganlah sampai dia yang
diperkuda oleh kuda-kuda atau nafsunafsu itu tadi. Jika sikusir tadi
sampai bisa diperkuda oleh kudakudanya, maka tak mustahil bila kereta
tadi akan dibawa lari kemana-mana
tanpa arah tujuan tertentu dan
kemungkinan akan rusak dan celakalah
kereta tersebut. Begitulah Daeng, jadi
jelasnya setiap manusia hendaklah bisa
mengatur dan mengendalikan semua
nafsunya agar hidupnya selamat dan
sejahtera. - Daeng Matoa sekali lagi
mengangguk seraya berkata - Terima
kasih saudara Mahesa Wulung. Segala
tutur kata serta keteranganmu, telah
aku mengerti semuanya. Memanglah,
segala kata-katamu tadi ada benarnya
juga. - Diam-diam Pandan Arum merasa
bangga oleh tutur kata kekasihnya. Ia
kagum akan kebijaksanaan Mahesa Wulung
yang berpandangan seluas itu.
Rupanya cukuplah sudah waktu
istirahat yang diperlukan untuk
memulihkan tenaga bagi situa Tawau dan
rombongannya, sebab situa itupun
segera berpamit minta diri kepada
pendekar Bontang dan si Orang Utan
Goro! Juga Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Daeng Matoa dan gadis Sandai
serta orang-orang lainnya tak lupa
meminta diri. - Semua pesan dan pelajaran dari
bapak, akan aku ingat baik-baik dan
sungguh-sungguh. Kini ijinkanlah aku
berangkat, bapak - berkata Mahesa
Wulung dengan membungkuk hormat dan
setelah itu berlalulah ia dari hadapan
Bontang. Rombongan tadi bergerak, lalu
berjalan kearah barat menuruti jalan
semula yang ditempuhnya ketika menuju
ketempat ini. Mereka sudah tidak lagi
susah-susah mencari jalan baru, karena
jalan yang semula masih cukup jelas
dan mudah dicari.
Sinar matahari masih bersinar
dengan terangnya sementara angin siang
bertiup dengan segar dari timur. Tak
lama kemudian, rombongan tadi telah
lenyap dibalik pepohonan dan situa
Bontang serta Goro masih saja berdiri
termangu ditempatnya. Dua titik air
mata tergenang disudut mata Bontang
sebagai luapan rasa harunya yang tak
tertahan. Meskipun orang tua itu cuma
secara singkat berkenalan dengan situa
Tawau dan rombongannya, namun sangat
berkesan bagi dirinya, sebab selama
ini ia lebih banyak hidup memencil
bertemankan Goro, dan binatangbinatang lainnya daripada dengan
manusia-manusia. Hal ini seolah-olah
memperingatkannya, bahwa betapapun
manusia mencoba hidup menyendiri, tapi
toh perlu juga bergaul dengan manusiamanusia lain. ***** Dalam pada itu jauh disebelah
timur teluk Sampit sana, tampaklah
beberapa orang mengendap2 menuju
kearah hutan. Mereka yang bersenjata
pedang ada tiga orang dan dua orang
lainnya bersenjata dua pucuk senapan
lantakan, sedang pemimpinnya yang
berjalan didepan selain bersenjata
pedang lebar juga ia menyelipkan
sebuah pistol kuno pada ikat
pinggangnya. Tanpa ragu-ragu mereka mulai
menerobos semak-semak pohon bakau.
Keenam orang tadi rupanya telah
bertekad untuk bertempur mati matian
sampai ketitik darah yang penghabisan.
- Kakang Garangpati. Mereka punya
kekuatan yang jauh lebih besar dari
pada kia! - ujar seorang diantaranya
kepada sipemimpin yang berjalan
didepan. - Hah! Rupanya kau berkecil hati
Dangsa! Kalau memang begitu sebaiknya
kau tak usah ikut saja! seru sipemimpin dengan wajah yang garang
serta sorot mata yang tajam. - Biar
kami berlima saja yang menyerang kapal
Barong Makara itu! - Maaf, janganlah salah sangka
kakang! Aku tak pernah takut melawan
orang-orang dari Armada Demak itu. Kau
masih ingat bukan, ketika kami disaatsaat terakhir mencoba mengeroyok
pemimpin mereka yang bernama Mahesa
Wulung itu. Sayangnya Kapal Hantu kita
keburu meledak dan kami terpaksa lebih
dulu terjun kelaut, sebelum mati
konyol secara cuma-cuma. - Nah, kalau begitu apa lagi yang
mesti kau kuatirkan" Sahut Garangpati tajam. - Bukankah kita
telah bertekad untuk bertempur matimatian, sebagai pembalas dendam atas
kehancuran Kapal Hantu dan tewasnya Ki
Monyong Iblis" - Betul kakang! Tapi kita harus
menyerang mereka secara diam-diam dan
tersembunyi. Kita akan bunuh mereka
satu demi satu, sehingga akhirnya
habis ditangan kita! - ujar Dangsa
dengan geram. - Tetapi yang membuatku
heran, mereka belum juga berlayar,
seolah-olah ada sesuatu kejadian yang
membuat pelayaran mereka tertunda. - Hmm, memang betul bicaramu.
Orang-orang itu malah kembali berkemah
dipantai! Heh, heh, heh, justeru
itulah yang memperkuat keyakinanku
bahwa sebentar lagi mereka akan dapat
kita hancurkan. - ujar Garangpati.
- Kita serang saja mereka malam
nanti! - sela seorang lain yang
berhidung pesek dan bersenjata bedil.


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Mereka akan kutembak dengan
senapanku ini satu demi satu........ - Ha, ha, ha, rupa-rupanya kau
ingin menghabiskan mereka seorang
diri, Pisek Grana"! sahut Garangpati. - Eeh, tidak kakang. - jawab
Pisek Grana cepat-cepat. Mereka
terlalu banyak untuk senapanku yang
hanya sekali sekali menembak ini. - Heh, heh, heh, baiklah. Mereka
akan kita bagi rata, Pisek Grana!
Setuju kau"! - berkata Garangpati.
- Lebih dari setuju kakang! sahut Pisek Grana seraya tertawa
terkekeh-kekeh, disusul oleh suara
ketawa yang lain-lainnya.
Keenam orang itu terus menerobos
semak pohon bakau dan membelok kearah
barat laut. Mereka bermaksud mengepung
orang-orang yang lagi berkemah
dipantai itu, dan menyerangnya pada
malam hari. Beberapa orang lagi masih
tertawa-tawa, namun sekonyong-konyong
keenam orang tadi berteriak kaget
sebab dari atas pohon-pohon besar
berlompatanlah turun beberapa Orang
Utan serta dua sosok tubuh manusia
yang kemudian mendarat ditanah dengan
manisnya. - Garangpati! - teriak seorang
yang baru turun dari atas pohon seraya
menyambut kearah Garangpati - Hah, kau
masih selamat sobat" - Kakang Mata Siji! Ah, kita
masih berjumpa lagi, kakang.
Syukurlah, kita akan bersama-sama
menghancurkan orang orang Armada Demak
itu! - - Jangan terlalu bodoh
Garangpati!. Dengarlah lebih dulu akan
ceriteraku ini! - seru Mata Siji sampai membuat Garangpati terkejut.
- Mengapa kakang"! - Kau belum tahu tentu, bahwa
saat ini Mahesa Wulung lagi bertamu
dikampung Lembah Sampit disebelah
utara sana! - Dan inilah yang harus
kita perhatikan, Garangpati! Kita
jangan keburu menyerang orang-orang
yang tinggal dipantai itu, tetapi
lebih dulu harus membinasakan
pemimpinnya dan setelah beres, barulah
kita menyerang orang-orang tadi
menghancurkannya sekaligus! - Ooh, itu bagus! Untunglah kami
bertemu dengan kakang Mata Siji. Kalau
tidak, entah apa jadinya. - Nah, adi Garangpati dan lainlainnya. Kalian tentu masih ingat
dengan bapak pendekar Bengara, sahabat
Ki Monyong Iblis dahulu itu" Inilah
dia dan silakan berkenalan! Garangpati dan kelima orang
temannya segera berkenalan dengan
pendekar liar Bengara. Mereka merasa
gembira dapat berkenalan dengan
Bengara yang terbilang pendekar jagoan
dengan anak buahnya Orang-Orang Utan
yang ganas-ganas ini. Selama itu,
mereka cuma mendengar dari kabar-kabar
mulut saja tentang pendekar Bengara
ini. Maka tak heranlah, bila mereka
tak habis-habis herannya menatap
sipendekar liar dengan bala
tentaranya, yang terdiri binatangbinatang tersebut.
- Mata Siji, marilah kita segera
menuju kekampung Lembah Sampit. Sebab
ada hal-hal yang harus kita kerjakan
disana! - Bengara berkata kepada Mata
Siji. Mendengar itu, Mata Siji seketika
meringis kesenangan sebab ia tahu akan
maksud perkataan pendekar Bengara ini,
yaitu menyerang kampung Lembah Sampit.
Segera berangkatlah mereka
bersama-sama kearah utara. Pendekar
Bengara berjalan paling depan bersama
pasukan Orang Utannya sedang
dibelakangnya menyusul Mata Siji,
Garangpati, Dangsa, Pisek Grana dan
lain-lainnya. Kalau Bengara dan rombongannya
tengah berangkat kearah utara, diwaktu
itu pula situa Tawau beserta orangorangnya tengah menerobos hutan lebat
jauh disebelah timur laut sana.
Dengan bersusah payah Tawau dan
rombongan berusaha menerobos hutan
yang sangat lebatnya. Ditambah dengan
sinar matahari yang sudah tidak terang
lagi, menyebabkan mereka lebih
berhati-hati. Mereka tidak berani
secara gegabah berjalan semaunya
dihutan ini. Tumbuh-tumbuhan sangat rapat dan
dua orang yang berjalan paling depan
terpaksa harus membuka jalan dengan
menebas dan membabak semak2 didepan
dengan senjata mandaunya.
- Kita telah tersesat" - desis
Tawau kepada dua orang yang tengah
membabat semak2 tadi.
- Ah, masakan kita tersesat
ditanah kita sendiri, bapak - berkata
sigadis Sandai kurang percaya.
- Benar! Ini memang tak masuk
akal, Sandoi! - seru Tawau membenarkan
perkataan Sandai. - Tapi hal itu
benar2 terjadi! Kau masih ingat bukan,
bahwa mula-mula kita telah mengikuti
jalan yang pertama kita tempuh, namun
sampai disini jalan itu telah lenyap,
seolah-olah telah ditelan oleh bumi. - Tapi, bapak. Rasanya tak
mungkin jika jalan tersebut musnah
dengan sendirinya. - sahut Sandai
pula. - Memang, tak ada jalan yang
dapat berpindah sendiri,
kecuali....... - Tawau tiba-tiba
berhenti berkata sebab ia menjadi
terkejut sendiri oleh kata-kata yang
baru saja diucapkan itu. Kata-kata
tadi seketika menimbulkan suatu
pikiran Tawau yang cemerlang. Diamdiam ia melanjutkan perkataannya tadi
didalam hati - .....Kecuali jalan itu
dipindahkan oleh tangan manusia! Situa Tawau lalu teringat akan
cara-cara menjebak seseorang yang
tengah berjalan dihutan. Diantaranya
adalah menghapus jejak-jejak sebuah
jalan agar seseorang menjadi tersesat
karenanya" Sekali lagi Tawau mencoba
mengingat-ingat perjalanan mereka yang
mula-mula, ketika mereka berjalan
kearah timur untuk mencari Mahesa
Wulung. Untuk menghilangkan jejakjejak tersebut, seseorang dalam
rombongannya haruslah berjalan
disebelah belakang sendiri.
Tetapi siapakah orangnya yang
mungkin berbuat itu! Kembali situa
Tawau terperanjat dengan hebatnya,
bila tiba-tiba ia teringat seseorang
yang sering berjalan paling akhir dari
rombongannya. Orang tadi adalah
pendekar Seguntur! Narnun Tawau
menjadi ragu-ragu oleh hal itu, sebab
rasanya tak mungkin bila Seguntur mau
berbuat seperti itu. Atau bisa juga
hal tersebut telah dilakukan oleh
seseorang dari luar rombongan.
Selagi kebingungan berpikir yang
begitu sulit, sigadis Sandai lalu
bertanya, menyapa Tawau hingga orang
tua ini geragapan.
- Bapak Tawau. Apakah langkahlangkah yang perlu diambil berikutnya"
- - Kita terus saja menempuh jalan
ini. Tetapi awas kalian berdua mesti
hati-hati dan bersiaga. - ujar Tawau
kepada kedua orang anak buahnya yang
masih sibuk membabat semak2 di sebelah
muka. - Baik, bapak! - sahut mereka
berbareng, dan segera melanjutkan
pekerjaannya. Setapak demi setapak
mereka maju kedepan dengan lambatnya.
Mahesa Wulung yang berada
disebelah tengah buru-buru maju
kedepan untuk menemui situa Tawau.
- Rasanya agak lambat bapak,
perjalanan kita ini - berkata Mahesa
Wulung kepada Tawau yang telah berdiri
di sebelahnya. - Wah, kita menemui kesulitan,
tuan Mahesa Wulung - jawab Tawau
seraya menunjuk kedepan. Kedua saudara kita ini terpaksa membuka
jalan yang baru, sebab jalan yang
semula kita lalui telah hilang! - Eeeh, hilang" - sahut Mahesa
Wulung dengan keheranan.
- Yah, begitulah - situa Tawau
menyambung. - Tapi kita tak perlu
cemas oleh hal itu. Jalan lain masih
banyak untuk kita. - Hari sudah terlalu sore bapak,
dan sebentar lagi akan gelap. - Mahesa
Wulung berkata lagi, - Apakah kita
tidak perlu berkemah jika malam nanti
telah tiba" - Sebaiknya kita terus saja, tuan
- kata situa Tawau - Kampung kita
sudah tidak seberapa lagi jauhnya.
Kalau berjalan terus larut malam nanti
kita akan sampai disana. - Tawau
berhenti sejenak lalu berkata kembali.
- Namun kita mesti harus ber-hatihati, tuan. - - Ooh, gawatkah tempat ini,
bapak" - - Aku kira demikian, tuan. Dan
lagi aku belum pernah menginjak daerah
ini yang bagi kami masih agak asing
juga. - Kalau begitu aku harus
mengingatkan orang-orang ini
lebih dulu, bapak! - Itu lebih baik, tuan. Silakan
memberitahu mereka sementara kami maju
serta membuka jalan. Mahesa Wulung segera kembali
kebelakang serta memberi peringatan
kepada orang-orang, agar berhati-hati
melewati jalan ini, sementara itu
pendekar Seguntur yang berada
dibarisan sebelah belakang tampak
tersenyum mengejek, mencibirkan
bibirnya. Entah mengapa Seguntur
berlaku begitu, agaknya ia menganggap
sepi kata-kata Mahesa Wulung itu.
Kembali rombongan itu maju


Pendekar Naga Geni 10 Maut Di Lembah Sampit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan-lahan, dan mereka berbaris
satu persatu karena sempitnya jalan
darurat yang baru saja mereka buka
tadi. Hutan didaerah inipun tak kalah
hebatnya dengan hutan hutan lainnya.
Memang pulau Borneo yang sebagian
besar tertutup oleh hutan itu, benarbenar membuat orang yang berhati kecil
akan ketakutan menginjakkan kakinya
dipulau ini. Mahesa Wulungpun dapat merasakan
kehebatan hutan ini, dan jika ia
teringat pengalamannya ketika menempuh
hutan Alas Roban dipesisir utara Jawa,
ternyata bukan apa-apa jika
dibandingkan dengan hutan disini. Jauh
lebih hebat dan lebih ngeri hutan yang
kini tengah dilalui ini.
Rombongan orang-orang ini lebih
banyak berdiam diri, serta memasang
kewaspadaan dengan secermatnya.
Senjata siap ditangan dan sewaktuwaktu dapat dipergunakan.
Mereka melihat banyak sulursuluran dan pohon pohon pakis sebagai
semak-semak utama, sedan hawapun
terasa lebih dingin. Bunga-bunga
beraneka warna tampak bermekaran
dengan indahnya dengan menyebarkan
bau-bau harum keudara sore ini.
Mahesa Wulung agak kagum melihat
semacam tumbuh-tumbuhan bunga yang
berdaun panjang-panjang seperti
belalai runcing terhampar ditanah.
Jika dipandang dari atas, agaknya akan
mirip sebuah bintang yang berjarijari, sedang ditengah-tengahnya
terdapat sekuntum bunga yang berwarna
merah kekuningan sangat menarik hati
siapa saja yang melihatnya.
Semakin lama Mahesa Wulung banyak
melihat bunga-bunga berdaun belalai
tadi tumbuh disana-sini. Demikian pula
orang-orang dalam rombongan tadi
merasa takjub melihat bunga-bunga itu.
Mereka merasa seakan-akan tengah
berjalan ditaman bunga yang aneh.
- Kakang Mahesa Wulung. Bunga itu
sangat aneh - ujar Pandan Arum kepada
Mahesa Wulung yang ada didapannya. Belum pernah aku melihatnya. - Tapi aku merasa seolah-olah
bunga-bunga tersebut tengah mengawasi
kita, adi Pandan. - kata Mahesa Wulung. - Ah, engkau ada-ada saja kakang
Wulung. - Dalam pada itu, kedua orang
anak buah Tawau yang berada didepan
dan membuka jalan, juga menjumpai
bunga-bunga berdaun belalai tadi.
Seorang diantaranya cepat-cepat
memungut sebuah bunga tersebut untuk
dibabatnya karena dirasanya
menghalangi jalan yang akan mereka
lalui. Tetapi tiba-tiba orang tadi
menjerit hebat dan mengerikan, sebab
tahu-tahu seluruh daun-daun seperti
belalai tadi dengan cepat terangkat
keatas dan mengurung serta menjepit
tubuhnya dengan duri-durinya yang
menghunjam kedalam daging.
Kejadian tadi membuat orang orang
terkejut dengan hebatnya, sampaisampai mereka terpaku tanpa sempat
berbuat apapun. Dan lebih hebat lagi
bila melihat orang yang terjerat daun
belalai tadi tiba-tiba tak berkutik
lagi dan tubuhnya kelihatan semakin
menyusut dan pucat. Setelah itu tubuh
tersebut terus mengempis hingga
tinggal kerangka bersaput kulit,
sedang daging darahnya lenyap, seperti
disedot oleh daun-daun belalai tadi.
- Tumbuh-tumbuhan pemakan daging!
- desis Mahesa Wulung, sedang Pandan
Arum cepat-cepat mendekap Mahesa
Wulung saking takutnya.
Demikian pula orang-orang dalam
rombongan itu terkejut semuanya dan
tiba-tiba dua orang diantaranya
menjadi panik serta berlarian keluar
dari barisan. Namun tak urung kedua
orang tersebut tanpa sadar telah
menginjak bunga-bunga berbelalai tadi
dan dalam sekejap mata mereka
terkurung oleh daun-daun tersebut
untuk kemudian mengalami nasib yang
sama dengan korban yang pertama.
Tubuh-tubuh mereka
mengering dan kemudian terkulai rontok kebawah.
Pandan Arum menjerit ketakutan.
Ia tak tahan melihat pemandangan yang
mengerikan itu. Begitu pula sigadis
Sandai menjadi ngeri hatinya dan ia
mendekap lengan Daeng Matoa yang
berada dibelakangnya. Pendekar Bugis
inipun dengan sigapnya menyambut
Sandai serta melindunginya, sementara
tangan kanannya telah menggenggam
pedang terhunus, siap menghadapi mara
bahaya. - Tenanglah Sandai! Jangan
panik! - Oleh jeritan2 tadi serta bau
darah yang masih menetes dari duri2
daun belalai yang habis memakan
korbannya, seketika daun2 belalai yang
lainnya bergerak terangkat keatas
bergerayangan turun-naik bagaikan
minta korban pula seperti ketiga
tumbuh-2an bunga pertama yang telah
kenyang melahap daging dan darah
ketiga korbannya.
Sungguh mengerikan! Taman bunga
yang semula tampak indah itu berubah
mengerikan oleh daun2 belalai yang
berjungkit2 naik turun dengan suara
bergesekan serta berdecit seperti
jeritan2 kecil dari mulut-mulut yang
kelaparan meminta makan. Jalan yang
semula mereka lalui tadi juga telah
tertutup oleh daun2 belalai, membuat
seluruh rombongan Tawau dan Mahesa
Wulung ketakutan setengah mati. Akan
matikah seluruh rombongan tadi oleh
tumbuh2an bunga pemakan daging ini"!
Nah, para pembaca akan mendapat
jawabannya kelak.
Sampai disinilah berakhir
ceritera Seri Naga Geni "MAUT DI
LEMBAH SAMPIT" dan segera menyusul
Seri Naga Geni selanjutnya "KUTUKAN
PATUNG INTAN" , yang tak kalah
hebatnya. TAMAT Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Kiri Pedang Kanan 18 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Dendam Jago Kembar 2

Cari Blog Ini