Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Bagian 2
bukan persoalan busung-membusung, melainkan
persoalan Pedang Penakluk Cinta yang kabarnya tidak
bisa membuat oramg menjadi busung. Keberadaan
Pendekar Mabuk di Bukit Busung itu bukan lantaran ia
ingin menjadi busung juga, tapi karena dibawa oleh
Mustikani. Ia dipanggul di pundak Mustikani yang
menggunakan kekuatan tenaga dalam. Tanpa kekuatan
tenaga dalam mustahil gadis cantik itu dapat memanggul tubuh Suto Sinting yang
kekar dan tinggi gagah itu.
Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Mustikani
menyampirkan tubuh Suto Sinting di pundaknya seperti
menyampirkan handuk saat mau ke kamar mandi.
Pemuda berhidung bangir itu tak melakukan protes
atau meronta saat dipanggul seenaknya oleh Mustikani
dan dibawa ke Bukit Busung, karena pada waktu itu
Suto Sinting dalam keadaan pingsan.
Mustikani membawanya ke pondok di lereng Bukit
Busung, karena tempat itulah yang terdekat dengan
tempat pingsannya Suto akibat tendangan beruntun si
Tulang Besi. Kebetulan Mustikani mempunyai kakek
yang tinggal di Bukit Busung. Maka tak ada pilihan lain bagi si gadis untuk
menyelamatkan nyawa si tampan
kecuali dengan cara membawanya ke pondok sang kakek
itu. Tetapi setelah tiba di rumah kakeknya, ternyata
Mustikani terpaksa mencukil pintul belakang dan masuk
lewat pintu belakang tersebut. Bukan karena Mustikani
berbakat jadi maling, tapi karena keadaan terpepet. Sang kakek ternyata sedang
pergi, sedangkan hari sudah
hampir petang. Mau tak mau Mustikani harus segera
membawa masuk Suto Sinting ke dalam pondok
tersebut. Pemuda itu dibaringkan di atas dipan dari anyaman
bambu. Dipan itu tidak berkasur, karena mungkin sang
kakek tak sempat memesan kasur di toko mebel, atau
memang saat itu belum ada toko mebel. Sekalipun dipan
itu tanpa kasur, tapi terasa empuk, karena dilapisi
anyaman jerami yang dibungkus tikar pandang.
Pendekar Mabuk siuman setelah dibaringkan di situ
selama lebih kurang dua jam. Karena pada waktu itu
belum ada arloji, maka Mustikani tidak mempersoalkan
berapa lama si pendekar tampan itu dibaringkan dalam
keadaan pingsan.
Yang jelas ketika Suto Sinting siuman, pertama-tama
yang dirasakan adalah sakit dada, senut-senut di kepala, panas di pernapasan,
lemah di tenaga, nyeri di sekujur tulangnya. Pertama ia membuka mata, yang
dilihat adalah ujung api lampu minyak. Lampu minyak itu
menggantung di tengah ruangan dan dapat dilihat dari
tempat Suto berbaring.
Makin lama pandangan matanya makin jelas. Makin
bingung juga jadinya.
"Di mana aku ini?" gumamnya dengan suara lirih sekali, lalu segera menyeringai
menahan rasa sakit di
dadanya. Dada itu hangus dan gumpalan darahnya
menghitam di bawah lapisan kulit.
Lalu seraut wajah muncul bagai melongok Suto dari
sisi kanan. Serut wajah itu amat cantik dan mempesona.
Suto Sinting kaget, tapi tak mau berteriak karena
dadanya akan menjadi semakin sakit jika dipakai untuk
berteriak. "Ssi... siapa kau, Nona?"
"Apakah kau lupa padaku?" Mustikani justru balik bertanya. Pendekar Mabuk
bingung, namun tak sampai
pingsan lagi. Ia segera mengingat-ingat bayangan yang
samar-samar sudah mulai muncul di benaknya. Lalu,
sebaris kenangan tadi sore muncul kembali dalam
ingatannya. "Oh, kau... kau Mustikani, yang mau dibunuh oleh
Tulang Anjing itu?"
"Benar. Tapi yang mau membunuhku adalah si
Tulang Besi, bukan Tulang Anjing."
"Iya. Maksudku, si Tulang Besi yang mirip tulang
anjing itu," ujar Suto menutupi kekeliruannya.
Setelah itu si tampan konyol itu menyeringai lagi, menahan rasa sakit di
dadanya. Tangannya yang ingin
memegang dada bergerak sangat pelan. Menyedihkan
sekali, ia seperti orang jompo yang belum makan tujuh hari. Lemas dan sepertinya
tak punya sisa tenaga lagi
selain untuk menarik napas. Menarik napas saja terasa
sulit, apalagi menarik timba sumur, jelas tak akan
mampu. Bahkan menarik kesimpulan saja agak susah.
"Tuak...," ucap Suto Sinting pelan. "Minum tuak...."
"Sudah. Aku sudah minum tuak, tadi sewaktu sampai di sini."
"Aku yang minum... bukan kau!" kata Suto dengan menahan rasa dongkol.
"Oo... maksudmu kau ingin minum tuak. Hmmm...
sebentar, kuambilkan...." Mustikani agak gugup.
Rupanya gadis itu menjadi gugup karena punya rasa
takut, yaitu takut kalau pemuda tampan itu mati. Maka
ketika Suto mulai siuman, Mustikani merasa gembira.
Rasa gembira itu tak disadari muncul sendiri dalam
hatinya dengan tulus, ikhlas, tanpa paksa dan tanpa
ancaman. Tak heran jika saat Suto meminta minum
tuaknya, Mustikani sempat menggeragap dan salah
ambil. Bukan bumbung tuak milik Suto yang
diambilnya, melainkan bumbung milik kakeknya yang
biasa dipakai untuk menyimpan minyak tanah. Untung
saja belum sempat diserahkan kepada Suto sehingga
Mustikani terhindar dari tindakan yang nyaris
memalukan pribadinya.
"Hmmm .. hmmm... apakah kau bisa meminum tuak
sendiri" Keadaanmu lemah begitu, Suto," ujar
Mustikani. "Tidak... bisa. Harus ada yang... menuangkan ke
mulutku." "Hmm, eeh, hhm... aku saja. Aku sudah biasa
menyiram tanaman, jadi aku yakin kalau aku bisa
menuangkan tuak ke mulutmu."
"Kau... pikir... aku... pot kembang..."!"
Mustikani tersenyum tawar dan kaku sekali. Salah
tingkah juga gadis itu, selain juga tangannya gemetar
karena rasa gugup. Perasaan gugup itu timbul setelah ia merasa beruntung bertemu
dengan Suto Sinting. Jika
tidak ada Suto Sinting, ia yakin akan tumbang di tangan Tulang Baja, karena
ilmunya tak akan mampu
menandingi ilmu si Tulang Baja.
Rasa salut dan kagum membuat hati Mustikani
tertarik untuk bersahabat dengan pemuda tampan itu.
Lebih-lebih setelah beberapa saat ia tadi pandangi wajah Suto yang pingsan, ia
baru temukan sebentuk
ketampanan yang mendebarkan hati. Seakan ketampanan
itu membutuhkan belas kasih sayang yang tulus dari
hatinya, sehingga sang hati pun membuka pintu dan
siap-siap menerima tamu jika sampai Suto Sinting
merayap masuk ke hatinya.
"Buka mulutmu, akan kutuangkan tuak ini pelanpelan," ujar Mustikani masih paksakan diri untuk
kelihatan tegar dan tegas, walau pemaksaan itu justru membuatnya semakin kikuk.
Suto Sinting membuka mulutnya. Kecil. Mustikani
sangsi dapat menuangkan tuak di lubang mulut yang
sekecil itu. "Lebarkan lagi mulutmu."
"Sudah...," jawab Suto pelan, lalu melebarkan mulutnya lagi.
"Lebih lebar lagi. Terlalu sempit untuk masuknya air tuak."
"Ini... sudah besar."
"Ah, mengapa masih kecil sekali?"
"Yang... mau kau... tuangi itu... lubang hidung."
Mustikani tertawa, namun tak berani bersuara lepas.
Bahkan ia tertawa sambil menoleh ke belakang,
sembunyikan senyum gelinya. Tanpa sengaja tawa yang
dipendam itu mengguncangkan tubuh, sementara
bumbung tuak sudah dimiringkan. Mau tak mau tuakpun
akhirnya mengguyur wajah Suto Sinting. Byuur...!
"Haap, hhaap, haap...!" Suto Sinting gelagapan.
"Ooh..."!" Mustikani kaget dan buru-buru menarik bibir tuak dari mulut Suto.
Tapi dengan begitu, sebagian tuak sudah tertelan ke tenggorokan, dan mulai
bekerja sebagai penyembuh luka di dada si Pendekar Mabuk itu.
Mustikani meninggalkan Suto yang masih berbaring
di dipan bambu, ia sempatkan diri untuk mandi, karena
kebetulan tempat penampungan air di kamar mandi terisi penuh. Usai mandi, badan
segar, pakaian rapi, Mustikani kembali temui Suto sambil menentang pedangnya.
Pedang pun diletakkan di atas meja. Saat itu, Suto
Sinting telah duduk di tepian dipan bambu, ia tampak
segar dan telah sehat seperti sediakala. Tak ada bekas luka sedikit pun di
dadanya. "Maaf, tadi aku... aku tak sengaja mengguyur
wajahmu," kata Mustikani dengan senyum dikulum.
Gadis itu dekati Suto Sinting, berdiri pandangi Suto dengan bola mata bening
yang memancarkan
kelembutan tersendiri, ia berkata lagi dengan suaranya yang semakin berkesan
kalem tapi punya ketegasan yang
tak timbulkan kesan cengeng.
"Aku benar-benar tak sengaja mengguyur wajahmu
dengan air tuak."
"Tak apa. Aku tak sakit hati, asal bukan air comberan yang kau guyurkan ke
wajahku," ujar Suto dengan
kalem. Senyumnya pun tampak lebih kalem lagi dari
senyum sebelumnya.
Rupanya setelah minum tuaknya sendiri luka di dada
tadi hilang, dan pengaruh tuak yang diminumnya dari
Mahesa Gondes telah sirna sama sekali tanpa bekas.
Kondisi murid si Gila Tuak benar-benar normal,
perasaannya pun tidak diliputi khayalan indah seperti
saat mabuk 'ceriping raja' itu. Suto Sinting tampil
sebagai pemuda yang gagah, tampan, mempesona,
wibawa, dan lembut. Mengesankan sekali.
Perubahan sikap itu membuat Mustikani bingung.
Ada dua hal yang membuat Mustikani bingung. Pertama,
sikap Suto menjadi sangat menarik dan tidak
kampungan. Kedua, hati Mustikani menjadi sering
berdebar-debar jika melihat senyuman Suto. Apa
maksud debaran hati itu, Mustikani sendiri tak tahu
dengan pasti. Yang jelas, malam itu Suto tampil beda
dari jumpa semula. Kekonyolannya terbatas dan tidak
berkesan norak.
"Gara-gara pemuda yang bernama Mahesa Gondes
itulah aku menjadi nyaris kehilangan jati diriku, dan
hanyut dalam keindahan yang memabukkan," tutur Suto menjelaskan kondisinya kala
jumpa pertama itu.
"Apakah kau kenal dengan pemuda yang bernama
Mahesa Gondes itu?"
"Tidak. Aku baru mendengar nama itu sekarang,"
jawab Mustikani polos sekali. "Kurasa kau telah diberi tuak beracun yang dapat
membawa khayalanmu ke alam
keindahan, dan mempengaruhi pikiran serta jiwamu
kepada kesenangan semata."
"Kurasa juga begitu." Suto Sinting tersenyum, setengah tersipu malu sambil
geleng-geleng kepala
dalam terawangnya, ia malu pada diri sendiri.
"Mengapa kau mau saja disuruh meminum tuak itu?"
"Karena aku penasaran ingin mengetahui rahasia
tentang...." Suto Sinting diam sesaat, ia juga ingat tentang Pedang Penakluk
Cinta yang dicuri oleh Sunggar Manik.
Saat pertimbangan Suto terlalu lama, Mustikani
memandang dengan dahi berkerut. Menyadari
pandangan mata si gadis penuh curiga, Suto Sinting
buru-buru alihkan pembicaraan tersebut ke masalah lain.
"Apakah ini rumahmu sendiri, Mustikani?"
"Bukan. Ini rumah kakekku yang dikenal dengan
nama Ki Belantara. Kau mengenalnya, Suto?"
"Tidak. Tapi aku ingin sekali berkenalan dengan
beliau." "Kakek pergi, entah ke mana. Ketika aku
membawamu kemari, rumah ini kosong. Pasti kakek
pergi, entah untuk berapa lama," jawab Mustikani sambil matanya bagai tak mau
lepas dari wajah Suto dan merasa sayang jika berkedip.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki, seperti
menyelidiki tiap dinding rumah kayu itu. Padahal dalam benak Suto sedang mencari
bahan pembicaraan
selanjutnya. Sebab ketika pandangan matanya beradu
dengan tatapan mata Mustikani selama tiga helaan
napas, jantung Suto mulai berdebar-debar, salah tingkah, dan otaknya bagaikan
kosong, tak tahu apa yang harus
dibicarakan. Karenanya, untuk menutupi perasaan itu, ia berlagak pandangi
sekeliling rumah kayu tersebut.
"Di kamar mandi belakang masih banyak air, kurasa cukup untuk mandi. Kalau kau
ingin mandi, mandilah
sana. Biar badanmu lebih segar lagi."
"O, ya... baru saja aku ingin katakan hal itu!" ujar Suto, lalu bergegas, untuk
mandi. Selama Suto pergi mandi, Mustikani termenung di
depan meja kayu berwarna coklat kehitaman. Apa yang
direnungkan adalah perasaannya yang tiba-tiba berubah
aneh setelah mengetahui sikap Suto Sinting sebenarnya.
Dan tiba-tiba sebaris ingatan bagai menyengat
hidungnya, sehingga gadis itu tersentak kaget dengan
menegakkan badannya dalam keadaan tetap duduk di
bangku panjang.
"Ciri-ciri pakaiannya, bumbung tuaknya,
ketampanannya, ooh... semua itu pernah kudengar dari
mulut orang-orang yang pernah bertemu langsung
dengan Pendekar Mabuk. Hmm... Apakah dia si
Pendekar Mabuk itu"!"
Mustikani berdebar-debar, mulai gusar dan salah
tingkah lagi. "Sepertinya memang benar dia si Pendekar Mabuk.
Jika bukan Pendekar Mabuk, mana mungkin bumbung
tuaknya mampu menahan pukulan 'Tongkat Maut'-nya si
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tulang Besi"! Oh, ya... aku yakin! Yakin sekali, bahwa Suto adalah si Pendekar
Mabuk!" Mustikani hembuskan napas, tubuhnya bagai terasa
lemas karena debar-debar kegirangan menguasai
jiwanya. "Ya, ampuun... mengapa baru sekarang kusadari
kalau dia adalah si Pendekar Mabuk"!"
Kemunculan si pemuda seusai mandi itu
mengagetkan Mustikani. Gadis itu sempat menggeragap
dan buru-buru sembunyikan kekagetannya dengan
berlagak menata tikar pelapis dipan bambu itu. Suto
Sinting sempat curiga, namun ia lebih pandai
menyimpan kecurigaannya, sehingga bersikap biasabiasa saja. Seakan tak mengetahui kekagetan gadis
cantik jelita itu.
"Sekarang ada di mana pemuda yang memberimu
butiran racun berbahaya itu?" Mustikani makin menutupi perasaannya.
"Seseorang telah menyambarnya saat ia sekarat, ia sekarat karena ada orang yang
kehendaki kematiannya
dengan melepaskan pukulan jarak jauh yang sangat
membahayakan jiwanya. Aku tak tahu siapa orang itu.
Aku juga mengejar orang yang menyambar Mahesa
Gondes, tapi mungkin salah arah. Akhirnya aku lupa
mengejarnya lagi setelah melihat pertarunganmu dengan
Sunggar Manik itu!"
Pendekar Mabuk duduk kembali ke dipan tak
berkasur itu. Mustikani duduk di sampingnya dalam
jarak satu jangkauan tangan.
"Mengapa kau bertanya soal pemuda itu?" tanya Suto.
"Karena kau tadi tampak ragu mau sebutkan suatu
rahasia." Pendekar Mabuk alihkan pandangan ke atas meja. Di
sana tergeletak pedang Mustikani yang tadi nyaris
merenggut nyawa Sunggar Manik. Gadis itu tetap
arahkan pandangannya kepada Suto. Pandangan mata itu
seakan menuntut Suto untuk jelaskan rahasia yang
dimaksud. Akhirnya, Suto tak bisa sembunyikan hal itu
karena tadi sudah telanjur sebutkan tentang sebuah
rahasia. "Mahesa Gondes ingin mengatakan sebuah rahasia,
asal aku mau ikut minum tuak tersebut. Rahasia itu
adalah rahasia tentang Pedang Penakluk Cinta."
"Ooh..."!" Mustikani terperanjat, duduknya bergeser lebih dekat lagi dengan
Suto. Dalam jarak seperti itu, ia bisa bicara pelan sekali dan tetap didengar
oleh si pemuda tampan itu.
"Apa yang ia katakan tentang rahasia Pedang
Penakluk Cinta itu?"
"Dia belum katakan rahasia itu sudah telanjur
diserang seseorang dan dibawa lari. Entah penyerangnya sama dengan yang
melarikan atau tidak aku tak jelas."
Gadis berbibir ranum itu hembuskan napas tanda
kecewa. "Sayang sekali...," gumamnya lirih, lalu pandangan matanya tampak menerawang ke
satu arah. "Apakah kau tahu rahasia Pedang Penakluk Cinta
itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku tak mengerti maksud 'rahasia' dalam kata-kata temanmu itu. Tapi seperti
yang pernah kuceritakan
padamu, bahwa pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik
dan adiknya; Lentik Sunyi. Pada saat Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi kupergoki, mereka tidak membawa
pedang tersebut. Aku menduga, pedang
itu disembunyikan oleh mereka. Mungkin temanmu yang
bernama Mahesa Gondes itu tahu di mana pedang
tersebut disembunyikan oleh Sunggar Manik."
"Hmmm..., ya, mungkin juga!" Suto Sinting
sentakkan bahu satu kali. "Tapi mungkin juga Mahesa Gondes itu sendiri yang
menyembunyikan pedang
tersebut."
Mustikani menjadi gelisah. Ada kecemasan yang
membias di permukaan wajah cantiknya. Kecemasan itu
adalah rasa takut dijatuhi hukuman mati oleh sang Ratu jika ia tak berhasil
dapatkan Pedang Penakluk Cinta.
"Sebenarnya, seberapa dahsyat kesaktian pedang itu, Mustikani?" tanya Suto
Sinting setelah menenggak
tuaknya lagi. Tuak di dalam bumbung tinggal sedikit,
sehingga Suto harus mulai hemat untuk tak terlalu sering meneguk tuaknya.
Mustikani menjawab pertanyaan Suto Sinting dengan
sesekali matanya memandang Suto, sesekali
menerawang bagai mengingat-ingat kedahsyatan pedang
tersebut. "Dua tahun yang lalu, aku mulai menjadi pengikut
Ratu Ladang Peluh. Selama setahun kurang, aku
mengikuti perjalanan Ratu Ladang Peluh sampai
akhirnya kami berhasil merebut wilayah Bukit Randa
yang kini menjadi wilayah kekuasaan kami."
"Semula siapa yang menguasai Bukit Randa?"
"Iblis Wajah Sutera, yang sekarang sudah dikirim ke neraka oleh Ratu Ladang
Peluh. Orang-orangnya pun
berhasil kami bantai habis, sehingga tak ada lagi aliran silat dari keturunan
Iblis Wajah Sutera."
"Hmmm...," Suto Sinting hanya manggut-manggut.
"Selama itu aku melihat sendiri kesaktian Pedang Penakluk Cinta," sambung
Mustikani. "Pedang itu mempunyai tiga kesaktian. Pertama, mampu menusuk
jantung orang melalui bekas telapak kaki orang tersebut.
Kedua, jika lawan tergores pedang itu, maka racun yang ada di dalam besi pedang
akan menyerang urat saraf
setelah menyatu dengan darah, berpengaruh pada otak
manusia yang dapat membangkitkan gairah untuk
bercinta. Pedang itu sebenarnya bukan terbuat dari besi, melainkan dari jenis
batu-batuan dari kerak bumi yang
menyerupai besi dan mempunyai kadar racun penggugah
gairah bercumbu jika racun itu menyatu dengan darah
korban." "Hebat sekali pedang itu"!" gumam Suto Sinting.
"Lalu, apa kesaktiannya yang ketiga?"
"Jika terkena sinar rembulan dapat memantulkan
cahaya putih. Cahaya putih itu jika kenai mata kita,
maka mata kita akan menjadi buta seumur hidup. Tak
ada obat penyembuhnya."
"Cukup berbahaya juga pedang itu!" gumam Suto Sinting lagi dengan membayangkan
kehebatan pedang
tersebut. Segenggam kecemasan mulai bertaburan di hati Suto Sinting, karena
menurutnya pedang itu dapat
menjadi biang bencana bagi kedamaian di dunia jika
berada di tangan orang sesat.
"Pedang itu harus dihancurkan. Jika tidak, ia akan menjadi perusak kehidupan di
muka bumi itu, jika
pemegangnya adalah tokoh persilatan sesat."
Mustikani diam sebentar, merasa tak enak mendengar
ucapan itu. Tapi ia tak tunjukkan perasaan tak enaknya itu, walau hati kecilnya
menyadari bahwa selama ini ia telah menjadi pengikut tokoh aliran hitam yang
berjuluk Ratu Ladang Peluh.
"Apakah kau setuju jika pedang itu dihancurkan"!"
tanya Suto Sinting sambil ingin mengetahui jiwa
Mustikani yang sebenarnya. Ternyata gadis itu tak
segera menjawab. Di wajahnya tampak kebimbangan
bercampur perasaan gelisah yang menjengkelkan diri
sendiri. "Agaknya kau tak setuju jika pedang itu
dimusnahkan," ujar Suto pelan sekali, berusaha untuk tidak menyinggung perasaan
si cantik jelita itu.
"Bukan soal setuju atau tidak setuju. Tapi pedang itu sekarang sudah merupakan
nyawaku. Jika aku gagal
membawa pulang pedang itu, maka aku akan dibunuh
oleh Ratu Ladang Peluh," Mustikani mencoba
mengungkapkan ganjalan hatinya.
"Jadi kau tak setuju jika pedang itu kuhancurkan?"
desak Suto Sinting seakan ingin mendengar kepastian
dari mulut si cantik jelita itu.
"Setuju saja, asal pedang itu sudah berhasil
kukembalikan ke tangan Ratu Ladang Peluh," kata
Mustikani setelah diam selama dua helaan napas, ia
bicara sambil memandang Suto. Pandangan matanya itu
seakan mengharap pengertian tersendiri dari Suto
tentang niatnya itu. Suto Sinting segera sunggingkan
senyum sambil manggut-manggut, menandakan ia cukup
mengerti maksud hati kecil Mustikani.
"Aku tak mau mati karena gagal dalam tugas."
"O, ya! Aku paham maksudmu. Kau tak mau terlibat
dalam usaha menghancurkan pedang itu, bukan?"
"Aku masih ingin hidup lebih lama lagi, karena aku belum punya keturunan."
Senyum Suto menjadi lebih lebar lagi.
"Mengapa tak segera mencetak keturunan?" tanya Suto dengan kalem bernada
menggoda. Mustikani malu
dan sembunyikan senyum masamnya.
"Kusarankan secepatnya bersuami jika memang
sekarang kau belum bersuami."
"Aku memang belum bersuami."
"Desaklah kekasihmu agar cepat menikahimu, maka
kalian akan segera mempunyai keturunan."
"Aku... aku tidak mempunyai kekasih."
"Ah, kau bergurau!" Suto Sinting menggoda dengan berlagak tak percaya.
"Tidak! Aku tidak bergurau! Aku memang tidak
mempunyai kekasih. Sejak putus dengan kekasihku yang
dulu, aku masih belum bisa percaya dengan hati seorang lelaki. Kuanggap setiap
lelaki hanya mencari kepuasan
dan kehangatan tubuh seorang perampuan sepertiku.
Setelah puas, pergi dan mencampakkannya!"
"Kurasa... anggapan itu kurang tepat," ujar Suto Sinting sambil segera
menyimpulkan bahwa Mustikani
ternyata gadis yang patah hati dan tak mau percaya lagi kepada cinta seorang
lelaki. Tentunya hal itu terjadi akibat ia pernah dikhianati oleh seorang
lelaki. "Lelaki adalah sosok seorang manusia, demikian pula perempuan. Yang membuat
seorang lelaki menjadi
pengkhianat cinta adalah kepribadian orang itu sendiri, Mustikani. Pribadi
manusia beraneka ragam, satu dengan yang lainnya tidak bisa sama persis.
Perempuan pun ada yang punya kepribadian buruk, ada yang cenderung
menjadi seorang pengkhianat cinta, tapi tidak semua
perempuan berkepribadian buruk."
Mustikani diam saja. Ia sedikit tundukkan kepala
karena merenung. Pendekar Mabuk sengaja biarkan
gadis itu hanyut dalam renungannya.
Suto Sinting sempatkan diri menengok keadaan di
luar rumah melalui jendela yang dibukanya sendiri.
Ternyata keadaan di luar rumah sepi-sepi saja dan sang rembulan muncul di balik
awan. Sangat sedikit, sehingga sinarnya hanya teram-temeram menerangi permukaan
bumi. Jendela ditutup, Suto Sinting kembali duduk di dipan.
Kali ini ia duduk lebih dekat lagi dengan Mustikani. Ia beranikan diri mengusap
punggung gadis cantik berkulit kuning langsat itu.
"Buanglah kepicikanmu sebelum kau bisa menilai
seseorang dengan benar, penilaian terhadap pribadi
seseorang tidak boleh dibarengi dengan dendam dan
kesumat. Pandanglah kehidupan dari berbagai sisi,
jangan hanya satu sisi saja."
"Akan kucoba," ujar Mustikani dengan lirih sekali.
Suto Sinting beranikan diri untuk menyentuh dagu
Mustikani. Wajah yang sedikit tertunduk itu
didongakkan pelan-pelan hingga mereka saling beradu
pandang. Senyum lembut sengaja dipamerkan oleh Suto
bersama tutur kata yang sedikit bernada bisik.
"Melangkahlah lagi ke jalan penuh kasih. Jangan takut gagal, karena jika kau
takut gagal berarti kau takut berhasil."
"Ya, aku mengerti," balas Mustikani dalam bisikan pula.
"Cobalah mencari seorang kekasih yang dapat
mendamaikan hatimu."
"Selama ini tak ada. Yang ada hanya kepalsuan. Tapi akan kucoba membuka hatiku
kembali untuk menerima
kehadiran seorang lelaki yang dapat kujadikan dambaan
hatiku." "Bagus!" tegas Suto Sinting seraya lebarkan senyum.
"Masih banyak kesempatan bagi gadis secantik dirimu, Mustikani. Jangan hancurkan
hatimu oleh dendam dan
kebencianmu sendiri. Aku yakin, cepat atau lambat kau
pasti akan temukan kedamaian itu."
"Adakah kedamaian di hatimu sendiri?"
"O, ya... tentu ada."
"Dapatkah kau berikan kedamaian itu untukku?"
Suto Sinting menjadi terbungkam sesaat, ia bingung
menjawab, karena ia tahu maksud Mustikani. Apalagi
gadis itu segera tambahkan kata di sela keheningan
mereka berdua itu.
"Kurasa jika aku selalu bersamamu, aku akan
memperoleh kedamaian yang hakiki."
Hanya sehela napas yang dihempaskan pelan bersama
senyuman tawar. Sebenarnya Suto ingin katakan bahwa
harapan Mustikani untuk mendapatkan kedamaian dan
kasih sayang dari Suto adalah hal yang tak mungkin,
sebab Suto sudah mempunyai seorang kekasih sendiri,
bahkan calon istri, yaitu Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi
di Pulau Serindu. Tetapi
hati kecil Suto tak tega untuk menjelaskan hal itu,
sekalipun hal itu adalah kejujuran yang patut dihargai dari seorang lelaki.
"Banyak hal yang harus kita pertimbangkan masakmasak dalam menentukan pendamping hati.
Pertimbangan itu membutuhkan waktu dan tak mungkin
bisa diputuskan sesingkat ini, Mustikani."
"Ya, aku mengerti sekali. Tapi... itu hanya suatu harapan. Toh harapan tak harus
menjadi kenyataan. Bisa gagal dan bisa pula berhasil."
"Aku senang jika kau mulai bisa berpandangan
seperti itu. Kau tampak lebih cantik dari sebelumnya, Mustikani."
"Benarkah?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. Senyumnya
yang kian menawan hati si gadis membuat si gadis
tambah berdebar-debar.
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jari tangan yang masih pegangi dagu itu kini merayap
ke pipi Mustikani merasa dibuai oleh sentuhan penuh
damai, ia biarkan sentuhan jemari itu hingga nyata-nyata merupakan usapan tangan
penuh kelembutan. Mustikani
pejamkan mata untuk resapi tiap sentuhan lembut itu.
Saat mata si gadis terpejam, Pendekar Mabuk
bertambah gemetar karena pandangi bibir ranum yang
menggemaskan itu. Akhirnya dengan tekad berani
tanggung risiko kena tampar tujuh kali, Pendekar Mabuk segera dekatkan wajah,
lalu bibirnya menyentuh pipi si gadis.
Ternyata Mustikani diam saja. Bahkan tangannya
meremas tangan Suto Sinting yang jatuh di
pangkuannya. Remasan itu merupakan pertanda bahwa
lampu hijau telah dinyalakan, Suto dipersilakan masuk.
Maka ciuman Suto yang lembut sekali itu merayap
hingga menyentuh bibir. Bibir ranum itu segera
dikecupnya pelan-pelan sekali. Cuup...! Suto melumat
bibir itu sesaat, si gadis justru memberi peluang dengan merekahkan bibirnya dan
pasrah lidahnya untuk dipagut.
Ternyata Suto benar-benar memagut lidah itu dengan
pagutan sangat lembut, sentuhan keindahannya sampai
ke dasar kalbu si gadis.
Tangan si gadis akhirnya memeluk Suto Sinting.
Seakan ia meraih sebentuk kebahagiaan sejati yang
jarang diperoleh dari seorang lelaki. Kebahagiaan liar memang sering
diperolehnya, namun yang sejati dan
agung seperti malam itu, sama sekali tak pernah
diperolehnya. Karena itulah pelukan itu menjadi sangat erat, Mustikani seakan
tak ingin lepaskan apa yang telah menyiram hatinya dengan damai dan sejuk itu.
"Ooh.... Suto, sudah... sudah, Suto. Jangan teruskan,"
bisik si gadis dengan suara gemetar.
"Bau keringatmu masih harum, sulit membuatku
hentikan ciuman ini, Mustikani," ujar Suto yang juga membisik di sekitar leher
dan telinga kiri gadis itu.
"Jangan teruskan, Suto. Kau... kau bukan para budak cinta piaraan sang Ratu!"
"Balaslah ciumanku, Mustikani. Balaslah...!" pinta Suto seakan membangkitkan
semangat Mustikani yang
telah lama terkubur ditimpa dendam itu.
"Aku tak mau... aku tak mau kau hanyut dan terlena dalam buaianku. Kau bukan
para budak pemuas gairah
kami, Suto.... Kumohon, hentikanlah sebelum kau
terkena racun kemesraanku."
"Balaslah!"
"Tidak. Aku tidak mau! Aku kotor dan kau tak pantas menerima kekotoran ini,
Suto. Oouh... jangan pancing
gairahku, Suto. Nanti akan mengamuk dan membuatmu
kewalahan."
"Lawanlah aku, Mustikani! Lawanlah...."
"Tidak, Suto! Jangan paksa aku untuk, oooh.... Suto,"
desah Mustikani dengan meremaskan kedua tangannya
ke punggung Suto, pertanda sedang menahan gejolak
gairah yang tak ingin dilepaskan kepada Suto. Mustikani merasa tidak layak
menerima kelembutan yang begitu
indahnya dari seorang pemuda seperti Suto Sinting,
sebab ia tahu Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk.
Nama besar pemuda itu terlalu agung baginya.
Mustikani akhirnya terkulai lemas dalam pelukan
Suto Sinting karena menahan gejolak gairahnya matimatian, ia terpaksa harus puas menerima kebahagiaan
dari Suto walau dengan hanya menyandarkan kepala di
dada bidang sang Pendekar Mabuk itu.
6 TIDUR nyenyak dalam pelukan Pendekar Mabuk
merupakan kebanggaan tersendiri bagi Mustikani. Udara
dingin yang biasanya meresap ke tulang, malam itu
dapat dikalahkan oleh hangatnya pelukan sang Pendekar
Mabuk. Mimpi pun menjadi indah. Mimpi jalan di atas
padang bunga, mimpi terbang sampai menyentuh
rembulan, mimpi bertarung dengan siapa pun selalu
menang, mimpi makan tempe rasa ayam panggang, dan
berbagai macam mimpi indah lainnya datang silih
berganti membuat hati Mustikani selalu diliputi rasa
senang. Pendekar Mabuk sendiri juga merasa memperoleh
kebahagiaan selama tidur memeluk gadis cantik jelita.
Mimpi yang hadir dalam tidur Suto juga serba indah;
bertemu dengan arwahnya Pesona Indah yang pernah
menjadi utusan Ratu Asmaradani, berkunjung ke
Padepokan Griya Indah, menunggang kuda yang
bernama Indah Turangga dan hal-hal yang serba indah
lainnya. Tak heran jika mereka berdua akhirnya bangun
kesiangan. Mustikani menggeragap dan wajahnya
menjadi pucat pasi. Tubuh gadis itu gemetar dengan
jantung berdebar-debar keras.
Suto Sinting yang membuka mata dalam keadaan
masih berbaring sempat merasa heran melihat Mustikani
sepucat itu. "Bangun kesiangan saja sampai gemetaran dan pucat sekali kau, Mustikani."
"Bu... bukan karena bangun kesiangan, tapi... lihat itu...!"
"Astaga!" Suto Sinting juga kaget dan segera melompat dari dipan bambu. Ternyata
di pintu rumah kayu itu sudah berdiri seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut pendek
dan kumis abu-abu. Lelaki itu
berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh sedang tapi berwajah tegas, matanya
memandang dengan tajam.
"Siapa dia?" bisik Suto Sinting.
"Kakekku...," Jawab Mustikani dengan lirih.
"Pantas wajahmu jadi pucat pasi, rupanya kau takut karena dipergoki kakekmu
sedang tidur bersamaku.
Hmmm... katakan saja kalau kita hanya tidur biasa, tanpa luar biasa!" bisik
Pendekar Mabuk yang terpaksa cengar-cengir karena dipandang tajam oleh Ki
Belantara, kakek Mustikani.
Sang kakek segera mengangkat tangan kirinya dan
menyentak ke depan. Wuuut...! Ternyata ia
mengeluarkan tenaga dalam yang menerjang Mustikani,
membuat gadis itu terlempar jatuh di atas dipan bambu.
Gubraaakk...! "Untuk apa kau pulang, Gadis Liar!" geram Ki Belantara menampakkan kemarahannya.
Mustikani tak berani melawan, ia diam saja dan bersimpuh di atas
dipan dengan kepala tertunduk dan menahan kesedihan.
"Kau sudah tak layak lagi singgah di rumahku, Gadis
Liar!" bentak Ki Belantara, lalu tubuhnya melompat ke atas dipan ingin menendang
Mustikani. Tapi dengan
cepat Pendekar Mabuk sentilkan jarinya yang dapat
keluarkan gelombang tenaga dalam itu.
Tees..! Buuhk...!
Ki Belantara terpental dan menabrak pintu yang telah
dibuka dari luar tadi. Gubraaak...! Bruuk...!
Seet...! Kakek itu bangkit dengan secepatnya.
Napasnya ditarik panjang-panjang, matanya menatap
lebih tajam. Suto Sinting maju dengan sikap masih
menghormat dan salah tingkah.
"Jadi sekarang kau ingin menjadi pembela cucuku,
Bocah Sapi"!" geram Ki Belantara kepada Suto Sinting.
"Maaf, Ki...! Kami hanya tidur biasa, tanpa
melakukan gitu-gituan. Kumohon jangan marah kepada
Mustikani, Ki. Jika kau ingin marah, marahlah padaku.
Pukullah aku sepuas hatimu asal pelan-pelan, Ki!"
"Aku tidak menuduh kalian berbuat mesum di sini!
Aku hanya marah kepada cucuku yang bandelnya
melebihi cucu setan itu!" sambil Ki Belantara menuding Mustikani dengan tegastegas. Ki Belantara mendekati Suto Sinting.
"Dengar, gadis itu sudah menjadi pengikut Ratu
Ladang Peluh alias ratu kebejatan! Pasti sudah ikutikutan bejat seperti ratu itu. Entah berapa lelaki yang sudah jatuh dalam
pelukannya untuk memuaskan
gairahnya. Dia sudah menjadi gadis yang kotor, hina,
dan celaka! Aku tak sudi punya cucu sesat seperti dia!
Aliran hitam bukan aliranku. Jika ia menjadi pengikut
ratu aliran hitam, berarti dia sudah menjadi musuhku!
Musuhku tak boleh tinggal di pondokku ini!"
Mustikani segera turun dari dipan, berlari ke arah
kakeknya, lalu bersimpuh sambil memeluk kaki sang
Kakek. Tangisnya tercurah di sana hingga terisak-isak.
"Ampunilah aku, Kakek... ampunilah aku...! Aku
memang bersalah, tak mau menuruti nasihatmu kala itu.
Ampunilah aku... hukumlah aku seberat mungkin! Aku
akan terima hukuman darimu apa saja, asal aku tetap kau akui sebagai cucumu,
Kek...!" Tangis Mustikani membuat Suto Sinting bergegas
keluar dari pondok itu. Ia tak tega, tak bisa melihat gadis menangis sebegitu
menyedihkan. Bagi Suto, lebih baik
melihat pemandangan indah serba hijau daripada melihat seorang gadis menangisi
penyesalannya. Rupanya Ki Belantara sangat marah ketika Mustikani
nekat bergabung dengan Ratu Ladang Peluh, ia tak
sempat mencegah cucunya lagi, dan sengaja membiarkan
sang cucu bergabung dengan ratu sesat itu. Tetapi untuk selanjutnya Ki Belantara
merasa tak memiliki cucu lagi dan menganggap Mustikani bukan lagi cucunya.
Karena itu, Ki Belantara menjadi berang melihat Mustikani
berada di pondoknya karena ia sudah menganggap gadis
itu tidak punya hubungan apa-apa dengannya.
Suto Sinting membiarkan persoalan mereka diurus
oleh mereka berdua di dalam rumah kayu itu. Suto
Sinting sengaja nyelonong ke kamar mandi dan
menyegarkan badan di belakang rumah, ia tak mau ikut
campur urusan pribadi antara kakek dan cucu itu.
Bagaimanapun juga, ternyata cinta sang Kakek
terhadap cucunya masih tetap ada, walau tertimbun oleh kemarahan yang terpendam
selama dua tahun. Akhirnya,
Ki Beiantara pun tak tega untuk tidak mengakui
Mustikani sebagai cucunya. Sang cucu akhirnya dipeluk
dengan seribu ampun yang menjengkelkan diri sendiri
bagi Ki Belantara.
"Aku tidak ingin kembali ke Bukit Randa! Aku tidak mau jadi pengikutnya lagi.
Suto Sinting telah bicara
banyak padaku dan membuatku sadar, Kek!" tutur sang cucu di sela tangisnya. "Aku
ingin kembali menjadi gadis baik-baik dan meninggalkan aliran sesat sang
Ratu! Terimalah aku sebagai cucumu lagi, Kek... karena aku tak punya orangtua
lagi, tak punya sanak saudara
lainnya. Hanya kau yang kupunyai sebagai sisa
leluhurku, Kek...."
Ratapan itu yang membuat hati Ki Belantara akhirnya
luluh. Pendekar Mabuk dipanggil saat pemuda itu berdiri di bawah pohon depan
rumah sambil menenteng
bumbung tuaknya dan memandangi pohon-pohon
sekitarnya. "Aku ingin kau menjadi saksi!" kata Ki Belantara.
"Saksi apa maksudmu" Apakah di sini ada
pembunuhan?" tanya Suto Sinting.
"Bukan saksi pembunuhan, tapi saksi pengakuan!"
tegas ki Belantara. "Cucuku, si Mustikani, berjanji tidak akan kembali menjadi
pengikutnya Ratu Ladang Peluh.
Dia ingin kuterima lagi sebagai cucuku. Dia bersedia
menjalani hukuman dariku!"
"Benar aku berjanji seperti itu di depanmu, Suto!"
Pendekar Mabuk nyengir bingung sendiri. Baru
sekarang ia menjadi saksi seperti itu. Tapi agaknya ia harus ikuti permainan
yang ada. "Aku ingin kau menjadi saksi kesanggupan Mustikani dalam menjalani hukuman
dariku!" ujar si kakek.
"Hukuman apa maksudmu, Ki Belantara?"
"Mustikani tidak boleh keluar dari batas halaman
rumah ini selama tujuh bulan, dan harus bisa kuasai
jurus 'Beruang Menari' yang akan kuajarkan padanya!"
"Ooh..."! Tujuh bulan"!" Mustikani kaget.
Suto Sinting mengerti keberatan hati Mustikani, maka
ia mencoba meringankan hukuman itu dengan berkata
kepada Ki Belantara, "Tujuh bulan itu terlalu menyiksa hati cucumu, Ki. Bisabisa begitu selesai jalankan
hukuman, cucumu menjadi gadis yang kurus dan sakitsakitan karena tekanan batin. Apakah kau tak malu
punya cucu yang kurus, kerempeng, sakit-sakitan, kena
angin sedikit roboh"!"
"Hmmm...," Ki Belantara diam sesaat. "Kalau begitu lima bulan saja!"
"Tiga bulan!" tegas Suto.
"Ini hukuman! Bukan jualan kambing yang bisa
ditawar!" "Tapi tiga bulan tak boleh keluar halaman rumah ini sudah merupakan siksaan
berat bagi seorang gadis
secantik dia, Ki! Percayalah, dengan tiga bulan
terkurung di sini dia akan jera dan tak akan berani
menentang nasihatmu lagi!"
Setelah diam sesaat, Ki Belantara berkata, "Baiklah!
Tiga bulan tak boleh ke mana-mana. Tapi dalam waktu
tiga bulan dia harus kuasai jurus 'Beruang Menari'. Jika belum bisa kuasai jurus
itu, dia tak boleh ke mana-mana!"
"Baik! Aku setuju!" ujar Suto.
"Yang mau jalani hukuman adalah cucuku! Mengapa
kau yang menyatakan setuju" Kau hanya kubutuhkan
sebagai saksi saja!" ujar Ki Belantara membuat Suto Sinting nyengir sambil
palingkan wajah.
"Bagaimana denganmu, Mustikani"! Sanggup jalani
hukuman itu"!"
Mustikani anggukkan kepala di depan kakeknya.
"Sanggup, Kek! Tapi bagaimana dengan... dengan
pedang itu"!"
Suto Sinting segera teringat tentang Pedang Penakluk
Cinta, ia menatap Mustikani yang masih diliputi
kecemasan. Ki Belantara perdengarkan suaranya di sela
keheningan mereka, "Aku tahu maksudmu, Mustikani!
Seperti yang kau tuturkan dalam tangismu tadi, kau
mendapat tugas oleh Ratu Ladang Peluh untuk dapatkan
Pedang Penakluk Cinta yang dicuri Sunggar Manik. Jika
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau tak berhasil, maka kau akan dibunuh oleh ratu bejat itu. Tapi sekarang
keadaannya sudah lain, Cucuku! Ratu bejat itu harus berhadapan denganku jika
akan jatuhkan hukuman seperti itu padamu! Kau sudah menjadi orang
hukumanku lebih dulu, dan si ratu bejat tak bisa merebut tawananku seenaknya
sendiri." "Aku akan mencari pedang itu!" sahut Suto tiba-tiba.
Ki Belantara menatap Suto dengan dahi berkerut,
"Kau ingin memiliki pedang itu"!"
"Ya. Aku ingin memilikinya sekejap untuk kemudian akan kuhancurkan!"
"Bagus!" sentak Ki Belantara mengagetkan Suto dan Mustikani. Si kakek tampak
bersemangat sekali setelah
mendengar ucapan Suto Sinting tadi.
"Aku akan membantumu menghancurkan pedang itu,
Pendekar Mabuk!" ujar Ki Belantara. Kali ini ucapan itu benar-benar membuat Suto
Sinting tercengang dan
terbengong beberapa saat. Ki Belantara sunggingkan
senyum tipis melihat si pemuda tercengang.
"Dari mana kau tahu kalau aku adalah Pendekar
Mabuk"!"
"Dari ciri-cirimu!" jawab Ki Belantara sambil melangkah ke dapur. Suto dan
Mustikani saling
pandang. Gadis itu juga sunggingkan senyum sambil
segera palingkan wajah ke arah lain.
"Sial! Rupanya gadis itu juga sudah tahu kalau aku adalah Pendekar Mabuk"!"
gumam Suto dalam hatinya.
Ki Belantara keluar dari dapur sambil perdengarkan
suaranya. "Bumbung tuakmu, ketampananmu, dan semua yang
ada padamu membuatku yakin bahwa kau adalah murid
si Gila Tuak. Sekalipun aku belum pernah bertemu Gila
Tuak, tapi namanya sangat kukenal."
Ki Belantara dekati Suto, memandang dalam jarak
dua langkah. "Karena itulah aku tak berani bertindak terlalu kasar padamu, karena aku tahu
cucuku kembali bersama
seorang pemuda yang tak lain adalah Pendekar Mabuk!
Sebab itu pula kau kujadikan saksi dalam menebus
kesalahan cucuku ini!"
"Kau memang hebat, Ki!" ujar Suto tanpa alasan, karena ia ingin tutupi rasa
canggung dan kikuk sejak Pak Tua itu memandangnya penuh rasa kagum.
"Pedang itu dapat kita temukan setelah kita berhasil menemukan muridku!"
Mustikani kaget. "Oh, jadi sekarang Kakek sudah
punya murid"!"
"Ya. Aku kesepian tanpa dirimu, Mustikani. Lalu
seorang pemuda pencari kayu bakar kutemukan, dan
kuangkat sebagai muridku. Tapi sayang pemuda itu
bandelnya sama denganmu, Mustikani!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang
menggumam. Tapi tawa itu segera hilang setelah Ki
Belantara menunjukkan benda kecil bagai sebutir kacang tanah berwarna hitam.
Rupanya benda itu sejak keluar
dari dapur sudah ada di dalam genggaman Ki Belantara.
"Muridku itu mencuri beberapa butir racun perubah jiwa yang belum selesai
kuracik ini!"
Suto Sinting terkejut dengan mata melebar. "Ooh,
ini... ini 'ceriping raja' yang pernah kutelan dari...."
"Mahesa Gondes!" sahut Ki Belantara. Suto Sinting dan Mustikani menarik napas
jelas-jelas sebagai tanda terkejutnya.
"Kulihat kau memang tergoda oleh bujukan muridku
yang masih bodoh itu, Pendekar Mabuk. Kulihat kalian
bersenang-senang dan geleng-geleng kepala. Lalu
dengan jengkel kuhantam sendiri muridku, kubuat
sekarat, dan kubawa lari agar ia tidak buka rahasia
tentang obat perubah jiwa manusia ini!"
"Oh, jadi kau yang menghantam Mahesa Gondes
dengan sinar merah, dan kau pula yang menyambar
pemuda itu saat ia terkapar"!"
"Benar!" jawab Ki Belantara dengan tegas. "Dan aku berhasil menghindar dari
kejaranmu. Tapi saat
kusembuhkan anak itu dari lukanya, tiba-tiba aku
diserang musuh lamaku; Janarpati karena dendam
lamanya! Kami bertarung hingga menjelang petang.
Janarpati melarikan diri, aku mengejarnya tanpa
pedulikan Mahesa Gondes lagi. Ketika kurasakan tak
berhasil mengejar Janarpati, aku kembali hampiri
Mahesa Gondes, ternyata anak itu sudah tak ada. Kucari hingga fajar terbit di
ufuk timur, namun Mahesa Gondes tetap tidak kutemukan. Kusangka ia pulang
kemari, ternyata tidak!"
Mustikani segera ajukan tanya setelah mereka samasama bungkam beberapa helaan napas.
"Untuk apa Kakek menciptakan racun itu?"
"Meracuni orang-orang Bukit Randa! Terus terang,
aku muak dengan tingkah laku Ratu Ladang Peluh yang
sempat menggiurkan cucuku hingga cucuku bersekutu
dengannya!"
"Aku hanya ingin membalas sakit hatiku kepada
Raden Pundawa dengan menggunakan kekuatan Ratu
Ladang Peluh. Sebab aku tak mungkin unggul melawan
Raden Pundawa yang telah merenggut kesucianku dan
menghancurkan hatiku dengan cinta palsunya itu.
Dengan menggunakan Pedang Penakluk Cinta, Raden
Pundawa telah berhasil ditaklukkan oleh sang Ratu. Ia
menjadi pelayan cinta sang Ratu sampai akhirnya mati di kamar sang Ratu. Aku
puas melihat kematiannya!"
Ki Belantara menghempaskan napas. "Mengapa kau
tidak mengatakan hal itu pada kakekmu ini, Mustikani"!
Kau sangka kakekmu ini tak sanggup menghajar Raden
Pundawa"!"
"Kakek punya hubungan baik dengan ayah Raden
Pundawa, sang Adipati Kumatan itu! Tentunya cara
Kakek menangani Raden Pundawa berbeda dengan Ratu
Ladang Peluh!"
Ki Belantara tarik napas lega, memaklumi jalan
pikiran sang cucu. Ia segera melupakan masalah itu, dan lebih bersemangat
menyambut niat Suto Sinting untuk
menghancurkan Pedang Penakluk Cinta yang belum
diketahui ada di mana itu.
"Sebaiknya kita segera mencari Mahesa Gondes. Dia tahu persis rahasia pedang
tersebut! Karena kudengarkan celotehnya selama mabuk obatku ini, ia selalu
sebut-sebut tentang Pedang Penakluk Cinta," ujar Ki
Belantara. Suto setuju, lalu mereka pun pergi dan
meninggalkan Mustikani di pondok tersebut.
* * * 7 DALAM perjalanan mencari Mahesa Gondes, Ki
Belantara sempat jelaskan maksudnya menciptakan tuak
racun yang dinamakan Mahesa Gondes sebagai tuak
'ceriping raja' itu. Menurut Ki Belantara yang ingin
hancurkan kekuatan di Bukit Randa, tuak racun perusak
jiwa itu dapat melumpuhkan kekuatan Ratu Ladang
Peluh secara tak kentara. Rencananya racun itu akan
dimasukkan ke dalam sumber air yang mengalir ke
Istana Bukit Randa.
"Dengan memasukkan racun itu, maka orang-orang
Bukit Randa akan lemah dan mereka akan lengah karena
sibuk bersukaria. Dalam keadaan seperti itu, aku dapat menghancurkan Ratu Ladang
Peluh dan pengikutnya,
namun cucuku bisa kuselamatkan. Racun itu kucari
sendiri dari getah dan akar-akaran. Ada satu akar yang belum kumasukkan dalam
tuak itu, tapi tuak tersebut
sudah telanjur banyak dicuri oleh Mahesa Gondes sialan itu!"
Suto tertawa kecil, ia mengerti maksud jalan pikiran
Ki Belantara. Kakek itu merasa tak akan unggul jika
bertarung dengan Ratu Ladang Peluh yang pasti akan
menggunakan senjata Pedang Penakluk Cinta. Oleh
sebab itu, si jubah putih berikat kepala hitam itu ingin membuat lawannya lupa
tentang pedang tersebut dengan
racun yang membuat orang selalu senang dan terbuai
oleh keindahan.
"Aku pernah mempunyai seorang sahabat yang
bernama Mahesa Gibas," ujar Suto. "Apakah Mahesa
Gondes bersaudara dengan Mahesa Gibas, karena
namanya hampir sama."
"O, aku pernah mendengar nama Mahesa Gibas dari
mulut Mahesa Gondes. Mereka bukan bersaudara,
melainkan hanya berkawan. Semula mereka sahabat
karib. Mereka sama-sama menggunakan nama Mahesa
sebagai ikatan persahabatan, tapi mereka punya nama
asli sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan keluarga.
Mereka itu sebenarnya pemuda-pemuda yang tak punya
pengarah hidup sehingga mereka bertindak seenaknya
sendiri." "Ooo...," Suto Sinting menggumam lega. Rupanya soal nama saja sempat mengganjal
di hati Suto Sinting, sehingga ia menyempatkan diri untuk menanyakannya.
Langkah mereka berdua terhenti mendadak. Ada
suara orang memekik bukan karena kesakitan tapi karena luapan kemarahan. Suara
pekikan itu ada di sebelah
timur mereka. Suto Sinting segera mengajak Ki
Belantara untuk menuju ke arah suara pekikan itu.
"Jangan-jangan muridku sedang bertarung dengan
seseorang"!" gumam Ki Belantara sambil bergegas
menuju ke timur.
Ternyata suara itu datang dari balik bukit cadas tanpa nama. Bukit itu tak
begitu tinggi, mudah di daki dari sisi barat. Suto Sinting dan Ki Belantara
berada di atas bukit itu, mereka berlindung di balik bebatuan tinggi, menatap ke
arah pertarungan yang terjadi di bawah sana.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang perempuan
muda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun.
Mengenakan jubah tanpa lengan warna jingga dengan
kain pembalut bagian bawahnya juga berwarna jingga
longgar, ia tampak mengenakan penutup dada warna
hitam kecil, sehingga sebagian kulit dadanya tampak
coklat mulus. Perempuan muda itu mempunyai rambut
panjang yang digulung ke atas, sisanya dibiarkan
berjuntai seperti ekor kuda.
Wajah perempuan itu cantik. Tapi matanya berkesan
jalang. Bibirnya sedikit tebal, dan mengundang selera
untuk bercumbu. Seakan tiap ia tersenyum selalu
menyebarkan daya tarik untuk bercumbu. Perempuan itu
bertubuh sekal, padat dan montok. Mata Suto Sinting
sempat tak berkedip memandanginya.
"Ssst...!" Ki Belantara menendang betis Suto ketika Suto terbengong melompong
pandangi perempuan
berjubah jingga itu. Suto Sinting buru-buru sadar dan nyengir malu, hindari
pandangan mata Ki Belantara
yang cemberut itu.
"Jangan mudah tergiur! Kau belum kenal siapa
perempuan itu."
"Memang belum, Ki. Siapa perempuan montok itu?"
"Jerami Ayu!"
"O, pantas!"
"Pantas apa?"
"Pantas ayu!" jawab Suto lirih sambil berbisik.
"Dia orangnya Ratu Ladang Peluh. Tapi kudengar dia sudah memisahkan diri dari
Ratu Ladang Peluh karena
persoalan pribadi dengan ratu bejat itu."
"Ooo...," Suto menggumam lirih. "Mengapa kau
selalu mengatakan Ratu Ladang Peluh sebagai ratu
bejat"!"
"Karena dia selalu mencari mangsa seorang lelaki
muda dengan pedang pusakanya, ia menampung lelaki
muda sepertimu cukup banyak untuk dijadikan pemuas
gairahnya. Kau belum tahu, kehidupan di istana Bukit
Randa sangat bejat. Mereka bebas bercinta dengan lelaki mana pun, kecuali lelaki
yang sedang menjadi pilihan si ratu bejat, tak boleh dipakai oleh anak buahnya!
Menurutnya, darah kemesraan seorang pemuda dapat
membuatnya panjang umur dan tetap cantik, sehingga...
kurasa tak perlu kuceritakan lagi kau sudah bisa
membayangkan seperti apa gilanya kehidupan bercinta
di dalam istana Bukit Randa itu."
"Ya, kau benar, Ki. Kau tak perlu bercerita dulu, sebab kulihat pemuda yang
sedang bertarung melawan
Jerami Ayu itu mulai keluarkan jurus mautnya!"
Blegaaarr...! "Apa kataku, jurus mautnya keluar, bukan"!" bisik Suto Sinting setelah mendengar
ledakan cukup dahsyat
dan mengguncangkan bukit cadas itu. Ledakan itu
timbul akibat benturan sinar kuning yang keluar dari
tangan seorang pemuda gagah berpakaian hitam. Sinar
kuning itu ditangkis dengan sinar biru yang keluar dari tangan Jerami Ayu.
Sehingga meledak di pertengahan
jarak, membuat pemuda itu terpental dan jatuh
berguling-guling bagai diterjang badai. Jerami Ayu
sendiri terlempar kuat hingga membentur pohon dengan
keras. Bruuus...!
"Jangan campuri dulu urusan mereka! Kita lihat
sampai di mana kekuatan si Jerami Ayu," bisik Ki
Belantara. Suto Sinting setuju dan anggukkan kepala.
Tapi tiba-tiba Ki Belantara tampak terkejut setelah
melihat Jerami Ayu cabut pedang yang sejak tadi
diselipkan di pinggang kirinya.
"Ooh..."! Ternyata di sana"!" gumam Ki Belantara dengan nada tegang, memancing
rasa ingin tahu
Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Lihat, Jemari Ayu mencabut pedang hitam!"
"Ya, aku melihatnya. Kurasa ia merasa terdesak dan ingin segera tumbangkan si
pemuda. Kau kenal siapa
pemuda itu, Ki?"
"Tidak! Tapi aku mengenal pedang di tangan Jerami Ayu. Pedang hitam itu adalah
Pedang Penakluk Cinta!"
"O, ya..."!" Suto terperangah kaget. "Kau tak salah pandang, Ki?"
"Kudengar penjelasan dari seorang sahabatku yang
pernah melihat Ratu Ladang Peluh menggunakan
Pedang Penakluk Cinta, katanya pedang itu berwarna
hitam karena terbuat dari batu kerak bumi yang kerasnya melebihi besi. Gagang
pedang berbentuk dua hati
berempetan. Bukankah gagang pedang di tangan Jerami
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayu juga berbentuk dua hati berdampingan"!"
"Hmmm... ya, memang benar. Tapi apakah pedang itu memang Pedang Penakluk Cinta"
Bukankah menurut
cucumu pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik"!"
Ki Belantara tak sempat menjawab, karena mereka
segera menyimak suara Jerami Ayu yang berseru kepada
lawannya. "Sambada! Kali ini kau tak bisa lari dari pelukanku!
Lihat, apa yang ada di tanganku ini"!"
"Hmm...! Kau kira pedang murahan itu bisa
meluluhkan hatiku untuk tetap mencintaimu"! Tidak,
Jerami!" Rupanya pemuda yang bernama Sambada itu tidak
tahu tentang pedang di tangan Jerami Ayu. Pemuda
tinggi, tegap, gagah, dan bercambang tipis dengan
rambut ikal bergelombang sepanjang bahu itu sengaja
maju dekati Jerami Ayu. Dua pisau yang ada di
pinggang kanan-kirinya itu segera dicabut. Masingmasing pisau panjangnya sekitar dua jengkal lebih
sedikit, ia memainkan pisaunya itu dengan jurus-jurus yang punya gerakan cepat.
Jerami Ayu tersenyum dan mulai melangkah ke
samping seraya mengangkat pedang hitam itu dengan
kedua tangannya. Sarung pedang yang terbuat dari
ukiran kayu cendana berlapis emas pada tepiannya itu
masih terselip di pinggang. Kemewahan sarung pedang
itulah yang membuat Suto Sinting mulai yakin bahwa
pedang itu adalah Pedang Penakluk Cinta. Aroma harum
cendana menyebar dan tercium oleh hidung Suto ketika
angin berhembus ke arahnya.
"Saatnya kita bergerak, Pendekar Mabuk!" bisik Ki Belantara.
"Aku saja yang menanganinya, Ki!" bisik Suto, lalu bersiap untuk lakukan
serangan yang dapat
menghancurkan pedang itu.
Tetapi sebelum Suto bergerak, tiba-tiba terdengar
suara orang melantunkan tembang dari arah barat. Suara itu membuat Ki Belantara
dan Suto Sinting menengok ke
arah barat, tempat datangnya mereka tadi.
"Uuh, lalala... ceriping sendok aduh kerasnya. Uuh, lalala..."
"Itu dia si Mahesa Gondes, Ki!" sentak Suto dengan suara bisik.
"Kucing kurap, kadal kudis...! Dia masih tetap mabuk racun itu rupanya"!"
"Mungkin dia habis minum tuak beracun itu, Ki!"
"Kurasa begitu, karena ia mencurinya satu guci
penuh." "Edan!" gumam Suto Sinting sambil geleng-geleng kepala.
Perhatian mereka terhadap Jerami Ayu dan Sambada
terlupakan sesaat. Dan pada saat itu mereka segera
melihat kemunculan seorang gadis berpakaian biru tutul-tutul putih, mengenakan
ikat kepala kulit macan tutul.
Gadis itu tak lain adala Sunggar Manik yang muncul
dari belakang Mahesa Gondes, langsung menerjang
pemuda itu dari belakang. Wuuut...! Bruuuk...!
"Aauh...!" Mahesa Gondes tersungkur dan mengerang kesakitan.
"Celaka! Murid bodong itu bisa mati di tangan gadis itu!" geram Ki Belantara.
"Tanganilah dulu, Ki! Aku akan menangani pedang
itu!" ujar Suto Sinting membagi tugas. Ki Belantara
segera melesat turun dari bukit dan menerjang Sunggar
Manik yang ingin menghajar Mahesa Gondes lagi itu.
Wuuut...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk cepat pindahkan perhatian ke arah
pertarungan Jerami Ayu dengan Sambada. Pada saat itu,
tepat Jerami Ayu melompat dan melayang di atas kepala
Sambada. Ia bersalto satu kali, namun sambil
menebaskan Pedang Penakluk Cinta itu.
Wuuut, craas...!
"Auh...!" Sambada terpekik dan jatuh tersungkur.
Pundak kirinya terkena sabetan Pedang Penakluk Cinta.
Goresan itu tak seberapa dalam. Bahkan darah yang
keluar dari goresan pedang itu boleh dibilang sangat
sedikit. Tetapi hal itu membuat Jerami Ayu tersenyum
lega setelah berdiri tegak tak jauh dari Sambada.
"Apa yang terjadi jika sudah begitu?" pikir Suto Sinting. Rasa ingin tahu
menahan niatnya untuk
menyerang Jerami Ayu yang kini tertawa cekikikan
sambil berdiri pegangi pedangnya di bawah pohon,
empat langkah dari Sambada. Pemuda itu telah berdiri dan menggenggam kedua
pisaunya. Suto melihat ketegangan di wajah Sambada mulai
berkurang. Pandangan matanya yang tertuju pada Jerami
Ayu pun tak setajam tadi. Bahkan semakin lama
memandang Jerami Ayu yang tersenyum menggoda itu,
wajah Sembada semakin luluh, tanpa ketegangan sedikit
pun. Senyum tipisnya mulai tampak. Kedua pisaunya
dilepaskan. Jatuh di tanah.
"Apakah kau masih berkeras untuk menolak cintaku,
Sambada"!" ujar Jerami Ayu sambil matanya melirik nakal.
"Jerami...," Sambada dekati perempuan itu. Si perempuan sengaja mundur hingga
punggungnya merapat dengan batang pohon.
"Apakah kau tetap ingin meninggalkan aku dan
melangsungkan pernikahanmu dengan Seriti Kumala"!"
"Kau ternyata lebih cantik dari Seriti Kumala! Ooh, Jerami Ayu... aku ingin
kembali padamu dan kita akan
hidup bersama, Sayang...."
Racun dari Pedang Penakluk Cinta telah membaur
dengan darah Sambada. Racun itu mempengaruhi otak
Sambada dan membakar gairah. Hati Sambada yang
semula tetap tak ingin layani cinta Jerami Ayu kini
berhasil ditaklukkan oleh pedang tersebut.
"Edan! Begitu cepatnya Sambada berubah pikiran dan menjadi bergairah kepada
Jerami Ayu"!" ujar Suto
dalam hatinya saat melihat Sambada segera merapatkan
badan ke tubuh Jerami Ayu.
Perempuan itu segera masukkan pedang tersebut ke
sarungnya. Kedua tangan segera memeluk Sambada
yang menciumi wajahnya. Jerami Ayu tertawa cekikikan
sebagai ungkapan rasa bahagianya.
"Peluklah aku, Sambada! Oouh... jangan gigit
leherku. Geli, ah! Hik, hik, hik!"
Sambada bergairah sekali. Bibir perempuan itu segera
dilumatnya dengan ganas. Jerami Ayu membalas dengan
jamahan tangan yang mencapai tempat tertentu.
Sambada membiarkan tangan Jerami Ayu menemukan
apa yang dicari dalam dirinya.
"Oouh, Sambada.... Sambada aku sayang padamu...
jangan tinggalkan aku, Sambada! Oouh...!" Jerami Ayu kian mengganas ketika
Sambada melepaskan penutup
dadanya, lalu menyapu dada montok itu dengan ciuman
buasnya. Tangan pemuda itu menarik kain tipis penutup bagian
bawah Jerami Ayu. Kain itu tersingkap ke atas dan paha mulus si Jerami Ayu
membuat mata Suto Sinting tak
bisa berkedip. Jantung Suto berdetak-detak manakala
melihat tangan Sambada semakin nakal merayap di
sekitar paha Jerami Ayu yang masih tetap berdiri
bersandar pohon itu.
"Sam... ooh, Sam... sudah lama kurindukan sentuhan mesramu ini! Aku tak mampu
menahannya lagi, Sam.
Lakukanlah... lakukanlah.... Oouh...!" Jerami Ayu mengerang penuh kenikmatan.
Jubahnya terlepas karena
gerakan liarnya. Sementara itu, Sambada sendiri telah kehilangan ikat
pinggangnya dan membuat pakaiannya
berantakan. Pemuda itu bagai orang gila cumbuan, ia
mengganas dan melampiaskannya dengan kasar kepada
Jerami Ayu. Agaknya Jerami Ayu menyukai kekasaran
itu, sehingga ia memberi perlawanan yang sama
hangatnya sampai-sampai ikat pinggangnya sendiri
terlepas dan pedang itu dibiarkan jatuh di bawah
kakinya. "Oouuuh...!" Jerami Ayu tak malu-malu lagi untuk mengerang panjang ketika
ditikam oleh kehangatan
Sambada yang luar biasa nikmatnya itu.
Pendekar Mabuk berkeringat dingin. Seakan seluruh
tulangnya hilang karena terbuai oleh pemandangan yang
membuat dadanya bergemuruh bagai gunung ingin
meletus itu. "Celaka! Aku tak boleh hanyut dengan pemandangan
itu!" pikir Suto Sinting sambil menarik napas dan mengalihkan pandangan
sebentar. Pandangan Suto Sinting dialihkan ke arah Ki
Belantara. Rupanya Pak Tua itu masih sibuk menghajar
Sunggar Manik yang tetap ingin mengejar Mahesa
Gondes yang lari mengelilingi bukit cadas itu. Meski
mulut dan hidungnya telah mengucurkan darah, Sunggar
Manik tak mau melarikan diri ke arah lain.
"Kalau benar dia muridmu, kau harus bertanggung
jawab, Setan Peot! Muridmu telah mencuri pedangku!"
seru Sunggar Manik.
Pendekar Mabuk alihkan pandangan lagi ke arah
Jerami Ayu dan Sambada. Oh, ternyata mereka semakin
panas. Sambada mendayung perahu cintanya
mengarungi samudera kenikmatan, membawa Jerami
Ayu ke puncak keindahan. Perempuan itu memekikmekik tanpa pedulikan suasana di sekitarnya lagi.
Dengan mata terpejam dan tangan mencengkeram kedua
lengan Sambada dengan rematan penuh gairah.
"Jerami..."!!" seru suara orang yang baru tiba di situ.
Orang tersebut adalah Mahesa Gondes sendiri yang
segera hentikan pelariannya dan membelalakkan mata
melihat apa yang diperbuat Jerami Ayu dengan
Sambada. Seruan itu membuat Jerami Ayu hentikan kemesraan
dan membuka matanya. Sambada didorong mundur.
Tapi pemuda itu tetap ingin lanjutkan pelayarannya
sehingga Jerami Ayu sibuk menghindarinya.
"Tunggu sebentar, Sambada!"
"Jerami, aku belum selesai membahagiakan dirimu.
Ayolah, Jerami...," bujuk Sambada.
Jerami Ayu meraih pakaiannya dan mengenakan
sejadinya. "Pergilah, Mahesa! Jangan pandangi aku demikian!"
"Jerami, kau... kau... hah, hah, hah, hah!" Mahesa Gondes tertawa. "Kau
membohongiku, Jerami! Nah,
nah, nah... sekarang ketahuan kau membohongiku! Kau
suruh aku melarikan Pedang Penakluk Cinta saat
Sunggar Manik pingsan di tanganmu dan kau
menghadapi adiknya. Katamu, jika aku mau melarikan
pedang itu, kau mau menjadi kekasihku. Tapi ternyata
kau bercinta dengan pemuda itu. Hah, hah, hah, hah!"
Jerami Ayu segera menyambar pedangnya setelah
menyentakkan tubuh Sambada yang membuat Sambada
terjungkal ke semak-semak. Saat itu Suto Sinting
membatin dalam hatinya.
"O, rupanya Mahesa Gondes diperalat oleh Jerami
Ayu! Dia melarikan pedang itu saat Sunggar Manik
pingsan dan Lentik Sunyi bertarung melawan Jerami
Ayu. Rupanya Mahesa Gondes berhasil serahkan pedang
itu kepada Jerami Ayu dengan janji ingin dijadikan
kekasihnya. Alangkah kasihan si Mahesa Gondes, ia tak
tahu Jerami Ayu ingin dapatkan pedang itu untuk
tundukkan cinta Sambada!"
"Mahesa! Aku tidak ada urusan apa-apa lagi
denganmu! Sebaiknya pergi dan jangan ganggu aku
lagi!" seru Jerami Ayu.
"Hah, hah, hah, hah...! Kau menipuku, Jerami! Kau menipuku, hah, hah, hah, hah!"
Mahesa Gondes tertawa walau merasa ditipu. Tawa itu tetap ada karena pengaruh
'ceriping raja' yang ditelannya.
"Aku memang memperalat dirimu, Mahesa Gondes,
karena aku tahu kau pemuda yang bodoh! Bahkan kau
percaya saja ketika aku pergi dengan alasan memeriksa
pedang ini kepada guruku. Kau tak tahu bahwa kala itu
aku sengaja melarikan diri dari congor bebekmu itu!"
"Hah, hah, hah, hah! Congorku ini bukan congor
bebek, tapi congor kambing, Jerami! Hah, hah, hah...!"
Wuuus...! Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat
menerjang Jerami Ayu yang telah mencabut Pedang
Penakluk Cinta. Tapi untung ia segera berguling
bersama pedang tersebut, sehingga terjangan dari
belakangnya itu tidak kenai kepalanya sedikit pun.
"Oh, rupanya kau, Sunggar Manik"!" geram Jerami Ayu sambil memandang Sunggar
Manik yang telah
berdarah akibat dihajar Ki Belantara itu. Sunggar Manik mengejar Mahesa Gondes,
namun segera setelah berhasil
lolos dari serangan Ki Belantara. Sementara itu, Ki
Belantara pun segera mengejarnya. Namun Sunggar
Manik cenderung untuk segera menyerang Jerami Ayu
karena melihat pedang itu ada di tangan Jerami Ayu.
"Kembalikan pedang itu!" sentak Sunggar Manik.
"Apa" Kembalikan"! Hmmm! Ini yang kukembalikan
padamu!" Weess...! Jerami Ayu lemparkan senjata rahasianya
berupa sekeping logam berbentuk kelelawar. Sunggar
Manik sentakkan kaki dan melambung ke atas dengan
cepat dalam gerakan bersalto satu kali. Senjata itu
meleset dari tubuh Sunggar Manik, namun di belakang
Sunggar Manik ada Sambada yang ingin membantu
Jerami Ayu dengan menyerang Sunggar Manik dari
belakang. Maka senjata rahasia berbentuk kelelawar itu akhirnya menancap telak
di dada Sambada. Jrreeb...!
"Aahk....!" Sambada pun roboh dan berkelojotan beberapa saat sebelum hembuskan
napas terakhir.
"Sambadaaa...!"
Jerami Ayu menjerit, menyesal sekali telah
membunuh orang yang dicintainya itu. Ia segera hampiri Sambada, namun racun
ganas dari senjatanya membuat
Sambada tak kehilangan nyawa dalam waktu lima
hitungan sejak terkena senjata tersebut.
Jerami Ayu menjadi sangat murka kepada Sunggar
Manik, ia berpaling ke belakang, tepat saat Sunggar
Manik mencabut pedangnya untuk ditebaskan ke
punggung Jerami Ayu. Wuuut, wwees...! Jerami Ayu
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berguling ke samping dalam keadaan pakaian setengah
bugil itu. Ia segera menghujamkan Pedang Penakluk
Cinta ke tanah. Jrrub...!
"Aaahkh...!" Sunggar Manik mengejang, pegangi dadanya dengan mata mendelik.
Rupanya jantungnya
telah tertusuk Pedang Penakluk Cinta melalui bekas
telapak kakinya yang dihujam pedang itu.
Brrruk...! Sunggar Manik pun roboh tak berkutik
selamanya. Jerami Ayu menggeram dengan mata liar
memandang Mahesa Gondes yang mendekatinya.
"Jerami, bagaimana dengan nasib cintaku, Cah
Ayu...! Heh, heh, heh, heh!"
"Keparat kau, Mahesa! Semua Ini gara-garamu!
Kubunuh kau sekarang juga!" teriak Jerami Ayu.
Wees...! Mahesa Gondes disambar seseorang,
ternyata Ki Belantara. Tapi pada saat itu, Pedang
Penakluk Cinta segera diangkat oleh Jerami Ayu dan
siap dihujamkan ke bekas telapak kaki Mahesa Gondes.
"Heeaat...!"
Wuuus...! Baaar...!
Jerami Ayu disambar sesuatu yang membuatnya
terpental. Ternyata Pendekar Mabuk mulai bergerak,
berkelebat menyambar Jerami Ayu dengan bumbung
tuak diadukan dengan Pedang Penakluk Cinta. Benturan
itulah yang mengakibatkan timbulkan ledakan
bergelombang padat dengan daya sentak cukup tinggi.
Suto Sinting sendiri jatuh terjungkal dalam jarak empat langkah dari tempat
benturan tersebut.
"Jahanaam...!!" teriak Jerami Ayu dengan murkanya.
Matanya mendelik bagai orang kesurupan, ia segera
bersalto beberapa kali sambil dekati Suto Sinting. Saat itu Suto sedang
menggeliat bangkit dengan menyeringai
menahan rasa sakit di pinggangnya. Pinggang itu
menjadi memar akibat membentur sebongkah batu.
"Kubuat gila birahi kau, Jahanam!" teriak Jerami
Ayu, kemudian pedang itu ditebaskan dari atas ke
bawah. Wuuut...!
Suto Sinting segera melintangkan bumbung tuaknya
dengan kedua tangan ke atas kepala dalam keadaan
berlutut satu kaki. Duaaarr...! Pedang itu meledak saat menghantam bumbung tuak.
Sementara bumbung dari
bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Lecet atau hangus pun tidak.
Ledakan itu membuat Jerami Ayu terpental lagi,
namun kali ini hanya terhuyung-huyung ke belakang.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa'
yang merupakan sinar hijau lurus melesat dari tangan
kirinya. Slaaap...! Sinar itu tepat kenai pedang hitam yang masih terangkat ke
atas dalam genggaman Jerami
Ayu. Jegaaaarrr...! Ki Belantara tarik mundur langkahnya begitu melihat
sinar hijau menghantam Pedang Penakluk Cinta dan
ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah
sekitar tempat itu. Pepohonan pun bergetar, runtuhkan
ranting dan daun.
Jerami Ayu menyeringai menahan sakit sambil
pandangi Pedang Penakluk Cinta yang kini hancur
menjadi serbuk halus berhamburan di tanah. Ki
Belantara pun tertegun di tempat melihat kedahsyatan
jurus pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk.
Mahesa Gondes pun ikut terbengong melihat pedang itu
hancur dalam sekejap.
Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya yang
tinggal sedikit itu untuk hilangkan rasa sakit di
pinggang. Sementara si perempuan berpakaian setengah
bugil itu segera menyambar jubah jingganya dengan
tangan kiri, sebab tangan kanannya menjadi hangus
akibat ikut terkena jurus 'Guntur Perkasa' itu.
"Bangkai setan!" serunya pada Suto. "Kuberi waktu padamu untuk menebus
kelancanganmu ini! Kalau kau
tak bisa mengganti pedang itu, kau harus siap kehilangan nyawamu!"
Blaaassss...! Jerami Ayu segera pergi meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum mendengar
ancaman tersebut.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
KEMATIAN SANG DURJANA Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Nagari Batas Ajal 1 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama