Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 18

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 18


dapatlah Peng-say mengenali mereka adalah kedua orang
bermuka bopeng yang meninggalkan restoran lebih dulu
tadi. "Tidak mungkin akulah yang dikuntit." Demikian pikirnya. Tapi segera teringat olehnya "Ah, sepuluh orang bopeng sembilan diantaranya pasti gasang, jangan2 mereka ini adalah tukang mengganggu perempuan dan sekarang
mereka sedang mengincar Nikoh muda ini?"
Sekarang ia berbalik kuatir bagi keselamatan Nikoh itu.
Setiba di satu kota berikutnya, ia berhenti didepan sebuah hotel, ia turun dari kudanya dan menunggu, kereta tadi juga berhenti di depan hotel, dengan maksud baik ia mendekati pinggir kereta dan membisik ke dalam: "Suhu di dalam kereta ini, malam nanti hendaklah waspada, ada dua orang yang mencurigakan menguntit jejakmu."
Terdengar Nikoh di dalam kereta hanya mendengus saja
dan tidak menggubrisnya.
Karena tidak mendapat tanggapan orang, Peng-say
merasa risi, ia pikir orang kan jagoan, masa perlu kuikut kuatir" Salah sendiri cari penyakit.
Di hotel itu. tengah malam tiba2 didengarnya suara
genteng bergerak, ia tahu datanglah gituan. Cepat ia
melompat bangun dan pasang kuping untuk mendengarkan
apa yang terjadi di kamar sebelah.
Kiranya kamar Nikoh itu kebetulan bersebelahan dengan
dia, Peng-say merasa kuatir, maka sejauh itu belum tidur.
Syukurlah dugaannya tidak meleset, yang di-tunggu2 itu
benar2 datang. Dia hanya berkuatir bagi orang lain, sama sekali ia tidak memikirkan dirinya sendiri terancam bahaya atau tidak, ia hanya memperhatikan keadaan kamar sebelah dan lupa
memperhatikan kamarnya sendiri.
Ketika mendadak didengarnya diluar jendela kamar
sendiri berbunyi "blak-bluk", waktu ia menengadah,
terkejutlah dia. Kiranya kertas jendelanya itu telah
dilubangi orang dengan air ludah, jelas ada orang
bermaksud menjulurkan alat peniup obat bius.
Cepat ia membuka jendela dan melompat keluar, Apa
yang dilihatnya membuat dia merasa malu sendiri. Segera
ia menjinjing kedua maling yang menggeletak tak berkutik didepan jendela itu ke dalam kamar, setelah diperiksa, siapa lagi kalau bukan kedua orang bopeng itu.
"Plak-plok", kontan Peng-say menempeleng kedua orang itu sembari membentak dengan suara tertahan: "Bangsat!
Siapa yang suruh kalian meniup dupa bius ke sini?"
Pada saat itulah tiba2 dari luar jendela setitik sinar
menyambar masuk, cepat Peng-say menangkapnya, Waktu
diperiksa, kiranya sepulung kertas, dibukanya kertas kecil itu, diatasnya tertulis: "Bangsat itu memakai keduk kulit manusia, selanjutnya kau sendiri harus hati2."
Peng-say menyengir sendiri sambil garuk2 kepalanya
yang tidak gatal, terpaksa ia berseru ke kamar sebelah:
"Terima kasih!"
Segera ia menarik kedok salah seorang bopeng itu,
jeritnya tertahan: "He, kau, Ci Ci-hiong!" Waktu kedok seorang lagi juga ditarik. dengan gusar lantas ia menjengek:
"Aha, selamat bertemu. Ji-tayhiap! Sudah hampir tiga tahun kita tidak bertemu setelah berpisah di Kun-giok-ih dahulu!"
Kiranya seorang lagi ialah Ji Ci-eng, murid tertua
Ciamtay Cu-ih, Dahulu Ji Ci-eng dan Ci Ci-hiong ikut Ciamtay Cu-ih
menggeledah rumah pelacuran Kun-giok-ih ketika mereka
hendak mencari Gi-lim. Di rumah pelacuran itulah mereka
menemukan Sau Peng-lam sedang mengeloni perempuan.
Hampir saja Ciamtay Cu-ih membinasakan Peng-lam
apabila waktu itu Peng-say tidak keburu berteriak diluar dan memakinya.
Waktu Ciamtay Cu-ih berhasil menyusul Peng-say, Ji Cieng disuruhnya membunuh Peng-say, tatkala mana ilmu
silat Peng-say sangat rendah, baru saja pedang terhunus
golok Ci-eng sudah mengancam lebih dulu di depan
dadanya dan hampir saja membuat jiwanya melayang.
Kemudian setelah Peng-say membuka samarannya
sebagai si bungkuk cilik sehingga kelihatan wajah aslinya, tentu saja wajah Peng-say itu selalu di-ingat2 oleh Ci-eng dan Ci-hiong. Kebetulan siang tadi mereka melihat anak
muda itu muncul di restoran Bun-hi, cepat Ci-eng berdua
memakai kedoknya dan meninggalkan restoran, diam2
mereka menguntit perjalanan Peng-say dan bermaksud
menawannya dengan obat bius. Tak terduga, usaha mereka
gagal. sebaliknya mereka sendiri ditutuk roboh oleh si
Nikoh. Begitulah, dengan memejamkan mata Ji Ci-eng
menjawab: "Sayang di Kun-giok-ih dahulu gagal kubunuh kau, sekarang aku yang jatuh di tanganmu, nasibku sendiri yang buruk, mau bunuh lekas bunuh, mau sembelih boleh
sembelih. tidak perlu banyak omong."
"Jika kubunuh kau begini saja tentu kau penasaran," kata Peng-say. "Kepandaianku dahulu jauh di bawahmu
sehingga sekali gebrak saja lantas kalah. Sekarang boleh kita bertanding lagi secara terbuka. coba saja siapa yang lebih unggul agar kau tidak mati penasaran."
"Hm, kutahu sekarang kau sangat hebat, sampai-sampai guruku pun rada2 jeri padamu," jengek Ci-eng. "Tapi, kalau kau memang lihay, kenapa tidak coba bertanding dengan
guruku?" "Hah, Ciamray Cu-ih berada dimana" Lekas katakan!"
teriak Peng-say dengan gusar sambil mengertak gigi.
"Beliau berada tidak jauh dari sini dan sedang menunggu kedatangan kami dengan mengundang dirimu," jawab Ci-eng.
"Mengundang diriku dengan cara yang kotor seperti
tadi?" ejek Peng-say dengan menyeringai.
"Baiklah, anggap saja kepandaianmu terlalu lihay, dan anggaplah kami takut kepadamu dan tidak berani
mengundang secara terang2an, terpaksa menggunakan cara
begitu. Nah. puas?" jawab Ci-eng dengan ketus.
"Padahal, hm, tidak perlu kalian 'mengundang' segala,"
jengek Peng-say. "Bangsat tua Ciamtay Cu-ih telah
memperkosa dan membunuh Piaumoayku, betapa dendamku kalau bisa ingin kuganyang dagingnya mentah2.
Kebetulan dia berada disini sekarang, akan kulabrak dia
mati2an." "Ayolah berangkat, hanya bicara saja apa gunanya"!"
kata Ci-eng. Segera Peng-say menyandang kedua bilah pedangnya, ia
jinjing tubuh Ci-eng dan Ci-hiong dengan satu tangan satu orang, dengan petunjuk Ci-eng berlarilah dia keluar kota.
Setiba di suatu perkampungan, dilihatnya di ruangan
tengah sebuah gedung megah lampu menyala terang
benderang, langsung ia masuk ke sana.
Mendengar suara langkah orang, terdengar suara
Ciamtay Cu-ih bertanya dari dalam: "Apakah Ci-eng yang pulang?"
"Suhu!" teriak Ci-eng.
"Bangsat cilik itu berhasil kau tangkap atau tidak?" tanya Ciamtay Cu-ih pula.
"Sudah tertangkap, tapi kedua bangsat muridmu inilah,"
tukas Peng-say.
"Hahaha!" Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa. "Masuklah, silakan masuk! Memang sudah kuduga kedua muridku yang
tak becus itu takkan mampu meng-apa2kan dirimu. Eh,
sehat2 sajakah ayahmu si Sau Ceng-hong?"
Padahal Sau Ceng-hong sudah terbunuh, mustahil dia
tidak tahu. Jelas ucapannya itu hanya untuk menyindir saja.
Peng-say tidak menjadi gusar, sebaliknya malah heran:
"Aneh, darimana bangsat tua ini mengetahui siapa
ayahku?" Tentang rahasia asal-usul Peng-say memang sudah
dibeberkan di Thay-san ketika dia berhadapan dengan
Tionggoan-sam-lo, tapi tidak mungkin tersiar kedunia
Kangouw secepat ini, apalagi Sam-lo tahu dia akan
mendatangi Ma-kau untuk menuntut balas, tentu rahasia
pribadinya itu akan di jaga rapat, anak muridnya pasti
dilarang menyiarkannya.
Selain itu, yang tahu asal-usul Peng-say hanya Soat Koh
saja, apakah mungkin nona itu telah ditawan oleh Ciamtay Cu-ih"
Teringat pada kemungkinan terakhir ini, Peng-say
menjadi rada kuatir.
"Eh, kenapa tidak lekas masuk kemari?" terdengar Ciamtay Cu ih berseru pula. "Disini sudah tersedia arak dan ada juga perempuan cantik, sudah kusiapkan perjamuan
untuk merayakan kedatanganmu ini."
Dia sengaja mengucapkan istilah "perempuan cantik"
dengan lebih keras, hal ini membuat Peng-say tambah
curiga, jangan2 yang dimaksud ialah Soat Koh"
"Ayolah, masuk sini," seru Ciamtay Cu-ih pula. "Kalau takut, boleh lekas pulang saja sana!"
Dengan gregetan mendadak Peng-say membanting Cieng dan Ci-hiong ke tanah, bentaknya: "Bangsat tua, akan kutagih nyawa adik Leng padamu!"
Berbareng itu ia terus melompat masuk kedalam.
Dilihatnya sebuah meja perjamuan sudah disiapkan ditengah2, Ciamtay Cu-ih berduduk sendirian di ujung sana, di sebelahnya ada sebuah kursi besar yang kosong dan tiada tempat duduk ketiga lagi, kursi kosong itu se-akan2
memang sengaja disediakan untuk kedatangan Peng-say.
"Silakan duduk, silakan!" kata Ciamtay Cu-i dengan tertawa sambil menunjuk kursi kosong itu.
Sudah tentu Peng-say tiada minat makan-minum dengan
dia, segera ia melolos kedua pedangnya dan membentak:
"Bangsat tua, tahukah kau adik Leng telah membunuh diri karena telah kau nodai"!"
Ciamtay Cu-ih tertawa, jawabnya: "Di dunia ini penuh perempuan cantik, mati satu masih ada seribu, kenapa mesti dipikir" Ayolah, silakan duduk, marilah kita sembari makan sambil bicara. Habis bicara, kujamin akan mengganti rugi adik Leng itu dengan sepuluh gadis yang lebih cantik."
Peng-say menengadah dan tergelak, teriaknya, "Bangsat tua, membunuh orang harus mengganti nyawa. Sekarang
juga kuhendak ambil kepalamu!"
"Boleh saja, silakan, silakan duduk dulu, segala urusan boleh dibicarakan lagi nanti," ujar Ciamtay Cu-ih.
"Tapi sekarang juga hendak kuambil kepalamu!" bentak Peng-say sambil mengacungkan pedangnya.
"Apakah kau tidak sudi makan minum dulu bersamaku?"
tanya Ciamtay Cu-ih,
"Aku tidak berminat!" jawab Peng-say ketus
"Lalu apakah berminat mendengarkan ceritaku cara
bagaimana kutahu Sau Ceng-hong adalah ayah-mu?"
Hal ini memang sangat ingin diketahuinya, maka Pengsay bertanya: "Siapa yang memberitahukannya padamu?"
"Seorang perempuan!" jawab Ciamtay Cu-ih dengan lagak misterius.
"Perempuan she Soat?" Peng-say menegas dengan agak tegang.
"Apakah Soat Koh yang kau maksudkan?" tanya
Ciamtay Cu-ih Tangan Peng-say sudah basah keringat dingin, dengan
tersendat ia bertanya: "Di..... di mana dia sekarang?"
"Dari mana kutahu?" jawab Ciamtay Cu-ih dengan mendelik. "Sampai saat ini belum lagi kutemui dia untuk menuntut balas sakit hati anakku yang dibunuhnya itu."
Diam2 Peng-say menghela napas lega, tanyanya
kemudian dengan heran: "Habis siapa yang memberitahukan padamu kalau bukan Soat Koh?"
"Duduk, ayolah duduk dulu, sembari makan sambil
mengobrol, kalau berminat boleh ikut makan jika takut
keracunan boleh tidak makan, setelah makan kenyang dan
puas mengobrol barulah kita berkelahi dengan baik2, bila mampu boleh kau ambil kepalaku ini."
"Baik, akan kutunggu kau," kata Peng-say sembari berduduk dikursi kosong itu.
Melihat anak muda itu sudah berduduk, dengan tertawa
barulah Ciamtay Cu-ih berkata: "Nah begini barulah enak.
Kau muncul lagi di dunia Kangouw, tentunya Siang-liukiam-hoat sudah lengkap kau pelajari" Bicara terus terang, Siang-liu-kiam-hoat itu memang tak dapat kutandingi, kalau tekadmu sudah bulat hendak membalaskan sakit hati adik
Leng-mu, rasanya aku pun tidak sanggup melawan kau,
Harap kau beri kesempatan padaku agar makan kenyang
lebih dulu, andaikan sebentar lagi aku harus mati di
tanganmu, di akhirat nanti akupun tidak akan menjadi
setan kelaparan."
"Boleh kau makan sekenyangmu," jengek Peng-say.
"Kapan kau selesai makan, saat itu pula kita mengadu nyawa."
Segera Ciamtay Cu-ih mengangkat sumpit didepannya,
tangan yang lain menunjuk santapan yang tersedia di atas meja, katanya: "Ayolah silakan makan, jangan sungkan2."
"Hm, aku tidak makan barang musuh!" jengek Peng-say ketus.
"Tampaknya kemenangan sudah pasti berada di
tanganmu sehingga boleh kau tidak makan, tapi aku adalah tuan rumahnya, sopan santun tidak boleh dikesampingkan.
mau makan atau tidak terserah padamu. yang penting
kewajiban sebagai tuan rumah sudah kulaksanakan," habis itu mendadak ia bertepuk tangan sambil memanggil:
"Ayolah kemari. tuangkan arak bagi Sau-kongcu!"
Terdengar suara gemerincing sebangsa perhiasan gelang
dan lain2 serta suara langkah kaki yang pelahan sedang
mendatang. Dengan suara tertahan Ciamtay Cu-ih berbisik kepada
Peng-say: "Aku baru saja membeli dua selir cantik, kukuatir aku tidak sanggup satu lawan dua, jika sekiranya adik
merasa cocok, boleh silakan kau ambil-alih mereka. Kan
sudah kunodai Piaumoaymu, jadi tidak perlu kita hitung
untung ruginya. Haha, mungkin ini namanya timbal balik.
Sayang isteri kawinku sudah meninggal, kalau tidak-bila
kau ambil-alih sekalian barulah asooi!"
Habis berkata ia menengadah dan ter-bahak2.
"Binatang!" damperat Peng-say.
Ciamtay Cu-ih tidak menghiraukan, katanya pula: "Tapi umpama isteri kawinku itu masih hidup saat ini tentunya
juga sudah tante2, kukira juga tidak Cocok dengan selera anak muda seperti kau ini. Justeru kedua selirku yang baru ini, kutanggung kau akan suka salah satu di antaranya."
Tengah bicara, terendus bau harum menusuk hidung,
suara seorang perempuan berkata: "Loya-Ho-hoa akan
melayanimu!" " Dari suaranya yang genit dan di-bikin2
itu, jelas seorang perempuan yang jalang.
Ciamtay Cu-ih memberi tanda dan berkata: ' Kau
melayani Sau-kongcu saja, biar Sisi yang menuangkan arak bagiku."
Perempuan itu mendekati Peng-say dan tertawa,
katanya: "Kongcu, hamba menuangi arak bagimu!"
Namun Peng-say duduk diam saja, matanya memandang
hidung, hidung menghadap ulu hati, seperti orang
bersemadi. Kedatangan perempuan itu sama sekali tak
dipandangnya. Namun bau harum yang menyebar dari
tubuh orang mau-tak-mau terendus juga olehnya. ia
berkerut kening.
Perempuan itu masih tidak tahu diri, diangkatnya poci
arak dan menempelkan tubuhnya, seperti tidak sengaja ia
gosok2kan dadanya di bahu Peng-say.
Anak muda itu menjadi gusar, bentaknya tertahan:
"Hendaklah kau tahu diri! "
Mungkin terkejut, "brak", poci arak antik yang dipegangnya itu jatuh dan pecah berantakan.
"Ho-hoa," jengek Ciamtay Cu-ih, "menuang arak saja tidak becus, untuk apa kedua tanganmu itu?"
Dengan ketakutan Ho-hoa lantas berlutut, katanya
dengan suara gemetar: "Hamba kurang.....kurang hati2, mohon......mohon ampun. Loya!"
Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, hanya berulang2 mendengus.
Ho-hoa mengalihkan permohonannya kepada Peng-say:
"Tolong Kongcu, tolong jiwaku, Kongcu.."
Peng-say ingin tahu sandiwara apa yang akan mereka
mainkan, maka ia tidak menggubris, melirik saja tidak.
Ho-hoa mengesot ke samping kaki Peng-say terus
menyembah ber-ulang2 sambil memohon: "Sudilah Kongcu memintakan ampun bagiku, kalau,..-..kalau tidak, kedua
tangan hamba ini tentu......tentu tamatlah, . . .,"
Karena yakin perempuan ini sedang main sandiwara
belaka, maka diam2 Peng-say ber-jaga2 sikapnya tetap
dingin saja tanpa menghiraukan ucapan orang.
"Sisi." kata Ciamtay Cu-ih kemudian kepada perempuan satunya lagi, "kau saja yang menuangkan arak bagi Sau-kongcu!"
Sisi lantas mendekati Peng-say, tapi anak muda itu tetap duduk diam seperti seorang pertapa sedang bersemadi.
Sopan juga Sisi itu, ia angkat poci arak yang lain dan
menuangi cawan arak di depan Peng-say Mungkin kuatir
menghancurkan poci seperti Ho-hoa, tangan Sisi tampak
gemetar, lantaran itulah cara menuangnya jadi rada gugup, sebagian arak tercecer di atas meja.
Meski pandangan Peng-say lurus ke bawah, tapi gerakgerik Sisi yang menuang arak itu dapat dilihatnya, ia
merasa kegugupan Sisi itu agaknya tidak di-buat2, mau-tak-mau ia merasa kasihan padanya. Pikirnya: "Ciamtay Cu-ih yang tua bangka ini berhati keji dan buas seperti binatang, mana dia tahu mengasihi perempuan cantik segala, tentu
dia pandang selirnya sebagai hewan sehingga mereka sudah terbiasa takut padanya. Mungkin Ho-hoa bukan lagi main
sandiwara, kalau sebentar ke dua tangannya benar2
dipotong oleh bangsat tua ini, hal ini tidak boleh terjadi di depanku."
Didengarnya Ciamtay Cu-ih telah mendengus pula dan
berkata; "Sisi, cara bagaimana kau menuang arak"
Pikiranmu me-layang2 kelain tempat, apa artinya kau hidup di dunia ini?"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tua bangka, jangan kau main kuasa secara se-wenang2
di depanku," tiba2 Peng say menjengek.
Ia menyangka Sisi juga akan berlutut untuk minta ampun
kepada Ciamtay Cu-ih, maka ia berpaling dan berkata
padanya: "Jangan takut ....' mendadak suaranya terputus, sambungnya dengan terkejut: "He, kau ....kau Liu Ji-si!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 33 Memang tidak salah, Sisi yang dimaksudkan ini bukan
lain ialah Liu Ji-si, itu perempuan "P" yang cuma menjual
seni tanpa menjual tubuh di rumah pelacuran "Kun-hong-ih" di Song-toh dahulu.
Air mata tampak meleleh di pipinya dengan kepala
tertunduk, tampaknya tidak kepalang menyesalnya dan
malu bertemu dengan Sau Peng-say.
Mendadak bertemu dengan kenalan lama, melengak juga
Peng-say sehingga lupa ber-jaga2 terhadap Ho-hoa yang
berjengkok di sampingnya. Selagi ia hendak tanya cara
bagaimana sampai Liu Ji-si dijadikan selir si bangsat tua Ciamtay Cu-ih. mendadak tangan Ho-hoa meraba sesuatu
di bawah kursinya, seketika terdengar bunyi pegas. Tentu saja Peng-say merasakan gelagat jelek, namun sudah
terlambat, tahu2 kedua tangan dan kedua kakinya telah
terbelenggu oleh alat rahasia yang mendadak jeplak keluar dari kursi.
Sebelumnya Lui Ji-ji tidak tahu apa2, karena takut
kepada Ciamtay Cu-ih, meski waktu keluar sudah
dilihatnya Peng-say yang berduduk di situ, namun dia tidak berani menyapa. Kini melihat anak muda itu terperangkap, la menjadi kaget dan kuatir, cepat ia berjongkok dan me-raba2 di bawah kursi, maksudnya hendak mencmukan
tombol untuk membuka alat rahasianya.
Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, katanya: "Kun sian-ih (kursi pengikat dewa) dari Hong-hoa-wan selain Wancu
sendiri tiada orang lain yang mampu membukanya."
Dia melangkah maju, sekali cengkeram seperti elang
mencengkeram anak ayam, Liu Ji-si diangkatnya ke
samping kursinya dan dibanting ke lantai sambil
membentak: "Layani tuanmu dengan baik2, jangan cari penyakit sendiri!"
Tidak kepalang gusar Peng-say, ia meronta sekuatnya,
namun borgol di kaki dan tangannya tidak rusak sedikitpun,
sebaliknya kursi besar itu lantas terguling karena
rontakannya itu.
"Bangun kau," kata Ciamtay Cu-ih kepada Ho-hoa,
"tidak kecil jasamu, ambil gelang kemala itu!"
Ho-hoa menjura dan mengucapkan terima kasih, lalu
berbangkit, dengan genit ia melirik Peng-say sekejap, lalu dengan mengegol pinggul ia melangkah ke ruang dalam.
Peng-say mengertak gigi, tak terkatakan gemesnya
terhadap perempuan rendah itu.
"Ci-ho, Ci-kang, bangunkan Sau-kongcu!" seru Ciamtay Cu-ih,
Dari dalam segera berlari keluar dua orang muridnya,
kursi itu cukup besar, ditambah bobot Peng-say, beratnya cukup membuat kedua orang itu menggeh2, dengan susah
payah barulah mereka menegakkan kursi bersama Peng-say.
Sesudah kedua muridnya mengundurkan diri. dengan
tertawa Ciamtay Cu-ih berkata: "Karena kau tidak sudi makan, maka boleh kau tunggu saja dengan sabar, kalau
ingin hidup, segalanya harus turut kepada perintahku."
Melihat Liu Ji-si berada di bawah ancaman Ciamtay Cuih, tahulah Peng-say maksud tujuan orang. Diam2 iapun
sudah siap dengan akalnya untuk menghadapi lawan. Ia
lantas duduk tenang dan tidak meronta percuma lagi.
Ciamtay Ca-ih lantas membentak Liu Ji-si yang
menggeletak di lantai itu: "Bangun dan tuangkan arak, perempuan hina! Tidak perlu kau pura2 mampus di situ!"
Sekujur badan Liu Ji-si terasa sakit pegal. dengan air
mata berlinang ia merangkak bangun.
Kontan Ciamtay Cu-ih menempelengnya sambil membentak: "Tuangkan arak,"
Pipi Liu Ji-si yang halus itu seketika timbul lima jalur merah, darahpun merembes keluar dari ujung mulutnya,
dengan menangis ia mangangkat poci arak. Tapi lantaran
masih kesakitan oleh bantingan Ciamtay Cu-ih tadi, ia tidak kuat memegangi poci arak, baru saja arak tertuang, segera berceceran di atas meja.
Dengan marah Ciamtay Cu-ih rampas poci itu. kakinya
mendepak perut Liu Ji-si dan membuatnya jatuh terguling-.
"Bangun!" bentak Ciamtay Cu-ih sambil menggabrukkan poci arak di atas meja. "Tuang lagi, awas, tercecer setetes saja segera kubikin kau rasakan lagi tubuh digeragoti
berlaksa semut."
Kiranya Liu Ji-si pernah ditutuk bagian Thian-tut-hiat,
akibatnya ia merasa didalam tubuh seperti dirayapi berlaksa ekor semut, sungguh lebih menderita daripada disiksa
dengan alat macam apapun.
Ciamtay Cu-ih sangat kejam, bisa bicara berani berbuat,
Liu Ji-si menjadi takut akan disiksa lagi, maka sekuatnya ia merangkak bangun dan menuang arak pula, sedapatnya ia
menuang dengan hati2 dan dapatlah diisi secawan penuh.
Ciamtay Cu-ih mengangkat cawan dan menenggaknya
habis, ia menyumpit sayur, sembari makan sambil bicara:
"Perempuan hina ini kubeli dengan seribu tahil perak, kukira dia akan meladeni diriku dengan baik, siapa tahu, neneknya, sepanjang hari hanya murung melulu, kerja tidak beres, sialan! Bila teringat kepada seribu tahil perak
terbuang percuma, aku menjadi keki. Makanya kuharap
saudara Sau maklum."
"Maklum atau tidak, yang pasti orang sudah kau beli, tentu boleh kau perlakukan sesukamu," jengek Peng-say.
Mendengar ucapan anak muda itu, Liu Ji-si merasa lebih
sakit daripada dicambuki, air matanya berderai, ia pikir anak muda itu tidak bersimpatik lagi padaku, jangan2 dia mengira aku ikut bantu si tua bangka ini mencelakai dia.
"Keparat, menangis lagi!" damperat Ciamtay Cu-ih, Sekali raih, ia jambak rambut Liu Ji-si terus disengkelit ke lantai dan berdarahlah kepala Liu Ji-si.
Hampir meledak dada Peng-say menyaksikan kekejaman
Ciamtay Cu-ih itu, namun sedapatnya ia bersabar, ia
berlagak seperti tidak ambil pusing.
Rupanya Ciamtay Cu-ih tidak percaya anak muda itu
berhati baja, segera ia angkat Liu Ji-si. serunya dengan bergelak tertawa: "Lepaskan pakaianmu hingga telanjang, iringi tuanmu minum arak, jika dapat kau bikin gembira
hatiku, mungkin akan kuampuni jiwamu!"
Rambut Liu Ji-si yang panjang itu terurai, ditambah lagi mukanya penuh darah, keadaannya jadi mirip setan
gentayangan. Keras kepala juga dia, ia tetap berdiri tegak dan tidak mau buka pakaian.
"Eh, apakah kau malu?" teriak Ciamtay Cu-ih.
"Neneknya, pakai berlagak suci segala, memangnya belum pernah kau buka pakaian di depanku, pakai malu apa" Nah
kuberi waktu sepuluh kali, bila sepuluh kali kuhitung habis dan kau tetap ttdak buka baju, rasakan nanti!" Lalu ia mulai menghitung: "Satu.....dua......tiga......empat......"
Liu Ji-si tahu bila tidak buka pakaian, tentu tak terhindar dari siksaan kejam lagi, akan tetapi di hadapan Sau Peng-say, betapapun ia tidak mau telanjang sehingga akan
dipandang hina oleh anak muda itu.
"Lima......enam....."
Ciamtay Cu-ih masih terus berhitung, "delapan.....sembilan. . . ."
Sampai disini mendadak ia tidak melanjutkan lagi, tiba2
ia bergelak tertawa: "Haha, hebat, sungguh pemberani! Tapi aku pun tidak menyalahkan kau. Di depan tamu, dengan
sendirinya tak dapat dipersamakan bila berada berduaan
denganku. Baiklah, tidak jadi telanjang, baik, baik!"
Nadanya se-olah2 dia dapat memaklumi isi hati Liu Ji-si.
Akan tetapi mendadak ia menarik muka pula dan berkata:
"Di depan tamuku kau berani membangkang perintahku
dan membikin malu padaku, jika tidak kuhajar adat
padamu kan dapat ditertawakan Sau-lote. Boleh begini saja, berlututlah kau di depan Sau-lote dan minta maaf
kepadanya, Asalkan kau menurut, segera kuampuni kau."
Selagi Liu Ji-si merasa ragu2, Ciamtay Cu-ih menjadi
gusar, se-konyong2 sepasang sumpitnya disambitkan dan
tepat mengenai dengkul Liu Ji-si, kontan perempuan itu
bertekuk lutut.
Menyusul Ciamtay Cu-ih lantas melompat maju,
dijambaknya pula rambut Liu Ji-si terus ditekan ke lantai, teriaknya dengan gusar: "Ayo omong, ayo bicara!"
Tapi aneh, Liu Ji-si justeru tetap tutup mulut tanpa
gentar. Diam2 Peng-say menghela napas, pikirnya: "Mungkin
dia menyesal karena aku tidak menggubrisnya, maka
matipun dia tidak mau bicara. Dia tidak tahu aku sengaja berlagak ketus padanya agar dia tidak diperalat oleh si
bangsat tua ini untuk memeras diriku. Padahal kalau aku
dapat mengadu jiwa dengan bangsat tua itu, mana mungkin
kutinggal diam dan menyaksikan dia tersiksa di depanku?"
Didengarnya Ciamtay Cu-ih lagi membentak "Perempuan hina, satu patah kata saja masa kau tidak mau bicara" Jika tidak kuhajar adat padamu selanjutnya tentu
aku akan kau remehkan!" " Habis bicara, segera ia angkat tubuh Liu Ji-si.
Tiba2 Peng-say bersuara: "Kutahu kau pintar menghajar kaum hambamu, kan tidak perlu kau pamerkan padaku"!"
Diam2 Ciamtay Cu-ih merasa senang, ia kira hati Pengsay sudah mulai goyah. Ia berlagak tambah gusar, segera ia tutuk Thian-tut-hiat di tubuh Liu Ji-si, seketika perempuan itu ber-geliat2, waktu Ciamtay Cu-ih membantingnya
kelantai segera Liu Ji-si ber-guling2 seperti orang sekarat.
"Kejam amat, bangsat tua!" damperat Peng-say.
Ciamtay Cu-ih pura2 tidak dengar. sama sekali ia tidak
pedulikan penderitaan Liu Ji-si itu, ia berteriak: "Ayolah bicara, kalau tidak tahan, lekas bicaralah!"
Liu Ji-si benar2 tidak tahan lagi, ia membuka mulut, tapi yang keluar hanya suara "ah-uh-ah-uh" saja.
Betapapun tersiksanya semula Liu Ji-si tetap tutup mulut rapat2, sekarang ia membuka mulut sehingga dapat dilihat oleh Peng-say, seketika anak muda itu merinding.
"Oya, kulupa bahwa sebenarnya kau memang tidak
dapat bicara, ai, pantas!" kata Ciamtay Cu-ih. Lalu ia mendekati nona itu, ia depak Hiat-to yang ditutuknya tadi dan berucap pula: "Kenapa tidak sejak tadi2 kau buka mulut, mestinya kau tidak perlu menderita begini." " Ia bicara se-olah2 ia benar2 lupa pada perbuatannya sendiri.
Dengan gusar Peng-say lantas membentak: "Bangsat tua, ada permusuhan apa antara dia dengan kau" mengapa kau
potong lidahnya"!"
Dengan cengar-cengir Ciamtay Cu-ih
menjawab: "Agaknya Sau-lote tidak tahu, perempuan hina ini sudah punya seorang kekasih, meski aku telah membelinya
dengan seribu tahil perak dari induk-semangnya. tapi
matipun dia tidak mau menuruti kehendakku. Katanya dia
selama hidup mau menjadi kerbau atau kuda, hendak
memukul dan membunuhnya juga dia bersedia, hanya satu
saja permintaannya, yaitu mempertahankan kesuciannya.
Neneknya, coba kau pikir, kubeli dia, kalau tidak untuk
menemani aku tidur apa gunanya kubeli?"
Setelah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula:
"Namun aku pun bukan orang baik, dia tidak menurut, terpaksa kumain paksa. Tapi dia memang bandel dan tetap
ingin mempertahankan kesuciannya, ia hendak mengertak
lidah sendiri untuk membunuh diri. Untung keburu
diketahui dan cepat kututuk Hiat-tonya sehingga dia gagal membunuh diri. Akan tetapi aku menjadi kuatir dia akan
mencari mati lagi, bisa2 seribu tahil perak akan terbang tanpa hasil apa2, maka sekalian kupotong saja lidahnya,
soal dia akan bunuh diri dengan cara lain tentu masih dapat kuawasi lebih ketat."
Tidak kepalang rasa murka Peng-say, tapi dengan
hambar ia lantas berkata: "Aku menjadi kasihan padanya, begini saja, kubayar kau seribu tahil perak dan berikan
kebebasan padanya, bagaimana?"
"Wah, tampaknya tuan muda dari Soh-hok-han
mendadak menaruh belas kasihan kepada perempuan ini."
seru Ciamjay Cu-ih dengan tertawa. "Baiklah, kuterima, rasanya aku pun sudah bosan, kalau setiap hari harus
menyaksikan wajahnya yang masam melulu mungkin
dadaku bisa meledak. Kalau dapat kuterima kembali harga
pokok sudah lumayanlah."
"Padaku ada Ginbio (surat uang, seperti cek jaman
sekarang) bernilai seribu tahil lebih, boleh kau ambil saja,"
kata Peng-say. "Nanti dulu, tidak perlu buru2," ujar Ciamtay Cu-ih.
"Kau sudah kutawan, masa kukuatir kau akan lari" Apa yang kukatakan tentu kulaksanakan, akan kulepaskan dia
dihadapanmu agar kelak kau tidak menuduh aku
menyembunyikan dia lagi setelah menerima pembayaran
darimu." Lalu ia berpaling kepada Liu Ji-si dan berkata: "Nah, selanjutnya dapatlah kau lakukan segala apa yang menjadi cita2mu, lekaslah kau mengaturkan terima kasih kepada
Sau-kongcu!"
Liu Ji-si mengira Cirmtay Cu-ih benar2 akan memberi
kebebasan padanya, biarpun sekarang badannya tidak
bersih lagi, tapi bisa terlepas dari cengkeraman iblis, jelas semua ini adalah pertolongan Sau Peng-say, segera ia
berlutut dan hendak menyembah.
"Sudahlah, pergi sajalah kau, tidak perlu banyak adat,"
kata Peng-say cepat.
Liu Ji-si berbangkit, dipandangnya anak muda itu
sekejap dengan mengembeng air mata, lalu putar tubuh
hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu," kata Ciamtay Cu-ih tiba2, "dahulu kau selalu minta agar aku mengampuni kau agar kau dapat
menjadi Nikoh, meski sekarang Sau-kongcu sudah menebus
tubuhmu, kau pun tetap menjadi Nikoh. Kau tahu,
perempuan yang sudah pernah kupakai, selama aku masih
hidup, selama itu pula dia tidak boleh disentuh lelaki kedua.
"Sekarang atas permintaan Sau-kongcu kuterima seribu tahil perak dan kubebaskan kau, tapi hanya ada satu jalan bagimu, yaitu kau harus menjadi Nikoh. Kalau tidak. lebih baik seribu tahil perak ini kukembalikan kepada Sau-kongcu. Nah, bagaimana, mau menjadi Nikoh atau tidak?"
Liu Ji-si pikir selama hidupnya jelas tidak mungkin
menikah lagi, kalau diharuskan menjadi Nikoh kan
kebetulan malah" karena itulah ia lantas mengangguk tanda mau.
"Bagus," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Nah, kesini, akan kucukur rambutmu agar ku-tahu pasti kau telah menjadi Nikoh."
Tanpa menghiraukan kehendak Liu Ji-si lagi, segera ia
menariknya ke sampingnya sambil berseru: "Ci-ho, ambil pisau cukur!"
Ber-gegas2 Ci-ho berlari masuk dan menjawab: "Suhu, disini tidak ada tukang cukur, darimana ada pisau cukur?"
"Tidak ada kan bisa beli. ayolah lekas pergi!" teriak Ciamtay Cu-ih.
Ci-ho merasa serba susah, katanya; "Tengah malam
buta, toko sudah tutup pintu semua......"
Seketika Ciamtay Cu-ih mendelik, "Goblok, tak berguna, lekas enyah!"
Dengan takut Ci-ho lantas mengundurkan diri.
Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, tanpa pisau cukur juga dapat kucukur rambutmu"!"
Mendadak ia melolos golok sabitnya, "sret", secomot rambut Lin Ji-si yang panjang segera ditabasnya putus.
Liu Ji-si berduduk dilantai dengan gemetar.
"Jangan bergerak, beberapa kali tabas saja tentu
kepalamu akan kelimis!" bentak lagi Ciamtay Cu-ih sambil mengerjakan goloknya.
Sinar golok terus berkelebat di atas kepala Liu Ji-si,
keruan nona itu ketakutan, Peng-say juga kebat-kebit, kuatir
kalau2 golok Ciamtay Cu-ih itu kurang hati2 dan buah
kepala Liu Ji-si bisa terbelah.
Hanya beberapa kali tabas, rambut Liu Ji-si sudah tinggal satu-dua senti saja panjangnya, tiba2 Ciamtay Cu-ih tidak menabas lagi, ia menggeleng dan bergumam sendiri: "Wah, tidak, tidak boleh jadi. Kalau cuma dicukur saja tentu akan tumbuh lagi. Bila kembali seperti biasa, perempuan ini tentu akan mencari kekasihnya yang lama dan aku pun tak dapat
berbuat apa2. Jalan paling baik adalah cabut saja sampai akar2nya, dengan demikian tentu tidak dapat tumbuh lagi
dan perempuan hina ini-pun pasti akan menjadi Nikoh
untuk selamanya."
Baru habis ucapannya, dengan lengan kiri ia memiting
Liu Ji-si, dengan dua jari tangan kanan ia terus menarik beratus utas rambut yang sudah pendek itu, sekali betot, kontan rambut berikut kulit kepala lantas terkelupas.
Keruan tidak kepalang sakit Liu Ji-si, ia merintih
tertahan. Ber-ulang2 Ciamtay Cu-ih mencabut lagi dengan
cara yang sama sehingga kulit kepala Liu Ji-si terkelupas disana sini. Meski sekuatnya ia bertahan, tidak urung ia merintih juga dan badan menggelepar.
Dengan kejam Ciamtay Cu-ih masih terus mencabuti
rambut Liu Ji-si. Padahal rambut tidak terhitung
banyaknya, dicabuti cara begitu, setengah jam juga belum rampung. Dan bila habis dicabut rambutnya, andaikan Liu
Ji-si tidak mati kesakitan tentu juga akan mati kehabisan darah.
Tidak kepalang murka Peng-say, ia mengerahkan
segenap tenaga dengan maksud menghancurkan kursi itu,
akan tetapi kursi itu ternyata dibuat dari kerangka besi, kaki kursi sampai ambles ke dalam ubin, namun kursinya tidak
rusak sedikitpun
Ciamtay Cu-ih tidak memandang Peng-say, ia berkata
sambil terbahak: "Kun-sian-ih ini adalah pusaka Hong-hoa-wan kami, entah betapa banyak jago dan tokoh yang telah
menjadi korban kursi ajaib ini. Ingin kau rusak" Huh, hanya sedikit Lwekangmu saja masa mampu?"
Mendadak Peng-say menghela napas panjang, katanya:
"Bangsat tua, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?"
"Siang liu-kiam-boh!" jawab Ciamtay Cu-ih.
"Sediakan kertas dan pencil!" kata Peng-say.
Baru saja dia bersuara, segera Ci-ho mengiakan didalam,
hanya sekejap saja ia sudah berlari keluar dengan membawa alat2 tulis yang diperlukan dan ditaruh di atas meja, lalu ia mengundurkan diri lagi
Mendadak Ciamtay Cu-ih mengentakkan Liu Ji-si
hingga jatuh terjungkal, katanya dengan tertawa: "Jika sejak tadi kau mau begini kan gendakmu tidak perlu menderita?"
"Gendak apa katamu" Hendaklah mulutmu di-sikat
bersih, bangsat tua!"! damperat Peng-say dengan gusar.
Ciamtay Cu-ih cengar-cengir, katanya: "Waktu kubeli perempuan ini, dia masih barang orisinil. Ya, memang


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akulah yang salah omong, cuma meski kalian tidak ada
hubungan cinta, sedikitnya ada hubungan persahabatan,
tentunya tak dapat kau-saksikan dia mati begitu saja.
Memang sudah kuperhitungkan selama perempuan ini
berada padaku, pada suatu hari tenlu kau akan menyerah
padaku. Benar juga, haha, sikapmu tadi yang ketus itu
hampir saja membuatku putus asa."
"Jadi dari nona Liu kau tahu kubelajar Siang-liu-kiam dengan Soat Koh?" tanya Peng-say.
"Memang betul." jawab Ciamtay Cu-ih. "Kutahu kau dan Soat Koh sama2 menguasai setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, dengan sendirinya tidak kudiamkan. Sayangnya
dunia sangat luas, Soat Koh sukar kutemukan, terpaksa
padamu kucurahkan harapanku untuk mendapatkan Kiamboh itu. "Waktu kau pergi bersama Sau Ceng-hong, kujeri
padanya, dengan sendirinya tak dapat kurintangi kau,
terpaksa hanya mengirim orang mengawasi kau. kusangka
sedikitnya akan beberapa tahun kau tinggal di Soh-hok-han, siapa duga cuma sebulan saja kau lantas meninggalkan
sana. Waktu itu mestinya dapat kutangkap kau, tapi lantas kupikir tiada gunanya melulu menawan kau saja,
memancing ikan besar harus mengulur tali pancing yang
panjang, asalkan kukuntit kau, akhirnya pasti juga akan
kutemukan Soat Koh. Benar juga, sampai di Liong-bun-tin, demi melihat Sau Peng-lam dibawa pergi oleh Thio Yan-coan, kau lantas bertekad akan mempelajari Siang-liu-kiam dengan lengkap agar dapat kau tolong Sau Peng-lam dari
tangan Thio Yan-coan. Kau pakai semboyan menjual seni
mencari isteri, kau jelajahi berbagai propinsi, tentu saja kami ikut capai mengintil kau kemana pun kau pergi.
Syukurlah jerih-payahmu tidak sia2, akhirnya dapat kau
temukan Soat Koh. Tapi lantaran muridku Ong Ci-kang
yang kutugaskan mengawasi kau ikut berpengaruh oleh
suara serulingmu sehingga lupa daratan, kemana perginya
dirimu ternyata tidak diketahuinya. Salahmu sendiri, kau pamer kepandaianmu lagi di Kun-hong-ih, dari tamu yang
habis main di rumah pelacuran itu kudengar hal itu. Segera kami menyusul ke Kun-hong-ih, tapi, keparat, terlambat
selangkah, kau dan Soat Koh sudah pergi. Cepat kusuruh
orang menyusul kalian, aku sendiri tinggal di Kun-hong-ih, kupanggil perempuan hina ini untuk melayani diriku,
kutanyai dia apa yang terjadi selama kau berada di Kunhong-ih, maksudku ingin tahu kemana kalian pergi. Tak
tersangka, dasar perempuan hina, dia justeru membela kau, mati pun dia tidak mau memberi keterangan."
Peng-say memandang Liu Ji-si sekejap, katanya
kemudian: "Kemana Soat Koh hendak membawaku pergi,
aku sendiri pun tidak tahu, apalagi dia?"
"Kalau dia tidak tahu kemana kalian pergi tidaklah
menjadi soal, tapi apa maksud kedatanganmu di Kun-hongih masakah iapun tidak tahu" Jelas dia sengaja hendak
melindungi kau," kata Ciamtay Cu-ih dengan gemas.
"Sudah tentu waktu itu aku tidak tahu untuk apa kau datang ke Kun-hong-ih, kutanyai dia apakah disitu kau
menemui seorang perempuan bernama Soat Koh, tapi
perempuan hina ini matipun tidak mau buka mulut.
terpaksa kukerjai dia."
Peng-say menghela napas, katanya terhadap Liu Ji-si;
"Nona Liu, akulah yang bikin susah padamu, hendaklah maafkan sikapku yang dingin tadi."
Muka Liu-Ji-si penuh keringat dan air mata, sama sekali
tidak diusapnya, ia hanya menggeleng saja. Ia ingin
meminta maaf pula, sebab akhirnya toh ia menceritakan
apa yang ditanya bangsat tua itu, akibatnya sekarang anak muda itu tertawan. Mestinya ia ingin mencegah Peng-say
menuliskan Siang-liu-kiam-boh, cuma sayang, ia tidak
dapat bicara lagi.
Ciamtay Cu-ih berkata pula: "Kupikir perempuan hina ini tentu masih merahasiakan sesuatu,
maka kucoba geledah kamarnya. Haha, banyak juga tabungannya,
kutemukan sebuah peti uang di bawah tempat tidurnya.
Dengan uang itulah kugunakan seribu tahil perak untuk
menebus perempuan hina ini dari induk-semangnya dan
kujadikan selir."
"Hm, tadinya kukira dengan uangmu sendiri kau beli
nona Liu, tak tahunya kau telah menjadi perampok, dengan uang tabungan nona Liu sendiri kau gunakan untuk
menebus dia, sungguh kejam kau."
"Kalau perampok benar, untuk apa kubeli dia dengan
seribu tahil perak kepada induk semangnya" Aku memang
bukan orang bajik. terserah penilaianmu atas diriku, demi menemukan dirimu, apa salahnya kugunakan segala akal.
Keparat, larimu ternyata sangat cepat, anak muridku yang ku-kirim menyusul kau kehilangan jejakmu."
Peng-say tidak menggubrisnya, ia tahu sebabnya orang
tidak dapat menemukan jejaknya adalah karena dia terluka dalam sehabis meniup lagu Siau-go-yan-he dan mondok di
tengah jalan, dengan sendirinya murid Ciamtay Cu-ih tak
dapat menemukannya.
"Karena tak dapat menemukan kau, rasa gusarku
kulampiaskan atas diri perempuan hina ini. kupaksa dia
mengaku apa tujuanmu pergi bersama Soat Koh, kiranya
maksudmu ingin belajar Siang liu-kiam secara lengkap. Aku menjadi ngeri membayangkan hanya dalam lima jurus saja
aku telah dikalahkan Leng-hiang-caycu, aku menjadi kuatir bilamana kelak kau berhasil menguasai ilmu pedangnya
yang sakti itu, pasti aku bukan tandinganmu. Terpaksa
kusuruh ambil kursi ajaib ini dari laut timur sana dan kuatur segala sesuatu untuk menanti kemunculanmu," Bicara
sampai di sini Ciamtay Cu-ih ter-bahak2 gembira, lalu
menyambung: "Dan akhirnya terkabul juga cita2ku. Nah, tulislah sekarang!"
Peng-say tidak bersuara melainkan memandang tangannya yang masih terbelenggu.
Ciamtay Cu-ih tahu maksudnya, katanya: "Jangan
kuatir, sudah tentu akan kulepaskan dulu," ia pandang Liu Ji-si dan membentak: "Kemari kau!"
Cepat Peng-say berseru: "Boleh kau tutuk Hiat-to penting tubuhku agar aku tidak dapat berkutik, untuk apa kau
gunakan dia untuk mengancam diriku" Dia harus kau
bebaskan seperti janjimu tadi, habis itu barulah akan
kutuliskan Kiam-boh untukmu."
"Bila tulisanmu benar, tentu akan kubebaskan dia," kata Ciamtay Cu-ih.
"Lepaskan dia lebih dulu, kalau tidak, mati pun aku tidak mau menulis," jawab Peng-say ketus.
Setelah berpikit sejenak, kemudian Ciamtay Cu-ih
berkata sambil menyeringai: "Boleh juga! Nah, perempuan hina, bolehlah kau pergi sendiri."
"Tapi jangan kau pakai tipu muslihat, bangsat tua!" kata Peng-say pula.
"Apalagi maksudmu?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Tidak seberapa jauh dia pergi, bukan mustahil muridmu akan membekuknya kembali, dan darimana kutahu?"
"Sebagai seorang pemimpin besar suatu perguruan
ternama, masa sedikit kepercayaan saja tidak ada padaku?"
"Betapapun aku tetap sangsi,"jawab Peng-say.
"Habis apa kehendakmu?" tanya Ciamtay Cu-ih dengan mendongkol.
"Setelah kutuliskan Kiam-boh yang kau minta, lalu aku bakal mati atau tetap hidup?" tanya Peng-say.
"Bila kuperiksa tulisanmu memang benar, segera
kulepaskan kau. Kelak kalau Siang-liu-kiam sudah berhasil
kukuasai sepenuhnja, masa kutakut kau akan menuntut
balas padaku?"
"Jika demikian, biarkan nona itu ikut bersamaku nanti,"
kata Peng-say. Ciamtay Cu-ih tertawa, katanya: "Hah, tampaknya kau merasa berat ditinggal pergi lebih dulu. Boleh juga, asalkan kau suka, aku pun takkan memaksa dia menjadi "Nikoh", boleh dia ikut bersamamu. Selain cantik, soal tehnik tempat tidur budak ini pun tergolong kelas tinggi. Bersama dia, Sau-lote setiap malam pasti dapat naik surga."
Diam2 Peng-say memaki kekotoran pikiran bangsat tua
itu. Tapi iapun tidak berbantah dengan dia dan biarkan dia mengoceh sesukanya.
Karena sekarang Ciamtay Cu-ih mengharapkan rekaman
Kiam-boh dari Peng-say, sedapatnya ia mengambil hati
anak muda itu, kembali ia berkata kepada Liu Ji-si: "Nah, lekas
gosokkan bak (tinta) bagi Sau-kongcu
dan menuangkan arak, ladeni yang baik, Kedua ribu tahil perak tabunganmu itu bilamana kau akan pergi tentu akan
kukembalikan. Yang penting, jangan sampai Sau-kongcu
salah tulis, kalau tidak, hehe. . . ."
Sembari bicara, mendadak ia tutuk tujuh Hiat-to penting
Sau Peng-say, lalu mengeluarkan kunci, diputarnya lubang kunci rahasia dibawah kursi, "krek", seketika keempat borgol terbuka seluruhnya Peng-say berdiri dengan lemas, karena sedikit menggunakan tenaga, segera kepala terasa
pusing dan mata ber-kunang2, lekas2 ia berduduk kembali.
"Lewat 12 jam segalanya akan pulih kembali seperti
biasa," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Kupercaya dalam waktu 12 jam tentu kau dapat menyelesaikan
tulisanmu."
"Tidak tentu," ujar Peng-say.
"Sebaiknya dalam waktu 12 jam harus kau selesaikan, kalau tidak, terpaksa harus kututuk lagi Hiat-to penting tadi dan hal ini tentu tidak baik bagi kesehatanmu."
"Syukur dapat kuselesaikan dalam batas waktu. kalau tidak, boleh saja kau tutuk lagi diriku, tidak perlu kau pura2
baik hati memikirkan kepentinganku," jengek Peng-say.
Ciamtay Cu-ih menyengir untuk melepaskan diri dari
kekikukan, lalu ia pindahkan kursinya kesamping, ia duduk berbaring disitu sambil memejamkan mata untuk istirahat.
Tampaknya dia tidak menguatirkan Peng-say, padahal
diam2 ia mengawasi dengan ketat, asalkan anak muda itu
memperlihatkan sesuatu gerak-gerik mencurigakan, segera
ia akan turun tangan untuk menangkapnya,
Tapi iapun yakin betapapun lihay Lwekang anak muda
itu di dalam waktu 12 jam pasti tidak mampu melepaskan
diri dari ilmu Tiam-hiatnya yang khas, untuk menangkapnya tentu saja seperti menangkap anak kecil
yang tak dapat memberi perlawanan.
Liu Ji-si lantas menyingkirkan mangkuk piring kesisi
meja sana, ia lantas menggosokkan tinta, tiba2 ia ambil pit (pensil bulu) yang dipegang Peng-say.
Selagi anak muda itu heran apa yang akan dilakukan si
nona, dilihatnya Liu Ji-si telah menulis di atas kertas:
"Kutahu setelah menulis, tentu si bangsat tua takkan pegang janji untuk melepaskan kau."
Peng-say mengangguk sebagai tanda sudah tahu.
Lalu Liu Ji-si menulis pula: "Jika demikian. akhirnya toh tetap mati, untuk apa mesti memenuhi kehendak si bangsat tua?"
Peng-say angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat,
terpaksa menulis.
Akhirnya Liu Ji-si hanya menulis empat huruf saja:
"Biarlah kupergi lehih dulu!"
"Jangan!" seru Peng-say.
Mendengar suara itu, Ciamtay Cu-ih lantas membuka
mata dan berpaling, dilihatnya
Liu Ji-si sedang membenturkan kepalanya kepada sandaran kursi Sau Pengsay. Untuk bergerak saja sulit, dengan sendirinya Peng-say
tidak mampu mencegah tindakan nekat Liu Ji-si itu.
Sedangkan Ciamtay Cu-ih memang cukup cepat reaksinya.
tapi juga tetap terlambat selangkah, waktu ia menarik Liu Ji-si, dilihatnya batok kepalanya sudah pecah, otak
berceceran keluar.
Seperti diketahui, kursi yang diduduk Peng-say itu
terbuat dari baja. Rupanya Liu Ji-si sudah bertekad akan bunuh diri agar Peng-say tidak dipaksa berbuat sesuka hati Ciamtay Cu-ih. Maka sekuatnya ia membenturkan
kepalanya kepada kerangka kursi baja itu, dengan
sendirinya batok kepalanya lantas pecah.
Sedetik sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Liu Ji-si masih sempat memandang Peng-say
sekejap sambil menggeleng.
Ciamtay Cu-ih sempat merampas kertas yang dibuat
menulis tadi, setelah dibaca sekadarnya, ia lantas memaki:
"Perempuan hina, memangnya aku Ciamtay Cu-ih kau
anggap manusia yang tidak dapat pegang janji"!"
Saking gemasnya jenazah Liu Ji-si yang dipegangnya itu
akan dibanting kedinding. Tapi segera teringat olehnya
bahwa dalam keadaan demikian tidak boleh lagi
membangkitkan rasa gusar Peng-say, bisa jadi segala urusan akan runyam.
Maka pelahan ia lepaskan jenazah Liu Ji si itu, lalu
beseru: "Ci-ho!"
Segera Ih Ci-ho berlari masuk. Ciamtay Cu-ih lantas
memberi pesan: "Angkat keluar mayat perempuan hina itu, besok belikan sebuah peti mati yang paling bagus dan
tanam dia agar tidak sampai di makan anjing hutan!"
Ci-ho mengiakan dan membawa pergi mayat Liu Ji-si.
"Nah, Sau Peng-say," kata Ciamtay Cu-ih kemudian,
"sekarang kau mau menulis atau tidak?"
Peng-say lagi berduka, seketika ia tidak dapat menjawab.
"Tulislah!" kata Ciarmay Cu-ih pula. "Mayat nona Liu itu tidak sampai dimakan anjing hutan. apalagi aku
bersumpah, nanti sehabis kau menulis, bila kucelakai
nyawamu dan tidak melepaskan kau, biarlah aku Ciamtay
Cu-ih terkutuk dan mati tak terkubur."
Meski di mulut ia bersumpah, tapi di dalam hati ia
membatin; "Asalkan kupunahkan Kungfumu tak perlu
kubunuh kau kan berarti tidak melanggar sumpah!"
Sejenak kemudian ia berkata pula: "Kalau kau tidak
menulis, akan kugunakan cara keji, betapa pun kerasnya
tulangmu pasti juga tak tahan. Nah, bagaimana, menulis
atau tidak?"
Dengan air mata berlinang Peng-say menjawab pelahan;
"Akan kutulis. . . ."
Ciamtay Cu-ih tertawa puas, katanya: "Orang yang bisa melihat gelagat adalah seorang yang pintar. Nah, bolehlah kau menulis, janganlah kau berduka lagi perempuan hina
itu. Dunia ini masih luas, di-mana2 terdapat perempuan
cantik. Hanya seorang perempuan yang sudah tidak suci
lagi, sudah mati biarkanlah, kenapa mesti dipikirkan"
Ayolah lekas menulis, biarkan kugosokkan tinta bagimu."
"Hm, tidak perlu kau ikut repot, duduk saja di samping sana," jengek Peng-say.
"Masa tidak mau kugosokkan tinta bagimu?". kata
Ciamtay Cu-ih dengan cengar-cengir.
"Melihat tampangmu saja aku lantas muak." kata Peng-say. "Jika kau berdiri disini, satu huruf saja tidak dapat kutulis. Lebih baik kau menyingkir sejauhnya,"
Diam2 Ciamtay Cu-ih sangat gusar, napsu bunuhnya
timbul pada air mukanya, tapi segera ia bersabar
sedapatnya, katanya dengan tertawa: "Baik-baik, aku akan menyingkir se-jauh2nya."
Ia lantas berduduk kembali di kursinya, memejamkan
mata dan mengumpulkan semangat.
Peng-say berduduk tegak di kursinya, lalu ia benar2
menulis satu huruf demi satu huruf dengan tekun.
Semula Ciamtay Cu-ih kuatir anak muda itu tidak mau
menulis, tapi setelah diketahui Peng-say benar2 mencurahkan pikirannya buat menulis, ia merasa senang.
Tidak lama kemudian, ia merasa mengantuk dan akhirnya
dia tertidur, bahkan mendengkur.
Apakah orang benar2 mengorok atau cuma pura2 tidur,
betapapun Peng-say tidak berani berbuat sesuatu atau
melarikan diri, ia tahu disekitar rumah itu dijaga ketat oleh anak murid Ciamtay Cu-ih, sebelum tenaga sendiri pulih
jelas tidak mungkin dapat melarikan diri.
Dia menulis dengan sangat lambat, seperti bekicot
merayap. Bukannya sengaja, tapi karena sebagian besar
perhatiannya digunakan untuk mengerahkan tenaga dalam
untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Syukur usahanya
membawa hasil, kira2 setengah jam kemudian ada satu


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat Hiat- to itu telah dipunahkannya.
Menurut perhitungan, untuk membuka tujuh tempat
Hiat-to yang tertutuk itu diperlukan tiga empat jam. Tatkala mana pagi sudah tiba, tentu Ciamtay Cu-ih juga akan
mendusin. Sebab itulah dia tidak dapat mencurahkan seluruh
pikirannya untuk membuka Hiat-to, sedikit2 dia juga harus menulis agar tidak menimbulkan curiga Ciamtay Cu-ih.
Rupanva dia salah hitung, baru empat Hiat-to berhasil
dilancarkan, tahu2 hari sudah terang tanah. Keruan ia
menjadi gelisah, Bila sebentar lagi Ciamtay Cu-ih bangun tidur dan melihat kelambatan menulisnya, tentu dia tidak dapat mengelabui bangsat tua yang licin dan cerdik itu. Jika orang mengetahui sebagian Hiat-to sudah lancar, maka
kesempatan kedua tentu sukar diperoleh lagi. Karena itulah ia ambil keputusan bila Ciamtay Cu-ih mendusin, segera
pula ia akan menghentikan usahanya membuka Hiat-to
yang lain. Selagi berpikir, benarlah Ciamtay Cu-ih telah mendusin,
cepat ia berhenti mengerahkan tenaga dan berlagak lagi
menulis, tapi tulisnya tetap tidak cepat, masih menuruti kecepatan semula.
"Selamat pagi!" sapa Ciamtay Cu-ih begitu bangun tidur.
"Apakah kau perlu tidur sebentar baru nanti menulis lagi?"
"Ya, kukira perlu tidur dulu agar tidak salah menulis,"
jawab Peng-say.
"Sudah berapa banyak yang kau tulis?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Sedapatnya kutulis se-baik2nya, dengan sendirinya agak lambat."
Ciamtay Cu-ih mendekatinya dan melihat hasil
tulisannya itu, ia berkerut kening dan berkata: "Kenapa baru sekian" Terlalu lambat!"
"Lebih cepat juga bisa, cuma tulisannya tentu kurang rajin, jangan2 tak dapat kau baca?" kata Peng-say.
"Eh, kenapa tiba2 kau memikirkan kepentinganku?"
tanya Ciamtay Cu-ih dengan sangsi.
"Kalau mau menulis tentunya perlu ditulis se-baik2nya, tidak boleh kutulis secara coret-coret sehingga tak dapat kau baca."
"Ehm, bagus, bagus, kau serius, aku pun serius, sekarang juga kupesan kepada Ci-ho agar mengubur nona Liu
dengan baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa.
Segera dia keluar, sejenak kemudian dia masuk lagi,
tanyanya dengan tertawa: "Apa jadi tidur dulu?"
Tidur, tentu saja sangat penting bagi Peng-say Sebab
dengan berlagak tidur. diam2 ia dapat mengerahkan tenaga untuk melancarkan sisa Hiat-to lain yang belum tembus,
untuk itu mungkin tidak sampai satu jam sudah dapat
diselesaikannya,
Karena itulah ia berlagak acuh-tak-acuh dan berkata:
"Boleh juga kutidur sebentar."
Tapi mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Hm,
beberapa huruf terakhir ini barulah benar2 rajin."
Hati Peng-say terkesiap, rupanya barusan dia memang
menulis dengan lebih rajin sehingga berbeda jauh dengan
tulisan permulaan.
Cepat ia menjawab: "Semalam terasa sangat mengantuk, sesudah pagi baru tambah semangat, dengan sendirinya
goresan pensilku berbeda."
"Jika begitu, bolehlah kau tidur dulu," kata Ciamtay Cu-ih.
"Tidur dimana?" tanya Peng-say.
"Duduk saja disitu kau sama saja!" ujar Ciamtay Cu-ih.
"Aku tidak biasa tidur dengan berduduk. Hanya buang2
waktu percuma saja jika tidak dapat pulas."
"Jika begitu, mudah saja, kututuk Hiat-to tidurmu dan tentu kau dapat pulas dimana pun juga."
Peng-say berdehem, jawabnya kemudian: "Kalau. ..kalau begitu, sudahlah, biar kuteruskan menulis."
"Hm, jika tidak jadi tidur, ayolah lekas menulis," jengek Ciamtay Cu-ih. "Aku tidak percaya kau benar2 ingin tidur.
Padahal setelah bangun tidur lalu kututuk lagi ketujuh Hiat-to semula, kan merugikan kesehatanmu sendiri?"
"Ya, betul juga," kata Peng-say.
Tiba2 Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, jiwamu
sekarang tergenggam di tanganku, jangan kau bertingkah.
Memangnya kau kira aku tidak tahu, kau ingin main gila
dengan pura2 tidur, betul tidak?"
Peng-say menjawab dengan kurang senang: "Tidak boleh tidur ya sudahlah, apa yang perlu kau rewelkan?"
"Rewel" Hm, tanpa alasan kau minta tidur, teatu ada muslihat dibalik permintaanmu ini," jengek Ciamtay Cu-ih.
Mendadak ia meraba "Yang-kau-hiat", "Co-pin-hiat dan Ki-bun-hiat", ketiga Hit-to ini belum sempat dipunahkan
oleh Peng-say, sebab itulah Ciamtay Cu-ih tidak merasakan sesuatu kelainan pada Hiat-to itu.
Apabila dia meraba Hiat-to lain lagi, maka celakalah
Peng-say. Dalam
gugupnya tiba2 timbul akalnya,
mendadak ia menyebut: "Saluran tenang menembus Samkoan. . . ."
Ciamtay Cu-ih melengak demi mendengar ucapan itu,
dia berhenti meraba lebih jauh dan bertanya: "Apa itu yang kau sebut?"
"Itulah rumus Lwekang pada jurus kelima Siang-liukiam." jawab Peng-say.
"Rumus Lwekang jurus kelima" Apakah setiap jurusnya terdapat rumus Lwekang tersendiri?" tanya Ciamtay Cu-ih dengan sangsi.
"Ya, disinilah terletak kelihayan Siang-liu kiam-hoat,"
tutur Peng-say. "Satu jurus serangan membawa dua arus tenaga kanan dan kiri, seluruhnya meliputi 98 serangan dan terdiri dari 49 rumus Lwekang."
"Apa gunanya rumus Lwekang segala?" kata Ciamtay Cu-ih.
"Sudah tentu besar gunanya," kata Peng-say. "Tenaga setiap jurusnya berbeda, menghadapi keadaan demikian,
betapapun luas pengetahuan musuh juga sukar meraba
kemana perubahan serangan Siang-liu-kiam."
Ciamtay Cu-ih termenung sejenak, katanya kemudian:
"Pantas setelah jurus pertama, jurus kedua lantas banyak berubah dan rada membingungkan, malah jurus ketiga
semakin sukar diraba. Kiranya Siang-liu-kiam-hoat
menempuh cara yang tidak pernah digunakan orang lain,
sampai2 cara mengerahkan tenaga juga berbeda setiap
jurusnya."
Sejenak kemudian, tiba2 ia berkata pula: "Hm. dahulu waktu Leng-hiang-caycu hadir dalam pertemuan di Ki-lian-san, waktu bicara tentang Siang-liu-kiam-hoat, yang
ditonjolkan hanya mengenai keunggulan ilmu pedangnya,
jika dia berani membuka rahasia ilmu pedangnya ini, masa aku sampai dikalahkan hanya dalam lima jurus saja"!"
Peng-say tidak sudi berbantah dengan dia, cepat ia
menulis istilah2 yang disebutnya tadi dengan berbagai
perubahannya. Caranya menguraikan satu jurus itu
memerlukan satu halaman penuh. Sementara itu Peng-say
sudah selesai menulis keterangan empat jurus, tapi
semuanya belum sempat dibaca oleh Ciamtay Cu-ih.
Sekarang yang dilihat Ciamtay Cu-ih justeru jurus kelima yang disebut tadi, dilihatnya uraian Peng-say itu makin
lama makin bagus, jurus inilah yang pernah mengalahkannya di Ki-lian-san dahulu. Ia jadi tertarik dan terus membacanya dengan penuh perhatian, sebab itulah
tangannya yang meraba tubuh Peng-say itu masih tetap
terletak di atas Ci-ju-hiat.
"Ci-ju-hiat" ini adalah salah satu Hiat-to yang telah dibuka oleh Peng-say tadi, kalau rabaan Ciamtay Cu-ih itu diteruskan, tentu akan ketahuan ada kelainan. Karena
itulah ia berusaha memancing membelokkan perhatian
orang, maka begitu jurus kelima selesai ditulisnya, tanpa berhenti ia membalik halaman kertas lain dan mulai
menulis lagi jurus keenam.
Melihat Ciamtay Cu-ih asyik mengikuti tulisannya dan
lupa pada tangannya yang masih meraba di atas Ci-ju-hiat, Peng-say tidak berani berhenti, ia menulis terus jurus
ketujuh dan jurus kedelapan.
Sampai disini dahi Peng-say mulai berkeringat. Soalnya,
setelah jurus ini ditulis, ia sendiri tidak dapat menulis
sambungannya lagi. Sebab jurus kesembilan hakikatnya
memang belum pernah dipelajarinya secara lengkap, cara
bagaimana ia dapat menguraikannya.
Diam2 ia berdoa semoga sebelum selesai ia menulis jurus
kedelapan itu tangan Ciamtay Cu-ih sudah meninggalkan
Ci-ju-hiatnya. Akan tetapi Ciamtay Cu-ih seperti lupa daratan
membaca tulisan Peng-say itu sehingga sama sekali tidak
bergerak. Beberapa kali Ci-ho bertanya apakah sang guru
tidak sarapan pagi dulu juga tidak digubrisnya.
Agar lebih menarik perhatian orang, Peng-say agak tidak
berani menulis lambat, akhirnya jurus kedelapan juga
ditulisnya, kini dia harus menulis jurus kesembilan dan
disinilah dia mengalami kesulitan, sebab pada hakikatnya ia sendiri belum paham jurus kesembilan itu secara lengkap.
Diam2 ia membatin: "Orang ini adalah seorang gurubesar ilmu silat, jika aku sembarangan menulis dan
mengarang tentu akan diketahuinya. Tulisan empat jurus
bagian depan tadi belum sempat dibacanya, andaikan jurus kesembilan ini kuulangi tulisan jurus pertama mungkin
takkan diketahuinya untuk sementara waktu. Bisa jadi
selagi kutulis ulang empat jurus pertama dan tangannya.
akan ditarik kembali sehingga lupa memeriksa Ci-juhiatku." Karena pikiran itu, segera ia bekerja, pada halaman
berikutnya ia terus menulis lagi jurus pertama.
Baru habis jurus pertama ini ditulisnya, mendadak
Ciamtay Cu-ih bersuara heran, kontan ia ambil halaman
kertas itu dan bertanya: "Kenapa jurus kesembilan ini tidak bersambung dengan jurus kedelapan?"
"Siapa bilang?" jawab Peng-say. "Kau sendiri belum paham benar, hanya membacanya sepintas lalu tentu
rasanya tidak sambung"menyambung. Bilamana sudah
kutulis seluruhnya dan kau baca lagi satu kali tentu akan menjadi jelas bagimu."
"Jika begitu lekas kau tulis lagi menurut kecepatan ini, tidak perlu terlalu rajin, hanya buang2 waktu belaka, kukira tulisanmu cukup jelas untuk dibaca biarpun tulis cepat,"
kata Ciamtay Cu-ih.
Diam2 Peng-say menghela napas lega, sebab pada waktu
merampas halaman kesembilan tadi sekaligus Ciamtay Cuih telah menarik tangannya dari Ci-ju-hiat yang sedang
dirabanya itu. Maka ia tidak ayal lagi, menyusul ia menulis ulang jurus kedua pada halaman kesepuluh. Hanya kecepatannya agak
berkurang, sebab dia harus membagi perhatiannya untuk
melancarkan sisa Hiat-to yang belum terbuka tadi.
Ciamtay Cu-ih berdiri di belakangnya dan asyik
rmembaca dan mempelajari halaman kesembilan itu.
Sebagai seorang ahli ilmu silat, dengan sendirinya ia
merasakan kejanggalannya, makin dibaca makin merasakan
tidak cocok, tiba2 ia ambil pula halaman kedelapan dan
disesuaikan. Melihat orang tetap sangsi, Peng-say menyadari lama2
tentu urusan bisa runyam, diam2 ia sangat gelisah.
Mendadak ia berhenti menulis sekalian dan mengerahkan
sepenuh perhatian untuk membuka Ki-bun-hiat, salah satu
Hiat-to yang belum lancar.
Karena sedang menekuni kelanjutan antara jurus
kedelapan dan jurus kesembilan, Ciamtay Cu-ih jadi tidak mengetahui kalau anak muda itu telah berhenti menulis,
Setelah merasa sambungan antara jurus kedelapan ke jurus
kesembilan tidak cocok, ia coba menyesuaikan pula antara jurus ketujuh dan jurus kedelapan.
Pada jurus ketujuh dan kedelapan ini ia merasa ada
kaitannya, tapi mengapa antara jurus kedelapan dan
kesembilan se-akan2 terputus, se-olah2 tangan disambung
pada kaki, jelas tidak cocok. Waktu ia periksa antara jurus keenam dan ketujuh, satu dan lain juga berkaitan dengan
baik. Diam2 ia berpikir: "Jika kedelapan lainnya ber-turut2
dapat sambung menyambung dengan baik, hanya jurus
kesembilan ini saja tidak dapat berkaitan dengan jurus
kedelapan, jelas bocah she Sau ini sengaja hendak menipu aku."
Segera ia mencocokkan lebih teliti pada jurus2
pemulaan. Ketika mem-balik2 sampai pada halaman kedua, Pengsay merasa Ki-bun-hiat yang ingin cepat2 dilancarkan itu belum berhasil dengan baik. ia menjadi kecewa dan juga
takut. Setelah membalik halaman pertama, baru membaca
beberapa baris saja, mendadak Ciamtay Cu-ih berteriak:
"Kurang ajar! Kiranya demikianlah halnya."
Usahanya jelas gagal total, Peng-say menghela napas
panjang, ia hanya memejamkan mata dan menunggu ajal
belaka. Merasa dirinya ditipu seperti anak kecil umur tiga,
Ciamtay Cu-ih sangat murka, mendadak ia menghantam
sehingga Peng-say mencelat dari ujung meja sini ke ujung sana.
Selangkah demi selangkah Ciamtay Cu-ih mendekatinya,
bentaknya: "Apa maksud tujuanmu dengan menulis ulang begini?"
Se-konyong2 Peng-say merasakan tubuh bagian atasnya
penuh tenaga. Rupanya ketujuh Hiat-to yang ditutuk
Ciamtay Cu-ih itu sebagian besar terletak di tubuh bagian atas.
Tadi Ciamtay Cu-ih meraba dan memeriksa Hiat-to yang
ditutuknya itu, sudah tiga Hiat-to yang diperiksanya
kembali, yaitu Hiat-to yang terletak di bagian tujuh bagian bawah, antara pinggang dan paha, ia berhenti ketika
meraba Ci-ju-hiat di bagian pinggang.
Semalam Peng-say telah berhasil melancarkan Hiat-to
bagian atas, tinggal Ki-bun-hiat saja yang belum tembus, bilamana Hiat-to ini pun lancar, maka tubuh bagian atas
akan penuh tenaga murni lagi.
Perawakan Ciamtay Cu-ih itu pendek, waktu dia
menghantam tadi, kebetulan yang kena dihantam adalah
Ki-bun-hiat di bagian dada Peng-say. Padahal waktu itu
Peng-say sedang mengerahkan tenaga untuk melancarkan
Hiat-to yang macet itu, Hiat-to itu seperti ditumbuk hingga terbuka, tenaga lantas lancar dan dapat bekerja penuh.
Lantaran tenaga sudah dapat dilancarkan di seluruh
tubuh bagian atas, kedua tangan Sau Peng-say lantas penuh tenaga pula. Hanya saja Hiat-to bagian bawah belum
terbuka, maka dia belum sanggup berdiri, terpaksa ia duduk bersila disitu.
Melihat gerak-gerik anak muda itu seperti sudah dapat
melancarkan Hiat-to sendiri yang tertutuk tadi, Ciamtay
Cu-ih terkejut. Tanpa ayal lagi ia memburu maju, kedua
tangannya menghantam, ia bermaksud melukai Peng-say
dahulu, habis itu baru menutuk lagi Hiat-to seperti tadi.
Akan tetapi sekarang Peng-say tidak mau pasrah nasib
dan menanti ajal lagi, cepat tangan kirinya juga
menghantam untuk menahan kedua tangan lawan,
sedangkan tangan kanan terus meraba kebelakang, untung
kedua pedangnya masih tersandang di punggung dan belum
dilucuti oleh Ciamtay Cu-ih.
Ketika ketiga tangan beradu, "blang", kontan Ciamtay Cu-ih tergetar mundur beberapa tindak, ia berteriak kaget:
"He, kau . . . kau ...,."
Sungguh ia tidak menyangka Peng-say memiliki tenaga
dalam sehebat itu.
Serentak Peng-say melolos kedua pedangnya sambil
membentak: "Bangsat tua, sambutlah kedelapan jurusku!"
"Delapan jurus?" Ciamtay Cu-ih menegas dengan sangsi.
"Jangan2 hanya delapan jurus saja yang dapat kau pelajari dengan lengkap?"
"Betul," jawab Peng-say, "melulu delapan jurus saja sudah cukup untuk memenggal kepala anjingmu sambil
berduduk!"
"Hahahaha!" Ciamtay Cu-ih mendongak dan ter-bahak2.
"Hanya delapan jurus saja yang kau kuasai, apa yang mesti kutakuti?"
Sementara itu Ci-ho dan anak murid Tang-wan lainnya
sama berlari masuk kesitu demi mendengar suara ribut2.
Tapi Ciamtay Cu-ih lantas memberi tanda dan berseru;
"Kalian keluar semua! Ingin kulihat cara bagaimana dia memenggal kepalaku sambil berduduk?"
Habis berkata, segera ia mengitari Peng-say. secepat kilat golok sabitnya telah menyabat sembilan kali.
Akan tetapi Peng-say telah mengerahkan tenaga dalam
kedua pedangnya, ia pasang tabir pedang sedemikian
rapatnya sehingga sukar ditembus serangan Ciamtay Cu-ih
itu, sejurus demi sejurus ia lantas melancarkan Siang-liu-kiam-hoat.
Ciamtay Cu-ih telah menyerang berpuluh kali, tapi tetap
sukar mendekati anak muda itu, tentu saja ia sangat gusar.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika melihat Peng-say melancarkan jurus kelima yang
disebut "Tam-jian-tit-ci" atau menghadapinya dengan tak acuh, ia menjadi nekat, tanpa pikir terus menerjang
kedalam tabir sinar pedang, sekuatnya ia berniat
mematahkan jurus yang pernah mengalahkan dia di Ki-liansan dahulu. Sudah hampir tiga puluh tahun dia merenungkan jurus
kelima yang lihay ini, ia telah menemukan satu jurus aneh untuk mematahkan jurus ini. Ia yakin, sekalipun Sau Ceng-in sendiri masih hidup juga dia sanggup membobol jurus
serangannya yang kelima ini dengan jurus aneh
penemuannya ini.
Maklumlah, karena dia pernah dikalahkan pada jurus
kelima Siang-liu-kiam-hoat ini, dengan sendirinya kesan
Ciamtay Cu-ih pada jurus ini sangat mendalam.
Bagi orang yang belajar ilmu silat, lebih2 tokoh atau ahli silat kelas tinggi, hampir boleh dikatakan selama hidupnya selalu mencurahkan segenap pikirannya untuk menciptakan
jurus serangan yang aneh, terutama untuk mematahkan
setiap jurus serangan musuh yang lihay. Dan bilamana pada saat berhasil, maka sama halnya seorang menjadi kaya
mendadak, girangnya tak terhingga.
Secara ilmu jiwa, orang kaya mendadak tentu ingin
pamer untuk memperlihatkan kekayaannya. Kalau tidak
demikian, mau diapakan kekayaan yang datang mendadak
itu" Dan seperti inilah jalan pikiran Ciamtay Cu-ih sekarang.
Bagi Peng-say, dalam keadaan kaki belum cukup kuat
untuk berdiri, ia hanya ingin bertahan saja sehingga Hiat-to lancar seluruhnya, habis itu barulah dia akan menandingi Ciamtay Cu-ih secara resmi.
Tapi sekarang secara nekat Ciamtay Cu-ih telah
menerjang masuk ke dalam tabir pertahanannya, terpaksa ia mengerahkan tenaga sepenuhnya, ia putar pedangnya
sedemikian kuat sehingga menimbulkan suara gemercit,
sekujur badannya se-akan2 lapisi oleh dinding yang tak
berwujud, Terjangan Ciamtay Cu-ih itu hanya sampai setengah
jalan dan segera terbendung olah lapisan dinding tak
berwujud itu, jadi sia2 saja jurus aneh yang sudah disiapkan itu, kalau tak dapat menembus tabir pertahanan lawan, apa yang dapat dilakukannya"
Melihat gelagat tidak menguntungkan, seketika runtuhlah semangat Ciamtay Cu-ih, segera ia bermaksud
melompat mundur untuk menyelamatkan jiwa, akan tetapi
angin pedang Peng-say yang dahsyat itu se-olah2
menimbulkan daya tarik sehingga ketika ia hendak
melompat mundur, gerak-geriknya menjadi agak lamban.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Sau Peng-say, jurus keenam Siang-liu-kiam segera bekerja, "cret", kaki kiri Ciamtay Cu-ih tertabas putus oleh pedang Kiri.
Namun Ciamtay Cu-ih juga tidak tinggai diam2, dalam
keadaan terapung di udara, meski kaki sudah buntung,
sekuatnya goloknya membacok, sebisanya ia melawan
mati2an. "Lihat pedang!" teriak Peng-say.
Tentu saja Ciamtay Cu-ih kelabakan, sebisanya ia
menangkis, akan tetapi tenaganya sudah jauh berkurang,
mana dia sanggup menahan serangan pedang Kanan,
"cret", kembali lengan kanan yang memegang golok itupun tertabas buntung sebatas siku. Sampai disini ia tidak bisa nekat lagi, ia menjerit dan roboh terbanting.
Dahulu setelah dia dikalahkan jurus kelima Siang-liukiam-hoat, ia merasa kekalahan itu sebagai penghinaan
selama hidup, tak terduga sekarang kembali ia dikalahkan oleh jurus keenam Siang-liu- kiam yang dimainkan oleh
anak murid Sau Ceng-in. bahkan jauh lebih mengenaskan
kekalahannya. Setelah menabas buntung sebuah kaki dan sebuah tangan
musuh. betapapun Sau Peng-say belum puas sebelum
membunuh Ciamtay Cu-ih untuk membalaskan sakit hati
Cin Yak-leng dan Liu Ji-si. Menyusul pedangnya menyabat
pula, sekarang kepala Ciamtay Cu-ih yang diincar,
Untung bagi Ciamtay Cu-ih, pada detik paling gawat itu
sesosok bayangan kelabu melayang tiba, jari telenjuk lantas menjentik. "Cring", pedang Peng-say tahu2 terselentik patah,
Berbareng itu si bayangan kelabu terus berjongkok untuk
mengangkat tubuh Ciamtay Cu-ih.
"Lepaskan!" bentak Peng-say, pedang lain terus menusuk.
Tapi kembali bayangan kelabu itu menyelentik dengan
jarinya sambil memutar tubuh. tahu2 pedang Sau Peng-say
terselentik patah pula.
Selentikan kedua ini dapat dilihat Peng-say dengan jelas, berbareng itu ia pun dapat melihat potongan tubuh si
bayangan kelabu, dengan terkejut dan heran ia bertanya:
"He, kau. . . .kau anak murid Ci-tiok-to di Tang-hay?"
Tapi si baju kelabu tidak menghiraukan tegurannya itu,
ia bawa tubuh Ciamtay Cu-ih terus melayang keluar.
"Berhenti! Lepaskan!" bentak Peng-say pula.
Segera ia bermaksud berdiri untuk mengejar tapi apa
daya, maksud ada tenaga kurang, terpaksa dia berduduk
kembali. "Nikoh bangsat," dia mencari-maki, "berani kau bawa lari bangsat tua itu, pada suatu hari tentu akan kupotong jarimu itu!"
Walaupun begitu dia memaki, tapi didalam hati ia
membatin: "Apakah aku mampu?"'
Jelas selentikan tadi adalah ilmu sakti "It-sian-ci atau Jari sakti" yang termashur di dunia persilatan dan diketahui
sebagai ilmu sakti andalan Keng-goat Sinni, seorang Nikoh tua yang maha sakti yang bermukim di Ci-tiok-to atau
pulau bambu ungu sebuah pulau yang jauh terletak di
lautan timur. "It-ci-sian," pelahan Peng-say menyebut nama itu sambil menggeleng, ia menyadari betapa pun tidak mampu
menandingi ilmu sakti itu.
Ia berduduk tenang hingga lama, akhirnya dapatlah dia
melancarkan Hiat-to lain dan berdiri ia pikir tadi kalau tidak berkat "Ci-he-kang" dari mendiang ayahnya itu, tidak mungkin dia mampu membuka sendiri ketujuh Hiat-to yang
ditutuk Ciamtay Cu-ih itu.
Memang, kalau bukan Ci-he-kang yang merupakan
rajanya Lwekang, di dunia ini memang tiada seorang pun
yang mampu membuka Hiat-to yang ditutuk Ciamtay Cuih. Dia menjemput kembali kedua pedangnya yang patah,
teringatlah dia kepada Nikoh tadi, sungguh ia tidak paham dari manakah orang dan sekarang sudah jelas Nikoh itu
bukan orang kiriman Sam-lo yang ditugaskan untuk
melindunginya, Ia menjadi sangsi, pikirnya: "Jangan2 selentikan tadi bukan It-ci-sian melainkan Pek-niau-tiau-long (beratus
burung menyembah burung Hong) dari Mo-kau?"
Bahwa tadi dia mengira ilmu si Nikoh adalah It-ci-sian,
soalnya gaya serangan Nikoh itu mirip sama Kik Fi-yan
menyelentik pulungan kertas yang disambitkan Ciamtay
Cu-ih kepadanya di ruang pendopo kediaman Wi Kay-hou
dahulu, Saat itu Kik Fi-yan mengaku ilmu jarinya adalah It-ci-sian dan tidak diragukan orang.
Padahal sebenarnya Kik Fi-yan adalah anggota Ma-kau,
jelas ilmu jarinya itu adalah "Pek-niau-tiau-hong" dari Mo-kau yang terkenal dan bukan It-ci-sian. Cuma di antara
kedua ilmu sakti itu pasti sangat mirip.
Akan tetapi waktu itu agar tidak menimbulkan
kemurkaan orang banyak, maka Kik Fi-yan telah sengaja
mengaku ilmu jarinya adalah It-ci-sian, hal itupun
dipercayai semua orang. Jika tidak ada kemiripan di antara It-ci-san dan Pek-niau-tiau-hong, mana para tokoh
terkemuka yang hadir di tempat Wi Kay-hou itu dapat
dikelabui"
Jadi seharusnya sekarang Peng-say memperkirakan ilmu
jari Nikoh tadi adalah Pek-niau-tiau-hong, akan tetapi
setelah dipikir, orang adalah Nikoh, dengan sendirinya ada kemungkinan anak murid Keng-goat Sin-ni, si Nikoh sakti
di lautan timur itu.
Berdasarkan ini pula sama sekali dia tidak berpikir
bahwa Nikoh tadi ada sangkut-pautnya dengan Mo-kau,
langsung dia anggap ilmu jari orang adalah ilmu sakti dari Ci-tiok-to.
Tapi sekarang, setelah direnungkan lagi lebih teliti,
kembali ia menyangsikan ilmu jari si Nikoh tadi adalah
Pek-niau-tiau-hong.
Namun ia pun belum berani memastikannya, sebab
kalau betul ilmu jari itu Pek-niau-tiau-hong dari Ma-kau, mengapa Nikoh itu tidak menyergapnya, sebaliknya ada
tanda2 hendak membantunya"
Begitulah ia menjadi serba salah memikirkan asal-usul
Nikoh itu. hanya satu hal sudah pasti, yaitu Nikoh pasti bukan orang kiriman Sam-lo, sebab sudah jelas Kungfu si
Nikoh tidak di bawah Sam-lo mana mungkin dapat
diperintah oleh Sam-lo,
Ia coba melangkah keluar, dilihatnya di luar sana
menggeletak anak murid Ciamtay Cu-ih, rupanya mereka
telah tertutuk Hiat-to tidurnya, pantas tiada seorang pun yang masuk lagi kesana untuk membantu gurunya.
Diam2 Peng-say bersyukur dirinya terlepas dari
malapetaka, Bayangkan saja betapa bahayanya, andaikan
anak murid Ciamtay Cu-ih itu tidak tertutuk Hiat-to yang membuat mereka tak bisa berkutik, lalu salah seorang di
antaranya menyalakan api sehingga perkampungan itu
terbakar. Dalam keadaan tak bisa berjalan, bukankah Pengsay akan mati terbakar hidup2"
Karena itulah, tindakan si Nikoh tadi sama seperti telah menyelamatkan lagi Sau Peng-say. anak muda ini jadi
menyesal telah memakinya sebagai Nikoh bangsat.
Tapi apapun juga dia tetap tidak paham sebab apa orang
menolongnya. Waktu ia periksa lagi ruangan depan, benar juga, peti
mati memang sudah dibelikan oleh Ci-ho,
Sendirian Peng-say mengubur Liu Ji-si, ia pun tidak
membikin susah Ci-ho dan begundalnya, dibiarkan Hiat-to
mereka terbuka dengan sendirinya. Ia berdiri mengheningkan cipta hingga lama di depan kuburan Liu Jisi, habis itu barulah dia melangkah pergi, melanjutkan
perjalanan ke Si-an.
OoOd wOoO Si-an adalah sebuah kota besar di propinsi Siamsay, di
barat-laut Tiongkok. Sebuah kota yang paling lama
dijadikan ibu kota dari berbagai dinasti kerajaan di
Tiongkok, di antaranya dinasti Ciu selama 342 tahun, Han selama 215 tahun, Tang 290 tahun, boleh dikatakan
memakan waktu hampir seribu tahun selama sejarah
kerajaan di Tiongkok.
Kota yang berbentuk lonjong ini cukup ramai dengan
jalan raya dan istana yang megah, Banyak pula terdapat
tempat2 bersejarah dan tempat tamasya yang terkenal.
Diantara tempat2 terkenal itu terdapat "Gan-tah" atau Pagoda Belibis.
"Pagoda Belibis" ini ada dua, dibedakan dengan besar dan kecil, semuanya terletak di kota selatan. Pagoda Belibis besar berada di lingkungan biara Cu-in-si, konon di pagoda inilah Hian-cong, paderi yang juga terkenal dengan Sam-cong, pernah berdiam menyalin kitab pelajaran Buddha
yang dibawanya pulang dari negeri Hindu.
Sedangkan Pagoda Belibis kecil terletak di biara Pianhok-si. Pagoda di dalam agama Buddha dikenal sebagai Budur
atau candi. Gan-tah kecil di Pian-hok-si ini tingkat lima belas, tingginya lebih 300 kaki, dibangun pada jaman
kerajaan Keng-hong dinasti Tang.
Konon pada jaman kaisar Kah-ceng, dinasti, Beng
jadilah gempa bumi, Pagoda Belibis kecil ini telah rusak menjadi dua, tapi tahun berikutnya terjadi lagi gempa bumi dan pagoda itu pun rapat menjadi satu lagi. Dan begitu
seterusnya bila terjadi gempa bumi, pagoda itu selalu retak dan rapat kembali. Hal ini benar2 sesuatu keajaiban alam.
Pada Gan-tah kecil itu terdapat pula sebuah genta
raksasa yang terkenal dan dipandang sebagai delapan
keajaiban di Tiongkok.
Konon genta raksasa itu ditemukan di tepi sungai ketika
seorang perempuan dusun lagi mencuci pakaian di tepi
sungai, waktu baju yang dicucinya itu dibanting pada
sepotong batu cadas yang menonjol di tepi sungai, tiba2
menimbulkan suara gemerantang nyaring dan berkumandang jauh.
Orang yang berlalu lalang di situ merasakan keanehan
tersebut, ketika diperiksa dan digali, diketahui batu cadas besar itu ternyata sebuah genta saksasa.
Genta itu lantas dipindahkan ke puncak Pagoda Belibis
kecil dan menjadi tempat tamasya yang terkenal di seluruh negeri.
"0O0d w0O0"
Di kota Si-an terdapat sebuah Ban-seng-piau-kiok,
sebuah perusahaan ekspedisi yang terkenal, merupakan
satu2nya Piaukiok yang ada di Si-an.
Sebab apakah di kota Si-an yang besar ini hanya terdapat sebuah Piaukiok saja"
Sudah tentu ada alasannya. Sebab selain Piau?kiok ini,
siapa pun tidak berani membuka Piaukiok di daerah
kekuasaan Ma-kau ini. Dan cukong dibelakang layar Banseng-piau-kiok ini dengan sendirinya ada hubungan erat
dengan Ma-kau, makanya dapat berdiri dan berusaha
dengan aman dan makmur.
Pemimpin umum Ban-seng-piaukiok itu bernama Tan
Tiang-hoat. Pagi hari ini, baru saja Ban-seng-piau-kiok membuka
pintu, petugasnya yang bernama Ci Ji itu seketika kaget dan pucat, ia ber-lari2 ke ruangan belakang sambil berteriak2;
"Wah, celaka! Celaka."
"Ada apa, Ci Ji?" tanya Tang Tiang-hoat, itu Cong-piauthau atau pemimpin umum Ban-seng-piau-kiok yang
baru bangun tidur.
Sampai lama Ci Ji tidak sanggup bersuara, akhirnya ia
menjawab dengan menggeleng sambil menuding keluar:
"Ada gen. . .genta. . . ."
"Genta apa?" tanya pula Tang Tiang-hoat. Ada kejadian apa, tuturkanlah dengan pelahan, jangan gugup!"
Ci Ji berganti napas dulu, akan tetapi belum juga dia
dapat melapor dengan jelas, ucapnya dengan rasa takut:
"Genta. . .genta raksasa di Gan-tah itu telah.... telah berpindah kedepan pintu perusahaan kita!"
Tanpa bertanya lagi Tan Tiang-hoat terus berlari ke
depan. Genta raksasa itu tingginya kira2 sama dengan tinggi dua orang, besarnya tidak cukup untuk dipeluk dua orang.
Sekarang genta itu bertengger di depan pintu Ban-seng-piaukiok
dengan tegaknya. sungguh
mengejutkan dan membingungkan. Air muka Tan Tiang-hoat berubah kelam, ia berdiri termangu2 didepan pintu. Pikirnya: "Gan-tah kecil sedikitnya lima li jauhnya dari sini, untuk bisa sampai disini
diperlukan berlari. Tapi untuk mengangkat benda berbobot ribuan
kati ini saja sudah sulit, apalagi harus menurunkannya dari pagoda yang tingginya lebih 300 kaki, lalu semalam suntuk berlari kesini dengan mengangkat
genta ini, jelas maha sulit, kecuali orang yang mempunyai tenaga dalam yang sukar ada tandingannya, kalau tidak
jangan harap akan mampu melakukannya."
Hampir setiap penduduk kota Si-an kenal genta raksasa
ini, kalau diangkut disiang hari pasti akan membikin
gempar seluruh penduduk kota. Jadi jelas
orang melakukannya diwaktu malam sehingga belum sampai
dilihat orang.

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untung hari masih sangat pagi, jalan raya belum ada
orang berlalu-lalang. Apabila kejadian ini sampai diketahui orang dan tersiar, maka papan merek Ban-seng-piau-kiok
pasti akan runtuh.
Diam2 Tan Tiang-hoat juga berpikir: "Tenaga dalam
orang yang membawa genta ini jelas sangat mengejutkan,
pasti bukan sembarangan tokoh persilatan. Mungkin
sasarannya bukan diriku orang she Tan ini, bisa jadi ada sangkut-pautnya dengan Mo-kau, rasanya perlu cepat2
kulaporkan."
Tan Tiang-hoat memang berpengalaman dan cekatan,
menghadapi urusan apa pun tidak menjadi gugup, setelah
dipikir dan direnungkan lagi, segera tahu apa yang harus diperbuatnya, Padahal ilmunya tidaklah tinggi justeru
lantaran kecekatan bekerja dan pintar berpikir inilah, maka dia diserahi tugas memimpin Ban-seng-piau-kiok oleh Ma-kau.
Dalam pada itu Ci Ji sudah memberitahukan yang terjadi
itu kepada seluruh anggota Piau-kiok sehingga berbondong2 mereka sama keluar. yang belum bangun, begitu
mendengar geger2 tanpa berbaju mereka terus memburu
keluar. Melihat orang banyak itu, Tan Tiang-hoat berkerut
kening, katanya. "Kejadian ini tidak boleh tersiar, lekas kalian pergi mengambil sebuah layar kerundungi saja genta ini, biarkan kupergi kepada pimpinan Ma-kau."
Setiba di Congtong atau markas pusat, segera ia
beritahukan peristiwa ini kepada Hiangcu (pemimpin seksi) yang dinas piket.
Hiangcu yang berpiket itu pun hampir tidak percaya apa
yang terjadi itu, lekas2 ia melaporkan hal itu kepada salah seorang Tianglo (tertua) Ma-kau, yaitu Go Hui.
Setelah mendapat laporan lebih jelas dari Tan Tianghoat, Go Hui ternyata sependapat dengan Tan Tiang-hoat,
yaitu orang yang sengaja pamer kekuatan dengan
memindahkan genta raksasa dari Gan-tah kecil kedepan
pintu Ban-seng-piau-kiok itu, tujuannya bukan terhadap
Ban-seng-piau-kiok.
Yang menjadi persoalan adalah kebetulan yang Kaucu
lagi pergi jauh dan belum pulang. Maka Go Hui lantas
memutuskan akan pergi sendiri ke Ben-seng-piau-kiok, ia
menduga orang yang bersangkutan itu hari ini pasti akan
mencari perkara ke Piau-kiok.
Di antara ketiga Tiangio Ma-kau sekarang, ilmu silat Go
Hui terhitung yang paling tinggi. Jika Tianglo ini mau pergi
kesana, tentu saja Tan Tiang-hoat tidak perlu kuatir apa2
lagi. Diluar dugaan, meski Go Hui sudah menunggu hingga
senja tiba, tetap tidak nampak munculnya si penyatron.
"Go-tianglo, kata Tan Tiang-hoat kemudian, kukira
genta ini tidak boleh tertinggal di sini.?"
Sehari penuh sudah banyak kedatangan orang yang ingin
tahu barang apakah yang dikerudungi layar besar itu,
malahan ada yang bermaksud mengintip.
Untung penjagaan orang2 Piau-kiok cukup ketat apalagi
orang luar juga tahu Ban-seng-piau-kiok adalah usaha Makau, maka tidak ada yang berani bertanya lebih lanjut.
Akan tetapi bila keadaan demikian terus berlarut. kertas tentu tak dapat membungkus api, akhirnya kejadian itu
tentu juga akan bocor. Apalagi pintu gerbang Ban-sengpiau-kiok tertutup oleh layar, lalu mau usaha apa" Sedikit hari lagi jika hal itu tersiar tentu juga akan memalukan nama perusahaan.
Rusaknya nama baik Ban-seng-piau-kiok tidak jadi soal,
tapi setiap orang tahu Cukong Ban-seng-piau-kiok yang
sebenarnya adalah Ma-kau, apakah hal itu tidak berarti Ma-kau ikut kehilangan muka"
Maka setelah berpikir, kemudian Go Hui berkata:
"Maksud tujuan orang itu memindahkan genta ini ke sini, jelas dia sengaja hendak membikin malu Mo-kau kita. Hm,
dia menyangka Mo-kau kita tiada seorang pun yang
sanggup memindahkan kembali genta ini ke tempat
asalnya?" "Bagaimana kalau malam nanti kusuruh sepuluh orang
kuat memindahkan kembali genta ini ke Gan-tah kecil?"
tanya Tan Tiang-hoat
Go Hui menggeleng, katanya: "Meski sepuluh orang
kuat mampu menggotong genta ini, tapi mereka tak dapat
berlari, dalam waktu semalam tetap tidak dapat mencapai
tempat tujuan. Kita tidak perlu tahu berapa orang pihak
lawan membawa genta ini kesini, yang jelas Ma-kau kita
pasti akan ada orang kuat yang sanggup mengangkat
sendirian genta ini ke tempat asalnya."
Tan Tiang-hoat mengiakan. ia tidak berani bertanya
siapakah orang kuat yang dimaksudkan.
Tapi pagi2 esoknya, baru saja remang fajar akan
menyingsing, tertampaklah di bawah Gan-tah kecil itu
datang seorang Hwesio berjubah kelabu dengan tangan
mengangkat genta raksasa itu.
Seperti sudah diceritakan, pagoda atau candi bertingkat
lima belas, tinggi setiap tingkatnya dua tombak (empat
meteran). Hwesio jubah kelabu itu menarik napas panjang lalu
meloncat ke atas, tanpa bersuara dapat ia mencapai tingkat kedua. Begitulah ber-turut2 ia meloncat ke atas hingga
tingkat kesembilan, sampai disini, waktu hinggap di lantai sudah menimbulkan suara pelahan. Waktu dia naik lagi
lebih keatas, ketika hinggap di lantai, suara yang
ditimbulkan juga tambah keras. Sampai tingkatan terakhir, yaitu tingkat ke-15, suara yang ditimbulkan sudah mirip
tubuh orang terbanting, berbunyi "blang" dengan keras.
Air Muka Hwesio jubah kelabu itu pun ber-ubah2 dari
merah berubah menjadi pucat, dari pucat kembali merah.
Dia harus mengerahkan tenaga dan air muka berubah tiga
kali barulah cukup kuat mencapai tingkat tertinggi itu, lalu pelahan dia menurunkan genta raksasa yang dibawanya.
Pada saat itulah tiba2 seorang berkata di belakangnya:
"Anda ini tentunya Ma-kau-tianglo Sip-lik Taysu adanya!"
Hwesio jubah kelabu itu memang betul Sip-lik Taysu.
salah seorang Tianglo yang terkenal bertenaga raksasa di dalam Ma-kau.
Pelahan Sip-lik Taysu membalik tubuh, lalu bertanya:
"Darimana anda kenal akan diriku?"
"Kalau bukan Sip-lik Taysu, siapakah di dunia ini yang mampu mengangkat genta besar ini sambil ber-lari2 sejauh lima li lalu meloncat keatas candi setinggi lima belas tingkat ini tanpa lelah?" demikiah jawab orang itu.
"Siapakah nama anda yang terhormat?" tanya Sip-lik Taysu dengan tersenyum.
"Cayhe Sau Peng-say," kata orang itu.
Orang ini memang benar Peng-say adanya. Melihat Siplik Taysu menyambut pujiannya dengan tersenyum, tahulah
dia orang bukan seorang paderi yang memandang kosong
segalanya sesuai ajaran agama Buddha. Maka diam2 ia
sudah mempunyai akal.
Maklumlah, sudah jelas dia kelihatan sangat lelah, hal ini terbukti dari suara yang diterbitkannya ketika hinggap
ditingkatan teratas tadi, mana dia dapat menerima pujian Peng-say sebagai tidak letih.
Karena itulah Sip-lik Taysu lantas berkata: "Sau Peng-say, apakah kau yang memindahkan genta besar ini ke
depan pintu Ban-seng-piau-kiok sana?"
Ia lihat Peng-say masih muda belia, namanya tidak
terkenal, betapa pun ia tidak percaya hal itu dapat
dilakukan olehnya.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Jadi Taysu tidak
percaya" Padahal Cayhe cukup yakin akan diriku sendiri
pasti sanggup melaksanakannya tanpa letih sedikitpun."
Dengan ucapan "pasti sanggup" itu dia se-akan2 hendak menyindir pihak lawan yang jelas2 tidak sanggup.
Sudah tentu Sip-lik Taysu tahu arti ucapan anak muda
itu, ia berdehem, lalu menjawab: "Melompat turun dengan membawa genta itukan jauh lebih mudah daripada
membawanya keatas."
Di balik ucapannya itu ia pun ingin ber-olok2 bahwa
membawa genta itu ke bawah mana dapat dibandingkan
dengan membawanya ke atas.
Peng-say tertawa, katanya: "Melompat ke atas dengan membawa genta itupun tidak sulit dan tidak perlu letih."
"Ya, memang tidak sulit," jengek Sip-lik Taysu.
"Jika begitu, boleh coba. . . ." belum habis ucapannya, mendadak sebelah tangan Peng-say menghantam ke depan.
Cepat Sip-lik Taysu menangkis sekuatnya, tapi belum
lagi kedua tangan beradu benar. mendadak ia jatuh
terduduk karena dorongan tenaga lawan yang maha
dahsyat. Peng-say tersenyum dan tidak bersuara.
Tentu saja senyuman Peng-say itu dirasakan sangat
menusuk perasaan oleh Sip-lik Taysu, ucapnya dengan
geram: "Hm, pada saat tenagaku sudah lemah baru kau menyerang, kenapa mesti senang?"
"Tenaga lemah" Kalau tidak letih, kenapa tenaga sampai lemah?" kata Peng-say. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Katanya tidak sulit" Haha, lucu, sungguh
menggelikan."
Kelam air muka Sip-lik Taysu saking gemasnya,
mendadak ia berteriak: "Jika kau benar2 tidak letih
meloncat keatas dengan membawa genta itu, biarlah
kuberikan kepalaku ini!"
"Apa gunanya kepalamu yang gundul itu?" ujar Peng-say.
"Habis apa kehendakmu?" jawab Sip-lik Taysu.
"Aku cuma ingin tanya satu hal padamu."
"Hanya begitu saja?"
"Betul."
"Kalau tidak dapat kau lakukan?"
"Terserah kepada kehendakmu, apa pun akan kusanggupi."
"Baik, setuju!" kata Sip-lik Taysu. "Nah. bertepuk tangan sebagai tanda akan pegang janji!" kata Peng-say.
Setelah kedua orang mengadu tangan, mendadak jari
Peng-say menutuk Siok-kin-hiat di pinggang Sip-lik Taysu sehingga roboh tak berkutik.
"Bocah busuk. . . ." belum habis Sip-lik memaki, kembali Peng-say menutuknya pula Hiat-to bagian bisu.
"Maaf, terpaksa bikin susah kau satu hari." kata Peng-say dengan tertawa. Dia menyingkap genta raksasa itu dan
mendorong Sip-lik Taysu kedalam genta, habis itu barulah ia melayang turun pagoda itu dan berlari pergi secepat
terbang. Menghilangnya Sip-lik Taysu tentu saja membuat panik
segenap anggota Mo-kau hampir seluruh pelosok kota Si-an telah digeledah dan dicari secara rahasia oleh anak murid Mo-kau. Akan tetapi semua usaha hanya sia2 belaka,
bayangan Sip-lik Taysu tetap tidak ditemukan. Siapapun
tidak sangka bahwa Sip-lik Taysu disembunyikan di genta
raksasa di puncak Pagoda Belibis itu.
Go Hui paling akrab dengan Sip-lik Taysu, keduanya
sama2 Mo-kau-tianglo, dia yang minta Sip-lik Taysu agar
membawa kembali genta itu ke tempatnya yang semula.
Ketika hal itu dilaksanakan Sip-lik, diam2 ia merasa urusan tidak sederhana, maka ia bermaksud melindungi Sip-lik
secara diam2. Namun ia pun tahu Sip-lik Taysu rada tinggi hati dan
suka menang, maksud Go Hui itu bisa jadi dianggapnya
sebagai suatu penghinaan. Apalagi ia pun yakin di dunia ini jarang ada yang mampu menandingi Sip-lik, maka
maksudnya mengawal Sip-lik lantas dibatalkan.
Tapi ketika keesokannya Sip-lik tidak kelihatan pulang,
Go Hui menjadi gelisah. Cepat ia menyusul ke Gan-tah
kecil, dilihatnya genta itu sudah kembali di tempat asalnya, namun Sip-lik tetap tidak kelihatan bayangannya.
Diam2 ia lantas memerintahkan anggota Ma-kau
menyelidiki seluruh pelosok kota, setiap orang yang
sekiranya mencurigakan juga diawasi. Tapi sampai petang
hari tetap tidak diperoleh sesuatu
petunjuk yang memuaskan. -ooo0dw0ooo- Jilid 34 Dalam pada itu. ketika malam tiba, Peng-say melayang
lagi kepuncak Pagoda Belibis itu dan melepaskan Sip-lik
dari bawah genta.
Karena terkurung sehari penuh di dalam genta yang
pengap, meski Hiat-to yang tertutuk sudah terbuka tapi
terasa lemas juga seluruh badan. Diam2 Sip-lik Taysu
hanya memendam rasa gusarnya didalam hati dan tidak
berani diperlihatkan.
Peng-say menyodorkan satu bungkus rangsum kedepan
paderi itu, katanya dengan menyesal, "Maafkan tindakanku yang tidak sopan ini. Soalnya kekuatan Ma-kau kalian
teramat besar di daerah ini, Cayhe hanya sendirian dan
masuk ke sarang harimau untuk memusuhi kalian, demi
keselamatanku sendiri terpaksa harus kubikin susah
padamu. Silakan dahar, silakan!"
Biarpun gusar, isi perut terlebih penting. Hanya sekejap saja Sip-lik Taysu telah menyikat bungkusan makanan itu.
"Taysu ternyata seorang yang lugu, sama sekali tidak takut kuracuni kau," kata Peng-say dengan tertawa.
"Aku kan sudah jatuh didalam cengkeramanmu, kalau
mau dapat kau sembelih sesukamu, kenapa ku-takut
diracun?" jawab Sip-lik Taysu.
"Ah, sama sekali tiada maksudku hendak mencelakai
Taysu, lewat malam ini tentu akan kukembalikan
kebebasan Taysu," ujar Peng-say.
"Dengan tipu daya yang kau atur ini, apakah tujuannya cuma untuk pertaruhan malam ini saja?"
"Betul. Kalau tidak demikian, rasanya tidaklah mudah bagiku untuk berjumpa dengan tokoh penting di dalam Ma-kau kalian seperti Taysu."
"Jadi menurut perhitunganmu aku pasti akan masuk
perangkapmu?" jengek Sip-lik.
"Ah, juga kebetulan saja," jawab Peng-say.
"Jika waktu Taysu mengangkut pulang genta ini dikawal orang, tentu Cayhe tidak berani bertindak apa pun terhadap Taysu."
Dengan angkuh Sip-lik menjawab: "Selaku Tianglo
terkemuka di dalan. Mo-kau kami, kenapa harus dikawal
orang?" Peng-say tersenyum, pikirnya di dalam hati: "Justeru lantaran
watakmu yang sok inilah. maka sudah kuperhitungkan hasil seperti sekarang ini."
Sip-lik Taysu dapat meraba jalan pikiran anak muda itu,
ia menjengek pula: "Hm, kau pun tidak perlu gembira, apa yang kau lakukan juga tidak berdasarkan kepandaian
sejati." "Jadi Taysu masih penasaran?" tanya Peng-say.
"Bila benar2 dapat kau kalahkan diriku, biarpun tertawan juga tidak akan menyesal," ujar Sip-lik.
"Kutahu Taysu terhitung tokoh Mo-kau nomor satu
dengan tenaga saktimu, sebab itulah sengaja kutetapkan
pertaruhan malam ini, supaya Taysu akan kalah dengan
takluk lahir batin."
"Jika anda benar2 dapat meloncat ke atas Pagoda dengan membawa genta ini tanpa memperlihatkan rasa letih, tentu saja aku akan menyerah sepenuhnya. Cuma, dengan susah
payah kau atur tipu muslihatmu ini. perlu juga kutanya apa maksud tujuanmu."
"Tentang tujuanku, biarlah kita bicarakan setelah selesai taruhan," kata Peng-say.
"Baik, silakan mulai!" kata Sip-lik.
"Coba, kalau
menurut perkiraan Taysu, berapa panjangnya kira2 sekeliling pagoda ini?" tanya Peng-say.
Sip-lik berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Kurang
lebih 20 tompak."
"Betul, sudah kuukur, memang persis 20 tombak " kata Peng-say.
Habis berkata segera ia angkat genta besar itu. melompat turun setingkat demi setingkat, hanya sekejap saja ia sudah berada di dasar pagoda itu.
Semula Sip-lik Taysu rada sangsi apakah pemuda sebelia
dia ini mampu mengangkat genta sebesar itu. Ia menduga
orang yang mengangkat genta ini kedepan pintu Ban-sengpiau-kiok tentu tidak dilakukan oleh Peng-say seorang saja.
Sekarang terbukti Peng-say dapat mengangkat genta
besar itu dengan enteng dan melompat ke bawah pagoda
seenaknya, maka Sip-lik tidak sangsi lagi. Namun begitu dia masih ragu2 apakah anak muda itu mampu meloncat
kembali keatas pagoda melebihi dirinya tadi dan tidak


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlihatkan rasa letih sedikit pun"
Ia memandang kebawah dari puncak pagoda, ia tidak
melihat Peng-say meloncat lagi keatas. tapi anak muda itu mulai berlari cepat mengelilingi pagoda, maka pahamlah
dia untuk apa Peng-say bertanya tentang panjang lingkaran pagoda itu tadi.
"Hm, bocah ini tidak tahu diri, berani dia bertanding dengan aku secara sama," demikian diam2 Sip-lik
menjengek. Kiranya dia menganggap tenaga saktinya sangat kuat,
asalkan Peng-say mampu mengangkat genta itu kembali
keatas, maka iapun akan mengaku kalah, ia rela memberi
jarak lima li. dari Ban-seng piau-kiok ke pagoda ini. Siapa tahu, Peng-say ternyata tidak mau menarik keuntungan ini.
Kalau satu li sama dengan seratus tombak, lima li berarti lima ratus tombak, Sedangkan sekeliling pagoda itu
panjangnya 20 tombak, maka lima li sama dengan 25 kali
mengitari pagoda itu.
Begitulah dengan cepat Peng-say terus mengitari pagoda
itu, tidak sampai setengah jam 25 putaran sudah
diselesaikannya.
Menyaksikan tenaga anak muda itu, mau-tak-mau Sip-lik
Taysu menjulurkan lidah. Pikirnya, "Meski pun berlari cepat juga menghemat tenaga, tapi kalau aku diharuskan
berbuat sama, apakah aku mampu?"
Rupanya waktu dia membawa genta besar itu dari Ban
seng-piau-kiok kembali ke pagoda ini, di tengah jalan dia perlu beristirahat beberapa kali dan makan waktu tiga jam baru bisa tiba di tempat tujuan. Jika dia diharuskan
mencapainya dalam waktu setengah jam, jelas tidak
sanggup dilakukannya.
Sampai di sini, tidak perlu lagi Peng-say mengangkat
genta itu keatas pagoda, diam2 Sip-lik Taysu sudah
mengaku kalah. Akan tetapi taruhan mereka memakai patokan letih dan
tidak, maka iapun ingin menyaksikan apakah pemuda itu
mampu meloncat ke atas pagoda setingkat demi setingkat
dan apakah takkan menerbitkan suara setiba di puncak
pagoda" Dalam pada itu Peng-say sudah mulai meloncat ke atas
dengan membawa genta raksasa itu. Setiba di tingkat ke-13, tampaknya dia masih gagah dan kuat, sedikit pun tidak
kelihatan letih, waktu menghinggap di lantai juga tidak
bersuara. Seketika Sip-lik Taysu merasa lemas, katanya di dalam
hati: "Sudahlah, selanjutnya aku malu menggunakan nama
'Sip-lik' (tenaga sepuluh) lagi. Entah apa yang akan
ditanyakan bocah ini" Ku kira persoalannya pasti tidak
sederhana, kalau tidak masakah aku yang menjadi
sasarannya" Apakah nanti harus kujawab atau tidak?"
Baru sekarang ia merasakan gawatnya urusan, Jika
lawan nanti bertanya tentang urusan penting Mo-kau, kalau menjawab berarti mengkhianat, bila diketahui Kaucu pasti takkan bebas daripada hukuman mati.
Sebaliknya kalau urusannya tidak penting, tentu lawan
tidak perlu bersusah payah mengatur tipu daya sejauh ini"
Ia mengira yang akan ditanyakan Peng-say nanti pasti
urusan penting, daripada nanti dirinya menanggung risiko, akan lebih baik kalau sekarang bertindak secara untung2an.
Berpikir demikian, segera ia menghimpun tenaga pada
kedua tangannya dan siap menghantam. Cuma lantaran
sehari penuh meringkuk didalam genta dan Hiat-to baru
saja lancar kembali, betapa pun tenaganya tidak sekuat
semula. Padahal pihak lawan jelas memiliki Lwekang yang
sempurna, tenaga dalamnya tidak pernah kering, makanya
dapat berlari dengan mengangkat genta besar itu tanpa letih sedikit pun. Jadi apakah akan berhasil serangannya,
sungguh sukar diduga.
Dengan hati berdebar ia menyaksikan Peng-say telah
meloncat kelingkatan teratas dan sama sekali tidak
mengeluarkan suara, segera ia menyongsongnya sambil
berseru: "Wah, sungguh Kungfu yang hebat! Ayolah
kubantu pegang genta ini?"
Dengan lagak hendak bantu mengangkat genta yang
dipegang Peng-say itu, diam2 ia mengerahkan segenap
tenaganya dan mendorong pelahan ke depan.
Budur tingkat tertinggi ini lantainya juga lebih sempit, dengan mengangkat genta besar itu jelas Peng-say tidak
dapat mengelak, baginya hanya ada pilihan antara
menyambut tenaga dorongan Sip-lik Taysu itu atau ia pun
mendorong genta itu ke depan dan mengharuskan Sip-lik
memegang genta itu.
Bila genta itu didorong Peng-say, rupanya tindakan ini
sudah diperhitungkan oleh Sip-lik Taysu, dia sudah
mengambil keputusan takkan memegang genta itu, dia rela
tertindih oleh genta itu, biar pun mati atau terluka parah dia tetap harus berhasil menghantam Sau Peng-say.
Diluar dugaan, Peng-say sama sekali tidak pedulikan apa
maksud orang, ia pun tidak mendorong genta itu ke depan, tapi sebelah tangannya yang bebas itu mendadak mengebas
ke depan untuk memapak tenaga pukulan Sip-lik Taysu
sambil berkata: "Tidak usah Taysu ikut repot!"
Dia berlagak tidak tahu tujuan Sip-lik, tapi kebasan
tangannya itu sebenarnya telah menggunakan segenap sisa
tenaganya. Maksud Peng-say, bila lawan tidak berniat menyerangnya, maka ia pun akan menahan tenaga
serangannya, tapi bila lawan menyerang benar2. maka ia
pun akan menangkisnya dengan keras lawan keras agar Siplik tahu akan kelihayannya dan kalah tanpa penasaran.
Untung juga dia bertindak demikian, dari bahaya Pengsay jadi selamat malah. Kalau tidak, umpama dia dapat
menindih Sip-lik hingga terluka parah atau mati, tapi karena tenaga dorongan itu, daya pertahanan sendiri tentu juga
berkurang dan dia pasti akan binasa oleh pukulan Sip-lik yang dilancarkan sepenuh sisa tenaganya itu.
Keadaan sekarang tangan yang satu mengangkat sebuah
genta raksasa, tenaga yang dapat digunakan pada sebelah
tangannya hanya setengah saja. Sebaliknya tenaga Sip-lik belum pulih seluruhnya, kedua tangannya yang sedang
menghantam itu hanya dapat mengerahkan tujuh atau
delapan bagian tenaga yang biasa dimilikinya. Namun adu
tenaga pukulan ini ternyata seimbang alias sama kuat.
Sebelah tangan Peng-say jadi melengket di antara kedua
telapak tangan Sip-lik, kedua orang sama bertahan dan
tidak mau mundur setengkah pun.
Dalam pada itu Sip-lik sudah mengerahkan sepenuh
tenaga, dengan demikian barulah dia bertahan tanpa
terdesak mundur, tapi seluruh badannya jadi tidak dapat
berkutik pula. Sebaliknya
dengan tangannya
yang mengangkat genta itu, tenaga. Peng-say masih tersedia pada tangan itu.
Dia mengincar baik2 tempatnya, mendadak ia dorong
genta itu kesana. ia kuatir bila genta itu jatuh ke lantai akan menimbulkan suara keras, maka tenaga yang digunakan
mendorong itu cuma enam bagian saja.
Karena itu, tenaga tangan yang digunakan menahan
serangan Sip-lik tadi lantas berkurang, seketika ia tertolak mundur dua-tiga tindak. Akan tetapi genta besar itu dapat melayang ke dalam pagoda dan menyentuh lantai tanpa
menerbitkan suara apapun. Coba kalau genta itu
menerbitkan suara nyaring keras, tentu akan mengagetkan
seluruh penduduk kota Si-an.
Karena serangannya tidak berhasil, sebaliknya lawan
sekarang telah melepaskan gentanya, apabila tenaga lawan yang digunakan mengangkat genta itu dipindahkan untuk
menghantamnya, maka dirinya pasti akan binasa. Keruan
Sip-lik menjadi kelabakan, butiran keringat memenuhi
dahinya, ia bermaksud menarik tangannya, tapi sayang,
tiada tersedia tenaga lagi,
Rupanya Peng-say tidak bermaksud mencelakai Sip-lik
Taysu, mendadak sebelah tangannya memotong ke-tengah2
ketiga tangan yang melengket itu sambil membentak:
"Mundur!"
Kesempatan baik ini segera digunakan oleh Sip-lik Taysu
untuk menarik tangannya.
Dengan tertawa Peng-say berkata pula: "Apakah Taysu memang sengaja hendak menjajal kemampuan Cayhe?"
"Setelah menjajal, Anda ternyata betul tidak letih sedikit pun, sungguh kagum!" jawab Sip-lik dengan kikuk.
"Kalau sudah menerima tanpa membalas tidaklah
sopan!" seru Peng-say mendadak. sebelah pedangnya terus menusuk.
Selamanya Sip-lik bertempur dengan bertangan kosong,
maka tidak pernah membawa senjata, segera ia pun
membentak: "Bagus!"
Telapak tangan kanan terus menyampuk kedepan dan "plak", dengan tepat batang pedang Peng-say tersampuk.
Dia memang tidak malu menjabat Tianglo Ma-kau,
serangan Peng-say itu cukup cepat, tapi batang pedang tetap tersampuk, untung tenaga dalam Peng-say lebih kuat
sehingga pedang tidak sampai terlepas dari cekalan.
Ucapan Peng-say tadi masih belum selesai, maka
sekarang ia menyambung: "Terimalah satu jurus Siang-liu-kiamku!"
"Siang liu-kiam?" Sip-lik Taysu terkejut oleh nama itu sehingga rada lena.
"Kena!" bentak Peng-say ketika pedang Kiri menyambar kedepan, secepat kilat ia menggores tanda silang di depan dada Sip-lik Taysu.
Sambil mendekap dadanya Sip-lik melompat mundur,
tapi ia pun tahu cuma terluka luar saja dan tidak berbahaya,
"Taysu menganggap aku seperti anak kecil umur tiga dan mencari susah sendiri, maaf, terpaksa aku bertindak kasar!"
kata Peng-say dengan tertawa.
Ber-ulang2 mengalami kekalahan, lenyaplah semangat
Sip-lik Taysu, katanya kemudian sambil menghela napas:
"Baiklah, apa yang ingin ditanyakan Anda, silakan bicara."
"Ma-kau kalian kenapa mempunyai lima tempat
Contong, masa begini banyak?" tanya Peng-say.
"Pimpinan pusat kami membawahi Ngo-heng-tong, lima
seksi ini menduduki lima tempat, semuanya merupakan
Congtong kami, makanya terdapat lima tempat," tutur Sip-lik.
"Rapi benar cara berpikir Ma-kau kalian, dengan cara menyebarkan
markas pimpinan, bila satu tempat dimusnakan musuh masih tetap ada tempat pimpinan yang
lain untuk meneruskan perlawanan."
"Bukan begitu tujuannya, tapi untuk lebih luas
penyebaran ajaran agama kami," kata Sip-lik. "Kecuali urusan penting harus minta keputusan kepada Kaucu,
biasanya pekerjaan rutin dapat diputuskan oleh Ngo-hengtong sendiri."
"Oo," Peng-say mengangguk. Lalu bertanya. "Dan entah Tonghong-kaucu kalian berdiam di markas pusat mana?"
"Sesungguhnya apa yang akan kau tanyakan menurut
janji kita tadi?"
"Ialah tempat kediaman Tonghong-kaucu," jawab Peng-say.
"Sebenarnya ada urusan apa kau cari Kaucu kami?"
"Urusan pribadiku, tidak perlu kujelaskan bukan?"
"Ya, aku sudah kalah, sudah seharusnya kupegang janji dan kujawab setiap pertanyaanmu. yang kutanyakan ini
hanya sepintas lalu saja."
"Tempat kediaman Kaucu kalian ternyata sangat
dirahasiakan, sudah beberapa anggota Ma-kau kutanyai dan tiada seorang pun yang tahu," kata Peng-say.
"Kaucu kami dipandang se-akan2 malaikat dewata oleh setiap anggota Ma-kau kami, sebagian besar anggota tidak pernah melihat wajah asli Kaucu, kecuali para Tianglo dan kelima Tongcu dari Ngo-heng-tong, selebihnya tidak ada
yang tahu jejak dan tempat kediaman beliau."
"Oo. makanya ingin kutanyai Taysu mengenai tempat
kediaman Kaucu kalian," kata Peng-say dengan tertawa.
"Ini soal kecil," kata Sip-lik. "Dengan ilmu silat Anda yang hebat, biar pun langsung minta bertemu juga Kaucu
kami akan menyambut sendiri kunjunganmu. untuk apa
Anda memasang perangkap dan banyak membuang tenaga
percuma?" "Hah, rupanya Taysu ingin memancing lagi maksud
tujuanku mencari Kaucu kalian," ujar Peng-say dengan tertawa.
"Ilmu silat Tonghong-kaucu kami lain daripada yang
lain, baik Lwekang mau pun ilmu pedangnya sudah
mencapai puncaknya kesempurnaan, dengan kelihayan
Anda memang tidak sulit untuk mengalahkan diriku, tapi
kalau ingin berbuat sesuatu terhadap Kaucu, hm, kukira
biar pun Siang-liu-kiam-hoat yang termashur juga tiada
gunanya." "Jika demikian, tentunya tidak perlu kau kuatirkan
Cayhe akan menyergap Kaucu kalian," kata Peng-say.
"Nah, hendaklah kau katakan tempat kediamannya."
"Tempat kediaman Kaucu kami tidak berada di dalam
kota. . . ."
"Taysu, ada satu hal ingin kukatakan lebih dulu," sela Peng-say. "Tentang kau terkurung satu hari dibawah genta serta dadamu terluka, Cayhe berjanji akan menjaga rahasia bagimu, pasti takkan kuceritakan kepada siapa pun juga."
"Terima kasih," kata Sip-lik Taysu. "Tapi kau pun jangan kuatir, tidak nanti kutipu kau dengan sembarangan
menyebut nama tempatnya. Nah, dengarkan, diluar pintu
gerbang barat kota ada sebuah perkampungan bernama
Jian-liu-ceng, di situlah tempat kediaman Kaucu kami."
"Dan mengenai jejakku, hendaknya. . . ."
"Jangan kuatir, asalkan kau jaga rahasia bagiku, tentu akupun akan jaga rahasia bagimu," jawab Sip-lik,
"Terima kasih," ucap Peng-say sambil memberi hormat.
"Soalnya Cayhe kuatir orang Mo-kau kalian menganggap diriku
sebagai musuh, terpaksa kuminta jejakku dirahasiakan."
"Jika demikian, jadi tujuanmu mencari Tong-hong
Kaucu tidak bermaksud jahat?" tanya Sip-lik.
"Ya, sementara ini tiada maksudku handak memusuhi
beliau," jawab Peng-say.
"Tapi selanjutnya?" tanya pula Sip-lik.
"Ada satu urusan penting, setelah kuselidiki dan ternyata tiada sangkut-pautnya dengan Kaucu kalian, maka
seterusnya aku pun takkan memusuhi beliau,"
"Urusan apa yang hendak kau selidiki?"
"Maaf, ini urusan pribadiku."
"Oo, maaf, akulah yang terlalu banyak bertanya. Cuma, bila Anda ingin mencari Kaucu, dalam waktu dekat ini
mungkin sukar bertemu."
"Sebab apa?" tanya Peng-say.
"Kaucu sedang pergi jauh dan entah kapan pulangnya,"
tutur Sip-iik. "Terima kasih atas keteranganmu, biarlah kumohon diri saja," ucap Peng-say sembari memberi hormat.
Sip-lik Taysu berdiri terkesima di puncak pagoda
menyaksikan kepergian Peng-say, sampai lama
ia termenung di situ.
"Entah apa sebenarnya maksud tujuan orang ini, apakah jejak orang ini harus kulaporkan kepada Kaucu atau tidak?"
demikian ia meminang-minang
dengan ragu-ragu, sesungguhnya dia tidak takut anak muda itu akan
menyerang Tonghong Put-pay secara menggelap, yang
dikuatirkan adalah kalau Peng-say tertangkap oleh sang
Kaucu Pikirnya: "Bila apa yang kualami ini tidak kulaporkan, jangan-jangan dia tertangkap oleh Kaucu, lalu mengaku


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa akulah yang memberitahukan padanya tempat
kediaman Kaucu, kan bisa celaka diriku ini mengingat
betapa tegasnya hukum agama kita."
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Jika sudah begitu, jiwa saja sukar diselamatkan, apa artinya lagi nama segala?"
Mendadak ia mengepal dan mengambil keputusan:
"Peduli nama apa segala" Jiwa selamat paling penting.
Biarlah apa yang terjadi ini harus kulaporkan kepada Kaucu dengan terus terang dan sejelasnya."
Akan tetapi sejenak kemudian ia geleng-geleng kepala
pula dan berpikir: "Nama Sip-lik Taysu yang sudah terkenal selama berpuluh tahun ini mana boleh musnah dalam
sekejap dengan begitu saja" Bilamana diketahui Kik Koan
bahwa aku dikalahkan oleh seorang anak muda yang baru
berumur likuran, bukankah aku akan ditertawakannya
hingga giginya copot, lalu kemana pula akan kutaruh
mukaku?" Kik Koan yang dimaksud adalah saudara muda Kik
Yang, tertua Ma-kau yang mati bersama Wi Kay-hou
dahulu itu. Kik Koan, Kik Yang, Go Hui dan Sip-lik. Taysu
berempat adalah empat tertua Ma-kau yang berpengaruh.
Akan tetapi empat orang terbagi menjadi dua grup, Kik
Koan dan Kik Yang di satu pihak sering perang dingin
dengan Go Hui dan Sip-lik Taysu di lain pihak.
Perang dingin antara mereka terjadi karena pertentangan
pendapat, Kik Yang dan Kik Koan adalah golongan
Lencana Pembunuh Naga 9 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Rahasia Mo-kau Kaucu 8

Cari Blog Ini