Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Bagian 2
Sumirah!" "Omong kosong! Siapa perempuan yang tidak
terpikat melihat ketampanannya" Siapa perempuan yang tidak bergairah melihat
keperkasaannya"! Kau pasti
sudah lama mengidam-idamkan ingin bercumbu dengan
Suto! Dan kau manfaatkan keadaan Suto yang mau
digantung itu! Hmm...! Tapi jangan kau merasa menang walau sudah bisa membawa
lari dia, karena Sumirah
tidak akan tinggal diam! Apa pun tuntutannya aku
siapkan demi mempertahankan pemuda yang
membahagiakan hatiku itu!
Nyawa pun siap kukorbankan untuk mendapatkan dia!"
"Lalu mengapa kau diam saja saat Suto dituduh
sebagai pemerkosa"!"
"Hmm...!" Nyi Sumirah mencibir. "Kau tidak tahu taktik, Perempuan Bodoh! Kau
tidak bisa mengatur
siasat untuk mendapatkan buah hatimu! Kalau aku tidak berteriak diperkosa oleh
Suto, maka mereka yang
memergoki perbuatanku dengannya akan menudingku
sebagai istri lurah yang serong! Tapi dengan tuduhan memperkosa, aku selamat!"
"Itu tandanya kau tidak siap berkorban untuk laki-laki yang kau cintai dan kau
butuhkan kemesraannya!" tuduh Ratna Pamegat sengaja memancing marah Nyi Sumirah
untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Nyi Sumirah dan
persoalan sebenarnya.
"Jangan terlalu bodoh kau, Perempuan Binal! Kalau aku tidak mengaku diperkosa
oleh Suto, aku tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan dia dari hukuman
suamiku!" "Nyatanya kau tidak selamatkan dia, sampai akhirnya dia hampir digantung!"
"Aku sudah siapkan siasat lain, tapi kau merusaknya!
Kau membawa lari dia dengan kebinalan-mu! Hmm...!
Kalau kau mau merebut Suto dari pelukanku, kau harus langkahi dulu bangkaiku!"
"Aku tidak merebut dia dari pelukanmu untuk jatuh ke pelukanku! Aku tidak sudi
jatuh ke pelukan pemuda hidung belang macam dia! Aku hanya membutuhkan dia
untuk menolong guruku!1
"Aku tak izinkan! Kalau kau nekat, aku pun tega membunuhmu!" ancam Nyi Sumirah.
Ratna Pamegat diam sesaat, hatinya berkata,
"Rupanya antara Suto dan Nyi Sumirah ini terjadi hubungan gelap di belakang Ki
Lurah Pogo! Jadi,
sebenarnya Suto ini tidak bersalah dalam hal
memperkosa, karena perbuatan itu terjadi antara mau sama mau. Mungkin sudah
berulang kali Nyi Sumirah
menikmati kemesraan Suto di belakang Ki Lurah Pogo, dan baru saat itu kepergok,
sehingga tak ada akal lain buat Nyi Sumirah selain berteriak dan mengakui
diperkosa! Sebenarnya ia hanya ingin selamatkan diri sendiri dan tak mau
menanggung hukuman!"
"Jangan diam saja!" bentak Nyi Sumirah.
"Tinggalkan dia di situ. Pergilah sana, cepat!"
"Aku akan membawa pergi pemuda ini! Apa pun
yang terjadi, aku harus membawanya pulang ke
perguruanku!"
"Persetan dengan perguruanmu! Hiaaah...!" Badik itu segera ditusukkan ke perut
Ratna Pamegat. Tetapi
tangan Ratna Pamegat segera menyanggah dan kaki
berkelebat menendang dalam posisi tendangan miring.
Buggh...! Dada Nyi Sumirah menjadi sasaran empuk
kaki Ratna Pamegat.
Tendangan kaki Ratna Pamegat cukup kuat, membuat
Nyi Sumirah terpental jatuh ke belakang antara satu tombak lebih, ia segera
bangkit dan menerjang kembali dengan lompatan cepat.
"Hiaat...!"
Prakk...! Begh begh...!
Ratna Pamegat juga melompat naik, dan mengadu
pukulan tangan kirinya dengan kaki Nyi Sumirah, lalu tangan kanannya menyodok
masuk ke dada Nyi Sumirah
lagi dan tangan kiri menyusul pula menghantam
pinggang Nyi Sumirah.
Kedua pukulan itu cukup keras, membuat Nyi
Sumirah terguling-guling dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tapi ia
masih menatap semakin buas
kepada Ratna Pamegat. Daiam keadaan berdiri dengan
satu lutut, Nyi Sumirah melemparkan badiknya ke arah dada Ratna Pamegat. Tetapi
sebelum badik itu
menancap, Ratna Pamegat segera mencabut pedangnya
dan langsung ditebaskan ke depan. Trangng...! Badik itu dihantam dengan pedang
dan terpental ke arah kiri.
Ratna Pamegat cepat melompat maju, dan
menodongkan ujung pedangnya ke leher Nyi Sumirah.
Pucat wajah Nyi Sumirah ketika itu. Tapi matanya tetap menatap tajam penuh
gejolak api permusuhan.
"Kalau kau masih menghalangi langkahku, kurobek lehermu sekarang juga, Sumirah!"
geram Ratna Pamegat. Tetapi tiba-tiba punggung Ratna Pamegat dihantam
dengan pukulan jarak jauh yang cukup besar. Buehgg...!
"Heggh..."!" Ratna Pamegat mendelik, ia cepat berjungkir balik di tanah. Tapi
segera bangkit dengan cepat dengan pedang tergenggam di tangan. Matanya
segera memandang ke balik pohon. Ternyata Ki Lurah
Pogo telah berada di sana dan menyerangnya dari
belakang. "Untung kau cepat datang, Kang," kata Nyi Sumirah sambil menghampiri suaminya,
berlagak mesra dan
manja. Ki Lurah Pogo memandang Ratna Pamegat dengan
tajam, tapi ia berucap kata kepada Nyi Sumirah,
"Sudah sejak tadi aku datang!"
"Mengapa baru muncul sekarang"! Dia melukaiku, Kang!"
"Sudah pantas kau terluka!" jawab Ki Lurah Pogo.
"Karena cukup jelas di telingaku apa yang kau ucapkan kepada perempuan itu
tentang Suto!"
Nyi Sumirah terkejut, Ratna Pamegat
menyunggingkan senyumannya. Tetapi Ki Lurah Pogo
segera memutar kepalanya hingga memandang istrinya
dengan tajam dan dingin. Nyi Sumirah merasa
terbongkar rahasia hubungannya dengan Suto itu, maka ia segera mundur tiga
langkah dalam gerakan pelan,
tegang, dan penuh kecemasan.
Ki Lurah Pogo berkata geram, "Tak kusangka selama ini ternyata kau punya
hubungan gelap dengan lelaki lain, Sumirah!"
"Dia memperkosaku, Kang! Aku sudah meronta,
tapi...." "Tapi karena enak kamu diam saja dan minta tambah lagi"! Begitu, bukan"!" bentak
Ki Lurah Pogo melepaskan amukan murkanya, ia melangkah pelan
mendekati Nyi Sumirah, sedangkan perempuan itu
melangkah mundur dengan wajah lebih tegang lagi.
Di tangan Ki Lurah Pogo masih tergenggam sebilah
keris pusaka. Mata Nyi Sumirah berkali-kali melirik ke arah keris itu dengan
cemas, sedangkan Ki Lurah Pogo tak mempedulikan kecemasan istrinya lagi. Ia
berkata dengan suara menggeram menakutkan,
"Kalau tahu begini kenyataannya, yang kugantung bukan dia tapi kamu, Sumirah!
Kamu adalah istri yang berkhianat kepada suamimu, dan layak untuk digantung.
Supaya para istri lainnya tidak mengikuti jejakmu!
Tahu"!"
"Kau... kau salah duga, Kang...! Maksudku...!"
"Aku mendengar pengakuanmu sendiri di depan
perempuan itu!" bentak Ki Lurah Pogo semakin keras, bahkan berkesan berteriak
kuat. Ratna Pamegat membatin, "Terbongkar sudah rahasia Nyi Sumirah. Mau apa dia
sekarang" Tapi, itu bukan
urusanku lagi. Aku hanya punya urusan membawa Suto
pulang secepatnya dan menyerahkannya kepada nenek
aneh itu! Kurasa Ki Lurah Pogo tidak akan mengejar
Suto lagi, karena ia tahu siapa yang bersalah
sebenarnya!"
Pemuda yang masih tak bisa bergerak apa-apa karena
totokan jalan darahnya itu, segera diangkat dan
dipanggulnya lagi di pundak kiri. Pada saat itu, Ratna Pamegat sempat melihat
Nyi Sumirah dipukul wajahnya dengan tangan kiri Ki Lurah Pogo. Pukulan itu
sangat keras, membuat hidung Nyi Sumirah berdarah dan
bibirnya pecah. Menjeritlah perempuan itu, lalu
melarikan diri menghindari amukan keris yang siap ditusukkan ke perutnya. Ki
Lurah Pogo mengejar Nyi
Sumirah dan Ratna Pamegat pergi ke lain jurusan, tak mau pedulikan urusan suamiistri itu lagi.
Kini terasa bebas sudah Ratna Pamegat melarikan
pemuda bernama Suto itu. Tak mungkin ada yang
mengejarnya lagi, karena persoalan yang sebenarnya
telah terbongkar. Karena itu, Ratna Pamegat dapat
berlari lebih cepat tanpa ada penghalang lagi di
depannya. Tiba di sebuah tanah datar, Ratna Pamegat merasa
perlu istirahat dan membebaskan totokan pemuda itu. Di situ ada bukit yang tak
terlalu tinggi, bahkan berkesan hanya sebagai gundukan tanah cadas yang
memanjang. Tebingnya rata, dan bisa untuk dipakai meneduh dari panas, karena bayangan
tebing itu jatuh di permukaan tanah datar.
Ratna Pamegat meletakkan pemuda yang sejak tadi
dipangguinya dibawa ke sana-sini itu. Ikatan di kedua tangan dan tubuh pemuda
itu segera dilepaskan.
Keadaan si pemuda kini bebas dari ikatan, tapi masih diam tak bergerak, matanya
terbelalak tak berkedip sejak tadi. Ratna Pamegat membebaskan totokan jalan
darahnya. Teb, teb...! Dua totokan jalan darah pembebas
telah dilakukan. Tetapi anehnya pemuda itu belum
terbebas juga dari pengaruh totokan. Pemuda itu masih diam tak berkutik dengan
mulut sedikit melongo.
Teb, teb...! Sekali lagi Ratna Pamegat melepaskan
totokan pembebas jalan darah. Tapi pemuda itu masih saja diam tak bergerak.
Ratna Pamegat menjadi bingung sendiri. Biasanya ia bisa dengan mudah melakukan
totokan dan membebaskan totokan, tapi sekarang
sepertinya ia salah totok.
Dengan hati-hati, diperhatikannya jalur urat darah
yang biasa untuk membebaskan totokan. Ada beberapa
tempat, di antaranya adalah di punggung, belakang
bawah tulang lengan. Tempat itu ditotoknya juga, tapi tetap tidak membebaskan
jalan darah pemuda itu.
Bahkan di bagian leher samping, di bawah ketiak
pemuda itu ditotoknya, juga tidak membebaskan pemuda tersebut.
Ratna Pamegat menjadi jengkel sendiri, ia
menghempaskan napasnya dan duduk di samping
pemuda yang digeletakkan itu. Wajahnya bersungutsungut, hatinya menggeram jengkel pada keadaan
tersebut. "Apa aku harus memanggulnya terus sampai di
candi"! Konyol itu namanya! Uuh...! Gara-gara
kedatangan nenek aneh itu aku jadi repot begini! Ingin rasanya aku cepat-cepat
membunuh nenek itu! Kalau
perlu kuperlakukan lebih keji lagi, seperti dia
memperlakukan orang lain! Hmm...! Kalau sudah begini mau apa lagi aku?"
Tiba-tiba dari balik batu besar setinggi kerbau yang ada di samping kanan Ratna
Pamegat, terdengar suara orang yang mengucapkan kata dengan malas-malasan,
"Kau terlalu lama menotoknya sehingga semua
uratnya terkunci!"
Tentu saja hal itu mengejutkan Ratna Pamegat. Ia
bergegas melongok ke balik batu itu, ternyata di sana ada lelaki tua yang sedang
duduk dengan kepala terkulai dan mendengkur pelan. Matanya terpejam mulutnya
sedikit ternganga. Lelaki itu berambut putih,
mengenakan ikat kepala hitam, kumis dan jenggotnya
pun putih, kulitnya sedikit hitam, mengenakan pakaian serba merah, dan sabuknya
hitam. "Orang ini mengigau atau bicara padaku?" gumam Ratna Pamegat pelan.
Tapi tiba-tiba orang yang tidur pulas itu menjawab,
"Aku bicara kepadamu, Cah Ayu!"
Terperanjat lagi Ratna Pamegat mendengar jawaban
itu. Dahinya semakin berkerut heran, ia bahkan
memutari batu itu hingga bisa berdiri di depan lelaki yang sedikit gemuk itu. Ia
perhatikan betul wajah lelaki itu, ternyata memang benar-benar tidur pulas.
Ratna Pamegat memandang sekeliling dengan pikiran
bingung. Baru sekarang ia menemui orang tidur bisa
bicara jelas. Bahkan sekarang pun Ratna Pamegat
mendengar suara orang tidur itu berkata,
"Totoklah pada telapak kakinya yang kiri, maka urat yang mengunci itu akan lepas
dengan seketika!"
"Kau... kau bicara padaku, Pak Tua?"
"Lha iya! Masa' bicara sama... batu?" jawabnya seperti orang sedang mengigau.
Suara dan ucapannya
mengambang. Karena penasaran, maka Ratna Pamegat berlagak
bodoh dan berkata, "Aku tak bisa melakukan totokan di bagian telapak kaki, Pak
Tua. Kalau kau bisa, tolong lakukanlah untuk pemuda itu!"
"Hmm... bisa menotok kok tidak bisa membebaskan, bagaimana kau ini, Cah
Ayu..."!" sambil bergumam bak menggerutu, Pak tua itu bangkit dan berjalan
sempoyongan bagai orang mengigau. Matanya tetap
terpejam, tapi arah jalannya tepat melangkah, ia
mendekati pemuda yang masih tertotok jalan darahnya itu, lalu dengan satu
sentilan jari tengahnya ke telapak kaki pemuda itu, tiba-tiba si pemuda
tersentak dan bisa bergerak. Matanya berkedip-kedip, mulutnya bergerak-gerak.
Tapi ia tak bisa keluarkan suara. Pemuda itu seperti kehilangan suaranya.
Wajah herannya memandang Ratna Pamegat menjadi
bercampur cemas dan takut. Bahkan ia tak sanggup
keluarkan suara batuk. Lehernya dipijat-pijat sendiri, lalu ia mencoba mendehem,
tapi tak ada suara yang
keluar dari kerongkongannya. Pemuda itu menjadi
tegang, sementara Ratna Pamegat sendiri menjadi
terheran-heran dan hanya bisa terbengong.
Kejap berikutnya ia bertanya kepada si tua yang tidur itu,
"Mengapa ia jadi begitu, Pak Tua" Setahuku dia bukan orang gagu! Ia tadi bisa berteriak keras saat mau
digantung!"
"Urat yang mengunci itu membuat pita suaranya
kaku, tak bisa bergetar. Perlu dikendurkan urat yang ada di bagian lehernya!"
jawab Pak tua itu sambil tetap tidur.
"Bagaimana cara mengendurkannya, Pak Tua"
Tolonglah!"
Pemuda itu mengangguk-angguk, seakan
membenarkan bahwa dirinya juga minta pertolongan
untuk suaranya. Pak tua yang masih tidur dengan sedikit mendengkur itu berkata,
"Jangan sekarang. Biarkan dulu darahnya kembali beredar dengan lancar seperti
sediakala, supaya
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jantungnya tidak tersentak pada saat pengenduran pita suara dilakukan."
Kemudian, Pak tua itu mundur dan mencari tempat
untuk bersandar, ia tetap tidur dengan kepala sedikit miring terkulai.
Kelihatannya enak sekali ia tertidur begitu. Ratna Pamegat merasa heran, tapi
memandanginya terus bagai menyelidiki sesuatu benda yang baru saja ditemukan
dari zaman purba.
Tiba-tiba Pak tua yang terpejam itu berkata, "Jangan pandangi aku terus. Cah
Ayu! Sebaiknya sebutkan siapa namamu, supaya aku bisa membantumu kalau kau butuh
bantuanku!"
"Namaku Ratna Pamegat, Pak Tual"
"O, bagus sekali nama itu. Tidak sebagus namaku sendiri."
"Bapak bernama siapa?"
"Panggil aku Ki Gendeng Sekarat!"
"Nama yang lucu," kata Ratna Pamegat sambil tertawa kecil.
"Tapi aku bukan boneka yang lucu, Ratna," kata Ki Gendeng Sekarat.
Orang ini adalah penguasa Pulau Mayat yang
memang punya kebiasaan cepat tertidur. Namun
sekalipun ia tertidur, ia bisa berbuat dan bertindak apa saja, bahkan
kejeliannya bisa melebihi orang yang tidak dalam keadaan tertidur. Itulah
sebabnya ia dijuluki Ki Gendeng, karena bisa melakukan apa saja dalam
keadaan tidur nyenyak (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
"Siapakah pemuda itu, Ratna" Kekasihmukah?"
"Bukan, Ki Gendeng! Aku memang mencari-cari dia untuk kubawa pulang ke
perguruanku karena sesuatu
hal. Tadi dia mau digantung karena dituduh memperkosa istri Ki Lurah Pogo, tapi
segera kuselamatkan dan
kubawa lari setelah aku tahu dia bernama Suto!"
"Suto..."!" Ki Gendeng Sekarat bernada heran walaupun suaranya pelan.
"Iya. Namanya Suto Sinting, dan dia dibutuhkan oleh seseorang yang sekarang
berada di tempatku!"
"He he he he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa sumbang. "Aku juga sedang mencari
Suto Sinting, tapi bukan anak ini!"
"Dia bernama Suto, Ki!"
"Tapi bukan Suto Sinting! Kau belum tahu wajah dan perawakan Suto Sinting?"
"Belum!"
"O, dia jauh lebih tampan dan lebih gagah dari pemuda ini!"
"Tapi...," Ratna Pamegat mulai waswas, ia bertanya kepada pemuda yang belum bisa
bicara itu, "Namamu benar Suto?"
Pemuda itu mengangguk-angguk dengan tegas.
Seakan ingin meyakinkan bahwa dirinya adalah Suto.
Tapi Ki Gendeng Sekarat terkekeh lagi dan segera
mendekati pemuda itu.
"Tali pita suara sudah boleh dikendurkan," kata Ki Gendeng Sekarat. Kemudian ia
sentilkan lagi jari
tengahnya ke bawah leher, dan pemuda itu tersentak, lalu terbatuk-batuk dengan
suara keras. Sesaat kemudian ia berucap kata, "Terima kasih, Ki...!"
Ratna Pamegat bertanya, "Apakah namamu benar
Suto?" "Iya. Namaku memang Suto."
"Suto Sinting?"
"Bukan! Sutomo, nama lengkapku!"
"Brengsek...!" bentak Ratna Pamegat dengan gusar dan jengkel.
* * * 5 RATNA Pamegat tak tahu harus kepada siapa
kedongkolan hatinya dilampiaskan. Begitu susah payah ia mencuri Suto dari tiang
gantungan, susah payah
mempertahankan dari ancaman Ki Lurah Pogo bersama
anak buahnya, sampai-sampai ia dituduh merebut
kekasih perempuan lain oleh Nyi Sumirah, belum lagi memanggul Suto ke sana
kemari dengan berat, ternyata pemuda itu bukan Suto Sinting. Mual rasa perut
Ratna Pamegat memikirkan hal itu. Mual karena tak bisa
marah kepada Sutomo atau kepada siapa pun, kecuali
kepada dirinya sendiri yang terhitung bodoh dalam
perkara ini. Untung ia bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat yang
aneh itu, sehingga rasa dongkolnya sedikit terobati. Ki Gendeng Sekarat
menyarankan agar Ratna Pamegat
melepaskan Sutomo dan tidak perlu memanggulmanggulnya lagi. Maka, Sutomo pun disuruh pergi oleh Ratna Pamegat.
Tetapi pemuda itu malah berkata, "Kalau bisa, biarlah aku bersamamu terus!"
"Tidak bisa! Aku punya urusan sendiri!" sentak Ratna Pamegat.
"Aku akan bantu kamu! Aku sudah kau tolong, aku berhutang nyawa padamu, Ratna.
Karena itu, biarlah aku menjadi budakmu. Kapan saja kau membutuhkan
kehangatanku, aku siap melayanimu!"
Plokk...! Tanpa tanggung-tanggung Ratna Pamegat
menampar wajah si hidung belang itu. Yang ditampar
sampai terpental tujuh langkah jauhnya, ia terkapar di sana dan tak bisa bangkit
untuk beberapa saat, kecuali hanya mengerang kesakitan.
Tangan Ratna Pamegat segera ditepis oleh Ki
Gendeng Sekarat yang sudah tidak tertidur lagi. Ratna
Pamegat ingin melepaskan pukulan berbahaya untuk
Sutomo, tapi ditahan oleh Ki Gendeng Sekarat dengan sikap sabarnya.
"Tak perlu layani dia!"
"Tapi dia merendahkan aku secara tak langsung, Ki!
Dia pikir aku sama dengan Nyi Sumirah, yang
membutuhkan kehangatan dan kemesraan cumbuannya!
Dia sangka aku perempuan murahan yang gatal oleh
cumbuan lelaki!"
"Tenang tenang tenang...! Jangan melotot padaku!"
kata Ki Gendeng Sekarat menyabarkan hati Ratna
Pamegat. "Tinggalkan saja dia! Toh dia sudah dapat ganjaran darimu! Lihat,
sampai sekarang ia belum bisa bangkit! Kurasa sudah cukup sebagai pelajaran
baginya!" Saat itulah, Sutomo ditinggalkan Ratna Pamegat dan
Ki Gendeng Sekarat. Dalam perjalanannya, Ratna
Pamegat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Candi Sapta Wulan. Sementara
itu, Ki Gendeng Sekarat sendiri juga menceritakan perjalanannya mencari Suto
Sinting, karena diutus oleh Gusti Mahkota Sejati, Dyah Sariningrum yang menjadi
calon istri Pendekar Mabuk itu. Ki Gendeng Sekarat ditugaskan mencari Suto
karena Gusti Ratu Puri Gerbang Surgawi ingin bicara dengan Suto Sinting tentang
keadaan Pulau Serindu yang sedang dibangun kembali sebagai Istana Puri Gerbang
Surgawi. Tapi sudah hampir empat minggu Ki Gendeng
Sekarat belum bertemu dengan Suto. Malahan sekarang ia menghadapi seseorang yang
memburu Pendekar
Mabuk, yaitu nenek aneh yang bikin onar di Candi Sapta Wulan itu. Ki Gendeng
Sekarat merasa penasaran dan
ingin jumpa dengan si nenek itu.
"Bawalah aku ke Candi Sapta Wulan, akan kutemui sendiri nenek aneh yang suka
menyebar kesaktiannya
itu! Apa maksud dia mencari Suto Sinting" Jika
maksudnya ingin membunuh Suto, berarti dia harus
berhadapan dengan aku lebih dulu!"
"Apakah kau sanggup berhadapan dengan nenek itu, Ki" Sebab guruku sendiri
dibuatnya menjadi tengkorak berjalan seperti itu!"
"Sanggup atau tidak, aku harus bertemu dulu dengan nenek itu! Kalau memang aku
tak sanggup menghadapi
ilmunya, itu berarti aku sudah mati, Ratna!"
Akhirnya Ratna Pamegat pun setuju unuk kembali ke
Candi Sapta Wulan. Pikirnya, kalau toh ia tidak bisa membawa Suto Sinting, ia
bisa membawa orang yang
bisa diandalkan untuk melawan nenek aneh itu. Hanya sayangnya, Ratna Pamegat tak
banyak tahu kesaktian Ki Gendeng Sekarat itu. Ia hanya tahu bahwa Ki Gendeng
Sekarat melakukan sesuatu dengan keadaan tetap tidur, dan bisa melepaskan
totokan urat yang mengunci dari tubuh seseorang.
Tepat di pertengahan jalan menuju Candi Sapta
Wulan, yang jaraknya masih setengah hari lagi, tokoh tua dan wanita cantik yang
masih muda itu terhenti
langkahnya oleh kemunculan seorang lelaki tua juga.
Lelaki itu berjubah abu-abu dan rambutnya juga abuabu. Ia menggenggam tongkat hitam berkepala seekor
buaya. Lelaki tua itu mengenakan ikat kepala putih
dengan tubuh kurus dan mata cekung. Usianya
diperkirakan sekitar enam puluh tahun lebih.
Kemunculannya yang tiba-tiba dari atas pohon itu
membuat Ki Gendeng Sekarat sendiri tertegun kaget.
Tetapi Ratna Pamegat tidak terlalu kaget seperti Ki Gendeng Sekarat. Buat Ratna
Pamegat, tokoh tua
berjubah abu-abu itu bukan orang asing lagi, tapi buat Ki Gendeng Sekarat, baru
saat itu ia bertemu dengan tokoh tua yang bermata juling. Orang itu menghadap ke
kiri tapi sebenarnya memandang ke arah Ki Gendeng
Sekarat. "Wah, repot berhadapan dengan orang ini," pikir Ki Gendeng Sekarat, "Ke mana
arah pandangan matanya bisa mengecohkan diriku! Cacat di matanya itu bisa
merupakan kelebihan bagi dirinya, namun bahaya bagi musuh-musuhnya. Menurut
dugaanku, melihat dari raut mukanya yang sangar itu, agaknya dia tidak bermaksud
baik menghadang langkahku bersama Ratna. Hmmm...
ada persoalan apa sebenarnya?"
Ratna Pamegat maju selangkah lebih depan dari Ki
Gendeng Sekarat. Matanya memandang lurus kepada
lelaki tua bertongkat ukiran kepala buaya. Dan Ratna Pamegat menyapanya,
"Apa maksudmu menghadang kami, Buaya
Gunung?" "Meneruskan persoalan bulan lalu," jawab Buaya Gunung dengan wajah memandang ke
arah samping, tapi sebenarnya menatap Ratna Pamegat.
"Rupanya kau masih belum jera juga, Buaya
Gunung"! Kau samakan aku dengan perempuan lain
yang harus tunduk di depanmu?"
"Ratna Pamegat! Kalau kau bukan perempuan yang cantik, muda, dan bahenol, aku
tak akan mengejar-ngejarmu, Ratna Pamegat!"
Sambil mata memandang dengan menyipit benci,
Ratna Pamegat berkata dalam nada ketusnya,
"Istrimu sudah tujuh, apa masih kurang"!"
"Ha ha ha ha...! Baru tujuh, Ratna! Belum sepuluh!
Tapi aku bermaksud mempunyai istri delapan saja!
Kaulah yang kedelapan, Ratna Pamegat!"
"Persetan dengan kemauan rakusmu, Buaya Juling!"
geram Ratna Pamegat. "Kalau kau masih tetap mengejar-ngejarku, aku akan
membunuhmu tanpa tanggungtanggung lagi!"
"Ha ha ha ha...! Kali ini kau tak akan bisa lukai aku seperti bulan lalu, Ratna
Pamegat! Kali ini kau pasti akan tunduk padaku, karena kekuatan ilmu 'Pelet
Jagat' sudah kukuasai lagi! Ha ha ha...!"
Buaya Gunung terkekeh-kekeh dalam tawanya. Ratna
Pamegat segera, mencabut pedangnya. Tapi Ki Gendeng Sekarat yang matanya sudah
sayu bagai orang
mengantuk itu, segera menahan gerakan tangan Ratna
Pamegat yang ingin mencabut pedang. Ki Gendeng
Sekarat berbisik,
"Biar kutangani dia, Ratna!"
"Jangan. Ini urusan pribadi, Ki! Dari dulu dia mengejar-ngejarku untuk dijadikan
istrinya! Padahal dia
sudah punya tujuh istri! Dan kali ini agaknya dia akan menggunakan ilmu 'Pelet
Jagat' yang berbahaya bagi
kaum wanita itu, Ki!"
"Percayalah, dia tak akan memeletmu, Ratna!
Mundurlah, biar aku yang hadapi dia!"
Tiba-tiba Buaya Gunung itu membentak, "Siapa kau, mau ikut campur urusanku,
nah"!"
Ki Gendeng Sekarat berbisik kepada Ratna Pamegat,
"Mengapa dia bicara kepada semak-semak itu" Apakah di sana ada orang?"
"Dia bicara kepada Ki Gendeng. Matanya
memandang ke arah sini!"
"Ooo...!" Ki Gendeng Sekarat tersenyum menahan geli, kemudian ia berkata dengan
senangnya, "Kau bicara padaku, Buaya Gunung"!"
"Ya, Tolol!" bentaknya dengan ganas.
"Tua-tua jangan terlalu ganas, Buaya Gunung! Nanti kau cepat mati!" kata Ki
Gendeng Sekarat dengan senyum-senyum.
"Ratna Pamegat! Apakah dia calon suamimu" Si tua bangka ini apakah bisa
memberikan kemesraan padamu
seperti aku, hah"! Bodoh amat kau kalau memilih kerbau peot macam dia, Ratna!"
"Sekalipun kerbau peot, tapi bisa mencabut nyawamu sewaktu-waktu, Buaya Gunung!"
ujar Ki Gendeng
Sekarat sengaja memanaskan hati calon lawannya itu.
Ternyata pancingan Ki Gendeng Sekarat kena pada
sasaran. Buaya Gunung semakin menggeram penuh
kejengkelan. Tak jelas matanya menatap tajam atau
tidak, tapi kaki dan tangan Buaya Gunung sudah mulai bergerak-gerak kecil tanda
tak sabar ingin melepaskan murkanya.
"Sebutkan namamu sebelum kubunuh kau jadi
delapan potong!" bentaknya.
"Ki Gendeng Sekarat namaku! Mau apa kau, Buaya juling"!"
"Kalau kau memang penghalangku untuk
mendapatkan Ratna Pamegat, aku mau bunuh kau
sekarang juga!"
"Apakah kau bisa melangkahkan kakimu untuk maju mendekatiku?"
"Mengapa tidak?" Sekarang juga kau... kau... kau...."
Buaya Gunung tak jadi melanjutkan kata-katanya
karena kakinya menjadi kaku. Sukar digerakkan untuk ke depan atau ke belakang.
Sepertinya kedua kaki itu dibanduli batu segunung beratnya. Ratna Pamegat pun
berkerut dahi dengan heran.
"Kenapa dia itu, Ki?"
"Kutotok kakinya lewat suaraku tadi!" bisik Ki Gendeng Sekarat.
Buaya Gunung berusaha menggerakkan kakinya,
namun tak pernah berhasil sampai napasnya terengahengah. Kemudian ia berseru kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Tua-tua busuk! Kau telah perdaya kakiku hingga tak bisa bergerak! Sekarang
terima saja pukulan ''Rawa
Kodok'-ku ini, heaah...!"
Buaya Gunung melepaskan pukulan melalui sentakan
kepala tongkatnya. Dari kepala tongkat itu keluar selarik
sinar hijau memancar terang. Sinar itu menghantam ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Wutt...! "Awas, Ki...!' teriak Ratna Pamegat sambil melompat menghindarinya. Tapi Ki
Gendeng Sekarat tetap diam di tempat dan menebaskan tangannya ke depan dari arah
dada. Tiba-tiba saja di depan Ki Gendeng Sekarat berdiri sebongkah batu besar
hampir menutup tinggi tubuh Ki Gendeng. Jlegg...! Batu itu berwarna hitam dan
tampak kokoh, berbentuk seperti gundukan batu yang sudah
bertahun-tahun ada di situ. Sinar hijau tersebut mengenai batu itu. Trasss...!
Zuuttt...! Tiba-tiba membalik dan masuk ke dalam kepala tongkat.
Masuknya sinar hijau ke dalam kepala tongkat
berukir kepala buaya itu membuat tongkat tersebut
terbakar. Dari ujung bawah sampai atas menyala api
dalam satu sentakan mengagetkan. Blapp...! Wukk...!
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buaya Gunung tersentak kaget, ia segera
melemparkan tongkatnya sembarangan. Dan pada waktu
itu, gugusan batu besar di depan Ki Gendeng Sekarat menghilang dengan sendirinya
setelah Ki Gendeng
Sekarat menggerakkan tangan menebas batu tersebut.
Zlapp...! Kini di depan Ki Gendeng Sekarat tak ada lagi gugusan batu, melainkan
tubuh Buaya Gunung yang
sedang terheran-heran bingung memandangi tongkatnya yang habis dimakan api. Ia
ingin mengambil tongkat itu tapi tak bisa, karena jaraknya cukup jauh dari
tempatnya berdiri. Sedangkan untuk melangkahkan kaki, ia tak bisa melakukan
karena kakinya tertotok oleh suara Ki
Gendeng Sekarat tadi.
"O, ini rupanya kehebatan Ki Gendeng," pikir Ratna Pamegat. "Ternyata
mengagumkan dari ilmu yang
dimiliki Guru! Atau mungkin Guru juga bisa melakukan kehebatan seperti itu,
hanya saja tak pernah
diperlihatkan kepada murid-muridnya!"
Buaya Gunung menggeram jengkel. Tangannya
berkelebat beberapa kali, lalu segera disentakkan ke depan. Dari sisi lengannya
keluar cahaya merah bagai bendera yang melesat miring, ingin memenggal kepala Ki
Gendeng Sekarat. Tapi dengan gerak tangan cepat
pula, Ki Gendeng Sekarat sentakkan kedua telapak
tangannya dan melesat pula sinar biru muda yang
menyerupai bola besar. Sinar itu begitu cepat terbang ke arah Buaya Gunung,
menerabas sinar merah bagai
bendera, menghantam tubuh Buaya Gunung dengan
sentakan yang amat kuat. Blarrr...!
Bruss...! Buaya Gunung terlempar. Tanah di
tempatnya berpijak ikut terbawa beberapa bongkah,
bagaikan pohon singkong dijebol batangnya. Tubuh itu melayang jauh, lebih dari
sepuluh tombak, dan jatuh terhempas setelah membentur sebuah pohon tinggi.
Krakkk...! Brukkk...! Pohon itu roboh ke arah
belakang Buaya Gunung. Benturan tubuh Buaya Gunung
jelas sangat keras, sampai bisa menumbangkan pohon
besar bercabang tinggi.
Di sana Buaya Gunung terkulai dengan kepala masih
bersandar pada sisa batang pohon yang rubuh. Mulutnya berdarah, telinga dan
hidungnya juga mengeluarkan
darah. Wajah tua Buaya Gunung menjadi pucat pasi.
Tampaknya ia dalam keadaan setengah mati mendapat
pukulan sinar biru bagaikan bola itu.
Ratna Pamegat masih terpaku bengong memandangi
keadaan Buaya Gunung yang tak disangka-sangka
sangat cepat dibuat tak berdaya oleh Ki Gendeng
Sekarat. Padahal, ketika Ratna Pamegat mengalahkan
Buaya Gunung, ia membutuhkan waktu hampir setengah
hari. Tapi Ki Gendeng Sekarat mampu menumbangkan
Buaya Gunung yang rakus perempuan itu dengan hanya
dua-tiga jurus saja.
Ki Gendeng Sekarat mengajak Ratna Pamegat untuk
meninggalkan Buaya Gunung tanpa memikirkan mati
atau hidup. Mereka segera menuju ke Candi Sapta
Wulan. Ketika tiba di sana, matahari sudah condong ke barat.
Alam menjadi redup karena cahaya siang nyaris pudar ditelan cakrawala. Udara di
sekitar Candi Sapta Wulan itu terasa dingin. Angin berhembus sedikit aneh,
karena menyebarkan bau tak sedap yang entah dari mana
datangnya. Sedangkan Ratna Pamegat dari tadi
menghela napas karena merasakan ada sesuatu yang tak enak di hatinya.
"Kau kelihatannya gelisah, Ratna. Ada apa
sebenarnya?"
"Entahlah, Ki. Aku sendiri heran mengapa aku
menjadi gelisah begini. Aku seperti punya rasa takut, tapi tak tahu takut kepada
siapa! Sungguh tak jelas perasaanku, Ki!"
"Hmmm...! Apakah letak Candi Sapta Wulan masih
jauh?" "Sudah dekat, Ki. Di balik rumpun bambu wulung itu, kita bisa melihat ke arah
Candi Sapta Wulan yang tinggal reruntuhannya itu!"
"Kalau begitu, percepatlah langkah kita!"
Mereka mempercepat langkah dengan berlari
menerabas semak belukar. Kecepatan gerak Ki Gendeng Sekarat seakan telah
menyingkapkan semak belukar di depannya sebelum ia lewat ke sana. Dan dalam
beberapa kejap berikut, mereka sudah tiba di Candi Sapta Wulan itu dengan wajah
tegang. Terutama Ratna Pamegat yang berwajah tegang,
karena ia melihat pelataran candi banyak ditemukan
pakaian-pakaian para murid yang tergeletak begitu saja.
Celana dan baju para murid bagai terlempar di pelataran candi, sedangkan
pelataran itu dalam keadaan sepi,
sunyi, tak ada satu pun manusia di sana. Biasanya, entah tiga atau empat orang,
pasti ada yang berjaga-jaga di pelataran.
"Ada yang tak beres, Ki...!" gumam Ratna Pamegat.
Maka ia pun segera mendului bergerak masuk ke candi, disusul oleh Ki Gendeng
Sekarat. Sebelum Ratna Pamegat mencapai kedalaman candi,
Ki Gendeng Sekarat sempat terkejut melihat kemunculan makhluk berkepala manusia
dengan tubuh tulang-belulang yang bisa berjalan dan bergerak. Ratna
Pamegat segera berseru,
"Guru...! Apa yang terjadi di sini"!"
Resi Jejak Naga yang tinggal tulang dan kepala saja
itu memandang sayu dan sedih kepada Ratna Pamegat.
Tangannya yang tinggal tulang tanpa kulit dan daging itu melambai, menyuruh
Ratna Pamegat untuk mendekat.
Kemudian, murid cantiknya itu dipeluk dalam duka.
Ratna Pamegat tak pernah dipeluk haru begitu oleh Resi Jejak Naga. Karena itu
air mata Ratna Pamegat pun
mulai menggenang di mata, walau tetap ditahannya dan tak mau ia menangis di
situ. "Guru, katakan apa yang terjadi" Ke mana para murid lainnya, Guru" Mengapa
pakaian mereka ditinggalkan di pelataran sana"!"
Dengan suara parau menahan duka, Resi Jejak Naga
berkata, "Mereka dibinasakan oleh nenek aneh itu!"
"Dibinasakan bagaimana"!" desak Ratna Pamegat.
"Mereka dikutuk lenyap semua, tinggal pakaiannya.
Dan kutukan itu terjadi dengan sungguh-sungguh!"
"Jahanam setan kempot itu!" geram Ratna Pamegat.
"Di mana dia sekarang berada, Guru"! Di mana dia" Aku ingin membunuhnya!"
"Terlambat, Ratna! Dia sudah pergi tinggalkan
tempat ini dan membiarkan aku tetap begini!"
"Nenek gila! Manusia berjiwa iblis dia itu!"
Ki Gendeng Sekarat ikut menampakkan rasa duka
dan ikut berkabung, ia melangkah pelan-pelan
memandangi pakaian-pakaian itu. Bahkan satu pakaian diambil dan diciumnya
sebentar, kemudian ia segera
berseru kepada Ratna Pamegat,
"Jiwa mereka masih ada di sekitar sini, Ratna!"
Ki Gendeng Sekarat memandang sekeliling. Seperti
mencari sesuatu. Kemudian ia duduk dengan lesu. Entah apa maksudnya. Resi Jejak
Naga bertanya, "Ratna, apakah dia yang bernama Suto Sinting?"
"Bukan, Guru! Dia bernama Ki Gendeng Sekarat! Dia temannya Suto Sinting dan juga
sedang mencari Suto."
"Lalu, mengapa kau membawanya kemari?"
"Dia ingin menantang nenek itu, Guru! Dia... dia cukup tinggi ilmunya. Saya
terkagum-kagum melihatnya!"
"Kalau begitu, lekas cari nenek edan itu! Mudah-mudahan belum terlalu jauh
meninggalkan tempat kita!"
"Baik, Guru!" kemudian Ratna Pamegat berkata kepada Ki Gendeng Sekarat, "Ki
Gendeng, kita cari nenek itu sekarang juga!"
Tetapi kepala Ki Gendeng Sekarat mulai terkulai,
matanya terpejam dan suara dengkurnya terdengar tipis samar-samar.
"Dia tertidur, Ratna"'
"Ya. Tapi dia bisa melakukan apa saja seperti kalau dia tidak sedang tertidur."
Kemudian, Ratna Pamegat mengajak Ki Gendeng
Sekarat mengejar nenek aneh itu. Tanpa merasa
keberatan, Ki Gendeng Sekarat pun segera pergi, berlari dengan cepat walau dalam
keadaan tetap tidur dan
mengeluarkan suara dengkur yang samar-samar.
* * * 6 NENEK aneh itu tiba di sebuah kerumunan orang
yang ada di tengah tanah lapang, semacam alun-alun. Di sana ada panggung lebar
dengan ketinggian panggung
antara satu tombak kurang sedikit.
Dengan langkah tertatih-tatih menggeloyor sana-sini, nenek itu mendekati
panggung, mencoba melihat apa
yang terjadi di sana. Ternyata di sana sedang terjadi sebuah pertarungan adu
ketangkasan diri. Dua orang
sedang bertarung menggunakan tombak, yang satu
menggunakan tombak bermata golok lebar, yang satunya memakai tombak bermata
garpu dua runcing.
Nenek aneh itu mendesak sana-sini dengan suara
gerutunya yang tak jelas. Kadang ia sempoyongan
didorong orang, entah siapa, sehingga hampir jatuh
kalau tak ada orang lain yang menyangga tubuhnya
secara tak langsung.
Sampai di depan, nenek aneh itu tengok sana-tengok
sini. Lalu ia bertanya kepada seorang lelaki usia
tanggung di sebelah kirinya yang tampak serius
mengikuti pertarungan di atas panggung.
"Ada apa ini" Kok ramai sekali dan banyak orang?"
Orang itu tidak menjawab karena merasa jengkel
dengan pertanyaan seperti itu. Sudah jelas ada
pertarungan, masih ditanya 'ada apa' segala" Jelas ini merupakan pertanyaan
bodoh yang tidak perlu dijawab, menurut orang usia tanggung itu. Nenek aneh
menjadi jengkel juga dan berkata,
"Dasar orang bisu, ditanya diam saja!"
Blarrr...! Petir menggelegar di angkasa. Orang-orang sempat cemas memandang
langit, takut hujan turun
acara seru jadi bubar. Sedangkan orang usia tanggung itu tetap diam saja. Ia
tidak sadar dan tidak pernah
menyangka bahwa sejak saat itu ia tak akan bisa bicara lagi karena terkena
kutukan nenek aneh itu.
Sang nenek segera bertanya kepada orang di sebelah
kanannya, seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
"Ada apa ini, Nak?"
Anak muda itu menjawab, "Ada panggung, Nek."
"Ya, sudah tahu kalau ada panggung," gerutu nenek bersungut-sungut. "Tapi ada
apa di atasnya?"
"Ada pertarungan. Sayembara adu otot!"
"Kenapa diadu" Ototnya siapa?" tanya nenek aneh itu berkesan pikun dan
menggelikan. Tapi anak muda itu
cepat memaklumi karena melihat usia sang nenek yang sudah sangat tua. Maka
dengan sedikit sabar anak muda itu menjelaskan.
"Ratu Kemukus membutuhkan seorang senopati,
maka dibukalah sayembara adu ketangkasan bertempur.
Siapa yang menang, dia menjadi senopati Kanjeng Ratu Kemukus!"
Nenek itu menggumam sambil manggut-manggut.
"Paham, Nek?"
"Paham, paham...!" jawabnya. "Tapi, senopati itu apa?"
Anak muda itu tertawa kecil. "Senopati itu panglima
tempur. Kalau perang maju paling depan!"
"Lha, nanti kalau terlalu depan dia hilang,
bagaimana?"
"Ya tidak mungkin toh, Nek," jawab sang pemuda dengan tertawa.
"Selain dapat hadiah jadi senopati, dapat hadiah apalagi, Nak?"
"Uang, lima ratus sikal!" jawab pemuda itu. Sikal adalah mata uang yang berlaku
di masa itu. Harga satu nasi bungkus atau satu piring dengan lauk ikan ayam
senilai setengah sikal.
"Hik hik hik hik...! Banyak juga lima ratus sikal itu!
Bisa untuk kawin! Hik hik hik...!" kemudian nenek aneh itu memandang ke atas
panggung. Di sana dua Orang
sedang berusaha saling menjatuhkan satu dengan yang satunya.
"Apa kau kenal sama Suto Sinting, Nak?"
Anak muda itu berkerut dahi. "Kalau orang sinting di sini banyak, Nek. Tapi
kalau yang bernama Suto, saya tidak tahu!"
"Lha itu... yang bertarung di atas itu bukan bernama Suto?"
"Aku tidak tahu, Nek. Aku bukan petugas pengurus pertarungan itu. Cobalah kau
tanyakan kepada para
pengawal dan prajurit yang ada di belakang panggung sebelah sana itu!"
Nenek aneh segera bergerak mendesak-desak jubelan
penonton yang bersorak jika ada salah satu petarungnya yang terkena pukulan.
Nenek itu nekat menemui petugas
di belakang panggung. Dengan masa bodoh dia
melangkah menginjak-injak kaki orang dan mendapat
gerutuan serta cacian macam-macam. Ketika tiba di
bagian belakang panggung, nenek aneh itu bertanya
kepada salah seorang petugas keamanan dari Istana Ratu Kemukus,
"Apa masih banyak yang mau bertarung di atas?"
"Masih, Nek!" jawab petugas berkumis itu. "Jangan khawatir, masih banyak jago
silat yang punya jurus-jurus maut yang belum dapat giliran tampil. Makin lama
akan semakin seru!"
"Ada yang namanya Suto Sinting?"
"Suto Sinting..."!" gumam petugas itu sambil kerutkan dahi. Lalu petugas itu
menjawab, "Rasa-rasanya tidak ada yang bernama Suto Sinting, Nek!"
"Tidak ada?" gumamnya tampak kecewa. Kemudian nenek aneh itu bertanya kepada
petugas tanpa kumis,
"Kamu kenal sama Suto Sinting?"
"Tidak," jawab orang itu sambil matanya memandang ke atas panggung.
Melangkah lagi dia dengan terbungkuk-bungkuk dan
singgah di depan petugas yang mencatat beberapa nama-nama peserta. Lalu bertanya
pula ia kepada petugas itu dan petugas itu menjawab,
"Tidak ada yang bernama Suto Sinting."
"Masa' orang pintar seperti Suto tidak ikut sayembara begini?"
"Apa dia orang berilmu tinggi?"
"Untuk ukuran orang-orang yang bertarung di sini,
Suto cukup sakti. Tapi kalau melawan aku dia belum
apa-apanya!"
Petugas itu tertawa sebentar, kemudian sibuk bicara lain dengan temannya. Nenek
itu tidak dilayani lagi.
Pada waktu itu, di atas panggung sedang terjadi
pertarungan yang membuat salah seorang jatuh dan
kalah dalam keadaan terluka. Kalau lawannya mau
membunuh dia, sudah pasti dengan mudah dibunuhnya.
Tapi peraturan di situ tidak boleh membunuh lawan,
hanya melukai dan mengalahkan saja sampai lawan
merasa jera.
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang menang itu berkepala gundul dan sedang
mengangkat tangannya karena dielu-elukan penonton.
Tahu-tahu nenek aneh itu nekat naik ke panggung
dengan langkahnya yang tertatih-tatih.
"Hei, hei, mau ke mana itu nenek..."!" seru petugas.
Mereka ingin mengejar naik, tapi nenek itu sudah
sampai di tengah panggung dan mendekati orang
berkepala gundul yang baru saja menang tanding tadi.
Naiknya nenek itu mendapat sambutan meriah dari
penonton, penuh tawa dan tepukan. Jago yang baru
menang itu merasa heran mendapat lawan setua itu dan memandangnya dengan ragu.
Tapi ia segera berseru
kepada sang nenek,
"Biar kamu tua, aku tak akan mundur melawan
kamu!" "Apa kamu yang namanya Suto?"
"Bukan! Sudah tak perlu banyak tanya nama segala!
Kita mulai saja pertarungan ini! Heaaah...!"
Orang itu melompat dan menebaskan tombak
berujung golok lebar. Tapi sang nenek diam saja, dan ketika sampai di depan
mata, benda tajam itu ditangkap dengan kedua tangan, dijepit kuat dan
disentakkan ke kiri sedikit. Trakk...! Patah logam tajam yang tebal itu.
Semua mata penonton melotot dan bergumam,
"Hoooo..."!"
Nenek aneh itu segera mencabut pedangnya dengan
susah payah. Sementara yang memiliki tombak patah itu masih terbengong karena
tidak menyangka akan begitu jadinya.
"Rupanya kau nenek punya isi, ya?" geram orang itu.
"Punya," jawab sang nenek, ia masih sulit mencabut pedang.
"Kuhajar habis sekalian kau, Nek! Hiih...!
Wutt...! Tangan orang itu menghantam dengan tenaga
kuat-kuat. Tepat pada waktu itu sang nenek berhasil mencabut pedangnya dan,
crass...! Pedang itu berkelebat memotong tangan orang tersebut.
"Aaaa...!" orang itu menjerit kuat-kuat, tangan kanannya buntung seketika tepat
di bagian pergelangan tangan. Pada saat ia kesakitan itu, sang nenek mendekati
dengan sedikit terburu-buru, lalu kepala orang itu
ditebasnya memakai pedang berkarat. Crasss...!
"Uaaaa...!" teriak orang itu lagi, rubuh dan terduduk di lantai.
Crasss...! Sekali lagi pedang itu berkelebat. Dan
menggelindinglah kepala orang itu dalam keadaan
terpotong lepas dari lehernya.
Penonton menjerit keras-keras. Mereka merasa ngeri.
Ada yang cepat buang muka, dan karena terburunya
buang muka sampai berbenturan dengan orang yang lain yang melakukan hal yang
sama. Ada yang hanya
memandang dengan mulut melongo bengong dan mata
mendelik. Ada yang tidak buang muka tapi memejamkan mata kuat-kuat dan menjerit
panjang. Seorang petugas berkumis yang tadi ditanyai oleh
sang nenek segera naik ke panggung dan berseru,
"Pertarungan ini bukan tempat jagal, Nek!" ia bergegas mendekati nenek itu ingin
membawanya turun.
Tapi begitu mendekat, pedang sang nenek berkelebat
dari bawah ke atas. Crasss...!
"Aahg...!" Orang itu mendelik dalam keadaan masih berdiri, tapi bagian bawahnya
segera meneteskan darah, lalu ia pun rubuh. Tubuhnya terbabat pedang berkarat
dari bawah sampai ke pertengahan dada.
Penonton makin menjerit ngeri. Lebih-lebih setelah
dua orang petugas maju untuk menangkap nenek itu
memakai senjata pedang juga, dengan gerakan cepat dan tak terlihat nenek itu
berkelebat. Kejap berikutnya kedua orang itu tumbang dengan keadaan dada dan
leher mereka terkoyak mengerikan, dan keduanya pun rubuh
tak bernyawa lagi.
Beberapa orang naik ke panggung, termasuk calon
peserta yang belum mendapat giliran naik panggung
tadi. Mereka mulai saling berusaha menangkap nenek
aneh itu. Tapi dalam beberapa gebrakan mereka segera tumbang tanpa nyawa.
"Aku mencari Pendekar Mabuk, bukan mencari
kalian! Mengapa kalian menyerangku, hah"!" seru nenek itu dengan suara ngotot
tapi terdengar pecah dan tak jelas, ia berteriak begitu berulang-ulang sambil
membebatkan pedangnya ke kanan-kiri dengan tanpa
ampun lagi. Suasana menjadi kacau-balau. Para penonton saling
berlarian menjauhi panggung dalam keadaan takut dan panik. Ada yang jatuh dan
terinjak-injak yang lain, sampai akhirnya orang itu mati tanpa pertarungan. Ada
yang saling bertabrakan karena berbeda arah larinya.
Ada pula yang justru bersembunyi di bawah panggung
untuk menghindari saling berbenturan dengan sesama
penonton. Para prajurit Ratu Kemukus berlompatan naik ke
panggung untuk menyergap sang nenek. Begitu
banyaknya para prajurit yang naik, maka panggung pun rubuh ke bawah. Brrukkk...!
"Aaaa...!" terdengar beberapa jeritan dari bawah panggung, mereka yang
bersembunyi di panggung
menjadi mati tergencet rubuhan panggung. Tapi yang di atas panggung pun ada
beberapa yang mati akibat
tertusuk senjata teman sendiri, atau bahkan terkoyak senjatanya sendiri.
Sedangkan nenek itu segera melesat bagaikan terbang menghindari panggung rubuh,
ia masih menggenggam
pedangnya dan tahu-tahu mendarat di tanah kosong
dengan terhuyung-huyung mau jatuh. Mereka yang
semula mau lari ke arah tanah kosong itu, kini menjadi
berhenti mendadak, dan berbalik arah kemudian berlari dengan lebih cepat lagi.
Mulutnya meneriakkan suara ketakutan sambil sesekali menengok ke belakang.
Padahal nenek aneh itu diam saja tidak mengejar
mereka. Hanya napasnya yang terengah-engah dengan
badan terbungkuk-bungkuk dan akhirnya terbatuk-batuk.
Suasana kacau-balau itu segera dilaporkan kepada
Ratu Kemukus. Maka sang Ratu pun segera datang ke
alun-alun dan menemui nenek aneh itu. Mata sang Ratu memandang sipit pada sang
nenek. Sementara itu yang dipandang pun balas menatap dengan sorot pandangan
mata menyeramkan. Seakan ingin melahap habis tubuh
sang Ratu. "Mengapa kau mengacaukan sayembara yang
kuadakan"! Apa maksudmu membuat onar di wilayahku,
hah"!" hardik sang Ratu berwajah cantik jelita. Namun kelihatan tegas, berwibawa
dan berkha-risma.
"Aku mencari Pendekar Mabuk, tapi mereka
menyerangku! Aku mau dibunuh tapi aku tidak mau.
Maka mereka terpaksa kubunuh dengan pedangku ini!"
kata sang nenek, lalu berhenti untuk batuk-batuk
sebentar. Setelah itu sang Ratu berkata,
"Aku tidak kenal nama Pendekar Mabuk! Kau pikir aku punya hubungan dengan dia,
hah"!"
"Kalau tidak kenal dia, ya sudah! Aku mau pergi!"
"Tunggu dulu! Kau kutangkap karena membunuh
rakyatku dengan seenaknya saja!"
"Tidak mau!" kata nenek itu sambil melangkah pergi tapi masih memegangi
pedangnya. "Tunggu!" seru sang Ratu.
"Aku tidak mau ditangkap! Jangan memaksaku!"
bentak sang nenek sambil meneruskan langkahnya.
Wuttt...! Ratu Kemukus melompat dan bersalto di
udara satu kali, kemudian dalam kejap berikutnya ia sudah berada di depan nenek
aneh itu. Menghadangnya dengan berani. Sementara para prajurit pengawal lainnya
segera mengurung tempat itu, siap dengan senjata
masing-masing. "Kau tak boleh pergi, Setan Tua! Kau harus
kutangkap dan kujatuhi hukuman seadilnya!"
"Aku tidak mau ditangkap! Apa kau tak dengar
ucapanku ini"!" nenek itu justru membentak dan mendelik matanya.
"Kalau begitu aku terpaksa mengadilimu di sini, Setan Tua!" kata sang Ratu
kemudian seorang petugas pengawal menyerahkan sebilah pedang kepada sang
Ratu. "O, kau mau melawanku, Anak ingusan"!" kata nenek aneh itu dengan beraninya.
"Majulah kalau kau mau kurobek dan kukeluarkan isi perutmu! Siapa tahu kau
menyimpan bayi haram yang baru menjadi janin di
dalam perutmu, hik hik hik hik...!"
"Mulut tua iblis! Hiaaat...!"
Sang Ratu menebaskan pedangnya dengan cepat.
Tapi nenek aneh itu tak kalah gesitnya, ia menangkis dengan pedang berkaratnya.
Trangng...! Dan sang Ratu tiba-tiba memutar sambil melayangkan tendangannya.
Plok...! Tendangan itu jatuh di wajah nenek aneh. Keras
sekali sentakan kaki sang Ratu, tapi nenek aneh itu masih tetap berdiri tegak
bagaikan pilar tua yang sulit dirubuhkan. Wajahnya hanya mengibas sebentar untuk
membuang kunang-kunang di pandangan matanya,
setelah itu ia memandang sang Ratu dengan lebih angker lagi. Mulutnya yang
berbibir keriput berlipat-lipat bak kue lapis legit itu seperti sedang mengunyah
sesuatu yang tak jelas. Mungkin ia memainkan gusinya dengan lidah.
Sang Ratu sempat tertegun sebentar dan membatin,
"Tangguh sekali dia! Biasanya orang yang terkena jurus
'Tendangan Badai'-ku bisa langsung terpental, tapi dia tetap berdiri tegak tak
goyah dari tempatnya"! Setan dari neraka mana dia itu"!"
Dari arah belakang sang nenek, meluncurlah sebuah
tombak yang dilemparkan oleh salah satu prajurit yang begitu bencinya kepada
orang tua itu. Tak tahan dengan kebenciannya, ia pun melemparkan tombaknya
dengan cepat. Arah sasaran adalah punggung nenek aneh itu.
Tapi ternyata yang diincar segera berkelebat memutar badan dan mengibaskan
pedangnya dari bawah ke atas.
Zrangng...! Tombak itu tersentak oleh kibasan pedang, berubah arah dan menancap
di dada prajurit lain yang sedang mengepungnya itu. Jrubb...! Matilah prajurit
itu. Wajah sang Ratu semakin geram. Murkanya kian
bertambah melihat prajuritnya mati begitu saja. Maka ia pun segera mengirimkan
jurus mautnya melalui pedang itu. Pedang ditusukkan ke depan dan mengeluarkan
selarik sinar tanpa putus berwarna hijau bening. Sinar itu seperti lidi panjang
yang menembus ke tubuh sang
nenek. Tapi sebelum sinar itu sampai pada sasarannya, sang nenek cepat membuka
tangan kirinya, dan sinar itu ditahan dengan telapak tangan kirinya.
Tubb...! Zrrruppp...! Sinar itu bagaikan masuk ke
dalam telapak tangan kiri dan tubuh sang nenek makin lama makin berubah menjadi
menyala hijau, ia masih
terkekeh-kekeh melihat tubuhnya menjadi menyala hijau pada bagian tepiannya.
Bahkan semakin lama semakin
menyeluruh, sampai ke bagian perutnya pun
memancarkan warna hijau.
"Hik hik hik...! Teruskan! Teruskan...! Aku mendapat tenaga sakti yang luar
biasa jika begini. Hik hik hik...!"
Slapp...! Sinar hijau berhenti. Sang Ratu menarik
pedangnya dan matanya tak berkedip. Sinar hijau di
tubuh nenek itu pun mulai padam sedikit demi sedikit.
Sang Ratu berkata dalam hatinya,
"Benar-benar luar biasa setan tua yang satu ini! Orang kena sinar hijau jurus
pedangku ini akan hancur menjadi kepingan-kepingan yang tak berbentuk lagi. Tapi
dia justru kegirangan dan sepertinya kekuatan dahsyat
pedangku ini terserap masuk ke dalam dirinya! Benar-benar luar biasa ilmu setan
tua ini! Rasa-rasanya aku tak akan sanggup mengalahkan dia!"
Pada saat itu, tawa sang nenek berhenti, ia terengah-engah sebentar, kemudian
berkata kepada Ratu
Kemukus, "Mainanmu adalah mainan murah, Cah Ayu! Kau
benar-benar seperti anak kecil yang belum puas dengan mainannya!"
Blarrr...! Petir menggelegar mengejutkan semua
orang di situ. Hal yang lebih mengejutkan lagi buat mereka adalah
keadaan Ratu Kemukus. Perempuan cantik yang masih
mengenakan mahkota dan menggenggam pedang itu kini
berubah menjadi anak kecil sekitar berusia empat tahun.
Mahkotanya ikut mengecil, pedangnya pun memendek.
Anak kecil itu kaget melihat keadaan dirinya. Dan
menjadi lebih kaget melihat sang nenek yang tertawa terkekeh-kekeh tanpa gigi
itu. Dengan cepat anak kecil itu berlari sambil menjerit ketakutan. Pedangnya
dibuang begitu saja. Ia menangis mencari perlindungan.
Sedangkan para prajuritnya hanya bengong memandangi kejadian itu dengan hati
bimbang, antara percaya dan tidak.
"Kalian kenapa hanya diam saja" Selamatkan ratu kalian!" kata sang nenek. "Kok
pada diam seperti patung semua!"
Blarrr...! Langit meledak karena loncatan lidah petir.
Dan para prajurit yang mengepung nenek aneh itu tiba-tiba berubah kaku dan tak
bergeming lagi. Mereka
semua menjadi patung, sesuai dengan sikap berdiri dan ketegangan wajah masingmasing. Lebih dari dua puluh prajurit menjadi batu hitam tak ber-nyawa, sehingga
alun-alun itu kini menjadi sebuah tempat yang
mempunyai prasasti, dan prasasti itu berupa sejumlah patung berwajah tegang.
Mereka yang jauh dari jangkauan nenek aneh itu
segera melarikan diri semakin menjauh. Bahkan ada
beberapa yang sempat bersembunyi di mana saja. Orang-orang yang menonton di
sekeliling alun-alun pun
semakin buyar tak tentu rimbanya. Alun-alun menjadi sepi. Dan suara tangis bocah
kecil terdengar di sela patung-patung itu.
Sang nenek tak tahu, bahwa segala perbuatannya itu
dipantau oleh sepasang mata yang berada di kejauhan.
Mata itu memperhatikan dengan heran, tapi tidak bisa banyak berbuat apa-apa.
Mata itu adalah mata seekor serigala berbulu hitam.
* * * 7 SERIGALA berbulu hitam itu berlari dengan cepat
seperti habis melihat setan tanpa kepala. Ke mana arah larinya, hanya serigala
itu yang tahu. Dan seorang pun tak menghiraukan apakah serigala itu lari
ketakutan melihat manusia berubah menjadi patung, atau lari
karena ingin memberitahukan kepada kawannya bahwa
di alun-alun ada nenek aneh yang sangat sakti.
Ternyata ia berlari ke tepi sungai yang berair dangkal dan bening. Tepian sungai
itu mempunyai tempat
cekung semacam gua yang tak terlalu dalam dan tak
terlalu lebar. Di dalam cekungan batu tebing sungai, ada seorang pemuda yang
tengah beristirahat menikmati
hembusan angin sejuk. Pemuda itu setengah berbaring
sambil menyandang bumbung tuak dari bambu.
Pakaiannya berwarna coklat tanpa lengan sampai ke
bawah, dan celananya putih. Rambutnya panjang tak
diikat dengan kain sepotong pun.
Pemuda itulah yang sebenarnya bernama Suto Sinting
si Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti berusia
sangat tua, yaitu si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Dalam mengejar musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyawa, yang licin bagai belut dan lincah bagai petir itu, Pendekar Mabuk
menemukan petualangannya yang
beraneka macam corak kehidupan.
Hanya beberapa waktu belakangan ini saja perjalanan Pendekar Mabuk ditemani oleh
seekor serigala jinak.
Serigala itu sudah seperti teman sendiri. Sering
diajaknya pergi ke mana-mana, bahkan jika malam tiba, sang serigala tidur di
samping Suto dengan penuh
kesetiaan, siap terjaga sewaktu-waktu jika ada bahaya datang. Dan kali ini
serigala yang tadi berlari-lari itu menghampiri Suto Sinting dan melolong
panjang. "Hmm...!" Suto menggumam sambil masih pejamkan mata dengan santai. Bukan tidur.
"Auuu...!" Serigala itu melolong pelan tapi memanjang. Pendekar Mabuk ditariktarik bajunya. Mata Suto pun terbuka dengan sedikit malas.
"Ada apa?" sambil ia mengusap-usap kepala binatang itu. Sang serigala menggeramgeram dengan suara kecil.
"Ah, kau mengganggu saja kalau aku sedang istirahat sebentar."
"Auh... auuuh...!" serigala itu mundur-mundur, lalu
berbalik lari, sampai beberapa jarak kembali lagi dan meraung-raung pelan,
sepertinya memberikan suatu
isyarat agar Suto mengikutinya.
"Ada apa sebenarnya?" Suto mengajak bicara anjing hutan itu.
Serigala berlari agak jauh, kemudian melolong dari
sana. Pendekar Mabuk bergegas bangkit dan
mengikutinya. "Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan padaku," pikir
Suto sambil melangkah.
Serigala itu berlari cepat sekali, sehingga Suto yang hanya jalan kaki biasa
menjadi tertinggal. Suto pun berseru,
"Srrii...!"
Serigala berhenti, ia berbalik memandang Suto,
kemudian berlari mendekati Suto. Dan pada saat itu Suto pun berkata,
"Jangan cepat-cepat larinya! Aku ketinggalan kalau kau lari secepat itu! Aku
sedang malas lari!"
"Uuh uuh uuh...!" serigala itu pun berjalan pelan di depan Suto. Seakan ia
mengerti apa yang dimaksud kata-kata Pendekar Mabuk. Sambil melangkah, Pendekar
Mabuk itu menenggak tuaknya beberapa kali. Jalan Suto terasa lambat. Serigala
itu rupanya tak sabar, ia
menggeram dengan mulut menyeringai, seperti orang
sedang menggerutu dan marah. Lalu ia melolong keras-keras dan terpatah-patah.
"Kenapa harus cepat-cepat" Sabar sajalah!" kata Suto.
Serigala makin menyeringai sambil mengerang
menakutkan. Suto mulai paham dengan bahasa isyarat
binatang itu. Maka Pendekar Mabuk pun berkata,
"Baik, baik! Kita pergi secepatnya!"
Serigala berlari lebih dulu. Suto mengejarnya dengan gerakan cepatnya. Bahkan
Suto menggunakan gerak
silumannya, yang bisa melesat cepat melebihi angin
badai. Tahu-tahu ia sudah berada di depan serigala, dan sang serigala melolong
panjang, seakan menyuruh Suto menunggunya.
Suto berhenti dan tertawa. "Makanya jangan
sombong kamu, Sri! Kalau adu lari cepat sama aku
belum tentu kau bisa menang!"
"Ggrrr...!" serigala menggeram dengan seringai, seakan mau menerkam Suto. Karena
sudah terbiasa dengan bahasa isyarat itu, maka Suto Sinting pun
tertawa dan berkata,
"Eh eh eh...! Tidak boleh marah! Kalau kalah ya kalah saja, tak perlu pakai
Kedele Maut 14 Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Si Kangkung Pendekar Lugu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama