Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SUNGGUH mengejutkan sekali jika Arjuna tampil di
rimba persilatan dan berhadapan dengan Pendekar
Mabuk. Tentu saja dunia akan menjadi gempar, dan
setiap orang tak akan percaya, karena mereka berbeda
zaman. Mungkin juga setiap orang akan bertanya-tanya,
siapa yang unggul jika Pendekar Mabuk bertarung
melawan Arjuna"
Sayangnya, orang yang menghadang langkah Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu, hanyalah orang yang
mirip Arjuna. Rambutnya pendek, rapi, tanpa ikat
kepala. Badannya sedang, tidak tinggi, tidak pendek,
tidak gemuk, tidak kurus dan tidak apa-apa. Kulitnya
putih untuk ukuran kulit seorang lelaki. Usianya sekitar
dua puluh empat tahun. Matanya kecil tapi tajam.
Hidungnya bangir dan punya ketampanan tersendiri.
Jika Pendekar Mabuk mengenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih, maka orang yang mirip
Arjuna itu mengenakan rompi putih dan celana coklat
tua. Pendekar Mabuk mengenakan ikat pinggang dari
kain merah, orang yang mirip Arjuna itu mengenakan
ikat pinggang kulit warna hitam. Pendekar Mabuk
membawa bambu bumbung tuak, orang itu membawa
bambu tanpa tuak. Bambu itu adalah sebuah toya yang
panjangnya satu depa lewat, seperti tongkat pramuka.
Tapi orang itu jelasbukan seorang pramuka.
Bambu kuning itu adalah bambu gading. Kedua
ujungnya papak alias datar. Kelihatannya masih basah,
karena warna kuningnya masih mengkilap. Tapi
sebenarnya bambu itu cukup ulet dan keras. Sekali
gebuk, lalat pun bisa mati, apalagi nyamuk.
Ketika langkah Suto Sinting terhenti, pemuda itu tibatiba lakukan lompatan cepat
menerjang ke dada Suto.
Wuuut...! Tentu saja tendangan kaki itu dapat ditangkis
dengan sentakan tangan kanan ke samping kiri. Plak...!
Kaki kiri Pendekar Mabuk pun berkelebat ke samping.
Wuuut...! Deeekh.
"Akh...!" pemuda berbambu kuning itu tersentak
mundur dua langkah karena pinggangnya terkena
tendangan Suto. Tapi ia tak sampai jatuh, karena setelah
tersentak mundur dua langkah, bambu kuningnya
berkelebat menyambar Suto beberapa kali.
Wus, wus, wus, wus...!
Suto menghindarinya dengan melangkah mundur
sambil kepalanya berkelit ke kanan-kiri. Bambu itu
hanya lewat di depan hidung Suto, kira-kira berjarak
setengah jengkal.
Namun tiba-tiba bambu kuning itu berhenti, lalu
menyodok mata Pendekar Mabuk. Suuut...! Taaab...!
Pendekar Mabuk menahan sodokan bambu kuning
tersebut dengan telapak tangannya. Dalam sekejap toya
bambu kuning itu telah tertangkap di tangan Suto.
Namun segera terlepas kembali ketika Suto Sinting
kirimkan tendangan sekali lagi ke arah pinggang lawan.
Buuukh...! "Uuuugkh...!" pemuda berbambu kuning itu
menyeringai sambil sedikit membungkuk pegangi perut
sampingnya. Tendangan itu dirasakannya seperti
terjangan seekor kerbau mabuk.
"Maaf, bukan aku yang cari penyakit, tapi kau sendiri
yang ingin cepat ke liang kubur, Sobat!" ujar Suto
Sinting yang sengaja tak lanjutkan serangannya agar si
pemuda berambut pendek itu sadar akan kesalahannya.
Tapi rupanya harapan Suto itu tidak terkabul, karena si
pemuda berambut pendek itu justru memainkan toya
bambunya setelah menarik napas untuk menahan rasa
sakitnya. Raut wajah pemuda itu tampak menyimpan dendam
atas dua kali serangan Suto yang mengenainya, ia juga
tampak penasaran karena sejak tadi tak bisa melukai atau
mencelakai lawannya. Padahal ia merasa sudah tepat
sasaran. Kali ini si pemuda berambut pendek sentakkan
tongkatnya ke arah dada Suto Sinting. Tongkat itu dialiri
tenaga dalam hingga keluarkan sinar kuning lurus.
Claaap...! Pendekar Mabuk agak terkejut karena tak
menyangka ujung tongkat akan keluarkan sinar. Namun
dengan cekatan ia menyambar bumbung tuaknya dan
dihadangkan di depan dada sehingga sinar kuning lurus
itu tepat kenai bumbung tuak tersebut.
Traaak...! Terdengar suara seperti benda keras beradu
dengan bumbung tuak. Dan sinar kuning itu ternyata
memantul berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan
lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya.
Weess...! "Edan!" teriak pemuda berambut pendek itu, lalu ia
melompat dan berguling di tanah ketika sinar kuningnya
nyaris kenai dadanya sendiri. Wut, bruuk...! Sinar
kuning itu akhirnya menghantam pohon di belakangnya.
Duaaarr...! Ledakan cukup keras terdengar
menggema, mata si pemuda berambut pendek terbelalak
melihat pohon yang terhantam sinar kuning itu terbelah
menjadi dua bagian. Padahal biasanya sinar kuning itu
jika meleset kenai lawan, akan menghantam pohon dan
pohon itu hanya akan terkoyak sebagian saja. Tapi kali
ini sinar kuning itu justru telah membuat pohon itu
terbelah sedemikian rupa. Sungguh mengherankan bagi
si pemuda berambut pendek itu.
Akhirnya ia bangkit pandangi lawannya yang tetap
berdiri tenang dengan senyum tipis membias di
wajahnya. Kalau saja Suto mau lakukan serangan lagi,
pemuda itu pasti akan celaka karena ia punya
kesempatan menghantam dengan telak. Pemuda itu pun
berpikir, "Mengapa ia tak mau balas menyerangku"!"
Suto pun perdengarkan suaranya yang bernada kalem
tapi tegas. "Siapa kau sebenarnya, Sobat"!"
"Aku yakin kau si Pendekar Mabuk yang kondang
itu! Ciri-cirimu tetap seperti yang pernah kudengar dari
seseorang."
"Yang kutanyakan, siapa kau sebenarnya"!" Suto
agak menggertak, karena jawaban pemuda itu tak sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan Suto.
Pemuda itu segera sadar, lalu menjawab sesuai
pertanyaannya. "Namaku Santana!"
"Santana..."!" Suto berkerut dahi. "Aku merasa asing
dengan nama itu."
"Hmm, kasihan. Rupanya kau pendekar yang kurang
pergaulan," ejek Santana dengan senyum sinis. "Kau
belum tahu siapa jawara dari Parang, eh... maksudku dari
Pulau Parang"!"
"Aku pernah mendengar nama Pulau Parang tapi
tidak pernah tahu kalau pulau itu ada jawaranya," ujar
Suto Sinting dengan melangkah ke samping.
"Akulah jawaranya!" Santana menepuk dada.
"Akulah yang bernama Sandi Tanayom alias Santana!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut kalem, "Akulah
Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"
"Aku sudah tahu nama aslimu Sinting. Kau tak perlu
memperkenalkan diri lagi. Sebaiknya cepat persiapkan
diri untuk kematianmu!" sambil Santana mondar-mandir
ke kanan-kiri dengan lagak sok jagonya.
"Mengapa aku harus persiapkan diri untuk
kematianku?"
"Sudah tujuh hari aku mencarimu, Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam hati, "Bocah ini kalau
ditanya pasti jawabannya tidak pernah nyambung!
Goblok apa gila dia itu?"
"Mengapa kau ingin membunuhku Santana"!"
"Sekadar menyalurkan bakat saja," jawabnya dengan
konyol. "Bakat apa?"
"Jangan sebut-sebut bakat seenaknya, ya" Bakat itu
nama bapakku!" Santana tampak ngotot. "Subakat, itu
nama lengkap bapakku!"
"Lho, yang menyinggung soal bakat kau dulu,
Santana. Aku hanya menanyakan bakat apa yang ingin
kau salurkan itu!"
"Bakat menjadi pembunuh bayaran!" jawab Santana
dengan mata dilebarkan biar tampak galak dan
menyeramkan. Tapi karena wajahnya tampan, maka
kesan galaknya tidak ada, yang muncul justru kesan lucu
menggelikan hati Suto.
"O, jadi kau seorang pembunuh bayaran?" gumam
Suto sambil manggut-manggut.
"Hampir," jawab Santana tegas. "Maksudku, sebentar
lagi aku hampir menjadi pembunuh bayaran, terutama
setelah berhasil membunuhmu, Pendekar Sinting!"
"Siapa yang membayarmu untuk membunuhku?"
"Memang tugasku membunuhmu!"
"Yang kutanyakan, siapa yang menyuruhmu
membunuhku"!" sentak Suto agak kesal dengan jawaban
yang tulalit alias tak pernah nyambung itu.
"Soal siapa yang menyuruhku, kau tak perlu tahu. Itu
urusanku dan itu rahasia perusahaan. Kau hanya kuminta
dengan kerelaanmu agar bersedia kubunuh dan mayatmu
akan kuserahkan kepada Ratu Ladang Peluh!"
"Ooo... jadi yang mengupahmu untuk membunuhku
itu adalah si Ratu Ladang Peluh?" sambil Suto manggutmanggut, tapi Santana
membantahnya dengan keras.
"Kau tidak perlu tahu siapa yang mengupahku! Aku
bukan orang upahan Ratu Ladang Peluh! Bagaimanapun
juga aku tidak akan katakan padamu bahwa aku
pembunuh bayaran atas suruhan Ratu Ladang Peluh!"
"Bocah goblok!" gerutu Suto sambil menahan rasa
jengkel-jengkel geli. "Kalau mau merahasiakan siapa
yang mengupahmu, jangan sebutkan namanya!"
"Memang tidak sebutkan namanya! Buktinya aku
tidak bilang padamu kalau aku disuruh membunuhmu
oleh Ratu Ladang Peluh, bukan"! Aku tidak bilang
begitu, bukan"!"
"Hmmm..., pembunuh bayaran kelas teri kau ini,
Santana," kecam Pendekar Mabuk sambil sunggingkan
senyum berkesan geli. Karena bagaimanapun ngototnya
Santana, Suto tahu persis bahwa pemuda itu disuruh oleh
Ratu Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk.
Padahal nama itu sedang menjadi buah pikiran Suto,
sebab masih ada kaitannya dengan perkara hancurnya
sebuah pedang pusaka, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Pedang Penakluk Cinta").
"Sebaiknya
urungkan niatmu membunuhku, Santana," saran Suto.
"Urungkan"! Hmmm, enak saja! Aku sudah
menerima uang muka dari orang yang menyuruhku, dan
uang muka itu sudah habis kupakai jajan, masa' aku
harus mengurungkan niatku"! Hmmm, tidak bisa! Aku
harus tetap berusaha membunuhmu, supaya dapat
tambahan uang dan memperoleh sebuah pusaka dari
orang yang menyuruhku itu. Pusaka Pedang Penakluk
Cinta!" "Dasar bodoh! Kau tak pantas menjadi pembunuh
bayaran, Santana, karena semua rahasia kau beberkan
secara tidak sengaja, termasuk nama orang yang
membayarmu itu! Aku tahu, kau disuruh oleh Ratu
Ladang Peluh dengan upah menarik, yaitu sebuah
pedang pusaka yang bernama Pedang Penakluk Cinta."
"Lho, kok tahu?" gumam Santana yang sampai
didengar oleh telinga Suto. Maka senyum Suto pun
mengembang dengan lebar. Santana akhirnya
menggeram, "Aku tak peduli kau tahu siapa yang menyuruhku
atau tidak, yang jelas sekarang terimalah saat
kematianmu yang sebenarnya, Suto Mabuk! Heaaat...!"
Santana melompat kembali sambil menyodokkan
toya bambu kuningnya. Tapi dengan sentakan cepat,
Pendekar Mabuk telah melayang melebihi ketinggian
Santana. Wuuut...! Santana melesat di bawah kaki
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ujung kaki kanan
Suto menyentak ke bawah, tepat kenai ubun-ubun
Santana. Deess...!
Brrukk...! Santana kontan jatuh tersungkur. Wajahnya
yang tampan itu bagai diadu dengan tanah. Suara
pekiknya terbungkam oleh rumput yang masuk ke
mulutnya. Sedangkan Suto Sinting sudah berada di
tempat lain dengan lakukan gerakan salto pada saat
kakinya menyentak di kepala Santana.
"Babi burik! Kepalaku malah dipakai buat tumpuan
kakinya!" geram hati Santana. "Ooh... kepalaku" Ya,
ampun... mengapa berat sekali" Uuh...! Gila! Kepalaku
seperti dibanduli batu sebesar gunung. Sulit sekali
diangkat dan rasa sakitnya sampai ke tunggir! Uuuh,
setan belang nyolong kacang, jurus apa yang dipakai si
Pendekar Sinting itu"!"
Pendekar Mabuk akhirnya menjambak rambut
Santana hingga kepala pemuda itu terdongak.
Mulutnya ternganga penuh rumput yang terpotong
pada saat giginya menggegat menahan rasa sakit itu.
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Mabuk cabuti rumput yang ada di dalam mulut
Santana sambil berkata,
"Aku tahu kau pesuruh yang bodoh, jadi aku tak tega
untuk mencelakaimu!"
Santana tak bisa bertindak dengan tongkat karena
kedua tangannya yang lurus ke depan itu diinjak oleh
kaki Suto. Posisi Suto ada di depan Santana. Setelah
rumput tidak menyumbat mulut Santana, Suto pun
menuangkan tuaknya ke mulut itu.
"Minum tuak ini biar kepalamu tak pecah!"
Glek, glek, glek ..! Mau tak mau Santana menelan
tuak itu. Kejap berikutnya ia merasa sehat kembali tanpa
rasa sakit sedikit pun. Suto segera membangunkan.
"Sekali lagi kusarankan padamu, batalkan niatmu
untuk membunuhku, Santana! Ratu Ladang Peluh itu
bukan orang yang patut dibela. Dia ratu aliran hitam!"
Setelah berpikir sejenak, Santana pun berkata, "Akan
kuturuti saranmu. Tapi ada syaratnya!" sambil hati
Santana membatin, "Kalau kulawan dengan kekerasan
aku tak akan menang. Harus kugunakan akalku untuk
tundukkan orang ini!"
Suto Sinting diam saja, ia sengaja menyimak apa
yang ingin dikatakan oleh Santana. Sampai akhirnya,
tanpa diminta Santana menjelaskan sendiri maksudnya.
"Syaratnya cukup ringan."
Santana membuat lingkaran besar dengan tongkat
bambu kuningnya. Lingkaran itu mengelilingi Suto
Sinting dalam jarak empat langkah dari tengah ke garis
lingkaran. Setelah itu, Santana dekati Suto Sinting lagi.
"Pendekar Mabuk, kalau kau bisa membuatku keluar
dari lingkaran ini, berarti aku tidak jadi membunuhmu.
Karena jika kau bisa membuatku keluar dari garis
lingkaran itu, maka aku akan merasa tak bakal bisa
menandingi kekuatan dan ilmumu. Tapi jika kau yang
keluar dari garis lingkaran itu, berarti kau harus rela
kubunuh demi tugasku!"
Santana tersenyum lagi. Suto Sinting tetap tenang
memandangi garis lingkaran tersebut.
"Bagaimana?" desak Santana bernada menantang.
Dengan kalem Suto Sinting berkata sambil garuk-garuk
kepala. "Kelihatannya syarat itu cukup berat, Santana. Kurasa
aku tak bisa membuatmu keluar dari lingkaran. Tapi
kalau membuatmu masuk ke dalam lingkaran, kurasa
aku sanggup melakukannya."
"O, baik! Baik!" Santana manggut-manggut. "Itu tak
jadi masalah, Suto," sambil ia melangkah keluar dari
lingkaran. "Silakan kau membuatku jatuh ke dalam
lingkaran dengan cara apa pun. Kalau memang...."
Suto Sinting memotong, "Santana, aku tidak
menggunakan ototku, tapi aku menggunakan otakku."
"Tak apa! Kau boleh menggunakan otakmu. Aku
tetap mengakui kemenanganmu walaupun kau
menggunakan otak jika...."
"Santana," potong Suto Sinting lagi. "Lihat kakimu!
Sekarang kau sudah berada di luar lingkaran. Berarti aku
sudah bisa membuatmu keluar dari garis lingkaran
sesuai dengan syarat yang kau ajukan tadi!"
"Maksudku, hmm... ehhh... begini, Suto. Kau tadi
bilang...."
"Kau kalah, Santana! Kau sudah keluar dari lingkaran
sedangkan aku tetap berada di dalam lingkaran!" sahut
Suto lagi. Santana menjadi diam tertegun dan segera
menyadari bahwa dirinya telah terpedaya oleh kata-kata
Pendekar Mabuk tadi.
Suto Sinting sunggingkan senyum lebar ketika
Santana menatap dengan bengong. Hati murid si Gila
Tuak itu merasa geli dan ingin tertawa, namun demi
menjaga perasaan Santana, ia tak jadi lepaskan tawa
lebar-lebar. "Kau curang, Suto!" Santana mulai menggeram.
"Hei, ingat apa yang kukatakan tadi... aku tidak akan
menggunakan otot melainkan menggunakan otak, dan
kau sudah bilang akan mengakui kemenanganku
walaupun aku menggunakan otak!"
Santana bagai tak bisa berkutik lagi. Senyumnya
hilang, pandangan matanya terasa hampa. Jelas batinnya
penuh gerutu dan makian.
"Jika kau seorang pria sejati berjiwa kesatria, kau
pasti mengakui kekalahanmu ini, Santana! Tapi jika kau
berjiwa pengecut dan banci, maka kau akan ngotot tak
berani akui kekalahan diri sendiri!" tambah Suto Sinting
semakin membuat Santana terbungkam seribu bahasa
selama empat helaan napas lebih.
Ketika sedang beradu pandang dalam kebisuan, tibatiba ekor mata Pendekar Mabuk
melihat gerakan benda
yang meluncur ke arah Santana.
Slaap...! Seketika itu pula Pendekar Mabuk berseru
dengan wajah menegang seketika. "Awaaas...!"
Santana segera sentakkan tangan kanannya ke kiri.
Bambu kuning itu melintang di sekitar telinganya. Benda
yang meluncur itu menancap tepat di bambu kuning itu.
Jrraab...! Jika tak terhalang bambu kuning, leher Santana
yang menjadi sasaran benda tersebut.
Tongkat ditarik kembali oleh Santana dengan kalem.
Matanya memandang benda yang menancap di
bambunya. Ternyata sebuah senjata rahasia dari
sekeping logam putih berbentuk bintang segi enam, tapi
bagian tengahnya berlubang seperti cincin.
Suto Sinting membatin, "Boleh juga gerakan
cepatnya! Tanpa memandang ke arah kirinya ia sudah
bisa menangkis senjata rahasia tersebut. Kuakui, walau
cuma seperti itu tapi ia sudah tergolong hebat. Ilmunya
tidak terlalu rendah."
Santana yang kehilangan senyum itu melirik ke
semak-semak sebelah kirinya.
"Agaknya ada orang jahil yang ingin membunuhmu,
Santana!" ujar Suto Sinting.
Santana tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi ia
segera sentakkan tongkat bambu kuningnya itu ke arah
datangnya senjata rahasia tadi. Sentakan bertenaga
dalam membuat benda yang menancap di tongkat
bambunya itu terlepas dan melesat dengan cepat seperti
dilemparkan dengan tangan. Slaaap.! Benda itu
melayang ke arah semak-semak. Zrrraab...!
Triing...! Terdengar suara denting menggema kecil, seakan
benda berbentuk bintang segi enam itu telah menyentuh
logam lain di balik semak-semak tersebut. Kejap
berikutnya, dari balik semak-semak tampak sesosok
bayangan melesat keluar dengan gerakan bersalto di
udara dua kali.
Bruus...! Wuuk, wuuk...!
Jleeg...! Pendekar Mabuk dan Santana sama-sama pandangi
seraut wajah cantik yang baru saja muncul dari semaksemak itu. Seraut wajah
cantik itu milik seorang gadis
berusia sekitar dua puluh dua tahun. Rambutnya pendek,
seperti potongan lelaki, kepalanya dililit logam kuning
emas dengan hiasan batu merah delima sebesar biji sawo
berantai pendek.
Gadis itu mengenakan baju tanpa lengan warna
merah kehitaman dari bahan kain tebal. Bajunya yang
berhias benang emas dan mempunyai krah agak tinggi,
hingga menutupi sebagian lehernya yang dari depan
tampak berwarna kuning mulus.
Baju berbelahan dada agak lebar dan sedikit
menggoda itu dililit sabuk hitam dengan kepala sabuk
dari logam emas berbatu merah. Ada tiga batu merah
delima pada kepala sabuknya itu. Sedangkan celananya
juga berwarna merah kehitaman berhias benang emas
dari kain tebal dan ketat hingga membentuk lekak-lekuk
pinggul, paha dan betisnya.
Kaki yang separo betisnya kelihatan itu mengenakan
sandal kulit bertali hitam membentuk anyaman renggang
pada betisnya. Gadis itu bersenjata pedang di punggung.
Pedang tersebut sudah dicabut dari sarungnya dan
digenggam dengan tangan kanan. Rupanya pedang itulah
yang terkena lemparan balik sekeping logam berbentuk
bintang segi enam itu. Ia berhasil menangkisnya dan
segera tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum.
Suto Sinting yang berada dalam jarak dua langkah di
samping Santana segera berbisik dengan pandangan
mata tetap tertuju kepada wajah cantik berhidung
mancung dan berbibir sensual itu.
"Kau mengenalnya, Santana?"
"Dia memang cantik," jawab Santana seperti orang
tuli yang selalu salah jawab.
Suara Suto Sinting jadi menggeram karena menahan
kejengkelan. "Aku bertanya padamu, apakah kau mengenal gadis
itu"!"
"Oh, hmm... tidak!" jawab Santana seperti baru saja
sadar dari lamunan. "Aku... aku sama sekali tak
mengenalnya. Mungkin kau yang mengenalnya.
Barangkali dia kekasihmu"!"
"Kekasihku adalah Dyah Sariningrum. Bukan dia!
Dyah Sariningrum lebih cantik darinya. Sayang sekali
perjalananku ke Pulau Serindu untuk menemuinya
terhalang oleh kemunculanmu tadi!"
Santana menatap Suto Sinting dengan mulut
terperangah. "Hei, nama itu kukenal! Bukankah orang yang
bernama Dyah Sariningrum itu adalah penguasa di Pulau
Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati"!"
"Tepat sekali! Dia itulah calon istriku!"
"Ooo... jadi kau sudah pesan tempat di hati sang Ratu
Puri Gerbang Surgawi itu"!" Santana mulai tersenyum
kembali. "Benar sekali. Aku sudah pesan tempat cukup lama!"
Suto pun tersenyum walau hanya tipis-tipis saja.
"Hebat sekali kau! Hebat sekali! Hah, hah, hah, hah!"
Kedua pemuda itu tertawa, sepertinya tak
menghiraukan kemunculan si gadis cantik yang
menggenggam pedang itu. Sang gadis menjadi dongkol,
kemudian segera lakukan lompatan ke arah Santana.
Pedangnya ditebaskan dalam sekali kelebat. Beet...!
Trak...! Pedang itu berhasil ditangkis dengan bambu
kuningnya Santana. Bambu itu tak menjadi patah atau
terpotong, padahal pedang tersebut cukup tajam. Jika tak
dialiri tenaga dalam, tentunya bambu itu sudah patah
atau terpotong.
Gagal menebaskan pedangnya ke tubuh Santana,
gadis itu segera kirimkan tendangan kakinya dalam satu
lompatan kecil. Beet...! Plook...! Santana menangkisnya
dengan kaki, sehingga kaki mereka saling beradu.
Sementara itu, Suto Sinting mundur jauhi mereka.
Namun ketika itu Santana segera hantamkan telapak
tangan kirinya dalam gerakan sangat cepat. Beet...!
Buuhk...! "Hehhk...!" gadis itu tersentak mundur, tubuhnya
melayang sesaat, namun berhasil kuasai diri sehingga tak
sampai jatuh, ia berdiri dalam jarak lima langkah dari
Santana. Sedangkan Suto Sinting berdiri dua langkah dari
samping kiri si gadis. Gadis itu melirik Suto Sinting
dengan lirikan tak bersahabat, Suto pun segera mundur
sambil mengambil bumbung tuaknya yang sejak tadi
menyilang di punggung. Sambil melangkah mundur,
Suto Sinting sunggingkan senyum lebar, bagaikan
seringai penuh goda.
"Siapa kau, Nona cantik"! Apa alasanmu dua kali
menyerangku dengan senjata"!" tanya Santana dengan
wajah tak menampakkan permusuhannya. Wajah itu
kembali dihiasi oleh senyum yang kadang kecil kadang
melebar. Si gadis tak lagi menatap Suto melainkan lemparkan
pandangan ke arah Santana. Walau sepasang mata itu
jernih dan berbulu lentik, namun sorot pandangannya
terasa tajam dan dingin. Tajam seperti peniti, dingin
seperti es cendol.
* ** 2 PENDEKAR Mabuk coba menyapa si gadis dengan
nada lebih lembut dari nada suara Santana.
"Nona, boleh kutahu siapa dirimu sebenarnya?"
Gadis itu memandang Santana, tapi menjawab
pertanyaan Suto Sinting walau bernada ketus.
"Aku yang berjuluk Mendung Merah dari Gunung
Pare!" "Wah, gawat!" sahut Santana pelan, memandang Suto
dengan senyum dikulum.
"Gunung Pare itu tempat begituan!"
"Begituan bagaimana?"
"Tempat perjudian nyawa!" tegas Santana.
"Kudengar, di Gunung Pare banyak orang berjudi
dengan mengadu jago. Jago mereka adalah manusia
seperti kita. Siapa yang mati, itulah yang kalah. Kalau
belum mati, walau sudah babak belur dan tidak bisa
bicara lagi, tapi masih bernapas, tetap belum dikatakan
kalah! Bukankah begitu, ya Nona"!" Santana melempar
bicara kepada gadis itu.
"Itu dulu!" jawab si gadis pendek, namun sudah bikin
Santana tersenyum lebar. Sebelum pemuda bertongkat
bambu kuning itu bicara lagi, Mendung Merah sudah
dului ajukan tanya kepada pemuda itu.
"Kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, bukan"!"
"Ooo... keliru, Non! Keliru!" ujar Santana santai
sekali, ia menuding Suto, "Dia yang punya gelar
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Mabuk!"
"Benar, aku yang bergelar Pendekar Mabuk!" sambil
Suto acungkan tangan dengan cengar-cengir.
Gadis itu menatap Suto Sinting sesaat, lalu menatap
Santana, kembali memandang Suto, kembali lagi
pandangi Santana. Ia tampak bingung menentukan
keyakinannya. Mungkin karena pakaian Suto dan
Santana punya warna sama, hanya berbeda tempatnya,
maka si gadis menjadi bimbang. Bawahan putih atau
atasan putih" Atasan coklat atau bawahannya yang
coklat" Tapi keduanya sama-sama membawa bambu,
hanya saja beda kegunaannya.
"Aku bertanya sungguh-sungguh, siapa yang berjuluk
Pendekar Mabuk"!"
"Aku...!" jawab Suto lagi sambil menepuk dada dan
maju selangkah.
"Jangan menyesal jika pedangku telanjur merenggut
nyawamu!" geram gadis itu.
Tiba-tiba ia bergerak cepat menyabetkan pedangnya
ke dada Suto Sinting. Beett...! Tapi gerak naluri Suto
sudah terlatih. Dengan memiringkan badan sedikit
seperti orang mabuk menggeloyor, bambu bumbung
tuaknya dihadangkan ke arah datangnya pedang. Maka
bambu itulah yang terkena sabetan pedang si Mendung
Merah. Traang...!
"Busyet! Suaranya seperti besi ketemu besi"!"
gumam Santana pelan. Matanya memandang kagum ke
arah bumbung tuak yang tak lecet sedikit pun.
Si gadis lepaskan pukulan dengan tangan kirinya, tapi
dihindari oleh Suto dengan menggeloyor seperti ingin
tersungkur ke depan. Wuut...! Pukulan tersebut tak kenai
sasaran, tapi hembusan angin, pukulannya terasa panas
di tengkuk Pendekar Mabuk. Berarti pukulan itu
mengandung tenaga dalam cukup besar.
"Hai, sabar...! Sabar dulu, Mendung Merah!" bujuk
Pendekar Mabuk.
Namun si gadis tak mau turuti bujukan itu. Kakinya
menendang ke samping, arahnya tepat di depan mulut
Pendekar Mabuk. Wuukk...! Tendangan itu tidak
ditangkis, tapi dihindari juga dengan cara melompat ke
belakang. Wes, jleeg...!
Si gadis sentakkan kakinya dan tubuh sekalnya itu
tiba-tiba melambung ke atas, lalu bersalto ke belakang.
Wees...! Begitu kedua kakinya sampai di tanah, pedangnya
menebas ke samping kanan. Wuuut...! Trang..!
Bumbung tuak dipakai menangkis pedang itu lagi. Tapi
sang pedang berkelebat dalam gerak meliuk cukup cepat.
Suuutt...! Wees...! Kepala Suto Sinting nyaris jadi
sasaran telak kalau saja pemuda itu tidak cepat-cepat
tundukkan kepala dengan setengah berjongkok.
Tangan kiri Suto menapak di tanah, tubuhnya
memutar cepat dengan kaki menyambar betis gadis itu.
Wuut...! Plook...!
Brrruk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam
hempasan keras. Suto Sinting segera berdiri dan pindah
tempat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di belakang
Santana. Diam-diam Mendung Merah tercengang kagum
melihat gerakan sebegitu cepat, nyaris tak terlihat sedikit
pun bayangannya. Santana sendiri agak kaget
mengetahui Suto Sinting sudah ada di belakangnya.
"Edan! Lewat mana kau bisa sampai di belakangku"!"
"Lewat kolong kakimu!" jawab Suto Sinting sambil
pandangi si gadis yang telah berdiri dengan wajah
memancarkan permusuhan.
Ketika Mendung Merah ingin bergerak lagi, Santana
buru-buru berkata kepadanya.
"Mendung Merah, maukah kau kerja sama
denganku?"
"Minggir kau! Akan kuhantam dia dari sini jika benar
dia Pendekar Mabuk!" sentak Mendung Merah.
"O, silakan!" ujar Santana sambil menyingkir,
membuat Pendekar Mabuk tanpa penghalang apa pun di
depannya. Seketika itu pula Mendung Merah sentakkan
tangan kirinya dengan jari lurus ke depan dan saling
merapat. Suuutt...! Dari ujung jari tengah itu keluar sinar
merah panjang yang melesat ke dada Pendekar Mabuk.
Claap...! Bumbung tuak segera diangkat sedada. Sinar merah
itu menghantam bumbung tersebut. Tuub...!
Ternyata sinar merah itu memantul balik dalam
keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Weess...! Mendung Merah kaget sekali. Hampir saja ia jadi
sasaran balik sinarnya sendiri. Untung ia segera
sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke udara dan
bersalto mundur satu kali. Suut...! Wuuuk...!
Sinar yang kembali arah itu akhirnya menghantam
sebatang pohon yang besarnya tiga kali pelukan Suto
Sinting. Jegaarrr...!
"Edan!" sentak Santana dengan rundukkan kepala
hampir jongkok. Ledakan yang terjadi sangat keras dan
menghentak kuat, seakan ingin memecah gendang
telinga. Sementara itu, Mendung Merah tertegun beberapa
kejap dengan mata tak bisa berkedip, ia nyaris tak
percaya bahwa sinar merahnya yang berbalik arah itu
telah membuat pohon yang dihantamnya menjadi
serpihan-serpihan kayu yang menyebar ke berbagai arah.
Padahal biasanya sinar merah tersebut hanya bisa
membuat pohon berlubang besar dalam keadaan
lubangnya hangus. Tak sampai membuat pohon pecah
seperti saat itu.
Setelah masing-masing sama-sama bungkam selama
dua helaan napas, Pendekar Mabuk segera menegur
Mendung Merah dengan serius, tanpa senyum sedikit
pun, namun tanpa wajah bermusuhan.
"Mendung Merah, mengapa kau benar-benar ingin
membunuhku"!"
Santana menyahut, "Jawab saja, Nona! jawab apa
adanya, daripada nanti dia matinya penasaran, Rohnya
bisa mendatangimu tiap malam dan mencabuti bulu
ketiakmu!"
"Aku tak punya bulu!" bentak Mendung Merah
kepada Santana.
"Ooh... maaf, maaf... aku salah pandang kalau
begitu!" kata Santana sedikit gugup, tapi gayanya
menggelikan hati Pendekar Mabuk.
Mendung Merah hampiri Santana dan mengacungkan
pedangnya ke arah pemuda itu.
"Jika kau bukan Pendekar Mabuk, jangan ikut bicara!
Bisa robek mulutmu dengan pedangku ini kalau masih
ikut campur urusanku dengannya!"
Suto menyahut, "Aku merasa tak punya urusan
denganmu, Mendung Merah."
"Aku yang punya urusan denganmu! Kau tak perlu
ikut mengurusnya, biar aku yang mengurus, karena
memang tugasku tak jauh dari urusan nyawamu!"
"Tugas apa itu, kalau boleh kutahu"!"
"Memenggal kepalamu!" geram Mendung Merah.
Santana maju dekati Mendung Merah. Senyumnya
berkesan sinis mengejek.
"Siapa yang memberimu tugas begitu, Neng"!"
"Aku dibayar oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting terperanjat. Lagi-lagi nama Ladang
Peluh mengejutkan hatinya, membelalakkan matanya,
menahan napasnya di tenggorokan. Suto Sinting tak bisa
tertawa, tapi Santana justru tertawa agak keras. Tawa
meremehkan. "Itu tidak mungkin, Nona cantik! Tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin, Tikus parit"!" geram
Mendung Merah. "Ratu Ladang Peluh sudah menyewaku untuk
membunuh Pendekar Mabuk. Separo bayaranku sudah
diberikan sebagai uang muka, sisanya akan dilunasi
setelah aku datang kembali dengan membawa potongan
kepala Pendekar Mabuk! Jadi tak mungkin kau merebut
lahanku, Cah Ayu!"
"Mendung Merah tak kenal kata tak mungkin!"
sentak gadis itu dengan galaknya. "Pendekar Mabuk
adalah buruanku!"
"Tidak bisa! Dia adalah buruanku!" bantah Santana.
"Kalau begitu kita tentukan siapa yang berhak
memenggal kepala Pendekar Mabuk!"
"Boleh!" kata Santana dengan bersemangat
menyambut tantangan Mendung Merah.
Suto Sinting tertawa kecil dalam hatinya, ia sengaja
mundur beberapa langkah sampai di bawah pohon.
Hatinya pun membatin,
"Gila! Mereka berebut kepalaku" Lucu sekali! Apa
mereka pikir mudah memenggal kepala Pendekar
Mabuk"!"
Santana dan Mendung Merah masih bersitegang. Suto
sengaja membiarkannya, sambil ia ingin tahu sejauh
mana kemampuan kedua orang itu sehingga mereka
berani memperebutkan kepala Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mampu menahan sodokan bambu
kuningku, berarti kau berhak mendapatkan kepala
Pendekar Mabuk!" ujar Santana sambil melangkah ke
kiri mengitari gadis itu. Si gadis sendiri melangkah ke
kanan membentuk gerakan melingkar sambit
mempertinggi kewaspadaannya.
Bambu kuning yang dipermainkan dengan kedua
tangan Santana itu tiba-tiba menyodok ke dada Mendung
Merah secara beruntun.
Suutt, suut, suuut, suutt...!.
Mendung Merah hanya menghindar dengan gerak
tubuh lincahnya yang meliuk ke sana-sini, sementara
kedua kaki tetap berada di tempat, tak bergeser sedikit
pun. Gadis itu ingin tunjukkan bahwa ia mampu
bergerak lebih cepat dari sodokan bambu kuning
Santana. Sodokan itu mengandung tenaga dalam, sehingga
ujung bambu terasa keluarkan hawa panas yang dapat
menyengat kulit manusia biasa. Hawa panas itu pun
berhasil dihindari oleh Mendung Merah.
Namun ketika pedang Mendung Merah ingin
menebas bambu itu, tiba-tiba Santana berputar tubuh
dengan cepat bersama bambunya. Namun seketika itu
pula bambunya menyodok ke belakang ketika Santana
memunggungi Mendung Merah. Wuutt...!
Tenaga dalam yang keluar dari ujung bambu lebih
besar dari yang tadi. Untung gadis itu berhasil sentakkan
kaki ke tanah secepatnya, lalu tubuhnya melambung ke
udara dan bersalto maju satu kali. Wuuuss...!
Tubuh itu melayang lewat atas kepala Santana.
Pedang pun ditebaskan ke arah kepala Santana. Tetapi
dengan cepat Santana berlutut satu kaki dan bambu
kuningnya disilangkan di atas kepala dengan kedua
tangan memeganginya. Traakkk...! Pedang itu akhirnya
tertahan oleh bambu kuning tersebut hingga tak sempat
lukai kepala Santana.
Pemuda itu cepat-cepat lepaskan satu tangannya. Kini
bambu kuning dipegang dengan satu tangan dan berputar
melilit di tangan Mendung Merah yang memegangi
pedang. Slep, slep, slep...!
Dess...! Bambu itu menyodok cepat dan kenai ketiak
Mendung Merah. "Uuhk...!" Mendung Merah menyeringai, ketiaknya
terasa sakit sekali mendapat sodokan bambu kuning
yang rasanya seperti disodok besi. Tulang di ketiak
terasa remuk. Tangan kanan Mendung Merah pun tak
mampu menggenggam lagi. Pedangnya jatuh ke tanah,
tangan itu bagaikan lumpuh tanpa daya sedikit pun.
Tapi gadis itu belum mau menyerah, ia berusaha
kerahkan tenaga yang masih tersisa. Seluruh tenaga
dipusatkan pada tangan kirinya. Ketika bambu Santana
menyabet punggung Mendung Merah, gadis itu cepatcepat berguling di tanah. Wuuus,
wuuutt...! Gerakan berguling sengaja mendekati kaki Santana.
Dengan gerakan cepat, tangan kiri itu segera keraskan
kedua jarinya dan menotok tepian mata kaki Santana
dengan gerakan seperti seekor kobra mematuk mangsa.
Tuuuss...! "Aow...!" Santana terpekik dengan suara tertahan.
Tiba-tiba tubuhnya jatuh terduduk. Seluruh urat dan
tulangnya bagaikan hilang. Rupanya ia terkena totokan
lawan yang membuatnya kehilangan sebagian besar
kekuatannya, namun masih tetap dalam keadaan sadar, ia
tak mampu lagi memegangi bambu kuningnya.
Napasnya menjadi sangat sesak dan sulit dihela,
sehingga Santana tampak cengap-cengap seperti seekor
lele kekurangan air.
"Haap, haap.., haap...!"
Mendung Merah segera menendangkan kaki
kanannya, sementara kaki kiri dipakai untuk berlutut di
tanah. Wuuut, plook...! Dengan telak tendangan itu kenai
wajah Santana. Tapi setelah itu Mendung Merah jatuh
terduduk. Rupanya sodokan bambu kuning di ketiaknya
makin lama semakin melumpuhkan seluruh bagian
tubuhnya. Tulang-tulang terasa nyeri dan urat-urat bagai
mengendor. Bruuukk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam
keadaan bersandar pada akar pohon yang tersumbul dari
tanah setinggi betis manusia dewasa itu. Napasnya
terengah-engah dengan wajah pucat pasi seperti mayat.
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Santana pun tampak lebih pucat lagi, bahkan
menyerupai sehelai kertas tanpa stempel.
"Edan...! Kurang ajar...," Santana memaki dengan
suara lirih dan serak karena berusaha melonggarkan
napasnya. "Hrrmmm... hhrrmmm...," Mendung Merah tak bisa
keluarkan suara kecuali menggeram seperti orang
mendengkur. Pendekar Mabuk tertawa dari kejauhan. Tawa gelinya
memang tak keluarkan suara keras, namun dari
guncangan badannya ia tampak terpingkal-pingkal
melihat kedua orang yang ingin membunuhnya itu saling
terkulai lemas. Dengan sisa tawa yang ada, Suto pun
akhirnya hampiri kedua orang yang sama-sama lumpuh
itu. Pedang milik Mendung Merah dipungutnya, lalu
diletakkan di atas pangkuan gadis itu.
"Babat saja lehernya! Kapan lagi kalau tidak
sekarang!" ujar Suto dengan nada menyindir.
Bambu kuning yang tergeletak sejauh satu langkah
dari Santana juga dipungut dan diletakkan di atas dada
Santana yang terduduk melonjor dalam keadaan lengan
tersangga batu sebesar anak sapi.
"Gebuk saja gadis itu! Jangan malu-malu, Santana!"
"Mata... mu...!" Santana memaki sambil matanya
mendelik dan sibuk menarik napasnya yang terasa sulit
dihela itu. Pendekar Mabuk lebarkan senyum, keluarkan suara
tawa seperti orang menggumam, ia geleng-geleng kepala
pandangi kedua orang tersebut secara bergantian.
Mereka juga memandang Pendekar Mabuk dengan
kecamuk batin masing-masing. Entah apa yang
dikecamukkan mereka, tapi yang jelas mereka punya
kedongkolan sendiri terhadap ejekan Suto Sinting tadi.
"Kalian ini bagaimana" Payah sekali!" Suto bertolak
pinggang satu tangan. "Bagaimana kalian mau
membunuhku jika menumbangkan lawan seperti kalian
tak mampu saling menumbangkan"!"
Melihat kedua orang itu tak berdaya, Pendekar
Mabuk tak sampai hati. Sekalipun mereka bermaksud
membunuhnya, namun dalam hati Pendekar Mabuk
yakin bahwa mereka akan membatalkan niatnya jika
sudah mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Menurut penilaian Suto, wajah-wajah mereka bukan
wajah-wajah orang jahat yang tak dapat disadarkan.
Mereka masih bisa disadarkan dan diberi pengertian.
"Apalagi ilmu mereka hanya segitu, sekali kugebrak
bakalan ngacir tak balik-balik lagi," ujar Suto dalam
hatinya. "Aku yakin mereka hanya terpedaya oleh katakata Ratu Ladang Peluh,
sehingga mereka menerima
tawaran menjadi pembunuh bayaran. Agaknya mereka
belum tahu belang si Ladang Peluh itu."
Tuak sakti yang ada dalam bumbung Suto
diminumkan kepada mereka satu persatu. Dengan
meneguk tuak dari dalam bumbung yang selalu dibawabawa Suto itu, kekuatan mereka
menjadi pulih kembali.
Rasa sakit hilang, napas sesak menjadi longgar, tulang
nyeri menjadi kokoh kembali, urat kendor menjadi
keras, dan gemuruh hati yang ingin membunuh menjadi
tenang kembali.
"Aneh"! Hanya dengan meneguk tuaknya saja
badanku menjadi segar dan lincah kembali?" pikir
Santana. "Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelum
bertemu dengannya" Ternyata tinggi juga kesaktian yang
dimiliki si Pendekar Mabuk itu"! Apakah aku mampu
melawannya" Ah, aku jadi sangsi pada kemampuanku
sendiri jika harus berhadapan dengannya. Apalagi dia
baik padaku, mau mengobati kelumpuhanku ini!"
Sementara itu, hati Mendung Merah sendiri
membatin, "Luar biasa tuaknya itu. Sekujur badanku
seperti habis dipijat secara rata. Enak dan segar.
Mengapa dia mau menolongku, sedangkan dia tahu aku
diupah untuk membunuhnya" Oh, haruskah aku
membunuh orang sebaik dia dan... dan setampan dia"!
Ah, ratu setan itu benar-benar iblis tanpa malu! Pemuda
setampan dia disuruh membunuhnya. Apa dia sudah
buta"! Belum lagi pertimbangan tentang ilmunya yang
dapat kuduga lebih tinggi dari ilmuku. Bayangkan saja,
jurus totokanku yang kenai pemuda konyol itu dapat
dibuyarkan dengan meminum tuaknya"! Apa bukan ilmu
edan-edanan itu namanya"!"
Ketika keduanya saling berdiri membenahi pakaian
dan membersihkan tanah yang menempel di pakaian
mereka, Pendekar Mabuk sengaja pandangi mereka dari
jarak empat langkah sambil perdengarkan suaranya yang
masih bernada bersahabat itu.
"Sebenarnya apa yang membuat kalian bersemangat
sekali diupah untuk membunuhku oleh Ratu Ladang
Peluh" Apakah karena besarnya upah tersebut atau
karena hal lain"!"
"Upah itu bisa dibilang besar, bisa pula dibilang kecil.
Tergantung keadaan orang tersebut. Kalau sedang
miskin, tak punya beras sejimpit pun, tentu saja upah itu
termasuk besar dan menggiurkan hati. Tapi bagi orang
yang sudah punya delapan kapal, maka upah seperti itu
dinilai sesuatu yang tak berharga."
"Jawabanmu tak pernah sesuai dengan pertanyaan,
Santana. Sebaiknya kau jangan menjawab!" kata Suto
Sinting agak jengkel, ia segera memandang Mendung
Merah yang telah memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. Tapi sebelum gadis itu bicara, tiba-tiba Suto Sirting
tersentak kaget dan cepat bergerak dengan menggunakan
jurus Gerak Siluman'-nya. Zlaapp...! Ia melesat hampiri
gadis itu. Mendung Merah menyangka Suto ingin
menerjangnya, ia segera menghindar ke samping kanan.
Gerakan Suto berkelebat di sebelah kirinya.
Blaaarrr...! Ledakan besar terjadi dan menggetarkan tanah sekitar
tempat itu. Ternyata tindakan Suto tadi adalah langkah
menyelamatkan Mendung Merah dari serangan sinar
biru yang melesat dari atas pohon berdaun rimbun. Sinar
biru itu seperti lidi, meluncur cepat mengarah ke kepala
Mendung Merah. Tetapi dengan berkelebatnya Pendekar Mabuk, maka
sinar biru itu akhirnya menghantam bumbung tuak Suto.
Sinar itu membalik arah dan menghantam dahan pohon
bersama timbulnya ledakan besar tadi.
Zrraak...! Bruuk...!
Dari atas pohon itu melesat sekelebat bayangan.
Rupanya ada seseorang yang nyaris termakan sinar
birunya sendiri yang memantul balik dalam keadaan
lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya. Orang
tersebut melompat hindari sinar tersebut. Karena
terburu-burunya, maka ia tak berhasil kuasai
keseimbangan tubuh, sehingga ia jatuh terduduk pada
saat kakinya mendarat di tanah.
Santana kaget, tapi Mendung Merah lebih kaget lagi,
karena ia sadar bahwa nyawanya nyaris terancam punah
dari peredaran jika tidak segera diselamatkan oleh
Pendekar Mabuk. Gadis itu semakin terkejut setelah
mengetahui siapa orang yang melepaskan sinar biru
penjemput nyawanya itu.
"Siapa orang itu"!" bisik Suto kepada Mendung
Merah, karena saat itu Mendung Merah ada di samping
kanannya, sedangkan Santana ada di sebelah kirinya.
* * * 3 PEMILIK sinar biru itu adalah seorang lelaki pendek
berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis seperti
kelelawar menclok di bawah hidung. Tinggi badannya
sebatas perut Suto lebih sedikit. Lelaki itu mempunyai
rambut yang tumbuh di sisi kanan-kiri kepalanya,
sedangkan bagian tengah kepala dari depan sampai ke
belakang botak tanpa rambut sehelai pun.
Ia mengenakan baju berlengan panjang warna hijau
tua dengan celananya berwarna hitam. Baju itu tidak
dikancingkan, sehingga perutnya yang buncit itu tampak
berkulit coklat gelap.
Ia juga mengenakan sabuk dari kain warna merah.
Kain merah itu dipakai untuk selipkan golok bergagang
hitam bentuk kepala burung gagak.
Matanya yang beralis tebal itu memandang lurus dan
tajam ke arah Mendung Merah. Pandangan mata itu
menandakan sikap permusuhan yang dalam, seakan tak
akan mengenal kata ampun untuk Mendung Merah.
"Apa maksudmu menyerangku, Sawung Kuntet"!"
seru Mendung Merah dengan suara lantang menandakan
keberaniannya. Suto Sinting sedikit condongkan
badannya ke arah Santana dan berbisik pelan, tak
kentara. "Ooo... namanya Sawung Kuntet!"
"Sawung itu jago, Kuntet itu pendek. Berarti dia
jagoan yang bertubuh pendek."
"Jagoan apa dulu?"
"Mungkin jagoan sambar jemuran orang" Hee, hee,
hee, he...!"
"Sstt...!" desis Suto menyuruh Santana agar tak
cengengesan dulu, karena saat itu bibir si Sawung
Kuntet sudah mulai bergerak-gerak ingin bicara.
"Aku mau anu kau, karena kau mau anu Pendekar
Mabuk!" Santana dan Suto Sinting berkerut dahi, merasa tak
jelas dengan kata-kata Sawung Kuntet yang gemar
menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti kata yang
dimaksud. Suto Sinting akhirnya bertanya dalam bisikan
kepada Mendung Merah.
"Apa maksudnya?"
"Dia ingin membunuhku karena aku ingin
membunuhmu. Kurasa begitulah maksudnya."
"Aneh. Mengapa harus pakai kata 'anu' untuk
mengungkapkan maksudnya?"
"Memang begitulah ciri bicaranya!" bisik Mendung
Merah. "Sudah lama kau kenal dia?"
"Cukup lama. Ia orang Lembah Layon yang ada di
kaki Gunung Pare."
Setelah menggumam dan manggut-manggut, Suto
Sinting kerutkan dahi. Pada saat itu Sawung Kuntet
melirik Suto sekejap. Anehnya, lirikan itu tidak tampak
bersahabat melainkan justru kelihatan bermusuhan.
Hati Suto pun membatin, "Rupanya dia ingin
membelaku"! Dengan alasan apa dia ingin selamatkan
diriku?" Mendung Merah ajukan tanya lagi kepada Sawung
Kuntet. "Apa maksud pembelaanmu terhadap Pendekar
Mabuk"!"
"Karena dia anuku!"
"Anumu..."!" Santana berseru dengan heran. "Anumu
bagaimana"!"
"Dia jatahku!" bentak Sawung Kuntet. "Kau pun juga
akan ku-anu setelah anunya gadis itu melayang!"
Suto Sinting tertawa ditahan, Santana pun geli dan
menutup mulutnya agar tak melepaskan tawa.
"Anunya Mendung Merah akan melayang, katanya.
Melayang ke mana, ya"!" ujar Santana sambil menahan
tawa. Mendung Merah jelaskan, "Maksudnya, dia juga akan
membunuhmu setelah nyawaku melayang!"
"Ooo...," Suto dan Santana sama-sama melongo
sambil angguk-anggukkan kepala dan memendam rasa
geli dalam hati.
"Apa maksudmu mengatakan Pendekar Mabuk
adalah jatahmu"!" tanya Mendung Merah lagi.
"Aku sudah di-anu oleh Ratu Ladang Peluh...."
"Di-anu itu diapakan?" potong Santana. "Diperkosa
apa diperbudak"!"
"Disewa, Bodoh!" bentak Sawung Kuntet.
"O, jadi kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh"
Disewa untuk apa"!" tanya Suto.
"Untuk meng-anu-mu!"
"Apa lagi artinya itu, Mendung?" bisik Suto.
Mendung Merah pun berbisik, "Mungkin artinya dia
sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuhmu!"
Suto Sinting terkesip. Matanya segera menatap
Sawung Kuntet. "Benarkah kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh
untuk membunuhku"!"
"Benar!" jawabnya tegas. "Dari tadi kuikuti
pembicaraan kalian, sehingga aku meng-anu siapa kalian
berdua. Ternyata dia bernama Santana dan kau yang beranu Pendekar Mabuk!"
Mendung Merah segera bicara kepada Sawung
Kuntet. "Kurasa sebaiknya urungkan saja niatmu membunuh
Pendekar Mabuk! Kau tak akan mampu menandingi
ilmunya!" "Justru kau yang harus anu, dan jangan bermimpi lagi
mendapatkan anu besar dari Ratu Ladang Peluh! Jika
kau tak mau mundur, maka kau akan ku-anu sekarang
juga! Siapa pun yang ingin meng-anu Pendekar Mabuk,
akan ku-anu lebih dulu sebelum ia berhasil bawa kepala
Pendekar Mabuk ke Ratu anu!"
Santana tampil ke depan sambil cengar-cengir.
"Sawung Kuntet, sedikit banyak aku bisa memahami
maksud kata-katamu. Siapa pun yang ingin membunuh
Pendekar Mabuk maka orang itu akan kau bunuh lebih
dulu, supaya kepala Pendekar Mabuk bisa kau dapatkan,
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kau tukar dengan upah dari Ratu Ladang Peluh!
Tapi ketahuilah pula Sawung Kuntet... sebagai orang
yang disewa juga oleh Ratu Ladang Peluh, aku tak
gentar sedikit pun jika harus bertarung dulu denganmu
untuk menentukan siapa yang berhak membunuh
Pendekar Mabuk! Jadi jika kau tetap ingin menjadi
pembunuh bayaran untuk dapatkan kepala Pendekar
Mabuk, kurasa kau harus beranu-anuan dulu denganku!"
"Apa itu beranu-anuan"!" sentak Mendung Merah.
"Berpukul- pukulan. He, he, he, he...!"
Santana nyengir. Mendung Merah masih berwajah
ketus, sedangkan Sawung Kuntet menjadi berang karena
dibuat bercandaan oleh Santana. Tiba-tiba tangannya
berkelebat seperti melemparkan pisau ke arah Santana.
Ternyata yang keluar dari lemparan tangannya adalah
cahaya merah yang berbentuk seperti piringan bergerigi.
Crlaapp...! Santana segera sodokkan tongkat bambunya ke
depan. Wuuutt...! Dari ujung bambu kuning itu keluar
seberkas cahaya kuning seperti anak panah kecil.
Claap...! Cahaya kuning itu menghantam cahaya
merahnya Sawung Kuntet. Maka meledaklah kedua
cahaya itu di pertengahan jarak.
Duuaaarrr...! Daya sentak ledakan itu melesat ke dua arah,
membuat Sawung Kuntet terdorong mundur hingga lima
langkah dan Santana terpelanting ke belakang sekitar
lima langkah. Suto Sinting segera berdiri di pertengahan jarak
mereka. Pada saat itu, Sawung Kuntet sudah mulai
kepalkan kedua tangannya yang mengeras, seakan ia
telah menggenggam tenaga dalam yang siap dilepaskan
dari jarak jauh. Mendung Merah mencabut pedangnya
kembali. Sreett...! Gadis itu berseru sebelum Pendekar
Mabuk menyuruh Sawung Kuntet hentikan serangannya.
"Hadapilah aku lebih dulu, Sawung!"
Lelaki pendek itu segera sentakkan kedua tangannya
ke arah Mendung Merah sambil membuka
genggamannya. Ternyata sebentuk tenaga dalam cukup
besar dilepaskan oleh Sawung Kuntet pada saat
Mendung Merah lakukan lompatan menyerang.
Wuuutt...! Baahkk...!
Tubuh gadis itu terlempar cukup jauh. Ia seperti
diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk.
Tubuh itu terbanting di bawah pohon dan mengerang
lirih di sana. Brruuuss...! "Aooh...!"
Suto Sinting membatin, "Boleh juga tenaga dalamnya
yang tanpa sinar itu! Mendung Merah seperti kapas
dihempas badai. Hmmm... rupanya si Sawung Kuntet
punya tenaga dalam cukup besar juga"!"
Rasa ingin menjajal ilmunya Sawung Kuntet
membuat Santana segera maju menyerang. Kali ini ia
pergunakan jurus 'Toya Sakti'-nya yang ditebaskan ke
kanan-kiri beberapa kali, lalu tiba-tiba menyentak ke
depan dan dari ujung toya itu keluar jarum-jarum
berkarat yang jumlahnya lebih dari sepuluh batang
jarum. Sraab...! weerrs...!
Jarum-jarum berkarat menerjang Sawung Kuntet.
Tetapi pria pendek berkumis seperti kelelawar itu
melayangkan tubuhnya dengan ringan. Wuuutt...! Tubuh
itu bersalto dua kali selama di udara, dan jarum-jarum
berkarat itu menancap pada sebatang pohon, Pohon
tersebut menjadi rubuh dalam beberapa kejap kemudian.
Tempat yang terkena jarum-jarum itu tampak hitam
membusuk. Pendekar Mabuk bingung sendiri melihat sana-sini
menyerang Sawung Kuntet. Ia segera melompat ke sisi
lain dan membiarkan Santana hadapi Sawung Kuntet
yang sudah mencabut goloknya begitu kakinya menapak
ke bumi. Jleeg...! Wut, wut, wut, wuut, wuut...!
Sawung Kuntet tebaskan goloknya ke arah Santana
beberapa kali. Gerakan golok menebas itu sangat cepat
sehingga tampak seperti cahaya putih berkelebat ke
sana-sini, karena golok itu memantulkan sinar matahari.
Rupanya Santana juga dapat mainkan tongkat bambu
kuningnya dengan kecepatan yang sama. Setiap tebasan
golok itu selalu ditangkis dengan bambunya.
Trak, trak, trak, trak, trak...!
Lalu tubuh Santana berputar cepat dan tongkatnya
menghantam dari arah samping. Buuhk...! Pinggang si
Sawung Kuntet terhantam. Sebelum lelaki itu memekik,
Santana segera rendahkan badan dengan menyapukan
tongkatnya ke arah bawah. Wuutt...! Prraakk...!
"Aaow...!" Sawung Kuntet memekik, karena Santana
berhasil menyambar mata kakinya. Pria pendek itu
berdiri dengan satu kaki dan mulai limbung. Santana
segera menyodokkan bambu kuningnya dengan
kecepatan tinggi dan secara beruntun. Deb, deeb, deeb,
deeb...! Suara angin dapat keluar dari ujung bambu kuning itu
dan menghantam dada Sawung Kuntet beberapa kali.
Lelaki itu terdorong mundur gelagapan, akhirnya
terlempar dalam gerakan melayang mundur saat tongkat
menyodok telak ulu hatinya. Des...! Wuuutt...!
Brruuk...! Sawung Kuntet terbanting di antara akar-akar pohon
yang bertonjolan di tanah, ia menyeringai kesakitan.
Santana melompat dengan gerakan jungkir balik
menggunakan tongkatnya yang sesekali menyentuh
tanah sebagai penopang tubuh. Wuk, wuuk, wuk...!
Jleeg...! Santana daratkan kakinya tepat di samping
Sawung Kuntet dan terbaring. Tongkat bambu kuning
diangkat dan ingin dihujamkan ke perut Sawung Kuntet.
Tetapi pria pendek itu gunakan tenaga simpanannya
hingga tubuhnya bisa melenting naik dengan kedua kaki
terangkat ke atas dalam gerakan jungkir balik. Saat
itulah tongkat bambu kuning berhasil ditendang oleh
kaki Sawung Kuntet. Bet...! Tendangan itu sangat keras,
sehingga bambu kuning itu tersentak dan tubuh Santana
ikut terbawa hingga oleng.
Santana yang menggeragap itu segera disabet dengan
golok panjang Sawung Kuntet. Weess...! Tapi bambu
kuning bergerak cepat lindungi pinggang samping
sehingga golok itu tak jadi merobek pinggang melainkan
kenai bambu itu dengan keras.
Trraak...! Benturan itu memercikkan bunga api dalam
sekejap, sepertinya golok tersebut beradu dengan besi
baja yang melapisi bambu kuning tersebut. Padahal yang
ada dalam lapisan bambu kuning itu adalah tenaga dalam
Santana yang selalu disalurkan ke dalam bambu tersebut.
Begitu sadar goloknya tak kenai sasaran, Sawung
Kuntet segera pergunakan telapak tangan kirinya untuk
menghantam punggung Santana. Bet! Plaak...!
"Aaah...!" Santana memekik, punggungnya berasap
dan membekas telapak tangan Sawung Kuntet yang
selain bertenaga besar juga mengandung hawa panas api
cukup tinggi. Brruk...! Santana tumbang dalam keadaan tersangkut.
Sawung Kuntet tak mau hentikan serangan sampai di
situ saja, ia mengangkat goloknya dan menghujamkan
golok ke punggung Santana dengan kedua tangan.
"Heaaah...!"
Tapi di luar dugaan, Sawung Kuntet terpental
sebelum goloknya sempat menghujam punggung
lawannya, ia merasa ulu hatinya ditendang seekor kuda
jantan dengan kerasnya. Napas bagai menggumpal di
perut, jantung terasa berhenti mendadak. Sawung Kuntet
jatuh terkapar dalam jarak lima langkah dari Santana, ia
tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah lepaskan jurus
'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan jari bertenaga
dalam tinggi. "Aahk...! Aaakkh...!" Sawung Kuntet mendelik dan
kelojotan, mulutnya ternganga karena ingin menghirup
udara banyak-banyak. Namun jalur pernapasannya
seakan tersumbat sesuatu yang sulit dihilangkan.
Mendung Merah sudah berdiri sejak tadi. Rasa
sakitnya akibat jatuh terbanting itu sudah dapat diatasi
dengan tarikan napasnya. Gadis itu segera berlari dan
lakukan lompatan bersalto beberapa kali hingga
secepatnya tiba di dekat Sawung Kuntet. Jleeg...!
Pedang di tangannya segera dihujamkan ke dada
Sawung Kuntet. Suuut...! Traang...! Mendung Merah
terpelanting jatuh karena pedangnya tersentak kuat dan
akhirnya menancap di tanah. Jreeb...!
Sesuatu yang membuat pedang Mendung Merah
terpental adalah sentilan tenaga dalam juga yang
dilakukan oleh Pendekar Mabuk dari tempatnya berdiri.
Sentilan itu tepat kenai pedang, dan pedang menjadi
berat dalam keadaan terlempar. Mau tak mau tubuh
Mendung Merah terbawa oleh pedangnya.
"Hentikan semua!" seru Pendekar Mabuk kali ini
perlihatkan ketegasannya.
Suasana hening sejurus ketika Pendekar Mabuk
hampiri ketiga orang itu. Lalu, suara erangan Santana
terdengar secara samar-samar. Sentakan-sentakan napas
Sawung Kuntet pun terdengar lirih seperti orang
cegukan. Pria itu masih mendelik dengan mulut terbuka
berusaha menarik napas beberapa kali.
"Sadarlah kalian bahwa saat ini aku dapat membunuh
kalian semua!" seru Suto Sinting bernada tegas, namun
hatinya tetap bersabar. Suto hanya ingin memberi
peringatan kepada mereka, agar tidak bertarung sendirisendiri hanya untuk
merebutkan haknya sebagai
pembunuh bayaran Ratu Ladang Peluh.
"Aku sengaja tak ingin menjadi musuh kalian dengan
cara melukai, atau mencederai, bahkan membunuh
kalian! Lupakan tugas kalian sebagai pembunuh bayaran
si Ladang Peluh itu, karena tindakan tersebut hanya akan
mengorbankan nyawa kalian secara cuma-cuma!"
Tak satu pun yang berani bicara pada saat itu.
Apalagi si Sawung Kuntet, sama sekali tak bicara karena
ia sedang sibuk ngap-ngapan mencari lubang napasnya.
Sekali lagi Pendekar Mabuk tunjukkan sikap
bersahabatnya dengan meminumkan tuak sakti kepada
mereka. Dengan begitu, luka dan rasa sakit mereka
segera lenyap. Badan mereka pun segar kembali. Tetapi
warna hitam hangus di rompi Santana masih membekas
telapak tangan Sawung Kuntet, dan agaknya bekas itu
menjadi suatu peringatan bagi Santana untuk lebih
berhati-hati jika terpaksa harus bertarung lagi melawan
Sawung Kuntet. Kegalakan lelaki pendek itu pun menjadi reda dengan
sendirinya, karena ia merasa diselamatkan oleh Pendekar
Mabuk, sehingga pernapasannya normal kembali.
"Aku mendapatkan satu kesimpulan setelah melihat
pertarungan kalian yang lamban dan kurang pantas jika
menjadi pembunuh bayaran," ujar Suto Sinting
memberanikan diri bicara agak sombong untuk
meluruskan jalan pikiran mereka.
Sambungnya lagi, "Kalian sebenarnya dimanfaatkan
oleh Ratu Ladang Peluh sebagai umpan agar aku
menemuinya. Mengapa kalian dijadikan umpan" Karena
dia tak bisa menemukan diriku dengan mudah, sehingga
tak bisa melampiaskan dendamnya!"
Santana melirik Mendung Merah, saat itu Mendung
Merah sendiri melirik Sawung Kuntet yang menatap
Suto Sinting dengan pandangan mata tak setajam tadi.
Agaknya mereka sengaja diam untuk dengarkan ucapan
sang Pendekar Mabuk itu.
"Nyawa kalian sama sekali tidak dihargai oleh Ratu
bejat itu. Bayangkan saja, berapa duit kalian dibayar
untuk dapat membunuhku" Sementara dia tahu persis
bahwa kalian tak mungkin bisa membunuhku, justru
kalian sendiri akan terbunuh olehku jika kita saling
bertarung. Jika kalian terbunuh, tentu saja dia tak akan
keluarkan uang untuk membayar kalian!"
Suto sengaja diam sesaat untuk memberi kesempatan
kepada mereka merenungi kata-katanya itu. Beberapa
kejap kemudian, Sawung Kuntet perdengarkan suaranya
yang mirip orang menggumam, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Keparat! Berani-beraninya dia menjadikan anuku
sebagai umpan!"
"Anuku itu apa maksudnya?" tanya Santana.
"Nyawaku!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo... nyawamu. Kukira anumu!" gumam Santana,
lalu diam, masalah 'anu' tak dibahas lagi.
Mendung Merah segera berkata, "Aku tertarik tugas
ini bukan semata-mata upah sejumlah uang dan
perhiasan. Terus terang saja aku tertarik tugas ini karena
ia berjanji akan memberi hadiah padaku sebuah pedang
sakti yang bernama Pedang Penakluk Cinta, jika aku
berhasil membawa pulang kepala Pendekar Mabuk."
"Aku juga akan diberi hadiah Pedang Penakluk Cinta
jika bisa memenggal kepalamu, Suto!" ujar Santana.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum lebar
setengah geli. Sawung Kuntet segera berkata, "Dia juga ber-anu
begitu padaku, dan aku sangat tertarik dengan Pedang
Penakluk anu...."
"Husy! Penakluk anu bagaimana"!" sentak Santana.
"Maksudku. Pedang Penakluk Cinta!"
"Bicaralah yang lengkap!"
"Apa hakmu mengatur bicaraku"!" sentak Sawung
Kuntet menegang. Suto Sinting segera meredakan
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ketegangan itu.
"Ratu bejat itu memang licik!" ujar Suto Sinting.
"Kalian boleh percaya boleh tidak, Pedang Penakluk
Cinta sudah kuhancurkan saat berada di tangan Jerami
Ayu!" Ketiga orang itu saling pandang dengan dahi
berkerut. Suto menyambung, "Kalian boleh tanyakan kepada
Ki Belantara, jika kalian kenal dengan beliau. Ki
Belantara adalah saksi mata saat aku menghancurkan
Pedang Penakluk Cinta. Karena pedang itu kuhancurkan,
maka Ratu Ladang Peluh sangat marah dan mendendam
padaku, tapi tak bisa melampiaskan kemarahannya.
Kurasa ia sudah cukup lama mencari-cariku namun tak
berhasil dijumpai, sehingga ia menggunakan umpan
nyawa kalian. Harapannya, jika kalian sekarat
ditanganku, tentunya kalian akan bicara siapa yang
menyuruh kalian. Dan kalau sudah begitu, dia berharap
aku mendatanginya ke Bukit Randa!"
"Bangsat kurap! Pedang sudah anu ditawarkan
sebagai anu!" geram Sawung Kuntet.
Wajah tiga orang utusan Ratu Ladang Peluh itu
tampak memendam kejengkelan. Mendung Merah
bahkan kelihatan menyembunyikan rasa malu di
hadapan Pendekar Mabuk, ia tak berani menatap
langsung ke mata si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kurasa bukan hanya kita saja yang dikerahkan
sebagai orang upahannya!" kata Santana sambil
tersenyum kecut. "Mungkin lebih dari lima atau enam
orang." Mendung Merah segera berkata dengan nada
menggeram, "Aku akan bikin perhitungan sendiri
dengan Ratu Ladang Peluh! Ia telah menganggapku
sebagai gadis bodoh dengan cara seperti ini!"
"Aku pun akan memberi pelajaran pada anu-nya yang
busuk itu!" Sawung Kuntet ikut-ikutan menggeram.
"Apa benar anu-nya Ratu Ladang Peluh itu busuk"!"
tanya Santana sambil tersenyum menahan geli.
"Yang kumaksud, mulutnya! Mulut busuk itu harus
dihajar biar anu!"
Pendekar Mabuk segera berkata, "Itu urusan kalian!
Aku tak menyuruh kalian bertindak begitu. Hanya saja,
yang jelas aku tak akan layani dendam si Ratu Ladang
Peluh itu! Aku punya urusan lain yang lebih penting dari
melayani dendamnya!"
Santana perdengarkan suaranya yang kalem, "Aku
hanya akan minta bukti keutuhan Pedang Penakluk Cinta
itu. Jika ia bisa tunjukkan pedang itu masih utuh, akan
kulanjutkan tugasku mengejar kepalamu, Suto. Tapi jika
ia tak bisa tunjukkan pedang itu, berani pedang itu
benar-benar hancur dan... yah, mungkin kepalanya
kubuat hancur juga dengan bambu gadingku ini!"
"Gagasanmu itu bagus! Pertama, untuk membuktikan
kebenaran kata-kataku tentang pedang yang sudah
kuhancurkan itu. Kedua, untuk menelanjangi tipu
muslihatnya! Tentang yang lain-lain, terserah dirimu
sendiri, Santana."
"Anu-nya ratu itu memang palsu!" ujar Sawung
Kuntet. "Anu-nya palsu" Maksudnya anu-nya dari karet,
begitu"!" tanya Suto.
"Pengakuannya palsu!" sentak Sawung Kuntet
menjelaskan. "Ooo... pengakuannya"! Kukira... kukira giginya
yang palsu," gumam Suto Sinting sambil tertawa.
Mendung Merah sembunyikan senyum. "Dia pandai
menutupi otak ngeresnya!" ujar Mendung Merah
membatin. "Dia mengaku, anu-nya kau acak-acak, dan ia sangat
sakit hati padamu."
"Ah, yang benar saja! Mana mungkin aku mengacakacak anunya!"
Mendung Merah yang menyahut, "Maksudnya, ia
mengaku istananya di Bukit Randa itu kau acak-acak!
Sebab, di depanku pun ia mengaku demikian."
"Ooo... istananya?" Suto Sinting manggut-manggut
sambil tersenyum, sementara Mendung Merah sengaja
bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas. Wajahnya
tampak semakin cantik dan menarik dalam keadaan
cemberut begitu.
Santana juga ingin katakan hal yang sama tentang
pengakuan Ratu Ladang Peluh. Tetapi sesuatu telah
membuat Santana tak jadi bicara.
Sekelebat bayangan melintas di depan mereka, tepat
di belakang Pendekar Mabuk. Mereka menjadi cemas
dalam keadaan tegang. Sosok bayangan yang muncul di
belakang Suto Sinting itu tak lain adalah tokoh yang
dikenal oleh mereka bertiga.
* ** 4 TOKOH yang baru muncul itu bertubuh kurus,
ceking, jangkung dan bermata cekung. Ia seorang lelaki
tua yang mempunyai rambut berwarna biru. Rambut itu
panjangnya sepundak, berkesan kusut, tanpa ikat kepala.
Ia tak berkumis dan tak berjenggot, namun alisnya yang
tebal juga berwarna biru.
Jubahnya yang berlengan panjang dan bagian
depannya tidak dikancingkan itu juga berwarna biru
muda seperti rambutnya. Tapi celana komprangnya
berwarna abu-abu, bukan biru lagi. Kakek berusia sekitar
delapan puluh tahun itu mempunyai kulit yang kusam
dan berkeriput. Dadanya yang tinggal tulang dibungkus
kulit itu masih tersisa tato semasa muda. Tato yang
lebarnya pas satu dada itu bergambar seekor burung
sedang lebarkan sayapnya.
Pendekar Mabuk merasa asing dengan kemunculan
kakek bertongkat hitam itu. Sepanjang ingatannya, ia
merasa belum pernah jumpa dengan tokoh tua tersebut.
Tapi si tokoh tua menatapnya dengan pandangan mata
yang dingin dan menggetarkan hati.
"Kau kenal kakek itu?" bisik Suto kepada Mendung
Merah. "Dia yang bernama Eyang Bintara alias Geledek
Biru!" Santana yang mendengar bisik-bisik itu segera
menimpali dengan bisikan pula.
"Dia adalah Penguasa Kuil Keramat di Bukit
Belatung! Di kawasan tenggara, dia sangat dikenal,
ditakuti dan disegani."
Sawung Kuntet nimbrung juga, "Anu-ya sangat
banyak!" "Apanya maksudmu?"
"Pengikutnya!" geram Sawung Kuntet.
"Dia guru besar dari Perguruan Badai Keramat!"
tambah Mendung Merah. Si tampan Pendekar Mabuk
hanya menggumam dan manggut-manggut kecil.
Setelah beradu pandang sebentar, tiba-tiba saja si
Geledek Biru surutkan pandangan matanya, tak sedingin
tadi, tak setajam saat ia datang. Mereka yang mengenal
siapa Geledek Biru menjadi heran melihat surutnya
pandangan mata tersebut. Tak biasanya Geledek Biru
surutkan pandangan mata dalam berhadapan dengan
siapa pun. Zeeeb...! Geledek Biru bergerak dekati Suto Sinting
dengan gerakan kaki tak menyentuh tanah, seperti
melayang cepat dan berhenti dengan cepat pula.
Yang lain mundur dua langkah, tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dalam jarak empat langkah dari
Geledek Biru. Pemuda itu masih menampakkan
sikapnya yang tenang, seakan menghadapi manusia
biasa. Padahal dalam hati Pendekar Mabuk mulai
mengakui kehebatan ilmu Geledek Biru dengan cara
memperhatikan gerakan kakek tersebut saat mendekatinya tanpa menyentuh tanah.
"Pasti kau yang berjuluk Pendekar Mabuk!" ujarnya
dengan nada tegas dan suara masih jelas.
"Benar, Eyang! Aku yang berjuluk Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas
pula. Santana beranikan diri bersuara setelah Geledek Biru
dan Pendekar Mabuk saling membisu dalam beradu
pandang. "Maaf, Eyang Geledek Biru, apakah Eyang juga
diminta bantuannya oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar Mabuk"!"
Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh Geledek Biru,
gadis berpakaian merah itu segera menimpalinya.
"Eyang Geledek Biru, mohon Eyang tidak
terpengaruh oleh kata-kata Ratu Ladang Peluh. Mohon
pula, pertimbangkan baik-baik pengaduan Ratu Ladang
Peluh itu. Jangan sampai Eyang Geledek Biru termakan
fitnah atau terpedaya olehnya."
Sawung Kuntet jadi ikut bicara, "Kami semua di-anu
oleh Ratu Ladang Peluh, Eyang!"
"Di-anu itu diapakan"!" sahut Santana.
"Ditipu, maksudku!" Sawung Kuntet agak
menyentak. Mendung Merah berkata lagi, "Pendekar Mabuk
bukan orang yang patut dipenggal kepalanya, tapi Ratu
Ladang Peluh itulah yang patut dipenggal kepalanya,
Eyang!" Suto Sinting pandangi sekeliling, menatap wajah para
utusan Ratu Ladang Peluh satu persatu. Keheningan
terjadi karena mereka saling bisu. Geledek Biru juga
pandangi wajah-wajah di belakang Pendekar Mabuk.
Kejap berikut, sebelum Suto Sinting ingin mengawali
percakapannya, si Geledek Biru kembali perdengarkan
suara dengan nada rendah.
"Justru aku ke sini ingin menanyakannya kepada
Pendekar Mabuk, benarkah dia yang membunuh Ratu
Ladang Peluh"!"
"Bukan membunuh, Eyang!" sahut Mendung Merah.
"Tapi menurut pengakuan Pendekar Mabuk, dialah yang
hancurkan Pedang Penakluk Cinta milik sang Ratu itu,
Eyang." Geledek Biru seperti orang menggumam, "Lalu, siapa
yang membunuh Ratu Ladang Peluh?"
Ketiga wajah di belakang Suto Sinting saling tatap
satu dengan yang lainnya. Pendekar Mabuk pun
kerutkan dahi, sama seperti mereka. Tatapan mata si
Pendekar Mabuk tertuju ke wajah bermata cekung di
depannya, setelah tadi ia sempatkan diri menengok ke
belakang dan pandangi wajah-wajah mereka yang penuh
keheranan itu. "Membunuh bagaimana maksudnya, Eyang"!" kini
Suto Sinting beranikan diri untuk bertanya kepada si
Geledek Biru. Yang ditanya justru membungkam
mulutnya sesaat dengan tetap pandangi bola mata
Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, suara si
Geledek Biru pun terdengar kembali.
"Ladang Peluh ditemukan tewas di pantai bersama
empat orang pengawalnya."
"Ooh..."'" mereka saling menggumam kaget. "Mayat
mereka ditemukan oleh salah seorang muridku dalam
keadaan terpenggal kepalanya. Sementara itu, kudengar
kabar dari Jerami Ayu, bahwa Ratu Ladang Peluh
mencari-cari Pendekar Mabuk untuk lampiaskan
dendamnya. Maka kucoba untuk mencari dan
menemukan Pendekar Mabuk dengan caraku sendiri."
"Bukan aku yang membunuhnya, Eyang," kata Suto
Sinting dengan nada bicara tetap ramah. "Justru aku
yang sedang diburunya dan ingin dipenggal kepalaku,
sampai-sampai dia menyuruh tiga orang di belakangku
ini untuk memenggal kepalaku. Tapi setelah kujelaskan
bahwa mereka diperdaya oleh Ratu Ladang Peluh,
mereka justru menjadi sahabatku, Eyang!"
"Kapan mayat Ratu Ladang Peluh ditemukan,
Eyang?" tanya Mendung Merah.
"Kemarin sore!" jawab Geledek Biru. Ia melirik
Mendung Merah sebentar yang terperangah, lalu
menatap Suto Sinting lagi.
"Kurasa... seorang Manggala Yudha sepertimu tak
perlu mendustaiku. Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting kaget disebut 'Manggala Yudha' alias
sang senopati atau panglima perang, itu berarti si
Geledek Biru mampu melihat noda merah kecil di
kening Suto yang menjadi tanda bahwa dirinya adalah
Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib. Noda merah kecil itu pemberian
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya, atau ibu dari
Dyah Sariningrum. Noda merah itu tak bisa dilihat oleh
sembarang orang, kecuali oleh orang berilmu tinggi,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah").
Pendekar Mabuk mulai simpulkan bahwa si Geledek
Biru memang berilmu tinggi, terbukti ia dapat melihat
noda merah di kening Suto Sinting. Tetapi nada
bicaranya tadi seperti tidak percaya dengan pengakuan
Suto, sehingga si murid sinting Gila Tuak terpaksa
meyakinkan sekali lagi kepada Geledek Biru.
"Sungguh, Eyang! Aku bukan orang yang
menewaskan Ratu Ladang Peluh! Bahkan bertemu pun
belum pernah."
Si rambut biru itu manggut-manggut, kalem tapi
berwibawa.
Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, pasti orang lain yang membunuh si
Ratu Ladang Peluh itu!"
"Kurasa memang begitu, Eyang!" kata Suto Sinting,
namun dalam hatinya membatin, "Mengapa ia sangat
peduli dengan kematian Ratu Ladang Peluh" Apakah ia
punya hubungan keluarga dengan Ratu bejat itu"!"
Seperti orang yang tahu maksud hati orang lain,
Geledek Biru tanpa diminta telah jelaskan alasannya
dalam mencari Pendekar Mabuk.
"Aku sengaja mencarimu, karena kusangka kau yang
membunuhnya. Seandainya memang kau yang
membunuhnya, maka yang ingin kutanyakan, apakah
Serat Sekar Siluman ada padamu?"
Kerutan dahi Suto Sinting menjadi semakin tajam,
demikian pula kerutan dahi ketiga orang di belakangnya.
Mereka merasa asing dengan kata-kata 'Serat Sekar
Siluman' yang sama sekali tak dimengerti maksudnya
itu. Maka si Pendekar Mabuk pun menanyakannya
kepada Geledek Biru, dan kakek tua yang mirip
tengkorak berkulit itu segera jelaskan maksud kata-kata
itu.''Yang kumaksud dengan 'Serat Sekar Siluman' itu
adalah kitab kecil seukuran telapak tangan yang selalu
diselipkan di pinggang Ladang Peluh. Kitab keramat itu
terdiri dari sepuluh lembar, terbuat dari kulit rusa. Kitab
itu berisi mantra-mantra pemanggil kekuatan iblis.
Mantra-mantra itu tidak bisa diingat atau dihafalkan, jadi
cara menggunakannya harus dibaca. Jika si Ladang
Peluh membaca salah satu dari kesepuluh mantra dalam
kitab tersebut, maka kekuatan iblis yang maha dahsyat
akan datang dan menyatu dalam jiwa raganya."
Mereka manggut-manggut serempak, kecuali si kakek
kurus itu. Beberapa saat setelah suasana sempat menjadi
hening karena tak ada yang bersuara, Santana segera
ajukan tanya kepada si Geledek Biru.
"Jika benar kitab yang dapat mendatangkan kekuatan
iblis itu selalu dibawa dan terselip di pinggang Ratu
Ladang Peluh, mengapa ia bisa terbunuh, Eyang"!"
"Tentunya ia belum sempat membaca salah satu dari
kesepuluh mantra itu, maka seseorang sudah lebih dulu
berhasil membunuhnya. Tetapi jika saat itu Ratu Ladang
Peiuh punya kesempatan membaca satu saja dari sepuluh
mantra keramat tersebut, maka orang yang
membunuhnya itu justru akan kehilangan nyawanya
sendiri," tutur Geledek Biru dengan kata demi kata dapat
didengar secara jelas.
Sambungnya kembali, "Aku yakin, 'Serat Sekar
Siluman' itu ada padanya sebelum ia tewas. Dan setelah
ia tewas, 'Serat Sekar Siluman' dicuri pula oleh si
pembunuhnya itu. Karena pada waktu mayat Ladang
Peluh ditemukan oleh tiga orang muridku, keadaan
sabuk dan angkinnya terlepas, menandakan seseorang
telah sengaja melepas sabuk dan angkin itu untuk
mengambil 'Serat Sekar Siluman' tersebut."
"Dari mana Eyang tahu kalau kitab itu ada padanya?"
tanya Mendung Merah.
"Kitab itu adalah milikku!"
"Ooh..."!" Mendung Merah dan Santana menggumam
bersama dengan nada terperanjat.
"Satu purnama yang lalu, kitab itu dicuri, atau lebih
tepatnya lagi dirampas oleh si Ladang Peluh saat kitab
tersebut berada di tangan muridku yang bernama: Jati
Kumarang."
"Apakah Jati Kumarang tidak melawannya kala itu?"
tanya Suto Sinting.
"Jati Kumarang seorang pemuda tampan sepertimu.
Sayang sekali ia mudah tergoda bujuk rayu dan
kecantikan si ratu celaka itu. Ia terbuai oleh kemesraan,
sehingga dengan mudahnya melepaskan kitab tersebut.
Ketika ia sadar, ia tak bisa ungguli kekuatan Ratu
Ladang Peluh."
Geledek Biru hentikan kata sejenak. Menerawang
bagai mengenang sang murid dengan napas ditarik
panjang-panjang.
"Jati Kumarang terkena luka beracun. Saat ia
menghadapku dan melaporkan bencana itu, aku
terlambat selamatkan nyawanya, karena racun yang
mengenainya begitu ganas dan segera merenggut
nyawanya," sambung Geledek Biru dengan memendam
kesedihan. "Mengapa kitab itu tidak segera Eyang rebut dari
tangan Ratu Ladang Peluh?" ujar Mendung Merah
setelah mereka saling bungkam sesaat.
"Kala itu Ladang Peluh masih mempunyai pusaka
yang sangat membahayakan, yaitu Pedang Penakluk
Cinta. Aku pernah mencobanya mengadu nyawa dengan
Ladang Peluh, tapi hampir saja mati di ujung pedang itu.
Ia nyaris berhasil menikam jantungku melalui bekas
telapak kakiku di tanah. Dan ketika aku berhasil
menguasai ilmu peringan tubuh yang kunamakan jurus
'Tapak Angin', yang membuatku dapat berjalan tanpa
meninggalkan bekas telapak kaki di tanah ini, ternyata
semuanya sudah terlambat. Bahkan kudengar dari mulut
Jerami Ayu sendiri, bahwa Pedang Penakluk Cinta telah
dihancurkan oleh pendekar Mabuk. Sayang sekali dalam
keadaan seperti ini, Ladang Peluh telah tewas dan kitab
itu sudah disambar pencuri lain!"
"Kira-kira siapa anu-nya, Eyang"!" tanya Sawung
Kuntet. "Maksud saya... siapa pelakunya?"
"Semula kusangka sang Pendekar Mabuk inilah
pelakunya. Tapi ternyata kutemukan kejujuran dari bola
matanya, bahwa dia bukan pelakunya. Jika begitu, pasti
ada pihak lain yang mempunyai ilmu cukup tinggi juga
dan berhasil menewaskan Ladang Peluh bersama
keempat orangnya itu. Tentu saja si pelaku adalah orang
yang tahu tentang kitab 'Serat Sekar Siluman' tersebut.
Jika tidak, tak mungkin ia membawa lari kitab itu setelah
membunuh Ladang Peluh!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang. Kini ia tahu,
bahwa hancurnya Pedang Penakluk Cinta membuat Ratu
Ladang Peluh menjadi sangat murka. Perempuan itu
bermaksud menghancurkan Suto melalui mantra yang
ada di dalam kitab 'Serat Sekar Siluman' yang selalu
dibawanya dalam pencarian itu. Tetapi sayang sekali ada
pihak yang mengincar kitab itu di luar dugaan Ratu
Ladang Peluh, sehingga sang Ratu bejat itu tewas lebih
dulu sebelum berhasil muntahkan murkanya kepada
Pendekar Mabuk.
Suto yakin, sang Ratu bejat mengetahui hancurnya
Pedang Penakluk Cinta adalah karena laporan dari
Jerami Ayu. Sebab ketika pedang itu hancur, Suto
membiarkan perempuan itu lolos. Besar kemungkinan si
Jerami Ayu yang telah memisahkan diri dari Ratu
Ladang Peluh, kembali ingin bergabung lagi.
Pedang Penakluk Cinta pada mulanya dicuri oleh
Sunggar Manik dari tangan Ratu Ladang Peluh. Dalam
pelariannya, Sunggar Manik bertemu dengan Jerami
Ayu yang rupanya sudah lama mengincar pedang
tersebut. Jerami Ayu berhasil merebut pedang itu dengan
bantuan Mahesa Gondes, murid Ki Belantara. Jerami
Ayu ingin tundukkan hati pemuda tampan yang bernama
Sambada dengan menggunakan pedang tersebut. Namun
akhirnya pedang itu hancur di tangan Pendekar Mabuk,
setelah dipakai membunuh Sunggar Manik.
Jerami Ayu bisa saja berlagak tak pernah memegang
pedang tersebut, ia pura-pura menjadi saksi mata
pertarungan antara Sunggar Manik dan Pendekar Mabuk
Suling Emas Dan Naga Siluman 24 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Kemelut Di Telaga Dewa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama